• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENINGKATAN KETERAMPILAN BERBICARA MENGGUNAKAN MODEL PAIRED STORYTELLING SISWA KELAS VA SD NEGERI DEMAKIJO 1 SLEMAN YOGYAKARTA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENINGKATAN KETERAMPILAN BERBICARA MENGGUNAKAN MODEL PAIRED STORYTELLING SISWA KELAS VA SD NEGERI DEMAKIJO 1 SLEMAN YOGYAKARTA."

Copied!
247
0
0

Teks penuh

(1)

i SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh

Tiara Ajeng Permana NIM 12108241011

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR JURUSAN PENDIDIKAN SEKOLAH DASAR

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

v

MOTTO

“...dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku agar mereka mengerti perkataanku”

(6)

vi

PERSEMBAHAN

1. Kedua orang tua yang tidak pernah putus memberikan doa, kasih sayang, dukungan, dan segala pengorbanan yang tiada terkira.

(7)

vii

PENINGKATAN KETERAMPILAN BERBICARA MENGGUNAKAN

MODEL PAIRED STORYTELLING SISWA KELAS VA SD NEGERI

DEMAKIJO 1 SLEMAN YOGYAKARTA

Oleh

Tiara Ajeng Permana NIM 12108241011

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan proses pembelajaran dan keterampilan berbicara menggunakan model paired storytelling siswa kelas VA SD Negeri Demakijo 1 Sleman Yogyakarta.

Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (classroom action research) kolaboratif. Penelitian ini dilaksanakan di SD Negeri Demakijo 1 Sleman Yogyakarta dengan subjek penelitian seluruh siswa kelas VA SD Negeri Demakijo 1 yang berjumlah 30 siswa, terdiri dari 18 siswa laki-laki dan 12 siswa perempuan. Objek dalam penelitian ini yaitu keterampilan berbicara siswa kelas VA. Desain penelitian yang dikembangkan oleh Kemmis dan Taggart dengan model spiral. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah: 1) tes, 2) observasi dan 3) dokumentasi. Teknik anaisis data pada penelitian ini adalah statistik deskriptif kuantitatif dan kualitatif.

Hasil penelitian menunjukkan pembelajaran menggunakan model paired storytelling dapat meningkatkan proses pembelajaran keterampilan berbicara dan keterampilan berbicara siswa kelas VA SD Negeri Demakijo 1. Peningkatan proses pembelajaran keterampilan berbicara pada siklus I, setelah melaksanakan praktik bercerita secara berpasangan siswa menjadi lebih berani dan aktif dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran. Pada siklus II peningkatan proses pembelajaran keterampilan berbicara terlihat dari siswa yang dapat berbicara dengan baik, kreatif dalam mengembangkan cerita, berani melakukan tanya jawab, dan lebih percaya diri melaksanakan praktik menceritakan kembali isi cerita. Peningkatan keterampilan berbicara siswa pada siklus I sebesar 16,51, yang kondisi awal 57,40 meningkat menjadi 73,91, dan pada siklus II meningkat sebesar 5,55, yang kondisi awal 73,91 meningkat menjadi 79,46.

(8)

viii

KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Peningkatan

Keterampilan Berbicara Dengan Menggunakan Model Paired Storytelling Siswa Kelas VA SD Negeri Demakijo 1 Sleman Yogyakarta”. Penyusunan skripsi ini

tidak terlepas dari doa, bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada berbagai pihak, sebagai berikut.

1. Rektor Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan kesempatan sehingga penulisan skripsi ini berjalan baik.

2. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan kemudahan sehingga penulisan skripsi ini berjalan lancar.

3. Wakil Dekan I Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan pelayanan akademik sehingga penulisan skripsi ini berjalan lancar.

4. Ketua Jurusan Pendidikan Sekolah Dasar, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan dukungan dalam penyelesaian skripsi ini.

5. Ibu Suyatinah, M.Pd., Dosen Pembimbing Skripsi yang dengan sabar bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk memberikan bimbingan dan dukungan kepada penulis.

(9)
(10)

x

DAFTAR ISI

hal

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PERSETUJUAN... ii

SURAT PERNYATAAN... iii

LEMBAR PENGESAHAN ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang ... 1

B.Identifikasi Masalah ... 7

C.Pembatasan Masalah ... 7

D.Rumusan Masalah ... 8

E. Tujuan Penelitian ... 8

F. Manfaat Penelitian ... 9

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Hakikat Keterampilan Berbicara ... 10

1. Pengertian Keterampilan ... 10

2. Pengertian Berbicara ... 11

3. Pengertian Keterampilan Berbicara ... 13

4. Tujuan Berbicara ... 15

B. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keterampilan Berbicara ... 18

C. Model Pembelajaran Paired Storytelling ... 23

(11)

xi

2. Macam-macam Model Pembelajaran ... 25

D. Paired Storytelling ... 27

1. Pengertian Paired Storytelling ... 27

2. Kelebihan Model Paired Storytelling ... 30

3. Langkah-langkah Model Paired Storytelling ... 31

E. Penerapan Model Pembelajaran Paired Storytelling dalam Pembelajaran Keterampilan Berbicara ... 34

F. Penelitian yang Relevan ... 36

G. Kerangka Pikir... 37

H. Hipotesis ... 39

I. Definisi Operasional ... 40

BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 41

B. Setting Penelitian ... 42

C. Subjek Penelitian dan Objek Penelitian ... 43

D. Model Penelitian ... 43

E. Metode Pengumpulan Data ... 46

F. Instrumen Penelitian ... 49

G. Teknik Analisis Data ... 56

H. Kriteria Keberhasilan ... 57

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 59

1. Deskripsi Pelaksanaan Tindakan Siklus I ... 59

2. Deskripsi Pelaksanaan Tindakan Siklus II ... 83

B. Pembahasan Hasil Penelitian ... 107

1. Peningkatan Keterampilan Berbicara Siklus I ... 107

2. Peningkatan Keterampilan Berbicara Siklus II ... 110

C. Keterbatasan Penelitian ... 115

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 116

(12)

xii

(13)

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Profil Kelas sebelum Tindakan ... 43

Tabel 2. Pedoman Penilaian Keterampilan Berbicara ... 50

Tabel 3. Kisi-kisi Pedoman Penilaian Keterampilan Berbicara ... 50

Tabel 4. Klasifikasi Nilai Keterampilan Berbicara ... 53

Tabel 5. Lembar Observasi Guru Pembelajaran Keterampilan Berbicara Menggunakan Model Paired Storytelling ... 54

Tabel 6. Lembar Observasi Siswa dalam Kegiatan Pembelajaran Keterampilan Berbicara Melalui Model Pembelajaran Paired Storytelling ... 55

Tabel 7. Dasar Penilaian Keterampilan Berbicara ... 56

Tabel 8. Peningkatan Keterampilan Berbicara Siswa Siklus I ... 81

Tabel 9. Kriteria Keberhasilan Keterampilan Berbicara Siswa Pada Siklus I ... 82

Tabel 10. Peningkatan Keterampilan Berbicara Siswa Siklus II ... 105

Tabel 11. Kategori Nilai Praktik Berbicara Siswa Siklus II ... 106

(14)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Bagan Kerangka Pikir ... 39

Gambar 2. Model Penelitian Tindakan Kemmis dan Taggart... 44

Gambar 3. Siswa Membaca Kata Kunci/ Frase Kunci yang Ditulis oleh Teman . 63 Gambar 4. Siswa Mengembangkan Cerita Berdasar Kata Kunci ... 67

Gambar 5. Siswa Melihat Teks yang Dibawa Ketika Lupa Kelanjutan Cerita ... 68

Gambar 6. Siswa Mengembangkan Cerita Berdasarkan Kata Kunci ... 70

Gambar 7. Siswa Berlatih Menceritakan Kembali Isi Cerita Bersama Pasangannya ... 71

Gambar 8. Guru Terlihat Kaku dalam Menerapkan Model Pembelajaran Paired Storytelling ... 74

Gambar 9. Siswa Membaca Bagian Cerita yang Diperolehnya untuk Menentukan Kata Kunci ... 78

Gambar 10. Siswa Tidak Memperhatikan Siswa Lain yang Menceritakan Kembali Isi Cerita ... 78

Gambar 11. Diagram Peningkatan Keterampilan Berbicara Siswa Pratindakan dan Siklus I ... 81

Gambar 12. Siswa Mengembangkan Cerita Berdasarkan Kata Kunci ... 86

Gambar 13. Siswa Berlatih Menceritakan Kembali Isi Cerita Bersama Pasangannya ... 87

Gambar 14. Siswa Melaksanakan Praktik Berbicara ... 88

Gambar 15. Guru Menjelaskan Langkah Kegiatan Pembelajaran Setelah Siswa Menuliskan Kata Kunci ... 90

Gambar 16. Siswa Mengembangkan Cerita Berdasarkan Kata Kunci ... 91

Gambar 17. Guru Memberikan Penguatan setelah Siswa Melakukan Praktik Berbicara ... 92

Gambar 18. Siswa dan Guru Melakukan Tanya Jawab ... 93

Gambar 19. Siswa Mengangkat Tangan Terlebih Dahulu Untuk Maju Menceritakan Kembali Isi Dongeng ... 95

Gambar 20. Siswa Melaksanakan Praktik Berbicara ... 96

Gambar 21. Guru Menuliskan Tujuan Pembelajaran di Papan Tulis... 98

Gambar 22. Guru Membimbing Siswa Menuliskan Kata Kunci ... 99

Gambar 23. Antusiasme Siswa Melakukan Tanya Jawab dengan Guru ... 101

Gambar 24. Siswa Membacakan Kata Kunci pada Pasangannya ... 102

Gambar 25. Grafik Peningkatan Keterampilan Berbicara Siswa Siklus II ... 106

Gambar 26. Guru Membagi Kelas Menjadi Dua Kelompok ... 229

(15)

xv

Gambar 28 Guru Membimbing Siswa Menuliskan Kata Kunci ... 229

Gambar 29. Siswa Saling Menyampaikan Kata Kunci yang Telah Ditulis ... 229

Gambar 30. Siswa Berlatih Berbicara Bersama Pasangannya ... 229

Gambar 31. Siswa Terlihat Malu dan Kurang Percaya Diri ... 229

Gambar 32. Siswa Membaca Teks Cerita yang Diberikan Guru ... 230

Gambar 33. Siswa Berlatih Bercerita Bersama Pasangannya ... 230

Gambar 34. Guru Menuliskan Topik Pembelajaran di Papan Tulis ... 230

Gambar 35. Guru Membagi Kelas Menjadi Dua Kelompok ... 230

Gambar 36. Guru Membagikan Teks Cerita pada Siswa ... 230

Gambar 37. Siswa Membaca Teks Cerita yang Diberikan Guru ... 230

Gambar 38. Guru Membimbing Siswa Menuliskan Kata Kunci ... 231

Gambar 39. Siswa Menuliskan Kata Kunci ... 231

Gambar 40. Guru Membimbing Siswa yang Kesulitan Menuliskan Kata Kunci .. 231

Gambar 41. Siswa Saling Membacakan Kata Kunci ... 231

Gambar 42. Antusiasme Siswa Maju Praktik Menceritakan Kembali Isi Cerita ... 231

(16)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Jadwal Kegiatan Penelitian ... 122

Lampiran 2. Daftar Nama Siswa Kelas VA ... 123

Lampiran 3. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran ... 124

Lampiran 4. Teks Cerita ... 142

Lampiran 5. Rubrik Penilaian Keterampilan Berbicara ... 159

Lampiran 6. Lembar Penilaian Keterampilan Berbicara Pratindakan ... 162

Lampiran 7. Lembar Penilaian Keterampilan Berbicara Siklus I ... 163

Lampiran 8. Lembar Penilaian Keterampilan Berbicara Siklus II ... 167

Lampiran 9. Peningkatan Nilai Tes Berbicara Siswa Mwnggunakan Model Paired Storytelling dari Pratindakan, Siklus I, dan Siklus II ... 171

Lampiran 10. Lembar Observasi Guru... 172

Lampiran 11. Rubrik Observasi Guru ... 174

Lampiran 12. Lembar Observasi Guru Pratindakan ... 179

Lampiran 13. Lembar Observasi Guru Siklus I ... 181

Lampiran 14. Lembar Observasi Guru Siklus II ... 189

Lampiran 15. Lembar Observasi Siswa ... 197

Lampiran 16. Rubrik Observasi Siswa ... 198

Lampiran 17. Lembar Observasi Siswa Pratindakan ... 202

Lampiran 18. Lembar Observasi Siswa Siklus I ... 206

Lampiran 19. Lembar Observasi Siswa Siklus II... 218

Lampiran 20. Dokumentasi Kegiatan Pembelajaran ... 237

Lampiran 21. Surat Ijin Penelitian ... 233

(17)

1

A. Latar Belakang

Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Sebagai makhluk sosial, manusia selalu berinteraksi dengan manusia lainnya. Dalam hidup bermasyarakat dibutuhkan adanya komunikasi antara manusia yang satu dengan yang lainnya. Komunikasi dapat dilakukan secara lisan maupun tertulis. Menurut Harimurti Kridalaksana (Yusi Rosdiana, 2009: 1.4) bahasa merupakan sarana untuk melakukan komunikasi sosial. Tanpa adanya bahasa orang akan merasa kesulitan dalam berkomunikasi. Salah satu bentuk kegiatan penggunaan bahasa adalah berbicara. Seseorang berusaha untuk mengungkapkan pikiran dan perasaannya kepada orang lain dengan berbicara (Soenardi Djiwandono, 1996: 68).

Menurut Harris (Tarigan, 2008: 1) keterampilan berbahasa mempunyai empat komponen, yaitu keterampilan menyimak (listening skills), keterampilan berbicara (speaking skills), keterampilan membaca (reading skills), dan keterampilan menulis (writing skills). Setiap keterampilan berbahasa saling berhubungan satu sama lain. Dalam memperoleh keterampilan berbahasa, biasanya dimulai dengan suatu hubungan urutan yang teratur: mula-mula pada masa kecil belajar menyimak bahasa, berbicara, kemudian sesudah itu belajar membaca dan menulis. Keempat keterampilan berbahasa tersebut pada dasarnya merupakan suatu kesatuan catur tunggal.

(18)

2

mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan atau menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan. Lebih lanjut, M Soenardi Djiwandono (1996: 68) juga mengungkapkan bahwa berbicara merupakan penggunaan kata-kata yang dipilih sesuai dengan maksud yang perlu diungkapkan.

Berbicara merupakan keterampilan mengucapkan bunyi artikulasi kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan atau menyampaikan ide, gagasan dan perasaan seseorang kepada orang lain menggunakan bahasa lisan dengan tujuan dapat dipahami oleh orang lain. Dalam proses pembelajaran siswa dituntut untuk mampu mengutarakan gagasannya, menjawab pertanyaan dan mengajukan pertanyaan dengan baik selama pembelajaran berlangsung. Berbicara mempunyai peranan sosial yang sangat penting dalam kehidupan manusia.

Tujuan diajarkan keterampilan berbicara pada siswa Sekolah Dasar adalah untuk membantu siswa mengembangkan keterampilan dalam berkomunikasi secara lisan. Dalam komunikasi antara guru dengan siswa atau antar siswa dalam proses belajar mengajar, keterampilan berbicara dan menyimak merupakan unsur yang penting. Melalui berbicara, guru atau siswa menyampaikan informasi melalui suara dan bunyi bahasa, sedangkan dalam menyimak, siswa akan mendapat informasi melalui ucapan atau suara yang diterimanya dari guru atau rekannya.

(19)

3

mengalami kesulitan dalam berkomunikasi, sulit untuk bertanya, menjelaskan, dan menceritakan. Padahal, pembelajaran berbicara merupakan keterampilan utama dan pokok yang harus dikuasai oleh siswa setelah proses menyimak yaitu: 42% kegiatan menyimak, 32% berbicara, 15% membaca, dan 11% menulis (Haryadi dan Zamzani, 1996: 17). Kegiatan pembelajaran keterampilan berbicara di kelas perlu adanya interaksi dan komunikasi antara guru dengan siswa. Jika tidak ada proses interaksi dan komunikasi yang baik antara guru dan siswa, maka tujuan pembelajaran keterampilan berbicara akan sulit tercapai.

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan pada hari Kamis tanggal 22 Oktober 2015 yang dilakukan bersama guru kelas VA Sekolah Dasar Negeri Demakijo 1 di Sleman dalam pembelajaran bahasa Indonesia, terlihat siswa kurang menguasai salah satu aspek berbahasa, yaitu keterampilan berbicara siswa masih rendah. Keterampilan berbicara yang rendah juga dilihat dari nilai rata-rata siswa untuk pembelajaran keterampilan berbicara, yaitu 60. Nilai tersebut belum memenuhi KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal).

(20)

4

pendapat dan menjawab pertanyaan dari guru. Terdapat dua siswa yang mendominasi kegiatan pembelajaran. Siswa tersebut aktif bertanya, menjawab, dan menggungkapkan pendapat tanpa ditunjuk oleh guru. Selama kegiatan pembelajaran, guru terlalu aktif dan mendominasi pembelajaran. Hal ini membuat siswa memilih untuk diam dan pasif saat kegiatan pembelajaran berlangsung.

Lebih lanjut, berdasarkan hasil pengamatan pembelajaran keterampilan berbicara yang dilaksanakan pada hari Kamis tanggal 29 Oktober 2015 menunjukkan siswa masih malu-malu, grogi, kurang percaya diri dan kurang serius selama kegiatan pembelajaran keterampilan berbicara berlangsung. Hal tersebut dibuktikan ketika diadakan diskusi kelompok siswa kurang serius, karena yang mereka bicarakan saat berdiskusi kelompok bukanlah materi yang sedang dipelajari saat itu. Guru meminta masing-masing kelompok untuk mempresentasikan hasil diskusinya di depan kelas, namun saat mempresentasikan hasil diskusi kelompok siswa terlihat kurang percaya diri, grogi, takut, dan tidak serius. Hal ini terjadi karena siswa kurang berlatih untuk berbicara di depan kelas.

(21)

5

baik. Selain itu, guru jarang melakukan pembelajaran bahasa pada aspek berbicara karena keterbatasan waktu selama proses belajar mengajar.

Hasil wawancara yang dilaksanakan pada hari Kamis, 22 Oktober 2015 guru belum pernah menggunakan model paired storytelling dalam kegiatan pembelajaran bahasa Indonesia khususnya keterampilan berbica. Guru kurang inovatif dan kreatif dalam mengembangkan model pembelajaran. Hal ini dibuktikan dengan model pembelajaran yang dituliskan pada rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang digunakan oleh guru kurang bervariasi. Model pembelajaran yang digunakan membuat guru menjadi lebih dominan selama kegiatan pembelajaran yang membuat siswa terbiasa pasif dan kurang berpartisipasi selama kegiatan pembelajaran.

Guru dalam memilih metode pembelajaran yang tepat akan berpengaruh terhadap aktivitas yang akan dilakukan oleh siswa selama proses pembelajaran. Guru dapat menggunakan berbagai strategi pembelajaran yang Aktif Inovatif Kreatif Edukatif dan Menyenangkan (PAIKEM), dan diharapkan akan meningkatkan motivasi siswa untuk belajar sehingga secara signifikan dapat meningkatkan keterampilan siswa dalam berbicara.

(22)

6

latar belakang pengetahuan siswa dan membantu siswa mengaktifkan pengetahuan agar bahan pelajaran menjadi lebih bermakna. Siswa dirangsang untuk mengembangkan kemampuan berfikir dan berimajinasi dengan membaca. Keterampilan membaca siswa dihubungkan dengan keterampilan menulis. Buah pikiran siswa akan dihargai sehingga siswa merasa makin termotivasi untuk belajar. Selain itu, siswa bekerja dengan sesama siswa dalam suasana gotong royong dan mempunyai banyak kesempatan untuk mengolah informasi dan meningkatkan keterampilan berkomunikasi. Model

paired storytelling dapat digunakan pada pengajaran membaca, menulis, dan berbicara.

Model paired storytelling yang dilakukan secara berkelompok oleh siswa, diharapkan dapat menjadikan motivasi siswa untuk belajar berbicara agar siswa tidak merasa malu dan kurang percaya diri untuk melakukan praktik berbicara. Agar keterampilan berbicara bisa terukur, maka guru harus melakukan pengamatan dan mencermati perilaku siswa disaat berbicara.

Anita Lie (1994: 4) menyatakan penggunaan model paired storytelling

(23)

7

kesempatan untuk mengolah informasi dan meningkatkan keterampilan berkomunikasi agar bahan pelajaran menjadi lebih bermakna.

Atas dasar permasalahan di atas, maka penelitian tentang peningkatan keterampilan berbicara dengan menggunakan model paired storytelling siswa kelas VA di SD Negeri Demakijo 1, Kabupaten Sleman perlu dilaksanakan.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, dapat diidentifikasi masalah-masalah sebagai berikut.

1. Keterampilan berbicara siswa masih rendah dibuktikan dengan nilai rata-rata yang diperoleh siswa adalah 60, belum mencapai KKM yang sudah ditentukan yaitu 75.

2. Siswa mengalami kesulitan dalam mengungkapkan pendapat atau menjawab pertanyaan karena malas dan takut salah.

3. Siswa masih malu-malu, grogi, kurang percaya diri dan kurang serius selama kegiatan pembelajaran keterampilan berbicara berlangsung.

4. Pembelajaran keterampilan berbicara masih dianaktirikan karena pembelajaran lebih difokuskan kepada materi ujian.

5. Guru belum menggunakan model paired storytelling untuk melatih keterampilan berbicara siswa.

C. Pembatasan Masalah

(24)

8

kelas VA di SD Negeri Demakijo 1 Sleman Yogyakarta yang masih rendah dengan menggunakan model paired storytelling.

D. Rumusan Masalah

Bedasarkan identifikasi masalah yang telah dikemukakan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Bagaimanakah meningkatkan proses pembelajaran keterampilan berbicara dengan menggunakan model paired storytelling pada siswa kelas VA SD Negeri Demakijo 1?

2. Bagaimanakah meningkatkan keterampilan berbicara dengan menggunakan model paired storytelling pada siswa kelas VA SD Negeri Demakijo 1?

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk :

1) meningkatkan proses pembelajaran keterampilan berbicara dengan menggunakan model paired storytelling pada siswa kelas VA SD Negeri Demakijo 1, dan

(25)

9

F. Manfaat Penelitian

1. Bagi Siswa

Penelitian dengan menggunakan model paired storytelling diharapkan dapat meningkatkan keterampilan berbicara siswa kelas VA SD Negeri Demakijo 1.

2. Bagi Guru

Penelitian ini dapat dijadikan sebagai variasi model pembelajaran alternatif yang tepat dan efektif untuk proses pembelajaran bahasa Indonesia khususnya keterampilan berbicara, sehingga akan diperoleh hasil yang optimal.

3. Bagi Sekolah

(26)

10

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Hakikat Keterampilan Berbicara

1. Pengertian Keterampilan

Keterampilan berbahasa seseorang sangat bergantung kepada keterampilan yang berhubungan dengan penggunaan bahasa dalam komunikasi sehari-hari. Dengan terampil berbahasa, seseorang dapat mengungkapkan gagasan atau pemikirannya kepada orang lain. Dalam kegiatan pembelajaran, keterampilan berbahasa bukanlah sesuatu yang diajarkan melalui uraian dan penjelasan, karena keterampilan berbahasa bersifat konkret dan mengacu pada penggunaan bahasa dalam bentuk lisan yang dapat didengar atau bentuk tulis yang dapat dibaca. Menurut Harris (Tarigan, 2008: 1) Ada empat keterampilan dalam berbahasa yaitu menyimak, berbicara, membaca dan menulis. Setiap keterampilan tersebut memiliki hubungan yang teratur, mula-mula pada masa kecil kita belajar menyimak bahasa, kemudian berbicara, setelah itu kita belajar membaca dan menulis. Berbicara merupakan salah satu aspek dari keempat keterampialan berbahasa yang terdapat pada mata pelajaran bahasa Indonesia.

(27)

11

sebagainya yang memerlukan koordinasi gerak yang teliti dan kesadaran yang tinggi.

Keterampilan menurut Yudha dan Rudhyanto (2005: 7) adalah kecakapan siswa dalam melakukan berbagai aktivitas seperti motorik, berbahasa, sosial-emosional, kognitif, dan afektif (nilai-nilai moral). Keterampilan yang dimiliki siswa akan memudahkannya dalam melakukan berbagai aktivitas dan pekerjaannya dengan benar.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan keterampilan adalah kecakapan siswa untuk melakukan berbagai aktivitas untuk menyelesaikan tugas. Sebaiknya keterampilan diajarkan kepada siswa sejak usia dini. Keterampilan tersebut akan dikuasai oleh siswa dengan cara banyak berlatih. Jadi, keterampilan diajarkan kepada siswa sejak usia dini supaya siswa memiliki banyak kesempatan untuk berlatih sehingga kelak tumbuh menjadi orang yang terampil dalam melakukan segala aktivitas.

2. Pengertian Berbicara

(28)

12

mengekspresikan, menyatakan atau menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan. Berbicara merupakan suatu bentuk perilaku manusia yang memanfaatkan faktor-faktor fisik, psikologis, neurologis, semantik, dan linguistik sedemikian ekstensif, sehingga berbicara dianggap hal yang paling penting bagi kontrol sosial.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 144) berbicara adalah suatu kegiatan berkata, berbahasa atau melahirkan pendapat dengan perkataan, tulisan dan sebagainnya. Berdasarkan pengertian tersebut di atas berbicara merupakan bentuk komunikasi dengan cara berkata atau bercakap untuk menyampaikan suatu pendapat dengan menggunakan perkataan atau secara lisan. Pada hakikatnya berbicara merupakan proses komunikasi sebab didalamnya terdapat proses pemindahan pesan dari komunikator (pembicara) kepada komunikan (pendengar). Setelah pesan tersebut tersampaikan tahap selanjutnya, komunikan akan memberikan umpan balik terhadap komunikator. Umpan balik berupa reaksi yang timbul dapat berupa jawaban atau tindakan setelah pesan tersebut diterima.

(29)

13

memiliki kemampuan untuk memahami bahasa lawan bicara sehingga proses komunikasi dapat berlangsung dengan baik.

M. Soenardi Djiwandono (1996: 68) mengungkapkan berbicara merupakan penggunaan kata-kata yang dipilih sesuai dengan maksud yang perlu diungkapkan. Kata-kata tersebut dirangkai dalam susunan menurut kaidah tatabahasa dan dilafalkan sesuai dengan kaidah pelafalan yang sesuai juga. Berbicara merupakan bentuk penggunaan bahasa lisan yang harus diperhatikan agar pesan yang disampaikan dapat diterima dan dimengerti seperti yang dimaksudkan oleh pembicara.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan berbicara merupakan keterampilan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata (bahasa lisan) untuk mengekspresikan, menyatakan, serta menyampaikan pesan (ide, gagasan, dan pendapat) seseorang kepada orang lain sehingga pesan tersebut dapat diterima dan dimengerti seperti yang dimaksudkan oleh pembicara.

3. Pengertian Keterampilan Berbicara

(30)

14

Menurut Tarigan (2008: 16) berbicara itu lebih dari hanya sekedar pengucapan bunyi-bunyi atau kata-kata. Berbicara merupakan alat untuk mengkomunikasikan gagasan yang disusun dan dikembangkan sesuai kebutuhan sang pendengar atau penyimak.

Iskandarwassid & Dadang Sunendar (2011: 241) mengungkapkan keterampilan berbicara merupakan keterampilan mereproduksi arus sistem bunyi artikulasi untuk menyampaikan kehendak, kebutuhan perasaan, dan keinginan kepada orang lain. Dalam hal ini, kelengkapan alat ucap seseorang merupakan persyaratan alamiah yang memungkinkan untuk memproduksi suatu ragam yang luas bunyi artikulasi, tekanan, nada, kesenyapan, dan lagu bicara. Muammar (2008: 320) mengungkapan pada hakitatnya keterampilan berbicara merupakan :

(31)

15

interaksi dengan orang lain yang ada disekitarnya akan melatih keterampilan berbicara siswa.

4. Tujuan Berbicara

Berbicara yang dilakukan manusia adalah untuk berkomunikasi, menyampaikan gagasan, maksud, tujuan, dan lain-lain. Menurut Tarigan (2008: 16) tujuan utama berbicara adalah untuk berkomunikasi. Agar dapat menyampaikan pikiran secara efektif sebaiknya pembicara memahami makna segala sesuatu yang ingin disampaikan. Selain itu, pembicara harus mengevaluasi efek komunikasi yang telah dilakukan terhadap pendengarnya dan harus mengetahui prinsip yang mendasari segala situasi pembicaraan, baik secara umum maupun perorangan.

Djiwandono (1996: 68) memaparkan tujuan seseorang berbicara adalah berusaha untuk mengungkapkan pikiran dan perasaannya kepada orang lain secara lisan. Tanpa berbicara, orang lain tidak akan mengetahui apa yang dipikirkan dan dirasakan. Berbicara merupakan kegiatan berbahasa yang aktif yang menuntut pemakai bahasa untuk mengungkapkannya secara lisan yang harus diperhatikan dalam mengupayakan agar pesan yang disampaikan dapat diterima dan dimengerti seperti yang dimaksudkan oleh seorang pembicara.

Gorys Keraf (Depdikbud, 1996: 36) menyatakan tujuan pengajaran keterampilan berbicara agar para siswa mampu memilih dan menata gagasan dengan penalaran yang logis dan sistematis, mampu menuangkannya ke dalam bentuk-bentuk tuturan dalam bahasa Indonesia sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia, mampu mengucapkannya dengan jelas dan lancar, serta mampu memilih ragam bahasa Indonesia sesuai dengan konteks komunikasi.

(32)

16

a. Berbicara untuk menyenangkan atau menghibur pendengar. Kegiatan berbahasa ini bertujuan menarik perhatian pendengar. Berbagai informasi yang diberikan sepenuhnya bersifat insidental belaka dan disampaikan secara spontan, humor, dan memikat.

b. Berbicara untuk menyampaikan informasi dan mejelaskan sesuatu. Kegiatan berbicara .ini bertujuan memberikan informasi atau menjelaskan sesuatu kepada pendengar. Misalnya bagaimana cara mengerjakan sesuatu, bagaimana cara membuat sesuatu, menjelaskan suatu rencana, menyampaikan kesimpulan dari suatu bacaan, dan sebagainya.

c. Berbicara untuk merangsang dan mendorong pendengar melakukan sesuatu. Tujuannya agar pendengar memperoleh inspirasi sehingga mau mampu dan mau melakukan suatu kegiatan. Agar tujuan kegiatan berbicara ini tercapai, pembicaraan harus didasarkan pada kebutuhan, keinginan, harapan, dan aspirasi pendengar.

d. Berbicara untuk meyakinkan pendengar. Pembicara tidak hanya memberikan atau menjelaskan suatu hal,melainkan juga memotivasi pendengar agar mereka mengubah pendapat atau sikapnya terhadap sesuatu hal yang mungkin sebelumnya berbeda atau bahkan bertentangan dengan apa yang dikehendaki oleh pembicara.

Menurut Ochs and Winker (Tarigan, 2008: 16-17) mengungkapkan berbicara merupakan alat komunikasi sosial, berbicara mempunyai tiga maksud umum, yaitu:

a) memberitahukan dan melaporkan (to inform), b) menjamu dan menghibur (to entertain), dan

c) membujuk, mengajak, mendesak, dan meyakinkan (to persuade).

Lebih lanjut menurut Brooks (Tarigan, 2008: 17- 18) mengungkapkan prinsip umum yang mendasari kegiatan berbicara, adalah sebagai berikut. a. Membutuhkan paling sedikit dua orang. Pembicaraan yang dapat

(33)

17

b. Mempergunakan suatu sandi linguistik yang dipahami bersama. Bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi adalah bahasa yang dapat dimengerti dan dipahami bersama.

c. Menerima atau mengakui suatu daerah referensi umum. Daerah referensi yang umum mungkin tidak selalu mudah dikenal, dengan pembicaraan akan menerima dan menemukan satu diantaranya.

d. Merupakan suatu pertukaran antara partisipan. Kedua belah pihak partisipan yang memberi dan menerima informasi dalam pembicaraan akan saling bertukar sebagai pembicara dan penyimak.

e. Menghubungkan setiap pembicara dengan yang lainnya dan kepada lingkungannya dengan segera. Perilaku lisan pembicara selalu berhubungan dengan sesuatu yang diharapkan oeleh penyimak, dan sebaliknya. Jadi hubungan ini bersifat timbal balik atau dua arah.

f. Berhubungan atau berkaitan dengan masa kini.

g. Hanya melibatkan aparat atau perlengkapan yang berhubungan dengan suara/ bunyi bahasa dan pendengaran (vocal and auditory apparatus) h. Secara tidak pandang bulu menghadapi serta memperlakukan apa yang

nyata dan apa yang diterima sebagai dalil.

(34)

18

selama proses kegiatan berbicara antara pembicara dengan pendengar yang menjadikan kegiatan berkomunikasi menjadi lebih efektif dan efisien.

B. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keterampilan Berbicara

Sugiarta (2007: 29) menjelaskan pencapaian keberhasilan pembelajaran bahasa Indonesia mengenai keterampilan berbicara harus mempertimbangkan beberapa hal berikut untuk mencapai hasil yang maksimal, yaitu: 1) pengucapan, 2) ketepatan dan kelancaran, 3) faktor efektif, 4) usia dan kedewasaan, dan 5) faktor sosial budaya.

1. Pengucapan

Setiap kata yang diucapkan oleh pembicara harus jelas dan tepat agar penyimak dapat menangkap maksud serta memahami secara benar maksud dan tujuan yang disanpaikan oleh pembicara.

2. Ketepatan dan Kelancaran

Ketepatan dan kelancaran menunjukkan penampilan dan keterampilan dalam berbahasa seseorang, karena ketepatan dan kelancaran merupakan hal yang penting dalam aspek berbahasa, khususnya berbicara.

3. Faktor Efektif

(35)

19

suasana belajar yang hangat dan menyenangkan sehingga siswa menjadi tertarik untuk berbicara.

4. Usia dan Kedewasaan

Usia merupakan salah satu faktor keberhasilan atau kegagalan belajar bahasa. Hal ini menunjukkan bahwa usia seseorang akan mempengaruhi dan membatasi kemampuan mengungkapkan bahasa dengan lancar.

5. Faktor Sosial Budaya

Bahasa merupakan bentuk tindakan sosial karena komunikasi terjadi dalam konteks perubahan interpersonal. Nilai-nilai dan kepercayaan menciptakan tradisi dan tatanan sosial yang kemudian diekspresikan ke dalam tindak berbahasa. Jadi, berbahasa dengan sebuah bahasa itu digunakajn dalam sebuah interaksi sosial.

Keterampilan berbicara pada siswa perlu dibina agar semakin meningkat. Di sekolah pembinaan keterampilan berbicara dilakukan melalui mata pelajaran bahasa Indonesia. Menurut Sabarti Akhadiah, dkk. (1991: 154) berbicara dalam pengajaran bahasa Indonesia terdiri dari dua aspek, yaitu: a) aspek kebahasaan, dan b) aspek nonkebahasaan.

a. Aspek Kebahasaan

(36)

20 1) Pelafalan Bunyi

Pelafalan ini perlu ditekankan karena setiap siswa memiliki latar belakang yang berbeda-beda, dengan bahasa yang berbeda-beda pula. Setiap daerah memiliki ciri khas bahasa yang sulit untuk dihilangkan. Pengurangan ciri tersebut perlu dilakukan untuk membentuk bahasa Indonesia yang baik dan benar.

2) Penempatan Tekanan, Nada, Jangka, Intonasi, dan Ritme

Penempatan tekanan, nada, jangka, intonasi, dan ritme yang sesuai merupakan daya tarik tersendiri dalam berbicara karena merupakan salah satu faktor penentu keefektifan berbicara, apabila tidak sesuai akan membuat jenuh pendengarnya. Dalam pembelajaran keterampilan berbicara di Sekolah Dasar perlu ditekankan latihan mengucapkan kalimat dengan intonasi wajar, serta penempatan jeda dan tekanan secara tepat. 3) Penggunaan Kata dan Kalimat

(37)

21 b. Aspek Nonkebahasaan

Terdapat tujuh faktor penunjang keefektifan berbicara pada aspek nonkebahasaan, yaitu: 1) kenyaringan suara; 2) kelancaran; 3) penguasaan topik; 4) sikap yang tenang, wajar dan tidak kaku; 5) gerak gerik dan mimik yang tepat; 6) penalaran; dan 7) santun berbicara.

1) Kenyaringan Suara

Kenyaringan suara harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi agar semua pendengar dapat mendengar dengan jelas. Pada ruangan yang luas/ terbuka jangan sampai berbicara dengan suara yang lemah, begitupula sebaliknya. Dalam ruangan yang sempit, sebaiknya berbicara dengan suara yang tidak terlalu nyaring/ berteriak-teriak. Oleh karena itu, kenyaringan suaraperlu diperhatikan, karena merupakan faktor yang sangat menunjang keefektifan dalam kegiatan berbicara.

2) Kelancaran

(38)

22 3) Penguasaan Topik

Kegiatan berbicara sebaiknya terlebih dahulu menguasai topik pembicaraan atau tema yang akan dibicarakan. Penguasaan topik pembicaraan berarti memahami pokok pembicaraan. Jika sudah menguasai pokok/ tema yang akan disampaikan, maka kegiatan berbicara akan berjalan dengan lancar dan menambah keberanian dalam berbicara.

4) Sikap yang Wajar, Tenang, dan Tidak Kaku

Sikap yang baik dalam kegiatan berbicara yaitu bersikap wajar, tenang, dan tidak kaku serta pandangan diarahkan kepada lawan bicara agar pesan yang akan disampaikan dapat diterima dengan baik oleh pendengar. Selain itu, sikap yang tenang dari pembicara akan membuaka jalan pikiran, sehingga kegiatan berbicara akan lancar. Apabila sikap pembicara terlalu aktif, dan dibuat-buat akan membuat pendengar merasa bosan.

5) Gerak-gerik dan Mimik yang Tepat

Gerak-gerik dan mimik dalam kegiatan berbicara berfungsi untuk memperjelas atau menghidupkan pembicaraan. Gerak-gerik dan mimik yang tepat dan tidak berlebihan dapat menunjang keefektifan berbicara. 6) Penalaran

(39)

23

runtutan pokok-pokok pikiran dengan menggunakan kalimat yang padu sehingga akan menimbulkan kelogisan dan kejelasan arti.

7) Santun Berbicara

Dalam kegiatan berbicara, menghargai pendapat orang lain merupakan wujud dari santun berbicara. Selain itu dalam mengemukakan pendapat, wujud santun berbicara dapat ditunjukkan dengan mau mendengarkan pendapat orang lain dan tidak mencelanya.

C. Model Pembelajaran Paired Storytelling

1. Pengertian Model Pembelajaran

Untuk dapat mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditentukan, guru dapat menggunakan model-model pembelajaran yang menarik selama kegiatan pembelajaran. Menurut Suyadi (2012: 14) model pembelajaran merupakan gambaran kecil dari konsep pembelajaran secara keseluruhan.

(40)

24

berpikir, dan mengekspresikan diri mereka sendiri, serta mengajarkan bagaimana cara belajar.

Joyce (Trianto, 2010: 52) a model of teaching is a plan or pattern that we can use to design face-to-face teaching in classrooms or tutorial settings and to shape instructional materials including books, film, tapes, computer-mediated programs, and curricula (longterm courses of study). Each model guides us as we design instruction to help students achieve various obyectives.

Maksudnya, model pembelajaran adalah rencana atau pola yang digunakan guru untuk mengajar secara tatap muka di dalam kelas atau tutorial, dan untuk menentukan perangkat pembelajaran berupa buku, film, program komputer dan kurikulum. Setiap model pembelajaran mengarahkan guru untuk mendesain pembelajaran yang dapat membantu siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran.

Menurut Arends (Trianto, 2010: 53) model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur sistematik untuk mengorganisasikan pengalaman belajar sehingga tujuan belajar dapat tercapai dan juga berfungsi sebagai pedoman bagi perancang pembelajaran dan guru dalam merancang dan melaksanakan pembelajaran.

Udin (2009: 3) model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas pembelajaran. Dengan demikian aktivitas pembelajaran benar-benar merupakan kegiatan bertujuan yang tertata dan sistematis.

(41)

25

dalam mengorganisasikan rencana belajar yang digunakan guru sebagai pedoman dalam penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan belajar tertentu.

2. Macam-macam Model Pembelajaran

Ada banyak model pembelajaran yang dikembangkan oleh para ahli dapam usaha mengoptimalkan hasil belajar siswa. Dalam proses belajar banyak model pembelajaran yang dapat dipilih sesuai dengan materi yang disampaikan oleh guru. Macam-macam model pembelajaran menurut Sri Anitah W (2009: 3.1) antara lain: model pembelajaran kolaboratif, model pembelajaran quantum, model pembelajaran kooperatif, dan model pembelajaran tematik.

Senada dengan pendapat di atas Suyadi (2012: 11) mengatakan bahwa terdapat tujuh model yang ada dalam pembelajaran, model-model pembelajaran tersebut antara lain: model pembelajaran aktif, model pembelajaran kontekstual, model pembelajaran kooperatif, model pembelajaran berbasis masalah, model pembelajaran quantum, model pembelajaran inkuiri, dan model pembelajaran ekspositori.

(42)

26

a) Model Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching And Learning-

CTL), adalah konsep belajar yang mendorong guru untuk menghubungkan antara bahan ajar dengan dengan dunia nyata siswa.

b) Model Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning), adalah konsep belajar yang menggunakan kelompok kecil sehingga siswa bekerja bersama untuk memaksimalkan kegiatan belajarnya sendiri dan juga anggota yang lain. Model pembelajaran kooperatif terdiri dari: STAD (Student Teams-Achievedment Divisions), TAI (Team-Assisted Individualization), CIRC (Cooperative Integrated Reading and Composition), jigsaw, debat akademi, penugasan kompleks, GI(Group Investigation) atau kelompok investigasi, TGT (Team Game Turnament),

paired storytelling (cerita berpasangan), dan NHT (Numbered Heads Together).

c) Model Pembelajaran Quantum (Quantum Learning), merupakan suatu kegiatan belajar dengan suasana yang menyenangkan karena guru mengubah sesuatu yang ada di sekelilingnya sehingga pebelajar bergairah belajar.

d) Model Pembelajaran Terpadu, merupakan pendekatan belajar mengajar yang melibatkan beberapa bidang studi untuk memberikan pengalaman belajar yang lebih bermakna kepada siswa kearena konsep-konsep yang dipelajari diperoleh melalui pengalaman langsung.

(43)

27

tugas atau permasalahan yang otentik, relevan, dan dipresentasikan dalam satu konteks, serta bertujuan untuk memecahkan permasalahan-permasalahan kehidupan. Wina Sanjaya (2007: 212) mengungapkan bahwa model pembelajaran berbasis masalah merupakan rangkaian aktivitas pembelajaran yang menekankan kepada proses penyelesaian masalah yang dihadapi secara ilmiah.

Berdasarkan macam-macam model pembelajaran yang telah dijelaskan di atas, peneliti memilih menggunakan model paired storytelling yang termasuk dalam model pembelajaran kooperatif untuk diterapkan dalam pembelajaran bahasa Indonesia khususnya keterampilan berbicara.

D. Paired Storytelling

1. Pengertian Paired Storytelling

Model pembelajaran paired storytelling, termasuk dalam model cooperative learning. Model pembelajaran ini, menekankan kepada kegiatan bekerja sama antara siswa yang satu dengan yang lain untuk mencapai suatu tujuan. Kegiatan pembelajaran dilaksanakan dengan pembentukan kelompok kecil sehingga siswa akan saling bekerja bersama untuk memaksimalkan kegiatan belajarnya sendiri dan juga anggota yang lain. Model paired storytelling disebut juga bercerita berpasangan yaitu teknik yang dikembangkan sebagai pendekatan interaktif antara siswa, pengajaran dan bahan pengajaran. Lebih lanjut, Anita Lie (1994: 3) mengungkapkan “Paired Storytelling uses reading and writing together and cooperative learning to

(44)

28

language”. Maksud dari pernyataan ini adalah paired storytelling

menggunakan keterampilan membaca dan menulis secara bersama dan membantu siswa dalam belajar dengan melakukan kerjasama agar hasil yang didapatkan lebih efektif dan mengkomunikasikan hasil kerja bersama siswa yang lain. Model ini bisa digunakan dalam pengajaran membaca, menulis, mendengarkan dan berbicara karena teknik ini menggabungkan kegiatan membaca, menulis, mendengarkan dan berbicara. Model paired storytelling

dapat diterapkan pada beberapa mata pelajaran, misalnya Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), agama, dan bahasa. Bahan pelajaran yang cocok digunakan dengan model ini adalah bahan yang bersifat naratif dan deskriptif.

Pendekatan pembelajaran dengan menggunakan model paired storytelling menurut Anita Lie (1994: 4) mempunyai lima karakteristik penting dalam mengajar siswa, antara lain sebagai berikut.

first, that the students cultural background plays an important role in reading comprehension; second, that L2 (second language) readers should use the same sorts of skills as effective L1(first language) readers do; third, that reading should be integrated with writing; fourth, that students should be engaged in nonthreatening cooperative context; and fifth, they should have opportunity to process information effectively and communicate in the target language.”

Maksud dari pernyataan mengenai lima karakteristik yang diperhatikan guru dalam pendekatan pembelajaran menggunakan model paired storytelling

(45)

29

oleh siswa setelah kegiatan membaca dilanjutkan dengan kegiatan menulis. Keempat, siswa dalam model pembelajaran ini harus bekerjasama antara siswa satu dengan lainnya. Lima, setiap siswa yang telah bekerjasama mengolah informasi memiliki kesempatan untuk mengkomunikasikan pengalaman yang telah diperolehnya.

Dalam kegiatan pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran paired storytelling siswa dirangsang untuk mengembangkan kemampuan berpikir dan hasil pemikiran siswa akan dihargai sehingga siswa akan termotivasi untuk belajar. Siswa akan bekerja dengan sesama siswa dalam suasana gotong royong sehingga mempunyai banyak kesempatan untuk mengolah informasi dan dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam berkomunikasi.

(46)

30

dari setiap anggota kelompok. Setiap individu akan saling membantu, mereka akan mempunyai motivasi untuk keberhasilan setiap kelompok, sehingga setiap individu akan memiliki kesempatan yang sama untuk memberikan kontribusi demi keberhasilan kelompok.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan model pembelajaran paired storytelling merupakan salah satu model pembelajaran kooperatif yang dalam kegiatan pembelajaran siswa dirangsang untuk mengembangkan kemampuan berpikir dan berimajinasi. Hasil dari pemikiran siswa akan dihargai sehingga siswa menjadi lebih termotivasi untuk belajar, selain itu siswa akan bekerja dengan sesama siswa dalam suasana gotong royong dan mempunyai banyak kesempatan untuk mengolah informasi sehingga akan meningkatkan keterampilan dalam berkomunikasi.

2. Kelebihan Model Paired Storytelling

Paired storytelling atau cerita berpasangan merupakan model pembelajaran yang menekankan pada aktivitas siswa, membiasakan siswa untuk bertanggung jawab dan disiplin dalam menyelesaikan tugas kelompok, mampu bekerja sama dengan anggota kelompok, dan akan melatih dirinya sendiri untuk menjadi pembicara yang baik.

Menurut Anita Lie (1994: 4) kelebihan model pembelajaran paired storytelling adalah sebagai berikut.

(47)

31

b. Siswa yang memiliki kemampuan lebih dalam berbicara akan memotivasi siswa lain yang kurang terampil berbicara di depan kelas.

c. Meningkatkan partisipasi siswa dalam proses pembelajaran.

d. Setiap siswa memiliki kesempatan yang lebih banyak untuk berkontribusi dalam kelompoknya.

e. Interaksi dalam kelompok mudah dilakukan.

f. Pembentukan kelompok menjadi lebih cepat dan mudah.

3. Langkah-langkah Model Paired Storytelling

Penerapan suatu model pembelajaran tentu terdapat langkah-langkah dalam proses pelaksanaannya, begitu pula dengan model pembelajaran paired storytelling. Menurut Anita Lie (1994: 3-4) langkah-langkah pembelajaran dengan menggunakan model paired storytelling, sebagai berikut.

a. The teacher pair two students.

b. Before handing out the text, the teacher provides a general introduction

topic.

c. The text/ story is divided into two section.

d. As each students is reading his/her own section, he/ she is to jot down the

key concepts.

e. Then both students in the pair exchange their list.

f. By recalling the part he/she has read and using the clues that the other

student has recorded,each student then develops and writes his/her own

(48)

32

g. When they have finished, they should read their own versions to each

other.

h. The teacher distributes the missing part of the stiry to everybody in class

and asks them to read and compare it with their own stories.

i. The session should conclude with a discussion of the whole story.

j. The teacher may sometimes give a quiz at the end of the session.

Maksud dari pernyataan Anita Lie (1994: 3-4) mengenai langkah-langkah dalam pembelajaran menggunakan model paired storytelling adalah sebagai berikut.

1) Pengajar membagi bahan pelajaran yang akan diajarkan dan siswa dibentuk menjadi beberapa kelompok. Satu kelompok terdiri dari dua orang siswa.

2) Sebelum membagikan bahan pelajaran, guru menjelaskan topik yang akan dipelajari secara umum. Guru juga dapat menuliaskan topik yang akan dipelajari pada papan tulis dan bertanya kepada siswa apa yang mereka ketahui tentang topik tersebut. Ini merupakan kegiatan

(49)

33

3) Bahan pelajaran dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama diberikan kepada siswa yang pertama dan bagian kedua diberikan siswa yang kedua dalam satu kelompok.

4) Masing-masing siswa membaca materi dari bahan pelajaran yang sudah diberikan oleh guru, kemudian mencari dan mencatat kata kunci dari bahan pelajaran yang sudah dibacanya. Jumlah kata kunci dapat disesuaikan dengan panjangnya teks bacaan.

5) Siswa saling menukar daftar kata kunci dengan pasangan masing-masing. Guru memberikan waktu kepada siswa untuk mengingat kata kunci pada bahan pelajaran yang telah dibaca. Apabila terdapat kata-kata yang tidak dipahamii oleh siswa, guru atau siswa yang menuliskan kata kunci tersebut dapat menjelaskan kepada siswa lain yang belum paham arti dari kata kunci tersebut.

6) Mengingat kembali bagian dari bahan pelajaran yang telah dibaca dan kata kunci yang telah dibacakan oleh siswa lain, siswa dapat menulis dan mengembangkan ceritanya sendiri pada bagian yang hilang. Siswa yang telah membaca atau mendengarkan pada bagian pertama, mencoba menuliskan apa yang akan terjadi pada cerita selanjutnya. Sedangkan siswa yang membaca atau mendengarkan pada bagian kedua dapat menuliskan apa yang terjadi sebelumnya.

(50)

34

8) Selanjutnya, guru membacakan cerita secara lengkap dan meninta siswa untuk membandingkan dengan tulisan mereka sendiri.

9) Siswa bersama guru mendiskusikan hasil pekerjaan siswa. Tulisan hasil karangan siswa tidak harus sama persis dengan bahan pelajaran sebenarnya. Tujuan utama dari kegiatan ini adalah bukan untuk mendapatkan jawaban yang sebenarnya, melainkan untuk meningkatkan partisipasi siswa dalam kegiatan belajar dan mengajar.

10) Pada akhir kegiatan pembelajaran, guru dapat memberikan kuis dan siswa mengerjakan secara individu.

Berdasarkan pendapat Anita Lie di atas, maka dalam penelitian ini peneliti memilih langkah-langkah pembelajaran dengan menggunakan model

paired storytelling yang telah dijabarkan oleh Anita Lie dengan modifikasi.

E. Penerapan Model Pembelajaran Paired Storytelling dalam Pembelajaran Keterampilan Berbicara

(51)

35

siswa, salah satunya dengan menerapkan model pembelajaran paired storytelling.

Model paired storytelling atau cerita berpasangan merupakan model pembelajaran yang dikembangkan sebagai pendeketan interaktif antara siswa, pengajar dan bahan pelajaran. Model pembelajaran ini dapat diterapkan dalam pengajaran menyimak, berbicara, membaca, dan menulis.

Langkah-langkah pembelajaran dengan menggunakan model paired storytelling yaitu dalam persiapan siswa dipasangkan, pengajar memberikan pengenalan mengenai topik yang akan di bahas siswa. Dalam pelaksanaannya bahan pelajaran di bagi menjadi dua bagian. Guru membagi bahan pelajaran menjadi dua bagian. Bagian pertama diberikan kepada siswa yang pertama, dan bagian kedua diberikan kepada siswa yang kedua. Siswa membaca bahan pelajaran yang diterimanya, dan mencatat kata kunci dari bacaan tersebut. Setelah selesai membaca siswa saling menukar daftar kata kunci dengan pasangan masing-masing. Sambil mengingat-ingat atau memperhatikan bagian yang telah di bacakan, masing-masing siswa berusaha untuk mengembangkan cerita yang belum dibaca berdasarkan kata kunci dari pasangannya.

(52)

36

memberikan kuis pada akhir mata pelajaran yang dikerjakan siswa secara individu.

Tujuan pembelajaran dengan menggunakan model paired storytelling

bukan untuk mendapatkan jawaban yang benar dari pekerjaan siswa. Tetapi, untuk meningkatkan partisipasi siswa dalam kegiatan belajar mengajar, melatih siswa untuk bertanggung jawab dalam menyelesaikan tugas dalam kelompoknya, karena masing-masing siswa sangat berpengarug terhadap kelompok.

F. Penelitian yang Relevan

Kajian hasil penelitian yang relevan adalah untuk mengkaji beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Peningkatan Keterampilan Menyimak Cerita Melalui Teknik Paired Storytelling dengan Media Audiovisual pada Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Siswa Kelas V SD Negeri Soka 3 Miri Sragen oleh Surya Fatria Nugraheni (Universitas Muhammadiyah Surakarta). Penggunaan model

paired storytelling dengan media audiovisual dapat meningkatkan keterampilan menyimak cerita pada siswa kelas V SD Negeri Soka 3 Miri Sragen. Peningkatan keterampilan menyimak pada siklus I sebesar 4,18 yang kondisi awal 56,09 meningkat jadi 60,27 dan peningkatan keterampilan berbicara siklus II sebesar 11,05 yang kondisi awal 60,27 meningkat jadi 71,32.

(53)

37

1 Sewon oleh Venti Trilastari (Universitas Negeri Yogyakarta). Penggunaan teknik paired storytelling dapat meningkatkan prestasi belajar sejarah siswa kelas XI IPS 3 SMA Negeri 1 Sewon. Peningkatan prestasi belajar sejarah pada siklus I sebesar 25,8 yang kondisi awal 58,3 meningkat jadi 84,1 dan peningkatan prestasi belajar sejarah siklus II sebesar 3,9 yang kondisi awal 84,1 meningkat jadi 88.

G. Kerangka Pikir

Dalam keterampilan bahasa terdapat empat komponen yang harus dikuasai siswa, salah satunya adalah keterampilan berbicara. Keterampilan berbicara penting untuk berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari. Dengan berbicara siswa dapat mengungkapkan gagasan, ide, pikiran, dan pendapat kepada orang lain. Keterampilan berbicara pada siswa dapat diperoleh dan dikuasai dengan praktik dan banyak latihan. Keterampilan berbicara pada siswa Sekolah Dasar diajarkan melalui mata pelajaran bahasa Indonesia. Namun, keterampilan berbicara masih kurang diperhatikan oleh guru karena kegiatan pembelajaran lebih difokuskan pada materi ujian. Hal ini dapat dibuktikan dengan kurangnya praktik berbicara selama proses pembelajaran. Guru lebih sering menggunakan metode ceramah selama proses pembelajaran.

(54)

38

mampu melibatkan siswa secara aktif selama proses pembelajaran. Dengan begitu, guru dapat mengembangkan potensi yang dimiliki siswa secara penuh. Penguasaan keterampilan berbicara kelas VA di SD Negeri Demakijo 1 masih rendah. Gejala-gejala yang tampak misalnya, siswa mengalami kesulitan dalam menyampaikan gagasan, ide, dan pikiran kepada guru dan teman-temannya. Selain itu siswa masih malu-malu, grogi, kurang percaya diri dan kurang serius saat diminta berbicara di depan kelas. Rendahnya kemampuan siswa dalam keterampilan berbicara disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah penggunaan model pembelajaran yang kurang menarik dan membosankan.

Model pembelajaran paired storytelling merupakan bagian dari model pembelajaran kooperatif yang melibatkan siswa secara aktif selama proses pembelajaran. Dalam kegiatan pembelajaran siswa dirangsang untuk mengembangkan kemampuan berpikir dan berimajinasi. Selain itu, akan terjadi kegiatan bekerja sama antara satu siswa dengan yang lainnya dalam suasana gotong royong untuk mengolah informasi dan meningkatkan keterampilasn berkomunikasi.

(55)

39

Gambar 1. Bagan Kerangka Pikir

H. Hipotesis Tindakan

Berdasarkan kerangka pikir tersebut, peneliti mengajukan hipotesis tindakan sebagai berikut. Penggunaan model paired storytelling diharapkan dapat meningkatkan proses pembelajaran keterampilan berbicara dan nilai keterampilan berbicara pada siswa kelas VA SD Negeri Demakijo 1 Sleman, Yogyakarta.

I. Definisi Operasional

1. Keterampilan berbicara adalah kemampuan untuk mengekspresikan, menyatakan, menyampaikan pikiran, gagasan, atau isi hati kepada orang

Siswa dirangsang untuk mengembangkan kemampuan berpikir dan berimajinasi. Hasil dari pemikiran siswa dihargai sehingga siswa makin termotivasi untuk belajar. Siswa akan saling bekerja sama untuk mengolah informasi dan meningkatkan keterampilan berkomunikasi.

(56)

40

lain. Berbicara dalam bahasa Indonesia terdiri dari dua aspek, yaitu: a. aspek kebahaaaan, dan b. aspek nonkebahasaan. Pada aspek kebahasaan terdapat tiga faktor yang menunjang keefektifan berbicara, yaitu: 1) pelafalan bunyi; 2) penempatan tekanan, nada, jangka, intonasi, dan ritme; 3) penggunaan kata dan kalimat. Sedangkan pada aspek nonkebahasaan terdapat tujuh faktor penunjang keefektifan berbicara, yaitu: 1) kenyaringan suara; 2) kelancaran; 3) penguasaan topik; 4) sikap yang tenang, wajar, dan tidak kaku; 5) gerak-gerik dan mimik yang tepat, 6) penalaran; dan 7)santun berbicara.

(57)

41

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan yaitu Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Menurut Suharsimi Arikunto, dkk. (2008:3) penelitian tindakan kelas merupakan suatu pencermatan terhadap kegiatan belajar berupa sebuah tindakan, yang sengaja dimunculkan dan terjadi dalam sebuah kelas secara bersama. Selanjutnya Zainal Aqib (2009: 13) mengungkapkan bahwa penelitian tindakan kelas merupakan suatu pencermatan terhadap kegiatan yang sengaja dimunculkan, dan terjadi dalam sebuah kelas. Sejalan dengan pengertian penelitian tindakan kelas menurut Suharsimi Arikunto dan Zainal Aqib, Kemmis dan Mc Taggart (Sukardi, 2013: 3) juga mengungkapkan pengertian mengenai penelitian tindakan kelas, yaitu:

action research is, the way groups of people can organize the conditions under which they can learn from their own experiences and make their experience accessible to others”. Maksud dari pernyataan

tersebut penelitian tindakan adalah cara suatu kelompok atau seseorang dalam mengorganisasi sebuah kondisi di mana mereka dapat mempelajari pengalaman mereka dan membuat pengalaman mereka dapat diakses oleh orang lain.

Lebih lanjut, Nana Syaodih Sukmadinata (2010: 140) mengungkapkan bahwa penelitian tindakan merupakan penelitian yang dilakukan untuk mengumpulkan data tentang pelaksanaan kegiatan, keberhasilan, dan hambatan yang dihadapi, unrtuk menyusun rencana dan melakukan kegiatan-kegiatan penyempurnaan.

(58)

42

(Suwarsih Madya, 2009: 9) untuk dapat meningkatkan kualitas dalam penelitian tindakan kelas, guru dapat melakukan kolaborasi atau kerjasama dengan teman sejawat. Teman sejawat dalam penelitian tindakan kelas ini adalah mahasiswa. Peran mahasiswa dalam penelitian ini adalah sebagai observer, pengumpul data, penganalisis data dan sekaligus pelapor hasil penelitian. Suharsimi Arikunto, dkk. (2009: 17) menjelaskan bahwa dalam penelitian kolaborasi, pihak yang melakukan tindakan adalah guru itu sendiri, sedangkan yang diminta melakukan pengamatan terhadap berlangsungnya proses tindakan adalah peneliti, bukan guru yang sedang melakukan tindakan. Joni (Kasihani Kasbolah, 1999: 25) pendekatan kolaboratif diterapkan untuk menciptakan adanya hubungan kerja kesejawatan. Dalam penelitian tindakan kelas ini guru dan mahasiswa melakukan penelitan tindakan kelas secara kolaboratif dengan meneliti bersama apa yang dikerjakan dan belajar bersama dari apa yang dikerjakan. Dalam hal ini, guru bukan satu-satunya peneliti tetapi terdapat orang lain yang terlibat dan mereka merupakan suatu tim yang sama posisinya.

B. Setting Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di kelas VA saat pelajaran bahasa Indonesia di SD Negeri Demakijo 1 Sleman, Yogyakarta. Penelitian dilaksanakan pada semester II tahun ajaran 2014/2015. Lokasi SD Negeri Demakijo 1 berada di Jalan Godean, KM 5,5 Guyangan, Nogotirto, Sleman, Yogyakarta.

(59)

43

Hasil belajar siswa tersebut pada pelajaran Bahasa Indonesia keterampilan pada keterampilan berbicara memiliki rata-rata 60.

Berdasarkan data tersebut menunjukkan keterampilan berbicara siswa kelas VA SD Negeri Demakijo 1 masih rendah. Siswa cenderung malu, kurang serius, tidak percaya diri dan takut dalam mengeluarkan pendapat. Hal tersebut membuat guru merasa tidak puas dengan nilai yang diperoleh siswa. Guru mengharapkan siswa memiliki keterampilan berbicara yang lebih baik. Oleh karena itu, diperlukan model pembelajaran yang tepat untuk memotivasi keberanian siswa untuk berbicara. Berdasarkan keadaan tersebut, melalui penggunaan model paired storytelling diharapkan keterampilan berbicara siswa dapat meningkat.

Tabel 1. Profil Kelas sebelum Tindakan

Kelas Jumlah Siswa Nilai Rerata

Awal Laki-laki Perempuan

V A 18 12 60

C. Subjek Penelitian Dan Objek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas VA SD Negeri Demakijo 1 Sleman sebanyak 30 siswa yang terdiri atas 18 siswa laki-laki dan 12 siswa perempuan, peneliti 1 orang, dan guru kelas 1 orang. Sedangkan objek dalam penelitian ini yaitu keterampilan berbicara siswa kelas VA.

D. Model Penelitian

(60)

44

2013: 5) mengemukakan empat komponen penelitian tindakan dalam suatu sistem spiral yang saling terkait seperti gambar berikut.

Gambar 2. Model Penelitian Tindakan Kemmis dan Taggart

Berdasarkan gambar tahapan diatas, masing-masing siklus terdiri dari empat komponen, yaitu: 1) perencanaan (planning), 2) tindakan (acting), 3) observasi (observing), dan 4) refleksi (reflecting).

1. Perencanaan (Planning)

Merupakan rangkaian rancangan tindakan sistematis untuk meningkatkan apa yang hendak terjadi. Penelitian melakukan langkah-langkah adalah sebagai berikut.

a. Menentukan masalah di lapangan.

Pada tahap ini, peneliti melakukan pengamatan langsung di kelas VA ketika pembelajaran berlangsung dan diskusi dengan guru kelas.

(61)

45

masih bersifat fleksibel dan terbuka terhadap perubahan dalam pelaksanaan.

c. Merancang instrumen sebagai pedoman observasi dalam pelaksanaan pembelajaran menggunakan model paired storytelling untuk mengukur hasil belajar bahasa Indonesia khususnya keterampilan berbicara..

2. Tindakan (Acting)

Tindakan dalam penelitian merupakan tindakan praktik dan terencana dalam memecahkan masalah. Tindakan ini dipandu oleh perencanaan yang telah dibuat, bersifat fleksibel dan terbuka terhadap perubahan-perubahan dalam proses pelaksanaannya. Pada penelitian ini yang dijadikan tolak ukur pelaksanaan penelitian adalah model pembelajaran, yaitu berbicara dengan model paired storytelling. Kriteria yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut.

a. Siswa mencatat kata kunci/ frase kunci yang ada pada cerita dan disampaikan kepada pasangannya.

b. Siswa dapat menyiapkan diri untuk bercerita. c. Siswa dapat bercerita di depan kelas.

d. Siswa menyimak kelompok lain yang sedang bercerita. 3. Observasi (Observing)

(62)

46

proses tindakan, pengaruh tindakan yang disengaja maupun yang tidak disengaja, situasi tempat dan tindakan, dan kendala yang dihadapi.

4. Refleksi (Reflecting)

Refleksi merupakan langkah yang dilakukan peneliti untuk menilai kembali situasi dan kondisi, setelah subjek/ objek yang diteliti mendapatkan tindakan-tindakan yang dilakukan secara sistematis. Selain itu, refleksi merupakan sarana untuk melakukan pengkajian kembali tindakan yang telah dilakukan terhadap subjek penelitian, dan telah dicatat dalam observasi. Tahap refleksi merupakan analisis dari tahapan tindakan yang dapat diamati dari tahap observasi yang digunakan sebagai acuan untuk siklus selanjutnya. Apabila pada siklus 1 hasil yang diharapkan belum tercapai, maka akan dilakukan perubahan pada siklus selanjutnya sampai hasil yang ditetapkan terpenuhi. Apabila hasil yang diharapkan terpenuhi maka penelitian keterampilan berbicara siswa kelas VA SD Negeri Demakijo 1 dengan menggunakan model paired storytelling akan diberhentikan.

E. Metode Pengumpulan Data

(63)

47 1. Tes

Tes adalah salah satu bentuk pengukuran dan merupakan salah satu cara untuk mendapatkan informasi (kompetensi, pengetahuan, keterampilan) tentang siswa (Burhan Nurgiyantoro, 2010: 105). Selanjutnya, Gronlund (1985) dalam Burhan Nurgiyantoro (2010: 105) juga menjelaskan bahwa tes merupakan sebuah instrumen atau prosedur yang sistematis untuk mengukur suatu sampel tingkah laku. Sejalan dengan pengertian tes menurut Burhan Nurgiyantoro dan Gronlund, Suharsimi Arikunto (2010: 193) juga menjelaskan bahwa tes merupakan serentetan pertanyaan atau latihan serta alat lain yang digunakan untuk mengukur keterampilan, pengetahuan intelegensi, kemampuan atau bakat yang dimiliki oleh individu atau kelompok. Menurut Nana Sukmadinata (2010: 223) tes merupakan alat ukur yang digunakan dalam pendidikan untuk mengukur hasil belajar yang dicapai siswa dalam kurun waktu tertentu. Menurut Soernardi Djiwandono (1996: 1) tes merupakan alat atau rangkaian kegiatan yang digunakan untuk memberikan gambaran mengenai suatu bidang ajaran tertentu.

(64)

48 2. Observasi

Menurut Nana Sukmadinata (2010: 220) observasi atau pemngamatan merupakan cara pengumpulan data dengan jalan melakukan pengamatan terhadap kegiatan yang sedang berlangsung. Selanjutnya Sutrisno Dadi (Sugiyono, 2012: 203) menjelaskan bahwa observasi merupakan proses yang kompleks, suatu proses yang tersusun dari berbagai proses bioloogis dan psikologis, yaitu pengamatan dan ingatan. Teknik pengumpulan data dengan observasi dapat mengetahui gejala yang terjadi selama tahap tindakan dan dapat digunakan untuk memperbaiki pembelajaran pada siklus berikutnya. Supaya observasi dapat berjalan secara efektif, maka harus disertai dengan format observasi.

Format observasi dalam penelitian ini ditujukan kepada guru dan siswa. Format observasi untuk guru digunakan untuk mengetahui proses pembelajaran keterampilan berbicara dengan menggunakan model paired storytelling yang dilakukan oleh guru. Sedangkan format observasi untuk siswa digunakan untuk mengetahui keterampilan berbicara siswa setelah guru menerapkan model paired storytelling.

3. Dokumentasi

(65)

49

dokumentasi berupa foto dari siklus satu ke siklus berikutnya dapat digunakan untuk melengkapi hasil observasi.

F. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah suatu alat yang digunakan mengukur fenomena alam maupun sosial yang diamati (Sugiyono, 2012: 148). Instrumen yang akan digunakan dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana peran model paired storytelling untuk meningkatkan keterampilan berbicara. alat yang digunakan sebagai pengumpul data adalah tes, observasi, dan dokumentasi.

1. Tes

Gambar

Gambar 1. Bagan Kerangka Pikir
Tabel 1. Profil Kelas sebelum Tindakan
Gambar 2. Model Penelitian Tindakan Kemmis dan Taggart
Tabel 3. Kisi-kisi Pedoman Penilaian Keterampilan Berbicara
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada Jatar belakang masalah, dapat diidentifikasi masalah sebagai berikut : Hasil belajar PPKn masih rendah, Metode

Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan keterampilan berbicara siswa melalui penerapan Metode Storytelling (Bercerita) dengan menggunakan boneka tangan pada

Oleh karena itu, sangat penting bagi tiap individu untuk memiliki keterampilan berbicara yang baik sehingga proses penyampaian pendapat dapat diterima oleh orang

Masalah penelitian ini adalah hasil belajar keterampilan berbicara siswa yang masih rendah dan guru belum menerapkan model role playing dalam kegiatan pembelajaran bahasa

Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang masih sangat luas, maka masalah yang akan dikaji lebih lanjut dalam penelitian ini adalah upaya meningkatkan keterampilan

Dari paparan latar belakang masalah tersebut dapat diidentifikasi masalah sebagai berikut. Interaksi edukatif yang terbangun antara guru dengan siswa berjalan kurang

Berdasarkan paparan pada latar belakang masalah, kemudian diidentifikasi berbagai masalah yang muncul, yaitu keterampilan menulis siswa SMP di Surakarta masih di bawah

Hasil penelitian menunjukkan ada perbedaan yang signifikan motivasi belajar dan keterampilan berbicara antara peserta didik kelas V SD Negeri 1 Tamansari