• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi kerasionalan penggunaan antibiotika untuk Infeksi Menular Seksual [IMS] pada tahun 2006 di kalangan Pekerja Seks Komersial [PSK] di lokasi Pasar Kembang Yogyakarta.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Evaluasi kerasionalan penggunaan antibiotika untuk Infeksi Menular Seksual [IMS] pada tahun 2006 di kalangan Pekerja Seks Komersial [PSK] di lokasi Pasar Kembang Yogyakarta."

Copied!
115
0
0

Teks penuh

(1)

INTISARI

Infeksi Menular Seksual (IMS) merupakan infeksi yang disebabkan oleh patogen (bakteri, virus, atau jamur) dan ditularkan melalui berhubungan seksual. Pekerja Seks Komersial (PSK) wanita merupakan representasi dari kelompok yang berisiko tinggi terhadap IMS karena menuntut untuk berhubungan seksual dengan berganti-ganti pasangan. Dari penelitian Putranto (2002) dan Sutama (2005) menunjukkan PSK menggunakan antibiotika dengan alasan mencegah IMS dan penggunaan antibiotika tidak rasional. Pemakaian antibiotika yang tidak rasional dapat menimbulkan terjadinya resistensi mikroorganisme terhadap antibiotika yang digunakan.

Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui profil pengetahuan PSK tentang IMS dan antibiotika; mengetahui pola pemilihan dan penggunaan antibiotika pada tahun 2006; membandingkan pola penggunaan antibiotika yang digunakan pada tahun 2002, 2005, dan 2006; serta mengetahui kerasionalan dan Drug Therapy Problems yang berkaitan dengan penggunaan antibiotika di kalangan PSK di lokasi Pasar Kembang Yogyakarta.

Penelitian ini termasuk penelitian jenis non eksperimental. Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan survei epidemiologi deskriptif. Metode penelitian dengan metode kuisioner dan wawancara. Data yang diperoleh dianalisis dengan perhitungan prosentase berdasarkan variabel yang ingin diketahui.

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa profil pengetahuan PSK tentang IMS (84,3%) dan antibiotika (90,2%) sudah tinggi. Pola pemilihan dan penggunaan antibiotika oleh PSK pada tahun 2006 ampisilin (40%), amoksisilin (30%), dan tetrasiklin (30%). Pola pemilihan dan penggunaan pada tahun 2002, tahun 2005 dan tahun 2006 tidak berbeda. Penggunaan antibiotika oleh PSK belum rasional dengan Drug Therapy Problems yang terjadi adalah Unnecessary drug (menggunakan antibiotika setiap hari), Ineffective drug (antibiotika digunakan untuk mengobati pegal-pegal), Dosage too low (antibiotika tidak dihabiskan sebelum waktunya), dan Noncompliance (tidak mematuhi aturan pakai).

Kata Kunci : antibiotika, Drug Therapy Problems, Infeksi Menular Seksual (IMS), Pekerja Seks Komersial (PSK)

(2)

ABSTRACT

Sexually Transmitted Infections (STIs) are transmitted is through sexual contact. STIs can be caused by mainly bacteria, viruses, or protozoa. The women sex workers have the highest risk to be infected STIs. From Putranto (2002) and Sutama (2005) researches, the usage of antibiotics were not rational, the aim of use of antibiotic was for preventing STIs. Non-rational use of antibiotic rose the antibiotic-resistant bacteria.

A research has been done to observe the women sex worker’s knowledge profile about STIs and antibiotic; the pattern of selection and usage in year 2006; to compare the use of antibiotics in the researching year 2002, 2005, and 2006; to evaluate the rationality and Drug Therapy Problems (DTP) of antibiotics used among women sex workers in Pasar Kembang Yogyakarta.

The research was non-experimental research using the descriptive epidemiologic survey. The data were obtained using interview and quistioner method.

The result showed that women sex worker’s knowledge score 84,3% for sexual transmitted infections and 90,2% for antibiotics. Antibiotics used in year 2006 are ampicillin (40%), amoxicillin (30%), and tetracyclin (30%). There were no differences of the antibiotics in year 2002, 2005, and 2006. Some identified DTP were unnecessary, ineffective, dosage too low, and non-compliance were antibiotics usage.

Keywords: antibiotics, Drug Therapy Problems (DTP), Sexual Transmitted Infections (STIs), women sex worker

(3)

EVALUASI KERASIONALAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA UNTUK INFEKSI MENULAR SEKSUAL (IMS) pada TAHUN 2006 DI KALANGAN PEKERJA SEKS KOMERSIAL (PSK) DI LOKASI PASAR

KEMBANG YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh : Yulia Ratika Siwi NIM : 038114052

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(4)
(5)
(6)

HALAMAN PERSEMBAHAN

Hanya percaya padaNya dan tidak ada yang tidak

dapat kamu lakukan, terlebih berjalan di atas air...

Dan tetap berpeganglah pada didikan, janganlah

melepaskannya, peliharalah dia, karena dialah

hidupmu (Amsal 4:13)

KUPERSEMBAHKAN UNTUK:

YESUS KRISTUS YANG SELALU ADA UNTUKKU

MAMA DAN PAPA TERKASIH MBAK TYAS DAN MAS RONALDO

TERKASIH KEKASIHKU WIWID SAHABAT-SAHABATKU ALMAMATERKU TERCINTA

(7)
(8)

PRAKATA

Puji dan terima kasih untuk Tuhan Yesus atas berkat dan penyertaan yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi yang berjudul Evaluasi Kerasionalan Penggunaan Antibiotika untuk Infeksi Menular Seksual (IMS) pada Tahun 2006 di Kalangan Pekerja Seks Komersial di Pasar Kembang Yogyakarta.

Selama pelaksanaan penelitian hingga penyusunan skripsi, penulis memperoleh banyak bantuan, dukungan, doa, dan kerja sama dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada

1. Ibu Rita Suhadi, M.Si., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas

Sanata Dharma Yogyakarta serta selaku dosen pembimbing dan dosen penguji yang telah memberikan bantuan berupa arahan, kritik, saran, dorongan serta selalu sabar dalam membimbing sehingga penelitian dan penyusunan skripsi ini dapat berjalan lancar.

2. Ibu dr. Luciana Kuswibawati, M.Kes. selaku dosen pembimbing dan penguji

yang selalu memberikan arahan, saran, kritik, dan dorongan serta selalu sabar dalam membimbing sehingga penelitian dan penyusunan skripsi ini dapat berjalan lancar.

3. Bapak Drs. Mulyono, Apt. selaku dosen penguji yang telah memberikan saran

dan kritik yang bermanfaat bagi skripsi ini.

4. Bapak Yosef Wijoyo, M. Si., Apt. selaku dosen penguji yang telah

memberikan saran dan kritik yang bermanfaat bagi skripsi ini.

(9)

5. Papaku Endro Kismolo, S.T. terkasih atas ijin ke Pasar Kembang, atas

dukungan, doa, dan biaya selama kuliah dan selama penelitian berlangsung hingga akhir penyusunan skripsi ini serta kasih, cinta, perhatian yang selalu tercurah setiap detiknya.

6. Mamaku Widhiati, B.Sc. terkasih yang telah melahirkan, mengajarkan serta

memberikan doa, kasih, cinta, ijin, dan perhatian setiap detiknya hingga penulis mampu bertahan dalam hidup dan menyelesaikan skripsi ini.

7. Mbak Anugrahenny Sekrening Tyas, S.T. dan Mas Ronaldo Saragi S.T. yang selalu mendukung, mengajarkan, dan menanamkan prinsip untuk selalu berusaha dalam penyusunan skripsi dan menghargai setiap pemberian Tuhan. 8. Kekasihku Antonius Nugraha Widhi Pratama, S.Farm., Apt. yang saat ini

berkarya di Atambua, untuk cinta, semangat, teguran, dan doa selama ini sehingga membuatku dapat berpikir untuk menjadi lebih dewasa. Terima kasih pula karena selalu menemaniku ke Pasar Kembang.

9. Sahabatku Irwan, Madya, Andreas, Vian, Budiarto, Punto, dan Hengky untuk

semangat, keceriaan, olokan, pertemanan, dan membuat aku selalu menjadi paling cantik di antara kalian selam ini.

10. Sahabat wanitaku satu-satunya Vera untuk selalu menjadi teman dan saudara waktu senang dan susah serta perhatian dan dukungan melalui canda tawa dan SMS yang telah diberikan selama ini.

11. Mas Uut untuk komputerku yang tidak pernah rewel serta Nug, Risang, Ratih,

dan Sukma yang selalu membuatku merasa sebagai kakak.

(10)

12. Teman-teman kelompok Praktikum C (Anin, Chika, Ratna, Komang, Eveline,

Hartono, Madya, Titien, Devi, Indu, Punto, Esti, Budiarto, Tata, Vian, Rosa, Maria, Ratih) atas canda tawa, suka duka selama ini serta dukungan dan keakraban yang selalu terpancar baik saat kita bersama maupun berpisah. 13. Mbak Severina (Ririn) dan Yoga (Kobo) untuk data kuisioner dan wawancara

sehingga skripsi ini menjadi ada saat ini,

14. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu

penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada skripsi ini. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritika dan saran yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca.

Yogyakarta, Agustus 2007

Penulis

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ...v

PRAKATA... vi

DAFTAR ISI... ix

DAFTAR TABEL... xiii

DAFTAR GAMBAR ...xv

DAFTAR LAMPIRAN... xviii

INTISARI... xix

ABSTRACT...xx

BAB I. PENGANTAR ...1

A. Latar Belakang ...1

1. Perumusan Masalah ...2

2. Keaslian Penelitian...2

3. Manfaat Penelitian ...3

B. Tujuan Penelitian...3

BAB II. PENELAAH PUSTAKA ...5

A. Antibiotika ...5

1. Definisi...5

(12)

2. Penggolongan...5

3. Resistensi ...7

B. Infeksi Menular Seksual...9

1. Definisi...9

2. Jenis...10

C. Prinsip Terapi Antibiotika yang Rasional ...17

1. Terapi yang rasional...17

2. Pemilihan dan penggunaan antibiotika yang rasional...19

D. Antibiotika Untuk Pengobatan IMS...21

1. Pengobatan infeksi gonore ...21

2. Pengobatan infeksi klamidia ...22

3. Pengobatan infeksi sifilis ...23

4. Pengobatan infeksi herpes...24

5. Pengobatan infeksi trikomoniasis ...25

E. Drug Therapy Problems...26

1. Definisi Drug Therapy Problems...26

2. Kategori Drug Therapy Problems...27

F. Keterangan Empiris...30

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ...31

A. Jenis dan rancangan Penelitian...31

B. Definisi operasional ...31

C. Subjek Penelitian...32

D. Metode Penelitian ...33

(13)

E. Tata Cara Penelitian ...34

F. Analisis Data Penelitian ...34

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ...35

A. Profil Pengetahuan PSK tentang IMS dan Antibiotika ...35

1. Pengetahuan IMS ...35

2. Pengetahuan antibiotika ...41

3. Pengetahuan aturan pakai antibiotika...44

4. Pengetahuan efek samping antibiotika...48

5. Pengetahuan resistensi antibiotika ...51

B. Pola Pemilihan dan Penggunaan Antibiotika...53

1.Pola pemilihan dan penggunaan antibiotika PSK di Pasar Kembang Yogyakarta tahun 2006 ...53

2. Kepatuhan PSK terhadap aturan pakai antibiotika...55

3. Tindakan mengganti obat...58

C. Perbandingan Pola Penggunaan Antibiotika tahun 2002, tahun 2005, dan tahun 2006 ...62

D. Evaluasi Kerasionalan Pemilihan dan Penggunaan Antibiotika (Drug Therapy Problems)...63

1. Unnecessary drug therapy ... 63

2. Dosage too low... 64

3. Ineffective drug therapy ... 65

4. Noncompliance ... 65

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN...67

(14)

A. Kesimpulan ...67

B. Saran ...68

DAFTAR PUSTAKA ...69

LAMPIRAN...72

(15)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel I. Kondisi klinis infeksi gonore...11

Tabel II. Kondisi klinis infeksi klamidia...13

Tabel III. Kondisi klinis infeksi sifilis ...14

Tabel IV. Kondisi klinis infeksi trikomoniasis ...17

Tabel V. Pengobatan infeksi gonore ...21

Tabel VI. Pengobatan infeksi klamidia...23

Tabel VII. Pengobatan infeksi sifilis...24

Tabel VIII. Pengobatan infeksi herpes...25

Tabel IX. Pengobatan infeksi trikomoniasis ...26

Tabel X. Pengetahuan PSK tentang IMS di Pasar Kembang Yogyakarta tahun 2006...36

Tabel XI. Pernah tidaknya PSK di Pasar Kembang mengalami IMS pada tahun 2006...38

Tabel XII. Pengetahuan PSK tentang antibiotika di Pasar Kembang Yogyakarta tahun 2006...41

Tabel XIII. Pengetahuan PSK di Pasar Kembang tentang aturan pakai antibiotika tahun 2006...46

Tabel XIV. Pernah tidaknya di Pasar Kembang merasakan efek samping antibiotika pada tahun 2006 ...49

Tabel XV. Pengetahuan PSK di Pasar Kembang tentang resistensi antibiotika tahun 2006...51

(16)

Tabel XVI. Terapi IMS pada PSK di Klinik Griya Lentera Yogyakarta tahun

2006...54 Tabel XVII. Profil pemilihan dan penggunaan antibiotika oleh PSK di Pasar

Kembang Yogyakarta tahun 2006...55 Tabel XVIII. Kepatuhan PSK terhadap aturan pakai antibiotika...56 Tabel XIX. Tindakan PSK untuk mengganti antibiotika ...58 Tabel XX. Perbandingan antibiotika yang digunakan PSK pada tahun 2002,

tahun 2005, dan tahun 2006 di Pasar Kembang Yogyakarta ...61

(17)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Pengetahuan IMS berdasarkan profil umur PSK di Pasar Kembang

tahun 2006...37 Gambar 2. Pengetahuan IMS berdasarkan profil lama kerja PSK di Pasar

Kembang tahun 2006 ...37 Gambar 3. Pengetahuan IMS berdasarkan profil lama kerja PSK di Pasar

Kembang tahun 2006 ...38 Gambar 4. Pernah tidaknya PSK di Pasar Kembang mengalami IMS ditinjau dari

umur pada tahun 2006...40 Gambar 5. Pernah tidaknya PSK di Pasar Kembang mengalami IMS ditinjau dari

lama kerja pada tahun 2006...40 Gambar 6. Pernah tidaknya PSK di Pasar Kembang mengalami IMS ditinjau dari

tingkat pendidikan pada tahun 2006 ...41 Gambar 7. Pengetahuan antibiotika berdasarkan profil umur PSK di Pasar

Kembang tahun 2006 ...43 Gambar 8. Pengetahuan antibiotika berdasarkan profil lama kerja PSK di Pasar

Kembang tahun 2006 ...44 Gambar 9. Pengetahuan antibiotika berdasarkan profil tingkat pendidikan PSK di

Pasar Kembang tahun 2006...44 Gambar 10. Pengetahuan aturan pakai antibiotika berdasarkan profil umur PSK di

Pasar Kembang tahun 2006...47

(18)

Gambar 11. Pengetahuan aturan pakai antibiotika berdasarkan profil lama kerja PSK di Pasar Kembang tahun 2006 ...47 Gambar 12. Pengetahuan aturan pakai antibiotika berdasarkan profil tingkat

pendidikan PSK di Pasar Kembang tahun 2006 ...48 Gambar 13. Pernah tidaknya PSK di Pasar Kembang mengalami efek samping

antibiotika ditinjau dari umur pada tahun 2006 ...50 Gambar 14. Pernah tidaknya PSK di Pasar Kembang mengalami efek samping

antibiotika ditinjau dari lama kerja pada tahun 2006 ...50 Gambar 15. Pernah tidaknya PSK di Pasar Kembang mengalami efek samping

antibiotika ditinjau dari tingkat pendidikan pada tahun 2006...50 Gambar 16. Pengetahuan PSK di Pasar Kembang tentang resistensi berdasarkan

profil umur pada tahun 2006 ...52 Gambar 17. Pengetahuan PSK di Pasar Kembang tentang resistensi berdasarkan

profil lama kerja pada tahun 2006...53 Gambar 18. Pengetahuan PSK di Pasar Kembang tentang resistensi berdasarkan

profil tingkat pendidikan pada tahun 2006...53 Gambar 19. Prevalensi kasus IMS di Pasar Kembang tahun 2006 ...54 Gambar 20. Kepatuhan PSK terhadap aturan pakai antibiotika di Pasar Kembang

berdasarkan profil umur pada tahun 2006...57 Gambar 21. Kepatuhan PSK terhadap aturan pakai antibiotika di Pasar Kembang

berdasarkan profil lama kerja pada tahun 2006 ...57 Gambar 22. Kepatuhan PSK terhadap aturan pakai antibiotika di Pasar Kembang

berdasarkan profil tingkat pendidikan pada tahun 2006 ...58

(19)

Gambar 23. Tindakan PSK di Pasar Kembang untuk mengganti antibiotika berdasarkan profil umur pada tahun 2006...60 Gambar 24. Tindakan PSK di Pasar Kembang untuk mengganti antibiotika

berdasarkan profil lama kerja pada tahun 2006 ...60 Gambar 25. Tindakan PSK di Pasar Kembang untuk mengganti antibiotika

berdasarkan profil tingkat pendidikan pada tahun 2006 ...60

(20)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Lembar kuisioner...72

Lampiran 2. Hasil rekap kuisioner ...73

Lampiran 3. Daftar terminologi medik ...74

Lampiran 4. Hasil wawancara terstruktur ...78

(21)

INTISARI

Infeksi Menular Seksual (IMS) merupakan infeksi yang disebabkan oleh patogen (bakteri, virus, atau jamur) dan ditularkan melalui berhubungan seksual. Pekerja Seks Komersial (PSK) wanita merupakan representasi dari kelompok yang berisiko tinggi terhadap IMS karena menuntut untuk berhubungan seksual dengan berganti-ganti pasangan. Dari penelitian Putranto (2002) dan Sutama (2005) menunjukkan PSK menggunakan antibiotika dengan alasan mencegah IMS dan penggunaan antibiotika tidak rasional. Pemakaian antibiotika yang tidak rasional dapat menimbulkan terjadinya resistensi mikroorganisme terhadap antibiotika yang digunakan.

Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui profil pengetahuan PSK tentang IMS dan antibiotika; mengetahui pola pemilihan dan penggunaan antibiotika pada tahun 2006; membandingkan pola penggunaan antibiotika yang digunakan pada tahun 2002, 2005, dan 2006; serta mengetahui kerasionalan dan Drug Therapy Problems yang berkaitan dengan penggunaan antibiotika di kalangan PSK di lokasi Pasar Kembang Yogyakarta.

Penelitian ini termasuk penelitian jenis non eksperimental. Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan survei epidemiologi deskriptif. Metode penelitian dengan metode kuisioner dan wawancara. Data yang diperoleh dianalisis dengan perhitungan prosentase berdasarkan variabel yang ingin diketahui.

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa profil pengetahuan PSK tentang IMS (84,3%) dan antibiotika (90,2%) sudah tinggi. Pola pemilihan dan penggunaan antibiotika oleh PSK pada tahun 2006 ampisilin (40%), amoksisilin (30%), dan tetrasiklin (30%). Pola pemilihan dan penggunaan pada tahun 2002, tahun 2005 dan tahun 2006 tidak berbeda. Penggunaan antibiotika oleh PSK belum rasional dengan Drug Therapy Problems yang terjadi adalah Unnecessary drug (menggunakan antibiotika setiap hari), Ineffective drug (antibiotika digunakan untuk mengobati pegal-pegal), Dosage too low (antibiotika tidak dihabiskan sebelum waktunya), dan Noncompliance (tidak mematuhi aturan pakai).

Kata Kunci : antibiotika, Drug Therapy Problems, Infeksi Menular Seksual (IMS), Pekerja Seks Komersial (PSK)

(22)

ABSTRACT

Sexually Transmitted Infections (STIs) are transmitted is through sexual contact. STIs can be caused by mainly bacteria, viruses, or protozoa. The women sex workers have the highest risk to be infected STIs. From Putranto (2002) and Sutama (2005) researches, the usage of antibiotics were not rational, the aim of use of antibiotic was for preventing STIs. Non-rational use of antibiotic rose the antibiotic-resistant bacteria.

A research has been done to observe the women sex worker’s knowledge profile about STIs and antibiotic; the pattern of selection and usage in year 2006; to compare the use of antibiotics in the researching year 2002, 2005, and 2006; to evaluate the rationality and Drug Therapy Problems (DTP) of antibiotics used among women sex workers in Pasar Kembang Yogyakarta.

The research was non-experimental research using the descriptive epidemiologic survey. The data were obtained using interview and quistioner method.

The result showed that women sex worker’s knowledge score 84,3% for sexual transmitted infections and 90,2% for antibiotics. Antibiotics used in year 2006 are ampicillin (40%), amoxicillin (30%), and tetracyclin (30%). There were no differences of the antibiotics in year 2002, 2005, and 2006. Some identified DTP were unnecessary, ineffective, dosage too low, and non-compliance were antibiotics usage.

Keywords: antibiotics, Drug Therapy Problems (DTP), Sexual Transmitted Infections (STIs), women sex worker

(23)

BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang

Infeksi Menular Seksual (IMS) merupakan infeksi yang disebabkan oleh bakteri, jamur, atau virus dan sangat mudah ditularkan dengan berhubungan seksual baik melalui oral, anal, atau melewati vagina. Infeksi Menular Seksual kebanyakan disebabkan oleh karena bakteri, jamur, atau virus dan jika tidak diobati atau mendapat penanganan yang tidak tepat maka infeksi ini akan sulit disembuhkan bahkan dapat menimbulkan kematian. Infeksi Menular Seksual yang tidak diobati dengan benar berisiko mudah terinfeksi virus HIV yang nantinya dapat menjadi AIDS. Jika sudah terkena AIDS maka akan sangat mudah tertular penyakit lain karena AIDS menurunkan sistem kekebalan tubuh.

Pekerja seks komersial perempuan merupakan representasi dari kelompok yang memiliki risiko tinggi terhadap IMS karena pekerjaan yang menuntut untuk berhubungan seksual dengan berganti-ganti pasangan. Di Klinik Griya Lentera (GL) (2006) menyatakan angka prevalensi IMS gonore (GO) (47%) paling tinggi. Pekerja seks komersial yang menjadi subjek penelitian kali ini di lokasi Pasar Kembang Yogyakarta.

(24)

antibiotika yang tidak mengikuti aturan pakai dapat disebabkan kurangnya pengetahuan mereka sehingga antibiotika yang digunakan kadang tidak sesuai dengan sakit yang dialaminya. Penggunaan antibiotika yang salah baik pada sasaran bakteri atau virus dan pada aturan pakai (dosis) dapat menyebabkan sensitifitas obat terhadap bakteri menjadi berkurang bahkan tidak ada. Dengan kata lain, agen penginfeksi (bakteri) dapat menjadi resisten.

1. Perumusan Masalah

Perumusan masalah pada penelitian ini sebagai berikut:

a. seperti apakah profil pengetahuan PSK di Pasar Kembang Yogyakarta tentang

IMS dan antibiotika pada tahun 2006?

b. seperti apakah pola pemilihan dan penggunaan antibiotika yang digunakan

oleh PSK di lokalisasi Pasar Kembang Yogyakarta tahun 2006 untuk terapi IMS?

c. bagaimana perbandingan pola pemilihan dan penggunaan antibiotika untuk

terapi IMS yang digunakan pada tahun 2006 dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sutama (2005) dan Putranto (2002)?

d. apakah antibiotika untuk terapi IMS yang diberikan rasional dan Drug

Therapy Problems apa saja yang terjadi dalam penggunaan antibiotika

tersebut?

2. Keaslian Penelitian

(25)

hal tahun, bulan, dan waktu pelaksanaan. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui profil antibiotika, mengetahui perbandingan pola penggunaan antibiotika yang digunakan pada tahun 2006, tahun 2005, dan tahun 2002, serta mengetahui Drug Therapy Problems yang berkaitan dengan pemilihan dan penggunaan antibiotika dalam terapi IMS di kalangan PSK di lokalisasi Pasar Kembang Yogyakarta tahun 2006.

3. Manfaat penelitian a. Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan dan meningkatkan pengetahuan dalam hal pemilihan dan penggunaan antibiotika untuk terapi IMS.

b. Manfaat praktis

1) Hasil penelitian yang diperoleh dapat digunakan sebagai acuan bagi pihak

terkait dalam menggunakan antibiotika sehingga penggunaan antibiotika tidak menimbulkan Drug Therapy Problems.

2) Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan pihak-pihak

yang terkait dalam menangani masalah penyakit IMS sehingga diharapkan dapat mencegah dan mengurangi penyebaran penyakit IMS.

B. Tujuan 1. Tujuan umum

(26)

2. Tujuan khusus

Penelitian ini bertujuan sebagai berikut:

a. mengetahui profil pengetahuan PSK di Pasar Kembang Yogyakarta tentang IMS dan antibiotika tahun 2006.

b. mengetahui pola pemilihan dan penggunaan antibiotika yang digunakan

oleh PSK di lokalisasi Pasar Kembang Yogyakarta tahun 2006 untuk terapi IMS.

c. membandingkan pola penggunaan antibiotika untuk terapi IMS yang digunakan pada tahun 2006 dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sutama tahun 2005 dan Putranto tahun 2002.

d. Mengetahui kerasionalan penggunaan antibiotika untuk terapi IMS dan

Drug Therapy Problems yang terjadi dalam penggunaan antibiotika

(27)

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA A. Antibiotika

1. Definisi

Pada awalnya antibiotika adalah substansi yang dihasilkan mikroorganisme (bakteri, jamur) yang mampu menghambat pertumbuhan bahkan membunuh mikroorganisme lain (Lullman, Klaus, Ziegler dan Bieger, 2000). Akan tetapi, saat ini yang disebut antibiotika termasuk juga antibakteri sintetis seperti sulfonamida (Chambers dan Sande, 1996). Antibiotika harus efektif menghambat atau membunuh mikroorganisme lain pada konsentrasi yang tidak berbahaya bagi manusia atau hewan (Mutschler dan Derendorf, 1995).

Menurut Jawetz (2001) antibiotika yang ideal harus mempunyai toksisitas selektif. Hal ini menunjukkan bahwa antibiotika toksik bagi sel parasit, tetapi tidak (terlalu) toksik bagi sel hospes (Neal, 1985). Kadang toksisitas selektif lebih bersifat relatif daripada absolut; hal ini dimaksudkan bahwa antibiotika pada konsentrasi yang ditoleransi oleh hospes mungkin berbahaya bagi mikroorganisme yang menginfeksi (Jawetz, 2001).

2. Penggolongan

a. Berdasarkan mekanisme kerja

(28)

1) antibiotika yang menginhibisi sintesis dinding sel (contoh: penisilin,

sefalosporin, dan vankomisin);

2) antibiotika yang menginhibisi/ merusak fungsi permeabilitas membran sel (contoh: amfoterisin, polimiksin, dan colistin);

3) antibiotika yang menginhibisi sintesis protein (contoh: tetrasiklin,

kloramfenikol, dan eritromisin);

4) Antibiotika yang menginhibisi sintesis asam nukleat (contoh: rifampin,

quinolon, dan sulfonamida). b. Berdasarkan tipe efek

Dengan melihat efek antibiotika, secara in vitro efek antibiotika dapat dibedakan menjadi dua yaitu efek bakteriostatik dan efek bakterisidal (Lullman dkk, 2000). Antibiotika dikatakan berefek bakteriostatik jika antibiotika

menginhibisi pertumbuhan mikroorganisme tanpa membunuh mikroorganisme tersebut. Menurut Mutschler dan Derendorf (1995) antibiotika yang bersifat bakteriostatik adalah antibiotika yang menghambat biosintesis protein. Contoh antibiotika yang bersifat bakteriostatik adalah tetrasiklin, kloramfenikol, dan eritromisin (Walker dan Edwards, 1999).

(29)

c. Berdasarkan spektrum aktivitas

Menurut Mutschler dan Derendorf (1995) spektrum aktivitas menunjukkan kisaran seberapa banyak jenis mikroorganisme yang dibunuh/dirusak oleh antibiotika di tempat infeksi dalam tubuh manusia secara in vitro. Berdasarkan spektrum aktivitas, antibiotika dibagi menjadi antibiotika yang berspektrum luas (broad-spectrum) dan antibiotika berspektrum sempit (narrow-spectrum) (Snyder dan Finch, 1990).

Antibiotika berspektrum sempit merupakan antibiotika yang hanya mampu merusak Gram-positif atau Gram-negatif saja. Penisilin G merupakan antibiotika berspektrum sempit karena sangat efektif/mampu melawan bakteri Gram-positif. Antibiotika berspektrum luas merupakan antibiotika yang mampu merusak Gram-positif dan Gram-negatif. Contoh antibiotika berspektrum luas adalah tetrasiklin dan kloramfenikol (Snyder dan Finch, 1990).

3. Resistensi antibiotika a. Jenis resistensi

Mikroorganisme dikatakan resisten jika Konsentrasi Inhibitor Minimum (KIM) antibiotika lebih tinggi daripada konsentrasi tertinggi yang dicapai secara in vivo (konsentrasi yang tidak toksik) dalam serum atau jaringan (Mutschler dan

Derendorf, 1995). Resistensi bakteri terhadap antibiotika terus-menerus berubah dan dapat menjadi masalah klinis yang serius (Walker dan Edwards, 1999).

(30)

dilawan oleh antibiotika (contoh: Pseudomonas aeruginosa tidak dapat dilawan oleh benzilpenisilin). Resistensi primer terjadi jika beberapa strain tertentu pada spesies sebenarnya sudah resisten ketika diberikan antibiotika (contoh: E. coli tidak mudah dirusak oleh tetrasiklin). Resistensi sekunder dapat disebabkan oleh mutasi spontan yang terjadi pada pemberian antibiotika pertama kali. Resistensi sekuder disebut juga resistensi yang diperoleh (acquired resistance) (Mutschler dan Derendorf, 1995).

Berdasarkan tahapan dan kecepatan resistensi, resistensi sekunder terbagi menjadi resistensi satu langkah (one step) dan resistensi bertahap (multiple step). Resistensi one step terjadi secara cepat atau setelah pemberian sebanyak

satu sampai empat kali antibiotika secara in vitro. Resistensi multiple step terjadi secara perlahan dan bertahap; beberapa tahapan mutasi penting menjadi manifestasi resistensi (Mutschler dan Derendorf, 1995).

b. Mekanisme resistensi

Menurut Chambers dan Sande (1996), agar menjadi efektif antibiotika harus dapat mencapai target dan berikatan dengan target tersebut. Bakteri dapat menjadi resisten terhadap antibiotika karena (1) obat gagal mencapai target; (2) obat inaktif; atau (3) target berubah.

Jawetz (2001) memaparkan adanya beberapa mekanisme berbeda yang ditunjukkan oleh bakteri untuk menjadi resisten terhadap antibiotika.

(1) Bakteri memproduksi enzim perusak obat yang aktif. Contoh: Staphylococcus

resisten terhadap penisilin G dengan cara memproduksi enzim β-laktamase yang

(31)

(2) Bakteri mengubah permeabilitas terhadap antibiotika. Contoh: Streptococcus

mempunyai barier permeabilitas alami terhadap aminoglikosida. Sebagian dari masalah ini dapat diatasi dengan adanya obat yang aktif terhadap dinding sel misalnya, penisilin.

(3) Bakteri mengubah struktur target obat. Contoh: resistensi terhadap beberapa

penisilin dan sefalosporin bisa jadi merupakan suatu fungsi terhadap hilangnya atau berubahnya Penicilin Binding Protein (PBP).

(4) Mikroorganisme merubah jalur sintesis metabolit yang menjadi jalan pintas terhadap reaksi yang diinhibisi oleh obat. Contoh: beberapa bakteri yang resisten terhadap sulfonamid tidak memerlukan asam p-aminobenzoat (PABA) ekstraseluler, tetapi seperti sel mamalia, dapat memanfaatkan asam folat.

(5) Mikroorganisme mengubah enzim yang masih dapat menunjukkan fungsi

metabolismenya, dimana enzim tersebut kurang dipengaruhi oleh obat. Contoh: pada bakteri resisten terhadap trimetoprim, asam hidrofolat reduktase menginhibisi lebih kurang efektif daripada bakteri yang peka terhadap trimetoprim.

B. Infeksi Menular Seksual 1. Definisi

(32)

infeksi neonatal dapat terjadi di berbagai tempat, menyebabkan tingkat morbiditas yang tinggi, dan beberapa kasus menyebabkan kematian bayi (Knodel, 2001). 2. Jenis

Infeksi Menular Seksual mencakup infeksi yang berupa gonore (GO), klamidia, herpes, sifilis, kankroid; termasuk semua patogen yang disebarkan melalui hubungan seksual. Infeksi ini bersifat individual karena manifestasi klinik, perubahan kemampuan obat untuk menyerang beberapa patogen, dan frekuensi komplikasi IMS yang tinggi secara bersamaan menyebabkan diagnosis dan manajemen terapi pasien yang terkena IMS sangat kompleks. Bermacam-macam spektrum sindrom secara klinis yang dihasilkan oleh IMS ditentukan tidak hanya oleh etiologi (patogen), tetapi juga dibedakan pada anatomi wanita dan pria, serta fisiologi reproduksi (Knodel, 2001).

a. Infeksi gonore (GO)

Neisseria gonorrhoeae adalah diplokokus gram-negatif diperkirakan

(33)

Tabel I. Kondisi klinis infeksi GO (Knodel, 2001)

Pria Wanita Umum Masa inkubasi 1-14 hari

Onset gejala 2-8 hari

Masa inkubasi 1-14 hari Onset gejala 10 hari Tempat infeksi Sebagian besar di uretra,

kadang di rektum (sexual intercourse pada pria dengan pria), orofaring, dan mata

Sebagian besar di kanal endoservik, kadang di uretra, rektum (biasanya kontaminasi perianal), orofaring, dan mata Gejala Bersifat asimptomatik atau

sedikit simptomatik. Pada infeksi uretra terjadi disuria.

Pada infeksi anorektal, asimptomatik atau sedikit nyeri pada rektal.

Pada infeksi faringeal, asimptomatik sampai sedikit faringitis

Bersifat asimptomatik atau sedikit simptomatik. Pada infeksi endocervik, asimptomatik atau sedikit simptomatik (nyeri). Pada infeksi uretra terjadi disuria.

Pada infeksi anorektal dan faring, gejala seperti pada pria.

Tanda Muncul nanah pada uretra atau rektum;

Pada anorektal terasa gatal, terdapat mukus dan nanah (mucopurulent), pendarahan.

Pengeluaran cairan vagina yang abnormal atau pendarahan pada uterus; gatal pada uretra atau rektum.

Komplikasi Jarang terjadi (epididimitis, prostatitis, limfadenopati pada selangkang (inguinal lymphadenopathy),

penyempitan pada saluran uretra (urethral stricture); disseminated gonorrhea

Inflamasi pada pelvis dan komplikasi (kehamilan ektopik, infertilitas); disseminated gonorrhea (tiga kali lebih sering terjadi daripada pria).

(34)

status sosial ekonomi, daerah urban, dan riwayat terinfeksi gonore serta IMS yang lain (Koneman, Allen, dan Janda, 1997).

b. Infeksi klamidia

Knodel (2001) memaparkan IMS klamidia merupakan infeksi yang paling banyak terjadi di Amerika Serikat. Infeksi klamidia terjadi bersamaan dengan infeksi GO sehingga jika seseorang didiagnosis terinfeksi GO sangat dimungkinkan terinfeksi klamidia juga. Wanita berumur 20-25 tahun, aktif berhubungan seksual, dan sering berganti pasangan seksual harus diawasi dengan rutin terhadap infeksi klamidia.

Chlamydia trachomatis penyebab infeksi klamidia merupakan parasit

obligat intraseluler yang berbentuk seperti virus dan bakteri. Seperti virus, klamidia membutuhkan material seluler hospes untuk replikasi. Seperti bakteri (Gram-negatif), klamidia kekurangan peptidoglikan pada dinding sel (Knodel, 2001), tidak memiliki mekanisme untuk menghasilkan energi metabolisme, dan tidak dapat menghasilkan Adenosin Tri Phospat (ATP) (Jawetz, 2001).

Dibandingkan dengan IMS GO, IMS klamidia lebih bersifat asimptomatik dan jika muncul, gejala tidak akan terlalu nampak. Pengeluaran cairan dari saluran kencing (urethral discharge) biasanya kurang banyak dan lebih banyak mukosa atau air daripada saat terinfeksi gonore (Knodel, 2001).

(35)

ektopik dan infertilitas (Knodel, 2001). Kondisi klinis infeksi klamidia dapat dilihat pada tabel II.

Tabel II. Kondisi klinis infeksi klamidia (Knodel, 2001)

Pria Wanita Umum Masa inkubasi sampai 35

hari

Onset gejala 7-21 hari

Masa inkubasi 7-35 hari Onset gejala 7-21 hari Tempat infeksi Sebagian besar di uretra,

kadang di rektum (akibat intercourse anal), orofaring, dan mata

Sebagian besar di kanal endoservik, kadang di uretra, rektum (biasanya kontaminasi perianal), orofaring, dan mata Gejala Sebanyak 50% infeksi di

uretra dan rektum asimptomatik.

Pada infeksi uretra terjadi disuria.

Pada infeksi faringeal, asimptomatik sampai sedikit faringitis

Sebanyak 66% di kanal endoserviks bersifat asimptomatik.

Pada infeksi uretra terjadi disuria

Pada infeksi faringeal dan rektum, gejala mirip dengan pria.

Tanda Jarang terjadi, pengeluaran cairan seperti mukus hingga pengeluaran nanah

(purulent) pada rektum atau uretra

Pengeluaran cairan vagina yang abnormal atau pendarahan pada uterus; gatal pada uretra atau rektum.

Komplikasi Epididimitis, Reiter’s syndrom (jarang terjadi).

Inflamasi pada pelvis dan komplikasi (kehamilan ektopik, infertilitas); Reiter’s syndrom (jarang terjadi).

c. Infeksi sifilis

(36)

Treponema pallidum, golongan spiroketa yang merupakan bakteri

gram-negatif berbentuk spiral, panjang, tipis, bergulung secara heliks (Jawetz, 2001) merupakan organisme penyebab infeksi sifilis (Knodel, 2001). Risiko terinfeksi sifilis dari berhubungan seksual sekitar 50-60% (Knodel, 2001), prostitusi dan penyalahgunaan kokain merupakan faktor risiko utama penyebab infeksi sifilis (Koneman dkk, 1997).

Tabel III. Kondisi klinis infeksi sifilis (Knodel, 2001)

Kondisi klinis

Secara umun

Sifilis primer Masa inkubasi 10-90 hari (± 3 minggu)

Sifilis sekunder Berkembang 2-4 minggu setelah infeksi pertama yang tidak diterapi atau terapi tidak memadai

Sifilis laten Berkembang 4-10 minggu setelah sifilis sekunder yang tidak diterapi atau terapi tidak memadai

Sifilis tersier Berkembang sekitar 30% pada pasien yang tidak diterapi atau terapi tidak memadai selama 10-30 tahun setelah infeksi pertama

Tempat infeksi

Sifilis primer Genitalia luar, sekitar perianal, mulut, dan tenggorokan Sifilis sekunder Kemungkinan menyebar hingga dalam darah dan limfa Sifilis laten Potensial ke sistemik (dorman)

Sifilis tersier Sistem Saraf Pusat (SSP), hati, mata, tulang, otot Gejala dan

tanda

Sifilis primer Nyeri, terbentuk lesi (kankroid), ulcer, kadang hilang, sakit di sekitar limfa (limfadenopati); gejala muncul bersamaan, sangat nyeri, lesi bernanah kadang tidak terjadi

Sifilis sekunder Gatal atau ruam tidak gatal, lesi pada mukosa-kutan, gejala, limpadenopati

Sifilis laten Asimptomatik

Sifilis tersier Sifilis kardiovaskuler (aortitis), neurosifilis (meningitis, demensia), lesi lunak (gumma) pada setiap organ atau jaringan

(37)

dkk, 1997). Seseorang yang terinfeksi tetap dapat menularkan penyakitnya selama 3-5 tahun pada sifilis primer/ dini. Sifilis laten/ lanjut, yang lamanya lebih dari 5 tahun, biasanya tidak menular (Jawetz, 2001). Kondisi klinis sifilis bermacam-macam tergantung tingkat lamanya infeksi. Tingkatan infeksi sifilis adalah sifilis primer, sifilis sekunder, sifilis laten, sifilis tersier dan neurosifilis, sifilis kongenital (Knodel, 2001). Oleh Koneman dkk (1997), sifilis tersier, neurosifilis, dan sifilis kongenital diistilahkan sebagai late siphilis. Kondisi klinis infeksi sifilis diperlihatkan pada tabel III.

d. Infeksi herpes

Knodel (2001) memaparkan herpes genitalis disebabkan oleh Herpes simplex virus 2 (HSV-2). Herpes berasal dari kata Yunani yang berarti bergerak

pelan (Knodel, 2001) karena virus herpes mampu dalam menyebabkan infeksi yang bertahan seumur hidup dalam inangnya dan mengalami pengaktifan kembali secara berkala (Jawetz, 2001). Tahapan infeksi herpes terdri dari 5 fase: infeksi primer, infeksi pada ganglia, infeksi laten, reaktifasi, dan infeksi kambuhan (Knodel, 2001).

(38)

terutama menginfeksi mukosa genital dan ditularkan secara seksual dan infeksi kelamin ibu kepada anaknya yang baru lahir (Jawetz, 2001).

Infeksi HSV sebagian besar bersifat asimptomatik; jarang terjadi di sistemik (Jawetz, 2001) dan pertumbuhan virus dapat terjadi pada lesi menyebabkan gejala simptomatik (Knodel, 2001). Herpes genitalis ditandai oleh lesi vasikoulseratif pada penis atau servik, vulva, vagina, dan perineum pada wanita. Masa inkubasi selama 2-4 hari, lesi pada alat kelamin akan terasa sangat nyeri (Jawetz, 2001) selama 7-10 hari (Knodel, 2001) dan timbul ulcer selama 21 hari (Knodel, 2001) diikuti dengan demam, malaise, disuria, dan limpadenopati (Jawetz, 2001).

e. Infeksi trikomoniasis

Trichomonas vaginalis, protozoa berflagelata merupakan penyebab

infeksi trikomoniasis. Infeksi ini ditularkan secara seksual sehingga protozoa ini sering ditemukan/ diisolasi dari vagina, uretra, dan endoserviks. Trichomonas vaginalis membutuhkan pH antara 4,9-7,5 untuk bertahan, pH pada vagina yang

(39)

Tabel IV. Gejala infeksi trikomoniasis (Knodel, 2001)

Pria Wanita Umum Masa inkubasi 3-28 hari. T.

vaginalis dapat dideteksi 48 jam setelah terpejani.

Masa inkubasi 3-28 hari

Tempat infeksi Sebagian besar di uretra, kadang di rektum (sexual intercourse pada pria dengan pria), orofaring, dan mata

Sebagian besar di kanal endoservik, kadang di uretra, rektum (biasanya kontaminasi perianal), orofaring, dan mata Gejala Terkadang asimptomatik atau

sedikit simptomatik.

Pada uretra terjadi mucopurulent encer

Disuria dan gatal.

Terkadang asimptomatik atau sedikit simptomatik. Pruritus (terlebih pasa saat menstruasi),

Terjadi disuria, nyeri saat berhubungan seksual (dispareunia).

Tanda Pengeluaran cairan uretra (urethral discharge)

pH vagina menjadi 4,5-6. Inflamasi vulva, vagina, dan atau serviks.

Komplikasi Epididimitis dan prostatitis kronis (tidak/jarang terjadi)

Infertilitas (gerak dan lama hidup sperma)

Inflamasi pada pelvis dan komplikasi (kehamilan ektopik, infertilitas); Bayi lahir prematur, membran terpecah lebih awal (rusak), dan berat badan bayi saat lahir kurang (risiko infeksi pada neonatal rendah);

Pembentukan tumor pada serviks.

C. Prinsip Terapi Antibiotika yang Rasional 1. Terapi yang rasional

(40)

menyelesaikan masalah klinis harus rasional pada (1) indikasi, (2) efektivitas, (3) keamanan, dan (4) kepatuhan pasien (Cipolle, Sande, dan Morley, 2004).

a. Tepat indikasi

Farmasis harus menghubungkan indikasi (kondisi klinis), produk obat, pengaturan dosis, dan hasil terapi. Beberapa terapi dapat digunakan oleh pasien, jika terdapat kondisi klinis atau saat muncul penyakit. Jika secara klinis, kondisi tidak membutuhkan terapi obat, maka terapi tidak membutuhkan obat (unnecessary drug therapy). Jika terdapat beberapa indikasi terapetik tidak muncul saat terapi maka pasien membutuhkan tambahan terapi obat (need additional drug therapy). Pada semua kasus, indikasi merupakan bagian informasi

yang vital untuk mengidentifikasi dan memecahkan masalah terapi obat (Cipolle dkk, 2004).

b. Pengaturan dosis yang efektif

Terapi obat efektif jika tujuan terapi yang diharapkan tercapai. Efektivitas diperkirakan dengan mengevaluasi respon terkait tujuan terapi yang diharapkan untuk beberapa kondisi klinis (indikasi). Ketika terapi obat tidak efektif untuk pasien, farmasis harus memperkirakan dua hal yang mungkin terjadi yaitu: apakah produk obat tidak tepat untuk kondisi pasien atau apakah pengaturan dosis terlalu rendah untuk menghasilkan efek yang diinginkan (Cipolle dkk, 2004).

c. Pengaturan dosis yang aman

(41)

yang tidak diinginkan adalah respon yang secara farmakologi tidak diharapkan muncul dari produk obat atau terjadi efek idiopati pada pasien. Toksisitas terjadi karena dosis yang diberikan pada pasien terlalu tinggi (Cipolle dkk, 2004).

Jika masalah yang terjadi terkait dengan dosis obat, maka pemecahannya agar tetap dapat menggunakan produk obat yang sama dengan mengurangi pengaturan dosis. Pengaturan dosis dapat dikurangi dengan mengurangi dosis yang diberikan atau mengurangi frekuensi pemberian (tidak terlalu sering). Keamanan dapat diukur dengan mengevaluasi parameter klinis (tanda dan gejala) atau hasil uji laboratorium jika terdapat hubungan dengan efek yang tidak diinginkan pada saat terapi (Cipolle dkk, 2004).

d. Memperhatikan kepatuhan pasien

Dalam pelayanan kefarmasian, ketidapatuhan dipertimbangkan sebagai masalah hanya pada saat setelah obat diberikan kepada pasien. Pertimbangan tersebut termasuk tepat indikasi secara klinis, dipastikan efektif untuk mencapai ujuan terapi, dan aman untuk pasien. Untuk maksud dalam mengerti/ memahami masalah terapi obat, digunakan istilah ketaatan. Pada aplikasi pelayanan kefarmasian, ketidakpatuhan diartikan seseorang tidak ingin atau tidak menggunakan obat dengan benar, efektif, dan aman seperti yang diharapkan (Cipolle dkk, 2004).

2. Pemilihan dan penggunaan antibiotika yang rasional

(42)

infeksi (Snyder dan Finch, 1990). Menurut Jawetz (2001) pada sebagian besar infeksi, hubungan antara penyebab infeksi dengan manifestasi klinis tidak selalu konstan. Oleh karena itu, penting melakukan pengambilan spesimen untuk mengidentifikasi bakteri atau agen penyebab lainnya. Untuk mengetahui penyebab infeksi perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut: (1) tempat infeksi (contoh: Urinary Tract Infection/infeksi saluran kencing (UTI), pneumonia), (2) umur

pasien (contoh: neonatus, dewasa, remaja), (3) tempat dimana infeksi diperoleh (contoh: rumah sakit), (4) faktor mekanis (contoh: kateter urin, tetesan intravena, pernapasan), (5) kondisi faktor hospes (contoh: imunodefisiensi, kortikosteroid, transplantasi, kemoterapi kanker).

Jika etiologi infeksi sudah ditemukan, perlu dilakukan modifikasi atau pemilihan antibiotika yang cocok. Snyder dan Finch (1990) memaparkan bahwa pemilihan antibiotika perlu memperhatikan rute pemberian, dosis, durasi pengobatan, harga obat yang diminta, dan kemungkinan terjadinya reaksi yang tidak diinginkan (adverse drug reaction).

(43)

D. Antibiotika Untuk Pengobatan Infeksi Menular Seksual 1. Pengobatan infeksi gonore (GO)

Terapi untuk semua tipe infeksi GO direkomendasikan dengan sefalosporin dosis tunggal (oral maupun parenteral) dan fluorokuinolon dosis tunggal. Pengaturan dosis ini efektif untuk terapi infeksi pada uretra, rektum, dan faring (Knodel, 2001).

Tabel V. Pengobatan infeksi GO (Knodel, 2001) Tipe Infeksi Gonorrhea Pengobatan yang

direkomendasikan

Alternatif pengaturan pengobatan

infeksi pada cerviks, uretra, dan rektum tanpa komplikasi pada dewasa

Seftriakson 125 mg i.m, dosis tunggal

Siprofloksasin 500 mg p.o dosis tunggal

Sefiksim 400 mg p.o, dosis tunggal

Ofloksasin 400 mg p.o, dosis tunggal

Spektinomisin 2 g i.m, dosis tunggal;

Seftizoksim 500 mg i.m, dosis tunggal;

Sefotaksim 500 mg i.m, dosis tunggal;

Sefotetan 1 g i.m, dosis tunggal atau Sefoksitin; Probenesid 2 g i.m atau 1 G p.o sekali pemberian, atau lomefloksasin 400 mg p.o; enoksasin 400 mg p.o; atau norfloksasin 800 mg p.o sekali

pemberian infeksi waktu kehamilan seftriakson 125 mg i.m, dosis

tunggal

spektinomycin 2 g, i.m, dosis tunggal

infeksi yang sudah menyebar pada dewasa (>45 kg)

seftriakson 1 g i.m/i.v setiap 24 jam

Seftizoksim 1 g atau sefotaksim 1 g i.v, setiap 8 jam

infeksi pada cerviks, uretra, dan rektum tanpa komplikasi pada anak

seftriakson 125 mg, i.m, dosis tunggal

spektinomisin 40 mg/kg i.m, dosis tunggal

infeksi konjungtivitis pada dewasa

Seftriakson 1 g i.m, dosis tunggal

infeksi di mata pada neonatus

Seftriakson 25-50 mg/kg i.m atau i.v, sekali pemberian (tidak melebihi 125 mg) infeksi pada bayi lahir

dari ibunya (profilaksis)

(44)

Seftriakson dalam bentuk sediaan parenteral (i.m) yang direkomendasikan sebagai first line untuk terapi infeksi GO dengan dosis tunggal 125 mg. Fluorokuinolon tidak terlalu direkomendasikan sebagai first line karena resistensi mikoorganisme terhadap fluoroquinolon tinggi. Spektinomisin masih dipilih sebagai alternatif terhadap pasien alergi sefalosporin dan quinolon (Knodel, 2001). Pengobatan infeksi GO ditunjukkan pada tabel V.

2. pengobatan infeksi klamidia

Berbagai antibiotika termasuk tetrasiklin, makrolida, azitromisin, beberapa quinolon baik secara in vitro maupun in vivo mempunyai aktivitas membunuh C. trachomatis. Azitromisin dosis tunggal 1 g dan doksisiklin 100 mg, dua kali sehari selama 7 hari merupakan terapi pilihan untuk terapi infeksi klamidia tanpa komplikasi. Kadar azitromisin dalam darah dan waktu paruh yang panjang membuat dosis tunggal azitromisin 1g efektif untuk terapi klamidia (Knodel, 2001).

(45)

Tabel VI. Pengobatan infeksi klamidia (Knodel, 2001) Tipe Infeksi klamidia Pengobatan yang

direkomendasikan

Alternatif pengaturan pengobatan

infeksi klamidia pada uretra, endocerviks, atau pada rektum tanpa komplikasi pada dewasa

Azitromisin 1 g p.o, sekali atau doksisiklin 100 mg p.o, sehari 2 kali selama 7 hari.

Azitromisin 1 g p.o sekali atau doksisiklin 100 mg p.o sehari 2 kali selama 7 hari.

infeksi klamidia urogenital pada kehamilan

Eritromisin 500 mg p.o, sehari 4 kali selama 7 hari atau amoksisilin 500 mg p.o, sehari 3 kali selama 7 hari.

Eritromisin 250 mg p.o, sehari empat kali, atau eritromisin etil suksinat 800 mg sehari 4 kali selama 7 hari, atau azitromisin 1 g p.o, dosis tunggal.

infeksi konjungtivitis bayi baru lahir atau pneumonia yang bayi

eritromisin 50 mg/kg/hari p.o, dalam dosis terbagi empat selama 14 hari 3. Pengobatan infeksi sifilis

Penisilin G dalam bentuk sediaan parenteral adalah terapi pilihan untuk semua tahapan infeksi sifilis. T.pallidum berkembang sangat lambat, sehingga dosis tunggal penisilin yang mempunyai aksi pendek atau menengah cukup untuk eradikasi T. pallidum.

(46)

Tabel VII. Pengobatan infeksi sifilis (Knodel, 2001) Tipe Infeksi siphilis Pengobatan yang

direkomendasikan

Alternatif pengaturan pengobatan untuk infeksi kurang dari 1

tahun

benzathine penisilin G 2,4 juta unit, i.m, dosis tunggal

infeksi lebih dari 1 tahun dan untuk infeksi yang tidak diketahui durasinya

benzathine penisilin G, i.m, 2,4 juta unit, sekali dalam

seminggu, digunakan selama 3 minggu

neurosifilis larutan penisilin G, i.v, 18-24 juta unit (setiap 4 jam atau dilanjutkan dengan infus) selama 10-14 hari.

prokain penisilin G, i.m, 2,4 juta unit setiap hari

dikombinasi dengan probenesid 500 mg p.o, empat kali sehari, selama 10-14 hari

infeksi sifilis kongenital larutan penisilin G 50,000 unit/kg i.v, setiap 12 jam selama 7 hari pertama dan setiap 8 jam untuk total 10 hari.

prokain penisilin G 50,000 unit/kg i.m, setiap hari selama 10 hari

pasien alergi penisilin yang terinfeksi kurang dari 1 tahun

doksisiklin 100 mg p.o, sehari dua kali selama 2 minggu.

tetrasiklin 500 mg sehari 4 kali selama 2 minggu

pasien alergi penisilin yang terinfeksi lebih dari 1 tahun dan tidak diketahui

durasinya

doksisiklin 100 mg p.o, sehari dua kali selama 4 minggu.

tetrasiklin 500 mg sehari 4 kali selama 4 minggu

4. pengobatan infeksi herpes

(47)

terapi menjadi maksimal (Knodel, 2001). Pengobatan infeksi herpes ditunjukkan pada tabel VIII.

Tabel VIII. Pengobatan infeksi herpes (Knodel, 2001) Tipe Infeksi herpes Pengobatan yang

direkomendasikan

Alternatif pengaturan pengobatan

infeksi herpes episode awal

Asiklovir 400 mg p.o, sehari 3 kali, atau asiklovir 200 mg p.o sehari 5 kali, atau famcyclovir 250 mg p.o sehari 3 kali, atau

valasiklovir 1 g p.o sehari 2 kali selama 7-10 hari

Asiklovir 5-10 mg/kg i.v setiap 8jam selama 2-7 hari, diikuti oral terapi minimal 10 hari.

infeksi herpes proctitis atau infeksi oral (stomatitis atau faringitis)

asiklovir 400 mg, p.o, 5x1, selama 7-10 hari

asiklovir 5-10 mg/kg, setiap 8 jam selama 2-7 hari diikuti terapi oral mininal 10 hari infeksi herpes yang

berkelanjutan untuk terapi episodik

Asiklovir 400 mg p.o sehari 3 kali selama 5 hari; asiklovir 800 mg p.o sehari 2 kali selama 5 hari; famsiklovir 125 mg p.o sehari 2 kali selama 5 hari; valasiklovir 500 mg p.o sehari 2 kali selama 3-5 hari; valasiklovir 1 g p.o sehari sekali selama 5 hari infeksi herpes dengan

terapi supresif

famsiklovir 250 mg p.o sehari 2 kali setiap hari; valasiklovir 500 mg atau 1 g p.o sehari sekali setiap hari

5. Infeksi trikomoniasis

(48)

lebih murah, bakteri flora normal dan saluran pencernaan sedikit terpejani oleh obat (Knodel, 2001).

Beberapa pasien intolerasi terhadap dosis tunggal metronidazole 2 g karena reaksi samping (adverse reaction) biasanya toleransi atau dapat menerima pengaturan metronidazole dengan dosis berganda. Untuk memaksimalkan laju pengobatan dan mencegah kekambuhan, terapi dosis tunggal metronidazole 2 g dilakukan bersamaan dengan terapi pasangan seksual juga (Knodel, 2001). Pengobatan infeksi trikomoniasis ditunjukkan pada tabel IX.

Tabel IX. Pengobatan infeksi trikomoniasis (Knodel, 2001) Tipe Infeksi

Trikomoniasis

Pengobatan yang direkomendasikan

Alternatif pengaturan pengobatan

infeksi asimptomatik dan simptomatik

metronidazole 2 g p.o dengan dosis tunggal

metronidazole 500 mg p.o sehari 2 kali selama 7 hari

infeksi pada kehamilan metronidazole 2 g p.o dengan dosis tunggal infeksi pada bayi lahir metronidazole 10-30

mg/kg setiap hari selama 5-8 hari

E. Drug Therapy Problems 1. Definisi

Drug Therapy Problems (DTP) adalah peristiwa tidak diinginkan yang

(49)

2. Kategori

Telah diketahui terdapat tujuh kategori DTP yaitu: unnecessary drug (tidak membutuhkan obat), need additional drug therapy (membutuhkan tambahan terapi obat), ineffective drug (obat tidak efektif), dosage too low (dosis terlalu rendah), adverse drug reaction (reaksi obat yang tidak diinginkan), dosage too high (dosis terlalu tinggi), dan noncompliance (ketidaktaatan). Dua kategori

pertama terkait dengan indikasi. Kategori ketiga dan keempat terkait dengan efektivitas. Kategori lima dan enam terkait dengan keamanan. Kategori tujuh terkait dengan ketaatan dan kenyamanan pasien (Cipolle dkk, 2004).

a. Unnecessary drug (tidak membutuhkan obat)

Terapi obat tidak dibutuhkan karena pasien tidak mempunyai indikasi klinis pada saat diberikan obat. Penyebab DTP tidak membutuhkan terapi obat antara lain (Cipolle dkk, 2004):

1) tidak terdapat indikasi medis yang benar untuk terapi dengan obat pada saat

itu;

2) digunakan beberapa jenis obat pada pada saat dibutuhkan terapi dengan satu

jenis obat;

3) kondisi medis lebih tepat diterapi tanpa obat;

4) terapi obat diberikan untuk mengatasi reaksi yang tidak diinginkan berkaitan

dengan indikasi dari obat lain;

(50)

b. Need additional drug therapy (membutuhkan tambahan terapi obat)

Tambahan terapi obat digunakan untuk mengobati atau mencegah berkembangnya kondisi medis dan sakit. Beberapa penyebab DTP dimana pasien membutuhkan tambahan obat (Cipolle dkk, 2004) antara lain:

1) kondisi medis membutuhkan obat untuk inisiasi terapi;

2) mengurangi risiko berkembangnya kondisi medis yang baru dari terapi obat

yang ada;

3) kondisi medis mengharapkan tambahan farmakoterapi untuk mencapai efek sinergis atau menambah efek.

c. Ineffective drug (obat tidak efektif)

Obat dikatakan tidak efektif jika obat tidak mampu untuk menghasilkan respon yang diharapkan. Penyebab DTP obat tidak efektif antara lain (Cipolle dkk, 2004):

1) produk obat sangat tidak efektif untuk indikasi terapi; 2) kondisi medis sulit disembuhkan dengan obat;

3) bentuk sediaan obat tidak sesuai yang diharapkan; 4) obat tidak efektif untuk masalah medis;

d. Dosage too low (dosis terlalu rendah)

Dosis terlalu rendah akan membuat respon yang diinginkan rendah pula. Penyebab DTP dosis terlalu rendah terhadap pasien dengan pengaturan dosis tidak cukup untuk menghasilkan efek yang diinginkan antara lain (Cipolle dkk, 2004): 1) dosis terlalu rendah untuk menghasilkan respon yang diinginkan;

(51)

3) interaksi obat yang mengurangi ketersediaan jumlah obat yang aktif; 4) durasi terapi terlalu cepat.

e. Adverse drug reaction (reaksi obat yang tidak diinginkan)

Obat menyebabkan reaksi yang tidak diinginkan. Beberapa penyebab DTP ini terhadap pasien yang menggunakan obat menjadi tidak aman antara lain:

1) produk obat menyebabkan reaksi yang tidak diinginkan yang tidak

berhubungan dengan dosis;

2) suatu produk obat yang aman diperlukan terutama karena faktor-faktor risikonya;

3) interaksi obat yang menyebabkan reaksi yang tidak diinginkan yang tidak

berhubungan dengan dosis;

4) pengaturan dosis yang digunakan terlalu cepat diubah; 5) produk obat menyebabkan alergi;

6) produk obat yang dikontraindikasikan terutama karena faktor-faktor

resikonya.

f. Dosage too high (dosis terlalu tinggi)

Dosis terlalu tinggi dapat menghasilkan efek yang tidak diinginkan. Beberapa penyebab DTP dosis terlalu tinggi pada pasien dan oleh karena itu menghasilkan resiko/bahaya yang diterima antara lain (Cipolle dkk, 2004):

1) dosis terlalu tinggi;

2) frekuensi pemberian terlalu pendek; 3) durasi terapi terlalu panjang;

(52)

5) dosis obat digunakan terlalu cepat. g. Noncompliance (ketidakpatuhan)

Pasien tidak dapat atau tidak ingin menggunakan obat untuk terapi. Penyebab pasien tidak patuh terhadap aturan pakai antara lain (Cipolle dkk, 2004):

1) pasien tidak mengerti aturan pakai yang benar; 2) pasien memilih untuk tidak menggunakan obat; 3) pasien lupa menggunakan obat;

4) produk obat terlalu mahal (tidak terjangkau) untuk pasien;

5) pasien tidak dapat menelan atau menggunakan sendiri obat dengan benar; 6) produk obat tidak tersedia untuk pasien.

F. Keterangan Empiris

Penelitian ini ingin menggali informasi mengenai pola pemilihan dan penggunaan antibiotika, serta mengevaluasi kerasionalan penggunaan antibiotika untuk IMS di kalanagan PSK Pasar Kembang Yogyakarta.

(53)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini termasuk jenis penelitian non eksperimental dengan rancangan survei epidemiologi deskriptif. Survei epidemiologi adalah survei terhadap fenomena kesehatan dalam masyarakat yang dilakukan tanpa adanya perlakuan (manusia). Survei epidemiologi deskriptif adalah penelitian yang tujuan utamanya melakukan eksplorasi-deskriptif terhadap fenomena kesehatan di masyarakat baik yang berupa faktor resiko atau efek. Penelitian ini menyuguhkan deskriptif fenomena yang terjadi dan tidak menganalisis bagaimana dan mengapa fenomena tersebut terjadi (Pratiknya, 2001).

B. Definisi Operasional

1. Pekerja seks komersial (PSK) adalah istilah dari masyarakat yang menunjukkan pekerjaan seseorang yang memberikan jasa pelayanan seks dengan kompensasi uang atau barang sesuai dengan kesepakatan sebelumnya. 2. Responden adalah PSK yang menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan

oleh peneliti. Serta PSK yang mengisi kuisioner di Pasar Kembang Yogyakarta.

3. Infeksi Menular Seksual (IMS) adalah infeksi yang ditularkan melalui

hubungan seksual (anal, oral, dan vagina).

4. Pengetahuan tentang IMS adalah pengetahuan tentang apa saja jenis infeksi

(54)

5. Antibiotika adalah obat yang digunakan untuk mengobati infeksi bakteri

maupun jamur.

6. Menggunakan obat antibiotika yang rasional adalah sesuai dengan indikasi, patuh terhadap aturan pakai, dan aman.

7. Pengetahuan dan pemahaman aturan pakai yang benar adalah mengerti

frekuensi dan durasi penggunaan antibiotika yang benar.

8. Resistensi antibiotika adalah jika antibiotika yang digunakan tidak

menghasilkan efek seperti yang diinginkan.

9. Profil antibiotika adalah jenis antibiotik yang diresepkan dan digunakan oleh

PSK di Pasar Kembang Yogyakarta.

10. Melihat perbandingan profil antibiotika adalah melihat apakah terdapat

kemiripan pola pemilihan dan penggunaan antibiotika untuk terapi IMS dari tahun 2002, tahun 2005, dan tahun 2006 yang digunakan oleh PSK di Pasar Kembang Yogyakarta.

11. Drug Therapy Problems adalah masalah klinis yang tidak dikendaki yang

timbul karena ketidaksesuaian penggunaan obat dalam terapi pengobatan. C. Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah Pekerja Seks Komersial wanita di lokasi Pasar Kembang Yogyakarta. Dari data yang diperoleh di Griya Lentera, Pekerja Seks Komersial yang tinggal menetap sebanyak 101 orang. Dari populasi diambil 51 subjek uji untuk mengisi kuesioner dan 10 subjek uji untuk diwawancarai.

(55)

maka banyaknya sampel yang diambil adalah:

D. Metode Penelitian

(56)

E. Tata Cara Penelitian 1. Pembuatan lembar kuisioner

Lembar kuisioner dibuat dengan berdasar tema penelitian dan berisi mengenai pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan pola pemilihan dan penggunaan antibiotika pada PSK di lokasi Pasar Kembang Yogyakarta.

2. Penyebaran lembar kuisioner

Lembar kuisioner disebarkan dengan bantuan rekan tim penelitian dan rekan dari LSM Griya Lentera Yogyakarta. Lembar kusioner selanjutkan diisi oleh para PSK di Pasar Kembang Yogyakarta.

3. Wawancara dengan dokter

Wawancara dengan dokter dilakukan sebelum dokter praktek pelayanan dan dilakukan tanya-jawab mengenai pola peresepan antibiotik untuk pengobatan IMS, kasus IMS terbanyak yang muncul, dan kerasionalan terapi antibiotik, juga masalah-masalah yang terkait dengan hal di atas.

4. Pengolahan data

Data yang diperoleh diolah dengan cara kategorisasi data sejenis, yaitu dengan menyusun data dan menggolongkannya dalam kategori-kategori dan dengan dibandingkan dengan standar dari pustaka sehingga diperoleh hasil yang dapat diintrepetasikan menjadi jawaban bagi perumusan masalah.

F. Analisis Data Penelitian

(57)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Profil Pengetahuan PSK Tentang IMS dan Antibiotika 1. Pengetahuan tentang IMS

Pengetahuan yang tepat akan mendukung terjadinya diagnosis dan pengobatan yang tepat. Sama halnya dengan pengobatan IMS, perlu diketahui jenis IMS termasuk gejala IMS yang ada sehingga diagnosis dan pengobatan IMS menjadi tepat. Pekerja Seks Komersial dikatakan mengetahui IMS jika PSK mengetahui jenis dan gajala IMS.

Dari hasil kuisioner yang ditunjukkan pada tabel X, sebanyak 84,3% mengetahui IMS dan 15,7% menyatakan tidak mengetahui IMS. Sebanyak 84,3% PSK mengetahui IMS baik dari jenis maupun gejala IMS. Dengan banyaknya PSK yang mengetahui IMS, dimungkinkan penggunaan antibiotika di kalangan PSK dapat menjadi rasional karena jika PSK mengetahui/merasakan gejala IMS yang terjadi pada dirinya seharusnya segera memeriksakan ke dokter agar mendapatkan antibiotika yang sesuai dengan infeksinya.

(58)

gonore (GO). Pengetahuan IMS para PSK didapatkan antara lain dari penyuluhan, relawan Griya Lentera (GL), dan dokter di klinik GL yang memeriksa PSK. Tabel IX. Pengetahuan PSK tentang IMS di Pasar Kembang tentang IMS tahun

2006

Pengetahuan tentang IMS Jumlah Prosentase (%)

Tahu 43 orang 84,3

Tidak 8 orang 15,7

Dari profil umur ditunjukkan pada gambar 1, PSK dengan kisaran umur 21-30 tahun mempunyai prosentase pengetahuan IMS paling banyak yaitu sebesar 39,22 %. Pada umur 21-30 tahun, PSK masih sangat mudah dan aktif dalam menerima informasi mengenai IMS. Selain itu, pada umur 21-30 tahun kebanyakan masih baru bekerja sebagai PSK sehingga mereka akan lebih merasakan/merespon gejala IMS. Gejala IMS akan mengganggu aktivitasnya atau pekerjaannya sehingga PSK segera memeriksakan ke dokter dan mencari informasi mengenai IMS. PSK berumur 15-20 tahun mempunyai prosentase pengetahuan IMS paling kecil yaitu 3,92%. Hal ini dapat disebabkan pada umur 15-20 tahun masih awal bekerja sebagai PSK sehingga belum banyak mendapat informasi tentang IMS.

(59)

Dari profil tingkat pendidikan pada gambar 3, PSK dengan tingkat pendidikan SD mempunyai prosentase pengetahuan IMS paling tinggi yaitu 33,33% seperti ditunjukkan pada tabel 13. Meskipun demikian, PSK dengan tingkat pendidikan SMP dan SMA juga mempunyai pengetahuan IMS menjadi cukup tinggi. Dapat dikatakan bahwa pengetahuan PSK tentang IMS mudah diperoleh dan diterima di berbagai tingkatan pendidikan.

9,8

15-20 21-30 31-40 41-50

umur PSK (tahun)

Gambar 1. Pengetahuan IMS berdasarkan profil umur PSK di Pasar Kembang tentang IMS tahun 2006

17,65

(60)

33,33

Gambar 3. Pengetahuan IMS berdasarkan profil tingkat pendidikan PSK di Pasar Kembang tentang IMS tahun 2006

Meskipun sebanyak 84,3% memiliki pengetahuan IMS seperti yang ditunjukkan pada tabel X namun tidak semua mengetahui apakah dirinya pernah mengalami IMS atau belum baik dilihat dari gejala IMS maupun nama infeksinya. Dari hasil kuisioner pada tabel XI, sebanyak 25,5% mengetahui bahwa dirinya pernah mengalami IMS dan sebanyak 74,5% tidak merasa pernah mengalami IMS. Diduga sebanyak 74,5% menyatakan tidak merasa pernah mengalami IMS karena gejala IMS kadang bersifat asimptomatik atau menganggap gejala IMS bukan sebagai penyakit namun sebatas gangguan yang terjadi secara normal. Tabel XI. Pernah tidaknya PSK di Pasar Kembang mengalami IMS tahun 2006

Pernah mengalami IMS Jumlah Prosentase (%)

Pernah 13 orang 24,5

Tidak pernah 38 orang 74,5

(61)

Responden 5 pernah mengalami IMS namun lupa nama infeksinya. Dari hasil wawancara, terdapat responden yang tidak merasa pernah mengalami IMS namun sebenarnya pernah mengalami gejala IMS. Responden 1 menyatakan belum pernah mengalami IMS namun dia pernah mengalami gejala IMS seperti terasa perih saat berkemih.

Jika dilihat dari pekerjaan sebagai PSK sangat mungkin PSK mengalami IMS. Ketidaktahuan pernah tidaknya PSK mengalami IMS dapat menjadi faktor risiko IMS sulit untuk dikendalikan. Sebaiknya PSK diberi informasi lengkap tentang IMS termasuk cara pencegahan IMS seperti menggunakan kondom setiap berhubungan seksual. Selain itu, setiap PSK diperiksa secara rutin agar saat didiagnosis IMS segera mendapat terapi pengobatan yang tepat.

Jika ditinjau dari profil umur pada gambar 4, para PSK dengan umur 21-30 tahun paling banyak mengatakan tidak pernah mengalami IMS. Diduga PSK dengan umur 21-30 tahun tidak pernah mengalami IMS karena mereka belum lama bekerja sebagai PSK, mempunyai informasi yang cukup tentang IMS termasuk cara pencegahan IMS, dan taat menggunakan kondom saat berhubungan seksual.

(62)

tahun pernah mengalami IMS namun hanya dirasakan sebagai gangguan biasa dan tidak diperiksakan ke dokter sehingga tidak mengetahui apakah dirinya terkena IMS. Profil lama kerja dan tingkat pendidikan ditunjukkan pada gambar 5 dan gambar 6.

15-20 21-30 31-40 41-50

umur (tahun)

Gambar 4. Pernah tidaknya PSK di Pasar Kembang mengalami IMS ditinjau dari umur pada tahun 2006

(63)

5,88

Gambar 6. Pernah tidaknya PSK di Pasar Kembang mengalami IMS ditinjau dari tingkat pendidikan pada tahun 2006

2. Pengetahuan tentang antibiotika

Para PSK dikatakan mengetahui antibiotika jika mengetahui jenis dan fungsi antibiotika. Antibiotika banyak digunakan oleh PSK di Pasar Kembang dengan tujuan untuk mencegah dan mengobati penyakit. Bahkan penggunaan antibiotika terkadang hanya untuk berjaga-jaga dan digunakan untuk mengobati penyakit selain infeksi.

Dari hasil kuisioner, yang ditunjukkan pada tabel XII PSK yang mengetahui antibiotika sebanyak 90,2% dan sebanyak 7,8% tidak mengetahui antibiotika. Sebanyak 90,2% mengetahui antibiotika dari teman PSK, relawan klinik Griya Lentera (GL), atau dari dokter. Banyaknya PSK yang mengetahui antibiotika juga terkait pengalaman pernah menggunakan antibiotika karena sebagian besar PSK menggunakan antibiotika saat badan terasa sakit.

Tabel XII. Pengetahuan PSK di Pasar Kembang tentang antibiotika tahun 2006 Pengetahuan tentang

antibiotika

Jumlah Prosentase (%)

Tahu 47 orang 90,2

(64)

Pada hasil wawancara, sebagian besar responden mengetahui antibiotika dari nama antibiotika yang sering digunakan. Responden 1 menyatakan mengetahui antibiotika untuk mencegah penyakit dan antibiotika yang diketahui sebatas yang digunakan respoden 1 yaitu amoksisilin atau ampisilin. Kebanyakan PSK menggunakan antibotika karena keinginan sendiri saat merasa badan tidak nyaman, dianjurkan oleh teman dengan alasan agar tidak terserang penyakit. Dari hasil wawancara terdapat PSK yang tidak mengetahui antibiotika namun sebenarnya menggunakan antibiotika seperti responden 5. Responden 5 menyatakan tidak mengetahui tentang antibiotika namun menggunakan antibiotika rifampisin (merk dagang Remactan) atas keinginan diri sendiri. Jadi respoden 5 tidak mengetahui bahwa Remactan adalah antibiotika namun hanya mengetahui merk dagang antibiotika.

Pengetahuan antibiotika yang salah atau kurang dapat menyebabkan penggunaan menjadi tidak rasional. Seperti yang dilakukan para PSK dengan menggunakan antibiotika hanya saat terasa gejala infeksi muncul dapat diakibatkan pengetahuan PSK tentang antibiotika kurang. Sebaiknya pemberian informasi mengenai antibiotika harus lengkap dan rutin sehingga pengetahuan tentang antibiotika pada PSK meningkat. Dengan meningkatnya pengetahuan tentang antibiotika diharapkan penggunaan antibiotika menjadi rasional.

(65)

yaitu 39,22% seperti ditunjukkan pada gambar 1. Pekerja seks komersial yang berumur 21-30 tahun masih produktif bekerja sehingga dengan banyak mengetahui IMS dan antibiotika mereka dapat mengerti cara pencegahan IMS atau penanganan IMS, Dengan demikian, PSK tidak terganggu pekerjaannya.

11,76

15-20 21-30 31-40 41-50

umur (tahun)

Gambar 7. Pengetahuan tentang antibiotika berdasarkan profil umur PSK di Pasar Kembang tahun 2006

Dari profil lama kerja ditunjukkan pada gambar 8, PSK dengan lama kerja tiga dan lima tahun mempunyai prosentase pengetahuan antibiotika yang cukup tinggi dapat dikarenakan pengalaman IMS. Dari gambar 8 sebagian besar PSK memiliki pengetahuan tentang antibiotika. Para PSK mendapat informasi tentang antibiotika dari teman sesama PSK, penyuluhan, relawan GL, atau apotek.

Gambar

Tabel I. Kondisi klinis infeksi GO (Knodel, 2001) Pria
Tabel II.  Kondisi klinis infeksi klamidia  (Knodel, 2001) Pria
Tabel III. Kondisi klinis infeksi sifilis (Knodel, 2001)  Kondisi klinis
Tabel IV. Gejala infeksi trikomoniasis (Knodel, 2001) Pria
+7

Referensi

Dokumen terkait

ƒ digunakan oleh program streaming multimedia untuk mengatur pengiriman data secara real-time, tidak bergantung pada protokol Transport. ƒ Metode yang ada: PLAY, SETUP,

Selain subektor jasa perdagangan hasil laut, beberapa subsektor lain yang memiliki nilai output total yang besar adalah subsektor penambangan migas lepas pantai,

Dalam tes IQ online ini user dapat menyingkat waktunya dalam pengerjaan soal-soal dan User juga tidak perlu lagi menunggu hasil tes dalam waktu yang lama karena sudah secara

Banyak kritik yang ditunjukkan pada cara guru mengajar yang terlalu menekankan pada penguasaan sejumlah informasi atau konsep belaka. Pentingnya pemahaman konsep

dimulai dengan penyusunan instrumen model skala likert yang mengacu pada indikator-indikator variabel efektifitas pemanfaatan. perpustakaan sebegai sumber belajar pada

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan menguji secara empiris pengaruh variabel ukuran perusahaan, efektivitas komite audit, struktur kepemilikan manajerial,

Oleh karena itu tujuan penelitian ini adalah: Mengukur kepuasan para mahasiswa dalam hubungan antara harapan para mahasiswa MM sekolah binis Bina Nusantara terhadap penggunaan

form texture quartz vein following foliation), graphite, and sulphide banding, (b) The microphotograph of graphite banding (dark) and sulphide banding (light) identified