• Tidak ada hasil yang ditemukan

UNIVERSITAS INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "UNIVERSITAS INDONESIA"

Copied!
123
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS INDONESIA

ASUHAN KEPERAWATAN KELUARGA BAPAK S DENGAN MASALAH KETIDAKSEIMBANGAN NUTRISI: KURANG DARI KEBUTUHAN TUBUH PADA ANAK BALITA DI RW 07 KELURAHAN

CISALAK PASAR, KECAMATAN CIMANGGIS, KOTA DEPOK

KARYA ILMIAH AKHIR-NERS

RIYANTINA HERLITA, S.KEP 0806457275

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM STUDI NERS

DEPOK JULI 2013

(2)

UNIVERSITAS INDONESIA

ASUHAN KEPERAWATAN KELUARGA BAPAK S DENGAN MASALAH KETIDAKSEIMBANGAN NUTRISI: KURANG DARI KEBUTUHAN TUBUH PADA ANAK BALITA DI RW 07 KELURAHAN

CISALAK PASAR, KECAMATAN CIMANGGIS, KOTA DEPOK

KARYA ILMIAH AKHIR-NERS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Ners

RIYANTINA HERLITA, S.KEP 0806457275

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM STUDI NERS

DEPOK JULI 2013

(3)
(4)
(5)

Alhamdulillahirobbil’alamin, puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas Ridho-Nya lah saya dapat menyelesaikan Karya Ilmiah Akhir Ners ini. Penulisan Karya Ilmiah Akhir Ners ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Ners pada Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. Saya menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa profesi sampai pada penyusunan Karya Ilmiah Akhir Ners ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada:

(1) Ibu Dewi Irawaty, MA., Ph.D., selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan;

(2) Ibu Kuntarti S.Kp., M. Biomed, sebagai kepala program studi Ners;

(3) Ibu Ns.Tri Widyastuti, S.Kep, selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam penyusunan Karya Ilmiah Akhir ini;

(4) Segenap tim dosen keilmuan Keperawatan Komunitas yang telah membimbing dalam pelaksanaan praktik profesi ini;

(5) Mama, papa, dan kakak saya yang telah memberikan bantuan dukungan material dan moral;

(6) Imam, yang telah memberi saya semangat saat saya menghadapi kesulitan dan kebosanan dalam profesi ini;

(7) Teman-teman kelompok Gizi Balita dan sahabat-sahabat saya, Danisya, Ncel, Sheila, Mpit, Mbak Wiji, Risa, yang telah banyak memberikan bantuan baik dukungan, semangat dan bekerjasama dalam menyelesaikan Karya Ilmiah Akhir Ners ini;

(8) Keluarga Bapak S, khususnya Ibu Y dan An.B yang mau menerima saya dalam asuhan keperawatan keluarga yang saya berikan;

(9) RW 07 dan segenap kader yang telah bersedia tempatnya dijadikan lahan praktik dan banyak membantu kami dalam pelaksanaan kegiatan

(10) Tim peminatan komunitas yang kompak dan selalu bekerjasama dengan baik dalam proses peminatan ini;

(6)

maupun tidak sadar telah saya repotkan atau membantu saya dalam pengerjaan proposal penelitian ini

(12) Seluruh teman-teman seperjuangan, profesi FIK UI angkatan 2012/2013, karena kalian lah yang berjalan bersama saya melewati semua proses ini

Akhir kata, saya berharap Karya Ilmiah Akhir Ners ini dapat membawa manfaat positif bagi banyak pihak, terutama dapat bermanfaat untuk perkembangan ilmu.

Depok, 9 Juli 2013 Penulis

(7)
(8)

Nama : Riyantina Herlita, S.Kep Program Studi : Ners

Judul : Asuhan Keperawatan Keluarga Bapak S dengan Masalah

Ketidakseimbangan Nutrisi: Kurang dari Kebutuhan Tubuh pada Anak Balita di RW 07 Kelurahan Cisalak Pasar, Kecamatan Cimanggis, Kota Depok

Kemiskinan merupakan salah satu dampak urbanisasi yang mempengaruhi masalah gizi balita. Karya Ilmiah Akhir ini bertujuan untuk memberikan gambaran penatalaksanaan asuhan keperawatan keluarga Bapak S dengan masalah ketidakseimbangan nutrisi pada balita. Intervensi keperawatan yang dijadikan intervensi unggulan adalah penyusunan jadwal menu makanan seimbang berdasarkan triguna makanan (zat tenaga, zat pembangun, dan zat pengatur).

Intervensi ini merupakan cara yang efektif untuk memenuhi nutrisi sehari-hari balita. Hasil evaluasi menunjukkan perubahan sikap dan perilaku keluarga terhadap pemberian makanan seimbang untuk balita dimana keluarga menyediakan makanan dengan menu bervariasi sesuai triguna makanan.

Intervensi ini juga efektif meningkatkan berat badan pada balita kelolaan, dari 7,2 kg menjadi 7,5 kg.

Kata kunci: Balita, Gizi Kurang, Triguna Makanan

(9)

Name : Riyantina Herlita, S.Kep Study Program : Ners

Title : The Nursing Care Process of Mr. S’s Family with Health

Problem Nutrition Imbalance: Less than Body Requirment on Toddler at RW 07 Kelurahan Cisalak Pasar, Kecamatan Cimanggis, Kota Depok

Poverty is one of the impacts of urbanization that affects the nutritional problems on toddler. The aim of this final assignment is to give a description about nursing care process of Mr.S’s family with nutrition imbalance on toddler children.

Nursing interventions that become the main intervention is arranging the schedule of balanced food menu based on nutritional food balance (contain energy substances, builder substances and control substance). This intervention is an effective way to fulfill nutritions demand. Evaluation showed that family experiencing changed in attitude and behavior towards giving balanced food for their child, family provided variated food menus according to nutritional food balance. This intervension also effective to make toddler gain weight, from 7,2 kgs to 7,5 kgs.

Keywords: Insufficient nutrition, Nutritional food balance, Toddlers

(10)

HALAMAN SAMPUL...i

HALAMAN JUDUL...ii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS...iii

HALAMAN PENGESAHAN...iv

KATA PENGANTAR...v

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS...vii

ABSTRAK...viii

ABSTRACT...ix

DAFTAR ISI...x

DAFTAR TABEL...xiii

DAFTAR LAMPIRAN...xiv

BAB 1 PENDAHULUAN ...1

1.1 Latar Belakang ...1

1.2 Perumusan Masalah ...6

1.4 Tujuan Penulisan ...7

1.4.1 Tujuan Umum ...7

1.4.2 Tujuan Khusus ...7

1.5 Manfaat Penulisan ...8

1.5.1 Manfaat pada Institusi Pendidikan ...8

1.5.2 Manfaat pada Institusi Pelayanan ...8

1.5.3 Manfaat pada Institusi Penelitian atau Keilmuan ...8

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ...9

2.1 Konsep Keperawatan Perkotaan (Urban Nursing) ...9

2.1.1 Definisi Perkotaan ...9

2.1.2 Masalah Kemiskinan dan Nutrisi yang Terjadi di Perkotaan ...10

2.2 Keluarga dengan Balita ...10

2.2.1 Definisi Keluarga ...10

2.2.2 Keluarga dengan Balita ...11

2.2.3 Masalah Kesehatan pada Keluarga dengan Balita ...12

2.2.4 Peran Perawat Keluarga ...16

2.3 Konsep Asuhan Keperawatan Keluarga ...17

2.3.1 Pengkajian ...17

2.3.2 Diagnosis...19

2.3.3 Perencanaan ...20

2.3.4 Implementasi ...21

2.3.5 Evaluasi ...24

BAB 3 LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA ... 26

3.1 Pengkajian ... 26

3.2 Diagnosis ... 28

3.3 Perencanaan ... 29

3.4 Implementasi ... 31

3.5 Evaluasi ... 34

(11)

3.5.3 Evaluasi Tingkat Kemandirian ... 38

BAB 4 ANALISIS SITUASI ... 39

4.1 Profil Lahan Praktik ... 39

4.2 Analisis Masalah Keperawatan dengan Konsep terkait KKMP ... 41

4.3 Analisis Penyusunan Menu Seimbang pada Balita Berdasarkan Triguna Makanan dengan Konsep dan Penelitian Terkait ... 44

4.4 Alternatif Pemecahan yang Dapat Dilakukan ... 45

BAB 5 PENUTUP ... 47

5.1 Kesimpulan ... 47

5.2 Saran ... 48

5.2.1 Keluarga dengan Balita ... 48

5.2.2 Kader RW 07 ... 48

5.2.3 Puskesmas Cimanggis ... 49

DAFTAR PUSTAKA ... 50

(12)

Tabel 2.1 Tabel NCHS...18

(13)

Lampiran 1: Pengkajian Keluarga Lampiran 2: Analisa Data

Lampiran 3: Skoring Data

Lampiran 4: Rencana Asuhan Keperawatan Lampiran 5: Implementasi dan Evaluasi

Lampiran 6: Evaluasi Sumatif Asuhan Keperawatan Keluarga Lampiran7: Tingkat Kemandirian Keluarga

(14)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perkotaan (urban) adalah area geograpis yang dideskripsikan sebagai daerah yang memiliki populasi penduduk yang besar (sekitar 99 jiwa dalam satu mil), atau daerah dengan jumlah populasi antara 20.000-50.000 jiwa, yang memiliki karakteristik tertentu. Perkotaan merupakan suatu daerah dengan kepadatan penduduk tinggi, dan memiliki ciri masyarakat yang beragam (heterogen).

Perkotaan biasanya menawarkan lapangan pekerjaan untuk memperbaiki kehidupan masyarakatnya. Hal ini menyebabkan tingginya angka urbanisasi dari desa ke kota (Allender & Spradley, 2005; Hitchcock, Schubert, & Thomas, 1999;

Stanhope & Lancaster, 2004).

Urbanisasi yang terjadi sering menimbulkan dampak bagi masyarakat itu sendiri.

Salah satu dampak dari urbanisasi ialah dampak ekonomi. Dampak atau masalah ekonomi yang sering terjadi di masyarakat perkotaan ialah kemiskinan (Stanhope

& Lancaster, 2004). Kemiskinan merupakan masalah yang terjadi di negara- negara yang sedang berkembang. Badan Pusat Statistik (2008) mengatakan bahwa keluarga miskin adalah keluarga yang tidak memiliki kemampuan untuk mencukupi keutuhan pokok minimum seperti pangan, sandang, kesehatan, perumahan dan pendidikan yang diperlukan untuk bisa hidup dan bekerja.

Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan pangan dalam rumah tangga akan berakibat pada kekurangan gizi.

Kekurangan gizi merupakan penyakit tidak menular yang terjadi pada sekelompok masyarakat di suatu tempat (Departemen Gizi dan Kesmas FKM UI, 2010).

Supariasa (2002) mengemukakan bahwa keadaan gizi kurang dapat dilihat sebagai suatu proses ketika kebutuhan normal terhadap satu atau beberapa nutrient tidak terpenuhi, atau nutrient-nutrien tersebut hilang dengan jumlah yang lebih besar daripada yang didapat. Kesimpulan yang dapat ditarik dari kedua pendapat tersebut ialah kurang gizi merupakan suatu penyakit tidak menular, dimana tubuh

(15)

mengalami kekurangan zat gizi atau nutrien sehingga terjadi perubahan dalam tubuh, dan terjadi pada sekelompok masyarakat di suatu tempat. Salah satu kelompok masyarakat yang berisiko mengalami kurang gizi ialah balita.

Balita merupakan kelompok risiko tinggi terhadap masalah gizi. Hitchock, Schubert, dan Thomas(1999) menyebutkan bahwa risiko tinggi yang terjadi pada balita disebabkan oleh usia yang terlalu muda, ketergantungan pada orang lain dalam ketersediaan makanan, kelahiran prematur, Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), selain itu balita masih memiliki sistem tubuh yang imatur dengan pertahan tubuh yang rendah sehingga mempunyai peluang lebih besar terhadap risiko penyakit dan masalah nutrisi. Departemen Gizi dan Kesmas FKM UI (2010) juga menyebutkan bahwa kelompok umur 6-17 bulan dan 6-23 bulan adalah kelompok umur yang merupakan saat periode pertumbuhan kritis dimana pertumbuhan dapat mengalami kegagalan tumbuh. Kelompok ini sering tertimpa masalah kurang gizi terutama di negara-negara sedang berkembang, seperti Indonesia.

Indonesia termasuk ke dalam 5 besar negara dengan angka gizi buruk maupun gizi kurang terbanyak di dunia (Anonim, 2012). Prevalensi balita gizi kurang di Indonesia dari tahun ke tahun mengalami penurunan. Data Departemen Kesehatan pada tahun 2004 menyebutkan kasus gizi buruk dan gizi kurang pada balita di Indonesia tahun 2004 masing-masing 8,09% dan 20,47% dari seluruh populasi balita (Pemantauan Status Gizi, 2004, dalam Zega, 2012). Badan Pusat Statistik (Depkes RI, 2011) menunjukkan penurunan presentasi gizi kurang pada balita.

BPS melaporkan pada tahun 2003-2004 gizi kurang sebesar 25,8%, pada tahun 2005 sebesar 24,7%, pada tahun 2006 sebesar 23,6%, dan pada tahun 2007 menjadi 21,9%. Hasil Riskesdas tahun 2010 (Kemenkes, 2010), didapatkan prevalensi gizi kurang pada balita di Indonesia pada tahun 2010 ialah sebesar 17,9%.

Kemenkes (Anonim, 2012) memprioritaskan enam provinsi di Indonesia dalam penanganan gizi buruk karena masih banyaknya kasus gizi buruk ditemukan di

(16)

enam provinsi tersebut, salah satunya ialah provinsi Jawa Barat. Jawa Barat merupakan provinsi yang masih mengalami masalah gizi kurang pada balita.

Prevalensi gizi kurang dan buruk pada balita tahun 2007 di Jawa Barat sebesar 15% sedangkan pada tahun 2010 sebesar 13% (Depkes RI, 2011). Data tersebut menunjukkan bahwa prevalensi gizi kurang di Jawa Barat di bawah prevalensi nasional dan cenderung mengalami penurunan.

Kota Depok adalah salah satu kota di Jawa Barat yang turut berperan dalam menyumbang angka kurang gizi di Jawa Barat. Kota Depok dilaporkan memiliki jumlah gizi buruk pada balita pada tahun 2005 mencapai 1.133 orang balita, tahun 2006 sebanyak 933 balita, dan pada tahun 2007 mencapai 959 balita penderita gizi buruk (Safi’i, 2008). Data tersebut juga mencatat bahwa penderita gizi buruk berasal dari enam kecamatan, yaitu Kecamatan Pancoran Mas dengan penderita gizi buruk sebanyak 321 balita, diikuti Cimanggis 228 balita, Sawangan 122 balita, Sukmajaya 124 balita, Limo 104 balita, dan Beji 60 balita. Hal ini juga didukung dengan pernyataan Kepala Dinas Kesehatan Kota Depok, Hardiono, yang mengatakan ada 52 anak di di bawah lima tahun yang menderita gizi buruk di Depok. Semuanya tersebar di 21 kelurahan dari 63 kelurahan di Depok (Tirta, 2013).

Kelurahan Cisalak Pasar merupakan salah kelurahan di kecamatan Cimanggis, Kota Depok, yang juga memiliki masalah kurang gizi pada balita. Hasil penelitian yang diakukan oleh Program Spesialis Keperawatan Komunitas FIK UI (2013) disebutkan 25% balita Kelurahan Cisalak Pasar mengalami gizi kurang. Hasil screening penulis di tiga posyandu salah satu RW di kelurahan Cisalak Pasar,

yakni RW 07, didapat data (menurut kategori BB/U) 13 dari seluruh balita yang datang di posyandu di RW 07 mengalami masalah gizi, dimana 5 diantaranya mengalami gizi buruk dan 8 balita lainnya mengalami gizi kurang.

Supartini (2004) menyebutkan faktor resiko terjadinya masalah gizi pada balita diakibatkan karena karakteristik balita yang cenderung beraktivitas lebih banyak, rasa ingin tahu yang besar dan menyukai jenis makanan tertentu saja. Anak sering

(17)

melakukan penolakan terhadap makanan yang tidak ia sukai karena pada tahap perkembangan balita, kemampuan untuk memilih dan menentukan sendiri makanan yang ingin dikonsumsi sedang berkembang. Faktor lain yang dapat mempengaruhi masalah gizi balita ialah faktor lingkungan. Basuki (2003) penyebab gizi kurang adalah salah satunya rendahnya pengetahuan ibu tentang gizi, sehingga balita menjadi kurang diperhatikan dan akhirnya berat badannya pun di bawah standar. Keluarga, terutama ibu, merupakan salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi masalah gizi balita.

Friedman, Bowden, dan Jones (2003) menyebutkan keluarga merupakan unit dasar dari masyarakat. Unit dasar ini memiliki pengaruh yang begitu kuat terhadap perkembangan seorang individu yang dapat menetukan berhasil-tidaknya kehidupan individu tersebut. Setiap anggota keluarga memiliki kebutuhan dasar fisik, pribadi dan sosial. Sebuah keluarga diharapkan mampu bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan dari tiap anggota keluarganya guna memenuhi tugas perkembangan keluarga. Keluarga diharapkan mampu membantu perawat dalam memberikan asuhan keperawatan untuk menyelesaikan masalah gizi kurang pada balita.

Asuhan Keperawatan keluarga yang diaplikasikan perawat selama praktik adalah asuhan keperawatan dengan pendekatan model Family centered-nursing (Friedman, Bowden & Jones 2003). Metoda asuhan keperawatan ini digunakan khususnya dengan keluarga yang memiliki anak balita (Hitchcock, Schubert, &

Thomas, 1999). Asuhan keperawatan yang dilakukan dimulai dari tahap pengkajian, perumusan diagnosa, perencanaan, implementasi, serta evaluasi (Potter & Perry, 2005). Pengkajian yang dilakukan meliputi 8 komponen pengkajian keluarga yang terdiri dari data umum, riwayat dan tahap perkembangan keluarga, lingkungan, struktur keluarga, fungsi keluarga, stress dan koping keluarga, harapan keluarga dan pemeriksaan fisik.

Pengkajian keluarga tidak hanya meliputi data umum namun juga data terkait keluarga seperti fungsi keluarga dan tahap perkembangan keluarga, serta

(18)

pengkajian terfokus kepada masalah yang terjadi di keluarga tersebut, yakni masalah kurang gizi. Pengkajian dilakukan dengan teknik wawancara orangtua dan observasi perilaku orangtua agar didapat hasil pengkajian keluarga yang optimal. Diagnosis yang dirumuskan setelah melakukan pengkajian ialah diagnosa terkait gizi balita. Perencanaan dan implementasi yang dilakukan perawat bertujuan untuk menyelesaikan masalah gizi kurang pada balita. Hal-hal tersebut memberikan kesimpulan bahwa perawat memiliki peran penting dalam memberikan asuhan keperawatan yang terintegrasi guna menyelesaikan masalah yang terjadi pada keluarga.

Keluarga Bapak S merupakan keluarga dengan masalah gizi kurang pada balita khususnya An.B. An.B mengalami tanda-tanda kurang gizi seperti tampak kurus, rambut kemerahan dan tipis, tampak lemas, lingkar lengan atas 12 cm, dan IMT berada di antara persentil -3SD dengan -2SD, dan termasuk dalam kategori gizi kurang (Kemenkes, 2011). Salah satu hal yang menjadi penyebab gizi kurang pada an.B di keluarga Bapak S ialah tingkat pengetahuan ibu dan asupan gizi yang kurang seimbang pada an.B. Perawat komunitas memiliki tanggung jawab untuk melakukan implementasi guna mengatasi masalah gizi kurang pada anggota keluarga.

Implementasi yang telah dilakukan guna mengatasi masalah kurang gizi pada keluarga Bapak S terdiri dari tiga macam implementasi, yakni implementasi yang bersifat kognitif, afektif dan psikomotor. Pendidikan kesehatan yang dilakukan perawat mencakup pemberian informasi mengenai pengertian gizi seimbang, pengertian gizi kurang, penyebab gizi kurang, tanda-tanda gizi kurang, akibat gizi kurang, triguna makanan, porsi untuk anak usia 14 bulan, cara mengolah makanan, dan cemilan sehat. Perawat juga melakukan demonstrasi pengelompokkan makanan sesuai triguna makanan, pengukuran porsi makan anak, pembuatan jadwal menu seimbang, mengolah makanan serta pembuatan cemilan sehat kepada keluarga Bapak S. Intervensi unggulan dari implementasi yang telah dilakukan penulis ialah penyusunan jadwal dan menu seimbang pada balita berdasarkan triguna makanan. Intervensi ini mencakup peningkatan

(19)

pengetahuan ibu mengenai triguna makanan dan pembuatan menu seimbang berdasarkan triguna makanan.

Setiap makanan mengandung satu atau dua zat gizi yang mampu membuat seseorang untuk hidup sehat, tumbuh kembang, atau produktif. Konsumsi makanan sehari-hari yang kurang beranekaragam, akan menimbulkan ketidakseimbangan antara masukan dan kebutuhan zat gizi yang diperlukan untuk hidup sehat dan produktif (Departemen Gizi dan Kesmas FKM UI, 2010).

Konsumsi makanan sehari-hari yang beranekaragam akan membuat kekurangan zat gizi pada jenis makanan yang satu dilengkapi oleh keunggulan susunan zat gizi jenis makanan lain, sehingga diperoleh masukan zat gizi yang seimbang.

Makanan yang beraneka ragam yaitu makanan yang mengandung unsur zat gizi yang diperlukan tubuh baik kualitas maupun kuantitasnya, dalam pelajaran ilmu gizi disebut triguna makanan (Azwar, 2002).

Penyusunan jadwal dan menu seimbang pada balita berdasarkan triguna makanan sangatlah penting untuk mengatasi masalah gizi kurang. Hasil penelitian Muhammad, Hadi, dan Budiman (2009) tentang pola asuh, asupan zat gizi, dan hubungannya dengan status gizi balita mengidentifikasi bahwa ada hubungan asupan zat gizi dengan status gizi balita menurut BB/U dan TB/U. Hasil penelitian plan international Indonesia dan Departemen Gizi Masyarakat IPB (2008, dalam Hidayati, 2011) di Kabupaten Timor tengah Selatan juga menunjukkan prevalensi gizi kurang (30%) dan penyebabnya karena kualitas dan kuantitas makanan. Oleh karena itu, pada makalah ini penulis ingin menjabarkan mengenai asuhan keperawatan yang telah dilaksanakan oleh penulis pada salah satu keluarga kelolaan penulis dengan masalah gizi kurang beserta salah satu intervensi, yakni pendidikan kesehatan mengenai triguna makanan dan penyusunan menu sesuai triguna makanan, yang telah dilakukan.

1.2 Perumusan Masalah

Indonesia termasuk ke dalam 5 negara yang memiliki angka gizi kurang terbanyak di dunia (Anonim, 2012). Jawa Barat adalah salah satu provinsi di Indonesia yang

(20)

memiliki angka gizi kurang tinggi. Cisalak Pasar merupakan satu dari sekian banyak daerah di Jawa Barat yang ikut menyumbang angka gizi kurang di Jawa Barat, khususnya Depok. Gizi kurang merupakan keadaan dimana tubuh mengalami kekurangan zat gizi sehingga terjadi perubahan dalam tubuh.

Kelompok masyarakat yang berisiko mengalami gizi kurang salah satunya ialah balita.

Balita harus mengkonsumsi hidangan sehari-hari dengan susunan zat gizi yang seimbang agar kebutuhan gizinya terpenuhi. Salah satu upaya untuk meningkatkan meningkatkan konsumsi gizi balita yang seimbang adalah dengan meningkatkan pengetahuan ibu tentang gizi seimbang yang disebut triguna makanan dan penyusunan menu sesuai dengan triguna makanan. Pada tulisan ini, penulis ingin menjabarkan mengenai asuhan keperawatan keluarga pada keluarga kelolaan penulis dengan masalah gizi kurang dan intervensi yang dilakukan, salah satunya berupa peningkatan pengetahuan ibu mengenai triguna makanan dan penyusunan menu berdasarkan triguna makanan.

1.3 Tujuan Penulisan 1.3.1 Tujuan Umum

Memberikan gambaran tentang asuhan keperawatan keluarga pada keluarga Bapak S di RW 07, Cisalak Pasar, dengan masalah gizi kurang pada balita.

1.3.2 Tujuan Khusus

1.3.2.1 Diketahuinya gambaran tentang hasil pengkajian keluarga Bapak S dengan masalah gizi kurang

1.3.2.2 Diketahuinya gambaran tentang masalah keperawatan keluarga Bapak S serta diagnosa dengan masalah gizi kurang

1.3.2.3 Diketahuinya gambaran tentang intervensi dan implementasi yang dilakukan pada keluarga Bapak S dengan masalah gizi kurang

1.3.2.4 Diketahuinya gambaran evaluasi setelah dilakukan intervensi kepada keluarga Bapak S dengan masalah gizi kurang

(21)

1.4 Manfaat Penulisan

1.4.1 Manfaat pada Intitusi Pendidikan

Hasil penelitian ini dapat menambah wawasan ilmu keperawatan khususnya di bidang gizi balita.

1.4.2 Manfaat pada Institusi Pelayanan

1.4.2.1 Laporan ini dapat digunakan sebagai masukan untuk tenaga kesehatan dalam rangka meningkatkan upaya penanggulangan gizi kurang balita di lingkungan keluarga serta mencegah peningkatan angka kejadian gizi kurang balita.

1.4.2.2 Laporan ini dapat digunakan sebagai rekomendasi kepada pemegang program Gizi di Puskesmas untuk memberikan asuhan keperawatan pada keluarga dengan masalah gizi kurang.

1.4.2.3 Laporan ini dapat digunakan sebagai informasi pada kader guna membantu keluarga dalam menerapkan tindakan yang tepat untuk mengatasi gizi kurang dalam keluarga di wilayahnya.

1.4.3 Manfaat pada Institusi Penelitian atau Keilmuan

Laporan ini dapat dijadikan literatur atau Evidence Based dalam penelitian selanjutnya.

(22)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Keperawatan Perkotaan (Urban Nursing) 2.1.1 Definisi Perkotaan

Perkotaan (urban) adalah area geograpis yang dideskripsikan sebagai daerah yang memiliki populasi penduduk yang besar (sekitar 99 jiwa dalam satu mil), atau daerah dengan jumlah populasi antara 20.000-50.000 jiwa, yang memiliki karakteristik tertentu (Stanhope & Lancaster, 2004). Perkotaan merupakan suatu daerah dengan kepadatan penduduk tinggi, dan memiliki ciri masyarakat yang beragam (heterogen). Masyarakat perkotaan merupakan masyarakat yang tinggal di kota dan sering disebut urban community. Keperawatan diperlukan untuk kesehatan masyarakat perkotaan guna menekankan terhadap pencegahan akan penyakit serta adanya promosi kesehatan dan kesejahteraan diri dan mempromosikan tanggung jawab klien dan self care (Allender & Spradley, 2005).

Perkotaan biasanya menawarkan lapangan pekerjaan untuk memperbaiki kehidupan masyarakatnya. Hal ini menyebabkan tingginya angka urbanisasi dari desa ke kota.

Urbanisasi merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk menjelaskan proporsi jumlah penduduk yang tinggal di kota atau daerah perkotaan terhadap jumlah penduduk wilayah (Kusumaningrum, 2012). Pada urbanisasi terjadi perpindahan penduduk. Urbanisasi yang terjadi sering menimbulkan dampak bagi masyarakat itu sendiri. Urbanisasi dapat meningkatkan jumlah dan kepadatan penduduk kota, sehingga jumlah penduduk kota menggelembung dan membengkak. Kepadatan penduduk kota membuat timbulnya kesenjangan-kesenjangan dan dampak yang terjadi pada masyarakat perkotaan. Dampak yang terjadi bisa berupa dampak dalam hal ekonomi, dampak sosial, maupun dampak kesehatan (Allender &

Spradley, 2005; Hitchcock, Schubert, & Thomas, 1999; Stanhope & Lancaster, 2004).

(23)

2.1.2 Masalah Kemiskinan dan Nutrisi yang Terjadi di Perkotaan

Kemiskinan merupakan salah satu dampak dari urbanisasi, yang juga merupakan masalah kesehatan perkotaan yang sering terjadi. Kemiskinan didefiniskan sebagai tingkat pendapatan yang menunjukan batas minimal bagi berlangsungnya hidup manusia, dimana manusia hidup dalam tingkat kemelaratan (Subandi, 2011). Kemiskinan juga diartikan sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dasar, baik untuk makanan maupun bukan makanan (Badan Pusat Statistik, 2008). Kemenkes (2011) mendefinisikan keluarga miskin adalah keluarga yang tidak mampu makan 2 kali sehari, tidak memiliki pakaian berbeda untuk di rumah, bekerja, dan bepergian, bagian terluas rumah berlantai tanah dan tidak mampu membawa anggota keluarga ke sarana kesehatan. Berdasarkan beberapa definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa terdapat kaitan yang erat antara kemiskinan dan status nutrisi.

Hughes dan Simpson (1995, dalam Hitchcock, Schubert & Thomas, 1999) melaporkan bahwa status sosial ekonomi sebagai salah satu faktor yang terbesar yang mempengaruhi kesehatan nutrisi. Kemiskinan sangat identik dengan tidak tersedianya makan yang adekuat dan rendahnya pengetahuan keluarga dalam memelihara kesehatan anggota keluarga terutama anak balita (Fitriyani, 2009).

Hal ini menyebabkan anak tidak memperoleh pengasuhan yang baik sehingga anak tidak memperoleh nutrisi yang baik. Ketidakcukupan anggota keluarga memperoleh nutrisi dapat menimbulkan berbagai masalah gizi, terutama dalam keluarga dengan balita.

2.2 Keluarga dengan Balita 2.2.1 Definisi Keluarga

Keluarga ialah suatu sistem terbuka yang terdiri dari anggota-anggota yang saling terikat satu sama lain karena mempunyai hubungan darah dan dipengaruhi oleh adanya interaksi antara sistem tersebut dengan lingkungan eksternalnya dengan batasan-batasan seperti norma dan nilai yang dianut dalam keluarga, dan perilaku yang sangat berpengaruh terhadap kondisi kesehatan anggota keluarga (Hamid, 2003). Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat, yang perlu dilibatkan

(24)

dalam perawatan guna mencapai kesehatan keluarga (Whall, 1986 dalam Friedman, Bowden & Jones 2003). Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa keluarga merupakan pengaruh penting bagi kesehatan keluarga, khususnya keluarga dengan balita.

2.2.2 Keluarga dengan Balita

Muaris dalam Hidayati (2011) menyebutkan balita adalah anak yang telah menginjak usia di atas 1 tahun atau lebih, populer dengan pengertian usia anak bawah lima tahun. Dengan kata lain, keluarga dengan balita ialah keluarga yang tinggal bersama anak dengan usia 0-5 tahun. Keluarga dengan balita memiliki tugas keluarga tertentu yang harus dicapai. Menurut tahap perkembangan keluarga yang dikemukakan oleh Duvall (1985 dalam Friedman, Bowden & Jones, 2003), keluarga dengan balita termasuk dalam tahap perkembangan keluarga childbearing family dan keluarga dengan anak prasekolah, yaitu tahap II dan III, yang keduanya memiliki tugas perkembangan masing-masing.

Keluarga kelolaan mahasiswa berusia 14 bulan, dimana keluarga tersebut masuk ke dalam tahap pekembangan chilbearing family. Tugas perkembangan childbearing family dalam Friedman, Bowden, dan Jones (2003) ialah (1) Memulai keluarga menjadi keluarga muda sebagai unit yang stabil (integrasikan bayi baru lahir sebagai bagian keluarga); (2) Rekonsiliasi konflik tugas perkembangan dan kebutuhan yang beragam dari anggota keluarga; (3) Membantu kenyamanan hubungan pernikahan; (4) Memperluas hubungan dengan keluarga besar dengan peran orang tua dan kakek-nenek. Allender, Rector, dan Warner (2010) mengemukakan peran orangtua yang memiliki balita dalam pemenuhan nutrisi balita ialah memberikan ASI dari awal pertama kehidupan, mengawasi asupan makanan anak, dan berperan bersama petugas kesehatan untuk membiasakan makan sehat dan bergizi. Penulis menyimpulkan tanggung jawab keluarga adalah membentuk individu dalam keluarga lebih optimal dalam perkembangan, salah satunya berperan dalam pemenuhan nutrisi balita.

(25)

Tahapan perkembangan keluarga berhubungan dengan pertumbuhan individu anggota keluarga dan memenuhi kebutuhan sesuai dengan perkembangannya.

Keluarga harus menciptakan pola pemeliharan kesehatan untuk mencapai kesehatan fisik, mental dan sosial yang optimal dalam kegiatan sehari-hari,.

Kesehatan fisik dapat tercapai dengan cara meningkatkan kebersihan, nutrisi, latihan, dan tidur (Fitriyani, 2009). Keluarga sebagai unit terkecil dari masyarakat memiliki peran penting untuk mengatasi masalah-masalah yang terjadi dalam anggota keluarganya.

2.2.3 Masalah Kesehatan pada Keluarga dengan Balita

Masalah kesehatan yang sering terjadi pada balita dalam keluarga ialah kecelakaan dan cidera, penganiayaan pada balita (perlakuan kejam dan pengabaian), penyakit menular (infeksi pernapasan, konjungtivitis, dan masalah gastrointestinal), penyakit kronik (karies gigi, asma, autisme, anemia sel sabit, alergi makanan, muscular dytrophy, dan cystic fibrosis), kurang gizi dan kebersihan mulut (Allender, Rector, & Warner, 2010). Friedman, Bowden, dan Jones (2003) mengemukakan bahwa masalah kesehatan yang ditemukan pada keluarga dengan balita salah satunya ialah masalah nutrisi. Kesimpulan yang dapat ditarik dari dua pendapat tersebut ialah masalah nutrisi, khususnya gizi kurang, merupakan masalah yang sering timbul dalam keluarga dengan balita.

Keadaan gizi kurang atau malnutrisi tidak hanya terjadi pada anak saja tetapi juga dapat dialami oleh orang dewasa seperti ibu hamil dan lanjut usia. Keadaan gizi kurang dapat dilihat sebagai suatu proses ketika kebutuhan normal terhadap satu atau beberapa nutrient tidak terpenuhi, atau nutrient-nutrien tersebut hilang dengan jumlah yang lebih besar daripada yang didapat (Supariasa, 2002). Hal ini didukung oleh Almatsier (2009) yang menyebutkan bahwa kurang gizi dapat terjadi karena seseorang mengalami kekurangan salah satu zat gizi atau lebih di dalam tubuh. Kesimpulan yang dapat diambil yakni gizi kurang ialah suatu keadaan dimana tubuh tidak mendapatkan pasokan gizi yang adekuat.

(26)

Kurang gizi sangat rentan terjadi di usia balita, karena beberapa sebab, yakni usia yang terlalu muda, ketergantungan pada orang lain dalam ketersediaan makanan, kelahiran prematur, BBLR, sistem imun dan sistem pencernaan yang imatur (Hitchock, Schubert, & Thomas, 1999). Potter dan Perry (2005) menyebutkan, kecepatan perkembangan menurun ketika usia toddler (usia 1-3 tahun). Pada masa balita anak membutuhkan nutrisi dari berbagai sumber dan makanan untuk tumbuh kembang, selain itu balita belum mampu mengkonsumsi atau mencerna makanan yang tersedia dan mereka cenderung mengalami malnutrisi karena kebutuhan akan zat gizi yang tinggi (Wong, 2008). Kebutuhan balita akan kalori lebih rendah namun terdapat peningkatan jumlah protein dalam hubungan dengan berat badan.

Toddler memerlukan minimum 2 porsi (480g) kelompok susu setiap hari untuk memberikan protein, kalsium, riboflavin dan vitamin A dan B12. Kalsium dan fosfor penting untuk perkembangan tulang. Separuh dari asupan protein toddler harus mengandung nilai protein biologi tinggi. Seluruh padi-padian, sereal yang diperkaya dan roti adalah sumber yang baik akan zat besi dengan tambahan pada daging. Toddler harus menerima 4 porsi setiap hari dari kelompok sayur dan buah.

Satu porsi harus mengandung sumber vitamin C yang baik. Sedangkan anak usia prasekolah (3-5 tahun) memerlukan kira-kira 480 g susu setiap hari, 30-90g dari kelompok daging, empat hingga lima porsi dari kelompok buah dan sayuran, tiga porsi seluruh padi-padian atau makanan yang diperkaya gizinya dari kelompok roti dan sereal, dan 3 hingga 4 sendok teh margarine atau mentega (Potter &

Perry, 2005).

Memperhatikan gizi seimbang balita dan tanda gejala balita dengan gizi kurang merupakan hal yang penting bagi keluarga dan perawat agar dapat mengantisipasi dan mengidentifikasi masalah gizi kurang. Wong (2008) menyebutkan bahwa balita dengan masalah gizi kurang memiliki tanda gejala seperti tampak kurus, kulit kering, terlihat kusam, rambut tipis kemerahan, penurunan berat badan, rewel, tampak tidak aktif, tidak semangat, dan tidak aktif. Depkes RI (2011) membagi balita dengan masalah gizi ke dalam 2 bagian, yakni gizi buruk dan gizi

(27)

kurang. Tanda dari balita gizi kurang ialah BB/TB berada diantara percentil -2 sampai -3 Standar Deviasi, Lingkar lengan atas berada di angka 11,5 sampai dengan 12,5 cm, tidak ada edema, nafsu makan baik, tidak ada komplikasi medis.

Balita yang dikategorikan gizi buruk mempunyai tanda gejala sangat kurus, edema minimal pada kedua punggung kaki, BB/PB atau BB/TB kurang dari -3 Standar Deviasi, lingkar lengan atas di bawah 11,5 cm (untuk anak usia 6-59 bulan). Balita dengan tanda gejala seperti ini merupakan balita yang harus diperhatikan perawat agar balita tersebut tidak mengalami tanda gejala lebih lanjut yang mengindikasikan komplikasi dari masalah gizi kurang. Munculnya tanda gejala gizi kurang perlu diperhatikan juga oleh keluarga agar dapat melakukan tindakan sedini mungkin untuk mengatasi masalah gizi kurang tersebut sebelum memberikan dampak lebih lanjut.

Gizi kurang memberikan dampak negatif bagi perkembangan dan pertumbuhan balita. Dampak kekurangan gizi adalah akibat negatif dari kekurangan gizi terhadap kesejahteraan perorangan, keluarga dan masyarakat sehingga dapat merugikan pembangunan nasional suatu bangsa (Soekirman et all, 2006). Depkes RI (2005) gizi kurang menyebabkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan fisik maupun mental, mengurangi tingkat kecerdasan, kreatifitas dan produktifitas penduduk. Hasil penelitian yang dilakukan Depkes RI (2003) menunjukkan bahwa IQ balita yang mengalami gizi buruk lebih rendah 13 poin daripada anak- anak yang cukup gizi. Hal-hal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa gizi kurang dapat menyebabkan menurunnya tingkat kecerdasan, kognitif dan mental balita.

Gizi kurang juga memberikan dampak negatif bagi daya tahan tubuh balita.

Kekurangan asupan nutrisi, khususnya zat pengatur akan membuat tubuh mengalami kekurangan vitamin dan mineral dimana fungsi dari vitamin dan mineral ialah membantu tubuh untuk perlindungan terhadap penyakit (Departemen Gizi & Kesmas FKM UI, 2010). Fitriyani (2009) juga menyebutkan penyakit infeksi dan nutrisi merupakan dua hal yang saling mempengaruhi satu

(28)

sama lain. Kesimpulan yang dapat ditarik ialah Gizi kurang menyebabkan daya tahan tubuh balita menurun dan balita mudah sakit.

Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat FKM UI (2010) menyebutkan penyebab mendasar dari masalah kurang gizi ialah ketidakcukupan dan ketidakseimbangan pasokan zat gizi. Fitriyani (2009) menyebutkan penyebab langsung gizi kurang adalah makan tidak seimbang, baik jumlah dan mutu asupan gizinya, selain itu asupan zat gizi tidak dapat dimanfaatkan oleh tubuh secara optimal karena adanya gangguan penyerapan akibat adanya penyakit infeksi sehingga balita tidak cukup mendapatkan gizi seimbang. Kaitan infeksi dan gizi kurang seperti lingkarang yang sulit diputuskan, karena kondisi infeksi akan menyebabkan gizi kurang dan kondisi maltrunisi juga akan memberikan dampak buruk pada sistem pertahanan sehingga memudahkan terjadinya infeksi. Hal ini diperkuat oleh UNICEF (2010) yang menyebutkan ada dua faktor langsung penyebab gizi kurang pada balita yaitu faktor asupan makanan dan penyakit infeksi dan keduanya saling mendorong. Dari beberapa uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa penyebab langsung dari gizi kurang ialah asupan gizi atau makanan dan penyakit infeksi.

Fitriyani (2009) menyebutkan, selain penyebab langsung, masalah kurang gizi pada balita dapat disebabkan oleh penyebab tidak langsung. Tiga penyebab tidak langsung gizi kurang, yakni pendapatan keluarga, pendidikan orangtua, serta budaya. Zega (2012) menyebutkan penyebab tidak langsung dari masalah gizi ialah ketersediaan pangan keluarga, pola asuh serta pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan. Kedua sumber ini menjelaskan eratnya hubungan antara gizi kurang pada balita dengan faktor keluarga, salah satu faktor keluarga ialah pendidikan atau pengetahuan mengenai gizi.

Basuki (2003) mengemukakan penyebab gizi kurang adalah salah satunya rendahnya pengetahuan ibu tentang gizi, sehingga balita menjadi kurang diperhatikan dan akhirnya berat badannya pun di bawah standar. Hasil penelitian Mirayanti (2012) disebutkan bahwa pengetahuan keluarga dalam memilih

(29)

makanan sehat menunjukkan lebih banyak berpengetahuan tidak baik (63,4%).

Hasil penelitian Muhammad, Hadi, dan Budiman (2009) tentang pola asuh, asupan zat gizi, dan hubungannya dengan status gizi balita mengidentifikasi bahwa ada hubungan asupan zat gizi dengan status gizi balita menurut BB/U dan TB/U. Pengetahuan ibu mempengaruhi perilaku ibu terhadap pemenuhan kebutuhan gizi anaknya. Hasil penelitian Faith (2004) mengemukakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara perilaku orangtua dalam pemenuhan gizi dengan indeks masa tubuh anak. Hasil penelitian Chit, Kyi dan Thwin (2003, dalam Huriah, 2006) juga menyatakan bahwa berat badan anak sangat dipengaruhi oleh perilaku ibu dalam memenuhi kebutuhan gizi balita. Penulis menyimpulkan bahwa pendidikan mengenai gizi seimbang kepada keluarga dan motivasi untuk perubahan perilaku ibu terhadap gizi seimbang anak merupakan hal yang penting yang dapat dilakukan perawat keluarga guna membantu mengatasi masalah gizi kurang pada keluarga.

2.2.4 Peran Perawat Keluarga

Keluarga mempunyai fungsi penting dalam membantu mengatasi masalah nutrisi pada balita. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Lian, Muda, Hussin, dan Hock (2007, dalam Fitriyani, 2009) tentang persepsi tenaga kesehatan bahwa keluarga sebagai care giver memainkan peranan penting dalam meningkatkan kesehatan balita yang mengalami malnutrisi. Keluarga berperan mengajarkan dan membantu balita makan makanan bervariasi dengan gizi seimbang, mengatur jadwal makan balita, membatasi asupan gula, memotivasi balita dengan aktifitas-aktifitas yang melibatkan banyak gerakan, membantu membersihkan gigi, dan mengontrol berat badan balita agar seimbang (Hidayati, 2011). Keluarga mempunyai peranan penting dalam memenuhi nutrisi balita, karena keluarga yang melakukan pemilihan makanan dampai dikonsumsi oleh anak (Widiatuti, 2001). Pemahaman keluarga tentang tugas kesehatan keluarga sangat diperlukan agar keluarga bisa memenuhi kebutuhan gizi balita secara tepat.

Tugas kesehatan keluarga menurut Maglaya et all (2009) terdiri dari lima tugas, diantaranya ialah kemampuan mengenal masalah, kemampuan mengambil

(30)

keputusan, kemampuan memberikan perawatan anggota keluarga yang mempunyai masalah kesehatan, kemampuan memodifikasi lingkungan dan kemampuan memanfaatkan pelayanan kesehatan. Tugas kesehatan keluarga akan berjalan dengan baik, bila ada pengawasan serta bimbingan dari perawat. Perawat dalam hal ini sebagai fasilitator dapat membantu keluarga mengatasi masalah nutrisi dalam keluarganya dengan menjalankan asuhan keperawatan yang bersifat holistik yang menggunakan pendekatan family centered-nursing (Friedman, Bowden & Jones, 2003).

2.3 Konsep Asuhan Keperawatan Keluarga 2.3.1 Pengkajian

Pengkajian adalah sekumpulan tindakan yang digunakan oleh perawat untuk mengukur keadaan klien (keluarga) dengan menangani norma-norma kesehatan keluarga maupun sosial, yang merupakan sistem terintegrasi dan kesanggupan keluarga untuk mengatasinya. (Potter & Perry, 2005). Pengumpulan data dalam pengkajian dilakukan dengan wawancara, observasi, dan pemeriksaan fisik dan studi dokumentasi. Pengkajian asuhan keperawatan keluarga menurut Friedman, Bowden, dan Jones (2003), meliputi 8 komponen pengkajian yaitu :

a. Data Umum: identitas kepala keluarga, komposisi anggota keluarga, Genogram, Tipe keluarga, Suku bangsa, Agama, Status sosial ekonomi keluarga, Aktifitas rekreasi keluarga

b. Riwayat dan tahap perkembangan keluarga: Tahap perkembangan keluarga saat ini, Tahap perkembangan keluarga yang belum terpenuhi, Riwayat keluarga inti, Riwayat keluarga sebelumnya

c. Lingkungan: Karakteristik rumah, Karakteristik tetangga dan komunitas tempat tinggal, Mobilitas geografis keluarga, Perkumpulan keluarga dan interaksi dengan masyarakat, System pendukung keluarga

d. Struktur keluarga: Pola komunikasi keluarga, Struktur kekuatan keluarga, Struktur peran (formal dan informal), Nilai dan norma keluarga

e. Fungsi keluarga: Fungsi afektif, Fungsi sosialisasi, Fungsi perawatan kesehatan

(31)

f. Stress dan koping keluarga: Stressor jangka panjang dan stressor jangka pendek serta kekuatan keluarga, Respon keluarga terhadap stress, Strategi koping yang digunakan, Strategi adaptasi yang disfungsional

g. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik yang dilakukan berfokus pada pemeriksaan tanda dan gejala yang ditemukan pada fisik balita dengan masalah gizi kurang. Penilaian status gizi dapat dilakukan dengan antropometri, penilaian biokimia, penilaian klinis dan penilaian biofisik. Antropometri sebagai indikator status gizi dapat dilakukan dengan mengukur beberapa parameter yaitu Berat badan dibanding umur (BB/U), panjang atau tinggi badan berbanding umur (PB/U), dan berat badan berbanding panjang atau berat badan (BB/PB) menurut tabel NCHS (Kemenkes, 2011).

Tabel 2.1 Tabel NCHS (Kemenkes, 2011)

Indeks Kategori

Status Gizi

Ambang Batas (z-score)

Berat Badan menurut Umur (BB/U)

Anak Umur 0-60 Bulan

Gizi Buruk <-3SD

Gizi Kurang -3SD sampai dengan <-2SD Gizi Baik -2SD sampai dengan 2 SD Gizi Lebih >2SD

Panjang Badan menurut Umur (PB/U)

Anak Umur 0-60 bulan

Sangat Pendek <-3SD

Pendek -3SD sampai dengan <-2SD Normal -2SD sampai dengan 2 SD Tinggi >2SD

Berat Badan menurut Panjang Badan (BB/PB) Anak Umur 0-60 bulan

Sangat Kurus <-3SD

Kurus -3SD sampai dengan <-2SD Normal -2SD sampai dengan 2 SD Gemuk >2SD

Penilaian biokimia adalah pemeriksaan specimen yang diuji secara laboratories yang dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh. Jaringan tubuh yang

(32)

digunakan antara lain: darah, urin, tinja dan juga beberapa jaringan tubuh lain seperti hati dan otot (Supariasa, 2002). Penilaian klinis didasarkan atas perubahan-perubahan yang terjadi yang dihubungkan dengan ketidakcukupan zat gizi. Hal ini dapat dilihat pada jaringan epitel seperti kulit, mata, rambut dan mukosa oral atau pada organ-organ yang dekat dengan permukaan tubuh seperti kelenjar tiroid. Sedangkan penentuan status gizi secara biofisik adalah metode penentuan status gizi dengan melihat fungsi dan melihat perubahan struktur dari jaringan (Supariasa, 2002).

h. Harapan keluarga: Terhadap masalah kesehatan keluarga, Terhadap petugas kesehatan yang ada

2.3.2 Diagnosis

Diagnosis keperawatan adalah pernyataan yang menggunakan dan menggambarkan respons manusia. Keadaan sehat atau perubahan pola interaksi potensial atau actual dari individu atau kelompok dimana perawat dapat menyusun intervensi-intervensi definitive untuk mempertahankan status kesehatan atau untuk mencegah perubahan (Potter & Perry, 2005). NANDA (2012) mengemukakan diagnosis ditegakkan dengan beberapa tahap. Tahap pertama ialah menegakan diagnosis sementara, dimana perawat menetapkan berdasarkan data- data awal dari tanda gejala yang dilihat perawat dari pasien. Hal ini kemudian dilanjutkan dengan menganalisis data-data yang ditemukan dan mencari serta mengkaji lagi untuk menambah data fokus dari masalah yang terjadi pada klien untuk menegakkan satu diagnosis. Diagnosis yang digunakan saat ini ialah single diagnosa dimana diagnosa yang ditulis hanya masalah yang terjadi, tidak diikuti penyebab dan tanda, namun perawat juga harus mengetahui penyebab dan tanda gejala dari masalah tersebut.

Diagnosis keperawatan keluarga adalah diagnosis yang mencakup sistem keluarga dan subsistem dari setiap sistem yang ada, serta hasil dari pengkajian keluarga yang dilakukan (Friedman, Bowden, & Jones, 2003). Diagnosis keperawatan keluarga mencakup masalah kesehatan keluarga yang aktual atau potensial.

Diagnosis keperawatan keluarga yang dijadikan prioritas, didapat dari hasil

(33)

skoring yang dilakukan oleh perawat dan keluarga. Perawat mengkaji sifat masalah kesehatan, apakah aktual, potensial, atau resiko, setelah itu mengkaji apakah keluarga menganggap masalah kesehatan tersebut harus diatasi, dan yang terakhir perawat mengkaji apakah keluarga mau menyelesaikan masalah kesehatan tersebut bersama dengan perawat (Friedman, Bowden, & Jones, 2003).

Diagnosis yang mungkin muncul pada masalah gizi kurang dalam domain nutrisi dalam NANDA (2012) ialah ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh, ketidakefektifan pola makan bayi, gangguan menelan, risiko ketidakseimbangan elektrolit, kekurangan volume cairan, risiko kekurangan volume cairan ,dan risiko ketidakseimbangan volume cairan. Diagnosis tersebut ditegakkan sesuai data yang didapat perawat. Perawat kemudian membuat tindak lanjut berupa perencanaan untuk menyelesaikan masalah kesehatan prioritas yang disetujui keluarga.

2.3.3 Perencanaan

Perencanaan adalah sekumpulan tindakan yang ditentukan perawat untuk dilaporkan dalam memecahkan masalah kesehatan dan keperawatan yang telah diidentifikasi (Friedman, Bowden, & Jones, 2003). Penyusunan perencanaan diawali dengan melakukan pembuatan tujuan dari asuhan keperawatan, tujuan yang dibuat terdiri tujuan umum dan tujuan khusus. Perencanaan juga memuat kriteria hasil. Pembuatan kriteria hasil harus didasari dengan prinsip SMART (Spesific, Measurable, Achievable, Realistic,dan Time-oriented) (Carpenito, 2000). Spesific artinya ialah tujuan yang dibuat harus fokus dan sesuai dengan masalah dan sebab terjadinya masalah. Measurable artinya ialah tujuan yang dibuat dapat diukur dengan kriteria tertentu. Achievable memiliki arti bahwa tujuan yang dibuat harus dapat dicapai dan dilakukan oleh keluarga. Realistic artinya ialah tujuan yang dibuat harus realistis dan sesuai keadaan yang sebenarnya. Time-oriented berarti tujuan yang dibuat harus memiliki jangka waktu sebagai target dalam pencapaian tujuan perencanaan.

(34)

Perencanaan asuhan keperawatan juga memuat tindakan yang sesuai dengan tujuan dan kriteria hasil yang dibuat. Tindakan yang dibuat diperencanaan harus dapat memenuhi dan mencapai tujuan dari perencanaan. Perencanaan intervensi keperawatan komunitas pada populasi balita gizi kurang dapat dilakukan dengan tiga tingkat pencegahan masalah yaitu pencegahan primer, sekunder, dan tersier.

Menurut Stanhope dan Lancaster (2004), pencegahan primer adalah suatu upaya untuk meningkatkan kesehatan dan mencegah munculnya penyakit, dengan memberikan pendidikan kesehatan tentang gizi. Pencegahan sekunder dapat berupa deteksi dini keadaan kesehatan masyarakat dan penatalaksanaan yang tepat untuk mengatasi masalah, yaitu dengan melakukan screening berat badan balita untuk masalah gizi, sedangkan pencegahan tersier adalah upaya untuk mengembalikan kemampuan individu agar dapat berfungsi secara optimal, yaitu dengan melakukan implementasi untuk mengatasi masalah gizi.

2.3.4 Implementasi

Menurut Hitchcock, Schubert, & Thomas (1999), implementasi keperawatan yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah gizi kurang pada balita pada level pencegahan primer adalah dengan cara memberikan edukasi pada orang tua tentang nutrisi anak, melakukan kunjungan rumah, dan membantu keluarga dalam penyediaan makanan. Hitchcock, Schubert, & Thomas (1999) juga menjelaskan implementasi pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan cara melakukan skrining atau deteksi dini status gizi balita dan pemantauan status gizi balita.

Implementasi pencegahan tersier dapat dilakukan dengan cara upaya rujukan balita yang sudah mengalami gizi buruk serta rehabilitasi gizi buruk setelah di rawat di rumah sakit (Huriah, 2006). Perawat generalis, dalam hal ini, lebih menitikberatkan melakukan pencegahan primer dan sekunder terkait dengan kelegalan dalam pemberian asuhan keperawatan, walaupun tidak menutup kemungkinan untuk melakukan rujukan ke rumah sakit atau pelayanan kesehatan terkait gizi buruk balita.

Implementasi yang dilakukan perawat generalis untuk mengatasi masalah gizi kurang pada balita menggunakan pendekatan lima tugas kesehatan keluarga.

(35)

Maglaya et all (2009) menyebutkan bahwa lima tugas kesehatan keluarga terdiri dari mengenal masalah, memutuskan mengatasi masalah, merawat keluarga dengan masalah, memodifikasi lingkungan, dan memanfaatkan pelayanan kesehatan. Implementasi yang dapat dilakukan terkait upaya pemenuhan nutrisi dalam keluarga mencakup pendidikan kesehatan mengenai gizi, gizi seimbang atau triguna makanan, porsi makan balita, cemilan sehat, serta demonstrasi mengenai penyusunan menu berdasarkan triguna makanan (gizi seimbang), pengolahan bahan makanan, dan pemilihan makanan tambahan atau cemilan sehat (Allender, Rector, & Warner, 2010; Depkes RI, 2011; Fitriyani, 2009; Wilkinson

& Ahern, 2011; Wong, 2008).

Pemberian edukasi kepada orangtua merupakan hal yang penting yang dapat dilakukan perawat pada keluarga guna meningkatkan pengetahuan orangtua khususnya ibu mengenai gizi balita. Basuki (2003) penyebab gizi kurang adalah salah satunya rendahnya pengetahuan ibu tentang gizi, sehingga balita menjadi kurang diperhatikan dan akhirnya berat badannya pun di bawah standar.

Pengetahuan orangtua khususnya ibu merupakan satu hal yang penting guna memperbaiki gizi balita. Salah satunya ialah dengan meningkatkan pengetahuan ibu mengenai gizi seimbang atau triguna makanan.

Triguna makanan ialah makanan yang beraneka ragam yaitu makanan yang mengandung unsur zat gizi yang diiperlukan tubuh baik kualitas maupun kuantitasnya (Azwar, 2002). Triguna makanan terdiri dari tiga zat gizi yang masing-masing memiliki fungsi yang berbeda-beda. Penggolongan makanan yang termasuk triguna makanan menurut Departemen Gizi & Kesmas FKM UI (2010) adalah sebagai berikut:

a. Zat Tenaga yang mengandung karbohidrat dan lemak, yang diperlukan untuk kerja otot untuk melakukan kerja luar. zat ini sebagian besar dihasilkan dari makanan pokok. Contoh sumber zat tenaga ialah nasi, kentang, ubi, jagung, kacang-kacangan, mentega, dan lain-lain.

b. Zat Pembangun mengandung protein. Terdapat dua jenis proteni yakni protein metabolik dan protein struktural. Protein metabolik dibutuhkan dalam

(36)

proses metabolisme tubuh dna protein struktural berfungi untuk membangun struktur sel. Kelompok rawan seperti balita yang sedang tumbuh, membutuhkan protein dalam jumlah besar sehingga kebutuhan juga meningkat. Contoh makanan sumber zat protein ialah lauk hewani dan lauk nabati, seperti telur, daging ayam, daging sapi, tempe tahu, dan lain-lain.

c. Zat Pengatur terdiri dari makanan yang mengandung vitamin dan mineral. Zat pengatur menjalankan dan mengatur proses metabolisme. Bila seseorang kekurangan zat pengatur dalam waktu lama, akan timbul berbagai penyakir defisiensi zat gizi. Bahan pangan penghasil zat pengatur ialah sayuran dan buah-buahan.

Depkes RI (2005) mengemukakan bahwa konsumsi hidangan sehari-hari dengan susunan zat gizi seimbang perlu dibiasakan sebagai upaya menganggulangi masalah gizi. Proverawati dan Asfuah (2010) mengemukakan bahan makanan sumber energi seperti karbohidrat, protein, lemak serta vitamin, mineral dan serat wajib dikonsumsi anak setiap hari. Wong (2008) juga menyebutkan bahwa makanan untuk anak balita lebih mementingkan kualitas daripada kuantitas, atau dapat dikatakan apa yang dimakan jauh lebih penting dari banyaknya makanan yang dikonsumsi. Kesimpulan yang dapat ditarik dari beberapa pendapat di atas ialah balita memerlukan gizi seimbang dari makanan yang dengan cara mengkonsumsi makanan berkualitas yang mengandung protein, lemak, vitamin, mineral setiap hari untuk mengatasi masalah gizi.

Setiap makanan hanya mengandung satu sampai dua zat gizi, yang mampu membuat seseorang untuk hidup sehat, tumbuh kembang dan produktif (Martianto, 2013). Setiap orang memerlukan konsumsi makanan yang beranekaragam. Konsumsi makanan sehari-hari yang kurang beranekaragam, akan menimbulkan ketidakseimbangan antara masukan dan kebutuhan zat gizi yang diperlukan untuk hidup sehat dan produktif (Departemen Gizi dan Kesmas FKM UI, 2010). Makan makanan yang beraneka ragam sangat bermanfaat bagi kesehatan. Perawat perlu membuat jadwal menu seimbang untuk balita agar orangtua mampu melaksanakan pemberian makan seimbang untuk balitanya.

(37)

Almatsier (2009) menyebutkan menu seimbang yaitu menu yang terdiri dari beranekaragam makanan dengan jumlah dari proporsi yang sesuai, sehingga memenuhi kebutuhan gizi guna pemeliharaan dan perbaikan sel-sel tubuh dan proses kehidupan serta pertumbuhan dan perkembangan.

2.3.5 Evaluasi

Evaluasi merupakan kegiatan membandingkan antara hasil implementasi dengan criteria dan standar yang telah ditetapkan untuk melihat keberhasilannya.

Kerangka kerja valuasi sudah terkandung dalam rencana perawatan jika secara jelas telah digambarkan tujuan perilaku yang spesifik maka hal ini dapat berfungsi sebagai criteria evaluasi bagi tingkat aktivitas yang telah dicapai (Friedman, Bowden, & Jones, 2003). Evaluasi disusun menggunakan SOAP, evaluasi sumatif dan tingkat kemandirian keluarga.

Evaluasi SOAP menurut Friedman, Bowden, dan Jones (2003) terdiri dari subjektif, objektif, analisis, dan perencanaan. Subjektif ialah ungkapan perasaan atau keluhan yang dikeluhkan secara subyektif oleh keluarga setelah diberikan implementasi keperawatan. Objektif ialah keadaan obyektif yang dapat diidentifikasi oleh perawat menggunakan pengamatan yang obyektif. Analisis merupakan analisis perawat setelah mengetahui respon subyektif dan obyektif.

Perencanaan merupakan perencanaan selanjutnya setelah perawat melakukan analisis. Sedangkan evaluasi sumatif ialah evaluasi yang dilakukan dengan melihat bagaimana efektifnya intervensi-intervensi yang dilakukan oleh perawat sesuai dengan tujuan khusus dari intervensi (Friedman, Bowden, & Jones, 2003).

Tingkat kemandirian keluarga dievaluasi menggunakan 7 kriteria evaluasi (Depkes RI, 2006), yakni keluarga menerima petugas kesehatan, keluarga menerima pelayanan kesehatan sesuai rencana, keluarga menyatakan masalah kesehatan secara benar, keluarga memanfaatkan fasilitas kesehatan sesuai anjuran, keluarga melaksanakan perawatan sederhana sesuai anjuran, keluarga melakukan tindakan pencegahan secara aktif, dan keluarga melaksanakan tindakan promotif

(38)

secara aktif. Kesimpulan tingkat kemandirian keluarga berdasarkan kriteria yang telah dicapai ialah:

a. keluarga berada di tingkat kemandirian I apabila memenuhi kriteria 1 dan 2 b. keluarga berada di tingkat kemandirian II apabila memenuhi kriteria 1 sampai

dengan 5

c. keluarga berada di tingkat kemandirian III apabila memenuhi kriteria 1 sampai dengan 6

d. keluarga berada di tingkat kemandirian IV apabila memenuhi kriteria 1 sampai dengan 7.

(39)

3.1 Pengkajian

Keluarga Bapak S (34 tahun) dan Ibu Y (28 tahun) merupakan keluarga inti dengan tahap perkembangan keluarga dengan anak usia sekolah, dengan Bapak S sebagai kepala keluarga dan pengambil keputusan dalam keluarga dalam hal keuangan, rencana rekreasi, biaya sekolah, dan lain-lain, sedangkan ibu Y ialah pengambil keputusan dalam hal menu makanan dan kebutuhan sehari-hari. Bapak S dan Ibu Y memiliki dua anak, yaitu An. A (9 tahun) dan An.B (14 bulan).

Keluarga Bapak S saat ini mengontrak di RT 01 RW 07, Cisalak Pasar, Depok, setelah sebelumnya keluarga Bapak S tinggal di daerah Kelapa Dua, Jakarta.

Alasan keluarga Bapak S pindah ke Cisalak Pasar ialah karena ingin mempunyai kediaman sendiri, tidak menumpang dengan keluarga. Bapak S bekerja sebagai supir pribadi dengan pendapat di bawah Rp 2.500.000,00/bulan. Ibu Y adalah seorang penjual nasi soto di jalan raya Gadog. Ibu Y mengatakan pendapatan perbulannya tidak menentu, kadang banyak kadang sedikit. Rata-rata pendapatannya perbulan kurang lebih Rp 1.000.000,00 yang dipakai untuk membayar sewa toko sebesar Rp 450.000,00 perbulan serta membeli lagi peralatan dan bahan yang diperlukan untuk soto. Ibu Y mengatakan angka tersebut cukup untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari. Bapak S bersuku Jawa, sedangkan ibu Y bersuku Betawi dan keduanya beragama islam, dimana keduanya mengaku bahwa tidak ada mitos atau kepercayaan tertentu yang diyakini terkait masalah kesehatan keluarga.

Riwayat kesehatan keluarga Bapak S yakni, keluarga mengatakan An.A (9tahun) pernah memiliki riwayat gizi buruk saat berusia 1 tahun, saat itu keluarga masih tinggal di daerah Kelapa Dua, sehingga an.A menjalani program rawat jalan gizi di puskesmas Kelapa Dua. Berat badan An.A saat ini sudah sesuai dengan usianya yakni BB: 25, TB: 132, IMT: 14,34, masuk dalam kategori gizi baik. Ibu Y mengatakan An.A juga memiliki riwayat Flek Paru (TB) pada usia 1-2 tahun dan pernah mengalami pengobatan OAT selama 6 bulan tanpa putus obat, dan telah

(40)

diperiksa kembali dengan hasil bersih dari flek paru, saat ini juga An.A mengatakan sudah tidak pernah batuk lebih dari 2 minggu. Anggota keluarga lain yang memiliki masalah kesehatan ialah An.B (14 bulan).

An.B tampak kurus. Ibu Y mengatakan An.B mengalami penurunan BB sejak berusia kurang dari 1 tahun, dimana berat lahir An. B ialah 3800 gram dengan panjang 42cm. An. B lahir spontan dengan dibantu bidan. Saat ini imunisasi An.B telah lengkap dan telah mendapat vitamin A. Ibu Y mengatakan ia tidak mengetahui mengapa anaknya makin lama makin kurus. Ibu Y memberikan makanan pendamping ASI berupa bubur bayi kemasan saat An.B berusia 6-10 bulan. Selanjutnya ia memberikan bubur tim yang diolah sendiri, namun ia mengaku jarang mencampur sayur pada bubur tim tersebut. Ibu Y mengatakan saat ini An.B makan sudah sama dengan menu orang dewasa. Ibu Y mengatakan An.B hanya makan 3-5 suap setelah itu An. B tidak mau makan lagi. Ibu Y mengaku saat ini jarang memasak untuk keluarga, kalaupun memasak ibu Y hanya memasak masakan praktik seperti goreng telur, goreng tempe, goreng tahu.

Ibu Y mengaku jarang memasak sayur. Ibu Y sering membeli makanan di luar karna sibuk. Ibu Y mengaku jarang menyediakan menu lengkap (nasi, lauk, sayur) untuk An.B. Ibu Y sering membelikan jajanan untuk An.B di warung, seperti makanan ringan, bolu kemasan, ataupun teh kemasan, apabila An.B tidak mau makan. Frekuensi pemberian jajanan ialah 3-4 kemasan dalam 1 hari. Ibu Y sudah menyadari kondisi anaknya yang kurus, namun ibu Y sendiri mengaku tidak tahu apa yang harus dilakukan. Ibu Y hanya mengusahakan untuk menyediakan makanan yang menurutnya bergizi dan menuruti apa yang ingin dimakan oleh anaknya. Walaupun ibu Y pernah mengatasi anak yang memiliki gizi kurang juga sebelumnya, namun ibu Y mengaku belum paham mengenai gizi kurang. Ibu Y mengatakan ia belum pernah membawa anaknya ke pelayanan kesehatan terkait masalah gizi anaknya, hanya ke posyandu rutin untuk meninbang sehingga dapat memantau berat badan An.B.

Hasil pemeriksaan fisik yang dilakukan penulis terhadap An.B didapat bahwa An.B tampak kurus dengan berat badan 7,2 kg dan panjang badan 72cm, rambut

(41)

kemerahan, tipis, lingkar lengan atas 12cm, turgor kulit baik, warna kulit terlihat kusam, anak tampak lemas dan rewel. Hasil pengukuran dalam NCHS pada kategori BB/PB An.B berada diantara percentil -2SD dan -3SD, dimana hal ini menunjukan bahwa An.B berada dalam status gizi kurang, sedangkan pada kategori BB/U An.B berada tepat pada percentil -3SD yang menunjukan sangat kurus dan pada kategori PB/U An.B berada di antara percentil -2SD dan -3SD yang menunjukan pendek (Kemenkes, 2011). Lingkar lengan An.B, yakni 12cm, dalam standar NCHS berada diantara -2SD dan -3SD yang menunjukan kategori kurang (WHO, 2005).

Ibu Y mengatakan memberikan ASI kepada an.B sejak lahir sampai saat ini, namun ASI yang keluar sedikit, ibu Y tidak tahu penyebabnya mengapa padahal ia mengaku telah makan makanan yang bergizi seperti mengandung sayur dan lauk saat hamil dan menyusui. Ibu Y mengatakan dari dulu ASI yang keluar hanya dari payudara sebelah kanan, dan jumlahnya sedikit. Ibu Y mengatakan ia pernah menanyakan kepada bidan, namun bidan mengatakan hal tersebut bukanlah suatu masalah yang berarti. Ibu Y mengatakan ia tidak pernah melakukan perawatan payudara karena ia tidak mengetahui caranya. Ibu Y mengatakan tidak memberikan susu formula dengan alasan An.B tidak menyukai susu formula. Ibu Y mengatakan ia ingin memberikan ASI kepada anaknya guna memenuhi kebutuhan nutrisi pada anaknya.

3.2 Diagnosis

Diagnosis yang dapat ditegakkan dari data-data yang ditemukan saat pengkajian ialah:

a. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh pada An.B.

b. Ketidakefektifan pemberian ASI pada ibu Y.

Berdasarkan hasil skoring, didapatkan bahwa diagnosis utama pada keluarga Bapak S ialah diagnosis ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh, dimana diagnosis tersebut mendapat skor 4, oleh karena itu penulis hanya menggambarkan intervensi, implementasi serta evaluasi untuk diagnosis tersebut pada laporan ini.

(42)

3.3 Perencanaan

Tujuan dari pelaksanaan asuhan keperawatan yang dilakukan perawat ialah menyelesaikan masalah gizi kurang pada An.B. Perawat melakukan perencanaan untuk menjadi dasar dilakukannya implementasi. Perencanaan yang dibuat perawat memiliki tujuan umum dan juga tujuan khusus. Tujuan umum dari perencanaan yang dibuat perawat ialah diharapkan keluarga mampu memenuhi kebutuhan nutrisi pada An.B setelah dilakukan kunjungan sebanyak 7 kali.

Tujuan khusus dibuat dengan menjabarkan tujuan umum secara lebih rinci.

Terdapat lima tujuan khusus dalam perencanaan intervensi keluarga terkait fungsi perawatan keluarga. Kelima hal tersebut ialah mengenal masalah, mengambil keputusan untuk merawat amggota keluarga, merawat anggota keluarga, memodifikasi lingkungan dan memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan.

Tujuan khusus yang dibuat dalam perencanaan diharapkan mampu tercapai dalam 7 kali pertemuan selama 60 menit setiap pertemuan.

Tujuan khusus yang pertama ialah setelah dilakukan pertemuan sebanyak 1x60 menit, keluarga mampu mengenal masalah kurang gizi. Mengenal masalah kurang gizi dapat dinilai dengan menyebutkan definisi gizi, menyebutkan definisi kurang gizi, menyebutkan 4 dari 5 tanda dan gejala masalah kurang gizi, menyebutkan 3 dari 4 penyebab timbulnya masalah kurang gizi, dan mengidentifikasi anggota keluarga yang mengalami kurang gizi. Rencana intervensi yang akan diimplementasi untuk mencapai TUK (tujuan khusus) 1 adalah menjelaskan kepada keluarga tentang gizi, gizi kurang, penyebab gizi kurang, tanda gejala gizi kurang, dan membantu keluarga mengidentifikasi anggota keluarga yang mengalami gizi kurang. Tujuan khusus pertama harus tercapai sebelum masuk ke tujuan khusus yang kedua.

Tujuan khusus yang kedua ialah setelah dilakukan pertemuan selama 1x60 menit, keluarga mampu mengambil keputusan dalam merawat anggota keluarga yang mengalami kurang gizi. Rencana intervensi yang akan diimplementasikan untuk mencapai TUK 2 ialah menjelaskan kepada keluarga tentang akibat dari gizi

(43)

kurang dan memotivasi keluarga untuk dapat memutuskan dalam merawat keluarga yang mengalami gizi kurang. Hal ini dapat dinilai dengan keluarga dapat menyebutkan 2 dari 3 akibat kurang gizi, keluarga dapat melakukan pengambilan keputusan untuk mengatasi anggota keluarga yang mengalami kurang gizi.tujuan khusus yang kedua biasanya dilakukan pada saat kunjungan pertama bersama dengan tujuan khusus pertama dan tujuan khusus ketiga.

Tujuan khusus ketiga ialah setelah dilakukan pertemuan sebanyak 6x60 menit keluarga mampu merawat anggota keluarga yang mengalami gizi kurang.

Perencanaan yang dibuat perawat, dalam implementasi untuk tujuan khusus ketiga ini perawat harus dapat mendiskusikan dan juga mendemonstrasikan kepada keluarga mengenai triguna makanan, penyusunan jadwal menu seimbang, porsi makan untuk anak usia 14 bulan, pengolahan makanan, cemilan sehat, setelah itu keluarga diharapkan mampu meredemonstrasikan apa yang telah dicontohkan.

Pada kunjungan pertama untuk tujuan khusus ketiga, diharapkan keluarga mampu menyebutkan 3 dari 4 cara mengatasi gizi kurang dan 3 dari 4 cara pencegahan gizi kurang. Setelah itu keluarga diharpkan mampu menjelaskan tiga komponen triguna makanan beserta contohnya, fungsi triguna makanan dan mendemonstrasikan pemilahan makanan berdasarkan triguna makanan. Keluarga juga diharapkan mampu menyebutkan porsi makan sehari untuk anak usia 14 bulan dan mendemonstrasikan porsi makan yang diberikan untuk anak usia 14 bulan dalam satu kali makan. Keluarga diharapkan mampu membuat jadwal menu harian balita bersama-sama dengan perawat. Keluarga juga diharapkan mampu menjelaskan cara memilah dan mengolah bahan makanan yang baik, serta mendemonstrasikannya. Selanjutnya keluarga diharapkan mampu menjelaskan tentang cemilan sehat untuk balita serta mendemonstrasikan pembuatan selingan sehat.

Tujuan khusus keempat ialah setelah dilakukan kunjungan selama 1x60 menit keluarga mampu melakukan modifikasi lingkungan untuk merawat anggota keluarga dengan gizi kurang. Rencana intervensi yang akan diimplementasikan untuk mencapai tujuan umum keempat ialah, perawat mendiskusikan bersama

Gambar

Tabel 2.1  Tabel NCHS......................................................................18
Tabel 2.1 Tabel NCHS (Kemenkes, 2011)

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan analisis dan pembahasan hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut Mekanisme tata kelola perusahaan dalam hal ini kepemilikan

Beton HVFA-SCC kadar fly ash 65% memiliki perubahan struktur makro dan mikro yang baik, dan memiliki nilai kuat tekan yang optimum pada umur beton 90 hari dibandingkan variasi

Pada kondisi Kala II memanjang, perlu segera dilakukan upaya pengeluaran janin. Hal ini dikarenakan upaya pengeluaran janin yang dilakukan oleh ibu dapat meningkatkan

Latar belakang Terjadinya konflik 2 kelompok antara Nasionalis Islam yang di wakili oleh Mohammad Natsir dan Nasionalis Sekuler oleh Ir. Dimana berkaitan dengan

Untuk memastikan kesimpulan tentang kualitas Berorientasi objek pada framework zend dapat dilakukan analisa pada aplikasi berbasis web yang lebih kompleks dan menerapkan

Sebagai wadah artikulasi gerakan perempuan yang tergabung dalam IMM, maka Immawati dituntut memiliki peran dinamis, progresif,inovatif,serta proaktif terhadap setiap

Penyusunan program/kegiatan di dalam Renop ini mengacu kepada isu-isu strategis yang diberikan pada Renstra STIKES Mataram dimana secara garis besar menyangkut tujuh

Penilaian tokoh masyarakat terhadap peran polisi beragam mengenai peranannya sebagai pelindung antara lain dengan menghalau warga yang bertikai, melakukan penjagaan