DARI DWI TUNGGAL SAMPAI DWI TANGGAL
“Kajian Historis Mengenai Dinamika Hubungan Politik Ir. Soekarno – Drs. Moh. Hatta 1945 - 1956”
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat
Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Jurusan Pendidikan Sejarah
Oleh
Mochamad Hendra Sukmana 0605808
JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH
FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
DARI DWI TUNGGAL SAMPAI DWI TANGGAL
“Kajian Historis Mengenai Dinamika Hubungan Politik Ir. Soekarno – Drs. Moh. Hatta 1945 - 1956”
Oleh
Mochamad Hendra Sukmana
Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana pada Fakultas Pendidikan Ekonomi dan Bisnis
© Moch. Hendra Sukmana 2013
Universitas Pendidikan Indonesia
Januari 2013
Hak Cipta dilindungi undang-undang.
Skripsi ini tidak boleh diperbanyak seluruhya atau sebagian,
LEMBAR PENGESAHAN
Moch. Hendra Sukmana 0605808
DARI DWI TUNGGAL SAMPAI DWI TANGGAL
“Kajian Historis Mengenai Dinamika Hubungan Politik Ir. Soekarno –
Moh. Hatta 1945 - 1956”
DISETUJUI DAN DISAHKAN OLEH :
Pembimbing I
Drs. Suwirta. M. Hum
NIP.19700506 199702 1 001
Pembimbing II
Dr. Encep Supriatna. M.Pd
NIP. 19710604 200501 2 001
Mengetahui,
Ketua Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS UPI,
Prof. Dr. H. Dadang Supardan, M.Pd
Hatta 1945 - 1956”
By:
Moch. Hendra Sukmana
ABSTRACT
Kata kunci: Soekarno – Hatta, Dwitunggal, Dinamika Hubungan Politik
Masalah utama yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah Bagaimana dinamika hubungan politik Soekarno – Moh. Hatta tahun 1945 – 1956 yang asalnya disebut sebagai Dwitunggal sampai akhirnya disebut Dwitanggal. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa: pertama, Soekarno-Hatta tidak sekedar simbolisasi hubungan politis, tetapi juga hubungan kultural yang secara kasar masing-masing mewakili Jawa dan luar Jawa, sinkretisme Jawa dan Islam puritan, dan mistisisme dan merkantilisme. Kedua, dwitunggal Soekarno-Hatta adalah simbol Indonesia itu sendiri, yang terbentuk sebagai sebuah masyarakat majemuk.Dinamika hubungan poltik antara Soekarno dan Hatta ini menarik untuk dijelaskan, sebab dengan melihat posisi simbolis Hatta, maka pengunduran dirinya dari jabatan Wakil Presiden mempunyai implikasi yang tidak sederhana dalam kehidupan Indonesia pada waktu selanjutnya. Tindakan Hatta dapat ditafsirkan sebagai bentuk penarikan dukungan penduduk luar Jawa terhadap legitimasi pemerintah pusat. Di sini Soekarno mulai menjadi satu-satunya figur sentral dan poros kehidupan nasional Indonesia, sehingga keseimbangan politis nasional menjadi tidak seimbang sehingga mengakibatkan munculnya ketidakpuasan terhadap pemerintah pusat.
ABSTRAK
The main problem that will be investigated in this research is how is the polytic relationship dynamic between Soekarno – Moh. Hatta on year 1945 – 1956 that source is called Dwitunggal untill finally is called Dwitanggal. This invention research showed that: firstly, Soekarno – Hatta are not as a symbolization of polytic realtionship, but also as a cultural relationship that roughly both of them were represent Java and out of Java, the Java sincretism and Islamic puritanism, and also mysticism included mercantilism. Both of dwitunggal Soekarno – Hatta are Indonesia symbolization itself, that was formed as a complex society. This dynamic of polytic relationship between Soekarno and Hatta is interesting to be explained, because by seeing the symbolic position of Hatta, thus his resignation from the function as Vice-President has an implication that is not simple in the life of Indonesia in the futere. The action of Hatta can be interpreted as a form of withdrawal support society out of Java trough legitimation of the central government. Over here, Soekarno is begin to become the only one of central figure and axis the national life of Indonesia, so that the balance of national polytic was become unbalanced which then consecuenced of being dissapointed through the central government.
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... ii
UCAPAN TERIMA KASIH ... iii
DAFTAR ISI ... v
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Rumusan dan Pembatasan Masalah ... 10
1.3 Tujuan Penelitian ... 11
1.4 Manfaat Penelitian ... 11
1.5 Metode dan Teknik Penelitian ... 12
1.5.1 Metode Penelitian ... 12
1.5.2 Teknik Penelitian ... 13
1.6 Sistematika Penulisan... 14
BAB II TINJAUAN TEORITIS DAN KEPUSTAKA ... 15
2.1 Dasar-Dasar Pemikiran Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta ... 15
2.1.1 Sosialisme di Indonesia ... 15
2.1.1.1 Ir. Soekarno ... 15
2.1.1.2 Drs. Moh. Hatta ... 20
2.2.2 Demokrasi dan Kedaulatan Rakyat ... 24
2.2.2.1 Ir. Soekarno ... 24
2.2.2.2 Drs. Moh. Hatta ... 27
2.2.3 Bentuk Negara ... 29
2.2.3.1 Ir. Soekarno (Negara Kesatuan) ... 29
2.2.3.2 Drs. Moh. Hatta (Negara Serikat) ... 30
2.2.4 Ekonomi Indonesia ... 30
2.2.4.2 Drs. Moh. Hatta (Ekonomi Sosialis Indonesia ... 31
BAB III METODE PENELITIAN ... 33
3.1 Teknik Penelitian ... 35
3.2 Pendekatan Penelitian ... 35
3.3 Persiapan Penelitian... 36
3.3.1 Penentuan dan Pengajuan Tema Penelitian ... 36
3.3.2 Konsultasi ... 37
3.3.3 Pelaksanaan Penelitian ... 38
3.3.4 Pengumpulan Sumber (Heruistik) ... 38
3.3.5 Kritik ... 40
3.3.6 Penafsiran ( Interpretasi ) ... 41
3.4 Laporan Penelitian (Historiografi) ... 42
3.4.1 Teknik Penulisan Laporan ... 42
BAB IV DINAMIKA HUBUNGAN POLITIK Ir. SOEKARNO DENGAN Drs. MOH. HATTA TAHUN 1945 - 1956 ... 43
4.1 Kondisi Hubungan Politik Antara Ir. Soekarno Dengan Drs. Moh. Hatta Pada Masa Revolusi dan Demokrasi Liberal 1945 - 1950 ... 43
4.1.1 Hubungan Politik Pada Persiapan Naskah UUD 45 ... 49
4.1.2 Hubungan Politik Pasca Sidang BPUPKI ... 52
4.2 Kondisi Hubungan Politik Ir. Soekarno dengan Drs. Moh. Hatta Pada Masa Sistem Pemerintahan Parlementer Tahun 1950 - 1956 ... 58
4.3 Pengaruh Hubungan Politik Ir. Soekarno dengan Drs. Moh Hatta Terhadap Stabilitas Politik di Indonesia Pada Tahun 1945 - 1950 ... 65
4.3.1 Peran Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta Pada Tahun 1945 - 1956 ... 65
4.3.1.1 Perundingan Linggarjati ... 71
4.3.1.2 Perundingan Renville ... 78
4.3.2 Peranan Ir. Soekarno dan Drs. Moh Hatta Dalam
Pemerintahan Konstitusional Demokrasi Parlementer 1950
– 1956 ... 82
4.3.2.1 Jalannya dan Hasil Pemilu 1955 ... 85
4.3.3 Kondisi Politik Setelah Lengsernya Drs. Moh. Hatta Dari
Jabatan Wakil Presiden Tahun 1956 ... 93
BAB V KESIMPULAN... 99
5.1 Kesimpulan ... 99
DAFTAR PUSTAKA ...
LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta sebagaimana diketahui kedua tokoh
inilah yang mengangkat Indonesia dalam percaturan politik Internasional, baik itu
ketika masih dalam cengkraman kolonialisme Belanda maupun ketika masa
pendudukan Jepang. Begitu juga UUD 1945, segera diberlakukan sehari setelah
proklamasi kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945. Salah satu konsepi Ir.
Soekarno mengenai pembuatan partai tunggal yang di tuangkan ke dalam
keputusan PPKI yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI). Yang antara lain bahwa Ir.
Soekarno, memandang pemungutan suara (voting) akan berdampak tirani terhadap
minoritas. Dengan banyak partai, persatuan akan menjadi kabur dan
membingungkan rakyat. Seperti ungkapannya yang di tulis pada risalah Mentjapai
Indonesia Merdeka pada bulan maret 1933 :
“Satu partai pelopor? Ja, satu partai pelopor, dan tidak dua, tidak tiga! Satu partai sadja jang bisa paling baik dan paling sempurna jang lain tentu kurang baik dan kurang sempuran. Satu partai sadja jang bisa menjdadi pelopor.
Memang lebih dari satu pelopor, membingungkan massa. Lebih dari satu komandan membingungkan tentara. Riwajat duniapun menunjukan, bahwa di dalam tiap – tiap masa – aksi jang hebat adalah hanja satu partai sadja jang menjadi pelopor berdjalan di muka sambil memanggul bendera” (Soekarno, 1957 : 310).
Namun beberapa keputusan yang dibuat oleh PPKI ternyata tidak bisa
berjalan sempurna, terutama hal ini disebabkan karena kurangnya dukungan dari
elit politik nasional pada waktu itu (Kahin,1970:148). Kemudian dikeluarkan
Maklumat pemerintah tanggal 4 Nopember 1945 dalam Aturan Peralihan Pasal IV
UUD 1945 tentang perubahan PPKI menjadi KNIP (Komite Nasional Indonesia
Pusat) yang berfugsi sebagi lembaga pembantu presiden dan menyatakan presiden
Soekarno menjalankan kekuasaan MPR, DPR, dan DPA sebelum
lembaga-lembaga tersebut terbentuk (Manan, 2003:192). Hal ini antara lain, adalah
manifestasi dari pemikirannya tentang demokrasi yang cocok pada masyarakat
Indonesia dengan mengambil dari istilah sabda pandhito ratu, yang merupakan
suatu kultur terpimpin, dimana demokrasi terpimpin layaknya demokrasi yang
mengenal lembaga khalifah, dimana khalifah harus dipilih oleh umat Islam dan
khalifah harus mampu melidungi seluruh umat Islam. Pada suatu kesempatan lain
dalam pidatonya Ir. Soekarno mengibaratkan pemimpin merupakan pengembala.
Seorang kepala pemerintahan diartikan sebagai imam yang memiliki tanggung
jawab atas keadaan rakyatnya. Ternyata ketentuan tersebut di atas banyak tidak
disetujui oleh sebagian elit politik, karena mencerminkan kekuasaan presiden
yang bersifat absolut dan otoriter terutama dengan ambisi. Drs. Moh. Hatta yang
mempunyai keinginan untuk menjadikan Indonesia sebagai Negara yang
berdemokrasi.
Disusul dengan dikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden no. X pada
tanggal 16 Oktober 1945 bertujuan mengurangi kekuasaan presiden dan
mengubah ketentuan yang diberikan oleh Aturan Peralihan Pasal IV tersebut.
Maklumat Wakil Presiden no. X menetapkan bahwa Kabinet Presidensil yang
diatur oleh UUD 1945 diubah menjadi Kabinet Parlementer. Kabinet bertanggung
jawab kepada KNIP yang berfungsi sebagai DPR (Rauf, 2000:114-115).
Maklumat Wakil Presiden No. X ini merupakan pukulan telak terhadap
kepemimpinan Ir. Soekarno yang dinilai otoriter, selanjutnya Drs. Moh. Hatta
sebagai Wakil Presiden menandatangani maklumat tersebut sebagai ungkapan
kekesalannya terhadap kepemimpinan Ir. Soekarno dan merupakan bukti bahwa
Drs. Moh. Hatta lebih dekat dengan sistem liberal yang dicita-citakannya.
Demokrasi parlementer menurut Drs. Moh. Hatta mengutamakan
aspek-aspek politik. Definisi Parlementer di Barat merupakan hasil politik dari suatu
evaluasi politik, karena lapisan demi lapisan dan masyarakat memperoleh
kekuatan ekonomi, mereka maju ke medan perjuangan politik serta telah
mencapai kemenangan dan telah mendapat perwakilan parlementer. Demokrasi di
Indonesia mengandung unsur pembinaan dan pelaksanaan ekonomi yang besar.
demokrasi di Barat dapat menerima banyak bentuk, selama dua hal yang pokok
dipenuhi yaitu; (1) perwakilan rakyat secara jujur (2) pemerintahan yang
parlemen sebagai wakil rakyat dan pemerintahan yang bertangung jawab pada
parlemen. Di samping itu parlemen dan peralatan parlementer merupakan suatu
langkah maju ke arah pembangunan Demokrasi Parlementer (Hatta, 1957:50 54).
Sedangkan pandangan Ir. Soekarno terhadap Demokrasi Parlementer terdapat dalam tulisannya “demokrasi politik dan demokrasi ekonomi” pada pikiran rakyat 1932. Soekarno melihat bahwa liberalisme hanya menjamin hak –
hak politik, tetapi merintangi keadilan sosial. Untuk itu soekarno berpendapat ”kalau kita mencari demokrasi hendaknya bukan demokrasi barat tetapi permusyawarahan yang memberi hidup, yakni politik economische demokratie
yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial. Demokrasi barat menurut
Soekarno tempatnya kaum kapitalis mengontrol segala – galanya dan di situ tidak
ada keadilan social dan demokrasi ekonomi. Di sini, semua orang punya hak
memilih dan dipilih untuk masuk dalam parlemen. Akan tetapi, pada prakteknya,
model demokrasi parlementer itu sangat tidak menguntungkan bagi rakyat jelata.
Bagi Bung Karno, demokrasi parlementer merupakan sarana politik bagi „kapitalisme yang baru terbit‟, di bidang ekonomi setiap orang bertindak bagaikan raja, tetapi di bidang ekonomi tidak demikian. Seorang buruh yang berkuasa di
parlemen, bahkan berhasil menjatuhkan menteri, besok paginya di dalam pabrik
bisa dilempar keluar menjadi gembel. Dengan kata lain, di parlemen seorang
buruh bisa berkuasa laksana raja, tetapi di pabrik mereka tetap di bawah
kekuasaan sang majikan. Ia bisa dipecat kapan saja, dan kehilangan pekerjaannya.
Sebab, alat produksi tetap dikontrol oleh kapitalis.
Setelah proklamasi kemerdekaan RI. Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta
sebagai pemimpin rakyat Indonesia. Dapat dikatakan, dua pemimipin yang tidak
dapat dipisahkan, di mana Soekarno ada, di situ pun Hatta ada. Keduanya seperti
sudah melupakan sama sekali pertentangan faham yang terjadi pada tahun
1930-an, dan bahu - membahu dalam pikiran dan tindakan. Kalau sebelumnya mereka
dapat dikatakan saling mencela, pada saat-saat itu keduanya saling membela.
Sebagai Dwitunggal, keduanya sangat menonjol dalam detik-detik Proklamasi
kemerdekaan. Perjalanan Dwitunggal dalam pemerintahan sejak Proklamasi
berkaitan dengan strategi politik. Awalnya, Soekarno dan Hatta menjadi presiden
dan wakil presiden dalam sebuah kabinet presidensial. Namun, ternyata di mata
internasional Soekarno dianggap sebagai kolaborator Jepang yang tentu saja akan
menyulitkan perundingan - perundingan diplomasi. Maka, dibuatlah kesepakatan
pertama – tama PPKI yang dimaksud buatan Jepang diganti dengan Badan
Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan mengusulkan agar untuk
sementara waktu dibentuk kabinet parlementer untuk menangkis
serangan-serangan dari luar negeri terhadap Ir Soekarno atas nama rakyat yaitu sebagai
kolaborator Jepang sebagai Negara Fasis. Seperti sudah diketahui,
anggota-anggota KNIP diangkat oleh Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta untuk
menghilangkan citra pengikut Jepang di mata dunia. Ir. Soekarno dan Drs. Moh.
Hatta menyetujui usul Badan Pekerja itu. Dan, kemudian diangkatlah Sjahrir
sebagai perdana menteri dengan alasan bahwa presiden mendelegasikan
kekuasaan kepada perdana menteri untuk mengatasi kesulitan sementara waktu.
Bagaimanapun juga kepemimpinan dwitunggal Ir. Soekarno dan Drs. Moh
Hatta pada awal kemerdekaan khususnya pada masa demokrasi parlementer,
mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap persatuan RI. Seperti yang di tuturkan oleh Indriyanto “Soekarno-Hatta tidak sekedar simbolisasi hubungan politis, tetapi juga hubungan kultural yang secara kasar masing - masing mewakili
Jawa dan luar Jawa, sinkretisme Jawa dan Islam puritan, dan mistisisme dan
merkantilisme. Unsur-unsur kebudayaan dalam konteks politik mencakup
nilai-nilai, keyakinan - keyakinan, dan sikap - sikap emosional mengenai cara-cara
menjalankan pemerintahan” (Indriyanto, 2007: 12).
Dengan rentetan tekanan – tekanan politik yang harus dihadapi oleh RI
sejak Sutan Syahrir ditunjuk menjadi PM RI sampai digantinya sistem
pemerintahan Demokrasi Parlementer dengan Demokrasi Terpimpin. Peran
Dwitunggal Soekarno – Hatta sebagai peimimpin bangsa berkolaborasi dan satu
pikiran dalam menghadapi berbagai macam ancaman dari luar maupun dari dalam
Negeri. Seperti peristiwa 3 juli 1946 yang dimotori oleh kelompok yang tidak
menyukai negoisasi dengan Belanda. Khususnya terhadap PM Syahrir untuk
melakukan kudeta dan mengganti PM Syahrir dengan Tan Malaka dan hal ini
sangat dipandang sebagai masalah serius oleh Presiden Soekarno dengan
mengeluarkan maklumat nomor 1, 2, dan 3. Adapun maklumat tersebut mengarah
kepada kudeta, misalnya maklumat Nomor 2 berbunyi demikian: Atas desakan
rakyat dan tentara dalam tingkatan kedua terhadap Ketua Revolusi Indonesia yang
berjuang untuk rakyat, maka kami atas nama kepala negara hari ini
memberhentikan seluruh kementerian negara Sutan Syahrir. Yogyakarta, 3 Juli
1946, tertanda: Presiden RI Soekarno (Masykur, 2011: 54).
Hal yang nampak mencerminkan satu pemikirannya antara Ir. Soekarno
dengan Drs. Moh. Hatta adalah ketika kekompakan mereka pada sidang KNIP
tahun 1947, saat membahas persetujuan Linggarjati. Saat itu untuk meratifikasi
persetujuan Linggarjati butuh persetujuan parlemen, Drs . Moh Hatta bersikeras
membela Soekarno di depan sidang, agar KNIP menyetujui persetujuan
linggarjati. Pemerintah berniat untuk melaksanakan Perjanjian Roem-Royen,
namun pihak tentara, yang dipimpin Jenderal Soedirman menolak perjanjian itu.
Namun situasi mengalami jalan buntu, hingga akhirnya Jenderal Soedirman tidak
bisa lagi ikut pemerintah dan ingin mengundurkan diri. Walaupun Ir. Soekarno
berusaha menjelaskan semuanya namun tidak di hiraukan. Hingga akhirnya Bung
Hatta berkata, “Kalau saudara-saudara berhenti, maka lebih dahulu
Soekarno-Hatta berhenti, terserah APRI memimpin perjuangan, Soekarno-Soekarno-Hatta akan
mengikuti sebagai rakyat (Taher 2010: 6-7). Puncak Dwi tunggal adalah saat
Madiun Affair yang dikenal dengan pemberontakan PKI September 1948.
Pasukan Brigade 29 melakukan aksi sepihak dan menyerang Divisi Siliwangi,
setelah menguasai kota Madiun.. Pemerintah menganggap Musso sebagai
dalangnya, maka pada malam 19 September 1948, Ir. Soekarno berpidato di radio
dan mengajukan dua pilihan:
Pada kurun waktu 1950 - 1956 merupakan masa dimana Ir. Soekarno dan
Drs. Moh. Hatta sering mengalami benturan politik yang tidak bisa dielakan oleh
keduanya. Ir. Soekarno mulai frustasi terhadap Drs. Moh.Hatta yang
terus-menerus merongrong kekuasaannya, penempatan dirinya hanya sebagai simbol “can do no wrong” ternyata tidak membuatnya puas. Tugas yang dibebankan kepada Ir. Soekarno sebagai presiden nyaris tidak ada, hampir seluruhnya
dikerjakan oleh Drs. Moh. Hatta sebagai Perdana Menteri maupun sebagai Wakil
Presiden. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) lahir ditandai dengan
diberlakukannya Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950 setelah masa -
masa sulit menentukan ke arah mana negara ini mau dibawa terpecahkan.
Pertentangan antara Drs. Moh. Hatta dengan Ir. Soekarno kali ini berlanjut dalam
memandang permasalahan Irian Barat. Sesuai dengan kesepakan Konferensi Meja
Bundar (KMB) dimana dihasilkan suatu keputusan untuk menunda masalah Irian
Barat 1 (satu) tahun kemudian. KMB merupakan perundingan yang sangat
monumental bagi Drs. Moh. Hatta dimana hasilnya lebih menguntungkan
dibandingkan dengan perundingan - perundingan sebelumnya, walaupun demikian
Ir. Soekarno tidak merasa puas karena wilayah Irian Barat masih belum berada di
pangkuan Ibu Pertiwi. Cita-cita (ambisi) Ir. Soekarno yang menginginkan NKRI
berwilayah dari Sabang sampai Merauke. Moh. Natsir sebagai Perdana Menteri
pertama dalam masa ini lebih condong ke Drs. Moh. Hatta dari pada ke Ir.
Soekarno. Moh. Natsir merupakan kawan Moh. Hatta selama masih di Eropa
sehingga pemikirannya sama-sama liberal dengan Moh. Hatta. Keduanya
memandang bahwa masalah Irian Barat hanya dilakukan melalui perundingan –
perundingan saja, sedangkan Ir. Soekarno lebih radikal dengan mengupayakan
segala cara termasuk perjuangan fisik untuk merebut wilayah Irian Barat dari
pemerintahan Belanda. Akibatnya, umur kabinet Natsir pun tak lama hanya 6
bulan kabinet ini jatuh karena parlemen melakukan mosi tidak percaya terhadap
kabinet. Pada tangal 21 Maret 1951 secara resmi kabinet lengser dari
Perbedaan paham antara Drs. Moh. Hatta dengan Ir. Soekarno meningkat
pada masa pemerintahan kabinet Wilopo yang mulai memerintah sejak tanggal 30
Maret 1952. Komposisi kabinet bentukan Wilopo tidak disukai oleh Ir. Soekarno
walaupun Wilopo berasal dari partai PNI. Wilopo sendiri merupakan temannya
Drs. Moh. Hatta selama menjabat Menteri tenaga kerja semasa Hatta menjadi
Perdana Menteri. Banyaknya pergolakan di tubuh TNI dan menguatnya PKI
membuat keadaan tidak bisa dikendalikan, termasuk keadaan ekonomi pada waktu
itu yang semakin sulit. Kabinet ini kemudian menyerahkan mandatnya pada Juni
1953. Jatuh bangunnya kabinet dalam kurun waktu yang singkat ± 3 tahun
membuat posisi Drs. Moh. Hatta semakin melemah dan sebaliknya posisi Ir.
Soekarno dan golongan nasionalis lainnya semakin menguat dalam pengambilan
kebijakan di pemerintahan. Kabinet berikutnya yang dibentuk adalah kabinet Ali
Sastroamidjojo (Ali I). Komposisi Ali I yang tidak melibatkan Masyumi dan PSI
tetapi melibatkan NU (pasca keluar dari Masyumi) banyak menimbulkan
pergolakan. Tokoh - tokoh yang pro terhadap ide negara Islam mulai banyak
menyerang kabinet Ali I, yang pada akhirnya banyak terjadi gejolak di daerah
seperti di Aceh yang menginginkan mendirikan negara Islam. Persoalan lainnya
yang menghinggapi selama pemerintahan Ali I adalah mengenai kebijakan luar
negerinya yang menginginkan adanya kekuatan penyeimbang antara Blok Barat
dengan Blok Timur dengan menyelenggarakan konferensi Asia-Afrika
Hal yang memicu kerenggangan antara Drs. Moh. Hatta dengan Ir.
Soekarno pada kabinet ini terjadi pada masalah pengangkatan Kepala Staf
Angkatan Darat (KSAD). Ir. Soekarno dengan kekuasannya mengganti KSAD
dengan personel militer yang dianggap tidak cocok oleh Drs. Moh. Hatta.
Penunjukkan Bambang Utoyo sebagai KSAD oleh Ir. Soekarno banyak dikecam
oleh kalangan senior militer yang dekat dengan Drs. Moh. Hatta. Kalangan senior
menilai KSAD tunjukkan Ir. Soekarno tidak memiliki persyaratan untuk
menduduki jabatan tersebut seperti senioritas dan kecakapan. Permasalahan ini
tidak berlarut - larut dan Ir. Soekarno menyerahkan masalah ini ke Drs. Moh.
Hatta untuk menyelesaikannya, sedangkan Ir. Soekarno meninggalkan tanah air
Kabinet Ali I menyerahkan mandatnya kepada Drs. Moh. Hatta karena Ir.
Soekarno masih berada di tanah suci Mekah (Hartante, 2005: 36-37).
Pada pemerintahan kabinet Burhanudin Harahap kekosongan kekuasaan
ditubuh KSAD diisi oleh Abdul Haris Nasution sebagai perwira paling senior di
tubuh AD. Peningkatan intensitas pertentangan antara Ir. Soekarno – Drs. Moh.
Hatta pada masa ini mulai dirasakan sangat panas. Penunjukkan Burhanudin
Harahap oleh Drs. Moh. Hatta membuat Ir. Soekarno merasa dipinggirkan karena
pengangkatannya tanpa sepengetahuannya. Puncaknya terjadi ketika Bung Karno
menolak menandatangani RUU (perjanjian KMB). Drs. Moh. Hatta memandang
Ir. Soekarno telah melakukan kesalahan besar karena sengaja mencari-cari
masalah dalam urusan ini (Noer, 1990: 472 - 473). Kabinet Burhanuddin Harahap
menyerahkan mandatnya pasca pemilu I tahun 1955 yang dimenangkan oleh PNI.
PNI sebagai pemegang suara terbanyak dalam pemilu berhak menjadi fomatur
dalam kabinet yang dipimpin oleh Ali Sastroamidjojo (Ali II) pada tanggal 20
Maret 1956.
Pertentangan antara Ir. Soekarno – Drs. Moh. Hatta dalam kabinet Ali II
mengalami puncaknya yaitu dengan berakibat perngunduran diri Hatta dari
pemerintahan (Wakil Presiden). Terdapat beberapa alasan yang menyertai
pengunduran diri Hatta.
Rauf, (2000:116) memandang bahwa pengunduran diri Drs. Moh. Hatta merupakan kumpulan akumulasi dari beberapa konflik yang terjadi antara
Drs. Moh. Hatta dengan Ir. Soekarno yang tidak bisa diakhiri,
Sedangkan Nasution (1994: 276) berpendapat bahwa ada dua kemungkinan yang harus diambil oleh Hatta yaitu mundur atau kudeta,
atas pertimbangannya, akhirnya Ia memilih mundur. Berdasarkan kedua
pendapat di atas, dapat ditarik benang merah dari peristiwa pengunduran
diri Hatta merupakan kerugian yang sangat berharga dari Soekarno. Bung
Hatta selama ini dikenal sebagai simbol keterwakilan luar Jawa sehingga
muncul banyak pergolakan di daerah pasca pengunduran diri Hatta dari
Benih-benih perbedaan ini tampaknya telah ada sejak bangsa ini berjuang
untuk memperoleh kemerdekaan. Polemik antara keduanya kembali muncul pada
masa - masa awal kemerdekaan dan sistem pemerintahan demokratis mulai
dipraktekan di Indonesia tahun 1945, dan terus berlanjut hingga masa - masa
selanjutnya ketika Soekarno menjadi pemimpin tunggal bangsa ini. Benih-benih
polemik atau perbedaan pandangan antara Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta tidak
bisa dilepaskan dengan perjalanan bangsa Indonesia dalam kaitannya dengan
usaha bangsa ini membangun dan membentuk pemerintahan yang demokratis.
Persoalan politik dan pemerintahan menjadi isu yang paling banyak
menumbuhkan polemik di antara keduanya. Keduanya mempunyai cara pandang
dan strategi politik yang berbeda tentang bagaimana membangun bangsa ini.
Dilihat dari sudut latar belakangnya antara kedua tokoh tesebut, Ir.
Soekarno yang merupakan orang Jawa sedangkan Drs. Moh. Hatta adalah orang
Minang, ditinjau dari pribadinya sangat jelas terlihat terdapat potensi yang besar
untuk terjadinya pertentangan (Rauf, 2000: 115-117). Kedua tokoh ini mempunyai
perbedaan pandangan satu sama lain, terutama strategi dan orientasi politik. Pada
satu sisi Ir. Soekarno ingin melanggengkan dominasinya meneruskan perjuangan
revolusi, pada sisi lainnya Drs. Moh. Hatta telah berpikir maju untuk segera
mengakhiri Revolusi menuju kearah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya
(Nasution, 1994:276). Ir. Soekarno adalah seorang solidarity maker yaitu seorang
pemimpin yang pandai menarik simpati massa dan menggerakkan mereka untuk
tujuan tertentu, sedangkan Drs. Moh. Hatta adalah seorang administrator yang ahli
dalam penyelenggaraan negara namun tidak terampil dalam menghadapi massa.
Ir. Soekarno tidak mendapatkan pendidikan di Luar Negeri (Barat) sehingga
menganggap nilai-nilai budaya Barat tidak berpengaruh baginya dan tidak
dianggap penting. Berbeda dengan Drs. Moh. Hatta yang memperoleh
pendidikannya di Belanda yang menyebabkannya bersimpati terhadap nilai-nilai
budaya Barat, seperti demokrasi Barat (Feith 2001: 10 - 11).
Melihat hubungan kedua tokoh ini bukan berarti penulis ingin menelusuri
dan membangkitkan semangat pertentangan antara kedua tokoh yang mempunyai
menggali pemikiran-pemikiran besar kedua tokoh ini sebagai pendiri bangsa.
Fenomena pertentangan-pertentangan seperti ini memang pernah terjadi pada
masa Ir. Soeharto - Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Abdurahman Wahid -
Megawati. Namun pertentangan meraka dibandingkan dengan pertentangan Ir.
Soekarno dengan Drs. Moh. Hatta jauh berbeda, karena hal ini lebih mengarah
pada masalah yang prinsipil, seperti dasar-dasar pemikiran, strategi perjuangan,
bentuk negara dan susunan pemerintahan sehingga mempengaruhi kehidupan
bernegara di kemudian hari.
Berdasarkan pemaparan yang telah dijelaskan di atas, hal inilah yang
menjadi ketertarikan penulis dan menjadi ide dasar dari penulisan skripsi ini,
dengan begitu penulis mencoba untuk mengkaji lebih dalam tentang bagaimana
perbedaan persepsi politik Ir. Soekarno dengan Drs. Moh. Hatta pada awal
kemerdekan 1945 sampai lengsernya Drs. Moch Hatta dalam pemerintahan tahun
1956. Maka, dirumuskanlah judul : DARI DWI TUNGGAL SAMPAI DWI TANGGAL “Kajian Historis Mengenai Dinamika Hubungan Politik Ir.
Soekarno – Moh. Hatta 1945 - 1956”
1.2Rumusan Masalah
Berdasarkan judul yang telah dikemukakan di atas, peneliti merumuskan masalah utama dalam penulisan skripsi ini, yaitu ”Bagaimana dinamika hubungan politik Soekarno – Moh. Hatta tahun 1945 – 1956 yang asalnya disebut sebagai
Dwitunggal sampai akhirnya disebut Dwitanggal. Untuk lebih memfokuskan
kajian penelitian ini, diajukan beberapa pertanyaan sebagai perumusan masalah
yang akan diuraikan dalam skripsi ini sebagai berikut :
a) Bagaimana kondisi hubungan politik antara Ir. Soekarno denagn Drs.
Moh. Hatta pada masa revolusi 1945 – 1950?
b) Bagaimana hubungan politik Ir. Soekarno dan Moh. Hatta pada tahun
1950 -1956?
c) Bagaimana pengaruh hubungan politik Soekarno dan Moh. Hatta terhadap
1.3Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang hendak dicapai penulis dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
a) Mendeskripsikan kondisi hubungan politik antara Ir. Soekarno dengan
Drs. Moh. Hatta pada masa revolusi 1945 – 1950.
b) Menjelaskan hubungan politik Ir. Soekarno dengan Drs. Moh. Hatta pada
tahun 1950 -1956.
c) Memaparkan pengaruh hubungan politik Ir. Soekarno dan Drs. Moh.
Hatta terhadap stabilitas politik di Indonesia pada tahum 1940 dan 1950.
1.4Manfaat Penelitian
a) Dari sudut akademis, karya ilmiah ini diharapkan dapat memperkaya
penulisan sejarah terutama tentang perbedaan pemikiran Ir. Soekarno –
Drs. Moh. Hatta mengenai kebijakan politik serta pengaruhnya dalam
perpolitikan Indonesia.
b) Memberikan kontribusi terhadap pengembangan penelitian sejarah
mengenai sejarah perbedaan persepsi politik Ir. Soekarno – Drs. Moh.
Hatta serta pengaruhya terhadap kebijakan politik Indonesia.
c) Memberikan pemahaman yang bersifat ilmiah terhadap perbedaan, serta
dapat menjadi dasar penelitian selanjutnya yang lebih luas dan mendalam
guna mengupas tema yang sama.
1.5Metode dan Teknik Penelitian
1.5.1 Metode Penelitian
Metode adalah suatu prosedur, proses atau teknik yang sistematis dalam
penyidikan suatu disiplin ilmu tertentu untuk mendapatkan objek (bahan-bahan)
yang diteliti (Sjamsuddin, 2007: 13). Adapun metode yang digunakan dalam
mengkaji skripsi ini adalah metode historis/sejarah. Sjamsuddin (2007: 14)
mengartikan metode penelitian sejarah sebagai suatu cara bagaimana mengetahui
sejarah. Sjamsuddin (2007: 89) mengungkapkan enam langkah yang harus
1. Memilih judul atau topik yang sesuai.
2. Mengusut semua eviden (bukti) yang relevan dengan topik.
3. Membuat catatan yang ditemukan ketika penelitian sedang berlangsung. 4. Mengevaluasi secara kritis semua evidensi yang telah berhasil
dikumpulkan (kritik sumber).
5. Menyusun hasil penelitian ke dalam pola yang benar atau sistematika tertentu.
6. Menyajikan dan mengkomunikasikannya kepada pembaca dalam suatu cara yang menarik perhatian, sehingga dapat dimengerti.
Dari keenam langkah tersebut, tahapan memilih topik, menyusun
semua bukti-bukti sejarah dan membuat catatan termasuk pada tahap heuristik,
sedangkan mengevaluasi semua bukti-bukti sejarah termasuk tahap kritik dan
terakhir menyusun hasil penelitian serta mengkajinya termasuk tahap
historiografi (Sjamsuddin, 2007: 155). Ketiga tahapan ini diuraikan sebagai
berikut:
1. Heuristik (Pengumpulan Sumber-sumber Sejarah)
Ini merupakan tahap awal dengan mencari dan mengumpulkan
sumber-sumber sejarah yang relevan dengan masalah atau judul yang
akan dikaji. Peneliti berusaha mengumpulkan sumber-sumber sejarah,
baik sumber primer maupun sumber sekunder yang diperlukan dalam
penulisan skripsi ini.
2. Kritik Ekternal dan Internal Sumber
Pada tahap ini peneliti mulai melakukan seleksi dan penilaian
terhadap sumber-sumber sejarah yang telah diperoleh. Kritik yang
dilakukan ini meliputi dua aspek yaitu aspek eksternal yang digunakan
untuk menilai otentitas dan integritas dari sumber-sumber sejarah yang
telah diperoleh. Sementara aspek internal digunakan untuk melihat dan
menguji dari dalam mengenai reliabilitas dan kredibilitas isi dan
sumber-sumber sejarah yang telah diperoleh. Dari proses kritik ini
sumber-sumber sejarah selanjutnya disebut fakta-fakta sejarah.
3. Interpretasi (menafsirkan sumber sejarah) dan Historiografi
Pada tahap ini, peneliti memberikan penafsiran terhadap
Fakta-fakta dihubungkan, disusun dan dianalisis sehingga diperoleh
penjelasan yang sesuai dengan pokok permasalahan. Selanjutnya
peneliti menyajikannya dalam bentuk tulisan yang disebut
historiografi. Sedangkan historiografi itu sendiri merupakan proses
penyusunan seluruh hasil penelitian ke dalam bentuk tulisan.
1.5.2 Teknik Penelitian
Dalam rangka penulisan Skripsi, penulis menggunakan teknik studi
literatur atau studi kepustakaan. Studi literatur digunakan untuk mengumpulkan
fakta-fakta dengan mempelajari buku-buku, artikel-artikel, dan majalah yang
relavan dengan permasalahan yang peneliti kaji. Sumber-sumber yang telah
terkumpul, selanjutnya peneliti kaji dan pelajari sesuai dengan langkah-langkah
dalam penelitian sejarah seperti yang telah diuraikan di atas. Teknik penulisan
dalam skripsi ini menggunakan sistem Harvard yaitu sistem membahas format
untuk penulisan dan pengorganisasian kutipan dari materi sumber. Sistem ini juga
dikenal dengan sebutan author - date system (sistem penulis - tanggal) dan
parenthetical referencing (penulisan referensi dalam kurung). Teknik penulisan
ini sesuai dengan pedoman penulisan karya ilmiah UPI (2012).
1.6 Sistematika Penulisan
Hasil penelitian akan disusun dalam lima bab yang terdiri dari
Pendahuluan, Tinjauan Pustaka, Metode Penelitian, Pembahasan, dan
Kesimpulan. Pembagian ini dilakukan tiada lain untuk mempermudah dalam
memahami penulisan.
Bab I Pendahuluan. Bab ini akan menjelaskan tentang latar belakang
masalah yang di dalamnya termuat penjelasan mengapa masalah yang diteliti
muncul dan penting serta memuat alasan pemilihan masalah tersebut sebagai
judul. Bab ini juga berisi perumusan dan pembatasan masalah yang disajikan
dalam bentuk pertanyaan untuk mempermudah peneliti mengkaji dan
mengarahkan pembahasan, tujuan penelitian, penjelasan judul, metode dan teknik
Bab II Kajian Teoritik dan Tinjauan Pustaka. Bab ini merupakan tinjauan
kepustakaan dan kajian teoritis dari berbagai referensi yang berhubungan dengan
perbedaan persepsi Soekarno – Hatta dan apa yang disebut dengan keterkaitan
untuk sumber – sumber yang dapat dijadikan referensi bagi penulisan ini.
Bab III Metodologi Penelitian. Bab ini membahas langkah-langkah,
metode dan teknik penelitian yang digunakan dalam mencari sumber-sumber, cara
pengolahan sumber, analisis dan cara penulisannya. Dengan begitu prosedur
dalam penelitian akan di bahas pada bab ini.
Bab IV Pembahasan. Bab ini merupakan isi utama dari tulisan sebagai
jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang terdapat dalam rumusan masalah. Pada
bab ini akan dijelaskan, Kondisi Hubungan Politik Antara Ir. Soekarno dengan
Drs. Moh. Hatta pada Masa Revolusi 1945 – 1950. Bagaimana hubungan politik
Ir. Soekarno dan Moh. Hatta pada masa demokrasi liberal? Bagaimana pengaruh
hubungan politik Ir. Soekarno dan Moh. Hatta terhadap stabilitas politik di
Indonesia pada tahun 50-an.
Bab V Kesimpulan. Bab ini mengemukakan kesimpulan yang merupakan
jawaban dan analisis peneliti terhadap masalah-masalah secara keseluruhan. Hasil
temuan akhir ini merupakan pandangan dan interpretasi peneliti tentang inti
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Bab ini membahas mengenai metode penelitian yang digunakan penulis dalam
mengumpulkan sumber berupa data dan fakta yang berkaitan dengan penelitian yang penulis kaji mengenai “ DARI DWI TUNGGAL SAMPAI DWI TANGGAL “Kajian Historis Mengenai Dinamika Hubungan Politik Ir. Soekarno – Drs. Moh. Hatta 1945 - 1956”. Penelitian skripsi ini menggunakan metode historis sebagai
metode penelitiannya dan menggunakan studi literatur sebagai teknik penelitiannya.
Metode historis adalah proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dan
peninggalan masa lampau (Gottschalk, 1986:32). Penulis menggunakan metode
historis karena data-data yang dibutuhkan untuk menyusun skripsi ini pada umumnya
berasal dari masa lampau.
Menurut Sjamsuddin (2007: 13) dalam bukunya Metodologi Sejarah
dijelaskan bahwa metode merupakan suatu prosedur, proses, teknik yang sistematis
dalam penyelidikan suatu disiplin ilmu tertentu untuk mendapatkan objek atau bahan
yang akan diteliti. Metode historis merupakan suatu pengkajian, penjelasan dan
penganalisaan secara kritis terhadap rekaman serta peninggalan masa lampau.
Dengan kata lain, metode historis digunakan untuk mengkaji suatu peristiwa atau
permasalahan pada masa lampau secara deskriptif dan analitis.
Adapun langkah-langkah dalam metode historis merujuk pada pendapat
Ismaun adalah:
1. Heuristik, merupakan upaya mencari dan mengumpulkan sumber-sumber
sejarah yang relevan dengan permasalahan dalam penelitian. Sumber sejarah adalah “segala sesuatu yang langsung atau tidak langsung menceritakan kepada kita tentang sesuatu kenyataan atau kegiatan manusia pada masa lalu
(past actuality)” (Sjamsuddin, 2007: 95). Pada tahap ini, penulis
mengumpulkan fakta dan data melalui studi literatur tentang pemikiran –
2. Kritik, yaitu suatu usaha menilai sumber-sumber sejarah (Ismaun, 2005: 50).
Fungsi dari proses ini adalah untuk mengetahui apakah sumber-sumber yang
diperoleh itu relevan atau tidak dengan permasalahan yang dikaji. Kritik
sumber terbagi menjadi dua macam, yaitu:
a. Kritik ekstern atau kritik luar, yakni untuk menilai otentisitas sumber
sejarah. Kritik eksternal dilakukan dalam menguji integritas dan
otentisitas sumber-sumber sejarah yang sifatnya bukan terhadap isi
(content) dari sumber sejarah tersebut melainkan seperti bahan dan
bentuk sumber, umur dan asal dokumen, kapan dibuat, dibuat oleh siapa,
instansi apa, atau atas nama siapa, sumber itu asli atau salinan, masih utuh
seluruhnya atau sudah berubah.
b. Kritik intern atau kritik dalam, digunakan untuk menilai kredibilitas isi
dari sumber sejarah yang digunakan dengan menelaah sejauh mana
penyajian antara fakta dan interpretasi penulis terhadap sumber tersebut.
3. Interpretasi, adalah usaha untuk memahami dan mencari hubungan antar fakta
sejarah agar menjadi kesatuan yang utuh dan rasional. Penulis berusaha
menghubungkan satu peristiwa dengan peristiwa lain sehingga dapat
menciptakan keselarasan penafsiran yang berhubungan dengan pembahasan
yang dikaji tentang hubungan politik Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta.
4. Historiografi, adalah proses penyusunan hasil penelitian yang telah diperoleh
menjadi satu kesatuan yang utuh dalam bentuk skripsi, sehingga dihasilkan
suatu tulisan yang logis dan sistematis. Menurut Sjamsuddin (2007: 156), “keberartian seluruh fakta yang dijaring melalui metode kritik baru dapat dipahami hubungannya satu sama lain setelah semuanya ditulis dalam suatu keutuhan historiografi”.
Penyusunan skripsi ini mencakup keempat langkah kerja di atas yang
merupakan kegiatan inti penelitian. Langkah-langkah penelitian sendiri terbagi ke
penelitian. Ketiga tahap penelitian tersebut akan lebih dijabarkan di bawah ini sebagai
berikut:
3.1 Teknik Penelitian
Teknik penelitian digunakan penulis dalam merekonstruksi peristiwa sejarah
yang dilakukan dengan pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memperoleh
informasi dari berbagai literatur berupa buku dan artikel-artikel internet yang relevan
dengan masalah yang dikaji. Penulisan skripsi ini menggunakan teknik studi literatur
sebagai suatu teknik yang dipergunakan untuk memperoleh data yang bersifat teoritis,
sehingga diperoleh data yang dibutuhkan dalam penulisan skripsi. Pengkajian dengan
studi literatur akan membuat proses penelitian berlangsung lebih sistematis, lebih
kritis dan analitis. Teknik studi literatur dilakukan dengan cara membaca dan
mengkaji buku dan sumber-sumber tertulis lainnya yang berkaitan dengan
permasalahan yang dikaji, sehingga dapat membantu penulis dalam menemukan
jawaban dari permasalahan yang dirumuskan dalam penelitian ini.
3.2 Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan untuk mengkaji permasalahan dalam penelitian
ini adalah pendekatan interdisipliner. Pendekatan interdisipliner adalah pendekatan
yang menggunakan satu disiplin ilmu (ilmu sosial) yang dominan dan ditunjang oleh
ilmu-ilmu sosial lainnya. Dalam hal ini peneliti menempatkan ilmu sejarah sebagai
disiplin ilmu utama untuk mengkaji permasalahan dan ilmu-ilmu sosial lainnya
sebagai ilmu bantu sejarah (sisters disciplines) yang digunakan untuk mempertajam
analisis kajian dan memungkinkan suatu masalah dapat dilihat dari berbagai disiplin
ilmu, sehingga pemahaman tentang masalah tersebut akan semakin jelas dan baik
(Sjamsuddin, 2007: 36-40). Guna memperoleh kerangka yang luas untuk memahami
Dinamika Hubungan Politik Soekarno-Hatta dan pengaruhnya terhadap kebijakan
politik Indonesia 1945-1956 berarti harus memahami konflik politik yang tengah
pada pasca kemerdekaan merupakan nuansa yang wajar karena sebagai negara baru
merdeka banyak yang harus dibenahi dan ditata.
Faktor–faktor sosio-politik, dan kultural sangat dominan untuk menyingkapi
Hubungan Politik Soekarno - Hatta terhadap kebijakan politik Indonesia 1956-1956.
Untuk melakukan interprestasi penulis menggunakan beberapa disiplin ilmu bantu
antara lain politik, sosiologi dan antropologi. Pendekatan secara sosio-politik guna
mengungkap konflik yang tengah terjadi dan kebijakan-kebijakan yang terlahir
karenanya. Sementara pendekatan sosiologi dan antropologi guna mempelajari
kondisi masyarakat bangsa Indonesia sebagai obyek dari konflik yang telah terjadi
pasca kemerdekaan Indonesia. Dengan ilmu-ilmu bantu tersebut penulis mempunyai
tujuan untuk memperoleh data yang bisa digunakan untuk mengungkap permasalahan
yang telah terjadi sehingga bisa dilihat solusinya.
3.3 Persiapan Penelitian
3.3.1 Penentuan dan Pengajuan Tema Penelitian
Tahap awal yang dilakukan oleh penulis adalah membuat rancangan dengan
memilih dan menentukan tema penelitian yang akan dikaji untuk diajukan oleh
penulis kepada Tim Pertimbangan Penulisan Skripsi (TPPS). Rancangan ini dibuat
dalam bentuk proposal skripsi dan diajukan kepada TPPS untuk dikoreksi sebelum
diseminarkan oleh angggota TPPS dan untuk memastikan bahwa judul yang dipilih
belum pernah ditulis di Jurusan Pendidikan Sejarah. Setelah proposal ini dikoreksi
dan diperbaiki, maka penulis diperbolehkan mengikuti seminar proposal skripsi yang
dilaksanakan pada tanggal 13 Oktober 2010 bertempat di Laboratorium Jurusan
Pendidikan Sejarah.
Pengesahan mengikuti seminar dikeluarkan melalui surat keputusan dari
Ketua TPPS Jurusan Pendidikan Sejarah No.045/TPPS/JPS/2011, dengan calon
pembimbing I adalah Drs. Suwirta. M. Hum dan calon pembimbing II adalah Dr.
Encep Supriatna, M.Pd. Dalam seminar proposal skripsi tersebut, penulis
skripsi untuk dikaji dan didiskusikan apakah rancangan tersebut dapat dilanjutkan
atau tidak. Pada awalnya, judul yang penulis ajukan adalah Dari Dwi Tunggal Sampai
Dwi Tanggal “Kajian Historis Mengenai Dinamika Hubungan Politik Ir. Soekarno –
Drs. Moh. Hatta 1945 - 1956”
Setelah Seminar tersebut, penulis mendapat masukan dari Tim Pertimbangan
Penulisan Skripsi (TPPS) serta dari calon pembimbing, sehingga penulis
memfokuskan kajian terhadap Kajian Historis Mengenai Dinamika Hubungan Politik
Ir. Soekarno – Drs. Moh. Hatta 1945 – 1956. Judul dan proposal skripsi yang telah
mendapat persetujuan kemudian ditetapkan dan disahkan dalam surat keputusan dan
penunjukan kembali pembimbing skripsi dengan nomor No.045/TPPS/JPS/2011.
Setelah itu, penulis diperbolehkan untuk melanjutkan ke tahap penelitian penulisan
skripsi. Pembimbing I yang ditunjuk oleh TPPS adalah Bapak Drs. Suwirta. M. Hum
dan calon pembimbing II adalah Bapak Dr. Encep Supriatna, M.Pd. Adapun proposal
penelitian yang disusun oleh penulis memuat hal-hal sebagai berikut:
a. Judul Penelitian.
b. Latar Belakang Masalah.
c. Rumusan dan Batasan Masalah.
d. Tujuan Penelitian.
e. Manfaat Penelitian
f. Tinjauan Pustaka.
g. Metode dan Teknik Penelitian.
h. Sistematika Penulisan.
3.3.2 Konsultasi
Konsultasi merupakan kegiatan bimbingan dalam penyusunan skripsi yang
dilakukan oleh penulis kepada pembimbing I dan II yang telah ditunjuk oleh TPPS.
Konsultasi dengan pembimbing memiliki banyak fungsi yang sangat penting, yaitu
untuk memberikan pengarahan, saran dan kritikan dalam proses penelitian skripsi.
pembimbing II. Selama proses konsultasi awal, penulis mendapatkan arahan,
masukan atau kritik mengenai substansi skripsi untuk dijadikan perbaikan dalam
penulisan skripsi ini baik dari Pembimbing I maupun Pembimbing II. Konsultasi
dimulai dengan mengkaji mengenai judul dan fokus permasalahan yang dihadapi
dalam setiap bab isi dari skripsi ini sehingga ada perubahan ke arah yang lebih baik.
Jadwal konsultasi bersifat bebas dan setiap pertemuan membahas satu atau
dua bab yang diajukan, revisi maupun konsultasi sumber. Konsultasi satu bab
biasanya tidak cukup satu kali bimbingan karena selalu ada kekurangan yang harus
ditambah, dikurangi ataupun diperbaiki oleh penulis. Konsultasi terus dilaksanakan
sampai semua bab selesai dan penulisannya benar.
3.3.3 Pelaksanaan Penelitian
Bagian ini merupakan tahap penting dari sebuah penelitian. Langkah-langkah
yang penulis tempuh dalam mengkaji permasalahan yang diteliti dalam skripsi ini
mengikuti tahapan metode sejarah yang dikemukakan Sjamsuddin (1996: 67-187)
yaitu mencakup heuristik atau pengumpulan sumber, kritik atau analisis sumber
sejarah, interpretasi atau penafsiran sejarah dan historiografi atau penulisan sejarah.
Keempat langkah metode sejarah tersebut akan penulis uraikan di halaman
selanjutnya.
3.3.4 Pengumpulan Sumber (Heuristik)
Pada tahap ini, penulis berusaha mencari berbagai sumber yang berhubungan
dengan masalah penelitian. Sumber sejarah yang digunakan dalam penelitian ini
adalah sumber literatur berupa buku-buku baik yang berbahasa asing maupun
berbahasa Indonesia dan artikel-artikel dalam jurnal serta internet yang dapat
membantu penulis dalam memecahkan berbagai permasalahan yang dikaji. Sumber
sejarah adalah segala sesuatu yang langsung atau tidak langsung memberitahukan
kepada kita tentang sesuatu kenyataan kegiatan manusia pada masa lalu (past
mengumpulkan sumber-sumber atau tulisan yang dianggap relevan dengan masalah
penelitian. Hal ini dilakukan dengan jalan meneliti dan mengkaji hasil karya ilmiah
penulis lain. Penulis berhasil mengumpulkan buku-buku sebagai sumber literatur
tersebut diantaranya dari:
a. Perpustakaan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Di perpustakaan ini,
penulis mendapatkan sumber literatur, yaitu:
Pada tanggal 12 Desember 2011 tentang buku – buku Ir. Soekarno. Dan buku – buku Drs. Moh Hatta,
Pada tanggal 13 Desember 2011 di Perpustakaan/ laboratorium Jurusan Pendidikan Sejarah UPI,
Karya – Karya Bung Karno Pada Tahun 1926, 1930, 1933, 1947, 1957. Panitia Pembina Jiwa Revolusi.Soekarno.
b. Pada tanggal 13 Desember Perpustakaan Himpunan Mahasiswa Pendidikan
Sejarah Universitas Pendidikan Indonesia (HIMAS UPI). Di perpustakaan ini,
penulis mendapatkan sumber literatur, yaitu buku yang berjudul Ikhtisar
Sejarah R.I (1945-Sekarang) karya Kol. Drs. Nugroho Notosusanto.
c. Pada tanggal 20 Maret 2012 Perpustakaan Indonesian Corner-ITB. Di tempat
tersebut, penulis mendapatkan buku M. Yamin. (1960).
Selain mengunjungi berbagai perpustakaan tersebut, penulis juga mencari
buku di beberapa toko di daerah Bandung seperti toko Toga Mas dan toko buku di
Palasari. Misalnya buku Wawan tunggul Alam. (2003). Demi Bangsaku Pertentangan
Sukarno VS Hatta. Jakarta : Gramedia. Buku tersebut penulis dapatkan dari toko buku
Toga Mas di kota Bandung pada tanggal 3 Agustus 2012 .
Untuk memperkaya sumber literatur yang digunakan, penulis juga berusaha
mencari dan menemukan berbagai sumber berupa tulisan atau artikel dari situs
internet yang ada hubungannya dengan pokok permasalahan yang penulis kaji dalam
skripsi ini. Pada tanggal 10 Desember 2011 penulis mengunjungi situs diantaranya
Situs ini menceritakan mengenai dinamika hubungan yang terjalin antara kedua belah
negara belah pihak antara Ir. Soekarno dan Moh Hatta. Selain itu, pada tanggal 18
maret 2012 penulis juga mengunjungi situs
http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=232&Itemi
d=76. Situs tersebut membahas mengenai rekontruksi kronologis bagaimana masing –
masing kedua tokoh tesebut berperan sebagai perannya masing masing sebagai
Presiden dan Wakil Presiden.
3.3.5 Kritik
Tahap berikutnya setelah melakukan kegiatan pengumpulan sumber
(heuristik), adalah melaksanakan kritik sumber. Pada tahap ini, penulis melakukan
kritik terhadap sumber-sumber sejarah yang telah diperoleh, baik sumber utama
maupun sumber penunjang lainnya. Dalam usaha mencari kebenaran (truth),
sejarawan dihadapkan dengan kebutuhan untuk membedakan apa yang benar, apa
yang tidak benar (palsu), apa yang mungkin dan apa yang meragukan atau mustahil
Sjamsuddin (2007: 131). Untuk itu diperlukan kritik atas sumber-sumber sejarah
tersebut. Dalam metode historis, kritik sumber dibagi menjadi dua macam yaitu
kritik eksternal dan internal. Tahap pertama dalam melakukan kritik sumber yaitu
kritik eksternal, yang merupakan cara melakukan verifikasi atau pengujian terhadap
aspek-aspek luar dari sumber sejarah tersebut. Penulis dalam hal ini menggunakan
sumber sekunder, maka penulis tidak melakukan kritik pada dokumen melainkan
pada sumber turunan dalam bentuk buku.
Dalam melakukan kritik eksternal, penulis merujuk pada pendapat Ismaun
(2005: 50) bahwa kritik eksternal bertugas menjawab tiga pertanyaan mengenai
sumber:
1. Apakah sumber itu memang sumber yang kita kehendaki? 2. Apakah sumber itu asli atau turunan?
3.2.6 Penafsiran (Interpretasi)
Tahap interpretasi atau penafsiran merupakan tahap pemberian makna
terhadap fakta-fakta yang telah dikumpulkan penulis dan kemudian disusun sesuai
permasalahan yang dikaji. Peneliti memberikan penafsiran terhadap fakta-fakta
sejarah atau data-data yang diperoleh dari hasil kritik eksternal maupun internal.
Kemudian fakta yang telah diperoleh tersebut dirangkai dan dihubungkan satu sama
lain sehingga menjadi satu kesatuan yang selaras dimana peristiwa yang satu
dimasukkan ke dalam konteks peristiwa-peristiwa lain yang melingkupinya (Ismaun,
2005: 59-60). Hal tersebut agar memberikan keberartian atau kebermaknaan yang
kemudian dituangkan dalam penulisan yang utuh.
Merujuk pendapat Sjamsuddin (2007: 164) terdapat dua macam cara
penafsiran yang ada kaitannya dengan faktor-faktor pendorong sejarah yaitu:
Determinisme dan kemauan bebas manusia serta kebebasan manusia mengambil keputusan. Di antara bentuk-bentuk penafsiran deterministik itu ialah determinisme rasial, penafsiran geografis, interpretasi ekonomi, penafsiran (orang besar), penafsiran spiritual atau idealistik, penafsiran ilmu dan teknologi, penafsiran sosiologi dan penafsiran sintesis. Berdasarkan hal tersebut, ditinjau dari bentuk-bentuk penafsiran, terjadinya hubungan yang dinamis antara Ir. Soekarno dengan Drs. Moh Hatta dapat dikelompokkan sebagai penafsiran “orang besar”.
Penafsiran “orang besar” yang penulis pilih dalam penyusunan skripsi ini adalah didasarkan pada kebijakan-kebijakan Soekarno yang diambil selama periode
Demokrasi Terpimpin yang mengarah kepada berbagai konfrontasi dengan
negara-negara lain sehingga memunculkan pengaruh terhadap hubungan Indonesia dengan
Uni Soviet. Presiden atau negarawan adalah pemegang kekuasaan utama dalam
sebuah negara dan memiliki otoritas terhadap dikeluarkannya suatu kebijakan.
Seluruh langkah-langkah penelitian yang dilakukan oleh penulis diharapkan
3.4 Laporan Penelitian (Historiografi)
Tahap ini merupakan tahap terakhir dari keseluruhan penelitian. Dalam
metode historis, langkah ini dinamakan historiografi. Laporan penelitian ini disusun
secara kronologis sebagai alat memahami bagaimana peristiwa itu terjadi. Selain itu,
laporan penelitian ini disusun berdasarkan buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah
(Laporan Buku, Makalah, Skripsi, Tesis, Disertasi (2010)) yang diterbitkan oleh
Universitas Pendidikan Indonesia. Seluruh hasil penelitian dituangkan dalam bentuk
penulisan sejarah atau disebut historiografi. Sjamsuddin (2007: 156) menjelaskan,
bahwa:
"Ketika sejarawan memasuki tahap menulis, maka ia mengerahkan seluruh daya pikirannya, bukan saja keterampilan teknik penggunaan kutipan-kutipan dan catatan-catatan, tetapi yang terutama penggunaan pikiran-pikiran kritis dan analisisnya karena pada akhirnya ia harus menghasilkan suatu sintesis dari seluruh hasil penelitiannya atau penemuannya itu dalam suatu penulisan yang utuh yang disebut historiografi".
3.4.1 Teknik Penulisan Laporan
Teknik penulisan dalam skripsi ini, penulis menggunakan sistem Harvard
dengan merujuk pada buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Laporan Buku,
Makalah, Skripsi, Tesis, Disertasi) yang diterbitkan UPI (2012). Penggunaan sistem
ini digunakan penulis karena lazim digunakan para akademisi Universitas Pendidikan
Indonesia dalam penulisan karya ilmiah. Penulis menyajikan hasil penelitian yang
telah dikaji mengenai Kajian Historis Mengenai Dinamika Hubungan Politik Ir.
BAB V
KESIMPULAN
Bab ini berisi kesimpulan dari hasil penelitian yang telah dilakukan penulis
dengan mengacu pada rumusan masalah di bab pertama serta hasil analisis pada bab
empat. Peneliti akan menyimpulkan bagaimana terjadinya hubungan Ir. Soekarno
dengan Drs. Moh Hatta. Sesuai dengan rumusan masalah pada bab I, terdapat
beberapa hal yang akan penulis simpulkan dalam bab ini sehubungan dengan permasalahan yang dibahas pada skripsi yang berjudul Dari “Dwitunggal sampai Dwitanggal” kajian Historis Mengenai Dinamika Hubungan Politik Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta. Skema periodisasi yang di gambatkan ke dalam dua dimensi yaitu
ketika Dwitunggal terbentuk setelah mereka bersatu dan menghilangkan perbedaan
demi mencapai cita – cita bersama dan memimpin bangsa dalam gerbang
kemerdekaan. Dan seiring waktu Berakhir dengan dwitanggal, setelah saling tak
sepaham dalam berbagai hal seperti yang terjadi pada masa pergerakan.
Ir. Soekarno – Drs. Moh. Hatta merupakan dua tokoh besar Indonesia yang
jasa-jasanya kepada bangsa Indonesia tidak bisa dilupakan begitu saja. Sebagai
seorang manusia biasa Sokarno-Hatta bukanlah seorang manusia yang sempurna,
oleh karenanya kedua tokoh ini mempunyai kekurangan dibalik kelebihan yang
dimiliki oleh keduanya. Soekarno mempunyai kelebihan karena Ia pandai dalam
berorasi dalam menggerakan massa dengan jumlah yang cukup besar, sedangkan
Hatta merupakan seorang administrator yang ahli dalam penyelenggaraan Negara
namun tidak terampil dalam menghadapi massa. Latar belakang kedua tokoh ini ikut
membentuk karakter perjuangan mereka Soekarno memperoleh pendidikan di dalam
Negeri sedangkan Hatta memperoleh pendidikan di Barat, dalam perjuangan
melawan pemerintahan colonial baik Hatta maupun Soekarno cenderung bersikap
radikal (non kooperatif) tetapi yang membedakan karakter jiwa perjungannya.
Penelitian ini mengkaji tentang dinamika hubungan politik Soekarno – Ha
tta mulai dari keduanya dinyatakan sebagai Dwitunggal sebagai citra pemimipin
bangsa Indonesia dalam pemerintahan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui keadaan politik indonesia tahun 1945-1956 serta mengetahui sejarah
pertentangan Soekarno- Hatta, khususnya pada pandangan-pandangan dan
pemikiran-pemikiran kedua tokoh ini dan pengaruhnya terhadap kebijakan politik Indonesia.
Pertentangan antara Soekarno-Hatta telah muncul sejak keduanya aktif dalam
organisasi pergerakan kemerdekaan. Soekarno aktif dipergerakan dalam negeri
sedang Hatta aktif di Perhimpunan Indonesia (PI) di Belanda. Perjuangan nasionalis
yang dilakukan oleh Hatta mendapatkan reaksi dari pemerintah Belanda, ia di minta
mempertanggungjawabkan kegiatan politiknya di hadapan Majelis Hakim yang
menyidangnya. Dalam pembelaannya Hatta mulai menyerang pemerintahan kolonial
dengan tulisannya yang khas dan menarik, kemudian ia dibebaskan oleh
pemerintahan Belanda. Momentum ini mengangkat nama Hatta di Percaturan politik
nasional dan menjadi saingan serius bagi Ir. Soekarno yang menjadi pemimpin
pergerakan di Tanah Air.
Orientasi politik Soekarno-Hatta mempunyai perbedaan yang sangat tajam.
Soekarno terus berfikiran untuk melanjutkan perjuangan revolusinya, di posisi yang
lainnya Hatta berfikiran lain dengan lebih menginginkan untuk segera menghentikan
revolusi, dan disusul dengan pembangunan manusia kearah yang lebih maju. Kedua
tokoh ini selalu saja terlibat dalam pertentangan pendapat sampai keduanya
memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Pasca
proklamasi kemerdekaan pertentangan keduanya bukannya mereda ix tetapi malah
semakin meruncing. Munculnya maklumat wakil presiden No X menggambarkan
perbedaan pandangan keduanya semakin meruncing. Soekarno yang terispirasi
dengan ide-ide mengenai suatu negara yang dipimpin oleh seorang penguasa tunggal
berbeda pandangan dengan Bung Hatta yang menilai bahwa suatu negara yang baik
Manfaat dari penelitian ini adalah diharapkan bisa memberikan deskripsi lain
mengenai pemikiran kedua tokoh besar Indonesia yang lebih dikenal sebagai
Founding Fathers. Yang nantinya bisa merangsang bagi peneliti lain mengkaji secara
lebih cermat lagi. Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode sejarah.
Yang semuanya ada empat tahap yaitu heuristik, kritik sumber, interpretasi dan
historiografi. Sehingga nantinya bisa menghasilkan karya yang bisa di konsumsi
untuk menambah ilmu tentang sejarah pertentangan Soekarno-Hatta dan pengaruhnya
terhadap kebijakan politik Indonesia terutama setelah lengsernya Ds. Moh. Hatta dari
jabatan wakil presiden.
Penelitian ini memperoleh hasil bahwa pertentangan Soekarno-Hattan terjadi
sejak keduanya aktif sebagai pejuang kemerdekaan Indonesia sampai pada masa
demokrasi Parlementer. Dimana pada waktu itu Bung Hatta menggundurkan diri dari
pemerintahan yang merupakan akumulasi dari pertentangannya dengan Soekarno.
Pertentangan Soekarno-Hatta ternyata membawa dampak terhadap kebijakan politik
Indonesia. Konfigurasi politik mempengaruhi lahirnya suatu kebijakan politik, oleh
karenanya pertentangan Soekarno-Hatta merupakan salah satu faktor dari berbagai
faktor lainnya yang mempengaruhi keluarnya kebijakan politik Indonesia tahun
1956-1965. Pertentangan antara Soekarno dan Hatta ini menarik untuk dijelaskan, sebab
dengan melihat posisi simbolis Hatta maka pengunduran dirinya dari jabatan Wakil
Presiden mempunyai implikasi yang tidak sederhana dalam kehidupan Indonesia pada
waktu selanjutnya. Tindakan Hatta dapat ditafsirkan sebagai bentuk penarikan
dukungan penduduk luar Jawa terhadap legitimasi pemerintah pusat. Selain itu, sejak
Hatta meletakkan jabatan, Soekarno mulai menjadi satu-satunya figur sentral dan
poros kehidupan nasional Indonesia, keseimbangan politis terganggu, dan munculnya
ketidakpuasan terhadap pemerintah pusat.
Dengan demikian, hubungan antara Soekarno dan Hatta dapat dimasukkan ke
dalam wilayah politik yang batasannya tidak hanya didasarkan pada tata aturan, tetapi
juga hubungan kultural baik sebagai keseluruhan atau pada bagian-bagian tertentu.
disampaikan di muka, Soekarno-Hatta tidak sekedar simbolisasi hubungan politis,
tetapi juga hubungan kultural yang secara kasar masing-masing mewakili Jawa dan
luar Jawa, sinkretisme Jawa dan Islam puritan, dan mistisisme dan merkantilisme.
Unsur-unsur kebudayaan dalam konteks politik mencakup nilai-nilai,
keyakinan-keyakinan, dan sikap – sikap emosional mengenai cara-cara menjalankan
pemerintahan. Oleh karenanya, kebudayaan dalam konteks politik boleh dianggap
sebagai ekspresi untuk menunjukkan lingkungan emosi dan pendirian sebagai tempat
sistem politik itu berjalan. Tindakan politik ditentukan oleh berbagai macam faktor
seperti tradisi, ingatan sejarah, motif, norma, emosi, dan symbol.
Kedua, dwitunggal Soekarno-Hatta adalah simbol Indonesia itu sendiri, yang
terbentuk sebagai sebuah masyarakat majemuk (plural society). Berdasarkan hal ini,
maka bagi para pendukungnya, baik Soekarno maupun Hatta dapat dilihat sebagai patron. „Persekutuan‟ yang berhasil antara Soekarno dan Hatta dalam dwitunggal ditentukan oleh kemampuan mereka untuk mengakomodasikan motivasi para
pengikutnya untuk membangun negara baru. Masyarakat di negara baru selalu diliputi
oleh motivasi yang sangat kuat untuk membangun identitas yang mengantarkan
mereka untuk mendapatkan pengakuan umum sebagai pihak yang turut bertanggung
jawab dan mempunyai kontribusi yang berharga terhadap negara. Mereka juga
dilekati oleh semangat untuk membangun negara modern yang efisien dan dinamis.
Semangat ini mempunyai tujuan lebih luas yang bersifat praktis, antara lain adalah
pencapaian kemajuan, peningkatan taraf hidup, penciptaan tatanan politis yang
efektif, pembentukan keadilan sosial, dan perebutan tempat untuk memainkan peran
DAFTAR PUSTAKA
Abdulghani, R. (1963) Bung Karno Bertegak Gelar Doktor Honoris Causa. Univ. Padjadjaran Bandung.
Adams, C. (1965). Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Jakarta: Gunung Agung.
Alam, Wawan T. (2003). Demi Bangsaku Pertentangan Sukarno VS Hatta. Jakarta : Gramedia.
Ali, F. 1987. Refleksi Kekuasaan Jawa dalam Indonesia Modern. Jakarta: Gramedia.
Alfian, (1983). Pemikiran dan Perubahan Politik di Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Aman, (2002). Pemikiran Hatta Tentang Demokrasi , Kebangsaan dan Hak Azasi Manusia. Universitas NegeriJakarta
Baasir, F. 2003. Etika Politik Pandangan Seorang Politisi Muslim. Jakarta. Sinar Harapan
Bagun, R. (2003). Bung Hatta. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Budisantoso, N. (2001).Bung Hatta: Pandhita-nya Bung Karno. Dalam Basis. No. 03-04Tahun Ke-50, Maret-April. Hal.27-31
Busroh, Abu D, (1990) Ilmu Negara, Bumi Aksara, Jakarta,
Dahm, B. (1987). Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan. Jakarta: LP3ES
Feith, H. (2001). Sukarno Dan Militer Dalam Demokrasi Terpimpin. Jakarta: Sinar Harapan.
---. 1988. Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965. Jakarta : LP3ES
Giebels, L. (2001). Sukarno Biografi 1901-1950. Jakarta: Grasindo.
Geertz, Clifford. 1992. Politik Kebudayaan, terjemahan Francisco Budi Hardiman. Yogyakarta. Penerbit Kanisius.
Gottschalk, L. (1986). Mengerti Sejarah. (Terjemahan Nugroho Notosusanto). Jakarta: UI Press.
Hartante, H. (2005). Sejarah Pertentangan Soekarno – Hatta dan Pengaruhnya Terhadap Kebijakan Politik Indonesia.(1956-1967) Universitas Negri Malang
Hatta, M. (1957). Islam Masyarakat Demokrasi dan Perdamaian. Jakarta: Tintamas
---(1957). Persoaalan Ekonomi Sosialis Indonesia. Jakarta: Djambatan
---. (1979). Memoir. Jakarta : Tintamas
---. (1988) Mendayung Antara Dua Karang. Edisi, Cet.2. Jakarta.
Hatta. Moh. -Anak A. (1987). Surat menyurat Hatta dan Anak Agung : Menjunjung Tinggi Keagungan Demokrasi dan Mengutuk Kelaliman Diktatur. Jakarta: Sinar Harapan
Ismaun. (2005). Pengantar Ilmu sejarah. Bandung: Jurusan Pendidikan Sejarah.
Kamsori, Moch. E. (2000). Pemikiran Soekarno Tentang Nasionalisme. Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial. UPI
Kahin, George Mc. T. (1997). Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia. Surakarta: UNS Press.
Kuntowijoyo. (1994). Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Legge, John D. (2001). Soekarno Biografi Politik. Jakarta: Sinar Harapan.
Manan, B. (2003). Teori dan Politik Konstitusi. Yogyakarta: FH UII Press.
Mahfud, Moh. (1999). Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia. Yogyakarta: Gama Media
---. 2000. Demokrasi Dan Konstitusi Di Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Nasution, Adnan B. (1994). Aspirasi pemerintahan Konstitusional di Indoensia : studi kasus sosio-legal atas konstituante 1956-1959. Jakarta: Grafiti
Noer, D. (1990). Mohammad Hatta, Biografi Politik. Jakrta: LP3ES.