• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengolahan Data Kamera Multispektral pada Pesawat LSA-01 untuk Pemantauan Pertanian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pengolahan Data Kamera Multispektral pada Pesawat LSA-01 untuk Pemantauan Pertanian"

Copied!
89
0
0

Teks penuh

(1)

- 84 -

Pengolahan Data Kamera Multispektral pada Pesawat LSA-01 untuk

Pemantauan Pertanian

Galdita Aruba Chulafak1,*), Anwar Annas1, dan Dony Kushardono1

1

Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, LAPAN

*)E-mail: galdita.aruba@lapan.go.id

ABSTRAK-Salah satu misi pengembangan pesawat LSA di LAPAN adalah penginderaan jauh. LAPAN Surveillance

Aircraft (LSA) memiliki pengindera kamera multispektral yang dilengkapi dengan GPS. Penelitian ini mengkaji pengolahan data kamera multispektral LSA untuk pemantauan pertanian. Data yang dipergunakan adalah data hasil akuisisi dengan LSA pada wilayah pertanian di Pantura (Subang dan Indramayu). Adapun metode pengolahan yang dipergunakan adalah ekstraksi data mentah menggunakan teknik Bayer pattern, kemudian mozaik data hasil ekstraksi dengan menggunakan teknik korelasi silang dan analisis vegetasi sawah menggunakan konversi indeks vegetasi. Hasil penelitian ini adalah kajian pengolahan awal data multispektral LSA untuk analisis vegetasi persawahan.

Kata kunci:data multispektral LSA, Bayer pattern, mozaik data, korelasi silang, NDVI

ABSTRACT-One of LAPAN’s mission in aircraft development is remote sensing. LAPAN Surveillance Aircraft (LSA)

has a multispectral camera that equipped with GPS. This study examines data processing on LSA’s multispectral camera for agricultural monitoring. The data used is the results from LSA’s acquisition in agricultural areas in Pantura (Subang and Indramayu). The processing method used is the extraction of raw data using a Bayer pattern technique, then mosaic the extracted data by using cross correlation and analyze the rice fields vegetations using vegetation indices conversion. Results of this study is the pre-processing LSA multispectral datamethod for the analysis ofthe rice fields vegetations.

Keywords: LSA’s multispectral data, Bayer pattern, mosaic data, cross corelation, NDVI

1. PENDAHULUAN

Saat ini data penginderaan jauh resolusi tinggi banyak dibutuhkan di Indonesia, di antaranya untuk penyediaan peta skala rinci dalam mendukung pembangunan perdesaan, penilaian objek wajib pajak, perencanaan infrastruktur jalan dan bangunan, pengembangan wilayah perkotaan, pengawasan hasil pembangunan, hingga untuk masalah pertanian.

Data penginderaan jauh resolusi tinggi umumnya diperoleh dari satelit komersil, seperti, IKONOS, WorldView, GeoEye, dan lain-lain. Akan tetapi, data satelit tersebut selain harganya cukup mahal juga waktu pemesanannya (delivery order) membutuhkan waktu sekitar 2 minggu bahkan bisa lebih dikarenakan adanya kendala liputan awan. Sementara itu dalam dekade terakhir, sehubungan makin berkembangnya sistem teknologi kamera pencitraan dengan ukuran yang semakin kecil, sudah mulai banyak dikembangkan pemanfaatan pesawat tanpa awak untuk pengamatan melalui udara. LAPAN sudah mengembangkan pesawat untuk misi pemantauan dengan pesawat baik tanpa maupun dengan awak, memiliki kesempatan yang baik untuk mendukung penyediaan data penginderaan jauh resolusi tinggi dari data kamera pada pesawat LAPAN.

Program LAPAN Surveillance Aircraft (LSA) merupakan program dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) yang mengembangkan pesawat berawak dengan kapasitas kecil yang digunakan untuk kegiatan pengamatan seperti pemantauan ataupun pemetaan (Kushardono, 2015). Salah satu fungsi dari LSA yakni untuk melakukan pengamatan, baik untuk wilayah daratan ataupun perairan dan membawa payload yang dapat disesuaikan untuk objek yang akan diamati. LSA pernah melakukan pengambilan data di wilayah Subang dan Indramayu pada bulan September 2014. Salah satu pengindera yang terpasang pada saat pengambilan data tersebut merupakan kamera multispektral yang mempunyai 3 kanal, yaitu kanal hijau, merah, dan inframerah dekat. Pengambilan data yang dilakukan tersebut merupakan pengambilan data oleh pesawat LSA dengan kamera multispektral yang pertama kali dilakukan, sehingga penelitian ini bertujuan sebagai kajian pengolahan awal data multispektral pesawat LSA di wilayah lahan pertanian.Seperti halnya pada pesawat tanpa awak, pengamatan yang dapat dilakukan oleh LSA tidak terbatas hanya pada lahan pertanian, namun juga dapat untuk wilayah pesisir, perkotaan,wilayah bencana, dan lainnya (Shofiyanti, 2011; Wiyono, 2015; Artanto, 2015; Mancini, 2013; Sari, 2015).

(2)

- 85 -

Penelitian ini merupakan lanjutan dari penelitian yang dilakukan oleh Kushardono et al. mengenai “Pemanfaatan Data LSA (LAPAN Surveillance Aircraft) untuk Mendukung Pemetaan Skala Rinci” (Kushardono, 2015) dengan mengambil bagian pada pengolahan data kamera multispektral untuk pemantauan pertanian.

2. PENGOLAHAN DATA

Data yang diperoleh dari kamera multispektral hasil akuisisi dari pesawat LSA berupa matrik dalam

Bayer array, sehingga perlu dilakukan ekstraksi kanal-kanal yang ada agar dapat dilakukan pengolahan lebih

lanjut. Setelah dilakukan ekstraksi kemudian dilakukan mozaik data dan selanjutnya dapat dilakukan perhitungan nilai dari indeks vegetasi. Pengindera yang digunakan mempunyai sensor yang didesain dan dioptimasi untuk menangkap cahaya tampak dan inframerah dekat pada panjang gelombang 520 nm hingga 920nm. Pada Gambar 1 menunjukkan respon dari sensor pengindera terhadap masing-masing kanal (merah,hijau, dan biru).

Gambar 1. Respon spektral pada pengindera

(Sumber: Tetracam Inc, 2011) 2.1 Ekstraksi Bayer Filter

Pola Bayer termasuk salah satu Color Filter Array (CFA) terbentuk dari suatu susunan dari filter kanal merah, hijau, dan biru yang ditempatkan pada tiap-tiap lokasi spasial (Hubel, 2004). Dengan menggunakan dua filter hijau untuk setiap filter biru dan merah, pola Bayer didesain untuk memaksimalkan ketajaman kanal luminansi yang sebagian besar terdiri dari kanal hijau (Bayer, 1976).

Gambar 2. Pola Bayer

(3)

- 86 -

Untuk mengkonversi citra dari format Bayer ke RGB perlu dilakukan interpolasi dari dua nilai warna pada masing-masing piksel. Algoritma Freeman (Median-based interpolation) merupakan metode yang terbaik digunakan pada citra yang mempunyai bercak / speckle sedangkan algoritma Larosche-Prescott’s (Gradient based interpolation) dan Algortima Hamilton-Adam (Adaptive color plane interpolation) merupakan metode yang cocok digunakan pada citra yang memiliki sisi/tepi yang tajam (Ramanath, 2002).

2.1.1 Median-based interpolation

Terdapat dua langkah dalam metode ini yaitu interpolasi linier dan median filter dari perbedaan warna. Interpolasi linier digunakan untuk mengisi setiap lokasi citra dengan tiga warna yang ada sedangkan median filter merupakan perhitungan dari perbedaan citra, sebut saja merah dikurangi hijau danbiru dikurangi hijau. Citra yang dihasilkan dari median filter digunakan bersamaan dengan sampel asliBayer array untuk memulihkan sampel (Freeman, 1988).

2.1.2 Gradient based interpolation

Metode ini umumnya digunakan di sistem kamera digital. Metode ini terdiri dari tiga langkah, pertama interpolasi dari kanal luminansi (hijau), langkah kedua dan ketiga merupakan interpolasi dari perbedaan warna (merah dikurangi hijau dan biru dikurangi hijau). Interpolasi perbedaan warna digunakan untuk merekontruksi kanalkrominansi (merah dan biru). Metode ini mengambil keuntungan karena mata manusia lebih sensitif pada perubahan luminansi (Laroche, 1994).

2.1.3 Adaptive color plane interpolation

Metode ini merupakan modifikasi dari metode gradient based interpolation. Metode ini menggunakan beberapa langkah seperti yang dilakukan pada metode gradient based interpolation tetapi dimodifikasi yang dilakukan untuk mengakomodasi turunan pertama dan kedua. Metode ini juga mempunyai tiga langkah seperti pada gradient based interpolation (Hamilton, 1997).

2.2 Teknik Korelasi Silang

Ditinjau dari teknik pembuatannya, terdapat tiga jenis mozaik, yaitu mozaik terkontrol, tidak terkontrol, dan semi terkontrol (Wolf, 1983). Mozaik terkontrol adalah mozaik yang dibuat dari citra yang telah direktifikasi sehingga semua citra telah mempunyai skala yang sama. Mozaik tidak terkontrol merupakan mozaik yang dibuat dari citra tegak yang belum direktifikasi serta belum diseragamkan skalanya. Mozaik semi terkontrol adalah mozaik yang disusun dengan menggunakan citra yang mempunyai beberapa titik kontrol, tetapi citra tersebut tidak direktifikasi dan mempunyai skala yang tidak seragam.

Teknik korelasi silang merupakan salah satu teknik penyamaan citra. Secara umum terdapat 3 metode penyamaan citra, yaitu area-based matching, feature-based matching, dan symbolic matching (Schenk, 2000). Area-based matching mendasarkan hubungan antara dua citra berdasarkan kesamaan derajat keabuan. Teknik yang sering digunakan adalah teknik korelasi silang dan Least Mean Square (LSM). Area-based

matching mempunyai kelemahan bahwa objek belum tentu bersesuaian karena hanya berdasarkan nilai

spektral. Feature-based matching menentukan hubungan antara dua fitur citra, sedangkan symbolic matching merupakan metode yang menggabungkan antara area-based matching dengan feature-based matching

Prinsip dari teknik korelasi silang adalah mencari pasangan objek/titik piksel antara citra referensi dengan citra pasangan. Pada citra referensi ditentukan jendela sasaran yang memuat titik piksel yangakan dicaripasangannya pada citra pasangan. Pada citra pasangan ditentukan daerah selidik yang mempunyai ukuran lebih besar daripada daerah sasaran. Pada daerah sasaran dibentuk pula jendela/daerah sub selidikdengan ukuran yang sama dengan jendela/daerah sasaran, misal 5 piksel x 5 piksel. Jendela sub selidik ini bergerak dengan pertambahan 1 piksel sepanjang setiap baris dan kolom di daerah selidik. Kemudian dihitung nilai korelasi antara jendela sasaran dengan jendela sub selidik.

Pada setiap posisi pergerakan jendela sub selidik dalam jendela selidik ini dihitung nilai korelasi antara jendela sasaran dengan jendela sub selidik. Piksel dengan nilai korelasi tertinggi merupakan piksel yang bersesuaian pada kedua citra tersebut, dengan nilai korelasi antara -1 hingga 1. Nilai 1 menunjukkan korelasi yang sempurna, nilai 0 menunjukkan tidak terdapat korelasi, dan nilai -1 menujukkan adanya korelasi yang berkebalikan atau berlawanan (Schenk, 2000)

Persyaratan yang dipenuhi untuk melakukan area based matching adalah pasangan citra perlu dinormalisasi terlebih dahulu, misal mengenai derajat kecerahan. Jika tie point antar foto sudah terdeteksi, maka mozaik dapat dibentuk.Seringkali antar citra memiliki kekontrasan yang sangat berbeda sehingga jika dilakukan mozaik akan tidak seragam, untuk itu perlu dilakukan penyeragaman warna antar citra (Harintaka, 2006).

(4)

- 87 - 3. BAHAN DAN METODE

3.1 Bahan dan Alat

Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah data foto hasil akuisisi pesawat LSA yang mempergunakan kamera multispektral pada waktu akuisisi bulan September 2014. Adapun wilayah kajiannya merupakan area sekitar Pantura Jawa Barat, terutama di wilayah Kabupaten Subang dan Indramayu. Data foto dari pesawat LSA yang digunakan merupakan foto yang diambil pada ketinggian 6000 kaki dengan cakupan 1.4 km x 1.05 km dan mempunyai resolusi spasial 68 cm. Adapun pertampalan antar

scene foto adalah 60% (belakang) dan 40% (samping).

3.2 Metode

Metode yang dilakukan dalam penelitian ini terlihat seperti pada Gambar 3.

Gambar 3. Metode penelitian 4. HASIL PEMBAHASAN

4.1 Hasil Ekstraksi Bayer Filter

Data mentah yang diakuisi dari pesawat LSA diolah menggunakan perangkat lunak dan akan menghasilkan citra multispektral yang mempunyai tiga kanal. Tidak seperti citra pada umumnya yang mempunyai kombinasi kanal RGB, citra yang dihasilkan dari hasil ekstraksi Bayer filter ini mempunyai komposit warna NIR, Red, Green seperti terlihat pada Gambar 4.

(a) Komposit pengolahan awal dari data mentah RAW Data Ekstraksi Bayer Filter Ekstraksi Metadata Data dengan metadata (lat, long, alt)

Mozaik dan koreksi tegak

Menghitung NDVI

(5)

- 88 -

(b) Kanal hijau (c) Kanal merah

(d) Kanal inframerah dekat (e) R, 0.75xG + 0.25xNIR, 0.75xG - 0.25xNIR

Gambar 4. Citra Hasil ekstraksi Bayer filter

(Sumber: Data yang diolah)

Komposit warna NIR, Red, Green ini dikarenakan terdapat filter penyerap kanal biru yang digunakan untuk menghilangkan sensitifitas sensor terhadap kanal biru, dan piksel biru pada sensor digunakan untuk mengukur nilai dari kanal inframerah dekat (kurva biru pada Gambar 1). Citra yang dihasilkan oleh sensor kemudian diolah menggunakan perangkat lunak untuk mengurangi nilai inframerah dekat yang telah diukur dari kanal merah dan biru untuk menghasilkan citra merah/hijau/inframerah dekat.

4.2 Hasil Mozaik

Data citra hasil ekstraksi Bayer filter masih merupakan data yang masih terpotong-potong seperti data mentahnya, maka dari itu perlu dilakukan mozaik sehingga menjadi data citra yang utuh sesuai dengan hasil perekaman dari pesawat LSA. Selain dilakukan mozaik, juga perlu dilakukan koreksi tegak yang dibutuhkan karena gerakan dari pesawat LSA tidak sepenuhnya tegak terhadap permukaan bumi. Data citra yang diakuisi dari pengindera sudah terdapat lokasi koordinat yang didapat dari GPS pada pengindera, sehingga untuk membuat mozaik data citra bisa lebih mudah dilakukan.

Gambar 5. Hasil mozaik citra dari data hasil perekaman LSA

(Sumber: Data yang diolah)

Hasil dari mozaik tidak sepenuhnya bagus baik dari segi geometrik maupun dari segi radiometrik. Selain itu, tidak semua data citra dapat dimozaik walaupun data citra tersebut memiliki data koordinat terutama pada wilayah perairan. Wilayah perairan sangat cepat berubah seperti pada kondisi arus airnya, kemungkinan hal ini yang menyebabkan data citra sulit untuk dimozaik, namun, untuk wilayah pesisir masih dapat dimozaik dikarenakan masih terdapatnya wilayah daratan yang kondisinya relatif tetap sehingga nilai

(6)

- 89 -

korelasi silang antar foto masih memenuhi untuk dilakukan mozaik walaupun wilayah perairannya relatif berubah.

Gambar 6. Hasil mozaik yang kurang sempurna yang ditampalkan pada Google Earth.

Gambar kiri: wilayah perairan.Gambar kanan: wilayah daratan (Sumber: Data yang diolah)

Dari segi geometrik, tidak seluruh data citra yang bertampalan menghasilkan data citra yang mulus (seamless) seperti pada Gambar 7 (atas), namun untuk akurasi geometriknya sudah cukup bagus walaupun terlihat masih terdapat sedikit pergeseran ketika ditampilkan dengan ditampalkan menggunakan citra dari Google Earth seperti terlihat pada Gambar 7 (bawah).

Gambar 7. Beberapa kekurangan pada segi geometrik

(Sumber: Data yang diolah)

Pada Gambar 8 memperlihatkan adanya perbedaan kecerahan/iluminasi dari utara ke selatan yang diakibatkan lamanya waktu akuisisi. Waktu akuisisi lintasan paling utara sekitar pukul 08.00 pagi, sedangkan pada lintasan paling selatan sekitar pukul 11.00, sehingga pengaruh matahari akan cukup berbeda pada kedua lintasan dan akan terlihat perbedaannya ketika citra dimozaik. Citra yang didapat dari akuisisi LSA ini membutuhkan waktu berjam-jam untuk menyelesaikan satu lintasannya, berbeda dengan citra penginderaan jauh dari satelit yang membutuhkan waktu hanya dalam hitungan menit dalam tiap sapuannya sehingga tidak akan terjadi gradasi iluminansi dalam citranya. Selain itu pada citra penginderaan jauh menggunakan satelit terdapat metadata mengenai hal-hal yang dapat membantu dalam koreksi radiometriknya, seperti sudut azimut dan elevasi matahari.

(7)

- 90 -

Gambar 8. Masalah radiometrik pada hasil mozaik citra

(Sumber: Data yang diolah) 4.3 Analisis Lahan Pertanian

Untuk melakukan kajian mengenai masalah pertanian dengan menggunakan citra hasil akuisisi LSA maka perlu dilakukan pengolahan lanjutan. Dikarenakan kanal yang dihasilkan oleh pengindera berada pada kanal hijau, merah, dan inframerah dekat, maka dapat dilakukan perhitungan indeks vegetasi dengan menggunakan NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) sebagai pengolahan lanjutan. Pada Gambar 9 ditunjukkan hasil sampel citra NDVI dari citra hasil perekaman LSA dengan menggunakan gradasi hijau, dimana piksel yang mempunyai NDVI tinggi ditunjukkan dengan warna terang (hijau ke arah putih) sedangkan piksel yang mempunyai NDVI rendah ditunjukkan dengan warna gelap (hijau ke arah hitam). Nilai NDVI yang terhitung pada sampel lokasi berkisar dari -0.281 hingga 0.735.

Gambar 9. Hasil sampel dari NDVI pada wilayah pertaniandengan menggunakan palet hijau.

(Sumber: Data yang diolah)

Untuk mempermudah dalam melakukan interpretasi visual, maka dilakukan komposit kanal dengan menggunakan komposit kanal NIR, NDVI, dan R, yang penampakannya seperti terlihat pada Gambar 10. Dengan menggunakan komposit tersebut, untuk area non vegetasi (permukiman, fase bera, jalan, lahan terbuka) secara visual terlihat mengarah ke warna magenta. Sedangkan untuk wilayah dengan tingkat

(8)

- 91 -

kehijauan tinggi (vegetasi maksimum/pemanjangan batang hingga bunting) secara visual terlihat berwarna kuning - hijau muda. Pada area dengan tingkat kehijauan sedang (fase vegetatif awal/anakan, fase generatif /pematangan) terlihat berwana hijau agak tua. Sedangkan untuk tingkat kehijauan rendah terlihat berwarna hijau tua seperti terlihat pada sungai yang kemungkinan terdapat vegetasi di dalamnya.

Gambar 10. Interpretasi pada Citra komposit NIR, NDVI, dan RED

(Sumber: Data yang diolah) 5. KESIMPULAN

Data multispektral yang diakuisisi oleh pesawat LSA berpotensi untuk digunakan dalam pengamatan wilayah lahan pertanian seperti halnya penggunaan dari data yang diakuisisi dari satelit penginderaan jauh.

Untuk melakukan pemrosesan data hasil akuisisi LSA dapat menggunakan langkah sebagai berikut: Data Mentah Ekstraksi Bayer filter Mozaik dan Koreksi tegak Pengolahan Lanjut, namun, masih perlu dilakukan tambahan langkah pengolahan dan koreksi citra baik dalam masalah geometrik maupun radiometrik sehingga citra yang dihasilkan lebih baik.

UCAPAN TERIMAKASIH

Ucapan terima kasih kami tujukan kepada Kepala Pusat Teknologi Penerbangan LAPAN yang telah memberi bantuan pesawat LSA sebagai pembawa dari pengindera multispektral, juga kepada Kepala Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh LAPAN yang telah mendukung dalam penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Kushardono, D., Annas, A., Maryanto, A., Utama, A.B., dan Winanto (2015). Pemanfaatan Data LSA (LAPAN Surveillance Aircraft) untuk Mendukung Pemetaan Skala Rinci. Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan XX dan Kongres VI MAPIN.

Shofiyanti, R. (2011). Teknologi Pesawat Tanpa Awak untuk Pemetaan dan Pemantauan Tanaman dan Lahan Pertanian. Informatika Pertanian 20(2):58 – 64.

Wiyono, A., dan Budiyanta, S.A. (2015). Analisa Perencanaan dan Hasil Uji Terbang LSU-01untuk Pemotretan Wilayah Longsor Banjarnegara. Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan XX dan Kongres VI MAPIN

Non vegetasi (rumah, lahan terbuka,

fase bera, jalan)

Kehijauan tinggi(vegetasi maksimum /

pemanjangan batang hingga bunting)

Kehijauan sedang (fase vegetatif

awal, fase generatif)

Kehijauan rendah (sungai, fase

(9)

- 92 -

Artanto, E., Yuniar, F., dan Rimayanti, A. (2015). Pemetaan Pulau Terluar Indonesia Menggunakan Wahana UAV. Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan XX dan Kongres VI MAPIN

Mancini, F., Dubbini, M., Gatelli, M., Stecchi, F., Fabbri, S., dan Gabbianelli, G. (2013). Using Unmanned Aerial Vehicles (UAV) for High-Resolution Reconstruction of Topography: The Structure from Motion Approach on Coastal Environments. Remote Sensing, 5(12):6880-6898.

Sari, N.M., dan Kushardono, D. (2015). Object Segmentation on UAV Photo Data to Support the Provision of Rural Area Spatial Information. Jurnal Forum Geografi 29(1):49-59.

Tetracam, Inc. (2011). Agricultural Digital Camera User’s Guide (ver 2.3).Chatsworth: Tetracam, Inc.

Hubel, P.M., Liu, J., dan Guttosch, R.J. (2004). Spatial Frequency Response of Color Image Sensors: Bayer Color Filters and Foveon X3. Proc. SPIE5301, Sensors and Camera Systems for Scientific, Industrial, and Digital Photography Applications V. 402.

Bayer, dan Bryce, E. (1976). Color Imaging Array. U.S. Patent No. 3,971,065

Chang, L., dan Tan, Y. (2006). Hybrid Color Filter Array Demosaicking for Effective Artifact Suppression. Journal of Electronic Imaging

Ramanath, R., Snyder, W.E., dan Bilbro, G.L. (2002). Demosaicking Methods for Bayer Color Arrays. Journal of Electronic Imaging, 11(3):306 -315.

Freeman, W.T. (1988). Median Filter for Reconstructing Missing Color Samples. U.S. Patent No. 4,7642,395.

Laroche, C.A., dan Prescott, M.A. (1994). Apparatus and Method for Adaptively Interpolating a Full Color Image Utilizing Chrominance Gradients. U.S. Patent No. 5,373,322.

Hamilton, J.F., dan Adams, J.E. (1997). Adaptive Color Plane Interpolation in Single Sensor Color Electronic Camera. U.S. Patent No. 5,629,734.

Wolf, P.R. (1983). Elements of Photogrammetry, 2nd edition. McGraw Company, USA.

Schenk, T. (2000). Digital Photogrammetry, Volume 1. Terra Science, Ohio, USA.

Harintaka, Susanto, E.W., dan Thobibah, T. (2006). Otomatisasi Pembuatan Mosaik Menggunakan Teknik Korelasi Silang pada Foto Udara Format Kecil. Pertemuan Ilmiah Tahunan III – T. Geomatika ITS.

*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah

BERITA ACARA

PRESENTASI ILMIAH SINASINDERAJA 2015

Moderator : MuchamadSholeh, M.Eng.

Judul Makalah : Pengolahan Data Kamera Multispektral Pada Pesawat LSA-01 Untuk Pemantauan Pertanian. Pemakalah : Galdita Aruba Chulafak

Jam : 11.00 – 12.00 WIB Tempat : Meeting Room E-F Diskusi :

Hamdi (LAPAN).

Apakah bisa dilakukan mozaik pada daerah perairan?

Berapa porsentase keberhasilnya khususnya pada data Landsat? Liputan awan hampir seluruh Indonesia untuk data Landsat 8? Herman (UGM)

Sensor yang digunakanberapa band? Hingga muncul NIR? Wati (BPS)

Apakah hasil pengolahan dapat mudah terbaca oleh orang awam sebagai contoh daerah pertanian?

Apakah juga bisa terbaca jenis tanamannya dan juga tanaman yang ada di ladang? Misalkan jagung dibedakan dengan padi

Wahyu ( TNI AL)

Bisakah LSA digunakan untuk surveillance maritim?

TNI AL memiliki Nomed jika dikolaberasi kandengan LSA kemampuannya akan seperti apa? Dony (tambahan)

Kamera yang digunakan merupakan kamera multi spectral khusus untuk pertanian. Kemampuan LSA dapat terbang hingga 6 jam untuk maritim bisa diinstall pay loadnya pada LSA

Jawaban:

Untuk mozaik dipesisir masih bisa dilakukan jika di perairan akan susah dilakukan.

(10)

- 93 -

Bisa digunakan untuk jenis tanaman lain sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut Untuk keperluan Maritim bisa digunakan tapi disesuaikan payloadnya saja.

(11)

- 94 -

Pan-Sharpening Citra QuickBird menggunakan Transformasi

Hyperspherical Color Space (HCS)

Katmoko Ari Sambodo1,*)

1Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh - LAPAN. *)E-mail:katmoko_ari@lapan.go.id

ABSTRAK - Pan-sharpening adalah suatu jenis penggabungan (fusi) data yang mengkombinasikan citra multispektral

resolusi rendah dengan citra pankromatik resolusi tinggi untuk menghasilkan suatu citra warna resolusi tinggi. Pada umumnya pan-sharpening dilakukan dengan berbagai teknik transformasi warna sedemikian rupa sehingga citra yang dihasilkan memiliki ketajaman yang sama dengan citra pankromatik dan memiliki warna yang sama dengan citra multispektral orisinilnya. Namun demikian, pada prakteknya sangat susah untuk memenuhi kedua tujuan tersebut secara bersamaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji suatu metode alternatif pan-sharpening dengan menggunakan metode transformasi Hyperspherical Color Space (HCS) dengan menggunakan data QuickBird. Transformasi HCS ini sebelumnya telah diajukan oleh Padwick et.al, dengan menggunakan data WorldView-2. Namun mengingat perbedaan jumlah dan karakteristik spektral antara citra WorldView-2 dengan citra QuickBird, maka perlu dikaji performansinya pada citra QuickBird. Konsep dasar dari metode transformasi dari ruang warna native ke ruang warna hyperspherical adalah mengikuti definisi standar transformasi dari ruang Kartesian n ke ruang Hyperspherical berdimensi-n. Pada transformasi sebaliknya, citra intensitas digantikan dengan citra pankromatik yang sebelumnya telah disetarakan intensitasnya (intensity match) dengan citra intensitas pada ruang warna Hyperspherical-nya. Proses penyetaraan intensitas ini cukup menentukan kualitas hasil, dan pada penelitian ini dilakukan dengan berdasarkan nilai digital citra pankromatiknya, nilai digital dan statistiknya dari citra pankromatik yang telah dilakukan perataan pada jendela berukuran 7x7 piksel, dan nilai digital dan statistiknya dari citra intensitas pada ruang warna Hyperspherical-nya. Hasil eksperimen menunjukkan bahwa metode ini memberikan hasil yang sangat bagus untuk diterapkan pada citra QuickBird yakni memiliki ketajaman spasial yang baik dan mempertahankan warna yang relatif sama dengan citra multispektral orisinilnya. Hal ini juga ditunjukkan dengan nilai indeks kualitas citra berdasar Wang-Bovic quality index yang tinggi (di atas 0.85) pada keseluruhan band citra QuickBird (Red, Green, Blue, dan NIR).

Kata kunci: Pansharpening, Quickbird, Hyperspherical Color Space (HCS), image quality index.

ABSTRACT - Pan-sharpening is a type of data merger (fusion) that combines the low-resolution multispectral image with the higher

resolution panchromatic image to produce a high-resolution color image.In general, pan-sharpening is done with a variety of color transformation techniques such that the resulting image has the same sharpness as the original panchromatic image as well as the same colors as the original multispectral image.However, in practice, it is very difficult to meet both of these goals together. This study aimed to examine an alternative pan-sharpening method based on Hyperspherical Color Space (HCS) transformation using QuickBird data.HCS transformation has been proposed by Padwick et.al, using WorldView-2 data.However, due to differences in the number and spectral characteristics between WorldView-2 data with QuickBird data, it is necessary to study its performance on QuickBird data. The transformation between the native color space and the hyperspherical color space follows the standard defininition of transformation between n-dimensional Cartesian space and n-dimensional hyperspherical space. On the reverse transformation, the intensity component is replaced with panchromatic image that has been intensity-matched with the intensity component on the hyperspherical space. The intensity matching affect the pan-sharpening result, and in this research was done based on the digital number of original panchromatic image, the digital number and statistical values of smoothed -panchromatic image (using window size of 7x7 pixels), and the digitalnumber and statistical values of intensity component in the Hyperspherical color space. The experimental result shows that this method provides very good results to be applied to QuickBird image, i.e. the pan-sharpening result has good spatial sharpness and has relatively the same colors as the original multispectral image.This is also shown by high quality index (above 0.85, based on the Wang-Bovic quality index) at all QuickBird image bands (Red, Green, Blue, and NIR).

Keywords: Pansharpening, Quickbird, Hyperspherical Color Space (HCS), image quality index 1. PENDAHULUAN

Pan-sharpening adalah suatu jenis penggabungan (fusi) data yang mengkombinasikan citra multispektral resolusi rendah dengan citra pankromatik resolusi tinggi untuk menghasilkan suatu citra warna resolusi tinggi. Pada umumnya pan-sharpening dilakukan dengan berbagai teknik transformasi warna sedemikian rupa sehingga citra yang dihasilkan memiliki ketajaman yang sama dengan citra pankromatik dan memiliki warna yang sama dengan citra multispektral orisinilnya. Namun demikian, pada prakteknya sangat susah untuk memenuhi kedua tujuan tersebut secara bersamaan.

(12)

- 95 -

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji suatu metode alternatif pan-sharpening dengan menggunakan metode transformasi Hyperspherical Color Space (HCS) dengan menggunakan data QuickBird. Transformasi HCS ini sebelumnya telah diajukan oleh Padwick et al. (2010), dengan menggunakan data WorldView-2. Namun mengingat perbedaan jumlah dan karakteristik spektral antara citra WorldView-2 dengan citra QuickBird, maka perlu dikaji performansinya pada citra QuickBird.

2. METODE

2.1 Metode Pan-sharpening dengan menggunakan Transformasi Hyperspherical Color Space (HCS)

Konsep dasar dari metode transformasi dari ruang warna native ke ruang warna hyperspherical adalah mengikuti definisi standar transformasi dari ruang Kartesian berdimensi-n ke ruang Hyperspherical berdimensi-n (Padwick et al., 2010). Untuk citra dengan jumlah band input N, maka akan membentuk sebuah komponen intensitas dan N-1 buah sudut dalam ruang hypersphere-nya. Misalnya untuk citra dengan QuickBird dengan jumlah band 4 yakni B (band Blue), G (band Green), R (band Red), dan N (band NIR) akan ditransformasikan ke ruang hypersphere dengan satu buah intensitas dan tiga buah sudut ( , , dan

) mengikuti persamaan berikut :

= √ + + + (1)

= √ (2)

= √ (3)

= (4)

Transformasi sebaliknya (dari ruang warna hyperspherical ke ruang ruang warna native) adalah sebagai berikut :

= cos (5)

= sin cos (6)

= sin sin cos (7)

= sin sin sin (8)

Dalam transformasi ke HCS, variabel sudut ( ) merepresentasikan warna (color) atau hue sedangkan komponen radial ( ) merepresentasikan intensitas warna. Apabila telah ditransformasikan ke HCS, maka komponen intensitasnya dapat diubah / diskala ulang tanpa merubah warnya. Hal ini menjadi hal pokok dalam algoritma pan-sharpening.

Permasalahannya selanjutnya adalah bagaimana algoritma untuk mengubah intensitas tersebut. Dalam hal ini band pankromatik dapat dipergunakan karena memiliki resolusi spasial yang lebih baik dibanding band multispektralnya. Cara yang paling sederhana adalah dengan langsung mengganti intensitas tersebut dengan band pankromatik tersebut. Namun hal itu biasanya tidak akan memberikan hasil yang optimum. Dalam berbagai penelitian disarankan untuk melakukan intensity matching terhadap band pankromatik tersebut terlebih dahulu sehingga serupa dengan nilai intensitas . Penelitian ini mencoba menerapkan teknik intensity matching yang telah diterapkan oleh Padwick et al. (2010) untuk data WorldView-2 dengan cara memodelkan perbedaan antara intensitas band pankromatik dan band multispectralnya dan mempertimbangkannya dalam proses pan-sharpening tersebut.

Berikut akan dijelaskan intensity matching tersebut, yang dalam papernya Padwick, et al menyebutnya sebagai mode Smart. Sebelum dilakukan proses pan-sharpening, pertama-tama dibentuk terlebih dahulu citra dari band pankromatik (P) yang dihaluskan (smoothed) seperti berikut:

(13)

- 96 -

= SMOOTH( ) (9)

Dimana operasi SMOOTH merupakan sliding window convolution filter, yang dilakukan dengan ukuran window 7x7, sehingga nilai di piksel di tengah window merupakan nilai rata-rata dari seluruh piksel di dalam window tersebut. Ukuran window dapat diubah-ubah, namun ukuran 7x7 merupakan ukuran yang direkomendasikan, karena menghasilkan citra hasil pan-sharpening dengan artifak-artifak spasial (seperti

ghosting, blurring, dan lain-lain) yang paling minimal.

Berikutnya, rata-rata dan standar deviasi baik untuk kuadrat ( ) dan kuadrat intensitas multispektralnya ( ) dihitung, yakni:

= + + + (10)

= ( ) (11)

Hasil perhitungan rata-rata dan standar deviasi untuk dinyatakan dengan dan , sedangkan untuk dinyatakan dengan dan . Intensity matching baik untuk dan ke dilakukan dengan formula berikut:

= ( − + ) + − (12)

= ( − + ) + − (13)

Selanjutnya, dihitung suatu besaran intensitas baru (adjusted intensity) sebagai berikut :

= (14)

selanjutnya dipergunakan dalam proses pan-sharpening, yakni untuk mengganti nilai intensitas pada formula (5) – (8).

2.2 Metode Evaluasi Hasil Pan-sharpening

Secara umum, belum terdapat metode yang standar untuk mengevaluasi hasil pan-sharpening. Secara kualitatif, metode pan-sharpening yang baik memiliki ketajaman spasial yang baik (yang diantaranya dapat dikonfirmasikan dengan melihat batas-batas objek yang dibentuknya) dan mempertahankan warna yang relatif sama dengan citra multispektral orisinilnya. Namun secara kuantitatif, belum terdapat kesepakatan terkait indeks yang terbaik yang dapat dijadikan standar untuk menilai hasil pan-sharpening. Penelitian ini mencoba untuk menggunakan salah satu indeks yang disebut dengan indeks kualitas Wang-Bovic (Wang & Bovic, 2002) Indeks kualitas Wang-Bovic untuk dua citra dan didefiniskan sebagai :

= (15)

Dimana dan masing-masing merepresentasikan nilai varians dari citra dan citra . dan masing-masing merepresentasikan nilai rata-ratanya. Menurut Wang-Bovic, suku pertama menyatakan cross correlation antara citra dan , suku kedua menyatakan perbandingan antara nilai rata-rata dari dan , dan suku ketiga menyatakan perbandingan kekontrasannya. Kisaran nilai indeks tersebut adalah antara -1 dan 1.

Untuk mengaplikasikan indeks ini, karena ukuran piksel hasil pan-sharpening yang berbeda dengan citra multispectral origisinilnya, maka pertama-tama dilakukan downsampling citra hasil pan-sharpening sehingga memiliki ukuran resolusi piksel yang sama dengan citra multispektralnya. Selanjutnya indeks dapat dihitung dengan menggunakan ukuran blok / window tertentu. Dalam penelitian ini, digunakan ukuran piksel ¼ dari ukuran citranya seperti yang dilakukan oleh Padwick et al. (2010).

(14)

- 97 - 2.3 Data yang Digunakan

Data sampel yang digunakan untuk melakukan eksperimen pan-sharpening ditunjukkan pada Gambar 2. Data ini merupakan data citra Quick Bird yang terdiri atas data multispektral dan data pankromatik, pada sebagian wilayah Kabupaten Batang, Propinsi Jawa Tengah dan telah melalui proses orthorektifikasi.

a) Band multispektral (resolusi )

b) Band Pankromatik (resolusi m) Gambar 1. Data QuickBird yang dipergunakan

(15)

- 98 - 3. HASIL dan PEMBAHASAN

Hasil koreksi pan-sharpening dengan menggunakan data input pada Gambar 1 ditunjukkan pada Gambar 2. Pada Gambar 3 ditunjukkan perbesaran beberapa area pada Gambar 2 sehingga mempermudah dalam melakukan perbandingan antara citra multispektral orisinil dengan citra hasil pan-sharpeningnya. Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa metode pan-sharpening HCS ini memberikan hasil dengan ketajaman spasial yang baik dan mempertahankan warna yang relatif sama dengan citra multispektral orisinilnya. Hal ini dapat terlihat dari hampir keseluruhan jenis objek, baik rumah, sawah, jalan, tanah terbuka, maupun vegetasi di sekitarnya.

Selanjutnya dilakukan evaluasi hasil secara kuantitatif dengan indeks Wang Bovic. Hasilnya dirangkum pada Tabel 1. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa indeks untuk band R, G, dan NIR di atas 0.85, hanya untuk band B yang sedikit di bawah 0.85. Demikian juga untuk kualitas spasialnya yang dihitung dengan cross correlation CC, untuk keseluruhannya di atas 0.85. Hal ini menunjukkan bahwa metode pan-sharpening HCS ini memberikan hasil yang bagus baik secara kualitatif maupun kuantitatif apabila diterapkan pada data QuickBird.

Selain itu, berbeda dengan metode pan-sharpening lainnya (seperti misalnya metode RGB-HIS), metode HCS ini memberikan hasil pan-sharpening tidak hanya tiga band Red, Green, dan Blue saja, namun juga menghasilkan citra hasil pan-sharpening untuk band NIR. Dan kualitas untuk band NIR ini juga relatif memuaskan.

Gambar 2. Hasil Pan-sharpening dengan menggunakan metode Transformasi Hyperspherical

(16)

- 99 -

Multispektral Pankromatik Hasil pan-sharpening HCS

Multispektral Pankromatik Hasil pan-sharpening HCS

Multispektral Pankromatik Hasil pan-sharpening HCS

Multispektral Pankromatik Hasil pan-sharpening HCS

Gambar 3. Gambar perbesaran hasil Pan-sharpening dengan menggunakan metode Transformasi

Hyperspherical Color Space (HCS)

Tabel 1. Indeks kualitas Wang Bovic hasil pan-sharpening HCS. Band Red (R) 0.889 Green (G) 0.864 Blue (B) 0.746 NIR (N) 0.878

(17)

- 100 - 4. KESIMPULAN

Pan-sharpening dengan menggunakan metode transformasi Hyperspherical Color Space (HCS) dapat diterapkan pada citra QuickBird dengan hasil yang memuaskan baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Hasil pan-sharpening tersebut memiliki ketajaman spasial yang baik dan mempertahankan warna yang relatif sama dengan citra multispektral orisinilnya. Hal ini juga ditunjukkan dengan nilai indeks kualitas citra berdasar Wang-Bovic quality index yang tinggi pada keseluruhan band citra QuickBird (Red, Green, Blue, dan NIR).

UCAPAN TERIMAKASIH

Ucapan terimakasih disampaikan kepada Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh, LAPAN yang telah menyediakan data Quick Bird untuk keperluan penelitian ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Drs. Kustiyo, M.Si yang telah menyediakan fasilitas pengolahan datanya dan berbagai diskusinya selama melakukan eksperimen.

DAFTAR PUSTAKA

Wang, Z., dan Bovic, A. (2012). A Universal Image Quality Index. IEEE Signal Processing Letters.

Padwick, C., Deskevich, M., Pafici, F., dan Smallwood, S. (2010). Worldview-2 Pan-sharpening. ASPRS 2010 Annual Conference, San Diego, California.

*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah

BERITA ACARA

PRESENTASI ILMIAH SINASINDERAJA 2015

Moderator : Ayom Widipaminto, S.T., M.T.

Judul Makalah : Pan-Sharpening Citra Quick Bird Menggunakan Transformasi Hyperspherical Color Space (HCS) Pemakalah : DR. Katmoko Ari Sambodo

Jam : 15.30 – 16.30 WIB

Tempat : Meeting Room E-F Diskusi :

Ferman Setia Nugraha (BPJ Parepare – LAPAN).

Apakah metode dan plug-in ini bisa untuk data yang lain? Atau hanya untuk Quick Bird saja? Daniel Sande Bona, S.T. (BPKWA Biak – LAPAN)

Berapa batas maksimum perbandingan resolusi maksimum antara band pankromatik dengan band multispektral yang dapat di pan-sharp?

Apakah ada metode lain yang dapat digunakan? Bagaimana perbandingannya dengan metode ini? Jawaban:

Metode ini bisa digunakan untuk data yang lain. Penulis sudah mencoba menggunakan metode ini pada data citra Geo-Eye, World View, Pleiades dan semua hasilnya memuaskan. Hanya saja masih terdapat masalah pada perbedaan jumlah band tiap citra. Sehingga program harus disesuaikan sedemikian rupa sehingga intensity matching-nya dapat disesuaikan.

Resolusi band pankromatik biasanya 4x lebih besar dibandingkan band multispektralnya. Penulis telah menghitung resolusi spasial piksel pankromatik yang dijadikan skala untuk kemudian dilakukan resampling terhadap data multispektralnya.

Sebenarnya, penulis ingin melakukan perbandingan dengan metode lain tetapi terkendala dengan kemampuan software yang lain yang hanya mampu mendukung data 8 bit. Sedangkan data Quick Bird tersebut memiliki data sebesar 11 bit sehingga tidak dapat diproses oleh software tersebut. Penulis mencoba untuk melakukan perbandingan dengan metode HIS, dan seperti yang telah diduga, hasilnya sangat kontras perbedaannya. Penulis mengaku agak ragu untuk tidak menyampaikan, karena software-nya memang tidak mendukung data 11 bit.

(18)

- 101 -

Klasifikasi Daerah Aliran Sungai Berdasarkan Parameter Kondisi Lahan

di DAS Mentaya Menggunakan Data Penginderaan Jauh dan SIG

Agung Rusdiyatmoko1,*)

1BPDAS Kahayan Direktorat Jenderal Pengendalian DAS dan Hutan Lindung,

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kalimantan Tengah, Indonesia

*)E-mail: rusdiagung@yahoo.com.

ABSTRAK–Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2012, Daerah Aliran Sungai (DAS) diklasifikasikan

menjadi DAS dipulihkan dan dipertahankan. Penentuan klasifikasi tersebut didasarkan pada penilaian terhadap parameter lahan, tata air, sosial ekonomi kelembagaan, investasi bangunan air, dan pemanfaatan ruang wilayah. Penelitian ini memfokuskan pada unsur lahan untuk menentukan klasifikasi DAS di DAS Mentaya. Tujuan penelitian ini yakni untuk menentukan klasifikasi DAS Mentaya berdasarkan kondisi lahan dengan menggunakan data penginderaan jauh dan sistem informasi geografis (SIG) dan untuk merencanakan tindakan rehabilitasi hutan dan lahan yang sesuai dengan kondisi lahannya. Data penginderaan jauh yang digunakan antara lain citra Landsat 8 dan SRTM. Untuk menilai kondisi lahan, data yang digunakan yakni data penutupan lahan hasil ekstraksi data penginderaan jauh Landsat 8 dengan metode klasifikasi terselia. Algoritma NDVI dimanfaatkan untuk mengetahui distribusi tingkat kerapatan vegetasi sebagai acuan untuk pemulihan DAS secara vegetatif. Kerapatan vegetasi dibedakan menjadi lahan kosong, kerapatan vegetasi rapat, kerapatan sedang dan kerapatan jarang. SIG digunakan untuk mengolah data dan untuk menggambarkan distribusi secara spasial data dalam klasifikasi DAS dan upaya rehabilitasi hutan dan lahan, yang meliputi: tingkat kekritisan lahan, kesesuaian penutupan lahan, satuan lahan dalam pengelolaan lahan dan upaya rehabilitasi lahan di DAS Kahayan. Teknik skoring digunakan untuk menentukan hasil klasifikasi DAS. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini, meliputi: tingkat kekritisan lahan (kritis dan sangat kritis) mencapai 599.339,74 Ha (41, 12%), kondisi penutupan lahan berupa persentase penutupan vegetasi hanya 53.92% dan nilai pengelolaan lahan tergolong rendah. Guna pemulihan kondisi DAS tersebut, kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan perlu dilakukan dengan kegiatan vegetative dan sipil teknikdengan program kegiatan, antara lain: reboisasi, hutan rakyat dan penghijauan lingkungan, pembuatan tabat dan gundukan pada ekosistem bergambut, dam pengendali, sumur resapan, serta biopori pada ekosistem daratan.

Kata kunci: Klasifikasi DAS, Kondisi Lahan, Rehabilitasi Hutan dan Lahan, Penginderaan Jauh, DAS Mentaya

ABSTRACT –Determination of Watershed Classification Based on Land Condition Parameter in Mentaya Watershed

by using Remotely Sensed Data and GIS. According to Government Regulation No. 37 years 2012, Watershed classification can be classified into restored and maintained watershed. It can be assessed by calculating land condition, water condition, social/economic/ institutional, waterworks investment, and spatial use. This research is focused on land aspect for determining Mentaya watershed classification. The objective of research is grouped into two goals, namely: to determine Mentaya Watershed classification based on land condition by using remote sensing data and geographic information system (GIS) and to plan land and forest rehabilitation action appropriate with land condition. Landsat 8 and SRTM are used in this research. Land use type as basic data for evaluating land condition is produced by Landsat 8 imagery extraction through supervised classification method. NDVI Algorithm is applied to know dense of vegetation distribution. It is divided in to bare land, dense density, moderate density and low density. These categories are reference to restore watershed vegetatively. GIS is functioned to process data and to draw data spatially such as critical land, land use suitability, land unit for land management, and forest and land rehabilitation. Scoring technique is applied to assess watershed classification. The results obtained from this research, including: land critical level (critical and high critical) reaches 599.339,74 Ha (41,12%), percentage of vegetation cover is 53.92%, and value of land management is categorized low management. To restore watershed condition, land and forest rehabilitation activity need to be done by vegetative and civil technique programs such as reforestation, forest society, environment reforestation, canal blocking and mound in peatland ecosystem, control dam, infiltration wells and bio-pores especially in dryland ecosystem.

Keywords: Watershed Classification, Land Conditon, Land and Forest Rehabilitation, Remote Sensing, Mentaya Watershed

(19)

- 102 -

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) yang optimal memerlukan data dan informasi tentang karakteristik DAS. Data karakteristik DAS ini mutlak diperlukan sebagai rekomendasi arah pengelolaan DAS dan diharapkan dapat terintegrasi dengan misi dan visi pembangunan suatu wilayah sehingga tercipta sinergi antara pembangunan ekonomi dan lingkungan. Data karakteristik DAS terbangun atas dasar sifat khas yang dimiliki oleh suatu DAS. Menurut Peraturan Direktur Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial Nomor: P.3/V-SET/2013 tentang pedoman identifikasi karakteristik daerah aliran sungai menerangkan bahwa karakteristik DAS merupakan sifat khas dari suatu DAS yang terbagi menjadi sifat statis atau variabel yang tidak mudah berubah dan sifat dinamis atau variabel yang mudah berubah. Data DAS yang tergolong khas dan statis adalah data morfologi dan morfometri DAS. Variabel yang sering berubah dan mempengaruhi dinamika DAS, meliputi: data meteorologi/klimatologi, penutup/penggunaan lahan, kondisi sosial ekonomi kebudayaan masyarakat, dan kondisi kelembagaan pengelolaan DAS.

Data yang diperlukan untuk pengelolaan DAS selain informasi karakteristik DAS adalah informasi klasifikasi DAS. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2012, DAS dapat diklasifikasikan menjadi DAS yang dipulihkan dan DAS yang dipertahankan. Penentuan klasifikasi DAS yang dimaksud didasarkan pada kriteria, yaitu: kondisi lahan, tata air, sosial ekonomi, investasi bangunan air, dan pemanfaatan ruang wilayah. Kriteria-kriteria tersebut tersusun oleh sub-sub unsur pembentuknya. Kondisi lahan tersusun oleh sub unsur, seperti: informasi luasan lahan kritis, luasan penutupan lahan dan erosi lahan. Sub unsur erosi lahan berkaitan dengan pengelolaan lahan. Untuk itu, pola pengelolaan lahan dapat dijadikan sebagai unsur penilainya. Data yang diperlukan untuk perhitungan kualitas, kuantitas dan kontinuitas air minimal terdiri dari informasi koefisien rezim aliran, koefisien aliran tahunan, muatan sedimen, banjir, dan indeks penggunaan air. Perhitungan nilai sosial ekonomi melibatkan beberapa parameter, meliputi: tekanan penduduk terhadap lahan, tingkat kesejahteraan penduduk, dan keberadaan dan penekan peraturan. Untuk menguatkan analisis dan perhitungan klasifikasi DAS dalam hal aset yang ada di suatu DAS diperlukan investasi bangunan. Data aset yang dimaksud dapat dicerminkan dari klasifikasi kota dan nilai bangunan air yang berada di suatu DAS. Pemanfaatan ruang wilayah diperlukan sebagai informasi pokok untuk manajemen fungsi wilayah terhadap DAS. Data utama yang digunakan adalah pemanfaatan ruang wilayah dengan merujuk pada informasi spasial dan non-spasial kawasan lindung dan kawasan budidaya perlu diketahui.

Klasifikasi DAS perlu diketahui sebagai dasar untuk melaksanakan tindakan kegiatan pengelolaan DAS yang berkelanjutan untuk pengembalikan fungsi DAS. Usaha pemulihan DAS terkait dengan informasi lahan terutama informasi laju degradasi lahan dan deforestasi baik secara temporal maupun spasial. Usaha penanggulangan degradasi dan deforestasi harusdirealisasikan untuk menghindari timbulnya permasalahan-permasalahan lingkungan, seperti: tingkat erosi tinggi, biodiversity hilang, habitat musnah, dan kepunahan spesies lokal. Permasalahan tersebut dapat mempengaruhi kehidupan manusia baik secara material dan non-material (Nandy et al., 2011). Salah satu upaya nyata untuk menekan dan menghindari laju deforestasi adalah kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan. Kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan yang dimaksud harus tepat konsep, program dan sasaran. Untuk itu, perencanaan kegiatan yang dimaksud harus cermat dengan mendasarkan pada karakteristik lahan pada suatu wilayah aliran sungai atau DAS.

Data tentang lahan terdegradasi yang akurat baik spasial maupun non-spasial sangat diperlukan untuk proses perencanaan. Data penginderaan jauh dan SIG dapat dikombinasikan untuk memperoleh informasi kondisi lahan yang dimaksud. Keuntungan dari penggunaan data penginderaan jauh yakni objek dapat diidentifikasi tanpa kontak langsung, tingginya tingkat keakuratan perekaman suatu data, informasi yang diperoleh dapat secara temporal sehingga dapat memberikan informasi secara berkala. Berkaitan dengan kondisi lahan yang terdegradasi, lahan-lahan yang dimaksud dapat dipetakan dan diidentifikasi dengan data penginderaan jauh. Algorithm-algorithm khusus dapat digunakan, seperti NDVI dan EVI (Higgibottom et al., 2014; Tagore et al., 2011). Kondisi alampun dapat dimodelkan dengan menggunakan perangkat SIG (Bonham-Carter, 1994). Untuk itu, pemanfaatan data penginderaan dan pengolahan dengan perangkat SIG diharapkan data memperoleh data dengan tingkat keakuratan tinggi.

(20)

- 103 - 1.2. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini yakni untuk menentukan klasifikasi DAS Mentaya berdasarkan kondisi lahan dengan menggunakan data penginderaan jauh dan SIG, serta untuk merencanakan tindakan rehabilitasi hutan dan lahan yang sesuai dengan kondisi lahannya

1.3. Ruang Lingkup

Lingkup penelitian ini lebih memfokuskan pada kondisi lahan sebagai data utama untuk klasifikasi DAS Mentaya. Parameter lainnya seperti tata air, kondisi sosial ekonomi diabaikan walaupun parameter tersebut penting untuk penentuan klasifikasi DAS. Parameter kondisi lahan dipilih sebagai parameter utama dengan alasan bobot nilai parameter kondisi lahan tergolong tinggi dibandingkan dengan parameter lainnya dalam klasifikasi DAS.

2. METODE

2.1. Data

Data utama yang digunakan dala penelitian ini disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Data yang digunakan dalam penelitian

No Data Fungsi Sumber

1 Citra SRTM Untuk menggambarkan kondisi topografi DAS Mentaya yang berkaitan dengan peta kelerengan dan panjang lereng.

http://srtm.csi.cgiar.org/ 2. Data Penutupan

lahan Untuk mengetahui gambaran tentang distribusi penutupan lahan di DAS Mentaya dan pengelolan kondisi lahan secara umum.

Citra Landsat 8 di download dari https://libra.developmentseed.org/ 3. Data Fungsi

Kawasan

Untuk mengetahui fungsi kawasan

didasarkan pada payung hukum yang berlaku

Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: SK. 529/Menhut-II/2012

4. Land system Untuk mengetahui sistem lahan DAS mentaya yang berisikan informasi tekstur tanah, kondisi drainase, lereng, dan lithologi

RePPROT 5. NDVI Untuk mengetahui tingkat kerapatan vegetasi

di DAS Mentaya Citra Landsat 8Path/row 119/062 dan path/row 119/061 6. Data distribusi

Spasial Lahan Gambut

Untuk mengetahui tingkat ketebalan gambut yang digunakan sebagai dasar pembuatan lahan kritis pada ekosistem lahan gambut.

Data Wetland tahun 2004 7. Tingkat

kekritisan lahan

Untuk mengetahui distribusi spasial tingkat kekritisan lahan di DAS Mentaya

BPDAS Kahayan Tahun 2013 2.2. Metode

2.2.1. Penentuan Klasifikasi DAS Mentaya Berdasarkan Kondisi Lahan

Parameter yang digunakan untuk penentuan klasifikasi DAS Mentaya berdasarkan kondisi lahan, meliputi: kondisi kekritisan lahan, kondisi penutupan lahan, informasi pengelolaan lahan.

2.2.1.1. Kondisi Kekritisan Lahan

Tingkat kekritisan lahan diperoleh dari hasil pengolahan data penginderaan jauh Landsat OLI 8 dan data SRTM. Pengolahan data dilakukan dengan SIG dengan metode utama adalah overlay dengan memberikan bobot dan nilai pada setiap parameter penyusun kondisi kekritisan lahan. Di daerah penelitian terdapat 3 (tiga) ekosistem utama yang mempengaruhi tingkat kekritisan, yaitu: ekosistem lahan kering/daratan, rawa gambut, dan mangrove/sempadan pantai. Adapun tingkat kekritisan lahan diklasifikasi dalam 5 (lima) kelas, yaitu: sangat kritis, kritis, agak kritis, potensial kritis, dan tidak kritis. 2.2.1.2. Kondisi Penutupan Lahan

Informasi penutupan lahan diperolehdari ekstraksi data penginderaan jauh yaitu citra Landsat OLI 8. Citra Landsat 8 di daerah penelitian terdiri dari 2 (dua) sheets, yaitu: path/row 119/062 dan path/row 119/061. Citra yang digunakan adalah citra pilihan dalam kurun waktu 1 (satu) tahun dengan memperhitungkan luasan dan presentase tutupan awan. Untuk memperoleh informasi penutupan lahan

(21)

- 104 -

dari Citra Landsat, metode yang digunakan untuk klasifikasi adalah klasifikasi terselia dengan menggunakan software Ermapper dan diolah secara digital dengan ArcGIS. Hasil olahan menghasilkan data penutupan lahan tentatifyang selanjutnya dilakukan proses pengecekan lapangan. Penutupan lahan yang digunakan untuk klasifikasi DAS ini menekankan pada luasan tutupan vegetasi dan tidak bervegetasi. Langka awal klasifikasi lahan pada penelitian ini adalah penentuan 5 (lima) kelas utama, yaitu: vegetasi, tubuh perairan, lahan terbuka, awan, dan penggunaan lahan lainnya. Salah satu manfaat informasi penutupan lahan adalahuntuk identifikasi awal tingkat kekritisan lahan suatu wilayah.

NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) merupakan salah satu algoritma penginderaan jauh yang dimanfaatkan untuk mengetahui tingkat dan distribusi indeks vegetasi suatu wilayah. Indeks ini merupakan rasio spectral merah dan infra merah. Untuk itu, citra penginderaan jauh yang digunakan untuk ekstrasi informasi NDVI adalah citra yang mempunyai kanal spectral merah dan infra merah dekat. Salah satu citra yang dapat digunakan adalah Landsat 8 OLI. Citra ini mempunyai karakteristik spectral yang lebih sempit baik pada gelombang merah maupun infra merah dekat sehingga NDVI hasil turunannya termasuk cukup signifikan untuk mengetahui tingkat kerapatan vegetasi (Xu and Gue, 2014; Rusdiyatmoko, 2013)

Band yang digunakan adalah band infra merah dan infra merah dekat dengan algorithma sebagai berikut:

NDVI : Normalized Difference Vegetation Indexes

NIR : Kanal Infra merah dekat

Red : kanal merah

2.2.1.3. Informasi Pengelolaan Lahan

Informasi pengelolaan lahan diperoleh dengan cara identifikasi langsung ke lapangan ataupun berdasarkan analisis satuan pemetaan. Satuan pemetaan tersebut tersusun atas data penutupan lahan dari hasil klasifikasi citra Landsat.Untuk itu, metode yang digunakan adalah pengamatan langsung secara acak pada setiap penggunaan lahan. Jenis pengelolaan paling dominan pada setiap satuan pemetaan dianggap sebagai jenis pengelolaan lahan untuk penutupan lahan tersebut.

2.2.1.4. Penilaian Klasifikasi DAS

Klasifisi DAS berdasarkan kondisi lahan dipengaruhi parameter lain yang meliputi kondisi kekritisan lahan, tutupan vegetasi, dan pengelolaan lahan. Parameter tersebut diberi nilai dan diberi bobot. Adapun skor dan bobot disajikan pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1. Penentuan Nilai Setiap Parameter berdasarkan Skoring dan Pembobotan Factor Kondisi

Lahan

Sumber: Modifikasi KLHK, 2014

No Faktor Bobot Kriteria Skor Nilai

1 Lahan Kritis 50 % Lahan Kritis ≤ 5 % 0,5 25

5 %<% Lahan Kritis ≤ 10 % 0,75 37,5 10 %<% Lahan Kritis ≤ 15 % 1 50 15 %<% Lahan Kritis ≤ 20 % 1,25 62,5 % Lahan Kritis> 20 % 1,50 75

2 Penutupan Lahan 25 80 < % Penutupan Vegetasi 0,5 12,5

60 < % Penutupan Vegetasi≤80 0,75 18,75 40< % Penutupan Vegetasi≤60 1 25 20< % Penutupan Vegetasi≤40 1,25 31,25 % Penutupan Vegetasi≤20 1,50 37,5 3 Informasi Pengelolaan Lahan 25 ≤ 0.1 0.1 – 0.3 0,75 18,75 0,5 12,5 0.3 – 0.5 1 25 0.5-0.7 1,25 31,25 > 0.7 1,50 37,5

(22)

- 105 -

Penentuan klasifikasi DAS berdasarkan kondisi lahan menggunakan formula aritmatika berikut ini: Total Nilai= Nilai faktor persentase lahan kritis+Nilai factor persentase Penutup lahan

bervegetasi+Nilai factor persentase informasi.

Dari hasil perhitungan factor-faktor penyusun kondisi lahan di atas, diperoleh total nilai. Total nilai hasil perhitungan tersebut kemudian dikelaskan sesuai dengan Tabel 2.2.

Tabel 2.2. Klasifikasi DAS

No Nilai Klasifikasi DAS

1 0 - 75 Dipertahankan 2 75 -150 Dipulihkan

Sumber: Hasil Rumusan, 2015 2.2.2. Perencanaan Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL)

Dalam merencanakan tindakan rehabilitasi hutan dan lahan digunakan konsep satuan pemetaan. Penelitian ini menggunakan dasar satuan pemetaan berupa tingkat kekritisan lahan kritis. Lahan yang menjadi target kegiatan RHL ini adalah lahan dengan kategori sangat kritis, kritis dan agak kritis. Kondisi tingkat kekritisan lahan ini juga digunakan untuk penentuan tingkat prioritas penanganaan. Tingkat prioritas penanganan dibagi menjadi proritas I dan II. Informasi fungsi kawasan digunakan untuk menentukan jenis kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan.

3. HASIL PEMBAHASAN

3.1. Penentuan Klasifikasi DAS Berdasarkan Kondisi Lahan 3.1.1. Tingkat Kekritisan Lahan

Informasi tingkat kekritisan lahan disajikan secara spasial pada Gambar 3.1. di bawah ini. Secara tabular, data disajikan pada Tabel 3.1.

Gambar 3.1. Informasi Spasial Tingkat Kekritisan Lahan

Kondisi tingkat kekritisan lahan DAS Mentaya didominasi oleh tingkat kekritisan agak kritis (38,21%) dan kritis (37,74%). Hal ini mengindikasikan bahwa DAS Mentaya memerlukan pengelolaan khusus untuk mengendalikan tingkat kekritisannya. Penyebaran tingkat kekritisan lahan DAS Mentaya

No Tingkat Kekritisan Lahan Luasan Ha % 1 Agak Kritis 557.024,39 38,21 2 Kritis 550.113,96 37,74 3 Potensial Kritis 261.065,90 17,91 4 Sangat Kritis 49.225,78 3,38 5 Tidak Kritis 40.247,96 2,76 Jumlah 1.457.677,99 100,00

(23)

- 106 -

melingkupipada bagian tengah dan hilir DAS. Berkaitan dengan penentuan klasifikasi DAS, kondisi lahan sangat dipengaruhi oleh luasan lahanpada kategori kritis dan sangat kritis dalam suatu DAS. Hasil pengolahan dan analisis menunjukkan baha kondisi lahan kekritisan lahan DAS Mentaya tergolong luas yaitu mencapai 599.267,66 ha (40,82%). Hal ini sebagai indikator bahwa tingkat pemulihan DAS memerlukan usaha yang cukup tinggi. Lahan kritis yang dibiarkan tidak ditanggulangi menyebabkan lahan menjadi lahan marginal yang mengakibatkan lahan menjadi tidak berproduktif dan tidak bernilai secara ekonomis (FAO, 1998; Thomas et al., 2012). Untuk itu, luas lahan yang mencapai 599.267,66 ha harus ditangani dengan memperhatikan kemampuan lahan dan diolah sesuai dengan nilai kesesuaian lahannya.

3.1.2.Kondisi Penutupan Lahan

Landsat 8 OLI diolah dengan menggunakan metode klasifikasi terselia. Hasil pengolahan data dan didukung dengan uji petik di lapangan menghasilkan informasi spasial penutupan lahan terpercaya.NDVI digunakan sebagai dasar identifikasi kerapatan penutupan lahan. Hasil pengolahan NDVI ini menunjukkan bahwa kondisi kerapatan vegetasi di DAS Mentaya termasuk sedang sampai dengan tinggi. Vegetasi jarang ditemui pada lahan yang telah terolah seperti lahan pertanian, permukiman dan pertambangan. Kondisi perkebunan dan semak belukar yang tersebar di DAS Mentaya termasuk pada kategori sedang dan rapat. Kondisi tingkat kerapatan vegetasi di DAS Mentaya secara spasial disajikan pada Gambar 3.2 .

Gambar 3.2. Informasi Spasial tingkat

(24)

- 107 -

Tabel 3.2. Informasi Jenis Penutup Lahan DAS Mentaya

Klasifikasi penutupan lahan di DAS Mentaya pada tahap pertama dibedakan 5 (lima) kelas utama penutupan lahan, yaitu: lahan bervegetasi, lahan terbuka, penutup lahan lainnya (lahan terbangun), awan dan tubuh perairan. Dari hasil interpretasi digital tersebut, kelas tutupan vegetasi dibedakan menjadi hutan dan non hutan. Selanjutnya, hutan didetailkan menjadi hutan, hutan rawa dan hutan tanaman. Non hutan terbagi dalam perkebunan, lahan pertanian, semak belukar. Sedangkan lahan terbuka dibedakan menjadi lahan terbuka dan kawasan pertambangan. Jenis penutupan lahan didominasi oleh perkebunan (30,32%) dan semak belukar (29,90%). Hal tersebut mengindikasikanadanya alih fungsi lahan dari hutan menjadi bukan hutan dengan luasan yang sangat tinggi. Luasan perkebunan mencerminkanlahan dimanfaatkan secara intensif. Luasan perkebunan dengan jenis tanaman berupa sawit ini menyisakan hutan seluas2.340.43,98 ha, Hutan rawa 111.886,95 ha dan hutan tanaman hanya 560,62 ha. Lahan yang tidak terolah dengan baik menyebabkan lahan dalam kondis terlantar. Lahan-lahan terlantar yang tidak tergarap dengan baik ditumbuhi oleh semak belukar. Luasan semak belukar mencapai 4.390.47,91 ha. Adapun hasil intepretasi dengan uji lapangan menghasilkan tingkat keakurasian mencapai 73 %.

3.1.3.Kondisi pengelolaan Lahan

Untuk mengetahui kondisi pengelolaan lahan, data utama yang digunakan adalah jenis penutupan lahan dan pola pengelolaannya. Pola pengelolaan lahan setiap penutup lahan diperlukan pengamatan langsung di lapangan dan wawancara dengan beberapa pengolah tanah. Hasil yang diperoleh disajikan pada Tabel 3.3

Tabel 3.3. Nilai Pengelolaan Penggunaan Lahan di DAS Mentaya

No Pengelolaan Penggunaan Lahan Nilai Luas (Ha)

1 Hutan banyak sersah 0,001 234.044

2 Hutan Sekunder 0,1 111.887

3 Hutan tanaman, Sedikit sersah 0,005 561

4 Lahan tanpa Pengelolaan 1 87.749

5 Perkebunan pola jarak tanam 0,1 445.212 6 Palawija dengan teras bangku tradisional 0,7 91.062

7 Semak belukar 0,02 449.550

Nilai Tertimbang 0,147

Penilaian pengelolaan lahan ini menghasilkan nilai tertimbang sebesar 0,147. Sesuai dengan kriteria tingkat pemulihannya termasuk pemulihan rendah. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan lahan di DAS Mentaya diolah tanpa menggunakan kaidah konservasi yang tepat dan cenderung dibiarkan. Tutupan vegetasi berkaitan erat dengan proses erosi (Ries, 2010). Penutupan lahan berupa hutan dengan

No Jenis Penutupan Lahan Luasan

Ha % 1 Hutan 234.043,98 15,94 2 Hutan Rawa 111.886,95 7,62 3 Hutan Tanaman 560,62 0,04 4 Lahan Terbuka 29.937,54 2,04 5 Perkebunan 445.212,38 30,32 6 Permukiman 30.794,51 2,10 7 Pertambangan 16.514,45 1,12 8 Lahan Pertanian 91.061,69 6,20 9 Rawa 58.619,94 3,99 10 Semak Belukar 439.047,91 29,90

11 Tubuh Air - Danau 10.502,00 0,72

(25)

- 108 -

kondisi seresah menyebabkan nilai pengelolaan lahan sangat rendah. Hal ini mengindikasikan kurangnya pengelolaan walaupun dari segi konservasi dapat menghambat terjadinya erosi percik. Energi curah hujan sebelum mencapai permukaan tanah dihalangi oleh seresah dan kanopi sehingga erosi percik terhambat. Nilai pengelolaan lahan tanpa memperhatikan konsep konservasi dapat dijumpai di beberapa lokasi. Nilai pengelolaan lahannya sangat tinggi yaitu mencapai 1 (satu). Hal ini sebagai indikasi jika terjadi pengolahan lahan yang sangat ekstensif di kawasan terbangun seperti permukiman. Penutupan lahan jenis ini mempengaruhi kondisi DAS dalam haltingginya nilai limpasan permukaan dan sedimentasi. Sistem pertanian yang kurang memperhatikan kaidah konservasi tanah dan air mempengaruhi nilai pengelolaannya. Hasil pengamatan menunjukkan nilai pengolahan lahan 0,1 dan 0,7. Di beberapa lokasi dijumpai lahan yang tidak dikelola dengan baik sehingga ditumbuhi semak belukar. Adanya semak belukar menunjukkan pengolahan lahan sangat kecil.

3.1.4. Hasil klasifikasi DAS Mentaya

Dengan menggunakan pendekatan SIG, klasifikasi DAS dapat dinilai dengan cepat. Konsep perolehan informasi klasifikasi menggunakan sistem skoring dengan memberikan nilai dan bobot pada setiap parameter (Carter B, 1994).Kondisi lahan DAS Mentaya yang dicerminkan dengan kondisi tingkat kekritisan lahan, persentase penutupan lahan yang diidentikkan dengan kondisi hutan dan perkebunan yang termanfaatkan, dan kondisi pengelolaan lahan maka diperoleh ringkasan data dan hasil perhitungan yang disajikan pada Tabel 3.4. Nilai total hasil perhitungan yakni 118,75 sehingga kategori DAS Mentayatergolong pada DAS yang dipulihkan. Hasil perhitungan tersebut mengindikasikan adanya permasalahan di DAS Mentaya. Permasalahan utama yang dihadapi yakni tingkat kekritisan lahan tergolong tinggi dengan persentase mencapai 41,11 % dan pengelolaan lahan tergolong rendah. Tingkat kekritisan lahan yang tinggi disebabkan oleh kondisi dinamis yaitu perubahan penutupan lahan dari hutan menjadi non hutan dan kondisi statis berupa tingginya erosi karena adanya pengaruh pengoalahn lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan lahan dan kesesuaian jenis penutup lahan. Penutupan lahan non hutan berupa perkebunan dan semak belukar mempengaruhi tingkat kekritisan lahan. Penutupan lahan berupa perkebunan dengan sistem monokultur tanpa memperhatikan aspek lereng baik lereng makro maupun mikro menyebabkan erosi dan limpasan permukaan DAS Mentaya tergolong tinggi. Ditinjau dari aspek pengelolaan lahan, lahan di DAS ini belum memperhatikan aspek konservasi. Sistem pengolahan lahan bersifat tradisional di lahan masyarakat dan tidak adanya bangunan konservasi yang memadai untuk menahan laju erosi permukaan.

Tabel 3.4. Nilai Pengelolaan Penggunaan Lahan di DAS Mentaya NO Kriteria Kondisi

Lahan Nilai Kualifikasi Pemulihan Skor Nilai Klasifikasi

1 Kondisi Kekritisan

Lahan 599.339,74 Ha (41,11 %) Sangat tinggi 1,5 75 2 Persentase Penutupan

Vegetasi 791.704 Ha (53,92 %) Sedang 1 25

3 Kondisi Pengelolan Lahan

0.147 Rendah 0,75 18,75

Skor Total 118,75 Dipulihkan 3.2. Perencanaan Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan

Klasifikasi DAS Mentaya berdasarkan kondisi lahan tergolong DAS yang dipulihkan sehingga penanganan khusus diperlukan untuk mengoptimalkan pengelolaan DAS. Luasan lahan kritis yang tinggi dan pengelolaan lahan yang rendah merupakan penyebab utama DAS Mentaya harus dipulihkan. Untuk itu, program pemulihan DAS harus memperhatikan karakteristik lahan. Salah satu progam kegiatan yang dapat dilaksanakan adalah program kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan (Nawir, et al. 2008). Informasi karakteristik lahan yang dapat digunakan untuk identifikasi lahan yang bersifat statistik adalah informasi geologi wilayah kajian. Informasi geologi sangat mempengarui kondisi topografi dan bahan induk yang dapat dijadikan informasi kekhasan suatu wilayah. Formasi geologi DAS Mentaya dapat dibedakan menjadi endapan aluvium dan formasi Warukin. Endapan aluvium tersebar disepanjang sungai Mentaya. Endapan ini mempengaruhi bentang lahan fluvial yang afilisiasi dengan penutupan lahan termanfaatkan. Formasi Warukin terdapat dibagian di hulu dan tengah DAS (Kunama, 2008). Dari informasi ini menunjukkan bahwa kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan di kawasan hulu, hilir, tengah serta kondisi kanan kiri sungai dapat berbeda jenis perlakuannya.

Gambar

Gambar 6. Hasil mozaik yang kurang sempurna yang ditampalkan pada Google Earth.
Gambar 2. Hasil Pan-sharpening dengan menggunakan metode Transformasi Hyperspherical  Color Space (HCS)
Gambar 3. Gambar perbesaran hasil Pan-sharpening dengan menggunakan metode Transformasi  Hyperspherical Color Space (HCS)
Tabel  2.1.  Penentuan  Nilai  Setiap  Parameter  berdasarkan  Skoring  dan  Pembobotan  Factor  Kondisi  Lahan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Absolutitas kedaulatan negara pada tahapan awal mendorong terbentuknya doktrin kedaulatan negara yang meletakkan prinsip bahwa tidak ada satu negara pun yang dapat

Field research adalah sumber data yang diperoleh dari lapangan penelitian yaitu mencari data terjun langsung ke obyek penelitian untuk memperoleh data yang kongret

Metode yang digunakan untuk steganografi dalam penelitian adalah Low Bit Encoding dengan enkripsi

kesesuaian tindakan aktor yang terlibat. • Yang menunjukkan bahwa lebih berpengaruh dibandingkan variabel lainnya, yang mana menunjukkan besarnya kekuatan masyarakat dalam

Kandungan thiamin pakan berpengaruh terhadap pertumbuhan, efisiensi pakan, keragaan hemositologi, dan respon imun non-spesifik benih ikan kerapu bebek.. Diperlukan

Bagus Hario Setiadji (2018) menyatakan “hasil pada nilai CBR tanah dasar yang sama maka tebal lapis perkerasan metode Manual Desain Perkerasan 2017 lebih

Rinitis vasomotor merupakan suatu gangguan fisiologik neurovaskular mukosa hidung dengan gejala hidung tersumbat, rinore yang hebat dan kadang – kadang dijumpai adanya bersin

Orang Kelantan, walau pun yang berkelulusan PhD dari universiti di Eropah (dengan biasiswa Kerajaan Persekutuan) dan menjawat jawatan tinggi di Kementerian atau di Institusi