• Tidak ada hasil yang ditemukan

DARI DWI TUNGGAL SAMPAI DWI TANGGAL : Kajian Historis Mengenai Dinamika Hubungan Politik Ir. Soekarno – Drs. Moh. Hatta 1945 - 1956.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "DARI DWI TUNGGAL SAMPAI DWI TANGGAL : Kajian Historis Mengenai Dinamika Hubungan Politik Ir. Soekarno – Drs. Moh. Hatta 1945 - 1956."

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

DARI DWI TUNGGAL SAMPAI DWI TANGGAL

“Kajian Historis Mengenai Dinamika Hubungan Politik Ir. Soekarno – Drs. Moh. Hatta 1945 - 1956”

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat

Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Jurusan Pendidikan Sejarah

Oleh

Mochamad Hendra Sukmana 0605808

JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH

FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

(2)

DARI DWI TUNGGAL SAMPAI DWI TANGGAL

“Kajian Historis Mengenai Dinamika Hubungan Politik Ir. Soekarno – Drs. Moh. Hatta 1945 - 1956”

Oleh

Mochamad Hendra Sukmana

Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana pada Fakultas Pendidikan Ekonomi dan Bisnis

© Moch. Hendra Sukmana 2013

Universitas Pendidikan Indonesia

Januari 2013

Hak Cipta dilindungi undang-undang.

Skripsi ini tidak boleh diperbanyak seluruhya atau sebagian,

(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Moch. Hendra Sukmana 0605808

DARI DWI TUNGGAL SAMPAI DWI TANGGAL

“Kajian Historis Mengenai Dinamika Hubungan Politik Ir. Soekarno –

Moh. Hatta 1945 - 1956”

DISETUJUI DAN DISAHKAN OLEH :

Pembimbing I

Drs. Suwirta. M. Hum

NIP.19700506 199702 1 001

Pembimbing II

Dr. Encep Supriatna. M.Pd

NIP. 19710604 200501 2 001

Mengetahui,

Ketua Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS UPI,

Prof. Dr. H. Dadang Supardan, M.Pd

(4)

Hatta 1945 - 1956”

By:

Moch. Hendra Sukmana

ABSTRACT

Kata kunci: Soekarno – Hatta, Dwitunggal, Dinamika Hubungan Politik

Masalah utama yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah Bagaimana dinamika hubungan politik Soekarno – Moh. Hatta tahun 1945 – 1956 yang asalnya disebut sebagai Dwitunggal sampai akhirnya disebut Dwitanggal. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa: pertama, Soekarno-Hatta tidak sekedar simbolisasi hubungan politis, tetapi juga hubungan kultural yang secara kasar masing-masing mewakili Jawa dan luar Jawa, sinkretisme Jawa dan Islam puritan, dan mistisisme dan merkantilisme. Kedua, dwitunggal Soekarno-Hatta adalah simbol Indonesia itu sendiri, yang terbentuk sebagai sebuah masyarakat majemuk.Dinamika hubungan poltik antara Soekarno dan Hatta ini menarik untuk dijelaskan, sebab dengan melihat posisi simbolis Hatta, maka pengunduran dirinya dari jabatan Wakil Presiden mempunyai implikasi yang tidak sederhana dalam kehidupan Indonesia pada waktu selanjutnya. Tindakan Hatta dapat ditafsirkan sebagai bentuk penarikan dukungan penduduk luar Jawa terhadap legitimasi pemerintah pusat. Di sini Soekarno mulai menjadi satu-satunya figur sentral dan poros kehidupan nasional Indonesia, sehingga keseimbangan politis nasional menjadi tidak seimbang sehingga mengakibatkan munculnya ketidakpuasan terhadap pemerintah pusat.

ABSTRAK

The main problem that will be investigated in this research is how is the polytic relationship dynamic between Soekarno – Moh. Hatta on year 1945 – 1956 that source is called Dwitunggal untill finally is called Dwitanggal. This invention research showed that: firstly, Soekarno – Hatta are not as a symbolization of polytic realtionship, but also as a cultural relationship that roughly both of them were represent Java and out of Java, the Java sincretism and Islamic puritanism, and also mysticism included mercantilism. Both of dwitunggal Soekarno – Hatta are Indonesia symbolization itself, that was formed as a complex society. This dynamic of polytic relationship between Soekarno and Hatta is interesting to be explained, because by seeing the symbolic position of Hatta, thus his resignation from the function as Vice-President has an implication that is not simple in the life of Indonesia in the futere. The action of Hatta can be interpreted as a form of withdrawal support society out of Java trough legitimation of the central government. Over here, Soekarno is begin to become the only one of central figure and axis the national life of Indonesia, so that the balance of national polytic was become unbalanced which then consecuenced of being dissapointed through the central government.

(5)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

UCAPAN TERIMA KASIH ... iii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan dan Pembatasan Masalah ... 10

1.3 Tujuan Penelitian ... 11

1.4 Manfaat Penelitian ... 11

1.5 Metode dan Teknik Penelitian ... 12

1.5.1 Metode Penelitian ... 12

1.5.2 Teknik Penelitian ... 13

1.6 Sistematika Penulisan... 14

BAB II TINJAUAN TEORITIS DAN KEPUSTAKA ... 15

2.1 Dasar-Dasar Pemikiran Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta ... 15

2.1.1 Sosialisme di Indonesia ... 15

2.1.1.1 Ir. Soekarno ... 15

2.1.1.2 Drs. Moh. Hatta ... 20

2.2.2 Demokrasi dan Kedaulatan Rakyat ... 24

2.2.2.1 Ir. Soekarno ... 24

2.2.2.2 Drs. Moh. Hatta ... 27

2.2.3 Bentuk Negara ... 29

2.2.3.1 Ir. Soekarno (Negara Kesatuan) ... 29

2.2.3.2 Drs. Moh. Hatta (Negara Serikat) ... 30

2.2.4 Ekonomi Indonesia ... 30

(6)

2.2.4.2 Drs. Moh. Hatta (Ekonomi Sosialis Indonesia ... 31

BAB III METODE PENELITIAN ... 33

3.1 Teknik Penelitian ... 35

3.2 Pendekatan Penelitian ... 35

3.3 Persiapan Penelitian... 36

3.3.1 Penentuan dan Pengajuan Tema Penelitian ... 36

3.3.2 Konsultasi ... 37

3.3.3 Pelaksanaan Penelitian ... 38

3.3.4 Pengumpulan Sumber (Heruistik) ... 38

3.3.5 Kritik ... 40

3.3.6 Penafsiran ( Interpretasi ) ... 41

3.4 Laporan Penelitian (Historiografi) ... 42

3.4.1 Teknik Penulisan Laporan ... 42

BAB IV DINAMIKA HUBUNGAN POLITIK Ir. SOEKARNO DENGAN Drs. MOH. HATTA TAHUN 1945 - 1956 ... 43

4.1 Kondisi Hubungan Politik Antara Ir. Soekarno Dengan Drs. Moh. Hatta Pada Masa Revolusi dan Demokrasi Liberal 1945 - 1950 ... 43

4.1.1 Hubungan Politik Pada Persiapan Naskah UUD 45 ... 49

4.1.2 Hubungan Politik Pasca Sidang BPUPKI ... 52

4.2 Kondisi Hubungan Politik Ir. Soekarno dengan Drs. Moh. Hatta Pada Masa Sistem Pemerintahan Parlementer Tahun 1950 - 1956 ... 58

4.3 Pengaruh Hubungan Politik Ir. Soekarno dengan Drs. Moh Hatta Terhadap Stabilitas Politik di Indonesia Pada Tahun 1945 - 1950 ... 65

4.3.1 Peran Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta Pada Tahun 1945 - 1956 ... 65

4.3.1.1 Perundingan Linggarjati ... 71

4.3.1.2 Perundingan Renville ... 78

(7)

4.3.2 Peranan Ir. Soekarno dan Drs. Moh Hatta Dalam

Pemerintahan Konstitusional Demokrasi Parlementer 1950

– 1956 ... 82

4.3.2.1 Jalannya dan Hasil Pemilu 1955 ... 85

4.3.3 Kondisi Politik Setelah Lengsernya Drs. Moh. Hatta Dari

Jabatan Wakil Presiden Tahun 1956 ... 93

BAB V KESIMPULAN... 99

5.1 Kesimpulan ... 99

DAFTAR PUSTAKA ...

LAMPIRAN-LAMPIRAN

(8)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta sebagaimana diketahui kedua tokoh

inilah yang mengangkat Indonesia dalam percaturan politik Internasional, baik itu

ketika masih dalam cengkraman kolonialisme Belanda maupun ketika masa

pendudukan Jepang. Begitu juga UUD 1945, segera diberlakukan sehari setelah

proklamasi kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945. Salah satu konsepi Ir.

Soekarno mengenai pembuatan partai tunggal yang di tuangkan ke dalam

keputusan PPKI yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI). Yang antara lain bahwa Ir.

Soekarno, memandang pemungutan suara (voting) akan berdampak tirani terhadap

minoritas. Dengan banyak partai, persatuan akan menjadi kabur dan

membingungkan rakyat. Seperti ungkapannya yang di tulis pada risalah Mentjapai

Indonesia Merdeka pada bulan maret 1933 :

“Satu partai pelopor? Ja, satu partai pelopor, dan tidak dua, tidak tiga! Satu partai sadja jang bisa paling baik dan paling sempurna jang lain tentu kurang baik dan kurang sempuran. Satu partai sadja jang bisa menjdadi pelopor.

Memang lebih dari satu pelopor, membingungkan massa. Lebih dari satu komandan membingungkan tentara. Riwajat duniapun menunjukan, bahwa di dalam tiap – tiap masa – aksi jang hebat adalah hanja satu partai sadja jang menjadi pelopor berdjalan di muka sambil memanggul bendera” (Soekarno, 1957 : 310).

Namun beberapa keputusan yang dibuat oleh PPKI ternyata tidak bisa

berjalan sempurna, terutama hal ini disebabkan karena kurangnya dukungan dari

elit politik nasional pada waktu itu (Kahin,1970:148). Kemudian dikeluarkan

Maklumat pemerintah tanggal 4 Nopember 1945 dalam Aturan Peralihan Pasal IV

UUD 1945 tentang perubahan PPKI menjadi KNIP (Komite Nasional Indonesia

Pusat) yang berfugsi sebagi lembaga pembantu presiden dan menyatakan presiden

Soekarno menjalankan kekuasaan MPR, DPR, dan DPA sebelum

lembaga-lembaga tersebut terbentuk (Manan, 2003:192). Hal ini antara lain, adalah

manifestasi dari pemikirannya tentang demokrasi yang cocok pada masyarakat

(9)

Indonesia dengan mengambil dari istilah sabda pandhito ratu, yang merupakan

suatu kultur terpimpin, dimana demokrasi terpimpin layaknya demokrasi yang

mengenal lembaga khalifah, dimana khalifah harus dipilih oleh umat Islam dan

khalifah harus mampu melidungi seluruh umat Islam. Pada suatu kesempatan lain

dalam pidatonya Ir. Soekarno mengibaratkan pemimpin merupakan pengembala.

Seorang kepala pemerintahan diartikan sebagai imam yang memiliki tanggung

jawab atas keadaan rakyatnya. Ternyata ketentuan tersebut di atas banyak tidak

disetujui oleh sebagian elit politik, karena mencerminkan kekuasaan presiden

yang bersifat absolut dan otoriter terutama dengan ambisi. Drs. Moh. Hatta yang

mempunyai keinginan untuk menjadikan Indonesia sebagai Negara yang

berdemokrasi.

Disusul dengan dikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden no. X pada

tanggal 16 Oktober 1945 bertujuan mengurangi kekuasaan presiden dan

mengubah ketentuan yang diberikan oleh Aturan Peralihan Pasal IV tersebut.

Maklumat Wakil Presiden no. X menetapkan bahwa Kabinet Presidensil yang

diatur oleh UUD 1945 diubah menjadi Kabinet Parlementer. Kabinet bertanggung

jawab kepada KNIP yang berfungsi sebagai DPR (Rauf, 2000:114-115).

Maklumat Wakil Presiden No. X ini merupakan pukulan telak terhadap

kepemimpinan Ir. Soekarno yang dinilai otoriter, selanjutnya Drs. Moh. Hatta

sebagai Wakil Presiden menandatangani maklumat tersebut sebagai ungkapan

kekesalannya terhadap kepemimpinan Ir. Soekarno dan merupakan bukti bahwa

Drs. Moh. Hatta lebih dekat dengan sistem liberal yang dicita-citakannya.

Demokrasi parlementer menurut Drs. Moh. Hatta mengutamakan

aspek-aspek politik. Definisi Parlementer di Barat merupakan hasil politik dari suatu

evaluasi politik, karena lapisan demi lapisan dan masyarakat memperoleh

kekuatan ekonomi, mereka maju ke medan perjuangan politik serta telah

mencapai kemenangan dan telah mendapat perwakilan parlementer. Demokrasi di

Indonesia mengandung unsur pembinaan dan pelaksanaan ekonomi yang besar.

demokrasi di Barat dapat menerima banyak bentuk, selama dua hal yang pokok

dipenuhi yaitu; (1) perwakilan rakyat secara jujur (2) pemerintahan yang

(10)

parlemen sebagai wakil rakyat dan pemerintahan yang bertangung jawab pada

parlemen. Di samping itu parlemen dan peralatan parlementer merupakan suatu

langkah maju ke arah pembangunan Demokrasi Parlementer (Hatta, 1957:50 54).

Sedangkan pandangan Ir. Soekarno terhadap Demokrasi Parlementer terdapat dalam tulisannya “demokrasi politik dan demokrasi ekonomi” pada pikiran rakyat 1932. Soekarno melihat bahwa liberalisme hanya menjamin hak –

hak politik, tetapi merintangi keadilan sosial. Untuk itu soekarno berpendapat ”kalau kita mencari demokrasi hendaknya bukan demokrasi barat tetapi permusyawarahan yang memberi hidup, yakni politik economische demokratie

yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial. Demokrasi barat menurut

Soekarno tempatnya kaum kapitalis mengontrol segala – galanya dan di situ tidak

ada keadilan social dan demokrasi ekonomi. Di sini, semua orang punya hak

memilih dan dipilih untuk masuk dalam parlemen. Akan tetapi, pada prakteknya,

model demokrasi parlementer itu sangat tidak menguntungkan bagi rakyat jelata.

Bagi Bung Karno, demokrasi parlementer merupakan sarana politik bagi „kapitalisme yang baru terbit‟, di bidang ekonomi setiap orang bertindak bagaikan raja, tetapi di bidang ekonomi tidak demikian. Seorang buruh yang berkuasa di

parlemen, bahkan berhasil menjatuhkan menteri, besok paginya di dalam pabrik

bisa dilempar keluar menjadi gembel. Dengan kata lain, di parlemen seorang

buruh bisa berkuasa laksana raja, tetapi di pabrik mereka tetap di bawah

kekuasaan sang majikan. Ia bisa dipecat kapan saja, dan kehilangan pekerjaannya.

Sebab, alat produksi tetap dikontrol oleh kapitalis.

Setelah proklamasi kemerdekaan RI. Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta

sebagai pemimpin rakyat Indonesia. Dapat dikatakan, dua pemimipin yang tidak

dapat dipisahkan, di mana Soekarno ada, di situ pun Hatta ada. Keduanya seperti

sudah melupakan sama sekali pertentangan faham yang terjadi pada tahun

1930-an, dan bahu - membahu dalam pikiran dan tindakan. Kalau sebelumnya mereka

dapat dikatakan saling mencela, pada saat-saat itu keduanya saling membela.

Sebagai Dwitunggal, keduanya sangat menonjol dalam detik-detik Proklamasi

kemerdekaan. Perjalanan Dwitunggal dalam pemerintahan sejak Proklamasi

(11)

berkaitan dengan strategi politik. Awalnya, Soekarno dan Hatta menjadi presiden

dan wakil presiden dalam sebuah kabinet presidensial. Namun, ternyata di mata

internasional Soekarno dianggap sebagai kolaborator Jepang yang tentu saja akan

menyulitkan perundingan - perundingan diplomasi. Maka, dibuatlah kesepakatan

pertama – tama PPKI yang dimaksud buatan Jepang diganti dengan Badan

Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan mengusulkan agar untuk

sementara waktu dibentuk kabinet parlementer untuk menangkis

serangan-serangan dari luar negeri terhadap Ir Soekarno atas nama rakyat yaitu sebagai

kolaborator Jepang sebagai Negara Fasis. Seperti sudah diketahui,

anggota-anggota KNIP diangkat oleh Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta untuk

menghilangkan citra pengikut Jepang di mata dunia. Ir. Soekarno dan Drs. Moh.

Hatta menyetujui usul Badan Pekerja itu. Dan, kemudian diangkatlah Sjahrir

sebagai perdana menteri dengan alasan bahwa presiden mendelegasikan

kekuasaan kepada perdana menteri untuk mengatasi kesulitan sementara waktu.

Bagaimanapun juga kepemimpinan dwitunggal Ir. Soekarno dan Drs. Moh

Hatta pada awal kemerdekaan khususnya pada masa demokrasi parlementer,

mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap persatuan RI. Seperti yang di tuturkan oleh Indriyanto “Soekarno-Hatta tidak sekedar simbolisasi hubungan politis, tetapi juga hubungan kultural yang secara kasar masing - masing mewakili

Jawa dan luar Jawa, sinkretisme Jawa dan Islam puritan, dan mistisisme dan

merkantilisme. Unsur-unsur kebudayaan dalam konteks politik mencakup

nilai-nilai, keyakinan - keyakinan, dan sikap - sikap emosional mengenai cara-cara

menjalankan pemerintahan” (Indriyanto, 2007: 12).

Dengan rentetan tekanan – tekanan politik yang harus dihadapi oleh RI

sejak Sutan Syahrir ditunjuk menjadi PM RI sampai digantinya sistem

pemerintahan Demokrasi Parlementer dengan Demokrasi Terpimpin. Peran

Dwitunggal Soekarno – Hatta sebagai peimimpin bangsa berkolaborasi dan satu

pikiran dalam menghadapi berbagai macam ancaman dari luar maupun dari dalam

Negeri. Seperti peristiwa 3 juli 1946 yang dimotori oleh kelompok yang tidak

menyukai negoisasi dengan Belanda. Khususnya terhadap PM Syahrir untuk

(12)

melakukan kudeta dan mengganti PM Syahrir dengan Tan Malaka dan hal ini

sangat dipandang sebagai masalah serius oleh Presiden Soekarno dengan

mengeluarkan maklumat nomor 1, 2, dan 3. Adapun maklumat tersebut mengarah

kepada kudeta, misalnya maklumat Nomor 2 berbunyi demikian: Atas desakan

rakyat dan tentara dalam tingkatan kedua terhadap Ketua Revolusi Indonesia yang

berjuang untuk rakyat, maka kami atas nama kepala negara hari ini

memberhentikan seluruh kementerian negara Sutan Syahrir. Yogyakarta, 3 Juli

1946, tertanda: Presiden RI Soekarno (Masykur, 2011: 54).

Hal yang nampak mencerminkan satu pemikirannya antara Ir. Soekarno

dengan Drs. Moh. Hatta adalah ketika kekompakan mereka pada sidang KNIP

tahun 1947, saat membahas persetujuan Linggarjati. Saat itu untuk meratifikasi

persetujuan Linggarjati butuh persetujuan parlemen, Drs . Moh Hatta bersikeras

membela Soekarno di depan sidang, agar KNIP menyetujui persetujuan

linggarjati. Pemerintah berniat untuk melaksanakan Perjanjian Roem-Royen,

namun pihak tentara, yang dipimpin Jenderal Soedirman menolak perjanjian itu.

Namun situasi mengalami jalan buntu, hingga akhirnya Jenderal Soedirman tidak

bisa lagi ikut pemerintah dan ingin mengundurkan diri. Walaupun Ir. Soekarno

berusaha menjelaskan semuanya namun tidak di hiraukan. Hingga akhirnya Bung

Hatta berkata, “Kalau saudara-saudara berhenti, maka lebih dahulu

Soekarno-Hatta berhenti, terserah APRI memimpin perjuangan, Soekarno-Soekarno-Hatta akan

mengikuti sebagai rakyat (Taher 2010: 6-7). Puncak Dwi tunggal adalah saat

Madiun Affair yang dikenal dengan pemberontakan PKI September 1948.

Pasukan Brigade 29 melakukan aksi sepihak dan menyerang Divisi Siliwangi,

setelah menguasai kota Madiun.. Pemerintah menganggap Musso sebagai

dalangnya, maka pada malam 19 September 1948, Ir. Soekarno berpidato di radio

dan mengajukan dua pilihan:

(13)

Pada kurun waktu 1950 - 1956 merupakan masa dimana Ir. Soekarno dan

Drs. Moh. Hatta sering mengalami benturan politik yang tidak bisa dielakan oleh

keduanya. Ir. Soekarno mulai frustasi terhadap Drs. Moh.Hatta yang

terus-menerus merongrong kekuasaannya, penempatan dirinya hanya sebagai simbol “can do no wrong” ternyata tidak membuatnya puas. Tugas yang dibebankan kepada Ir. Soekarno sebagai presiden nyaris tidak ada, hampir seluruhnya

dikerjakan oleh Drs. Moh. Hatta sebagai Perdana Menteri maupun sebagai Wakil

Presiden. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) lahir ditandai dengan

diberlakukannya Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950 setelah masa -

masa sulit menentukan ke arah mana negara ini mau dibawa terpecahkan.

Pertentangan antara Drs. Moh. Hatta dengan Ir. Soekarno kali ini berlanjut dalam

memandang permasalahan Irian Barat. Sesuai dengan kesepakan Konferensi Meja

Bundar (KMB) dimana dihasilkan suatu keputusan untuk menunda masalah Irian

Barat 1 (satu) tahun kemudian. KMB merupakan perundingan yang sangat

monumental bagi Drs. Moh. Hatta dimana hasilnya lebih menguntungkan

dibandingkan dengan perundingan - perundingan sebelumnya, walaupun demikian

Ir. Soekarno tidak merasa puas karena wilayah Irian Barat masih belum berada di

pangkuan Ibu Pertiwi. Cita-cita (ambisi) Ir. Soekarno yang menginginkan NKRI

berwilayah dari Sabang sampai Merauke. Moh. Natsir sebagai Perdana Menteri

pertama dalam masa ini lebih condong ke Drs. Moh. Hatta dari pada ke Ir.

Soekarno. Moh. Natsir merupakan kawan Moh. Hatta selama masih di Eropa

sehingga pemikirannya sama-sama liberal dengan Moh. Hatta. Keduanya

memandang bahwa masalah Irian Barat hanya dilakukan melalui perundingan –

perundingan saja, sedangkan Ir. Soekarno lebih radikal dengan mengupayakan

segala cara termasuk perjuangan fisik untuk merebut wilayah Irian Barat dari

pemerintahan Belanda. Akibatnya, umur kabinet Natsir pun tak lama hanya 6

bulan kabinet ini jatuh karena parlemen melakukan mosi tidak percaya terhadap

kabinet. Pada tangal 21 Maret 1951 secara resmi kabinet lengser dari

(14)

Perbedaan paham antara Drs. Moh. Hatta dengan Ir. Soekarno meningkat

pada masa pemerintahan kabinet Wilopo yang mulai memerintah sejak tanggal 30

Maret 1952. Komposisi kabinet bentukan Wilopo tidak disukai oleh Ir. Soekarno

walaupun Wilopo berasal dari partai PNI. Wilopo sendiri merupakan temannya

Drs. Moh. Hatta selama menjabat Menteri tenaga kerja semasa Hatta menjadi

Perdana Menteri. Banyaknya pergolakan di tubuh TNI dan menguatnya PKI

membuat keadaan tidak bisa dikendalikan, termasuk keadaan ekonomi pada waktu

itu yang semakin sulit. Kabinet ini kemudian menyerahkan mandatnya pada Juni

1953. Jatuh bangunnya kabinet dalam kurun waktu yang singkat ± 3 tahun

membuat posisi Drs. Moh. Hatta semakin melemah dan sebaliknya posisi Ir.

Soekarno dan golongan nasionalis lainnya semakin menguat dalam pengambilan

kebijakan di pemerintahan. Kabinet berikutnya yang dibentuk adalah kabinet Ali

Sastroamidjojo (Ali I). Komposisi Ali I yang tidak melibatkan Masyumi dan PSI

tetapi melibatkan NU (pasca keluar dari Masyumi) banyak menimbulkan

pergolakan. Tokoh - tokoh yang pro terhadap ide negara Islam mulai banyak

menyerang kabinet Ali I, yang pada akhirnya banyak terjadi gejolak di daerah

seperti di Aceh yang menginginkan mendirikan negara Islam. Persoalan lainnya

yang menghinggapi selama pemerintahan Ali I adalah mengenai kebijakan luar

negerinya yang menginginkan adanya kekuatan penyeimbang antara Blok Barat

dengan Blok Timur dengan menyelenggarakan konferensi Asia-Afrika

Hal yang memicu kerenggangan antara Drs. Moh. Hatta dengan Ir.

Soekarno pada kabinet ini terjadi pada masalah pengangkatan Kepala Staf

Angkatan Darat (KSAD). Ir. Soekarno dengan kekuasannya mengganti KSAD

dengan personel militer yang dianggap tidak cocok oleh Drs. Moh. Hatta.

Penunjukkan Bambang Utoyo sebagai KSAD oleh Ir. Soekarno banyak dikecam

oleh kalangan senior militer yang dekat dengan Drs. Moh. Hatta. Kalangan senior

menilai KSAD tunjukkan Ir. Soekarno tidak memiliki persyaratan untuk

menduduki jabatan tersebut seperti senioritas dan kecakapan. Permasalahan ini

tidak berlarut - larut dan Ir. Soekarno menyerahkan masalah ini ke Drs. Moh.

Hatta untuk menyelesaikannya, sedangkan Ir. Soekarno meninggalkan tanah air

(15)

Kabinet Ali I menyerahkan mandatnya kepada Drs. Moh. Hatta karena Ir.

Soekarno masih berada di tanah suci Mekah (Hartante, 2005: 36-37).

Pada pemerintahan kabinet Burhanudin Harahap kekosongan kekuasaan

ditubuh KSAD diisi oleh Abdul Haris Nasution sebagai perwira paling senior di

tubuh AD. Peningkatan intensitas pertentangan antara Ir. Soekarno – Drs. Moh.

Hatta pada masa ini mulai dirasakan sangat panas. Penunjukkan Burhanudin

Harahap oleh Drs. Moh. Hatta membuat Ir. Soekarno merasa dipinggirkan karena

pengangkatannya tanpa sepengetahuannya. Puncaknya terjadi ketika Bung Karno

menolak menandatangani RUU (perjanjian KMB). Drs. Moh. Hatta memandang

Ir. Soekarno telah melakukan kesalahan besar karena sengaja mencari-cari

masalah dalam urusan ini (Noer, 1990: 472 - 473). Kabinet Burhanuddin Harahap

menyerahkan mandatnya pasca pemilu I tahun 1955 yang dimenangkan oleh PNI.

PNI sebagai pemegang suara terbanyak dalam pemilu berhak menjadi fomatur

dalam kabinet yang dipimpin oleh Ali Sastroamidjojo (Ali II) pada tanggal 20

Maret 1956.

Pertentangan antara Ir. Soekarno – Drs. Moh. Hatta dalam kabinet Ali II

mengalami puncaknya yaitu dengan berakibat perngunduran diri Hatta dari

pemerintahan (Wakil Presiden). Terdapat beberapa alasan yang menyertai

pengunduran diri Hatta.

 Rauf, (2000:116) memandang bahwa pengunduran diri Drs. Moh. Hatta merupakan kumpulan akumulasi dari beberapa konflik yang terjadi antara

Drs. Moh. Hatta dengan Ir. Soekarno yang tidak bisa diakhiri,

 Sedangkan Nasution (1994: 276) berpendapat bahwa ada dua kemungkinan yang harus diambil oleh Hatta yaitu mundur atau kudeta,

atas pertimbangannya, akhirnya Ia memilih mundur. Berdasarkan kedua

pendapat di atas, dapat ditarik benang merah dari peristiwa pengunduran

diri Hatta merupakan kerugian yang sangat berharga dari Soekarno. Bung

Hatta selama ini dikenal sebagai simbol keterwakilan luar Jawa sehingga

muncul banyak pergolakan di daerah pasca pengunduran diri Hatta dari

(16)

Benih-benih perbedaan ini tampaknya telah ada sejak bangsa ini berjuang

untuk memperoleh kemerdekaan. Polemik antara keduanya kembali muncul pada

masa - masa awal kemerdekaan dan sistem pemerintahan demokratis mulai

dipraktekan di Indonesia tahun 1945, dan terus berlanjut hingga masa - masa

selanjutnya ketika Soekarno menjadi pemimpin tunggal bangsa ini. Benih-benih

polemik atau perbedaan pandangan antara Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta tidak

bisa dilepaskan dengan perjalanan bangsa Indonesia dalam kaitannya dengan

usaha bangsa ini membangun dan membentuk pemerintahan yang demokratis.

Persoalan politik dan pemerintahan menjadi isu yang paling banyak

menumbuhkan polemik di antara keduanya. Keduanya mempunyai cara pandang

dan strategi politik yang berbeda tentang bagaimana membangun bangsa ini.

Dilihat dari sudut latar belakangnya antara kedua tokoh tesebut, Ir.

Soekarno yang merupakan orang Jawa sedangkan Drs. Moh. Hatta adalah orang

Minang, ditinjau dari pribadinya sangat jelas terlihat terdapat potensi yang besar

untuk terjadinya pertentangan (Rauf, 2000: 115-117). Kedua tokoh ini mempunyai

perbedaan pandangan satu sama lain, terutama strategi dan orientasi politik. Pada

satu sisi Ir. Soekarno ingin melanggengkan dominasinya meneruskan perjuangan

revolusi, pada sisi lainnya Drs. Moh. Hatta telah berpikir maju untuk segera

mengakhiri Revolusi menuju kearah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya

(Nasution, 1994:276). Ir. Soekarno adalah seorang solidarity maker yaitu seorang

pemimpin yang pandai menarik simpati massa dan menggerakkan mereka untuk

tujuan tertentu, sedangkan Drs. Moh. Hatta adalah seorang administrator yang ahli

dalam penyelenggaraan negara namun tidak terampil dalam menghadapi massa.

Ir. Soekarno tidak mendapatkan pendidikan di Luar Negeri (Barat) sehingga

menganggap nilai-nilai budaya Barat tidak berpengaruh baginya dan tidak

dianggap penting. Berbeda dengan Drs. Moh. Hatta yang memperoleh

pendidikannya di Belanda yang menyebabkannya bersimpati terhadap nilai-nilai

budaya Barat, seperti demokrasi Barat (Feith 2001: 10 - 11).

Melihat hubungan kedua tokoh ini bukan berarti penulis ingin menelusuri

dan membangkitkan semangat pertentangan antara kedua tokoh yang mempunyai

(17)

menggali pemikiran-pemikiran besar kedua tokoh ini sebagai pendiri bangsa.

Fenomena pertentangan-pertentangan seperti ini memang pernah terjadi pada

masa Ir. Soeharto - Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Abdurahman Wahid -

Megawati. Namun pertentangan meraka dibandingkan dengan pertentangan Ir.

Soekarno dengan Drs. Moh. Hatta jauh berbeda, karena hal ini lebih mengarah

pada masalah yang prinsipil, seperti dasar-dasar pemikiran, strategi perjuangan,

bentuk negara dan susunan pemerintahan sehingga mempengaruhi kehidupan

bernegara di kemudian hari.

Berdasarkan pemaparan yang telah dijelaskan di atas, hal inilah yang

menjadi ketertarikan penulis dan menjadi ide dasar dari penulisan skripsi ini,

dengan begitu penulis mencoba untuk mengkaji lebih dalam tentang bagaimana

perbedaan persepsi politik Ir. Soekarno dengan Drs. Moh. Hatta pada awal

kemerdekan 1945 sampai lengsernya Drs. Moch Hatta dalam pemerintahan tahun

1956. Maka, dirumuskanlah judul : DARI DWI TUNGGAL SAMPAI DWI TANGGAL “Kajian Historis Mengenai Dinamika Hubungan Politik Ir.

Soekarno – Moh. Hatta 1945 - 1956”

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan judul yang telah dikemukakan di atas, peneliti merumuskan masalah utama dalam penulisan skripsi ini, yaitu ”Bagaimana dinamika hubungan politik Soekarno – Moh. Hatta tahun 1945 – 1956 yang asalnya disebut sebagai

Dwitunggal sampai akhirnya disebut Dwitanggal. Untuk lebih memfokuskan

kajian penelitian ini, diajukan beberapa pertanyaan sebagai perumusan masalah

yang akan diuraikan dalam skripsi ini sebagai berikut :

a) Bagaimana kondisi hubungan politik antara Ir. Soekarno denagn Drs.

Moh. Hatta pada masa revolusi 1945 – 1950?

b) Bagaimana hubungan politik Ir. Soekarno dan Moh. Hatta pada tahun

1950 -1956?

c) Bagaimana pengaruh hubungan politik Soekarno dan Moh. Hatta terhadap

(18)

1.3Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang hendak dicapai penulis dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut:

a) Mendeskripsikan kondisi hubungan politik antara Ir. Soekarno dengan

Drs. Moh. Hatta pada masa revolusi 1945 – 1950.

b) Menjelaskan hubungan politik Ir. Soekarno dengan Drs. Moh. Hatta pada

tahun 1950 -1956.

c) Memaparkan pengaruh hubungan politik Ir. Soekarno dan Drs. Moh.

Hatta terhadap stabilitas politik di Indonesia pada tahum 1940 dan 1950.

1.4Manfaat Penelitian

a) Dari sudut akademis, karya ilmiah ini diharapkan dapat memperkaya

penulisan sejarah terutama tentang perbedaan pemikiran Ir. Soekarno –

Drs. Moh. Hatta mengenai kebijakan politik serta pengaruhnya dalam

perpolitikan Indonesia.

b) Memberikan kontribusi terhadap pengembangan penelitian sejarah

mengenai sejarah perbedaan persepsi politik Ir. Soekarno – Drs. Moh.

Hatta serta pengaruhya terhadap kebijakan politik Indonesia.

c) Memberikan pemahaman yang bersifat ilmiah terhadap perbedaan, serta

dapat menjadi dasar penelitian selanjutnya yang lebih luas dan mendalam

guna mengupas tema yang sama.

1.5Metode dan Teknik Penelitian

1.5.1 Metode Penelitian

Metode adalah suatu prosedur, proses atau teknik yang sistematis dalam

penyidikan suatu disiplin ilmu tertentu untuk mendapatkan objek (bahan-bahan)

yang diteliti (Sjamsuddin, 2007: 13). Adapun metode yang digunakan dalam

mengkaji skripsi ini adalah metode historis/sejarah. Sjamsuddin (2007: 14)

mengartikan metode penelitian sejarah sebagai suatu cara bagaimana mengetahui

sejarah. Sjamsuddin (2007: 89) mengungkapkan enam langkah yang harus

(19)

1. Memilih judul atau topik yang sesuai.

2. Mengusut semua eviden (bukti) yang relevan dengan topik.

3. Membuat catatan yang ditemukan ketika penelitian sedang berlangsung. 4. Mengevaluasi secara kritis semua evidensi yang telah berhasil

dikumpulkan (kritik sumber).

5. Menyusun hasil penelitian ke dalam pola yang benar atau sistematika tertentu.

6. Menyajikan dan mengkomunikasikannya kepada pembaca dalam suatu cara yang menarik perhatian, sehingga dapat dimengerti.

Dari keenam langkah tersebut, tahapan memilih topik, menyusun

semua bukti-bukti sejarah dan membuat catatan termasuk pada tahap heuristik,

sedangkan mengevaluasi semua bukti-bukti sejarah termasuk tahap kritik dan

terakhir menyusun hasil penelitian serta mengkajinya termasuk tahap

historiografi (Sjamsuddin, 2007: 155). Ketiga tahapan ini diuraikan sebagai

berikut:

1. Heuristik (Pengumpulan Sumber-sumber Sejarah)

Ini merupakan tahap awal dengan mencari dan mengumpulkan

sumber-sumber sejarah yang relevan dengan masalah atau judul yang

akan dikaji. Peneliti berusaha mengumpulkan sumber-sumber sejarah,

baik sumber primer maupun sumber sekunder yang diperlukan dalam

penulisan skripsi ini.

2. Kritik Ekternal dan Internal Sumber

Pada tahap ini peneliti mulai melakukan seleksi dan penilaian

terhadap sumber-sumber sejarah yang telah diperoleh. Kritik yang

dilakukan ini meliputi dua aspek yaitu aspek eksternal yang digunakan

untuk menilai otentitas dan integritas dari sumber-sumber sejarah yang

telah diperoleh. Sementara aspek internal digunakan untuk melihat dan

menguji dari dalam mengenai reliabilitas dan kredibilitas isi dan

sumber-sumber sejarah yang telah diperoleh. Dari proses kritik ini

sumber-sumber sejarah selanjutnya disebut fakta-fakta sejarah.

3. Interpretasi (menafsirkan sumber sejarah) dan Historiografi

Pada tahap ini, peneliti memberikan penafsiran terhadap

(20)

Fakta-fakta dihubungkan, disusun dan dianalisis sehingga diperoleh

penjelasan yang sesuai dengan pokok permasalahan. Selanjutnya

peneliti menyajikannya dalam bentuk tulisan yang disebut

historiografi. Sedangkan historiografi itu sendiri merupakan proses

penyusunan seluruh hasil penelitian ke dalam bentuk tulisan.

1.5.2 Teknik Penelitian

Dalam rangka penulisan Skripsi, penulis menggunakan teknik studi

literatur atau studi kepustakaan. Studi literatur digunakan untuk mengumpulkan

fakta-fakta dengan mempelajari buku-buku, artikel-artikel, dan majalah yang

relavan dengan permasalahan yang peneliti kaji. Sumber-sumber yang telah

terkumpul, selanjutnya peneliti kaji dan pelajari sesuai dengan langkah-langkah

dalam penelitian sejarah seperti yang telah diuraikan di atas. Teknik penulisan

dalam skripsi ini menggunakan sistem Harvard yaitu sistem membahas format

untuk penulisan dan pengorganisasian kutipan dari materi sumber. Sistem ini juga

dikenal dengan sebutan author - date system (sistem penulis - tanggal) dan

parenthetical referencing (penulisan referensi dalam kurung). Teknik penulisan

ini sesuai dengan pedoman penulisan karya ilmiah UPI (2012).

1.6 Sistematika Penulisan

Hasil penelitian akan disusun dalam lima bab yang terdiri dari

Pendahuluan, Tinjauan Pustaka, Metode Penelitian, Pembahasan, dan

Kesimpulan. Pembagian ini dilakukan tiada lain untuk mempermudah dalam

memahami penulisan.

Bab I Pendahuluan. Bab ini akan menjelaskan tentang latar belakang

masalah yang di dalamnya termuat penjelasan mengapa masalah yang diteliti

muncul dan penting serta memuat alasan pemilihan masalah tersebut sebagai

judul. Bab ini juga berisi perumusan dan pembatasan masalah yang disajikan

dalam bentuk pertanyaan untuk mempermudah peneliti mengkaji dan

mengarahkan pembahasan, tujuan penelitian, penjelasan judul, metode dan teknik

(21)

Bab II Kajian Teoritik dan Tinjauan Pustaka. Bab ini merupakan tinjauan

kepustakaan dan kajian teoritis dari berbagai referensi yang berhubungan dengan

perbedaan persepsi Soekarno – Hatta dan apa yang disebut dengan keterkaitan

untuk sumber – sumber yang dapat dijadikan referensi bagi penulisan ini.

Bab III Metodologi Penelitian. Bab ini membahas langkah-langkah,

metode dan teknik penelitian yang digunakan dalam mencari sumber-sumber, cara

pengolahan sumber, analisis dan cara penulisannya. Dengan begitu prosedur

dalam penelitian akan di bahas pada bab ini.

Bab IV Pembahasan. Bab ini merupakan isi utama dari tulisan sebagai

jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang terdapat dalam rumusan masalah. Pada

bab ini akan dijelaskan, Kondisi Hubungan Politik Antara Ir. Soekarno dengan

Drs. Moh. Hatta pada Masa Revolusi 1945 – 1950. Bagaimana hubungan politik

Ir. Soekarno dan Moh. Hatta pada masa demokrasi liberal? Bagaimana pengaruh

hubungan politik Ir. Soekarno dan Moh. Hatta terhadap stabilitas politik di

Indonesia pada tahun 50-an.

Bab V Kesimpulan. Bab ini mengemukakan kesimpulan yang merupakan

jawaban dan analisis peneliti terhadap masalah-masalah secara keseluruhan. Hasil

temuan akhir ini merupakan pandangan dan interpretasi peneliti tentang inti

(22)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Bab ini membahas mengenai metode penelitian yang digunakan penulis dalam

mengumpulkan sumber berupa data dan fakta yang berkaitan dengan penelitian yang penulis kaji mengenai “ DARI DWI TUNGGAL SAMPAI DWI TANGGAL “Kajian Historis Mengenai Dinamika Hubungan Politik Ir. Soekarno – Drs. Moh. Hatta 1945 - 1956”. Penelitian skripsi ini menggunakan metode historis sebagai

metode penelitiannya dan menggunakan studi literatur sebagai teknik penelitiannya.

Metode historis adalah proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dan

peninggalan masa lampau (Gottschalk, 1986:32). Penulis menggunakan metode

historis karena data-data yang dibutuhkan untuk menyusun skripsi ini pada umumnya

berasal dari masa lampau.

Menurut Sjamsuddin (2007: 13) dalam bukunya Metodologi Sejarah

dijelaskan bahwa metode merupakan suatu prosedur, proses, teknik yang sistematis

dalam penyelidikan suatu disiplin ilmu tertentu untuk mendapatkan objek atau bahan

yang akan diteliti. Metode historis merupakan suatu pengkajian, penjelasan dan

penganalisaan secara kritis terhadap rekaman serta peninggalan masa lampau.

Dengan kata lain, metode historis digunakan untuk mengkaji suatu peristiwa atau

permasalahan pada masa lampau secara deskriptif dan analitis.

Adapun langkah-langkah dalam metode historis merujuk pada pendapat

Ismaun adalah:

1. Heuristik, merupakan upaya mencari dan mengumpulkan sumber-sumber

sejarah yang relevan dengan permasalahan dalam penelitian. Sumber sejarah adalah “segala sesuatu yang langsung atau tidak langsung menceritakan kepada kita tentang sesuatu kenyataan atau kegiatan manusia pada masa lalu

(past actuality)” (Sjamsuddin, 2007: 95). Pada tahap ini, penulis

mengumpulkan fakta dan data melalui studi literatur tentang pemikiran –

(23)

2. Kritik, yaitu suatu usaha menilai sumber-sumber sejarah (Ismaun, 2005: 50).

Fungsi dari proses ini adalah untuk mengetahui apakah sumber-sumber yang

diperoleh itu relevan atau tidak dengan permasalahan yang dikaji. Kritik

sumber terbagi menjadi dua macam, yaitu:

a. Kritik ekstern atau kritik luar, yakni untuk menilai otentisitas sumber

sejarah. Kritik eksternal dilakukan dalam menguji integritas dan

otentisitas sumber-sumber sejarah yang sifatnya bukan terhadap isi

(content) dari sumber sejarah tersebut melainkan seperti bahan dan

bentuk sumber, umur dan asal dokumen, kapan dibuat, dibuat oleh siapa,

instansi apa, atau atas nama siapa, sumber itu asli atau salinan, masih utuh

seluruhnya atau sudah berubah.

b. Kritik intern atau kritik dalam, digunakan untuk menilai kredibilitas isi

dari sumber sejarah yang digunakan dengan menelaah sejauh mana

penyajian antara fakta dan interpretasi penulis terhadap sumber tersebut.

3. Interpretasi, adalah usaha untuk memahami dan mencari hubungan antar fakta

sejarah agar menjadi kesatuan yang utuh dan rasional. Penulis berusaha

menghubungkan satu peristiwa dengan peristiwa lain sehingga dapat

menciptakan keselarasan penafsiran yang berhubungan dengan pembahasan

yang dikaji tentang hubungan politik Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta.

4. Historiografi, adalah proses penyusunan hasil penelitian yang telah diperoleh

menjadi satu kesatuan yang utuh dalam bentuk skripsi, sehingga dihasilkan

suatu tulisan yang logis dan sistematis. Menurut Sjamsuddin (2007: 156), “keberartian seluruh fakta yang dijaring melalui metode kritik baru dapat dipahami hubungannya satu sama lain setelah semuanya ditulis dalam suatu keutuhan historiografi”.

Penyusunan skripsi ini mencakup keempat langkah kerja di atas yang

merupakan kegiatan inti penelitian. Langkah-langkah penelitian sendiri terbagi ke

(24)

penelitian. Ketiga tahap penelitian tersebut akan lebih dijabarkan di bawah ini sebagai

berikut:

3.1 Teknik Penelitian

Teknik penelitian digunakan penulis dalam merekonstruksi peristiwa sejarah

yang dilakukan dengan pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memperoleh

informasi dari berbagai literatur berupa buku dan artikel-artikel internet yang relevan

dengan masalah yang dikaji. Penulisan skripsi ini menggunakan teknik studi literatur

sebagai suatu teknik yang dipergunakan untuk memperoleh data yang bersifat teoritis,

sehingga diperoleh data yang dibutuhkan dalam penulisan skripsi. Pengkajian dengan

studi literatur akan membuat proses penelitian berlangsung lebih sistematis, lebih

kritis dan analitis. Teknik studi literatur dilakukan dengan cara membaca dan

mengkaji buku dan sumber-sumber tertulis lainnya yang berkaitan dengan

permasalahan yang dikaji, sehingga dapat membantu penulis dalam menemukan

jawaban dari permasalahan yang dirumuskan dalam penelitian ini.

3.2 Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan untuk mengkaji permasalahan dalam penelitian

ini adalah pendekatan interdisipliner. Pendekatan interdisipliner adalah pendekatan

yang menggunakan satu disiplin ilmu (ilmu sosial) yang dominan dan ditunjang oleh

ilmu-ilmu sosial lainnya. Dalam hal ini peneliti menempatkan ilmu sejarah sebagai

disiplin ilmu utama untuk mengkaji permasalahan dan ilmu-ilmu sosial lainnya

sebagai ilmu bantu sejarah (sisters disciplines) yang digunakan untuk mempertajam

analisis kajian dan memungkinkan suatu masalah dapat dilihat dari berbagai disiplin

ilmu, sehingga pemahaman tentang masalah tersebut akan semakin jelas dan baik

(Sjamsuddin, 2007: 36-40). Guna memperoleh kerangka yang luas untuk memahami

Dinamika Hubungan Politik Soekarno-Hatta dan pengaruhnya terhadap kebijakan

politik Indonesia 1945-1956 berarti harus memahami konflik politik yang tengah

(25)

pada pasca kemerdekaan merupakan nuansa yang wajar karena sebagai negara baru

merdeka banyak yang harus dibenahi dan ditata.

Faktor–faktor sosio-politik, dan kultural sangat dominan untuk menyingkapi

Hubungan Politik Soekarno - Hatta terhadap kebijakan politik Indonesia 1956-1956.

Untuk melakukan interprestasi penulis menggunakan beberapa disiplin ilmu bantu

antara lain politik, sosiologi dan antropologi. Pendekatan secara sosio-politik guna

mengungkap konflik yang tengah terjadi dan kebijakan-kebijakan yang terlahir

karenanya. Sementara pendekatan sosiologi dan antropologi guna mempelajari

kondisi masyarakat bangsa Indonesia sebagai obyek dari konflik yang telah terjadi

pasca kemerdekaan Indonesia. Dengan ilmu-ilmu bantu tersebut penulis mempunyai

tujuan untuk memperoleh data yang bisa digunakan untuk mengungkap permasalahan

yang telah terjadi sehingga bisa dilihat solusinya.

3.3 Persiapan Penelitian

3.3.1 Penentuan dan Pengajuan Tema Penelitian

Tahap awal yang dilakukan oleh penulis adalah membuat rancangan dengan

memilih dan menentukan tema penelitian yang akan dikaji untuk diajukan oleh

penulis kepada Tim Pertimbangan Penulisan Skripsi (TPPS). Rancangan ini dibuat

dalam bentuk proposal skripsi dan diajukan kepada TPPS untuk dikoreksi sebelum

diseminarkan oleh angggota TPPS dan untuk memastikan bahwa judul yang dipilih

belum pernah ditulis di Jurusan Pendidikan Sejarah. Setelah proposal ini dikoreksi

dan diperbaiki, maka penulis diperbolehkan mengikuti seminar proposal skripsi yang

dilaksanakan pada tanggal 13 Oktober 2010 bertempat di Laboratorium Jurusan

Pendidikan Sejarah.

Pengesahan mengikuti seminar dikeluarkan melalui surat keputusan dari

Ketua TPPS Jurusan Pendidikan Sejarah No.045/TPPS/JPS/2011, dengan calon

pembimbing I adalah Drs. Suwirta. M. Hum dan calon pembimbing II adalah Dr.

Encep Supriatna, M.Pd. Dalam seminar proposal skripsi tersebut, penulis

(26)

skripsi untuk dikaji dan didiskusikan apakah rancangan tersebut dapat dilanjutkan

atau tidak. Pada awalnya, judul yang penulis ajukan adalah Dari Dwi Tunggal Sampai

Dwi Tanggal “Kajian Historis Mengenai Dinamika Hubungan Politik Ir. Soekarno –

Drs. Moh. Hatta 1945 - 1956

Setelah Seminar tersebut, penulis mendapat masukan dari Tim Pertimbangan

Penulisan Skripsi (TPPS) serta dari calon pembimbing, sehingga penulis

memfokuskan kajian terhadap Kajian Historis Mengenai Dinamika Hubungan Politik

Ir. Soekarno – Drs. Moh. Hatta 1945 – 1956. Judul dan proposal skripsi yang telah

mendapat persetujuan kemudian ditetapkan dan disahkan dalam surat keputusan dan

penunjukan kembali pembimbing skripsi dengan nomor No.045/TPPS/JPS/2011.

Setelah itu, penulis diperbolehkan untuk melanjutkan ke tahap penelitian penulisan

skripsi. Pembimbing I yang ditunjuk oleh TPPS adalah Bapak Drs. Suwirta. M. Hum

dan calon pembimbing II adalah Bapak Dr. Encep Supriatna, M.Pd. Adapun proposal

penelitian yang disusun oleh penulis memuat hal-hal sebagai berikut:

a. Judul Penelitian.

b. Latar Belakang Masalah.

c. Rumusan dan Batasan Masalah.

d. Tujuan Penelitian.

e. Manfaat Penelitian

f. Tinjauan Pustaka.

g. Metode dan Teknik Penelitian.

h. Sistematika Penulisan.

3.3.2 Konsultasi

Konsultasi merupakan kegiatan bimbingan dalam penyusunan skripsi yang

dilakukan oleh penulis kepada pembimbing I dan II yang telah ditunjuk oleh TPPS.

Konsultasi dengan pembimbing memiliki banyak fungsi yang sangat penting, yaitu

untuk memberikan pengarahan, saran dan kritikan dalam proses penelitian skripsi.

(27)

pembimbing II. Selama proses konsultasi awal, penulis mendapatkan arahan,

masukan atau kritik mengenai substansi skripsi untuk dijadikan perbaikan dalam

penulisan skripsi ini baik dari Pembimbing I maupun Pembimbing II. Konsultasi

dimulai dengan mengkaji mengenai judul dan fokus permasalahan yang dihadapi

dalam setiap bab isi dari skripsi ini sehingga ada perubahan ke arah yang lebih baik.

Jadwal konsultasi bersifat bebas dan setiap pertemuan membahas satu atau

dua bab yang diajukan, revisi maupun konsultasi sumber. Konsultasi satu bab

biasanya tidak cukup satu kali bimbingan karena selalu ada kekurangan yang harus

ditambah, dikurangi ataupun diperbaiki oleh penulis. Konsultasi terus dilaksanakan

sampai semua bab selesai dan penulisannya benar.

3.3.3 Pelaksanaan Penelitian

Bagian ini merupakan tahap penting dari sebuah penelitian. Langkah-langkah

yang penulis tempuh dalam mengkaji permasalahan yang diteliti dalam skripsi ini

mengikuti tahapan metode sejarah yang dikemukakan Sjamsuddin (1996: 67-187)

yaitu mencakup heuristik atau pengumpulan sumber, kritik atau analisis sumber

sejarah, interpretasi atau penafsiran sejarah dan historiografi atau penulisan sejarah.

Keempat langkah metode sejarah tersebut akan penulis uraikan di halaman

selanjutnya.

3.3.4 Pengumpulan Sumber (Heuristik)

Pada tahap ini, penulis berusaha mencari berbagai sumber yang berhubungan

dengan masalah penelitian. Sumber sejarah yang digunakan dalam penelitian ini

adalah sumber literatur berupa buku-buku baik yang berbahasa asing maupun

berbahasa Indonesia dan artikel-artikel dalam jurnal serta internet yang dapat

membantu penulis dalam memecahkan berbagai permasalahan yang dikaji. Sumber

sejarah adalah segala sesuatu yang langsung atau tidak langsung memberitahukan

kepada kita tentang sesuatu kenyataan kegiatan manusia pada masa lalu (past

(28)

mengumpulkan sumber-sumber atau tulisan yang dianggap relevan dengan masalah

penelitian. Hal ini dilakukan dengan jalan meneliti dan mengkaji hasil karya ilmiah

penulis lain. Penulis berhasil mengumpulkan buku-buku sebagai sumber literatur

tersebut diantaranya dari:

a. Perpustakaan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Di perpustakaan ini,

penulis mendapatkan sumber literatur, yaitu:

 Pada tanggal 12 Desember 2011 tentang buku – buku Ir. Soekarno. Dan buku – buku Drs. Moh Hatta,

 Pada tanggal 13 Desember 2011 di Perpustakaan/ laboratorium Jurusan Pendidikan Sejarah UPI,

 Karya – Karya Bung Karno Pada Tahun 1926, 1930, 1933, 1947, 1957. Panitia Pembina Jiwa Revolusi.Soekarno.

b. Pada tanggal 13 Desember Perpustakaan Himpunan Mahasiswa Pendidikan

Sejarah Universitas Pendidikan Indonesia (HIMAS UPI). Di perpustakaan ini,

penulis mendapatkan sumber literatur, yaitu buku yang berjudul Ikhtisar

Sejarah R.I (1945-Sekarang) karya Kol. Drs. Nugroho Notosusanto.

c. Pada tanggal 20 Maret 2012 Perpustakaan Indonesian Corner-ITB. Di tempat

tersebut, penulis mendapatkan buku M. Yamin. (1960).

Selain mengunjungi berbagai perpustakaan tersebut, penulis juga mencari

buku di beberapa toko di daerah Bandung seperti toko Toga Mas dan toko buku di

Palasari. Misalnya buku Wawan tunggul Alam. (2003). Demi Bangsaku Pertentangan

Sukarno VS Hatta. Jakarta : Gramedia. Buku tersebut penulis dapatkan dari toko buku

Toga Mas di kota Bandung pada tanggal 3 Agustus 2012 .

Untuk memperkaya sumber literatur yang digunakan, penulis juga berusaha

mencari dan menemukan berbagai sumber berupa tulisan atau artikel dari situs

internet yang ada hubungannya dengan pokok permasalahan yang penulis kaji dalam

skripsi ini. Pada tanggal 10 Desember 2011 penulis mengunjungi situs diantaranya

(29)

Situs ini menceritakan mengenai dinamika hubungan yang terjalin antara kedua belah

negara belah pihak antara Ir. Soekarno dan Moh Hatta. Selain itu, pada tanggal 18

maret 2012 penulis juga mengunjungi situs

http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=232&Itemi

d=76. Situs tersebut membahas mengenai rekontruksi kronologis bagaimana masing –

masing kedua tokoh tesebut berperan sebagai perannya masing masing sebagai

Presiden dan Wakil Presiden.

3.3.5 Kritik

Tahap berikutnya setelah melakukan kegiatan pengumpulan sumber

(heuristik), adalah melaksanakan kritik sumber. Pada tahap ini, penulis melakukan

kritik terhadap sumber-sumber sejarah yang telah diperoleh, baik sumber utama

maupun sumber penunjang lainnya. Dalam usaha mencari kebenaran (truth),

sejarawan dihadapkan dengan kebutuhan untuk membedakan apa yang benar, apa

yang tidak benar (palsu), apa yang mungkin dan apa yang meragukan atau mustahil

Sjamsuddin (2007: 131). Untuk itu diperlukan kritik atas sumber-sumber sejarah

tersebut. Dalam metode historis, kritik sumber dibagi menjadi dua macam yaitu

kritik eksternal dan internal. Tahap pertama dalam melakukan kritik sumber yaitu

kritik eksternal, yang merupakan cara melakukan verifikasi atau pengujian terhadap

aspek-aspek luar dari sumber sejarah tersebut. Penulis dalam hal ini menggunakan

sumber sekunder, maka penulis tidak melakukan kritik pada dokumen melainkan

pada sumber turunan dalam bentuk buku.

Dalam melakukan kritik eksternal, penulis merujuk pada pendapat Ismaun

(2005: 50) bahwa kritik eksternal bertugas menjawab tiga pertanyaan mengenai

sumber:

1. Apakah sumber itu memang sumber yang kita kehendaki? 2. Apakah sumber itu asli atau turunan?

(30)

3.2.6 Penafsiran (Interpretasi)

Tahap interpretasi atau penafsiran merupakan tahap pemberian makna

terhadap fakta-fakta yang telah dikumpulkan penulis dan kemudian disusun sesuai

permasalahan yang dikaji. Peneliti memberikan penafsiran terhadap fakta-fakta

sejarah atau data-data yang diperoleh dari hasil kritik eksternal maupun internal.

Kemudian fakta yang telah diperoleh tersebut dirangkai dan dihubungkan satu sama

lain sehingga menjadi satu kesatuan yang selaras dimana peristiwa yang satu

dimasukkan ke dalam konteks peristiwa-peristiwa lain yang melingkupinya (Ismaun,

2005: 59-60). Hal tersebut agar memberikan keberartian atau kebermaknaan yang

kemudian dituangkan dalam penulisan yang utuh.

Merujuk pendapat Sjamsuddin (2007: 164) terdapat dua macam cara

penafsiran yang ada kaitannya dengan faktor-faktor pendorong sejarah yaitu:

Determinisme dan kemauan bebas manusia serta kebebasan manusia mengambil keputusan. Di antara bentuk-bentuk penafsiran deterministik itu ialah determinisme rasial, penafsiran geografis, interpretasi ekonomi, penafsiran (orang besar), penafsiran spiritual atau idealistik, penafsiran ilmu dan teknologi, penafsiran sosiologi dan penafsiran sintesis. Berdasarkan hal tersebut, ditinjau dari bentuk-bentuk penafsiran, terjadinya hubungan yang dinamis antara Ir. Soekarno dengan Drs. Moh Hatta dapat dikelompokkan sebagai penafsiran “orang besar”.

Penafsiran “orang besar” yang penulis pilih dalam penyusunan skripsi ini adalah didasarkan pada kebijakan-kebijakan Soekarno yang diambil selama periode

Demokrasi Terpimpin yang mengarah kepada berbagai konfrontasi dengan

negara-negara lain sehingga memunculkan pengaruh terhadap hubungan Indonesia dengan

Uni Soviet. Presiden atau negarawan adalah pemegang kekuasaan utama dalam

sebuah negara dan memiliki otoritas terhadap dikeluarkannya suatu kebijakan.

Seluruh langkah-langkah penelitian yang dilakukan oleh penulis diharapkan

(31)

3.4 Laporan Penelitian (Historiografi)

Tahap ini merupakan tahap terakhir dari keseluruhan penelitian. Dalam

metode historis, langkah ini dinamakan historiografi. Laporan penelitian ini disusun

secara kronologis sebagai alat memahami bagaimana peristiwa itu terjadi. Selain itu,

laporan penelitian ini disusun berdasarkan buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah

(Laporan Buku, Makalah, Skripsi, Tesis, Disertasi (2010)) yang diterbitkan oleh

Universitas Pendidikan Indonesia. Seluruh hasil penelitian dituangkan dalam bentuk

penulisan sejarah atau disebut historiografi. Sjamsuddin (2007: 156) menjelaskan,

bahwa:

"Ketika sejarawan memasuki tahap menulis, maka ia mengerahkan seluruh daya pikirannya, bukan saja keterampilan teknik penggunaan kutipan-kutipan dan catatan-catatan, tetapi yang terutama penggunaan pikiran-pikiran kritis dan analisisnya karena pada akhirnya ia harus menghasilkan suatu sintesis dari seluruh hasil penelitiannya atau penemuannya itu dalam suatu penulisan yang utuh yang disebut historiografi".

3.4.1 Teknik Penulisan Laporan

Teknik penulisan dalam skripsi ini, penulis menggunakan sistem Harvard

dengan merujuk pada buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Laporan Buku,

Makalah, Skripsi, Tesis, Disertasi) yang diterbitkan UPI (2012). Penggunaan sistem

ini digunakan penulis karena lazim digunakan para akademisi Universitas Pendidikan

Indonesia dalam penulisan karya ilmiah. Penulis menyajikan hasil penelitian yang

telah dikaji mengenai Kajian Historis Mengenai Dinamika Hubungan Politik Ir.

(32)

BAB V

KESIMPULAN

Bab ini berisi kesimpulan dari hasil penelitian yang telah dilakukan penulis

dengan mengacu pada rumusan masalah di bab pertama serta hasil analisis pada bab

empat. Peneliti akan menyimpulkan bagaimana terjadinya hubungan Ir. Soekarno

dengan Drs. Moh Hatta. Sesuai dengan rumusan masalah pada bab I, terdapat

beberapa hal yang akan penulis simpulkan dalam bab ini sehubungan dengan permasalahan yang dibahas pada skripsi yang berjudul Dari “Dwitunggal sampai Dwitanggal” kajian Historis Mengenai Dinamika Hubungan Politik Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta. Skema periodisasi yang di gambatkan ke dalam dua dimensi yaitu

ketika Dwitunggal terbentuk setelah mereka bersatu dan menghilangkan perbedaan

demi mencapai cita – cita bersama dan memimpin bangsa dalam gerbang

kemerdekaan. Dan seiring waktu Berakhir dengan dwitanggal, setelah saling tak

sepaham dalam berbagai hal seperti yang terjadi pada masa pergerakan.

Ir. Soekarno – Drs. Moh. Hatta merupakan dua tokoh besar Indonesia yang

jasa-jasanya kepada bangsa Indonesia tidak bisa dilupakan begitu saja. Sebagai

seorang manusia biasa Sokarno-Hatta bukanlah seorang manusia yang sempurna,

oleh karenanya kedua tokoh ini mempunyai kekurangan dibalik kelebihan yang

dimiliki oleh keduanya. Soekarno mempunyai kelebihan karena Ia pandai dalam

berorasi dalam menggerakan massa dengan jumlah yang cukup besar, sedangkan

Hatta merupakan seorang administrator yang ahli dalam penyelenggaraan Negara

namun tidak terampil dalam menghadapi massa. Latar belakang kedua tokoh ini ikut

membentuk karakter perjuangan mereka Soekarno memperoleh pendidikan di dalam

Negeri sedangkan Hatta memperoleh pendidikan di Barat, dalam perjuangan

melawan pemerintahan colonial baik Hatta maupun Soekarno cenderung bersikap

radikal (non kooperatif) tetapi yang membedakan karakter jiwa perjungannya.

(33)

Penelitian ini mengkaji tentang dinamika hubungan politik Soekarno – Ha

tta mulai dari keduanya dinyatakan sebagai Dwitunggal sebagai citra pemimipin

bangsa Indonesia dalam pemerintahan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk

mengetahui keadaan politik indonesia tahun 1945-1956 serta mengetahui sejarah

pertentangan Soekarno- Hatta, khususnya pada pandangan-pandangan dan

pemikiran-pemikiran kedua tokoh ini dan pengaruhnya terhadap kebijakan politik Indonesia.

Pertentangan antara Soekarno-Hatta telah muncul sejak keduanya aktif dalam

organisasi pergerakan kemerdekaan. Soekarno aktif dipergerakan dalam negeri

sedang Hatta aktif di Perhimpunan Indonesia (PI) di Belanda. Perjuangan nasionalis

yang dilakukan oleh Hatta mendapatkan reaksi dari pemerintah Belanda, ia di minta

mempertanggungjawabkan kegiatan politiknya di hadapan Majelis Hakim yang

menyidangnya. Dalam pembelaannya Hatta mulai menyerang pemerintahan kolonial

dengan tulisannya yang khas dan menarik, kemudian ia dibebaskan oleh

pemerintahan Belanda. Momentum ini mengangkat nama Hatta di Percaturan politik

nasional dan menjadi saingan serius bagi Ir. Soekarno yang menjadi pemimpin

pergerakan di Tanah Air.

Orientasi politik Soekarno-Hatta mempunyai perbedaan yang sangat tajam.

Soekarno terus berfikiran untuk melanjutkan perjuangan revolusinya, di posisi yang

lainnya Hatta berfikiran lain dengan lebih menginginkan untuk segera menghentikan

revolusi, dan disusul dengan pembangunan manusia kearah yang lebih maju. Kedua

tokoh ini selalu saja terlibat dalam pertentangan pendapat sampai keduanya

memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Pasca

proklamasi kemerdekaan pertentangan keduanya bukannya mereda ix tetapi malah

semakin meruncing. Munculnya maklumat wakil presiden No X menggambarkan

perbedaan pandangan keduanya semakin meruncing. Soekarno yang terispirasi

dengan ide-ide mengenai suatu negara yang dipimpin oleh seorang penguasa tunggal

berbeda pandangan dengan Bung Hatta yang menilai bahwa suatu negara yang baik

(34)

Manfaat dari penelitian ini adalah diharapkan bisa memberikan deskripsi lain

mengenai pemikiran kedua tokoh besar Indonesia yang lebih dikenal sebagai

Founding Fathers. Yang nantinya bisa merangsang bagi peneliti lain mengkaji secara

lebih cermat lagi. Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode sejarah.

Yang semuanya ada empat tahap yaitu heuristik, kritik sumber, interpretasi dan

historiografi. Sehingga nantinya bisa menghasilkan karya yang bisa di konsumsi

untuk menambah ilmu tentang sejarah pertentangan Soekarno-Hatta dan pengaruhnya

terhadap kebijakan politik Indonesia terutama setelah lengsernya Ds. Moh. Hatta dari

jabatan wakil presiden.

Penelitian ini memperoleh hasil bahwa pertentangan Soekarno-Hattan terjadi

sejak keduanya aktif sebagai pejuang kemerdekaan Indonesia sampai pada masa

demokrasi Parlementer. Dimana pada waktu itu Bung Hatta menggundurkan diri dari

pemerintahan yang merupakan akumulasi dari pertentangannya dengan Soekarno.

Pertentangan Soekarno-Hatta ternyata membawa dampak terhadap kebijakan politik

Indonesia. Konfigurasi politik mempengaruhi lahirnya suatu kebijakan politik, oleh

karenanya pertentangan Soekarno-Hatta merupakan salah satu faktor dari berbagai

faktor lainnya yang mempengaruhi keluarnya kebijakan politik Indonesia tahun

1956-1965. Pertentangan antara Soekarno dan Hatta ini menarik untuk dijelaskan, sebab

dengan melihat posisi simbolis Hatta maka pengunduran dirinya dari jabatan Wakil

Presiden mempunyai implikasi yang tidak sederhana dalam kehidupan Indonesia pada

waktu selanjutnya. Tindakan Hatta dapat ditafsirkan sebagai bentuk penarikan

dukungan penduduk luar Jawa terhadap legitimasi pemerintah pusat. Selain itu, sejak

Hatta meletakkan jabatan, Soekarno mulai menjadi satu-satunya figur sentral dan

poros kehidupan nasional Indonesia, keseimbangan politis terganggu, dan munculnya

ketidakpuasan terhadap pemerintah pusat.

Dengan demikian, hubungan antara Soekarno dan Hatta dapat dimasukkan ke

dalam wilayah politik yang batasannya tidak hanya didasarkan pada tata aturan, tetapi

juga hubungan kultural baik sebagai keseluruhan atau pada bagian-bagian tertentu.

(35)

disampaikan di muka, Soekarno-Hatta tidak sekedar simbolisasi hubungan politis,

tetapi juga hubungan kultural yang secara kasar masing-masing mewakili Jawa dan

luar Jawa, sinkretisme Jawa dan Islam puritan, dan mistisisme dan merkantilisme.

Unsur-unsur kebudayaan dalam konteks politik mencakup nilai-nilai,

keyakinan-keyakinan, dan sikap – sikap emosional mengenai cara-cara menjalankan

pemerintahan. Oleh karenanya, kebudayaan dalam konteks politik boleh dianggap

sebagai ekspresi untuk menunjukkan lingkungan emosi dan pendirian sebagai tempat

sistem politik itu berjalan. Tindakan politik ditentukan oleh berbagai macam faktor

seperti tradisi, ingatan sejarah, motif, norma, emosi, dan symbol.

Kedua, dwitunggal Soekarno-Hatta adalah simbol Indonesia itu sendiri, yang

terbentuk sebagai sebuah masyarakat majemuk (plural society). Berdasarkan hal ini,

maka bagi para pendukungnya, baik Soekarno maupun Hatta dapat dilihat sebagai patron. „Persekutuan‟ yang berhasil antara Soekarno dan Hatta dalam dwitunggal ditentukan oleh kemampuan mereka untuk mengakomodasikan motivasi para

pengikutnya untuk membangun negara baru. Masyarakat di negara baru selalu diliputi

oleh motivasi yang sangat kuat untuk membangun identitas yang mengantarkan

mereka untuk mendapatkan pengakuan umum sebagai pihak yang turut bertanggung

jawab dan mempunyai kontribusi yang berharga terhadap negara. Mereka juga

dilekati oleh semangat untuk membangun negara modern yang efisien dan dinamis.

Semangat ini mempunyai tujuan lebih luas yang bersifat praktis, antara lain adalah

pencapaian kemajuan, peningkatan taraf hidup, penciptaan tatanan politis yang

efektif, pembentukan keadilan sosial, dan perebutan tempat untuk memainkan peran

(36)

DAFTAR PUSTAKA

Abdulghani, R. (1963) Bung Karno Bertegak Gelar Doktor Honoris Causa. Univ. Padjadjaran Bandung.

Adams, C. (1965). Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Jakarta: Gunung Agung.

Alam, Wawan T. (2003). Demi Bangsaku Pertentangan Sukarno VS Hatta. Jakarta : Gramedia.

Ali, F. 1987. Refleksi Kekuasaan Jawa dalam Indonesia Modern. Jakarta: Gramedia.

Alfian, (1983). Pemikiran dan Perubahan Politik di Indonesia. Jakarta: Gramedia.

Aman, (2002). Pemikiran Hatta Tentang Demokrasi , Kebangsaan dan Hak Azasi Manusia. Universitas NegeriJakarta

Baasir, F. 2003. Etika Politik Pandangan Seorang Politisi Muslim. Jakarta. Sinar Harapan

Bagun, R. (2003). Bung Hatta. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Budisantoso, N. (2001).Bung Hatta: Pandhita-nya Bung Karno. Dalam Basis. No. 03-04Tahun Ke-50, Maret-April. Hal.27-31

Busroh, Abu D, (1990) Ilmu Negara, Bumi Aksara, Jakarta,

Dahm, B. (1987). Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan. Jakarta: LP3ES

Feith, H. (2001). Sukarno Dan Militer Dalam Demokrasi Terpimpin. Jakarta: Sinar Harapan.

---. 1988. Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965. Jakarta : LP3ES

Giebels, L. (2001). Sukarno Biografi 1901-1950. Jakarta: Grasindo.

Geertz, Clifford. 1992. Politik Kebudayaan, terjemahan Francisco Budi Hardiman. Yogyakarta. Penerbit Kanisius.

(37)

Gottschalk, L. (1986). Mengerti Sejarah. (Terjemahan Nugroho Notosusanto). Jakarta: UI Press.

Hartante, H. (2005). Sejarah Pertentangan Soekarno – Hatta dan Pengaruhnya Terhadap Kebijakan Politik Indonesia.(1956-1967) Universitas Negri Malang

Hatta, M. (1957). Islam Masyarakat Demokrasi dan Perdamaian. Jakarta: Tintamas

---(1957). Persoaalan Ekonomi Sosialis Indonesia. Jakarta: Djambatan

---. (1979). Memoir. Jakarta : Tintamas

---. (1988) Mendayung Antara Dua Karang. Edisi, Cet.2. Jakarta.

Hatta. Moh. -Anak A. (1987). Surat menyurat Hatta dan Anak Agung : Menjunjung Tinggi Keagungan Demokrasi dan Mengutuk Kelaliman Diktatur. Jakarta: Sinar Harapan

Ismaun. (2005). Pengantar Ilmu sejarah. Bandung: Jurusan Pendidikan Sejarah.

Kamsori, Moch. E. (2000). Pemikiran Soekarno Tentang Nasionalisme. Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial. UPI

Kahin, George Mc. T. (1997). Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia. Surakarta: UNS Press.

Kuntowijoyo. (1994). Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.

Legge, John D. (2001). Soekarno Biografi Politik. Jakarta: Sinar Harapan.

Manan, B. (2003). Teori dan Politik Konstitusi. Yogyakarta: FH UII Press.

Mahfud, Moh. (1999). Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia. Yogyakarta: Gama Media

---. 2000. Demokrasi Dan Konstitusi Di Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

Nasution, Adnan B. (1994). Aspirasi pemerintahan Konstitusional di Indoensia : studi kasus sosio-legal atas konstituante 1956-1959. Jakarta: Grafiti

Noer, D. (1990). Mohammad Hatta, Biografi Politik. Jakrta: LP3ES.

Referensi

Dokumen terkait

bahwa Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban telah memiliki Peraturan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Nomor 4 Tahun 2009 tentang Standar Operasional Prosedur Pemberian

Beberapa kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan kegiatan dan pencapaian kinerja Direktorat Jenderal Industri Agro tahun 2019 antara lain: terdapat beberapa

Cadangan karbon di atas dan di bawah-tanah hutan gambut dipertahankan dan ditingkatkan dengan mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan yang bersumber dari kebakaran,

Tujuan Untuk mengetahui pengaruh bahan tambah kapur padam terhadap properties RAP Untuk mengetahui perbedaan karakteristik RAP artifisial dengan RAP yang dilapangan

diharuskan untuk menggunakan strategi yang sesuai dengan kondisi perusahaan. Ketika kondisi lingkungan berubah dan persaingan semakin

Untuk memenuhi slaah satu persyaratan guna memperoleh Gelar Strata Satu Sarjana Pendidikan (S.Pd).. OLEH GANIGGIA

6 Berdasarkan uraian di atas peneliti tertarik untuk meneliti perbedaan lama penyembuhan luka jahitan perineum ibu nifas antara yang dirawat sesuai standar

Pertimbangan-pertimbangan untuk latihan pada tahap pembentukan (usia 14-16 tahun) menurut Asian Football Confederation (AFC) (2006:19): (1) Analisa dan evaluasi