• Tidak ada hasil yang ditemukan

MODEL PEMBELAJARAN TRANSLITERASI SEBAGI INOVASI DALAM MENINGKATKAN KOMPETENSI WARGA BELAJAR PENDIDIKAN KEAKSARAAN FUNGSIONAL : Studi Kasus di Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "MODEL PEMBELAJARAN TRANSLITERASI SEBAGI INOVASI DALAM MENINGKATKAN KOMPETENSI WARGA BELAJAR PENDIDIKAN KEAKSARAAN FUNGSIONAL : Studi Kasus di Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten."

Copied!
57
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR ISI

B. Identifikasi dan Perumusan Masalah ... 11

C. Tujuan Penelitian ... 15

D. Manfaat Penelitian ... 16

E. Asumsi Penelitian ... 18

F. Definisi Operasional ... 18

G. Paradigma Penelitian ... 21

BAB II KAJIAN TEORI ... 28

A. Kajian Teori ... 29

1. Konsep Model ... 29

2. Konsep dan Hakekat Pendidikan Keaksaraan ... 30

2.1. Buta Aksara ... 30

2.2. Konsep Pendidikan Keaksaraan ... 38

2.3. Filosofi Pendidikan Keaksaraan ... 45

2.4. Kurikulum Pendidikan Keaksaraan ... 53

2.5. Strategi Dan Metode Pembelajaran Pendidikan Keaksaraan ... 59

(2)

3. Konsep Literasi Dan Transliterasi ... 91

3.1. Konsep Literasi ... 91

3.2. Konsep Pengajaran Literasi ... 93

3.3. Landasan Konsep Pengajaran Literasi ... 96

3.4. Konsep Translitasi ... 99

3.5. Model-Model Transliterasi Arab Latin ... 108

4. Konsep Inovasi dan Inovasi Pendidikan ... 112

4.1. Pengertian Inovasi ... 112

4.2. Karakteristik Inovasi ... 119

4.3. Proses Keputusan Inovasi ... 124

B. Review Hasil Penelitian Terdahulu ... 140

BAB III PROSEDUR PENELITIAN ... 144

A. Pendekatan dan Metode Penelitian ...144

B. Prosedur Penelitian ...145

C. Subjek dan Objek Penelitian ...149

D. Teknik Pengumpulan Data dan Instrumen Penelitian ...151

E. Teknik Analisis Data dan Penapsiran Data ...153

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 157

A. Hasil Penelitian ...157

1. Studi Pendahuluan dan Kajian Empirik ...157

2. Penyusunan Model Konseptual ...160

3. Penyusunan Rancangan Model ...161

4. Validasi dan Revisi Model Konseptual dan Rancangan Model ...164

5. Model Uji Coba... ..166

6. Implementasi Model Pembelajaran Transliterasi (Uji Coba)... ....169

7. Efektifitas Model Pembelajaran Transliterasi ... ..181

(3)

B. Pembahasan Hasil Penelitian ... 199

C. Temuan Hasil Penelitian ... 231

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI ... 233

A. Kesimpulan ... 233

B. Implikasi ... 234

C. Rekomendasi ... 235

(4)

DAFTAR TABEL

Matrik Model Uji Coba Pembelajaran Transliterasi

Daftar Hasil Tes Kemampuan Awal

Kesepakatan Kelompok Belajar 1 dan 2

Rencana Pembelajaran Keaksaraan Dasar Mata Pelajaran

Membaca

Rencana Pembelajaran Keaksaraan Dasar Mata Pelajaran

Menulis

Rencana Pembelajaran Keaksaraan Dasar Mata Pelajaran

Berhitung dan Berkomunikasi

Hasil Tes Kemampuan Akhir

Perbandingan antara Hasil Tes Kempuan Awal, Tes

Kemampuan Akhir dan Peningkatan Kemampuan WB

Kerangka Operasional Pengembangan Model Pembelajaran

Transliterasi sebagai Model Pembelajaran Pendidikan

Keaksaraan Fugnsional

Instrumen Uji Inovasi Model Pembelajaran Transliterasi

Data Responden (Tutor) Pendidikan Keaksaraan Fungsional

(5)

DAFTAR BAGAN

Bagan 1 Kerangka Berpikir Penelitian 27

Bagan 2 Model Bahasa dalam Konteks Sosial 94

Bagan 3 Aspek Literasi dalam Kerangka Penelitian 96

Bagan 4 Tahapan Penelitian 149

Bagan 5 Skenario Pembelajaran Keaksaraan dengan Model

Transliterasi 208

Bagan 6 Paradigma Pengembangan Model Pembelajaran Transliterasi

sebagi Inovasi Model Pembelajaran Pendidikan Keaksaraan

(6)

DAFTAR GAMBAR

(7)

DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Kisi-kisi Instrumen Penelitian

Lampiran 2 Instrumen Penelitian

Lampiran 3 Instrumen Tes Awal dan Tes Akhir

Lampiran 4 Standar Kompetensi Keaksaraan Dasar

Lampiran 5 Standar Kompetensi Level 1

Lampiran 6 Standar Kompetensi Level II

Lampiran 7 Daftar Hadir Tutor

Lampiran 8 Biodata Tutor

Lampiran 9 Daftar Peserta

Lampiran 10 Foto-Foto Kegiatan Pembelajaran

Lampiran 11 SK Pembimbing

Lampiran 12 Ijin Penelitian

Lampiran 13 Rekomendasi Penelitian

(8)

BAB I

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Sumber daya manusia merupakan salah satu modal dasar

pembangunan nasional yang memegang peran penting untuk tercapainya

tujuan pembangunan nasional. Tanpa adanya manusia maka pembangunan

dimanapun tidak akan berjalan. Karena pentingnya sumber daya manusia ini,

maka kuantitas dan kualitas sumber daya manusia ini harus terjaga.

Kuantitas berkaitan dengan populasi atau jumlah, dan kualitas berkaitan

dengan kompetensi tiap individu yang ditunjukan dengan skill atau

keterampilan.

Namun yang terjadi di negara kita, baik jumlah maupun keterampilan

yang dimiliki tiap individu menjadi masalah besar. Jumlah penduduk banyak

dan hampir mencapai tiga ratus juta serta kompetensi tiap individu yang

lemah sehingga mengakibatkan timbulnya berbagai persoalan. Apalagi krisis

yang terjadi di negara kita pada akhir tahun 1997-an telah melanda ke

berbagai aspek kehidupan. Salah satu dampak buruknya adalah meningkatnya

jumlah penduduk miskin.

Data terakhir menunjukan bahwa penduduk miskin di negara kita

kurang lebih 35 juta orang (Kusnadi, 2005). Hal ini sangat berpengaruh pada

menurunnya daya beli masyakarat untuk membiayai pendidikan. Bagi

mereka, kebutuhan pendidikan bersaing dengan kebutuhan fisik yang

(9)

berdampak pada lahirnya penduduk buta aksara yang sebagian besar melanda

bangsa kita. Data tahun 2009 menunjukan adanya masyarakat yang buta

aksara kurang lebih 9,76 juta orang (www.diknas.co.id.2009)

Kita memiliki tanggung jawab besar terhadap 9,76 juta penduduk

dewasa yang buta huruf tersebut untuk menjadi melek huruf, apalagi kita

terikat dengan Deklarasi Dakar yang harus menuntaskan masalah

kebutaaksaraan penduduk hingga tinggal 50% pada tahun 2015.

Sementara target yang harus dicapai oleh Pemerintah Indonesia

mengamanatkan harus tersisa kurang dari 5% penduduk buta aksara pada

tahun 2015 yang saat ini angkanya masih 5,92% dari total penduduk

Indonesia. Disamping itu, mengingat kebutaaksaraan merupakan salah satu

indikator penting dalam penentuan HDI (Human Development Index), yang

saat ini Indonesia berada pada peringkat 109 dari 179 negara. Berkaitan

dengan peringkat HDI ini pemerintah bertekad untuk mencapai posisi di

bawah angka 91 pada tahun 2015.

Di Provinsi Banten tingkat buta aksara berhasil diturunkan hingga

72,25 persen per-Agustus 2010 dari jumlah 511.854 tahun 2004. Pada

tahun 2005 angka buta aksara di Banten menurun secara signifikan

sebesar 1,82 persen atau sebanyak 9.180 jiwa, dan pada tahun 2006

menurun sebesar 8,36 persen atau sebanyak 42.000 jiwa. Pada tahun 2009

tinggal 155.305 jiwa, dan pada tahun 2010 penduduk yang buta aksara di

(10)

Di Kabupaten Pandeglang jumlah penyandang buta aksara sekitar

10 ribu orang dari total penduduk Pandeglang sebanyak 1,2 juta orang.

Jumlah penyandang buta aksara ini tersebar di seluruh wilayah Pandeglang

yang terdiri dari 35 kecamatan dan yang terbanyak berada di wilayah

pedesaan sekitar 70 prosen. (Surat Kabar Berkah Edisi No.281, Oktober 2010)

Tekad pemerintah membebaskan orang-orang ini dari

kebutaaksaraan, patut dihargai tetapi perlu disadari benar, bila motivasi itu

lebih politis misalnya sekedar mengejar kenaikan ”Indeks Pembangunan

Manusia” (Human Development Index), maka program Pemberantasan Buta

Aksara hanya akan membebani hidup mereka, karena mereka dijadikan

target kegiatan nasional yang tujuannya sama sekali tidak fungsional bagi

mereka. Disamping itu harus dipahami bahwa penyebab kebutaaksaraan

seringkali bersifat struktural yaitu peraturan-peraturan atau kebijakan

pemerintah yang membuat anak putus sekolah, sulit memperoleh bahan-bahan

tertulis untuk dibaca, kurang berkembangnya lapangan usaha ekonomi modern

yang mensyaratkan kompetensi membaca, menulis dan berhitung . Oleh

karena itu pemberantasan buta aksara harus pula disertai upaya

pemberantasan struktural yaitu dikaitkan dengan program-program

pembangunan yang nyata.

Proses belajar menjadi melek aksara tidak mudah, apalagi bagi

orang yang berusia dewasa, metode yang diterapkan harus bersifat

persuasiv dan partisipatif, melibatkan lingkungan mereka. Bila

(11)

tertinggal dalam penyerapan informasi melalui aktivitas membaca. Apalagi

sekarang ada gempuran yang dahsyat dari budaya ”audio-visual” yang bisa

membuat masyarakat kita yang bisa membacapun tergoda untuk menjadi

”masyarakat penonton” dan ”masyarakat pendengar” bukan sebagai

”masyarakat pembaca”. Semua ini bukan kesalahan teknologi, tetapi

kesalahan kita dalam membangun budaya. Kita harus bangkit menjadi

learning society” yang gemar membaca. Ini adalah suatu perjuangan

tersendiri yang memerlukan suatu filosofi, strategi dan metode

implementasi tertentu.

Strategi dan metode dalam menuntaskan penduduk buta aksara

perlu terus digali dan dikembangkan dengan berbagai cara sehingga dapat

melahirkan suatu strategi dan metode baru yang paling tidak secara tepat

dapat digunakan dalam proses pembelajaran pendidikan keaksaraan.

Pengembangan strategi dan metode ini memungkinkan juga melahirkan suatu

model pembelajaran dalam pendidikan keaksaraan, yang pada akhirnya

akan dapat digunakan dalam program nasional pemberantasan buta aksara.

Program pengentasan buta aksara yang telah dilaksanakan melalui

beberapa program oleh pemerintah belum cukup efektif dalam upaya

mengurangi warga masyarakat yang buta aksara. Proses pengentasan buta

aksara dilakukan dengan program pembelajaran yang menggunakan

seperangkat bahan belajar yang berisikan aspek-aspek kehidupan yang

(12)

dasar agar mereka mampu menjadi warga negara yang produktif dan

bertanggung jawab.

Disisi lain, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah

mendorong terjadinya perubahan tuntutan dari masyarakat. Perubahan

tersebut dari program yang menekankan pada kompetensi membaca,

menulis, dan berhitung bergeser bukan hanya “calistung”, tetapi harus

mencakup keterampilan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu,

muncullah konsep keaksaraan fungsional (Functional Literacy).

Keaksaraan fungsional merupakan salah satu bentuk layanan

Pendidikan Luar Sekolah (PLS) bagi masyarakat yang belum dan ingin

memiliki kompetensi membaca, menulis, dan berhitung serta berfungsi

bagi kehidupannya. Kompetensi “calistung” yang telah dimiliki digunakan

untuk berusaha dan hidup mandiri serta berguna untuk kehidupannya.

Tujuan keaksaraan fungsional adalah bagaimana mengupayakan

kompetensi, pemahaman, dan penyesuaian diri guna mengatasi kondisi

hidup dan pekerjaannya. Keaksaraan fungsional menekankan pada suatu

kompetensi untuk dapat mengatasi suatu kondisi baru yang tercipta oleh

lingkungan masyarakat agar warga belajar dapat memiliki kompetensi

fungsional. Program keaksaraan fungsional dapat dilakukan melalui tiga (3)

tahap, yaitu: tahap pengentasan, tahap pembinaan, dan tahap pelestarian.

Pendidikan Kekasaraan fungsional berangkat dari empat latar

belakang yaitu idiologis, kultural, ekonomis, linguistik, dan motivasi

(13)

tulis merupakan bekal kelak setelah mati menghadap Tuhan guna

memperoleh kehidupan yang lebih baik. Kultural mengandung makna

bahwa orang yang bisa baca tulis akan mengenal budaya, sosial, politik,

dan yang lainya secara lebih baik. Ekonomi dalam kaidah keaksaraan

menunjukkan bahwa pesatnya perkembangan ekonomi disebabkan karena

dampak pendidikan dimana pertumbuhan industri dan kemajuan teknologi

diakibatkan karena majunya pendidikan yang didalamnya tentu ada

kompetensi membaca menulis dan berhitung.

Linguistik sebagai dasar keaksaraan fungsional ide pokonya

adalah bahwa keaksaraan fungsional mengajarkan keterampilan ekonomi

dan baca tulis secara bersamaan. Dalam konteks mengajarkan, baca tulis

tentu berangkat dari konsep linguistik. Sedangkan motivasi menjadi penting

karena dalam teori belajar bahwa motivasi dapat mendorong seseorang

untuk belajar. Dalam pendidikan keaksaraan fungsional keterampilan

yang diperoleh setelah dia bisa membaca, menulis dan berhitung harus

dapat memberikan kepuasan kepada warga belajarnya. Kepuasan ini yang

akan mendorong seseorang untuk belajar setelah dia dapat membaca atau

menulis.

Desakan ekonomi, kesadaran orang tua terhadap pendidikan yang

masih rendah dan kekurangannya kompetensi dalam menghadapi

tantangan hidup merupakan faktor timbulnya kelompok masyarakat yang

(14)

keluarga yang banyak telah memunculkan adanya anak putus sekolah dan

atau tidak mampu untuk sekolah.

Pendidikan keaksaraan tidak bermakna apabila berdiri sendiri, tetapi

akan berdampak sangat luas ketika menjadi lokomotif dalam perbaikan sosial,

ekonomi, dan budaya yang ditimbulkannya. Pendidikan keaksaraan dapat

menjadi instrumen penting dalam rangka perbaikan sosial, ekonomi, dan

budaya masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan program yang tepat

dengan melibatkan masyarakat sekitar agar timbul kesadaran dan setelah

program usai mereka dapat melanjutkan dengan membentuk Pusat Kegiatan

Belajar Masyarakat (PKBM).

Secara filosofis, keaksaraan merupakan suatu idiologi karena

terdiri atas sekumpulan ide, kepercayaan dan sikap (Byanham dalam

Kusnadi, 2005:16). Apabila semuanya digabungkan akan membentuk

pandangan hidup masyarakat terhadap keaksaraan itu sendiri. Idiologi juga

akan mempengaruhi setiap orang dalam suatu komunitas yang harus

berpartisipasi sepenuh hati dalam gerakan keaksaraan. Oleh karena itu,

idiologi yang harus digunakan dalam program keaksaraan haruslah

idiologi masyarakat atau warga belajar itu sendiri. Walaupun idiologi

penyelenggara atau fasilitator berbeda dengan warga belajar itu bukan

merupakan suatu masalah.

Program keaksaraan harus memenuhi pandangan filosofi dari sisi

warga belajar. Filosofi tersebut mungkin saja mempunyai tujuan yang

(15)

keaksaraan. Mengingat masyarakat Indonesia memiliki berbagai ragam

budaya, adat, suku, agama, dan kepercayaan, sehingga tidak mungkin

menerapkan satu atau dua filosofi keaksaraan di Indonesia program

keaksaraan fungsional harus menerapkan kombinasi, sublimasi dan

integrasi dari filosofi keaksaraan kritis (Kusnadi, 2005:18).

Dalam proses pembelajaran pendidikan keaksaraan fungsional terdapat

berbagai komponen yang dapat mempengaruhi terhadap hasil belajar.

Komponen-komponen tersebut seperti pendekatan, strategi, metode,

media, materi, model maupun komponen lannya. Dalam proses melek

aksara pada pendidikan keaksaraan fungsional unsur kompetensi

membaca, menulis, dan berhitung ada hubungannya dengan konsep

kebahasaan. Dalam konsep kebahasaan, ada istilah literasi dan

transliterasi yang merujuk pada proses belajar melek aksara. Transliterasi

dalam istilah bahasa adalah proses pengalihan hurup/angka dari satu

bahasa ke hurup/angka bahasa lain seperti dari bahasa Arab ke bahasa

Latin. Transliterasi ini dapat digunakan dalam proses pembelajaran

pendidikan keaksaraan fungsional baik sebagai strategi, pendekatan,

metode mapun sebagai model pembelajaran. Menurut Kusnadi (2005)

transliterasi ini sudah digunakan dalam proses pembelajaran pendidikan

keaksaraan fungsional sebagai metode pembelajaran dengan nama metode

transliterasi. Metode pembelajaran ini dikembangkan karena secara filosofis

metode ini berangkat dari potensi awal warga belajar yang memiliki

(16)

Menurut Kusnadi (2005) Metode pembelajaran transliterasi akan

tepat jika digunakan pada komunitas muslim seperti Aceh, Sumatera Barat

(Padang), Sumatera Selatan, Lampung, Banten, Jabar, Jatim (daerah tapal

kuda), Madura, Kalbar, Kalsel, Sulsel dan sebagainya. Konsep utama dalam

metode transliterasi adalah mengalihkan atau menyamakan bunyi tulisan

(huruf/aksara, dan angka) dari satu bentuk (huruf/aksara, dan angka) ke

bentuk (huruf/aksara, dan angka) lain.

Metode pembelajaran transliterasi di kembangkan dari konsep

transliterasi yang mengandung pengertian yaitu pengalihan dari satu

hurup atau angka ke hurup atau angka lainnya. Dari konsep ini maka dalam

pembelajaran pendidikan keaksaraan fungsional dimana terjadi proses belajar

membaca, menulis, dan berhitung hurup latin, transliterasi ini dapat

digunakan sebagai cara dalam proses pembelajaran buta aksara, mengingat di

Indonesia sebagian warga belajar yang sudah melek huruf/aksara, dan angka

”ARAB”, namun masih buta aksara LATIN, maka dalam kaitan ini yang

dimaksud metode pembelajaran transliterasi ini adalah perpindahan dari

huruf/aksara dan angka Arab ke Latin. Transliterasi aksara Arab ke dalam

aksara Latin mensyaratkan: (1) kedekatan pelafalan antara kedua aksara yang

bersangkutan; dan (2) asal kata bahasa yang akan ditransliterasikan.

Metode pembelajaran ini sangat efektif untuk membantu warga belajar

buta aksara ”Latin”, tetapi mereka sudah memiliki sedikit kompetensi

membaca, menulis, dan berhitung dengan menggunakan huruf ”Arab”.

(17)

menyamakan ucapan bunyi huruf/aksara Arab dengan aksara Latin. Dalam

kaitan ini Warga belajar (WB) mempelajari kata-kata yang hampir sama

bunyinya dan menulisnya dengan huruf Arab, seperti kata ”IBU” terdiri dari

huruf Alif”, ”Ba” dan ”Wauw” dengan diberi harkat-harkat tertentu seperti

”Fathah”, ”Dhomah” dan ”Sukun”.

Dalam kaitan ini warga belajar ”mengalihkan” persamaan bunyi

huruf/aksara Arab dengan aksara Latin dalam bahasa Indonesia. Warga belajar

belajar berlatih tentang persamaan bunyi semua huruf Latin melalui

penggunaan huruf Arab, baik konsonan (huruf mati) maupun vokalnya (huruf

hidup), dan belajar kata-kata serapan dari bahasa Arab, seperti Masjid,

Sholat, Al-Qur’an, dan sebagainya.

Sebagai catatan tentang penggunaan metode pembelajaran transliterasi

ini adalah bahwa : (1) metode ini biasanya digunakan pada komunitas muslim

tradisional atau di lingkungan pondok pesantren; dan (2) metode ini hanya

efektif digunakan dalam proses pembelajaran Keaksaraan Fungsional

(KF), apabila warga belajarnya sudah memiliki pengetahuan dan kompetensi

membaca Al-Qur’an, atau paling tidak sudah mengenal huruf ”Hija’iyah”

beserta ”Harkat-harkatnya

Dengan kompetensi awal yang dimiliki warga belajar, maka proses

pembelajaran akan lebih mudah dilakukan karena memanfaatkan kompetensi

awal peserta didik untuk dijadikan sebagai landasan pembelajaran.

Pemanfaatan kompetensi (kompetensi) awal peserta didik dalam proses

(18)

orang dewasa belajar sudah memiliki pengalaman diri. Pengalaman ini yang

melandasi kompetensi awal sesuai dengan seberapa banyak pengalaman

yang dimilikinya. Karena memiliki pengalaman, maka orang dewasa

mempunyai kesiapan diri untuk belajar (Arif, 1986). Kesiapan diri inilah

yang harus dioptimalkan oleh pendidik ketika perhadapan dengan peserta

didik orang dewasa. Pendidikan keaksaraan, terutama dalam pendidikan buta

aksara, sebagian besar warga belajarnya adalah orang dewasa.

Dengan demikian proses pembelajaran dalam pendidikan keaksaraan

atau pendidikan buta aksara harus menggunakan konsep dan prinsip

pembelajaran orang dewasa. Prinsip-prinsip pembelajaran orang dewasa

berangkat dari beberapa asumsi tentang orang dewasa yaitu bahwa orang

dewasa memiliki konsep diri, orang dewasa memiliki pengalaman, orang

dewasa memiliki kesiapan untuk belajar dan orang dewasa memiliki orientasi

terhadap belajar (Arif, 1994).

B. Identifikasi dan Perumusan Masalah

Gerakan Nasional Pemberantasan Buta Aksara telah dilakukan oleh

pemerintah diseluruh tanah air. Berbagai strategi, metode dan tehnik juga

telah dilakukan. Namun kenyataannya di lapangan masih banyak penduduk

yang menyandang buta aksara.

Permasalahan di lapangan terkait dengan upaya pemberantasan buta

aksara kerap masih muncul kepermukaan, seperti keterbatasan dana,

(19)

terkait dengan metode atau tehnik pembelajaran yang kesemuanya itu harus

mendapat perhatian serius bila kita ingin program nasional ini sukses.

Salah satu masalah yang perlu mendapat perhatian dalam mensukseskan

program nasional pemberantasan buta aksara terkait dengan proses

pembelajaran yang di dalamnya dilakukan berbagai pendekatan, strategi,

model, metode, media dan sumber belajar. Berbagai komponen tersebut

harus mendapat perhatian. Salah satu dari komponen tersebut yang harus

mendapat perhatian dalam proses pembelajaran keaksaraan fungsional yaitu

pengembangan model pembelajarannya. Model pembelajaran yang dapat

dikembangkan yaitu model pembelajaran transliterasi. Model pembelajaran

transliterasi ini merupakan pengembangan dari metode pembelajaran

transliterasi yang belum banyak di gunakan para penyelenggara program

pemberantaan buta aksara khususunya di Kabupaten Pandeglang Provinsi

Banten.

Model Pembelajaran transliterasi sebagai model pembelajaran dalam

kegiatan pembelajaran pendidikan keaksaraan fungsional merupakan

pengembangan dari transliterasi yang juga telah digunakan sebagai metode

pembelajaran. Model pembelajaran transliterasi sangat cocok digunakan di

Kabupaten Pandeglang karena kondisi dan kultur masyarakat Kabupaten

Pandeglang Provinsi Banten sangat cocok dengan konsep model ini.

Di Kampung Pasekon Kelurahan Cilaja Kecamatan Majasari

Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten masih terdapat warga masyarakat

(20)

kurang lebih lima kilometer dari pusat ibu kota kabupaten. Dilihat dari

kondisi geografi sangatlah kurang wajar, karena akses untuk memperoleh

pendidikan sangatlah mudah. Namun kenyataan ini tidak bisa dipungkiri,

sehingga menimbulkan masalah khusus yang harus segera di pecahkan.

Namun mereka yang buta aksara tersebut ternyata tidak buta aksara Arab,

karena mereka bisa membaca Al Qur’an dengan baik. Oleh karena itu upaya

pemberatasan buta aksara di Kampung ini menggunakan model

pembelajaran transliterasi.

Kusnadi (2006) memberikan beberapa alasan penggunaan metode

pembelajaran transliterasi sebagai metode pembelajaran yaitu (1) biasanya

digunakan dalam komunitas muslim tadisional atau lingkungan pondok

pesantren; dan (2) efektif digunakan dalam keaksaraan fungsional apabila

warga belajarnya sudah memiliki kompetensi baca, tulis hitung Arab dan

membaca Al Qur’an.

Namun berdasarkan hasil telaah disejumlah penyelenggara kegiatan

keaksaraan fungsional yang dilakukan penulis, Transiliterasi belum

digunakan dalam proses pembelajaran keaksaraan fungsional di Kabupaten

Pandeglang yang seluruh warga belajarnya adalah muslim dan memiliki

kompetensi awal dalam membaca Al Qur’an. Hal inilah yang menjadi masalah

mengapa penulis mengangkat dalam penelitian ini. Kemudian transliterasi ini

dapat dikembangkan untuk menjadi inovasi model pembelajaran dalam

pendidikan keaksaraan. Pengembangan transliterasi menjadi sebuah model

(21)

sebuah penelitian dan pengembangan. Dari uraian tersebut maka secara garis

besar masalah-masalah yang berkaitan dengan pembelajaran dalam pendidikan

keaksaraan fungsional dapat diidentifikasi sebagai barikut :

1. Proses pembelajaran pendidikan keaksaraan fungsional di Kabupaten

Pandeglang Provinsi Banten belum menggunakan transliterasi sebagai

model pembelajaran.

2. Potensi warga belajar yang memiliki kompetensi dalam baca tulis Arab

dan membaca Al Qur’an belum digunakan sebagai dasar dalam proses

pembelajaran pendidikan keaksaraan.

3. Proses pembelajaran pendidikan keaksaraan fungsional belum

melibatkan warga belajar secara aktif.

4. Kompetensi para tutor dalam menggunakan strategi, pendekatan, model

maupun metode pembelajaran pendidikan kekasaraan fungsional masih

belum optimal.

5. Kurangnya inovasi yang dilakukan oleh para penyelenggara maupun

tutor dalam proses pembelajaran.

Dari masalah-masalah yang dikemukakan di atas, maka penulis

merumuskan masalah dalam penenlitian ini adalah sebagai berikut:

”Bagaimanakah model pembelajaran yang efektif sebagai inovasi dalam

meningkatkan kompetensi membaca, menulis, dan berhitung warga

belajar Pendidikan Keaksaraan Fungsional di Kabupaten Pandeglang

Provinsi Banten?”. Untuk mendapatkan jawaban dari permasalahan tersebut,

(22)

1. Bagaimanakah konstruksi konseptual model pembelajaran transliterasi

dalam meningkatkan kompetensi membaca, menulis, dan berhitung warga

belajar pendidikan keaksaraan fungsional di Kabupaten Pandeglang

Provinsi Banten?.

2. Apakakah model pembelajaran transliterasi dapat diimplementasikan

dalam proses pembelajaran untuk meningkatkan kompetensi membaca,

menulis, dan berhitung warga belajar pendidikan keaksaraan fungsional

di Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten?.

3. Bagaimanakah efektifitas model pembelajaran transliterasi dalam

meningkatkan kompetensi membaca, menulis, dan berhitung warga

belajar pendidikan keaksaraan fungsional di Kabupaten Pandeglang

Provinsi Banten?

4. Bagaimanakah model akhir pembelajaran transliterasi sebagai inovasi

dalam meningkatkan kompetensi membaca, menulis, dan berhitung warga

belajar pendidikan keaksaraan fungsional di Kabupaten Pandeglang

Provinsi Banten?.

C.Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menemukan model

pembelajaran transliterasi yang dapat meningkatkan kompetensi membaca,

menulis, dan berhitung warga belajar pendidikan keaksaraan fungsional

sehinggga dapat digunakan sebagai inovasi dalam proses pembelajaran

pendidikan keaksaraan fungsional di Kabupaten Pandeglang Provinsi

(23)

Adapun secara khusus penelitian ini bertujuan sebagai berikut:

1. Mengembangkan bangun konseptual model pembelajran transliterasi

dalam meningkatkan kompetensi membaca, menulis, dan berhitung

warga belajar pendidikan keaksaraan fungsional di Kabupten

Pandeglang Provinsi Banten

2. Mendapatkan gambaran penerapan model pembelajaran transliterasi

dalam proses pembelajaran untuk meningkatkan kompetensi membaca,

menulis, dan berhitung warga belajar pendidikan keaksaraan fungsional di

Kabupten Pandeglang Provinsi Banten

3. Memperoleh gambaran mengenai efektifitas model pembelajaran

transliterasi dalam meningkatkan kompetensi membaca, menulis dan

berhitung warga belajar pendidikan keaksaraan fungsional di Kabupten

Pandeglang Provinsi Banten.

4. Mendapatkan model akhir pembelajaran transliterasi sebagai inovasi

dalam meningkatkan kompetensi membaca, menulis dan berhitung warga

belajar pendidikan keaksaraan fungsional di Kabupaten Pandeglang

Provinsi Banten.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara

teoritis untuk memperkaya khazanah keilmuan, maupun secara praktis

untuk kepentingan penyelenggaraan pendidikan keaksaraan fungsional.

Temuan penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi

(24)

untuk penyelengaraan pendidikan keaksaraan fungsional, yang didalamnya

tercangkup model pembelajaran transliterasi. Selanjutnya model

pembelajaran transliterasi ini juga diharapkan menjadi inspirasi untuk

lahirnya model-model pembelajaran yang lain.

Secara praktis temuan penelitian ini diharapkan dapat memberikan

manfaat sebagai berikut:

1. Memberikan gambaran dan alternatif kepada penyelenggara

pendidikan keaksaraan fungsional dalam mengembangkan model

pembelajaran.

2. Memberikan masukan dan alternatif kepada pemerintah mengenai

pembinaan penyelenggaraan pendidikan keaksaraan fungsional melalui

model pembelajaran transliterasi.

3. Menggugah para penyelenggara pendidikan keaksaraan fungsional dan

para praktisi lain untuk berperan sebagai inovator dalam menemukan

model pembelajaran yang lain yang lebih inovatif.

4. Menyediakan bahan dan titik masuk bagi penelitian lebih lanjut

(25)

E. Asumsi Penelitian

1. Warga belajar dalam pendidikan keaksaraan fungsional pada umumnya

orang dewasa, dan memiliki kompetensi awal dalam membaca, menulis

atau berhitung dalam bahasa Arab, bahasa Jawa atau bahasa lainnya.

2. Pendekatan pembelajaran dalam pendidikan orang dewasa

menggunakan pendekatan andragogi (Arif, 1964). Dalam pendidikan

keaksaraan fungsional di Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten,

warga belajarnya orang dewasa.

3. Metode Transliterasi akan efektif dan tepat digunakan dalam proses

pembelajaran keaksaraan fungsional pada warga belajar komunitas

muslim (Kusnadi, 2005). Di Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten,

warga belajar pendidikan keaksaraan fungsional semuanya muslim.

4. Sesuatu dikatakan inovasi jika memenuhi karakteristik atau sifat-sifat

inovasi seperti keuntungan relatif, kompatibel, kompleksitas, triabilitas

dan dapat diamati (Rogers, 1993).

F. Definisi Operasional

Untuk menghindari salah mengartikan atau salah menafsirkan

beberapa istilah yang ada dalam penenlitian ini, maka perlu dijelaskan lebih

lanjut. Beberapa istilah yang digunakan dalam penelitian ini dapat dijelaskan

(26)

1. Model

Model diartikan sebagai prosedur sistematis dalam

mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar.

Dapat juga diartikan suatu pendekatan yang digunakan dalam kegiatan

pembelajaran (www.psikologikita.com). Model merupakan deskripsi atas

benda, prosedur, situasi atau pikiran untuk merancang suatu program

pembelajaran. Model adalah suatu pola yang dapat dijadikan contoh atau

rujukan untuk diterapkan di lapangan. Model merupakan versi sederhana

dari suatu kenyataan yang merepresentasikan komponen-komponen inti

dari kenyataan. Dalam arti lain, model dalam penelitian adalah

representasi komponen-komponen inti dalam proses pembelajaran

pendidikan keaksaraan fungsional.

Model dalam penelitian ini yaitu prototipe atau desain pembelajaran

berdasarkan transliterasi pada proses pembelajaran keaksaraan

fungsional dalam suatu masyarakat. Pengembangan model dapat

diartikan sebagai pola atau desain yang berupa konsep, karakteristik dan

strategi pelaksanaan yang memiliki kekhasan dibandingkan dengan model

sebelumnya dalam pendidikan keaksaraan fungsional.

2. Program Pembelajaran

Program pembelajaran dalam penelitian ini yaitu program

pembelajaran keaksaraan fungsional berdasarkan model pembelajaran

transliterasi yang diterapkan. Program pembelajaran yaitu suatu

(27)

pembelajaran disusun secara teoritis dan kemudian didiskusikan dengan

warga belajar sehingga akan mendapatkan program yang sesuai dengan

kebutuhan warga belajar. Program pembelajaran yang disusun dalam

penelitian ini yaitu program pembelajaran untuk pembelajaran pendidikan

keaksaraan fungsional di Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten.

3. Transliterasi

Transliterasi adalah, sebagai pengalihhurufan dari abjad yang satu ke

abjad yang lain (http:/www.slidshare.net/darono). Dalam penelitian ini

transliterasi diartikan sebagai pengalihhurufan dari huruf atau angka Arab

ke huruf atau angka Latin dalam proses pembelajaran pendidikan

keaksaraan fungsional. Pengalihhurufan dalam penelitian ini lebih

ditekankan pengalihurufan dari bahasa Arab ke bahasa Latin berdasarkan

pengalaman warga belajar dalam membaca Al Quran.

4. Model Pembelajaran Transliterasi

Dalam penelitian ini model pembelajaran transliterasi yaitu suatu

model yang dikembangkan dari transliterasi. Jadi model pembelajaran

transliterasi yaitu prototipe atau desain pembelajaran dengan

menggunbakan transliterasi sebagai proses mengalihkan huruf/aksara dan

angka Arab ke huruf/aksara dan angka Latin dalam proses pembelajaran

pendidikan keaksaraan fungsional..

5. Kompetensi membaca, menulis, dan berhitung dalam penelitian ini yaitu

suatu kompetensi yang dimiliki oleh warga belajar pendidikan keaksaraan

(28)

pendidikan keaksaraan fungsional dengan memberi penekanan terhadap

indikator-indikator kompetensi warga belajar melalui model pembelajaran

transliterasi yang efektif.

6. Pendidikan Keaksaraan Fungsional (Functional literacy) dalam

penenelitian ini secara sederhana diartikan sebagai kompetensi untuk

membaca, menulis, dan berhitung warga belajar yang buta aksara melalui

proses pembelajaran dengan menekankan fungsionalisasi hasil belajar.

7. Inovasi (innovation) ialah suatu ide, barang, kejadian, metode yang

dirasakan atau diamati sebagai suatu hal yang baru bagi seseorang atau

sekelompok orang (masyarakat) baik itu berupa hasil invention

maupun diskoveri (Rogers, 1993). Dalam penelitian ini inovasi yaitu

pembaharuan proses pembelajaran dalam pendidikan keaksaraan

fungsional dengan menggunakan model pembelajaran transliterasi

(pengalihhurufan dari Arab ke Latin)

G. Paradigma Penelitian

Keaksaraan fungsional merupakan suatu pendekatan atau cara untuk

mengembangkan kompetensi warga belajar dalam menguasai dan

menggunakan keterampilan menulis, membaca, berhitung, berfikir,

mengamati, mendengar, dan berbicara yang berorientasi pada kehidupan

sehari-hari dan lingkungan warga belajar.

Proses pembelajaran dalam pendidikan keaksaraan fungsional harus

mempertimbangkan aspek-aspek yang berkaitan erat dengan proses

(29)

atau sumber belajar. Aspek-aspek tersebut penting untuk diperhatikan karena

keberhasilan proses pembelajaran ditentukan sebagian besar oleh aspek-aspek

tersebut. Apek warga belajar merupakan faktor dominan karena tanpa

warga belajar proses pembelajaran tidak akan bisa dilaksanakan. Dalam

pendidikan keaksaraan fungsional karakteristik warga belajarnya memiliki

keunikan tersendiri karena pada umumnya mereka adalah orang dewasa.

Orang dewasa belajar berbeda dengan anak–anak, pendekatan yang

digunakannya harus andragogi.

Aspek strategi, model, dan metode juga penting untuk menjadi

perhatian karena keberhasilan dalam proses pembelajaran keaksaraan

fungsional juga ditentukan oleh strategi, model, dan metode. Berbagai

strategi, model dan metode dapat digunakan dalam proses pembelajaran,

namun tidak semua strategi, model, dan metode efektif untuk

meningkatkan kompetensi warga belajar. Penggunaan strategi, model, dan

metode harus mempertimbangkan berbagai hal karena tidak semua strategi

model dan, metode dapat digunakan dalam proses pembelajaran keaksaraan

fungsional tetapi harus menyesuaikan dengan situasi dan kondisi. Aspek

media juga memberikan kontribusi besar terhadap keberhasilan proses

pembelajaran karena dapat memberikan gambaran nyata terhadap apa yang

dipelajari.

Transliterasi sebagai suatu model pembelajaran yang dapat digunakan

dalam proses pembelajaran keaksaraan fungsional harus menjadi perhatian

(30)

lebih menitikberatkan pada bagaimana bahasa awal warga belajar

ditransliterasikan kedalam bahasa Latin, sehingga dipandang akan

mempermudah untuk memahami bahasa Latin.

Secara sederhana kerangka pikir penelitian ini adalah:

1. Warga belajar pendidikan keaksaraan fungsional adalah orang dewasa

yang sudah memiliki kompetensi awal.

2. Salah satau kompetensi awal yang dimiliki warga belajar pendidikan

keaksaraan fungsional adalah kompetensi dalam membaca atau menulis

huruf Arab.

3. Kompetensi awal yang dimiliki ini kemudian dijadikan modal untuk

mempelajari membaca, menulis, dan berhitung huruf Latin dengan cara

ditransliterasikan dari huruf Arab kedalam huruf Latin.

Pengentasan buta aksara menjadi sangat penting dan strategis

mengingat tingkat pendidikan penduduk Indonesia masih rendah. Oleh

karena itu, diperlukan suatu program yang efektif dalam mengurangi

jumlah penduduk yang buta aksara. Termasuk mereka yang sudah melek

huruf tidak kembali lagi menjadi buta aksara.

Masyarakat sebagai subyek dan obyek pembelajaran pemberantasan

buta aksara harus diketahui latar belakangnya, potensi dan sumber-sumber

yang dapat dikembangkan. Kekuatan masyarakat selayaknya dikembangkan

melalui proses pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik masyarakat.

Melibatkan mereka secara aktif dalam setiap langkah pembelajaran.

(31)

dengan bantuan tutor. Untuk membantu mereka memperoleh kompetensi

calistung, diperlukan metode pembelajaran yang efektif dengan

mempertimbangkan berbagai kompetensi yang dimiliki warga belajar dan

masukan-masukan lain yang secara tidak langsung dapat membantu

mempermudah warga belajar dalam melaksanakan proses pembelajaran.

Masukan-masukan yang ada disekitar warga masyarakat dapat menjadi

bekal dalam menjalani proses pembelajaran. Masukan tersebut yang terdiri

atas: raw input, instrumental input dan environmental input. Raw input atau

disebut juga masukan mentah terdiri atas latar belakang warga belajar, ide atau

gagasan, pengalaman, sikap atau perasaan, motivasi, minat, dan kebutuhan

serta masalah yang dihadapi. Semua masukan mentah akan menjadi energi

potensial yang besar untuk dikembangkan, akan tetapi dengan keberadaannya

itu dapat dijadikan model dasar dalam proses pembelajaran.

Instrumental input yaitu masukan yang berasal dari luar diri warga

belajar tetapi sangat terkait dengan keberlangsungan proses belajar mereka.

Instrumental input merupakan unsur pendukung yang sangat diperlukan

dalam membantu warga belajar menemukan cara belajar yang baik. Oleh

karena itu, unsur instrumental input yang meliputi: fasilitator atau tutor, waktu

belajar, biaya, peralatan belajar, dan pedoman pembelajaran harus

direncanakan dengan matang. Dalam kaitannya dengan penelitian ini,

instrumental input akan dikelola secara bersama-sama dengan warga belajar.

Environmental input yaitu masukan dari lingkungan sekitar dimana

(32)

mempercepat dalam pembelajaran warga belajar. Lingkungan belajar dapat

dimanfaatkan oleh tutor dan warga belajar dalam mencapai keinginan belajar

dan memenuhi kebutuhan belajar mereka. Dengan demikian, masukan

lingkungan akan sangat berpengaruh dalam kegiatan pembelajaran warga

belajar sehingga harus dikelola dengan baik.

Strategi, Model dan Metode yang tepat dalam proses pembelajaran

akan melahirkan kualitas pembelajaran yang baik. Makna kualitas yang baik

terkait erat dengan efektifitas, efisien, dan dapat dipertanggungjawabkan

(akuntabel). Kualitas proses yang baik selanjutnya akan melahirkan hasil

yang baik dan akan berdampak baik pula dikemudian hari.

Hasil dan dampak (output dan outcome) merupakan langkah

berikutnya yang diharapkan muncul sebagai hasil proses sebelumnya.

Hasil yang telah diperoleh warga belajar harus dapat digunakan dalam

kehidupan sehari-hari dalam rangka meningkatkan mutu hidup dan kehidupan.

Setelah memahami karakteristik masyarakat dan

komponen-komponen pendidikan keaksaraan. Selanjutnya disusun satu model

pembelajaran keaksaraan. Penyusunan model ini didasarkan pada kajian

empirik yang telah diamati dan telah terjadi. Kajian tersebut juga dilandasi

oleh pertimbangan secara teoritis.

Selain dari paparan di atas, dalam konsep pendidikan keaksaraan

fungsional potensi awal warga belajar juga menjadi bagian penting yang

harus menjadi dasar dalam menentukan strategi dan model pembelajaran.

(33)

dewasa yang dengan karakteristiknya memiliki perbedaan-perbedaan yang

juga harus menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan strategi dan model

pembelajaran keaksaraan fungsional.

Kondisi pembelajaran dalam keaksaraan pada umumnya diikuti oleh

peserta didiknya orang dewasa. Sehingga pendekatan yang digunakan lebih

banyak andragogi yang berarti memimpin, mengamong, atau membimbing.

Andragogi adalah suatu model proses pembelajaran peserta didik yang terdiri

atas orang dewasa. Andragogi disebut juga sebagai teknologi pelibatan orang

dewasa dalam kegiatan pembelajaran. Proses pembelajaran dapat terjadi

dengan baik apabila metode dan teknik pembelajaran melibatkan peserta

didik. Keterlibatan diri (ego peserta didik) adalah kunci keberhasilan dalam

pembelajaran orang dewasa.

Prosedur yang perlu ditempuh oleh pendidik sebagaimana

dikemukakan Knowles adalah sebagai berikut:

"The andragogical teacher (facilitator, consultant, change agent) prepares in advance a set of proceduresJor involving the leaners (and others relevant parties) in a process involving these elements : (a) establishing a climate conducive to learning; (b) creating a mechanism Jor mutual planning; (c) diagnosing the needs Jor learning; (d)JormuLating program objectives (which is content) that will satisfy these needs; (e) designing a pattern oflearning experiences, (f) conducting these learning experiences with suitable techniques and materials, and (g) evaluating the learning outcomes and rediagnosing learning needs" (Knowles, 1986 : 117).

Selain itu dalam penelitian ini diharapkan model pembelajaran yang

dikembangkan akan menjadi sebuah produk inovasi yang dapat digunakan

(34)

Dari paparan tersebut di atas, maka kerangka pikir penelitian ini dapat

digambarkan dalam bentuk bagan sebagai berikut :

BAB II

Warga Belajar

Kompetensi Membaca, Menulis dan Berhitung Huruf Latin Output

Kompetensi Membaca, Menulis, Berhitung Huruf Arab

Andragogi

Kompetensi Lainya

Proses Pembelajaran

Outcome Input

Proses

Kemandirian

(35)

BAB III

PROSEDUR PENELITIAN

A. Pendekatan dan Metode Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pendekatan

kualitatif. Metode penelitian yang digunakan yaitu metode penelitian dan

pengembangan (research and development) yang dikembangkan oleh

Borg dan Gall (1979:626).

Penelitian ini menggunakan lima langkah penelitian, yaitu: Pertama,

studi pendahuluan dalam rangka menggali fokus dan data awal penelitian baik

empiris maupun teoritis. Kedua, merumuskan model konseptual pembelajaran

dalam pendidikan keaksaraan fungsional secara teoritik, diteruskan menjadi

model oprasional. Ketiga, memvalidasi model teoritik melalui diskusi, expert

judgment dan konsultasi dengan pembimbing. Keempat, menguji efektifitas

model pembelajaran transliterasi dalam pendidikan keaksaraan fungsional.

Kelima, memvalidasi model yang diuji, direvisi dan dirumuskan menjadi

model akhir.

Pada penelitian ini dihasilkan produk berupa model pembelajaran

transliterasi dalam pendidikan keaksaraan fungsional yang efektif dan

akuntabel. Model ini didasarkan pada kondisi masyarakat yang diangkat

(36)

B. Prosedur Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan dua tahap yaitu tahap

pertama, studi pendahuluan dan perumusan model pembelajaran konseptual

(teoritis). Model konseptual yang disusun kemudian divalidasi oleh pakar

(expert judgement) sesuai dengan bidang keahliannya. Tahapan validasi

dilakukan agar model konseptual mempunyai dasar teori yang ajeg yang

sesuai dengan kaidah ilmiah. Selain itu, model konseptual sangat mungkin

untuk dikembangkan lebih jauh sesuai dengan kebutuhan di lapangan yang

mengacu pada perkembangan proses pembelajaran warga belajar.

Tahap kedua, menguji model konseptual yang telah disusun dan

divalidasi dilapangan atau masyarakat. Pengujian dimaksudkan untuk melihat

apakah model yang telah disusun mempunyai efektifitas dan efisiensi secara

nyata di lapangan. Selama uji coba model dilakukan evaluasi, revisi dan

penyempurnaan agar ditemukan model yang efektif dan efisien. Model

tersebut selanjutnya didokumentasikan dan dijadikan model akhir sebagai

produk dari penelitian ini. Dua tahapan penelitian tersebut mengacu pada

tahapan prosedur penelitian dan pengembangan yang dikemukakan oleh Borg

dan Gall (1979:626).

Untuk merealisasikan penelitian ini, secara oprasional dilakukan

prosedur sebagai berkut:

(37)

Pada penelitian tahap pertama dilakukan beberapa kegiatan yang

mendukung untuk menyusun model pembalajaran pendidikan keaksaraan

fungsional secara teoritis. Penelitian tahap pertama merupakan kegiatan

yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan penelitian. Beberapa

kegiatan yang dilakukan pada penelitian tahap pertama, antara lain:

1. Persiapan pengkajian dan kunjungan pengakraban dengan masyarakat

subyek penelitian

2. Penyelesaian prosedur dan perijinan yang diperlukan

3. Pembentukan tutor atau fasilitator

4. Pengumpulan informasi yang lengkap dengan cara:

a. Pemetaan masalah, potensi dan sumber-sumber yang ada di

masyarakat

b. Pengkajian data skunder meliputi: analisis data dan profil

masyarakat.

c. Observasi langsung terhadap kehidupan masyarakat

5. Bersama-sama antara tutor dan warga belajar menyusun program

pembelajaran keaksaraan fungsional.

Berdasarkan studi pendahuluan dan dipadukan dengan kajian

teoritis kemudian dirumuskan model konseptual. Model konseptual

didasarkan pada komponen pembelajaran yang terdiri atas: warga belajar,

kondisi masyarakat, kebutuhan belajar, sumber belajar, tutor, waktu

belajar, kurikulum, metode pembelajaran, bahan dan sumber belajar,

(38)

melalui diskusi, expert judgement, dan konsultasi dengan pembimbing.

Langkah ini dilakukan agar model yang disusun sesuai dengan kaidah

keilmuan dan secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan.

Selanjutnya, model konseptual yang telah disusun disosialisasikan

dan didiskusikan lagi dengan warga belajar dan tutor sebagai bagian dari

proses dalam penelitian. Model yang dihasilkan akan dibuat sebagai model

oprasional, yakni model yang siap dilaksanakan dilapangan..

b. Uji coba Model (Eksperimen)

Perlakuan atau treatment yang diberikan pada warga belajar yaitu

berupa proses pembelajaran dengan menggunakan model tranliterasi yang

meliputi mambaca, menulis, berhitung dan Bahasa Indonesia. Untuk

melaksanakan ujicoba model tersebut diperlukan langkah-langkah yang

harus dilakukan yang meliputi:

1. Penentuan warga belajar dan kelompok belajar

2. Penentuan tutor

3. Melakukan tes kompetensi awal

4. Mengidentifikasi kebutuhan belajar dan sumber yang tersedia

5. Proses belajar mengajar menggunakan model pembelajaran tranliterasi

dengan memanfaatkan berbagai sumber dan kompetensi warga belajar

dengan dipandu oleh tutor dalam memperoleh pengetahuan dan

keterampilan

6. Evaluasi hasil pembelajaran.

(39)

c) Uji Inovasi

Uji onovasi dalukan untuk mengukur apakah model yang

dikembangkan termasuk ke dalam produk sebua inovasi atau bukan. Uji

ini mengacu kepada ciri-ciri atau karakteristik dari sebuah inovasi

sebagaimana yang dikemukakan oleh Rogers (1993:14-16). Proses uji

inovasi dalakukan dengan meemberikan kuisoner kepada tutor yang

pernah mengikuti pelatihan tutotr dengan metode transliterasi dan

menggunakan metode tersebut dalam proses pembelajaran keaksaraan

fungsional. Jumlah tutor yang diberi kuisioner sebanyak enambelas orang

tutor. Hasil dari kuisioner ini kemudian diolah dengan cara kualitatif

untuk mengukur apakah model pembelajaran transliterasi ini termasuk ke

dalam produk sebuah inovasi atau bukan. Pemaparan hasil dari kuisoner

ini disampaikan melalui perhitungan prosesntase tiap-tiap komponen dari

ciri-ciri sebagaiman di kemukakan oleh Rogers (1993:14-16) dalam kajian

teori.

Prosedur dan langkah penelitian tersebut dapat dituangkan dalam

suatu paradigma penelitian sebagai uraian secara keseluruhan penelitian

(40)

Bagan 4. Tahapan Penelitian

C. Subyek dan Objek Penelitian

Subyek penelitian difokuskan kepada masyarakat yang buta aksara

yang berusia 14 sampai 45 tahun. Adapun lokasi penelitiannya yaitu berada di

Kampung Pasekon Kelurahan Cilaja Kecamatan Majasari Kabupaten

Pandeglang Provinsi Banten. Kelompok ini dijadikan sebagai subyek untuk uji

coba model pembelajaran transliterasi. Sedangkan untuk uji inovasi dilakukan

(41)

sebanyak 5 orang, kampung Babakan Kalang Anyar Kecamatan Pandeglang 2

orang dan di kampung Jaha Kecamatan Labuan sebanyak 4 orang sehingga

berjumlah 11 orang.

Berdasarkan hasil survei pendahuluan didata sejumlah masyarakat

yang berusia 15-44 tahun yang masih buta aksara yang sebagian besar

pekerjaan mereka adalah ibu rumah tangga, bekerja sebagai buruh yang tidak

mempunyai penghasilan tetap dan kaum perempuan yang memiliki waktu

luang untuk mengikuti kegiatan pemberantasan buta aksara dibandingkan

dengan laki-laki sehingga dalam penelitian ini obyeknya perempuan.

Untuk objek penelitian dalam uji inovasi model pembelajaran yaitu

para tutor pendidikan kekasaraan fungsional sebanyak 11 orang yang berada

di wilayah Kabupaten Pandeglang. Karakteristik objek penelitian ini yaitu

tutor yang memiliki kompetensi tentang proses pembelajaran transliterasi

karena mereka sudah diberi pelatihan tentang proses pembelajaran tersebut.

Pemilihan para tutor didasarkan pada aktivitas mereka dalam program

pemberantasan buta aksara di Kabupaten Pandeglang. Jumlah yang diambil

sebagi ojek penelitian ini hanya 11 orang karena tutor yang memiliki

komptensi dalam tranliterasi hanya berjumlah 16 orang, yang 5 orang sudah

tidak aktif, ada yang meninggal dunia dan tidak berada di Kabupaten

(42)

D. Teknik Pengumpulan Data dan Instrumen Penelitian

Teknik pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini,

yaitu wawancara, observasi, tes dan studi dokumentasi. Setiap tenik

pengumpulan data yang digunakan terlebih dahulu dilakukan validasi.

Untuk instrument tes digunakan instrumen tes kompetensi awal

dan instrumen tes kompetensi akhir pembelajaran. Tes kompetensi

menggunakan tes yang terstandar yang dikembangkan oleh P2NFI

Regional Jawa Barat. Semua data yang telah terkumpul digunakan

sebagai dasar dalam menyusun model awal (model teoritis) program

pembelajaran keaksaraan fungsional.

Pada langkah penelitian tahap kedua, yaitu tahap uji coba model

digunakan instrument observasi dan tes. Kedua instrument tersebut

digunakan untuk mendapatkan data pada saat uji coba model program

sampai akhir. Observasi dilakukan untuk melihat pelaksanaan program

yang sedang dijalankan. Observasi pada tahap ini yaitu untuk mengetahui

sejauhmana warga belajar mengikuti program yang dipandu oleh peneliti.

Pengamatan dilakukan agar selalu mendapatkan data yang akurat untuk

tiap tahap proses pembelajaran. Pengamatan dilakukan melalui dari

penyusunan program pembelajaran, proses pembelajaran dan evaluasi

hasil belajar. Pengamatan yang dilakukan secara mendalam karena

(43)

selama proses sampai akhir pembelajaran. Pengamatan dilakukan dengan

tidak mengganggu proses warga belajar dalam mengikuti pembelajaran.

Pedoman wawancara dan observasi yang disusun selama proses pra

penelitian dan uji coba (eksperimen) dan untuk mengetahui fungsionalisasi

hasil belajar, antara lain:

a. Pedoman wawancara data diri warga belajar.

b. Pedoman wawancara identifikasi kebutuhan belajar.

c. Pedoman wawancara kontrak belajar.

d. Pedoman observasi proses pembelajaran.

e. Pedoman observasi aktivitas tutor dalam pembelajaran.

f. Pedoman observasi aktivitas belajar warga belajar.

g. Pedoman observasi aktivitas tutor dalam menggunakan waktu,

penggunaan media, dan penggunaan metode pemelajaran.

h. Pedoman observasi motivasi warga belajar

i. Pedoman wawancara penggunaan model-model pembelajaran dalam

pendidikan keaksaraan fungsional di Kabupaten Pandeglang Provinsi

Banten (responden tutor KF)

j. Pedoman wawancara penerapan kompetensi hasil belajar keaksaraan

fungsional dalam kehidupan sehari-hari. (responden warga belajar)

k. Pedoman wawancara penerapan kompetensi hasil belajar keaksaraan

fungsional dalam kehidupan sehari-hari (responden tetengga warga

belajar)

(44)

m. Pedoman observasi daya dukung masyarakat

n. Kuisioner uji inovasi Model Pembelajaran

E. Teknik Analisis dan Penapsiran Data

Data yang dihasilkan dari instrument penelitian dikelompokkan, dan

dikondisifikasi sesuai dengan jenis data yang didapatkan. Data yang telah

diperoleh akan disusun dan dirumuskan sesuai dengan kebutuhan penelitian.

Data yang diperoleh merupakan data kualitatif sehingga diperlukan

tenik analisis yang sesuai dengan jenis datanya. Oleh karena itu, data yang

telah dikumpulkan akan dianalisis dengan langkah-langkah yang dikemukakan

oleh Mc Millan dan Schumacher (2001:460). Ada empat langkah analisis data

penelitian yang akan ditempuh, yaitu:

1. Pengelolaan data, yaitu data yang telah diperoleh dikemukakan kemudian

dipilah sesuai dengan indikator-indikator yang telah ditentukan. Kemudian

data diringkas dan ditampilkan sesuai dengan kebutuhan penelitian. Selain

itu, data ditulis sesuai kaidah penulisan karya ilmiah.

2. Analisis selama pengumpulan data, yaitu agar data yang diambil

memenuhi syarat validitas dan reliabilitas, maka selama pengumpulan

semua data dianalisis. Analisis tersebut dimaksudkan agar tidak terjadi

kesalahan pengambilan data dan terhindar dari data yang bias.

3. Pengkodean dan Pengkategorian, yaitu data yang telah diperoleh diberikan

kode dan dimasukan kedalam kategori data yang sesuai. Pengkodean

dimaksudkan agar data tidak bercampur dengan data lain. Pengkodean

(45)

yaitu data yang telah diperoleh dimasukan ke dalam kategori yang sesuai.

Pengkategorian diperlukan untuk menunjukan tingkatan data yang

diperolah.

4. Menentukan pengolahan data dan menampilkan data. Setelah data diberi

kode dan disusun kedalam kategori yang ada, maka pengolahan data dapat

ditentukan. Penentuan pengolahan data akan dilihat dari jenis data dan

sifat data itu sendiri serta disesuaikan dengan konteks penelitian. Setelah

data diolah kemudian ditampilkan dengan ringkas, padat dan jelas.

Menampilkan data hasil penelitian akan disesuaikan dengan jenis

penelitian dan kemudian dalam membaca hasi penelitian. Tampilan data

hasil penelitian merupakan sentuhan hasil akhir, sehingga pembaca mudah

menentukan hasil akhir data penelitian. Tampilan data hasil penelitian

disusun berdasarkan kebutuhan penelitian. Data akan ditampilkan dalam

bentuk narasi ringkas, angka maupun dalam bentuk tabel. Semua data

tersebut telah lebih dahulu diedit sesuai dengan keperluan.

Selain itu, hasil tes yang dilakukan untuk mengukur ketercapaian

pembelajaran diolah sesuai dengan jenis soal. Tes tersebut untuk mengukur

kompetensi warga belajar yang berhubungan dengan materi pembelajaran

membaca, menulis, berhitung dan bahasa Indonesia. Data dari hasil tes

dikonfirmasikan dengan standar kompetensi yang dipersayaratkan. Sehingga

akan terlihat jumlah warga belajar yang sudah mencapai standar kompetensi.

(46)

pembelajaran dilakukan. Tes kompetensi berdasarkan Standar Kompetensi

Kelulusan (SKL) dan Standar Kompetensi Keaksaraan (SKK).

Langkah untuk menilai kepercayaan data penelitian dilakukan sesuai

dengan jenis instrument digunakan. Menilai kepercayaan data penelitian

sangat penting dalam suatu penelitian. Penilai data penelitian juga harus orang

yang memiliki kompetensi dan pakar dalam bidangnya. Selain dinilai oleh

para pakar kepercayaan dan penelitian harus pula dilakukan pengecekan silang

dengan sesama responden. Peneliti juga dapat menilai kepercayaan data

penelitian sesuai dengan kapasitas dan kompetensinya. Pada penelitian ini

penilaian kepercayaan data telah disusun sesuai dengan jenis instrument dan

pemilihan penilaian yang tepat. Instrument yang akan dinilai kepercayaan

datanya telah disusun pada tabel di bawah ini.

Tabel 1

Proses Menilai Kepercayaan Data Penelitian

No. Instrument Proses Penilaian

1 2 3

1. Pedoman wawancara data diri warga belajar Member cek dengan warga belajar lainnya.

2. Pedoman wawancara identifikasi kebutuhan

belajar Member cek dengan warga belajar lainnya

3. Pedoman wawancara kontrak belajar Member cek dengan warga belajar lainnya

4. Pedoman observasi proses pembelajaran Member cek dengan tutor dan warga belajar.

5. Pedoman observasi aktivitas tutor dalam

pembelajaran Member cek dengan warga belajar.

6. Pedoman observasi aktivitas belajar warga

belajar Member cek dengan tutor.

7.

Pedoman observasi aktivitas tutor dalam penggunaan waktu, penggunaan media dan penggunaan metode pembelajaran

(47)

9.

Member cek dengan tetangga warga belajar

12. Pedoman observasi keadaan lingkungan lokasi penelitian

Member cek dengan pegawai kelurahan dan tokoh masyarakat

13. Pedoman observasi daya dukung

masyarakat Member cek dengan tokoh masyarakat

14. Kuisioner Uji Inovasi model Pembelajaran Analisis Kulaitatif

(48)

BAB V

KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang telah diuraikan dan telah dibahas pada Bab

IV, maka secara umum dapat disimpulkan beberapa hal yaitu:

1. Model konseptual pembelajaran transliterasi disusun berdasarkan

komponen-komponen yaitu: warga belajar, kebutuhan belajar, sumber

belajar, tutor, waktu belajar, kurikulum, metode, bahan belajar, sumber

belajar, evaluasi dan fungsionalisasi hasil belajar. Sedangkan konsep yang

melandasi model pembelajaran transliterasi yaitu: konsep model, konsep

andragogi, konsep pemberdayaan, konsep literasi dan transliterasi.

2. Penerapan model pembelajaran transliterasi dalam proses pembelajaran

pendidikan keaksaraan fungsional dilakukan dengan langkah-langkah

yaitu: menyusun kesepakatan belajar, identifikasi kebutuhan belajar,

menentukan waktu, tempat, sumber belajar, media pembelajaran dan

materi pemebelajaran, mengidentifikasi potensi warga belajar,

melaksanakan proses pembelajaran dan terakhir evaluasi.

3. Model pembelajaran translitersi efektif dalam meningkatkan kompetensi

membaca, menulis dan berhitung warga belajar pendidikan keaksaraan

fungsional secara signifikan dilihat dari perbandingan antara hasil tes awal

(49)

4. Model akhir pembelajaran transliterasi sebagai inovasi dalam

meningkatkan kompetensi membaca, menulis dan berhitung warga belajar

pendidikan keaksaraan fungsional mencakup: tujuan dan asumsi,

sintakmatik, sistem sosial, prinsip reaksi, sarana pendukung, struktur

program, tempat dan waktu, kelompok belajar, tutor, hubungan tutor

dengan warga belajar, identifikasi kebutuhan belajar, materi, media,

metode, evaluasi dan fungsionalisasi hasil belajar.

B. Implikasi

Hasil penelitian ini diharapkan memiliki implikasi terhadap peneliti, tutor,

dan pengembang pembelajaran keaksaraan serta pemerintah. Impllikasi yang

diharapkan dari hasil penelitian ini sebagai berikut:

1. Tutor

Implikasi model pembelajaran transliterasi bagi tutor antara lain:

a. Mempermudah pelaksanaan proses pembelajaran pendidikan

keaksaraan fungsional.

b. Menjadi alternatif pemilihan model pembelajaran dalam pendidikan

keaksaraan fungsional.

c. Mendorong mereka untuk terus berkreasi dan aktif dalam

membimbing warga belajar.

2. Pengembang Pembelajaran Keaksaraan

Penerapan model pembelajaran transliterasi merupakan suatu

alternatif yang baik dalam penyelenggaraan pembelajaran keaksaraan.

(50)

mempercepat pengentasan masyarakat yang buta aksara. Bagi instasi

swasta atau lembaga penyelenggara pendidikan keaksaraan memperoleh

pengetahuan dan model baru dalam pembelajaran keaksaraan.

C. Rekomendasi

Dari kesimpulan yang di sampaikan di atas, maka peneliti

memberikan rekomendasi kepada beberapa pihak yang memiliki keterkaitan

dengan penyelenggaraan pendidikan keaksaraan fungsional sebagai berikut:

1. Penyelenggara Pendidikan Keaksaraan Fungsional

Bagi penyelenggaraan kegiatan pendidikan keaksaraan

fungsional, model pembelajaran Transliterasi dapat dijadikan sebagai

suatu pilihan.

2. Peneliti

Bagi peneliti yang akan melakukan penelitian dalam

pembelajaran keaksaraan fungsional berdasarkan hasil temuan pada

penelitian ini dapat direkomendasikan sebagai berikut:

a. Perlu dilakukan penenlitian dengan subyek dan obyek yang

berbeda.

b. Kajian teori tentang model pembelajaran transliterasi perlu

diperkaya.

(51)

DAFTAR PUSTAKA

Adimiharja, K., dan Hikmat, H. (2004). Participatory Research Appraisal:

Pengabadian dan Pemberdayaan Masyarakat. Bandung: Humaniora.

Archer, D. And Cottingham, S. (1995). Reflect Mother Manual: Regenerated

Freirean Literacy Through Empowering Community Techniqques.

London: ACTIONAID.

Arief, Z. (1994). Andragogi. Bandung: Angkasa.

Arief, Z dan Napitupulu, W.P. (1997). Pedoman Baru Menyusun Bahan Belajar. Jakarta: Grasindo.

Bayahan, Mike. (1995).Literacy Practice Investigating Literacy Sosial Context, London : Longman.

Biro Pusat Statistik & Ditjen PLSP Depdiknas (2004). Jumlah dan Presentase

Penduduk Buta Huruf Per Kecamatan Hasil Pendekatan/Pemetaan Buta Huruf Tahun 2003. Jakarta: BPS dan Ditjen PLSP Depdiknas.

Borg, W.B. And Gall, M.D. (1979). Educational Reserch: An Introduction. New York: Logman. Inc.

. (2003). Educational Reserch An Introduction 7rd

Ed. Boston: Person Educational. Inc.

Brookfiled, S.D. (1987). Understanding and facilitating Adult Learning. San Francisko: Jossey-Bas Publisher.

Bayaham, Mike. (1995). Literacy Practice Investigating Literacy in Sosial

Content. London: Longman

Chambers, R. (1996). Participatory Rural Apprasial: Memahami Desa Secara

Partisipatif. Yogyakarta: Kanisius.

. (1995). Poverty and Livelihoods: Whose Reality Count? Uner Kidar dan and Leonard Silk (Eds). People: From Impoverishment to

Empowerment. New York: New York University Press.

Gambar

Gambar 1 Paradigma Proses Komunikasi                                                    128
Tabel 1 Proses Menilai Kepercayaan Data Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

keseluruhan, luasan disini saya sarankan dengan pertimbangan upah buruh yang ada di Mayangan agar para penggarap minimal dengan luas garapan 0.12 Wa/KK memperoleh

Untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaan tersebut, perlu dilakukan langkah-langkah sebagai berikut: (1) mengembangkan framework yang dapat membantu menjelaskan

Bahasa-Bahasa di Semenanjung Malaysia Klasifikasi Bahasa Orang Asli Menurut Benjamin 1976 Kategori Rumpun Bahasa dan Suku Kaum Orang Asli Jumlah Penduduk Orang Asli Mengikut Suku

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ketiga variabel harga, keragaman barang, kualitas pelayanan, akan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap keputusan pembelian konsumen

Begitupun tingkat kinerja pegawai berada pada kategori tinggi.Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: Terdapat pengaruh motivasi intrinsik dan disiplin kerja

Untuk itu, penelitian ini telah dilakukan di provinsi Sumatera Utara sebagai salah satu sentra produksi jeruk di Indonesia yang bertujuan untuk mengetahui bagaimana dampak

(3) Dalam hal Balai Lelang tidak memperoleh identitas Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) dari Korporasi melalui pengumpulan informasi dan upaya lain sebagaimana

Tujuan Tugas: Mahasiswa diharapkan mampu membuat membuat aplikasi visual sebagai pengolah data dari file teks dengan menggunakan bahasa pemrograman java dan library java