DAFTAR ISI
B. Identifikasi dan Perumusan Masalah ... 11
C. Tujuan Penelitian ... 15
D. Manfaat Penelitian ... 16
E. Asumsi Penelitian ... 18
F. Definisi Operasional ... 18
G. Paradigma Penelitian ... 21
BAB II KAJIAN TEORI ... 28
A. Kajian Teori ... 29
1. Konsep Model ... 29
2. Konsep dan Hakekat Pendidikan Keaksaraan ... 30
2.1. Buta Aksara ... 30
2.2. Konsep Pendidikan Keaksaraan ... 38
2.3. Filosofi Pendidikan Keaksaraan ... 45
2.4. Kurikulum Pendidikan Keaksaraan ... 53
2.5. Strategi Dan Metode Pembelajaran Pendidikan Keaksaraan ... 59
3. Konsep Literasi Dan Transliterasi ... 91
3.1. Konsep Literasi ... 91
3.2. Konsep Pengajaran Literasi ... 93
3.3. Landasan Konsep Pengajaran Literasi ... 96
3.4. Konsep Translitasi ... 99
3.5. Model-Model Transliterasi Arab Latin ... 108
4. Konsep Inovasi dan Inovasi Pendidikan ... 112
4.1. Pengertian Inovasi ... 112
4.2. Karakteristik Inovasi ... 119
4.3. Proses Keputusan Inovasi ... 124
B. Review Hasil Penelitian Terdahulu ... 140
BAB III PROSEDUR PENELITIAN ... 144
A. Pendekatan dan Metode Penelitian ...144
B. Prosedur Penelitian ...145
C. Subjek dan Objek Penelitian ...149
D. Teknik Pengumpulan Data dan Instrumen Penelitian ...151
E. Teknik Analisis Data dan Penapsiran Data ...153
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 157
A. Hasil Penelitian ...157
1. Studi Pendahuluan dan Kajian Empirik ...157
2. Penyusunan Model Konseptual ...160
3. Penyusunan Rancangan Model ...161
4. Validasi dan Revisi Model Konseptual dan Rancangan Model ...164
5. Model Uji Coba... ..166
6. Implementasi Model Pembelajaran Transliterasi (Uji Coba)... ....169
7. Efektifitas Model Pembelajaran Transliterasi ... ..181
B. Pembahasan Hasil Penelitian ... 199
C. Temuan Hasil Penelitian ... 231
BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI ... 233
A. Kesimpulan ... 233
B. Implikasi ... 234
C. Rekomendasi ... 235
DAFTAR TABEL
Matrik Model Uji Coba Pembelajaran Transliterasi
Daftar Hasil Tes Kemampuan Awal
Kesepakatan Kelompok Belajar 1 dan 2
Rencana Pembelajaran Keaksaraan Dasar Mata Pelajaran
Membaca
Rencana Pembelajaran Keaksaraan Dasar Mata Pelajaran
Menulis
Rencana Pembelajaran Keaksaraan Dasar Mata Pelajaran
Berhitung dan Berkomunikasi
Hasil Tes Kemampuan Akhir
Perbandingan antara Hasil Tes Kempuan Awal, Tes
Kemampuan Akhir dan Peningkatan Kemampuan WB
Kerangka Operasional Pengembangan Model Pembelajaran
Transliterasi sebagai Model Pembelajaran Pendidikan
Keaksaraan Fugnsional
Instrumen Uji Inovasi Model Pembelajaran Transliterasi
Data Responden (Tutor) Pendidikan Keaksaraan Fungsional
DAFTAR BAGAN
Bagan 1 Kerangka Berpikir Penelitian 27
Bagan 2 Model Bahasa dalam Konteks Sosial 94
Bagan 3 Aspek Literasi dalam Kerangka Penelitian 96
Bagan 4 Tahapan Penelitian 149
Bagan 5 Skenario Pembelajaran Keaksaraan dengan Model
Transliterasi 208
Bagan 6 Paradigma Pengembangan Model Pembelajaran Transliterasi
sebagi Inovasi Model Pembelajaran Pendidikan Keaksaraan
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Kisi-kisi Instrumen Penelitian
Lampiran 2 Instrumen Penelitian
Lampiran 3 Instrumen Tes Awal dan Tes Akhir
Lampiran 4 Standar Kompetensi Keaksaraan Dasar
Lampiran 5 Standar Kompetensi Level 1
Lampiran 6 Standar Kompetensi Level II
Lampiran 7 Daftar Hadir Tutor
Lampiran 8 Biodata Tutor
Lampiran 9 Daftar Peserta
Lampiran 10 Foto-Foto Kegiatan Pembelajaran
Lampiran 11 SK Pembimbing
Lampiran 12 Ijin Penelitian
Lampiran 13 Rekomendasi Penelitian
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Sumber daya manusia merupakan salah satu modal dasar
pembangunan nasional yang memegang peran penting untuk tercapainya
tujuan pembangunan nasional. Tanpa adanya manusia maka pembangunan
dimanapun tidak akan berjalan. Karena pentingnya sumber daya manusia ini,
maka kuantitas dan kualitas sumber daya manusia ini harus terjaga.
Kuantitas berkaitan dengan populasi atau jumlah, dan kualitas berkaitan
dengan kompetensi tiap individu yang ditunjukan dengan skill atau
keterampilan.
Namun yang terjadi di negara kita, baik jumlah maupun keterampilan
yang dimiliki tiap individu menjadi masalah besar. Jumlah penduduk banyak
dan hampir mencapai tiga ratus juta serta kompetensi tiap individu yang
lemah sehingga mengakibatkan timbulnya berbagai persoalan. Apalagi krisis
yang terjadi di negara kita pada akhir tahun 1997-an telah melanda ke
berbagai aspek kehidupan. Salah satu dampak buruknya adalah meningkatnya
jumlah penduduk miskin.
Data terakhir menunjukan bahwa penduduk miskin di negara kita
kurang lebih 35 juta orang (Kusnadi, 2005). Hal ini sangat berpengaruh pada
menurunnya daya beli masyakarat untuk membiayai pendidikan. Bagi
mereka, kebutuhan pendidikan bersaing dengan kebutuhan fisik yang
berdampak pada lahirnya penduduk buta aksara yang sebagian besar melanda
bangsa kita. Data tahun 2009 menunjukan adanya masyarakat yang buta
aksara kurang lebih 9,76 juta orang (www.diknas.co.id.2009)
Kita memiliki tanggung jawab besar terhadap 9,76 juta penduduk
dewasa yang buta huruf tersebut untuk menjadi melek huruf, apalagi kita
terikat dengan Deklarasi Dakar yang harus menuntaskan masalah
kebutaaksaraan penduduk hingga tinggal 50% pada tahun 2015.
Sementara target yang harus dicapai oleh Pemerintah Indonesia
mengamanatkan harus tersisa kurang dari 5% penduduk buta aksara pada
tahun 2015 yang saat ini angkanya masih 5,92% dari total penduduk
Indonesia. Disamping itu, mengingat kebutaaksaraan merupakan salah satu
indikator penting dalam penentuan HDI (Human Development Index), yang
saat ini Indonesia berada pada peringkat 109 dari 179 negara. Berkaitan
dengan peringkat HDI ini pemerintah bertekad untuk mencapai posisi di
bawah angka 91 pada tahun 2015.
Di Provinsi Banten tingkat buta aksara berhasil diturunkan hingga
72,25 persen per-Agustus 2010 dari jumlah 511.854 tahun 2004. Pada
tahun 2005 angka buta aksara di Banten menurun secara signifikan
sebesar 1,82 persen atau sebanyak 9.180 jiwa, dan pada tahun 2006
menurun sebesar 8,36 persen atau sebanyak 42.000 jiwa. Pada tahun 2009
tinggal 155.305 jiwa, dan pada tahun 2010 penduduk yang buta aksara di
Di Kabupaten Pandeglang jumlah penyandang buta aksara sekitar
10 ribu orang dari total penduduk Pandeglang sebanyak 1,2 juta orang.
Jumlah penyandang buta aksara ini tersebar di seluruh wilayah Pandeglang
yang terdiri dari 35 kecamatan dan yang terbanyak berada di wilayah
pedesaan sekitar 70 prosen. (Surat Kabar Berkah Edisi No.281, Oktober 2010)
Tekad pemerintah membebaskan orang-orang ini dari
kebutaaksaraan, patut dihargai tetapi perlu disadari benar, bila motivasi itu
lebih politis misalnya sekedar mengejar kenaikan ”Indeks Pembangunan
Manusia” (Human Development Index), maka program Pemberantasan Buta
Aksara hanya akan membebani hidup mereka, karena mereka dijadikan
target kegiatan nasional yang tujuannya sama sekali tidak fungsional bagi
mereka. Disamping itu harus dipahami bahwa penyebab kebutaaksaraan
seringkali bersifat struktural yaitu peraturan-peraturan atau kebijakan
pemerintah yang membuat anak putus sekolah, sulit memperoleh bahan-bahan
tertulis untuk dibaca, kurang berkembangnya lapangan usaha ekonomi modern
yang mensyaratkan kompetensi membaca, menulis dan berhitung . Oleh
karena itu pemberantasan buta aksara harus pula disertai upaya
pemberantasan struktural yaitu dikaitkan dengan program-program
pembangunan yang nyata.
Proses belajar menjadi melek aksara tidak mudah, apalagi bagi
orang yang berusia dewasa, metode yang diterapkan harus bersifat
persuasiv dan partisipatif, melibatkan lingkungan mereka. Bila
tertinggal dalam penyerapan informasi melalui aktivitas membaca. Apalagi
sekarang ada gempuran yang dahsyat dari budaya ”audio-visual” yang bisa
membuat masyarakat kita yang bisa membacapun tergoda untuk menjadi
”masyarakat penonton” dan ”masyarakat pendengar” bukan sebagai
”masyarakat pembaca”. Semua ini bukan kesalahan teknologi, tetapi
kesalahan kita dalam membangun budaya. Kita harus bangkit menjadi
”learning society” yang gemar membaca. Ini adalah suatu perjuangan
tersendiri yang memerlukan suatu filosofi, strategi dan metode
implementasi tertentu.
Strategi dan metode dalam menuntaskan penduduk buta aksara
perlu terus digali dan dikembangkan dengan berbagai cara sehingga dapat
melahirkan suatu strategi dan metode baru yang paling tidak secara tepat
dapat digunakan dalam proses pembelajaran pendidikan keaksaraan.
Pengembangan strategi dan metode ini memungkinkan juga melahirkan suatu
model pembelajaran dalam pendidikan keaksaraan, yang pada akhirnya
akan dapat digunakan dalam program nasional pemberantasan buta aksara.
Program pengentasan buta aksara yang telah dilaksanakan melalui
beberapa program oleh pemerintah belum cukup efektif dalam upaya
mengurangi warga masyarakat yang buta aksara. Proses pengentasan buta
aksara dilakukan dengan program pembelajaran yang menggunakan
seperangkat bahan belajar yang berisikan aspek-aspek kehidupan yang
dasar agar mereka mampu menjadi warga negara yang produktif dan
bertanggung jawab.
Disisi lain, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah
mendorong terjadinya perubahan tuntutan dari masyarakat. Perubahan
tersebut dari program yang menekankan pada kompetensi membaca,
menulis, dan berhitung bergeser bukan hanya “calistung”, tetapi harus
mencakup keterampilan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu,
muncullah konsep keaksaraan fungsional (Functional Literacy).
Keaksaraan fungsional merupakan salah satu bentuk layanan
Pendidikan Luar Sekolah (PLS) bagi masyarakat yang belum dan ingin
memiliki kompetensi membaca, menulis, dan berhitung serta berfungsi
bagi kehidupannya. Kompetensi “calistung” yang telah dimiliki digunakan
untuk berusaha dan hidup mandiri serta berguna untuk kehidupannya.
Tujuan keaksaraan fungsional adalah bagaimana mengupayakan
kompetensi, pemahaman, dan penyesuaian diri guna mengatasi kondisi
hidup dan pekerjaannya. Keaksaraan fungsional menekankan pada suatu
kompetensi untuk dapat mengatasi suatu kondisi baru yang tercipta oleh
lingkungan masyarakat agar warga belajar dapat memiliki kompetensi
fungsional. Program keaksaraan fungsional dapat dilakukan melalui tiga (3)
tahap, yaitu: tahap pengentasan, tahap pembinaan, dan tahap pelestarian.
Pendidikan Kekasaraan fungsional berangkat dari empat latar
belakang yaitu idiologis, kultural, ekonomis, linguistik, dan motivasi
tulis merupakan bekal kelak setelah mati menghadap Tuhan guna
memperoleh kehidupan yang lebih baik. Kultural mengandung makna
bahwa orang yang bisa baca tulis akan mengenal budaya, sosial, politik,
dan yang lainya secara lebih baik. Ekonomi dalam kaidah keaksaraan
menunjukkan bahwa pesatnya perkembangan ekonomi disebabkan karena
dampak pendidikan dimana pertumbuhan industri dan kemajuan teknologi
diakibatkan karena majunya pendidikan yang didalamnya tentu ada
kompetensi membaca menulis dan berhitung.
Linguistik sebagai dasar keaksaraan fungsional ide pokonya
adalah bahwa keaksaraan fungsional mengajarkan keterampilan ekonomi
dan baca tulis secara bersamaan. Dalam konteks mengajarkan, baca tulis
tentu berangkat dari konsep linguistik. Sedangkan motivasi menjadi penting
karena dalam teori belajar bahwa motivasi dapat mendorong seseorang
untuk belajar. Dalam pendidikan keaksaraan fungsional keterampilan
yang diperoleh setelah dia bisa membaca, menulis dan berhitung harus
dapat memberikan kepuasan kepada warga belajarnya. Kepuasan ini yang
akan mendorong seseorang untuk belajar setelah dia dapat membaca atau
menulis.
Desakan ekonomi, kesadaran orang tua terhadap pendidikan yang
masih rendah dan kekurangannya kompetensi dalam menghadapi
tantangan hidup merupakan faktor timbulnya kelompok masyarakat yang
keluarga yang banyak telah memunculkan adanya anak putus sekolah dan
atau tidak mampu untuk sekolah.
Pendidikan keaksaraan tidak bermakna apabila berdiri sendiri, tetapi
akan berdampak sangat luas ketika menjadi lokomotif dalam perbaikan sosial,
ekonomi, dan budaya yang ditimbulkannya. Pendidikan keaksaraan dapat
menjadi instrumen penting dalam rangka perbaikan sosial, ekonomi, dan
budaya masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan program yang tepat
dengan melibatkan masyarakat sekitar agar timbul kesadaran dan setelah
program usai mereka dapat melanjutkan dengan membentuk Pusat Kegiatan
Belajar Masyarakat (PKBM).
Secara filosofis, keaksaraan merupakan suatu idiologi karena
terdiri atas sekumpulan ide, kepercayaan dan sikap (Byanham dalam
Kusnadi, 2005:16). Apabila semuanya digabungkan akan membentuk
pandangan hidup masyarakat terhadap keaksaraan itu sendiri. Idiologi juga
akan mempengaruhi setiap orang dalam suatu komunitas yang harus
berpartisipasi sepenuh hati dalam gerakan keaksaraan. Oleh karena itu,
idiologi yang harus digunakan dalam program keaksaraan haruslah
idiologi masyarakat atau warga belajar itu sendiri. Walaupun idiologi
penyelenggara atau fasilitator berbeda dengan warga belajar itu bukan
merupakan suatu masalah.
Program keaksaraan harus memenuhi pandangan filosofi dari sisi
warga belajar. Filosofi tersebut mungkin saja mempunyai tujuan yang
keaksaraan. Mengingat masyarakat Indonesia memiliki berbagai ragam
budaya, adat, suku, agama, dan kepercayaan, sehingga tidak mungkin
menerapkan satu atau dua filosofi keaksaraan di Indonesia program
keaksaraan fungsional harus menerapkan kombinasi, sublimasi dan
integrasi dari filosofi keaksaraan kritis (Kusnadi, 2005:18).
Dalam proses pembelajaran pendidikan keaksaraan fungsional terdapat
berbagai komponen yang dapat mempengaruhi terhadap hasil belajar.
Komponen-komponen tersebut seperti pendekatan, strategi, metode,
media, materi, model maupun komponen lannya. Dalam proses melek
aksara pada pendidikan keaksaraan fungsional unsur kompetensi
membaca, menulis, dan berhitung ada hubungannya dengan konsep
kebahasaan. Dalam konsep kebahasaan, ada istilah literasi dan
transliterasi yang merujuk pada proses belajar melek aksara. Transliterasi
dalam istilah bahasa adalah proses pengalihan hurup/angka dari satu
bahasa ke hurup/angka bahasa lain seperti dari bahasa Arab ke bahasa
Latin. Transliterasi ini dapat digunakan dalam proses pembelajaran
pendidikan keaksaraan fungsional baik sebagai strategi, pendekatan,
metode mapun sebagai model pembelajaran. Menurut Kusnadi (2005)
transliterasi ini sudah digunakan dalam proses pembelajaran pendidikan
keaksaraan fungsional sebagai metode pembelajaran dengan nama metode
transliterasi. Metode pembelajaran ini dikembangkan karena secara filosofis
metode ini berangkat dari potensi awal warga belajar yang memiliki
Menurut Kusnadi (2005) Metode pembelajaran transliterasi akan
tepat jika digunakan pada komunitas muslim seperti Aceh, Sumatera Barat
(Padang), Sumatera Selatan, Lampung, Banten, Jabar, Jatim (daerah tapal
kuda), Madura, Kalbar, Kalsel, Sulsel dan sebagainya. Konsep utama dalam
metode transliterasi adalah mengalihkan atau menyamakan bunyi tulisan
(huruf/aksara, dan angka) dari satu bentuk (huruf/aksara, dan angka) ke
bentuk (huruf/aksara, dan angka) lain.
Metode pembelajaran transliterasi di kembangkan dari konsep
transliterasi yang mengandung pengertian yaitu pengalihan dari satu
hurup atau angka ke hurup atau angka lainnya. Dari konsep ini maka dalam
pembelajaran pendidikan keaksaraan fungsional dimana terjadi proses belajar
membaca, menulis, dan berhitung hurup latin, transliterasi ini dapat
digunakan sebagai cara dalam proses pembelajaran buta aksara, mengingat di
Indonesia sebagian warga belajar yang sudah melek huruf/aksara, dan angka
”ARAB”, namun masih buta aksara LATIN, maka dalam kaitan ini yang
dimaksud metode pembelajaran transliterasi ini adalah perpindahan dari
huruf/aksara dan angka Arab ke Latin. Transliterasi aksara Arab ke dalam
aksara Latin mensyaratkan: (1) kedekatan pelafalan antara kedua aksara yang
bersangkutan; dan (2) asal kata bahasa yang akan ditransliterasikan.
Metode pembelajaran ini sangat efektif untuk membantu warga belajar
buta aksara ”Latin”, tetapi mereka sudah memiliki sedikit kompetensi
membaca, menulis, dan berhitung dengan menggunakan huruf ”Arab”.
menyamakan ucapan bunyi huruf/aksara Arab dengan aksara Latin. Dalam
kaitan ini Warga belajar (WB) mempelajari kata-kata yang hampir sama
bunyinya dan menulisnya dengan huruf Arab, seperti kata ”IBU” terdiri dari
huruf ”Alif”, ”Ba” dan ”Wauw” dengan diberi harkat-harkat tertentu seperti
”Fathah”, ”Dhomah” dan ”Sukun”.
Dalam kaitan ini warga belajar ”mengalihkan” persamaan bunyi
huruf/aksara Arab dengan aksara Latin dalam bahasa Indonesia. Warga belajar
belajar berlatih tentang persamaan bunyi semua huruf Latin melalui
penggunaan huruf Arab, baik konsonan (huruf mati) maupun vokalnya (huruf
hidup), dan belajar kata-kata serapan dari bahasa Arab, seperti Masjid,
Sholat, Al-Qur’an, dan sebagainya.
Sebagai catatan tentang penggunaan metode pembelajaran transliterasi
ini adalah bahwa : (1) metode ini biasanya digunakan pada komunitas muslim
tradisional atau di lingkungan pondok pesantren; dan (2) metode ini hanya
efektif digunakan dalam proses pembelajaran Keaksaraan Fungsional
(KF), apabila warga belajarnya sudah memiliki pengetahuan dan kompetensi
membaca Al-Qur’an, atau paling tidak sudah mengenal huruf ”Hija’iyah”
beserta ”Harkat-harkatnya”
Dengan kompetensi awal yang dimiliki warga belajar, maka proses
pembelajaran akan lebih mudah dilakukan karena memanfaatkan kompetensi
awal peserta didik untuk dijadikan sebagai landasan pembelajaran.
Pemanfaatan kompetensi (kompetensi) awal peserta didik dalam proses
orang dewasa belajar sudah memiliki pengalaman diri. Pengalaman ini yang
melandasi kompetensi awal sesuai dengan seberapa banyak pengalaman
yang dimilikinya. Karena memiliki pengalaman, maka orang dewasa
mempunyai kesiapan diri untuk belajar (Arif, 1986). Kesiapan diri inilah
yang harus dioptimalkan oleh pendidik ketika perhadapan dengan peserta
didik orang dewasa. Pendidikan keaksaraan, terutama dalam pendidikan buta
aksara, sebagian besar warga belajarnya adalah orang dewasa.
Dengan demikian proses pembelajaran dalam pendidikan keaksaraan
atau pendidikan buta aksara harus menggunakan konsep dan prinsip
pembelajaran orang dewasa. Prinsip-prinsip pembelajaran orang dewasa
berangkat dari beberapa asumsi tentang orang dewasa yaitu bahwa orang
dewasa memiliki konsep diri, orang dewasa memiliki pengalaman, orang
dewasa memiliki kesiapan untuk belajar dan orang dewasa memiliki orientasi
terhadap belajar (Arif, 1994).
B. Identifikasi dan Perumusan Masalah
Gerakan Nasional Pemberantasan Buta Aksara telah dilakukan oleh
pemerintah diseluruh tanah air. Berbagai strategi, metode dan tehnik juga
telah dilakukan. Namun kenyataannya di lapangan masih banyak penduduk
yang menyandang buta aksara.
Permasalahan di lapangan terkait dengan upaya pemberantasan buta
aksara kerap masih muncul kepermukaan, seperti keterbatasan dana,
terkait dengan metode atau tehnik pembelajaran yang kesemuanya itu harus
mendapat perhatian serius bila kita ingin program nasional ini sukses.
Salah satu masalah yang perlu mendapat perhatian dalam mensukseskan
program nasional pemberantasan buta aksara terkait dengan proses
pembelajaran yang di dalamnya dilakukan berbagai pendekatan, strategi,
model, metode, media dan sumber belajar. Berbagai komponen tersebut
harus mendapat perhatian. Salah satu dari komponen tersebut yang harus
mendapat perhatian dalam proses pembelajaran keaksaraan fungsional yaitu
pengembangan model pembelajarannya. Model pembelajaran yang dapat
dikembangkan yaitu model pembelajaran transliterasi. Model pembelajaran
transliterasi ini merupakan pengembangan dari metode pembelajaran
transliterasi yang belum banyak di gunakan para penyelenggara program
pemberantaan buta aksara khususunya di Kabupaten Pandeglang Provinsi
Banten.
Model Pembelajaran transliterasi sebagai model pembelajaran dalam
kegiatan pembelajaran pendidikan keaksaraan fungsional merupakan
pengembangan dari transliterasi yang juga telah digunakan sebagai metode
pembelajaran. Model pembelajaran transliterasi sangat cocok digunakan di
Kabupaten Pandeglang karena kondisi dan kultur masyarakat Kabupaten
Pandeglang Provinsi Banten sangat cocok dengan konsep model ini.
Di Kampung Pasekon Kelurahan Cilaja Kecamatan Majasari
Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten masih terdapat warga masyarakat
kurang lebih lima kilometer dari pusat ibu kota kabupaten. Dilihat dari
kondisi geografi sangatlah kurang wajar, karena akses untuk memperoleh
pendidikan sangatlah mudah. Namun kenyataan ini tidak bisa dipungkiri,
sehingga menimbulkan masalah khusus yang harus segera di pecahkan.
Namun mereka yang buta aksara tersebut ternyata tidak buta aksara Arab,
karena mereka bisa membaca Al Qur’an dengan baik. Oleh karena itu upaya
pemberatasan buta aksara di Kampung ini menggunakan model
pembelajaran transliterasi.
Kusnadi (2006) memberikan beberapa alasan penggunaan metode
pembelajaran transliterasi sebagai metode pembelajaran yaitu (1) biasanya
digunakan dalam komunitas muslim tadisional atau lingkungan pondok
pesantren; dan (2) efektif digunakan dalam keaksaraan fungsional apabila
warga belajarnya sudah memiliki kompetensi baca, tulis hitung Arab dan
membaca Al Qur’an.
Namun berdasarkan hasil telaah disejumlah penyelenggara kegiatan
keaksaraan fungsional yang dilakukan penulis, Transiliterasi belum
digunakan dalam proses pembelajaran keaksaraan fungsional di Kabupaten
Pandeglang yang seluruh warga belajarnya adalah muslim dan memiliki
kompetensi awal dalam membaca Al Qur’an. Hal inilah yang menjadi masalah
mengapa penulis mengangkat dalam penelitian ini. Kemudian transliterasi ini
dapat dikembangkan untuk menjadi inovasi model pembelajaran dalam
pendidikan keaksaraan. Pengembangan transliterasi menjadi sebuah model
sebuah penelitian dan pengembangan. Dari uraian tersebut maka secara garis
besar masalah-masalah yang berkaitan dengan pembelajaran dalam pendidikan
keaksaraan fungsional dapat diidentifikasi sebagai barikut :
1. Proses pembelajaran pendidikan keaksaraan fungsional di Kabupaten
Pandeglang Provinsi Banten belum menggunakan transliterasi sebagai
model pembelajaran.
2. Potensi warga belajar yang memiliki kompetensi dalam baca tulis Arab
dan membaca Al Qur’an belum digunakan sebagai dasar dalam proses
pembelajaran pendidikan keaksaraan.
3. Proses pembelajaran pendidikan keaksaraan fungsional belum
melibatkan warga belajar secara aktif.
4. Kompetensi para tutor dalam menggunakan strategi, pendekatan, model
maupun metode pembelajaran pendidikan kekasaraan fungsional masih
belum optimal.
5. Kurangnya inovasi yang dilakukan oleh para penyelenggara maupun
tutor dalam proses pembelajaran.
Dari masalah-masalah yang dikemukakan di atas, maka penulis
merumuskan masalah dalam penenlitian ini adalah sebagai berikut:
”Bagaimanakah model pembelajaran yang efektif sebagai inovasi dalam
meningkatkan kompetensi membaca, menulis, dan berhitung warga
belajar Pendidikan Keaksaraan Fungsional di Kabupaten Pandeglang
Provinsi Banten?”. Untuk mendapatkan jawaban dari permasalahan tersebut,
1. Bagaimanakah konstruksi konseptual model pembelajaran transliterasi
dalam meningkatkan kompetensi membaca, menulis, dan berhitung warga
belajar pendidikan keaksaraan fungsional di Kabupaten Pandeglang
Provinsi Banten?.
2. Apakakah model pembelajaran transliterasi dapat diimplementasikan
dalam proses pembelajaran untuk meningkatkan kompetensi membaca,
menulis, dan berhitung warga belajar pendidikan keaksaraan fungsional
di Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten?.
3. Bagaimanakah efektifitas model pembelajaran transliterasi dalam
meningkatkan kompetensi membaca, menulis, dan berhitung warga
belajar pendidikan keaksaraan fungsional di Kabupaten Pandeglang
Provinsi Banten?
4. Bagaimanakah model akhir pembelajaran transliterasi sebagai inovasi
dalam meningkatkan kompetensi membaca, menulis, dan berhitung warga
belajar pendidikan keaksaraan fungsional di Kabupaten Pandeglang
Provinsi Banten?.
C.Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menemukan model
pembelajaran transliterasi yang dapat meningkatkan kompetensi membaca,
menulis, dan berhitung warga belajar pendidikan keaksaraan fungsional
sehinggga dapat digunakan sebagai inovasi dalam proses pembelajaran
pendidikan keaksaraan fungsional di Kabupaten Pandeglang Provinsi
Adapun secara khusus penelitian ini bertujuan sebagai berikut:
1. Mengembangkan bangun konseptual model pembelajran transliterasi
dalam meningkatkan kompetensi membaca, menulis, dan berhitung
warga belajar pendidikan keaksaraan fungsional di Kabupten
Pandeglang Provinsi Banten
2. Mendapatkan gambaran penerapan model pembelajaran transliterasi
dalam proses pembelajaran untuk meningkatkan kompetensi membaca,
menulis, dan berhitung warga belajar pendidikan keaksaraan fungsional di
Kabupten Pandeglang Provinsi Banten
3. Memperoleh gambaran mengenai efektifitas model pembelajaran
transliterasi dalam meningkatkan kompetensi membaca, menulis dan
berhitung warga belajar pendidikan keaksaraan fungsional di Kabupten
Pandeglang Provinsi Banten.
4. Mendapatkan model akhir pembelajaran transliterasi sebagai inovasi
dalam meningkatkan kompetensi membaca, menulis dan berhitung warga
belajar pendidikan keaksaraan fungsional di Kabupaten Pandeglang
Provinsi Banten.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara
teoritis untuk memperkaya khazanah keilmuan, maupun secara praktis
untuk kepentingan penyelenggaraan pendidikan keaksaraan fungsional.
Temuan penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi
untuk penyelengaraan pendidikan keaksaraan fungsional, yang didalamnya
tercangkup model pembelajaran transliterasi. Selanjutnya model
pembelajaran transliterasi ini juga diharapkan menjadi inspirasi untuk
lahirnya model-model pembelajaran yang lain.
Secara praktis temuan penelitian ini diharapkan dapat memberikan
manfaat sebagai berikut:
1. Memberikan gambaran dan alternatif kepada penyelenggara
pendidikan keaksaraan fungsional dalam mengembangkan model
pembelajaran.
2. Memberikan masukan dan alternatif kepada pemerintah mengenai
pembinaan penyelenggaraan pendidikan keaksaraan fungsional melalui
model pembelajaran transliterasi.
3. Menggugah para penyelenggara pendidikan keaksaraan fungsional dan
para praktisi lain untuk berperan sebagai inovator dalam menemukan
model pembelajaran yang lain yang lebih inovatif.
4. Menyediakan bahan dan titik masuk bagi penelitian lebih lanjut
E. Asumsi Penelitian
1. Warga belajar dalam pendidikan keaksaraan fungsional pada umumnya
orang dewasa, dan memiliki kompetensi awal dalam membaca, menulis
atau berhitung dalam bahasa Arab, bahasa Jawa atau bahasa lainnya.
2. Pendekatan pembelajaran dalam pendidikan orang dewasa
menggunakan pendekatan andragogi (Arif, 1964). Dalam pendidikan
keaksaraan fungsional di Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten,
warga belajarnya orang dewasa.
3. Metode Transliterasi akan efektif dan tepat digunakan dalam proses
pembelajaran keaksaraan fungsional pada warga belajar komunitas
muslim (Kusnadi, 2005). Di Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten,
warga belajar pendidikan keaksaraan fungsional semuanya muslim.
4. Sesuatu dikatakan inovasi jika memenuhi karakteristik atau sifat-sifat
inovasi seperti keuntungan relatif, kompatibel, kompleksitas, triabilitas
dan dapat diamati (Rogers, 1993).
F. Definisi Operasional
Untuk menghindari salah mengartikan atau salah menafsirkan
beberapa istilah yang ada dalam penenlitian ini, maka perlu dijelaskan lebih
lanjut. Beberapa istilah yang digunakan dalam penelitian ini dapat dijelaskan
1. Model
Model diartikan sebagai prosedur sistematis dalam
mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar.
Dapat juga diartikan suatu pendekatan yang digunakan dalam kegiatan
pembelajaran (www.psikologikita.com). Model merupakan deskripsi atas
benda, prosedur, situasi atau pikiran untuk merancang suatu program
pembelajaran. Model adalah suatu pola yang dapat dijadikan contoh atau
rujukan untuk diterapkan di lapangan. Model merupakan versi sederhana
dari suatu kenyataan yang merepresentasikan komponen-komponen inti
dari kenyataan. Dalam arti lain, model dalam penelitian adalah
representasi komponen-komponen inti dalam proses pembelajaran
pendidikan keaksaraan fungsional.
Model dalam penelitian ini yaitu prototipe atau desain pembelajaran
berdasarkan transliterasi pada proses pembelajaran keaksaraan
fungsional dalam suatu masyarakat. Pengembangan model dapat
diartikan sebagai pola atau desain yang berupa konsep, karakteristik dan
strategi pelaksanaan yang memiliki kekhasan dibandingkan dengan model
sebelumnya dalam pendidikan keaksaraan fungsional.
2. Program Pembelajaran
Program pembelajaran dalam penelitian ini yaitu program
pembelajaran keaksaraan fungsional berdasarkan model pembelajaran
transliterasi yang diterapkan. Program pembelajaran yaitu suatu
pembelajaran disusun secara teoritis dan kemudian didiskusikan dengan
warga belajar sehingga akan mendapatkan program yang sesuai dengan
kebutuhan warga belajar. Program pembelajaran yang disusun dalam
penelitian ini yaitu program pembelajaran untuk pembelajaran pendidikan
keaksaraan fungsional di Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten.
3. Transliterasi
Transliterasi adalah, sebagai pengalihhurufan dari abjad yang satu ke
abjad yang lain (http:/www.slidshare.net/darono). Dalam penelitian ini
transliterasi diartikan sebagai pengalihhurufan dari huruf atau angka Arab
ke huruf atau angka Latin dalam proses pembelajaran pendidikan
keaksaraan fungsional. Pengalihhurufan dalam penelitian ini lebih
ditekankan pengalihurufan dari bahasa Arab ke bahasa Latin berdasarkan
pengalaman warga belajar dalam membaca Al Quran.
4. Model Pembelajaran Transliterasi
Dalam penelitian ini model pembelajaran transliterasi yaitu suatu
model yang dikembangkan dari transliterasi. Jadi model pembelajaran
transliterasi yaitu prototipe atau desain pembelajaran dengan
menggunbakan transliterasi sebagai proses mengalihkan huruf/aksara dan
angka Arab ke huruf/aksara dan angka Latin dalam proses pembelajaran
pendidikan keaksaraan fungsional..
5. Kompetensi membaca, menulis, dan berhitung dalam penelitian ini yaitu
suatu kompetensi yang dimiliki oleh warga belajar pendidikan keaksaraan
pendidikan keaksaraan fungsional dengan memberi penekanan terhadap
indikator-indikator kompetensi warga belajar melalui model pembelajaran
transliterasi yang efektif.
6. Pendidikan Keaksaraan Fungsional (Functional literacy) dalam
penenelitian ini secara sederhana diartikan sebagai kompetensi untuk
membaca, menulis, dan berhitung warga belajar yang buta aksara melalui
proses pembelajaran dengan menekankan fungsionalisasi hasil belajar.
7. Inovasi (innovation) ialah suatu ide, barang, kejadian, metode yang
dirasakan atau diamati sebagai suatu hal yang baru bagi seseorang atau
sekelompok orang (masyarakat) baik itu berupa hasil invention
maupun diskoveri (Rogers, 1993). Dalam penelitian ini inovasi yaitu
pembaharuan proses pembelajaran dalam pendidikan keaksaraan
fungsional dengan menggunakan model pembelajaran transliterasi
(pengalihhurufan dari Arab ke Latin)
G. Paradigma Penelitian
Keaksaraan fungsional merupakan suatu pendekatan atau cara untuk
mengembangkan kompetensi warga belajar dalam menguasai dan
menggunakan keterampilan menulis, membaca, berhitung, berfikir,
mengamati, mendengar, dan berbicara yang berorientasi pada kehidupan
sehari-hari dan lingkungan warga belajar.
Proses pembelajaran dalam pendidikan keaksaraan fungsional harus
mempertimbangkan aspek-aspek yang berkaitan erat dengan proses
atau sumber belajar. Aspek-aspek tersebut penting untuk diperhatikan karena
keberhasilan proses pembelajaran ditentukan sebagian besar oleh aspek-aspek
tersebut. Apek warga belajar merupakan faktor dominan karena tanpa
warga belajar proses pembelajaran tidak akan bisa dilaksanakan. Dalam
pendidikan keaksaraan fungsional karakteristik warga belajarnya memiliki
keunikan tersendiri karena pada umumnya mereka adalah orang dewasa.
Orang dewasa belajar berbeda dengan anak–anak, pendekatan yang
digunakannya harus andragogi.
Aspek strategi, model, dan metode juga penting untuk menjadi
perhatian karena keberhasilan dalam proses pembelajaran keaksaraan
fungsional juga ditentukan oleh strategi, model, dan metode. Berbagai
strategi, model dan metode dapat digunakan dalam proses pembelajaran,
namun tidak semua strategi, model, dan metode efektif untuk
meningkatkan kompetensi warga belajar. Penggunaan strategi, model, dan
metode harus mempertimbangkan berbagai hal karena tidak semua strategi
model dan, metode dapat digunakan dalam proses pembelajaran keaksaraan
fungsional tetapi harus menyesuaikan dengan situasi dan kondisi. Aspek
media juga memberikan kontribusi besar terhadap keberhasilan proses
pembelajaran karena dapat memberikan gambaran nyata terhadap apa yang
dipelajari.
Transliterasi sebagai suatu model pembelajaran yang dapat digunakan
dalam proses pembelajaran keaksaraan fungsional harus menjadi perhatian
lebih menitikberatkan pada bagaimana bahasa awal warga belajar
ditransliterasikan kedalam bahasa Latin, sehingga dipandang akan
mempermudah untuk memahami bahasa Latin.
Secara sederhana kerangka pikir penelitian ini adalah:
1. Warga belajar pendidikan keaksaraan fungsional adalah orang dewasa
yang sudah memiliki kompetensi awal.
2. Salah satau kompetensi awal yang dimiliki warga belajar pendidikan
keaksaraan fungsional adalah kompetensi dalam membaca atau menulis
huruf Arab.
3. Kompetensi awal yang dimiliki ini kemudian dijadikan modal untuk
mempelajari membaca, menulis, dan berhitung huruf Latin dengan cara
ditransliterasikan dari huruf Arab kedalam huruf Latin.
Pengentasan buta aksara menjadi sangat penting dan strategis
mengingat tingkat pendidikan penduduk Indonesia masih rendah. Oleh
karena itu, diperlukan suatu program yang efektif dalam mengurangi
jumlah penduduk yang buta aksara. Termasuk mereka yang sudah melek
huruf tidak kembali lagi menjadi buta aksara.
Masyarakat sebagai subyek dan obyek pembelajaran pemberantasan
buta aksara harus diketahui latar belakangnya, potensi dan sumber-sumber
yang dapat dikembangkan. Kekuatan masyarakat selayaknya dikembangkan
melalui proses pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik masyarakat.
Melibatkan mereka secara aktif dalam setiap langkah pembelajaran.
dengan bantuan tutor. Untuk membantu mereka memperoleh kompetensi
calistung, diperlukan metode pembelajaran yang efektif dengan
mempertimbangkan berbagai kompetensi yang dimiliki warga belajar dan
masukan-masukan lain yang secara tidak langsung dapat membantu
mempermudah warga belajar dalam melaksanakan proses pembelajaran.
Masukan-masukan yang ada disekitar warga masyarakat dapat menjadi
bekal dalam menjalani proses pembelajaran. Masukan tersebut yang terdiri
atas: raw input, instrumental input dan environmental input. Raw input atau
disebut juga masukan mentah terdiri atas latar belakang warga belajar, ide atau
gagasan, pengalaman, sikap atau perasaan, motivasi, minat, dan kebutuhan
serta masalah yang dihadapi. Semua masukan mentah akan menjadi energi
potensial yang besar untuk dikembangkan, akan tetapi dengan keberadaannya
itu dapat dijadikan model dasar dalam proses pembelajaran.
Instrumental input yaitu masukan yang berasal dari luar diri warga
belajar tetapi sangat terkait dengan keberlangsungan proses belajar mereka.
Instrumental input merupakan unsur pendukung yang sangat diperlukan
dalam membantu warga belajar menemukan cara belajar yang baik. Oleh
karena itu, unsur instrumental input yang meliputi: fasilitator atau tutor, waktu
belajar, biaya, peralatan belajar, dan pedoman pembelajaran harus
direncanakan dengan matang. Dalam kaitannya dengan penelitian ini,
instrumental input akan dikelola secara bersama-sama dengan warga belajar.
Environmental input yaitu masukan dari lingkungan sekitar dimana
mempercepat dalam pembelajaran warga belajar. Lingkungan belajar dapat
dimanfaatkan oleh tutor dan warga belajar dalam mencapai keinginan belajar
dan memenuhi kebutuhan belajar mereka. Dengan demikian, masukan
lingkungan akan sangat berpengaruh dalam kegiatan pembelajaran warga
belajar sehingga harus dikelola dengan baik.
Strategi, Model dan Metode yang tepat dalam proses pembelajaran
akan melahirkan kualitas pembelajaran yang baik. Makna kualitas yang baik
terkait erat dengan efektifitas, efisien, dan dapat dipertanggungjawabkan
(akuntabel). Kualitas proses yang baik selanjutnya akan melahirkan hasil
yang baik dan akan berdampak baik pula dikemudian hari.
Hasil dan dampak (output dan outcome) merupakan langkah
berikutnya yang diharapkan muncul sebagai hasil proses sebelumnya.
Hasil yang telah diperoleh warga belajar harus dapat digunakan dalam
kehidupan sehari-hari dalam rangka meningkatkan mutu hidup dan kehidupan.
Setelah memahami karakteristik masyarakat dan
komponen-komponen pendidikan keaksaraan. Selanjutnya disusun satu model
pembelajaran keaksaraan. Penyusunan model ini didasarkan pada kajian
empirik yang telah diamati dan telah terjadi. Kajian tersebut juga dilandasi
oleh pertimbangan secara teoritis.
Selain dari paparan di atas, dalam konsep pendidikan keaksaraan
fungsional potensi awal warga belajar juga menjadi bagian penting yang
harus menjadi dasar dalam menentukan strategi dan model pembelajaran.
dewasa yang dengan karakteristiknya memiliki perbedaan-perbedaan yang
juga harus menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan strategi dan model
pembelajaran keaksaraan fungsional.
Kondisi pembelajaran dalam keaksaraan pada umumnya diikuti oleh
peserta didiknya orang dewasa. Sehingga pendekatan yang digunakan lebih
banyak andragogi yang berarti memimpin, mengamong, atau membimbing.
Andragogi adalah suatu model proses pembelajaran peserta didik yang terdiri
atas orang dewasa. Andragogi disebut juga sebagai teknologi pelibatan orang
dewasa dalam kegiatan pembelajaran. Proses pembelajaran dapat terjadi
dengan baik apabila metode dan teknik pembelajaran melibatkan peserta
didik. Keterlibatan diri (ego peserta didik) adalah kunci keberhasilan dalam
pembelajaran orang dewasa.
Prosedur yang perlu ditempuh oleh pendidik sebagaimana
dikemukakan Knowles adalah sebagai berikut:
"The andragogical teacher (facilitator, consultant, change agent) prepares in advance a set of proceduresJor involving the leaners (and others relevant parties) in a process involving these elements : (a) establishing a climate conducive to learning; (b) creating a mechanism Jor mutual planning; (c) diagnosing the needs Jor learning; (d)JormuLating program objectives (which is content) that will satisfy these needs; (e) designing a pattern oflearning experiences, (f) conducting these learning experiences with suitable techniques and materials, and (g) evaluating the learning outcomes and rediagnosing learning needs" (Knowles, 1986 : 117).
Selain itu dalam penelitian ini diharapkan model pembelajaran yang
dikembangkan akan menjadi sebuah produk inovasi yang dapat digunakan
Dari paparan tersebut di atas, maka kerangka pikir penelitian ini dapat
digambarkan dalam bentuk bagan sebagai berikut :
BAB II
Warga Belajar
Kompetensi Membaca, Menulis dan Berhitung Huruf Latin Output
Kompetensi Membaca, Menulis, Berhitung Huruf Arab
Andragogi
Kompetensi Lainya
Proses Pembelajaran
Outcome Input
Proses
Kemandirian
BAB III
PROSEDUR PENELITIAN
A. Pendekatan dan Metode Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pendekatan
kualitatif. Metode penelitian yang digunakan yaitu metode penelitian dan
pengembangan (research and development) yang dikembangkan oleh
Borg dan Gall (1979:626).
Penelitian ini menggunakan lima langkah penelitian, yaitu: Pertama,
studi pendahuluan dalam rangka menggali fokus dan data awal penelitian baik
empiris maupun teoritis. Kedua, merumuskan model konseptual pembelajaran
dalam pendidikan keaksaraan fungsional secara teoritik, diteruskan menjadi
model oprasional. Ketiga, memvalidasi model teoritik melalui diskusi, expert
judgment dan konsultasi dengan pembimbing. Keempat, menguji efektifitas
model pembelajaran transliterasi dalam pendidikan keaksaraan fungsional.
Kelima, memvalidasi model yang diuji, direvisi dan dirumuskan menjadi
model akhir.
Pada penelitian ini dihasilkan produk berupa model pembelajaran
transliterasi dalam pendidikan keaksaraan fungsional yang efektif dan
akuntabel. Model ini didasarkan pada kondisi masyarakat yang diangkat
B. Prosedur Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan dua tahap yaitu tahap
pertama, studi pendahuluan dan perumusan model pembelajaran konseptual
(teoritis). Model konseptual yang disusun kemudian divalidasi oleh pakar
(expert judgement) sesuai dengan bidang keahliannya. Tahapan validasi
dilakukan agar model konseptual mempunyai dasar teori yang ajeg yang
sesuai dengan kaidah ilmiah. Selain itu, model konseptual sangat mungkin
untuk dikembangkan lebih jauh sesuai dengan kebutuhan di lapangan yang
mengacu pada perkembangan proses pembelajaran warga belajar.
Tahap kedua, menguji model konseptual yang telah disusun dan
divalidasi dilapangan atau masyarakat. Pengujian dimaksudkan untuk melihat
apakah model yang telah disusun mempunyai efektifitas dan efisiensi secara
nyata di lapangan. Selama uji coba model dilakukan evaluasi, revisi dan
penyempurnaan agar ditemukan model yang efektif dan efisien. Model
tersebut selanjutnya didokumentasikan dan dijadikan model akhir sebagai
produk dari penelitian ini. Dua tahapan penelitian tersebut mengacu pada
tahapan prosedur penelitian dan pengembangan yang dikemukakan oleh Borg
dan Gall (1979:626).
Untuk merealisasikan penelitian ini, secara oprasional dilakukan
prosedur sebagai berkut:
Pada penelitian tahap pertama dilakukan beberapa kegiatan yang
mendukung untuk menyusun model pembalajaran pendidikan keaksaraan
fungsional secara teoritis. Penelitian tahap pertama merupakan kegiatan
yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan penelitian. Beberapa
kegiatan yang dilakukan pada penelitian tahap pertama, antara lain:
1. Persiapan pengkajian dan kunjungan pengakraban dengan masyarakat
subyek penelitian
2. Penyelesaian prosedur dan perijinan yang diperlukan
3. Pembentukan tutor atau fasilitator
4. Pengumpulan informasi yang lengkap dengan cara:
a. Pemetaan masalah, potensi dan sumber-sumber yang ada di
masyarakat
b. Pengkajian data skunder meliputi: analisis data dan profil
masyarakat.
c. Observasi langsung terhadap kehidupan masyarakat
5. Bersama-sama antara tutor dan warga belajar menyusun program
pembelajaran keaksaraan fungsional.
Berdasarkan studi pendahuluan dan dipadukan dengan kajian
teoritis kemudian dirumuskan model konseptual. Model konseptual
didasarkan pada komponen pembelajaran yang terdiri atas: warga belajar,
kondisi masyarakat, kebutuhan belajar, sumber belajar, tutor, waktu
belajar, kurikulum, metode pembelajaran, bahan dan sumber belajar,
melalui diskusi, expert judgement, dan konsultasi dengan pembimbing.
Langkah ini dilakukan agar model yang disusun sesuai dengan kaidah
keilmuan dan secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan.
Selanjutnya, model konseptual yang telah disusun disosialisasikan
dan didiskusikan lagi dengan warga belajar dan tutor sebagai bagian dari
proses dalam penelitian. Model yang dihasilkan akan dibuat sebagai model
oprasional, yakni model yang siap dilaksanakan dilapangan..
b. Uji coba Model (Eksperimen)
Perlakuan atau treatment yang diberikan pada warga belajar yaitu
berupa proses pembelajaran dengan menggunakan model tranliterasi yang
meliputi mambaca, menulis, berhitung dan Bahasa Indonesia. Untuk
melaksanakan ujicoba model tersebut diperlukan langkah-langkah yang
harus dilakukan yang meliputi:
1. Penentuan warga belajar dan kelompok belajar
2. Penentuan tutor
3. Melakukan tes kompetensi awal
4. Mengidentifikasi kebutuhan belajar dan sumber yang tersedia
5. Proses belajar mengajar menggunakan model pembelajaran tranliterasi
dengan memanfaatkan berbagai sumber dan kompetensi warga belajar
dengan dipandu oleh tutor dalam memperoleh pengetahuan dan
keterampilan
6. Evaluasi hasil pembelajaran.
c) Uji Inovasi
Uji onovasi dalukan untuk mengukur apakah model yang
dikembangkan termasuk ke dalam produk sebua inovasi atau bukan. Uji
ini mengacu kepada ciri-ciri atau karakteristik dari sebuah inovasi
sebagaimana yang dikemukakan oleh Rogers (1993:14-16). Proses uji
inovasi dalakukan dengan meemberikan kuisoner kepada tutor yang
pernah mengikuti pelatihan tutotr dengan metode transliterasi dan
menggunakan metode tersebut dalam proses pembelajaran keaksaraan
fungsional. Jumlah tutor yang diberi kuisioner sebanyak enambelas orang
tutor. Hasil dari kuisioner ini kemudian diolah dengan cara kualitatif
untuk mengukur apakah model pembelajaran transliterasi ini termasuk ke
dalam produk sebuah inovasi atau bukan. Pemaparan hasil dari kuisoner
ini disampaikan melalui perhitungan prosesntase tiap-tiap komponen dari
ciri-ciri sebagaiman di kemukakan oleh Rogers (1993:14-16) dalam kajian
teori.
Prosedur dan langkah penelitian tersebut dapat dituangkan dalam
suatu paradigma penelitian sebagai uraian secara keseluruhan penelitian
Bagan 4. Tahapan Penelitian
C. Subyek dan Objek Penelitian
Subyek penelitian difokuskan kepada masyarakat yang buta aksara
yang berusia 14 sampai 45 tahun. Adapun lokasi penelitiannya yaitu berada di
Kampung Pasekon Kelurahan Cilaja Kecamatan Majasari Kabupaten
Pandeglang Provinsi Banten. Kelompok ini dijadikan sebagai subyek untuk uji
coba model pembelajaran transliterasi. Sedangkan untuk uji inovasi dilakukan
sebanyak 5 orang, kampung Babakan Kalang Anyar Kecamatan Pandeglang 2
orang dan di kampung Jaha Kecamatan Labuan sebanyak 4 orang sehingga
berjumlah 11 orang.
Berdasarkan hasil survei pendahuluan didata sejumlah masyarakat
yang berusia 15-44 tahun yang masih buta aksara yang sebagian besar
pekerjaan mereka adalah ibu rumah tangga, bekerja sebagai buruh yang tidak
mempunyai penghasilan tetap dan kaum perempuan yang memiliki waktu
luang untuk mengikuti kegiatan pemberantasan buta aksara dibandingkan
dengan laki-laki sehingga dalam penelitian ini obyeknya perempuan.
Untuk objek penelitian dalam uji inovasi model pembelajaran yaitu
para tutor pendidikan kekasaraan fungsional sebanyak 11 orang yang berada
di wilayah Kabupaten Pandeglang. Karakteristik objek penelitian ini yaitu
tutor yang memiliki kompetensi tentang proses pembelajaran transliterasi
karena mereka sudah diberi pelatihan tentang proses pembelajaran tersebut.
Pemilihan para tutor didasarkan pada aktivitas mereka dalam program
pemberantasan buta aksara di Kabupaten Pandeglang. Jumlah yang diambil
sebagi ojek penelitian ini hanya 11 orang karena tutor yang memiliki
komptensi dalam tranliterasi hanya berjumlah 16 orang, yang 5 orang sudah
tidak aktif, ada yang meninggal dunia dan tidak berada di Kabupaten
D. Teknik Pengumpulan Data dan Instrumen Penelitian
Teknik pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini,
yaitu wawancara, observasi, tes dan studi dokumentasi. Setiap tenik
pengumpulan data yang digunakan terlebih dahulu dilakukan validasi.
Untuk instrument tes digunakan instrumen tes kompetensi awal
dan instrumen tes kompetensi akhir pembelajaran. Tes kompetensi
menggunakan tes yang terstandar yang dikembangkan oleh P2NFI
Regional Jawa Barat. Semua data yang telah terkumpul digunakan
sebagai dasar dalam menyusun model awal (model teoritis) program
pembelajaran keaksaraan fungsional.
Pada langkah penelitian tahap kedua, yaitu tahap uji coba model
digunakan instrument observasi dan tes. Kedua instrument tersebut
digunakan untuk mendapatkan data pada saat uji coba model program
sampai akhir. Observasi dilakukan untuk melihat pelaksanaan program
yang sedang dijalankan. Observasi pada tahap ini yaitu untuk mengetahui
sejauhmana warga belajar mengikuti program yang dipandu oleh peneliti.
Pengamatan dilakukan agar selalu mendapatkan data yang akurat untuk
tiap tahap proses pembelajaran. Pengamatan dilakukan melalui dari
penyusunan program pembelajaran, proses pembelajaran dan evaluasi
hasil belajar. Pengamatan yang dilakukan secara mendalam karena
selama proses sampai akhir pembelajaran. Pengamatan dilakukan dengan
tidak mengganggu proses warga belajar dalam mengikuti pembelajaran.
Pedoman wawancara dan observasi yang disusun selama proses pra
penelitian dan uji coba (eksperimen) dan untuk mengetahui fungsionalisasi
hasil belajar, antara lain:
a. Pedoman wawancara data diri warga belajar.
b. Pedoman wawancara identifikasi kebutuhan belajar.
c. Pedoman wawancara kontrak belajar.
d. Pedoman observasi proses pembelajaran.
e. Pedoman observasi aktivitas tutor dalam pembelajaran.
f. Pedoman observasi aktivitas belajar warga belajar.
g. Pedoman observasi aktivitas tutor dalam menggunakan waktu,
penggunaan media, dan penggunaan metode pemelajaran.
h. Pedoman observasi motivasi warga belajar
i. Pedoman wawancara penggunaan model-model pembelajaran dalam
pendidikan keaksaraan fungsional di Kabupaten Pandeglang Provinsi
Banten (responden tutor KF)
j. Pedoman wawancara penerapan kompetensi hasil belajar keaksaraan
fungsional dalam kehidupan sehari-hari. (responden warga belajar)
k. Pedoman wawancara penerapan kompetensi hasil belajar keaksaraan
fungsional dalam kehidupan sehari-hari (responden tetengga warga
belajar)
m. Pedoman observasi daya dukung masyarakat
n. Kuisioner uji inovasi Model Pembelajaran
E. Teknik Analisis dan Penapsiran Data
Data yang dihasilkan dari instrument penelitian dikelompokkan, dan
dikondisifikasi sesuai dengan jenis data yang didapatkan. Data yang telah
diperoleh akan disusun dan dirumuskan sesuai dengan kebutuhan penelitian.
Data yang diperoleh merupakan data kualitatif sehingga diperlukan
tenik analisis yang sesuai dengan jenis datanya. Oleh karena itu, data yang
telah dikumpulkan akan dianalisis dengan langkah-langkah yang dikemukakan
oleh Mc Millan dan Schumacher (2001:460). Ada empat langkah analisis data
penelitian yang akan ditempuh, yaitu:
1. Pengelolaan data, yaitu data yang telah diperoleh dikemukakan kemudian
dipilah sesuai dengan indikator-indikator yang telah ditentukan. Kemudian
data diringkas dan ditampilkan sesuai dengan kebutuhan penelitian. Selain
itu, data ditulis sesuai kaidah penulisan karya ilmiah.
2. Analisis selama pengumpulan data, yaitu agar data yang diambil
memenuhi syarat validitas dan reliabilitas, maka selama pengumpulan
semua data dianalisis. Analisis tersebut dimaksudkan agar tidak terjadi
kesalahan pengambilan data dan terhindar dari data yang bias.
3. Pengkodean dan Pengkategorian, yaitu data yang telah diperoleh diberikan
kode dan dimasukan kedalam kategori data yang sesuai. Pengkodean
dimaksudkan agar data tidak bercampur dengan data lain. Pengkodean
yaitu data yang telah diperoleh dimasukan ke dalam kategori yang sesuai.
Pengkategorian diperlukan untuk menunjukan tingkatan data yang
diperolah.
4. Menentukan pengolahan data dan menampilkan data. Setelah data diberi
kode dan disusun kedalam kategori yang ada, maka pengolahan data dapat
ditentukan. Penentuan pengolahan data akan dilihat dari jenis data dan
sifat data itu sendiri serta disesuaikan dengan konteks penelitian. Setelah
data diolah kemudian ditampilkan dengan ringkas, padat dan jelas.
Menampilkan data hasil penelitian akan disesuaikan dengan jenis
penelitian dan kemudian dalam membaca hasi penelitian. Tampilan data
hasil penelitian merupakan sentuhan hasil akhir, sehingga pembaca mudah
menentukan hasil akhir data penelitian. Tampilan data hasil penelitian
disusun berdasarkan kebutuhan penelitian. Data akan ditampilkan dalam
bentuk narasi ringkas, angka maupun dalam bentuk tabel. Semua data
tersebut telah lebih dahulu diedit sesuai dengan keperluan.
Selain itu, hasil tes yang dilakukan untuk mengukur ketercapaian
pembelajaran diolah sesuai dengan jenis soal. Tes tersebut untuk mengukur
kompetensi warga belajar yang berhubungan dengan materi pembelajaran
membaca, menulis, berhitung dan bahasa Indonesia. Data dari hasil tes
dikonfirmasikan dengan standar kompetensi yang dipersayaratkan. Sehingga
akan terlihat jumlah warga belajar yang sudah mencapai standar kompetensi.
pembelajaran dilakukan. Tes kompetensi berdasarkan Standar Kompetensi
Kelulusan (SKL) dan Standar Kompetensi Keaksaraan (SKK).
Langkah untuk menilai kepercayaan data penelitian dilakukan sesuai
dengan jenis instrument digunakan. Menilai kepercayaan data penelitian
sangat penting dalam suatu penelitian. Penilai data penelitian juga harus orang
yang memiliki kompetensi dan pakar dalam bidangnya. Selain dinilai oleh
para pakar kepercayaan dan penelitian harus pula dilakukan pengecekan silang
dengan sesama responden. Peneliti juga dapat menilai kepercayaan data
penelitian sesuai dengan kapasitas dan kompetensinya. Pada penelitian ini
penilaian kepercayaan data telah disusun sesuai dengan jenis instrument dan
pemilihan penilaian yang tepat. Instrument yang akan dinilai kepercayaan
datanya telah disusun pada tabel di bawah ini.
Tabel 1
Proses Menilai Kepercayaan Data Penelitian
No. Instrument Proses Penilaian
1 2 3
1. Pedoman wawancara data diri warga belajar Member cek dengan warga belajar lainnya.
2. Pedoman wawancara identifikasi kebutuhan
belajar Member cek dengan warga belajar lainnya
3. Pedoman wawancara kontrak belajar Member cek dengan warga belajar lainnya
4. Pedoman observasi proses pembelajaran Member cek dengan tutor dan warga belajar.
5. Pedoman observasi aktivitas tutor dalam
pembelajaran Member cek dengan warga belajar.
6. Pedoman observasi aktivitas belajar warga
belajar Member cek dengan tutor.
7.
Pedoman observasi aktivitas tutor dalam penggunaan waktu, penggunaan media dan penggunaan metode pembelajaran
9.
Member cek dengan tetangga warga belajar
12. Pedoman observasi keadaan lingkungan lokasi penelitian
Member cek dengan pegawai kelurahan dan tokoh masyarakat
13. Pedoman observasi daya dukung
masyarakat Member cek dengan tokoh masyarakat
14. Kuisioner Uji Inovasi model Pembelajaran Analisis Kulaitatif
BAB V
KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang telah diuraikan dan telah dibahas pada Bab
IV, maka secara umum dapat disimpulkan beberapa hal yaitu:
1. Model konseptual pembelajaran transliterasi disusun berdasarkan
komponen-komponen yaitu: warga belajar, kebutuhan belajar, sumber
belajar, tutor, waktu belajar, kurikulum, metode, bahan belajar, sumber
belajar, evaluasi dan fungsionalisasi hasil belajar. Sedangkan konsep yang
melandasi model pembelajaran transliterasi yaitu: konsep model, konsep
andragogi, konsep pemberdayaan, konsep literasi dan transliterasi.
2. Penerapan model pembelajaran transliterasi dalam proses pembelajaran
pendidikan keaksaraan fungsional dilakukan dengan langkah-langkah
yaitu: menyusun kesepakatan belajar, identifikasi kebutuhan belajar,
menentukan waktu, tempat, sumber belajar, media pembelajaran dan
materi pemebelajaran, mengidentifikasi potensi warga belajar,
melaksanakan proses pembelajaran dan terakhir evaluasi.
3. Model pembelajaran translitersi efektif dalam meningkatkan kompetensi
membaca, menulis dan berhitung warga belajar pendidikan keaksaraan
fungsional secara signifikan dilihat dari perbandingan antara hasil tes awal
4. Model akhir pembelajaran transliterasi sebagai inovasi dalam
meningkatkan kompetensi membaca, menulis dan berhitung warga belajar
pendidikan keaksaraan fungsional mencakup: tujuan dan asumsi,
sintakmatik, sistem sosial, prinsip reaksi, sarana pendukung, struktur
program, tempat dan waktu, kelompok belajar, tutor, hubungan tutor
dengan warga belajar, identifikasi kebutuhan belajar, materi, media,
metode, evaluasi dan fungsionalisasi hasil belajar.
B. Implikasi
Hasil penelitian ini diharapkan memiliki implikasi terhadap peneliti, tutor,
dan pengembang pembelajaran keaksaraan serta pemerintah. Impllikasi yang
diharapkan dari hasil penelitian ini sebagai berikut:
1. Tutor
Implikasi model pembelajaran transliterasi bagi tutor antara lain:
a. Mempermudah pelaksanaan proses pembelajaran pendidikan
keaksaraan fungsional.
b. Menjadi alternatif pemilihan model pembelajaran dalam pendidikan
keaksaraan fungsional.
c. Mendorong mereka untuk terus berkreasi dan aktif dalam
membimbing warga belajar.
2. Pengembang Pembelajaran Keaksaraan
Penerapan model pembelajaran transliterasi merupakan suatu
alternatif yang baik dalam penyelenggaraan pembelajaran keaksaraan.
mempercepat pengentasan masyarakat yang buta aksara. Bagi instasi
swasta atau lembaga penyelenggara pendidikan keaksaraan memperoleh
pengetahuan dan model baru dalam pembelajaran keaksaraan.
C. Rekomendasi
Dari kesimpulan yang di sampaikan di atas, maka peneliti
memberikan rekomendasi kepada beberapa pihak yang memiliki keterkaitan
dengan penyelenggaraan pendidikan keaksaraan fungsional sebagai berikut:
1. Penyelenggara Pendidikan Keaksaraan Fungsional
Bagi penyelenggaraan kegiatan pendidikan keaksaraan
fungsional, model pembelajaran Transliterasi dapat dijadikan sebagai
suatu pilihan.
2. Peneliti
Bagi peneliti yang akan melakukan penelitian dalam
pembelajaran keaksaraan fungsional berdasarkan hasil temuan pada
penelitian ini dapat direkomendasikan sebagai berikut:
a. Perlu dilakukan penenlitian dengan subyek dan obyek yang
berbeda.
b. Kajian teori tentang model pembelajaran transliterasi perlu
diperkaya.
DAFTAR PUSTAKA
Adimiharja, K., dan Hikmat, H. (2004). Participatory Research Appraisal:
Pengabadian dan Pemberdayaan Masyarakat. Bandung: Humaniora.
Archer, D. And Cottingham, S. (1995). Reflect Mother Manual: Regenerated
Freirean Literacy Through Empowering Community Techniqques.
London: ACTIONAID.
Arief, Z. (1994). Andragogi. Bandung: Angkasa.
Arief, Z dan Napitupulu, W.P. (1997). Pedoman Baru Menyusun Bahan Belajar. Jakarta: Grasindo.
Bayahan, Mike. (1995).Literacy Practice Investigating Literacy Sosial Context, London : Longman.
Biro Pusat Statistik & Ditjen PLSP Depdiknas (2004). Jumlah dan Presentase
Penduduk Buta Huruf Per Kecamatan Hasil Pendekatan/Pemetaan Buta Huruf Tahun 2003. Jakarta: BPS dan Ditjen PLSP Depdiknas.
Borg, W.B. And Gall, M.D. (1979). Educational Reserch: An Introduction. New York: Logman. Inc.
. (2003). Educational Reserch An Introduction 7rd
Ed. Boston: Person Educational. Inc.
Brookfiled, S.D. (1987). Understanding and facilitating Adult Learning. San Francisko: Jossey-Bas Publisher.
Bayaham, Mike. (1995). Literacy Practice Investigating Literacy in Sosial
Content. London: Longman
Chambers, R. (1996). Participatory Rural Apprasial: Memahami Desa Secara
Partisipatif. Yogyakarta: Kanisius.
. (1995). Poverty and Livelihoods: Whose Reality Count? Uner Kidar dan and Leonard Silk (Eds). People: From Impoverishment to
Empowerment. New York: New York University Press.