• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PERSAMAAN LAPLACE DIMENSI DUA DENGAN SYARAT BATAS DIRICHLET DAN ROBIN.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "TINJAUAN PERSAMAAN LAPLACE DIMENSI DUA DENGAN SYARAT BATAS DIRICHLET DAN ROBIN."

Copied!
151
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PERSAMAAN LAPLACE DIMENSI DUA DENGAN SYARAT BATAS DIRICHLET DAN ROBIN

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Yogyakarta

untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Sains

Oleh: Rini Widya Astuti

12305144042

PROGRAM STUDI MATEMATIKA JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

v MOTTO

Mahasuci Allah yang menguasai (segala) kerajaan, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. (QS. Al Mulk:1)

Allah tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. (QS. Al Baqarah:286)

(6)

HALAMAN PERSEMBAHAN

Karya yang sederhana ini dipersembahkan untuk

Kedua orang tua, Bapak Eriyono dan Ibu Sriati Ambarwati yang telah banyak berkorban demi kebahagiaanku.

Saudara terbaikku, Kak Handoko, Mbak Fetty , dan juga adik mungilku kesha yang selalu memberikan perhatian, maupun pengertiannya.

Bulek Widati dan Om Pur yang sudah aku anggap seperti orang tua kedua. Terimakasih atas kasih sayang dan bantuan yang kalian berikan.

Sahabatku, Mohammad Ahzaul Umam yang selalu ada disaat-saat terbaik maupun terburuk. Terimakasih atas kasih sayang sederhana dan kesabaranmu menghadapiku. Sahabat sekamar, Septiana Dwi Hapsari. Terimakasih telah menjadi ojek tangguhku. Sahabat Edelweizem, Ninik, Tika, kunita, Mbak Pipit, Mbak Evi, Mbak Nur, Jupe,

dan Nurhayati yang telah menjadi keluarga di perantauan. Terimakasih atas segalanya.

Sahabat ingkung, Anita, Ratih, Mada, Isas, Zen, dan Lela. Terimakasih atas semangat, perhatian, dan pengalaman yang kalian berikan.

Teman seperbimbingan, Ahmadi dan Agus Supratama. Terimakasih atas bantuan dan semangatnya.

(7)

vii

TINJAUAN PERSAMAAN LAPLACE DIMENSI DUA DENGAN SYARAT BATAS DIRICHLET DAN ROBIN

Oleh Rini Widya Astuti NIM. 12305144042

ABSTRAK

Tugas akhir ini bertujuan untuk mengetahui pemodelan persamaan Laplace dimensi dua dan membahas tentang penyelesaian persamaan Laplace dimensi dua pada koordinat kartesius dan koordinat polar. Syarat batas yang digunakan yaitu syarat batas Dirichlet dan syarat batas Robin.

Tahapan yang dilakukan dalam memodelkan persamaan Laplace dimensi dua yaitu mengambil sebuah bidang berbentuk persegi panjang dengan panjang dan lebar . Kemudian dihubungkan dengan sumber potensial ( ). Bidang tersebut dipartisi menjadi subpartisi yang sangat kecil. Berdasarkan hukum fisika yang menjelaskan hubungan laju aliran potensial (fluks) terhadap perbedaan potensial, maka diperoleh persamaan gradien potensial untuk bidang subpartisi tersebut. Dengan melibatkan penjumlahan fluks pada subpartisi, diperoleh model persamaan Laplace dimensi dua + = 0 dengan dan menggambarkan domain posisi yang terletak diantara 0 sampai dan diantara 0 sampai . Dalam hal ini menunjukkan potensial pada posisi dan .

Setelah diperoleh model persamaan Laplace dimensi dua, berikutnya akan dibahas penyelesaian persamaan Laplace dimensi dua pada koordinat kartesius dan koordinat polar. Menentukan penyelesaian permasalahan syarat batas Dirichlet dan syarat batas Robin pada bidang persegi panjang. Kemudian akan dilakukan simulasi distribusi suhu untuk kedua permasalahan tersebut dengan mengambil tinjauan lempengan logam berbentuk persegi panjang. Selanjutnya menentukan penyelesaian permasalahan syarat batas Dirichlet pada suatu daerah dalam cakram. Pada kasus ini simulasi distribusi suhu dilakukan dengan mengambil tinjauan lempengan logam berbentuk lingkaran. Simulasi distribusi suhu berupa simulasi untuk grafik dua dimensi maupun tiga dimensi. Dalam mencari penyelesaian masalah syarat batas tersebut digunakan metode separasi variabel.

(8)
(9)
(10)

DAFTAR ISI

TUDUL ... i

PERSETUTUAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERNYATAAN ... iv

MOTTO ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Batasan Masalah... 4

C. Rumusan Masalah ... 5

D. Tujuan Penulisan ... 5

E. Manfaat Penulisan ... 6

BAB II KATIAN TEORI ... 7

A. Limit ... 7

B. Turunan……….. .. ... 9

C. Turunan Fungsi Trigonometri dan Hiperbolik ... .. 11

D. Aturan Rantai pada Turunan ... 13

E. Turunan Parsial ... 18

F. Persamaan Diferensial ... 20

G. Masalah Nilai Awal dan Syarat Batas ... 27

(11)

xi

I. Persamaan Karakteristik ... 31

J. Deret Fourier ... 33

K. Metode Separasi Variabel ... 45

L. Keadaan Steady-State ... 53

BAB III PEMBAHASAN ... 55

A. Pemodelan Persamaan Laplace ... 55

B. Penyelesaian Masalah Syarat Batas Persamaan Laplace pada Koordinat Kartesius dan Polar ... 63

1. Permasalahan Syarat Batas Dirichlet pada Bidang Persegi Panjang ... ... 63

2. Permasalahan Syarat Batas Robin pada Bidang Persegi Panjang ... 85

3. Permasalahan Syarat Batas Dirichlet pada Daerah dalam Cakram ... 97

C. Tinjauan Hasil Simulasi ... 117

BAB IV PENUTUP ... 122

A. Kesimpulan ... 122

B. Saran ... 123

DAFTAR PUSTAKA ... 124

(12)

DAFTAR TABEL

(13)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2. 1 Ilustrasi Konsep Turunan ... 9

Gambar 3. 1 Bidang Persegi Panjang dengan Sumber Potensial ... 56

Gambar 3. 2 Aliran Fluks ( ) pada Bidang Partisi ... 58

Gambar 3. 3 Syarat Batas Dirichlet pada Bidang Persegi Panjang ... 63

Gambar 3. 4 Distribusi Suhu pada Persamaan (3.45) ... 72

Gambar 3. 5 Grafik 2D Distribusi Suhu pada Persamaan (3.45) ... 73

Gambar 3. 6 Distribusi Suhu pada Persamaan (3.45a)... 77

Gambar 3. 7 Grafik 2D Distribusi Suhu pada Persamaan (3.45a) ... 78

Gambar 3. 8 Distribusi Suhu pada Persamaan (3.45b) ... 82

Gambar 3. 9 Grafik 2D Distribusi Suhu pada Persamaan (3.45b) ... 83

Gambar 3.10 Syarat Batas Robin pada Bidang Persegi Panjang ... 85

Gambar 3.11 Distribusi Suhu pada Persamaan (3.77) ... 95

Gambar 3.12 Grafik 2D Distribusi Suhu pada Persamaan (3.77) ... 96

Gambar 3.13 Syarat Batas Dirichlet pada Daerah dalam Cakram ... 102

Gambar 3.14 Distribusi Suhu pada Persamaan (3.125) ... 112

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 M-Scdipt untuk distribusi suhu Persamaan (3.45) pada Gambar (3.4).

Lampiran 2 M-Scdipt untuk distribusi suhu Persamaan (3.45) pada Gambar (3.5).

Lampiran 3 M-Scdipt untuk distribusi suhu Persamaan (3.45a) pada Gambar (3.6).

Lampiran 4 M-Scdipt untuk distribusi suhu Persamaan (3.45a) pada Gambar (3.7).

Lampiran 5 M-Scdipt untuk distribusi suhu Persamaan (3.45b) pada Gambar (3.8).

Lampiran 6 M-Scdipt untuk distribusi suhu Persamaan (3.45b) pada Gambar (3.9).

Lampiran 7 M-Scdipt untuk distribusi suhu Persamaan (3.77) pada Gambar (3.11).

Lampiran 8 M-Scdipt untuk distribusi suhu Persamaan (3.77) pada Gambar (3.12).

Lampiran 9 M-Scdipt untuk distribusi suhu Persamaan (3.125) pada Gambar (3.14).

(15)

1 BABBIB PENDAHULUANB

B

A. LatarBBelakangBMasalahB

Matematika merupakan salah satu ilmu pengetahuan yang sering menjadi pedoman untuk menyelesaikan permasalahan sehari-hari dan juga untuk menunjang perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebagai sarana berfikir dalam memecahkan masalah secara logis, sistematis, obyektif, kritis, dan juga rasional, matematika dapat diterapkan dalam berbagai disiplin ilmu. Permasalahan-permasalahan dalam disiplin ilmu sains maupun teknik telah banyak ditransformasi ke dalam persamaan matematika melalui proses pemodelan matematika. Melalui pemodelan matematika permasalahan yang ada menjadi lebih sederhana dan lebih mudah dicari penyelesaiannya. Salah satu model matematika yang banyak digunakan adalah persamaan diferensial.

(16)

2

Salah satu persamaan diferensial parsial yang merupakan contoh klasik dari persamaan elliptik yaitu persamaan Laplace. Persamaan Laplace merupakan persamaan dasar dari teori potensial dan memegang peranan penting pada ilmu fisika maupun teknik. Persamaan ini dapat digunakan untuk mendeskripsikan perilaku potensial listrik, potensial gravitasi, potensial fluida, maupun suatu aliran suhu yang tidak bergantung pada waktu (Arfken, 1985). Tidak ada nilai awal yang menyertai persamaan Laplace, karena persamaan tersebut tidak bergantung pada waktu atau steady state (Duffy, 2003). Berbeda dengan persamaaan diferensial parsial yang berhubungan dengan waktu seperti persamaan panas dan persamaan gelombang. Meskipun demikian, persamaan ini diikuti dengan syarat batas tertentu.

Penyelesaian masalah persamaan diferensial parsial pada tugas akhir ini menggunakan metode separasi variabel. Pemilihan metode tersebut dikarenakan persamaan Laplace merupakan persamaan yang separabel pada koordinat kartesius, polar, maupun silinder (Greenberg, 1998). Ide dasar metode separasi variabel yaitu transformasi suatu persamaan diferensial parsial kedalam persamaan diferensial biasa, setelah diperoleh persamaan diferensial biasa kemudian diselesaikan sehingga diperoleh penyelesaian dari persamaan diferensial parsial. Dalam penyelesaian persamaan diferensial parsial akan diperoleh penyelesaian secara umum. Untuk memperoleh penyelesaian secara khusus, diperlukan adanya nilai awal dan syarat batas.

(17)

3

Penerapan Persamaan Laplace dalam Menyelesaikan Masalah iilai Batas pada

Koordinat Polar. Penelitian tersebut membahas tentang penerapan fungsi

harmonik digunakan untuk menyelesaikan permasalahan nilai batas Dirichlet pada koordinat polar dalam domain yang berbeda, dimana fungsi harmonik merupakan penyelesaian dari persamaan Laplace. Namun, pada penelitian tersebut lebih menekankan pada perhitungan penyelesaian persamaan Laplace dalam koordinat polar dalam beberapa domain secara matematis.

Salah satu topik pada tugas akhir ini sudah pernah dibahas dalam buku yang berjudul “Boundary Value Problems and Partial Differential Equations” oleh Mayer Humi, namun pada buku tersebut lebih menekankan perhitungan secara matematis. Hal yang serupa juga terlihat dalam buku yang berjudul “Advanced Engineering Mathematics (Second Edition)” oleh Greenberg. Oleh karena itu, tugas akhir ini membahas persamaan Laplace dimensi dua yang lebih menekankan tentang implementasi secara riil dengan syarat batas yang berbeda. Implementasi secara riil yang dimaksud yaitu aplikasi persamaan Laplace pada proses perambatan panas.

(18)

4

berubah terhadap perubahan waktu secara langsung. Perubahan panas hanya terjadi karena adanya sumber panas yang diletakkan pada batas lempengan logam dan perubahannya hanya tergantung kepada posisi. Sehingga berdasarkan kondisi diatas, permasalahan ini bisa dikaji dengan menggunakan persamaan Laplace.

Kajian yang dimaksud pada penelitian ini meliputi pemodelan persamaan Laplace serta penentuan penyelesaian untuk permasalahan syarat batas dengan metode separasi variabel. Syarat batas yang digunakan yaitu syarat batas Dirichlet dan syarat batas Robin. Simulasi proses perambatan panas dilakukan pada lempengan logam dua dimensi, sehingga akan melibatkan persamaan Laplace yang berdimensi dua pula. Terdapat dua sistem koordinat yang bersesuaian dengan persamaan diferensial yang berdimensi dua yaitu sistem koordinat kartesius dan koordinat polar. Dalam hal ini bidang dua dimensi berbentuk persegi panjang untuk sistem koordinat kartesius dan berupa cakram untuk sistem koordinat polar.

B. BatasanBMasalahB

Beberapa pembatasan ruang lingkup permasalahan yang perlu diperhatikan dalam tugas akhir ini yaitu sebagai berikut.

1. Persamaan Laplace dimensi dua dengan syarat batas Dirichlet dan Robin. 2. Penyelesaian persamaan Laplace dimensi dua menggunakan metode separasi

(19)

5 C. RumusanBMasalahB

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, sehingga dapat diperoleh rumusan masalah sebagai berikut.

1. Bagaimana model persamaan Laplace dimensi dua?.B

2. Bagaimana penyelesaian persamaan Laplace dimensi dua dengan syarat batas Dirichlet pada bidang persegi panjang?B

3. Bagaimana penyelesaian persamaan Laplace dimensi dua dengan syarat batas Robin pada bidang persegi panjang?B

4. Bagaimana penyelesaian persamaan Laplace dimensi dua dengan syarat batas Dirichlet pada daerah dalam cakram?B

B

D. TujuanBPenulisanB

Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penulisan tugas akhir ini adalah sebagai berikut.

1. Menjelaskan model persamaan Laplace dimensi dua.

2. Menjelaskan penyelesaian persamaan Laplace dimensi dua dengan syarat batas Dirichlet pada bidang persegi panjang.B

3. Menjelaskan penyelesaian persamaan Laplace dimensi dua dengan syarat batas Robin pada bidang persegi panjang.B

4. Menjelaskan penyelesaian persamaan Laplace dimensi dua dengan syarat batas Dirichlet pada daerah dalam cakram.B

(20)

6 E. ManfaatBPenulisanB

Manfaat dari penulisan tugas akhir ini adalah sebagai berikut

1. Bagi Mahasiswa, menambah pengetahuan tentang model persamaan Laplace dimensi dua, mampu menyelesaikan persamaan Laplace dimensi dua sehingga dapat diperoleh penyelesaian dari persamaan Laplace dimensi dua dengan syarat batas Dirichlet maupun syarat batas Robin.

2. Bagi Universitas, mampu memberikan tulisan yang berkualitas tentang persamaan Laplace dimensi dua dan beberapa kasus persamaan Laplace dimensi dua.

(21)

BAB II

KAJIAN TEORI

Pada bab ini akan dibahas beberapa hal yang digunakan sebagai landasan

pada penulisan bab III. Materi yang diuraikan berisi tentang definisi, teorema, dan

beberapa kajian matematika, antara lain tentang Limit, Turunan, Turunan Fungsi

Trigonometri dan Fungsi Hiperbolik, Aturan Rantai pada Turunan, Turunan

Parsial, Persamaan Diferensial, Persamaan Diferensial Biasa, Persamaan

Diferensial Parsial, Masalah Nilai Awal dan Syarat Batas, Masalah

Sturm-Liouville dan Fungsi Eigen, Deret Fourier, Metode Separasi Variabel, dan

Keadaan Steady State.

A. Limit

Pemikiran tentang limit yang menyatakan bahwa berarti

bahwa selisih antara dan dapat dibuat sekecil mungkin dengan

mensyaratkan bahwa cukup dekat, tetapi tidak sama dengan (Purcell, 2010).

Definisi 2.1 Limit (Dale Varberg & Edwin J Purcell, 2010)

Diberikan yang artinya untuk setiap yang nilainya sangat

kecil, terdapat sedemikian sehingga dengan syarat

atau dengan kata lain

(22)

Contoh 2.2 Akan dibuktikan bahwa

Analisis Pendahuluan:

Akan ditentukan nilai dari , sebagai berikut

sehingga

Berdasarkan Persamaan (2.1) diperoleh nilai dari

Bukti baku:

Andaikan nilai dari , dan dipilih nilai dari , sehingga didapatkan

(23)

B. Turunan

Konsep dasar dari turunan adalah perubahan suatu fungsi dalam sesaat.

Gambar (2.1) berikut diilustrasikan tentang konsep dari turunan. Misalkan

terdapat , dan dimana , serta .

Gambar (2.1) Ilustrasi Konsep Turunan

Berdasarkan Gambar (2.1) diperoleh

Apabila nilai diperkecil mendekati nol, sehingga Persamaan (2.2) menjadi

(24)

Jika nilai limit ini ada, maka nilai limit tersebut disebut dengan turunan

(perubahan nilai suatu fungsi sesaat) dari di .

Definisi 2.3 Turunan (Dale Varberg & Edwin J Purcell, 2010)

Turunan pertama fungsi dinotasikan dengan yang nilainya pada

sebarang adalah

dengan syarat nilai limit dari f(x) ada.

Notasi dari turunan disimbolkan dengan notasi Leibniz

atau notasi

prima atau bisa dinotasikan sebagai atau

.

Sebagai ilustrasi dari definisi turunan tersebut, perhatikan contoh berikut

ini.

Contoh 2.4 Akan ditentukan turunan pertama dari .

Menurut Definisi (2.3), sehingga

(25)

C. Turunan Fungsi Trigonometri dan Hiperbolik

Adapun aturan-aturan atau teorema pencarian turunan fungsi trigonometri

adalah sebagai berikut.

Teorema 2.5 Turunan Fungsi Sin (Dale Varberg & Edwin J Purcell, 2010)

Jika , maka .

Bukti:

Berdasarkan Definisi (2.3), sehingga

Terbukti.

Teorema 2.6 Turunan Fungsi Cos (Dale Varberg & Edwin J Purcell, 2010)

Jika , maka .

Bukti:

Berdasarkan Definisi (2.3), sehingga

(26)

Terbukti.

Aturan-aturan atau teorema pencarian turunan fungsi hiperbolik adalah

sebagai berikut.

Bentuk lain dari , sementara .

Teorema 2.7 Turunan Fungsi Sinh (Dale Varberg & Edwin J Purcell, 2010)

Jika , maka .

Bukti:

Karena bentuk lain dari adalah , sehingga

(27)

Terbukti.

Teorema 2.8 Turunan Fungsi Cosh (Dale Varberg & Edwin J Purcell, 2010)

Jika , maka

Bukti:

Karena bentuk lain dari adalah , sehingga

Terbukti.

D. Aturan Rantai pada Turunan

Sebelum membahas teorema aturan rantai pada turunan, perlu diketahui

sifat dasar dari suatu turunan. Dalam hal ini akan ditunjukkan hubungan antara

keberadaan turunan suatu fungsi pada titik terhadap kekontinuan suatu fungsi

tersebut pada titik .

Teorema 2.9 Kekontinuan Fungsi (Bartle, 2000)

(28)

Bukti:

Diberikan interval , dan berlaku . Akan dibuktikan bahwa

kontinu pada dengan menunjukkan bahwa mendekati ketika

. Untuk setiap , sedangkan , sedemikian sehingga

Karena ada, maka nilai limitnya ada. Sehingga diperoleh

Karena selisih mendekati 0 ketika , dapat disumpulkan bahwa

. Sehingga kontinu pada .

Terbukti.

Pernyataan-pernyataan berikut merupakan ringkasan dari hubungan antara

kekontinuan dan turunan.

(i) Jika suatu fungsi memiliki turunan pada , maka fungsi tersebut

(29)

(ii) Ada kemungkinan suatu fungsi kontinu pada , tetapi tidak

memiliki turunan pada . Sehingga, kekontinuan tidak menjamin

adanya turunan.

Sebagai ilustrasi dari teorema kekontinuan tersebut, perhatikan contoh berikut ini.

Contoh 2.10 Diberikan fungsi

1. untuk

Merupakan fungsi yang memiliki turunan pada , sehingga fungsi

tersebut kontinu pada . Karena jika diambil diperoleh

.

2. untuk .

Merupakan fungsi yang kontinu, tetapi tidak punya turunan pada .

Karena untuk diperoleh,

untuk dan

untuk . Namun untuk nilai limitnya tidak

terdefinisi. Sehingga fungsi tersebut tidak punya turunan pada .

Aturan rantai dapat digunakan untuk mempermudah penurunan suatu

fungsi komposit. Fungsi komposit merupakan suatu fungsi yang variabel

(30)

Teorema 2.11 Aturan Rantai pada Turunan (Dale Varberg & Edwin J

Purcell, 2010)

Misalkan dan . Jika g terdiferensiasikan di dan

terdiferensiasikan di , maka fungsi komposit , yang didefinisikan

oleh adalah terdiferensiasikan di dan

yakni

atau

Bukti:

Misalkan bahwa dan , bahwa terdiferensiasikan di dan

bahwa terdiferensiasikan di Ketika diberikan pertambahan ,

terdapat pertambahan yang berkorespondensi dalam dan yang diberikan oleh

Jadi,

(31)

Berdasarkan Teorema (2.9) yang menyatakan bahwa jika punya turunan di ,

maka kontinu di , sehingga . Hal tersebut mengakibatkan ,

mengingat merupakan fungsi atas . Oleh karena itu,

Terbukti.

Pada penulisan bab III, aturan rantai digunakan dalam proses pengubahan

persamaan Laplace dari koordinat kartesius ke dalam koordinat polar. Sebagai

ilustrasi dari teorema mengenai aturan rantai pada turunan tersebut, perhatikan

contoh berikut ini.

Contoh 2.12 Diberikan fungsi

.

Akan ditentukan turunan pertama dari fungsi sebagai berikut.

Fungsi dapat dinyatakan sebagai dengan dan

. Karena dan

sehingga

(32)

Apabila menggunakan notasi Leibnitz, maka turunan dapat ditentukan sebagai

berikut.

Jika dimisalkan , dengan , maka

dan . Sehingga

E. Turunan Parsial

Turunan parsial merupakan turunan dari sebuah fungsi dari beberapa

variabel terhadap salah satu variabel bebasnya, dengan menganggap semua

variabel bebas yang lainnya konstan (Spiegel, 1992).

Definisi 2.13 Turunan Parsial (Spiegel, 1992)

Misalkan suatu fungsi merupakan fungsi dari dua variabel dan , turunan

parsial dari terhadap dan berturut-turut dinyatakan oleh

dan , dengan definisi: serta

(33)

Andaikan bahwa adalah suatu fungsi dua variabel dan , dengan

menganggap konstan, maka adalah fungsi satu variabel .

Turunan fungsi di disebut turunan parsial terhadap di dan

dinyatakan oleh . Jadi

Dengan cara yang sama, turunan parsial terhadap di dinyatakan

dengan dan diberikan oleh

Sebagai ilustrasi dari definisi turunan parsial tersebut, perhatikan contoh berikut

ini.

Contoh 2.14 Akan ditentukan

dan

dari fungsi

Menurut Definisi (2.13) sehingga diperoleh

(34)

dan

F. Persamaan Diferensial

Dalam bagian ini akan dijelaskan tentang persamaan diferensial.

Definisi 2.15 Persamaan Diferensial (Ross, 1984)

Persamaan diferensial adalah persamaan yang memuat turunan dari satu atau

(35)

Berdasarkan banyaknya variabel bebas, persamaan diferensial dapat

diklasifikasikan menjadi dua yaitu persamaan diferensial biasa dan persamaan

diferensial parsial. Berikut diberikan definisi persamaan diferensial biasa dan

persamaan diferensial parsial.

Definisi 2.16 Persamaan Diferensial Biasa (Ross, 1984)

Persamaan diferensial biasa adalah persamaan diferensial yang memuat turunan

dari satu atau lebih variabel tak bebas terhadap satu variabel bebas.

Definisi 2.17 Persamaan Diferensial Parsial (Ross, 1984)

Persamaan diferensial parsial adalah persamaan diferensial yang memuat

turunan dari satu atau lebih variabel tak bebas terhadap lebih dari satu variabel

bebas.

Persamaan diferensial biasa (PDB) dinotasikan dengan notasi Leibniz

atau notasi prima , atau bisa juga

dinotasikan dengan . Persamaan diferensial parsial (PDP)

dinotasikan dengan

untuk turunan pertama fungsi atas variabel tak bebas

terhadap variabel bebas . Untuk turunan parsial kedua, ketiga dan seterusnya

sampai turunan ke berturut-turut dinotasikan sebagai

.

Persamaan diferensial parsial juga bisa dinotasikan dengan untuk

turunan kedua fungsi atas variabel tak bebas terhadap variabel bebas .

(36)

Definisi 2.18 Order Persamaan Diferensial (Ross, 1984)

Order persamaan diferensial adalah order tertinggi dari semua turunan yang

terdapat pada persamaan diferensial tersebut.

Definisi 2.19 Derajat Persamaan Diferensial (Ross, 1984)

Derajat persamaan diferensial adalah pangkat tertinggi dari order tertinggi dari

semua turunan pada persamaan diferensial.

Sebagai ilustrasi dari definisi order dan derajat persamaan diferensial parsial

tersebut, perhatikan contoh berikut ini.

Contoh 2.20 Berikut ini contoh persamaan diferensial

(1)

, merupakan persamaan diferensial biasa berorder 2 dan

berderajat 1.

(2)

, merupakan persamaan diferensial parsial

berorder 2 dan berderajat 2.

Berdasarkan hubungan antara variabel tak bebas dan turunan-turunannya,

persamaan diferensial order dibagi menjadi dua yaitu persamaan diferensial

linear dan persamaan diferensial non linear.

Definisi 2.21 Persamaan Diferensial Linear (Ross, 1984)

Persamaan diferensial linear order dengan variabel bebas dan variabel tak

(37)

dengan .

Persamaan diferensial dikatakan muncul dalam bentuk linear jika memenuhi

syarat-syarat berikut ini:

(i) derajat dari variabel tak bebas dan turunan-turunannya adalah satu

(ii) tidak ada perkalian antara variabel tak bebas dengan turunan-turunannya

dan perkalian antara turunan dengan turunannya

(iii) tidak ada fungsi transenden dari variabel-variabel tak bebas.

Persamaan diferensial yang tidak memenuhi syarat-syarat tersebut disebut

persamaan diferensial non linear.

Diberikan persamaan diferensial parsial linear order dengan satu

variabel tak bebas dan dua variabel bebas dan yang terdefinisi pada domain

didefinisikan sebagai berikut:

dengan , dan fungsi dan konstanta yang

diberikan dalam variabel dan .

Definisi 2.22 Persamaan Diferensial Homogen (Humi, 1992)

(38)

Contoh 2.23 Berikut ini contoh-contoh persamaan diferensial

(1)

(2)

(3)

(4)

Contoh 2.23 (1) merupakan persamaan diferensial biasa, berorder enam,

berderajat satu, linear, dan homogen.

Contoh 2.23 (2) merupakan persamaan diferensial biasa, berorder tiga, berderajat

dua, non linear, dan non homogen

Contoh 2.23 (3) merupakan persamaan diferensial parsial, berorder tiga,

berderajat satu, linear, dan homogen,

Contoh 2.23 (4) merupakan persamaan diferensial biasa, berorder dua dan

berderajat satu, non linear, dan homogen,

Selanjutnya akan diberikan teorema mengenai prinsip superposisi yang

berlaku untuk persamaan diferensial homogen berorder .

Teorema 2.24 Prinsip Superposisi (Dennis G Zill, 2005)

Jika adalah penyelesaian dari persamaan diferensial homogen

berorde dari Persamaan (2.3) pada interval I, maka kombinasi linearnya

(39)

dengan untuk adalah konstanta, juga penyelesaian dalam

interval I.

Bukti:

Misalkan didefinisikan sebagai operator diferensial dan

adalah penyelesaian dari persamaan diferensial

homogen, sehingga Jika didefinisikan

, maka linearitas dari adalah

karena nilai dari maka

Terbukti.

Persamaan diferensial parsial linear order dua dengan variabel tak bebas

dan variabel bebas dan , yang terdefinisi pada domain mempunyai bentuk

umum sebagai berikut

(40)

Definisi 2.25 Klasifikasi Persamaan Diferensial Parsial (Humi, 1992)

Persamaan diferensial (2.4) disebut

(i) elliptik jika untuk semua

(ii) parabolik jika untuk semua

(iii) hiperbolik jika untuk semua

Sebagai ilustrasi dari definisi klasifikasi persamaan diferensial parsial linear order

dua tersebut, perhatikan contoh berikut ini.

Contoh 2.26 Persamaan diferensial

(1) Laplace

merupakan persamaan diferensial elliptik,

karena

(2) Panas

merupakan persamaan diferensial parabolik, karena

(3) Gelombang

merupakan persamaan diferensial

hiperbolik, karena

(41)

G. Masalah Nilai Awal dan Syarat Batas

Pada bagian ini akan dibahas mengenai pengertian Nilai Awal, Syarat

Batas serta Masalah Nilai Awal dan Syarat Batas yang menyertai suatu persamaan

diferensial parsial. Mengingat apabila persamaan diferensial diselesaikan, maka

akan diperoleh suatu penyelesaian umum. Namun untuk memperoleh

penyelesaian khusus diperlukan adanya nilai awal dan syarat batas.

Menurut (Humi, 1992) yang dimaksud dengan nilai awal adalah kondisi

yang harus dipenuhi pada awal waktu tertentu . Dalam hal ini persamaan

Laplace merupakan persamaan yang tidak disertai dengan nilai awal, karena

persamaan Laplace tidak bergantung pada waktu. Sebagai contoh dari pengertian

nilai awal tersebut, diberikan suatu persamaan panas dengan nilai awal

. Nilai awal menyatakan bahwa suhu pada posisi

saat waktu adalah

Syarat Batas adalah suatu syarat atau kondisi yang harus dipenuhi pada

batas-batas domain terkait dengan ruang (Humi, 1992). Sebagai ilustrasi,

diberikan suatu persamaan panas dengan syarat batas dan .

Syarat batas menunjukkan bahwa suhu pada posisi saat waktu

dipertahankan sebesar nol derajat, sedangkan

menunjukkan bahwa

perubahan suhu terhadap posisi saat waktu dipertahankan nol derajat.

Selanjutnya akan diuraikan mengenai jenis-jenis syarat batas untuk

persamaan diferensial parsial order dua. Diberikan domain dengan dan

(42)

dan

dengan

sebarang konstanta. Dalam (Humi, 1992) syarat batas dikatakan

(i) Dirichlet jika syarat batasnya memberikan nilai dari sebarang fungsi

pada atau dapat ditulis dan

dengan dan fungsi dalam variabel .

(ii) Neumann jika syarat batasnya memberikan nilai turunan terhadap

pada atau dapat ditulis

dan

dengan dan fungsi dalam variabel .

(iii) Robin jika syarat batasnya memberikan relasi linear antara dengan

pada atau dapat ditulis

dan

dengan sebarang konstanta serta dan fungsi dalam variabel .

Sebagai ilustrasi mengenai jenis-jenis syarat batas tersebut, perhatikan

contoh berikut ini.

Contoh 2.27 Diberikan persamaan diferensial

.

Syarat batas

(1) merupakan Syarat Batas Dirichlet.

(2)

merupakan Syarat Batas Neumann.

(3)

(43)

Selanjutnya akan diuraikan mengenai Masalah Nilai Awal dan Syarat

Batas atau disingkat MNASB. Masalah yang bersesuaian dengan persamaan

diferensial parsial akan rumit jika jumlah penyelesaian independen untuk

persamaan tersebut adalah tak terbatas (Humi, 1992). Sehingga formulasi lengkap

dari sistem fisik dalam hal persamaan diferensial parsial membutuhkan perhatian

tidak hanya untuk persamaan yang mengatur sistem tetapi juga untuk perumusan

yang benar dari kondisi batas maupun kondisi awal. Masalah nilai awal dan syarat

batas adalah masalah yang terdiri dari suatu persamaan diferensial yang

dilengkapi dengan nilai awal dan syarat batas. Kemudian jika masalah nilai awal

dan syarat batas tersebut diselesaikan maka akan diperoleh penyelesaian khusus.

Sebagai ilustrasi mengenai pengertian masalah nilai awal dan syarat batas

tersebut, perhatikan contoh berikut ini.

Contoh 2.28 Diberikan sebuah senar dengan panjang yang diikat pada kedua

ujungnya. Kemudian senar tersebut dipetik. Pergerakan senar pertama kali (saat

) mempunyai fungsi posisi untuk , sehingga diperoleh nilai

awal . Setelah dipetik, pergerakan di kedua ujung senar yang

terikat pada dan dipertahankan nol untuk . Sehingga diperoleh

syarat batas dan

Jadi diperoleh Masalah Nilai Awal dan Syarat Batas sebagai berikut

(44)

dan syarat batas

H. Masalah Sturm-Liouville dan Fungsi Eigen

Definisi 2.29 Masalah Sturm-Liouville (Dean G. Duffy, 2003)

Diberikan persamaan diferensial linear berorde 2 berikut ini

dengan syarat batas

Dalam hal ini nilai dari dan merupakan fungsi bilangan real

atas sedangkan adalah suatu parameter. Nilai dari merupakan

suatu konstanta real, sedangkan nilai dari dan merupakan suatu fungsi

yang kontinu dan positif yang terletak pada interval Persamaan (2.5)

disebut sebagai persamaan Sturm-Liouville dan bersama-sama dengan syarat

batas pada Persamaan (2.6) dan (2.7), membentuk suatu Masalah

Sturm-Liouville.

Jika diperhatikan pada Persamaan (2.5), masalah tersebut mempunyai

penyelesaian untuk setiap nilai yaitu , . Penyelesaian

tersebut dinamakan dengan penyelesaian trivial. Tetapi akan diperoleh

(45)

tersebut dinamakan penyelesaian non trivial. Nilai yang bersesuaian dinamakan

nilai eigen dan fungsinya disebut sebagai fungsi eigen.

I. Persamaan Karakteristik

Diberikan persamaan diferensial homogen berorder dua dengan variabel

tak bebas dan variabel bebas yang terdefinisi pada domain sebagai berikut

dengan dan merupakan suatu konstanta. Untuk memudahkan mencari

penyelesaian Persamaan (2.8) diperlukan suatu persamaan karakteristik yang

sepadan dengan persamaan tersebut. Persamaan karakteristik dapat diperoleh

dengan melakukan subtitusi

dan berturut-turut oleh dan .

Sehingga dalam hal ini persamaan karakteristik yang sepadan dengan Persamaan

(2.8) adalah

Persamaan karakteristik yang diperoleh berupa persamaan pangkat biasa

yang dapat diselesaikan dengan melakukan pemfaktoran sehingga diperoleh

akar-akar karakteristik. Secara umum, akar-akar-akar-akar karakteristik dari suatu persamaan

diferensial linear homogen orde 2 menurut (Ross, 1984) dibedakan menjadi tiga,

yaitu

1. Akar-akar karakteristik riil berbeda.

Misalkan akar dari persamaan karakteristik pada Persamaan (2.9) adalah

dan dengan , maka penyelesaian umum dari Persamaan (2.9)

(46)

2. Akar-akar karakteristik riil kembar.

Misalkan akar dari persamaan karakteristik pada Persamaan (2.9) suatu akar

riil kembar yaitu , maka penyelesaian umum dari Persamaan (2.9) adalah

3. Akar-akar karakteristik bilangan kompleks.

Misalkan akar dari persamaan karakteristik pada Persamaan (2.9) adalah

dan , maka penyelesaian umum dari Persamaan (2.9)

adalah

Sebagai ilustrasi dari definisi persamaan karakteristik dan akar-akar karakteristik

tersebut, perhatikan contoh berikut ini.

Contoh 2.30

1. Akan ditentukan penyelesaian umum dari

Persamaan karakteristik yang sepadan dengan Persamaan (2.13) adalah

dan

Karena diperoleh akar-akar karakteristik riil berbeda, sehingga berdasarkan

Persamaan (2.10) diperoleh penyelesaian umum Persamaan (2.13) sebagai berikut

(47)

2. Akan ditentukan penyelesaian umum dari

Persamaan karakteristik yang sepadan dengan Persamaan (2.14) adalah

.

Karena diperoleh akar-akar karakteristik riil kembar, sehingga berdasarkan

Persamaan (2.11) diperoleh penyelesaian umum Persamaan (2.13) sebagai berikut

J. Deret Fourier

Pada bagian ini akan dibahas mengenai Deret Fourier.

Definisi 2.31 Fungsi Periodik (Humi, 1992)

Diberikan fungsi yang terdefinisi untuk setiap . Fungsi dikatakan

periodik dengan periode jika , dengan

Contoh 2.32

(1) Fungsi adalah fungsi yang periodik dengan periode 2 . Sebab

.

(2) Fungsi adalah fungsi yang periodik dengan periode .

Sebab

(48)

Definisi 2.33 Deret Fourier (Humi, 1992)

Diberikan fungsi yang terdefinisi pada interval . Deret Fourier

fungsi tersebut adalah

dengan

dan

Contoh 2.34 Akan ditentukan Deret Fourier dari

Berdasarkan Definisi (2.33) tentang Deret Fourier, sehingga diperoleh nilai dari

(49)

Jadi, Deret Fourier dari adalah

(Mayer Humi & William B. Miller, 1992).

Kemudian diberikan definisi fungsi genap dan fungsi ganjil.

Definisi 2.35 Fungsi Genap dan Fungsi Ganjil (Humi, 1992)

Diberikan fungsi terdefinisi pada interval . Fungsi

dikatakan sebagai fungsi genap jika pada interval dan

(50)

Contoh 2.36

1. Fungsi merupakan fungsi ganjil, karena

untuk setiap pada interval .

2. Fungsi merupakan fungsi genap, karena

untuk setiap pada interval .

3. Fungsi bukan merupakan fungsi genap maupun fungsi ganjil

karena

Kemudian dibahas mengenai Deret Fourier sinus dan Deret Fourier

cosinus.

Teorema 2.37 Deret Fourier Sinus (Humi, 1992)

Diberikan fungsi terdefinisi pada interval dan dapat diperluas

sebagai fungsi ganjil pada interval Jika Deret Fourier dari ada,

maka Deret Fourier tersebut berbentuk

dengan

(51)

Bukti:

Diketahui fungsi terdefinisi pada interval dan dapat diperluas

sebagai fungsi ganjil pada interval Deret Fourier dari ada,

sehingga Deret Fourier tersebut adalah

dengan

Dimisalkan , sehingga diperoleh

(52)

Karena merupakan fungsi ganjil dan merupakan fungsi

genap, sehingga diperoleh

dan

(53)

Karena merupakan fungsi ganjil dan merupakan fungsi

ganjil, diperoleh

Jadi terbukti bahwa Deret Fourier untuk adalah

dengan

Deret Fourier ini disebut Deret Fourier sinus fungsi .

Contoh 2.38 Diberikan fungsi

(54)

Akan ditentukan Deret Fourier sinus untuk fungsi tersebut.

Berdasarkan Teorema 2.37 maka Deret Fourier sinus dari fungsi adalah

dengan

Jadi, Deret Fourier dari adalah

(55)

Teorema 2.39 Deret Fourier Cosinus (Humi, 1992)

Diberikan fungsi terdefinisi pada interval dan dapat diperluas

sebagai fungsi genap pada interval Jika Deret Fourier dari ada,

maka Deret Fourier tersebut berbentuk

dengan

Bukti :

Diketahui fungsi terdefinisi pada interval dan dapat diperluas sebagai

fungsi genap pada interval Deret Fourier dari ada, sehingga Deret

Fourier tersebut adalah

dengan

(56)

Dimisalkan , sehingga diperoleh

karena merupakan fungsi genap, maka

(57)

Karena dan merupakan fungsi genap, sehingga diperoleh

Jadi terbukti bahwa Deret Fourier untuk adalah

dengan

Torema 2.39 disebut juga deret Fourier cosinus.

(58)

Contoh 2.40 Diberikan fungsi

Akan ditentukan Deret Fourier cosinus untuk fungsi tersebut.

Berdasarkan Teorema 2.39 maka Deret Fourier cosinus dari fungsi adalah

dengan

dan

(59)

Jadi Deret Fourier cosinus dari fungsi adalah

K. Metode Separasi Variabel

Metode Separasi Variabel adalah metode untuk mencari penyelesaian

persamaan diferensial dengan cara mengasumsikan penyelesaian tersebut

merupakan perkalian dari fungsi-fungsi variabel bebas yang ada pada persamaan

diferensial tersebut. Metode separasi variabel bertujuan untuk mereduksi

persamaan diferensial parsial yang diberikan menjadi bentuk persamaan

diferensial biasa. Dengan demikian persamaan diferensial parsial tersebut lebih

(60)

Diberikan persamaan diferensial linear homogen dengan variabel bebas

dan , serta variabel tak bebas yang dilengkapi dengan syarat batas tertentu.

Diasumsikan penyelesaian dari persamaan diferensial tersebut adalah

Langkah-langkah penyelesaian persamaan diferensial tersebut dengan

metode separasi variabel yaitu sebagai berikut (Humi, 1992):

1. Persamaan disubstitusi ke persamaan diferensial.

2. Hasil dari langkah (1) dibagi dengan .

3. Jika hasil dari langkah (2) dapat dinyatakan sebagai jumlahan suku-suku

yang hanya tergantung dari dan suku-suku yang hanya tergantung dari ,

maka dengan konstanta pemisah atau akan didapat sistem dua

persamaan diferensial biasa.

4. Gunakan syarat batas yang diberikan untuk menentukan syarat batas untuk

persamaan diferensial biasa dari langkah (3).

5. Selesaikan persamaan diferensial (Masalah syarat Batas) hasil dari langkah

(3) dan langkah (4).

6. Diperoleh , yang merupakan penyelesaian dari

persamaan diferensial di atas. Kemudian dengan prinsip superposisi

ditentukan penyelesaian umumnya.

7. Gunakan nilai awal yang diberikan, kemudian ditentukan penyelesaian

Masalah Nilai Awal dan Syarat Batas.

Contoh 2.41 Diberikan persamaan diferensial parsial

(61)

dengan syarat batas

dan nilai awal

Masalah Nilai Awal dan Syarat Batas (2.15) sampai (2.17) akan diselesaikan

dengan menggunakan metode Separasi Variabel. Jika diasumsikan

adalah penyelesaian dari MNASB di atas maka langkah-langkah

penyelesaiannya sebagai berikut:

1. Persamaan disubstitusikan ke Persamaan (2.15)

sehingga diperoleh

2. Persamaan (2.18) dibagi dengan sehingga diperoleh

atau

3. Untuk mendapatkan dua persamaan diferensial biasa dari Persamaan (2.19),

digunakan konstanta pemisah – sehingga

(62)

dan

4. Jika digunakan syarat batas (2.16) yaitu dengan

pada persamaan maka diperoleh

dan

Berdasarkan Persamaan (2.20) disyaratkan , sehingga

.

5. Diperoleh Masalah Sturm-Liouville sebagai berikut

Selanjutnya dicari penyelesaian non trivial dari Masalah

Sturm-Liouville (2.22a) dan (2.22b) yang dapat ditinjau menjadi tiga

kemungkinan yaitu untuk dan .

Kemungkinan 1 :

Dari persamaan (2.22a) didapat , penyelesaiannya

adalah , dengan A dan B konstanta sebarang. Jika

digunakan syarat batas (2.22b) yaitu , maka diperoleh

. Jadi untuk Masalah Syarat Batas (2.22a) dan (2.22b)

(63)

Kemungkinan 2 :

Persamaan (2.22a) mempunyai persamaan karakteristik

Karena diketahui , persamaan karakteristiknya

menjadi , dan akar-akar karakteristiknya adalah dan – yang

bernilai real. Penyelesaian Persamaan (2.22a) adalah

dengan dan konstanta sebarang. Jika digunakan syarat batas

(2.22b) yaitu , maka diperoleh

dan

Karena , sehingga . Penyelesaian Masalah

Sturm-Liouville (2.22a) dan (2.22b) adalah penyelesaian trivial .

Jadi untuk Masalah Syarat Batas (2.22a) dan (2.22b)

mempunyai penyelesaian trivial.

(64)

Persamaan (2.22a) mempunyai persamaan karakteristik

. Karena diketahui , persamaan karakteristiknya menjadi

, dan akar-akar karakteristiknya adalah bilangan kompleks

dan – . Penyelesaian Persamaan (2.22a) adalah

dengan dan konstanta sebarang. Jika digunakan syarat batas

(2.16b) yaitu , maka diperoleh

dan

Agar mempunyai penyelesaian non trivial diambil sehingga

diperoleh

Jadi untuk Masalah Sturm-Liouville (2.22a) dan (2.22b) mempunyai

penyelesaian non trivial dengan Nilai Eigen

dan konstanta sebarang,

Jadi penyelesaian Masalah Sturm-Liouville (2.22a) dan (2.22b) adalah

(65)

dengan Nilai Eigen dan konstanta sebarang,

Kemudian dicari penyelesaian untuk persamaan (2.21a).

Telah diketahui bahwa sehingga diperoleh

Persamaan (2.24) diintegralkan terhadap , sehingga diperoleh

(66)

6. Persamaan (2.23) dan (2.25) disubstitusi ke persamaan ,

sehingga diperoleh

atau

dengan

Kemudian dengan menggunakan prinsip superposisi, diperoleh

penyelesaian dari Masalah Syarat Batas tersebut yaitu

7. Berdasarkan nilai awal (2.17) yaitu , sehingga Persamaan

(2.27) menjadi

Kalikan Persamaan (2.28) dengan fungsi yang orthogonal dengan

yaitu , sehingga diperoleh

(67)

Bentuk orthogonal yang berada di ruas kanan pada Persamaan (2.30)

nilainya akan sama dengan nol, kecuali jika , sehingga Persamaan

(2.30) menjadi

Jadi, penyelesaian Masalah Nilai Awal dan Syarat Batas (2.15) sampai

(2.17) adalah

dengan

I. Keadaan Steady State

Keadaan steady state merupakan kondisi dimana sifat-sifat suatu sistem

tidak berubah dengan berjalannya waktu (Freedman, 2008). Jika dimisalkan

(68)

ini berarti untuk setiap nilai dari sistem tersebut, turunan parsial terhadap waktu

adalah nol.

Keadaan ini dapat diekspresikan pada sebuah lempengan logam berbentuk

persegi panjang ataupun berbentuk lingkaran yang diberi sumber panas pada

sisi-sisinya. Sebelum mencapai steady state, suhu pada lempengan logam tersebut

akan merambat dan mengalami perubahan. Perubahan suhu yang terjadi disebut

keadaan transien. Pada hal ini perambatan suhu merupakan jenis perambatan dua

dimensi, dimana perambatan yang terjadi bergantung pada posisi atau

. Proses perambatan ini terjadi karena pada masing-masing sisi telah diberi

(69)

BAB III

PEMBAHASAN

A. Pemodelan Persamaan Laplace

Pemodelan persamaan ini akan diilustrasikan untuk sistem dimensi dua.

Diberikan sebuah bidang berbentuk persegi panjang dengan panjang dan lebar

direntangkan sepanjang sumbu dan sumbu seperti pada Gambar (3.1). Bidang

persegi panjang tersebut bisa berupa bidang yang terbuat dari suatu perantara

listrik konduktif, atau penampang aliran fluida, atau dapat juga terbuat dari

penampang konduktor suhu. Jika bidang tersebut dihubungkan dengan sumber

potensial , maka akan ada aliran potensial yang melewatinya. Dalam kasus

ini, diasumsikan bahwa

1. Material yang membentuk bidang persegi panjang memiliki sifat murni

dissipatif konstan per satuan panjang, yang berarti bahwa bidang

tersebut merupakan bidang yang tidak dapat menyimpan energi.

2. Bidang persegi panjang terhubung dengan sumber potensial pada

salah satu titik.

3. Aliran potensial yang mengalir pada bidang hanya mengalir dari

potensial tinggi menuju ke potensial rendah.

(70)

Gambar (3.1) Bidang Persegi Panjang dengan Sumber Potensial

Berdasarkan Gambar (3.1) diketahui bidang persegi panjang dengan

panjang dan lebar direntangkan sepanjang sumbu dan sumbu , kemudian

bidang tersebut dipartisi menjadi sangat banyak sehingga setiap bidang partisi

berukuran sangat kecil. Selanjutnya akan dipilih partisi interval . Misalkan

terletak pada interval dengan kata lain kemudian pada interval

dipartisi sebesar dengan untuk setiap .

Banyak partisi pada interval adalah dengan menuju tak berhingga. Hal

tersebut berakibat jarak antar ke nilainya mendekati nol sehingga .

[image:70.595.129.501.83.402.2]
(71)

kemudian pada interval dipartisi sebesar dengan untuk

setiap . Banyak partisi pada interval adalah dengan

menuju tak berhingga. Hal tersebut berakibat jarak antar ke nilainya

mendekati nol sehingga .

Karena bidang persegi panjang terhubung dengan sumber potensial, yaitu

sehingga akan melibatkan suatu aliran potensial yang dapat memicu

terjadinya perbedaan potensial. Aliran potensial pada bidang persegi panjang

dalam kasus ini merupakan fungsi dari posisi . Laju aliran potensial yang

melewati bidang tidak dapat diukur secara langsung. Akan tetapi konsepnya

mempunyai arti fisik karena berhubungan dengan kuantitas skalar yang dapat

diukur yaitu potensial. Besarnya laju aliran potensial yang menembus luasan

bidang disebut fluks . Aliran potensial pada suatu bidang partisi dengan laju

(72)

Gambar (3.2) Aliran fluks pada suatu Bidang Partisi

Berdasarkan Gambar (3.2) diketahui bahwa dan merupakan fluks

yang masuk pada sisi 1 dan sisi 3, sedangkan dan merupakan fluks yang

keluar dari sisi 2 dan 4 pada suatu bidang partisi. Laju aliran potensial pada

bidang partisi tersebut dapat dihitung berdasarkan hukum fisika yang menjelaskan

hubungan laju aliran potensial dengan perbedaan potensial . Perbedaan

potensial antara dua ujung bidang partisi berbanding lurus dengan ketahanan

bidang per satuan panjang, fluks yang melewati bidang partisi, dan panjang

bidang partisi (Vemuri, 1981). Secara matematis perbedaan potensial tersebut

dapat dinyatakan sebagai

[image:72.595.129.500.84.400.2]
(73)

dengan indeks 1 menunjukkan perbedaan potensial pada sisi 1. Tanda negatif

menunjukkan bahwa fluks mengalir dari potensial tinggi menuju potensial rendah.

Persamaan (3.1) dapat ditulis menjadi

Karena sehingga Persamaan (3.2) menjadi

Persamaan (3.3) merupakan persamaan gradien potensial untuk sisi pertama.

Analog untuk mencari gradien potensial pada ketiga sisi lainnya,

kemudian diperoleh gradien potensial pada keempat sisi elemen bidang partisi

adalah

Perhatikan bahwa untuk menyederhanakan Persamaan (3.4a) sampai dengan

Persamaan (3.4d) digunakan definisi turunan parsial karena terdapat lebih dari

(74)

Penyelesaian untuk komponen fluks sebagai berikut

Berdasarkan hukum konservasi yang menyatakan bahwa fluks yang masuk

berbanding lurus dengan fluks yang keluar (Vemuri, 1981), maka

Substitusi Persamaan (3.5a) sampai dengan Persamaan (3.5d) ke Persamaan (3.6)

diperoleh

(75)

Apabila Persamaan (3.7) dikalikan dengan

sehingga diperoleh

atau dapat ditulis

Karena dan , sehingga Persamaan (3.8) menjadi

karena

maka Persamaan (3.9) menjadi

Kasus di atas dilakukan pada bidang persegi panjang dengan sumber

(76)

, maka diperoleh syarat batas . Karena bidang persegi

panjang ketiga sisinya terbatas pada dan , sedangkan

potensial pada ketiga sisi tersebut dipertahankan sebesar nol sehingga diperoleh

syarat batas . Dari Persamaan (3.13) dan syarat

batas yang telah diketahui, didapatkan Masalah Syarat Batas sebagai berikut:

Persamaan (3.10) merupakan Persamaan Laplace dimensi dua, dengan

menunjukkan potensial secara umum. Sedangkan potensial secara khususnya

bergantung pada area fisika yang akan dikaji, dalam (Vemuri, 1981) beberapa

[image:76.595.223.507.223.372.2]

area fisika yang dimaksud dapat dilihat pada tabel berikut

Tabel 1: Potensial dan Fluks dalam Beberapa Area Fisika

No Area Fisika Variabel p (Potensial) Variabel f (Fluks)

1 Elektrodinamika Tegangan Arus Listrik

2 Elektrostatis Potensial Listrik Fluks

3 Mekanika Fluida Tekanan Laju Aliran

(77)

B. Penyelesaian Masalah Syarat Batas Persamaan Laplace pada Koordinat

Kartesius dan Koordinat Polar

1. Permasalahan Syarat Batas Dirichlet pada Bidang Persegi Panjang

Syarat batas pada bidang persegi panjang berdasarkan Persamaan (3.12)

sampai dengan Persamaan (3.15) dapat diilustrasikan dalam bentuk koordinat

kartesius seperti gambar berikut

Gambar (3.3) Syarat Batas Dirichlet pada Bidang Persegi Panjang

Masalah persamaan Laplace pada bidang persegi panjang dengan panjang

dan lebar , kemudian diasumsikan bahwa sumber potensial . Masalah tersebut dapat disajikan secara matematis sebagai berikut:

dengan syarat batas

[image:77.595.131.495.245.494.2]
(78)

Akan ditentukan penyelesaian dari Persamaan (3.16) dengan

menggunakan metode separasi variabel. Misalkan sehingga

Apabila Persamaan (3.18) dan (3.19) disubstitusikan ke Persamaan (3.16), maka

diperoleh

Persamaan (3.20) dibagi dengan sehingga diperoleh

dengan mengambil variabel pemisah negatif , sehingga Persamaan (3.21)

menjadi

(79)

dan

Dalam kasus ini digunakan syarat batas , dengan

pada persamaan maka diperoleh

dan

Berdasarkan Persamaan (3.21) disyaratkan , sehingga

, dan diperoleh Masalah Nilai Eigen Sturm-Liouville sebagai berikut

Selanjutnya ditentukan penyelesaian non trivial dari Persamaan (3.25) dan

(3.26) yang dapat ditinjau menjadi tiga kemungkinan yaitu dan

.

Kemungkinan 1: untuk nilai , sehingga Persamaan (3.25) menjadi

(80)

dengan syarat batas . Penyelesaian umum dari P

Gambar

Gambar (2.1) Ilustrasi Konsep Turunan
Gambar (3.1) Bidang Persegi Panjang dengan Sumber Potensial
Gambar (3.2) Aliran fluks     pada suatu Bidang Partisi
Tabel 1: Potensial dan Fluks dalam Beberapa Area Fisika
+7

Referensi

Dokumen terkait

Untuk membatasi ruang lingkup penulisan skripsi ini, diberikan batasan-batasan, yaitu menyelesaikan masalah nilai batas pada persamaan diferensial parsial linear orde dua dengan

Berdasarkan hasil dari yang telah diuraikan bahwa eksistensi penyelesaian masalah syarat batas (1) dan masalah nilai eigen (6) dapat ditentukan dengan metode

Dalam artikel ini dikaji solusi persamaan diferensial biasa linier orde dua homogen dengan syarat batas berupa turunan fractional.. Kajian ini khusus untuk per- samaan

Hasil simulasi numerik menunjukkann bahwa metode tembakan (shooting) adalah metode yang cukup baik untuk digunakan dalam mencari penyelesaian numerik dari masalah kondisi batas

Penelitian dilakukan dengan memahami terlebih dahulu mengenai bentuk umum PDP orde dua, transformasi koordinat, bentuk kanonik PDP linier orde dua, serta

Penelitian dilakukan dengan memahami terlebih dahulu mengenai bentuk umum PDP orde dua, transformasi koordinat, bentuk kanonik PDP linier orde dua, serta

Kestabilan dan kekonvergenan metode diturunkan untuk domain teratur serta solusi persamaan Adveksi Difusi 2D dengan berbagai syarat awal serta syarat batas

Persamaan Laplace dan persamaan Poisson yang timbul pada aliran panas dua-dimensi tetap dalam pelat persegi panjang dan pelat cakram dengan syarat batas Dirichlet dan Neumann