• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Kadar Procalcitonin dengan Jenis Bakteri Penyebab Infeksi pada Sepsis di RSUP H. Adam Malik Tahun 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Kadar Procalcitonin dengan Jenis Bakteri Penyebab Infeksi pada Sepsis di RSUP H. Adam Malik Tahun 2014"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sepsis

2.1.1. Definisi

Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) adalah respon tubuh secara klinis terhadap inflamasi, yang termasuk dua atau lebih dari gejala

berikut: Temperatur >38° C atau <36° C, Denyut jantung >90x/menit, Laju

pernafasan >20x/menit atau Pa02 <32 mmHG, Hitung lekosit >12.000/mm3

atau <4.000/mm3, atau >10% neutrofil yang imatur (Tazbir, 2012; Perman,

Goyal, & Gaieski, 2012). Sepsis adalah respon tubuh terhadap adanya infeksi

yang timbul bersama dengan manifestasi klinis dari suatu infeksi sistemik.

Sepsis berat (severe sepsis) didefinisikan sebagai sepsis dengan disfungsi organ

atau hipoperfusi jaringan (Dellinger, et al., 2013), sedangkan dikatakan syok

septik (septic shock) apabila hipotensi tidak dapat dikompensasi setelah

dilakukan resusitasi cairan (Napitupulu, 2010).

Tubuh memiliki respon terhadap invasi terhadap mikroba, respon ini

dapat berupa respon lokal atau respon sistemik. Respon sistemik ini disebut

SIRS (Systemic Inflammatory Response Syndrome), yang memiliki ciri-ciri klasik berupa: demam atau hipotermi, leukositosis atau leukopenia, takipnu dan

takikardi. SIRS dengan infeksi (yang dicurigai atau terbuktikan) disebut sebagai

sepsis (Munford dalam Fauci, 2008).

2.1.2. Epidemiologi dan Faktor Resiko

Menurut sebuah tinjauan tahun 2009, dari data pasien internasional yang

menderita sepsis, dengan data lebih dari 11.000 pasien dari 37 negara. Dari

pasien tersebut, 57% mengalami infeksi bakteri gram negatif, 44% mengalami

infeksi bakteri gram positif, dan 11% mengalami infeksi jamur (beberapa

mengalami infeksi campuran, maka totalnya adalah >100%)

(2)

Paru-paru adalah sumber utama daripada infeksi pada 47% pasien,

diikuti dengan abdomen 23%, saluran kemih 8%. Sebagian pasien memiliki

komorbiditas (comorbidities), termasuk diabetes (24%), penyakit paru kronis atau kanker (16%), gagal jantung kongestif (congestive heart failure) (14%), dan penurunan fungsi ginjal (11%). Mortalitas daridatabaseadalah mendekati 50%, yang menunjukkan sepsis masih bertahan sebagai sindroma yang

mematikan (Stearns-Kurosawa, et al., 2013).

Faktor resiko untuk mengembangkan sepsis bergantung pada

munculnya kondisi komorbiditas yang berasosiasi dengan penurunan sistem

imun dan atau dengan terapi imunosupresif. Tempat terjadinya infeksi primer

dan jenis mikroba tertentu yang menginfeksi memainkan peran tambahan,

dimana faktor genetik mungkin jugalah penting. Usia lanjut, penurunan fungsi

limpa, alkoholisme dengan penyakit hati yang signifikan, penyakit ginjal kronik,

penggunaan obat secara intravena, malnutrisi, infeksi HIV, diabetes mellitus

dan keganasan merupakan predisposisi untuk infeksi spesifik, sering dengan

peningkatan keparahan. Kemoterapi kanker, terapi imunosupresif setelah

transplantasi organ dan terapi pengguanaan steroid yang lama juga

meningkatkan resiko terjadinya sepsis (Taljaard, 2010).

2.1.3. Etiologi

Sepsis dapat disebabkan oleh infeksi bakteri, virus, jamur, protozoa,

atau riketsia (Powell dalam Behrman, 1996). Menurut Uthman (1997), sepsis

dapat disebabkan oleh bakteri, virus, jamur dan parasit.

Menurut Munford dalam Fauci (2008), kultur darah dapat mendeteksi

bakteri atau jamur pada 40-70% kasus syok septik dan 20-40% pada kasus

sepsis berat. Bakteri gram negatif atau gram positif mencakup 70% dari kasus

sepsis jika gagal terdeteksi, harus dilakukan tes mikroskopik pada jaringan lokal.

Sehingga terkadang sulit untuk mendeteksi bakteri dalam darah pada kasus

(3)

2.1.4. Patogenesis

Sekarang diduga bahwa SRRS (Sindrom Respon Radang Sistemik)

disebabkan oleh sepsis, akibat dari cedera jaringan pasca-respons hospes

terhadap produk-produk bakteri misalnya endotoksin dari bakteri gram-negatif

dan kompleks asam lipoteikoat-peptidoglikan dari bakteri gram-positif.

Manifestasi kardiopulmonal pada sepsis gram-negatif (H.influenza, N.meningitidis, E.coli, Pseudomonas) dapat ditiru dengan injeksi endotoksin atau faktor nekrosis tumor (FNT). Hambatan kerja FNT oleh antibodi

monoclonal anti-FNT sangat memperlemah manifestasi syok septik pada model

percobaan. Bila komponen dinding sel bakteri dilepaskan ke dalam aliran darah,

sitokin teraktivasi, dan selanjutnya dapat menyebabkan kekacauan fisiologis

lebih lanjut. (Gambar 2.1). Jumlah sitokin yang terkait dengan SRRS terus

bertambah dan sekarang mencakup faktor nekrosis tumor (FNT), interleukin

(IL)-1, -6 dan -8, faktor pengaktif-trombosit (platelet-activating factor= PAF) dan interferon (Powell dalam Behrman, 1996).

Baik sendirian ataupun dalam kombinasi, produk-produk bakteri dan

sitokin proradang memicu respons fisiologis untuk menghentikan penyerbu

(invader) mikroba. Respons ini adalah:

1. Aktivasi sistem komplemen

2. Aktivasi faktor Hageman (faktor XII), yang kemudian mencetuskan

tingkatan-tingkatan koagulasi

3. Pelepasan hormon adrenokortikotropin dan beta-endorfin,

4. Rangsangan neutrofil polimorfonuklear

5. Rangsangan sistem kalikrein-kinin.

FNT dan mediator radang lain meningkatkan permeabilitas vaskuler,

menimbulkan kebocoran kapiler difus, mengurangi tonus vaskuler, dan

(4)

jaringan. Aktivitas mediator radang atau respons yang berlebihan berperan

dalam pathogenesis sepsis (Powell dalam Behrman, 1996).

(5)

2.1.5. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis sepsis meliputi tiga dari kriteria SIRS, suhu tubuh

>38.0°C atau <36.0°C, takikardi (denyut jantung lebih dari 90x/menit), dan

takipnu (laju pernafasan lebih dari 20x/menit, hasil hitung leukosit lebih

dari 12.000/mm3 atau kurang dari 4.000/mm3 atau lebih dari 10% sel yang

imatur yang merupakan kriteria dari SIRS yang keempat (Perman, Goyal,

& Gaieski, 2012).

Dari skenario sebelumnya, ditambah dengan tanda-tanda disfungsi

organ tingkat akhir yang diakibatkan oleh ketidakmampuan dari

mikrovaskular dan perfusi yang miskin, mendefinisikan sepsis berat.

Dimanfaatkan teknik pencitraan polarisasi spektral orthogonal menetapkan

bahwa mikrosirkulasi sublingual pada pasien septik terganggu

dibandingkan dengan relawan yang sehat dan pasien kritis non-septik.

Selain itu, proporsi perfusi pembuluh darah kecil langsung berkorelasi

dengan kelangsungan hidup, di mana pasien yang selamat memiliki tingkat

perfusi yang lebih tinggi. Perfusi yang buruk di otak dapat mengakibatkan

perubahan status mental, perfusi yang buruk di ginjal dapat menyebabkan

oliguria atau anuria, perfusi jantung yang buruk dapat mengakibatkan

depresi miokard, penurunan curah jantung, dan hipotensi atau tanda-tanda

kegagagalan jantung, kulit mungkin berbintik-bintik, disfungsi paru dapat

mengakibatkan cedera paru akut atau sindroma gangguan pernapasan akut

(Perman, Goyal, & Gaieski, 2012).

Syok septik adalah bagian dari sepsis berat yang ditandai oleh

hipotensi yang tidak responsif terhadap resusitasi cairan. Sepsis yang

diinduksi hipotensi didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik (Systolic Blood Pressure) yaitu kurang dari 90 mmHg atau pengurangan yang lebih besar dari 40 mmHg dari baseline. Meskipun disfungsi organ tingkat akhir

(6)

meninggal karena sepsis masih tidak diketahui dengan jelas (Perman, Goyal,

& Gaieski, 2012).

2.1.6. Diagnosis

Tidak ada uji diagnostik yang khusus untuk respon septik. Parameter

klasik septik adalah temuan klinis sensitif untuk infeksi dan termasuk

demam atau hipotermi, takipnu, takikardi, dan lekositosis atau leukopenia.

Dalam status mental akut, trombositopenia, peningkatan serum laktat dan

hipotensi meningkatkan kecurigaan klinis terhadap sepsis. Respon septik

bisa bervariasi dan pasien dengan sepsis mungkin saja tidak disertai dengan

beberapa temuan klinis yang khas. Sebaliknya, pasien mungkin disertai

dengan semua gejala klinis dari inflamasi sistemik, tapi tidak disetai dengan

penyebab infeksi (Taljaard, 2010).

SIRS Non Infeksi dapat terjadi dengan beberapa etiologi, sebagai

berikut: pankreatitis, terbakar, trauma, infark miokardiak, emboli paru,

aneurisma pembedahan aorta, cardiac tamponade, insufisiensi adrenal, anafilaksis, dan overdosis obat-obatan (Taljaard, 2010).

Diagnosis etiologi pasti membutuhkan isolasi dari mikroorganisme.

Setidaknya 2 sampel kultur darah harus diperoleh dari vena yang berbeda.

Invasi mikroba pada aliran darah tidaklah selalu harus ada untuk

berkembang menjadi sepsis, karena infeksi lokal juga dapat menyebabkan

respon inflamasi sistemik dengan disfungsi organ. Oleh karena itu sangatlah

penting untuk melakukan kultur dengan bahan kultur didapat dari tempat

infeksi utama atau dari lesi kulit yang terinfeksi. Hasil kultur sering

menunjukkan hasil negatif, meskipun tanda infeksi bersifat pasti. Kultur

negatif dapat terjadi karena penggunaan antibiotika belakangan ini, dengan

pertumbuhan yang lambat atau tidak adanya invasi pada aliran darah

(Taljaard, 2010).

Kriteria diagnostik untuk sepsis dapat dibagi dalam beberapa bagian,

(7)

disfungsi organ, dan variabel perfusi jaringan. Pada variabel umum, terdapat

demam (> 38°C), hipotermi (temperatur inti < 36°C), denyut jantung >

90x/menit, takipnu, perubahan status mental, edema signifikan atau

keseimbangan cairan positif (> 20mL/kg melebihi 24 jam), hiperglikemi

(glukosa plasma > 140mg/dL atau 7.7 mmol/L) tanpa diabetes. Pada

variabel inflamasi, terdapat leukositosis (hitung lekosit > 12000 μ L),

leukopenia (hitung lekosit < 4000μ L), hitung lekosit normal dengan lebih

dari 10% bentuk yang imatur, plasmaC-Reactive Proteinlebih dari dua sd diatas nilai normal, plasma procalcitonin lebih dari dua sd diatas nilai

normal. Pada variabel hemodinamik, terdapat hipotensi arterial (SBP < 90

mmHg, MAP < 70 mmHg, atau SBP berkurang > 40 mmHg pada dewasa

atau kurang dari dua sd. Pada variabel disfungsi organ, terdapat hipoksia

arterial (PaO2/FiO2 < 300), oligouria akut (output urine < 0,5 mL/kg/hari

minimal 2 jam meskipun resusitasi cairan adekuat), peningkatancreatinine

(> 0.5 mg/dL atau 44,2 μ mol/L), abnormalitas koagulasi (INR > 1.5 atau

aPTT > 60 detik), ileus, trombositopenia (< 100.000μ L), hiperbilirubinemia

(bilirubin plasma total > 4 mg/dL atau 70 μ mol/L). Pada variabel perfusi

jaringan, terdapat hiperlaktatnemia (> 1 mmol/L) dan penurunan pengisian

kapiler atau bintik-bintik (Dellinger et al., 2013)

2.1.7. Hasil Pemeriksaan Laboratorium

Abnormalitas awal termasuk leukositosis atau leukopenia,

trombositopenia (sampai dengan 30% pasien), dan proteinuria. Neutrofil

mungkin mengandung granulasi beracun atau vakuola sitoplasma. Dengan

progresi dari respon septik, trombositopenia menjadi lebih berat (<50.000)

dan jika disertai dengan perpanjangan waktu trombin (thrombin time), penurunan fibrinogen dan peningkatan D-dimer adalah sugestif dari DIC. Hemolisis aktif dengan fragmen pada hapusan darah memperkuat diagnosis

DIC. Enzim hati yang abnormal adalah manifestasi awal yang umum dari

(8)

berkepanjangan dapat menyebabkan elevasi yang ditandai dengan

transaminase karena nekrosis hepatosit iskemik (Taljaard, 2010).

Selama respon septik, jaringan tidak dapat mengekstraksi oksigen

dari darah seperti biasa, yang kemudian mengakibatkan metabolisme

anerobik. Kadar laktat darah meningkat pada awal dan akhirnya berlanjut

menjadi asidosis metabolik. Hiperglikemi sering muncul, kebanyakan pada

penderita diabetes, dan mungkin juga memicu ketoasidosis diabetik.

Hiperventilasi selama awal sepsis bisa menyebabkan alkalosis respiratorik,

tetapi ini akan segera diganti dengan asidosis metabolik (dengan

peningkatan anion gap) dikarenakan kelelahan pernafasan dan

hiperlaktatnemia (Taljaard, 2010).

Hasil respon fase akut menunjukkan peningkatan produksi dari

C-reactive protein, ferritin, fibrinogen dan komponen komplemen. Temuan

foto polos dada bervariasi dari normal sampai konsolidasi pneumonia ke

kelebihan cairan dan infiltrat difus dari sindroma gangguan pernapasan akut

(Acute Respiratory Distress Syndrome), tergantung pada proses penyakit yang mendasari. EKG biasanya menunjukkan sinus takikardi dan terkadang

beberapa kelainan gelombang ST-T nonspesifik (Taljaard, 2010).

2.2. Jenis bakteri penyebab infeksi

2.2.1. Cara untuk membedakan jenis bakteri

Kriteria yang sesuai dengan tujuan untuk mengklasifikasi bakteri

meliputi banyak cara. Informasi bernilai dapat didapatkan melalui

mikroskop, yaitu mengobservasi bentuk sel dan ada atau tidaknya struktur

spora ataupun flagella. Prosedur pewarnaan seperti pewarnaan Gram bisa

menjadi penaksiran yang dapat diandalkan dari lapisan sel yang alamiah.

Sebagian bakteri memproduksi pigmen-pigmen ber-karakteristik tertentu,

dan sebagian dapat dideferensiasikan menurut basis dari komplemen dari

(9)

zona yang bebas dari kumpulan koloni yang tumbuh di substrat yang tak

larut (Morse dalam Brooks, 2007).

Prosedur pewarnaan Gram pada awalnya dikembangkan oleh dokter

dari Denmark. Hans Christian Gram membedakan pneumokokus dengan

Klebsiella pneumonia. Secara singkat, prosedur melibatkan penerapan

larutan yodium ke sel yang sebelumnya diwarnai dengan kristal violet atau

gentian violet. Prosedur ini menghasilkan "ungu berwarna kompleks yodium" dalam sitoplasma bakteri. Sel-sel yang sebelumnya diwarnai

dengan kristal violet dan yodium yang selanjutnya diperlakukan dengan

agen peluntur warna seperti etanol 95% atau campuran aseton dan alcohol

(Gram stain Technique,2001).

Perbedaan antara bakteri Gram-positif dan Gram-negatif adalah

dalam permeabilitas dinding sel, dengan "ungu berwarna kompleks

yodium" ketika diberikan dengan pelarut peluntur warna. Sementara

bakteri Gram-positif mempertahankan ungu kompleks iodin setelah

diberikan dengan agen peluntur warna, bakteri Gram-negatif tidak dapat

mempertahankan kompleks warna ketika dilunturkan. Untuk

memvisualisasikan bakteri gram negatif yang tak mempertahankan warna,

pewarna kontra merah seperti safranin digunakan setelah dilakukan

(10)

Gambar 2.2 Gambaran kokus gram positif dan basil gram negatif pada pewarnaan Gram (Gram Stain Technique, 2001)

2.2.2. Bakteri Gram Positif

Kelompok bakteri ini memiliki profil dinding sel tipe gram positif.

Sel mungkin berbentuk bulat, batang, atau filamen (Gambar 2.3); batang

dan filamen mungkin saja tidak bercabang, atau mungkin saja menunjukkan

percabangan. Reproduksi umumnya dengan cara pembelahan biner.

Beberapa bakteri dalam kategori ini menghasilkan spora sebagai bentuk

(11)

2.2.3. Bakteri Gram Negatif

Kelompok bakteri heterogen yang memiliki amplop sel kompleks

yang terdiri dari membran luar, dalam, dan peptidoglikan tipis (yang

mengandung asam muramik dan terdapat di semua, namun beberapa

organisme telah kehilangan bagian dari amplop sel ini), dan sebuah

membran sitoplasma. Bentuk sel (Gambar 2.3) bisa bulat, oval, lurus atau

batang melengkung, heliks, atau filamen; beberapa bentuk ini mungkin

memiliki sarung atau kapsul. Reproduksi adalah dengan cara pembelahan

biner, tetapi beberapa kelompok bereproduksi dengan carabudding(Morse dalam Brooks, 2007)

(A) Kokus, (B) Batang, (C) Spiral

Gambar 2.3 Bentuk dari Bakteri (Morse, 2007)

2.3. PROCALCITONIN

2.3.1. Biokimia dan Patofisologi 2.3.1.1.Biokimia

Procalcitonin pertama kali disebutkan sebagai protein yang

diasosiasikan dengan sepsis pada tahun 1993. Protein ini terdiri dari 116 asam

amino dan dapat dideteksi didalam plasma ketika sepsis, infeksi, dan reaksi

inflamasi yang berat. Rantai asam amino ini identik dengan protein prekursor

hormon calcitonin. Kedua protein ini (PCT dan calcitonin) berasal dari gen yang

(12)

juga berasal dari sel-sel yang berbeda, yaitu sintesis primernya oleh C-cellsdi kelenjar adrenal dan sebagian oleh hormon aktif neuroendrokrin di organ-organ

lain. Selain prohormon yang lengkap (116 asam amino), fragmen dari

procalcitonin yang berbeda juga muncul di plasma. Pertama, didalam plasma

terdapat bentuk N-terminal yang terdiri dari 2 sampai 114 asam amino dengan

enzym dipeptidyl peptidase IV, yang bersifat tidak aktif. Kedua, fragmen procalcitonin dengan panjang yang bervariasi, termasuk rangkaian calcitonin

yang berhubungan dengan ujung terminal dari molekul N- atau C- (Meisner,

2010).

2.3.1.2.Mekanisme induksi PCT

Induksi dari PCT diatur dengan sangat teliti, memerlukan tahap-tahap

yang berbeda untuk aktivasi (gambar 2.4). Tidak seperti sitokin-sitokin, proses

untuk pelekatan dan komunikasi antara sel memegang peran, bersamaan dengan

progresi pengaktifan yang tergantung waktu. Regulasi yang sangat teliti dari

induksi bisa menjadi salah satu sebab untuk tingginya spesifisitas dari marker,

yang korelasi antara konsentrasi plasma dengan tingkat keparahan atau derajat

inflamasi yang baik (Meisner, 2010).

Monosit yang disirkulasi juga memproduksi PCT setelah stimulasi dari

endotoksin konsentrasi tinggi. Hanya sel-sel yang melekat memperlihatkan

produksi PCT yang signifikan. Ini hanya berlangsung selama beberapa jam.

Hanya kontak langsung dari sel-sel monosit dengan sel-sel parenkim,

menunjukkan sampai saat ini hanya untuk adiposity, mengarah untuk

memproduksi PCT di sel-sel tersebut dengan komunikasi antar sel (Meisner,

(13)

Gambar 2.4. Induksi dan efek biologis dari PCT (Meisner, 2010)

2.3.2. Stabilitas PCT

PCT memiliki beberapa karakteristik yang mendukung

kegunaannya dibeberapa prosedur rutin. Contohnya, PCT di sampel darah

adalah protein yang relatif stabil, juga dapat diambil menjadi sampel untuk

pengukuran bersama dengan pemeriksaan darah rutin lainnya. Di dalam

tubuh, waktu paruh dari protein yang tidak aktif dalam sirkulasi dapat

dideteksi lebih kurang 24 sampai 35 jam. Waktu induksi yaitu 4 sampai 12

jam, yaitu lebih lama daripada sitokin, tetapi lebih singkat secara signifikan

daripada CRP (Meisner, 2010).

2.3.3. Metode pengukuran kadar PCT

Ada beberapa uji imunologi yang tersedia, termasuk yang otomatis,

untuk pengukuran kuantitatif atau semikuantitatif dari procalcitonin.

Tergantung dengan metodenya, pengukuran dapat dilakukan dengan

menggunakan serum ataupun plasma, dan tergantung pada test yang

(14)

dibutuhkan sampai hasil PCT keluar adalah 19 menit sampai 2,5 jam

(Meisner, 2010).

2.3.4. Sifat Induksi dan Eliminasi PCT

Induksi PCT sangatlah cepat, dapat dideteksi didalam sirkulasi

hanya dalam waktu 2 sampai 6 jam setelah stimulus yang adekuat.

Konsentrasi plasma yang signifikan secara umum dicapai setelah kira-kira

6 jam, dengan kadar puncak setelah terjadi 12 sampai 48 jam. Dengan

waktu paruh sekitar 20 sampai 30 jam, berkurang lagi setelah beberapa hari.

Perbandingan induksi dan waktu pengurangan PCT dengan marker lain

dapat dilihat di gambar 2.5 (Meisner, 2010).

Gambar 2.5 Perbandingan induksi dan waktu pengurangan PCT dengan marker lain (Meisner, 2010)

2.3.5. Apa saja yang menyebabkan PCT meningkat 2.3.5.1.Infeksi bakteri dan sepsis

Infeksi bakteri menginduksi PCT dalam konsentrasi yang

terukur sesaat setelah respon inflamasi (lokal ataupun sistemik) terjadi,

dan respon ini dapat mencapai tingkat keparahan tertentu. Ini

menunjukkan bahwa apabila PCT meningkat, dapat diasumsikan telah

(15)

inflamasi sistemik. Peningkatan kadar PCT mengindikasikan resiko

yang nyata pada pasien. Infeksi bakteri lokal yang sederhana,

dibeberapa kasus, mungkin saja tidak selalu menginduksi PCT, dan

apabila ada, hanya menginduksi kadar PCT dalam jumlah yang sangat

sedikit (Meisner, 2010).

2.3.5.2.Peningkatan PCT dengan penyebab non Bakteri

PCT dapat diinduksi tanpa adanya infeksi bakteri, ini dapat

terjadi pada kejadian traumatis parah atau di situasi, terlepas dari

fokus bakteri spesifik, dibebani oleh endotoxin didalam tubuh,

misalnya setelah prosedur operasi abdomen, trauma abdomen,

masalah sirkulasi mikro umum yang berat dengan persyaratan

katekolamin tinggi, pankreatitis berat, atau kerusakan hepar yang

berat. Bahkan infeksi jamur yang berat juga dapat menginduksi PCT.

Dengan contoh, candidiasis dengan kadar PCT lebih dari 5ng/mL.

Apabila kadar PCT tidak memberikan respon terhadap terapi

antibiotik, maka bisa diindikasikan sebagai suatu infeksi jamur

Gambar

Gambar 2.1 Patogenesis hipotetik proses septik (Powell, 1996)
Gambar 2.2 Gambaran kokus gram positif dan basil gram negatif padapewarnaan Gram (Gram Stain Technique, 2001)
Gambar 2.3 Bentuk dari Bakteri (Morse, 2007)
Gambar 2.4. Induksi dan efek biologis dari PCT (Meisner, 2010)
+2

Referensi

Dokumen terkait

Penderita sepsis neonatorum adalah bayi yang dinyatakan mengalami sindrom klinis dengan gejala infeksi sistemik dan diikuti dengan bakteremia pada bulan pertama

(infeksi transmisi vertikal, paparan infeksi yang terjadi saat kehamilan, proses persalinan dimasukkan ke dalam kelompok infeksi paparan dini (early onset of

Kadar Malondialdehyde (MDA) Serum Sebagai Indikator Prognosis Keluaran Pada Sepsis Neonatorum.. Available

Bila penelitian ini mendapatkan hasil sensitifitas yang tinggi maka rasio neutrofil-limfosit dapat dijadikan sebagai cara mendiagnosa infeksi bakteri pada pasien sepsis..

meminimalkan resiko infeksi yang terjadi di rumah sakit yaitu dengan..

Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kadar IL-6 dengan PCT pada pasien sepsis berat. Diperlukan keseragaman waktu pengambilan sampel untuk penelitian

Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kadar IL-6 dengan PCT pada pasien sepsis berat.. Diperlukan keseragaman waktu pengambilan sampel untuk penelitian

1) Uncomplicated sepsis, disebabkan oleh infeksi, seperti flu atau abses gigi. Hal ini sangat umum dan biasanya tidak memerlukan perawatan rumah sakit.. 2) Sepsis berat, terjadi