• Tidak ada hasil yang ditemukan

STRATEGI SOSIAL PENGHAYAT KEPERCAYAAN DI PEDESAAN (PIRUKUNAN PURWA AYU MARDI UTAMA DI NGEBEL, PONOROGO)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "STRATEGI SOSIAL PENGHAYAT KEPERCAYAAN DI PEDESAAN (PIRUKUNAN PURWA AYU MARDI UTAMA DI NGEBEL, PONOROGO)"

Copied!
174
0
0

Teks penuh

(1)

STRATEGI SOSIAL PENGHAYAT KEPERCAYAAN DI PEDESAAN (PIRUKUNAN PURWA AYU MARDI UTAMA DI NGEBEL, PONOROGO)

Tesis

Untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Magister Humaniora (M. Hum) Di Program Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma

Puji Harianto 166322022

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER KAJIAN BUDAYA UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2020

(2)

ii

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING

TESIS

Strategi Sosial Penghayat Kepercayaan di Pedesaan (Pirukunan Purwa Ayu Mardi Utama di Ngebel, Ponorogo)

Oleh:

Puji Harianto NIM: 166322022

Telah disetujui oleh:

Y. Tri Subagya, M.A, Ph.D

Pembimbing Tanggal 30 November 2020

Y. Tri Subagya, M.A, Ph.D

Kaprodi Tanggal 30 November 2020

(3)

iii

(4)

iv

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS

Dengan ini saya, mahasiswa Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang bernama: Puji Harianto (NIM: 166322020), menyatakan bahwa tesis dengan judul : STRATEGI SOSIAL PENGHAYAT KEPERCAYAAN DI PEDESAAN (PIRUKUNAN PURWA AYU

MARDI UTAMA DI NGEBEL, PONOROGO), adalah hasil dan karya penelitian saya sendiri.

Di dalam bagian tesis ini tidak terdapat karya peneliti lain yang pernah digunakan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di perguruan tinggi lain. Pemakaian, peminjaman/pengutipan dari karya penelitian lain di dalam tesis ini saya pergunakan hanya untuk keperluan ilmiah sesuai dengan ketentuan yang berlaku, sebagaimana diacu secara tertulis dalam daftar pustaka.

Yogyakarta, 30 November 2020

Puji Harianto

(5)

v

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Saya yang bertanda tangan dibawah ini mahasiswa Universitas Sanata Dharma Nama : Puji Harianto

NIM : 166322020

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

STRATEGI SOSIAL PENGHAYAT KEPERCAYAAN DI PEDESAAN (PIRUKUNAN PURWA AYU MARDI UTAMA DI NGEBEL, PONOROGO), beserta perangkat yang diberikan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk lain, mengelola dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu minta ijin dari saya maupun memberi royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Yogyakarta

Pada tanggal : 30 November 2020

Yang Membuat Pernyataan,

Puji Harianto

(6)

vi

Kata Pengantar

Alhamdulillah, pada akhirnya tuntas sudah penulisan tesis ini.

Ucapan terimakasih penulis haturkan kepada Bapak Dr. Y. Tri Subagya, selaku Ketua Program Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma sekaligus pembimbing tesis ini. Ucapan terimakasih juga saya ucapkan kepada Direktur Pascasarjana Rm. G. Budi Subanar, SJ dan segenap dosen pengajar; Dr. St. Sunardi, Dr. Katrin Bandel, Dr. FX. Baskara T Wardaya, Dr.

Benny H Juliawan, Dr. G. Budi Susanto, Dr. Emmanuel Subangun (alm) dan Dr. Y. Devi Ardhiani. Tidak lupa, kepada staff akademik, Mbak Desy Cicik yang sangat membantu untuk administrasinya. Lemah teles, Gusti Allah ingkang mbales.

Ucapan terimakasih juga saya ucapkan kepada;

1. Bapak (Kasnu) dan ibu (Tanem) tercinta, terimakasih atas cucuran airmata, keringat dan doa-doa yang tak pernah putus hingga saat ini. Juga kepada kakak sekaligus partner diskusi, Purwadi, suwun atas wejangan, bantuan finansial dan tempat keluh kesah selama ini.

2. Istri (Siti Munifah) dan anak (Pramudya Asvin Zhafir Muaddib), permata indah dari Tuhan dan pemberi semangat untuk segala aktifitas,

3. Kepada Bapak-Ibu mertua (H. Sumber & Hj. Temu), terimakasih pengertian akan

‘kebodohan’ menantunya. Kakak-adik ipar; Nur Hadiono, Ahmad Bisri dan Vaikhotul Khasanah. Terimakasih sudah menjadi saudara yang kompak.

4. Teman-teman satu jurusan. Terimakasih atas pertemanannya yang ‘gayeng’. Teruntuk Ki Wahono Simbah, Ki Harianto & istri, Lek Damas, Mbak Novi, Bruder Valen, Sasih, Mak Tomblok, Lek Britto, Bang Mike, Hugo, Ceper Febri, Kang Wahyu, Yeni, Pak Leo dan

(7)

vii

keseluruhan mahasiswa/i Kajian Budaya, support dan persekawanan kalian layak diapresiasi.

5. Manajemen LPTI Pelataran Mataram Yogyakarta yang telah membukakan mata betapa cairnya dunia IT dan digital hari ini. Kepada dulur-dulur Pelataran Mataram, terimakasih kekeluargaannya.

6. Mbah Yatni dan seluruh anggota Pirukunan Purwa Ayu Ngebel yang mengajarkan arti hidup yang bermanfaat dan slamet,

7. Semua pihak yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.

Tesis ini tidaklah sempurna, namun besar harapan saya ada manfaatnya untuk siapa saja yang membacanya.

Yogyakarta, 30 November 2020

Puji Harianto

(8)

viii Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisa strategi sosial kelompok penghayat Purwa Ayu dalam menyiasati represi negara (stigma-kekerasan verbal) di masyarakat pedesaan Kecamatan Ngebel, Kabupaten Ponorogo. Kelompok Purwa Ayu hidup ditengah- tengah masyarakat Ngebel yang didominasi oleh kelompok mayoritas Islam, Katholik, Protestan dan sebagian kecil penghayat kepercayaan (Ngelmu Sejati, Aboge, Sapta Dharma). Penghayat Purwa Ayu mampu resisten ditengah stigma negatif masyarakat dan peraturan pemerintah yang tidak memihak kelompok kepercayaan.

Peneliti telah melakukan observasi penelitian pada di kurun waktu 2018-2019. Wawacara para tokoh atau pihak yang terkait sebagai informan baru terlaksana mulai November 2019- September 2020. Informan yang dipilih untuk wawancara terdiri dari sesepuh PAMU, anggota, masyarakat penghayat non-PAMU, masyarakat umum dan pegawai pemerintahan Ngebel.

Pemilihan narasumber didasarkan kebutuhan data tentang sejarah perkembangan PAMU, aktifitas PAMU, pandangan masyarakat non-PAMU dan bentuk-bentuk peran sosial PAMU di wilayah Ngebel.

Hasil analisis terhadap data yang dikumpulkan menunjukkan bahwa PAMU masuk ke Ngebel di kisaran tahun 1950-1960. Pusat PAMU di Ponorogo bagian timur terletak di Pertapan Sapta Arga Kebonagung, Kesugihan, Pulung, Ponorogo. Purwa Ayu adalah pirukunan yang berbasis kewilayahan dan anggotanya tidak tercatat dengan sistematis. Jumlah anggota PAMU aktif yang terdeteksi di Ngebel menyisakan 16 orang dengan Desa Ngebel yang terbanyak (11 orang).

Dampak kekerasan ideologi yang dilakukan negara dirasakan oleh penghayat Purwa Ayu melalui diksi/stigma ‘kejawen, tidak beragama resmi dan menyimpang’. Stigma ini setidaknya didapatkan dari label yang disematkan masyarakat umum saat mendefinisikan Purwa Ayu.

Represi negatif ini direspon anggota PAMU melalui berbagai strategi; menyamarkan status kependudukan dan agama hingga berperan dalam aktifitas sosial kemasyarakatan. Grebeg Sura dan Larung Risalah Doa di Telaga Ngebel menjadi arena ekspresi penghayat PAMU untuk menjadi pemrakarsa dan pemangku acara tersebut. PAMU bermitra/membantu pemerintah Kabupaten Ponorogo melalui even budaya dan pariwisata. Di kehidupan sosial kemasyarakatan, warga PAMU menjadi tetua lingkungan dan adat yang memberikan solusi atas kebutuhan etungan Jawa di masyarakat pedesaan.

Kata kunci: Purwa Ayu, Represi, Apparatus Negara, Strategi Sosial

(9)

ix Abstract

This study aims to identify and analyze the social strategies of the Purwa Ayu group in dealing with state repression (stigma-verbal violence) in rural communities, Ngebel District, Ponorogo Regency. The Purwa Ayu group lives in the midst of the Ngebel community which is dominated by the majority Muslim, Catholic, Protestant and a small number of Believers (Ngelmu Sejati, Aboge, Sapta Dharma). The Purwa Ayu followers are able to be resistant amidst the negative stigma of society and government regulations that do not side with religious groups.

Research observations have made in 2018-2019. Interview with figures or related parties as new informants took place from November 2019-September 2020. Informants selected for the interview consisted of PAMU elders, members, non-PAMU followers, the general public and Ngebel government officials. Selection of sources is based on data needs about PAMU; history of development, activities, views of non-PAMU communities and forms of social role in the Ngebel area.

The results of the analysis of the data collected show that PAMU meddle to Ngebel in the 1950- 1960 period. The PAMU center in eastern Ponorogo located at Pertapan Sapta Arga Kebonagung, Kesugihan, Pulung, Ponorogo. Purwa Ayu is an area-based communities and its members are not systematically. The PAMU members detected in Ngebel leaves 16 people with the mostly follower in Ngebel Village (11 people). The impact of the ideological violence perpetrated by the state was felt by the Purwa Ayu followers through the diction/stigma of 'Kejawen, no official religion and deviance'. At least this stigma was obtained from the label that was pinned by the general public when defining Purwa Ayu. PAMU members responded to this negative repression through various strategies; disguise the status of demography and religion in social activities. Grebeg Sura and Larung Risalah Doa at Ngebel Lake became the expression arena for PAMU's followers to become the initiators and stakeholders of the event. PAMU helps the Ponorogo Tourism Department through cultural and tourism events. In social life, the elder and members of PAMU become traditional leaders who provide solutions to the needs of Javanese etungan in rural communities.

Keywords: Purwa Ayu, Repression, State Apparatus, Social Strategy

(10)

x DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i

HALAMAN PERSETUJUAN ii

HALAMAN PENGESAHAN iii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA iv

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI v

KATA PENGANTAR vii

ABSTRAK viii

DAFTAR ISI x

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang . 1

B. Rumusan Masalah . 9

C. Tujuan dan Manfaat . 10

D. Tinjauan Pustaka . 10

E. Kerangka Teoritik . 21

F. Metode Penelitian . 27

G. Sistematika Penulisan . 30

BAB II

PIRUKUNAN PURWA AYU MARDI UTAMA (PAMU)

A. Tinjaun Geografis dan Demografi 31

Sejarah Telaga Ngebel 35

B. Sejarah dan Perkembangan Purwa Ayu Mardi Utama (PAMU) 38

(11)

xi

C. Ajaran Purwa Ayu Mardi Utama (PAMU) 41

Sosial Kemasyarakatan 41

Ibadah/Wirid 47

Agama Jawa Purwa Ayu 51

Aktivitas Anggota PAMU 55

Beberapa Anggota PAMU 57

BAB III

PENGIKUT PAMU DAN MARJINALISASI

A. Pengawasan dan Kedudukan Penghayat Kepercayaan di Indonesia 65

B. Represi Negara Terhadap Aliran Kepercayaan 78

C. Purwa Ayu, Melawan dan Tunduk Pada Negara 91

BAB IV

REPRESI & RESILIENSI KELOMPOK PAMU

A. Dominasi Negara Pada Kelompok Agama dan Kepercayaan 114

B. Represi Negara; Antara Dikuasai dan Menguasai 122

C. Resiliensi; Bentuk Counter Represi Kelompok Minoritas 137 BAB V PENUTUP

Kesimpulan 145

DAFTAR PUSTAKA 148

DAFTAR GAMBAR 154

PUJIAN PURWA AYU I 157

PUJIAN PURWA AYU II 160

(12)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di masyarakat Jawa, mistisisme hadir dan lekat dalam aliran-aliran kepercayaan, salah satunya aliran kepercayaan. Mistisisme di dalam aliran aliran kepercayaan sering disebut sebagai laku. Aliran kepercayaan, khususnya kejawen, juga dapat diartikan sebagai sebuah etika atau gaya hidup yang merujuk pada pemikiran Jawa.1 Lebih lanjut, aliran kepercayaan adalah cara-cara orang Jawa dalam beragama dan berkeyakinan, baik dalam memahami Islam, Kristen, Hindu, Budha atau agama-agama lain. Di Indonesia, khususnya Jawa, aliran kepercayaan tumbuh dan berkembang di berbagai daerah. Ada banyak teori yang menerangkan asal usul kemunculan aliran kepercayaan. Penelitian-penelitian yang membahas aliran kepercayaan, seperti Geertz (1955), Kartapradja (1985), Su’ud (2001), Stange (1998), Woodward (1999), Mulder (2001), Beatty (2001) dan Hefner (1999) dapat disimpulkan dalam tiga persoalan pokok.

Pertama, aliran kepercayaan, termasuk aliran kepercayaan, berkembang jauh sebelum masa

kemerdekaan, kedua, akar historis dan teologis aliran kepercayaan, serta yang ketiga, persoalan ritual dalam aliran kepercayaan. Beberapa peneliti mengkategorikan aliran kepercayaan identik dengan animisme, lebih tepatnya animisme yang berbentuk spirit.2

Pertama yang perlu dibahas saat membicarakan aliran kepercayaan adalah fase kemunculannya. Kemunculan di masa pra kemerdekaan sedikit banyak berkaitan dengan perubahan tatanan sosial di Jawa. Konsep munculnya Ratu Adil di masa kolonial terhubung dengan kelompok penghahayat dan aliran kepercayaan, lebih tepatnya penokohan sang pendiri.3 Mereka disebut sebagai orang yang akan membawa pencerahan di masa kegelapan Jawa.4 Hal ini tak jauh berbeda dengan aliran kepercayaan dan aliran kepercayaan yang muncul di masa pasca kemerdekaan. Perbedaan mendasarnya, tidak ada istilah Ratu Adil untuk penokohan sang inisiator, melainkan secara keseluruhan dipandang sebagai reaksi terhadap kondisi sosial-politik negara. Mereka juga lazim disebut sebagai gerakan keagamaan baru (New Religious Movement).

1Suwardi Endraswara, Etnologi Jawa, (Yogyakarta, CAPS, 2015), hlm. 157

2Animisme terbagi menjadi dua jenis; fethisisme dan spiritisme. Animisme fethisisme adalah bentuk keyakinan yang mempercayai bahwa ruh atau makhluk halus mendiami suatu benda dan tempat. Adapun animisme spirit mempercayai jika ruh dan kekuatan magis berada di sekitar kehidupan manusia. R.P. Suyono, Dunia Mistik Orang Jawa, (Yogyakarta; LKiS, 2007), hlm. 1

3H.M. Rasyidi, Imam Mahdi dan Harapan Akan Keadilan, Majalah Prisma, No.1 Januari 1977, hlm. 45

4Ratu Adil dalam gerakan keagamaan disebut dengan banyak nama; Messianisme, Imam Mahdi dan Mileniarisme. Ratu Adil diyakini akan membawa perubahan sosial yang melingkupi wilayah tertentu. Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil, (Jakarta; Sinar Harapan, 1984), hlm.10

(13)

2

Reaksi ini meliputi persoalan laku batin, pandangan hidup, politik dan sikap terhadap kemodernan zaman. Secara rinci, reaksi terhadap agama-agama besar ini terjadi karena adanya hierarki dalam struktur-struktur agama besar di Indonesia, dan hal tersebut tidak mampu mengatasi persoalan kehidupan sosial anggotanya (sosial-religius). Dalam kasus lain, aliran kepercayaan muncul sebagai respon terhadap kemodernan zaman yang di dalamnya mengandung keinginan untuk kembali kepada ajaran kejawaan klasik. Aliran kepercayaan muncul sebagai ekspresi pencarian jati diri pada zaman peralihan, baik di masa pra-pasca kemerdekaan maupun masa peralihan agama dan keyakinan di Indonesia.5

Menurut beberapa peneliti, akar historis aliran kepercayaan aliran kepercayaan memiliki banyak versi. Diantara pendapat tersebut; pertama, sarjana muslim di Indonesia sebagian memberikan penjelasan jika aliran kepercayaan telah dipengaruhi oleh doktrin Hindu- Buddha.6 Pendapat kedua menyatakan jika sumber ajaran aliran kepercayaan berasal dari budaya Jawa itu sendiri, dan tidak berasal dari agama-agama lain seperti Islam, Kristen, Hindu dan Budha.7 Pendapat ketiga menyatakan aliran kepercayaan lahir sebagai respon terhadap pergolakan zaman di berbagai bidang.8 Dalam tulisan ini, aliran kepercayaan didefinisikan sebagai cara orang Jawa dalam beragama. Cara pandang seseorang banyak dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya sehingga aliran kepercayaan sendiri juga sangat mungkin terpengaruh oleh agama dan budaya Jawa masa lamapu. Doktrin Hindu-Budha bisa dimasukkan sebagai unsur berpengaruh dalam aliran kepercayaan mengingat dua agama tersebut hadir lebih dahulu dibandingkan aliran kepercayaan. Pengaruh utama oleh agama atau budaya masa lampau di aliran kepercayaan terwujud dalam pandangan hidup. Pandangan hidup ini didapatkan secara turun temurun, sebagai hasil dari proses interaksi antara manusia Jawa dengan lingkungannya bertahun-tahun.9 Sebagai contoh, dalam aliran Sumarah, konsep moksa dan reinkarnasi (Hindu- Buddha) terjadi pada mereka yang sudah meninggal namun tidak mampu menggapai jumbuhing kawula marang Gusti, tidak dapat kembali kepada Yang Kuasa.10Argumentasi lain, sumber- sumber dari ajaran kebatinan tersebut juga tertuang dalam serat-serat/teks klasik yang dekat

5M. Soehadha, Orang-Orang Jawa Memaknai Agama, Yogyakarta; Kreasi Wacana, 2008), hlm. 11

6Media Zainul Bahri, Wajah Studi Agama-Agama: Dari Era Teosofi Indonesia 1901-1940 Hingga Masa Reformasi, (Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2015), hlm.101. Lihat juga; Paul Stange, Kejawen Modern; Hakekat Dalam Penghayatan Sumarah, (Yogyakarta; LkiS, 2008), hlm.285

7Abu Su’ud, Ritus-Ritus Kebatinan, (Surakarta, UMS Press, 2001), hlm 22.

8Paul Stange, Kejawen Modern: Hakekat Dalam Penghayatan Sumarah,(Yogyakarta; LkiS, 2008), hlm.94

9Petir Abimanyu, Mistik Kejawen; Menguak Rahasia Hidup Orang Jawa, (Yogyakarta; Palapa, 2014), hlm.

30

10Kamil Kartapradja, Aliran Kebatinan dan Kepercayaan di Indonesia, (Jakarta; Haji Masagung, 1990), hlm. 89

(14)

3

dengan Islam, seperti dalam Serat Wedhatama, Centhini, Cebolek, Saloka Jiwa dan Pamoring Kawula Gusti.11

Pembahasan ketiga mengenai aliran kepercayaan terletak pada ibadah dan ritualnya. Dalam aliran kepercayaan, praktik ritual memiliki peranan penting sebagai tahap menuju pada fase ‘yakin’ akan keagungan Tuhan. Ritual-ritual dalam aliran kepercayaan seperti upacara adat, meditasi, semedi, puasa dan tirakat, adalah laku untuk menyakinkan diri akan bersatunya manusia dengan alam dan Tuhan. Sehingga, setiap perbuatan yang dilakukan dinilai sebagai sebuah laku yang akan mendatangkan kepuasan dan ketenangan batin. Akhir dari semua laku batin tersebut adalah, untuk mencapai tahap Jumbuhing Kawula Marang Gusti, kelak ketika manusia kembali kepada-Nya (mati). Dalam aliran kebatinan, ada fase-fase untuk mencapai tingkat makrifat (manunggaling kawula Gusti). Fase pertama, adalah penerimaan ajaran dan patuh pada ajaran tetua/penerima wahyu. Kedua, penyadaran akan setiap perbuatan yang dilakukan serta ada upaya untuk meningkatkan sikap penyadaran tersebut. Ketiga, adalah hasil dari proses penyadaran tersebut pada hakikat dari setiap inti perbuatan hidup adalah untuk menuju kepada Yang Kuasa. Tahap terakhir, seorang individu mampu menyatukan jiwa dengan alam dan Tuhan, sehingga tiap perbuatan diartikan sebagai laku hidup untuk dekat dengan-Nya.

Ritual untuk menuju pada penyadaran diri, pikiran dan jiwa dalam aliran kepercayaan dapat ditempuh melalui proses-proses ritual yang mungkin juga memiliki kesamaan dengan agama-agama besar. Puasa, semedi dan wirid adalah langkah-langkah yang ditempuh pengikut aliran kepercayaan untuk menuju kepada upaya penyadaran. Dalam setiap lakunya, pengikut aliran kepercayaan memilih asketisme (sufistik, laku batin) sebagai jalan untuk meditasi dan penyadaran diri. Kehidupan sehari-hari adalah kitab suci bagi pengikut aliran kepercayaan, dan cara membacanya dengan ngelmu titen.12 Cara menggunakan ngelmu titen adalah dengan indera batin. Titik keberhasilannya ditentukan oleh kemampuan seseorang dalam mengolah jiwa dalam membaca alam di sekitarnya. Dalam ontologi kosmologi Jawa, eksistensi realitas di alam semesta bersifat pluralistik secara teratur dan hierarkis yang terdiri dari makrokosmos (jagad gedhe) dan mikrokosmos (jagat cilik). Tugas manusia adalah menjaga keselarasan dan

11Simuh, Sufisme Jawa; Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa, (Yogyakarta; Narasi, 2016), hlm. 254

12Petir Abimanyu, Mistik Kejawen; Menguak Rahasia Hidup Orang Jawa, (Yogyakarta; UIN Suka Press, 1990),hlm.31

(15)

4

keseimbangan keduanya dalam tatanan universal dengan cara memahami melalui laku (terbaca oleh rahsa sejati/batin).13

Di era kemajuan saat ini (abad 21), hakikat kebatinan aliran kepercayaan bergeser dari bentuk ritual mistis-asketik menuju ke arah penyadaran dan kontemplasi. Dimensi batiniah aliran aliran kepercayaan tradisional bersifat mutlak dan laten (hal utama yang diolah), tetapi di masa modern ia hanyalah sebuah jalinan yang menyangkut penghayatan (batin digunakan sebagai alat penghayatan). Batas waktu antara aliran kepercayaan tradisonal dan modern, dapat dianalisis melalui waktu bergesernya pola pikir dan ritual yang perubahannya variatif. Dalam konteks masa kolonial, kelahiran aliran kepercayaan merupakan salah satu bentuk perlawanan terhadap pemerintah kolonial. Gerakan politik Samin misalnya, muncul dari masyarakat yang menolak kebijakan ekonomi Belanda yang dianggap menyengsarakan.14 Gerakan ini kemudian menjadi kelompok aliran kepercayaan (yang memegang adat Jawa) pasca meninggalnya pemimpin utamanya, Samin Surosentiko.15

Aliran kepercayaan tradisional selalu dikaitkan dengan kepercayaan terhadap kekuatan roh dan alam. Di era modern, aliran kepercayaan menggunakan unsur batin sebagai alat kesadaran untuk mempercayai adanya yang kuasa (jagat gedhe). Unsur kekuatan ghaib dalam aliran kepercayaan tradisional memberikan arah pemikiran dan pergerakan laku anggota demi tercapainya sebuah tujuan. Pemujaan terhadap benda-benda yang dianggap magis, dan juga tempat-tempat keramat menjadi hal yang biasa dilakukan untuk memuaskan kebutuhan rohani.

Tujuan-tujuan serta keinginan dalam hidup akan lebih mungkin tercapai jika mereka (aliran kepercayaan tradisional) melakukan ritual-ritual ini. Sedang dalam aliran kepercayaan era modern, unsur batin digunakan untuk mengembangkan kesadaran demi lepasnya keterikatan pada dunia dan kekuasaan (seperti yang terjadi di Jawa). Secara spiritual, aliran kepercayaan tradisional berpusat pada seorang guru (pembawa wahyu) sedang di era modern, hal tersebut tidak tampak. Hal yang tampak adalah bahwa aliran aliran kepercayaan tersebut dikelola secara bersamaan melalui yayasan atau badan hukum (efek kebijakan Orde Baru).

Di sini dapat dilihat jika konsep spiritual dalam aliran kepercayaan telah mengalami evolusi. Kemerdekaan spiritual bagi aliran kepercayaan tradisional terjadi tatkala

13H.Sa’adi, Nilai Kesehatan Mental Islam Dalam Kebatinan; Kawruh Jiwa Suryomentaram, (Jakarta;

Puslitbang Kemenag RI, 2010), hlm. 43

14Sugeng Winarno, “Samin: Ajaran Kebenaran yang Nyeleneh” dalam Nuruddin dkk, Agama Tradisional:

Potret Kearifan Hidup Masyarakat Samin dan Tengger, (Yogyakarta: LkiS, 2003), hlm.55

15Arif Rohman, “Rumour and Realities of Marriage Parctices in Contemporary Samin Society,” Jurnal Humaniora, Vol. 22, No. 2, Juni, 2010, h.115.

(16)

5

manusia mampu memberikan sesuatu kepada alam di luar dirinya hingga tidak mendatangkan musibah. Pemujaan dalam upacara-upacara mutlak dilakukan untuk mencapai tujuan ketentraman hidup. Akan tetapi, aliran kepercayaan modern memandang upacara pemujaan sebagai upaya untuk mengolah batin agar dekat dengan alam sekitar. Dalam aliran kepercayaan era modern, kemerdekaan spiritual mampu diraih jika seseorang melalui ritual atau semedi mampu menundukkan nafsu dan menyatukan jiwa dalam setiap tindakan sosial sehari-hari. Ego- ego individual yang ada dalam diri seseorang mampu diarahkan ke arah ego universal (sebagai sebuah paguyuban), juga mengindikasikan jika seorang penghayat kebatinan telah menuju fase

‘dewasa’.

Melihat definisi diatas, maka inti aliran kepercayaan tidak lain adalah adanya

‘rasa’ dalam setiap diri manusia. Rasa dalam pengertian aliran kepercayaan tidak sekedar menggambarkan atau menunjukkan perilaku manusia. Dalam aliran kepercayaan, rasa adalah organ kognitif manusia yang digunakan secara aktif dalam praktik-prakrik mistisisme.16 Rasa adalah pemicu dari segala tindakan kelompok penghayat dalam kehidupan sehari-hari.

Rasionalisasi atau tafsir atas tindakan kelompok penghayat yang diikuti oleh pembenaran (baik secara logis atau mistis) bersumber dari rasa itu sendiri. Penghayat kepercayaan melihat jika laku diri di kehidupan, akan membawa keberuntungan jika saja manusia dapat menyelaraskan rasa dalam jiwa ke dalam bentuk tindakan. Tolak ukur ketaatan pengikut aliran kepercayaan dan agama besar, terletak pada kematangan spiritual. Agama-agama besar melihat jika perhatian diarahkan kepada struktur pengalaman, pemikiran, tindakan dan membawa kepada kondisi- kondisi keterbatasan. Aliran kepercayaan justru melihat jika olah rasa yang benar, akan menembus keterbatasan untuk menyatu dengan Yang Kuasa (Jumbuhing Kawula Marang Gusti).

Rasa yang dimaksud disini bukan sekedar yang dikecap oleh indera manusia (lidah, telinga, mata, dll). Ia lebih dalam daripada itu. Rasa adalah situasi hati terdalam (emosi) yang dibangkitkan oleh kondisi lingkungan dan pikiran manusia. Jenis ‘rasa’ tersebut dapat berupa; asmara, belas kasihan, takjub, khawatir dan rasa-rasa yang timbul dari persinggungan diri dengan lingkungan. Asmara, belas kasihan dan rasa diatas terpantul dari kondisi lingkungan sekitar manusia. Saat bertemu dengan emosi/sikap hati, maka akan berbentuk cinta, amarah, takut, heran, muak dan sedih. Sehingga, kondisi sedih-bahagia, damai-tenang, cinta-amarah adalah bentuk rasa yang tampil dari dalam manusia. Rasa bersifat universal, artinya siapa saja

16Paul Stange, Politik Perhatian; Rasa dalam Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta; LKiS, cet. II, 2009), hlm.7

(17)

6

bisa memilikinya dan hal apapun dapat dinilai dengannya. Sensitifitas rasa tidak dapat berkembang sendiri jika tidak dilatih. Jika hanya mengandalkan sifat alami rasa, maka kepekaan terhadap kondisi-kondisi diri dan lingkungan menjadi tumpul.

Media pengasahan rasa memiliki banyak bentuk. Di kelompok penghayat kepercayaan, metode pengasahan rasa bisa berupa meditasi, sembahyang hingga bergumul dengan masyarakat. Mengolah rasa tidak harus jauh dari keramaian dan berada di kondisi sepi.

Beberapa kelompok kepercayaan bersikap eksklusif. Pergaulan mereka terbatas pada kelompoknya dan menutup diri dari pergaulan umum dengan masyarakat. Sebagian lagi bersikap inklusif, membaur dan membuka dialog dengan kelompok lain. Mereka yang memilih jalan

‘terbuka’ untuk umum ini cenderung resisten di sisi lain dan rapuh pada solidaritas kelompok.

Resistensi yang didapatkan oleh kelompok ini (inklusif) adalah memiliki sikap resiliensi dengan perubahan lingkungan sosial meskipun beberapa ajarannya akan sangat mungkin bercampur dengan ajaran kelompok dominan. Salah satu dari komunitas penghayat yang inklusif adalah Purwo Ayu.

Purwo Ayu adalah salah satu kelompok penghayat yang tumbuh dan berkembang di kawasan Ngebel, Ponorogo. Aliran Purwo Ayu merupakan satu kelompok aliran kepercayaan yang bukan berasal dari daerah tersebut, melainkan dari daerah Banyuwangi.17. Banyuwangi adalah kabupaten di ujung timur Pulau Jawa. Sejak lama, kawasan ini terkenal dengan keragaman budaya dan agama. Percampuran suku Jawa, Osing, Madura dan Bali banyak mendiami kawasan ini. Islam dan Hindu menjadi agama yang cukup dominan di Banyuwangi.

Purwo Ayu, menurut dari seorang pengikutnya, masuk dan mulai berkembang di pedesaan Ngebel, Ponorogo sejak 1955.18 Para pengikut Purwo Ayu ini tersebar di beberapa desa di kecamatan Ngebel, Kabupaten Ponorogo. Jumlah anggotanya beragam, dari kalangan anak muda hingga orang tua. Profesi pengikutnya juga beragama, dari pegawai, pengusaha, petani hingga pekebun.

Keberadaan Purwo Ayu hingga saat ini, masih eksis ditengah-tengah beragamnya agama dan kepercayaan lain yang ada di Ngebel19. Dalam keseharian, para penghayat Purwo

17Seorang pengikut Purwo Ayu, Suroto, menyatakan jika Purwo Ayu berasal dari daerah Kemiren, Banyuwangi yang kini menjadi pusat Purwa Ayu. (wawancara dengan Suroto, dilakukan pada 20 Agustus 2017)

18Wawancara dengan Suntoyo (anggota HPK Ilmu Sejati), dilakukan pada 20 Agustus 2017

19Aliran kepercayaan lain yang berkembang di daerah Ngebel antara lain; Sapta Dharma, Ngelmu Sejati, Aboge dan Sumarah. Dari keseluruhan aliran tersebut, Aboge dan Ngelmu Sejati merupakan yang paling besar dan memiliki jumlah anggota terbanyak diantara lainnya. Sedangkan Sumarah, adalah kelompok yang paling kecil jumlah pengikutnya mengingat pusat aliran ini ada di Kabupaten Madiun (Wawancara dengan Mesni, salah seorang pengikut Aboge di Desa Ngrogung, Ngebel, Ponorogo)

(18)

7

Ayu beraktifitas seperti pada umumnya warga desa setempat. Tidak ada konflik yang tampak antara penghayat kepercayaan dengan komunitas lain yang berkembang di kawasan Ngebel, Ponorogo. Kerukunan yang terjadi antara komunitas Purwo Ayu dan kelompok diluarnya, adalah kemampuan para pengikutnya dalam bermasyarakat. Sesepuh salah Purwo Ayu saat ini, merupakan orang yang dituakan penduduk desa, terutama saat ada acara adat.20 Kemampuan berinteraksi dan bersosialisasi dari aliran kepercayaan ini, kiranya menjadi alasan bahwa mereka tetap eksis meski secara kuantitas, jumlah anggotanya sedikit.

Hubungan Purwo Ayu, dengan negara, dalam hal ini pemerintah daerah, tampaknya terjalin baik dan tidak berpotensi konflik. Hubungan baik ini terjadi karena adanya ketergantungan satu sama lain dan kemampuan dalam bergaul kelompok Purwo Ayu dalam masyarakat. Pemerintah Kecamatan Ngebel misalnya, bergantung kepada Purwo Ayu dalam bidang ekonomi-pariwisata, terutama saat diadakannya acara adat di Telaga Ngebel (sebagai pelaksana/pemangku adat). Di sisi lain, Purwo Ayu melaksanakan hal tersebut juga dengan harapan adanya pengakuan dari pemerintah terhadap eksistensi keberadaannya. Ada kemungkinan tidak hanya sebatas menjadi ‘duta pariwisata’ yang menjadikan Purwa Ayu mendapatkan perhatian dari pemerintah. Ada kepentingan ekonomi yang dibutuhkan oleh negara dengan menggantungkan penanganannya oleh Purwa Ayu. Kelompok-kelompok minoritas yang memiliki kekhasan tidak jarang diproyeksikan negara ke dalam program ekonomi pariwisata.

Kelompok kepercayaan di Indonesia, semisal Purwo Ayu, tidak selamanya berkonflik dengan agama-agama dominan maupun dengan negara. Setelah sekian lama ditekan pemerintah, kelompok-kelompok penghayat melihat jika fokus utama gerakan bukan terletak pada perjuangan mendapatkan hak-hak sebagai warga negara, melainkan pematangan pada bidang spiritual.21 Aliran kepercayaan yang berkonflik dengan negara atau kelompok agama lainnya, biasanya memiliki basis dasar yang kuat atau sesuatu yang dilindungi. Sebagai contoh, kepemilikan tanah adat, kebiasaan yang unik dan cara hidup yang paten dari pendahulu- pendahulunya. Dalam konteks Purwo Ayu, kelompok ini merupakan kelompok kecil dalam satu desa yang keberadaannya tidak banyak dibandingkan kelompok HPK lainnya (semisal Aboge,

20Tetua yang dimaksud dikenal dengan nama ‘Mbah Siwar’. Mbah Siwar adalah bekas dari juru kunci Telaga Ngebel, sebuah Telaga yang kemunculannya diyakini berasal dari Legenda Baru Klinthing. Saat ini, Telaga Ngebel menjadi salah satu obyek andalan pariwisata di Kabupaten Ponorogo, dimana setiap tanggal 1 Muharram/1 Suro diadakan Larung Sesaji. Juru kunci Telaga biasanya akan menjadi orang yang membuka dan memimpin prosesi Larungan. (Wawancara dengan, Suroto, salah seorang pengikut Purwo Ayu dari Desa Sahang, Ngebel, Ponorogo).

21 Wawancara dengan Suroto (anggota Purwo Ayu) dari dusun Bentis, Desa Wagir Lor, Kec Ngebel, Ponorogo.

(19)

8

Islam Sejati, Sumarah). Sehingga, karena jumlahnya kecil dan sedikit, HPK Purwo Ayu dalam beberapa ibadah dan tradisinya memiliki kesamaan dengan kelompok lainnya.

Meskipun kecil, bukan berarti abai terhadap HPK Purwo Ayu. Hal menarik yang perlu diketahui soal Purwo Ayu, salah satunya, bagaimana bentuk strategi, negosiasi budaya dan gerakan dari kelompok ini, sehingga mampu bertahan meski dengan jumlah pengikut yang kecil.

Ada banyak hipotesa yang muncul; mereka punya hal yang khusus dan pengaruh dalam masyarakat, memiliki peran penting dalam kehidupan sosial atau regenerasi yang terus berjalan dengan baik. Kelompok HPK kecil yang mampu bertahan hingga hari ini, bisa disandingkan dengan kelompok yang lebih besar dalam hal kesolidan pengikut. Mereka tidak hilang meski keberadaannya minoritas, sedikit dan distigma buruk oleh negara. Bagi kelompok HPK besar dan yang sedang berkonflik (misalkan Samin, Sunda Wiwitan) adalah hal yang lazim terjadi jika mampu bertahan hingga saat ini. Saat berkonflik, secara tidak langsung, keberadaan mereka semakin dikenal oleh masyarakat umum melalui pemberitaan atau dukungan-dukungan dari para aktifis. Pada posisi konflik ini, kesadaran masyarakat umum memilih memihak kepada kelompok HPK, karena mereka berada dalam keadaan yang lemah dan ditindas. Rasa simpati ini, bisa saja muncul karena banyak hal; nilai HAM (Hak Asasi Manusia), penegakan hukum dan yang terpenting, isu toleransi menjadi hal yang lumrah dibincangkan di Indonesia.

Pada persoalan HPK Purwo Ayu, stigma buruk yang muncul hanyalah efek dari peraturan negara. Mengenai UU yang mengatur HPK, logika demokrasi yang meliputi dari, oleh dan untuk rakyat berefek negatif. Apa yang ditentukan oleh negara akan diikuti oleh masyarakat karena mengatasnamakan dari rakyat dan oleh rakyat. Munculnya aturan ini (ide) dari kelompok dominan, dijalankan oleh negara untuk mengatur dan menjamin eksistensi keberadaan kelompom mayoritas, serta meminggirkan kelompok HPK. Produk Undang-Undang pemerintah selama ini (1952-2016) terus mengekang keberadaan aliran kepercayaan di Indonesia. Orde Lama melalui PNPS 1965 adalah bukti dari hal ini.22 Orde Baru, memiliki alasan yang berbeda dalam menekan gerakan HPK. Pasca 1965, status bertuhan dan beragama menjadi salah satu hal utama dalam kehidupan masyakat Indonesia. Pasalnya, jika ekspresi beragama merujuk pada atheisme, tak beragama, tak bertuhan, maka oleh negara akan disebut sebagai simpatisan dan anggota PKI. Hal ini kemudian menjadi persoalan yang penting bagi kelompok HPK.

Perpecahan, konflik sampai bubarnya beberapa HPK karena mengikuti logika negara tersebut,

22Definisi mengenai ‘agama’ muncul di era 1950-an, saat Mukti Ali (mantan rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) menjabat sebagai menteri agama. Dia memunculkan ide tersebut ditengah populernya kajian

‘comparative religion’ di Indonesia.

(20)

9

yang sejatinya berasal dari logika mayoritas kelompok dominan. Angin segar legalitas kependudukan berhembus ke kelompok kepercayaan terjadi pada 7 November 2017 saat Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk mengabulkan gugatan aliran kepercayaan dalam soal pengisian kolom agama dalam Kartu Tanda Penduduk.

HPK Purwo Ayu, merasakan hal tersebut. Hanya saja, mereka mampu bertahan hingga saat ini. Daya lenting yang dimiliki kelompok ini dalam menghadapi represi negara.

Seperti yang telah disinggung, daya lenting ini bisa berwujud pada pola negosiasi, kamuflase pada kelompok lain, atau kelompok ini memang memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat desa. Pada kenyataannya, ada sebagian anggota yang beridentitas ke salah satu kelompok agama mayoritas, namun tetap menjalankan peribadatan dan kebiasaan HPK Purwo Ayu. Identitas yang ‘menempel’ pada kelompok mayoritas ini hanya digunakan untuk kepentingan administrative negara. Meski menjadi objek represi, bukan berarti tidak ada ketergantungan/hubungan baik antara negara dengan HPK. Di beberapa wilayah, termasuk HPK Purwo Ayu, keberadaan HPK menjadi pion utama negara dalam menghasilkan pendapatan ekonomi. Melalui Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, misalnya, kelompok HPK didaulat menjadi brand ambassador atau pelaku dari kekhasan daerah yang berpotensi mendatangkan keuntungan

ekonomi. Dalam konteks Purwo Ayu, mereka didaulat menjadi pelaku tradisi “Grebeg Suro’ di kawasan Ngebel, Ponorogo. Ada simbiosis mutualisme di dalam hubungan ini. Negara membutuhkan HPK untuk kepentingan ekonomis, dan HPK mengambil peran tersebut untuk pengakuan eksistensi dalam masyarakat.

A. Rumusan Masalah

Melihat latar belakang di atas, dapat disimpulkan beberapa rumusan masalah yang akan menjadi pembahasan inti dalam tulisan ini; latar belakang historis kemunculan Purwo Ayu, profil kelompok, hubungan aliran Purwo Ayu dengan negara serta strategi-strategi sosial-budaya yang diterapkan dalam masyarakat. Pokok permasalahan di atas dapat dirangkum dalam beberapa rumusan masalah, diantaranya; (a) bentuk implementasi ajaran Purwa Ayu dalam kehidupan sosial kemasyarakatan (b) strategi negosiasi Pirukunan Purwo Ayu dalam mempertahankan identitas kelompok di tengah isu diskriminasi kelompok penghayat kepercayaan.

(21)

10 B. Tujuan Penelitian

Menjelaskan sejarah dan perkembangan Pirukunan Purwo Ayu di pedesaan kawasan Ngebel Ponorogo. Perkembangan HPK Purwo Ayu di Ngebel juga berkaitan erat dengan peran-peran di bidang sosial kemasyarakatan. Jumlah kelompok penghayat Purwa Ayu di Kecamatan Ngebel terhitung sedikit (16 orang). Penelitian ini juga bertujuan untuk melihat bentuk-bentuk strategi sosial kelompok penghayat dalam merespon represi dan kekerasan verbal di masyarakat umum.

Bentuk resistensi kelompok penghayat di Indonesia dapat dilacak dari berbagai sisi, salah satunya jumlah anggota. Kelompok Purwa Ayu adalah kelompok yang memiliki jumlah anggota kecil, terutama di kawasan Ngebel. Kuantitas yang sedikit tersebut lantas tidak menjadikan kelompok ini ‘mati’. Penelitian ini juga bertujuan untuk melihat cara kelompok penghayat kecil di pedesaan mempertahankan eksistensi di tengah-tengah kelompok mayoritas.

C. Manfaat Penelitian

Mengetahui dan menjelaskan keberadaan HPK Purwo Ayu di masyarakat pedesaan, terutama di kawasan Ngebel, Ponorogo. Mulai dari awal masuk, anggota aktif yang terdaftar hingga bentuk-bentuk kegiatan kelompok. Manfaat penelitian ini juga dapat difungsikan sebagai pemetaan kelompok-kelompok keagamaan yang ada di Ngebel. Tidak bertujuan untuk membedakan antar kelompok, tetapi untuk menciptakan harmoni masyarakat plural di pedesaan.

D. Tinjauan Pustaka

Kepercayaan Jawa; Antara Sinkretisme dan Mistisisme

Berbagai penelitian yang membahas tentang aliran kepercayaan/aliran kepercayaantelah cukup banyak dilakukan. Fokus yang ditampilkan juga berbeda -beda antar peneliti. Clifford Geertz adalah salah satu peneliti yang memulai studi Jawa melalu kacamata etnografi. Hasil dari studi ini mengungkap bahwa di Jawa aliran aliran kepercayaan (abangan) membentuk struktur sosial tersendiri dalam masyarakat. Mereka hidup di pinggiran (pedesaan), hidup dengan bertani dan melakukan ritual-ritual yang diajarkan oleh pendahulunya. Dalam kacamata Geertz, melihat strata sosial Jawa melalui perspektif ekonomi, dengan sendirinya akan membentuk strata sosial di bidang agama. Kecenderungan berekonomi mempengaruhi kecenderungan beragama, begitu juga sebaliknya. Dari sisi sosiologis, tak jarang agama maupun

(22)

11

aliran kepercayaan menjadi faktor penentu dalam proses transformasi dan modernisasi, termasuk di dalamnya para penghayat kebatinan yang dianggap menyimpang.23 Dalam praktik keagamaannya, diantara tiga kelas sosial (santri-abangan-priyayi) memiliki banyak persamaan.

Apa yang dilakukan oleh kaum abangan, juga dilakukan oleh kaum santri maupun priyayi, seperti halnya pada ritual selamatan, nyadran dan tirakatan.

Sinkretisme lekat dengan keberagamaan orang Jawa, terutama di Islam. Sebelum Islam hadir, Hindu-Buddha menjadi agama yang dominan dipeluk oleh masyarakat nusantara.

Strategi dakwah yang dijalankan oleh Wali Songo tidak menyampaikan nilai-nilai Islam yang asli, melainkan melalui pendekatan budaya dan pendidikan.24 Pendekatan budaya setempat juga dilakukan oleh Wali Songo untuk menyebarkan ajaran Islam sehingga perpaduan agama-budaya tak terhindarkan. Mereka, misalnya, merubah isi dan bentuk ajaran yang sesuai dengan Islam tanpa mengganti pola ritualnya.25 Metode yang digunakan oleh Wali Songo kemudian hari menginspirasi peneliti agama-agama di Jawa bahwa proses akulturasi budaya menjadi salah satu faktor penentu terbesar masuknya Islam di Indonesia. Proses akulturasi ini pun juga berdampak negatif, bahwa masih banyak kelompok masyarakat yang melakukan ritual agama secara campur-campur/tidak murni. Perjumpaan budaya masa lampau dengan Islam memberikan warna baru dalam kehidupan beragama di Jawa. Titik pertemuan ini yang dibahas oleh beberapa peneliti Jawa pasca Geertz, salah satunya Mark Woodward.

Perkembangan Kejawen/agama Jawa meningkat pasca hadirnya Islam yang dibawa oleh Walisongo. Penetrasi Islam melalui jalan kebudayaan menjadi salah satu sebab diantaranya. Faktanya dapat dilihat dari gaya dan corak ajaran Kejawen hari ini, dimana pengaruh Islam-Hindu begitu kuat di dalamnya. Dalam urusan doa misalnya, ritual-ritual Kejawen di pedesaan dominan menggunakan ‘frasa’ Islam (seperti penjelasan Geertz). Alasan utama memilih fase pasca Islam sebagai awal pertumbuhan dan kebangkitas Kejawen lebih kepada sebab faktor akulturasi. Islam di Jawa terbagi menjadi dua; pesisir dan pedalaman. Islam pesisir dikatakan memiliki corak yang lebih puritan, kolaboratif, egaliter dan taat.26 Sebaliknya, Islam pedalaman memiliki kecenderungan mencampurkan ajaran Islam dengan non Islam (Hindu

23Kiki Muhammad Hakiki, Aliran Kebatinan di Indonesia dalam Jurnal Al-AdYaN, Vol.VI, No.2 Juli Desember 2011, hlm.64

24Manfred Ziemek, Pesantren Dalam Perubahan Sosial, (Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat, 1986), hal.43

25Selamatan sudah ada jauh sebelum Islam berkembang di Indonesia. Ritual Selamatan mengandung unsur ajaran Hindu Tantrayana, Panca Makara (mamsha, matsya, madya, maithuna, mudra). Kedatangan Islam hanya merubah pujian-pujian/doa dan hidangan makanan yang bernuansa Hindu ke dalam ajaran Islam. Zumrotul Mukaffa, Sunan Ampel dan Nilai Etis Islam Nusantara; Dari Tantra-Bhairawa Kepada Praktik Keagamaan Nir-Kekerasaan, Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam, Vol.7, No.2, Desember, 2017, hlm.433

26Nur Syam, Islam Pesisir, (Yogyakarta; LKiS, 2005), hlm.

(23)

12

dan Kejawaan). Melihat Islam pedalaman dan Kejawen memerlukan piranti keilmuan seperti hermeneutika untuk mengartikulasikan proses-proses ritual ke dalam bahasa keseharian. Bahwa apa yang tampak dilakukan oleh beberapa orang Jawa tidak berarti sama seperti kegiatan/ritual sebenarnya. Ia kadang memiliki makna dan tujuan yang sangat berbeda dengan bentuk tindakannya. Dalam agama Jawa, Geertz melihat bahwa apa yang dilakukan oleh orang-orang Jawa merupakan tindakan yang asli, turun temurun dan memiliki tujuan tertentu. Meskipun terpengaruh oleh ajaran Hindu & Islam, Geertz melihat prosesi ritual itu sebagai yang apa adanya dilakukan oleh orang Jawa.

Peneliti selain Clifford Geertz, Mark Woodward melihat bahwa kepercayaan di Jawa telah terbalut dalam bingkai keislaman. Jika Geertz membagi masyarakat Jawa menjadi tiga kelompok sosial yang berbeda (meski dalam ritual juga ada kesamaan), Woodward melihat jika kedatangan Islam di Jawa telah mengislamkan keyakinan dan ritual-ritual kejawaan. Hal ini dilakukan karena corak beragama orang Jawa (yang berpijak pada tradisi) memiliki kemiripan dengan Islam yang hadir di Indonesia. Islam sufistik atau Islam pesisiran adalah corak Islam yang hadir di Indonesia melalui proses perdagangan. Para saudagar Yaman, Gujarat dan sepanjang Pesisir Malabar (Mappala/Kerala) adalah Islam yang meletakkan tradisi sebagai dasar dakwah. Selain kemiripan wilayah perkembangan Islam (pesisir), Islam yang berkembang di Indonesia adalah sisa-sisa dari kejayaan Islam abad 7-12 M. Pasca runtuhnya kekaisaran Abbasyiah di abad ke 13, para teolog dan filsuf kembali ke dalam jalan sufistik. Tasawuf dalam Islam, sekali lagi memiliki kemiripan dengan tradisi mistisisme Jawa. Paul Stange (2009), melihat jika aliran kepercayaan telah mengalami evolusi, baik dari sisi ajaran mistik maupun secara keorganisasian.27 Sisi mistik aliran kepercayaan telah berubah dari arah kepercayaan menjadi alat penyadaran atau jalan untuk laku batin. Sumarah ataupun aliran kepercayaan lainnya yang lahir di era kolonial, menekankan pada aspek mistisisme sebagai tujuan utama dalam kegiatan hidup sehari-hari. Anggota Sumarah yang masuk di tahun-tahun awal menginginkan jenis-jenis kesaktian raga yang bersifat mistis, seperti kebal terhadap berbagai senjata.

Contoh lain, sesaji yang dihadirkan oleh aliran kepercayaan tradisional, misalnya, bertujuan untuk mempermudah mencapai keinginan dan tujuan (sebagai alat negosiasi yang

27Paul Stange, Kejawen Modern, . . . . , hlm. 20

(24)

13

utama)28. Hal ini tidak tampak pada aliran kepercayaan di era modern yang meletakkan sesaji hanya sebagai perantara dan ritual semata. Pola tradisional dari aliran kepercayaan, setidaknya bertahan hingga masa pasca kemerdekaan. Olah badan/raga, menjadi pendewasaan utama yang hendak dicapai oleh pengikut aliran kepercayaan tradisional. Namun, hal itu kini telah bergeser.

Aliran kepercayaan dan mistisisme digunakan oleh orang Jawa sebagai medium pendewasaan jiwa dan batin. Fenomena di alam sekitar ditangkap melalui rahsa sejati (batin), dan hal ini menjadi ukuran kematangan jiwa dari seorang pengikut aliran kepercayaan. Evolusi terakhir, terjadi pada bentuk organisasi paguyuban. Aliran kepercayaan tradisional bertumpu pada kepemimpinan seorang tetua, namun di era modern, aliran kepercayaansecara keorganisasian dikelola oleh yayasan atau badan tertentu (efek kebijakan pemerintah).

Membicarakan Jawa-aliran kepercayaan, tentu tidak bisa lepas dari kata mistis.

Lebih jauh, kuatnya solidaritas kelompok dan hubungan pertalian darah merupakan ciri utama dari masyarakat Jawa dan Indonesia pada umumnya.29 Meminjam istilah Durkheim, bahwa keterikatan kelompok menjadi salah satu dasar dari keberlangsungan hidup kelompok masyarakat. Penelitian para sarjana Barat maupun Indonesia mengenai kebatinan selama ini terklasifikasi pada dua bahasan utama; dunia mistik (ritual dan ajaran) serta hubungannya dengan kondisi sosial masyarakat. Dalam tinjauan pustaka ini, akan dibicarakan tema khusus yang menjadi pijakan dasar penelitian ini, diantaranya konsep dan bentuk mistisisme di Jawa (dalam aliran kepercayaan), sikap negara terhadap aliran kepercayaan serta respon balik dari kelompok kebatinan. Hakikat aliran kepercayaan/aliran kepercayaan adalah kumparan dalam tradisi Jawa, yang diidentikkan dengan non material, Hindu-Budha, dunia lain, irasional dan filsafat monoistik30. Dalam arti lain, ia disebut mistisisme atau jika dirunut secara literal berarti ilmu tentang sesuatu yang berada dalam batin manusia. Aliran kepercayaan dan kebatinan adalah dua hal yang sulit dilepaskan (saling terkait). Di masa modern kini, keterkaitan itu sedikit demi sedikit mampu dibedakan dan dipisahkan. Dimensi batiniah aliran aliran kepercayaan tradisional bersifat mutlak dan laten, tetapi di masa modern (pra kemerdekaan), ia hanyalah sebuah jalinan yang menyangkut penghayatan (batin digunakan sebagai alat penghayatan). Batas waktu antara aliran kepercayaan tradisonal dan modern, bisa dilihat dari masa peralihan dari masa kolonial ke kemerdekaan atau saat diberlakukannya undang-undang yang mengatur hal tersebut.

28Capt. R. P. Suyono, Dunia Mistik Orang Jawa, . . . . hlm. 132

29Simuh, Sufisme Jawa; Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa , . . . hlm. 133

30Niels Mulder, Mysticism and Eceryday Life in Contemporary Java, (Singapore; Singapore University Press, 1978), hlm.111-113

(25)

14

Aliran kepercayaan tradisional selalu dikaitkan dengan kepercayaan terhadap kekuatan roh dan alam. Di era modern, aliran kepercayaan menggunakan batin sebagai alat kesadaran untuk mempercayai adanya yang kuasa (jagat gedhe). Unsur kekuatan ghaib dalam aliran kepercayaan tradisional memberikan arah pemikiran dan pergerakan laku kelompok demi tercapainya sebuah tujuan. Pemujaan terhadap benda-benda yang dianggap magis, dan juga tempat-tempat keramat menjadi hal yang biasa dilakukan untuk memuaskan kebutuhan rohani.

Tujuan-tujuan serta keinginan dalam hidup akan lebih mungkin tercapai jika mereka (aliran kepercayaan tradisional) melakukan ritual-ritual ini. Sedang dalam aliran kepercayaan era modern, unsur batin digunakan untuk mengembangkan kesadaran demi lepasnya keterikatan pada dunia dan kekuasaan (seperti yang terjadi di Jawa). Secara spiritual, aliran kepercayaan tradisional berpusat pada seorang guru (pembawa wahyu) sedang di era modern, hal tersebut tidak nampak. Hal yang tampak adalah bahwa aliran aliran kepercayaan tersebut dikelola secara bersamaan melalui yayasan atau badan hukum (efek kebijakan Orde Baru).

Mistik Jawa, pada awal kemunculan aliran kepercayaan menjadi daya tarik tersendiri karena mistik digunakan dan diperlukan untuk menghadapi ancaman musuh (kolonial).

Orientasi terhadap mistik Jawa ini mengarah pada ilmu kanuragan, kekebalan dan menaklukkan lawan dalam pertarungan. Ada hal lain yang harus dilakukan demi tercapainya keinginan- keinginan tersebut. Ritual menjadi jalan utama untuk menggapai orientasi mistik aliran kepercayaan tersebut. Dari ritual, diharapkan kekuatan-kekuatan alam/ruh di luar tubuh manusia dapat membantu keinginan dari yang bersangkutan (pelaku ritual). Setidaknya, praktik ini bertahan hingga akhirnya orientasi mistik hanya dipahami sebagai media mengasah batin untuk lebih peka. Sebagai contoh, puasa yang dilakukan oleh pengikut kebatinan (yang masih tradisional) ditujukan untuk kekuatan tubuh tertentu, tetapi di era modern, ia lebih difungsikan untuk mengasah kepekaan terhadap indera dan rasa. Proses mistisisasi aliran kepercayaan yang tampak bisa dilihat adalah pada upacara Selametan. Selametan adalah contoh bagaimana tradisi mistik dari agama besar diturunkan dan dilestarikan oleh kelompok kebatinan yang diperuntukkan bagi orang hidup, keinginan maupun untuk orang yang sudah mati.31

Konsep Selametan dalam studi aliran kepercayaan, bisa dilihat pada kelompok abangan. Selamatan memiliki banyak arti, diantaranya bahwa ia merupakan pertemuan antara

31Clifford Geertz, Abangan, Santri dan Priyayi Dalam Masyarakat Jawa, terj. Aswab Mahasin, (Jakarta;

Pustaka Jaya, 1981), hlm. 13-19. Pada penelitian selanjutnya, Andrew Beatty membagi selamatan menjadi dua;

sedekahan dan selamatan. Sedekahan diperuntukkan bagi orang yang sudah meninggal (3,7,40,100 hari) dan selamatan ditujukan bagi yang masih hidup (pindah rumah, kelahiran, pernikahan, dsb). Lihat; Andrew Beatty, Variasi Agama di Jawa, terj. Achmad Fedyani Saifuddin, (Jakarta; RajaGrafindo Persada, 2001), hlm. 42

(26)

15

yang sakral dengan yang sosial.32 Bagi Geertz, misalnya, Slametan merupakan acara mistik yang lekat dengan kelompok abangan (utamanya), dimana kelompok sangat memegang teguh tradisi mistik warisan Hindu-Budha di Mojokuto. Bagi masyarakat pedesaan, selamatan memiliki banyak fungsi yang semuanya terangkum dalam satu tujuan; agar semua selamat. Dalam tradisi slametan, Geertz melihat unsur makanan menjadi inti dan maksud dari hajat si tuan rumah.

Makanan dalam slametan memiliki jenis dan maksud yang berbeda dengan melihat jenis-jenis upacaranya, untuk panen, khitanan, pernikahan maupun untuk bersih desa.33 Jika mengikuti kerangka teoritis Geertz dalam melihat aliran kepercayaan, abangan adalah kelompok yang berperan penting dalam mempertahankan keberadaan kelompok kebatinan. Keberadaan aliran kepercayaandengan mengambil konsep mistik hanya mungkin akan ditemukan pada kelompok masyarakat Jawa abangan. Dengan kata lain, abangan itu sendiri adalah penghayat kepercayaan dan bukan pemeluk agama resmi negara Indonesia, meskipun sebagian dari mereka juga melakukan ajaran agama besar.

Kata ‘mistik’ sudah mengidentifikasikan dan menggambarkan abangan sebagai penganut kebatinan. Namun, jika mengikuti perspektif para kritikus Geertz, seperti Beatty, maka aliran abangan bukan saja kelompok yang identik dengan slametan dan mistik. Dalam kajian keagamaan di Jawa, mistik ditempatkan pada posisi yang antagonis; ia tradisional, tidak hadir dalam agama besar yang diakui dan melekat pada kelompok aliran kepercayaan. Cara pandang ini menjadi definisi yang kemudian mendiskritkan keberadaan kelompok abangan dan aliran kepercayaan. Mistik Jawa tidak dipandang sebagai mistisisme yang selalu hadir dalam agama, tetapi lebih kepada ajaran praksis dari aliran kepercayaan. Sisi mistisisme agama hadir dalam praktek-praktek ritual ibadah, seperti sufistik dalam Islam atau perilaku menyendiri dalam tempat ibadah. Hanya saja, pada agama besar, sisi mistisisme jarang ditampakkan karena lebih mengedepankan perilaku syariat/ajaran yang tertera dalam kitab sucinya. Mistik Jawa, adalah perjumpaan dua ajaran yang telah berlangsung lama; ajaran agama yang sudah tertata rapi dengan kebudayaan Jawa yang mengakar pada manusia Jawa.

32Clifford Geertz, Abangan, Santri dan Priyayi Dalam Masyarakat Jawa, . . . , hlm. 13

33Definisi standar slametan menurut Geertz adalah ‘suatu ritus yang sederhana, formal, jauh dari keramaian dan dramatis’. Sedangka Beatty melihat jika makanan dalam slametan bukanlah unsur terpenting, tetapi hanya simbol dari maksud tuan rumah. Doa dan ritualnya, bagi Beatty lebih penting, terutama pada upacara slametan sedekahan (untuk orang meninggal). Andrew Beatty, Variasi Agama di Jawa, . . . . , hal. 39

(27)

16 Kepercayaan Jawa Dalam Beberapa Penelitian

Studi mengenai agama Jawa, aliran kepercayaan, mistik dan kebatinan tidak bisa lepas dari sosok beberapa tokoh antropologi. Dalam tulisan ini, diambil beberapa tokoh yang mengulas tentang agama Jawa dengan berbagai pendekatan dan temuannya; Clifford Geertz, Andrew Beatty, Mark Woodward dan Paul Stange. Klasifikasi ini didasarkan pada beberapa pertimbangan. Geertz-Beatty dipilih sebagai peneliti Jawa yang karyanya hingga kini masih menjadi sumber penelitian dan perdebatan. Keduanya mewakili generasi awal yang meneliti agama Jawa dengan metode antropologi dan saling mengkritisi. Mark Woodward, meneliti agama/kepercayaan Jawa dengan kacamata yang sufistik dan akulturasi budaya. Sedang Paul Stange, melihat perubahan arah ajaran dan perkembangan aliran penghayat di masa modern kini.

Geertz meneliti agama Jawa di era 1960-an dengan menggunakan pendekatan antropologi budaya. Kerangka berpikir yang digunakannya terpengaruh oleh beberapa pemikiran para tokoh sebelumnya, seperti J.G Frazer, E.B Tylor dan beberapa tokoh hermeneutika. J.G Frazer memadukan kajian sastra dengan antropologi dalam studinya meneliti kebudayaan bangsa Romawi. Evolusi agama yang berlangsung di masyarakat Eropa diteliti oleh Frazer melalui beberapa sumber; perilaku masyarakat, mitos kuno, sihir, agama, ritual dan catatan-catatan sejarah. Tak berbeda jauh dengan Frazer, EB Tylor juga menyatakan jika mula -mula agama berasal dari kesadaran manusia tentang adanya jiwa.34 Manusia yang sudah mati, jiwanya akan berpisah dengan jasmani dan bergerak bebas di alam. Manusia yang masih hidup memberikan penghormatan kepada roh-roh tersebut dengan sesaji dan persembahan agar tidak mendatangkan bahaya.

Metodologi utama Geertz dalam melihat agama Jawa terletak pada asal dan pola keseharian masyarakat. Geertz memilih sudut pandang antropologis dengan mengamati dan menjelaskan keseharian masyarakat Mojokuto. Asal dari agama Jawa, menurut Geertz, salah satunya dipengaruhi oleh letak geografis dan saluran (media) penyebaran agama Islam. Agama Jawa sendiri merupakan bentuk kepercayaan asli Jawa yang saling berkelindan dengan pokok- pokok ajaran agama lain. Dalam konsep slametan misalnya, menurut Geertz terdapat banyak perpaduan beberapa ajaran agama. Tujuan diadakannya slametan sendiri untuk memberikan kedamaian pada kelompok tertentu dari gangguan ‘arwah’ atau danyangan jahat. Mediumnya menggunakan cara-cara Hindu (bentuk ritualnya) dan Islam (doa Islam). Ritual Slametan berasal

34E.B. Taylor and J.G. Frazer, “Animism and Magic”, dalam Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion, (New York, Oxford: Oxford University Press, 1996), hlm. 16-53, 25-26.

(28)

17

dari ajaran kelompok Hindu Bhairawa Tantra untuk tujuan moksa, sedangkan doa dalam Selametan dipimpin oleh modin atau pemuka agama Islam di desa.

Kelompok abangan mewakili animisme sinkretis di Jawa dalam pespektif Geertz.

Selametan misalnya, juga sering dilakukan oleh komunitas abangan dengan memegang teguh

bentuk ritual secara turun temurun. Istilah abangan Clifford Geertz identik pada kebudayaan orang desa, yaitu para petani yang kurang terpengaruh oleh pihak luar dibandingkan dengan golongan-golongan lain di masyakat Jawa. Orang-orang abangan sendiri masih mempercayai hal-hal mistis dan kekuatan makhluk halus disekitar mereka memedi, lelembut, tuyul, demit, danyang dan lain-lain. Varian kelompok abangan mengacu kepada bahasa sehari-hari disebut tradisi rakyat yang pokok, tradisi kaum tani. Inti ritual-ritualnya terdiri dari slametan, atau perjamuan untuk lingkungan tetangga, yang diadakan dengan tujuang agar selamat, yakni satu keadaan psikologis tanpa gangguan-gangguan emosional. Dengan satu kompleks kepercayaan- kepercayaan tentang roh dan praktek penyembuhan, varian agama abangan mencerminkan pemberian tekanan pada aspek-aspek animisme dari sinkretisme Jawa secara keseluruhan. Pada perkembangannya, kelompok abangan kemudian diturunkan menjadi aliran/kelompok penghayat kepercayaan.

Varian kedua adalah santri. Menurut Geertz, santri merupakan orang-orang yang secara teratur dan ajeg melakukan ritual-ritual pokok agama Islam, seperti kewajiban salat lima kali sehari, salat Jumat, berpuasa selama bulan Ramadhan, dan menunaikan ibadah haji. Artinya, dalam menjalankan peribadatan agama Islam, kalangan santri tidak mencampur adukkan unsur - unsur lain selain agama Islam seperti kalangan abangan. Ciri-ciri santri lebih dikenal sebagai tradisi Islam untuk mempermudah pandangan kita terhadap kaum santri. Secara ekonomi, varian agama santri diasosiasikan dengan pasar (jual-beli). Profesi yang banyak dianut oleh kaum santri, di daerah perkotaan santri biasanya berprofesi sebagai pedagang atau tukang, terutama penjahit.

Sedangkan di desa, santri berprofesi sebagai petani, jadi tidak semua petani di desa adalah orang abangan, di sana terdapat pula petani-petani yang santri.

Santri tidak hidup berkelompok dalam satu lingkungan rukun tetangga, meskipun kelompok-kelompok rumah yang dihuni oleh orang-orang santri mungkin saja ditemukan di mengelompok di suatu kawasan (dekat masjid-kiai). Kelompok rumah-rumah di sekitar masjid meliputi apa yang dikenal sebagai kauman dan kompleks tempat tinggal santri-santi sekitar rumah kiai yang disebut pesantren. Terkadang, santri juga hidup di lingkungan masyarakat yang

(29)

18

dominan abangan atau priyayi. Dalam konteks seperti ini (bercampur dengan kelompok lain), seorang santri akan menjadi rujukan dalam memecahkan persoalan agama. Praktisnya, dalam sebuah ritual non-santri (slametan di kelompok abangan), ia akan menjadi orang yang memiliki peran pemimpin doa.

Varian terakhir adalah priyayi. Ia digambarkan sebagai kelompok yang masih memiliki darah keturunan bangsawan (raja Jawa). Di masa lampau, mereka dianggap merupakan bagian dari aristokrasi keraton. Istilah priyayi mengacu kepada orang-orang dari kelas sosial tertentu, yang menurut hukum merupakan kaum elite tradisional. Ia mengacu kepada orang- orang yang menurut hukum dianggap berbeda dari rakyat biasa. Kaum priyayi juga dibedakan dari rakyat biasa karena memiliki gelar-gelar kehormatan yang terdiri dari pelbagai tingkat menurut hirarki hak dan kewajiban. Gelar-gelar tersebut seperti Raden, Raden Mas, Raden Panji, Raden Tumenggung, Raden Ngabehi, Raden Mas Panji, dan Raden Mas Aria. Kkaum wanita juga mempunyai gelar seperti Raden Roro, Raden Ajeng, dan Raden Ayu.

Sebagai elite dalam masyarakat Jawa, kaum priyayi mempunyai lebih banyak kesempatan untuk memperoleh pengetahuan, tradisional atau modern, dibandingkan rakyat biasa.

Orang-orang priyayi dididik untuk mengetahui tata krama dalam perilaku mereka, pola -pola tingkah laku yang sesuai dengan gelarnya (priyayi). Dalam kepercayaan, priyayi mendapat bermacam macam kepercayaan agama dan bukan hanya satu tradisi agama yang merupakan varian dari sistem agama orang-orang Jawa pada umumnya. Mereka ada yang memiliki kebiasaan peribadata santri (taat ajaran Islam), abangan (dekat dengan sinkretisme Hindu - animisme-Islam) dan tidak keduanya (ciri agama tidak ditampilkan ke publik). Dari ketiga varian tersebut, jika dikaitkan dengan kelompok penghayat masa kini, kelompok abangan dan priyayi memiliki potensi sebagai penyumbang anggota karena kesamaan perilaku agama dan adat istiadat (kebiasaan).

Andrew Beatty, peneliti setelah Geertz, tidak jauh berbeda dalam mengambil subjek penelitiannya (masyarakat Jawa). Titik tekan Beatty terletak pada bagaimana kelompok- kelompok tersebut memaknai setiap ritualnya. Jika menurut Geertz, apa yang diucapkan oleh pemuka agama dalam selametan sebagai bentuk lain dari negosiasi, maka Beatty melihatnya sebagai pemersatu kelompok. Selametan/doa mengandung banyak simbol-simbol dan makna menurut Geertz, tetapi menurut Beatty, ia menyatukan masyarakat, karena tidak memandang

(30)

19

status sosial seseorang. Semuanya tergantung pada bagaimana pelaku slametan memaknai slametan tersebut. Selametan menjadi pemersatu kelompok-kelompok yang berbeda di

masyarakat; abangan, santri dan priyayi.

Mark Woodward, peneliti Jawa lainnya, juga memiliki perbedaan dalam memandang agama di Jawa. Ia melihat bahwa banyaknya kelompok sinkretis di Jawa (termasuk kelompok penghayat) karena Islam yang hadir setelah Hindu-Budha memiliki latar belakang yang didominasi oleh perilaku sufi (mistisisme Islam). Islam yang berkembang di Indonesia merupakan Islam pesisir Timur Tengah yang hidup setelah abad 13. Kejayaan Islam telah berakhir di masa itu, dan menyisakan kelompok/model keberagamaan yang sufistik. Islam yang berkembang sebelum abad 13 menekankan pada ajaran politik, fikih, tauhid, sains dan filsafat.

Namun pasca kejatuhannya akibat serangan Jengis Khan, umat Islam lebih banyak mengasingkan diri dari persoalan politik dan filsafat serta menggantinya dengan model sufistik.

Islam inilah yang disebarkan di Indonesia oleh pedagang Gujarat, Persia dan Yaman. Saat tiba di Indonesia, karakter Islam sufistik ini memiliki kesamaan dimensi dengan agama -agama yang dianut oleh orang-orang Nusantara (banyak ritual).

Paul Stange, peneliti yang juga meneliti kelompok penghayat Sumarah tidak lagi membahas asal usul dan karakter dari kelompok penghayat di Jawa. Stange lebih menekankan bagaimana kelompok penghayat tersebut mengolah rasa dan fungsi praktisnya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kelompok Sumarah misalnya, olah rasa/sembahyang masa lampau dengan masa kini memiliki tujuan yang berbeda. Di masa lampau, khususnya kolonial, laku kelompok Sumarah tidak hanya sembahyang, tetapi juga ritual fisik untuk kekebalan (melawan penjajahan Belanda). Namun, kini sembahnya Sumarah difokuskan pada pematangan mental, batin dan

‘rasa’. Sembahyang (dalam Sumarah juga biasa disebut sujud), memiliki fungsi sebagai penyeimbang pikiran dan hati demi menciptakan ketenangan psikologis. Namun, ketenangan psikologis yang diharapkan oleh kelompok Sumarah dan penghayat lainnya harus berhadapan dengan beberapa persoalan, salah satunya legalitas hukum atas eksistensinya.

Kelompok Kepercayaan dan Kekerasan Negara

Indonesia, hingga hari ini memiliki 6 agama resmi (Islam, Katholik, Protestan, Hindu, Budha dan Konghucu) yang secara sah diakui keberadaannya oleh pemerintah. Aliran kepercayaan yang ada dalam masyarakat lokal Indonesia, tidak diakui sebagai sebuah agama, melainkan perilaku kebudayaan (sesuai dengan TAP MPR Nomor 4/1978). Tidak diakuinya

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara empirik hubungan antara interaksi sosial dan kepercayaan diri dengan motivasi berprestasi pada atlet PPLP Jawa