• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH PEMBERIAN AIR REBUSAN BIJI PINANG (Areca catechu L) TERHADAP INFEKSI CACING Ascaris suum

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PENGARUH PEMBERIAN AIR REBUSAN BIJI PINANG (Areca catechu L) TERHADAP INFEKSI CACING Ascaris suum "

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

i

PENGARUH PEMBERIAN AIR REBUSAN BIJI PINANG (Areca catechu L) TERHADAP INFEKSI CACING Ascaris suum

SECARA In Vivo PADA BABI

SKRIPSI

WENDELINDIA V.T.T O11112262

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR

2017

(2)

ii PERNYATAAN KEASLIAN

1. Yang bertanda tangan dibawah ini : Nama : Wendelindia V.T.T.

NIM : O111 12 262

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa : a) Karya skripsi saya adalah asli

b) Apabila sebagian atau seluruhnya dari skripsi ini, terutama dalam bab hasil dan pembahasan tidak asli atau plagiasi, maka saya bersedia dibatalkan dan dikenakan sanksi akademik yang berlaku.

2. Demikian pernyataan keaslian ini dibuat untuk dapat digunakan seperlunya.

Makassar, 1 November 2017

Wendelindia V.T.T.

(3)

iii

ABSTRAK

WENDELINDIA V.T.T. O11112262. Pengaruh Pemberian Air Rebusan Biji Pinang (Areca catechu L) Terhadap Infeksi Cacing Ascaris suum Secara In Vivo Pada Babi.

Dibimbing oleh LUCIA MUSLIMIN dan MUH. NUR AMIR

Penelitian dengan judul Pengaruh Pemberian Air Rebusan Biji Pinang (Areca catechu L) Terhadap Infeksi Cacing Ascaris suum secara In Vivo Pada Babi, dilakukan pada bulan Agustus 2016. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian air rebusan biji pinang terhadap infeksi cacing Ascaris suum secara in vivo pada babi. Sampel awal yang digunakan pada penelitian ini ada 40 sampel, kemudian dilakukan uji apung dan 22 positif, kemudian dilakukan pengujian Mc.Master dan 16 sampel yang dapat dihitung telur cacingnya. Kemudian diambil 16 sampel untuk dibagi atas 4 kelompok dan diberikan perlakuan setiap 3 hari selama 9 hari, dengan hasil untuk cacing Ascaris suum, albendazole 69%, Pinang konsentrasi 20% yaitu 42%, pinang konsentrasi 40% yaitu 70%, dan pinang konsentrasi 80% yaitu 62%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi dari biji pinang yang paling baik untuk mengatasi cacing Ascaris suum adalah air rebusan biji pinang dengan konsentrasi 40%.

Kata Kunci : Air Rebusan Biji Pinang, Ascaris suum , Babi, Saluran pencernaan.

(4)

iv

ABSTRACT

WENDELINDIA V.T.T. O11112262. The Influence of Areca Nut (Areca catechu L.) Stew Water toward an Infection of Ascaris suum. in vivo on Pig. Under supervision of LUCIA MUSLIMIN and MUH. NUR AMIR

This research has been done with the title of "The Influence of Areca Nut (Areca catechu L.) stew water toward an Infection of Ascaris suum in vivo on Pig". The research was conducted in August 2016. The research aims to determine the influence of areca nut water stew toward an infection of Ascaris suum worms in vivo on pig.. The used initial samples were 40 then followed by floating test and 22 of them were positive.

Afterwards, Mc. Master test was conducted and there are 16 samples that their worm eggs can be counted. Then, 16 samples were taken to be divided into 4 groups and given treatment every 3 days for 9 days, and the result albendazole is 69%, concentration 20%

of areca nut of 42%, concentration 40% of areca nut 70%, and concentration 80% of areca nut of 62%. The result of the research showed that the best concentration of areca nut to overcome Ascaris suum. worms is the 40% concentration of areca nut stew water.

Keywords :Areca Nut Stew Water, Ascaris suum., Pig, Digestive Tract

(5)

v

PENGARUH PEMBERIAN AIR REBUSAN BIJI PINANG (Areca catechu L) TERHADAP INFEKSI CACING Ascaris suum

SECARA In Vivo PADA BABI

WENDELINDIA V.T.T.

O11112262

Skripsi :

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Program Studi Kedokteran Hewan Fakultas Kedokteran

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSSAR

2017

(6)

vi

(7)

vii

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena oleh nikmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh Pemberian Air Rebusan Biji Pinang (Areca catechu L) Terhadap Infeksi Cacing Ascaris Suum Secara In Vivo Pada Babi”. Skripsi ini merupakan hasil dari penelitian dan disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan (S.Kh). Dengan selesainya skripsi ini, penulis mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada :

1. Ayahanda Simon Tandira’pak, dan ibunda Asteria Fides Tambing, yang telah memberikan kasih sayang, doa yang terbaik dan dukungan moril yang sangat luar biasa serta bantuannya selama penelitian hingga sripsi ini terselesaikan.

2. Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, M.A. selaku Rektor Universitas Hasanuddin.

3. Prof. Dr. dr. Andi Asadul Islam, Sp.BS. selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

4. Prof. Dr. drh. Lucia Muslimin, M.Sc selaku Ketua Program Studi Kedokteran Hewan Universitas Hasanuddin, serta sebagai Pembimbing Akademik (PA), dan juga sebagai pembimbing utama yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk membimbing penulis selama penelitian dan penyusunan skripsi.

5. Bapak Muh Nur Amir, S.Si, M.Si, Apt selaku pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk membimbing penulis selama penelitian dan penyusunan skripsi.

6. drh. Sandra Diah Widhyana, drh. Adriany Ris M.Si, dan drh. Alfinus selaku pembahas dan penguji dalam seminar proposal, seminar hasil dan ujian skripsi yang telah memberikan masukan dan komentar yang sangat membangun dalam penyusunan skripsi ini.

7. Dr. drh. Dwi Kesuma Sari dan drh. Dini Kurnia Ikliptikawati selaku panitia seminar proposal dan panitia seminar hasil yang banyak membantu dan memberi kemudahan bagi penulis.

8. Para dosen dan staf tata usaha di Program Studi Kedokteran Hewan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin yang telah memberikan banyak bantuan dan dukungan bagi penulis selama kuliah.

9. Staf Laboratorium Parasitologi BBVet Maros; drh. Hadi Purnama W, drh.

Fitri Amaliah, Ibu Siti Aminah, Bapak Muh. Irfan, Amd, kak Rika Rahim yang banyak membantu dan membimbing penulis selama proses penelitian.

10. Para peternak di desa Pangala, Kecamatan Rinding Allo, Kabupaten Toraja Utara yang telah banyak memberikan bantuan.

11. L. Robby Hartono M.P. yang telah memberikan semangat, perhatian, dan selalu sabar membantu penulis dimanapun dan kapanpun, hingga penulis menyelesaikan skripsi ini.

(8)

viii 12. Keempat adik yang tersayang Wensesclaudia Virginnia T.T. (Cicok), Wendelina Vinsensia T.T (Ibong), Cherish Venansia T.T. (Cherish), dan Putra Vinsensius T. (Putat) yang dengan setia memberikan dukungan serta perhatian hingga penulis menyelesaikan skripsi ini.

13. Sahabat-sahabat tersayang, Hidayanti Adillah, Fridayanti Kusuma Indah Cantik, dan Try Agustianingsih yang selalu setia menemani dan membantu mulai dari semester satu hingga saat ini, terimakasih untuk waktunya, untuk persahabatannya, dan untuk kebersamaannya dalam suka dan duka.

14. Sahabat sejak SMP, Fransiska Nova Ika (ope’) , Dea Hardiyanti (Pekong), Hamidah Nur Aulia Hamid (Ham), Nuraeva Pakata (Epa), Indahna Lola Palentek yang selalu memberikan semangat dan perhatian kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini, terima kasih untuk semua kebersamaannya.

15. Teman-teman cantika’s Agustina L, Wira Nisrina, Castelein Marlen L, Jenecklin, Jisril P, Novtri P, Putri, dan Jeslin yang senantiasa memberikan semangat kepada penulis.

16. Teman-teman Akestor Anwelf angkatan 2012 Kedokteran Hewan Unhas, yang telah memberikan motivasi dan bantuan, yang telah berjuang bersama- sama.

17. Kakak-kakak V-gen (2010) dan Clavata (2011), adik-adik O-Brev (2013), Rollvet (2014) dan adik-adik Vermillion (2015) yang telah memberikan dukungan dan doanya.

18. Teman-teman KKN Tematik Pulau Sebatik gelombang 90, di kecamatan Sebatik Tengah, Kak Agung, Dian, kak El, Juliandi, Aris, Kak Iping, Elis, Ika, Elvi, dan Ani yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi, dan yang telah memberikan motivasi serta dukungan.

19. Semua pihak yang membantu penulis baik secara langsung maupun tidak langsung dalam seluruh proses perkuliahan di Universitas Hasanuddi.n.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi terciptanya hasil karya yang baik dan dapat bermanfaat untuk kemajuan ilmu pengetahuan.

Makassar, 1 November 2017

Wendelindia V.T.T.

(9)

ix

DAFTAR ISI

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

ABTRAK ... iii

ABSTRACT ... iv

HALAMAN JUDUL ... v

HALAMAN PENGESAHAN ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

1. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 2

1.3. Tujuan Penelitian ... 2

1.3.1. Tujuan Penelitian Umum ... 2

1.3.2. Tujuan Penelitian Khusus ... 2

1.4. Manfaat Penelitian ... 2

1.4.1. Manfaat Pengembangan Ilmu ... 2

1.4.2. Manfaat Aplikasi ... 2

1.5. Hipotesis ... 3

1.6. Keaslian Penelitian ... 3

2. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1. Cacing Nematoda ... 4

2.1.1. Nematodiasis ... 4

2.1.2. Cacing Nematoda ... 4

2.1.2.1. Ascaris suum. ... 5

2.2. Deskripsi Umum Ternak Babi ... 6

2.2.1. Babi Lokal Indonesia ... 7

2.2.2. Babi Di Toraja ... 8

2.3. Penanggulangan terhadap Infeksi Cacing ... 8

2.4. Deskripsi Umum Pinang ... 9

2.4.1. Deskripsi Umum Pinang ... 9

2.4.2. Manfaat Biji Pinang ... 10

2.4.3. Kandungan Biji Pinang ... 11

3. METODOLOGI PENELITIAN ... 12

3.1. Waktu dan Tempat ... 12

3.2. Bahan Penelitian ... 12

(10)

x

3.3. Alat Penelitian ... 12

3.4. Perlakuan ... 12

3.5. Pengambilan Sampel ... 12

3.6. Prosedur Pemeriksaan Feses ... 13

3.7. Pembuatan Air Rebusan Biji Pinang ... 13

3.8 Analisis Data ... 14

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 15

4.1 Hasil Penelitian ... 15

4.2 Pembahasan ... 20

5. PENUTUP ... 23

5.1 Kesimpulan ... 23

5.2 Saran ... 23

DAFTAR PUSTAKA ... 24

LAMPIRAN ... 28

RIWAYAT HIDUP ... 37

(11)

xi

DAFTAR GAMBAR

1. Gambar Cacing Nematoda ……….………..……. 5

2. Gambar Telur Cacing Ascaris suum ……… 6

3. Gambar Babi Di Toraja ……….………... 8

4. Gambar Pohon Dan Biji Pinang …..…………..………... 10

5. Gambar Telur Cacing Ascaris suum dengan Uji Apung … ………..…. 15

6. Gambar Uji Mc.Master (Tampak Telur Ascaris suum)……… .…………..…….. 16

7. Gambar Rata-Rata Penurunan Jumlah Telur Cacing ………19

DAFTAR TABEL

1. Tabel Hasil Uji Identifikasi Telur Cacing dengan Metode Uji Apung ... 16

2. Tabel Hasil Uji Mc. Master Sebelum dan Setelah Perlakuan ... 17

3. Tabel Hasil Perhitungan dengan FECR 18

DAFTAR LAMPIRAN

1. Lampiran Tabel Hasil Pemeriksaan dengan Uji Mc. Master 27

2. Lampiran Contoh Perhitungan dengan Rumus FECR 27

3. Lampiran Hasil Identifikasi Telur Cacing 28

4. Lampiran Hasil Pemeriksaan dengan Uji Mc. Master 30

5. Lampiran Gambar Proses Pembuatan Air Rebusan Biji Pinang 34

6. Lampiran Gambar Proses Pengujian Sampel 35

7. Lampiran Gambar Proses Pemberian Perlakuan dan Pengambilan Sampel 36

(12)

1

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Parasit merupakan organisme yang hidup merugikan induk semang yang ditumpanginya. Berdasarkan tempat hidupnya, parasit digolongkan dalam 2 kelompok yaitu ektoparasit dan endoparasit. Ektoparasit hidup di luar tubuh hospes seperti lalat, tungau, kutu, caplak, pinjal, sedangkan endoparasit merupakan parasit yang hidup dalam jaringan atau dalam tubuh hospes seperti cacing trematoda, cestoda, nematoda, dan protozoa. Endoparasit merupakan salah satu masalah pada ternak yang dapat menimbulkan banyak kerugian, walaupun penyakit ini kadang-kadang tidak langsung mematikan, akan tetapi kerugiannnya dari segi ekonomi sangat besar dan dapat menimbulkan kerugian berupa penurunan berat badan ternak, penurunan produksi susu, kualitas daging, kulit, jeroan, produktivitas ternak sebagai tenaga kerja di sawah serta bahaya penularan terhadap manusia atau zoonosis (Arifin, 1982).

Babi sering terserang penyakit yang berhubungan dengan saluran pencernaan, diantaranya yaitu kecacingan. Jenis cacing yang sering menyerang saluran pencernaan babi yaitu cacing jenis nematoda, salah satu jenis dari cacing nematoda ini, yaitu:

Ascaris suum. Cacing ini dapat menimbulkan masalah pada babi seperti kehilangan nafsu makan yang berdampak pada penurunan berat badan dan selalu terlihat lemas karena cacing ini yang mengambil sari-sari makanan dari organ pencernaan babi (Permadi, 2012).

Faktor penyebab timbulnya penyakit karena adanya interaksi antara hospes (ternak), agen penyakit (infeksi cacing) dan lingkungan. Lingkungan menentukan pengaruh positif atau negatif terhadap hubungan antara ternak dengan agen penyakit.

Pada lingkungan tropis basah, tingkat infeksi cacing pada ternak cukup tinggi. Telur- telur cacing masuk ke dalam tubuh ternak melalui hijauan yang dikonsumsi dan berkembang dalam saluran pencernaan. Bagian usus halus dan lambung tempat cacing menghisap darah akan mengalami iritasi dan kerusakan mukosa usus. Kerusakan mukosa usus mengakibatkan gangguan penyerapan nutrisi dan pencernaan sehingga membuat ternak tampak kurus (Setiawan, 2008). Masyarakat pedesaan termasuk masyarakat Toraja, biasanya menggunakan obat-obat tradisional seperti daun lamtoro, daun papaya, dan biji pinang untuk mengatasi kecacingan pada ternak.

Pinang (Areca Catechu L) adalah salah satu jenis tumbuhan palma yang banyak digunakan untuk ramuan obat tradisional, dikonsumsi, sebagai bahan industri kosmetika, kesehatan, dan bahan pewarna pada industri tekstil. Pohon pinang banyak tumbuh di wilayah Asia, termasuk di Indonesia, umumnya pohon pinang ditanam sebagai tumbuhan pagar ataupun untuk membatasi perkebunan. Pinang merupakan tumbuhan palma yang tingginya dapat mencapai 12-30 meter, berakar serabut berwarna putih, batang tegak lurus bergaris, dan tidak bercabang, bentuk daun yang sobek dan bergerigi, dan mempunyai buah (Staples dan Bevacqua, 2006).

Sejak dahulu, masyarakat Toraja sudah akrab dengan tumbuhan pinang. Pohon pinang banyak dijumpai di pinggir-pinggir jalan. Masyarakat Toraja menggunakan biji pinang sebagai sirih pinang dan dicampur dengan daun sirih serta kapur sirih yang selalu

(13)

2 ada dalam setiap upacara adat masyarakat Toraja yang digunakan sebagai suguhan kepada tamu dan sebagai rasa penghormatan.

Biji pinang merupakan bagian dari tanaman pinang (Arecae catechu L) secara empiris digunakan sebagai obat cacing dengan cara meminum air rebusan biji pinang yang telah dihaluskan (Trubus, 2013). Penelitian sebelumnya mengenai efek antelmintik infusa biji pinang (Arecae catechu L) terhadap Ascaris suum secara in vitro telah dilakukan oleh Tampubolon pada tahun 2014 dengan hasil infusa biji pinang dosis 20%, 40%, dan 80% efektif sebagai antelmintik terhadap Ascaris suum. Untuk itu perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh pemberian air rebusan biji pinang secara in vivo sebagai antelmintik pada ternak, khususnya pada babi.

Dari latar belakang yang telah dikemukakan, maka perlu dilakukan penelitian tentang “Pengeruh Pemberian Air Rebusan Biji Pinang (Areca catechu L) Terhadap Infeksi Cacing Ascaris suum Secara In Vivo Pada Babi“.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan urain pada latar belakang, maka dapat ditarik rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu :

 Bagaimana pengaruh pemberian air rebusan biji pinang (Areca catechu L) terhadap infeksi cacing Ascaris suum pada babi?

 Berapakah konsentrasi air rebusan biji pinang (Areca catechu L) yang memiliki efek paling baik untuk mengatasi cacing Ascaris suum pada babi?

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

 Untuk mengetahui pengaruh pemberian air rebusan biji pinang (Areca catechu L) terhadap infeksi cacing Ascaris suum pada babi.

 Untuk mengetahui konsentrasi berapa yang memiliki efek paling baik untuk mengatasi cacing Ascaris suum pada babi.

1.3.2 Tujuan Khusus

 Untuk mengetahui jenis-jenis cacing nematoda dan derajat keparahannya yang ada pada feses babi yang diambil dari peternakan babi di Toraja Utara.

 Untuk tambahan informasi kepada Dinas Peternakan dan peternak mengenai infeksi cacing nematoda pada babi di Toraja Utara.

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Pengembangan Ilmu

Manfaat pengembangan ilmu pada penelitian ini adalah untuk mengetahui jenis- jenis cacing nematodapada saluran pencernaan babi di Toraja Utara.

(14)

3 1.4.2 Manfaat Aplikasi

Adapun manfaat aplikasi dari penelitian ini yaitu :

 Untuk Peneliti

Melatih kemampuan meneliti dan menjadi acuan bagi penelitian-penelitian selanjutnya.

 Untuk Masyarakat

Mengetahui ciri-ciri babi yang terserang cacing jenis Ascaris suum, serta mengetahui cara penanggulangan cacing Ascaris suum sehingga dapat menjaga dari cemaran cacing Ascaris suum.

1.5 Hipotesis

Air rebusan biji pinang (Areca catechu L) memiliki pengaruh terhadap infeksi cacing Ascaris suum.

1.6 Keaslian Penelitian

Penelitian mengenai identifikasi cacing Ascaris suum pada ternak babi di Toraja Utara belum pernah dilakukan. Pada tahun 2014 oleh Tampubolon, telah dilakukan penelitian mengenai pengaruh pemberian air rebusan biji pinang untuk mengatasi cacing Ascaris suum pada babi namun secara in vitro.

(15)

4

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Cacing Nematoda

Endoparasit merupakan parasit yang hidup dalam jaringan atau dalam tubuh hospes. Endoparasit merupakan salah satu masalah pada ternak yang dapat menimbulkan banyak kerugian, walaupun penyakit ini kadang-kadang tidak langsung mematikan, akan tetapi kerugiannnya dari segi ekonomi sangat besar dan dapat menimbulkan kerugian berupa penurunan berat badan ternak, penurunan produksi susu, kualitas daging, kulit, jeroan, produktivitas ternak sebagai tenaga kerja di sawah serta bahaya penularan terhadap manusia atau zoonosis. Contoh endoparasit seperti protozoa, cacing trematoda, cestoda, dan nematoda (Arifin, 1982).

2.1.1 Nematodiasis

Nematodiasis merupakan penyakit yang disebabkan oleh nematoda saluran pencernaan (gastrointestinal) merupakan sekelompok cacing nematoda yang terdapat pada saluran pencernaan ternak ruminansia sapi, kerbau, kambing, domba, kuda, babi dan mamalia lainnya (Beriajaya, 2004). Salah satu sifat merugikan yang dapat ditimbulkan oleh cacing pada saluran pencernaan yaitu gangguan nafsu makan dan pertumbuhan. Gangguan pada pertumbuhan akan berlangsung cukup lama sehingga produktivitas akan turun (Kaufmann, 1996). Gejala-gejala dari hewan yang terinfeksi cacing antara lain, badan lemah dan bulu rontok. Infeksi berlanjut diikuti dengan anemia, diare dan badannya menjadi kurus yang akhirnya bisa menyebabkan kematian (Ardana dan Putra, 2008).

Infeksi parasit berdasarkan epidemiologi parasit dipengaruhi oleh 3 faktor utama, antara lain faktor : parasit (terutama cara penyebaran atau siklus hidup, viabilitas atau daya tahan hidup, patogenisitas dan imunogenisitas), faktor hospes (terutama spesies, umur, ras, jenis kelamin, status imunitas dan status gizi), serta faktor lingkungan (terutama musim, keadaan geografis, tata laksana peternakan) (Soulsby, 1982; Urquhart et al. 1985; Roberts, 2005).

2.1.2 Cacing Nematoda

Nematoda berasal dari bahasa Yunani, Nema artinya benang. Nematoda adalah cacing yang bentuknya panjang, silindrik, tidak bersegmen dan tubuhnya bilateral simetrik, panjang cacing ini mulai dari 2 mm sampai 1 m. Nematoda memiliki siklus hidup langsung, sehingga tidak memerlukan inang antara dalam perkembangan hidupnya. Cacing betina dewasa bertelur dan mengeluarkan telur bersamaan dengan tinja, di luar tubuh telur akan berkembang. Larva infektif dapat masuk ke dalam tubuh babi secara aktif, tertelan atau melalui gigitan vektor berupa rayap. Badannya dibungkus oleh lapisan kutikula yang dilengkapi dengan gelang-gelang yang tidak dapat dilihat oleh mata biasa (Kusumamihardja, 1992). Betina dapat menghasilkan telur setiap hari sekitar 20 – 200.000 butir, tergantung jenisnya. Sistem ekskresi terdiri dari dua kanal lateral yang berhubungan dengan suatu jembatan, dimana saluran terminal lubang di daerah esophagus (Irianto, 2013).

(16)

5 Gambar 1 : Cacing Nematoda (Sumber : Fox, 2012).

2.1.2.1 Ascaris suum

Askariasis merupakan infeksi yang disebabkan oleh cacing Ascaris sp. Pada ternak babi, askariasis disebabkan oleh infeksi cacing Ascaris suum yang hidup sebagai parasit di dalam usus halus, terutama pada babi muda (Soulsby, 1982).

Klasifikasi Ascaris suum yaitu (Zaman dkk, 1998):

Kingdom : Animalia

Filum : Nemathelminthes

Class : Nematoda

Subclass : Secernentea

Ordo : Ascaridida

Famili : Ascarididae

Genus : Ascaris

Spesies : Ascaris suum

Ascaris suum memiliki tiga bibir tipis di ujung anterior. Terdapat peninggian bergerigi yang dibentuk oleh deretan gigi yang bentuknya mirip dengan segitiga bertepi lurus sama sisi pada permukaan dalam masing-masing bibir. Cacing jantan panjangnya 15-25 cm dan berdiameter 3-4 mm, dengan spikulum sama besar dan kuat dengan panjang sekitar 2 mm dan mempunyai 69-75 papila kaudal. Betinanya 20-40 cm dengan diameter 5-6 mm, dengan vulva terletak di sekitar 1/3 panjang tubuh dari ujung anterior.

Telur cacing berukuran 55-75 x 35-50 μm, mempunyai dinding yang tebal serta mempunyai ciri khas yaitu bagian luarnya dilapisi oleh albumin yang tidak rata sehingga membentuk tonjolan yang bergerigi (Levine, 1990).

Ascaris suum memiliki siklus hidup langsung. Cacing betina mengeluarkan telur 200.000 - 1 juta setiap hari di dalam usus dan keluar bersama tinja. Telurnya tidak bersegmen ketika sampai di tanah (Gambar 2), dan membutuhkan 13-18 hari untuk menjadi infektif di bawah kondisi optimal, atau 31-40 hari pada 18-20 oC. Stadium infektif A. suum yaitu larva stadium ke dua yang masih di dalam kulit telur. Babi terinfeksi dengan menelan telur-telur infektif dan kemudian menetas di dalam usus.

(17)

6 Larva menembus dinding usus dan migrasi menuju hati melalui sistem porta hepatik.

Larva stadium dua tersebut kemudian bermigrasi dan berkembang di dalam hati, menyilih menjadi stadium ke tiga dalam 4-5 hari. Kemudian menuju jantung dan paru- paru melalui aliran darah. Larva tersebut berkembang lebih lanjut pada paru-paru, menyilih menjadi stadium ke empat setelah 5-6 hari, dan kemudian bergerak perlahan dari alveoli ke bronkiola, bronki, dan trakea. Puncak dari perpindahan ini terlihat sekitar 12 hari sesudah infeksi. Larva dibatukkan, tertelan, dan mencapai usus kecil dan kemudian menjadi dewasa. Banyak larva stadium ke empat ditemukan dalam usus halus 2-3 minggu sesudah infeksi. Masa prepaten 7-9 minggu, dan sedikit sekali cacing dewasa yang hidup lebih dari satu tahun (Levine, 1990).

Pada stadium larva, Ascaris suum dapat mengakibatkan terbentuknya jejas berwarna putih di bawah kapsul hati (milk spot), bronchitis, dan pneumonia. Sedangkan cacing dewasa dalam usus halus dengan jumlah yang banyak sering menyebabkan penyumbatan pada usus, sehingga terjadi kolik dan iritasi hingga enteritis lalu timbul gejala diare, demam dan anemia. Selain itu teramati kelemahan umum seperti dehidrasi, penurunan berat badan dan kekurusan (Urquhart, et al.,1985).

Gambar 2 : Telur Ascaris suum (Sumber : Dewi, 2007).

2.2 Deskripsi Umum Ternak Babi

Babi adalah ternak monogastrik dan bersifat prolifik (banyak anak tiap kelahiran), dan dalam umur enam bulan sudah dapat dipasarkan. Selain itu ternak babi efisien dalam mengkonversi berbagai sisa pertanian dan restoran menjadi daging (Ensminger, 1991). Babi merupakan hewan yang dipelihara untuk tujuan tertentu, salah satunya untuk memenuhi kebutuhan akan daging atau protein hewani bagi manusia.

Ternak babi merupakan salah satu komoditas ternak penghasil daging yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan, karena mempunyai sifat-sifat menguntungkan yaitu:

pertumbuhannya cepat, efisien dalam mengubah pakan menjadi daging dan memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap makanan dan lingkungan (Silalahi dan Sinaga, 2010).

(18)

7 Adapun klasifikasi babi (Sihombing, 1997), yaitu :

Kingdom : Animalia Filum : Chordata Sub Filum : Vertebrata Class : Mammalia Ordo : Artiodactyla Famili : Suidae Genus : Sus Spesies : Sus scrofa

Sus vittatus / Sus strozzli Sus cristatus

Sus leucomystax Sus celebensis Sus verrucosus Sus barbatus 2.2.1 Babi Lokal Indonesia

Babi secara luas di seluruh dunia terdiri dari berbagai bangsa dan delapan spesies, dimana 52 bangsa diantaranya tersebar pada beberapa negara di kawasan Asia Tenggara (FAO, 2009). Indonesia memiliki lima spesies babi dari delapan spesies yang ada di dunia (Rothschild et al., 2011). Populasi babi terkonsentrasi pada beberapa daerah antara lain di Bali, Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi dan Papua.

Di Indonesia, beberapa bangsa babi lokal berasal dari Sus scrofa dan salah satu babi lokal yang berasal dari Sus scrofa yaitu babi Bali. Menurut Hartatik et al. (2014) alel cytochrome B yang dimiliki oleh babi Bali sama dengan alel babi Landrace. Jadi babi Bali dan Kupang merupakan babi yang berasal dari Sus scrofa. Beberapa bangsa babi lokal seperti babi Bali dan Kupang juga dipelihara oleh peternak. Selain babi Bali ada beberapa babi lokal lain yang dipelihara oleh peternak seperti babi Timor, Nias, Papua, Toba, Samosir dan Toraja (Gea 2009; Hartatik 2013; Hartatik et al. 2014;

Siagian 2014). Menurut Rothschild et al (2011) ada empat babi lokal yang ada di Indonesia yang tidak berasal dari spesies Sus scrofa yaitu Sus verrucosus (Javan warty pig), Susbarbatus (bearded pig), Sus celebensis (Sulawesi wartypig) dan Babyroussa babyrussa (Babirusa).

Pada babi lokal ada beberapa karakteristik yang dapat dilihat. Babi Timor atau babi Kupang memiliki karakteristik ukuran tubuh sedang, bentuk kepala kecil, taring tidak melekat saat sudah menua, tulang punggung tidak kuat sehingga sewaktu-waktu bagian perut menyentuh tanah jika status kondisi gemuk atau sedang bunting. Warnanya bermacam-macam dominan hitam, diikuti belang hitam, putih dan merah bata, berambut kasar terutama pada punggung, kaki dan moncong (Hartatik et al. 2014; Siagian, 2014).

Babi ini gesit dan pada babi betina umur bunting pertama kurang lebih empat bulan (Siagian, 2014). Ada tiga bangsa babi lokal yang berada di Provinsi Sumatera Utara dan

(19)

8 hidup di empat daerah yaitu babi Nias yang hidup di Nias, babi Toba atau babi Batak yang hidup di daerah Toba Samosir dan Tapanuli Utara dan babi Samosir yang hidup di daerah Samosir, babi lokal tersebut secara umum memiliki karakteristik rambut berwarna hitam keabu-abuan, punggung melengkung dan kadang ada yang datar, bagian badan besar dan rendah sehingga bagian perutnya menyentuh tanah, moncongnya panjang serta telinganya sedikit runcing dan kecil (Gea, 2009).

2.2.2 Babi di Toraja

Babi Toraja ditemukan di Provinsi Sulawesi Selatan khususnya di daerah Tana Toraja dan Toraja Utara. Jenis babi yang dipelihara oleh masyarakat Toraja adalah babi lokal, namun seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, babi lokal kini telah disilangkan dengan babi impor. Babi Toraja yang telah dipelihara dari generasi ke generasi sering disebut babi kampong (menurut bahasa Toraja). Jumlah babi yang dipelihara tiap keluarga berbeda-beda mulai dari 1-20 ekor babi, tergantung dari kemampuan ekonomi suatu keluarga (Siagian, 2014). Dari data BPS Sulsel tahun 2013, populasi babi di Toraja Utara yaitu 297.583 ekor.

Babi Toraja memiliki karakteristik warna hitam atau kehitam-hitaman, kepala kecil, telinga agak runcing, punggung melengkung dan ukuran tubuh sedang seperti pada gambar.

Gambar 3 : Babi Toraja

Sistem pemeliharan babi di Toraja dilakukan secara tradisional dan semi intensif.

Pakan yang diberikan pada babi juga bervariasi tergantung dari keadaan ekonomi tiap keluarga. Biasanya pakan yang diberikan berupa dedaunan hijau yang dicampurkan dengan dedak maupun makanan sisa dari dapur. Pakan ini dimasak dahulu sebelum diberikan, namun ada juga yang langsung mencampurkan pakan tanpa dimasak terlebih dahulu dan langsung diberikan (Siagian, 2014).

2.3 Penanggulangan Terhadap Infeksi Cacing

Penanggulangan terhadap infeksi cacing yang saat ini sering dilakukan adalah dengan memberi obat cacing (antihelmintik). Pemberian obat cacing harus dilakukan secara berkala, karena ternak dapat terinfeksi melalui rumput atau pakan (Larsen, 2000).

Penanganan dan pengendalian helminthiasis atau kasus kecacingan dapat dilakukan

(20)

9 dengan pemberian antelmintik (Astiti dkk., 2011). Antelmintik atau obat cacing adalah obat yang digunakan untuk mengurangi atau menghilangkan cacing dalam lumen usus atau jaringan tubuh hewan atau manusia. Kebanyakan obat cacing efektif terhadap satu macam cacing, sehingga diperlukan diagnosis tepat sebelum menggunakan obat tertentu.

Beberapa obat yang sering digunakan seperti albendazole, levamisol, mebendazole dan piperazine (Syarif dan Elysabeth, 2007).

Albendazole adalah obat cacing derivat benzimidazol berspektrum luas yang dapat diberikan secara peroral. Dosis tunggal efektif untuk infeksi cacing nematoda.

Obat ini bekerja dengan cara berikatan dengan β-tubulin parasit sehingga menghambat polimerisasi mikrotubulus dan memblok pengambilan glukosa oleh larva maupun cacing dewasa, sehingga persediaan glikogen menurun dan pembentukan ATP sebagai sumber energi berkurang, akibatnya cacing akan mati (Syarif dan Elysabeth, 2007). Obat ini juga memiliki efek larvicid (membunuh larva) pada penyakit hydatid, cysticercosis, ascariasis, dan infeksi cacing tambang serta efek ovicid (membunuh telur) pada ascariasis, ancylostomiasis, dan trichuriasis (Plumb, 2002).

2.4 Deskripsi Umum Pinang 2.4.1 Deskripsi Umum Pinang

Pinang merupakan tanaman yang sekeluarga dengan kelapa. Salah satu jenis tumbuhan monokotil ini tergolong palem-paleman. Secara rinci, sistematika pinang diuraikan sebagai berikut (Syamsuhidayat and Hutapea, 1991):

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyte Sub divisi : Angiospermae Class : Monocotyledonae Ordo : Arecales

Famili : Arecaceae/palmae Genus : Areca

Spesies : Areca catechu L.

Pinang (Areca catechu L) merupakan tanaman famili Arecaceae yang dapat mencapai tinggi 15-20 m dengan batang tegak lurus bergaris tengah 15 cm. Buahnya berkecambah setelah 1,5 bulan dan 4 bulan kemudian mempunyai jambul daun-daun kecil yang belum terbuka. Pembentukan batang baru terjadi setelah 2 tahun dan berbuah pada umur 5-8 tahun tergantung keadaan tanah (Depkes RI, 1989).

Bagian-bagian dari tanaman pinang antara lain: (a) Akar: berakar serabut, putih kotor. (b). Batang: tegak lurus dengan tinggi 10-30 meter, bergaris tengah 15 cm, tidak bercabang dengan bekas daun yang lepas. (c) Daun: majemuk menyirip tumbuh berkumpul di ujung batang membentuk roset batang. (d) Bunga: tongkol bunga dengan seludang panjang yang mudah rontok, keluar dari bawah roset daun, panjang sekitar 75 cm, dengan tangkai pendek bercabang rangkap. (f) Biji: biji satu, bentuknya seperti kerucut pendek dengan ujung membulat, pangkal agak datar dengan suatu lekukan dangkal, panjang 15-30 mm, permukaan luar berwarna kecoklatan sampe coklat

(21)

10 kemerahan, agak berlekuk-lekuk menyerupai jala dengan warna yang lebih muda. Pada bidang irisan biji tampak perisperm berwarna coklat tua dengan lipatan tidak beraturan (Depkes RI, 1989). Tanaman ini berbunga pada awal dan akhir musim hujan dan memiliki masa hidup 25-30 tahun.

(A) (B)

Gambar 4: (A) Pohon Pinang, (B) Biji Pinang

2.4.2 Manfaat Biji Pinang

Tanaman pinang sangat akrab bagi masyarakat Indonesia terkhusus bagi masyarakat pedesaan. Masyarakat Biak dan Serui (Papua) memanfaatkan biji pinang muda sebagai obat untuk mengecilkan rahim setelah melahirkan oleh kaum wanita dengan cara memasak buah pinang muda tersebut dan airnya diminum selama satu minggu. Umbut pinang muda digunakan untuk mengobati patah tulang, dan sakit pinggang (salah urat). Selain itu umbut dapat juga dimakan sebagai lalab atau acar.

Daun pinang berguna untuk mengatasi masalah tidak nafsu makan, dan sakit pinggang.

Selain sebagai obat, pelepah daun digunakan untuk pembungkus makanan dan bahan campuran untuk topi. Sabut pinang rasanya hangat dan pahit, digunakan untuk gangguan pencernaan, sembelit dan edema. Biji dan kulit biji bagian dalam dapat juga digunakan untuk menguatkan gigi goyah bersama-sama dengan sirih. Air rendaman biji pinang muda digunakan untuk obat sakit mata oleh suku Dayak Kendayan di Kalimantan Barat (Kristina dan Syahid, 2007).

Biji pinang, oleh masyarakat Desa Semayang Kutai-Kalimantan Timur, digunakan untuk mengatasi penyakit seperti hidung berdarah, bisul, koreng, kudis, cacingan, diare, dan disentri. Biji pinang yang aromatis memiliki efek antioksidan dan antimutagenik, serta bersifat memabukkan, sehingga telah lama digunakan sebagai taeniafuge untuk mengobati cacingan selain itu pinang digunakan juga untuk mengatasi bengkak karna retensi cairan (edema), luka, batuk berdahak, terlambat menstruasi, keputihan, beri-beri, malaria, dan memperkecil pupil mata (Kristina dan Syahid, 2007).

(22)

11 2.4.3 Kandungan Biji Pinang

Kandungan utama biji pinang adalah karbohidrat, lemak, serat, polyphenol termasuk flavonoids dan tanin, alkaloid dan mineral (IARC, 2004). Biji pinang mengandung catechin, tanin (15%), asam galat, gum dan alkaloid seperti arekolin (0.07%), arekain (1%). Arekaidin and guvakolin, guvasin and choline ada dalam jumlah sedikit. Dari kesemua kandungannya, arekolin merupakan alkaloid yang paling penting (Reena et al., 2009 dalam Joshi et al., 2012).

Biji buah pinang mengandung alkaloid, seperti arekolin (C8 H13 NO2), arekolidine, arekain, guvakolin, guvasine dan isoguvasine (Wang et al., 1996). Jenis alkaloid yang dominan yang terdapat di dalam biji pinang dan yang kemungkinannya mempunyai efek antelmintik adalah arekolin (Suryati dan Suprapto, 1988). Arekolin bersifat racun bagi beberapa jenis cacing (Lutony, 1993; Suharsono, 1994) dan menyebabkan paralisis sementara (Firgorita, 1991).

Nonaka (1989) menyebutkan bahwa biji buah pinang mengandung proantosianidin, yaitu suatu tanin terkondensasi yang termasuk dalam golongan flavonoid. Senyawa tanin diduga memiliki kemampuan daya antelmintik yang mampu menghambat enzim dan merusak membran (Shahidi dan Naczk, 1995). Terhambatnya kerja enzim dapat menyebabkan proses metabolisme pencernaan terganggu sehingga cacing akan kekurangan nutrisi pada akhirnya cacing akan mati karena kekurangan tenaga. Membran cacing yang rusak karena tanin menyebabkan cacing paralisis yang akhirnya mati. Tanin umumnya berasal dari senyawa polifenol yang memiliki kemampuan untuk mengendapkan protein dengan membentuk koopolimer yang tidak larut dalam air (Harborne, 1987). Tanin juga memiliki aktivitas ovasidal, yang dapat mengikat telur cacing yang lapisan luarnya terdiri atas protein sehingga pembelahan sel didalam telur tidak akan berlangsung pada akhirnya larva tidak terbentuk (Tiwow et al., 2013). Pada pengobatan hewan, ekstrak biji pinang digunakan untuk pengobatan cacing pada anjing dan ternak, dan untuk mengobati masalah pencernaan pada kuda (Hannan et al., 2012).

(23)

12

3. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini berlangsung dari Agustus hingga Oktober 2016. Pengambilan sampel dilakukan di Pangala, Kecamatan Rindingallo, Kabupaten Toraja Utara.

Sedangkan tempat penelitian dilakukan di Laboratorium Parasitologi Balai Besar Veteriner, Maros.

3.2 Bahan Penelitian

Bahan penelitian yang digunakan adalah feses babi, albendazole, garam jenuh (NaCl), es batu, formalin 10%, kapas, air, serta biji pinang (Areca catechu L), albendazole.

3.3 Alat Penelitian

Alat yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah cool box, plastik klip, sendok plastik, kertas labeling, pipet tetes, gelas ukur, saringan, kain kasa, timbangan analitik digital, kamar hitung (Counting Chamber), kamera, sarung tangan, masker, timbangan, kompor, panci, pisau, spoit, tabung sentrifus, alat sentrifugasi, objek glass, cover glass, dan mikroskop.

3.4 Perlakuan

Pemeriksaan dilakukan baik secara kualitatif maupun secara kuantitaif. Babi yang dinyatakan positif memiliki cacing Ascaris suum, akan diberikan perlakuan.

Jumlah sampel yang digunakan adalah 16 ekor babi. 16 ekor babi dibagi menjadi 4 kelompok yaitu kelompok kontrol positif dengan menggunakan albendazole dan kelompok dengan pemberian air rebusan biji pinang dengan konsentrasi berturut-turut 20%, 40% dan 80% diberikan selama 9 hari dan dilakukan pemeriksaan tiap 3 hari.

Dalam pemeriksaan yang dilakukan kembali tiap 3 hari, dilakukan pemeriksaan identifikasi telur cacing Ascaris summ dan menentukan derajat keparahannya sudah berkurang. Perlakuan terhadap babi untuk pengambilan sampel serta saat pemberian perlakuan dengan memberi tanda setiap babi yang diberi perlakuan dengan pemberian nomor pada babi serta menandai setiap ciri khusus dari babi sehinggga tidak terjadi kesalahan dalam pengambilan sampel.

Pemeriksaan kualitatif dimaksudkan untuk mengidentifikasi jenis cacing yang menginfeksi babi yaitu cacing Ascaris suum berdasarkan bentuk dan ukuran telur, sedangkan pemeriksaan kuantitatif dimaksudkan mengetahui banyaknya Eggs Per Gram (EPG) yaitu jumlah telur cacing per gram feses yang menggambarkan berat ringannya derajat infeksi. Hasil pengamatan dijelaskan secara deskriptif yaitu menjelaskan tentang jenis cacing yang menginfestasi babi dan jumlah telur cacing babi (Soulsby, 1982).

3.5 Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel dilakukan bulan Agustus 2016 pada peternakan babi milik warga di desa Pangala dengan pengambilan sampel acak / random sampling. Sampel yang diambil secara random untuk penulisan awal (baseline) sebanyak 40 ekor babi yang memiliki berat badan 10kg–20 kg, sampel yang diambil adalah feses segar babi.

Feses diambil menggunakan sendok plastik kemudian dimasukkan ke dalam klip plastik

(24)

13 yang sudah diberikan larutan formalin 10%. Klip plastik yang berisi sampel feses segar kemudian dimasukkan ke dalam coolbox untuk menjaga agar feses tetap dalam kondisi yang baik dan tidak rusak yang selanjutnya akan dibawa menuju Laboratorium BBVet Maros untuk dilakukan pemeriksaan identifikasi telur cacing Ascaris suum.

Pengulangan pengambilan sampel dilakukan setiap 3 hari setelah diberikan perlakuan dengan albendazole dan air rebusan biji pinang konsentrasi tertentu, cara pengambilan sampel dilakukan sama seperti pengambilan sampel awal.

3.6 Prosedur Pemeriksaan Feses

Penelitian ini dilakukan dengan metode apung dengan sentrifugasi dan jika hasilnya positif maka selanjutnya akan dilakukan perhitungan telur cacing per gram (EPG) dengan menggunakan metode Mc. Master.

a. Metode Uji Apung

Sampel feses ditimbang sebanyak 2 gram dengan menggunakan timbangan analitik digital, selanjutnya ditambahkan NaCl sebanyak 30 ml dan diaduk sampai homogen. Kemudian dilakukan penyaringan untuk memisahkan ampas feses selajutnya air saringan tersebut dituangkan ke dalam tabung sentrifus sampai setinggi batas tabung sentrifus. Sentrifugasi dilakukan dengan kecepatan 1500 rpm selama 5 menit. Tabung sentrifus diletakkan di atas rak dengan posisi tegak lurus, diteteskan NaCl jenuh dengan pipet tetes sampai permukaan cairan di dalam tabung sentrifus menjadi cembung, tempelkan cover glass di atas permukaan yang cembung tadi dengan hati-hati dan biarkan selama 2-3 menit selanjutnya diletakkan diatas objek glass dan diperiksa di bawah mikroskop dengan pembesaran 100x (Soulsby, 1982).

b. Metode Mc. Master

Sampel feses ditimbang sebanyak 2 gram dengan menggunakan timbangan analitik digital, selanjutnya ditambahkan NaCl sebanyak 28 ml dan diaduk sampai homogen. Kemudian dilakukan penyaringan untuk memisahkan ampas feses selanjutnya air saringan diambil menggunakan pipet dan dimasukkan ke dalam kamar hitung (Counting Chamber). Diamkan larutan yang berada dalam counting chamber (kamar hitung) selama 15 menit supaya telur mengapung ke permukaan. Periksa counting chamber (kamar hitung) dengan menggunakan mikroskop pembesaran 100 x dan fokuskan pada tiap-tiap kolom dimana dalam 1 chamber (kamar) berisi 6 kolom. Dalam 1 chamber (kamar) berisi 0,15 ml. Pencampuran berlaku pada tiap telur atau ookista berbeda dalam 1 gram tinja. Jumlah telur yang terhitung pada kedua chamber (kamar) dikalikan 100 (Soulsby, 1982).

3.7 Pembuatan Air Rebusan Biji Pinang

Buah pinang yang digunakan adalah yang berwarna hijau tua, cara pembuatan rebusan biji pinang dengan mengambil pinang yang masih muda kemudian pinang dibelah dua, lalu bijinya diambil. Biji yang diperoleh kemudian diiris tipis-tipis, lalu dikeringkan dan dihaluskan. Pembuatan konsentrasi air rebusan biji pinang dilakukan dengan menimbang biji pinang yang dan dihaluskan dengan perbandingan 20 mg biji pinang/100 ml air, untuk konsentrasi 20%. Begitu juga yang dilakukan utuk

(25)

14 mendapatkan air rebusan biji pinang dengan konsentrasi 40% dan 80%. Setelah ditimbang, lalu dimasukkan kedalam wadah, dan ditambahkan air sesuai dengan konsentrasi masing-masing kelompok, lalu dilakukan proses perebusan. Proses perebusan dilakukan selama 15 menit dengan suhu 90oC. Hasil rebusan biji pinang lalu di cekokan kedalam mulut babi, atau dicampurkan dengan pakan.

3.8Analisis Data

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental, data yang didapat lalu di analisis dan dilakukan perhitungan untuk mengetahui penurunan jumlah telur cacing dengan menggunakan rumus (Nawaz dkk, 2014).

EPG sebelum perlakuan – EPG setelah perlakuan

FECR(%) = x 100

EPG sebelum perlakuan

Ket : FECR = Fecal Egg Count Reduction EPG = Eggs Per Gram

(26)

15

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

Penelitian mengenai pengaruh pemberian air rebusan biji pinang terhadap infeksi cacing Ascaris suum secara in vivo pada babi, telah dilaksanakan pada bulan Agustus hingga Oktober 2016. Sampel awal feses babi ada 40 sampel, kemudian dilakukan identifikasi telur cacing dengan metode uji apung.

Gambar 5. Telur cacing Ascaris suum, dengan Uji Apung

Hasil pengamatan mikroskop pada gambar di atas menunjukkan bahwa telur cacing tersebut berbentuk oval pendek dan lapisan luarnya yang bergranul adalah protein dan dalam telur merupakan membrane vitelinus yang bergelombang hal ini sesuai dengan literatur dari Miyazaki (1991) yang menyatakan bahwa telur Ascaris suum yang dibuahi berbentuk oval pendek dengan panjang 55-75 μm dan lebar 35- 50μm. Ascaris suum memiliki siklus hidup langsung. Cacing betina mengeluarkan telur 200.000 – 1 juta setiap hari di dalam usus dan keluar bersama tinja. Telurnya tidak bersegmen ketika sampai di tanah, dan membutuhkan 13-18 hari untuk menjadi infektif di bawah kondisi optimal, atau 31-40 hari pada 18-20 oC (Dewi, 2007).

Infeksi dari cacing ini pada babi sering tidak menunjukkan gejala klinis yang nyata. Cacing dewasa hidup di dalam rongga usus dan mendapat makanan berupa makanan yang setengah dicernakan dan dari sel-sel mukosa usus. Cacing ini juga mempunyai kemampuan menghambat pencernaan protein dengan mengeluarkan zat penghambat tripsin. Akibatnya babi akan mengalami kelesuan dan menjadi lebih rentan terinfeksi penyakit lain. Pada infeksi yang berat cacing ini dapat menyebabkan penyumbatan pada usus (Dewi, 2007).

(27)

16 Tabel 1. Hasil Uji Identifikasi Telur Cacing Ascaris suum dengan Metode Uji Apung

dan Hasil Uji dengan Metode Mc. Master

No Kode

Sampel

Ascaris suum Identifikasi

Uji Mc. Master

1. 1 Positif 1900

2. 3 Positif -

3. 4 Positif 2500

4. 5 Positif 1000

5. 8 Positif -

6. 13 Positif 200

7. 14 Positif 2300

8. 15 Positif 2800

9. 16 Positif -

10. 18 Positif 100

11. 19 Positif 2500

12. 20 Positif 100

13. 21 Positif 200

14. 22 Positif 1800

15. 28 Positif 400

16. 29 Positif 1200

17. 33 Positif -

18. 34 Positif -

19. 35 Positif 500

20. 37 Positif 2100

21. 38 Positif -

22. 39 Positif 1100

Dari 40 sampel awal yang diidentifikasi dengan metode uji apung, ditemukan 22 sampel yang positif terinfeksi cacing nematoda jenis Ascaris suum, lalu dilakukan uji Mc. Master, untuk menghitung jumlah telur cacing. Berikut adalah gambar pemeriksaan dengan uji Mc.Master :

Gambar 6. Uji Mc. Master (tampak telur Ascaris suum)

(28)

17 Jumlah babi yang digunakan yaitu 16 ekor dari 22 ekor babi yang dinyatakan positif terhadap cacing Ascaris suum, karena ada 5 sampel yang termasuk infeksi ringan dan jumlah telur cacing yang sedikit sehingga yang saat diuji Mc. Master, telur cacing tidak terlihat. 16 sampel ini lalu dibagi dalam 4 kelompok yaitu kelompok kontrol, dan 3 kelompok perlakuan dengan biji pinang yang tiap 3 hari selama 9 hari dilakukan pengambilan sampel, sehingga total keseluruhan sampel feses babi 48 sampel.

Kelompok pertama adalah kontrol positif dengan pemberian albendazole, kelompok kedua dengan air rebusan biji pinang konsentrasi 20%, kelompok ketiga dengan air rebusan biji pinang 40%, kelompok ke empat dengan air rebusan biji pinang 80%. Pada saat proses pemeriksaan dengan uji Mc.Master feses ditimbang sebanyak 2 gram.

Sehingga hasil perhitungan telur cacing dengan uji Mc.Master dibagi 2, untuk mendapatkan perhitungan per gram feses. Uji Mc. Master dilakukan untuk sampel yang dinyatakan positif pada Uji Identifikasi telur cacing. Uji Mc Master dilakukan untuk mengetahui jumlah telur cacing sehingga dapat terlihat ada perubahan setelah diberikan perlakuan dengan air rebusan biji pinang.

Berikut adalah hasil uji Mc. Master sebelum dan setelah diberikan perlakuan:

Tabel 2. Hasil Uji Mc. Master Sebelum dan Setelah Perlakuan

No Perlakuan Kode Sampel

Sebelum Perlakuan

Setelah Perlakuan

Hari ke 3 Hari ke 6 Hari ke 9 1.

Albendazole

14 2300 400 400 200

2. 18 100 - - -

3. 22 1800 2300 300 400

4. 5 1000 500 200 100

5. Air Rebusan Biji Pinang

20%

13 200 - - -

6. 21 200 600 2400 800

7. 29 1200 1400 1000 200

8. 4 2500 600 100 -

9. Air Rebusan Biji Pinang

40%

19 2500 - - -

10. 35 500 1000 700 500

11. 37 2100 1500 300 100

12. 20 100 - 500 -

13. Air

Rrebusan Biji Pinang

80%

15 2800 100 - -

14. 39 1100 1000 400 500

15. 28 400 500 1400 200

16. 1 1900 1700 400 -

Kusumamihardja (1992), menyatakan bahwa perbedaan jumlah perhitungan telur per gram pada inang definitif dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu, jenis cacing, umur cacing, waktu produksi telur, jumlah tinja yang dihasilkan oleh host definitif,

(29)

18 kepadatan atau konsistensi tinja, dan penyebaran telur dalam tinja. Jumlah ttg juga dapat digunakan untuk menentukan tingkat infeksi cacing terhadap host definitif. Jika ditemukan jumlah telur cacing nematoda kurang dari 5000 telur per gram tinja maka termasuk infeksi ringan. Bila ditemukan 5000-25000 telur per gram tinja maka infeksi termasuk infeksi sedang dan jika ditemukan lebih dari 25000 telur per gram tinja maka termasuk infeksi berat (Levine, 1968). Dari hasil uji Mc.Master diatas dan dibandingkan dengan teori yang ada, maka dapat disimpulkan bahwa babi yang digunakan untuk penelitian ini, adalah babi dengan kondisi infeksi yang ringan dimana jumlah telur cacing kurang dari 5000 telur per gram tinja.

FECR (Fecal Egg Count Reduction) digunakan untuk mengetahui pengaruh dari pemberian air rebusan biji pinang terhadap telur cacing Ascaris suum, dengan rumus sebagai berikut :

EPG sebelum perlakuan – EPG setelah perlakuan

FECR(%) = x 100

EPG sebelum perlakuan Ket : EPG = Egg Per Gram Feses

Contoh perhitungan dengan FECR : Albendzole hari ke 3 (rata-rata) : 1300 – 800 500

FECR = x 100 x 100 = 0,38 x 100 = 38 %

1300 1300

Dari hasil perhitungan dengan FECR maka di dapat hasil dalam tabel berikut : Tabel 3. Hasil perhitungan dengan FECR

Perlakuan Hari 3 Hari 6 Hari 9

Albendazole 38 % 82 % 86 %

Air Rebusan Biji Pinang 20 %

36 % 14 % 75 %

Air Rebusan Biji Pinang 40 %

52 % 71 % 88 %

Air Rebusan Biji Pinang 80 %

32 % 64 % 89 %

(30)

19 Dari tabel hasil perhitungan dengan FECR, kemudian dilakukan penghitungan rata-rata sehingga dapat dibuat grafik seperti berikut :

Kelompok perlakuan

Gambar 7. Rata-rata Penurunan Jumlah Telur Cacing

4.2 Pembahasan

Askariasis merupakan infeksi yang disebabkan oleh cacing Ascaris sp. Pada ternak babi, askariasis disebabkan oleh infeksi cacing Ascaris suum yang hidup sebagai parasit di dalam usus halus, terutama pada babi muda (Soulsby, 1982). Cara penularan cacing Ascaris suum adalah melalui telur yang dikeluarkan bersama tinja induk semang yang terinfeksi, kemudian berkembang menjadi bentuk infektif dalam waktu 18 hari atau 30-40 hari pada suhu 18-20oC. Stadium infektif merupakan larva stadium kedua yang masih di dalam kulit telur. Babi terinfeksi Ascaris suum apabila menelan makanan atau minuman yang terkontaminasi telur infektif (Levine, 1994). Gejala klinis yang ditimbulkan seperti penyumbatan pada usus, lalu terjadi kolik dan iritasi hingga enteritis sehingga timbul gejala diare, demam dan anemia. Selain itu teramati kelemahan umum seperti dehidrasi, penurunan berat badan dan kekurusan (Urquhart, et al., 1985).

Askariasis pada ternak dapat dicegah dengan menjaga kebersihan kandang dan memberikan antelmintik secara rutin pada ternak. Air rebusan biji pinang dapat dijadikan alternatif untuk mengatasi hal tersebut. Air rebusan biji pinang memiliki pengaruh terhadap askariasis dapat dilihat dari adanya penurunan jumlah telur sebelum perlakuan dan setelah diberikan perlakuan dengan air rebusan biji pinang, seperti yang terlihat pada perhitungan FECR (Fecal Egg Count Reduction). Dari hasil perhitungan dengan FECR, konsentrasi air rebusan biji pinang yang paling baik yaitu konsentrasi 40%. Sebelumnya, pembagian kelompok dilakukan secara acak untuk 1 kelompok kontrol dan 3 kelompok perlakuan dan penelitian ini dilakukan secara in vivo, sehingga

69

42

70

62

0 10 20 30 40 50 60 70 80

Albendazole Pinang 20% Pinang 40% Pinang 80%

Nilai rata-rata penurunan jumlah telur cacing

(31)

20 respon dari tubuh hewan coba terhadap perlakuan yang diberikan akan berpengaruh sehingga akan berbeda-beda pula hasilnya. Hal lain yang juga berpengaruh adalah jarak waktu yang cukup lama antara perhitungan jumlah telur cacing sebelum perlakuan dengan waktu pemberian perlakuan, dan pada rentang waktu itu siklus hidup dari cacing terus berlanjut sehingga saat pemberian perlakuan, jumlah telur cacing dapat bertambah ataupun berkurang.

Penelitian mengenai pengaruh pemberian air rebusan biji pinang ini, dilakukan dengan membagi sampel secara acak dalam 4 kelompok yakni 1 kelompok kontrol dan 3 kelompok perlakuan. Kelompok kontrol yaitu kontrol positif pada penelitian ini menggunakan Albendazole. Albendazole merupakan antihelmintik dengan spektrum yang sangat luas, termasuk dalam golongan Benzimidazole. Pada parasit cacing, Albendazole dan metabolit-nya diperkirakan bekerja dengan jalan menghambat sintesis mikrotubulus, dengan demikian mengurangi pengambilan glucose secara irreversible, mengakibatkan cacing lumpuh (Bertram.G.K, 2004).

Pada penelitian ini, air rebusan biji pinang digunakan sebagai perlakuan dimana memang sejak dahulu, biji pinang banyak digunakan oleh masyarakat tradisional untuk menangani berbagai penyakit, salah satu diantaranya yaitu sebagai obat cacing.

Kandungan utama biji pinang adalah karbohidrat, lemak, serat, polyphenol termasuk flavonoids dan tanin, alkaloid dan mineral (IARC, 2004). Biji pinang mengandung alkaloid, seperti arekolin (C8 H13 NO2), arekolidine, arekain, guvakolin, guvasine dan isoguvasine (Wang et al., 1996). Biji pinang mengandung catechin, tanin (15%), asam galat, gum dan alkaloid seperti arekolin (0.07%), arekain (1%). Arekaidin and guvakolin, guvasin and choline ada dalam jumlah sedikit. Dari kesemua kandungannya, arekolin merupakan alkaloid yang paling penting (Reena et al., 2009 dalam Joshi et al., 2012).

Kandungan biji pinang yang diduga memiliki khasiat sebagai obat cacing, yaitu arekolin dan tanin. Arekolin merupakan alkaloid utama yang terdapat dalam biji pinang dan menjadi alkaloid terpenting dalam fisiologinya, selain arekolin, arekain, guvakolin, guvasin, dan isoguvasin. Arekolin bersifat racun bagi beberapa jenis cacing (Lutony, 1993; Suharsono, 1994) dan menyebabkan paralisis sementara, arekolin bekerja dengan mengganggu aliran impuls saraf pada akson, (Firgorita, 1991). Kandungan biji pinang yang juga memiliki efek antelmintik adalah tannin. Red tannin pada pinang diketahui sebesar 15%, tanin pada pinang bekerja dengan menghambat kerja enzim dan merusak membran. Saat kerja enzim terhambat, dapat menyebabkan proses metabolisme pencernaan terganggu, sehingga cacing akan kekurangan nutrisi dan akhirnya mati.

Tanin yang merusak membran, dapat menyebabkan paralisis pada cacing dan akhirnya cacing akan mati (Nonaka, 1989).

Masalah kecacingan memang sering terjadi pada ternak termasuk babi, di desa pangala, jenis cacing nematoda yang sering menyerang ternak babi, yaitu Ascaris suum.

Ada beberapa faktor yang diduga berpengaruh terhadap tingginya kasus ascariasis akibat jenis cacing ini yaitu :

 Faktor lingkungan

Desa pangala merupakan salah satu desa yang dikelilingi oleh gunung, sehingga suhu udara di tempat ini cukup rendah, sementara suhu ideal untuk

(32)

21 pertumbuhan telur dan larva cacing Ascaris suum berkisar antara 23oC sampai 30o C, (Rasmaliah, 2001).

 Faktor kebersihan kandang

Di desa Pangala, pemeliharaan babi dilakukan dengan semi intensif yaitu ternak babi dipelihara di dalam kandang. Namun perawatan yang dilakukan kurang baik, dimana kandangnya tidak dibersihkan secara rutin, sehingga kontaminasi dari feses babi dengan pakan sulit dihindari. Sehingga apabila terdapat larva infektif pada pakan yang terkontaminasi, akan sangat mudah masuk kedalam tubuh dan berkembang sehingga semakin tinggi pula angka kejadian ascariasis. Bila terjadi kasus seperti ini, siklus hidup dari cacing akan sulit untuk di putus, sehingga derajat keparahannya akan semakin meningkat.

Kasus helmintiasis saluran pencernaan yang sering terjadi disebabkan oleh berbagai factor diantaranya kualitas kandang, sanitasi, dan hygiene, kepadatan kandang, dan temperature, (Egido et al.,2001; Levine, 1990).

 Faktor Pemberian obat cacing

Antihelmintik atau obat cacing adalah obat yang dapat dan berkhasiat memusnahkan cacing dalam tubuh manusia dan hewan. Antihelmintik mencakup semua zat yang bekerja lokal menghalau cacing dari saluran pencernaan maupun obat-obat sistemis yang membasmi cacing maupun larva cacing yang berada dalam organ dan jaringan tubuh, (Tjay dan Rahardja, 2008). Peternak di desa pangala, belum memahami benar mengenai manfaat pemberian obat cacing secara rutin pada ternak mereka. Sehingga tidak dilakukan pencegahan dengan pemberian obat cacing pada ternak. Alhasil, tingkat pertumbuhan dari ternak yang mengalami kecacingan akan lambat dan akan merugikan peternak itu sendiri.

(33)

22

5 PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan penelitian ini, maka diperoleh kesimpulan bahwa pemberian air rebusan biji pinang memiliki pengaruh untuk menurunkan jumlah telur cacing Ascaris suum pada babi dan konsentrasi air rebusan biji pinang yang paling baik untuk mengatasi cacing Ascaris suum pada babi adalah konsentrasi 40% dengan nilai rata-rata penurunan jumlah telur cacing yaitu 70%.

5.2 Saran

Berdasarkan penelitian di atas, maka saran yang dapat diberikan adalah penelitian mengenai pengaruh pemberian air rebusan atau infusa sebaiknya dilakukan dengan berfokus pada satu jenis cacing, dan tenggang waktu selama penelitian juga harus diperhatikan, mulai dari pengambilan sampel awal hingga saat perlakuan.

(34)

23

DAFTAR PUSTAKA

Ardana IB dan Putra DKH .2008.Ternak Babi. Udayana University Press.Bali.

Arifin, C. Dan Soedarmono, 1982. Parasit Temak Dan Cara Penanggulangannya.

PT.Penebar Swadaya Jakarta .

Astiti, L. G., Panjaitan, T., dan Wirajaswadi. 2011. Uji Efektivitas Preparat Anthelmintik pada Sapi bali di Lombok Tengah. Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Volume 14 Nomor 2,, hlm 77-83.

Beriajaya, Priyanto, D. 2004. Efektifitas Serbuk Daun Nanas Sebagai Antelmintik Pada Sapi Yang Terinfeksi Cacing Nematoda Saluran Pencernaan. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, hlm 162-169.

Bertram G.Katzung. 2004. Farmakologi Dasar dan Klinis, Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Erlangga, Penerbit Salemba Medika, Mc Graw Hill, edisi 8, Hal. 261 – 269 .

Depkes RI. 1989. Materia Medika Indonesia, Jilid V, p. 55-58

Dewi, Kartikan dan R.T.P. Nugraha. 2007. Endoparasit Pada Feses Babi Kutil ( Sus Verrucosus). Vol.16(1):13-19. Jakarta

Egido, J.M., J.A, De Diego., and P, Penin. 2001. The Prevalence of Enteropathy due to Strongyloidiasis in Puerto Maldonado (Peruvian Amazon). Braz J Infect Dis.Vol.5 no.3.

Ensminger, M.E. 1991. Feeds and Nutrition.Second Edition. The Ensminger Publising Company. USA

FAO. 2009. The State of The World’s Animal Genetic Resources for Food and Agricukture. Rischkowsky B, Pilling D, editors. Rome (Italy): Commission on Genetic Resources for Food and Agriculture Food and Agriculture Organization Of The United Nations.

Firgorita, I. 1991. Arecoline hydrobromide pada biji pinang (Areca catechu) dosis efektif terhadap Raillietina spp dan dosis herbal terhadap ayam buras [Skripsi].

Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Fox, M.T. 2012. Gastro Intestinal Parasites of Cattle. The Merck Veterinary Manual.

(35)

24 Gea M. 2009. Penampilan ternak babi lokal periode grower dengan penambahan biotetes ”SOZOFM-4” dalamransum. Bogor (Indonesia): Institut Pertanian Bogor.

Hannan, A., Karan, S and Chatterjee T.K. 2012. Anti-inflammatory and analgesic activity of methanolic axtract of Areca seed collected from Areca cathecu plant grown in Assm. International journal of pharmeceutical and chemical sciences 1(2): 2277-5005

Harborne. 1987. Metode fitokomia, penuntun cara modern menganalisis tumbuhan.

Terjemahan : K. Padmawinata, I. Sudiro. Bandung : Institut Teknologi Bandung.

Hartatik T, Soewandi BDP, Volkandari SD, Tabun AC, Sumadi. 2014. Identification genetics of local pigs, Landrace and Duroc based on qualitative analysis. In:

SUSTAIN. Yogyakarta (Indonesia): Gadjah MadaUniversity. p. 1-6.

Hartatik T. 2013. Analisis genetika ternak lokal. Hartatik T, penyunting. Yogyakarta (Indonesia): Universitas Gadjah Mada Press.

IARC. 2004. WHO-biennial report. International Agency for Research on Cancer, Part I, IARC Group and Cluster reports. Lyon, France, pp: 1-192

Irianto, K. 2013. Parasitolgi Medis (Medical Parasitology). Alfabeta. Bandung.

Joshi, Madhusudan., Kavita Gaonkar, Sneha Mangoankar, Sneha Satarkar. 2012.

Pharmacological Investigation of Areca catechu Extracts For Evaluation of Learning, Memory and Behavior In Rats. India: International Current Pharmaceutical Journal, 1(6): 128-132.

Kaufmann J .1996 . Parasitic Infection of Domestic Animal. ILRI.Germany.

Kristina dan Syahid. 2007. Penggunaan Tanaman Kelapa (Cocos nucifera), Pinang (Areca catechu) Dan Aren (Arenga pinnata) Sebagai Tanaman Obat.

Kusumamihardja, S. 1992. Parasit dan Parasitosis pada Hewan Ternak dan Hewan Piara. Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor. Bogor Larsen, M. 2000. Prosp.ect for controlling animal parasitic nematodes by predacious

micro fungi. Parasitology. 120: S121-S131.

Levine, D. 1990. Edisi Indonesia :Buku Pelajaran Parasitilogi Veteriner. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Original Edition: Textbook Of Veterinary Parasitology.

Lutony, T.L. 1993. Pinang Sirih Komoditi Ekspor Dan Serbaguna. Jakarta: Kanisius

(36)

25 Miyazaki, Ichiro. 1991. An Illustrated Book of Helminthic Zoonoses, Tokyo,

International Medical Foundation of Japan, pp: 296-305.

Nawaz Mohsin, et.al. 2014. In Vitro and In Vivo Anthelmintic Activity Of Leaves Of Azadirachta Indica Dalbergia Sisso and Morus Alba Againts Haemoncus Contortus. Jurnal. Lahore, Pakistan.

Nonaka, G. 1989. Isolation and structure elucidation of tannins, Pure & Appl. Chem, 61 (3): 357-360

Permadi IMI. 2012. Prevalensi Cacing Nematoda Pada Babi. Indonesia Medicus Veterinus. Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Udayana. Bali.

Plumb, D. C. 2002. Veterinary Drug Handbook (3th Edition ed.). South State Avenue, United States of America: Iowa State University Press.

Rasmaliah. 2001. Askariasis dan Cara Penanggulangannya [Internet]. [diunduh 6 Januari 2016ersedi]. Tersedia di http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm- rasmaliah.pdf.

Roberts S, John Jr. 2005. Foundations of Parasitology, Seventh Edition. United States:

McGraw-Hill.

Rothschild MF, Ruvinsky A, Larson G, Gongora J, Cucchi T, DobneyK, Andersson L, Plastow G, Nicholas FW, Moran C, et al. 2011. The genetics of the pig.2nd ed.

Rothschild MF, Ruvinsky A, editors. London: CAB International.

Setiawan, A. 2008. Efektivitas Pemberian Ekstrak Temulawak (Curcuma xanthoriza, Roxb) dan Temuireng (Curcuma aeruginosa, Roxb) Sebagai Kontrol Helminthiasis Terhadap Packed Cell Volume (PCV),Sweating Rate dan Pertambahan Bobot Badan Pedet Sapi Potong Brahman Cross Lepas Sapih.

Skripsi .

Shahidi, F and M. Naczk. 1995. Food phenolics. Technomic Inc, Basel.

Siagian PH. 2014. Pig production in Indonesia. Animal Genetic Resources Knowledge Bank in Taiwan [Internet]. [diunduh 7 Maret 2016]. Tersedia di:

http://www.angrin.tlri.gov. tw/English/2014 Swine/p175-186.pdf

Sihombing, D.T.H. 1997. Petunjuk Praktis Beternak Babi. Fakultas Peternakan, IPB.

Edisi Pertama. Bogor.

Silalahi Marsudin dan Sinaga. 2010. Pengaruh Pemberian Tepung Kulit Buah Pepaya (Carica Papaya) Dalam Ransum Babi Periode Finisher Terhadap Persentase

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Berkaitan dengan masalah kejahatan yang berbasis teknologi, ternyata pernah terjadi kekosongan hukum ( rechtsvacuum ) karena kesulitan dalam merumuskan delik (salah satu

Maka untuk tahun 2001 saja, ada peristiwa pelanggaran hukum yang belum diproses sebanyak 933 kasus, namun data yang diperoleh dari kejaksaan tahun 2001 hanya menerima perkara

Saran yang diajukan dalam penelitian ini adalah PT.TELKOM Surakarta, diharapkan mampu meningkatkan kualitas lingkungan fisik tempat kerja karyawan supaya karyawan merasa

Dimana cara kerja alat ini adalah apabila salah satu dari tiga tombol ditekan maka LED yang terhubung dengan tombol tersebut akan menyala, dan apabila setelah itu terjadi

[r]

Penulisan ilmiah ini membahas tentang pembuatan sistem pakar yang digunakan untuk mendiagnosa suatu penyakit seputar masalah pada masa kehamilan dan persalinan, dalam suatu

Penginputan DAPODIK PAUD,DIMAS dan LKP Pengembangan aplikasi E- monitoring PAUD- DIKMAS Bimtek Pengelolaan DAPODIK TOT Tim DAPODIK pusat, provinsi dan kab/kota Pengolahan

This study evaluated the relative geo-location accuracy of the TerraSAR-X ortho-rectified EEC product by the pixel matching methodology using the pairs of intensity