• Tidak ada hasil yang ditemukan

Deskripsi strategi pembelajaran pendidikan Agama Katolik dan budi pekerti siswa tunagrahita di kelas XC SLM Bhakti Luhur Malang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "Deskripsi strategi pembelajaran pendidikan Agama Katolik dan budi pekerti siswa tunagrahita di kelas XC SLM Bhakti Luhur Malang"

Copied!
110
0
0

Teks penuh

(1)

DESKRIPSI STRATEGI PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK

DAN BUDI PEKERTI SISWA TUNAGRAHITA DI KELAS XC SLB BHAKTI LUHUR MALANG

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Keagamaan Katolik

Disusun oleh:

Antoneta Verina NIM: 181124024

HALAMAN JUDUL

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2023

(2)

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING

(3)

HALAMAN PENGESAHAN

(4)

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

(5)

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI

(6)

MOTTO

“Jangan menunda untuk melayani orang miskin, karena tiap hari kita sudah dikasihi lebih oleh Tuhan”

(Paulus Hendrikus Janssen, CM)

(7)

PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan kepada Antonius Suyud dan Veronika Sri Winarti

(8)

KATA PENGANTAR

.

(9)
(10)

ABSTRAK

DESKRIPSI STRATEGI PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK DAN BUDI PEKERTI SISWA TUNAGRAHITA DI KELAS XC

SLB BHAKTI LUHUR MALANG Antoneta Verina

Universitas Sanata Dharma 2023

Skripsi ini ditulis berdasarkan fenomen yang terjadi di sekitar penulis, di mana strategi pembelajaran khusus pada sekolah luar biasa yang belum berhasil mendidik siswa berkebutuhan khusus dalam menggapai tujuan pembelajaran. Hasil riset yang dilakukan oleh beberapa peneliti menunjukkan bahwa siswa tunagrahita yang sedang belajar di sekolah luar biasa ini rata-rata masih belum menunjukkan kemajuan sesuai dengan yang diharapkan. Berbeda dengan SLB Bhakti Luhur Malang yang dapat mengantarkan siswa dalam menggapai tujuan belajar terlebih pengahayatan iman dalam Pendidikan Agama Katolik.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor pendukung siswa selama kegiatan belajar mengajar berlangsung. Selain itu juga untuk mengetahui strategi pembelajaran yang diterapkan oleh guru bersama siswa tunagrahita di dalam kelas sehingga dapat membantu guru dalam menyusun materi yang menarik bagi siswa tunagrahita di kelas XC SLB Bhakti Luhur Malang.

Tulisan ini menggunakan metode kualitatif dengan responden sebanyak 10 orang yang menjalin relasi secara langsung dan tahu betul dalam memahami karakter siswa tunagrahita di kelas XC SLB Bhakti Luhur Malang. Berdasarkan penelitian, ditemukan hasil bahwa strategi dalam Pendidikan Agama Katolik membutuhkan bantuan media dan budaya digital yang menjadi aspek dalam menyusun strategi pembelajaran bersama siswa tunagrahita di SLB Bhakti Luhur Malang.

Kata Kunci: Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti, Siswa Tunagrahita, SLB Bhakti Luhur Malang.

(11)

ABSTRACT

DESCRIPTION OF LEARNING STRATEGIES CATHOLIC RELIGIOUS EDUCATION AND CHARACTERISTICS STUDENTS WITH MENTALLY

RETARDED AT XC CLASS OF SLB BHAKTI LUHUR MALANG Antoneta Verina

Sanata Dharma University 2023

This undergraduate thesis is written based on the phenomenon that occurs around the author, it special learning strategies in SLB have not been successful in educating students with special needs in achieving learning goals. The results of research conducted several researchers show that mentally, it was shown that mentally retarded students who are studying at this special school on average still do not show progress as expected. In contrast to SLB Bhakti Luhur Malang which can lead students to achieve their learning goals, especially live their faith in Catholic Religious Education.

This study aims to determine students support factors during teaching and learning activities take place. In addition, it is also to find out the learning strategies applied by the teacher with mentally retarded students in class so that they can assist teachers in compliming interesting material for mentally retarded students in class XC SLB Bhakti Luhur Mlang.

This paper uses qualitative method with 10 respondents who establish direct relationship and know well in understanding the character of mentally retarded students in class XC SLB Bhakti Luhur Malang. Based on research, it was found that strategies in Catholic Religious Education require media assistance and digital culture which are aspects of developing learning strategies with mentally retarded students at SLB Bhakti Luhur Malang.

Keywords: Catholic Religious Education and Characteristics, Mentally Retarded Students, SLB Bhakti Luhur Malang.

(12)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... iv

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... v

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

ABSTRAK ... x

ABSTRACT ... xi

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR SINGKATAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Indentifikasi Masalah ... 6

1.3 Batasan Masalah... 7

1.4 Rumusan Masalah ... 7

1.5 Tujuan Penulisan ... 7

1.6 Manfaat Penulisan ... 8

1.7 Metode Penulisan ... 8

1.8 Sistematika Penulisan ... 9

BAB II PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK DAN BUDI PEKERTI BERSAMA SISWA TUNAGRAHITA ... 11

2.1 Pokok-pokok Pendidikan Agama Katolik ... 11

2.2 Tunagrahita ... 17

(13)

2.3 Strategi Pembelajaran Agama Katolik Bersama Siswa Tunagrahita .. 23

BAB III METODOLOGI PENELITIAN STRATEGI PEMBELAJARAN AGAMA KATOLIK DAN BUDI PEKERTI ... 32

3.1 Latar Belakang Penelitian ... 32

3.2 Tujuan Penelitian ... 33

3.3 Jenis Penelitian ... 33

3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 33

3.5 Tempat dan Waktu Penelitian ... 35

3.6 Definisi Operasional Strategi Pembelajaran ... 35

3.7 Responden Penelitian ... 35

3.8 Fokus Penelitian ... 36

3.9 Pedoman penelitian ... 37

3.10 Analisis Data ... 39

3.11 Validasi Data ... 41

BAB IV LAPORAN DAN PEMBAHASAN PENELITIAN TENTANG STRATEGI PEMBELAJARAN AGAMA KATOLIK DAN BUDI PEKERTI DI KELAS XC SLB BHAKTI LUHUR MALANG ... 42

4.1 Laporan Hasil Penelitian ... 42

4.2 Pembahasan Hasil Penelitian ... 51

4.3 Refleksi Kateketis ... 58

BAB V PENUTUP ... 63

5.1 Kesimpulan ... 63

5.2 Saran ... 64

DAFTAR PUSTAKA ... 66

LAMPIRAN ... 68

Lampiran 1: Surat Izin Penelitian ... 69

(14)

Lampiran 2: Surat Keterangan Melaksanakan Penelitian ... 70

Lampiran 3: Transkrip Wawancara ... 71

Lampiran 4: Pengelompokan Hasil Wawancara ... 88

Lampiran 5: Foto Dokumentasi Hasil Observasi dan Wawancara ... 90

BIOGRAFI ... 93

(15)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 : Kisi-kisi Penelitian ……….. 34

Tabel 2 : Pedoman Studi Dokumen ……… 35

Tabel 3 : Pedoman Observasi ………. 35

Tabel 4 : Pedoman Wawancara Guru dan Kepala Sekolah ……… 36

Tabel 5 : Pedoman Wawancara Kepala Asrama ……… 37

Tabel 6 : Pedoman Wawancara Siswa Tunagrahita ………... 37

Tabel 7 : Kategori Siswa SLB Bhakti Luhur Malang ……… 43

Tabel 8 : Fasilitas SLB Bhakti Luhur Malang ………... 44

(16)

DAFTAR SINGKATAN

A. Singkatan Dokumen Gereja

CT : Catechesi Tradendae, Anjuran Apostolik Paus Yohanes Paulus II tentang Katekese pada zaman sekarang, 16 Oktober 1979

GE : Gravissimum Educationis, Dokumen Konsili Vatikan II tentang Pernyataan tentang Pendidikan Kristen, 28 Oktober 1965.

B. Singkatan-Singkatan Lain

Depdiknas : Departemen Pendidikan Nasional PK : Petunjuk Umum Kateketik

IQ : Intellectual Quotient (taraf kecerdasan intelektual) KBBI : Kamus Besar Bahasa Indonesia

PERKASIH : Persaudaraan Kasih

PUREMAS : Pusat Rehabilitasi Masyarakat RBM : Resolusi Bersumberdaya Masyarakat SD : Sekolah Dasar

SLB : Sekolah Luar Biasa SMA : Sekolah Menengah Akhir SMK : Sekolah Menengah Kejuruan SMP : Sekolah Menengah Pertama

TBC : Tuberkulosis (penyakit yang menyerang paru-paru) TK : Taman Kanak-Kanak

UUD : Undang-Undang Dasar WIB : Waktu Indonesia bagian Barat

(17)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pendidikan adalah aspek yang pokok dalam kehidupan manusia karena mampu membentuk karakter seseorang sejak kecil. Pendidikan ditanamkan sejak dini di lingkungan keluarga, sekolah serta masyarakat. Pendidikan juga dapat disebut sebagai usaha yang dilakukan demi berkembangnya potensi anak agar lebih maju dari segi akademik maupun sosial. Pendidikan Agama dan Budi Pekerti dalam kehidupan sehari-hari ditanamkan sebagai komunikasi iman dengan sesama.

Sedangkan tujuan Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti adalah untuk mengembangkan pribadi manusia supaya dapat berperan dalam masyarakat dengan jalan saling tolong menolong dan berbuat baik demi kesejahteraan bersama (GE 1).

Di dalam keluarga, orang tua memiliki tugas pokok yaitu berperan dalam mendidik anak mereka. Selain itu, tugas mendidik dimaksudkan untuk menumbuhkan cinta kasih dalam keluarga sehingga setiap anak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Orang tua harus sanggup menjadi pendidik bagi anak dalam memperkembangkan iman dengan mengajarkan kasih yang menjadi dasar kehidupan. Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti dalam pembelajaran bisa menggunakan model katekese agar lebih mudah dilaksanakan. Seperti dalam pidato Bapa Suci Paus Fransiskus pada konferensi dan promosi evangelisasi baru hari Sabtu, 21 Oktober 2017 di Clementine Hall, Vatican, beliau mengungkapkan bahwa Kristus memanggil setiap orang untuk berkatekese secara kontekstual dan kreatif, sehingga semua orang bahkan siswa tunagrahita dan siswa berkebutuhan khusus lainnya dapat bertemu sendiri dan mempersembahkan iman kepada Allah.

(18)

Dalam UUD 1945 Pasal 31 Ayat 1 dijelaskan bahwa anak yang memiliki latar belakang mental atau berkebutuhan khusus juga memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan sesuai dengan bakat dan minatnya. Undang- undang Nomor 20 Tahun 2003 Bab IV pasal 5 ayat 2 menjelaskan tentang hak dan kewajiban warga negara, orang tua, masyarakat, dan pemerintah bahwa warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. Penyandang tunagrahita termasuk anak berkebutuhan khusus yang perlu mendapat perhatian istimewa dari lingkungan sekitarnya. Mereka membutuhkan pendampingan dalam menjalankan semua kegiatan pokok dalam hidupnya, termasuk pendidikan. Dengan adanya Undang- undang tersebut, maka semua orang berhak mendapatkan pendidikan tanpa memandang siapapun dan apapun. Karena dalam setiap negara di seluruh dunia pasti memiliki siswa penyandang cacat (Yosiani, 2014: 114).

Tunagrahita adalah manusia yang memiliki intelegensi berada di bawah rata-rata, selain itu juga disertai dengan ketidakmampuan dalam adaptasi perilaku pada proses perkembangannya. Anak tunagrahita memiliki fungsi intelektual yang berada di bawah rata-rata yaitu dengan IQ 69 ke bawah dan muncul sebelum usia 16 tahun serta menunjukkan hambatan dalam perilaku adaptif (Widjaya, 2013: 22).

Anak tunagrahita memiliki hambatan perkembangan perilaku mental dalam setiap aktifitasnya. Anak tunagrahita juga memiliki hambatan dalam beradaptasi, mereka tidak bisa melakukan kegiatan secara mandiri yang biasa dilakukan oleh anak normal pada umumnya karena keterbatasan yang dimilikinya.

Mereka memerlukan orang lain untuk melakukan hal-hal yang dibutuhkannya.

Dalam mendidik anak tunagrahita diperlukan perhatian khusus oleh keluarga

(19)

maupun guru dalam setiap kegiatan belajar mengajar. Pendidikan luar biasa adalah sebuah contoh pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus termasuk anak tunagrahita (Yosiani, 2014: 116).

Sebagai warga negara, anak tunagrahita juga memiliki hak untuk mendapat pendidikan yang sama seperti orang normal lainnya. Hasil penulisan yang dilakukan oleh beberapa peneliti menunjukkan bahwa siswa tunagrahita yang sedang belajar di sekolah luar biasa lain rata-rata masih belum menunjukkan kemajuan sesuai dengan yang diharapkan. Contohnya anak yang telah menjalani program pendidikan atau bersekolah di sekolah luar biasa selama bertahun-tahun lalu kembali pada orang tuanya ternyata belum juga bisa untuk mandiri. Anak tungrahita menghadapi kesulitan dalam memelihara diri (self care), juga belum mempunyai keterampilan untuk melakukan pekerjaan sederhana untuk kepentingan dirinya serta masih bergantung kepada orang lain. Akibatnya muncul banyak pemikiran bahwa pendidikan tidak memberikan dampak besar terhadap perkembangan anak tunagrahita (Soemantri, 2006:13).

Sehubungan dengan itu pengetahuan dan keterampilan para guru dalam pembelajaran anak tunagrahita perlu ditingkatkan. Kelemahan yang terjadi dalam pendidikan anak tunagrahita selama ini diduga sangat erat kaitannya dengan pengajaran yang kurang bervariasi, yaitu dengan hanya menekankan pada penyampaian bahan ajar saja dan belum memperhatikan kebutuhan perkembangan anak tunagrahita. Dugaan ini didukung data hasil penelitian Astati (1999) yang menjelaskan bahwa dari 44 orang lulusan dalam 5 tahun terakhir dari SPLB-C Bandung, hanya 10 orang yang dapat hidup mandiri, selebihnya masih sangat tergantung kepada orang lain. Rumitnya masalah yang dialami oleh anak

(20)

tunagrahita ini adalah program pendidikan yang masih perlu didukung oleh program bimbingan konseling yang sistematis dan sesuai dengan perkembangan anak, agar anak tunagrahita berkembang dengan optimal dan hidup secara wajar dalam lingkungan masyarakat.

Setiap anak pasti memiliki kesulitan dalam belajar, sehingga orang tua perlu waspada terhadap kesulitan yang dialami oleh anak. Kesulitan belajar pada anak dapat berupa kesulitan dalam mendengarkan, menulis, berpikir, membaca maupun mengeja dan berhitung. Namun hal tersebut adalah batas dalam kondisi gangguan konseptual yang contohnya seperti luka pada otak. Batasan tersebut belum termasuk anak-anak yang memiliki gangguan dalam belajar yang dikarenakan terganggunya penglihatan, pendengaran maupun hambatan karena tunagrahita, bisa juga karena gangguan emosional maupun berdasarkan lingkungan, budaya dan ekonomi di sekitarnya (Widjaya, 2013: 3).

Peserta didik perlu bimbingan seorang guru, terlebih siswa tunagrahita.

Seorang guru membutuhkan keterampilan yang khusus untuk bisa disebut sebagai profesional, sehingga pekerjaan tersebut tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang. Guru dapat disebut sebagai profesional bila mampu merangkai rencana pengajaran, mengatur juga mendampingi proses berlangsungnya kegiatan belajar mengajar. Maka untuk menjadi guru yang profesional, seseorang perlu memiliki keterampilan yang khusus dalam mendidik murid. Guru perlu mengembangkan kreatifitas dalam kegiatan belajar mengajar bersama siswa tunagrahita.

Pembelajaran yang kurang bervariasi merupakan titik lemah dalam pendidikan anak tunagrahita, sehingga perlu keahlian khusus serta kreatifitas dalam mengemas kegiatan belajar mengajar dalam kelas.

(21)

Guru yang mengajar siswa tunagrahita perlu memperhatikan siswanya secara personal. Mereka perlu memperhatikan kesulitan serta karakteristik siswa yang diajar, maka dari itu seorang guru yang belajar bersama siswa tunagrahita membutuhkan strategi yang relevan dalam pengajarannya. Guru juga perlu memahami strategi yang sudah disusun agar mudah dipahami oleh siswa tunagrahita. Strategi pembelajaran akan lebih maksimal bila dilengkapi oleh media sebagai sarana yang mampu mendukung pembelajaran siswa dalam kelas (Widjaya, 2013: 46).

Bagi anak penyandang cacat, guru mempunyai tugas yang khusus dan istimewa dalam pendidikan. SLB Bhakti Luhur mendidik siswa untuk menjadi baik dengan materi yang khusus dan dasar yang jelas yaitu semangat cinta kasih dari Bunda Teresa. Semangat tersebut menjadi pedoman dalam pembelajaran di SLB Bhakti Luhur Malang. Gaya hidup Bunda Teresa menjadi acuan dalam kebersamaan dengan kaum berkebutuhan khusus. Bhakti Luhur memiliki Yayasan dalam bidang Pendidikan yang dibangun oleh Prof. Dr. Paul Janssen atau sering dipanggil Romo Janssen. Beliau mengabdikan seluruh hidupnya kepada kaum yang berkebutuhan khusus, miskin dan terpinggirkan. Semua guru dan perawat yang ada di Komunitas Yayasan Bhakti Luhur memiliki tugas untuk membantu mereka yang terlantar dan terpinggirkan agar diberdayakan menjadi lebih baik.

Dalam lingkup sekolah, keluarga maupun masyarakat, manusia diajarkan untuk menghargai sesama. Agama Katolik sendiri tidak mengajarkan untuk membeda-bedakan apapun, hitam atau putih, miskin atau kaya, normal atau cacat dan lain sebagainya. Hidup masyarakat juga diharapkan dapat menerima kelebihan dan kekurangan seseorang, termasuk mereka yang berkebutuhan khusus maupun

(22)

mereka yang menyandang tunagrahita. Contoh dalam menghargai mereka adalah dengan tidak mengejek maupun menghakimi mereka yang istimewa karena nantinya akan timbul kesenjangan dalam masyarakat. Manusia perlu untuk mengambil sikap positif sehingga tercipta kasih yang diharapkan oleh semua orang.

Anak normal dan tunagrahita memiliki kemampuan dan cara belajar yang berbeda dalam perkembangan pendidikan mereka, sehingga kurikulum serta model pembelajarannaya jelas berbeda. Orang tua perlu memperhatikan perkembangan iman anaknya sendiri, terlebih bagi mereka penyandang tunagrahita. Dengan sistem pendidikan, sarana, prasarana, serta fasilitas yang tersedia di SLB Bhakti Luhur, maka penulis ingin mendeskripsikan strategi pembelajaran seperti apa yang diterapkan guru dalam kegiatan belajar mengajar pendidikan Agama Katolik bersama siswa tunagrahita. Berdasar latar belakang di atas, penulis tertarik untuk menulis sktipsi dengan judul yaitu: “DESKRIPSI STRATEGI PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK DAN BUDI PEKERTI SISWA TUNAGRAHITA DI KELAS XC SLB BHAKTI LUHUR MALANG”.

1.2 Identifikasi Masalah

Dari latar belakang yang telah disampaikan, terungkap beberapa kemungkinan permasalahan yang teridentifikasi sebagai berikut:

(1) Siswa tunagrahita belum menunjukkan keberhasilan dalam mencapai suatu pembelajaran

(2) Pembelajaran yang diterapkan oleh guru bersama siswa tunagrahita masih kurang efektif

(23)

1.3 Batasan Masalah

Dari identifikasi masalah yang ada di atas, penulis merumuskan batasan masalah pada strategi pembelajaran Agama Katolik dan Budi Pekerti siswa tunagrahita yang ada di Sekolah Luar Biasa Bhakti Luhur Malang, sehingga pembahasan tidak menyimpang ataupun meluas dari topik yang ada yaitu tentang deskripsi strategi pembelajaran Agama Katolik dan Budi Pekerti yang dipakai guru dalam kegiatan belajar mengajar di SLB Bhakti Luhur Malang.

1.4 Rumusan Masalah

Melalui latar belakang dan Batasan maslah yang ada, terdapat rumusan masalah sebagai berikut:

(1) Bagaimana pembelajaran Agama Katolik dan Budi Pekerti bersama siswa tunagrahita?

(2) Bagaimana strategi pembelajaran Agama Katolik dan Budi Pekerti bersama siswa tunagrahita di SLB Bhakti Luhur Malang?

1.5 Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah yang ada diatas, tujuan penulis mengambil topik tersebut adalah sebagai berikut:

(1) Mengetahui pembelajaran Agama Katolik dan Budi Pekerti bersama siswa tunagrahita.

(2) Mengetahui kebutuhan dan strategi pembelajaran Agama Katolik dan Budi Pekerti yang digunakan dalam kegiatan belajar mengajar antara guru bersama siswa tunagrahita di SLB Bhakti Luhur Malang.

(24)

1.6 Manfaat Penulisan

Berdasarkan pemaparan di atas, manfaat-manfaat yang dapat diambil sebagai berikut:

(1) Bagi Sekolah

Penulisan skripsi ini digunakan sebagai sumbangan pemikiran untuk meningkatkan pelaksanaan pembelajaran Agama Katolik. Penulisan skripsi ini juga dilakukan untuk membantu mengetahui strategi pembelajaran efektif yang digunakan dalam kegiatan belajar mengajar bersama siswa tunagrahita, serta bisa dijadikan solusi bagi para guru baru yang masih kesulitan dalam mengajar siswa tunagrahita di SLB Bhakti Luhur Malang.

(2) Bagi Penulis

Membantu penulis untuk lebih mengenal siswa tunagrahita sehingga menambah wawasan untuk mengkaji suatu situasi. Skripsi ini membantu penulis untuk bisa menyusun gagasan secara baik dan jelas serta mengembangkan rasa cinta kasih kepada kaum tunagrahita.

1.7 Metode Penulisan

Dari penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode deskriptif interpretatif. Penulisan interpretatif merupakan penulisan yang diambil untuk mendapatkan penjelasan melalui peristiwa sosial yang berdasar pada pengalaman orang yang diteliti. Dalam penulisan ini, penulis akan menggali pengalaman dari guru yang mengajar di SLB Bhakti Luhur. Deskriptif sendiri memiliki arti menceritakan atau mengungkapkan sebuah maksud. Sedangkan interpretatif memiliki kesan, pendapat dan pandangan yang berhubungan dengan tafsiran.

(25)

Penulisan deskriptif interpretatif dalam penulisan ini merupakan pembahasan tentang strategi pembelajaran Agama Katolik siswa tunagrahita yang disertai dengan berbagai uraian pemahaman penulis untuk mengungkapkan maksud yang ada dalam objek penelitiannya. Penulisan ini mencoba mendeskripsikan sebuah pandangan atau pendapat yang ada dalam objek penelitian (Nazir, 2009: 55).

1.8 Sistematika Penulisan

Dalam skripsi berjudul “DESKRIPSI STRATEGI PEMBELAJARAN AGAMA KATOLIK DAN BUDI PEKERTI SISWA TUNAGRAHITA DI KELAS XC SLB BHAKTI LUHUR MALANG”, penulis menguraikan menjadi lima bab, yaitu:

Bab satu adalah pendahuluan yang berisi latar belakang, identifikasi masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan dan bagian terakhir berisi tentang sistematika penulisan.

Bab dua memaparkan tentang Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti bersama anak tunagrahita yang memiliki tiga bagian, yang pertama yaitu pokok- pokok Pendidikan Agama Katolik dengan sub bagian hakikat Pendidikan Agama Katolik, tujuan Pendidikan Agama Katolik, dan konteks Pendidikan Agama Katolik. Kemudian bagian kedua dan ketiga menjelaskan tentang tunagrahita dan strategi pembelajaran Agama Katolik bersama siswa tunagrahita.

Bab tiga menguraikan tentang metodologi penelitian yang akan diterapkan dalam penulisan.

Bab empat memaparkan tentang laporan pembahasan pembelajaran

(26)

Agama Katolik dan Budi Pekerti di kelas XC SLB Bhakti Luhur Malang beserta refleksi kateketis.

Bab lima mengemukakan kesimpulan dan saran atas penulisan yang telah dilaksanakan oleh penulis.

(27)

BAB II

PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK DAN BUDI PEKERTI BERSAMA SISWA TUNAGRAHITA

Setiap anak berhak mendapatkan Pendidikan Agama untuk menghidupi kebutuhan imannya. Pendidikan dapat menjadi sarana bagi anak dalam mengembangkan karakter dan kompetensi dasar mereka. Menanggapi persoalan yang ada dari bab sebelumnya, Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti disusun agar peserta didik mampu mendalami kehidupan iman yang dijalani.

Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti membantu peserta didik untuk bertumbuh dalam kehidupannya di tengah-tengah lingkungan sekolah maupun masyarakat (Bonardy & Suria, 2021: 1).

2.1 Pokok-pokok Pendidikan Agama Katolik

Untuk mendalami Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti yang dilaksanakan di sekolah, maka akan dibagi dalam tiga bagian sebagai berikut:

2.1.1 Hakikat Pendidikan Agama Katolik

Hakikat dari Pendidikan Agama Katolik adalah terwujudnya sebuah komunikasi iman. Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti sebagai komunikasi iman mendidik seseorang agar bisa mengembangkan pengetahuan, sehingga dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Peserta didik yang ada di sekolah dapat mewujudkan imannya kepada Allah melalui Pendidikan Agama Katolik. Pendidikan Agama Katolik erat kaitannya dengan kebiasaan seseorang

(28)

dalam menjalin hubungannya dengan Allah. Sedangkan iman berkaitan dengan tindakan manusia untuk berbuat baik seperti mengasihi sesama ataupun munculnya rasa rindu akan Allah.

Pendidikan Agama Katolik sering dimengerti sebagai komunikasi iman atau pengalaman iman. Komunikasi iman juga bisa disebut sebagai proses pendidikan iman untuk membantu siswa supaya semakin beriman sehingga mampu mewujudkan nilai Kerajaan Allah. Pendidikan Agama Katolik memiliki sifat yang konsisten dalam mendorong peserta didik dengan bervisi spiritual. Visi spiritual Pendidikan Agama Katolik dapat mambantu siswa untuk semakin mengenl dirinya sebagai Citra Allah dan dapat mengintegrasikan nilai-nilai iman dan moral Katolik dalam kehidupan sehari-hari. Nilai yang terkandung dari Pendidikan Agama Katolik tersebut juga bisa membantu peserta didik dalam menghadapi masalah yang sedang terjadi. Tujuan dari visi spiritual dalam Pendidikan Agama Katolik adalah untuk mewujudkan sikap yang bisa menyeimbangkan antara perbuatan nyata dengan pengetahuan yang didapat (Heryatno, 2008:15).

Pendidikan Agama Katolik merupakan pembelajaran bagi anak untuk dapat meraih kedalaman imannya. Yang bisa dikembangkan dalam hidup peserta didik adalah jati diri dan inti hidup mereka masing-masing. Pendidikan Agama Katolik membantu peserta didik untuk menghayati iman mereka masing-masing.

Selain mengajarkan hal-hal yang bersifat akademis, Pendidikan Agama Katolik juga mendidik siswa untuk terbiasa bersikap jujur, peka, bijaksana serta memperdalam iman mereka masing-masing. Budi Pekerti adalah sesuatu yang memiliki kaitan erat antara karakter manusia dengan perbuatan yang dilakukan

(29)

dengan sadar. Menurut KBBI, Budi memiliki arti sadar, nalar atau watak.

Sedangkan arti kata Pekerti adalah perbuatan dan perilaku (KBBI: 2017).

2.1.2 Tujuan Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti

Tujuan Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti adalah untuk mengajarkan nilai-nilai Kerajaan Allah dan mewujudkan pribadi peserta didik yang lebih baik sehingga kelak mampu mengemban tugas dan kewajibannya sebagai umat beragama dalam lingkungan masyarakat (Murdwiyono, 25 Mei 2017).

Tujuan pendidikan iman dalam Pendidikan Agama Katolik adalah untuk menghayati iman agar mampu menghadapi setiap persoalan secara bijaksana.

Kepribadian seseorang terbentuk melalui keputusan yang diambil dari setiap persoalan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Tujuan akhir dari Pendidikan Agama Katolik adalah untuk mewujudkan nilai-nilai Kerajaan Allah. Pendidikan iman yang didapat melalui Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti dapat mendorong peserta didik untuk mempunyai sikap untuk berpikir secara dewasa sehingga menumbuhkan sikap peka dalam hati dan memiliki wawasan yang luas (Heryatno, 2008: 23).

Pendidikan Agama Katolik memiliki tujuan jangka panjang yaitu untuk memperkembangkan iman, dalam buku Heryatno yang membahas mengenai pendapat Fowler, Fowler mengatakan bahwa iman adalah poros kehidupan yang mengandung visi dan nilai hidup dalam menggerakkan seseorang untuk menanggapi realitas kehidupan. Iman merupakan satu kesatuan dari tiga elemen yaitu kognitif (knowing/believing), emosi (trusting/feeling), dan moral/tindakan (doing). Fowler juga menegaskan bahwa kepercayaan kualitatif merupakan dasar

(30)

dari semua tindakan dan menjadi elemen inti pribadi setiap orang. Iman berbeda dengan agama, namun kedua hal tersebut memiliki keterkaitan yang amat erat.

Agama merupakan kumpulan pengalaman dan ekspresi iman, sedangkan iman memiliki sifat personal dan mendalam (Heryatno, 2008: 28).

Dalam kurikulum Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti bersama siswa tunagrahita, terdapat kompetensi inti yang membantu kegiatan belajar mengajar. Kompetensi inti tersebut disusun untuk meraih tujuan Pendidikan Agama Katolik yang akan diuraikan menjadi empat bagian sebagai berikut:

(1) Kompetensi Spiritual

Dalam kompetensi ini siswa diharapkan mampu menerima dan menjalankan ajaran agama yang dianutnya dengan memiliki rasa bersyukur atas hidupnya.

(2) Kompetensi Pengetahuan

Pada kompetensi pengetahuan ini, peserta didik diajak untuk memahami pengetahuan faktual dengan cara mendengar, melihat, dan membaca. Kompetensi pengetahuan juga membahas tentang ciptaan Tuhan maupun tentang benda-benda yang sering dijumpai di sekitar. Kompetensi ini mampu mewujudkan pribadi yang mengenal diri sebagai warga masyarakat yang beragam.

(3) Kompetensi Sikap

Kompetensi sikap mengajak peserta didik untuk bisa mewujudkan perilaku yang jujur, disiplin, tanggung jawab serta sopan dalam berinteraksi dengan teman, guru serta orang tua baik dalam kelas maupun rumah. Contohnya berbagi dengan teman dan sopan kepada guru di lingkup sekolah.

(4) Kompetensi Keterampilan

(31)

Kompetensi keterampilan ini memberikan pengetahuan dalam bahasa yang jelas dan mudah dimengerti dalam bersikap trampil. Pengetahuan yang diberikan akan dikaji untuk membantu siswa dalam mencerminkan sikap anak yang sehat dan baik dalam perilakunya (Wibawa & Sutarman, 2021: 24).

2.1.3 Konteks Pendidikan Agama Katolik

Konteks sosial masyarakat bisa membentuk dan mempengaruhi cara berpikir dan perilaku seseorang dalam kehidupan sehari-hari. Keadaan dan lingkungan sosial bisa mempengaruhi cara seseorang dalam mempertimbangkan sesuatu, mengambil keputusan dan bertindak. Maka dari itu, lingkungan hidup di tengah keluarga, masyarakat, Gereja dan sekolah merupakan elemen konteks Pendidikan Agama Katolik yang berperan penting dalam pembentukan karakter seseorang sejak kecil.

Konteks Pendidikan Agama Katolik memiliki empat lembaga yang terlibat yaitu keluarga, Gereja, masyarakat dan sekolah. Empat lembaga tersebut memiliki kekhasan dan sumbangan yang tak tergantikan. Menurut Groome (2010: 160) konteks Pendidikan Agama Katolik memiliki aspek yang tak tergantikan, maka akan diuraikan dalam tiga bagian, yaitu:

(1) Proses menuju pribadi yang lebih matang

Dalam proses sosialisasi menjadi manusia terdapat proses yang cukup lama. Manusia menjalani kehidupan di dunia ini bersama dengan orang lain, sehingga ada beberapa gerakan dalam proses sosialisasi menjadi manusia. Pertama adalah eksternalisasi yang memiliki arti bahwa setiap manusia dapat melakukan kegiatan di lingkup masyarakat dengan tujuan untuk menjalin hubungan dan

(32)

membentuk kelompok. Dari hal tersebut muncul kebudayaan yang ada dalam kehidupan manusia.

Kedua adalah obyektifikasi yang memiliki arti bahwa manusia dapat mengembangkan dan menjaga tatanan hidup yang sudah ada secara bersama-sama.

Seperti pola tingkah laku suatu kelompok yang sudah ada harus diwujudkan dan diterapakan supaya mampu mengembangkan hidup bersama.

Gerakan yang ketiga yaitu internalisasi, proses ini mampu membentuk sudut pandang hidup secara pribadi, kemudian dijadikan sebagai dasar sehingga nantinya akan membantu seseorang mencapai identitasnya sendiri. Gerakan dalam proses sosialisasi menjadi manusia yang meliputi eksternalisasi, obyektifikasi, dan internalisasi tersebut mampu menjadikan kita sebagai bagian dari masyarakat dan sebaliknya (Heryatno, 2008: 43).

(2) Proses Sosialisasi Menjadi Kristiani

Proses sosialisasi menjadi Kristiani sama dengan sosialisasi menuju pribadi yang matang untuk menjadi orang yang dewasa dan memiliki iman. Untuk menjadi orang beriman Kristiani yang dewasa, diperlukan interaksi dan sosialisasi bersama jemaat lainnya. Interaksi melalui komunikasi dapat membentuk iman seseorang.

Dalam komunikasi bersama jemaat lain, setiap orang dapat melihat dan mempelajari harta kekayaan dan pengakuan iman mereka. Hidup jemaat bisa menjadi guru bagi seseorang untuk membantu dan mengarahkan untuk menjadi orang Katolik yang sungguh beriman. Pendidikan Agama Katolik di sekolah diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan sosial para siswa dengan sesama jemaat beriman, teman kelas, warga komunitas sekolah serta masyarakat lainnya.

Setiap orang dapat menjadi semakin Katolik secara bersama dalam hidup jemaat

(33)

dan komunitas sekolah karena perkembangan iman dibentuk bersama-sama.

(3) Pendekatan Dialektis terhadap Proses Sosialisasi

Pendekatan dialektis merupakan edukasi kritis yang memberdayakan, sehingga tidak hanya proses sosialisasi saja namun memiliki nilai emansipatif.

Pendidikan Agama Katolik mampu meningkatkan hubungan yang dialektis antara jemaat dengan realitas sosial yang ada di sekitarnya. Dialektika juga memberdayakan Gereja untuk senantiasa memperkembangkan dirinya. Dalam pembelajaran di kelas, Pendidikan Agama Katolik tidak hanya memberikan informasi saja, namun juga mendidik dan membentuk para siswa untuk memiliki sikap sosial yang baik. Pada pendekatan dialektis ini, Pendidikan Agama Katolik juga mengupayakan hubungan yang bersifat dialogal transformatif pada siswanya, sehingga para siswa bisa mengalami perubahan yang memperkembangan dirinya menjadi pribadi yang semakin baik

2.2 Tunagrahita

Tunagrahita merupakan individu yang unik. Kurikulum bahan ajar Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti bersama tunagrahita dapat menyelenggarakan pembelajaran atas dasar semangat untuk pembaharuan Pendidikan nasional Indonesia. Siswa tunagrahita merupakan salah satu peluang untuk pertumbuhan komunitas Gerejawi dan konteks lainnya. Kehadiran siswa tunagrahita mampu mendorong lingkungannya untuk mengatasi prasangka- prasangka budaya. Keterbatasan pada siswa tunagrahita sesungguhnya bisa dipandang sebagai karunia yang besar.

(34)

2.2.1 Pengertian Tunagrahita

Menurut Undang-Undang Nomor 72 tahun 1991 anak tunagrahita adalah anak yang memiliki kecerdasan di bawah rata-rata. Mereka berbeda dengan anak- anak pada umumnya karena perkembangan sosial dan kecerdasannya cenderung lebih lambat dengan usia aslinya. Anak tunagrahita memiliki hambatan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya (Garnida, 2015: 8).

Siswa tunagrahita sulit dalam berpikir abstrak, mereka lebih mudah belajar akademik dengan menggunakan bantuan media sebagai sarana dalam pembelajaran. Dibandingkan dengan anak normal pada umumnya, tunagrahita memilliki kesulitan bertumbuh secara akademis sesuai dengan umur mereka.

Mereka mampu belajar dengan bahan ajar siswa yang usianya cukup jauh di bawah mereka (Apriyanto, 2020: 21).

Di sisi lain, tunagrahita juga sering dipahami dan digolongkan dengan istilah-istilah seperti lemah pikiran (feeble-minded), terbelakang mental (mentally retarded), bodoh/ dungu (idiot), pandir (imbecile), tolol (moron), mampu didik (educable), mampu latih (trainable), dan mental subnormal (Geniofam 2010: 25).

Penyandang tunagrahita memiliki kelainan mental dan perilaku karena kecerdasannya yang terganggu. Tunagrahita juga bisa berupa cacat ganda seperti cacat mental yang bersamaan dengan cacat fisik. Contoh lainnya yaitu cacat intelegensi yang dialami bersamaan dengan gangguan pengelihatan atau cacat mata.

Tunagrahita bisa disebut juga retardasi mental yang artinya adalah anak yang mempunyai kendala dan berlatar belakang mental, sehingga intelektual mereka berada di bawah rata-rata. Anak tunagrahita akan mengalami kesulitan dalam komunikasi dan juga sosial, oleh karena itu mereka membutuhkan pendidikan

(35)

khusus (Desiningrum, 2016: 16).

2.2.2 Kategori Anak Tunagrahita

Kategori pada anak tunagrahita memiliki tujuan supaya pendidik mampu memberikan pelayanan yang sesuai dengan kondisi dan potensi anak. Secara umum, kategori pada anak tunagrahita disusun berdasarkan taraf intelegensinya yang terdiri dari keterbelakangan ringan, sedang dan berat. Berikut kategorisasi tunagrahita menurut Desiningrum (2016: 17) berdasarkan tingkat intelektual yang dibagi menjadi tiga yaitu:

(1) Tunagrahita Mampu Didik (Tunagrahita ringan)

Educable mentally retarded atau tunagrahita mampu didik dimiliki oleh anak tunagrahita dengan rentang IQ 50-75 atau 75. Mampu didik sendiri adalah istilah pendidikan yang dipakai untuk mengklasifikasikan tunagrahita ringan. Anak tunagrahita mampu didik ini memiliki kemampuan untuk diberikan pengajaran dalam bidang akademik yang sederhana, contohnya menulis, membaca dan berhitung. Kemampuan maksimal yang bisa dilakukan oleh anak tunagrahita mampu didik ini setara dengan anak usia 12 tahun atau kelas VI SD.

(2) Tunagrahita Mampu Latih (Tunagrahita Sedang)

Trainable mentally retarded atau tunagrahita mampu latih dimiliki oleh anak tunagrahita dengan IQ 30-50 atau IQ 35-55. Tunagrahita mampu latih ini secara fisik biasanya memiliki kelainan ganda baik sensori maupun motoris. Untuk mendeteksinya sangat mudah karena akan terlihat dalam kondisi fisik secara lahiriahnya pasti berbeda dengan anak normal. Kemampuan akademik anak

(36)

tunagrahita mampu latih ini berbeda dengan anak tunagrahita mampu didik. Mereka kesulitan untuk mengikuti pembelajaran seperti menulis, membaca dan berhitung.

(3) Tunagrahita Butuh Rawat (Tunagrahita berat)

Dependent or profoundly mentally retarded atau tunagrahita butuh rawat dimiliki oleh anak tunagrahita dengan IQ di bawah 25 atau 30. Anak tunagrahita butuh rawat atau perlu rawat adalah kategori anak tunagrahita yang paling berat.

Dalam istilah kedokteran, kategori ini disebut dengan idiot. Anak tunagrahita butuh rawat ini mempunyai intelegensi dibawah 25 sehingga tidak mampu dilatih untuk melakukan keterampilan apapun.

2.2.3 Karakteristik Tunagrahita

Secara umum, karakteristik tunagrahita menurut Depdiknas tahun 2003 adalah penampilan fisiknya yang kurang seimbang, mereka cenderung tidak bisa mengurus diri sendiri sebagaimana semestinya seperti anak seumuran pada umumnya. Perkembangan bicara siswa tunagrahita sangat lambat dan mengalami banyak kesulitan karena keterbatasannya. Karakteristik yang sulit disadari oleh siswa tunagrahita adalah sering mengeluarkan liur tanpa sadar.

Ketunagrahitaan adalah sebuah kondisi dimana perkembangan kecerdasan seseorang memiliki banyak hambatan, sehingga mereka sulit untuk mencapai tahap-tahap perkembangan yang optimal. Ada beberapa karakteristik secara umum yang bisa dipelajari yaitu:

(1) Dalam segi kecerdasan, siswa tunagrahita memiliki kapasitas belajar sangat terbatas. Apalagi dalam hal-hal yang abstrak, siswa tunagrahita lebih banyak

(37)

belajar dengan membeo yang artinya menirukan perkataan orang lain tanpa memahami maksudnya (rote learning). Siswa tunagrahita cenderung sering mengulangi kesalahan-kesalahan yang sama.

(2) Dalam segi sosial, pergaulan siswa tunagrahita cenderung tidak bisa mengurus, memelihara dan memimpin dirinya sendiri. Anak tunagrahita perlu bimbingan untuk melakukan segalanya, setelah dewasa mereka hanya bisa menggantungkan ekonominya kepada orang lain. Siswa tunagrahita sangat mudah untuk menirukan dan terperosok ke dalam tingkah laku yang tidak baik.

(3) Fungsi-fungsi mental lain pada siswa tunagrahita adalah sering mengalami kesulitan dalam fokus. Dalam suatu kegiatan, mereka mudah berpaling dari satu hal ke hal lain, mereka juga pelupa dan sulit berkreasi. Siswa tunagrahita cenderung menghindar dari segala bentuk kegiatan yang melibatkan berpikir.

(4) Dorongan dan emosi pada anak tunagrahita hampir tidak memperlihatkan kemajuan untuk mempertahankan dirinya, sehingga kehidupannya terhadap segala hal sangat terbatas.

(5) Dalam segi kepribadian, anak tunagrahita jarang mempunyai kepribadian yang dinamis, menawan, berwibawa, dan berpandangan luas. Kepribadian mereka pada umumnya mudah goyah.

(6) Dalam organisme, baik struktur tubuh maupun fungsi organisme pada anak tunagrahita cenderung kurang dari anak normal. Sikap dan gerakannya kurang sigap, mereka juga kurang mampu melihat persamaan dan perbedaan (Astati, 2001:5).

(38)

Berdasarkan kategori tunagrahita yang ada, karakteristik siswa yang pertama adalah karakteristik dari tunagrahita ringan yaitu mempunyai kesulitan dalam mengingat tentang apa yang dilihat dan didengar. Mereka sulit dalam menangkap sebuah obrolan karena persepsi yang berbeda. Anak tunagrahita ringan sulit untuk melaksanakan kegiatan sosial yang setara dengan usia mereka secara fisik (Wikasanti, 2014:14).

Kedua, tunagrahita sedang memiliki karakteristik yang cukup mirip dengan tunagrahita ringan. Anak penyandang tunagrahita sedang mempunyai kesulitan dalam kegiatan belajar mengajar dalam kelas secara akademik. Mereka kesulitan dalam membaca dan berhitung. Penyandang tunagrahita sedang masih bisa dilatih untuk menolong dirinya sendiri, bila melakukan latihan secara terus menerus maka mereka akan bisa mengurus dirinya sendiri dalam kehidupan sehari- hari.

Ketiga adalah tunagrahita berat, siswa tunagrahita berat sangat sulit dilatih untuk mengurus dirinya sendiri. Pencapaian maksimal yang dapat dilakukan oleh anak penyandang tunagrahita berat adalah mampu berjalan dan membersihkan dirinya sendiri. Kemampuan mental yang bisa dilakukan secara maksimal oleh penyandang tunagrahita berat setara degan anak yang berusia kurang dari tiga tahun (Wikasanti, 2014: 16).

Berdasarkan fungsi intelektualnya, siswa tunagrahita memiliki banyak hambatan dalam perkembangannya. Untuk itu mereka membutuhkan pelayanan khusus untuk membantu dalam mengoptimalkan kemampuan serta potensi yang dimiliki. Hal yang perlu dilakukan untuk mendampingi anak tunagrahita yang utama adalah dalam perawatan diri, sehingga kelak mereka mampu mandiri dan

(39)

tidak bergantung sepenuhnya kepada orang lain. Namun di balik keterbatasan yang dimiliki oleh siswa tunagrahita, mereka mempunyai semangat yang tinggi untuk menjalani hidup dan bisa bersyukur (Apriyanto, 2020:35).

2.3 Strategi Pembelajaran Agama Katolik Bersama Siswa Tunagrahita Strategi pembelajaran adalah pengorganisasian isi pelajaran, penyampaian dan pengelolaan kegiatan pembelajaran dengan menggunakan sumber-sumber belajar dari guru demi terciptanya proses pembelajaran yang efektif dan efisien. Hal ini berarti bahwa sumber belajar yang digunakan oleh guru bisa dengan alat peraga, buku teks dan gambar sehingga pembelajaran dapat berlangsung dengan baik (Darmansyah, 2010: 17).

Berikut adalah penjelasan lebih dalam mengenai strategi pembelajaran yang akan diuraikan menjadi tiga bagian sebagai berikut:

2.3.1. Strategi dan Komponen Pengajaran Pendidikan Agama Katolik dan budi pekerti

Dalam proses belajar mengajar di kelas, dapat ditemukan beberapa komponen untuk mewujudkan tujuan pembelajaran. Ada empat komponen yang ada dalam proses belajar mengajar, namun bila digabungkan dengan segi strategi pembelajaran Agama Katolik, maka akan dispesifikkan menjadi tiga komponen yaitu prosedur didaktik, media pengajaran dan materi pengajaran (Winkel, 2014:

177).

Prosedur didaktik merupakan cara atau strategi yang disusun oleh guru dan berkaitan dengan penyajian materi pengajaran dalam proses belajar mengajar demi

(40)

terwujudnya sebuah tujuan instruksional dengan cara seefektif mungkin. Prosedur didaktik memiliki tiga pola yaitu pola narasi (pengisahan), pola perundingan bersama (bisa melalui tanya jawab), dan pola pemberian tugas. Prosedur didaktik berkaitan juga dengan media pengajaran, karena penggunaan media pengajaran dapat memperkaya dan memperdalam proses belajar mengajar di kelas. Contohnya untuk membangkitkan motivasi dan memberikan ilustrasi. Komponen yang terakhir yaitu materi pelajaran. Materi pelajaran juga memiliki hubungan erat dengan aspek isi atau content, sehingga tujuan dari materi pelajaran ini adalah untuk tercapainya tujuan instruksional (Winkel, 2014: 196).

Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti adalah pembelajaran mengenai hidup. Pengalaman hidup yang ada dalam diri siswa menjadi center dalam proses pembelajaran. Strategi Pendidikan Agama Katolik dirancang untuk memaksimalkan potensi yang dimiliki oleh siswa yang meliputi perkembangan, minat, harapan dan kebudayaan yang ada dalam kehidupan iman siswa (Pembelajaran Pendidikan Agama Katolik, katolik.html 30 November 2022).

2.3.2 Strategi pembelajaran Agama Katolik dan Budi Pekerti yang digunakan dalam mengajar siswa tunagrahita

Ada beberapa bentuk strategi yang dapat digunakan guru dalam mengajar Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti siswa tunagrahita yang dikelompokkan sebagai berikut:

2.3.2.1 Strategi pembelajaran secara personal

Strategi pembelajaran secara personal ini termasuk dalam ruang lingkup program bina diri, strategi ini tidak dapat terpisah dengan program pembelajaran

(41)

yang lainnya. Pengertian pembelajaran bina diri saling berkaitan dengan pembelajaran komunikasi dan bahasa. Hal tersebut akan diuraikan sebagai berikut:

(1) Kebutuhan komunikasi pada anak tunagrahita meliputi kebutuhan komunikasi ekspresif seperti menjawab pertanyaan sederhana tentang siapa Yesus, siapa ibu Yesus, dan lain-lainnya.

(2) Kebutuhan sosialisasi dibutuhkan untuk membantu berbagai aktivitas dalam kehidupan seperti keterampilan dalam berinteraksi dan mengendalikan emosi.

(3) Kebutuhan untuk mengisi waktu luang juga diperlukan oleh anak tunagrahita untuk melakukan aktifitas sehingga kemampuan yang dimilikinya dapat terus berkembang karena diisi dengan kegiatan yang positif. Contoh kegiatan untuk mengisi waktu luang adalah dengan olahraga atau merawat tanaman untuk bentuk bersyukur atas hidup yang diberikan oleh Allah (Apriyanto, 2020: 63).

Strategi pembelajaran secara personal lebih menekankan pada pendekatan antara guru dan siswa. Guru mengenal lebih dalam setiap kelebihan dan kekurangan yang dimiliki oleh siswa, sehingga guru bisa memahami dan menentukan pembelajaran sesuai dengan kebutuhan siswa. Melalui hal tersebut, siswa bisa lebih terbantu dengan adanya perhatian dan penerimaan secara terbuka oleh guru yang mengerti perilaku dan pola berpikir siswa secara personal.

Contoh pengorganisasian dari strategi ini yaitu dengan memberikan materi pelajaran seperti memaparkan sebuah skema atau media cetak lainnya di depan kelas, kemudian melakukan perundingan bersama atau tanya jawab kepada siswa

(42)

dan yang terakhir adalah dengan memberikan tugas yang bersangkutan dengan materi. Pendekatan secara personal dapat dilakukan baik saat pelajaran maupun di luar pelajaran, pendekatan ini adalah untuk mengetahui kepribadian siswa demi mendapatkan cara belajar yang baik dan efisien bagi siswa.

2.3.2.2 Strategi pembelajaran berbasis motivasi

Motivasi belajar merupakan sebuah dorongan untuk mengarahkan dan menjaga tingkah laku seseorang untuk bertindak melakukan sesuatu ketika belajar hingga mencapai tujuan belajar. Guru memiliki peran penting dalam strategi motivasi ini, karena gaya mengajar guru akan membuat peserta didik memperhatikan sepanjang pelajaran. Contohnya dengan penggunaan bahasa yang mudah dimengerti dan diselingi humor atau penggunaan ilustrasi. Susanti (2021:83) menyampaikan bahwa motivasi dapat mengarahkan siswa untuk belajar menyeleksi perbuatan yang baik dan buruk, menentukan arah tujuan yang hendak dicapai, sehingga motivasi dapat menjadi penggerak belajar bersama peserta didik. Berikut adalah gambar skema pengorganisasian dalam strategi motivasi menurut Susanti:

Gambar 1. Skema pengorganisasian strategi motivasi (Eggen & Kauchak, 2012)

(43)

2.3.2.3 Strategi kognitif

Strategi kognitif dalam pembelajaran tunagrahita ini merupakan pembelajaran yang dialami siswa berdasar pada apa yang sudah diketahui sebelumnya. Strategi kognitif merupakan kemampuan yang tersusun sehingga dapat membantu peserta didik dalam memusatkan perhatian saat belajar Agama Katolik, menggali ingatan, cara siswa berpikir, cara siswa memecahkan suatu masalah dan mengambil keputusan (Apriyanto, 2020: 74).

Berikut contoh pengorganisasian yang merupakan wujud dari beberapa fase dalam jalur belajar kognitif:

(1) Fase motivasi :Siswa harus berusaha untuk mengingat kembali pembelajaran yang dijelaskan oleh guru.

(2) Fase konsentrasi :Siswa menyelesaikan masalah melalui pengamatan. Dalam menghadapi masalah lain dibutuhkan perhatian khusus terhadap unsur-unsur yang terdapat dalam problem yang dihadapi.

(3) Fase pengolahan :Siswa harus menggali ingatan dan memilah strategi yang cocok dalam menyelesaikan suatu masalah yang diberikan.

(4) Fase umpan balik :Siswa mendapat konfirmasi mengenai tepat tidaknya penyelesaian masalah yang ditemukannya. Konfirmasi ini dapat meningkatkan motivasi siswa untuk berusaha berpikir lebih baik (Winkel, 2014: 225).

(44)

2.3.3 Penerapan Strategi Pembelajaran Agama Katolik dan Budi Pekerti bersama Siswa Tunagrahita

Strategi pembelajaran Agama Katolik digunakan untuk memberikan pengajaran yang adil bagi semua siswa. Setiap sekolah harus memberikan banyak kesempatan bagi siswanya untuk mencapai pembelajaran yang sesuai dengan tingkat kelas yang mereka ambil. Bagi siswa yang memiliki gangguan intelektual, pembelajaran yang digunakan harus mencakup kurikulum dan tujuan pembelajaran individu untuk mengoptimalkan partisipasi mereka. Ada banyak tingkat penyesuaian pendidikan yang disusun, sehingga siswa bisa mandiri di lingkungan sekitarnya (Widjaya, 2013: 37).

Berdasarkan strategi yang sudah ada pada bagian sebelumnya, penulis ingin menguraikan penerapan strategi pembelajaran dalam mata pelajaran umum dan mata pelajaran Agama Katolik dan Budi Pekerti bagi siswa tunagrahita di Sekolah. Maka penerapan strategi pembelajaran bersama siswa tunagrahita akan dibagi menjadi empat bagian, yaitu:

(5) Ingatan

Siswa yang mempunyai gangguan intelektual memiliki kesulitan dalam mengingat informasi. Dalam hal ini maka pendidik harus memberikan banyak kesempatan untuk berlatih, guru harus membangun kesempatan untuk bisa mendapatkan sesuatu yang baru dari siswa sehingga mampu mengatasi hambatan yang dialami oleh siswa. Selain itu, pendidik bisa melakukan tanya jawab untuk memastikan apakah siswa benar-benar memahami atau tidak. Hal tersebut akan membantu siswa untuk meningkatkan daya ingatnya (Widjaya, 2013: 40).

(45)

(6) Perhatian terhadap sesuatu

Untuk fokus terhadap sesuatu, siswa tunagrahita perlu mengalami pembelajaran yang menarik dan mudah dimengerti. Jika siswa mengalami kesulitan dalam memulai tugas tersebut maka guru perlu membantu siswa dengan memberikan tugas yang menarik yang sesuai dengan usia dan kemampuan siswa.

Bila siswa mengalami kesulitan dalam mempertahankan perhatian untuk menyelesaikan tugas, maka guru harus membantu siswa dengan gaya belajar individu dan memberikan apresiasi ataupun reward bila bisa menyelesaikan tugas yang sudah diberikan (Widjaya, 2013: 39).

(7) Persepsi

Siswa tunagrahita memiliki gangguan intelektual yang membuat mereka kesulitan dalam menangkap materi pembelajaran yang berlangsung di kelas. Untuk mengatasi hal tersebut, guru perlu membantu dengan menggunakan instruksi secara berurutan atau perumpamaan yang mudah dipahami. Dengan hal itu maka siswa akan perlahan mengerti persepsi tentang materi yang diajarkan (Widjaya, 2013: 39).

(8) Keterampilan perilaku adaptif dengan bantuan media

Menurut Rahayu (2010), keterampilan adaptif merupakan kemampuan seseorang untuk bisa menyesuaikan diri dengan aturan yang berlaku di lingkungannya. Hal tersebut bisa didapatkan oleh siswa lewat pembelajaran tertentu yang terjadi di kelas. Siswa yang memiliki gangguan intelektual bisa menyesuaikan diri di lingkungan sekitarnya, namun dengan menggunakan instruksi yang khusus dan mudah dimengerti.

Penyesuaian diri yang dilakukan oleh siswa juga bisa dimodifikasi dengan pembelajaran guru yang dicampur dengan penggunaan media. Contohnya setiap

(46)

kegiatan belajar, guru akan menggunakan media seperti gambar maupun video agar siswa lebih mudah untuk menangkap materi yang dimaksud. Karena gambar dan video lebih mudah untuk menyampaikan sebuah instruksi atau materi, maka penggunaan media adalah hal yang efektif untuk diterapkan bersama siswa tunagrahita dalam pembelajaran Agama Katolik dan Budi Pekerti.

2.3.4 Segi Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti bersama tunagrahita relevan dan kontekstual

Pendidikan Agama Katolik merupakan pengelolaan iman yang diselenggarakan bagi semua usia dari kecil hingga dewasa. Orang berkebutuhan khusus seperti tunagrahita juga berhak mendapatkan pembinaan iman (CT. 20).

Berikut adalah contoh pembelajaran yang cocok untuk melaksanakan Pendidikan Agama Katolik yang bisa membantu siswa tunagrahita dalam memperkembangkan imannya.

(1) Pembukaan dan pengantar yang dilakukan dengan doa atau lagu

(2) Pemutaran film singkat atau video yang relevan dengan materi pembelajaran sebagai sumber utama

(3) Pendalaman pengalaman hidup dengan sharing dan diskusi film yang diputar

(4) Peneguhan dengan pembacaan Kitab Suci dan tanya jawab saat reflektif.

Guru bisa memberikan pertanyaan kepada siswa terkait dengan film yang diputar dan siswa menjawab sesuai dengan apa yang dipahami sehingga dapat menjadi sumber inspirasi untuk melakukan tindakan selanjutnya (5) Evaluasi secara singkat dan membentuk niat secara konkret untuk tindakan

(47)

selanjutnya

(6) Penutupan dengan doa dan lagu

Pendidikan Agama Katolik yang relevan dan kontekstual bisa direalisasikan dengan menggunakan budaya digital dalam pembelajaran. Seperti yang dipaparkan dalam CT bahwa katekese memiliki kewajiban besar untuk memakai bahasa yang cocok bagi anak-anak dan kaum muda zaman sekarang, termasuk kategori umat penyandang cacat. Dari hal tersebut dapat dilihat bahwa siswa tunagrahita membutuhkan media dalam pembelajaran Agama Katolik untuk menghayati imannya, maka akan lebih relevan bila budaya digital diterapkan dalam katekese Pendidikan Agama Katolik di sekolah.

(48)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN STRATEGI PEMBELAJARAN AGAMA KATOLIK DAN BUDI PEKERTI

Dalam bab sebelumnya, penulis telah menjelaskan tentang siswa tunagrahita, maka pada bagian ini penulis akan memaparkan metodologi penelitian yang akan digunakan dalam penulisan. Penulis akan meguraikan dalam bebrapa poin yang meliputi latar belakang penelitian, tujuan penelitian, jenis penelitian, instrumen penelitian, tempat dan waktu penelitian, fokus penelitian, kisi- kisi wawancara, pedoman wawancara, analisis data dan validasi data untuk mendeskripsikan strategi pembelajaran Agama Katolik siswa tunagrahita yang ada di SLB Bhakti Luhur Malang.

3.1 Latar Belakang Penelitian

Bermula dari sebuah keingintahuan terhadap suatu fenomen yang terjadi di dalam SLB Bhakti Luhur Malang. Para siswa yang memiliki keterbatasan tetap mampu melaksanakan Pendidikan Agama Katolik dengan benar seperti siswa normal pada umumnya. Padahal untuk membuat siswa bisa mengerti tentang apa yang diajarkan tidaklah mudah. Siswa yang berkebutuhan khusus di SLB Bhakti Luhur Malang bisa berdoa dengan baik, tanda salib dan mengucapkan doa dengan lancar. Penelitian ini dilakukan karena penulis terinspirasi oleh keberhasilan para guru SLB Bhakti Luhur Malang dalam mendidik siswa untuk bisa berdoa dan mendalami imannya. Penulis akan meneliti strategi yang digunakan guru SLB Bhakti Luhur Malang dalam mendidik siswa sehingga mampu memiliki sikap baik dengan keterbatasan yang dimiliki siswa. SLB Bhakti Luhur Malang memiliki

(49)

banyak siswa berkebutuhan khusus. Agar lebih spesifik maka penulis memilih siswa tunagrahita untuk diteliti kehidupannya dalam kelas.

3.2 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian yang ingin dicapai oleh penulis di SLB Bhakti Luhur Malang adalah:

(1) Mengetahui strategi pembelajaran Agama Katolik yang digunakan dalam kelas antara guru bersama siswa tunagrahita.

(2) Mengetahui faktor pendukung dan penghambat dalam kegiatan belajar mengajar Agama Katolik.

3.3 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah kualitatif.

Penelitian kualitatif adalah penelitian yang dilakukan dengan menganalilis serta mengumpulkan data yang bersifat naratif (bukan angka). Penelitian ini menempatkan penulis sebagai instrumen kunci, analisis data yang bersifat kualitatif dan hasilnya akan menekankan pada makna. Penulis akan ikut ambil bagian secara langsung dalam pengumpulan data. Pengumpulan data diambil dari wawancara bersama guru Pendidikan Agama Katolik yang ada di SLB Bhakti Luhur Malang (Sugiyono, 2018: 3).

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian kualitatif menurut Sugiyono (2018: 104) pengumpulan data dilakukan dalam kondisi yang alamiah. Data akan lebih banyak diambil dari observasi serta wawancara yang mendalam. Maka dari itu, perlu tahapan yang

(50)

sudah disiapkan sebagai berikut:

(1) Studi Dokumen

Studi dokumen adalah pelengkap dalam pengumpulan data observasi dan wawancara. Studi dokumen membantu penulis agar penelitian yang dilaksanakan lebih terpercaya karena didukung dengan catatan, foto maupun gambar. Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan dokumen yang tersedia berupa buku, artikel dan foto yang bisa membantu menemukan informasi dalam mendukung penelitian (Sugiyono, 2018: 240).

(2) Observasi

Observasi yang digunakan dalam penulisan adalah observasi deskriptif.

Observasi yang dilakukan penulis adalah dengan masuk dalam situasi sosial tertentu, sehingga penulis akan masuk sebagai objek penelitian. Penulis akan melakukan penjelajahan secara umum dan menyeluruh, melakukan deskripsi terhadap semua yang dilihat, didengar dan dirasakan (Sugiyono, 2018: 112).

(3) Wawancara

Wawancara yang digunakan dalam penulisan ini adalah wawancara terstruktur atau structured interview. Wawancara terstruktur digunakan sebagai teknik pengumpulan data untuk mengetahui sebuah informasi. Penulis harus menyiapkan pedoman untuk wawancara yang berisi pertanyaan-pertanyaan tertulis.

Penulis juga telah menyiapkan jawaban sebagai pembanding dengan narasumber yang akan diwawancarai. Dalam melakukan wawancara, penulis bisa menggunakan media bantu seperti alat tulis maupun recorder untuk membantu kelancaran pelaksanaan wawancara (Sugiyono, 2018: 115).

(51)

3.5 Tempat dan Waktu Penelitian

Tempat dan waktu penelitian berlangsung di SLB Bhakti Luhur yang bertempat di Jalan Dieng, Kecamatan Sukun, Kota Malang. Sedangkan waktu penelitian yang dilaksanakan oleh penulis pada Oktober- November 2022.

3.6 Definisi Operasional Strategi Pembelajaran

Strategi pembelajaran yang dimaksudkan dalam penulisan ini adalah strategi pembelajaran menurut Darmansyah (2010: 17) yaitu pengorganisasian isi pelajaran, penyampaian dan pengelolaan kegiatan pembelajaran dengan menggunakan sumber-sumber belajar dari guru demi terciptanya proses pembelajaran yang efektif dan efisien. Hal ini berarti bahwa sumber belajar yang digunakan oleh guru bisa dengan alat peraga, buku teks dan gambar sehingga pembelajaran dapat berlangsung dengan baik.

Penulisan dan penelitian yang dilakukan adalah untuk mengukur dan mencari strategi pembelajaran yang digunakan oleh guru dan wali orang tua dalam memberikan pembelajaran Pendidikan Agama Katolik bagi siswa tunagrahita berdasarkan dasar strategi pembelajaran menurut Darmansyah.

3.7 Responden Penelitian

Dari penelitian kualitatif yang dilaksanakan tidak ada istilah sampel, namun akan menggunakan subjek, informan atau responden. Pemilihan responden akan dilakukan dengan memilih orang yang dianggap tahu betul dalam mengajar siswa tunagrahita di SLB Bhakti Luhur Malang (Sugiyono, 2018: 95).

Berdasarkan latar belakang pada bab ini, yang bisa menjadi sumber data

(52)

atau responden adalah seseorang yang mengajar Pendidikan Agama Katolik dan mengenal setiap siswa yang ada di kelas tunagrahita XC. SLB Bhakti Luhur Malang tidak memiliki guru Pendidikan Agama Katolik secara khusus, namun guru wali kelas yang akan mengajar semua mata pelajaran. Maka narasumber yang akan digunakan penulis untuk memenuhi kriteria yang digunakan dalam penelitian ini ada dua yaitu guru wali kelas tunagrahita XC dan guru magang yang khusus mengajar Pendidikan Agama Katolik kelas tunagrahita XC di SLB Bhakti Luhur Malang. Responden pendukung dari penelitian ini adalah kepala asrama sebagai wali orang tua siswa tunagrahita yang tinggal di asrama dan kepala sekolah SLB Bhakti Luhur Malang. Validator untuk mengetahui validasi penelitian adalah lima siswa tunagrahita yang aktif dan bisa berkomunikasi dengan baik di dalam kelas tunagrahita XC. Di bawah ini adalah pedoman yang akan digunakan dalam melakukan penelitian di SLB Bhakti Luhur Malang.

3.8 Fokus Penelitian

Dalam penelitian kualitatif, batasan masalah disebut dengan fokus yang berisi masalah yang akan diteliti. Fokus penelitian digunakan agar penulis lebih tajam dalam pengambilan data. Fokus dari penelitian ini adalah strategi yang digunakan oleh guru pada siswa tunagrahita kelas XC di SLB Bhati Luhur Malang.

(53)

Tabel 1. Kisi-kisi Penelitian

No. Fokus Aspek yang

diungkapkan

(1) (2) (3)

1. Strategi

Pembelajaran siswa tunagraihta

a. Kategori siswa yang ada di SLB Bhakti Luhur Malang.

b. Strategi pembelajaran siswa tunagrahita.

2. Faktor penghambat dan pendukung dalam pembelajaran Agama Katolik di SLB Bhakti Luhur Malang.

a. Kesulitan yang dialami guru dalam kegiatan belajar mengajar bersama siswa tunagrahita.

b. Pendukung dalam pembelajaran Agama Katolik di SLB Bhakti Luhur Malang.

3. Respon siswa dalam strategi yang digunakan oleh guru

a. Respon siswa dalam kegiatan belajar mengajar Pendidikan Agama Katolik di dalam kelas.

3.9 Pedoman penelitian

Tabel 2. Pedoman Studi Dokumen

Aspek Dokumen

SLB Bhakti Luhur Malang a. Sejarah SLB Bhakti Luhur Malang.

b. Tahun berdiri SLB Bhakti Luhur Malang.

c. Profil SLB Bhakti Luhur Malang

d. Fasilitas Para siswa di Bhakti Luhur

Malang

a. Siswa tunagrahita di SLB Bhakti Luhur Malang

(54)

Tabel 3. Pedoman Observasi

Tujuan Aspek yang diamati

Mendapatkan informasi tentang kegiatan belajar mengajar yang berlangsung di dalam kelas XC

a. Proses belajar mengajar Pendidikan Agama Katolik yang terjadi di kelas

b. Dinamika yang terjadi antara siswa dengan siswa maupun guru dengan siswa.

c. Cara guru mengajar Pendidikan Agama Katolik pada siswa tunagrahita kelas XC.

d. Partisipasi siswa dalam menanggapi guru dalam menjelaskan sesuatu.

Tabel 4. Pedoman wawancara guru dan kepala sekolah 1. Kategori siswa tunagrahita seperti apa yang ada di kelas XC?

2. Strategi apa yang digunakan dalam mengajarkan Pendidikan Agama Katolik di dalam kelas?

3. Apa saja kesulitan guru dalam mengajar Pendidikan Agama Katolik pada siswa tunagrahita?

4. Bagaimana cara guru mengatasi keterbatasan siswa tunagrahita dalam setiap pembelajaran?

5. Bagaimana respon siswa dalam proses pengajaran Pendidikan Agama Katolik yang berlangsung di kelas?

6. Hal apa yang bisa dilakukan guru untuk mendukung siswa dalam fokus belajar Agama Katolik di kelas?

7. Apa kurikulum yang digunakan dalam pengajaran Pendidikan Agama Katolik di kelas XC?

8. Menurut guru, apa saja kendala yang dialami siswa selama kegiatan belajar mengajar berlangsung?

9. Aspek seperti apa yang dinilai guru untuk bisa menyatakan bahwa siswa tunagrahita mengerti apa yang telah diajarkan?

10. Bagaimana cara guru membimbing siswa tunagrahita dalam ujian akhir semester?

11. Apakah budaya digital menjadi aspek dalam strategi pembelajaran Agama Katolik?

(55)

Tabel 5. Pedoman wawancara kepala asrama

Tabel 6. Pedoman wawancara siswa tunagrahita

3.10 Analisis Data

Dalam penelitian kualitatif, teknik analisis data dilakukan saat pengumpulan data berlangsung dan setelah pengumpulan data. Saat wawancara berlangsung, penulis sudah melakukan analisis terhadap jawaban yang didapat.

Pertanyaan wawancara akan terus diberikan sampai memperoleh data yang dianggap kredibel (Sugiyono, 2018: 132).

Langkah-langkah yang akan digunakan untuk menganalisis data sebagai 1. Doa apa saja yang diajarkan dalam asrama?

2. Bagaimana cara bruder/suster dalam mengajar doa?

3. Apa kesulitan anak dalam pengajaran berdoa?

4. Apa kesulitan bruder/suster dalam mengajarkan doa kepada anak?

5. Hal apa yang bisa dilakukan bruder/suster untuk mendukung siswa dalam fokus belajar?

6. Bagaimana cara bruder/suster mendampingi siswa untuk menyelesaikan tugas sekolah (terutama Pendidikan Agama Katolik)?

7. Berapa lama waktu yang dibutuhkan sehingga anak dapat berdoa dengan baik dan benar?

8. Apakah budaya digital menjadi aspek dalam strategi pembelajaran Agama Katolik?

9. Apa yang paling berkesan dalam mendampingi siswa tunagrahita di asrama?

10.

1. Apakah pelajaran Agama Katolik di kelas menyenangkan?

2. Apakah pelajaran yang diberikan guru mudah diingat?

3. Apa yang menarik dari pelajaran Agama Katolik di kelas?

4. Apakah guru membantu siswa dalam kesulitan memahami pelajaran?

(56)

berikut:

(1) Reduksi Data (data reduction)

Penelitian di lapangan akan menghasilkan banyak informasi, maka diperlukan reduksi data. Reduksi data adalah merangkum dan memilih hal yang pokok untuk fokus pada hal yang penting saja serta menemukan pola dan tema.

Reduksi data dipandu oleh teori dan tujuan tertentu yang sudah ditentukan. Maka dalam penelitian ini penulis akan menemukan fokus dan hal yang baru untuk dijadikan pengamatan selanjutnya dengan menyalin dan merangkum hasil wawancara (Sugiyono, 2018: 137).

(2) Penyajian Data (data display)

Sugiyono (2018: 138) mengatakan bahwa penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk uraian secara singkat, bagan maupun hubungan antar kategori. Dalam penyajian data ini, penulis akan menyajikan data menggunakan teks yang bersifat naratif. Dengan menyajikan data, penulis akan dipermudah dalam merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa yang telah dipahami.

(3) Verifikasi (conclusion drawing)

Verifikasi atau pengambilan kesimpulan akan berubah sesuai dengan berkembangnya data yang diperoleh. Kesimpulan awal yang ditemukan saat wawancara memiliki sifat sementara. Setelah penulis menemukan bukti yang dianggap valid, maka penulis akan melanjutkan ke lapangan dan mengemukakan sebuah kesimpulan yang kredibel. Bukti tersebut didapatkan penulis ketika melakukan wawancara kepada narasumber dan memahami hubungan antar jawaban (Sugiyono, 2018: 142).

(57)

3.11 Validasi Data

Dalam penelitian ini, validasi data bisa dikatakan valid bila telah diuji dengan memeriksa data yang diperoleh penulis melalui beberapa sumber yang ada.

Untuk menguji validasi data, penulis menggunakan triangulasi. Triangulasi adalah teknik pengumpulan data dengan menggabungkan dari berbagai pengumpulan data dan sumber yang sudah ada. Maka untuk mendapatkan data yang kuat, penulis menggunakan observasi, wawancara dan dokumentasi (Sugiyono, 2018: 125).

Referensi

Dokumen terkait