• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI EFEKTIFITAS KEBIJAKAN RELOKASI PEDAGANG KAKI LIMA DI KOTA MAKASSAR. Disusun dan diusulkan oleh. ANUGRAH AKBAR. A Nomor Stambuk :

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SKRIPSI EFEKTIFITAS KEBIJAKAN RELOKASI PEDAGANG KAKI LIMA DI KOTA MAKASSAR. Disusun dan diusulkan oleh. ANUGRAH AKBAR. A Nomor Stambuk :"

Copied!
95
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

EFEKTIFITAS KEBIJAKAN RELOKASI PEDAGANG KAKI LIMA DI KOTA MAKASSAR

Disusun dan diusulkan oleh

ANUGRAH AKBAR. A Nomor Stambuk : 105610551615

PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA FAKULTASILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITASMUHAMMADIYAH MAKASSAR

2020

(2)

i Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Menyelesaikan Studi dan Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Administrasi Negara

Disusun dan Diusulkan Oleh : ANUGRAH AKBAR. A Nomor Stambuk: 105610551615

Kepada

PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA FAKULTASILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITASMUHAMMADIYAH MAKASSAR

2020

(3)

ii

(4)

iii

(5)

iv

(6)

v Haq)

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas pelaksanaan kebijakan relokasi pedagang kaki lima di Kota Makassar yaitu di Pasar Sentral yang berfokus pada lima kriteria efektivitas yaitu ketepatan penentuan waktu, ketepatan perhitungan biaya, ketepatan dalam pengukuran, ketepatan dalam menentukan tujuan dan ketepatan sasaran.

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan tipe penelitian deskriptif yaitu tidak dimaksudkan untuk menguji hipotesa tertentu melainkan untuk menemukan gambaran mengenai manajemen logistik. Data dan informasi yang diperlukan dalam penelitian ini diperoleh dari keterangan informan yaitu orang-orang yang dianggap mengetahui dan bisa dipercaya dalam memberikan informasi yang akurat dengan menggunakan dua macam data yaitu data primer dan data sekunder. Teknik pengumpulan data dalam peneltian ini adalah observasi langsung ke lokasi penelitian, wawancara secara mendalam dan dokumentasi di lokasi penelitian.

Hasil penelitian menunjukkan efektivitas kebijakan relokasi PKL di Pasar Sentral sedikit mengalami gangguan yang diakibatkan oleh aksi protes pedagang yang menolak untuk dipindahkan dibanguan New Mall Makassar. Tujuan utama dari relokasi ini adalah pengembalian fungi jalan, pemerintah menyediakan dua tempat untuk para pedagang pasca relokasi yaitu Blok A (New Mall Makassar) dan Blok B bagi pedagang yang belum memasuki bangunan Blok A. Kendala relokasi dapat diatasi dengan baik dan saat ini JL. KH. Ramli, JL. KH. Wahid Hasyim dan JL. HOS Cokroaminoto yang menjadi sasaran relokasi sudah bersih dari PKL yang berjualan. Pasca relokasi menimbulkan adanya konflik antara pedagang yang didalam gedung dan di luar gedung.

Kata Kunci: Efektifitas, Relokasi, Pedagang Kaki Lima

(7)

vi

KATA PENGANTAR

Assalamu’Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapatmenyelesaikan skripsi yang berjudul “Efektivitas Kebijakan Relokasi Pedagang Kaki Lima di Kota Makassar”.

Skripsi ini merupakan tugas akhir yang diajukan untuk memenuhi syarat dalam memperoleh gelas sarjana Ilmu Administrasi Negara Pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Makassar.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak akan terwujud tanpa adanya bantuan dan dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat:

1. Bapak Dr. Muhammad Tahir, M.Si selaku Pembimbing I dan bapak Nasrul Haq, S.Sos., MPA selaku Pembimbing II yang senantiasa meluangkan waktunya membimbing dan mengarahkan penulis, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

2. Ibu Dr. Hj. Ihyani Malik, S.Sos., M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Makassar.

(8)

vii

4. Para dosen dan staf yang tidak sempat penulis sebutkan namanya satu persatu yang telah memotivasi, mendorong dan berdiskusi dengan penulis hingga menyelesaikan program studi pada Jurusan Ilmu Administrasi Negara di UNISMUH Makassar.

5. Ucapan terima kasih kepada seluruh informan yang berada pada Kantor PD Pasar Makassar Raya atas kesediannya memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengambil data dalam rangka merampungkan penelitian.

6. Penulis berterima kasih secara istemewa atas segala doa, keikhlasan, cinta, kasih sayang, motivasi dan segala pengorbanannya untuk kesuksesan penulis kepada kedua orang tua saya tercinta, ayahanda Amiruddin, S. Pd dan ibunda Ramlah, saudara-saudaraku M A Firmansyah. A, S.E, Firdaus Rohandi. A dan Muh Ilham. A, serta seluruh keluarga besar saya yang tidak sempat saya sebutkan namanya satu persatu, terima kasih banyak atas segala dukungan dan doanya selama ini.

7. Teman-teman dari kelas G 2015, teman-teman seperjuangan Jurusan Ilmu Administrasi Negara 2015, terutama untuk sahabatku Cakra Mandala Putra, S.

Sos, Muhammad Akram Bakhtiar, dan Sri Wahyuni S. Sos. Atas dukungan dan doanya sealam ini.

(9)

viii

(10)

ix

Halaman Persetujuan ... ii

Halaman Penerimaan Tim ... iii

Halaman Pernyataan Keaslian Ilmiah ... iv

Abstrak ... v

Kata Pengantar ... vi

Daftar Isi ... ix

Daftar Tabel ... xi

Daftar Gambar ... xii

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang……… .... 1

B. Rumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Kegunaan Penelitian... 9

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penelitian Terdahulu ... 10

B. Konsep Efektifitas Kebijakan ... 12

C. Konsep Relokasi ... 28

D. Pedagang Kaki Lima ... 31

E. Kerangka Pikir ... 32

F. Fokus Penelitian ... 35

G. Definisi Fokus Penelitian ... 35

BAB III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian ... 37

B. Jenis dan Tipe Penelitian ... 37

C. Sumber Data ... 38

D. Informan Penelitian ... 39

E. Teknik Pengumpulan Data ... 40

F. Teknik Analisis Data ... 42

G. Teknik Pengabsahan Data ... 43

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Lokasi Penelitian... 45

B. Efektifitas Kebijakan Relokasi Pedagang Kaki Lima Di Kota Makassar .. 50

(11)

x BAB V. PENUTUP

A. Kesimpulan ... 67

B. Saran ... 68

DAFTAR PUSTAKA ... 70

RIWAYAT HIDUP... 75

LAMPIRAN ... 76

(12)

xi

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Ukuran Efektifitas Organisasi 20

Tabel 3.1 Informan Penelitian 39

Tabel 4.1 Susunan keanggotaan Perusahaan Daerah Pasar Makassar Raya 47

Tabel 4.2 Tabel Retribusi 49

Tabel 4.3 Rekapitulasi Data Kios 50

(13)

xii

DAFTAR GAMBAR

Tabel 2.1 Bagan Kerangka Pikir 34

(14)

1 BAB I

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Dalam beberapa tahun terakhir ini, sektor informal di daerah perkotaan Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang pesat. Menurut para ahli, membengkaknya sektor informal mempunyai kaitan dengan menurunnya kemampuan sektor formal dalam menyerap pertambahan angkatan kerja di kota.

Sedangkan pertambahan angkatan kerja di kota yaitu sebagai akibat imigrasi desa- kota lebih pesat daripada pertumbuhan kesempatan kerja. Akibatnya, terjadi pengangguran terutama di kalangan penduduk usia muda dan terdidik dengan membengkaknya sektor informal di kota.

Di daerah perkotaan, sektor informal dianggap mengundang banyak masalah terutama mereka yang beroperasi di tempat strategis di kota. Dimana hal tersebut akan mengurangi keindahan kota dan menjadi penyebab kemacetan lalu lintas serta menurunnya lingkungan hidup kota. Oleh karena itu, pemerintah kota (Pemkot) telah mengambil kebijaksanaan membatasi ruang gerak sektor informal.

Bahkan di kota-kota besar seperti Jakarta, sektor informal mendapat perlakuan yang kurang pantas dari aparat penertiban kota. Contohnya mereka diusir dari tempat mereka berusaha atau alat untuk usaha mereka disita.

Terlepas dari permasalahan tersebut, sesungguhnya sektor informal mempunyai andil yang cukup berarti dalam mengurangi jumlah pengangguran yang berada di kota besar. Hal itu dikarenakan mereka menciptakan lapangan

(15)

2

kerja sendiri yang kemudian akan menghasilkan pendapatan yang cukup bagi mereka untuk hidup di kota besar dan bukan menjadi pengangguran yang tidak mempunyai penghasilan.

Pekerjaan masyarakat pada sektor informal ini sebenarnya dapat dijadikan potensi pembangunan daerah. Salah satu potensi pembangunan daerah ini tercakup di dalamnya Pedagang Kaki Lima (PKL) yang perlu mendapat jaminan termasuk perlindungan, pembinaan dan pengaturan didalam melakukan usaha agar berdaya guna dan berhasil guna serta dapat meningkatkan kesejahteraannya.

Namun tidak dapat dipungkiri keberadaan (PKL) yang terdapat hampir di setiap sudut kota Makassar ini, bahkan eksistensi mereka dalam masyarakat kota sudah menjadi salah satu ciri dari wajah kehidupan kota Makassar. Sebagian orang mungkin ada yang menganggap mereka sebagai sekelompok yang sangat mengganggu aktivitas mereka, merusak kebersihan atau keindahan pemandangan jalan. Di satu pihak para pedagang yang menggelar dagangan mereka disekitar bahu-bahu jalan, trotoar ataupun pada area-area yang tidak diperbolehkan berjualan memang kadangkala banyak menimbulkan kerugian bagi pengguna fasilitas umum lainnya karena dapat memberikan hambatan bagi mereka, misalnya para pejalan kaki yang ingin menggunakan trotoar untuk berjalan.

Namun disisi lain keberadaan (PKL) ini juga memiliki efek yang positif jika mereka dibina dan ditata dengan baik, sehingga kualitasnya meningkat dan dapat dimanfaatkan oleh pemerintah karena sektor ini cukup potensial jika dibina dengan baik. Keberadaan (PKL) juga memiliki kontribusi yang cukup besar terhadap perekonomian suatu daerah (Suharto: 2005: 198). Pentingnya

(16)

keberadaan pedagang kaki lima antara lain adalah menciptkan peluang kerja dan usaha, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, menjangkau daya beli berbagai lapisan masyarakat, meningkatkan pendapatan asli daerah serta dapat mendukung berkembangnya semangat kewirausahaan.

Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah kota makassar untuk membangun makassar menjadi daerah yang tertib yaitu dengan mengadakan relokasi Pedagang Kaki Lima (PKL) terdapat pada Keputusan Walikota Makassar Nomor 20 Tahun 2004 tentang prosedur tetap (PROTAP) penertiban pembangunan dan pembinaan pedagang sector informal (PKL) dalam wilayah Kota Makassar dan yang terakhir Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 12 Tahun 2014 tentang pengurusan pasar dalam daerah Kota Makassar bertujuan mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi oleh pemerintah dan sekaligus untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kebijakan ini bertujuan yang menata ulang pedagang kaki lima (PKL), artinya menata dan memberikan tempat yang jauh lebih baik bagi PKL . Pedagang Kaki Lima (PKL) merupakan salah satu alternatif mata pencaharian sektor informal yang termasuk ke dalam golongan usaha kecil. Usaha kecil dalam Penjelasan UU No. 9 Tahun 1995 adalah kegiatan usaha yang mampu memperluas lapangan kerja dan memberikan pelayanan ekonomi yang luas kepada masyarakat, dapat berperan dalam proses pemerataan dan peningkatan pendapatan masyarakat serta mendorong pertumbuhan ekonomi dan berperan dalam mewujudkan stabilitas nasional pada umumnya dan stabilitas ekonomi pada khususnya. PKL sering menjadi masalah bagi kota kota yang sedang

(17)

4

berkembang apalagi bagi kota kota besar yang sudah mempunyai predikat metropolitan.

Kuatnya magnet bisnis kota- kota besar ini mampu memindahkan penduduk dari desa berurbanisasi ke kota dalam rangka beralih profesi dari petani menjadi pedagang kecil-kecilan. Untuk menjadi PKL tidak membutuhkan pendidikan tinggi, tidak membutuhkan modal yang besar, namun dapat menghasilkan pendapatan yang kadang melebihi sektor formal. PKL cenderung mengelompok dengan pekerjaan yang sejenisnya. Jenis usaha yang paling banyak diminati adalah makanan dan minuman. Oleh sebab itulah, banyak PKL yang memanfaatkan rumaja (ruang manfaat jalan) sebagai lokasi mereka.

Beberapa masalah yang ditimbulkan oleh PKL diberbagai kota biasanya hampir sama seperti masalah kemacetan, kebersihan serta keindahan kota. Ini disebabkan karena PKL terkadang cenderung untuk berdagang di tempat yang tidak diizinkan untuk berdagang. Padahal kegiatan jual beli sudah difasilitasi dengan adanya kios atau lapak yang permanen dan telah memenuhi segala persyaratan untuk mendapatkan hak sebagai penyewa pasar yang haknya dilindungi oleh undang-undang dan aman dari penggusuran. Kota Makassar merupakan kota terbesar ke-empat di Indonesia dan terbesar dikawasan Timur Indonesia, memiliki luas area 175,79 km² dengan data yang terdaftar di Badan KB Kota Makassar mencapai 265 ribu KK dengan jumlah penduduk 1,67 juta jiwa pada tahun 2014 lalu. Data ini terus berubah seiring dinamika penduduk, dengan demikian Kota Makasar dapat dikatakan sebagai kota metropolitan. Banyaknya penduduk di Kota Makassar salah satu penyebabanya adalah banyaknya

(18)

pendatang dari luar Kota Makassar dari tahun ke-tahun yang semakin meningkat guna mengadu nasib dan melanjutkan pendidikan di Kota Makasar.

Penduduk yang datang ke kota dari pedesaan untuk mencari kerja, pada umumnya adalah urban miskin. Namun demikian, mereka merasakan bahwa kesempatan hidup, mendapat pekerjaan dan gaji yang lebih baik, lebih memungkinkan daripada jika mereka tetap tinggal di desa. Tekanan arus penduduk dari desa ke kota setiap tahun yang semakin meningkat,berdampak pada kurangnya lapangan pekerjaan yang disediakan di Kota Makassar. Hal tersebut disebabkan pula karena umumnya orang-orang yang masuk ke kota tidak dipersiapkan dengan pendidikan dan keterampilan yang memadai. Muncul pengangguran yang tidak memiliki kemampuan, sulit untuk mendaftar pekerjaan di sektor formal melihat syarat akademiknya yang tidak memenuhi,sehingga pilihan satu-satunya adalah mencari pekerjaaan yang tidak memerlukan persyaratan sebagai mana tersebut di atas, salah satunya adalah dengan berjualan sebagai pedagang kaki lima.

Pedagang kaki lima sendiri memiliki banyak makna, ada yang mengatakan Pk-5 berasal dari orang yang berjualan dengan menggelar barang dagangannya dengan bangku atau meja yang berkaki empat kemudian jika ditambah dengan sepasang kaki pedagangnya maka menjadi berkaki lima sehingga timbul-lah julukan pedagang kaki lima. Tak hanya itu saja, ada juga yang memaknai Pk-5 sebagai pedagang yang menggelar dagangannya di tepi jalan yang lebarnya lima kaki dari trotoar atau tepi jalan. Ada pula yang memaknai Pk-5 dengan orang yang melakukan kegiatan usaha berdagang dengan maksud memperoleh penghasilan

(19)

6

yang sah, dan dilakukan secara tidak tetap dengan kemampuan yang terbatas, berlokasi di tempat atau pusat-pusat keramaian.

Keberadaan pedagang kaki lima di Kota Makassar sering kali dijumpai banyak menimbulkan masalah-masalah yang terkait dengan gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat. Kesan kumuh, liar, merusak keindahan, seakan menjadi paten yang melekat pada usuha mikro ini. Mereka berjualan di trotoar, di taman-taman kota bahkan terkadang di badan jalan. Hal inilah yang terjadi di Pasar Sentral Kota Makassar, meskipun kebijakan relokasi sudah di implementasikan dengan didirikannya Pasar New Mall Makkassar untuk mentertibkan para PKL, namun pada kenyataannya masih terdapat PKL yang berjualan diluar hal inilah yang menjadi pertanyaan mengapa hal ini bisa terjadi.

Keberadaan Pasar New Mall Makkassar mampu menjadi tempat yang lebih memadai bagi para PKL karena berada didalam gedung dan telah tersedia lapak-lapak untuk para PKL, namun hal ini tidak menjadi alasan kuat untuk merelokasi para PKL. Berdasarkan hasil observasi, yang menjadi alasan utama untuk para PKL menolak untuk direlokasi karena harga sewa lapak di Pasar New Mall Makkassar yang dikeluhkan sangat mahal dibanding lapak sebelumnya,hal inilah yang menjadi salah satu penghambat diadakannya relokasi untuk para PKL.

Masalah-masalah ini memiliki hubungan dengan penataan pedagang kaki lima. Dalam realitasnya kebijakan tentang pengaturan tempat usaha bagi pedagang kaki lima pada dasarnya sudah tertuang pada Peraturan Daerah Nomor 10 tahun 1990 Tentang Pembinaan Pedagang Kaki Lima Kota Makassar dimana Bab II Pasal 2 dijelaskan tentang adanya Pengaturan Tempat Usaha disebutkan

(20)

bahwa setiap daerah milik jalan (Damija) Kota Makassar tidak dibolehkan untuk ditempati oleh pedagang kaki lima karena peruntukannya hanya untuk pengguna jalan.

Dalam perkembangannya, Pemerintah Kota Makassar juga menerbitkan peraturan daerah Kota Makassar yang lebih spesifik mengatur tentang adanya tempat-tempat atau jalan-jalanyang tidak dibolehkan oleh pedagang kaki lima berdagang. Adapun peraturan tersebut yaitu tertuang pada Peraturan Walikota Nomor 44 tahun 2002 tentang Penunjukan Bebarapa Tempat Pelataran Yang Dapat Dan Yang Tidak Dapat Dipergunakan Oleh Pedagang Kaki Lima dalam Wilayah Kota Makassar dan juga Keputusan Walikota Makassar Nomor 651 tahun 2007 tentang Kawasan Segi Empat Jalan Sebagai Percontohan Kebersihan dan Penegakan Peraturan Daerah Kota Makassar. Selain itu Perwali No. 20 tahun 2004 tentang Prosedur tetap (Protap) penertiban bangunan dan Pembinaan PKL Kota Makassar dimana dijelaskan PKL di Kota Makassar sepenuhnya dibina oleh setiap Pemerintah Kelurahan dan Kecamatan yang ada di Kota Makassar.

Peraturan Walikota Kota Makassar Nomor 44 Tahun 2002 tentang Penunjukan Bebarapa Tempat Pelataran yang dapat dan yang tidak dapat dipergunakan oleh Pedagang Kaki Lima dalam Wilayah Kota Makassar pada Pasal 2 ayat (1) dan (2) dijelaskan, pedagang kaki lima tidak boleh menempati trotoar atau badan jalan. Dalam perda ini ditetapkan sejumlah jalan besar yang sama sekali tidak boleh ditempati untuk berdagang oleh pedagang kaki lima atau wilayah bersih atau bebas dari PKL, yaitu: sepanjang Jalan Gunung bawakaraeng, sepanjang Jalan R.A Kartini, sepanjang Jalan Jendral Sudirman, Jalan

(21)

8

Samratulangi, Jalan Haji Bau, Jalan Penghibur, Jalan Pasar Ikan, Hertasning, A.P.

Petarani, dan sepanjang Jalan Urip Sumoharjo.

Peraturan Walikota Kota Makassar Nomor 44 Tahun 2002 Pasal 2 ayat (2) tentang Penunjukan Bebarapa Tempat Pelataran yang dapat dan yang tidak dapat dipergunakan oleh Pedagang Kaki Lima dalam Wilayah Kota Makassar, mengenai sejumlah pelataran yang tidak dapat digunakan pada waktu antara pukul 05.00 sampai jam 17 wita, diantaranya: sepanjang Jalan Riburane,Jalan Nusantara, Jalan Ujung Pandang, Jalan Ahmad Yani, Jalan Gunung Bulusaraung, Masjid Raya, Jalan Dr. Wahidin Sudirohusodo, dan sepanjang Jalan Sulawesi.Kedua ayat dari regulasi tersebut, sampai saat ini belum berjalan efektif,disebabkan berbagai faktor regulasi, dan fasilitas pendukung atau infrastruktur, serta sumber daya manusia dan manajemennya, dan aspek eksternal terdiri dari faktor sosial budaya dan faktor ekonomi. Banyaknya kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah seakan tidak terimplementasi dengan baik.

Pemerintah Kota dalam hal ini Dinas Kebersihan, Satpol PP, Dinas Tata Ruang dan Bangunan Kota Makassar dan Dinas PD Pasar seharusnya dapat berperan aktif dalam merumuskan, membina dan mengelola pedagang kaki lima.

Berbagai kebijakan telah dibuat oleh pemerintah Kota untuk mengatasi masalah pedagang kaki lima namun terkadang penerapannya dilapangan tidak sesuai dengan yang diinginkan. Bertitik tolak dari latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka dalam penelitian ini penulis mengambil judul

“Efektivitas Kebijakan Relokasi Pedagang Kaki Lima di Kota Makassar”.

(22)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang dijelaskan di atas maka penulis hanya merumuskan satu rumusan masalah. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana efektivitas kebijakan relokasi pedagang kaki lima pasar sentral kota Makassar ?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah yang dijelaskan di atas makan penulis hanya merumuskan satu tujuan penelitian. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas kebijakan relokasi pedagang kaki lima pasar sentral kota Makassar.

D. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan Teoritis

Melalui hasil penelitian ini, peneliti berharap dapat dijadikan referensi bagi dunia perguruan tinggi khususnya jurusan ilmu administrasi negara guna mengembangkan lebih luas dan lebih mendalam mengenai efektifitas kebijakan.

2. Kegunaan Praktis

Secara praktis penelitian ini juga dapat menjadi sebuah dokumen tentang Advokasi Kebijakan Relokasi Pedagang Kaki Limayang nantinya diharapkan dapat menjadi sebuah masukan dan pertimbangan bagi pemerintah dalam membuat kebijakan.

(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Penelitian Terdahulu

1. Penelitian dari Sugianto (2016) dengan judul “Implementasi Kebijakan Penataan Pedagang Kaki Lima di Kecamatan Sintang Kabupaten Sintang”.

Hasil penelitian menunjukkan komunikasi merupakan faktor pendukung dalam implemetasi kebijakan penataan di Kecamatan Sintang. Komunikasi dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Sintang melalui instansi terkait yaitu Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan UKM, dan Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Sintang dalam bentuk sosialisasi. Sumber daya manusia aparatur pelaksana kebijakan sudah memadai namun sumber daya peralatan berupa sarana dan prasarana untuk PKL dan anggaran masih terbatas. Disposisi atau sikap aparatur di Kecamatan Sintang memilki komitmen yang kuat serta struktur organisai dalam implementasi implementasi kebijakan penataan pedagang kaki lima di Kecamatan Sintang sudah baik dilihat dari koordinasi lintas instansi yang baik.

2. Penelitian dari Muhammmad Nur, Abdul Yuli Andi Gani, dan M. Saleh

Soeidy (2015) dengan judul “Implementasi Kebijakan Pemerintah Kota Dalam Penertiban Pedagang Kaki Lima (Studi Pada Kantor Satuan Polisi Pamong Praja Kota Makassar)”. Dimana fokus penelitian mengacu pada masalah dan tujuan penelitian yang dilakukan. Adapun tinjauan analisis dalam penelitian ini menggunakan model implementasi kebijakan A Frame

(24)

work for Implementation Analysis oleh Daniel Mazmanian dan Paul A. Sebatier

dengan menganalisis tiga kategori besar yaitu:

1. Mudah tidaknya masalah dikendalikan.

2. Kemampuan kebijakan untuk menstruktur implementasi secara tepat.

3. Variabel di luar kebijakan yang memengaruhi proses implementasi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa deskripsi dan analisis implementasi kebijakan Pemerintah Kota dalam penertiban PKL di Kota Makassar kurang berjalan dengan baik sebagaimana tujuan dan maksud implementasi kebijakan.

Kebijakan yang ada belum mampu mengurai persoalan disebabkan substansi kebijakan yang ada kurang relevan dengan kompleksitas persoalan penanganan PKL. Diperlukan adanya kebijakan yang mampu memberikan solusi komprehensif terhadap persoalan PKL terutama adanya solusi terhadap eksistensi PKL di Kota Makassar.

3. Penelitian dari Arlinda Miranti (2012) dengan judul “Evaluasi Program Penataan Pedagang Kaki Lima”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa program penataan pedagang kaki lima merupakan program yang dimaksudkan untuk menata, menertibkan pedagang kaki lima agar tidak berjualan di tempat dan waktu yang dilarang berdasarkan perda No. 12 tahun 2001 tentang retribusi pelayanan kebersihan/ persampahan pasal 12 (a) sampai (g). Program tesebut juga bukan hanya tanggung jawab satu instansi saja. Instansi yang berperan disini adalah Dinas perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Tegal, Satpol PP Kabupaten Tegal, yang berperan sesuai tugas masing-masing. Secara garis besar, faktor yang menghambat

(25)

12

keberhasilan program penataan pedagang kaki lima antara lain ketidakpatuhan dari kelompok sasaran yaitu pedagang kaki lima terhadap peraturan. Ketidakpatuhan ini disebabkan oleh tidak tersedianya tempat relokasi yang strategis berada di pusat keramaian sehingga mudah mendapatkan pembeli. Faktor lain yang menghambat adalah kurangnya modal usaha guna memfasilitasi sarana dagang pedagang kaki lima.

Kurangnya modal usaha membuat sebagian besar pedagang tidak dapat memfasilitasi sarana dagang seperti tempat dagang sehingga hanya bisa berjualan di tempat-tempat umum. Sehingga dapat dilihat bahwa modal usaha sangat berperan penting bagi pedagang.

B. Konsep Efektifitas Kebijakan 1. Pengertian Efektivitas

Kata efektif berasal dari bahasa inggris yaitu effective yang berarti berhasil atau sesuatu yang dilakukan berhasil dengan baik. Kamus ilmiah populer mendefenisikan efektivitas sebagai ketetapan penggunaan, hasil guna atau menunjang tujuan.

“ Effect” merupakan perilaku atau reaksi dari seseorang yang sedang

diamati. individu yang sedang diamati kemungkinan besar akan bereaksi dengan cara yang tidak umum karena mereka merasa diamati atau turut serta dalam suatu eksperimen ( Jhon, Robert, Michel 2005 : 27 ) .

Secara etimologis, kata efektif sering diartikan sebagai mencapai sasaran yang diinginkan (producing desired result), berdampak menyenangkan (having

(26)

apleasing effect), bersifat aktual, nyata (actual dan real) (Khairul Umam 2010

:229). Sedangkan menurut Adi Gunawan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, (2003: 113) yang menjelaskan bahwa efektifitas lebih bermakna pada hasil guna, yaitu hasil dari suatu kegiatan terhadap pelakanaan kegiatan.Keefektivan adalah ketetapan sasaran dari suatu proses yang berlangsung untuk tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya (Hendyat Soetopo 2012 : 51).

Efektivitas yakni perbandingan produktivitas dengan target, rencana ataupun suatu tolak ukur (Falih Suahedi 2010 : 108). Sedangkan, menurut Robbins (2010 : 129) mendefenisikan efektivitas sebagai tingkat pencapaian organisasi jangka pendek dan jangka panjang. Berbeda dengan pendapat dari Schein dalam buku Budaya Organisasi dan Peningkatan Kinerja Perusahaan (2010 : 129) yang mendefenisikan efektivitas organisasi adalah kemampuan untuk bertahan, menyesuaikan diri dan tumbuh, lepas dari fungsi tertentu yang dimilikinya.

Sejalan dengan pendapat Robbins, Etzioni dalam buku karya Syamsir Torang (2012: 102) menggambarkan bahwa efektivitas organisasi adalah kemampuan organisasi untuk mencapai tujuan. Pemikiran berbeda datang dari pendapat Audit Commision dalam Mahsun (2006:180) yang menyatakan bahwa efektivitas adalah menyediakan jasa-jasa yang benar sehingga memungkinkan pihak yang berwewenang untuk mengimplementasikan kebijakan dan tujuannya.

Kemudian, Peter Drueker dalam Handoko (2001:7) mengemukakan efektivitas adalah melakukan pekerjaan yang benar (doing the right things).

(27)

14

Mahsun (2006:182) menjelaskan bahwa efektivitas (hasil guna) merupakan hubungan antara keluaran dengan tujuan atau sasaran yang harus dicapai. Pengertian efektivitas ini pada dasarnya berhubungandengan pencapaian tujuan atau target kebijakan. Kebijakan operasional dikatakan efektif apabila proses kegiatan tersebut mencapai tujuan dansasaran akhir kebijakan (spending wisely). Pandangan lain datang dari Dunn (2000:429) yang menerangkan bahwa

efektivitas (effectiveness) berkenaan dengan apakah suatu alternatif mencapai hasil (akibat) yangdiharapkan, atau mencapai tujuan dari diadakannya tindakan.

Efektivitas,yang secara dekat berhubungan dengan rasionalitas telaris, selalu diukur dari unit produksi atau layanan atau nilai moneternya. Selanjutnya, Dunn (2000:601) menambahkan bahwa efektivitas merupakan kriteria evaluasi yang mempertanyakan apakah hasil yang diinginkan telah tercapai.

2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Efektivitas

Berdasarkan pendekatan-pendekatan dalam efektivitas organisasi yang telah dikemukakan sebelumnya maka dapat dikatakan bahwa faktor-faktor yang

telah dikemukakan sebelumnya maka dapat dikatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas organisasi (Robbins, 1994: 57) adalah sebagai berikut:

a. Adanya tujuan yang jelas, b. Struktur organisasi,

c. Adanya dukungan atau partisipasi masyarakat, d. Adanya sistem nilai yang dianut.

(28)

Organisasi akan berjalan terarah jika memiliki tujuan yang jelas. Adanya tujuan akan memberikan motivasi untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya. Tujuan organisasi adalah memberikan pengarahan dengan cara menggambarkan keadaan yang akan datang yang senantiasa dikejar dan diwujudkan oleh organisasi. Struktur dapat mempengaruhi efektifitas dikarenakan struktur yang menjalankan organisasi. Struktur yang baik adalah struktur yang kaya akan fungsi dan sederhana. Selanjutnya, tanpa ada dukungan dan partisipasi serta sistem nilai yang ada maka akan sulit untuk mewujudkan organisasi yang efektif. Faktor-faktor yang mempengaruhi organisasi harus mendapat perhatian yang serius apabila ingin mewujudkan suatu efektivitas.

Menurut Makmur (2011: 7) dari segi kriteria efektivitas, unsur-unsurnya antara lain:

1. Ketepatan penentuan waktu. Waktu adalah sesuatu yangdapat menentukan keberhasilan suatu kegiatan yang dilakukan dalam sebuah organisasi.

Demikian pula halnya akan sangat berakibat terhadap kegagalan suatu aktivitas organisasi,penggunaan waktu yang tepat akan menciptkan efektivitas pencapaian tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.

2. Ketepatan perhitungan biaya. Setiap pelaksanaan suatu kegiatan baik yang yang melekat pada individu, kegiatan yang melekat kepada organisasi maupun kegiatan yang melekat kepada negara yang bersangkutan.

Ketepatan dalam pemanfaatan biaya terhadap suatu kegiatan, dalam arti bahwa tidak mengalami kekurangan sampai kegiatan itu di selesaikan.

(29)

16

Ketepatan dalam menetapkan suatu satuan biaya merupakan bagian dari pada efektivitas.

3. Ketepatan dalam pengukuran. Setiap kegiatan yang dilakukan senantiasa mempunyai ukuran yang digunakan keberhasilan tertentu. Ketapatan ukuran yang digunakan dalam melaksankan suatu kegiatan atau tugas yang dipercayakan kepada kita merupakan bagian dari keefektivitasan. Hampir semua kegiatan di mana dalam pelaksanaannya tidak sesuai dengan ukuran yang telah ditetapkan sebelumnya, dengan ketepatan ukuran yang telah ditetapkan sebelumnya sebenarnya merupakan gambaran dari pada efektifitas kegiatan yang menjadi tanggung jawab setiap manusia dalam sebuah organisasi.

4. Ketepatan dalam menentukan pilihan. Kesalahan dalam memilih suatu pekerjaan, metode, benda, sahabat, pasangan, dan lain sebagainya bererti tindakan yang dilakukan itu gambaran ketidakefektivitasan sserta kemungkinan menciptakan penyesalan dikemudian hari.

5. Ketepatan berpikir. Pemikiran Descartes yang mengungkapkan cogiti ergo sum (aku ada karena aku berpikir). Dengan demikian bahwa kelebihan

manusia satu dengan manusia yang lainnyan sangat tergantung kepada berpikirnya, karena ketepatan berpikir dari berbagai aspek kehidupan baik yang berkaitan dengan dengan dirinya sendiri maupun pada alam semesta senantiasa memberikan pengaruh yang sifatnya positif maupun negatif, ketepatan berpikir akan melahirkan keefektivitasan sehingga kesuksesan

(30)

yang senantiasa diharapkan dalam melakukan suatu bentuk kerjasama dapat memberikan hasil yang maksimal.

6. Ketepatan dalam melakukan perintah. Keberhasilan aktivitas suatu organisasi sangat banyak dipengaruhi oleh kemampuan seorang pimpinan, salah satu tuntutan kemampuan memberikan perintah yang jelas dan mudah dipahami oleh bawahan.

7. Ketepatan dalam menentukan tujuan. Organisasi apa pun bentuknya akan selalu berusaha untuk mencapai tujuan yang telah mereka sepakati sebelumnya dan biasanya senantiasa dituangkan dalam sebuah dokumen secara tertulis yang sifatnya lebih stratejik, sehingga menjadi pedoman atau sebagai rujukan dari pelaksanaan kegiatan sebuah organisasi. Tujuan yang ditetapkan secara tepat akan sangat menunjang efektivitas pelaksanaan kegiatan terutama yang berorientasi kepada jangka panjang.

8. Ketepatan sasaran. Tujuan lebih berorientasi kepada jangka panjang dan sifatnya stratejuk, sedangan sasaran lebih berorientasi kepada jangka pendek. Dan lebih bersifat operasional, penentuan sasaran yang tepat baik yang ditetapkan secara individu maupun sasaran yang ditetapkan organisasi sesungguhnya sangat menentukan keberhasilan organisasi.

3. Pengukuran Efektivitas

Menurut Husein dan Lubis dalam Raditya Arindya (2019: 67) adapun kriteria untuk mengukur efektivitas suatu organisasi ada tiga pendekatan yang dapat digunakan,yaitu:

(31)

18

1. Pendekatan sumber(resource approach) yakni mengukur efektivitas dari input.Pendekatan mengutamakan adanya keberhasilan organisasi untuk memperoleh sumber daya,baik fisik maupun non fisik yang sesuai dengan kebutuhan organisasi

2. Pendekatan proses (process approach)adalah untuk melihat sejauh mana efektivitas pelaksanaan program dari semua kegiatan proses internal atau mekanisme organisasi

3. Pendekatan sasaran (goals approach) dimana pusat perhatian pada output,mengukur keberhasilan organisasi untuk mencapai hasil(output)

yang sesuai dengan rencana

Adapun menurut Nakamura (dalam Sedah Ayu Fitriani, 2006:33) kegiatan akan memenuhi keberhasilan bila memenuhi lima kriteria, yaitu:

a) Pencapaian tujuan atau hasil

Merupakan suatu yang mutlak bagi keberhasilan suatu pelaksanaan kebijakan. M eskipun kebijakan telah dirumuskan dengan baik oleh orang- orang yang ahli di bidangnya dan juga telah diimplementasikan, namun tanpa hasil seperti yang diharapkan, maka dapat dikatakan bahwa program tersebut tidak berhasil atau gagal. Hal ini karena pada prinsipnya suatu kebijakan atau suatu program dibuat untuk memperoleh hasil yang diinginkan. Tanpa adanya hasil yang dapat diukur, dirasakan, maupun dinikmati secara langsung oleh warga masyarakat, maka program tersebut tidak ada artinya.

(32)

b) Efesiensi

Merupakan pemberian penilaian apakah kualitas suatu kinerja yang terdapat dalam implementasi sebanding dengan biaya yang dikeluarkan.

Efesiensi dalam pelaksanaan program bukan hanya berkaitan dengan biaya yang dikeluarkan tetapi juga berkaitan dengan kualitas program, waktu pelaksanaan dan sumber daya yang digunakan. Hal ini disebabkan karena banyak program pemerintah secara faktual mampu terimplementasikan (ada hasil). Akan tetapi, dari segi waktu anggaran maupun kualitasnya jauh dari apa yang direncanakan. Dengan demikian, suatu program dapat dikatakan terimplementasikan dengan baik, apabila ada perbandingan terbaik antara kualitas program dengan biaya, waktu dan tenaga yang ada.

c) Kepuasan kelompok sasaran

Dampak secara langsung dari program yang dilakukan terhadap kelompok sasaran. Kriteria ini sangat menentukan bagi keikutsertaan dan respon warga masyarakat dalam mengimplementasikan dan mengelola hasil-hasil program tersebut. Tanpa adanya kepuasan dari pihak sasaran kebijakan, maka program tersebut dianggap belum berhasil.

d) Daya tanggap client

Dengan adanya daya tanggap yang positif dari masyarakat (dalam hal ini masyarakat atau kelompok sasaran) maka dapat dipastikan peran serta mereka pada kebijakan yang ada akan meningkat. Mereka akan mempunyai perasaan ikut memiliki terhadap kebijakan dan keberhasilan

(33)

20

pelaksanaan. Ini berarti kebijakan tersebut semakin mudah diimplementasikan.

e) Sistem pemeliharaan

Dalam hal ini pemeliharaan terhadap hasil-hasil yang dicapai.Tanpa adanya sistem pemeliharaan yang memadai dan kontinue maka betapapun baiknya hasil program akan dapat berhenti ketika bentuk nyata hasil dari program tersebut mulai pudar.

Apabila efektivitas kebijakan tercapai maka kebijakan tersebut dianggap telah berhasil dalam menangani permasalahan yang ada. Dalam hal ini berarti kebijakan relokasi pedagang kaki lima dianggap efektif jika kebijakan tersebut berhasil dalam menangani permasalahan yang muncul akibat adanya pedagang kaki lima, seperti kesan semrawut serta mengganggu keindahan dan ketertiban kota. Selain itu, kebijakan dikatakan efektif ketika kebijakan tersebut mampu memberikan solusi bagi permasalahan kesejahteraan ekonomi para pedagang kaki lima, yaitu dengan adanya peningkatan kesejahteraan ekonomi para pedagang kaki lima.

Adapun menurut J.P.Campbell ( Richard M.Steers,1985:46-48),ukuran Efektivitas organisasi,yaitu:

Tabel 2.1

Ukuran Efektivitas organisasi

Efektivitas Keseluruhan

Sejauh mana organisasi melaksanakan seluruh tugas pokoknya atau mencapai semua sasarannya.

Penilaian umum dengan sebanyak mungkin kriteria

(34)

tunggal dan menghasilkan penilaian yang umum mengenai efektivitas organisasi.

Kualitas

Kualitas dari jasa atau produk primer yang dihasilkan oleh organisasi.Ini mungkin mempunyai banyak bentuk operasional ,terutama ditentukan oleh jenis produk atau jasa yang dihasilkan oleh organisasi.

Produktivitas

Kuantitas atau volume dari produk atau jasa pokok yang dihasilkan organisasi dapat diukur menurut tiga tingkatann: tingkat individu, kelompok dan keseluruhan organisasi.Ini bukan ukuran dari efisiensi, tidak ada perhitungan biaya dan keluaran.

Kesiagaan

Penilaian menyeluruh sehubungan dengan kemungkinan, bahwa organisasi mampu menyelesaikan sesuatu tugas khusus dengan baik jika diminta.

Efisiensi

Nisbah yang mencerminkan perbandingan beberapa aspek prestasi unit terhadap biaya untuk menghasilkan prestasi tersebut. Contoh:beberapa rupiah yang dikeluarkan untuk tiap unit produksi,jumlah waktu turun-mesin, tingkat penyelesian rencana, standar karya, atau lain-lain patokan dipenuhi. Kadang-kadang cukup hanya

(35)

22

menggunakan total jumlah biaya (uang, bahan- bahan dan sebagainya) yang telah dikeluarkan oleh satu unit selama beberapa periode.

Laba atau Penghasilan

Penghasilan atau penanaman modal yang dipakai untuk menjalankan organisasi dilihat dari sudut pandangan si pemilik. Jumlah dari sumber-daya yang masih tersisa setelah semua biaya dan kewajiban dipenuhi,kadang-kadang dinyatakan dalam presentase.

Pertumbuhan

Penambahan dalam hal-hal seperti tenaga kerja, fasilitas pabrik, harga, penjualan, laba, bagian pasar, dan penemuan-penemuan baru. Suatu perbandingan antara keadaan organisasi sekarang dengan keadaan masa lalunya

Pemanfaatan Lingkungan

Batas keberhasilan organisasi berinteraksi dengan lingkungannya, memperoleh sumber-daya yang langka dan berharga yang diperlukannya untuk operasi yang efektif. Hal ini dipandang dari rencana jangka panjang yang optimum dan bukan dalan rencana jangka pendek yang maksimal. Sebagai contoh, tingkat keberhasilannya memperoleh suplai sumber-daya manusia dan keuangan secara mantap Stabilitas Pemeliharaan struktur, fungsi, dan sumber-daya

(36)

sepanjang waktu, khususnya dalam periode-periode sulit.

Perputaran atau Keluar-Masuknya

pekerja

Frekuensi atau jumlah pekerja dan keluar atas permintaannya sendiri.

Kemangkiran

Frekuensi kejadian-kejadian pekerja bolos dari pekerjaan.

Kecelakaan

Frekuensi-frekuensi dalam pekerjaan yang berakibat kerugian waktu untuk turun-mesin atau waktu penyembuhan/perbaikan.

Semangat Kerja

Kecenderungan anggota organisasi berusaha lebih keras mencapai tujuan dan sasaran organisasi termasuk perasaan terikat. Semangat kerja adalah gejala kelompok yang melibatkan usaha tambahan, kebersamaan tujuan, dan perasaan memiliki.

Kelompok bersemangat, sedang perorangan bermotivasi (dan puas). Implikasinya semangat adalah bagian dari gejala kelompok.

Motivasi

Kekuatan kecenderungan seorang individu melibatkan diri dalam kegiatan yang berarahkan sasaran dalam pekerjaan. Ini bukanlah perasaan senang yang relatif terhadap hasil berbagai pekerjaan sebagaimana halnya kepuasan, tetapi

(37)

24

lebih merupakan perasaan sedia atau rela bekerja untuk mencapai tujuan pekerjaan.

Kepuasan

Tingat kesenangan yang dirasakan seseorang atas peranan atau pekerjaannya dalam organisasi.

Tingkat rasa puas individu bahwa mereka mendapat imbalan yang setimpal dari bermacam-macam aspek situasi pekerjaan dan organisasi tempat mereka berada.

Penerimaan tujuan Organisasi

Diterimanya tujuan-tujuan organisasi oleh setiap pribadi dan oleh unit-unit dalam organisasi.

Kepercayaan mereka bahwa tujuan organisasi tersebut adalah benar dan layak.

Kepaduan konflik- konflik kompak

Dimensi berkutub dua yang dimaksud kutub kepaduan adalah fakta bahwa para anggota organisasi saling menyukai satu sama lain, bekerja sama dengan baik, berkomunikasi sepenuhnya dan secara terbuka, dan mengkoordinasikan usaha kerja mereka. Pada kutub yang lain terdapat organisasi penuh pertengkaran baik dalam bentuk kata-kata maupun secara fisik, koordinasi yang buruk, komunikasi yang tidak efektif.

Keluwesan adaptasi

Kemampuan sebuah organisasi untuk mengubah prosedur standar operasinya jika lingkungan

(38)

berubah, untuk mencegah kebekuan terhadap rangsangan lingkungan.

Penilaian oleh pihak luar

Penilaian mengenai organisasi atau unit organisasi oleh mereka (individu atau organisasi) dalam lingkungannya, yaitu pihak-pihak dengan siapa organisasi ini berhubungan.kesetiaan, kepercayaan, dan dukungan yang diberikan kepada organisasi oleh kelompok-kelompok seperti pensuplai pelanggan pemegang saham,para petugas dan masyarakat umum.

4. Efektivitas Kebijakan

Suatu kebijakan dibuat oleh pemerintah, biasanya dilaksanakan untuk mencapai tujuan tertentu. Seringkali tindakan yang telah dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut tidak sesuai yang diharapkan karena faktor lain yang tidak terduga seperti perubahan lingkungan. Oleh karena itu, diperlukan evaluasi untuk mengetahui sejauh mana tingkat keberhasilan dari kebijakan tersebut. Salah satu kriteria dasar dalam menilai suatu program atau kebijakan adalah dengan efektivitas.

Efektivitas menurut Ratminto dan Atik Septi Winarsih (2005:174) yaitu tercapainya suatu tujuan yang telah ditetapkan, baik itu dalam bentuk target, sasaran jangka panjang maupun misi organisasi. Sedangkan R. Ferry Anggoro Suryokusumo (2008:14) menjelaskan efektivitas secara sederhana yaitu dapat

(39)

26

diartikan ”tepat sasaran”, yang juga lebih diarahkan pada aspek kebijakan, artinya program-program pembangunan yang akan dan sedang dijalankan ditujukan untuk memperbaiki kualitas kehidupan rakyat yang benar-benar memang diperlukan untuk mempermudah atau menghambat pencapaian tujuan yang akan dicapai.

Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya efektivitas adalah suatu penyelesaian pekerjaan yang benar dan tepat waktu hingga tujuan yang telah ditetapkan dapat tercapai dengan baik. Alasan pemilihan kriteria ini yaitu untuk mengetahui efektivitas dari kebijakan relokasi PKL serta faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi efektivitas kebijakan tersebut.

Setelah mengetahui tentang efektivitas, selanjutnya akan dibahas mengenai pengertian kebijakan. Secara umum, istilah kebijakan atau policy digunakan untuk menunjuk perilaku seorang aktor (misalnya seorang pejabat, suatu kelompok, maupun suatu lembaga pemerintah) atau sejumlah aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu.

Sementara itu, Carl Friedrich dalam Wahab (2004:3) menyatakan bahwa kebijakan ialah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang disusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan tertentu seraya mencari peluang-peluang untuk mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran yang diinginkan.

Dari definisi-definisi efektivitas dan kebijakan di atas, dapat disimpulkan pengertian dari efektivitas kebijakan yaitu suatu konsep untuk mengukur

(40)

tercapainya suatu tujuan yang telah ditetapkan, baik itu dalam bentuk target, sasaran jangka panjang maupun misi organisasi.

5. Efektivitas Kebijakan Relokasi PKL

Pada dasarnya efektivitas kebijakan relokasi PKL merupakan suatu konsep untuk mengukur tercapainya tujuan dari kebijakan relokasi PKL baik itu dalam bentuk target, sasaran jangka panjang maupun misi organisasi. Penataan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima adalah ingin mewujudkan PKL yang sadar lingkungan, rapi, tertib yang dapat menjadikan kota Makassar Bersih, Sehat, Rapi dan Indah.

Untuk mengukur efektivitas program atau kebijakan dapat dilihat dari bagaimanakah suatu program mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Apabila program tersebut diimplementasikan kemudian tujuan kebijakan tercapai, maka kebijakan tersebut dapat dikatakan efektif. Seperti yang diungkapkan oleh Ratminto dan Atik Septi Winarsih (2005:174) bahwa efektivitas itu tercapai ketika mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan, baik itu dalam bentuk target, sasaran jangka panjang maupun misi organisasi itu.

Tak cukup hanya melihat dari pencapaian tujuannya saja, efektivitas kebijakan tersebut juga dilihat dari indikator hasil yang dapat diambil dari pendapat Nakamura (dalam Sedah Ayu Fitriani, 2006:33) sebagai berikut:

a) Pencapaian tujuan atau hasil

Merupakan suatu yang mutlak bagi keberhasilan suatu pelaksanaan kebijakan. M eskipun kebijakan telah dirumuskan dengan baik oleh orang-

(41)

28

orang yang ahli di bidangnya dan juga telah diimplementasikan, namun tanpa hasil seperti yang diharapkan maka dapat dikatakan bahwa program tersebut tidak berhasil atau gagal. Hal ini karena pada prinsipnya suatu kebijakan atau suatu program dibuat untuk memperoleh hasil yang diinginkan. Tanpa adanya hasil yang dapat diukur, dirasakan, maupun dinikmati secara langsung oleh warga masyarakat, maka program tersebut tidak ada artinya.

b) Efesiensi

Merupakan pemberian penilaian apakah kualitas suatu kinerja yang terdapat dalam implementasi sebanding dengan biaya yang dikeluarkan.

Efesiensi dalam pelaksanaan program bukan hanya berkaitan dengan biaya yang dikeluarkan tetapi juga berkaitan dengan kualitas program, waktu pelaksanaan dan sumber daya yang digunakan. Hal ini disebabkan karena banyak program pemerintah secara faktual mampu terimplementasikan (ada hasil). Akan tetapi, dari segi waktu anggaran maupun kualitasnya jauh dari apa yang direncanakan. Dengan demikian, suatu program dapat dikatakan terimplementasikan dengan baik, apabila ada perbandingan terbaik antara kualitas program dengan biaya, waktu dan tenaga yang ada.

c) Kepuasan kelompok sasaran

Dampak secara langsung dari program yang dilakukan terhadap kelompok sasaran. Kriteria ini sangat menentukan bagi keikutsertaan dan respon warga masyarakat dalam mengimplementasikan dan mengelola hasil-hasil program tersebut. Tanpa adanya kepuasan dari pihak sasaran kebijakan, maka program tersebut dianggap belum berhasil.

(42)

Pemilihan indikator hasil di atas didasarkan pada alasan bahwa indikator tersebut merupakan pengukur yang tepat dari efektivitas kebijakan apabila dilihat dari hasil setelah dilaksanakannya kebijakan.

C. Konsep Relokasi 1. Pegertian relokasi

Relokasi merupakan pemindahan suatu tempat ke tempat yang baru.

Relokasi adalah salah satu wujud kebijakan pemerintah daerah yang termasuk dalam kegiatan revitalisasi. Revitalisasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti proses, cara, dan perbuatan menghidupkan kembali suatu hal yang sebelumnya kurang terberdaya (Setyaningsih dan Susilo, 2014: 5). Musthofa (2011) menyatakan bahwa lokasi dan tempat relokasi baru merupakan faktor penting dalam perencanaan relokasi, karena sangat menentukan kemudahan menuju lahan usaha, jaringan sosial, pekerjaan, bidang usaha, kredit dan peluang pasar. Musthofa (2011: 17) Idealnya tempat relokasi baru sebaiknya secara geografis dekat dengan tempat lama asli untuk mempertahankan jaringan sosial dan ikatan masyarakat yang sudah baik.

Muhammad Ridlo Agung (2001: 95) yang mengemukakan bahwa relokasi yakni penataan ulang tempat yang baru dengan pemindahan dari tempat lama ketempat yang baru. Dalam relokasi adanya obyek dan subyek yang terkena pajak dalam perencanaan dan pembangunan lokasi. betentangan dengan fungsi nya yakni untuk lewat pejalan kaki. Relokasi berasal dari kata, Re yang berarti kembali dan Lokasi berarti tempat manusia berkegiatan/ aktivitas secara ekonomi, sosial, politik.Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari atau sebagai mata

(43)

30

pencaharian tetap. Tempat berdagang secara hukum resmi dan diperuntukkan untuk kegiatan berdagang oleh pemerintah Kota, dalam rangka menampung para pekerja sektor informal, yakni pasar khusus untuk PKL sangat dibutuhkan.

Relokasi adalah pemindahan lokasi seseorang beraktivitas dari suatu ke tempat lain untuk inovasi kegiatan, dalam rangka menciptakan dinamika ekonomi, sosial, politik yang terjadi pada wilayah tersebut. Relokasi pada umumnya karena adanya perubahan dalam dinamika sosial manusia yang disebabkan manusia dalam berinteraksi sosial memerlukan tempat baru. Relokasi berarti penempatan kembali seseorang atau kelompok ke tempat yang baru dan meninggalkan tempat lama. Penempatan kembali ke lokasi baru disebabkan tempat lama kurang layak, tempat lama rusak. Lokasi lama atau pemukiman lama digunakan untuk program lain, karena lahan lama bukan milik PKL secara legal tempat lama melanggar hukum. Sebab lahan lama bukan lokasi resmi untuk berjualan, merupakan sebuah trotoar jalan yang fungsi dan keperuntukaannya

Barang dagangan, jenis dagangan, pelaku dagang mempunyai kekhususan, maka PKL harus di lokasi ke tempat yang khusus pula, untuk menjawab tantangan tersebut, maka seluruh PKL harus disatukan terlebih dalam satu lokasi yakni pasar “Kotak”. Pemindahan, boyongan, re-setlement pelaku ekonomi sektor informal tidak dapat terelakkan, mengingat jika dibiarkan beraktivitas di jalan- jalan protokol akan menimbulkan masalah, yaitu kebersihan, keindahan, kesehatan dan ketertiban serta menimbulkan kerawanan kamtibmas. Relokasi PKL ke tempat baru sebagai jawaban permasalahan sektor informal di kota,

(44)

merupakan jalan keluar satu-satu nya pemecahan, dan PKL harus menerima secara ikhlas.

2. Kendala Relokasi Pasar

Menurut Eirleni Rastianti Utami Putri (2013) kendala dalam relokasi pasar adalah sebagai berikut:

a. Rancangan bangunan yang tidak sesuai dan faktor finansial yang terkait dengan tarif sewa ruang di dalam pasar, sehingga apabila dilakukan upaya memindahkan pasar maka pertimbangannya adalah rancangan bangunan pasar yang sesuai dan akomodatif, tingkat harga sewa yang memadai.

b. Rencana yang terperinci dan jarak lokasi berjualan dari tempat berjualan semula.

c. Masih banyak pedagang yang enggan untuk dipindahkan ke bangunan baru dan masih menetap di lokasi dagang yang terdahulu.

d. Menggunakan badan jalan untuk berdagang, dan melakukan kegiatan dengan cara merusak atau mengubah bentuk trotoar, fasilitas umum dan bangunan sekitarnya.

e. Banyak pedagang yang enggan menempatkan bangunan baru karena dianggap tempat tidak strategis dan jauh dari pembeli.18 Berdasarkan penjelasan diatas, dalam merelokasi atau memindahkan pasar terdapat beberapa kendala yang terjadi yaitu salah satunya adalah para pedagang enggan dipindahkan ke tempat relokasi, mereka menganggap tempat tidak strategis, kurannya fasilitas, dan sepi pembeli.

(45)

32

D. Pedagang Kaki Lima (PKL)

Istilah Pedagang Kaki Lima (PKL) merupakan peninggalan zaman penjajahan Inggris untuk menyebut pedagang yang berjualan di sepanjang trotoar.

Diambil dari ukuran lebar trotoar yang saat itu dihitung dalamfeet atau kaki (kira- kira 31 cm lebih sedikit), trotoar saat ini berukuran 5 kaki.

Kartini Kartono dalam buku yang berjudul “Ketertiban Umum dan Pedagang Kaki Lima di DKI Jakarta” karya Tri Kurniadi dan Hessel Nogi S.

Tangkilisan, Kartini Kartono mendefinisikan PKL sebagai berikut (Kurniadi dan Tangkilisan 2010: 33).

1. Kelompok ini merupakan pedagang yang kadang-kadang juga berarti produsen sekaligus (misalnya pedagang makanan dan minuman yang dimasak sendiri);

2. Peralatan kaki lima yang memberikan konotasi bahwa mereka pada umumnya menjajakan barang-barang dagangan pada tikar di pinggir jalan atau di depan toko yang dianggap strategis;

3. PKL umumnya bermodal kecil bahkan tidak jarang mereka merupakan “alat”

bagi pemilik modal dengan mendapatkan sekadar komisi sebagai imbalan jerih payah;

4. Pada umumnya kelompok PKL ini merupakan kelompok marjinal bahkan ada pula yang tergolong pada kelompok sub marjinal;

(46)

5. Pada umumnya kualitas barang yang diperdagangkan oleh para PKL yang mengkhususkan diri dari dalam hal penjualan barang-barang cacat sedikit dengan harga yang jauh lebih murah;

6. Omset penjualan PKL ini pada umumnya memang tidak besar;

7. Para pembeli umumnya merupakan pembeli berdaya beli rendah (berasal dari apa yang dinamakan lower income pockets);

8. Kasus dimana PKL berhasil secara ekonomi sehingga akhirnya dapat menaiki tangga dalam jenjang hierarki pedagang yang sukses adalah agak langka;

9. Pada umumnya usaha para PKL merupakan family enterprise atau malah one manenterprise;

10. Barang yang ditawarkan PKL biasanya tidak standar;

11. Tawar-menawar antara penjual dan pembeli merupakan ciri khas perdagangan para PKL;

12. Terdapat jiwa kewiraswastaan yang kuat pada para PKL.

E. Kerangka Pikir

PKL merupakan usaha sektor informal yang tak jarang menimbulkan masalah di perkotaan. Keberadaan PKL dianggap telah mengganggu ketertiban dan kebersihan kota. Begitu pula dengan PKL yang berada di Kota Makassar, di satu sisi PKL sangat membantu para mahasiswa serta masyarakat sekitar untuk memenuhi beberapa kebutuhan penting seperti makan, minum serta beberapa kebutuhan lain yang disediakan oleh para PKL. Di sisi lain, PKL dipandang sebagai penyakit kota. Keberadaan mereka di fasilitas umum dan fasilitas sosial

(47)

34

dinilai merusak estetika kota.Kondisi ini akan berpotensi menimbulkan kemacetan lalu lintas.

Dalam realitasnya kebijakan tentang pengaturan tempat usaha bagi pedagang kaki lima pada dasarnya sudah tertuang pada Peraturan Daerah Nomor 10 tahun 1990 Tentang Pembinaan Pedagang Kaki Lima Kota Makassar dimana Bab II Pasal 2 dijelaskan tentang adanya Pengaturan Tempat Usaha disebutkan bahwa setiap daerah milik jalan (Damija) Kota Makassar tidak dibolehkan untuk ditempati oleh pedagang kaki lima karena peruntukannya hanya untuk pengguna jalan.

Dalam perkembangannya, Pemerintah Kota Makassar juga menerbitkan peraturan daerah Kota Makassar yang lebih spesifik mengatur tentang adanya tempat-tempat atau jalan-jalan yang tidak dibolehkan oleh pedagang kaki lima berdagang. Adapun peraturan tersebut yaitu tertuang pada Peraturan Walikota Nomor 44 tahun 2002 tentang Penunjukan Bebarapa Tempat Pelataran Yang Dapat Dan Yang Tidak Dapat Dipergunakan Oleh Pedagang Kaki Lima dalam Wilayah Kota Makassar dan juga Keputusan Walikota Makassar Nomor 651 tahun 2007 tentang Kawasan Segi Empat Jalan Sebagai Percontohan Kebersihan dan Penegakan Peraturan Daerah Kota Makassar. Selain itu Perwali No. 20 tahun 2004 tentang Prosedur tetap (Protap) penertiban bangunan dan Pembinaan PKL Kota Makassar dimana dijelaskan PKL di Kota Makassar sepenuhnya dibina oleh setiap Pemerintah Kelurahan dan Kecamatan yang ada di Kota Makassar.

Tujuan dilaksankannya relokasi PKL di pasar Sentral Kota Makassar adalah untuk menciptakan keteraturan, kebersihan, ketertiban, keamanan dan lain

(48)

sebagainya untuk menciptakan ketarutan tempat untuk Pedagang Kaki Lima.

Proses pelaksanaan ini dapat dilhiat dari dari faktor-faktor apa saja yang mempengarui keberhasilan dari kebijakan relokasi Pedagang kaki lima yang terdiri dari sikap pelaksana, komunikasi, sumber daya, kepatuhan dan daya tanggap kelompok sasaran.

Setelah dilaksanakannya kebijakan relokasi dengan dikosongkannya lahan yang tadinya ditempati Pedagang kaki lima, nyatanya masih terdapat beberapa pedagang kaki lima yang mencoba kembali ke tempat semula dan mereka malah tidak menempati kios-kios di Pasar pasar sentral yang telah disediakan oleh Pemkot.Adapun kios-kios yang ditempati para pedagang kaki lima tersebut nampak masih sepi, belum ramai oleh pelanggan. Untuk mengukur efektivitas program atau kebijakan dapat dilihat dari bagaimanakah suatu program mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Apabila program tersebut diimplementasikan kemudian tujuan kebijakan tercapai, maka kebijakan tersebut dapat dikatakan efektif. Seperti yang diungkapkan oleh Makmur (2011: 7) dari segi kriteria efektivitas, unsur-unsurnya antara lain yaitu ketepatan penentuan waktu ketepatan perhitungan waktu, ketepatan dalam pengukuran, ketepatan dalam penentuan pilihan, ketepatan berfikir, ketepatan dalam melakukan perintah, ketepatan dalam menentukan tujuan, dan ketepatan sasaran.

Berdasarkan uraian-uraian di atas mengenai Efektifitas Kebijakan Relokasi Pedagang Kaki Lima di Kota Makassar, maka peneliti membuat kerangka konseptual, yang dituangkan dalam skema sebagai berikut :

(49)

36

Gambar 2.1 Kerangka Pikir

F. Fokus Penelitian

Dalam penelitian efektivitas kebijakan relokasi pasar sentral kota Makassar yang menjadi fokus penelitai adalah dari aspek ketepatan penentuan waktu, ketepatan perhitungan waktu, ketepatan dalam pengukuran, ketepatan dalam menentukan tujuan, dan ketepatan sasaran.

G. Defenisi Fokus Penelitian

1. Ketepatan penentuan waktu artinya adalah pengimplemtasian kebijakan relokasi PKL di laksanakan sesuai dengan waktu telah ditentukan sebelumnya.

Efektifitas Kebijakan Relokasi PKL

Menurut Makmur (2011: 7) : 1. Ketepatan penentuan waktu 2. Ketepatan perhitungan biaya 3. Ketepatan dalam pengukuran

4. Ketepatan dalam menentukan tujuan 5. Ketepatan sasaran

Tercapainya Efektivitas Kebijakan Relokasi PKL

(50)

2. Ketepatan perhitungan biaya artinya adalah anggaran yang dikeluarkan untuk pengimplementasian kebijakan relokasi PKL sesuai dengan anggaran yang dibutuhkan dan ditetapkan sebelumnya.

3. Ketepatan dalam pengukuran artinya adalah sebelum pengimplementasian, terlebih dahulu kita sudah mengukur sejauh mana tingkat keberhasilan dari kebijakan relokasi PKL tersebut.

4. Ketepatan dalam menentukan tujuan, artinya adalah penentuan tujuan secara tepat sehingga mampu menunjang efektivitas pelaksanaan kegiatan terutama yang berorientasi kepada jangka panjang.

5. Ketepatan sasaran artinya adalah tujuan yang ingin dicapai dan lebih berorientasi kepada jangka pendek.

(51)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Pasar Sentral Kota Makassar. Adapun alasan memilih lokasi tersebut karena ingin mengetahui bagaiman langkah yang diambil oleh pemerintah dalam melaksanakan kebijakan relokasi pedagang kaki lima.

Adapun tempat yang saya pilih untuk penelitian yaitu di Pasar Sentral.

Penelitian ini dilakukan selama kurang lebih 2 (dua) bulan setelah seminar proposal yakni yang dibagi atas beberapa tahapan dengan perincian sebagai berikut:

1. Tahap persiapan; pengurusan perizinan/rekomendasi dan penyusunan instrumen penelitian selama ± 2 (dua) minggu.

2. Tahap pelaksanaan; pengumpulan dan pengolahan data (klarifikasi dan tabulasi data) serta analisis dan penarikan kesimpulan selama ± 2 (dua) minggu.

3. Tahap penyelesaian; penulisan laporan penelitian/skripsi, perbaikan- perbaikan hingga penggandaan laporan selama ± 2 (dua) minggu.

B. Jenis dan Tipe Penelitian 1. Jenis penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif, yaitu untuk menggambarkan kenyataan dari kejadian yang diteliti atau penelitian yang dilakukan sehingga memudahkan penulis untuk mendapatkan data yang objektif

(52)

dalam rangka mengetahui dan memahami seperti apa Efektivitas Kebijakan Relokasi Pedagang Kaki Lima Di Pasar Sentral Kota Makassar dan melakukan wawancara mendalam serta pengumpulan data-data.

2. Tipe penilitian

Tipe penelitian yang digunakan adalah deskriptif, yaitu penelitian yang tujuannya untuk menjelaskan atau mendeskripsikan suatu peristiwa, keadaan, objek apakah orang, atau segala sesuatu yang terkait dengan variabel-variebel yang bisa dijelaskan baik menggunakan angka-angka maupun kata-kata. Punaji (2010).

C. Jenis dan Sumber Data

Sumber data dalam hal ini yaitu segala sesuatu yang dapat memberikan informasi mengenai data itu berdasarkan sumbernya, data yang di bedakan sebagai berikut Sugiyono (2012) :

a. Data primer (data utama) merupakan data yang didapat langsung dari sumber asli, yaitu hasil wawancara dan observasi peneliti terhadap informan mengenai Efektivitas Kebijakan Relokasi Pedagang kaki lima di Pasar Sentral Kota Makassar .

b. Data sekunder yaitu merupakan data dari hasil penelitian yang diperoleh peneliti secara tidak langsung melalui media perantara. Data sekunder dapat berupa literature, artikel, jurnal, serta dari situs yang berkaitan di internet yang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan mengenai Efektivitas Kebijakan Relokasi Pedagang Kaki Lima di Pasar Sentral Kota Makassar.

(53)

40

D. Informan Penelitian

Informan dalam hal ini yaitu orang yang berada pada ruang lingkup penelitian, artinya yaitu orang yang dapat menyerahkan suatu informasi tentang kondisi dan situasi pada latar penelitian.

Tabel 3.1 Informan Penelitian

No Nama Jumlah Keterangan

1 Syamsul Bahri, S. E 1 Kepala Bagian Umum PD Pasar Makassar Raya

2 Asnawi M. Aras, S. H 1 Kepala Subbagian Penagihan PD Pasar Makassar Raya

3 Andi Samsuddin

Effendi 1

Kepala Seksi Ketertiban Umum Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Makassar

4 Sakir 1 Pedagang Blok B (luar Gedung New Makassar Mall)

5 Amel 1 Pedagang Blok B (luar Gedung New

Makassar Mall)

6 Nurindah 1 Pedagang Blok A (dalam Gedung New Makassar Mall)

7 Suriani 1 Pedagang Blok A (dalam Gedung New

Makassar Mall)

Adapun narasumber atau informan yang ada dalam penelitian ini yaitu orang-orang yang berwenang untuk menyerahkan informasi tentang bagaimana Efektivitas Kebijakan Relokasi Pedagang Kaki Lima di Pasar Sentral Kota Makassar. Adapun beberapa informan yaitu Kepala Satpol PP, Pengelola Pasar Sentral, Pedagang Kaki Lima, dan Masyarakat.

Berdasarkan petunjuk dari informan awal seperti rencana informan di atas peneliti mengembangkan penelitian ke informan lainnya, begitu seterusnya

(54)

sampai penelitian dianggap cukup mendapatkan informasi yang dibutuhkan, proses penelitian menggunakan teknik Purposive sampling, yaitu pengambilan sampel berdasarkan penilaian dari peneliti mengenai siapa-siapa saja yang pantas untuk dijadikan sampel, oleh karena itu agar tidak sangat subjektif, peneliti harus punya latar belakang pengetahuan tertentu mengenai sampel dimaksud agar peneliti benar-benar bisa mendapatkan sampel yang sesuai dengan persyaratan atau tujuan dari penelitian (memperoleh data yang akurat).

E. Teknik Pengumpulan Data

Peneliti dalam hal ini menggunakan teknik pengumpulan data yaitu dengan triangulasi/ gabungan. Tringulasi dapat diartikan sebagai teknik dalam pengumpulan data yang bersifat menyatukan dari berbagai suatu sumber data yang telah ada dengan teknik pengumpulan data.

1. Teknik Observasi, peneliti dalam hal ini melakukan pengamatan yang langsung di lapangan yaitu pertama peneliti melakukan pengamatan seperti apa Efektivitas Kebijakan Relokasi Pedagang Kaki Lima di Pasar Sentral Kota Makassar, kemudian kedua peneliti melakukan pengamatan di lokasi bagaimana pelaksanaan Kebijakan Relokasi Pedagang Kaki Lima menurut para informan yang terkait di lokasi penelitian. Peneliti melakukan observasi selama tiga hari untuk memenukan bukti nyata bahwa relokasi PKL di pasar sentral sudah efektif atau belum. Dalam perjalan observasip peneliti mendapatkan informasi bahwa relokasi sudah dilakukan namun terjadi masalah dimana terdapat dua tempat yang ditempati oleh para PKL paca relokasi yang menjadi konflik antara para pedagang.

(55)

42

2. Teknik Wawancara, Peneliti melakukan wawancara dengan informan penelitian. Peneliti mmelakukan wawancara dengan tujuh informan, dua informan berasal dari PD Pasar Makassar Raya, satu informan dari pihak keamanan (Satpol PP), dan tiga lainnya adalah para pedagang yang terkena relokasi. Informasi yang didapatkan dari ketujuh informan sangat membantu peneliti untuk mengkaji lebih dalam mengenai efektivitas kebijakan relokasi pedagang kaki lima di pasar sentral kota Makassar.

3. Teknik studi perpustakaan, studi pustaka yaitu mengumpulkan suatu data dengan cara mencari data dan serta informasi berdasarkan suatu penelaan literature atau sebuah referensi, baik yang bersumber dari suatu buku-buku

dan dokumentasi, laporan, jurnal, kliping, majalah dan makalah yang pernah diseminarkan. Artikel-artikel dari berbagai sumber-sumber, termasuk internet maupun suatu catatan-catatan penting yang bersangkutan dengan objek penelitian. Dalam teknik pustaka peneliti mendapatkan data dari kantor PD Pasar Makassar Raya, data tersebut berupa tarif retribusi para pedagang dan rekapitulasi data kios (New Makassar Mall) pasca relokasi.

4. Dokumentasi, dokumentasi adalah mengumpulkan beberapa data baik itu data yang berupa catatan-catatan, gambar-gambar, dan administrasi yang sesuai dengan masalah yang diteliti. Dalam hal ini dokumentasi diperoleh merupakan hal yang penting dalam membuktikan validitas sebuah data ataupun hasil penelitian maka dianggap perlu oleh peneliti mengambil dokumentasi pada setiap kegiatan penelitian yang dilakukan, dokumentasi yang akan diambil yaitu berbentuk rekaman atau foto. Peneliti mengambil

Referensi

Dokumen terkait

memperlihatkan nilai koefisien determinasi tersebut sebesar 36,7%, masih ada variabel lain yang diduga berpengaruh terhadap kinerja pegawai tetapi belum dimasukkan dalam

Kompleksitas pengetahuan dan struktur kognitif tidak dengan sendirinya menyebabkan terjadinya asimiliasi secara mulus. Dalam konteks seperti ini struktur kongitif perlu

meneliti pengaruh rasio keuangan terhadap laba pada perusahaan manufaktur yang. terdaftar di bursa efek Indonesia periode 2012 –

Uji normalitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji Lilliefors. Hasil uji homogenitas tes akhir dari kedua sampel dapat dilihat pada tabel 4.4.. Untuk melihat

Prarancangan Pabrik Precipitated Silica Proses Asidifkasi Larutan Alkali Silikat. Kapasitas 40.000

Tujuan dari penelitian deskriptif membuat deskriptif, tabelan, atau lukisan secara sistematis, faktual dan aktual mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antara

Algoritma LUC sebenarnya hampir sama dengan metode kriptografi yang lain yaitu metode RSA (Rivest, Shamir, Adleman), hanya saja fungsi pangkat pada metode RSA diganti

Gambar 4.2 Pembersihan badan kapal secara mekanis( Manual). Gambar 4.3 Pembersihan badan kapal menggunakan