viii ABSTRAK
Agustin Tri Susilowati (2006). Hubungan antara Dukungan Sosial dan Tingkat Stres Orangtua dari Anak Autis. Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma
Penelitian ini adalah penelitian korelasional, yang bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara dukungan sosial dan tingkat stres orangtua dari anak autis. Penelitian ini menggunakan 2 skala yaitu Skala Dukungan Sosial SDS) dan Skala Tingkat Stres (STS) yang masing-masing terdiri dari 50 item. Pengujian validitas alat ukur menggunakan profesional judgement
dan uji reliabilitasnya dengan Alpha Cronbach. Koefisien reliabilitas Skala Dukungan Sosial (SDS) sebesar 0,970 dan Skala Tingkat Stres (STS) sebesar 0,962.
Metode pengambilan sampel penelitian adalah purpose sampling. Sampel diambil sebanyak 50 subyek yang berasal dari orangtua anak autis dimana anaknya sekolah di SLB Citra Mulia Mandiri atau SLB Negeri 1 Wonosari.
Uji hipotesis penelitian ini menggunakan teknik korelasi Pearson Product Moment dengan program SPSS versi 12.0 for windows. Hasil uji hipotesis diperoleh koefisien korelasi -0,607. Hipotesis penelitian ini diterima dan signifikan. Nilai negatif koefisien korelasi menunjukkan hubungan negatif. Jadi, ada hubungan negatif antara dukungan sosial dan tingkat stres orangtua anak autis. Semakin tinggi dukungan sosial yang diterima, maka semakin rendah tingkat stres yang dirasakan dan sebaliknya.
ix ABSTRACT
Agustin Tri Susilowati (2006). The Relationship between Social Supports and the Stress Level from Parents of Children with Autisms. Faculty of Psychology Sanata Dharma University.
This research is a correlation research, which has purpose to know whether there is a relation between social supports and stress level from parents of children with autisms or not. This research using 2 scales those are: Social Supports Scale and the Stress Level scale, which each of scale has 50 items. Validation test scale use professional judgmentand the reliability test with Alpha Cronbach. The Reliability of Social Supports Scale is 0, 970 and the Stress Level scale is 0, 962.
This research using purpose sampling method. There were 50 subjects who are parents of children with autisms that are studying in SLB Citra Mulia Mandiri or SLB Negeri 1 Wonosari.
Hypothesis test this research using correlation technique Person Product Moment with SPSS version 12.0 program for windows. Hypothesis test resulted -0,607 for correlation coefficient. Hypothesis of this research was accepted and significantly. The negative score in this correlation showed that there is a negative relationship between social supports and stress level from parents of children with autisms. The higher social supports will be, the lower stress level will be, or on its contrary.
HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DAN
TINGKAT STRES ORANGTUA DARI ANAK AUTIS
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi salah satu syarat
Memperoleh gelar Sarjana Psikologi
Program Psikologi
Oleh:
Agustin Tri Susilowati
NIM : 019114031
FAKULTAS PSIKOLOGI PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
iv
Skripsi ini saya persembahkan untuk
Bapak, Ibu, Kakakku Unyil & Noi,
Adikku Thonkie & Wenny, dan seluruh
v
”Akan lebih menarik apabila salah melakukan sesuatu ketimbang selalu
benar-kesalahan membuatmu mencari lebih jauh, dan belajar lebih
banyak”
vi
Samubarang kabeh katitahake endah ing wayah kang wus kapesthekake,
mlah atine padha kaparingan kalenggahan, nanging manungsa ora biasa
nyumurupi pakaryaning Allah wiwit-wiwitan nganti wekasan
-Kohelet 3:
11-Mulane aja padha sumelang ing bab dina sesuk, amarga dina sesuk iku
kadunungan kasusahan dhewe, kasusahan sadina, wus cukup kanggo
sadina ((
-mateus 6:34-.
Padha bungaha sajroning pengarep-arep, disabar sajroning karupekan,
dimantep anggomu ndedonga! ((
vii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini
tidak memeuat karya atau bagian karya orang laian, kecuali yang telah disebut dalam
kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 26 Januari 2007
Penulis
viii ABSTRAK
Agustin Tri Susilowati (2006). Hubungan antara Dukungan Sosial dan Tingkat Stres Orangtua dari Anak Autis. Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma
Penelitian ini adalah penelitian korelasional, yang bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara dukungan sosial dan tingkat stres orangtua dari anak autis. Penelitian ini menggunakan 2 skala yaitu Skala Dukungan Sosial SDS) dan Skala Tingkat Stres (STS) yang masing-masing terdiri dari 50 item. Pengujian validitas alat ukur menggunakan profesional judgement
dan uji reliabilitasnya dengan Alpha Cronbach. Koefisien reliabilitas Skala Dukungan Sosial (SDS) sebesar 0,970 dan Skala Tingkat Stres (STS) sebesar 0,962.
Metode pengambilan sampel penelitian adalah purpose sampling. Sampel diambil sebanyak 50 subyek yang berasal dari orangtua anak autis dimana anaknya sekolah di SLB Citra Mulia Mandiri atau SLB Negeri 1 Wonosari.
Uji hipotesis penelitian ini menggunakan teknik korelasi Pearson Product Moment dengan program SPSS versi 12.0 for windows. Hasil uji hipotesis diperoleh koefisien korelasi -0,607. Hipotesis penelitian ini diterima dan signifikan. Nilai negatif koefisien korelasi menunjukkan hubungan negatif. Jadi, ada hubungan negatif antara dukungan sosial dan tingkat stres orangtua anak autis. Semakin tinggi dukungan sosial yang diterima, maka semakin rendah tingkat stres yang dirasakan dan sebaliknya.
ix ABSTRACT
Agustin Tri Susilowati (2006). The Relationship between Social Supports and the Stress Level from Parents of Children with Autisms. Faculty of Psychology Sanata Dharma University.
This research is a correlation research, which has purpose to know whether there is a relation between social supports and stress level from parents of children with autisms or not. This research using 2 scales those are: Social Supports Scale and the Stress Level scale, which each of scale has 50 items. Validation test scale use professional judgmentand the reliability test with Alpha Cronbach. The Reliability of Social Supports Scale is 0, 970 and the Stress Level scale is 0, 962.
This research using purpose sampling method. There were 50 subjects who are parents of children with autisms that are studying in SLB Citra Mulia Mandiri or SLB Negeri 1 Wonosari.
Hypothesis test this research using correlation technique Person Product Moment with SPSS version 12.0 program for windows. Hypothesis test resulted -0,607 for correlation coefficient. Hypothesis of this research was accepted and significantly. The negative score in this correlation showed that there is a negative relationship between social supports and stress level from parents of children with autisms. The higher social supports will be, the lower stress level will be, or on its contrary.
x
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala rahmat dan karunia serta pertolonganNya yang telah diberikan, sehingga penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan dengan baiak.
Selama penyusunan skripsi ini penulis telah menerima banyak masukkan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena ini pada kesempatan ini penulis mengucapakan banyak terima kasih kepada pihak-pihak berikut ini:
1. Ibu ML. Anantasari, S.Psi. M.Si, selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberi bimbingan dan petunjuk dari awal hingga terselesainya skripsi ini. 2. Ibu A. Tanti Arini, S.Psi dan bapak C. Wijoyo Adinugroho, S.Psi sekalu dosen
penguji skripsi yang telah membantu saya untuk lebih memahami hasil penelitian saya.
3. Bapak Eddy Suhartanto, S.Psi, M.Si selaku dekan fakultas Psikologi yang telah mengizinkan penelitian ini berlangsung.
4. Direktur & Pengurus Diklat RSJD Soejarwadi Klaten yang telah mengizinkan mengadakan ujicoba alat tes. Bu Eko, Bu Harmi (bimbingannya), Bapak Wayan, Bu Anik, Bu Ulfa, Bapak Muchlis, Bapak Haryono, Bu Santi & Bu Pras Terimakasi atas keramahan dan informasinya.
5. Ibu Maryani, Bapak Eko & PakDhe, Bu Ninis dan seluruh Staf pengajar, Bapak Samidi terimakasih atas dukungan dan partisipasinya. Orangtua anak autis yang telah berpartisipasi dan membantu saya mengenal lebih jauh tentang anak autis. Mama Ilham, Mama & Mapa Josua, Mama Mario, Mama Aji, Mama Putri, Papa e Rian dan seluruh orangtua yang gak bisa aku sebut satu persatu. Anak-anak istimewa yang tak kan pernah kulupakan: Roy (kamu ramah sekali), puput, Sarah, Henry, Josua, Ilham, Aji, Mario, Wira, Antonie (makasi pelukannya), Bagas, Rian, & Jefri.
xi
7. Bu Tri, Bu Susi, Bu Prita dan seluruh Guru SLB Negeri 1 Wonosari….. Terimakasih sudah diizinkan untuk melakukan penelitian, keramahan, dan informasinya. Mama Ihsan makasih informasinya. Seluruh orangtua yang berperanserta dalam penelitian ini.
8. My family: Bapak&Ibu Terimakasih atas segala pengorbanan yang diberikan kepadaku. Terimakasih atas limpahan kasih sayang yang telah membentukku menjadi sekarang ini I love you…….. saudara-saudaraku yang cantik dan cakep: mb. Sulis (Unyil), mb. Tina (Nokieman), Caturrrrrr (Thonkiecie) dan adik kecilku yang tlah hilang Wenny (Kucrut) I love u all.
9. Sikung (alm) & Mbah Uti terimakasi atas doa-danya dan wejangannya. Bu’D Sri, P’D Mul, P’D Hanono & Bu’D Tegal, P’D Haryadi & Bu’D Warni, Om Agus & Bulik Dayan, Lik Hesti & Lik Mardi, Lik Titik & Lik Tamir, Lik Doso & mb Yayuk (he..he..he.. akhirnya aku bisa, matur nuwun gih). Buat sepupu-sepuku yang cantik & cakep (Trah Sastro):mb Siwi & Joko Gedek, mb Nunuk & m’ Agung “Jumingun ‘, m’ Joko “Jokek” & mb Nur, m’Nungku “Nungkek” & mb Nana, mb Yayan & m’ Eko “Lemot”, m’Caryo “Kngacir”
& mb Melta, m’Wida, m’Rio “Kasino”, Rian, Gayuh “Momo”, Rut
“Gondut”, Fredi “Kompret”, Beta “Kobet” (makasi ya dah nganter-nganter aku kemana-mana), Ida “Idut”, Adi “Tison” (Alm.), Wisnu “Nonot”, Ari “ Olive” dan Dwi ”Klinting”. (he…he..he.. kalian tu berharga banget buat hidupku dan sumber inspirasiku. I love u all). Keponakanku yang cuakep dan cuantik: Praz “Manthuk”, Ian “Ichunk”, Arin “G. Ampel”, Fanny “G. Tegal”, Mirecle “Etel gretel” & Ngacir Jr. Bravo Trah Sastro Suyono…Sing rukun ya.. (he..he..he..).
10.Dnee & MASlow (makasi ya dah menemani aku di saat suka & duka). Dyna pembimbing spiritualku yang selalu mendoakanku disetiap waktu. Dewi (aneh ya wi kita kok bisa ketemu lagi), Evi (inget ma taruhan kita yang dulu ye…),
Nining (kapan kita bisa diskusi lagi). Ita & Elis (akhirnya aku bisa nyusul kalian he..he..he..).
xii
mb Een, mb Yanti &Tutik, mb Lia. Makasi dah ngisi hari-hariku di Yogya…. Fajar (makasi dukungan & informasinya). Otir (makasi dah nganter ke SLB ya).
12.M’Muji (kenapa kalo ketemu ngledek trus. But makasi dah bri semangat dari ledekannya), m’Doni terimakasih dah mo photokopiin bahanku yang seabrek. m’ Gandung & mb. Nanik makasi banyak ya. Special buat p’ gie, makasih ya atas keramahnya dan bantuanya.
13.Teman-teman KKN: Anita “Nyit-nyit”, Dessy “Gapuro”, Ilko “Ilce”, Ngadiono “Ngat-ngat”, Uun “Paman Dolit”, & Maria “Putri Balsem”.
He…he…he.. akhirnya aku bisa nyusul kalian…
14.Anak-anak kelas A: Eli, Etik, Farah (yang telah mau menemani belu ketika mo ujian makasie ya). Tias (bogor), Sisca, Sapti, Rani, Dewi, Yuni, Nopek, Lina, Wilis, Nina, Silva, Anas, Lala, Dedy, Tyo, Adi, Kris, Eko, Kobo, Pati, Jule, Vera, Agus, Fedriyan, Andre, Diana, Tari, Vinda, Nana, Selly, Ela, Mansya, Via, Uul, Anita, Chintia, Tias, Awan, Ariska, Bayu, Tejo, Debby, Nuke, Yayak, Hastin, Lintang, Merlin, & Ita. (Maaf kalo ada yang kelewatan) Makasi dukungan dan saya sangat menikmati perjuangan kita dulu. Teman-teman beda kelas: Icha, Rani, Ninik, Iin, Lia, Anes, mb Ajeng, Dhini, dan lain-lain. Pokoknya yang kenal sama Belu Berarti itu temanku he....he...he...
15.Teman-temen Gerejaku: Ika, Endah, m’ Aan & mb Sari, m Aga, m Wawan, Noel, Bom-Bom, Fafan, Lia, m’Ujup & mb Lia, Adit, Adit Puguh & Bagus, Ijub, Fajar, Adi, Anggun, Lukas, Natalia, Gama dll. Abiz banyak banget. Temen Komselku: Kak Ina, Vera, Kak Lisbet, & Ci Dessy. Terimakasi doa-doanya.
16.Pihak SMP Kristen 1 Klaten yang telah memberi saya kelonggaran untuk menyelesaikan kuliah saya dan yang telah mendukung saya.
x DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Judul……….. i
Halaman Persetujuan Pembimbing... ii
Halaman Pengesahan.………... iii
Halaman Persembahan... iv
Halaman Moto... v
Pernyataan Keaslian Karya... vii
Abstrak... viii
Abstract... ix
Kata Pengantar... x
Daftar Isi... xiii
Daftar Gambar... xvi
Daftar Tabel ... xvii
Daftar Lampiran... xviii
BAB I. PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang...………. 1
B. Rumusan Masalah.……….…. 6
C. Tujuan Penelitian.……….…….. 6
D. Manfaat Penelitian………... 6
BAB II. LANDASAN TEORI………. 9
A. Stres……….. 9
1. Pengertian Stres………. 9
2. Indikator Stres ……….………….. 11
3. Penilaian Kognitif terhadap Stres …………...………. 14
xii
F. Pengujian Validitas dan Reliabilitas…..………... 49
1. Uji Validitas…..………... 49
2. Uji Analisa Data…..……….…………... 50
3. Uji Reliabilitas…..………... 50
G. Metode Analisis Data…..………... 51
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN…..………... 53
A. Persiapan Penelitian…..………... 53
1. Perizinan…..……….…... 53
2. Pelaksanaan Uji Coba Penelitian…..……..………... 53
3. Skala Dukungan Sosial…..………... 54
4. Skala Tingkat Stres…..…….………... 55
B. Pelaksanaan Penelitian…..…..………... 57
C. Hasil Penelitian…..………... 57
1. Uji Asumsi…..………... 57
a Uji Normalitas…..…………..………... 57
b Uji Linearitas…..………... 58
2. Uji Hipotesis…..………... 59
D. Pembahasan…..………...…... 60
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN…..………... 66
A. Kesimpulan…..………... 66
B. Saran…..………... 67
Daftar Pustaka…..………...………... 69
xiii
DAFTAR GAMBAR
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Blue Print Sebelum Uji Coba Skala Dukungan Sosial... 46
Tabel 2. Spesifikasi item Skala Dukungan Sosial Sebelum Uji Coba... 46
Tabel 3. Penskoran Item Favorabel dan Unfavorabel …..………... 47
Tabel 4. Blue Print Sebelum Uji Coba Skala Tingkat Stres…………... 48
Tabel 5. Spesifikasi item Skala Tingkat Stres Sebelum Uji Coba …... 48
Tabel 6. Penskoran Item Favorabel dan Unfavorabel.………... 49
Tabel 7. Nomor-Nomor Item yang Sahih dan Gugur Skala Dukungan Sosial 54
Tabel 8. Blue Print Skala Dukungan Sosial (Setelah Uji Coba)....…... 55
Tabel 9. Nomor-Nomor Item yang Sahih dan Gugur Skala Tingkat Stres... 55
Tabel 10. Blue Print Skala Tingkat Stres (Setelah Uji Coba)....…... 56
xv
DAFTAR LAMPIRAN
1. Skala Uji Coba..………….………... 74
2. Data Uji Coba…..…...……….…………... 83
3. Uji Beda dan Reliabilitas Item…..…..………... 114
a. Uji Beda dan Reliabilitas Item Skala Dukungan Sosial…..……….. 115
b. Uji Beda dan Reliabilitas Item Skala Dukungan Sosial……..…….. 123
4. Skala Penelitian…..………...…………... 132
5. Data Penelitian…..………... 140
6. Uji Asumsi…..………..…………... 162
a. Uji Normalitas…..………... 163
b. Uji Linearitas…..………... 164
7. Uji Hipotesis…..………... 165
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap orangtua pasti bahagia bila anak mereka lahir dengan selamat, sehat
tanpa kekurangan apapun. Mereka mengharapkan anaknya berkembang
sempurna, akan tetapi tidak semua dapat berkembang sempurna. Ada anak-anak
yang mengalami gangguan perkembangan, salah satunya autis.
Istilah autis diperkenalkan oleh seorang Psikolog Austria, yang bernama
Leo Kanner pada tahun 1943 (Attwood, 2005). Autis merupakan
ketidakmampuan berinteraksi dengan orang lain, mengalami gangguan berbahasa
yang ditunjukan dengan penguasaan yang tertunda, ecolalia, mutism, pembalikan
kalimat, aktivitas bermain yang repetitif dan stereotipik, rute ingatan kuat dan
keinginan obsetif untuk mempertahankan keteraturan dalam lingkungan. Autis
digolongkan dalam gangguan pervasif atau Pervasive Developmental Disorders
(Safaria, 2005).
Autis memiliki ciri-ciri seperti berikut ini: menghindari kontak mata, tidak
suka dipeluk, mengisolasi diri, tidak menyukai suara tertentu, menyukai kegiatan
yang rutin dan bila terjadi perubahan sedikit akan membuatnya merasa gelisah,
cemas dan tantrum. Anak menyukai gerakan yang ritmik, seperti berputar,
ganguan dalam bahasa, mereka tidak mampu memahami arti bahasa verbal
maupun nonverbal (Coleman & Broen, 1997).
Orangtua kadang kurang peka dengan gangguan perkembangan ini.
Mereka menganggap gangguan ini sebagai keterlambatan perkembangan biasa.
Namun, ketika perkembangan anak tidak menunjukkan kemajuan bahkan
mengalami kemunduran mereka baru sadar bahwa anaknya mengalami gangguan
dalam perkembangan. Orangtua melakukan banyak pemeriksaan pada anaknya
(Danuadmaja, 2003).
Orangtua mengalami syok bercampur perasaan sedih, takut, kuatir, cemas,
dan marah ketika mendengar hasil pemeriksaan yang menyatakan anaknya
mengalami gangguan autis. Perasaan tidak percaya bahwa anaknya mengalami
autis kadang-kadang menyebabkan orangtua mencari dokter lain untuk
menyangkal diagnosa dokter terdahulu, bahkan sampai berulang kali berganti
dokter. Mereka dihadapkan pada fakta yang objektif dari beberapa sumber.
Mereka merasa terpukul dan terpaksa menerima kepahitan yang menimpa
anaknya. Bagaimana tidak, jika anak yang mereka sangat cintai menderita
gangguan yang menyebabkan tidak berkembang secara kognitif, emosi, dan sosial
seperti anak-anak yang lain (Safaria, 2005).
Reaksi emosional orangtua yang muncul ketika pertama kali mengetahui
anak memiliki gangguan autis adalah hal yang wajar. Setiap orangtua yang
menghadapi diagnosis autis bagi anaknya pasti menunjukkan reaksi emosi yang
harus diterima. Bila orangtua tidak memahami dan menyadari emosi-emosi dalam
dirinya, akan membuat mereka tidak mampu mengendalikan reaksi emosinya.
Mereka terjebak dalam lingkaran gejolak emosi-emosi, sehingga mereka
mengalami banyak dampak negatif, baik fisik maupun psikologis. Mereka
mengalami depresi, kecemasan, kekuatiran, perasaan putus asa, atau stres yang
dapat menimbulkan pengaruh secara fisik dengan memunculkan penyakit stres
seperti maag, migran, stroke, lesu, dan letih (Safaria, 2005).
Puspita (2005) mengutarakan hal yang sama tentang kondisi psikologis
dari orangtua dari anak autis. Setiap orangtua mengalami proses yang sangat sulit
untuk dapat menerima kenyataan. Banyak orang yang sebelum sampai pada tahap
penerimaan diri mengalami ketidak berdayaan, depresi, dan sering berkembang
menjadi stres berkepanjangan ataupun sakit secara fisik.
Proses penerimaan diri orangtua membutuhkan waktu yang relatif lama,
bahkan dapat berlangsung bertahun-tahun. Orangtua mengalami jatuh bangun
untuk menyelesaikan tiap-tiap tahap. Mereka merasakan perasaan yang tidak
menyenangkan sehingga mereka sering merasa sangat lelah dan stres. Penelitian
ini menggunakan subjek orangtua yang memiliki masa pendampingan terhadap
anaknya antara 1 sampai 6 tahun, sebab orangtua masuk pada fase awal dari
penerimaan diri. Orangtua dipenuhi perasaan cemas, takut, kecewa, marah, sedih,
gelisah, merasa bersalah, dan perasaan negatif lain yang campur aduk. Perasaan
Sarafino (dalam Smet, 1994) berpendapat stres adalah suatu kondisi hasil
transaksi antara individu dengan lingkungan yang menimbulkan persepsi antara
tuntutan-tuntutan yang berasal dari situasi dengan sumber-sumber daya sistem
biologis, psikologis dan sosial dari seseorang.
Dampak dari stres dapat dikurangi dengan cara menciptakan lingkungan
yang mendukung. Dukungan dari keluarga dan teman akan menciptakan suasana
yang menyenangkan. Dukungan sosial menurut Johson dan Johson (dalam Taifur,
2003) adalah keberadaan orang lain yang dapat diandalkan untuk dimintai
bantuan, dorongan, dan penerimaan apabila individu mengalami kesulitan atau
masalah.
Dukungan sosial sangat penting dalam berbagai aspek kehidupan individu,
mengingat individu adalah makhluk sosial yang selalu berhubungan satu sama
lain. Kurang atau tidak tersedianya dukungan sosial akan menjadi individu merasa
tidak berharga dan terisolasi. Keadaan tersebut memungkinkan terjadinya
berbagai masalah dalam kehidupan. Sebaliknya dukungan sosial akan memberi
pengalaman pada individu bahwa dirinya dicintai, dihargai, dan diperhatikan
(Neizel, dkk, 1998).
Dukungan sosial terdiri dari dukungan emosi, instrumental, informatif
dan penghargaan/penilaian (Smet, 1994). Dukungan sosial dari lingkungan di
sekitar akan memberi pengaruh positif bagi diri individu. Sarason (dalam Taifur,
2003) menemukan bahwa individu yang memiliki dukungan sosial tinggi akan
memiliki pandangan yang optimis terhadap kehidupan. Dukungan sosial dapat
meningkatkan kepercayaan diri (Balimulia, 2003) dan kepuasan hidup
(Tavipamartiwi, 2002). Potensi di atas sangat dibutuhkan oleh individu
menghadapi kondisi yang stressful.
Taylor (dalam Smet, 1994) menyatakan bahwa tingkat stres dapat
mempengaruhi kondisi kesehatan. Orang yang tingkat stres tinggi memiliki
kemungkinan mengalami ganguan fisik maupun psikologis, sedang dukungan
sosial memiliki hubungan secara tidak langsung dengan tingkat stres. Adanya
dukungan sosial dapat membantu orangtua menghadapi persoalan, sehingga
memberi pengaruh positif dengan kondisi kesehatannya.
Penelitian ini memilih dukungan sosial sebagai variabel bebas karena
peneliti ingin membuktikan dukungan sosial masih berfungsi bagi orangtua anak
autis dalam menghadapi stressor. Orangtua anak autis mengalami masalah yang
terlalu berat dan sering membuat mereka menjadi stres, sehingga dukungan sosial
belum tentu cukup membantu mereka dalam mengatasi stres.
Penelitian ini menggunakan subjek orangtua anak autis, karena mereka
sangat rentan terkena stres. Stres dapat disebabkan oleh masalah-masalah mereka
yang belum terselesaikan dan masalah-masalah baru, sehingga mereka
membutuhkan dukungan sosial dari orang disekitarnya untuk menopang mereka
dalam mengatasi masalah. Dukungan sosial sebagai faktor eksternal dapat
membantu mereka untuk bertahan hidup dalam dunia yang penuh dengan
Stres dapat mempengaruhi kondisi kesehatan orangtua anak autis.
Orangtua yang tingkat stresnya tinggi memiliki kemungkinan terkena penyakit
fisik maupun psikis. Kondisi seperti ini sangat tidak menguntungkan bagi diri
sendiri maupun anak autis, karena anak autis sangat membutuhkan perhatian dan
energi yang ekstra. Perhatian yang ekstra ini hanya terjadi bila orangtua memiliki
kondisi yang prima. Permasalahan di atas menunjukkan pentingnya dilakukan
penelitian lebih lanjut tentang hubungan antara dukungan sosial dan tingkat stres
orangtua dari anak autis.
B. Rumusan Masalah
Berdasar latar belakang di atas, peneliti membuat rumusan masalah penelitian
sebagai berikut: Adakah hubungan antara dukungan sosial dengan tingkat stres
orangtua dari anak autis?
C. Tujuan Penelitian.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Menambah wacana yang terkait dengan ilmu psikologi, yang berfokus
pada pembahasan tentang dukungan sosial dan tingkat stres orangtua dari
anak autis.
b. Penelitian ini seyogyanya dapat digunakan sebagai literatur dalam
pelaksanaan penelitian yang relevan di masa yang akan datang.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi peneliti
Penulis dapat mengetahui hubungan antara dukungan sosial dan
tingkat stres orangtua dari anak autis.
b. Bagi orangtua dari anak autis.
Jika penelitian ini terbukti, diharapkan dapat meningkatkan
kesadaran orangtua dari anak autis untuk saling mendukung sehingga
dapat membantu mengurangi tekanan yang dihadapi dan mencari
pemecahan masalahnya.
c. Bagi masyarakat
Jika penelitian ini terbukti, diharapkan kesadaran masyarakat
untuk memberi dukungan sosial kepada orangtua dari anak autis
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Stres
1. Pengertian stres
Stres adalah situasi yang menuntut seseorang di luar batas kemampuannya
untuk beradaptasi (Handoyo, 2001). Pendapat senada disampaikan oleh Robbins
(2003) stres adalah kondisi dinamik yang didalamnya individu dikonfrontasikan
dengan suatu peluang, kendala (constraints) atau tuntutan (demands) yang terkait
dengan apa yang sangat diinginkan hasilnya, dan dipersepsikan sebagai tidak pasti
dan penting. Halonen dan Santrock (1999) menyatakan stres merupakan respon
individu terhadap keadaan atau kejadian yang mengancam (stressor) dan
menganggu kemampuan koping.
Sarafino (1997) mendefinisikan stres menurut 3 sudut pandang antara lain
sebagai berikut:
a. Stres sebagai stimulus
Individu melihat dalam referensi orang terhadap sumber atau
penyebab kegelisahan dan tekanan sebagai kejadian atau keadaan yang
menyebabkan stres. Keadaan atau kejadian yang membuat kita merasa
terancam atau terganggu, sehingga menghasilkan perasaan tertekan disebut
b. Stres sebagai respon
Sarafino memfokuskan pada reaksi terhadap stressor. Individu secara
cepat akan merespon stimulus yang diterimanya. Respon yang dihasilkan
dapat berupa fisik, seperti: jantung berdebar, mulut kering, perut mual,
berkeringat, maupun psikologi berupa perilaku, kognitif, dan emosional.
Cannon dalam teori Fight or flight menyatakan bahwa tubuh
melakukan reaksi untuk melawan tekanan yang berbahaya. Tubuh secara
cepat terangsang dan termotivasi melalui sistem saraf simpatik dan endorin,
sehingga individu selalu merespon setiap stimulus yang diterimanya. Respon
dapat berupa menghindar (flight) atau menghadapi (fight) (Sarafino, 1997).
Pendapat senada disampaikan oleh Selye tahun 1936 (dalam Sarafino,
1997) menyatakan bahwa oragnisme dihadapkan stressor akan mendorong
dirinya sendiri untuk melakukan tindakan. Usaha diatur oleh kelenjar
adrenalin yang akan mengaktifkan sistem saraf simpatik. Selye membagi 3
tahap yang disebut General Adaption System (GAS), yaitu: (1) Tahap reaksi
alarm (alarm reaction) merupakan upaya mempersiapkan diri untuk melawan
stres. (2) Tahap resisten (resistance reaction) merupakan tahap tubuh
melakukan penyesuaian pada keadaan yang menimbulkan stres. (3) Tahap
kelelahan (exhoustion reaction) terjadi ketika tubuh sudah tidak mampu lagi
Jadi dapat disimpulkan stres merupakan reaksi individu terhadap
stimulus yang mengancam. Respon yang dilakukan disebut dengan
ketegangan (strain).
c. Stres sebagai transaksi
Stres adalah hubungan antara individu dengan lingkungan yang
merupakan kelanjutan dari interaksi dan penyesuaian diri. Stres tidak hanya
stimulus atau respon, namun sebuah proses yang mana individu sebagi agen
aktif yang dapat mempengaruhi dampak dari stressor terhadap perilaku,
kognitif, dan emosional.
Sarafino (1997) menyimpulkan bahwa stres merupakan suatu kondisi hasil
transaksi orang atau lingkungan membawa individu merasa ketidaksesuaian-nyata
atau tidak-dengan tuntutan dari situasi dan sumber daya biologis, psikologi atau
sistem sosial.
Pengertian stres yang digunakan dalam penelitian ini adalah suatu keadaan
yang menuntut dan membebani individu baik secara fisiologis maupun psikologis
yang menimbulkan tegangan, sehingga membuat individu berusaha untuk
mengatasi.
2. Indikator stres
Indikator stres menurut Robbins (2003) adalah sebagai berikut.
a. Fisiologis yang berupa sakit kepala, tekanan darah naik, sakit liver.
b. Psikologis yang berupa gelisah, depresi penurunan kepuasan.
Cox (dalam Handoyo, 2001; Gibson, 1984) mengemukakan indikator stres
adalah sebagai berikut.
a. Fisiologis yaitu menyebabkan gangguan pada kesehatan fisik yang berupa
penyakit yang sudah diderita sebelumnya atau memicu timbulnya penyakit
tertentu.
b. Kognitif yaitu ketidakmampu mengambil keputusan, kurang kosentrasi dan
peka terhadap ancaman.
c. Perilaku yaitu peningkatan konsumsi alkohol dan rokok, tidak nafsu
makan/makan berlebihan, penyalahgunaan obat-obatan, menurun semangat
untuk berolahraga yang berakibat pada pola diet dan timbulnya beberapa
penyakit. Stres dapat meningkatkan intensitas kecelakaan baik di rumah, di
tempat kerja, dan di jalan.
d. Psikologi yaitu kegelisahan, kelesuan, kebosanan, depresi, kelelahan,
kekecewaan, kehilangan kesabaran, harga diri yang rendah dan agresi.
Sarafino (1997) memecahan gejala psikologi menjadi lebih spesifik lagi
menjadi gejala emosional. Ia membagi 4 tanda individu mengalami stres
antaralain sebagai berikut:
a. Fisiologis yaitu detak jantung dan pernafasan rata-rata meningkat dengan
segera, gemetar terutama pada kaki dan tangan. migran, sakit kepala, pegal di
b. Emosional yaitu marah-marah, sedih, cemas, phobia, depresi, tidak bahagia,
mood (suasana hati) yang buruk, putus asa, tampak lesu dan pasif, konsep diri
rendah serta suka menyalahkan diri.
c. Kognitif yaitu ganguan dalam pola berpikir.
d. Interpersonal yaitu sikap permusuhan, menarik diri, tidak ramah, mudah
tersinggung, acuh dan mendiamkan orang lain, kepercayaan menurun, mudah
mengingkari janji, senag mencari kesalahan orang lain, menutup diri, agresif,
dan tidak peka terhadap lingkungan sekitar.
Jadi, dari beberapa pendapat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa
indikator stres yaitu sebagai berikut:
a. Fisiologis berupa sakit kepala, migran, detak jantung meningkat, tekanan
darah naik, pucat, pernafasan rata-rata meningkat (terengah-engah), gemetar
pada kaki dan tangan, berkeringat, pegal pada leher dan punggung, insomnia,
lelah, dan gangguan pencernaan.
b. Emosional berupa gelisah, cemas, kuatir, kecewa, panik, bosan, lesu, marah,
sedih, mood (suasana hati) yang buruk, depresi, putus asa, tidak sabar,
menyalahkan diri, dan rendah diri.
c. Kognitif berupa gangguan dalam pola berpikir, susah kosentrasi, terfokus
pada satu hal saja sehingga susah diajak berpikir yang lain, mudah lupa, pola
d. Perilaku berupa peningkatan konsumsi alkohol, rokok, obat-obatan, tidak
nafsu makan, makan berlebihan, menarik diri, penurunan semangat olahraga,
sukar tidur, banyak tidur, malas, dan penurunan produktifitas.
e. Interpersonal berupa sikap permusuhan, menarik diri, tidak ramah, mudah
tersinggung, acuh dan mendiamkan orang lain, kepercayaan menurun, mudah
mengingkari janji, senag mencari kesalahan orang lain, menutup diri, agresif,
dan tidak peka terhadap lingkungan sekitar.
3. Penilaian kognitif terhadap stres
Penilaian terhadap stres terjadi pada proses kognitif dari individu,
biasanya disebut sebagai penilaian kognitif (appraisal cognitive). Penilaian
kognitif (appraisal cognitive) merupakan transaksi yang menggeneralisasikan dari
kondisi stres yang meliputi penafsiran. Penilaian kognitif (appraisal cognitive)
mengandung 2 unsur penting yaitu tuntutan yang mengancam dan sumberdaya
yang ada untuk menghadapi tuntutan (Sarafino, 1997).
Penilaian kognitif (appraisal cognitive) terdiri dari 2 jenis penilaian yaitu
penilaian awal (primary appraisal) dan penilaian sekunder (secondary appraisal).
Penilaian awal (primary appraisal) terjadi ketika individu menghadapi
lingkungan baru atau berubah. Proses ini merupakan proses individu memberi arti
kejadian atau situasi tersebut. Situasi atau kejadian mungkin memiliki efek yang
positif atau netral ataupun negatif. Situasi yang memberi efek positif disebut
eustress sedang yang bersifat negatif disebut distres. Setelah penilaian awal
(secondary appraisal) dilakukan. Penilaian sekunder (secondary appraisal)
merupakan penafsiran/pengukuran terhadap kemampuan koping dan
sumber-sumbernya, serta apakah mereka akan dapat/tidak menghadapi kerusakan,
ancaman, dan tantangan terhadap kejadian (Taylor, 1999).
Sarafino (1997) menyatakan penilaian kognitif sangat dipengaruhi oleh
dua faktor yaitu faktor personal dan situasi. Faktor personal dapat berupa
kemampuan intelektualitas, motivasi, kepribadian, dan konsep diri. Sedang, faktor
situasi berupa tuntutan, masa transisi, ambigusitas, terkontrol, dan desirability.
Penilaian di atas mempengaruhi individu dalam menghadapi stressor.
Individu memiliki banyak cara dalam merespon stres meliputi fisiologis, kognitif,
emosional dan perilaku. Perbedaan respon individu dalam menghadapi stres
tergantung dari pengalaman, usia, jenis kelamin, pendidikan, latar belakang etnik,
tingkat sosial ekonomi dan status perkawinan dari individu tersebut (Perimutter,
dkk, 1992).
Penilaian kognitif memberi pengaruh sangat besar pada diri individu,
karena penilaian tersebut secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi
kondisi psikologisnya.
4. Sumber stres
Keadaan atau situasi yang dapat menjadi sumber stres disebut stressor.
a. Stressor individu merupakan sumber stres yang berasal dari faktor internal,
seperti kepribadian, sikap terhadap stres, dan faktor kognitif (penilaian
terhadap stres).
b. Stressor interpersonal adalah sumber stres yang berhubungan dengan proses
interaksi dengan orang lain. Proses ini akan menimbulkan masalah yang
menyebabkan terjadi ketegangan secara fisik, sehingga memicu sekresi
hormon stres dalam tubuh, seperti adrenalin, noradrenalin, dan cortisol.
c. Stressor sosial merupakan sumber stres yang berasal dari kehidupan sosial,
seperti perubahan sosial yang cepat, kepadatan penduduk, kepadatan
pemukiman, keramaian, kemacetan, pertikaian antara kelompok masyarakat,
kerusuhan, kenaikan biaya hidup, tingkat kriminalitas yang tinggi, dan sebagai
kaum minoritas.
d. Stressor lingkungan fisik merupakan sumber stres yang disebabkan oleh
kondisi lingkungan fisik disekitar individu. Stressor ini sering dialami oleh
individu, sehingga mereka mampu beradaptasi dan melakukan koping stres.
Stressor ini, seperti bencana alam, banjir, cuaca, temperatur, kecepatan angin,
kebisingan, polusi, dan bencana yang berasal dari teknologi.
e. Stressor organisasi merupakan sumber stres terjadi pada setting khusus yaitu
organisasi atau perusahaan. Jenis stressor yang timbul dapat bersifat struktural
maupun kultural, seperti stres pada pekerjaan, jadwal kerja padat, struktur
tugas berat, kebijakan perusahan yang negatif, dan budaya organisasi yang
B. Orangtua
1. Pengertian orangtua
Arti kata orangtua dalam kamus Psikologi dan Psikoanalitik karya
Haracebenglish (1958) adalah organisme yang menghasilkan keturunan atau ayah
dan ibu. Sedang dari Kamus Bahasa Indonesia karya Salim (1991) mendifinisikan
orangtua sebagai ayah dan ibu kandung.
Utama (Nafaola, 2004; Kartono, 1992) berpendapat orangtua adalah
seorang pria dan wanita yang berjanji kepada Tuhan untuk hidup bersama sebagai
pasangan suami-istri, dan bersedia memikul tanggung jawab sebagai ayah dan ibu
dari anak yang akan dilahirkan. Perjanjian ini terikat dalam perkawinan.
Kesimpulan, orangtua merupakan individu yang memiliki tanggung jawab
sebagai ayah atau ibu terhadap kesejahteraan anak-anaknya.
2. Penyesuaian diri orangtua
Perubahan yang terjadi dalam hidup sering menyebabkan orang menjadi
stres. Perubahan status dari lajang menjadi menikah dan memiliki anak
merupakan tantangan cukup berat. Tidak jarang orang menjadi stres, karena
mereka kurang mampu melakukan penyesuaian diri terhadap statusnya sebagai
orangtua.
Status orangtua menuntut individu untuk melakukan perubahan yang
dramatis. Perubahan yang terjadi dalam diri mereka adalah perubahan sikap,
peran, dan nilai. Perubahan ini membuat mereka mengorbankan kebahagiaan dan
kesuksesan menjadi orangtua dapat dicapai bila memiliki komitmen waktu
menjadi orangtua dan dapat menyesuaikan diri dengan perubahan perkembangan
anaknya.
Tugas orangtua adalah membina dan mengatur kehidupan anak-anaknya.
Kehidupan anak menjadi tanggung jawab orangtua. Tanggung jawab menurut
Mangunsong (dalam Sumampouw dan Setiasih, 2003) memiliki beberapa bentuk
keterlibatan antara lain yaitu, (a) Orangtua bertanggung jawab sebagai pengambil
keputusan. Orangtua memiliki hak dan tanggung jawab mengambil keputusan
tentang hal-hal yang berkenaan dengan kehidupan anak-anaknya. (b) Orangtua
bertanggung jawab sebagai orangtua. Tanggung jawab ini meliputi penyesuaian
diri orangtua, sosialisasi anak, dan memperhatikan hubungan antar anak-anaknya.
(c) Orangtua bertanggung jawab sebagai guru. Proses pendidikan anak tidak
hanya terjadi di sekolah saja, namun terjadi rumah juga. Orangtua bertanggung
jawab untuk membina dan mendidik anak-anaknya di rumah. (d) Orangtua
bertanggung jawab sebagai advokat. Orangtua bertanggung jawab dalam memberi
pembelaan bagi anak-anaknya, terutama bagi anaknya yang memiliki
keterbatasan. Keterbatasan anak sering membuat posisi anak dirugikan, sehingga
orangtua bertanggung jawab membela kepentingan anaknya.
Pekerjaan menjadi orangtua bukan pekerjaan yang mudah karena
pekerjaan ini menyita banyak waktu dan tenaga mereka. Penyesuaian diri sangat
dibutuhkan oleh orangtua. Ketidakmampuan dalam menyesuaikan diri dapat
Penyesuaian diri orangtua memiliki pengaruh terhadap kondisi psikologis
orangtua. Banyak faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri orangtua antara
lain:
a. Sikap pada masa kehamilan.
Penyesuaian ini dipengaruhi oleh sikap calon ayah seperti penerimaan
dan pemahaman suami terhadap perubahan biologis dan psikologis istri.
Kehamilan merupakan pelaksanaan fungsi biologis secara normal, namun fase
ini terjadi ketidakseimbangan psikologis. Ketidakseimbangan psikologis
sering dibarengi perasaan bimbang, ragu, suasana hati yang labil, tertekan,
dan cemas. Efek ketidakseimbangan psikologis kadang belum hilang setelah
anaknya lahir.
Penyesuaian diri wanita sangat dipengaruhi oleh kondisi
kehamilannya. Wanita hamil mengalami kondisi menyenangkan dan dapat
menerima perubahan peran cenderung mudah menyesuaian diri dibanding
dengan wanita hamil yang mengalami kesusahan dan menolak perannya.
Wanita ini tidak jarang berperilaku menyimpang seperti merokok, tidak mau
dekat dengan anak dan lain-lain (Mappiare, 1983).
b. Sikap terhadap peran
Sikap ini terkait dengan tingkat usia orangtua dan konsep peran yang
dianut. Orangtua muda cenderung mengambil keputusan secara mudah,
sedang orangtua yang lanjut usia cenderung mengutamakan tanggung jawab
diri dengan anak-anak mereka cendrung lebih mudah daripada orangtua yang
agak lanjut usia. Penyesuaian diri orangtua yang menganut konsep modern
cenderung lebih mudah dibanding dengan orangtua yang menganut konsep
konservatif, karena konsep keluarga modern terjalin kerja sama antar anggota
keluarga (Mappiare, 1983).
c. Harapan orangtua
Harapan orangtua terkait dengan jenis kelamin, penampilan fisik,
sikap dan budi perkerti, kecakapan, bakat, minat, dan segala hal yang dinilai
baik. Orangtua akan cenderung mudah beradaptasi jika ciri-ciri anak
mendekati konsep ideal (Mappiare, 1983).
d. Perasaan-perasaan layak sebagai orangtua
Perasaan tidak layak menjadi orangtua sering menghantui orangtua
saat menghadapi persoalan anak. Penyebab orangtua merasa kurang layak
menjadi orangtua antara lain karena kurang latihan atau pengalaman dalam
menjalankan perannya, bingung menentukan cara mendidik anak, dan kondisi
anak yang mengalami hambatan mental. Kondisi ini mempengaruhi dalam
keberhasilan penyesuian diri. Bila orangtua tidak berhasil melakukan
penyesuaian diri akan menyebabkan mereka depresi, frustasi, dan stres yang
berkepanjangan (Mappiare, 1983).
e. Sikap terhadap perubahan peran
Sikap terhadap perubahan peran memberi pengaruh dalam pencapaian
memaksa terjadinya perubahan struktur dan peran dalam keluarga. Perubahan
yang radikal sering membuat orangtua diliputi rasa, cemas, takut, gelisah,
kuatir, dan lama-kelamaan berkembang menjadi stres. Perasaan negatif ini
sangat mengganggu proses penyesuian diri dari orangtua (Mappiare, 1983).
Dari urai di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa penyesuian diri sangat
terkait dengan tingkat stres. Orangtua yang mampu melakukan penyesuaian diri
akan terbebas dari stres. Sebaliknya, orangtua yang kurang mampu menyesuaikan
diri akan mudah terkena stres.
C. Autis
1. Pengertian Autis
Autis diambil dari kata Yunani autos yang artinya aku. Mönk (dkk, 1989)
mengemukakan autis adalah suatu hambatan perkembangan yang sudah nampak
pada tahun-tahun pertama, yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut: sejak lahir
mempunyai kontak sosial yang terbatas, perhatian terpusat pada benda mati,
tenggelam pada penghayatan taktil kinestetis, ingatan yang baik namun tegar dan
fantasi kurang. Kurang sosial menurut Wurst (Mönk, dkk, 1989) disebabkan
karena kecemasan, tidak terlindung, keraguan, terasing, dan ketidakmampuan
mengarti kondisi sosial.
Autis merupakan ketidakmampuan berinteraksi dengan orang lain,
mengalami gangguan berbahasa yang ditunjukkan dengan penguasaan yang
dan stereotipik, rute ingatan kuat, dan keinginan obsetif untuk mempertahankan
keteraturan dalam lingkungan. Autis digolongkan dalam gangguan pervasif atau
Pervasive Developmental Disorders (Safaria, 2005). Autis merupakan gangguan
pervasif yang mencakup gangguan dalam komunikasi verbal dan non verbal,
interaksi sosial, perilaku dan emosi (Sugiarto, Prambahan, & Pratitis, 2004).
Anak autis adalah anak yang mengalami gangguan perkembangan yang
mencakup gangguan dalam berkomunikasi, berinteraksi sosial, berperilaku, dan
emosi. Gangguan ini mulai muncul pada tiga tahun pertama kehidupan dan
memiliki kecenderungan menetap. Gangguan ini tidak dapat hilang sepenuhnya,
namun hanya dapat diminimalisir dengan terapi-tarapi yang ada.
2. Penyebab Autis
Berikut ini dugaan penyebab autis dan diagnosa medisnya adalah sebagai
berikut:
a. Gangguan susunan saraf.
Ditemukan pada otak penderita autis mengalami kelainan pada otak.
Ada tiga lokasi di otak mengalami kelainan neuro-anatomis. Kelainan itu
muncul pada Lobus Patietalis, Cerebellum dan Sistem Limbik. 43%
penyandang autis mengalami kelainan Patietalis yang menyebabkan anak
bersikap cuek pada lingkungan (Handojo, 2001).
Kelainan yang terjadi di Cerebellum (otak kecil) terutama pada Lobus
VI dan VII. Tugas dari Cerebellum adalah bertanggung jawab dalam proses
mengalami kelainan dapat menghambat dalam proses kognitifnya. Cerebellum
anak ditemukan jumlah sel Purkinye yang sedikit sehingga terjadi gangguan
keseimbangan Serotonim dan Dopamin. Ketidakseimbangan Serotonim dan
Dopamin menyebabkan kekacauan lalu-lintas impuls otak (Handojo, 2001).
Kelainan dalam Sistem Limbik ( Hippocampus dan Amygdala) dapat
menyebabkan ganggauan fungsi emosi, gangguan pada rangsang sensoris,
gangguan dalam fungsi belajar dan daya ingat, sehingga membuat kesulitan
dalam menyimpan informasi baru (Handojo, 2001).
b. Gangguan pencernaan.
Seorang pasien autis bernama Parker Beck mengeluh gangguan
pencernaan pada tahun 1997. Anak tersebut diperiksa dan ditemukan bahwa ia
mengalami kekurangan enzim Sekretin. Setelah ia mendapat suntikan enzim
Sekretin, ia mengalami kemajuan (Danuatmaja, 2003).
c. Peradangan dinding usus.
Hasil pemerikasaan endoskopi sejumlah anak autis yang mengalami
pencernaan buruk, ditemukan peradangan usus. Peradangan tersebut diduga
disebabkan virus campak. (Danuatmaja, 2003).
d. Faktor genetik.
Peneliti menemukan 20 gen yang terkait dengan autis. Namun, gejala
ini muncul jika terjadi kombinasi dari banyak gen (Danuatmaja, 2003).
Hasil penelitian ditemukan bahwa pada saudara sekandung anak autis
menemukan bahwa peluang anak laki-laki untuk menyandang autis lebih
besar dibanding anak perempuan (Coleman & Broen, 1997).
e. Keracunan logam berat.
Hasil tes laboratorium dari rambut dan darah anak autis ditemukan
kandungan logam berat dan beracun. Logam berat yang terdapat dalam tubuh
anak autis seperti Arsenik (As), Antimoni (Sb), Kadmium (Cd), air raksa (Hg),
dan timbal (Pb). Logam-logam ini merupakan racun otak yang sangat berat.
Selain penyebab di atas masih ada penyebab lainnya seperti yang
diutarakan oleh Kamphaus dan Frick (1996). Mereka berpendapat bahwa
pendarahan, infeksi pada saat hamil, penggunaan obat-obatan pada saat hamil,
berat badan yang sedikit pada usia gestational, hyperbilirubinemia, dan genetik
sebagai faktor penyebab autis.
3. Kriteria Autis
Autis merupakan gangguan perkembangan yang muncul pada usia 2 tahun
pertama kehidupan. Kriteria autis menurut The Diagnostic and Statistical manual
of Mental disoder IV (DSM-IV) sebagai berikut:
a). Terdapat paling sedikit enam pokok dari kelompok (1), (2), dan (3) yang meliputi paling sedikit dua pokok dari kelompok (a), paling sedikit satu pokok dari kelompok (b) dan paling sedikit satu pokok dari kelompok (c).
1). Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial yang ditunjukkan oleh paling sedikit dua di antara yang berikut ini:
(a). Ciri gangguan yang jelas dalam penggunaan berbagai perilaku non verbal (bukan lisan) seperti kontak mata, ekspresi wajah, gestur, dan gerak isyarat untuk melakukan interaksi sosial.
(b). Ketidakmampuan membina hubungan pertemanan sebaya yang sesuai dengan tingkat perkembangannya.
(c). Ketidakmampuan turut merasakan kegembiraan orang lain.
2). Gangguan kualitatif dalam berkomunikasi yang ditunjukkan oleh paling sedikit salah satu yang berikut ini:
(a).Keterlambatan atau kekurangan secara menyeluruh dalam berbahasa lisan (tidak disertai usaha untuk mengimbanginya dengan penggunaan gestur atau mimik muka sebagai cara alternatif dalam berkomunikasi).
(b). Ciri gangguan yang jelas pada kemampuan untuk memulai atau melanjutkan pembicaraan dengan orang lain meskipun dalam percakapan sederhana.
(c). Penggunaan bahasa yang repetitif (diulang-ulang) atau stereotip (meniru-niru) atau bersifat idiosinkratik (aneh).
(d). Kurang beragamnya spontanitas dalam permainan pura-pura atau meniru orang lain yang sesuai dengan tingkat perkembangan.
3). Pola minat perilaku yang terbatas, repetitif, dan stereotip seperti yang ditunjukkan oleh paling tidak satu dari yang berikut ini:
(a). Meliputi keasyikan dengan satu atau lebih minat yang terbatas atau stereotip yang bersifat abnoramal baik dalam intensitas maupun fokus.
(b). Kepatuhan yang tampaknya didorong oleh rutinitas atau ritual spesifik (kebiasaan tertentu) yang nonfungsional (tidak berhubungan dengan fungsi).
(c). Perilaku gerakkan stereotip dan repetitif (seperti terus menerus membuka membuka-menutup genggaman, memuntir jari atau tangan atau menggerakkan tubuh dengan cara kompleks).
(d). Keasyikan yang terus menerus terhadap bagian-bagian dari sebuah benda.
b). Perkembangan abnormal atau terganggu sebelum usia 3 tahun seperti ditunjukkan oleh keterlambatan atau fungsi yang abnormal pada paling sedikit satu dari bidang-bidang berikut ini: (1) interaksi sosial, bahasa yang digunakan dalam perkembangan sosial, (2) bahasa yang digunakan dalam komunikasi sosial, atau (3) permainan simbolik atau imajinatif.
c). Sebaiknya tidak disebut dengan istilah Gangguan Rett, Gangguan Intergratif kanak-kanak, atau sindrom Asperger.
D. Faktor penyebab stres orangtua dari anak autis
Stres adalah respon individu terhadap keadaan dan kejadian yang
mengancam (stressor) dan menganggu kemampuan koping (Halonen dan
Santrock, 1999). Holmes dan Rahe (Taylor, 1999) membuat rating stressor.
Mereka menemukan bahwa perubahan kondisi kesehatan dan perilaku anggota
keluarga menempati peringkat kesebelas dalam mempengaruhi orang untuk stres.
Ini berarti bahwa anak autis dapat menyebabkan orangtua mereka mengalami
Anak autis memberi pengaruh yang besar bagi orangtua baik kondisi fisik
dan psikologisnya. Orangtua sering merasa tertekan dan tak jarang berkembang
menjadi stres yang berkepanjangan (Puspita, 2005).
Hal-hal yang terkait antara anak autis dan kondisi mental orangtua akan
dijelaskan sebagai berikut ini
1. Gangguan fungsi
Autis adalah gangguan perkembangan anak yang mencakup gangguan
komunikasi, interaksi sosial, dan perilaku. Ketiga hal ini merupakan modal
hidup dalam lingkungan sosialnya. Orang yang mengalami gangguan tersebut
otomatis tidak dapat hidup di lingkungan sosialnya. Ini yang menyebabkan
orangtua merasa pesimis akan masa depan anaknya, sehingga menyebabkan
mereka sangat tertekan.
2. Perilaku anak yang liar
Anak autis sering berperilaku yang liar dan tak terkendali. Anak autis
sering mengamuk tanpa ada sebab yang jelas. Perilakunya biasa muncul kapan
saja dan dimana saja, sehingga orangtua kehilangan kesabaran, marah,
jengkel, dan sedih. Perasaan ini berlangsung terus-menerus, sehingga orangtua
merasa kelelahan dan sangat stres menghadapi kondisi anaknya tersebut.
3. Masa depan anak autis
Orangtua sering kuatir dengan masa depan anaknya. Mereka diliputi
perasaan kuatir, takut, cemas, dan gelisah. Mereka takut anaknya nanti tidak
karena keterbatasan anaknya. Mereka kuatir dengan kondisi anaknya tersebut
ketika mereka tidak dapat lagi disamping anaknya. Perasaan negatif ini dapat
menggerogoti kesehatan fisik dan psikologis orangtua. Orangtua menjadi
mudah marah, sedih, sensitif, rendah diri, dan tak jarang mereka mengalami
penurunan kesehatan. Mereka mengalami depresi dan stres (Puspita, 2005).
4. Persepsi yang salah tentang autis
Banyak orangtua anak autis tidak mendapat informasi yang benar
tentang gangguan autis, sehingga mereka salah langkah dan tidak jarang
mereka menyalahkan diri mereka. Kurangnya informasi dapat membuat
orangtua memiliki persepsi yang negatif dengan keadaan anaknya. Pesepsi
orangtua yang negatif memperburuk kondisi psikisnya, karena persepsi
negatif akan menyebabkan orangtua merasa cemas, depresi, frustasi, dan stres
(Safaria, 2005).
Persepsi masyarakat terhadap anaknya juga memberi kontribusi
memicu stres orangtua anak autis. Persepsi yang berkembang dalam
masyarakat adalah autis disebabkan oleh kurang hangatnya orangtua dan
kesalahan pola asuh orangtua (Handojo, 2001). Persepsi ini semakin
memojokkan posisi orangtua. Masyarakat beranggapan anak autis adalah anak
nakal, kurang diajar, dan bersikap sinis terhadap anak autis. Perilaku ini dapat
membuat orangtua terpukul dan tertekan, karena orangtua merasa kurang
bahwa penyebab sikap masyarakat seperti itu karena kurangnya informasi
tentang autis.
5. Harapan orangtua terhadap anak
Setiap orangtua memiliki harapan besar kepada buah hatinya. Harapan
orangtua dapat berupa harapan untuk memiliki anak berjenis kelamin tertentu,
sehingga orangtua akan berusaha keras dan tak jarang mereka menambah
jumlah anak demi memenuhi harapan mereka. Harapan yang tidak dapat
terpenuhi sering membuat orangtua merasa frustasi dan tertekan (Mappiare,
1983).
Harapan orangtua tentang kondisi anak ideal memberi pengaruh besar
pada kondisi orangtua. Konsep ideal terkait dengan penampilan fisik, sikap
dan budi perkerti, kecakapan, bakat, minat, dan segala hal yang dinilai baik
(Mappiare, 1983). Namun, pada kenyataan anak mereka didiagnosa autis.
Anak mereka mengalami keterbatasan dalam emosi, kognitif, dan sosial
membuat orangtua mengalami reaksi emosinal negatif dan berkembang
menjadi stres (Safaria, 2005).
6. Masalah keuangan
Kondisi keuangan merupakan salah satu sumber ketahanan terhadap
stres. Kondisi keuangan sangat mempengaruhi orang dalam menghadapi stres,
karena uang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka,
seperti pangan, sandang, papan, pemelihara kesehatan, hiburan, dan lain-lain
Forman (1993) mengemukakan bahwa beban biaya hidup yang besar
ini memberi tekanan yang besar. Sekarang ini biaya hidup semakin
meningkat. Orangtua dituntut untuk memenuhi kebutuhan keluarganya dan
masih harus mencari biaya tambahan untuk membiayai terapi anaknya. Terapi
yang ada saat ini relatif mahal, sehingga orangtua merasa tertekan.
7. Perasaan-perasaan tidak layak
Perasaan tidak layak mejadi orangtua muncul ketika orangtua mulai
menyalahkan diri mereka. Mereka berpikir bahwa merekalah yang
menyebabkan gangguan autis. Dalam benak mereka dipenuhi
pertanyaan-pertanyaan seperti, mengapa saya?, salah siapa?, apa dosa saya?, dan lain-lain.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut membuat orangtua anak autis semakin merasa
bersalah dan tidak layak menjadi orangtua. Perasaan-perasaan akan memberi
efek negatif dengan kondisi emosional orangtua, sehingga mereka sering
merasa depresi dan stres (Puspita, 2005).
8. Proses penerimaan diri
Orangtua masih dalam proses menuju penerimaan diri. Fase ini
diawali dengan perasaan syok. Perasaan syok muncul ketika orangtua
mengetahui anaknya didiagnosa autis. Perasaan ini menimbulkan dampak
fisik, seperti lemas, dingin, dada sesak, mual, dan pingsan. Orang diliputi
Sesudah perasaan syok mulai teratasi, berganti muncul berbagai rasa
di bawah ini.
a). Limbung, tidak tahu harus berbuat apa, merasa tidak berdaya.
b).Merasa bersalah, menyalahkan diri sendiri.
c). Marah pada diri sendiri, pasangan, anak autis tersebut, bahkan kepada
Tuhan.
d).Sedih, putus asa yang berkembang menjadi depresi dan stres
berkepanjangan.
e). Merasa diperlakukan tidak adil.
f). Tidak percaya pada fakta dan pindah dari dokter satu ke dokter lain untuk
menegaskan bahwa dokter itu salah dan terjadi tawar-menawar diagnosa.
g).Menolak fakta atau kenyataan dan bersikukuh bahwa anaknya tidak
bermasalah.
h).Menerima kenyataan.
Sebelum sampai fase penerimaan, pada umumnya orangtua mengalami
perasaan tak berdaya, depresi dan sering berkembang menjadi stres
berkepanjangan (Puspita, 2005).
Proses orangtua dalam menyesuaikan diri dengan kehadiran anak yang
sangat istimewa ini menuntut energi yang ekstra besar. Proses ini sering
diwarnai dengan reaksi emosional negatif seperti takut, sedih, marah, cemas,
dikenali dan diatasi. Orangtua yang tidak mampu mengatasinya akan
mengalami depresi dan stres (Sarafia, 2005).
Orangtua anak autis memiliki kemungkinan besar terkena stres. Sedang,
faktor penyebab stres orangtua anak autis antara lain gangguan fungsi pada
anaknya, perilaku liar anak, masa depan anaknya, persepsi yang salah tentang
anaknya, harapan yang besar kepada buah hatinya, masalah keuangan, munculnya
perasaan tidak layak menjadi orangtua, dan orangtua masih dalam proses
penerimaan diri. Tingkat stres yang dimiliki tiap orangtua pasti berbeda
tergantung dengan potensi diri mereka dan dukungan sosial yang mereka terima.
E. Dukungan Sosial
1. Pengertian dukungan sosial.
Dukungan sosial adalah keberadaan orang lain yang dapat diandalkan
untuk dimintai bantuan, dorongan dan penerimaan ketika individu mengalami
kesulitan atau masalah (Handoyo, 2001). Sarafino (1997) berpendapat bahwa
dukungan sosial menimbulkan perasaan bahagia, nyaman, dihargai, diperhatikan,
dicintai, dan merasa terbantu bagi individu yang menerimanya. Menurut Taylor
(1999) dukungan sosial mengandung perasaan cinta, perhatiaan, penghargaan,
penilaian, dan menjadi bagian dari jaringan komunikasi.
Holenen & Santrock (1999) berpendapat bahwa dukungan sosial
merupakan informasi dan umpan balik dari orang lain yang berupa cinta,
Senada dengan Holenen dan Santrock, Smet (1994) menyatakan bahwa dukungan
sosial adalah bantuan yang diberikan seseorang kepada orang lain, meliputi
bantuan material, mendorong adanya ungkapan perasaan ataupun pemberian
nasehat.
House (dalam Cooper, dkk, 2001) dukungan sosial merupakan tindakan
dari orang lain yang bersifat menolong atau membantu dengan melibatkan aspek
dukungan emosional, dukungan penghargaan, bantuan instrumental, dan
dukungan informasi yang dapat menyokong individu dalam mengatasi
masalahnya.
Pengertian dukungan sosial yang akan digunakan penelitian ini adalah
diterimanya bantuan atau pertolongan dari orang sekitar.
2. Aspek dukungan sosial
Dukungan sosial memiliki aspek yaitu.
a. Instrumental adalah bantuan langsung, pinjaman, pertolongan.
b. Informatif adalah nasehat, petunjuk, saran, umpan balik.
c. Emosional adalah ungkapan empati, kepedulian, dan perhatian terhadap orang
yang bersangkutan, misalnya: umpan balik, penegasan.
d. Penghargaan/penilaian adalah ungkapan hormat (penghargaan) positif untuk
orang tersebut. Dorongan maju atau persetujuan dengan gagasan/perasaan
3. Sumber dukungan sosial
Taylor (1999) mengemukakan sumber dukungan sosial berasal dari
keluarga, teman, kontak sosial dan komunitas.
a. Keluarga
Keluarga adalah kelompok sosial yang pertama dalam kehidupan
manusia. Dalam keluarga akan terjalin ikatan batin antara anggota keluarga
yang satu dengan yang lain. Keluarga dapat dijadikan tempat mengeluh dan
bercerita masalah-masalah yang sedang dihadapi, sehingga dapat membantu
mengurangi ketegangan akibat masalah yang dihadapi dengan memberikan
perhatian emosional dan membantu menyelesaikan masalah.
b. Teman
Teman yang menjadi sumber dukungan adalah teman dekat atau
akrab. Orang-orang yang dekat akan membentuk suatu kelompok.
Pembentukan kelompok memiliki 3 elemen yaitu kegiatan, interaksi, dan
perasaan yang berhubungan satu sama lain. Semakin banyak kegiatan yang
dilakukan bersama akan semakin besar perasaan kebersamaan dalam
kelompok. Mereka melakukan interaksi tidak hanya karena kedekatan fisik
saja, namun untuk mengurangi dan memecahkan masalah.
c. Kontak sosial dan komunitas
Sumber dukungan ini diperoleh individu melakukan interaksi dan
menjadi bagian dari kelompok masyarakat. Kelompok ini lebih besar daripada
interaksi yang terjalin bukan karena kedekatan fisik, tetapi juga untuk
mengurangi dan memecahkan masalah dengan memberi dukungan moril
maupun material.
4. Manfaat dukungan sosial
Dalam Sarafino (1997) dukungan sosial memiliki manfaat yang
berbeda-beda sesuai dengan bentuk dukungan yang diberikan. Manfaat tersebut akan
dijelaskan sebagai berikut:
a. Dukungan instrumental berupa bantuan fisik sehingga dapat mengurangi
beban atau kesulitan yang dihadapi.
b. Dukungan informatif dapat membantu individu memperoleh informasi yang
dibutuhkan, membantu dalam mencari jalan keluar dari kesulitan yang
dihadapi, dan memperoleh solusi dari kesulitan.
c. Dukungan emosional dapat membuat orang merasa nyaman, tentram, merasa
ada dalam lingkungan dan dicintai pada saat menghadapi kondisi stressful.
d. Dukungan penghargaan/penilaian dapat membangun harga diri individu,
kompetensi, merasa berharga, meningkatkan kepercayaan diri dan konsep diri.
F. Dukungan sosial dan tingkat stres orangtua dari anak autis
Orangtua dari anak autis mengalami banyak masalah, baik masalah
pengasuhan anak, pendidikan anak, pekerjaan, keuangan keluarga, dan ditambah
masalah yang ditimbulkan lingkungan sosialnya. Masalah-masalah yang dihadapi
stressful. Tingkat stres orangtua anak autis berbeda satu dengan yang lain. Salah
satu faktor yang terkait dengan tingkat stres adalah dukungan sosial yang diterima
oleh orangtua anak autis tersebut (Smet, 1994).
Dukungan sosial sangat dibutuhkan oleh setiap orang, tak terkecuali
orangtua dari anak autis. Sumber dukungan sosial orangtua anak autis berasal dari
pasangan hidup, keluarga, teman, rekan, masyarakat dan komunitas sosialnya
seperti, komunitas pemerhati autis, keagamaan, organisasi, hobi dan lain-lain.
Sumber dukungan ini merupakan hasil relasi yang dilakukan oleh orangtua anak
autis dengan lingkungan sosialnya. Relasi yang dibina akan memberi
kemungkinan untuk memperoleh dukungan yang dapat mereka gunakan ketika
menghadapi kesulitan/hambatan.
Dukungan sosial yang diterima orangtua anak autis memiliki aspek antara
lain, instrumen, informasi, emosional, dan penghargaan atau penilaian (Fauzisah,
dkk, 1999). Aspek-aspek dukungan sosial dapat membantu orangtua anak autis
menghadapi problematika hidup.
Aspek instrumental merupakan bantuan langsung, pinjaman, pertolongan
(Cooper, dkk, 2001). Bantuan ini dapat membantu menyelesaikan masalah dan
dapat menambah waktu rekreasi dan hiburan, sehingga secara langsung
membantu orangtua anak autis mereduksi stres (Sheridan dan Radmacher, 1992).
Aspek informatif merupakan bantuan yang berupa nasehat, petunjuk,
saran, umpan balik (Cooper, dkk, 2001). Orangtua membutuhkan bantuan ini
sering menyebabkan orangtua anak autis mudah terkena stres. Bantuan ini
membantu mereka mencari informasi yang dibutuhkan sehingga mereka tidak
salah langkah dan tidak timbul masalah baru. Bantuan ini juga membantu mereka
mencari jalan keluar/solusi sehingga mempermudah mereka melakukan koping
stres. Informasi yang mereka terima akan membuat mereka merasa lebih rileks
dan tenang (Sheridan dan Radmacher, 1992).
Aspek emosional merupakan ungkapan empati, kepedulian dan perhatian
terhadap orang yang bersangkutan (Cooper, dkk, 2001). Bantuan ini sangat
bermanfaat bagi orangtua anak autis, karena mereka sedang dalam proses
penerimaan diri. Proses yang dialaminya sering menyebabkan mereka merasa
sangat sedih, marah, gelisah, kecewa, marasa bersalah, takut, cemas, tak berdaya,
rendah diri, dan perasaan negatif lainnya. Dukungan yang diberikan akan
membantu mereka untuk bangkit dari keterpurukan, sebab dukungan ini dapat
membuat mereka merasa dicintai, diperhatikan, dikuatkan, dan diterima. Perasaan
ini dapat membuat mereka merasa lebih damai, bahagia, nyaman, tentram, merasa
ada dalam lingkungan, dan rileks, sehingga ketahanan terhadap stres dan
kemampuan koping stresnya meningkat (Sarafino, 1997).
Aspek penghargaan atau penilaian merupakan bantuan yang berupa
ungkapan hormat (penghargaan) positif, dorongan maju, persetujuan dengan
gagasan/perasaan individu dan perbandingan positif orang itu dengan orang lain
(Cooper, dkk, 2001). Orangtua anak autis membutuhkan dukungan ini, karena
tidak mampu, tidak berharga, dan tidak jarang menganggap diri mereka sebagai
manusia yang selalu dirundung kemalangan. Dukungan ini sangat bermanfaat
untuk mereka, sebab dukungan ini dapat membangun harga diri individu,
kompetensi, merasa berharga, meningkatkan kepercayaan diri dan konsep diri
(Safarino, 1997). Potensi dalam diri ini membantunya menghadapi situasi yang
penuh tekanan.
Sarason (dalam Taifur, 2003) menemukan bahwa individu yang memiliki
dukungan sosial tinggi akan memiliki harga diri yang tinggi dan konsep diri yang
baik, sehingga orangtua anak autis memiliki pandangan yang optimis terhadap
kehidupan. Sikap optimis menyebabkan mereka terbebas dari pikiran negatif yang
dapat menggangu kesehatannya dan mampu menilai tuntutan/hambatan/kesulitan
secara lebih positif, sehingga mereaka tidak mudah terkana stres.
Pendapat senada disampaikan oleh Nietzel (2002) menyatakan dukungan
sosial dapat meningkatkan kepercayaan diri dan kepercayaan kepada orang lain.
Rasa percaya pada diri sendiri dan orang lain dapat membantu orangtua untuk
menghadapi kondisi yang penuh stressful, karena orangtua akan memiliki
keyakinan bahwa mereka mampu mengatasi hambatan, tantangan, dan tuntutan
dan tentu saja akan menumbuhkan penerimaan diri terhadap apapun yang terjadi
pada dirinya. Potensi-potensi yang diterima orangtua dari dukungan sosial dapat
digunakan untuk menghadapi situasi yang penuh stressful. Potensi-potensi yang
dimiliki oleh orangtua dapat mengurangi dampak stres seperti frustrasi,
Sarafino (Smet, 1994) menyatakan dukungan sosial yang tinggi memberi
pengaruh positif dalam kesehatan individu, karena dukungan sosial dapat
meningkatkan harga diri, konsep diri, kepercayaan diri, dan kepuasan terhadap
hidup. Ini dapat menyebabkan orangtua dari anak autis memiliki pikiran yang
positif, optimis, dan penuh dengan gairah atau semangat hidup. Potensi yang
dimiliki dapat membantu orangtua dalam menghadapi kondisi yang penuh
stressor, sehingga mereka memiliki toleransi terhadap stres lebih baik dan
membuat tingkat stres mereka lebih rendah dibanding orangtua dengan dukungan
sosial yang rendah.
G. Hipotesis
Ada hubungan negatif antara dukungan sosial dengan tingkat stres