• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Kadar Interleukin – 6 (IL-6) dengan Procalcitonin (PCT) pada Pasien Sepsis Berat di RSUP.H.Adam Malik Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Kadar Interleukin – 6 (IL-6) dengan Procalcitonin (PCT) pada Pasien Sepsis Berat di RSUP.H.Adam Malik Medan"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2 . 1 Definisi Sepsis

Sepsis merupakan suatu respon inflamasi sistemik terhadap infeksi, dimana patogen atau toksin dilepaskan ke dalam sirkulasi darah sehingga terjadi aktivasi proses inflamasi. Sepsis ditandai dengan perubahan temperatur tubuh, perubahan jumlah leukosit, takikardi dan takipnu (PERDACI, 2014).

Sepsis adalah adanya sindroma respons inflamasi sistemik (Systemic Inflammatory Response Syndrome / SIRS) ditambah dengan adanya infeksi pada

organ tertentu berdasarkan hasil biakan positif di tempat tersebut. Definisi lain menyebutkan bahwa sepsis merupakan respon sistemik terhadap infeksi, berdasarkan adanya SIRS ditambah dengan infeksi yang dibuktikan atau dengan suspek infeksi secara klinis. Bukti klinisnya berupa suhu tubuh yang abnormal (> 38oC atau < 36◦C); takikardi; asidosis metabolik; biasanya disertai dengan alkalosis respiratorik terkompensasi dan takipneu; dan peningkatan atau penurunan jumlah sel darah putih.. Sepsis juga dapat disebabkan oleh infeksi virus atau jamur (Guntur,2008).

Berdasarkan Bone et al, SIRS adalah pasien yang memiliki dua atau lebih kriteria :

1. Suhu > 38◦ atau < 36 ◦C

2. Denyut jantung > 90 kali/ menit

(2)

4. Hitung leukosit > 12.000/ mm3 atau >10% sel imatur/ band (Bone,1997).

Society for Critical Care Medicine (SCCM) Concensus Conference on Standarized Definitions of Sepsis (1992), telah mempublikasikan konsensus dengan

defenisi baru dan kriteria diagnosis untuk sepsis dan keadaan- keadaan yang berkaitan dan menetapkan kriteria SIRS, sepsis berat dan syok septik sebagai berikut :

• Bakteriemia : adanya bakteri dalam darah, yang dibuktikan dengan

kultur darah positif.

• SIRS : respon tubuh terhadap inflamasi sistemik, ditandai dua atau

lebih keadaan berikut :

1. Suhu > 38◦ C atau < 36◦ C. 2. Takikardia (HR > 90 x/menit).

3. Takipnu ( RR > 20 x/ menit) atau PaCO2 < 32 mmHg. 4. Leukosit darah > 12.000/ µL atau neutrofil batang > 10%.

• Sepsis : SIRS yang dibuktikan atau diduga penyebab kuman.

• Sepsis berat : sepsis yang disertai dengan disfungsi organ, hipoperfusi

atau hipotensi termasuk asidosis laktat, oliguria dan penurunan kesadaran.

• Syok sepsis : sepsis dengan hipotensi meskipun telah diberikan

resusitasi cairan secara adekuat, bersama dengan disfungsi organ. • Hipotensi : tekanan darah sistolik < 90 mmHg atau berkurang 40

(3)

Multiple organ Disfunction syndrome : disfungsi satu organ atau lebih,

memerlukan intervensi untuk mempertahankan homeostatis (ACCP & SCCM, 1992) (PERDACI,2014).

Pada International Sepsis Definition Conference (ISDC) (2001) menambahkan beberapa kriteria diagnosis baru dari yang sebelumnya untuk sepsis. Dimana bagian yang terpenting adalah dengan memasukkan petanda biomolekular yaitu PCT dan CRP, sebagai langkah awal dalam diagnosa sepsis. Rekomendasi yang utama adalah implementasi dari suatu sistem tingkatan Predisposition, Insult Infection, Response, and Organ Disfunction (PIRO) untuk menentukan pengobatan

secara maksimum berdasarkan karakteristik pasien dengan stratifikasi gejala dan resiko yang individual (Levy Mm, 2003).

Sepsis berbeda dengan septikemia. Septikemia (nama lain untuk blood poisoning) mengacu pada infeksi dari darah, sedangkan sepsis tidak hanya terbatas

pada darah, tapi dapat mempengaruhi seluruh tubuh, termasuk organ-organ (Runge MS, 2009).

Sepsis berat adalah sepsis yang disertai dengan satu atau lebih tanda disfungsi organ, hipotensi, atau hipoperfusi. Kelainan hipoperfusi meliputi:

1. menurunnya fungsi ginjal 2. hipoksemia

3. asidosis laktat 4. oliguria

(4)

Syok septik merupakan sepsis dengan tekanan darah arteri < 90 mmHg atau 40 mmHg di bawah tekanan darah normal pasien tersebut selama sekurang-kurangnya 1 jam meskipun telah dilakukan resusitasi cairan atau dibutuhkan vasopressor untuk mempertahankan agar tekanan darah sistolik tetap ≥ 90 mmHg atau tekanan arterial rata-rata ≥ 70 mmHg (Fauci AS, 2009) (Caterino JM,2012).

SIRS, sepsis dan syok septik biasanya berhubungan dengan infeksi bakteri, tetapi tidak selalu harus terdapat bakteriemia. Hal ini karena di dalam darah kemungkinan terdapat endo maupun eksotoksemia, sedangkan bakterinya berada di jaringan. Bakteriemia adalah keberadaan bakteri hidup dalam komponen cairan darah. Bakteriemia bersifat sepintas, seperti biasanya dijumpai setelah jejas pada permukaan mukosa, primer (tanpa fokus infeksi terindentifikasi) atau seringkali sekunder terhadap fokus infeksi intravaskuler atau ekstravaskuler, sehingga biakan darah tidak harus positif (Guntur, 2003).

2.2 Epidemiologi

Sepsis menempati urutan ke-10 sebagai penyebab utama kematian di Amerika Serikat dan penyebab utama kematian pada pasien sakit kritis. Sekitar 80% kasus sepsis berat di unit perawatan intensif di Amerika Serikat dan Eropa selama tahun 1990-an terjadi setelah pasien masuk untuk penyebab yang tidak terkait. Kejadian sepsis meningkat hampir empat kali lipat dari tahun 1979-2000, menjadi sekitar 660.000 kasus (240 kasus per 100.000 penduduk) sepsis atau syok septik per tahun di Amerika Serikat (Runge MS, 2009).

(5)

kesehatan (86,9%) dan 94,6% dari ini adalah pasien rawat inap tersebut (Melamed A, 2009).

Pada tahun 2001 dilaporkan bahwa insidens sepsis di Amerika terjadi pada 3 dari 1000 populasi, 51,1 % dirawat di ICU dan 17,3 % mendapat bantuan ventilasi mekanik. Dari tahun1979 sampai tahun 2000, terjadi peningkatan insidens sepsis 13,7 % pertahun ( Angus DC, 2001).

Di beberapa negara seperti di Inggris dan Taiwan dilaporkan bahwa insidens sepsis terus meningkat dengan angka kematian yang juga meningkat. Pada tahun 2004 dilaporkan di Inggris bahwa 27% pasien yang masuk rumah sakit menderita sepsis berat dalam 24 jam pertama, walaupun angka kematiannya menurun dari 48,3% p pada tahun1996 menjadi 44,7% pada tahun 2004, tetapi total kematian pada populasi meningkat dari 9.000 menjadi 14.000. Di Taiwan pada tahun 2006 didapatkan insidensi sepsis meningkat 1,6 kali dari 135 per 100.000 pasien, pada tahun 1997 menjadi 217 per 1000 pasien pada tahun 2006 (Shen HN, 2006).

(6)

darurat, 90% pasien tersebut langsungdi rawat di ICU, sedangkan yang tidak dilakukan EGDT hanya sekitar 43% yang masih hidup dan mendapatkan perawatan ICU. Dari data tersebut menunjukkan bahwa keterlambatan penanganan pasien akan meningkatkan angka kematian (Kula R, 2009).

CDC National Center of Hospital Statistics tahun 2011 melaporkan bahwa beban ekonomi sangat tinggi pada pasien sepsis berat dan syok septik ini pada tahun 2008, diperkirakan 14,6 juta dolar telah dihabiskan untuk perawatan septikemia, dan sejak tahun 1997 sampai 2008 terjadi peningkatan biaya perawatan pasien di rumah sakit sekitar rata- rata 11,9% (CDC, 2011).

2.3 Etiologi Sepsis

Sepsis biasanya disebabkan oleh infeksi bakteri (meskipun sepsis dapat disebabkan oleh virus, atau semakin sering, disebabkan oleh jamur). Mikroorganisme kausal yang paling sering ditemukan pada orang dewasa adalah Escherichia coli, Staphylococcus aureus, dan Streptococcus pneumonia. Spesies

Enterococcus, Klebsiella, dan Pseudomonas juga sering ditemukan. Umumnya, sepsis merupakan suatu interaksi yang kompleks antara efek toksik langsung dari mikroorganisme penyebab infeksi dan gangguan respons inflamasi normal dari host terhadap infeksi (Caterino JM, 2012).

(7)

spesifik, tetapi daerah infeksi lokal yang memicu proses tersebut mungkin tidak dapat diakses oleh kultur (Fauci AS, 2009).

Insidensi sepsis yang lebih tinggi disebabkan oleh bertambah tuanya populasi dunia, pasien-pasien yang menderita penyakit kronis dapat bertahan hidup lebih lama, terdapat frekuensi sepsis yang relatif tinggi di antara pasien-pasien AIDS, terapi medis (misalnya dengan glukokortikoid atau antibiotika), prosedur invasif (misalnya pemasangan kateter), dan ventilasi mekanis (Fauci AS, 2009).

Sepsis dapat dipicu oleh infeksi di bagian manapun dari tubuh. Daerah infeksi yang paling sering menyebabkan sepsis adalah paru-paru, saluran kemih, perut, dan panggul. Jenis infeksi yang sering dihubungkan dengan sepsis yaitu:

1. Infeksi paru-paru (pneumonia) 2. Flu (influenza)

3. Appendiksitis

4. Infeksi lapisan saluran pencernaan (peritonitis)

5. Infeksi kandung kemih, uretra, atau ginjal (infeksi traktus urinarius)

6. Infeksi kulit, seperti selulitis, sering disebabkan ketika infus atau kateter telah dimasukkan ke dalam tubuh melalui kulit

7. Infeksi pasca operasi

8. Infeksi sistem saraf, seperti meningitis atau encephalitis.

(8)

2.4 Patofisiologi Sepsis

Infeksi adalah istilah untuk menamakan keberadaan berbagai kuman yang masuk ke dalam tubuh manusia. Bila kuman berkembang biak dan menyebabkan kerusakan jaringan disebut penyakit infeksi. Pada penyakit infeksi terjadi jejas sehingga timbul reaksi inflamasi. Meskipun dasar proses inflamasi sama, namun intensitas dan luasnya tidak sama, tergantung luas jejas dan reaksi tubuh. Inflamasi akut dapat terbatas pada tempat jejas saja atau dapat meluas serta menyebabkan tanda dan gejala sistemik.(Rijal I, 2011)

Manifestasi klinik inflamasi sistemik disebut SIRS, sedangkan sepsis adalah SIRS ditambah tempat infeksi yang diketahui. Meskipun sepsis biasanya berhubungan dengan infeksi bakteri, namun tidak harus terdapat bakteriemia. Berdasarkan konferensi internasional tahun 2001 memasukkan petanda PCT sebagai langkah awal dalam mendiagnosa sepsis. Purba D (2010) di Medan, pada penelitian PCT sebagai petanda sepsis mendapatkan nilai PCT 0,80 ng/ml sesuai untuk sepsis akibat infeksi bakteri dan kadarnya semakin meningkat berdasarkan keparahan penyakit(Burdette SD, 2014).

(9)

Sitokin sebagai mediator inflamasi tidak berdiri sendiri dalam sepsis, masih banyak faktor lain (non sitokin) yang sangat berperan dalam menentukan perjalanan penyakit. Respon tubuh terhadap patogen melibatkan berbagai komponen sistem imun dan sitokin, baik yang bersifat proinflamasi maupun antiinflamasi. Termasuk sitokin proinflamasi adalah Tumor necrosis factor (TNF), Interleukin-1 (IL-1), dan Interferon-γ (IFN-γ) yang bekerja membantu sel untuk menghancurkan mikroorganisme yang menginfeksi. Termasuk sitokin anti inflamasi adalah IL- 1 reseptor antagonis (IL-1ra), IL-4, dan IL-10 yang bertugas untuk memodulasi, koordinasi atau represi terhadap respon yang berlebihan. Sedangkan IL-6 dapat bersifat sebagai sitokin pro- dan anti-inflamasi sekaligus (Rijal I, 2011).

Penyebab sepsis paling banyak berasal dari stimulasi toksin, baik dari endotoksin gram (-) maupun eksotoksin gram (+). Komponen endotoksin utama yaitu lipopolisakarida (LPS) atau endotoksin glikoprotein kompleks dapat secara langsung mengaktifkan sistem imun seluler dan humoral, bersama dengan antibodi dalam serum darah penderita membentuk lipopolisakarida antibodi (LPSab). LPSab yang berada dalam darah penderita dengan perantaraan reseptor CD14+ akan bereaksi dengan makrofag yang kemudian mengekspresikan imunomudulator(Rijal I, 2011).

Pada sepsis akibat kuman gram (+), eksotoksin berperan sebagai super-antigen setelah difagosit oleh monosit atau makrofag yang berperan sebagai super-antigen processing cell dan kemudian ditampilkan sebagai antigen presenting cell (APC).

(10)

Sebagai usaha tubuh untuk bereaksi terhadap sepsis maka limposit T akan mengeluarkan substansi dari Th1 yang berfungsi sebagai imunomodulator yaitu: IFN-γ, IL-2,dan macrophage colony stimulating factor (M-CSF). Limfosit Th2 akan mengeluarkan IL-4, IL-5, IL-6, dan IL-10. IFN-γ merangsang makrofag mengeluarkan IL-1ß dan TNF-α. Pada sepsis IL-2 dan TNF-α dapat merusak endotel pembuluh darah. IL-1ß juga berperan dalam pembentukan prostaglandin E2 (PG-E)2 dan merangsang ekspresi intercellular adhesionmolecule-1 (ICAM-1). ICAM-1 berperan pada proses adhesi neutrofil dengan endotel (Rijal I , 2011).

Neutrofil yang beradhesi dengan endotel akan mengeluarkan lisosim yang menyebabkan dinding endotel lisis. Neutrofil juga membawa superoksi dan radikal bebas yang akan mempengaruhi oksigenasi mitokondria. Akibat proses tersebut terjadi kerusakan endotel pembuluh darah. Kerusakan endotel akan menyebabkan gangguan vaskuler sehingga terjadi kerusakan organ multipel (Rizal I, 2011).

2.4.1. Kaskade inflamasi (Inflammatory Cascade)

(11)

Sepsis leads to organ failure and death via a cascade of inflammation and coagulation.

Activated protein C (APC) blocks the cascade at several points. A formulation of

recombinant human APC has been approved for treating sepsis. IL-1, interleukin 1; TNF-α, tumor necrosis factor α.

(12)

Umumnya, respons imun terhadap infeksi mengoptimalkan kemampuan sel-sel imun (neutrophil, limfosit, dan makrofag) untuk meninggalkan sirkulasi dan memasuki tempat infeksi. Signal oleh mediator ini terjadi melalui sebuah reseptor trans-membran yang dikenal sebagai Toll-like receptors. Dalam monosit, nuclear factor-kB (NF-kB) diaktifkan, yang mengarah pada produksi sitokin pro-inflamasi, tumor necrosis factor α (TNF-α), dan IL-1. TNF-α dan IL-1 memacu produksi toxic downstream mediators, termasuk prostaglandin, leukotrien, platelet-activating factor,

dan fosfolipase A2. Mediator ini merusak lapisan endotel, yang menyebabkan peningkatan kebocoran kapiler. Selain itu, sitokin ini menyebabkan produksi molekul adhesi pada sel endotel dan neutrofil. Interaksi endotel neutrofilik menyebabkan cedera endotel lebih lanjut melalui pelepasan komponen neutrofil. Akhirnya, neutrofil teraktivasi melepaskan oksida nitrat (NO), vasodilator kuat. Dengan demikian memungkinkan neutrofil dan cairan mengalami ekstravasasi ke dalam ruang ekstravaskular yang terinfeksi.yang mengarah ke syok septik.

Oksida nitrat dapat mengganggu adhesi leukosit, agregasi trombosit, dan mikrotrombosis, serta permeabilitas mikrovaskular. Peningkatan NO tampaknya memberikan manfaat dalam arti meningkatkan aliran di tingkat mikrosirkulasi, meskipun tentu saja vasodilatasi di tingkat makrosirkulasi merupakan penyebab hipotensi yang membahayakan dan refrakter yang dapat mengakibatkan gangguan fungsi organ dan kematian (Caterino JM, 2012) (LaRosa SP, 2013).

2.4.2. Tahapan perkembangan sepsis

Sepsis berkembang dalam tiga tahap:

(13)

2) Sepsis berat, terjadi ketika respons tubuh terhadap infeksi sudah mulai mengganggu fungsi organ-organ vital, seperti jantung, ginjal, paru-paru atau hati.

3) Syok septik, terjadi pada kasus sepsis yang parah, ketika tekanan darah turun ke tingkat yang sangat rendah dan menyebabkan organ vital tidak mendapatkan oksigen yang cukup.

Jika tidak diobati, sepsis dapat berkembang dari uncomplicated sepsis ke syok septik dan akhirnya dapat menyebabkan kegagalan organ multiple dan kematian (National Health Service UK, 20013).

(14)

2.5. Faktor Risiko

Usia

Pada usia muda dapat memberikan respon inflamasi yang lebih baik dibandingkan usia tua. Orang kulit hitam memiliki kemungkinan peningkatan kematian terkait sepsis di segala usia, tetapi risiko relatif mereka terbesar dalam kelompok umur 35 sampai 44 tahun dan 45 sampai 54 tahun. Pola yang sama muncul di antara orang Indian Amerika / Alaska Pribumi. Sehubungan dengan kulit putih, orang Asia lebih cenderung mengalami kematian yang berhubungan dengan sepsis di masa kecil dan remaja, dan kurang mungkin selama masa dewasa dan tua usia. Ras Hispanik sekitar 20% lebih mungkin dibandingkan kulit putih untuk meninggal karena penyebab yang berhubungan dengan sepsis di semua kelompok umur (Melamed A, 2006).

Age-specific rate-ratios for sepsis-associated death by race/ethnicity category in the United

States, 1999 to 2005. Non-Hispanic whites were used as the referent group. AI/AN =

American Indian/Alaska Native.

Gambar 3. Angka kematian akibat sepsis berdasarkan umur pada ras tertentu (Melamed A,

(15)

Jenis kelamin

Perempuan kurang mungkin untuk mengalami kematian yang berhubungan dengan sepsis dibandingkan laki-laki di semua kelompok ras / etnis. Laki-laki 27% lebih mungkin untuk mengalami kematian terkait sepsis. Namun, risiko untuk pria Asia itu dua kali lebih besar, sedangkan untuk laki-laki Amerika Indian / Alaska Pribumi kemungkinan mengalami kematian berhubungan dengan sepsis hanya 7% (Melamed A, 2006).

Ras

Tingkat mortalitas terkait sepsis tertinggi di antara orang kulit hitam dan terendah di antara orang Asia (Melamed A, 2005).

Penyakit Komorbid

(16)

A, distribution of chronic comorbid medical conditions in sepsis patients according to

race. B, distribution of chronic comorbid medical conditions in sepsis patients

according to gender. COPD, chronic obstructive pulmonary disease; ESRD,

end-stage renal disease; EtOH, chronic alcohol abuse; HIV, human immunodeficiency

virus.

(17)

Genetik

Pada penelitian Hubacek JA, et al menunjukkan bahwa polimorfisme umum dalam gen untuk lipopolysaccharide binding protein (LBP) dalam kombinasi dengan jenis kelamin laki-laki berhubungan dengan peningkatan risiko untuk pengembangan sepsis dan, lebih jauh lagi, mungkin berhubungan dengan hasil yang tidak menguntungkan. Penelitian ini mendukung peran imunomodulator penting dari LBP di sepsis Gram-negatif dan menunjukkan bahwa tes genetik dapat membantu untuk identifikasi pasien dengan respon yang tidak menguntungkan untuk infeksi Gram-negatif (Hubeck JA, 2001).

Terapi kortikosteroid

Pasien yang menerima steroid kronis memiliki peningkatan kerentanan terhadap berbagai jenis infeksi. Risiko infeksi berhubungan dengan dosis steroid dan durasi terapi. Meskipun bakteri piogenik merupakan patogen yang paling umum, penggunaan steroid kronis meningkatkan risiko infeksi dengan patogen intraseluler seperti Listeria, jamur, virus herpes, dan parasit tertentu. Gejala klinis yang dihasilkan dari sebuah respon host sistemik terhadap infeksi mengakibatkan sepsis (Klein NC, 2001).

Kemoterapi

(18)

serius dengan cepat. Menurut Penack O, et al., sepsis merupakan penyebab utama kematian pada pasien kanker neutropenia (National Health Service UK, 2014).

Obesitas

Obesitas dikaitkan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan sepsis akut. Menurut penelitian Henry Wang, Russell Griffin, et al. didapatkan hasil bahwa obesitas pada tahap stabil kesehatan secara independen terkait dengan kejadian sepsis di masa depan. Lingkar pinggang adalah prediktor risiko sepsis di masa depan yang lebih baik daripada BMI. Namun pada penelitian Kuperman EF, et al diketahui bahwa obesitas bersifat protektif pada mortalitas sepsis rawat inap dalam studi kohort, tapi sifat protektif ini berhubungan dengan adanya komorbiditas resistensi insulin dan diabetes (Henry W, 2012) (Kuperman EF, 2013).

2.6. Gejala Klinik

Gejala klinik sepsis tidak spesifik, biasanya didahului oleh tanda – tanda sepsis non spesifik, meliputi demam, menggigil, dan gejala konstitutif seperti lelah, malaise, gelisah atau kebingungan. Gejala tersebut tidak khusus untuk infeksi dan dapat dijumpai pada banyak macam kondisi inflamasi non-infeksius ( PERDACI, 2014).

(19)

Tempat infeksi yang paling sering : paru, traktus digestifus, traktus urinaria, kulit, jaringan lunak dan saraf pusat. Sumber infeksi merupakan determinan penting untuk terjadi berat atau tidaknya gejala – gejala sepsis. Gejala sepsis tersebut akan menjadi lebih berat pada penderita usia lanjut, penderita diabetes, kanker, gagal organ utama. Yang sering diikuti gejala Multiple Organ Dysfunction Syndrome (MODS) sampai terjadinya syok sepsis.

Tanda –tanda MODS dengan terjadinya komplikasi :

• Sindroma distres pernafasan pada dewasa

• Koagulasi intravaskular

• Gagal ginjal akut

• Perdarahan usus

• Gagal hati

• Disfungsi sistem saraf pusat

• Gagal jantung

• Kematian (PERDACI, 2014)

2.7. Diagnosa

Diagnosis infeksi dan sepsis pada pasien yang dirawat di ICU sering sulit karena tanda dan gejala yang ditimbulkan tidak spesifik. Ditambah lagi, sering kali sebelum masuk ke ICU, pasien sudah mendapatkan antibiotik terlebih dahulu.(Vincent JL, 2008)

(20)

bisa merupakan tanda infeksi atau kompensasi berbagai syok. Jadi diagnosis sepsis sering kali didasarkan secara klinis ditambah dengan beberapa pemeriksaan penunjang (Vincent JL, 2008).

Oleh karena itu, dalam menegakkan diagnosis sepsis, riwayat perjalanan penyakit menjadi hal yang penting, apalagi pasien dengan gangguan sistem imun, maka gejala sepsis tidak spesifik. Riwayat perjalanan penyakit berguna juga untuk mencari sumber infeksi (Cruz K, 2002).

2.8. Gambaran Klinis Dalam Mendiagnosis

Manifestasi klinis sepsis sangat bervariasi tergantung sumber infeksi, kuman penyebab, pola gangguan fungsi organ yang akut, kondisi kesehatan pasien sebelum sakit dan lama pengobatan awal yang sudah diberikan (Angus DC, 2013).

1. Tanda Vital • Demam

Salah atu tanda kerdinal sepsis adalah demam. Disebut demam bila suhu lebih dari 38 ◦C. Hipotermia juga bisa terjadi pada sepsis. Pengukuran suhu dengan termomoter sebaiknya mengukur suhu core, misalnya suhu rektal karena pengukuran secara oral pada pasien yang hiperventilasi akan menghasilkan suhu yang tidak mencerminkan suhu di dalam (Asstiz, 1998) (PERDACI, 2014).

• Laju napas

(21)

• Takikardia dan Hipotensi

Takikardia merupakan tanda awal sepsis. Pada penelitian dilaporkan rerata laju jantung awal pada pasien sepsis adalah 120x/ menit. Penurunan laju jantung menjadi 106x/ menit dalam 24 jam pertama memperbaiki angka kehidupan (Asstiz, 1998) (PERDACI,2014).

Pada sepsis berat terjadi depresi miokard dan gangguan preload ventrikel kiri karena venodilatasi dan kebocoran kapiler sehingga peningkatan left end diastolic volume dan laju jantung diperlukan untuk mempertahankan tekanan darah yang

adekuat. Namun dengan memberatnya sepsis, kemampuan kompensasi terbatas sehingga akan timbul hipotensi sampai syok yang memerlukan bantuan vasopresor untuk menjaga perfusi jaringan (Asstiz, 1998) (PERDACI,2014).

2. Manifestasi Sistemik Sepsis

Susunan Saraf Pusat

Ensefalopati sering ditemukan pada sepsis. Ensefalopati bisa berupa letargi, somnolen, agitasi, disorientasi, dan bingung. Pasien sepsis dengan tanpa ensefalopati (PERDACI, 2014).

(22)

Kelainan Kardiopulmoner

Perubahan hemodinamik pada sepsis ditandai dengan menurunnya systemic vascular resistance (SVR) dan meningkatnya cardiac indeks (CI) untuk menjaga

agar tekanan darah dan pasokan oksigen tetap tercukupi. Bila sepsis berlanjut dan terjadi dekompensasi, maka akan timbul hipotensi dan syok.

Asidosis metabolik terjadi akibat meningkatnya produksi laktat dan penurunan bersihan laktat merupakan salah satu tanda kunci dari sepsis berat dan atau syok septik. Produksi laktat yang berlebihan adalah akibat metabolisme anaerob.

Keadaan tersebut di atas adalah akibat gangguan metabolisme tingkat seluler yang dihipotesakan akibat gangguan perfusi baik secara regional ataupun sistemik.

Parameter yang bisa menunjukkan gangguan tersebut adalah dengan mengukur perbandingan NADH/ NAD+ secara tak langsung, yaitu dengan mengukur perbandingan laktat/ piruvat. Perbandingan laktat/ piruvat yang meningkat >10, merupakan tanda prognosis yang jelek (PERDACI, 2014).

Gangguan perfusi tingkat gastrointestinal bisa dipantau dengan tonometri, ph intramukosal berkorelasi morbiditas dan mortalitas.

Manifestasi gangguan pernafasan secara klasik sebagai acute respiratory distress syndrome (ARDS), yang ditandai dengan hipoksemia, infiltrat bilateral dan

edema paru yang bukan karena jantung (PERDACI, 2014).

Gangguan Ginjal

(23)

yang mengalami gagal ginjal akut adalah 50%. Penyebab gangguan ginjal pada sepsis adalah penurunan laju filtrasi glomerulus fasodilatasi sistemik hipotensi, dan koagulasi disseminata intravaskular (PERDACI, 2014).

Kelainan Gastrointestinal

Ileus merupakan gambaran yang paling sering terjadi, ileus menyebabkan terlambatnya pemberian makanan, gangguan absorbsi obat, aspirasi atau perforasi. Penyebab ileus adalah multifaktorial dan dapat pula akibat pengaruh obat dan gangguan elektrolit (PERDACI, 2014).

Gangguan fungsi hati bervariasi antar 0,6 % sampai 50/ 60%. Gangguan fungsi hati sering terjadi pada pasien paska bedah peritonitis. Gangguan berupa kolestasis yang disertai hiperbilirubinemia penyebab terbanyak adalah sepsis gram negatif.

Gambaran laboratorium kolestasis intrahepatik berupa peningkatan bilirubin direk, transaminase yang tak lebih dari 2- 3x nilai normal dan peningkatan alkali fosfat tak lebih dari 3x normal. Peningkatan ini akan kembali normal dalam waktu 2 – 6 minggu seiiring membaiknya sepsis (PERDACI, 2014).

Kelainan Kulit

Penyebab gangguan kulit pada sepsis bisa akibat koagulasi diseminata intravaskular dan koagulopati, akibat langsung invasi bakteri pada pembuluh darah, pembentukan kompleks imun dan vaskulitis, atau emboli akibat endokarditis. Gambaran gangguan tersebut berupa akrosianosis keabuan dan terlokalisasi pada ekstremitas, gangren perifer simetris dan purpura fulminans (PERDACI, 2014).

(24)

ditandai dengan perdarahan pada lesi kulit yang nekrotik. Semua perubahan ini berhubungan dengan koagulasi intravaskular diseminata dan secara histologik tidak dijumpai adanya bukti invasi kuman.

Infiltrasi pada dinding pembuluh darah oleh bakteri yang sering terjadi berupa lesi purpura yang dimulai dengan adanya makula. Hal ini terjadi miningococcemia akibat pseudomonas (PERDACI, 2014).

Bentuk lain dapat berupa infeksi karena sreptococcus dan staphylococcus seperti syok toksik sindrom (PERDACI, 2014).

Gangguan Metabolik

Hiperglikemia maupun hipoglikemia dapat dijumpai pada sepsis. Hipoglikemia lebih dulu timbul bisa karena gangguan kesadara. Gangguan produksi hati dan peningkatan uptake oleh sel. Hiperglikemi sering dijumpai pada waktu sepsis karena hormon stress seperti epineprin, kortikosteroid dan glukagon (PERDACI, 2014).

Gangguan Hematologik

(25)

2.8.1. Peranan Biomarker

Melihat sulitnya diagnosis sepsis dan pentingnya pengenalan dini supaya dapat diberikan terapi secara dini pula, maka perlu suatu biomarker untuk mendeteksi sepsis secara dini. Biomarker ideal untuk infeksi harus sensitif bahkan pada pasien tanpa respon imun, dan harus spesifik, yaitu bisa membedakan infeksi atau non infeksi, dapat diukur secara cepat dan mudah serta mempunyai nilai prognostik. Biomarker yang potensial antara lain protein fase akut seperti CRP atau PCT, sitokin seperti IL-6, IL-8, IL-10 dan kadar endotoksin, gelombang bifasik aPTT. Sayangnya biomarker tersebut tak memenuhi kriteria ideal sehingga, disarankan untuk menggunakan kombinasi dari biomarker.

Sehubungan dengan bervariasinya tanda dan gejala sepsis, maka Surviving Sepsis Campaign membuat kriteria dengan diagnosis sepsis, sepsis berat dan syok

septik agar bila dijumpai tanda- tanda dan gejala tersebut bisa segera terdeteksi (PERDACI, 2014).

2.8.2. Kriteria Sepsis

Kriteria SIRS berkembang sejak konferensi tahun 1991 telah mengalami revisi. Tahun 2001, berlangsung konferensi konsensus yang kedua yang diikuti oleh SCCM, European Society of Intensive Care Medicine (ESICM), ACCP, American Thoracic Society (ATS), and Surgical Infection Society (SIS) dan dihasilkan satu

(26)

Tabel 1 Kriteria Sepsis

Sepsis (documented or suspected infection plus ≥1 of the following) General parameters

Fever (> 38.3°C) Hypothermia (<36°C)

Heart rate >90/min or >2 SD above normal value Tachypnoe > 20/min

Altered mental status

Significant oedema or positive fluid balance (>20 ml/kg over 24 h)

Hyperglycaemia (plasma glucose >120 mg/dl) in the ansence of diabetes

Inflammatory parameters

Leukocytosis ( > 12000/µl) Leukopenia ( < 4000/µl)

Normal white blood cells count with > 10% immature forms

(27)

Plasma calcitonin > 2 SD above the normal value

Haemodynamic parameters

Arterial hypotension (SBP < 90 mmHg, MAP < 65 mmHg, or decrease in SBP > 40 mmHg in adults or < 2 SD below normal for age)

Mixed venous oxygen saturation < 65%

Central venous oxygen saturation < 70%

Cardiac index > 3.5 l/min

Organ dysfunction parameters

Arterial hypoxaemia (PaO2/FiO2 < 300)

Acute oliguria (urine output < 0.5 ml/kg/h for ≥ 2 h)

Creatinine > 176.8 mmol/l

Coagulation abnormalities (INR > 1.5 or aPTT > 60 s)

Ileus

Thrombocytopenia (platelet count < 100000/µl)

Hyperbilirubinemia (plasma total bilirubin > 34.2 mmol/l)

Tissue perfusion parameters

Hyperlactatemia (>2mmol/l)

Decreased capillary refill or mottling

Severe sepsis (sepsis plus organ dysfunction)

Septic shock (sepsis plus either hypotension [refractory to intravenous fluids] or hyperlactatemia

Tabel. 2. Kriteria diagnosis sepis ( Intensive Care Med, 2003)

Step 1 – Kenali SIRS: Di sini diperlukan dua atau lebih kriteria diagnostik untuk SIRS.

(28)

Respiratory rate >20/min

White cells < 4 or > 12 x 109/l

Acutely altered mental status

Hyperglycaemia (glucose > 6.6 mmol/l)(unless diabetic)

Tabel. 3. Kriteria diagnostik untuk SIRS (Intensive Care Med, 2003)

Step 2 – Pastikan adanya sumber infeksi: Tabel di bawah ini menunjukan kemungkinan yang paling sering sumber infeksi. Jika ditemukan dua atau lebih kriteria SIRS , dan adanya sumber infeksi yang kita curigai ataupun nyata, ini menunjukan adanya sepsis, atau suatu respon inflamasi sistemik yang disebabkan oleh suatu proses infeksi.

Pneomonia,Empyema

Tabel. 4. Kemungkinan sumber infeksi (Intensive Care Med, 2003) SIRS + Infeksi = Sepsis

Step 3 – Evaluasi munculnya disfungsi organ: Kriteria untuk menentukan muncul atau tidaknya disfungsi organ terlihat di table 2 . Munculnya satu kriteria saja dari disfungsi organ disebut sepsis berat.

(29)

Gambar. 5. Kriteria Bone’s untuk mengenali sepsis berat dan spektrum penyakitnya (Willey, 2010).

2.9. Diagnosis Banding

Diagnosis banding yang perlu dipikirkan antara lain yang disebabkan oleh non infeksi seperti toksin, salisilat, kokain, badai tiroid,sindrom neuroleptik maligna, heat stroke, demam sentral. Gambaran sistemis yang menyerupai sepsis bisa terjadi

pada penyakit kolagen vaskular atau sindrom vaskulitis, keganasan, over dosis obat dan toksin. Pasien syok dan asidosis dapat ditemui pada infark miokard akut, emboli paru, hemoragik akut, insufisiensi adrenal, reaksi anafilaksis atau reaksi obat.

(30)

2.10. KOMPLIKASI

Kematian karena sepsis berat dan syok septik cukup tinggi. Sudah dijelaskan sebelumnya, spektrum penyakit sepsis dapat berkembang dari SIRS sampai ke disfungsi multiorgan (MODS) (Daniels R, 2010) (Cavaillon, 2009).

Pada umumnya SIRS akan reversibel apabila diobati dengan cepat, namun apabila sudah terjadi MODS maka akan dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk pemulihannya. Konsekuensi yang paling serius dari sepsis adalah kematian. Apabila tidak terobati, sepsis akan menyebabkan gangguan fisiologi dan biokimia yang berat (Daniels R, 2010) (Cavaillon, 2009).

Kardiovaskular

Di sini terjadi perubahan aliran darah ke organ tubuh. Volume darah intravaskular berkurang yang disebabkan oleh karena dilatasi pembuluh vena dan arteri dan peningkatan permeabilitas endotel sehingga akan terjadi penurunan tekanan darah dan cardiac output (syok septik). Semuanya ini menyebabkan terjadinya hipoperfusi perifer, dan mengakibatkan peningkatan serum asam laktat dan berperan dalam depresi myokardial (Russels JA, 2006).

Jatuhnya tekanan diastol akan mengurangi aliran darah distal dan menyebabkan infark pada jaringan tersebut. Selanjutnya, apabila cardiac output meningkat, juga akan meningkatkan kerja jantung, sehingga kondisi ini akan membahayakan pasien yang dengan penyakit jantung iskemik (Russel JA, 2006).

(31)

myokardial tetapi oleh karena faktor-faktor sirkulasi depresan, misalnya TNF dan IL-1β (Russels JA, 2006).

Respiratori

Komplikasi yang paling sering terjadi adalah kegagalan pernafasan, dan terjadi pada 18-38% pasien sepsis berat. Kegagalan nafas ini sebenarnya merupakan proses yang tidak langsung tetapi karena sekunder dari infeksi dan trauma dari ventilasi mekanik dan eksaserbasi lung injury (Russels JA, 2006).

Secara patologi dijumpai adanya diffuse alveolar damage (DAD) yang disebabkan oleh respon inflamasi intra dan perivaskular terhadap adanya endotoksin dalam darah. DAD dibagi menjadi 3 fase, yaitu fasi eksudatif, regeneratif, dan fase perbaikan. Proses inflamasi akan menyebabkan dinding alveolar rusak dan memungkinkan infiltrasi netrofil. Pada fase eksudatif, cairan eksudat akan merusak alveolar, yang akan ditandai dengan:

• Kolaps alveolar, pendarahan, dan edema

• Formasi membran hyalin pada pada permukaan epitel bronkiolus dan duktus

alveolar. Biasanya membran itu terdiri dari tumpukan fibrin dan sel-sel epitel yang nekrotik.

• Akumulasi netrofil dalam kapiler alveolar.

(32)

Pada fase regeneratif, terjadi penyembuhan paru-paru ke struktur normall ataupun berkembang menjadi fibrosis via fase perbaikan (Russels JA, 2006).

Renal

Gagal ginjal sering muncul pada sepsis berat dengan angka insidensi sebanyak 23%. Angka kematian pada sepsis akibat komplikasi ginjal dapat mencapai 70%. Acute tubular necrosis (ATN) disebabkan oleh hipotensi, dehidrasi intravaskular, pelepasan sitokin dan vasokokstriksi renal (Ronco C, 2006).

Koagulasi

Hipoperfusi relatif pada jaringan yang disebabkan oleh penumpukan fibrin oleh karena ketidakseimbangan antara trombogenesis dan trombolisis pada sepsis. DIC (disseminated intravascular coagulation), disebut juga consumptive coagulopathy menyebabkan konsumsi platelet dan faktor-faktor koagulasi sehingga

timbul trombosis yang berkepanjangan dan pendarahan. Komplikasi yang paling sering dari DIC adalah oklusi pembuluh darah, infark hati, gagal ginjal akut, koma, pendarahan subarachnoid, pendarahan dan infark kortikal multipel dan batang otak (Ronco C, 2006).

Susunan Saraf Pusat

Sepsis-associated encephalopathy (SAE) juga merupakan komplikasi sepsis

(33)

encephalopathy (HIE), metastatic cerebral abscess an/or meningitis, dan cytokine

storm.(Ronco C, 2006)

Gastrointestinal

Pada umumnya, hati pada syok septik tidak memiliki gambaran yang spesifik. Jika sumber sepsis berasal dari traktus biliaris (kolangitis), maka abses bisa terdapat di bagian portal dari traktus. Hipotensi dapat mengakibatkan iskemik hepatik; secara biokimiawi akan dijumpai peningkatan serum transaminase (Ronco C, 2006).

Polineuropati

Polineuropati kadang susah didiagnosa pada sepsis berat, oleh karena pemakaian neuromuscular blocking agent untuk memfasilitasi pemakaian ventilator. Kondisi ini biasanya baru terlihat apabila pasien berhenti memakai ventilasi mekanik. Gejala yang terlihat biasanya kelemahan ekstremitas dengan hilangnya refleks tendon otot dalam. Penyebabnya adalah terjadinya degenerasi axon sensoris dan motoris. Prognosanya tergantung pada tingkat keparahan dari penyakit dan umur pasien (Russels JA, 2006).

Kulit dan ekstremitas

Sering terjadi purpura fulminan, yaitu suatu kondisi pendarahan yang ditandai dengan pendarahan kutaneus dan nekrosis, biasanya muncul karena adanya DIC. Disebabkan oleh karena trombus mikrovaskular di dermis.

(34)

yang tidak adekuat akan menyebabkan infark pada kulit dan ekstremitas dan mengakibatkan autoamputasi (Daniels R, 2010).

Psikologis

Lamanya waktu menginap di ICU akan meningkatkan insidensi terjadinya depresi dan anxietas. Lebih dari 20% pasien ARDS didapati post traumatic stress disorder (PTSD) (Daniels R, 2010).

2.11. Procalcitonin (PCT)

PCT dikenal sebagai protein yang dirangsang oleh inflamasi ditemukan sejak tahun 1993. Sejak saat itu banyak penelitian yang menunjukkan peningkatan protein ini pada plasma yang berhubungan dengan infeksi berat, sepsis dan septic shock. PCT juga dapat membantu dalam diagnosa banding penyakit infeksi atau bukan, menilai keparahan sepsis dan juga respon dari pengobatan (Viallon A, 2005).

2.11.1. Struktur PCT

(35)

49

Gambar 6 Struktur PCT (Buchori, 2006)

2.11.2. Peran PCT dalam Diagnosis Sepsis Bakterialis

Pada keadaan normal kadar PCT meningkat pada kasus septikemia, meningitis, pneumonia dan infeksi saluran kemih dan sangat sensitif sebagai penanda infeksi bakteri.Pelepasan prokalsitonin ke dalam sirkulasi dalam kepekatan besar dalam berbagai keadaan penyakit tidak disertai dengan peningkatan kadar calcitonin secara bermakna (Sastre JBL, 2007).

(36)

penyakit yang berkelanjutan. Penurunan nilai PCT menunjukkan menurunnya reaksi inflamasi dan terjadi penyembuhan infeksi.(Buchori, 2006)

Pada keadaan fisiologis, kadar PCT rendah bahkan tidak dijumpai, tetapi akan meningkat bila terjadi bakterimia dan fungimia yang timbul sesuai dengan beratnya infeksi. Tetapi pada temuan beberapa peneliti peningkatan prokalsitonin terdapat juga pada keadaan bukan infeksi, selain itu juga PCT merupakan pengukuran yang lebih sensitif dibandingkan dengan beberapa uji laboratorik lain, misalnya laju endap darah (LED) (Lopez, 2011).

Gambar 7 Perbandingan waktu dan kepekatan prokalsitonin dibanding dengan beberapa petanda sepsis lain. (Buchori, 2006)

(37)

dalam 48 sampai 72 jam, sedangkan CRP tidak terdapat dalam 6 jam, seperti terlihat pada Gambar 2.2 diatas (Buchori, 2006).

Pemeriksaan PCT merupakan suatu tes imunologi yang pada mulanya pengukuran PCT hanya dimungkinkan di laboratorium khusus, dimana hasil tes diperoleh jauh lebih lama. Belakangan ini sebuah alat tes Cobas 601 ( Cobas 6000) merupakan suatu alat tes untuk mendeteksi kadar prokalsitonin. PCT dapat diukur secara cepat dan tepat, dengan menggunakan serum yang diperoleh dari sampel darah yang telah disentrifugasi.

2.12. Interleukin – 6 (IL-6)

IL- 6 merupakan interleukin yang berperan sebagai sitokin proinflamasi. IL-6 disekresikan oleh sel T dan makrofag untuk menstimulasi respons imun seperti infeksi, trauma, dll. IL-6 penting dalam patofisiologi demam, inflamasi akut, dan kronik. IL-6 dapat disekresikan oleh makrofag sebagai respons terhadap molekul mikroba spesifik, yang disebut sebagai pathogen-associated molecular patterns (PAMPs). PAMPS ini dapat berikatan dengan molekul dari sistem imun bawaan yang disebut pattern recognition receptors (PRRs) termasuk Toll-like receptors (TLRs). TLR terdapat di permukaan sel dan kompartemen intraseluler dan menginduksi kaskade sinyal intraseluler yang dapat menyebabkan peningkatan produksi sitokin inflamasi(Kaplanski, 2003).

(38)

Peralihan dari inflamasi akut ke kronik yang utama adalah adanya monosit pada area inflamasi. IL- 6 ini penting dalam transisi antara inflamasi akut ke kronik (Marin V, 2001).

(39)

Gambar 8 Peranan IL- 6 terhadap inflamasi (Gabay C, 2006)

Keterangan. Tahap 1: pada respons inflamasi akut, IL-6 dapat berikatan dengan dengan reseptornya. Tahap 2: trans sinyal melalui gp130 menyebabkan rekrutmen monosit. Tahap 3: paparan jangka panjang IL- 6 menyebabkan apoptosis neutrofil, fagositosis, dan akumulasi mononuklear pada lokasi cedera. IL: interleukin; JAK: Janus activated kinase; MCP: monocyte chemoattractant protein; sIL-6R: solluble IL- 6 receptor.

(40)

2.13. Kerangka Konseptual

Respon Imun

Pemeriksaan Interleukin- 6

Sepsis Bakteriemia &

Septikemia

Non Bakteriemia & Non Septikemia

Sepsis

Gambar

Gambar 1. Gambaran klinis Sepsis (LaRosa SP, 2013)
Gambar 2 .Hubungan antar SIRS, sepsis dan infeksi (Chest, 1992)
Gambar 3. Angka kematian akibat sepsis berdasarkan umur pada ras tertentu (Melamed A,
Gambar 4. Distribusi penyakit komorbid berdasarkan ras dan jenis kelamin  (Esper,
+6

Referensi

Dokumen terkait

Penyebab sepsis terbanyak adalah bakteri gram negatif (69,6%), serta merupakan kelompok jenis bakteri yang paling banyak menyebabkan kadar procalcitonin meningkat

PCT pada pasien dengan infeksi bakteri berat atau sepsis. Tetapi selama infeksi

Diagnosa sepsis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan marker-marker, seperti procalcitonin, CRP, Laju Endap Darah (LED) dan hitung leukosit, dan baku emas adalah

limfosit dapat sebagai biomarker infeksi bakteri pada pasien sepsis dan menjadi. sumber rujukan untuk

Bila penelitian ini mendapatkan hasil sensitifitas yang tinggi maka rasio neutrofil-limfosit dapat dijadikan sebagai cara mendiagnosa infeksi bakteri pada pasien sepsis..

HUBUNGAN NILAI MEAN PLATELET VOLUME (MPV) DENGAN SKOR APACHE II SEBAGAI PREDIKTOR MORTALITAS PADA PASIEN SEPSIS BERAT DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM

Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kadar interleukin-8 dengan prokalsitonin pada pasien sepsis berat.. Sehingga, perlu dilakukan keseragaman waktu dalam pengambilan

Sistem pernapasan adalah sumber yang paling umum infeksi pada