• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara dukungan sosial dan tingkat stres orangtua dari anak autis.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan antara dukungan sosial dan tingkat stres orangtua dari anak autis."

Copied!
123
0
0

Teks penuh

(1)

viii ABSTRAK

Agustin Tri Susilowati (2006). Hubungan antara Dukungan Sosial dan Tingkat Stres Orangtua dari Anak Autis. Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

Penelitian ini adalah penelitian korelasional, yang bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara dukungan sosial dan tingkat stres orangtua dari anak autis. Penelitian ini menggunakan 2 skala yaitu Skala Dukungan Sosial SDS) dan Skala Tingkat Stres (STS) yang masing-masing terdiri dari 50 item. Pengujian validitas alat ukur menggunakan profesional judgement

dan uji reliabilitasnya dengan Alpha Cronbach. Koefisien reliabilitas Skala Dukungan Sosial (SDS) sebesar 0,970 dan Skala Tingkat Stres (STS) sebesar 0,962.

Metode pengambilan sampel penelitian adalah purpose sampling. Sampel diambil sebanyak 50 subyek yang berasal dari orangtua anak autis dimana anaknya sekolah di SLB Citra Mulia Mandiri atau SLB Negeri 1 Wonosari.

Uji hipotesis penelitian ini menggunakan teknik korelasi Pearson Product Moment dengan program SPSS versi 12.0 for windows. Hasil uji hipotesis diperoleh koefisien korelasi -0,607. Hipotesis penelitian ini diterima dan signifikan. Nilai negatif koefisien korelasi menunjukkan hubungan negatif. Jadi, ada hubungan negatif antara dukungan sosial dan tingkat stres orangtua anak autis. Semakin tinggi dukungan sosial yang diterima, maka semakin rendah tingkat stres yang dirasakan dan sebaliknya.

(2)

ix ABSTRACT

Agustin Tri Susilowati (2006). The Relationship between Social Supports and the Stress Level from Parents of Children with Autisms. Faculty of Psychology Sanata Dharma University.

This research is a correlation research, which has purpose to know whether there is a relation between social supports and stress level from parents of children with autisms or not. This research using 2 scales those are: Social Supports Scale and the Stress Level scale, which each of scale has 50 items. Validation test scale use professional judgmentand the reliability test with Alpha Cronbach. The Reliability of Social Supports Scale is 0, 970 and the Stress Level scale is 0, 962.

This research using purpose sampling method. There were 50 subjects who are parents of children with autisms that are studying in SLB Citra Mulia Mandiri or SLB Negeri 1 Wonosari.

Hypothesis test this research using correlation technique Person Product Moment with SPSS version 12.0 program for windows. Hypothesis test resulted -0,607 for correlation coefficient. Hypothesis of this research was accepted and significantly. The negative score in this correlation showed that there is a negative relationship between social supports and stress level from parents of children with autisms. The higher social supports will be, the lower stress level will be, or on its contrary.

(3)

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DAN

TINGKAT STRES ORANGTUA DARI ANAK AUTIS

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi salah satu syarat

Memperoleh gelar Sarjana Psikologi

Program Psikologi

Oleh:

Agustin Tri Susilowati

NIM : 019114031

FAKULTAS PSIKOLOGI PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(4)
(5)
(6)

iv

Skripsi ini saya persembahkan untuk

Bapak, Ibu, Kakakku Unyil & Noi,

Adikku Thonkie & Wenny, dan seluruh

(7)

v

”Akan lebih menarik apabila salah melakukan sesuatu ketimbang selalu

benar-kesalahan membuatmu mencari lebih jauh, dan belajar lebih

banyak”

(8)

vi

Samubarang kabeh katitahake endah ing wayah kang wus kapesthekake,

mlah atine padha kaparingan kalenggahan, nanging manungsa ora biasa

nyumurupi pakaryaning Allah wiwit-wiwitan nganti wekasan

-Kohelet 3:

11-Mulane aja padha sumelang ing bab dina sesuk, amarga dina sesuk iku

kadunungan kasusahan dhewe, kasusahan sadina, wus cukup kanggo

sadina ((

-mateus 6:34-.

Padha bungaha sajroning pengarep-arep, disabar sajroning karupekan,

dimantep anggomu ndedonga! ((

(9)

vii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini

tidak memeuat karya atau bagian karya orang laian, kecuali yang telah disebut dalam

kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 26 Januari 2007

Penulis

(10)

viii ABSTRAK

Agustin Tri Susilowati (2006). Hubungan antara Dukungan Sosial dan Tingkat Stres Orangtua dari Anak Autis. Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

Penelitian ini adalah penelitian korelasional, yang bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara dukungan sosial dan tingkat stres orangtua dari anak autis. Penelitian ini menggunakan 2 skala yaitu Skala Dukungan Sosial SDS) dan Skala Tingkat Stres (STS) yang masing-masing terdiri dari 50 item. Pengujian validitas alat ukur menggunakan profesional judgement

dan uji reliabilitasnya dengan Alpha Cronbach. Koefisien reliabilitas Skala Dukungan Sosial (SDS) sebesar 0,970 dan Skala Tingkat Stres (STS) sebesar 0,962.

Metode pengambilan sampel penelitian adalah purpose sampling. Sampel diambil sebanyak 50 subyek yang berasal dari orangtua anak autis dimana anaknya sekolah di SLB Citra Mulia Mandiri atau SLB Negeri 1 Wonosari.

Uji hipotesis penelitian ini menggunakan teknik korelasi Pearson Product Moment dengan program SPSS versi 12.0 for windows. Hasil uji hipotesis diperoleh koefisien korelasi -0,607. Hipotesis penelitian ini diterima dan signifikan. Nilai negatif koefisien korelasi menunjukkan hubungan negatif. Jadi, ada hubungan negatif antara dukungan sosial dan tingkat stres orangtua anak autis. Semakin tinggi dukungan sosial yang diterima, maka semakin rendah tingkat stres yang dirasakan dan sebaliknya.

(11)

ix ABSTRACT

Agustin Tri Susilowati (2006). The Relationship between Social Supports and the Stress Level from Parents of Children with Autisms. Faculty of Psychology Sanata Dharma University.

This research is a correlation research, which has purpose to know whether there is a relation between social supports and stress level from parents of children with autisms or not. This research using 2 scales those are: Social Supports Scale and the Stress Level scale, which each of scale has 50 items. Validation test scale use professional judgmentand the reliability test with Alpha Cronbach. The Reliability of Social Supports Scale is 0, 970 and the Stress Level scale is 0, 962.

This research using purpose sampling method. There were 50 subjects who are parents of children with autisms that are studying in SLB Citra Mulia Mandiri or SLB Negeri 1 Wonosari.

Hypothesis test this research using correlation technique Person Product Moment with SPSS version 12.0 program for windows. Hypothesis test resulted -0,607 for correlation coefficient. Hypothesis of this research was accepted and significantly. The negative score in this correlation showed that there is a negative relationship between social supports and stress level from parents of children with autisms. The higher social supports will be, the lower stress level will be, or on its contrary.

(12)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala rahmat dan karunia serta pertolonganNya yang telah diberikan, sehingga penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan dengan baiak.

Selama penyusunan skripsi ini penulis telah menerima banyak masukkan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena ini pada kesempatan ini penulis mengucapakan banyak terima kasih kepada pihak-pihak berikut ini:

1. Ibu ML. Anantasari, S.Psi. M.Si, selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberi bimbingan dan petunjuk dari awal hingga terselesainya skripsi ini. 2. Ibu A. Tanti Arini, S.Psi dan bapak C. Wijoyo Adinugroho, S.Psi sekalu dosen

penguji skripsi yang telah membantu saya untuk lebih memahami hasil penelitian saya.

3. Bapak Eddy Suhartanto, S.Psi, M.Si selaku dekan fakultas Psikologi yang telah mengizinkan penelitian ini berlangsung.

4. Direktur & Pengurus Diklat RSJD Soejarwadi Klaten yang telah mengizinkan mengadakan ujicoba alat tes. Bu Eko, Bu Harmi (bimbingannya), Bapak Wayan, Bu Anik, Bu Ulfa, Bapak Muchlis, Bapak Haryono, Bu Santi & Bu Pras Terimakasi atas keramahan dan informasinya.

5. Ibu Maryani, Bapak Eko & PakDhe, Bu Ninis dan seluruh Staf pengajar, Bapak Samidi terimakasih atas dukungan dan partisipasinya. Orangtua anak autis yang telah berpartisipasi dan membantu saya mengenal lebih jauh tentang anak autis. Mama Ilham, Mama & Mapa Josua, Mama Mario, Mama Aji, Mama Putri, Papa e Rian dan seluruh orangtua yang gak bisa aku sebut satu persatu. Anak-anak istimewa yang tak kan pernah kulupakan: Roy (kamu ramah sekali), puput, Sarah, Henry, Josua, Ilham, Aji, Mario, Wira, Antonie (makasi pelukannya), Bagas, Rian, & Jefri.

(13)

xi

7. Bu Tri, Bu Susi, Bu Prita dan seluruh Guru SLB Negeri 1 Wonosari….. Terimakasih sudah diizinkan untuk melakukan penelitian, keramahan, dan informasinya. Mama Ihsan makasih informasinya. Seluruh orangtua yang berperanserta dalam penelitian ini.

8. My family: Bapak&Ibu Terimakasih atas segala pengorbanan yang diberikan kepadaku. Terimakasih atas limpahan kasih sayang yang telah membentukku menjadi sekarang ini I love you…….. saudara-saudaraku yang cantik dan cakep: mb. Sulis (Unyil), mb. Tina (Nokieman), Caturrrrrr (Thonkiecie) dan adik kecilku yang tlah hilang Wenny (Kucrut) I love u all.

9. Sikung (alm) & Mbah Uti terimakasi atas doa-danya dan wejangannya. Bu’D Sri, P’D Mul, P’D Hanono & Bu’D Tegal, P’D Haryadi & Bu’D Warni, Om Agus & Bulik Dayan, Lik Hesti & Lik Mardi, Lik Titik & Lik Tamir, Lik Doso & mb Yayuk (he..he..he.. akhirnya aku bisa, matur nuwun gih). Buat sepupu-sepuku yang cantik & cakep (Trah Sastro):mb Siwi & Joko Gedek, mb Nunuk & m’ Agung “Jumingun ‘, m’ Joko “Jokek” & mb Nur, m’Nungku “Nungkek” & mb Nana, mb Yayan & m’ Eko “Lemot”, m’Caryo “Kngacir”

& mb Melta, m’Wida, m’Rio “Kasino”, Rian, Gayuh “Momo”, Rut

“Gondut”, Fredi “Kompret”, Beta “Kobet” (makasi ya dah nganter-nganter aku kemana-mana), Ida “Idut”, Adi “Tison” (Alm.), Wisnu “Nonot”, Ari Olive” dan Dwi ”Klinting”. (he…he..he.. kalian tu berharga banget buat hidupku dan sumber inspirasiku. I love u all). Keponakanku yang cuakep dan cuantik: Praz “Manthuk”, Ian “Ichunk”, Arin “G. Ampel”, Fanny “G. Tegal”, Mirecle “Etel gretel” & Ngacir Jr. Bravo Trah Sastro Suyono…Sing rukun ya.. (he..he..he..).

10.Dnee & MASlow (makasi ya dah menemani aku di saat suka & duka). Dyna pembimbing spiritualku yang selalu mendoakanku disetiap waktu. Dewi (aneh ya wi kita kok bisa ketemu lagi), Evi (inget ma taruhan kita yang dulu ye…),

Nining (kapan kita bisa diskusi lagi). Ita & Elis (akhirnya aku bisa nyusul kalian he..he..he..).

(14)

xii

mb Een, mb Yanti &Tutik, mb Lia. Makasi dah ngisi hari-hariku di Yogya…. Fajar (makasi dukungan & informasinya). Otir (makasi dah nganter ke SLB ya).

12.M’Muji (kenapa kalo ketemu ngledek trus. But makasi dah bri semangat dari ledekannya), m’Doni terimakasih dah mo photokopiin bahanku yang seabrek. m’ Gandung & mb. Nanik makasi banyak ya. Special buat p’ gie, makasih ya atas keramahnya dan bantuanya.

13.Teman-teman KKN: Anita “Nyit-nyit”, Dessy “Gapuro”, Ilko “Ilce”, Ngadiono “Ngat-ngat”, Uun “Paman Dolit”, & Maria “Putri Balsem”.

He…he…he.. akhirnya aku bisa nyusul kalian…

14.Anak-anak kelas A: Eli, Etik, Farah (yang telah mau menemani belu ketika mo ujian makasie ya). Tias (bogor), Sisca, Sapti, Rani, Dewi, Yuni, Nopek, Lina, Wilis, Nina, Silva, Anas, Lala, Dedy, Tyo, Adi, Kris, Eko, Kobo, Pati, Jule, Vera, Agus, Fedriyan, Andre, Diana, Tari, Vinda, Nana, Selly, Ela, Mansya, Via, Uul, Anita, Chintia, Tias, Awan, Ariska, Bayu, Tejo, Debby, Nuke, Yayak, Hastin, Lintang, Merlin, & Ita. (Maaf kalo ada yang kelewatan) Makasi dukungan dan saya sangat menikmati perjuangan kita dulu. Teman-teman beda kelas: Icha, Rani, Ninik, Iin, Lia, Anes, mb Ajeng, Dhini, dan lain-lain. Pokoknya yang kenal sama Belu Berarti itu temanku he....he...he...

15.Teman-temen Gerejaku: Ika, Endah, m’ Aan & mb Sari, m Aga, m Wawan, Noel, Bom-Bom, Fafan, Lia, m’Ujup & mb Lia, Adit, Adit Puguh & Bagus, Ijub, Fajar, Adi, Anggun, Lukas, Natalia, Gama dll. Abiz banyak banget. Temen Komselku: Kak Ina, Vera, Kak Lisbet, & Ci Dessy. Terimakasi doa-doanya.

16.Pihak SMP Kristen 1 Klaten yang telah memberi saya kelonggaran untuk menyelesaikan kuliah saya dan yang telah mendukung saya.

(15)

x DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Judul……….. i

Halaman Persetujuan Pembimbing... ii

Halaman Pengesahan.………... iii

Halaman Persembahan... iv

Halaman Moto... v

Pernyataan Keaslian Karya... vii

Abstrak... viii

Abstract... ix

Kata Pengantar... x

Daftar Isi... xiii

Daftar Gambar... xvi

Daftar Tabel ... xvii

Daftar Lampiran... xviii

BAB I. PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang...………. 1

B. Rumusan Masalah.……….…. 6

C. Tujuan Penelitian.……….…….. 6

D. Manfaat Penelitian………... 6

BAB II. LANDASAN TEORI………. 9

A. Stres……….. 9

1. Pengertian Stres………. 9

2. Indikator Stres ……….………….. 11

3. Penilaian Kognitif terhadap Stres …………...………. 14

(16)
(17)

xii

F. Pengujian Validitas dan Reliabilitas…..………... 49

1. Uji Validitas…..………... 49

2. Uji Analisa Data…..……….…………... 50

3. Uji Reliabilitas…..………... 50

G. Metode Analisis Data…..………... 51

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN…..………... 53

A. Persiapan Penelitian…..………... 53

1. Perizinan…..……….…... 53

2. Pelaksanaan Uji Coba Penelitian…..……..………... 53

3. Skala Dukungan Sosial…..………... 54

4. Skala Tingkat Stres…..…….………... 55

B. Pelaksanaan Penelitian…..…..………... 57

C. Hasil Penelitian…..………... 57

1. Uji Asumsi…..………... 57

a Uji Normalitas…..…………..………... 57

b Uji Linearitas…..………... 58

2. Uji Hipotesis…..………... 59

D. Pembahasan…..………...…... 60

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN…..………... 66

A. Kesimpulan…..………... 66

B. Saran…..………... 67

Daftar Pustaka…..………...………... 69

(18)

xiii

DAFTAR GAMBAR

(19)

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Blue Print Sebelum Uji Coba Skala Dukungan Sosial... 46

Tabel 2. Spesifikasi item Skala Dukungan Sosial Sebelum Uji Coba... 46

Tabel 3. Penskoran Item Favorabel dan Unfavorabel …..………... 47

Tabel 4. Blue Print Sebelum Uji Coba Skala Tingkat Stres…………... 48

Tabel 5. Spesifikasi item Skala Tingkat Stres Sebelum Uji Coba …... 48

Tabel 6. Penskoran Item Favorabel dan Unfavorabel.………... 49

Tabel 7. Nomor-Nomor Item yang Sahih dan Gugur Skala Dukungan Sosial 54

Tabel 8. Blue Print Skala Dukungan Sosial (Setelah Uji Coba)....…... 55

Tabel 9. Nomor-Nomor Item yang Sahih dan Gugur Skala Tingkat Stres... 55

Tabel 10. Blue Print Skala Tingkat Stres (Setelah Uji Coba)....…... 56

(20)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

1. Skala Uji Coba..………….………... 74

2. Data Uji Coba…..…...……….…………... 83

3. Uji Beda dan Reliabilitas Item…..…..………... 114

a. Uji Beda dan Reliabilitas Item Skala Dukungan Sosial…..……….. 115

b. Uji Beda dan Reliabilitas Item Skala Dukungan Sosial……..…….. 123

4. Skala Penelitian…..………...…………... 132

5. Data Penelitian…..………... 140

6. Uji Asumsi…..………..…………... 162

a. Uji Normalitas…..………... 163

b. Uji Linearitas…..………... 164

7. Uji Hipotesis…..………... 165

(21)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap orangtua pasti bahagia bila anak mereka lahir dengan selamat, sehat

tanpa kekurangan apapun. Mereka mengharapkan anaknya berkembang

sempurna, akan tetapi tidak semua dapat berkembang sempurna. Ada anak-anak

yang mengalami gangguan perkembangan, salah satunya autis.

Istilah autis diperkenalkan oleh seorang Psikolog Austria, yang bernama

Leo Kanner pada tahun 1943 (Attwood, 2005). Autis merupakan

ketidakmampuan berinteraksi dengan orang lain, mengalami gangguan berbahasa

yang ditunjukan dengan penguasaan yang tertunda, ecolalia, mutism, pembalikan

kalimat, aktivitas bermain yang repetitif dan stereotipik, rute ingatan kuat dan

keinginan obsetif untuk mempertahankan keteraturan dalam lingkungan. Autis

digolongkan dalam gangguan pervasif atau Pervasive Developmental Disorders

(Safaria, 2005).

Autis memiliki ciri-ciri seperti berikut ini: menghindari kontak mata, tidak

suka dipeluk, mengisolasi diri, tidak menyukai suara tertentu, menyukai kegiatan

yang rutin dan bila terjadi perubahan sedikit akan membuatnya merasa gelisah,

cemas dan tantrum. Anak menyukai gerakan yang ritmik, seperti berputar,

(22)

ganguan dalam bahasa, mereka tidak mampu memahami arti bahasa verbal

maupun nonverbal (Coleman & Broen, 1997).

Orangtua kadang kurang peka dengan gangguan perkembangan ini.

Mereka menganggap gangguan ini sebagai keterlambatan perkembangan biasa.

Namun, ketika perkembangan anak tidak menunjukkan kemajuan bahkan

mengalami kemunduran mereka baru sadar bahwa anaknya mengalami gangguan

dalam perkembangan. Orangtua melakukan banyak pemeriksaan pada anaknya

(Danuadmaja, 2003).

Orangtua mengalami syok bercampur perasaan sedih, takut, kuatir, cemas,

dan marah ketika mendengar hasil pemeriksaan yang menyatakan anaknya

mengalami gangguan autis. Perasaan tidak percaya bahwa anaknya mengalami

autis kadang-kadang menyebabkan orangtua mencari dokter lain untuk

menyangkal diagnosa dokter terdahulu, bahkan sampai berulang kali berganti

dokter. Mereka dihadapkan pada fakta yang objektif dari beberapa sumber.

Mereka merasa terpukul dan terpaksa menerima kepahitan yang menimpa

anaknya. Bagaimana tidak, jika anak yang mereka sangat cintai menderita

gangguan yang menyebabkan tidak berkembang secara kognitif, emosi, dan sosial

seperti anak-anak yang lain (Safaria, 2005).

Reaksi emosional orangtua yang muncul ketika pertama kali mengetahui

anak memiliki gangguan autis adalah hal yang wajar. Setiap orangtua yang

menghadapi diagnosis autis bagi anaknya pasti menunjukkan reaksi emosi yang

(23)

harus diterima. Bila orangtua tidak memahami dan menyadari emosi-emosi dalam

dirinya, akan membuat mereka tidak mampu mengendalikan reaksi emosinya.

Mereka terjebak dalam lingkaran gejolak emosi-emosi, sehingga mereka

mengalami banyak dampak negatif, baik fisik maupun psikologis. Mereka

mengalami depresi, kecemasan, kekuatiran, perasaan putus asa, atau stres yang

dapat menimbulkan pengaruh secara fisik dengan memunculkan penyakit stres

seperti maag, migran, stroke, lesu, dan letih (Safaria, 2005).

Puspita (2005) mengutarakan hal yang sama tentang kondisi psikologis

dari orangtua dari anak autis. Setiap orangtua mengalami proses yang sangat sulit

untuk dapat menerima kenyataan. Banyak orang yang sebelum sampai pada tahap

penerimaan diri mengalami ketidak berdayaan, depresi, dan sering berkembang

menjadi stres berkepanjangan ataupun sakit secara fisik.

Proses penerimaan diri orangtua membutuhkan waktu yang relatif lama,

bahkan dapat berlangsung bertahun-tahun. Orangtua mengalami jatuh bangun

untuk menyelesaikan tiap-tiap tahap. Mereka merasakan perasaan yang tidak

menyenangkan sehingga mereka sering merasa sangat lelah dan stres. Penelitian

ini menggunakan subjek orangtua yang memiliki masa pendampingan terhadap

anaknya antara 1 sampai 6 tahun, sebab orangtua masuk pada fase awal dari

penerimaan diri. Orangtua dipenuhi perasaan cemas, takut, kecewa, marah, sedih,

gelisah, merasa bersalah, dan perasaan negatif lain yang campur aduk. Perasaan

(24)

Sarafino (dalam Smet, 1994) berpendapat stres adalah suatu kondisi hasil

transaksi antara individu dengan lingkungan yang menimbulkan persepsi antara

tuntutan-tuntutan yang berasal dari situasi dengan sumber-sumber daya sistem

biologis, psikologis dan sosial dari seseorang.

Dampak dari stres dapat dikurangi dengan cara menciptakan lingkungan

yang mendukung. Dukungan dari keluarga dan teman akan menciptakan suasana

yang menyenangkan. Dukungan sosial menurut Johson dan Johson (dalam Taifur,

2003) adalah keberadaan orang lain yang dapat diandalkan untuk dimintai

bantuan, dorongan, dan penerimaan apabila individu mengalami kesulitan atau

masalah.

Dukungan sosial sangat penting dalam berbagai aspek kehidupan individu,

mengingat individu adalah makhluk sosial yang selalu berhubungan satu sama

lain. Kurang atau tidak tersedianya dukungan sosial akan menjadi individu merasa

tidak berharga dan terisolasi. Keadaan tersebut memungkinkan terjadinya

berbagai masalah dalam kehidupan. Sebaliknya dukungan sosial akan memberi

pengalaman pada individu bahwa dirinya dicintai, dihargai, dan diperhatikan

(Neizel, dkk, 1998).

Dukungan sosial terdiri dari dukungan emosi, instrumental, informatif

dan penghargaan/penilaian (Smet, 1994). Dukungan sosial dari lingkungan di

sekitar akan memberi pengaruh positif bagi diri individu. Sarason (dalam Taifur,

2003) menemukan bahwa individu yang memiliki dukungan sosial tinggi akan

(25)

memiliki pandangan yang optimis terhadap kehidupan. Dukungan sosial dapat

meningkatkan kepercayaan diri (Balimulia, 2003) dan kepuasan hidup

(Tavipamartiwi, 2002). Potensi di atas sangat dibutuhkan oleh individu

menghadapi kondisi yang stressful.

Taylor (dalam Smet, 1994) menyatakan bahwa tingkat stres dapat

mempengaruhi kondisi kesehatan. Orang yang tingkat stres tinggi memiliki

kemungkinan mengalami ganguan fisik maupun psikologis, sedang dukungan

sosial memiliki hubungan secara tidak langsung dengan tingkat stres. Adanya

dukungan sosial dapat membantu orangtua menghadapi persoalan, sehingga

memberi pengaruh positif dengan kondisi kesehatannya.

Penelitian ini memilih dukungan sosial sebagai variabel bebas karena

peneliti ingin membuktikan dukungan sosial masih berfungsi bagi orangtua anak

autis dalam menghadapi stressor. Orangtua anak autis mengalami masalah yang

terlalu berat dan sering membuat mereka menjadi stres, sehingga dukungan sosial

belum tentu cukup membantu mereka dalam mengatasi stres.

Penelitian ini menggunakan subjek orangtua anak autis, karena mereka

sangat rentan terkena stres. Stres dapat disebabkan oleh masalah-masalah mereka

yang belum terselesaikan dan masalah-masalah baru, sehingga mereka

membutuhkan dukungan sosial dari orang disekitarnya untuk menopang mereka

dalam mengatasi masalah. Dukungan sosial sebagai faktor eksternal dapat

membantu mereka untuk bertahan hidup dalam dunia yang penuh dengan

(26)

Stres dapat mempengaruhi kondisi kesehatan orangtua anak autis.

Orangtua yang tingkat stresnya tinggi memiliki kemungkinan terkena penyakit

fisik maupun psikis. Kondisi seperti ini sangat tidak menguntungkan bagi diri

sendiri maupun anak autis, karena anak autis sangat membutuhkan perhatian dan

energi yang ekstra. Perhatian yang ekstra ini hanya terjadi bila orangtua memiliki

kondisi yang prima. Permasalahan di atas menunjukkan pentingnya dilakukan

penelitian lebih lanjut tentang hubungan antara dukungan sosial dan tingkat stres

orangtua dari anak autis.

B. Rumusan Masalah

Berdasar latar belakang di atas, peneliti membuat rumusan masalah penelitian

sebagai berikut: Adakah hubungan antara dukungan sosial dengan tingkat stres

orangtua dari anak autis?

C. Tujuan Penelitian.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara

(27)

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

a. Menambah wacana yang terkait dengan ilmu psikologi, yang berfokus

pada pembahasan tentang dukungan sosial dan tingkat stres orangtua dari

anak autis.

b. Penelitian ini seyogyanya dapat digunakan sebagai literatur dalam

pelaksanaan penelitian yang relevan di masa yang akan datang.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi peneliti

Penulis dapat mengetahui hubungan antara dukungan sosial dan

tingkat stres orangtua dari anak autis.

b. Bagi orangtua dari anak autis.

Jika penelitian ini terbukti, diharapkan dapat meningkatkan

kesadaran orangtua dari anak autis untuk saling mendukung sehingga

dapat membantu mengurangi tekanan yang dihadapi dan mencari

pemecahan masalahnya.

c. Bagi masyarakat

Jika penelitian ini terbukti, diharapkan kesadaran masyarakat

untuk memberi dukungan sosial kepada orangtua dari anak autis

(28)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Stres

1. Pengertian stres

Stres adalah situasi yang menuntut seseorang di luar batas kemampuannya

untuk beradaptasi (Handoyo, 2001). Pendapat senada disampaikan oleh Robbins

(2003) stres adalah kondisi dinamik yang didalamnya individu dikonfrontasikan

dengan suatu peluang, kendala (constraints) atau tuntutan (demands) yang terkait

dengan apa yang sangat diinginkan hasilnya, dan dipersepsikan sebagai tidak pasti

dan penting. Halonen dan Santrock (1999) menyatakan stres merupakan respon

individu terhadap keadaan atau kejadian yang mengancam (stressor) dan

menganggu kemampuan koping.

Sarafino (1997) mendefinisikan stres menurut 3 sudut pandang antara lain

sebagai berikut:

a. Stres sebagai stimulus

Individu melihat dalam referensi orang terhadap sumber atau

penyebab kegelisahan dan tekanan sebagai kejadian atau keadaan yang

menyebabkan stres. Keadaan atau kejadian yang membuat kita merasa

terancam atau terganggu, sehingga menghasilkan perasaan tertekan disebut

(29)

b. Stres sebagai respon

Sarafino memfokuskan pada reaksi terhadap stressor. Individu secara

cepat akan merespon stimulus yang diterimanya. Respon yang dihasilkan

dapat berupa fisik, seperti: jantung berdebar, mulut kering, perut mual,

berkeringat, maupun psikologi berupa perilaku, kognitif, dan emosional.

Cannon dalam teori Fight or flight menyatakan bahwa tubuh

melakukan reaksi untuk melawan tekanan yang berbahaya. Tubuh secara

cepat terangsang dan termotivasi melalui sistem saraf simpatik dan endorin,

sehingga individu selalu merespon setiap stimulus yang diterimanya. Respon

dapat berupa menghindar (flight) atau menghadapi (fight) (Sarafino, 1997).

Pendapat senada disampaikan oleh Selye tahun 1936 (dalam Sarafino,

1997) menyatakan bahwa oragnisme dihadapkan stressor akan mendorong

dirinya sendiri untuk melakukan tindakan. Usaha diatur oleh kelenjar

adrenalin yang akan mengaktifkan sistem saraf simpatik. Selye membagi 3

tahap yang disebut General Adaption System (GAS), yaitu: (1) Tahap reaksi

alarm (alarm reaction) merupakan upaya mempersiapkan diri untuk melawan

stres. (2) Tahap resisten (resistance reaction) merupakan tahap tubuh

melakukan penyesuaian pada keadaan yang menimbulkan stres. (3) Tahap

kelelahan (exhoustion reaction) terjadi ketika tubuh sudah tidak mampu lagi

(30)

Jadi dapat disimpulkan stres merupakan reaksi individu terhadap

stimulus yang mengancam. Respon yang dilakukan disebut dengan

ketegangan (strain).

c. Stres sebagai transaksi

Stres adalah hubungan antara individu dengan lingkungan yang

merupakan kelanjutan dari interaksi dan penyesuaian diri. Stres tidak hanya

stimulus atau respon, namun sebuah proses yang mana individu sebagi agen

aktif yang dapat mempengaruhi dampak dari stressor terhadap perilaku,

kognitif, dan emosional.

Sarafino (1997) menyimpulkan bahwa stres merupakan suatu kondisi hasil

transaksi orang atau lingkungan membawa individu merasa ketidaksesuaian-nyata

atau tidak-dengan tuntutan dari situasi dan sumber daya biologis, psikologi atau

sistem sosial.

Pengertian stres yang digunakan dalam penelitian ini adalah suatu keadaan

yang menuntut dan membebani individu baik secara fisiologis maupun psikologis

yang menimbulkan tegangan, sehingga membuat individu berusaha untuk

mengatasi.

2. Indikator stres

Indikator stres menurut Robbins (2003) adalah sebagai berikut.

a. Fisiologis yang berupa sakit kepala, tekanan darah naik, sakit liver.

b. Psikologis yang berupa gelisah, depresi penurunan kepuasan.

(31)

Cox (dalam Handoyo, 2001; Gibson, 1984) mengemukakan indikator stres

adalah sebagai berikut.

a. Fisiologis yaitu menyebabkan gangguan pada kesehatan fisik yang berupa

penyakit yang sudah diderita sebelumnya atau memicu timbulnya penyakit

tertentu.

b. Kognitif yaitu ketidakmampu mengambil keputusan, kurang kosentrasi dan

peka terhadap ancaman.

c. Perilaku yaitu peningkatan konsumsi alkohol dan rokok, tidak nafsu

makan/makan berlebihan, penyalahgunaan obat-obatan, menurun semangat

untuk berolahraga yang berakibat pada pola diet dan timbulnya beberapa

penyakit. Stres dapat meningkatkan intensitas kecelakaan baik di rumah, di

tempat kerja, dan di jalan.

d. Psikologi yaitu kegelisahan, kelesuan, kebosanan, depresi, kelelahan,

kekecewaan, kehilangan kesabaran, harga diri yang rendah dan agresi.

Sarafino (1997) memecahan gejala psikologi menjadi lebih spesifik lagi

menjadi gejala emosional. Ia membagi 4 tanda individu mengalami stres

antaralain sebagai berikut:

a. Fisiologis yaitu detak jantung dan pernafasan rata-rata meningkat dengan

segera, gemetar terutama pada kaki dan tangan. migran, sakit kepala, pegal di

(32)

b. Emosional yaitu marah-marah, sedih, cemas, phobia, depresi, tidak bahagia,

mood (suasana hati) yang buruk, putus asa, tampak lesu dan pasif, konsep diri

rendah serta suka menyalahkan diri.

c. Kognitif yaitu ganguan dalam pola berpikir.

d. Interpersonal yaitu sikap permusuhan, menarik diri, tidak ramah, mudah

tersinggung, acuh dan mendiamkan orang lain, kepercayaan menurun, mudah

mengingkari janji, senag mencari kesalahan orang lain, menutup diri, agresif,

dan tidak peka terhadap lingkungan sekitar.

Jadi, dari beberapa pendapat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa

indikator stres yaitu sebagai berikut:

a. Fisiologis berupa sakit kepala, migran, detak jantung meningkat, tekanan

darah naik, pucat, pernafasan rata-rata meningkat (terengah-engah), gemetar

pada kaki dan tangan, berkeringat, pegal pada leher dan punggung, insomnia,

lelah, dan gangguan pencernaan.

b. Emosional berupa gelisah, cemas, kuatir, kecewa, panik, bosan, lesu, marah,

sedih, mood (suasana hati) yang buruk, depresi, putus asa, tidak sabar,

menyalahkan diri, dan rendah diri.

c. Kognitif berupa gangguan dalam pola berpikir, susah kosentrasi, terfokus

pada satu hal saja sehingga susah diajak berpikir yang lain, mudah lupa, pola

(33)

d. Perilaku berupa peningkatan konsumsi alkohol, rokok, obat-obatan, tidak

nafsu makan, makan berlebihan, menarik diri, penurunan semangat olahraga,

sukar tidur, banyak tidur, malas, dan penurunan produktifitas.

e. Interpersonal berupa sikap permusuhan, menarik diri, tidak ramah, mudah

tersinggung, acuh dan mendiamkan orang lain, kepercayaan menurun, mudah

mengingkari janji, senag mencari kesalahan orang lain, menutup diri, agresif,

dan tidak peka terhadap lingkungan sekitar.

3. Penilaian kognitif terhadap stres

Penilaian terhadap stres terjadi pada proses kognitif dari individu,

biasanya disebut sebagai penilaian kognitif (appraisal cognitive). Penilaian

kognitif (appraisal cognitive) merupakan transaksi yang menggeneralisasikan dari

kondisi stres yang meliputi penafsiran. Penilaian kognitif (appraisal cognitive)

mengandung 2 unsur penting yaitu tuntutan yang mengancam dan sumberdaya

yang ada untuk menghadapi tuntutan (Sarafino, 1997).

Penilaian kognitif (appraisal cognitive) terdiri dari 2 jenis penilaian yaitu

penilaian awal (primary appraisal) dan penilaian sekunder (secondary appraisal).

Penilaian awal (primary appraisal) terjadi ketika individu menghadapi

lingkungan baru atau berubah. Proses ini merupakan proses individu memberi arti

kejadian atau situasi tersebut. Situasi atau kejadian mungkin memiliki efek yang

positif atau netral ataupun negatif. Situasi yang memberi efek positif disebut

eustress sedang yang bersifat negatif disebut distres. Setelah penilaian awal

(34)

(secondary appraisal) dilakukan. Penilaian sekunder (secondary appraisal)

merupakan penafsiran/pengukuran terhadap kemampuan koping dan

sumber-sumbernya, serta apakah mereka akan dapat/tidak menghadapi kerusakan,

ancaman, dan tantangan terhadap kejadian (Taylor, 1999).

Sarafino (1997) menyatakan penilaian kognitif sangat dipengaruhi oleh

dua faktor yaitu faktor personal dan situasi. Faktor personal dapat berupa

kemampuan intelektualitas, motivasi, kepribadian, dan konsep diri. Sedang, faktor

situasi berupa tuntutan, masa transisi, ambigusitas, terkontrol, dan desirability.

Penilaian di atas mempengaruhi individu dalam menghadapi stressor.

Individu memiliki banyak cara dalam merespon stres meliputi fisiologis, kognitif,

emosional dan perilaku. Perbedaan respon individu dalam menghadapi stres

tergantung dari pengalaman, usia, jenis kelamin, pendidikan, latar belakang etnik,

tingkat sosial ekonomi dan status perkawinan dari individu tersebut (Perimutter,

dkk, 1992).

Penilaian kognitif memberi pengaruh sangat besar pada diri individu,

karena penilaian tersebut secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi

kondisi psikologisnya.

4. Sumber stres

Keadaan atau situasi yang dapat menjadi sumber stres disebut stressor.

(35)

a. Stressor individu merupakan sumber stres yang berasal dari faktor internal,

seperti kepribadian, sikap terhadap stres, dan faktor kognitif (penilaian

terhadap stres).

b. Stressor interpersonal adalah sumber stres yang berhubungan dengan proses

interaksi dengan orang lain. Proses ini akan menimbulkan masalah yang

menyebabkan terjadi ketegangan secara fisik, sehingga memicu sekresi

hormon stres dalam tubuh, seperti adrenalin, noradrenalin, dan cortisol.

c. Stressor sosial merupakan sumber stres yang berasal dari kehidupan sosial,

seperti perubahan sosial yang cepat, kepadatan penduduk, kepadatan

pemukiman, keramaian, kemacetan, pertikaian antara kelompok masyarakat,

kerusuhan, kenaikan biaya hidup, tingkat kriminalitas yang tinggi, dan sebagai

kaum minoritas.

d. Stressor lingkungan fisik merupakan sumber stres yang disebabkan oleh

kondisi lingkungan fisik disekitar individu. Stressor ini sering dialami oleh

individu, sehingga mereka mampu beradaptasi dan melakukan koping stres.

Stressor ini, seperti bencana alam, banjir, cuaca, temperatur, kecepatan angin,

kebisingan, polusi, dan bencana yang berasal dari teknologi.

e. Stressor organisasi merupakan sumber stres terjadi pada setting khusus yaitu

organisasi atau perusahaan. Jenis stressor yang timbul dapat bersifat struktural

maupun kultural, seperti stres pada pekerjaan, jadwal kerja padat, struktur

tugas berat, kebijakan perusahan yang negatif, dan budaya organisasi yang

(36)

B. Orangtua

1. Pengertian orangtua

Arti kata orangtua dalam kamus Psikologi dan Psikoanalitik karya

Haracebenglish (1958) adalah organisme yang menghasilkan keturunan atau ayah

dan ibu. Sedang dari Kamus Bahasa Indonesia karya Salim (1991) mendifinisikan

orangtua sebagai ayah dan ibu kandung.

Utama (Nafaola, 2004; Kartono, 1992) berpendapat orangtua adalah

seorang pria dan wanita yang berjanji kepada Tuhan untuk hidup bersama sebagai

pasangan suami-istri, dan bersedia memikul tanggung jawab sebagai ayah dan ibu

dari anak yang akan dilahirkan. Perjanjian ini terikat dalam perkawinan.

Kesimpulan, orangtua merupakan individu yang memiliki tanggung jawab

sebagai ayah atau ibu terhadap kesejahteraan anak-anaknya.

2. Penyesuaian diri orangtua

Perubahan yang terjadi dalam hidup sering menyebabkan orang menjadi

stres. Perubahan status dari lajang menjadi menikah dan memiliki anak

merupakan tantangan cukup berat. Tidak jarang orang menjadi stres, karena

mereka kurang mampu melakukan penyesuaian diri terhadap statusnya sebagai

orangtua.

Status orangtua menuntut individu untuk melakukan perubahan yang

dramatis. Perubahan yang terjadi dalam diri mereka adalah perubahan sikap,

peran, dan nilai. Perubahan ini membuat mereka mengorbankan kebahagiaan dan

(37)

kesuksesan menjadi orangtua dapat dicapai bila memiliki komitmen waktu

menjadi orangtua dan dapat menyesuaikan diri dengan perubahan perkembangan

anaknya.

Tugas orangtua adalah membina dan mengatur kehidupan anak-anaknya.

Kehidupan anak menjadi tanggung jawab orangtua. Tanggung jawab menurut

Mangunsong (dalam Sumampouw dan Setiasih, 2003) memiliki beberapa bentuk

keterlibatan antara lain yaitu, (a) Orangtua bertanggung jawab sebagai pengambil

keputusan. Orangtua memiliki hak dan tanggung jawab mengambil keputusan

tentang hal-hal yang berkenaan dengan kehidupan anak-anaknya. (b) Orangtua

bertanggung jawab sebagai orangtua. Tanggung jawab ini meliputi penyesuaian

diri orangtua, sosialisasi anak, dan memperhatikan hubungan antar anak-anaknya.

(c) Orangtua bertanggung jawab sebagai guru. Proses pendidikan anak tidak

hanya terjadi di sekolah saja, namun terjadi rumah juga. Orangtua bertanggung

jawab untuk membina dan mendidik anak-anaknya di rumah. (d) Orangtua

bertanggung jawab sebagai advokat. Orangtua bertanggung jawab dalam memberi

pembelaan bagi anak-anaknya, terutama bagi anaknya yang memiliki

keterbatasan. Keterbatasan anak sering membuat posisi anak dirugikan, sehingga

orangtua bertanggung jawab membela kepentingan anaknya.

Pekerjaan menjadi orangtua bukan pekerjaan yang mudah karena

pekerjaan ini menyita banyak waktu dan tenaga mereka. Penyesuaian diri sangat

dibutuhkan oleh orangtua. Ketidakmampuan dalam menyesuaikan diri dapat

(38)

Penyesuaian diri orangtua memiliki pengaruh terhadap kondisi psikologis

orangtua. Banyak faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri orangtua antara

lain:

a. Sikap pada masa kehamilan.

Penyesuaian ini dipengaruhi oleh sikap calon ayah seperti penerimaan

dan pemahaman suami terhadap perubahan biologis dan psikologis istri.

Kehamilan merupakan pelaksanaan fungsi biologis secara normal, namun fase

ini terjadi ketidakseimbangan psikologis. Ketidakseimbangan psikologis

sering dibarengi perasaan bimbang, ragu, suasana hati yang labil, tertekan,

dan cemas. Efek ketidakseimbangan psikologis kadang belum hilang setelah

anaknya lahir.

Penyesuaian diri wanita sangat dipengaruhi oleh kondisi

kehamilannya. Wanita hamil mengalami kondisi menyenangkan dan dapat

menerima perubahan peran cenderung mudah menyesuaian diri dibanding

dengan wanita hamil yang mengalami kesusahan dan menolak perannya.

Wanita ini tidak jarang berperilaku menyimpang seperti merokok, tidak mau

dekat dengan anak dan lain-lain (Mappiare, 1983).

b. Sikap terhadap peran

Sikap ini terkait dengan tingkat usia orangtua dan konsep peran yang

dianut. Orangtua muda cenderung mengambil keputusan secara mudah,

sedang orangtua yang lanjut usia cenderung mengutamakan tanggung jawab

(39)

diri dengan anak-anak mereka cendrung lebih mudah daripada orangtua yang

agak lanjut usia. Penyesuaian diri orangtua yang menganut konsep modern

cenderung lebih mudah dibanding dengan orangtua yang menganut konsep

konservatif, karena konsep keluarga modern terjalin kerja sama antar anggota

keluarga (Mappiare, 1983).

c. Harapan orangtua

Harapan orangtua terkait dengan jenis kelamin, penampilan fisik,

sikap dan budi perkerti, kecakapan, bakat, minat, dan segala hal yang dinilai

baik. Orangtua akan cenderung mudah beradaptasi jika ciri-ciri anak

mendekati konsep ideal (Mappiare, 1983).

d. Perasaan-perasaan layak sebagai orangtua

Perasaan tidak layak menjadi orangtua sering menghantui orangtua

saat menghadapi persoalan anak. Penyebab orangtua merasa kurang layak

menjadi orangtua antara lain karena kurang latihan atau pengalaman dalam

menjalankan perannya, bingung menentukan cara mendidik anak, dan kondisi

anak yang mengalami hambatan mental. Kondisi ini mempengaruhi dalam

keberhasilan penyesuian diri. Bila orangtua tidak berhasil melakukan

penyesuaian diri akan menyebabkan mereka depresi, frustasi, dan stres yang

berkepanjangan (Mappiare, 1983).

e. Sikap terhadap perubahan peran

Sikap terhadap perubahan peran memberi pengaruh dalam pencapaian

(40)

memaksa terjadinya perubahan struktur dan peran dalam keluarga. Perubahan

yang radikal sering membuat orangtua diliputi rasa, cemas, takut, gelisah,

kuatir, dan lama-kelamaan berkembang menjadi stres. Perasaan negatif ini

sangat mengganggu proses penyesuian diri dari orangtua (Mappiare, 1983).

Dari urai di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa penyesuian diri sangat

terkait dengan tingkat stres. Orangtua yang mampu melakukan penyesuaian diri

akan terbebas dari stres. Sebaliknya, orangtua yang kurang mampu menyesuaikan

diri akan mudah terkena stres.

C. Autis

1. Pengertian Autis

Autis diambil dari kata Yunani autos yang artinya aku. Mönk (dkk, 1989)

mengemukakan autis adalah suatu hambatan perkembangan yang sudah nampak

pada tahun-tahun pertama, yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut: sejak lahir

mempunyai kontak sosial yang terbatas, perhatian terpusat pada benda mati,

tenggelam pada penghayatan taktil kinestetis, ingatan yang baik namun tegar dan

fantasi kurang. Kurang sosial menurut Wurst (Mönk, dkk, 1989) disebabkan

karena kecemasan, tidak terlindung, keraguan, terasing, dan ketidakmampuan

mengarti kondisi sosial.

Autis merupakan ketidakmampuan berinteraksi dengan orang lain,

mengalami gangguan berbahasa yang ditunjukkan dengan penguasaan yang

(41)

dan stereotipik, rute ingatan kuat, dan keinginan obsetif untuk mempertahankan

keteraturan dalam lingkungan. Autis digolongkan dalam gangguan pervasif atau

Pervasive Developmental Disorders (Safaria, 2005). Autis merupakan gangguan

pervasif yang mencakup gangguan dalam komunikasi verbal dan non verbal,

interaksi sosial, perilaku dan emosi (Sugiarto, Prambahan, & Pratitis, 2004).

Anak autis adalah anak yang mengalami gangguan perkembangan yang

mencakup gangguan dalam berkomunikasi, berinteraksi sosial, berperilaku, dan

emosi. Gangguan ini mulai muncul pada tiga tahun pertama kehidupan dan

memiliki kecenderungan menetap. Gangguan ini tidak dapat hilang sepenuhnya,

namun hanya dapat diminimalisir dengan terapi-tarapi yang ada.

2. Penyebab Autis

Berikut ini dugaan penyebab autis dan diagnosa medisnya adalah sebagai

berikut:

a. Gangguan susunan saraf.

Ditemukan pada otak penderita autis mengalami kelainan pada otak.

Ada tiga lokasi di otak mengalami kelainan neuro-anatomis. Kelainan itu

muncul pada Lobus Patietalis, Cerebellum dan Sistem Limbik. 43%

penyandang autis mengalami kelainan Patietalis yang menyebabkan anak

bersikap cuek pada lingkungan (Handojo, 2001).

Kelainan yang terjadi di Cerebellum (otak kecil) terutama pada Lobus

VI dan VII. Tugas dari Cerebellum adalah bertanggung jawab dalam proses

(42)

mengalami kelainan dapat menghambat dalam proses kognitifnya. Cerebellum

anak ditemukan jumlah sel Purkinye yang sedikit sehingga terjadi gangguan

keseimbangan Serotonim dan Dopamin. Ketidakseimbangan Serotonim dan

Dopamin menyebabkan kekacauan lalu-lintas impuls otak (Handojo, 2001).

Kelainan dalam Sistem Limbik ( Hippocampus dan Amygdala) dapat

menyebabkan ganggauan fungsi emosi, gangguan pada rangsang sensoris,

gangguan dalam fungsi belajar dan daya ingat, sehingga membuat kesulitan

dalam menyimpan informasi baru (Handojo, 2001).

b. Gangguan pencernaan.

Seorang pasien autis bernama Parker Beck mengeluh gangguan

pencernaan pada tahun 1997. Anak tersebut diperiksa dan ditemukan bahwa ia

mengalami kekurangan enzim Sekretin. Setelah ia mendapat suntikan enzim

Sekretin, ia mengalami kemajuan (Danuatmaja, 2003).

c. Peradangan dinding usus.

Hasil pemerikasaan endoskopi sejumlah anak autis yang mengalami

pencernaan buruk, ditemukan peradangan usus. Peradangan tersebut diduga

disebabkan virus campak. (Danuatmaja, 2003).

d. Faktor genetik.

Peneliti menemukan 20 gen yang terkait dengan autis. Namun, gejala

ini muncul jika terjadi kombinasi dari banyak gen (Danuatmaja, 2003).

Hasil penelitian ditemukan bahwa pada saudara sekandung anak autis

(43)

menemukan bahwa peluang anak laki-laki untuk menyandang autis lebih

besar dibanding anak perempuan (Coleman & Broen, 1997).

e. Keracunan logam berat.

Hasil tes laboratorium dari rambut dan darah anak autis ditemukan

kandungan logam berat dan beracun. Logam berat yang terdapat dalam tubuh

anak autis seperti Arsenik (As), Antimoni (Sb), Kadmium (Cd), air raksa (Hg),

dan timbal (Pb). Logam-logam ini merupakan racun otak yang sangat berat.

Selain penyebab di atas masih ada penyebab lainnya seperti yang

diutarakan oleh Kamphaus dan Frick (1996). Mereka berpendapat bahwa

pendarahan, infeksi pada saat hamil, penggunaan obat-obatan pada saat hamil,

berat badan yang sedikit pada usia gestational, hyperbilirubinemia, dan genetik

sebagai faktor penyebab autis.

3. Kriteria Autis

Autis merupakan gangguan perkembangan yang muncul pada usia 2 tahun

pertama kehidupan. Kriteria autis menurut The Diagnostic and Statistical manual

of Mental disoder IV (DSM-IV) sebagai berikut:

a). Terdapat paling sedikit enam pokok dari kelompok (1), (2), dan (3) yang meliputi paling sedikit dua pokok dari kelompok (a), paling sedikit satu pokok dari kelompok (b) dan paling sedikit satu pokok dari kelompok (c).

1). Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial yang ditunjukkan oleh paling sedikit dua di antara yang berikut ini:

(a). Ciri gangguan yang jelas dalam penggunaan berbagai perilaku non verbal (bukan lisan) seperti kontak mata, ekspresi wajah, gestur, dan gerak isyarat untuk melakukan interaksi sosial.

(b). Ketidakmampuan membina hubungan pertemanan sebaya yang sesuai dengan tingkat perkembangannya.

(c). Ketidakmampuan turut merasakan kegembiraan orang lain.

(44)

2). Gangguan kualitatif dalam berkomunikasi yang ditunjukkan oleh paling sedikit salah satu yang berikut ini:

(a).Keterlambatan atau kekurangan secara menyeluruh dalam berbahasa lisan (tidak disertai usaha untuk mengimbanginya dengan penggunaan gestur atau mimik muka sebagai cara alternatif dalam berkomunikasi).

(b). Ciri gangguan yang jelas pada kemampuan untuk memulai atau melanjutkan pembicaraan dengan orang lain meskipun dalam percakapan sederhana.

(c). Penggunaan bahasa yang repetitif (diulang-ulang) atau stereotip (meniru-niru) atau bersifat idiosinkratik (aneh).

(d). Kurang beragamnya spontanitas dalam permainan pura-pura atau meniru orang lain yang sesuai dengan tingkat perkembangan.

3). Pola minat perilaku yang terbatas, repetitif, dan stereotip seperti yang ditunjukkan oleh paling tidak satu dari yang berikut ini:

(a). Meliputi keasyikan dengan satu atau lebih minat yang terbatas atau stereotip yang bersifat abnoramal baik dalam intensitas maupun fokus.

(b). Kepatuhan yang tampaknya didorong oleh rutinitas atau ritual spesifik (kebiasaan tertentu) yang nonfungsional (tidak berhubungan dengan fungsi).

(c). Perilaku gerakkan stereotip dan repetitif (seperti terus menerus membuka membuka-menutup genggaman, memuntir jari atau tangan atau menggerakkan tubuh dengan cara kompleks).

(d). Keasyikan yang terus menerus terhadap bagian-bagian dari sebuah benda.

b). Perkembangan abnormal atau terganggu sebelum usia 3 tahun seperti ditunjukkan oleh keterlambatan atau fungsi yang abnormal pada paling sedikit satu dari bidang-bidang berikut ini: (1) interaksi sosial, bahasa yang digunakan dalam perkembangan sosial, (2) bahasa yang digunakan dalam komunikasi sosial, atau (3) permainan simbolik atau imajinatif.

c). Sebaiknya tidak disebut dengan istilah Gangguan Rett, Gangguan Intergratif kanak-kanak, atau sindrom Asperger.

D. Faktor penyebab stres orangtua dari anak autis

Stres adalah respon individu terhadap keadaan dan kejadian yang

mengancam (stressor) dan menganggu kemampuan koping (Halonen dan

Santrock, 1999). Holmes dan Rahe (Taylor, 1999) membuat rating stressor.

Mereka menemukan bahwa perubahan kondisi kesehatan dan perilaku anggota

keluarga menempati peringkat kesebelas dalam mempengaruhi orang untuk stres.

Ini berarti bahwa anak autis dapat menyebabkan orangtua mereka mengalami

(45)

Anak autis memberi pengaruh yang besar bagi orangtua baik kondisi fisik

dan psikologisnya. Orangtua sering merasa tertekan dan tak jarang berkembang

menjadi stres yang berkepanjangan (Puspita, 2005).

Hal-hal yang terkait antara anak autis dan kondisi mental orangtua akan

dijelaskan sebagai berikut ini

1. Gangguan fungsi

Autis adalah gangguan perkembangan anak yang mencakup gangguan

komunikasi, interaksi sosial, dan perilaku. Ketiga hal ini merupakan modal

hidup dalam lingkungan sosialnya. Orang yang mengalami gangguan tersebut

otomatis tidak dapat hidup di lingkungan sosialnya. Ini yang menyebabkan

orangtua merasa pesimis akan masa depan anaknya, sehingga menyebabkan

mereka sangat tertekan.

2. Perilaku anak yang liar

Anak autis sering berperilaku yang liar dan tak terkendali. Anak autis

sering mengamuk tanpa ada sebab yang jelas. Perilakunya biasa muncul kapan

saja dan dimana saja, sehingga orangtua kehilangan kesabaran, marah,

jengkel, dan sedih. Perasaan ini berlangsung terus-menerus, sehingga orangtua

merasa kelelahan dan sangat stres menghadapi kondisi anaknya tersebut.

3. Masa depan anak autis

Orangtua sering kuatir dengan masa depan anaknya. Mereka diliputi

perasaan kuatir, takut, cemas, dan gelisah. Mereka takut anaknya nanti tidak

(46)

karena keterbatasan anaknya. Mereka kuatir dengan kondisi anaknya tersebut

ketika mereka tidak dapat lagi disamping anaknya. Perasaan negatif ini dapat

menggerogoti kesehatan fisik dan psikologis orangtua. Orangtua menjadi

mudah marah, sedih, sensitif, rendah diri, dan tak jarang mereka mengalami

penurunan kesehatan. Mereka mengalami depresi dan stres (Puspita, 2005).

4. Persepsi yang salah tentang autis

Banyak orangtua anak autis tidak mendapat informasi yang benar

tentang gangguan autis, sehingga mereka salah langkah dan tidak jarang

mereka menyalahkan diri mereka. Kurangnya informasi dapat membuat

orangtua memiliki persepsi yang negatif dengan keadaan anaknya. Pesepsi

orangtua yang negatif memperburuk kondisi psikisnya, karena persepsi

negatif akan menyebabkan orangtua merasa cemas, depresi, frustasi, dan stres

(Safaria, 2005).

Persepsi masyarakat terhadap anaknya juga memberi kontribusi

memicu stres orangtua anak autis. Persepsi yang berkembang dalam

masyarakat adalah autis disebabkan oleh kurang hangatnya orangtua dan

kesalahan pola asuh orangtua (Handojo, 2001). Persepsi ini semakin

memojokkan posisi orangtua. Masyarakat beranggapan anak autis adalah anak

nakal, kurang diajar, dan bersikap sinis terhadap anak autis. Perilaku ini dapat

membuat orangtua terpukul dan tertekan, karena orangtua merasa kurang

(47)

bahwa penyebab sikap masyarakat seperti itu karena kurangnya informasi

tentang autis.

5. Harapan orangtua terhadap anak

Setiap orangtua memiliki harapan besar kepada buah hatinya. Harapan

orangtua dapat berupa harapan untuk memiliki anak berjenis kelamin tertentu,

sehingga orangtua akan berusaha keras dan tak jarang mereka menambah

jumlah anak demi memenuhi harapan mereka. Harapan yang tidak dapat

terpenuhi sering membuat orangtua merasa frustasi dan tertekan (Mappiare,

1983).

Harapan orangtua tentang kondisi anak ideal memberi pengaruh besar

pada kondisi orangtua. Konsep ideal terkait dengan penampilan fisik, sikap

dan budi perkerti, kecakapan, bakat, minat, dan segala hal yang dinilai baik

(Mappiare, 1983). Namun, pada kenyataan anak mereka didiagnosa autis.

Anak mereka mengalami keterbatasan dalam emosi, kognitif, dan sosial

membuat orangtua mengalami reaksi emosinal negatif dan berkembang

menjadi stres (Safaria, 2005).

6. Masalah keuangan

Kondisi keuangan merupakan salah satu sumber ketahanan terhadap

stres. Kondisi keuangan sangat mempengaruhi orang dalam menghadapi stres,

karena uang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka,

seperti pangan, sandang, papan, pemelihara kesehatan, hiburan, dan lain-lain

(48)

Forman (1993) mengemukakan bahwa beban biaya hidup yang besar

ini memberi tekanan yang besar. Sekarang ini biaya hidup semakin

meningkat. Orangtua dituntut untuk memenuhi kebutuhan keluarganya dan

masih harus mencari biaya tambahan untuk membiayai terapi anaknya. Terapi

yang ada saat ini relatif mahal, sehingga orangtua merasa tertekan.

7. Perasaan-perasaan tidak layak

Perasaan tidak layak mejadi orangtua muncul ketika orangtua mulai

menyalahkan diri mereka. Mereka berpikir bahwa merekalah yang

menyebabkan gangguan autis. Dalam benak mereka dipenuhi

pertanyaan-pertanyaan seperti, mengapa saya?, salah siapa?, apa dosa saya?, dan lain-lain.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut membuat orangtua anak autis semakin merasa

bersalah dan tidak layak menjadi orangtua. Perasaan-perasaan akan memberi

efek negatif dengan kondisi emosional orangtua, sehingga mereka sering

merasa depresi dan stres (Puspita, 2005).

8. Proses penerimaan diri

Orangtua masih dalam proses menuju penerimaan diri. Fase ini

diawali dengan perasaan syok. Perasaan syok muncul ketika orangtua

mengetahui anaknya didiagnosa autis. Perasaan ini menimbulkan dampak

fisik, seperti lemas, dingin, dada sesak, mual, dan pingsan. Orang diliputi

(49)

Sesudah perasaan syok mulai teratasi, berganti muncul berbagai rasa

di bawah ini.

a). Limbung, tidak tahu harus berbuat apa, merasa tidak berdaya.

b).Merasa bersalah, menyalahkan diri sendiri.

c). Marah pada diri sendiri, pasangan, anak autis tersebut, bahkan kepada

Tuhan.

d).Sedih, putus asa yang berkembang menjadi depresi dan stres

berkepanjangan.

e). Merasa diperlakukan tidak adil.

f). Tidak percaya pada fakta dan pindah dari dokter satu ke dokter lain untuk

menegaskan bahwa dokter itu salah dan terjadi tawar-menawar diagnosa.

g).Menolak fakta atau kenyataan dan bersikukuh bahwa anaknya tidak

bermasalah.

h).Menerima kenyataan.

Sebelum sampai fase penerimaan, pada umumnya orangtua mengalami

perasaan tak berdaya, depresi dan sering berkembang menjadi stres

berkepanjangan (Puspita, 2005).

Proses orangtua dalam menyesuaikan diri dengan kehadiran anak yang

sangat istimewa ini menuntut energi yang ekstra besar. Proses ini sering

diwarnai dengan reaksi emosional negatif seperti takut, sedih, marah, cemas,

(50)

dikenali dan diatasi. Orangtua yang tidak mampu mengatasinya akan

mengalami depresi dan stres (Sarafia, 2005).

Orangtua anak autis memiliki kemungkinan besar terkena stres. Sedang,

faktor penyebab stres orangtua anak autis antara lain gangguan fungsi pada

anaknya, perilaku liar anak, masa depan anaknya, persepsi yang salah tentang

anaknya, harapan yang besar kepada buah hatinya, masalah keuangan, munculnya

perasaan tidak layak menjadi orangtua, dan orangtua masih dalam proses

penerimaan diri. Tingkat stres yang dimiliki tiap orangtua pasti berbeda

tergantung dengan potensi diri mereka dan dukungan sosial yang mereka terima.

E. Dukungan Sosial

1. Pengertian dukungan sosial.

Dukungan sosial adalah keberadaan orang lain yang dapat diandalkan

untuk dimintai bantuan, dorongan dan penerimaan ketika individu mengalami

kesulitan atau masalah (Handoyo, 2001). Sarafino (1997) berpendapat bahwa

dukungan sosial menimbulkan perasaan bahagia, nyaman, dihargai, diperhatikan,

dicintai, dan merasa terbantu bagi individu yang menerimanya. Menurut Taylor

(1999) dukungan sosial mengandung perasaan cinta, perhatiaan, penghargaan,

penilaian, dan menjadi bagian dari jaringan komunikasi.

Holenen & Santrock (1999) berpendapat bahwa dukungan sosial

merupakan informasi dan umpan balik dari orang lain yang berupa cinta,

(51)

Senada dengan Holenen dan Santrock, Smet (1994) menyatakan bahwa dukungan

sosial adalah bantuan yang diberikan seseorang kepada orang lain, meliputi

bantuan material, mendorong adanya ungkapan perasaan ataupun pemberian

nasehat.

House (dalam Cooper, dkk, 2001) dukungan sosial merupakan tindakan

dari orang lain yang bersifat menolong atau membantu dengan melibatkan aspek

dukungan emosional, dukungan penghargaan, bantuan instrumental, dan

dukungan informasi yang dapat menyokong individu dalam mengatasi

masalahnya.

Pengertian dukungan sosial yang akan digunakan penelitian ini adalah

diterimanya bantuan atau pertolongan dari orang sekitar.

2. Aspek dukungan sosial

Dukungan sosial memiliki aspek yaitu.

a. Instrumental adalah bantuan langsung, pinjaman, pertolongan.

b. Informatif adalah nasehat, petunjuk, saran, umpan balik.

c. Emosional adalah ungkapan empati, kepedulian, dan perhatian terhadap orang

yang bersangkutan, misalnya: umpan balik, penegasan.

d. Penghargaan/penilaian adalah ungkapan hormat (penghargaan) positif untuk

orang tersebut. Dorongan maju atau persetujuan dengan gagasan/perasaan

(52)

3. Sumber dukungan sosial

Taylor (1999) mengemukakan sumber dukungan sosial berasal dari

keluarga, teman, kontak sosial dan komunitas.

a. Keluarga

Keluarga adalah kelompok sosial yang pertama dalam kehidupan

manusia. Dalam keluarga akan terjalin ikatan batin antara anggota keluarga

yang satu dengan yang lain. Keluarga dapat dijadikan tempat mengeluh dan

bercerita masalah-masalah yang sedang dihadapi, sehingga dapat membantu

mengurangi ketegangan akibat masalah yang dihadapi dengan memberikan

perhatian emosional dan membantu menyelesaikan masalah.

b. Teman

Teman yang menjadi sumber dukungan adalah teman dekat atau

akrab. Orang-orang yang dekat akan membentuk suatu kelompok.

Pembentukan kelompok memiliki 3 elemen yaitu kegiatan, interaksi, dan

perasaan yang berhubungan satu sama lain. Semakin banyak kegiatan yang

dilakukan bersama akan semakin besar perasaan kebersamaan dalam

kelompok. Mereka melakukan interaksi tidak hanya karena kedekatan fisik

saja, namun untuk mengurangi dan memecahkan masalah.

c. Kontak sosial dan komunitas

Sumber dukungan ini diperoleh individu melakukan interaksi dan

menjadi bagian dari kelompok masyarakat. Kelompok ini lebih besar daripada

(53)

interaksi yang terjalin bukan karena kedekatan fisik, tetapi juga untuk

mengurangi dan memecahkan masalah dengan memberi dukungan moril

maupun material.

4. Manfaat dukungan sosial

Dalam Sarafino (1997) dukungan sosial memiliki manfaat yang

berbeda-beda sesuai dengan bentuk dukungan yang diberikan. Manfaat tersebut akan

dijelaskan sebagai berikut:

a. Dukungan instrumental berupa bantuan fisik sehingga dapat mengurangi

beban atau kesulitan yang dihadapi.

b. Dukungan informatif dapat membantu individu memperoleh informasi yang

dibutuhkan, membantu dalam mencari jalan keluar dari kesulitan yang

dihadapi, dan memperoleh solusi dari kesulitan.

c. Dukungan emosional dapat membuat orang merasa nyaman, tentram, merasa

ada dalam lingkungan dan dicintai pada saat menghadapi kondisi stressful.

d. Dukungan penghargaan/penilaian dapat membangun harga diri individu,

kompetensi, merasa berharga, meningkatkan kepercayaan diri dan konsep diri.

F. Dukungan sosial dan tingkat stres orangtua dari anak autis

Orangtua dari anak autis mengalami banyak masalah, baik masalah

pengasuhan anak, pendidikan anak, pekerjaan, keuangan keluarga, dan ditambah

masalah yang ditimbulkan lingkungan sosialnya. Masalah-masalah yang dihadapi

(54)

stressful. Tingkat stres orangtua anak autis berbeda satu dengan yang lain. Salah

satu faktor yang terkait dengan tingkat stres adalah dukungan sosial yang diterima

oleh orangtua anak autis tersebut (Smet, 1994).

Dukungan sosial sangat dibutuhkan oleh setiap orang, tak terkecuali

orangtua dari anak autis. Sumber dukungan sosial orangtua anak autis berasal dari

pasangan hidup, keluarga, teman, rekan, masyarakat dan komunitas sosialnya

seperti, komunitas pemerhati autis, keagamaan, organisasi, hobi dan lain-lain.

Sumber dukungan ini merupakan hasil relasi yang dilakukan oleh orangtua anak

autis dengan lingkungan sosialnya. Relasi yang dibina akan memberi

kemungkinan untuk memperoleh dukungan yang dapat mereka gunakan ketika

menghadapi kesulitan/hambatan.

Dukungan sosial yang diterima orangtua anak autis memiliki aspek antara

lain, instrumen, informasi, emosional, dan penghargaan atau penilaian (Fauzisah,

dkk, 1999). Aspek-aspek dukungan sosial dapat membantu orangtua anak autis

menghadapi problematika hidup.

Aspek instrumental merupakan bantuan langsung, pinjaman, pertolongan

(Cooper, dkk, 2001). Bantuan ini dapat membantu menyelesaikan masalah dan

dapat menambah waktu rekreasi dan hiburan, sehingga secara langsung

membantu orangtua anak autis mereduksi stres (Sheridan dan Radmacher, 1992).

Aspek informatif merupakan bantuan yang berupa nasehat, petunjuk,

saran, umpan balik (Cooper, dkk, 2001). Orangtua membutuhkan bantuan ini

(55)

sering menyebabkan orangtua anak autis mudah terkena stres. Bantuan ini

membantu mereka mencari informasi yang dibutuhkan sehingga mereka tidak

salah langkah dan tidak timbul masalah baru. Bantuan ini juga membantu mereka

mencari jalan keluar/solusi sehingga mempermudah mereka melakukan koping

stres. Informasi yang mereka terima akan membuat mereka merasa lebih rileks

dan tenang (Sheridan dan Radmacher, 1992).

Aspek emosional merupakan ungkapan empati, kepedulian dan perhatian

terhadap orang yang bersangkutan (Cooper, dkk, 2001). Bantuan ini sangat

bermanfaat bagi orangtua anak autis, karena mereka sedang dalam proses

penerimaan diri. Proses yang dialaminya sering menyebabkan mereka merasa

sangat sedih, marah, gelisah, kecewa, marasa bersalah, takut, cemas, tak berdaya,

rendah diri, dan perasaan negatif lainnya. Dukungan yang diberikan akan

membantu mereka untuk bangkit dari keterpurukan, sebab dukungan ini dapat

membuat mereka merasa dicintai, diperhatikan, dikuatkan, dan diterima. Perasaan

ini dapat membuat mereka merasa lebih damai, bahagia, nyaman, tentram, merasa

ada dalam lingkungan, dan rileks, sehingga ketahanan terhadap stres dan

kemampuan koping stresnya meningkat (Sarafino, 1997).

Aspek penghargaan atau penilaian merupakan bantuan yang berupa

ungkapan hormat (penghargaan) positif, dorongan maju, persetujuan dengan

gagasan/perasaan individu dan perbandingan positif orang itu dengan orang lain

(Cooper, dkk, 2001). Orangtua anak autis membutuhkan dukungan ini, karena

(56)

tidak mampu, tidak berharga, dan tidak jarang menganggap diri mereka sebagai

manusia yang selalu dirundung kemalangan. Dukungan ini sangat bermanfaat

untuk mereka, sebab dukungan ini dapat membangun harga diri individu,

kompetensi, merasa berharga, meningkatkan kepercayaan diri dan konsep diri

(Safarino, 1997). Potensi dalam diri ini membantunya menghadapi situasi yang

penuh tekanan.

Sarason (dalam Taifur, 2003) menemukan bahwa individu yang memiliki

dukungan sosial tinggi akan memiliki harga diri yang tinggi dan konsep diri yang

baik, sehingga orangtua anak autis memiliki pandangan yang optimis terhadap

kehidupan. Sikap optimis menyebabkan mereka terbebas dari pikiran negatif yang

dapat menggangu kesehatannya dan mampu menilai tuntutan/hambatan/kesulitan

secara lebih positif, sehingga mereaka tidak mudah terkana stres.

Pendapat senada disampaikan oleh Nietzel (2002) menyatakan dukungan

sosial dapat meningkatkan kepercayaan diri dan kepercayaan kepada orang lain.

Rasa percaya pada diri sendiri dan orang lain dapat membantu orangtua untuk

menghadapi kondisi yang penuh stressful, karena orangtua akan memiliki

keyakinan bahwa mereka mampu mengatasi hambatan, tantangan, dan tuntutan

dan tentu saja akan menumbuhkan penerimaan diri terhadap apapun yang terjadi

pada dirinya. Potensi-potensi yang diterima orangtua dari dukungan sosial dapat

digunakan untuk menghadapi situasi yang penuh stressful. Potensi-potensi yang

dimiliki oleh orangtua dapat mengurangi dampak stres seperti frustrasi,

(57)

Sarafino (Smet, 1994) menyatakan dukungan sosial yang tinggi memberi

pengaruh positif dalam kesehatan individu, karena dukungan sosial dapat

meningkatkan harga diri, konsep diri, kepercayaan diri, dan kepuasan terhadap

hidup. Ini dapat menyebabkan orangtua dari anak autis memiliki pikiran yang

positif, optimis, dan penuh dengan gairah atau semangat hidup. Potensi yang

dimiliki dapat membantu orangtua dalam menghadapi kondisi yang penuh

stressor, sehingga mereka memiliki toleransi terhadap stres lebih baik dan

membuat tingkat stres mereka lebih rendah dibanding orangtua dengan dukungan

sosial yang rendah.

G. Hipotesis

Ada hubungan negatif antara dukungan sosial dengan tingkat stres

Gambar

Gambar 1. Kerangka Alur Pemikiran Penelitian.............................................
Gambar 1 Kerangka Alur Pemikiran Penelitian
Tabel 1 Blue print sebelum uji coba
Tabel 3 Penskoran item favorabel dan unfavorabel
+7

Referensi

Dokumen terkait

perasaan lelah dan tidak bertenaga, berisi 4 item skala yang mengevaluasi perasaan energi, kelelahan, kelemahan. 6) Fungsi sosial adalah derajat dalam hal keterbatasan kesehatan atau

In this chapter the writer analyzes the data by applying X-bar theory to both languages noun phrases found in the data. After applying X-bar theory, the writer

HUBUNGAN PERSENTASE LEMAK TUBUH TERHADAP DAYA TAHAN JANTUNG PARU PADA MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS MATARAM.. Gede Vendi Cahyadi Riandika, Ida Ayu Eka Widiastuti,

Sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dan memliki ketrampilan yang baik mampu memberikan pelayanan yang baik terhadap pasien.Ketrampilan klinis dari pengamatan

Tujuan penelitian yang dilakukan adalah untuk merancang suatu sistem pendukung keputusan dengan Metode SMART dan Metode Weighted Product yang dapat

Danyang terakhir yaitu metode konservasi tanah dan air secara mekanik, metode ini menggunakan semua perlakuan fisik mekanis yang diberikan terhadap tanah, dan

3) Strata diambil berdasarkan tingkat kemampuan siswa yaitu tinggi, sedang, rendah. Untuk tingkat kemampuan tinggi, sedang, rendah diambil sampel sebanyak 1, 3, 1 pada

Kota Medan adalah salah satu kota yang sangat pesat pertumbuhannya, dimana daerah pinggiran yang selama ini adalah daerah pertanian ataupun lahan kosong berubah menjadi daerah