• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH DENGAN MODEL KOOPERATIF MURDER UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS SISWA SMA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH DENGAN MODEL KOOPERATIF MURDER UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS SISWA SMA."

Copied!
67
0
0

Teks penuh

(1)

KATA PENGANTAR ……….. i

LEMBAR PERSEMBAHAN ………..……. iv

ABSTRAK ……….…... v

DAFTAR ISI ……… vii

DAFTAR TABEL ………. x

DAFTAR GAMBAR ……… xii

DAFTAR LAMPIRAN ……… xiii

BAB I PENDAHULUAN ……… 1

A. Latar Belakang Masalah ………... 1

B. Rumusan Masalah ………... 10

C. Tujuan Penelitian ……….. 11

D. Manfaat Penelitian ………... 12

E. Definisi Operasional ………... 13

F. Hipotesis Penelitian ……… 14

BAB II KERANGKA TEORITIS ………. 15

A. Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) ………... 15

A.1 Prinsip PBM ……….. 15

A.2 Rencana Pembelajaran dalam Pelaksanaan PBM .. 16

A.3 Keuntungan dan Keterbatasan Pengimplementasian PBM ……… 19

B. Pembelajaran Kooperatif ………. 22

C. Model Kooperatif MURDER ……….. 23

D. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis …………. 28

(2)

E. Teori Belajar Pendukung ……… 31

F. Penelitian-penelitian yang Relevan ……….... 34

BAB III METODE PENELITIAN ………. 37

A. Disain Penelitian ………... 37

B. Variabel-variabel Penelitian ……… 37

C. Subjek populasi dan Subjek Sampel ……… 38

D. Instrumen penelitian ……… 39

D.1 Tes Kemampuan Pemecahan Masalah ………... 39

D.1.1 Analisis Validitas Butir Soal ………….. 40

D.1.2 Analisis Reliabilitas Tes ………... 42

D.1.3 Analisis Daya Pembeda ……….. 43

D.1.4 Analisis Tingkat Kesukaran ……… 44

D.1.5 Rekapitulasi Analisis Hasil Uji Coba Soal ………... 46

D.2 Angket Sikap Siswa ……….. 47

D.3 Lembar Observasi ……….... 47

E. Teknik Analisa Data ………... 48

E.1 Perhitungan Gain ………. 48

E.2 Uji Normalitas ……….. 49

E.3 Uji Homogenitas ………... 50

E.4 Uji Perbedaan Rata-rata dan Interaksi ………….. 51

(3)

A. KPMMS Berdasarkan Pembelajaran dan Jenis

Kelamin ……….. 57

B. Analisis Kesetaraan KPMMS ……….... 59

B.1 Sebelum Pembelajaran ……….. 59

B.2 Setelah Pembelajaran ……… 62

C. Analisis Peningkatan KPMMS ………. 66

D. Analisis Data Hasil Angket ………... 71

E. Analisis Data Hasil Observasi ……….. 81

F. Pembahasan ……….. 84

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ………... 96

A. Kesimpulan ………... 96

B. Rekomendasi ………. 97

DAFTAR PUSTAKA ………... 99

LAMPIRAN-LAMPIRAN ………... 104

(4)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Salah satu mata pelajaran yang selalu diujikan pada ujian nasional yang diperuntukkan bagi siswa-siswa sekolah dasar, sekolah lanjutan pertama dan sekolah lanjutan atas adalah pelajaran matematika. Bahkan untuk ujian masuk perguruan tinggi sekalipun mata pelajaran matematika merupakan salah satu pelajaran yang selalu diujikan. Hal di atas menunjukkan betapa pentingnya penguasaan terhadap pelajaran matematika.

Pentingnya matematika bukan hanya berlaku secara nasional tetapi juga secara internasional. Hal ini terbukti dengan dilakukannya survey secara berkala oleh suatu badan internasional yang disebut Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS). Bukan hanya survey, untuk mengetahui dan membandingkan

kemampuan matematika dari siswa-siswa dari berbagai negara di dunia, sudah bertahun-tahun dilaksanakan olimpiade matematika.

(5)

terhadap pelajaran matematika masih belum tinggi. Hal ini sesuai dengan hasil survey TIMSS pada tahun 2003 yang menunjukkan bahwa untuk bidang matematika Indonesia berada pada peringkat ke 35 dari 46 negara (penelitian ini melibatkan lebih dari 200.000 siswa), berada di bawah Malaysia dan Singapura saat itu. Sedang pada survey TIMMS tahun 2007, untuk tingkat 8 (setingkat SLTP) Indonesia berada pada peringkat ke-36 di antara 48 negara, 16 tingkat di bawah Malaysia (Harianto, Jawa Pos, 1 Juli 2009). Padahal, hasil penelitian TIMSS pada tahun 2003 yang dilakukan oleh K.S. Leung menunjukkan bahwa jumlah jam pelajaran matematika per tahun di Indonesia (169 jam), lebih banyak dari Malaysia (120 jam) dan Singapura (112 jam).

Kenyataan-kenyataan di atas membuat matematika dipandang sebagai pelajaran yang “bergengsi” sehingga menyebabkan tidak banyak siswa yang dapat lulus dari pelajaran ini (Turmudi, 2008). Masalah utama dari rendahnya pencapaian matematika adalah pemahaman konsep-konsep matematika yang kurang mendalam, yang kebanyakan hanya sebatas hapalan.

(6)

menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika; (3) memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh; (4) mengkomunikasikan gagasan dengan symbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah; dan (5) memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah. Dapat disimpulkan bahwa tujuan utamanya adalah pemecahan masalah. Tujuan ini sesuai dengan tujuan National Council of Teachers of Mathematics - NCTM (1989), yang menyatakan bahwa pemecahan masalah merupakan salah satu fokus utama dalam pembelajaran matematika, karena hal itu penting untuk selalu meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa. Selanjutnya, Suryadi dkk (Suherman dkk, 2001) mengungkapkan bahwa:

Pemecahan masalah matematika merupakan salah satu kegiatan matematik yang dianggap penting baik oleh para guru maupun siswa di semua tingkatan mulai dari SD sampai SMU.

Hal di atas dapat terlihat dari besarnya persentase soal-soal pemecahan masalah dalam ujian nasional maupun dalam ujian masuk perguruan tinggi (dalam ujian nasional tahun 2009, 25 dari 40 soal matematika yang diujikan adalah soal-soal pemecahan masalah).

(7)

masalah siswa SLTP dan SLTA serta guru-guru matematika menemukan bahwa dalam tingkat berpikir formal, siswa SMU belum berkembang secara optimal dan kemampuan pemecahan masalahnya masih rendah. Padahal Seno,H. et al. (Fatah, 2008) menyatakan kemampuan pemecahan masalah matematis juga menjadi kunci keberhasilan siswa dalam ujian akhir nasional dan seleksi masuk perguruan tinggi.

Sumarmo (Sapri, 2008: 3) menjelaskan bahwa pemecahan masalah dalam pembelajaran matematika merupakan pendekatan dan tujuan yang harus dicapai. Sebagai pendekatan, pemecahan masalah digunakan untuk menemukan dan memahami materi atau konsep matematika. Sedangkan sebagai tujuan, diharapkan agar siswa dapat mengindentifikasi unsur yang diketahui, ditanyakan, serta kecukupan unsur yang diperlukan, merumuskan masalah dari situasi sehari-hari dalam matematika, menerapkan strategi untuk menyelesaikan berbagai masalah (sejenis dan masalah baru) dalam dan diluar matematika, menjelaskan atau menginterpretasikan hasil yang sesuai dengan permasalahan asal, menyusun model matematika dan menyelesaikannya untuk masalah nyata dan menggunakan matematika secara bermakna (meaningful). Secara teknis Polya (1985) menyebutkan empat langkah dalam penyelesaian masalah, yaitu: (1) memahami masalah, (2) merencanakan pemecahan, (3) melaksanakan rencana, dan (4) memeriksa kembali.

(8)

adalah dengan melakukan pembelajaran matematika dengan pembelajaran berbasis masalah. Marshall (2003), presiden dari Asosiasi Pengembangan Supervisi dan Kurikulum Internasional menyatakan bahwa pembelajaran berbasis masalah menciptakan lingkungan belajar yang dinamis, kreatif, dan hidup, sehingga memicu pemahaman konseptual yang mendalam, yang terintegrasi dengan kehidupan sehari-hari, dan menuntun pada pencarian dan penemuan-penemuan yang menghasilkan pengetahuan. Hal ini bertolak-belakang dengan proses pembelajaran yang mengutamakan hapalan, keterampilan berhitung, kecepatan dan hasil akhir, yang disebut oleh Ruseffendi (1991) sebagai pengajaran tradisional dalam matematika.

Setiap harinya manusia dikelilingi oleh masalah, termasuk juga para siswa. Pembelajaran berbasis masalah menggunakan masalah-masalah yang dikenal siswa tersebut untuk memperkenalkan konsep-konsep matematika. Di mana konsep-konsep tersebut akan ditemukan sendiri oleh para siswa. Jadi, jika dari masalah-masalah yang dikenal siswa dapat ditemukan konsep-konsep matematika, maka konsep-konsep tersebut bukan lagi merupakan hapalan, melainkan suatu hal yang menarik perhatian para siswa dan terintegrasi dengan kehidupannya, sehingga lebih mudah untuk dikembangkan atau diterapkan dalam menyelesaikan masalah-masalah matematika yang lainnya.

(9)

mereka sendiri tentang dunia sosial dan sekitarnya. Vernon dan Blake (dalam Killen, 1998:108) menyatakan bahwa pembelajaran berbasis masalah merupakan suatu pilihan jika guru menginginkan siswa-siswa yang diajarnya memperoleh pemahaman yang mendalam tentang suatu subjek atau konsep, dari pada hanya mengingat sedikit tentang hal tersebut. Selanjutnya, aktivitas pemecahan masalah adalah salah satu hal yang berhubungan dengan kesenangan terhadap matematika (Brown, M. et al., 2007).

Perbedaan pencapaian yang mencolok dalam skala nasional adalah sesuatu yang wajar terjadi. Tetapi untuk skala satu kelas, perbedaaan pencapaian yang sangat mencolok sebaiknya dicegah. Model pembelajaran yang hanya berorientasi pada nilai akan membuat siswa saling berkompetisi, sehingga siswa yang pandai akan dapat mencapai sampai tingkat yang tertinggi, sementara yang kurang akan tetap berada pada tingkatan yang rendah. Hal tersebut mengindikasikan diperlukannya model pembelajaran yang tidak semata-mata berorientasi pada nilai dan pencapaian individu. Model pembelajaran kooperatif adalah salah satu model pembelajaran yang akan meminimalkan kesenjangan pencapaian tersebut karena dalam model pembelajaran kooperatif ini siswa akan bekerja bersama-sama dengan temannya dalam kelompok-kelompok kecil yang bersifat heterogen untuk mendiskusikan dan menyelesaikan atau memecahkan masalah, sehingga siswa yang berkemampuan rendah dan berkemampuan tinggi sama-sama diuntungkan (Suherman dkk, 2001).

(10)

kelompok tradisional adalah pada pembelajaran kooperatif pekerjaan kelompok dipersiapkan dengan hati-hati, direncanakan dan dimonitor, sementara pada kerja kelompok tradisional berfungsinya kelompok tidak diperhatikan. Pembelajaran kooperatif sangat sesuai untuk diterapkan pada siswa SMA yang berada pada tahap remaja akhir atau belum dewasa (adolescence) karena mereka secara alami lebih suka menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapinya, termasuk dalam pembelajaran, dengan bekerja dengan sesamanya remaja. Slavin (1988) mengatakan: “Socially, adolescence love to work together”. Selanjutnya, pengalaman mereka dalam bekerja dalam kelompok akan menjadi pengalaman yang berguna bagi mereka untuk bertambah dewasa dan perkembangan karir mereka kelak (Zimmer, M.J et al., 2006)

Beberapa model pembelajaran kooperatif telah dikembangkan oleh para pakar pendidikan, dan salah satunya adalah model kooperatif MURDER (Mood, Understand, Recall, Detect, Elaborate, Review) yang berlandaskan pada perspektif

(11)

Banyak penelitian yang telah dilakukan dengan berbagai pendekatan dan berbagai model serta berbagai strategi pembelajaran sebagai upaya menemukan/mengembangkan cara untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah siswa SLTP atau SLTA, bahkan mahasiswa. Soekisno (2002) menggunakan strategi heuristik pada siswa SMU; Hafriani (2004) menggunakan problem centered-learning pada mahasiswa semester III; Ahmad (2005), Sofyan (2008), dan Setiawan

(2008) menggunakan pembelajaran berbasis masalah pada siswa SLTP; Sukarjo (2007) menggunakan pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw, juga pada siswa SLTP; Nasir (2008) menggunakan pembelajaran kontekstual pada siswa SMA; dan Fatah (2008) menggunakan pembelajaran dengan pendekatan open-ended pada siswa SMA. Tetapi hasil-hasil penelitian itu menunjukkan bahwa kemampuan pemecahan masalah dari para siswa SLTP ataupun SLTA masih belum dapat dikatakan bagus, dalam arti peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis yang belum tinggi.

(12)

dipengaruhi untuk membangun kemampuan, pengetahuan, dan motivasinya sebagai hasil dari interaksi mereka dengan teman sebaya, orang-tua dan guru mereka.

Para peneliti bidang pendidikan juga meneliti sikap siswa terhadap matematika secara umum terhadap pelajaran matematika dan terhadap pembelajaran yang diberikan, karena hal tersebut akan mempengaruhi keberhasilan siswa dalam belajar. Demikian juga pandangan guru pemerhati, karena mereka selalu menginginkan agar siswa-siswanya itu mendapatkan pengalaman belajar yang lebih baik dari waktu ke waktu. Malone, J. A. dan Krismanto, A. (1993) dalam penelitian yang dilakukan, mendapati bahwa siswa-siswa SMP dan SMA menunjukkan sikap yang positif terhadap pembelajaran Matematika dalam kelompok. Selanjutnya, didapai juga bahwa sikap siswa SMA lebih positif dibandingkan dengan siswa SMP.

(13)

Berdasarkan permasalahan di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti cara-cara guru mengatasi kesulitan belajar matematika pada kelompok siswa SMA dengan melakukan studi yang berjudul “Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Model Kooperatif MURDER untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah

Matematis Siswa SMA”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah kemampuan pemecahan masalah matematis siswa-siswa SMA pada kelas yang pembelajarannya menggunakan pembelajaran berbasis masalah dengan model kooperatif MURDER dan pada kelas dengan pembelajaran biasa. 2. Apakah pada peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis, siswa

SMA yang memperoleh pembelajaran berbasis masalah dengan model kooperatif MURDER lebih baik dari pada siswa SMA yang memperoleh pembelajaran

biasa?

(14)

4. Bagaimanakah sikap siswa SMA terhadap pembelajaran berbasis masalah dengan model kooperatif MURDER?

5. Bagaimanakah pandangan guru pemerhati terhadap pembelajaran berbasis masalah dengan model kooperatif MURDER dalam meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan, maka tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui bagaimanakah kemampuan pemecahan masalah matematis para siswa SMA, pada kelas yang pembelajarannya menggunakan pembelajaran berbasis masalah dengan model kooperatif MURDER dan pada kelas dengan pembelajaran biasa.

2. Untuk mengetahui apakah pada peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis, siswa SMA yang memperoleh pembelajaran berbasis masalah dengan model kooperatif MURDER lebih baik dari pada siswa yang memperoleh pembelajaran biasa.

(15)

4. Untuk mengetahui bagaimana sikap siswa SMA terhadap pembelajaran berbasis masalah dengan model kooperatif MURDER.

5. Untuk mengetahui bagaimana pandangan guru pemerhati terhadap pembelajaran berbasis masalah dengan model kooperatif MURDER dalam meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam pengembangan pembelajaran matematika antara lain:

1. Bagi siswa yang memperoleh pembelajaran berbasis masalah dengan model kooperatif MURDER, dapat memperoleh pengalaman baru dalam belajar, dan diharapkan memperoleh peningkatan dalam hasil belajar khususnya peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis.

2. Bagi guru pemerhati diharapkan dapat memperluas wawasannya dalam melaksanakan pembelajaran matematika.

(16)

E. Definisi Operasional

Ada beberapa istilah yang digunakan dalam rumusan masalah. Agar tidak terjadi perbedaan penafsiran terhadap istilah-istilah tersebut, berikut dikemukakan definisi operasional dari istilah-istilah tersebut:

Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) adalah pembelajaran yang diawali dengan menghadapkan pada para siswa masalah-masalah dunia nyata yang dikenalnya untuk dipikirkan, dipahami dan dipecahkan sehingga mereka dapat mengkonstruksi sendiri pengetahuan tentang konsep-konsep yang esensial dari materi pelajaran.

Model Kooperatif MURDER adalah pembelajaran yang memiliki enam langkah dalam pengimplementasiannya yaitu: Mood, Understand, Recall, Detect, Elaborate, dan Review.

Pembelajaran biasa yang sering juga disebut sebagai pembelajaran tradisional ataupun pembelajaran konvensional, adalah pembelajaran yang bersifat ekspositori klasikal di mana guru menerangkan konsep dan memberi contoh-contoh, kemudian siswa mengerjakan latihan secara sendiri-sendiri.

(17)

F. Hipotesis Penelitian

1. Kemampuan pemecahan masalah matematis siswa SMA yang memperoleh pembelajaran berbasis masalah dengan model kooperatif MURDER lebih baik dari pada siswa yang memperoleh pembelajaran biasa.

2. Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa SMA yang memperoleh pembelajaran berbasis masalah dengan model kooperatif MURDER lebih baik dari pada siswa yang memperoleh pembelajaran biasa.

(18)

BAB II

KERANGKA TEORITIS

A. Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM)

PBM yang pertama kali diperkenalkan di Universitas Mc Master Canada tahun 1970 digambarkan oleh Krajcik et al. (Sharifah, 2002) sebagai pembelajaran yang menggunakan masalah sebagai titik focal bagi penyelidikan dan inkuiri siswa. Engel (McPhee, 2002) menyatakan PBM adalah suatu metodologi seluruhnya; pelajaran diprediksi melaluinya. Itu bukan ditambahkan, tetapi suatu pendekatan keseluruhan. Santyasa (2008) memandang PBM sebagai suatu pendekatan pembelajaran. Sedangkan Killen (1998: 106) menyatakan bahwa PBM sebagai suatu strategi pembelajaran adalah suatu teknik di mana masalah secara sengaja digunakan untuk membantu siswa untuk memahami dan mendapatkan makna dari subjek yang mereka sedang pelajari. Jadi PBM dapat dipandang sebagai metode pembelajaran, pendekatan pembelajaran maupun strategi pembelajaran. Baik sebagai metode, pendekatan maupun strategi pembelajaran, PBM memiliki satu karakteristik yang khusus, yaitu menggunakan masalah pada awal pembelajaran untuk memperkenalkan konsep-konsep dan atau aplikasi matematik pada siswa.

A.1 Prinsip PBM

(19)

diarahkan untuk mengerti bahwa ada konsep-konsep yang ingin diajarkan melalui jawaban-jawaban tersebut.

Arends (2008) menyatakan PBM tidak dirancang untuk membantu guru menyampaikan informasi dengan jumlah besar kepada siswa seperti pada pembelajaran langsung dan ceramah. PBM dirancang terutama untuk membantu siswa mengembangkan keterampilan berpikir, keterampilan menyelesaikan masalah dan keterampilan intelektualnya, melalui pengorganisasian pelajaran di seputar situasi-situasi kehidupan nyata.

A.2 Rencana Pembelajaran Dalam Pelaksanaan PBM

Killen (1998) menyatakan ada beberapa hal yang harus dilakukan seorang guru yang melaksanakan PBM dalam proses persiapan maupun dalam pembelajaran di kelas, yaitu:

1. Dalam proses persiapan.

a. Memutuskan hal-hal apa saja yang ia ingin siswa pelajari.

(20)

c. Mengidentifikasikan pengetahuan utama yang diperlukan siswa dalam meyelesaikan masalah tersebut. Jika perlu merencanakan untuk mengajarkan pengetahuan utama tersebut.

d. Mengidentifikasi bagian-bagian masalah yang mungkin dirasa sulit oleh siswa, khususnya untuk siswa yang kurang mampu dengan bagian-bagian tersebut.

e. Mencoba mengidentifikasikan beberapa strategi yang akan membantu siswa sementara mereka berusaha untuk menyelesaikan masalah.

f. Gunakan informasi-informasi di atas untuk merencanakan pembelajaran.

2. Dalam pembelajaran di kelas.

a. Menghadapkan kepada siswa masalah seperti yang sudah direncanakan . b. Memberi siswa kesempatan untuk bekerja secara individual atau membagi

siswa dalam beberapa kelompok, atau memasang-masangkan siswa dengan cara memasangkan siswa yang berkemampuan tinggi dengan yang sedang dan yang rendah dengan yang sedang.

(21)

yang inovatif. Selanjutnya, dorong siswa untuk dapat berargumentasi atas hipotesa yang mereka berikan.

d. Mendorong siswa untuk menggunakan waktu untuk memikirkan masalah tersebut terlebih dahulu, dan cara-cara apa yang dapat digunakan untuk penyelesaian.

e. Memahami siswa dengan kemampuan yang berbeda-beda, dan memberi dorongan agar siswa dengan kemampuan rendah sekalipun berani memberikan pendapatnya.

f. Membantu siswa mengembangkan pengertiannya atas masalah tersebut dengan cara menyarankan mereka membaca masalah itu berulang-ulang, menceritakan masalah itu kembali dengan bahasa siswa sendiri, dan mendorong mereka memikirkan lebih dari satu cara penyelesaian masalah. g. Menekankan pentingnya berbagi pendapat dan menerima pendapat, bahkan

terhadap pendapat yang paling janggal sekalipun. Selain berbagi, siswa juga didorong untuk membantu temannya sesama siswa.

h. Dorong siswa untuk tidak takut bertanya kepada guru dengan mempersiapkannya dan mendiskusikannya dengan sesama teman terlebih dahulu.

(22)

keterangan-keteranganseperlunya dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan yang akan menuntun siswa untuk memahami dan menyelesaikan masalah.

j. Secara bersama-sama (consensus) menyimpulkan konsep-konsep apa saja yang dapat dipelajari atau di-generalisasi dari masalah tersebut sebagai hal-hal yang baru bagi siswa.

A.3 Keuntungan dan Keterbatasan Pengimplementasian PBM

Killen (1998) memberikan beberapa keuntungan dan keterbatasan dalam pengimplementasian Pembelajaran Berbasis Masalah yaitu:

1. Keuntungan-Keuntungan

Bila digunakan secara efektif, pembelajaran dengan strategi PBM memiliki keunggulan sebagai berikut :

a. Mengembangkan solusi yang berarti pada masalah yang akan menuntun siswa pada pengertian materi.

b. Memberikan tantangan pada siswa-siswa sekaligus mengantar mereka pada kepuasan belajar yang lebih besar karena menemukan pengetahuan yang baru secara pribadi atau bersama dengan rekan siswa lainnya.

c. Membuat siswa-siswa belajar secara aktif.

(23)

e. Menunjukkan pada siswa bahwa materi ajar yang diberikan guru adalah sarana bagi mereka untuk berpikir dan berbuat, bukan sekadar melihat cara-cara guru atau buku teks.

f. Mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa dan kesanggupannya untuk beradaptasi dengan situasi belajar yang baru.

g. Memberi kesempatan pada siswa untuk menerapkan pengetahuan mereka dan melihat bahwa apa yang mereka ketahui dapat digunakan dalam dunia yang nyata.

h. Memungkinkan siswa untuk belajar lebih lama, bahkan setelah sesi pembelajaran selesai.

i. Mengembangkan rasa percaya diri siswa untuk mencoba hal-hal yang mereka pikir dapat saja salah, dan terus mencoba walau mereka melakukan kesalahan. Dan jika mereka berhasil menyelesaikan masalah, terbentuklah rasa percaya akan kemampuan dirinya .

j. Membuat guru lebih mengerti tentang kesanggupan dan kemampuan khusus dari siswa-siswa yang diajarnya.

2. Keterbatasan

(24)

a. Kecuali masalahnya memotivasi siswa, siswa akan melihatnya hanya sebagai kesibukan biasa.

b. Kecuali siswa yakin bahwa mereka dapat menyelesaikan masalah yang diberikan, mereka mungkin saja enggan untuk mencoba.

c. Untuk berhasil dengan strategi ini diperlukan banyak persiapan dan banyak waktu karena setiap masalah perlu distrukturkan dengan hati-hati agar dapat menghasilkan hasil pembelajaran tertentu (spesifik).

d. Kecuali siswa mengerti mengapa mereka diminta mencoba menyelesaikan masalah tertentu, mereka mungkin tidak akan belajar sesuai dengan yang diingini guru.

e. Karena siswa bekerja secara relatif bebas dari gurunya, dapat saja mereka tidak menemukan semua hal yang guru inginkan mereka pelajari.

f. Pada saat siswa bekerja secara berkelompok, adalah mudah bagi siswa-siswa yang kurang pandai atau kurang percaya diri didominasi oleh siswa-siswa yang pandai dan percaya diri.

g. Siswa dengan strategi berpikir yang tidak sesuai akan mencapai kesimpulan yang tidak sesuai. Kecuali guru memonitor siswa-siswanya secara dekat, guru dapat tidak menyadari terjadinya hal tersebut.

(25)

B. Pembelajaran Kooperatif

Posamentier dan Stepelman (2002) menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif atau cooperative learning adalah salah satu model pembelajaran yang dianggap efektif untuk pengajaran matematika. Kolaborasi dan interaksi sosial diantara kelompok siswa-siswa mendorong para siswa mendukung pembelajaran satu dengan yang lainnya karena pembelajaran kooperatif lebih dari hanya mengelompokkan siswa dalam kelompok-kelompok kecil dan memberi tugas pada mereka untuk diselesaikan, tetapi siswa dituntut untuk menyadari eksistensi rekannya dan berinteraksi satu sama lain dan membangun suatu hubungan simbiotik diantara mereka.

Hal senada dinyatakan oleh Suherman dkk (2001):

Cooperative learning mencakupi suatu kelompok kecil siswa yang bekerja sebagai sebuah tim untuk menyelesaikan sebuah masalah, menyelesaikan suatu tugas, atau mengerjakan sesuatu untuk mencapai tujuan bersama lainnya. Tidaklah cukup menunjukkan sebuah cooperative learning jika para siswa duduk bersama dalam kelompok-kelompok kecil tetapi menyelesaikan masalah secara sendiri-sendiri….. Cooperative learning menekankan pada kehadiran teman sebaya yang berinteraksi antar sesamanya sebagai sebuah tim dalam menyelesaikan atau membahas suatu masalah atau tugas.

Selanjutnya Suherman dkk (2001) menyatakan ada beberapa hal yang perlu dipenuhi oleh setiap siswa anggota kelompok dalam cooperative learning yaitu:

(26)

2. Menyadari bahwa masalah yang mereka hadapi adalah masalah kelompok dan keberhasilan kelompok adalah tanggung-jawab bersama seluruh anggota kelompok.

3. Memiliki keinginan untuk mencapai hasil yang maksimum dengan cara berdiskusi satu dengan yang lainnya dalam kelompok.

4. Menyadari bahwa setiap pekerjaan siswa mempunyai akibat langsung pada keberhasilan kelompoknya.

C. Model Kooperatif MURDER

Model pembelajaran kooperatif MURDER diperkenalkan oleh Hythecker, Danserau dan Rocklin pada tahun 1988 ( Jacobs et al, 1997; Santyasa, 2008). Model ini menggunakan sepasang dyad (pasangan dua orang) dari kelompok beranggotakan empat orang, memiliki enam langkah, yaitu:

1. Mood, mengatur suasana hati (mood) yang tepat dengan cara relaksasi dan berfokus pada tugas yang dipelajari, dilakukan oleh kedua anggota dyad (pasangan). Untuk langkah ini diperlukan sikap saling memahami satu sama lain; sikap saling menghormati dan sikap saling menerima teman, walaupun ia melakukan kesalahan; sehingga kedua siswa dapat menjalani pembelajaran dengan hati senang.

(27)

masalah tersebut tentang hal-hal apa sajakah yang diketahui dari masalah yang dapat dipandang sebagai data, hal-hal apa yang tidak diketahui, dan apakah data-data yang diketahui cukup untuk menemukan hal-hal yang tidak diketahui. Jika siswa mengalami kesulitan dalam memahami masalah yang diberikan, maka ia dapat bertanya kepada guru, dan guru akan memberikan pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya memicu sehingga membantu siswa untuk dapat memahami masalah.

3. Recall, menyimpulkan tentang ide-ide utama masalah, dilakukan oleh salah satu anggota dyad. Untuk langkah ini salah seorang anggota dyad, yang telah disepakati oleh kedua anggota dyad, akan menerangkan secara verbal tentang apa yang telah dipahaminya pada langkah “understand” kepada anggota dyad yang lainnya (pasangannya), dan pasangannya itu akan mendengarkan dengan seksama.

4. Detect, mendeteksi bila ada kesalahan atau kekurangan dari kesimpulan yang diberikan, dilakukan oleh anggota dyad yang lainnya. Untuk langkah ini anggota dyad yang berada pada posisi sebagai pendengar pada langkah “recall” akan

(28)

pemahaman mana yang benar, maka guru dapat membantu dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan pemicu sehingga kedua anggota dyad dapat dituntun pada suatu kesepakatan akan pemahaman terhadap masalah yang diberikan.

5. Elaborate, melakukan elaborasi pada ide-ide utama dari masalah, dilakukan oleh kedua anggota dyad. Untuk langkah ini kedua anggota dyad akan bekerja sama untuk menemukan hal-hal yang tidak diketahui dari masalah dengan menggunakan data-data yang diketahui. Disini mereka akan sama-sama menentukan satu atau lebih cara untuk menemukan hal-hal yang tidak diketahui tersebut. Kembali disini kedua anggota dyad dapat meminta bantuan guru jika diperlukan.

Langkah 2, 3, 4 dan 5 diulangi lagi untuk menyelesaikan masalah-masalah yang berikutnya (jika masalah yang diberikan lebih dari satu).

6. Review, menyimpulkan keseluruhan proses pemecahan masalah dan mentransmisikannya pada dyad yang lain dalam kelompoknya, dilakukan oleh kedua anggota dyad. Hal ini dilakukan setelah semua masalah yang diberikan diselesaikan.

(29)

sebelumnya. Jika jumlah siswa pria atau wanita ganjil, maka akan terdapat dyad khusus yang terdiri dari tiga siswa yang harus dibentuk lebih dahulu dengan komposisi tertentu, misalnya satu siswa yang pandai dan dua siswa lainnya dengan kemampuan yang sama (kurang pandai), baru kemudian dyads lainnya dibentuk atau ditentukan. Anggota-anggota dalam satu dyad akan berjenis kelamin sama. Hal ini didasarkan pada pendapat Slavin (1988:96) yang menyatakan bahwa keintiman dalam berkomunikasi dapat lebih mudah dicapai oleh dua remaja (adolescents) yang berjenis kelamin sama.

Langkah-langkah pendeteksian, pengulangan dan peng-elaborasian dapat berhasil memperkuat hasil pembelajaran karena pasangan dyad harus mengemukakan secara verbal tentang apa yang dipahaminya dalam masalah dan bagaimana masalah itu diselesaikan. Dalam hal ini ketrampilan memproses informasi yang menuntut keterlibatan metakognisi-berpikir dan membuat keputusan berdasarkan pemikiran lebih diutamakan. Selanjutnya, langkah elaborasi memungkinkan pasangan dyad yang berperan sebagai korektor menghubungkan informasi-informasi yang cukup penting dangan berbekal pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya. Ketrampilan kolaboratif sangat penting ditekankan dalam setting MURDER ini.

(30)

1. Siswa dalam kelompok yang terdiri dari empat orang dibagi menjadi dua pasangan dyad, yaitu dyad-1 dan dyad-2 dan tugas dibagikan pada masing-masing pasangan dyad.

2. Setelah penataan suasana hati (mood) dan usaha pemahaman dilakukan oleh kedua anggota dyad-1, salah satu anggota pasangan dyad-1 mengungkapkan pemahamannya terhadap tugas pada pasangannya dan anggota yang lain menulis sambil mengkoreksi jika ada kekeliruan, setelah itu kedua anggota dyad-1 mencoba menyelesaikan tugas bersama-sama. Hal yang sama dilakukan oleh pasangan dyad-2

3. Setelah kedua pasangan dyad selesai mengerjakan tugas masing-masing, pasangan dyad-1 memberitahukan jawaban yang mereka temukan pada pasangan dyad-2, demikian pula pasangan dyad-2 memberitahukan jawaban yang mereka

temukan pada pasangan dyad-1, sehingga terbentuklah laporan lengkap untuk keseluruhan tugas.

4. Masing-masing pasangan dyad dalam kelompok melakukan elaborasi, inferensi, dan revisi (bila diperlukan) terhadap laporan yang akan dikumpulkan.

5. Laporan masing-masing pasangan dyad terhadap tugas-tugas yang telah dikumpulkan, disusun per-kelompok kolaboratif.

(31)

Kolaborasi yang terjadi di antara anggota dyad dalam kelompok siswa yang sebaya ini menurut Damon dan Phelps (dalam Edwards J.A. dan Jones K., 2001) akan membangkitkan semangat untuk berkomunikasi dan saling mendukung untuk belajar penemuan.

D. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis

D.1 Perlunya Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis.

Dalam pembelajaran matematika kemampuan pemecahan masalah merupakan salah satu tujuan yang harus dicapai (Diknas, 2006). Oleh karenanya guru matematika harus berusaha agar siswa memiliki kemampuan tersebut. Bahkan Polya (1985) menyatakan bahwa tugas utama guru matematika di sekolah ialah menggunakan segenap kemampuannya untuk mengembangkan kemampuan siswa untuk menyelesaikan atau memecahkan masalah matematika.

(32)

siku-siku adalah belajar pembentukkan aturan (aplikasi) tetapi ini bukan tipe pemecahan masalah.

Polya (1985) menyatakan bahwa kemampuan pemecahan masalah diperlukan untuk menyelesaikan masalah yang bukan “masalah rutin”. Dan suatu masalah disebut “masalah rutin” jika masalah tersebut dapat diselesaikan dengan cara seperti mensubsitusikan suatu data khusus pada suatu masalah umum yang sudah diselesaikan sebelumnya, atau dengan mengikuti langkah-langkah yang dapat dengan mudah dikenali karena serupa dengan masalah-masalah pada contoh. Selanjutnya Ruseffendi (2001) menyatakan suatu persoalan merupakan masalah bagi seseorang jika (1) persoalan itu tidak dikenalnya, maksudnya ialah siswa belum memiliki prosedur atau algoritma tertentu untuk menyelesaikannya; (2) siswa harus mampu menyelesaikannya, baik kesiapan mentalnya maupun pengetahuan siapnya, terlepas dari apakah pada akhirnya ia sampai atau tidak pada jawabannya; (3) ia memiliki niat untuk menyelesaikannya.

(33)

penyelesaian yang mungkin, dan (5) mengevaluasi penyelesaian dan menarik kesimpulan. Terlihat bahwa dua langkah pertama yang diberikan Dewey sudah tercakup dalam langkah pertama yang diberikan Polya sehingga untuk selanjutnya akan digunakan 4 langkah pemecahan masalah seperti yang diberikan oleh Polya (1985).

D.2 Langkah-Langkah Dalam Pemecahan Masalah Menurut Polya 1. Memahami masalah

Langkah pertama ini adalah sangat penting dalam pemecahan masalah, karena tanpa pemahaman yang benar terhadap masalah besar kemungkinan siswa akan salah atau tidak dapat memecahkan masalah. Beberapa hal yang harus diketahui siswa yang dapat menunjukkan bahwa ia sudah memahami masalah yang diberikan, yaitu siswa mengetahui : (1) apa yang tidak diketahui dan apa yang diketahui, (2) hal-hal apa yang sudah diketahui sebagai data, dan (3) apakah data-data tersebut cukup untuk menemukan hal-hal yang tidak diketahui, atau ada data yang kurang atau bertolak-belakang?

(34)

2. Merencanakan pemecahan

Pada langkah ini siswa diharuskan menemukan koneksi antara data yang diketahui dan hal yang tidak diketahui. Disini siswa akan berusaha mengingat masalah-masalah yang pernah dikenalnya yang berhubungan dengan masalah yang dihadapinya, dan menjadikannya alat untuk penyelesaian. Selain itu siswa akan mencari teorema-teorema yang dianggapnya berguna untuk menyelesaikan masalah. Selanjutnya siswa merencanakan penyelesaian masalah menggunakan data-data yang ada dan teorema-teorema yang diingatnya.

3. Melaksanakan rencana

Pada langkah ini siswa melaksanakan langkah-langkah penyelesaian seperti yang sudah direncanakan sebelumnya. Dan meneliti apakah langkah-langkah yang digunakan sudah tepat.

4. Memeriksa kembali

Pada langkah ini siswa dituntut untuk memeriksa kembali hasil pekerjaannya dari awal sampai dengan akhir kegiatan pemecahan masalah.

E. Teori Belajar Pendukung

(35)

pandangannya tentang pendidikan dengan sekolah sebagai cermin masyarakat yang lebih besar dan kelas akan menjadi laboratorium untuk penyelidikan dan pengatasan masalah kehidupan nyata. Tetapi untuk dukungan teoritisnya, PBM lebih banyak didukung oleh teori psikologi Jean Piaget dan Lev Vygotsky, khususnya dalam mengembangkan konsep konstruktivisme yang menjadi landasan PBM.

(36)

Dukungan teoritis lainnya untuk PBM datang dari Jerome Bruner khususnya pada aspek discovery learning yang menekankan pada pengalaman belajar aktif yang berpusat pada pengalaman siswa yang menemukan ide-idenya sendiri dan mengambil maknanya sendiri. Berdasarkan teori dari Bruner tujuan pendidikan bukan hanya untuk memperbesar dasar pengetahuan siswa, tetapi juga untuk menciptakan berbagai kemungkinan untuk invention (penciptaan) dan discovery (penemuan). Konsep lain dari Bruner yang menjadi landasan PBM adalah scaffolding, yaitu sebuah proses dari pembelajar yang dibantu untuk mengatasi masalah tertentu yang berada diluar kapasitas perkembangannya dengan bantuan (scaffolding) guru atau orang yang lebih mampu. Konsep scaffolding ini mirip dengan konsep Vygotsky tentang dukungan sosial untuk zone of proximal development. Secara khusus, praktek scaffolding dapat memperkaya pembelajaran matematika (Anghileri, 2006). Selanjutnya, belajar dengan PBM adalah sesuai juga dengan teori Brownell yang mengemukakan bahwa belajar matematika harus merupakan belajar bermakna dan pengertian (Suherman dkk, 2001).

(37)

pasangannya, atau teman sekelompoknya, bahkan dengan guru pada langkah-langkah “Recall”, “Detect”, “Elaborate”, dan “Review” dilakukan.

F. Penelitian-penelitian yang Relevan

Raharjo (2009) dalam penelitiannya terhadap siswa SMP di kabupaten Sidoarjo menemukan bahwa pembelajaran kooperatif GI dan PBL dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Sementara Solikhati dkk. (2009) menemukan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe STAD dapat meningkatkan hasil belajar siswa SMP.

Secara lebih spesifik untuk kemampuan pemecahan masalah matematis, Soekisno (2002) dalam penelitiannya terhadap siswa salah satu SMU di Bogor menunjukkan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan strategi heuristik lebih baik dari siswa dengan pembelajaran biasa. Sedangkan Hafriani (2004) dalam penelitiannya terhadap mahasiswa semester III jurusan tadris matematika IAIN Ar-Raniry mencoba mengembangkan kemampuan pemecahan masalah matematis mereka dengan problem- centered learning dalam tiga siklus. Hasilnya menunjukkan bahwa pada

(38)

Penelitian-penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh Ahmad (2005), Sukarjo (2007) , Nasir (2008), dan Setiawan (2008) juga menunjukkan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematis dapat ditingkatkan. Ahmad (2005) dalam penelitiannya terhadap siswa salah satu SLTP Negri di Purwokerto menunjukkan bahwa kemampuan pemahaman dan pemecahan masalah matematis siswa SLTP dapat ditingkatkan melalui pembelajaran berbasis masalah. Sukarjo (2007) dalm penelitiannya terhadap siswa kelas 2 SMPN di kecamatan Cileunyi, menemukan bahwa kemampuan pemecahan masalah siswa SMP dapat ditingkatkan dengan pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw disertai pemberian keterampilan bertanya. Nasir (2008) dalam penelitiannya terhadap siswa SMA 1 Tandun yang berkemampuan rendah menunjukkan bahwa kemampuan pemecahan masalah siswa dapat ditingkatkan melalui pendekatan pembelajaran kontekstual. Sedangkan Setiawan (2008) menunjukkan bahwa pembelajaran berbasis masalah dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa SMP.

Sementara di Malaysia, Syarifah (2002) dalam penelitian yang dilakukan terhadap mahasiswa-mahasiswa yang mengikuti kuliah metode matematika, menggunakan instrumen QAAA (Questionaries of Students Attitudes and Activity Assesment) untuk mengetahui sikap mereka terhadap pembelajaran berbasis masalah

(39)

lebih terbuka dalam wawasan, dan mempraktikan manajemen yang baik. Selanjutnya, sesi PBM juga memberi mereka kesempatan memperbaiki hubungan dengan sesama mahasiswa, belajar menemukan, mengevaluasi dan menggunakan sumber-sumber pembelajaran yang sesuai.

Di bagian dunia yang lain, Lambros, A. melaporkan penelitian-penelitian yang dilakukannya dalam PBL symposium tahun 2003 di Illionois Mathematics and Science Academy. Lambros mendapati bahwa siswa-siswa yang memperoleh

(40)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Disain penelitian

Melalui uraian yang dikemukakan dalam latar belakang dan rumusan masalah, penelitian yang diterapkan adalah penelitian eksperimen dengan dua kelompok sampel yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Kelompok eksperimen adalah kelompok siswa yang diajar dengan pembelajaran berbasis masalah dengan model kooperatif MURDER, dan kelompok kontrol adalah kelompok siswa yang diajar dengan pembelajaran biasa.

Disain penelitian berbentuk Randomized Pre-test Post-test Kontrol Group Design sebagai berikut:

A O X O

A O O

Keterangan: A : Pemilihan sampel secara acak

X : Perlakuan dengan strategi pembelajaran berbasis masalah O : pre-test dan post-test berupa tes pemecahan masalah.

B. Variabel-variabel Penelitian

(41)

berbasis masalah. Sedangkan variabel terikat atau variabel yang diukur dalam penelitian ini adalah kemampuan pemecahan masalah matematis.

Fraenkel (2006) menyatakan bahwa selain variabel bebas yang telah ditetapkan untuk diteliti, dalam setiap penelitian ada variabel-variabel bebas lain yang dapat mempengaruhi variabel terikat, disebut sebagai variabel luar (extraneous). Variabel extraneous dapat juga didefinisikan sebagai variabel bebas yang tidak dikendalikan. Salah satu cara mengendalikan variabel luar ini adalah dengan menjaganya konstan. Variabel luar yang dikendalikan atau dibuat konstan inilah yang disebut sebagai variabel kontrol (Sugiyono, 2008).

Pada penelitian ini, jenis kelamin siswa (gender) akan dipandang sebagai variabel kontrol. Selanjutnya, variabel-variabel luar lain seperti waktu belajar, tingkat keyakinan siswa, dan lain sebagainya, diasumsikan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap variabel terikat, yaitu kemampuan pemecahan masalah matematis.

C. Subjek populasi dan subjek sampel

(42)

D. Instrumen penelitian

D.1 Tes kemampuan pemecahan masalah

Tes ini terdiri dari seperangkat tes kemampuan pemecahan masalah matematis berbentuk soal uraian dengan indikator-indikator: Memahami masalah, merencanakan pemecahan masalah, melakukan perhitungan atau melaksanakan rencana, dan memeriksa kembali. Pemberian skor pemecahan masalah ini mengadopsi pedoman penskoran kemampuan pemecahan masalah yang dikemukakan oleh Ratnaningsih (Setiawan, 2008) sebagai berikut:

Tabel 3.1

Pedoman Penskoran Kemampuan Pemecahan Masalah

Skor Memahami

Masalah

Merencanakan

Pemecahan Melakukan Perhitungan

Memeriksa kembali

(43)

Untuk validitas isi dari perangkat tes, dimintakan pertimbangan dari teman-teman kuliah yang kemudian dikonsultasikan dengan pembimbing. Perangkat tes yang sudah direvisi kemudian diujicobakan untuk dilihat validitas butir soal, reliabilitas tes, daya pembeda butir soal dan tingkat kesukaran butir soal. Analisis akan menggunakan program SPSS 17.0.

D.1.1 Analisis Validitas Butir Soal

Validitas butir soal digunakan untuk mengetahui dukungan suatu butir soal terhadap skor total. Jadi disini skor-skor yang ada pada butir soal yang dimaksud dikorelasikan dengan skor total menggunakan rumus korelasi Product Moment dari Pearson:

r : koefisien korelasi antara variabel X dan variabel Y

X : skor item Y : skor total

Selanjutnya koefisien korelasi hasil perhitungan di interpretasikan dengan klasifikasi yang menurut Suherman dan Kusumah (1990:147) adalah sebagai berikut:

(44)

0,40 < rxy ≤ 0,60 : validitas sedang 0,20 < rxy ≤ 0,40 : validitas rendah 0,00 < rxy ≤ 0,20 : sangat rendah, dan

rxy ≤ 0,00 : tidak valid

Dari hasil uji coba yang dilakukan terhadap 42 siswa kelas XII IPA-1SMAN I Lembang, dan hasil perhitungan menggunakan program SPSS 17.0 untuk koefisien

korelasi Product Moment dari Pearson, diperoleh r seperti pada tabel 3.2 berikut: xy

Tabel 3.2

Validitas Uji Coba Tes Pemecahan Masalah Matematis

Nomor Soal rxy Interpretasi

1 0,552 validitas sedang

2 0,403 validitas sedang

3 0,718 validitas tinggi

4 0,609 validitas tinggi

5 0,694 validitas tinggi

6 0,394 validitas rendah

(45)

D.1.2 Analisis Reliabilitas Tes

Reliabilitas tes adalah tingkat keajegan suatu tes. Tes yang reliabel adalah tes yang menghasilkan skor yang konsisiten (tidak berubah-ubah). Perhitungan reliabilitas tes menggunakan rumus Alpha sebagai berikut:

r : derajat reliabilitas yang dicari

2

Selanjutnya nilai r11 di atas diinterpretasikan menurut kategori Guilford

(Suherman dan Kusumah, 1990:177) sebagai berikut:

11

r ≤ 0,20 : derajat reliabilitas sangat rendah

0,20 < r 11 ≤ 0,40 : derajat reliabilitas rendah

0,40 < r 11 ≤ 0,70 : derajat reliabilitas sedang

0,70 < r 11 ≤ 0,90 : derajat reliabilitas tinggi

0,90 < r11 ≤ 1,00 : derajat reliabilitas sangat tinggi.

(46)

reliabilitas untuk soal pemecahan masalah matematis yaitu r = 0,560 menunjukkan 11

bahwa reliabilitas soal diinterpretasikan sedang.

Gambar 3.1. hasil Perhitungan Reliabilitas Uji Coba Tes

D.1.3 Analisis Daya Pembeda

Analisis daya pembeda (DP) dilakukan untuk mengetahui perbedaan kemampuan siswa yang pandai (kelompok atas) dan lemah (kelompok bawah) melalui butir-butir soal yang diberikan. Rumus yang digunakan adalah:

DP = skor rata-rata kelompok atas – skor rata-rata kelompok bawah skor maksimum soal

Hasil perhitungan diinterpretasikan dengan klasifikasi sebagai berikut: DP ≤ 0,00 : sangat jelek

(47)

0,40 < DP ≤ 0,70 : baik

0,70 < DP ≤ 1,00 : sangat baik. (Suherman dan Kusumah, 1990:202) Dari hasil perhitungan terhadap data hasil uji coba diperoleh daya pembeda tiap butir soal seperti tertera pada tabel 3.3 berikut:

Tabel 3.3

Analisis Daya Pembeda Butir Soal Tes Pemecahan Masalah Matematis

Nomor Soal Daya Pembeda Interpretasi

1 0,2818 cukup

2 0,2091 cukup

3 0,4727 baik

4 0,2455 cukup

5 0,6636 baik

6 0,1455 jelek

Hasil perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada halaman 201. D.1.4 Analisis Tingkat Kesukaran

Tingkat kesukaran dari setiap butir soal dihitung berdasarkan jawaban seluruh siswa yang mengikuti tes. Rumus yang digunakan adalah:

N B TK =

Keterangan:

TK : tingkat kesukaran

(48)

Hasil perhitungan diinterpretasikan dengan klasifikasi yang menurut Suherman dan Kusumah (1990:213) adalah sebagai berikut:

TK = 0,00 : soal terlalu sukar 0,00 < TK ≤ 0,30 : soal sukar 0,30 < TK ≤ 0,70 : soal sedang 0,70 < TK < 1,00 : soal mudah

TK = 1,00 : soal terlalu mudah.

Dari hasil perhitungan diperoleh tingkat kesukaran tiap butir soal seperti tertera pada tabel 3.4.

Tabel 3.4

Hasil Analisis Tingkat Kesukaran Butir Soal Tes Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis

Nomor Soal Tingkat Kesukaran Interpretasi

1 0,225 sukar

2 0,310 sedang

3 0,495 sedang

4 0,400 sedang

5 0,383 sedang

6 0,658 sedang

(49)

D.1.5 Rekapitulasi Analisis Hasil Uji Coba Soal

Secara keseluruhan hasil uji-coba instrumen Tes Pemecahan Masalah Matematis disajikan dalam tabel 3.5 di bawah ini:

Tabel 3.5

Rekapitulasi Analisis Hasil Uji Coba Tes Pemecahan Masalah Matematis Nomor Soal Interpretasi

Validitas

Interpretasi Daya Pembeda

Interpretasi Tingkat Kesukaran

1 sedang cukup sukar

2 sedang cukup sedang

3 tinggi baik sedang

4 tinggi cukup sedang

5 tinggi baik sedang

6 rendah jelek sedang

(50)

D.2 Angket Sikap Siswa

Angket ini dipersiapkan dan dibagikan kepada siswa-siswa di kelompok eksperimen segera sesudah tes akhir (post test) diberikan untuk mengetahui sikap mereka terhadap pembelajaran dan perangkat tes yang mereka terima. Angket yang terdiri dari 30 pernyataan ini akan menggunakan skala Likert dengan empat pilihan jawaban, yaitu Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS). Pernyataan-pernyataan yang diberikan berhubungan dengan pembelajaran berbasis masalah, pembelajaran kooperatif, model koopertif MURDER, perangkat tes pemecahan masalah matematis, dan peran guru selama pembelajaran. Tujuan diberikannya angket ini adalah untuk mengetahui bagaimana sikap siswa SMA terhadap hal-hal tersebut di atas.

D.3 Lembar Observasi

(51)

E. Teknik Analisa Data E.1 Perhitungan Gain

Untuk mengetahui besarnya peningkatan kemampuan pemecahan masalah siswa pada kelompok kontrol dan kelompok eksperimen dilakukan analisis terhadap perbedaan skor-skor pada hasil tes awal (pre-test) dan tes akhir (post-test). Analisa dilakukan menggunakan rumus gain ternormalisasi rata-rata (average normalized gain) yang oleh Hake (2007) dianggap lebih efektif, sebagai berikut:

ε

(g) : gain ternormalisasi rata-rata

θ : persentasi skor pre-test rata-rata

ε : persentasi skor post-test rata-rata

Kriterianya adalah: (g) > 0,7 : tinggi

0,3 < (g) 0,7 : sedang (g) ≤ 0,3 : rendah

Jika diperlukan untuk menentukan gain individual, rumus gain ternormalisasi yang digunakan adalah:

(52)

E.2 Uji Normalitas

Uji normalitas yang dipandang paling baik diantara banyak uji normalitas yang ada menurut Rao (1999) adalah uji Saphiro-Wilk. Langkah-langkah pengujian dengan menggunakan perangkat lunak SPSS 17.0 adalah sebagai berikut:

1. Definisikan hipotesis yang akan diuji yaitu H0: Data berasal dari populasi yang berdistribusi normal.

2. Tentukan tingkat signifikansi α = 0,05.

3. Masukan data dan analisa data menggunakan Descriptive Statistics – Explore – Normality. Pada output akan tampil tabel pengujian seperti berikut:

Tests of Normality

GRUP

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk Statistic df Sig. Statistic df Sig.

XXXXX 1

2

a. Lilliefors Significance Correction

4. Perhatikan kolom sig. dan lihat nilai sig. untuk masing-masing grup pada bagian Shapiro-Wilk saja.

(53)

E.3 Uji Homogenitas

Pengujian homogenitas varians antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui apakah varians kedua kelompok sama atau berbeda, atau apakah data kedua kelompok berasal dari populasi-populasi yang memiliki varians homogen atau tidak. Uji statistiknya menggunakan uji Levene. Langkah-langkah pengujian dengan menggunakan perangkat lunak SPSS 17.0 adalah sebagai berikut:

1. Definisikan hipotesis yang akan diuji yaitu H0: Varians kedua kelompok sama. 2. Tentukan tingkat signifikansi α = 0,05.

3. Masukan data dan analisa data menggunakan Descriptive Statistics – Explore – Levene. Pada output akan tampil tabel pengujian seperti berikut:

Test of Homogeneity of Variance Levene

Statistic df1 df2 Sig.

XXXXX Based on Mean

Based on Median

Based on Median and with adjusted df

Based on trimmed mean

4. Perhatikan nilai sig. pada baris based on mean.

(54)

populasi-populasi yang memiliki varians homogen. Tetapi jika nilai sig. ≤α, maka H0 ditolak, artinya: Varians kedua kelompok tidak sama, atau data kedua kelompok berasal dari populasi-populasi yang memiliki varians tidak homogen

E.4 Uji Perbedaan Rata-rata dan Interaksi

Untuk melihat apakah terdapat perbedaan rata-rata pencapaian siswa pada kelas eksperimen dengan siswa pada kelas kontrol, serta melihat ada tidaknya pengaruh interaksi antara pembelajaran sebagai variabel bebas dan jenis kelamin (gender) siswa sebagai variabel kontrol pada variabel terikat (yaitu: KPMMS) akan digunakan ANOVA dua jalur (Minium, 1993:416). ANOVA dua jalur digunakan hanya jika data pada kedua kelas terdistribusi normal.

Hipotesis yang akan diuji adalah :

2

kelompok eksperimen, yang memperoleh PBM dengan model kooperatif MURDER

2

µ : Rata-rata kemampuan pemecahan masalah matematis populasi

(55)

0

H : Tidak terdapat perbedaaan rata-rata kemampuan pemecahan masalah

matematis antara siswa yang memperoleh pembelajaran berbasis masalah dengan model kooperatif MURDER dan siswa yang memperoleh pembelajaran biasa.

1

H : Rata-rata kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang

memperoleh pembelajaran berbasis masalah dengan model kooperatif MURDER lebih baik dari pada siswa yang memperoleh pembelajaran

biasa.

Dalam penelitian ini, kedua jalur dalam ANOVA yang dimaksud adalah pembelajaran dan perbedaan jenis kelamin (gender). Terdapat dua kelompok pembelajaran yaitu: PBM dengan model kooperatif MURDER dan pembelajaran biasa. Selanjutnya terdapat dua kelompok gender yaitu: perempuan dan laki-laki. Langkah-langkah pengujian dengan menggunakan perangkat lunak SPSS 17.0 adalah sebagai berikut:

1. Tentukan tingkat signifikansi α = 0,05.

(56)

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: XXXX

Source

Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model

Intercept

PEMBELAJARAN

GENDER

PEMBELAJARAN * GENDER

Error

Total

Corrected Total

a. R Squared = … (Adjusted R Squared = …)

3. Perhatikan nilai sig. untuk baris-baris PEMBELAJARAN, GENDER, dan PEMBELAJARAN*GENDER.

4. Lakukan pengujian untuk masing-masing faktor PEMBELAJARAN, GENDER, dan PEMBELAJARAN*GENDER (interaksi) dengan kriteria pengujian sebagai berikut:

a. Faktor PEMBELAJARAN atau GENDER

(57)

gender) lebih baik dari rata-rata KPMMS kelompok kontrol (atau gender

lainnya). b. Faktor Interaksi

Jika nilai sig. >α, maka H0 diterima, artinya: Tidak terdapat interaksi antara pembelajaran dengan gender dalam hal KPMMS. Tetapi jika nilai sig. ≤α, maka H0 ditolak, artinya: Terdapat interaksi antara pembelajaran dengan gender dalam hal KPMMS.

Jika data pada salah satu atau kedua kelas tidak terdistribusi normal, maka digunakan pengujian nonparametrik, yaitu uji Man-Whitney (uji-U). Langkah-langkah pengujian dengan menggunakan perangkat lunak SPSS 17.0 adalah sebagai berikut:

1. Tentukan tingkat signifikansi α = 0,05.

2. Masukan data dan analisa data menggunakan Nonparametric Test – 2 Independent Samples – Mann-Whitney U. Pada output akan tampil tabel

(58)

Test Statisticsa

GAIN

Mann-Whitney U

Wilcoxon W

Z

Asymp. Sig. (2-tailed)

a. Grouping Variable: PEMBELAJARAN

3. Perhatikan nilai pada baris Asymp. Sig. (2-tailed).

4. Karena bentuk uji perbedaan rata-rata dalam penelitian ini adalah satu sisi, sementara pada tabel terdapat nilai sig. untuk dua sisi, maka kriteria

pengujiannya adalah: Tolak H0 jika nilai ≤α 2

. sig

, dan terima H0 jika nilai

α >

2 . sig

. Interpretasinya sama dengan pada pengujian ANOVA dua jalur

untuk faktor pembelajaran.

F. Prosedur Penelitian

(59)

Gambar 3.2. Alur Penelitian IDENTIFIKASI MASALAH

PENYUSUNAN INSTRUMEN

UJI COBA INSTRUMEN

ANALISIS HASIL UJI COBA

TES AWAL

KELOMPOK KONTROL (Pembelajaran Biasa) KELOMPOK EKSPERIMEN

(PBM dan MURDER, angket siswa, dan observasi)

TES AKHIR

ANALISIS KEMAMPUAN

PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS

TEMUAN

KESIMPULAN

(60)

BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada bab sebelumnya, diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Siswa SMA yang memperoleh pembelajaran berbasis masalah dengan model kooperatif MURDER memiliki kemampuan pemecahan masalah matematis yang lebih baik, jika dibandingkan dengan siswa yang memperoleh pembelajaran biasa. Hal ini terjadi baik untuk siswa perempuan maupun siswa laki-laki.

2. Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa pada kelas yang menggunakan pembelajaran berbasis masalah dengan model koopertatif MURDER lebih baik dari siswa pada kelas yang menggunakan pembelajaran

biasa. Berdasarkan tabel uji ANOVA dua jalur sebagai hasil pengolahan data dengan SPSS, peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa pada kelas eksperimen itu lebih baik, bukan hanya pada tingkat signifikansi yang ditentukan, tetapi juga pada tingkat signifikansi yang lebih kecil.

(61)

siswa laki-laki lebih baik dari pada siswa perempuan. Sedangkan untuk siswa yang memperoleh pembelajaran biasa, peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa perempuan lebih baik dari pada siswa laki-laki.

4. Kebanyakan siswa menunjukkan sikap yang positif terhadap yang pembelajaran berbasis masalah dan model kooperatif MURDER yang mereka peroleh. Bekerja dengan pasangan yang merupakan teman mereka membuat hampir seluruh siswa memberi respon yang sangat positip terhadap pembelajaran kooperatif.

5. Pandangan guru pemerhati terhadap pembelajaran berbasis masalah dengan model kooperatif MURDER adalah positif. Guru pemerhati yang melakukan observasi terhadap perilaku siswa selama pembelajaran, berpendapat bahwa pembelajaran berbasis masalah menolong anak untuk lebih memahami konsep dan mengaplikasikannya pada ilmu matematika itu sendiri atau pada kehidupan sehari-hari. Sementara tata-cara dalam model kooperatif MURDER akan memungkinkan siswa untuk saling berbagi (mengisi), dan hal itu dapat dilakukan dengan efektif karena siswa bekerja berpasangan dengan temannya.

B. Rekomendasi

Berdasarkan hasil penelitian dan temuan-temuan peneliti selama melakukan penelitian, peneliti memberikan rekomendasi sebagai berikut:

(62)

pembelajaran matematika untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa, khususnya untuk materi penggunaan turunan; dan selanjutnya dapat meningkatkan jumlah siswa yang dinyatakan tuntas.

2. Untuk peneliti selanjutnya, dapat melakukan penelitian dengan menggunakan pembelajaran berbasis masalah dengan model kooperatif MURDER untuk materi pelajaran yang berbeda, pada tingkatan pendidikan yang berbeda, atau terhadap kompetensi matematika yang lain yang belum terjangkau dalam penelitian ini. 3. Dalam menggunakan pembelajaran berbasis masalah dengan model kooperatif

MURDER harus dipastikan bahwa kontrol dilakukan dengan seksama agar tidak

(63)

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad (2005). Kemampuan Pemahaman dan Pemecahan Masalah Matematika Siswa SLTP dengan Model pembelajaran Berbasis Masalah. Tesis. Bandung: UPI

Angliheri, J. (2006). Scaffolding Practices That Enhance Mathematics Learning. Dalam Journal of Mathematics Teacher Education. Tersedia:

http://resources.metapress.com/pdf-preview.axd?code=x7573668m4228781&size=largest [7 Juli 2010]

Arends, R.I. (2008). Learning To Teach – Belajar Untuk Mengajar. Jakarta: Pustaka Pelajar.

Arikunto, S. (2008). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Brown, M. et al. (2007). “I Would Rather Die”: Attitudes of 16 year-olds Towards

Their Future Participation in Mathematics. Dalam Proceedings of The British Society for Research into Learning Mathematics. Vol. 27, 1 March 2007.

Carr, M. et al. (1999). Gender Differences in First Grade Mathematics Strategy Use: Parents and Teachers Contribution. Dalam Journal for Research in Mathematics Education. Vol. 30, No. 1, 1999.

Charles, R.I. & Silver, E.A. (1989). The Teaching and Assessing of Mathematical Problem Solving, Volume 3. Virginia: The NCTM Inc.

Departemen Pendidikan Nasional. (2006). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan dan Menengah. Jakarta: Depdiknas.

Edwards, J.A. & Jones, K. (2001). Exploratory Talk Within Collaborative Small Groups in Mathematics. Dalam Proceedings of The British Society for Research into Learning Mathematics. Vol. 21 (3), Dec. 2001.

Fatah, A. (2008). Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa SMA Melalui Pembelajaran dengan Pendekatan Open-Ended. Tesis. Bandung: UPI

(64)

Fraenkel, J.R. & Wallen, N.E. (2006). How to Design and Evaluate Research in Education. New York: The McGraw-Hill Companies, Inc.

Freitas, E. (2008). Critical Mathematics Education: Recognizing The Ethical Dimension of Problem Solving. Dalam International Electronic Journal of mathematic Education. Vol. 3 (2), July 2008. Tersedia: www.iejme.com [29 Oktober 2009]

Grevholm, B. & Hanna, G. (1995). Gender and Mathematics Education. Dalam Mathematics Education research Journal. Vol. 8 No. 1 (1996). Tersedia: http://www.google.co.id/search?q=Gender+and+mathematics

+education%2C+Grevholm&ie=utf-8&oe=utf-8&aq=t&rls=org.mozilla:en-US:official&client=firefox-a [8 Juli 2010] Hafriani (2004). Mengembangkan Kemampuan pemecahan Masalah Matematika

Mahasiswa melalui Problem-Centered Learning. Tesis. Bandung: UPI.

Hake, R.R. (2007). Should We Measure Change? Yes! Tersedia:

http://www.physics.indiana. edu/~hake/MeasChangeS.pdf [27 September 2009]

Harianto, A. (2009, 1 Juli). Sinergi Katrol Mutu Pendidikan. Jawa Pos. Tersedia: http://www.jawapos.co.id/metropolis/index.php?act=detail&nid=51106 [1 Juli 2009]

Jacob, G.M., Lee, C. & Ng, M. (1997). Co-operative learning in the thinking classroom. Paper presented at the International Conference of Thinking,

Singapore. Tersedia:

http://www.georgejacobs.net/Cooperative_Learning_in_the_Thinking_Cla ssroom.doc. [5 Agustus 2009]

Killen (1998). Effective Teaching Strategies – Lesson from Research and Practice. Australia: Sosial Science Press.

Kolawole, E.B. (2007). Effect of competitive and cooperative learning strategies on academic performance of Nigerian students in mathematics. Dalam Educational Research and Review. Vol.3(1), pp 033-037, January 2008. Tersedia: http://www.academicjournals.org/ERR [Maret 2009]

(65)

Marshall (2003). Getting to the Heart of Problem Based Learning. PBL Symposium 2003. Tersedia: http://www.imsa.edu/center [4 Agustus 2009]

McPhee A.D. (2002). Problem-based learning in initial teacher education: taking the agenda forward. Dalam Journal of Educational Enquiry [online], Vol. 3

(1), 60-78. Tersedia:

http://www.literacy.unisa.edu.au/jee/papers/JEEVol3No1/Paper4.pdf [16 maret 2009]

Minium (1993). Statistical Reasoning in Psychology and Education. Canada: John Wiley & Sons, Inc.

Nasir (2008). Meningkatkan Kemampuan Koneksi dan Pemecahan Masalah Matematik Siswa SMA yang Berkemampuan rendah melalui Pendekatan Kontekstual. Tesis. Bnadung: UPI.

Palsdottir, G. (2007). Girl’s Belief about the learning of Mathematics. Dalam TMME Monograph 3. Tersedia:

Posamentier, A.S. & Stepelman, J. (2002). Teaching Secondary Mathematics Techniques and Enrichment Units (sixth ed.). New Jersey: Pearson Education, Inc.

Polya (1985). How toSolve It, a new aspect of Mathematical Method. New Jersey: Princenton.

Raharjo (2009). Pengaruh Pembelajaran Kooperatif GI dan PBL Terhadap Hasil Belajar Siswa. Dalam Jurnal Pendidikan Matematika dan Sains. Vol. 14, No 1. Tersedia: http://journal.uny.ac.id/index.php/jpms/index [7 Juli 2010] Rao, C.R. & Gupta, S.D. (1999). Selected Papers of C.R. Rao, Vol. 4. New Delhi:

New Age International (P) Ltd. Tersedia:

Gambar

Tabel 3.1 Pedoman Penskoran Kemampuan Pemecahan Masalah
Tabel 3.2 Validitas Uji Coba Tes Pemecahan Masalah Matematis
Gambar 3.1. hasil Perhitungan Reliabilitas Uji Coba Tes
Tabel 3.3 Analisis Daya Pembeda Butir Soal Tes Pemecahan Masalah Matematis
+3

Referensi

Dokumen terkait

kombinasi gerak dasar lokomotor, non- lokomotor dan manipulatif sesuai dengan irama (ketukan) tanpa/ dengan musik dalam aktivitas gerak berirama.

pembelajaran gerak dasar lompat dengan menggunakan media permainan pada.. siswa kelas IV SDN Babakanbandung Kecamatan Situraja

31 Membedakan kata-kata yang mempu- nyai suku kata awal yang sama (misal kaki-kali), suku kata akhir yang sama (misal nama-sama, dll), dan yang suku katanya sama (misal

Hasil: Hasil penelitian ini menunjukkanterdapat hubungan yang signifikan secara statistik antara penggunaan gadget terhadap sleep apenea, insomnia, dan narcolepsy pada

Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Proyek Pendidikan Tenaga guru..

tua/teman berbicara Memberikan pendapat tentang sesuatu persoalan Menirukan berbagai suara tertentu Menyebutkan dan menceritakan perbedaan dua buah benda Mengelompokan

Skripsi/Tesis/Disertasi ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun yang dirujuk. telah saya nyatakan

Konsentrasi nitrat di