8
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Landasan Teori
2.1.1. Pengertian Pajak
Sebagian besar Negara di dunia ini memiliki sistem perpajakan untuk membiayai pengeluaran pemerintahnya. Tidak terkecuali dengan Indonesia di mana pajak menjadi tulang punggung untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran pemerintah dalam rangka menyediakan barang publik dan jasa publik. Pentingnya peranan pajak dalam zaman modern ini, sehingga Benjamin Franklin berkata : In this world nothing is certain except death and taxes.•
Di Indonesia, dikenal beberapa jenis pajak seperti Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Meterai (BM), dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB). Di tingkat pemerintah daerah, di kenal juga beberapa macam pajak seperti Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Pajak Restoran, dan lain- lain. Sesuai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), terlihat bahwa salah satu sumber penerimaan negara adalah bersumber dari sektor pajak. Definisi pajak dikemukakan oleh Remsky K. Judisseno (2010:5) adalah sebagai berikut: Pajak adalah suatu kewajiban kenegaraan dan pengabdian peran aktif warga negara dan anggota masyarakat lainnya untuk membiayai berbagai keperluan negara berupa pembangunan nasional
yang pelaksanaannya diatur dalam Undang-Undang dan peraturan-peraturan untuk tujuan kesejahteraan dan negara.
Pajak merupakan pungutan yang dilakukan pemerintah terhadap Wajib Pajak tertentu berdasarkan undang-undang yang berlaku tanpa harus memberikan imbalan langsung. Terdapat macam-macam batasan atau definisi tentang perpajakan yang dikemukakan oleh para ahli, diantaranya yaitu :
1. Pajak menurut Pasal 1 angka 1 UU No 6 Tahun 1983 sebagaimana telah disempurnakan terakhir dengan UU No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan umum dan tata cara perpajakan adalah "kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang Undang, dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat''.
2. Menurut Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro SH, (2010:22) “pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Definisi tersebut kemudian dikoreksinya yang berbunyi sebagai berikut: Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada Kas Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment.
3. Menurut Djajadiningrat (20011:2)
Pajak sebagai suatu kewajiban menyerahkan sebagian dari kekayaan ke kas negara yang disebabkan suatu keadaan, kejadian, dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu, tetapi bukan sebagai hukuman, menurut peraturan yang ditetapkan pemerintah serta dapat dipaksakan, tetapi tidak ada jasa timbal balik dari negara secara langsung, untuk memelihara kesejahteraan secara umum.
4. Menurut Prof. Dr. P.J.A. Andriani (2009:8)
Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan- peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.
5. Menurut Prof. Dr. M.J.H. Smeets (2010:5)
Pajak adalah prestaasi kepada pemerintah yang terhutang melalui norma-norma umum dan yang dapat dipaksakan, tanpa ada kalanya kontraprestasi yang dapat ditunjukkan dalam hal yang individual;
maksudnya adalah untuk membiayai pengeluaran pemerintah.
6. Menurut Mr. N.J. Feldmann (2010:11)
Pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terutang kepada penguasa tanpa adanya kontraprestasi ( menurut norma- norma yang ditetapkannya secara umum) dan semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran umum.
7. Menurut Deutsche Reichs Abgaben Ordnung (2009:22)
Pajak adalah bantuan uang secara insidental atau secara periodik (dengan tidak ada kontraprestasinya), yang dipungut oleh badan yang bersifat umum (negara) untuk memperoleh pendapatan, dimana terjadi suatu sasaran pemajakn yang karena undang-undang telah menimbulkan utang pajak.
8. Menurut Sommerfeld Ray M., Anderson Herschel M., & Brock Horace Pajak adalah suatu pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah, bukan akibat pelanggaran hukum, namun wajib dilaksanakan, berdasarkan ketentuan yang ditetapkan lebih dahulu, tanpa mendapat imbalan yang langsung dan proporsional, agar pemerintah dapat melaksanakan tugas-tugasnya untuk menjalankan pemerintahan.
9. Pajak dari perspektif ekonomi dipahami sebagai beralihnya sumber daya dari sektor privat kepada sektor publik. Pemahaman ini memberikan gambaran bahwa adanya pajak menyebabkan dua situasi menjadi berubah. Pertama, berkurangnya kemampuan individu dalam menguasai sumberaya untuk kepentingan penguasaan barang dan jasa. Kedua, bertambahnya kemampuan keuangan negara dalam penyediaan barang dan jasa publik yang merupakan kebutuhan masyarakat.
10. Sementara pemahaman pajak dari perspektif hukum menurut Soemitro merupakan suatu perikatan yang timbul karena adanya undang-undang yang menyebabkan timbulnya kewajiban warga negara untuk menyetorkan sejumlah penghasilan tertentu kepada negara, negara mempunyai kekuatan untuk memaksa dan uang pajak tersebut harus dipergunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan.
Dari pendekatan hukum ini memperlihatkan bahwa pajak yang dipungut harus berdasarkan undang-undang sehingga menjamin adanya kepastian hukum, baik bagi fiskus sebagai pengumpul pajak maupun wajib pajak sebagai pembayar pajak.
Ciri-ciri Pajak yang terdapat dalam pengertian pajak antara lain sebagai berikut :
1. Pajak dipungut oleh negara, baik oleh pemerintah pusat maupun oleh pemerintah daerah berdasarkan atas undang-undang serta aturan pelaksanaannya.
2. Pemungutan pajak mengisyaratkan adanya alih dana (sumber daya) dari sektor swasta (wajib pajak membayar pajak) ke sektor negara (pemungut pajak/administrator pajak).
3. Pemungutan pajak diperuntukkan bagi keperluan pembiayaan umum pemerintah dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan, baik rutin maupun pembangunan.
4. Tidak dapat ditunjukkan adanya imbalan (kontraprestasi) individual oleh pemerintah terhadap pembayaran pajak yang dilakukan oleh para wajib pajak.
5. Berfungsi sebagai budgeter atau mengisi kas negara/anggaran negara yang diperlukan untuk menutup pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan, pajak juga berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan negara dalam lapangan ekonomi dan sosial (fungsi mengatur / regulatif)
Dari berbagai definisi yang diberikan terhadap pajak baik pengertian secara ekonomis (pajak sebagai pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah) atau pengertian secara yuridis (pajak adalah iuran yang dapat dipaksakan) dapat ditarik kesimpulan tentang unsur-unsur yang terdapat pada pengertian pajak antara lain sebagai berikut:
1. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang. Asas ini sesuai dengan perubahan ketiga UUD 1945 pasal 23A yang menyatakan "pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dalam undang-undang".
2. Tidak mendapatkan jasa timbal balik (konraprestasi perseorangan) yang dapat ditunjukkan secara langsung. Misalnya, orang yang taat membayar pajak kendaraan bermotor akan melalui jalan yang sama kualitasnya dengan orang yang tidak membayar pajak kendaraan bermotor.
3. Pemungutan pajak diperuntukkan bagi keperluan pembiayaan umum pemerintah dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan, baik rutin maupun pembangunan.
4. Pemungutan pajak dapat dipaksakan. Pajak dapat dipaksakan apabila wajib pajak tidak memenuhi kewajiban perpajakan dan dapat dikenakan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan.
5. Selain fungsi budgeter (anggaran) yaitu fungsi mengisi Kas Negara/Anggaran Negara yang diperlukan untuk menutup pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan, pajak juga berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan negara dalam lapangan ekonomi dan sosial (fungsi mengatur / regulatif).
2.1.2. Fungsi Pajak
Pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara, khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan karena pajak merupakan sumber pendapatan negara untuk membiayai semua pengeluaran termasuk pengeluaran pembangunan. Berdasarkan hal diatas maka pajak mempunyai beberapa fungsi, yaitu:
1. Fungsi anggaran (budgeter)
Fungsi penerimaan adalah fungsi utama pajak. Pajak ditarik terutama untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran pemerintah dalam rangka menyediakan barang dan jasa publik. Saat ini sekitar 70%
APBN Indonesia dibiayai oleh pajak. Dua pajak penyumbang penerimaan terbesar adalah Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Dengan demikian, dua jenis pajak ini lebih memiliki fungsi penerimaan (budgeter) ketimbang fungsi mengatur. Selain berfungsi sebagai sumber penerimaan negara, pajak juga memiliki fungsi mengatur. Dalam fungsi ini, pajak mengarahkan perilaku sekelompok warga negara agar bertindak sesuai yang diinginkan. Contoh: agar masyarakat Indonesia mendapatkan minyak goreng yang murah, maka terhadap ekspor CPO akan dikenakan pajak ekspor yang tinggi. Contoh lain, agar masyarakat tidak mengkonsumsi minuman beralkohol, maka terhadap jenis barang seperti ini dikenakan PPnBM yang tinggi.
Jenis pajak yang biasanya digunakan sebagai instrumen mengatur ini adalah Pajak Ekspor, Bea Masuk dan PPnBM.
Sebagai sumber pendapatan negara, pajak berfungsi untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara. Untuk menjalankan tugas-tugas rutin negara dan melaksanakan pembangunan, negara membutuhkan biaya. Biaya ini dapat diperoleh dari penerimaan pajak. Dewasa ini pajak digunakan untuk pembiayaan rutin seperti belanja pegawai, belanja barang, pemeliharaan, dan lain sebagainya.
Untuk pembiayaan pembangunan, uang dikeluarkan dari tabungan pemerintah, yakni penerimaan dalam negeri dikurangi pengeluaran rutin. Tabungan pemerintah ini dari tahun ke tahun harus ditingkatkan sesuai kebutuhan pembiayaan pembangunan yang semakin meningkat dan ini terutama diharapkan dari sektor pajak.
2. Fungsi mengatur (regulerend)
Pemerintah bisa mengatur pertumbuhan ekonomi melalui kebijaksanaan pajak. Dengan fungsi mengatur, pajak bisa digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Contohnya dalam rangka menggiring penanaman modal, baik dalam negeri maupun luar negeri, diberikan berbagai macam fasilitas keringanan pajak. Dalam rangka melindungi produksi dalam negeri, pemerintah menetapkan bea masuk yang tinggi untuk produk luar negeri.
2.1.3. Subjek Pajak Penghasilan
Subjek PPh adalah segala sesuatu yang mempunyai potensi untuk memperoleh penghasilan dan menjadi sasaran untuk dikenakan pajak penghasilan. Menurut Pasal 2 ayat (1) UU No. 36 Tahun 2008 subjek pajak dibagi menjadi Subjek Pajak Orang Pribadi, Subjek Pajak Warisan Belum Dibagi, Subjek Pajak Badan dan Subjek Pajak Bentuk Usaha Tetap.
Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) UU No. 36 Th. 2008, Subjek Pajak penghasilan dibagi menjadi dua Subjek Pajak terdiri dari :
1. Subjek Pajak Dalam Negeri.
2. Subjek Pajak Luar Negeri.
1. Subjek Pajak Dalam Negeri adalah :
a. Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
b. Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, meliputi Perseroan Terbatas, Perseroan Komanditer, Perseroan Lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap dan bentuk badan lainnya termasuk reksadana.
c. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak.
2. Subjek Pajak Luar Negeri adalah :
a. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia.
b. Orang Pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh panghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau.
c. Melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia.
Tidak termasuk Subjek Pajak :
1. Badan perwakilan negara asing.
2. Pejabat perwakilan diplomatik, dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan syarat:
a. Bukan warga Negara Indonesia; dan
b. Di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut; serta
c. Negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik;
3. Organisasi-organisasi Internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan dengan syarat :
a. Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut.
b. Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain pemberian
pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota.
4. Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan dengan syarat :
a. Bukan warga negara Indonesia; dan
b. Tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.
2.1.4. Objek Pajak Penghasilan
Objek Pajak Penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak (WP), baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun. Menurut pasal 4 ayat (1) UU No.
36 tahun 2008, objek pajak penghasilan adalah seperti berikut ini :
1. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun atau imbalan dalam bentuk lainnya kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang Pajak Penghasilan;
2. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan dan penghargaan;
3. Laba usaha;
4. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:
a) Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal.
b) Keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu atau anggota
c) Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan atau pengambil alihan usaha d) Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan
atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.
5. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya;
6. Bunga termasuk premium, diskonto dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;
7. Deviden dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk deviden dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
8. Royalti atau imbalan atas penggunaan hak;
9. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
10. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
11. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
12. Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing;
13. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
14. Premi asuransi;
15. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari WP yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
16. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak;
17. Imbalan bunga;
18. Penghasilan dari usaha berbasis syariah;
19. Surplus Bank Indonesia;
Objek Pajak yang dikenakan PPh final berdasar pada UU No. 36 tahun 2008 atas penghasilan berupa:
a. Bunga deposito dan tabungan-tabungan lainnya.
b. Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek.
c. Penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah atau bangunan.
d. Penghasilan tertentu lainnya, pengenaan pajaknya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Tidak Termasuk Objek Pajak
1. Bantuan atau sumbangan termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah dan para penerima zakat yang berhak.
2. Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak ybs;
3. Warisan;
4. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal;
5. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natural dan kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah;
6. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna dan asuransi beasiswa;
7. Deviden atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai WP Dalam Negeri, koperasi, BUMN atau BUMD dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat :
a. Deviden berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan
b. Bagi perseroan terbatas, BUMN dan BUMD yang menerima deviden, kepemilikan saham pada badan yang memberikan deviden paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor dan harus mempunyai usaha aktif di luar kepemilikan saham tersebut;
8. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai;
9. Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan;
10. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma dan kongsi;
11. Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksa dana selama 5 (lima) tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian izin usaha;
12. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura.
2.1.5. Jenis Pajak
Terdapat berbagai jenis pajak yang dapat dikelompokkan menjadi tiga (Suandy,2011) yaitu:
1. Menurut Golongan a. Pajak Langsung
Pajak yang harus dipikul atau ditanggung sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dilimpahkan atau dibebankan kepada orang lain atau pihak lain. Pajak harus menjadi beban Wajib Pajak yang bersangkutan. Contoh : Pajak Penghasilan (PPh).
PPh yang dibayar atau ditanggung oleh pihak-pihak tertentu yang memperoleh penghasilan tersebut.
b. Pajak Tidak Langsung
Pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain atau pihak ketiga. Pajak tidak langsung terjadi jika terdapat suatu kegiatan, peristiwa, atau perbuatan yang menyebabkan terutang pajak, misalnya terjadi penyerahan barang atau jasa. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai (PPN). PPN terjadi karena terdapat pertambahan nilai terhadap barang atau jasa. Pajak ini dibayarkan oleh produsen atau pihak yang menjual barang tetapi dapat dibebankan kepada konsumen baik secara eksplisit maupun implisit (dimasukkan dalam harga jual barang atau jasa).
Untuk menentukan apakah sesuatu termasuk pajak langsung atau pajak tidak langsung dalam arti ekonomis, yaitu dengan cara melihat ketiga unsur yang terdapat dalam kewajban pemenuhan perpajakannya. Ketiga unsur tersebut terdiri atas :
a. Penanggungjawab pajak, adalah orang yang secara formal yuridis diharuskan melunasi pajak.
b. Penanggung Pajak, adalah orang yang dalam faktanya memikul terlebih dahulu beban pajaknya.
c. Pemikul Pajak, adalah orang yang menurut Undang-Undang harus dibebani pajak.
Jika ketiga unsur tersebut ditemukan pada seseorang maka pajaknya disebut Pajak Langsung, sedangkan jika ketiga unsur tersebut terpisah atau terdapat pada lebih satu orang maka pajaknya disebut Pajak Tidak Langsung.
2. Menurut Sifat
Pajak dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu : a. Pajak Subjektif
Pajak yang pengenaannya memperhatikan keadaan pribadi Wajib Pajak atau pengenaan pajak yang memperhatikan keadaan subjeknya. Contoh: Pajak Penghasilan (PPh). Dalam PPh terdapat Subjek Pajak (Wajib Pajak ) orang pribadi.
Pengenaan PPh untuk orang pribadi tersebut memperhatikan keadaan pribadi Wajib Pajak (status perkawinan, banyaknya
anak, dan tanggungan lainnya). Keadaan pribadi Wajib Pajak tersebut selanjutnya digunakan untuk menentukan besarnya penghasilan tidak kena pajak.
b. Pajak Objektif
Pajak yang pengenaannya memperhatikan objeknya baik baik berupa benda, keadaan, perbuatan atau peristiwa yang mengakibatkan timbulnya kewajiban membayar pajak tanpa memerhatikan keadaan pribadi Subjek Pajak (Wajib Pajak) maupun tempat tinggal. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM), serta Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
3. Menurut Lembaga Pemungut
Pajak dikelompokkan menjadi dua, yaitu : a. Pajak Negara (Pajak Pusat)
Pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara pada umumnya.
Contoh: PPh, PPN dan PPnBM, serta Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
b. Pajak Daerah
Pajak yang dipungut oleh pemrintah daerah tingkat I (pajak provinsi) maupun daerah tingkat II (pajak kabupaten atau kota) dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah masing-masing. Pajak Provinsi meliputi Pajak Kendaraan
Bermotor dan Kendaraan di atas Air, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di atas Air, Pajak Bahan Bakar Bermotor, serta Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan. Pajak Kabupaten/Kota meliputi Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C, dan Pajak Parkir.
2.1.6. Syarat Pemungutan Pajak
Beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam pemungutan pajak ( Suandy,2012) antara lain :
1. Pemungutan pajak harus adil
Seperti halnya produk hukum pajak pun mempunyai tujuan untuk menciptakan keadilan dalam hal pemungutan pajak. Adil dalam perundang-undangan maupun adil dalam pelaksanaannya.
Contohnya:
a. Pajak diberlakukan bagi setiap warga negara yang memenuhi syarat sebagai wajib pajak.
b. Sanksi atas pelanggaran pajak diberlakukan secara umum sesuai dengan berat ringannya pelanggaran.
c. Dengan mengatur hak dan kewajiban para wajib pajak.
2. Pengaturan pajak harus berdasarkan UU
Sesuai dengan Pasal 23 UUD 1945 yang berbunyi: "Pajak dan pungutan yang bersifat untuk keperluan negara diatur dengan
Undang-Undang", ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penyusunan UU tentang pajak yaitu:
a. Pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara yang berdasarkan UU tersebut harus dijamin kelancarannya.
b. Jaminan hukum bagi para wajib pajak untuk tidak diperlakukan secara umum.
c. Jaminan hukum akan terjaganya kerahasiaan bagi para wajib pajak.
3. Pungutan pajak tidak mengganggu perekonomian
Pemungutan pajak harus diusahakan sedemikian rupa agar tidak mengganggu kondisi perekonomian, baik kegiatan produksi, perdagangan, maupun jasa. Pemungutan pajak jangan sampai merugikan kepentingan masyarakat dan menghambat lajunya usaha masyarakat pemasok pajak, terutama masyarakat kecil dan menengah.
4. Pemungutan pajak harus efesien
Biaya-biaya yang dikeluarkan dalam rangka pemungutan pajak harus diperhitungkan. Jangan sampai pajak yang diterima lebih rendah daripada biaya pengurusan pajak tersebut. Oleh karena itu, sistem pemungutan pajak harus sederhana dan mudah untuk dilaksanakan.
Dengan demikian, wajib pajak tidak akan mengalami kesulitan dalam pembayaran pajak baik dari segi penghitungan maupun dari segi waktu.
5. Sistem pemungutan pajak harus sederhana
Bagaimana pajak dipungut akan sangat menentukan keberhasilan dalam pungutan pajak. Sistem yang sederhana akan memudahkan wajib pajak dalam menghitung beban pajak yang harus dibiayai sehingga akan memberikan dapat positif bagi para wajib pajak untuk meningkatkan kesadaran dalam pembayaran pajak. Sebaliknya, jika sistem pemungutan pajak rumit, orang akan semakin enggan membayar pajak.
Contoh:
a. Bea materai disederhanakan dari 167 macam tarif menjadi 2 macam tarif.
b. Tarif PPN yang beragam disederhanakan menjadi hanya satu tarif, yaitu 10% .
c. Pajak perseorangan untuk badan dan pajak pendapatan untuk perseorangan disederhanakan menjadi pajak penghasilan (PPh) yang berlaku bagi badan maupun perseorangan (pribadi).
2.1.7. Asas Pengenaan Pajak
Agar negara dapat mengenakan pajak kepada warganya atau kepada orang pribadi atau badan lain yang bukan warganya, tetapi mempunyai keterkaitan dengan negara tersebut, tentu saja harus ada ketentuan-ketentuan yang mengaturnya. Sebagai contoh di Indonesia, secara tegas dinyatakan dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa segala pajak
untuk keuangan negara ditetapkan berdasarkan undang-undang. Untuk dapat menyusun suatu undang-undang perpajakan, diperlukan asas-asas atau dasar-dasar yang akan dijadikan landasan oleh negara untuk mengenakan pajak.
Terdapat beberapa asas yang dapat dipakai oleh negara sebagai asas dalam menentukan wewenangnya untuk mengenakan pajak, khususnya untuk pengenaan pajak penghasilan. Asas utama yang paling sering digunakan oleh negara sebagai landasan untuk mengenakan pajak adalah:
1. Asas domisili atau disebut juga asas kependudukan (domicile/residence principle): Berdasarkan asas ini negara akan mengenakan pajak atas suatu penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan, apabila untuk kepentingan perpajakan, orang pribadi tersebut merupakan penduduk (resident) atau berdomisili di negara itu atau apabila badan yang bersangkutan berkedudukan di negara itu. Dalam kaitan ini, tidak dipersoalkan dari mana penghasilan yang akan dikenakan pajak itu berasal. Itulah sebabnya bagi negara yang menganut asas ini, dalam sistem pengenaan pajak terhadap penduduknya akan menggabungkan asas domisili (kependudukan) dengan konsep pengenaan pajak atas penghasilan baik yang diperoleh di negara itu maupun penghasilan yang diperoleh di luar negeri (world-wide income concept).
2. Asas sumber: Negara yang menganut asas sumber akan mengenakan pajak atas suatu penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan hanya apabila penghasilan yang akan dikenakan
pajak itu diperoleh atau diterima oleh orang pribadi atau badan yang bersangkutan dari sumber-sumber yang berada di negara itu. Dalam asas ini, tidak menjadi persoalan mengenai siapa dan apa status dari orang atau badan yang memperoleh penghasilan tersebut sebab yang menjadi landasan pengenaan pajak adalah objek pajak yang timbul atau berasal dari negara itu. Contoh: Tenaga kerja asing bekerja di Indonesia maka dari penghasilan yang didapat di Indonesia akan dikenakan pajak oleh pemerintah Indonesia.
3. Asas kebangsaan atau asas nasionalitas atau disebut juga asas kewarganegaraan (nationality/citizenship principle): Dalam asas ini, yang menjadi landasan pengenaan pajak adalah status kewarganegaraan dari orang atau badan yang memperoleh penghasilan. Berdasarkan asas ini, tidaklah menjadi persoalan dari mana penghasilan yang akan dikenakan pajak. Seperti halnya dalam asas domisili, sistem pengenaan pajak berdasarkan asas nasionalitas ini dilakukan dengan cara menggabungkan asas nasionalitas dengan konsep pengenaan pajak.
Terdapat beberapa perbedaan prinsipil antara asas domisili atau kependudukan dan asas nasionalitas atau kewarganegaraan di satu pihak, dengan asas sumber di pihak lainnya. Pertama, pada kedua asas yang disebut pertama, kriteria yang dijadikan landasan kewenangan negara untuk mengenakan pajak adalah status subjek yang akan dikenakan pajak, yaitu apakah yang bersangkutan berstatus sebagai penduduk atau berdomisili
(dalam asas domisili) atau berstatus sebagai warga negara (dalam asas nasionalitas). Di sini, asal muasal penghasilan yang menjadi objek pajak tidaklah begitu penting. Sementara itu, pada asas sumber, yang menjadi landasannya adalah status objeknya, yaitu apakah objek yang akan dikenakan pajak bersumber dari negara itu atau tidak. Status dari orang atau badan yang memperoleh atau menerima penghasilan tidak begitu penting.
Kedua, pada kedua asas yang disebut pertama, pajak akan dikenakan terhadap penghasilan yang diperoleh di mana saja (world-wide income), sedangkan pada asas sumber, penghasilan yang dapat dikenakan pajak hanya terbatas pada penghasilan-penghasilan yang diperoleh dari sumber- sumber yang ada di negara yang bersangkutan.
Kebanyakan negara, tidak hanya mengadopsi salah satu asas saja, tetapi mengadopsi lebih dari satu asas, bisa gabungan asas domisili dengan asas sumber, gabungan asas nasionalitas dengan asas sumber, bahkan bisa gabungan ketiganya sekaligus.
Indonesia, dari ketentuan-ketentuan yang dimuat dalam Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana terakhir telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994, khususnya yang mengatur mengenai subjek pajak dan objek pajak, dapat disimpulkan bahwa Indonesia menganut asas domisili dan asas sumber sekaligus dalam sistem perpajakannya. Indonesia juga menganut asas kewarganegaraan yang parsial, yaitu khusus dalam ketentuan yang mengatur mengenai pengecualian subjek pajak untuk orang pribadi.
Jepang, misalnya untuk individu yang merupakan penduduk (resident individual) menggunakan asas domisili, di mana berdasarkan asas ini seorang penduduk Jepang berkewajiban membayar pajak penghasilan atas keseluruhan penghasilan yang diperolehnya, baik yang diperoleh di Jepang maupun di luar Jepang. Sementara itu, untuk yang bukan penduduk (non-resident) Jepang, dan badan-badan usaha luar negeri berkewajiban untuk membayar pajak penghasilan atas setiap penghasilan yang diperoleh dari sumber-sumber di Jepang.
Australia, untuk semua badan usaha milik negara maupun swasta yang berkedudukan di Australia, dikenakan pajak atas seluruh penghasilan yang diperoleh dari seluruh sumber penghasilan. Sementara itu, untuk badan usaha luar negeri, hanya dikenakan pajak atas penghasilan dari sumber yang ada di Australia.
2.1.8. Sistem Pemungutan Pajak
Dalam memungut pajak dikenal bebrapa sistem pemungutan yaitu : 1. Official Assessment System
Adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terhutang oleh Wajib Pajak. Dalam sistem ini, inisiatif serta kegiatan menghitung dan memungut pajak sepenuhnya berada di tangan para aparatur perpajakan. Dengan demikian berhasil atau tidaknya pelaksanaan pemungutan pajak banyak tergantung pada aparatur
perpajakan (peranan dominan ada pada aparatur perpajakan. Ciri- cirinya:
a. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiskus.
b. Wajib Pajak bersifat pasif.
c. Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus.
Contohnya: Pajak Bumi dan Bangunan menganut sistem ini, karena besarnya pajak yang terutang dihitung dan ditetapkan oleh fiskus melalui Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT).
2. Self Assessment System
Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewang kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri besarnya Pajak yang terutang. Dalam sistem ini, inisiatif serta menghitung dan memungut pajak sepenuhnya berada di tangan Wajib Pajak. Wajib Pajak dianggap mampu menghitung pajak, mampu memahami undang- undang perpajakan yang sedang berlaku, dan mempunyai kejujuran yang tinggi, serta menyadari akan arti pentingnya membayar pajak.
Ciri-cirinya :
a. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada Wajib Pajak itu sendiri.
b. Wajib Pajak Aktif, mulai dari menghitung, menyetor, dan melaporkan sendiri pajak yang terutang.
c. Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi. Contohnya:
PPh orang pribadi dan badan serta PPN menggunakan sistem ini. Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan Pajak Penjualan atas Barang mewah (PPnBM).
Dengan diterapkannya sistem pemungutan yang seperti ini, diharapkan akan mengatasi kelemahan dari stel sel campuran.
3. With Holding System
Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan pula Wajib Pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. Penunjukan pihak ketiga ini dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan keputusan presiden, dan peraturan lainnya untuk memotong dan memungut pajak, menyetor, dan mempertanggungjawabkan melalui sarana perpajakan yang tersedia.
Berhasil atau tidaknya pelaksanaan pemungutan pajak banyak tergantung pada pihak ketiga yang ditunjuk. Ciri-cirinya : Wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada pihak ketiga, pihak selain Fiskus dan Wajib Pajak. Contohnya: Pihak perusahaan atau pemberi kerja berkewajiban untuk menghitung berapa PPh yang harus dipotong atas penghasilan yang diterima pegawainya. Kemudian perusahaan atau pemberi kerja tersebut harus menyetorkan, dan melaporkan PPh pegawainya tersebut ke Kantor Pelayanan Pajak. Dalam PPh dimana pemberi kerja, bendaharawan pemerintah, dana pensiun, dan sebagainya yang
kepadanya diserahi tanggung jawab untuk memotong pajak terhadap penghasilan yang mereka bayarkan.
2.1.9. Definisi Wajib Pajak
Dalam Undang undang No. 28 Tahun 2007 (UU KUP yang baru), definisi Wajib Pajak diubah menjadi : Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Berdasarkan undang-undang no 6 tahun 1983 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan, sebagaimana terakhir telah diubah dengan undang-undang no 16 tahun 2000, terdapat hak dan kewajban wajib pajak sebagai berikut :
1. Kewajiban Wajib Pajak :
a. Mendaftarkan diri ke KPP untuk memperoleh NPWP. Dalam rangka program extensifikasi, meskipun Wajib Pajak tidak (belum) mendaftarkan diri, bagi wajib pajak yang telah memenuhi syarat untuk memiliki NPWP maka akan diberikan NPWP secara jabatan. Apabila kepada wajib pajak telah diberikan NPWP secara jabatan, maka telah menggugurkan kewajiban wajib pajak untuk mendaftarkan diri. Nomor Pokok Wajib Pajak adalah suatu sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak, oleh karena itu
kepada setiap Wajib Pajak hanya diberikan satu Nomor Pokok Wajib Pajak. Selain daripada itu, Nomor Pokok Wajib Pajak juga dipergunakan untuk menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan dalam pengawasan administrasi perpajakan. Dalam hal berhubungan dengan dokumen perpajakan, Wajib Pajak diwajibkan mencantumkan Nomor Pokok Wajib Pajak yang dimilikinya.
b. Wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak. Setiap Wajib Pajak sebagai Pengusaha yang memenuhi syarat untuk dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang PPN, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak.
Fungsi pengukuhan Pengusaha Kena Pajak selain dipergunakan untuk mengetahui identitas Pengusaha Kena Pajak yang sebenarnya, juga berguna untuk melaksanakan hak dan kewajiban di bidang PPN dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) serta untuk pengawasan administrasi perpajakan.
c. Mengambil sendiri Surat Pemberitahuan di tempat yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Dalam rangka pelayanan dan kemudahan bagi Wajib Pajak, formulir Surat Pemberitahuan disediakan pada kantor-kantor di lingkungan DJP dan tempat-tempat lain yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak yang diperkirakan mudah terjangkau oleh
Wajib Pajak. Setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor pelayanan pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan. Bagi Wajib Pajak yang telah mendapat izin Menteri Keuangan untuk menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah, wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan dalam bahasa Indonesia dan mata uang selain Rupiah yang diizinkan.
d. Wajib membayar atau menyetor pajak yang terutang ke kas negara melalui Kantor Pos dan atau Bank Persepsi. Setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak.
e. Wajib menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan. Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak badan di Indonesia diwajibkan untuk menyelenggarakan pembukuan.
Dikecualikan dari kewajiban pembukuan, tetapi diwajibkan melakukan pencatatan bagi Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang
menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dan Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas. Pembukuan dan dokumen-dokumen yang berhubungan dengan kegiatan usaha harus disimpan oleh wajib pajak selama 10 (sepuluh) tahun.
Karena selama jangka waktu tersebut DJP masih dapat melakukan pemeriksaan.
f. Dalam hal terjadi pemeriksaan pajak, Wajib Pajak wajib:
a) Memperlihatkan dan atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas.
b) Memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan;
c) Memberikan keterangan yang diperlukan.
2. Kewajiban Pajak Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang Melakukan Kegiatan Usaha atau Pekerjaan Bebas.
Bagi wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan Usaha atau pekerjaan bebas, setelah terdaftar di kantor pelayanan pajak dan memperoleh NPWP maka akan memiliki kewajiban pajak
yang harus dilaksanakan. Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha/pekerjaan bebas selaku pemberi kerja selain diwajibkan untuk membayar dan melaporkan pajak yang terutang atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya sendiri juga diwajibkan untuk menyetorkan dan melaporkan PPh yang terutang atas penghasilan yang dibayarkan atau terutang kepada karyawannya.
Dalam hal WPOP yang melakukan kegiatan usaha/pekerjaan bebas telah dikukuhkan sebagai Pengusaha kena pajak juga memiliki kewajiban dibidang PPN. Bagi Wajib Pajak ditunjuk oleh dirjen pajak sebagai pemotong PPh Pasal 23 dan PPh Orang Pribadi tertentu yang telah Final pasal 4 (2), juga memiliki kewajiban dibidang PPh 23 dan PPh Final Pasal 4 (2). Kewajiban yang harus dipenuhi oleh wajib pajak Orang Pribadi yang melakukann kegiatan usaha/pekerjaan bebas yang akan menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa (SPT Masa) Setelah wajib pajak terdaftar di KPP dan memiliki NPWP, maka memiliki kewajiban untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa/ bulanan ke kantor pelayanan pajak tempat wajib pajak terdaftar. Jenis SPT Masa yang harus disampaikan oleh wajib pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha/pekerjaan bebas terdiri dari :
a. SPT Masa PPh Pasal 25
PPh Pasal 25 merupakan angsuran PPh dalam tahun pajak berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk
setiap bulan. Besarnya angsuran PPh Pasal 25 adalah sebesar Pajak Penghasilan yang terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu, setelah dikurangi dengan PPh yang telah dipotong/dipungut oleh pihak lain dan PPh yang terutang/dibayar diluar negeri yang dapat dikreditkan; dibagi 12 (dua belas). Bagi wajib pajak yang baru pertama kali memperoleh penghasilan dari usaha atau pekerjaan bebas dalam tahun pajak berjalan (Wajib Pajak baru), besarnya Angsuran PPh Pasal 25 dihitung berdasarkan Pajak Penghasilan yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas penghasilan neto sebulan yang disetahunkan, dibagi 12 (dua belas). Batas waktu pembayaran PPh pasal 25 adalah setiap tanggal 15 bulan berikutnya. Apabila tanggal 15 jatuh pada hari libur, maka pembayaran PPh Pasal 25 dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Sedangkan batas untuk menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 25 adalah 20 hari setelah berakhirnya masa pajak (tgl 20 bulan berikutnya).
Apabila tanggal 20 jatuh pada hari libur, maka pelaporan harus dilakukan pada hari kerja sebelumnya. Hari libur meliputi hari libur nasional dan hari- hari yang ditetapkan sebagai hari cuti bersama oleh pemerintah.
Surat Setoran Pajak (SSP) PPh Pasal 25, juga merupakan SPT Masa PPh Pasal 25. SPT Masa PPh Pasal 25 ini,
merupakan salah satu SPT Masa yang wajib disampaikan oleh wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha/pekerjaan bebas, meskipun tidak terdapat pembayaran (SPT Nihil). Apabila Wajib pajak tidak menyampaikan atau terlambat menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 25, maka wajib pajak akan dikenakan sanksi berupa denda sebesar Rp 50.000 untuk satu SPT Masa.
b. SPT Masa PPh Pasal 21/26
PPh pasal 21/26 merupakan PPh yang terutang atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan yang dilakukan oleh wajib pajak orang pribadi. Berdasarkan ketentuan Pasal 21 Undang-undang PPh, PPh Pasal 21 wajib dipotong, disetor dan dilaporkan oleh pemotong pajak, yaitu : pemberi kerja, bendaharawan, pemerintah, dana pensiun, badan, perusahaan dan penyelenggara kegiatan. Wajib pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha/pekerjaan bebas selaku pemberi kerja yang membayarkan gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh wajib pajak orang pribadi; wajib menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21/26.
Batas waktu penyetoran PPh Pasal 21/26 adalah tanggal 10
bulan berikutnya, namun apabila tanggal 10 jatuh pada hari libur maka penyetoran dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Sedangkan batas waktu pelaporan SPT Masa PPh Pasal 21/26 adalah 20 hari setelah berakhirnya masa pajak (tanggal 20 bulan berikutnya), apabila tanggal 20 jatuh pada hari libur, maka penyampaian SPT Masa PPh pasal 21/26 harus dilakukan pada hari kerja sebelumnya. SPT Masa PPh Pasal 21/26 juga merupakan SPT Masa yang wajib disampaikan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha/pekerjaan bebas meskipun tidak terdapat penyetoran PPh Pasal 21/26 (SPT Nihil). Apabila Wajib pajak tidak menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21/26 atau terlambat menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21/26, maka akan dikenakan sanksi berupa denda sebesar Rp 50.000,- untuk satu SPT Masa. Ketentuan lebih lanjut tentang Petunjuk pelaksanaan pemotongan, penyetoran dan pelaporan PPh Pasal 21 dan pasal 26 sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan orang pribadi diatur dalam Keputusan Dirjen Pajak No KEP-545/PJ./2000 tanggal 29 Desember 2000.
c. SPT Masa PPN
Bagi Wajib Pajak yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) diwajibkan untuk memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak atas Penjualan Barang
Mewah (PPnBM) serta menyampaikan SPT Masa PPN. Jatuh tempo penyetoran PPN adalah setiap tanggal 15 bulan berikutnya, sedangkan batas waktu penyampaian SPT Masa PPN adalah 20 hari setelah berakhirnya masa pajak (tgl 20 bulan berikutnya). Seperti halnya pembayaran PPh Masa, apabila jatuh tempo penyetoran PPN jatuh pada hari libur, maka penyetoran dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.
Sedangkan untuk pelaporan, apabila batas waktu pelaporan jatuh pada hari libur maka penyampaian SPT Masa PPN wajib dilakukan pada hari kerja sebelumnya. SPT Masa PPN merupakan SPT Masa yang wajib disampaikan oleh Wajib Pajak yang telah dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak, meskipun Nihil. Apabila Wajib yang telah dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak tidak menyampaikan atau terlambat menyampaikan SPT Masa PPN maka akan dikenakan sanksi berupa denda sebesar Rp 50.000 untuk satu SPT Masa. Fungsi Surat Pemberitahuan (SPT PPN) adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan memper- tanggungjawabkan penghitungan jumlah Pajak PPN dan PPnBM yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang :
1) Pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran.
2) Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak dan atau melalui pihak lain dalam satu Masa Pajak, yang ditentukan oleh ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan yang berlaku.
3) Bagi pemotong atau pemungut pajak, fungsi Surat Pemberitahuan adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan di pertanggungjawabkan pajak yang dipotong atau dipungut dan disetorkannya. Ketentuan mengenai PPN diatur dalam Undang-undang no 8 tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana terakhir telah diubah dengan UU No 18 tahun 2000 beserta peraturan pelaksanaannya.
d. SPT Masa PPh Pasal 23/26
Direktur Jenderal Pajak dapat menunjuk Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sebagai pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23. Wajib Pajak Orang Pribadi tertentu tersebut terdiri dari :
1) Akuntan, Arsitek, Dokter, Notaris, Pejabat Pembuat Akte Tanah (PPAT) kecuali PPAT tersebut adalah Camat, pengacara, dan konsultan, yang melakukan pekerjaan bebas;
2) Orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan. Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri tertentu tersebut diatas yang telah ditunjuk Dirjen Pajak, akan mendapatkan Surat Penunjukan Sebagai Pemotong PPh Pasal 23 dari Kantor Pelayanan Pajak tempat WP terdaftar. WPOP tertentu yang telah ditunjuk sebagai pemotong PPh 23, Wajib memotong PPh Pasal 23 atas pembayaran berupa sewa.
e. SPT Masa PPh Final pasal 4 (2)
PPh final atas penghasilan yang diterima/diperoleh oleh wajib pajak sendiri. Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang memperoleh penghasilan yang merupakan obyek PPh final, maka diwajibkan untuk membayar dan melaporkan PPh final pasal4 (2) yang tertuang atas penghasilan tersebut. Jenis penghasilan lain yang merupakan obyek PPh final dan pembayaran PPh-nya wajib dilakukan sendiri oleh penerima penghasilan (Wajib pajak) adalah sebagai berikut:
1) WPOP yang menerima/memperoleh penghasilan dari transaksi pengalihan.
2) Hak atas tanah dan/atau bangunan diwajibkan membayar PPh final pasal4 (2). Besarnya PPh yang terutang atas transaksi pegalihan hak atas tanah
dan/atau bangunan ini adalah sebesar 5% dari nilai yang tertinggi antara nilai pengalihan (nilai transaksi) dengan nilai NJOP.
3) Penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan adalah Penghasilan yang diterima/diperoleh oleh WPOP dari kegiatan persewaan tanah dan atau bangunan juga merupakan obyek PPh final pasal 4 (2). Besarnya PPh yang terutang atas transaksi ini adalah sebesar 10% dari jumlah bruto nilai persewaan. Apabila penyewa adalah pemotong pajak, maka pelunasan PPh final atas transaksi ini dilakukan melalui pemotongan oleh pihak penyewa.
2.1.10. Pengertian Motivasi
Motivasi berasal dari kata latin MOVERE yang berarti dorongan atau daya penggerak. Motivasi ini hanya diberikan kepada manusia, khususnya kepada para pengikut. Motivasi adalah keadaan dalam diri sesorang yang mendorong keinginan individu untuk melakukan kegiatan-kegiatan tertentu guna mencapai tujuan (Reksohadiprojo dan Handoko, 2009:252). Jadi motivasi yang ada pada seseorang akan mewujudkan suatu perilaku yang diarahkan pada tujuan mencapai sasaran kepuasan (Asmara, 2010).
Motivasi mempersoalkan bagaimana caranya mendorong gairah masyarakat, agar mereka mau untuk ikut serta ambil bagian dalam suatu proses pembangunan. Hal ini dapat dilihat dengan bersedianya masyarakat
untuk memberikan apa yang dikehendaki pemerintah untuk mewujudkan tujuan pembangunan. Drs. Malayu SP. Hasibuan (2010:95) mendefinisikan motivasi adalah pemberian daya penggerak yang menciptakan kegairahan kerja seseorang, agar mereka mau bekerja sama, seperti efektif dan terintegrasi dengan segala upaya untuk mencapai kepuasan. Bentuk-bentuk motivasi adalah meliputi:
a) Motivasi instrinsik yaitu motivasi yang datangnya dari dalam diri individu itu sendiri.
b) Motivasi ekstrinsik yaitu motivasi yang datangnya dari luar individu.
c) Motivasi terdesak yaitu motivasi yang muncul dalam kondisi terjepit dan munculnya serentak serta menghentak dan cepat sekali (Widayatun, 2011).
Ada beberapa ahli psikologis membagi motivasi dalam beberapa tingkatan, namun secara umum terdapat keseragaman dalam mengklasifikasikan tingkatan motivasi yaitu :
a) Motivasi dikatakan kuat apabila dalam diri seseorang dalam kegiatan-kegiatan sehari-hari memiliki harapan yang positif, mempunyai harapan yang tinggi, dan memiliki keyakinan yang tinggi.
b) Motivasi sedang apabila dalam diri manusia memiliki keinginan yang positif, mempunyai harapan yang tinggi, namun memiliki keyakinan yang rendah.
c) Motivasi dikatakan lemah atau rendah apabila di dalam diri manusia memiliki harapan dan keyakinan yang rendah dalam dirinya (Irwanto, 2009).
Faktor-faktor yang mempengaruhi Motivasi adalah antara lain :
a) Tingkat kematangan pribadi merupakan motivasi yang berasal dari dalam dirinya sendiri, biasanya timbul dari perilaku yang dapat memenuhi kebutuhan sehingga puas dengan apa yang sudah dilakukan.
b) Situasi dan kondisi, motivasi yang timbul berdasarkan keadaan yang terjadi sehingga mendorong memaksa seseorang untuk melakukan sesuatu.
c) lingkungan kerja atau aktifitas merupakan motivasi yang timbul atas dorongan dalam diri seseorang atau pihak lain yang didasari dengan adanya kegiatan atau aktivitas rutin dengan tujuan tertentu.
d) Tingkat pendidikan mempengaruhi pengetahuan seseorang, audio visual (media) motivasi yang timbul dengan adanya informasi yang didapat dari perantara sehingga mendorong atau menggugah hati seseorang untuk melakukan sesuatu.
e) Sarana dan Prasarana dapat mempengaruhi motivasi. Apabila sarana dan prasarana memadai maka akan timbul suatu motivasi (Prabu, 2011).
2.1.11. Teori Analisis
1. Pengertian Regresi Linier
Pengertian regresi secara umum adalah sebuah alat statistik yang memberikan penjelasan tentang pola hubungan (model) antara dua variabel atau lebih. Dalam analisis regresi dikenal 2 jenis variabel yaitu:
a) Variabel Respon disebut juga variabel dependen yaitu variabel yang keberadaannya dipengaruhi oleh variabel lainnya dan dinotasikan dengan variabel Y.
b) Variabel Prediktor disebut juga dengan variabel independen yaitu variabel yang bebas (tidak dipengaruhi oleh variabel lainnya) dan dinotasikan dengan variabel X.
Untuk mempelajari hubugan antara variabel independen dengan variabel dependen maka digunakan regresi linier berganda :
a) Analisis regresi berganda (Multiple analysis regresi).
Analisis regresi linier berganda sebenarnya sama dengan analisis regresi linier sederhana, hanya variabel bebasnya lebih dari satu buah. Persamaan umumnya adalah:
Y = B + b1 X1 + b2 X2+ .... + bn Xn
Dengan Y adalah variabel dependen, dan X adalah variabel-variabel independen, B adalah konstanta (intersept) dan b adalah koefisien regresi pada masing-masing variabel bebas.
2.2. Hasil Penelitian Terdahulu
Banyak penelitian yang telah dilakukan guna mencari faktor atau penyebab kesadaran dan motivasi Wajib pajak dalam rangka membayar pajak, salah satunya penelitian oleh Tatiana dan Priyo (2009), Widayati dan Nurlis (2010) dan penelitian Monica (2011) yang menggunakan tiga variabel dalam penelitian mereka, yaitu Kesadaran Membayar Pajak, Pengetahuan dan Pemahaman terhadap Peraturan Perpajakan, dan Persepsi yang Baik atas Efektivitas Sistem Perpajakan. Tetapi sebagian besar penelitian merupakan Wajib Pajak yang telah terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak tertentu. Hanya sebagian kecil yang meneliti tentang motivasi membayar pajak terhadap Orang Pribadi yang melakukan pekerjaan bebas.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Rahman Adi Nugroho selaku mahasiswa Universitas Diponegoro, Semarang tahun 2011, menyatakan bahwa pengetahuan dan pemahaman akan peraturan perpajakan, pelayanan pegawai pajak yang berkualitas dan persepsi atas efektifitas sistem perpajakan berpengaruh positif terhadap kesadaran dan motivasi membayar pajak.
2.3. Kerangka Konseptual
Di dalam realita, timbulnya motivasi untuk membayar pajak masyarakat khususnya yang memiliki usaha sendiri (orang pribadi) dirasa sangat kurang. Fenomena ini biasa disebabkan oleh beberapa faktor yaitu persepsi tentang perpajakan, kualitas layanan petugas pajak, pengetahuan dan pemahaman perpajakan. Dari faktor-faktor tersebut akan ada satu atau dua faktor yang memberikan kontribusi besar terhadap timbulnya motivasi membayar pajak oleh usahawan (orang pribadi). Dari penjelasan diatas, maka dapat dibuat rangka pemikiran sebagai berikut :
Persesi Tentang Perpajakan (X1)
Kualitas Layanan Petugas Pajak (X2)
Pengetahuan dan
Pemahaman Perpajakan (X3)
Timbulnya Motivasi untuk kesadaran Membayar Pajak (Y)
2.4. Hipotesis Penelitian
1. Timbulnya motivasi untuk kesadaran membayar pajak
Motivasi untuk kesadaran membayar pajak dipengaruhi oleh tiga variabel yaitu persepsi, pelayanan, pengetahuan dan pemahaman tentang perpajakan. Semakin tinggi tingkat persepsi wajib pajak tentang perpajakan semakin tinggi motivasi untuk membayar pajak, semakin tinggi tingkat pelayanan dan pengetahuan wajib pajak maka semakin tinggi pula motivasi untuk membayar pajak.
2. Persepsi tentang perpajakan ( berhubungan dengan citra perpajakan) Persepsi adalah sebuah proses saat individu mengatur dan menginterpretasikan kesan-kesan sensoris guna memberikan arti bagi lingkungan mereka. Perilaku individu seringkali didasarkan pada persepsi mereka tentang kenyataan, bukan pada kenyataan itu sendiri. Persepsi Wajib Pajak dapat diartikan sebagai tingkat kepercayaan terhadap kinerja aparat perpajakan yang akan berdampak pada persepsi Wajib Pajak, semakin tinggi persepsi tentang perpajakan, maka semakin tinggi motivasi membayar pajak.
H1 = Semakin tinggi persepsi tentang perpajakan, maka semakin tinggi motivasi membayar pajak.
3. Kualitas layanan petugas pajak
Kualitas layanan adalah pelayanan yang dapat memberikan kepuasan kepada pelanggan dan tetap dalam batas memenuhi standar pelayanan yang dapat dipertanggungjawabkan serta harus dilakukan secara terus-menerus. Secara sederhana definisi kualitas adalah suatu
kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa manusia, proses, dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan pihak yang menginginkannya. Pelayanan perpajakan dibentuk oleh dimensi kualitas sumber daya manusia (SDM), ketentuan perpajakan dan sistem informasi perpajakan. Standar kualitas pelayanan prima kepada masyarakat wajib pajak akan terpenuhi bilamana SDM melakukan tugasnya secara profesional, disiplin, dan transparan.
Dalam kondisi wajib pajak merasa puas atas pelayanan yang diberikan kepadanya, maka mereka akan cenderung akan melaksanakan kewajiban membayar pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Apabila ketentuan perpajakan dibuat sederhana, mudah dipahami oleh wajib pajak, maka pelayanan perpajakan atas hak dan kewajiban mereka dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. Dengan demikian sistem informasi perpajakan dan kualitas SDM yang handal akan menghasilkan pelayanan perpajakan yang semakin baik. H2 = Semakin baik kualitas layanan petugas pajak, maka semakin tinggi motivasi membayar pajak.
4. Pengetahuan dan pemahaman perpajakan oleh usahawan
Pengetahuan Wajib Pajak tentang perpajakan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seorang atau kelompok Wajib Pajak dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Sedangkan pemahaman Wajib Pajak terhadap perpajakan adalah cara wajib pajak dalam memahami peraturan perpajakan yang telah ada. Wajib pajak yang tidak memahami peraturan perpajakan
secara jelas cenderung akan menjadi wajib pajak yang tidak taat.
Jelas bahwa semakin paham wajib pajak terhadap peraturan perpajakan, maka semakin paham pula wajib pajak terhadap sanksi yang akan diterima bila melalaikan kewajiban perpajakan mereka.
Dimana wajib pajak yang benar-benar paham, mereka akan tahu sanksi adminstrasi dan sanksi pidana. H3 = Semakin tinggi pengetahuan dan pemahaman perpajakan, maka semakin tinggi pula motivasi membayar pajak.