• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV SEJARAH LAHIRNYA PERGERAKAN PAPUA MERDEKA Konflik Papua tidak kunjung selesai hingga saat ini, hal ini disebabkan oleh adaya kalangan yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB IV SEJARAH LAHIRNYA PERGERAKAN PAPUA MERDEKA Konflik Papua tidak kunjung selesai hingga saat ini, hal ini disebabkan oleh adaya kalangan yang"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

BAB IV

SEJARAH LAHIRNYA PERGERAKAN PAPUA MERDEKA

Konflik Papua tidak kunjung selesai hingga saat ini, hal ini disebabkan oleh adaya kalangan yang mengatasnamakan diri sebagai pejuang kemerdekaan Papua yang melaksanakan aksinya di seluruh wilayah Papua, untuk mencegah hal tersebut pemerintah pusat melakukan pendekatan keamanan yang mengakibatkan sering terjadinya bentrok antara TNI/POLRI dengan kalangan pro kemerdekaan di Papua, hal ini menimnulkan situasi yang konfltual di Papua. Upaya mereka dilakukan demi tercapainya kemerdekaan Papua dan kelompok ini pun mendapat dukungan dari organisasi kawasan seperti Melanesian Spearhead Group (MSG) dalam hal diplomasi. Persamaan ras sebagai Melanesia menjadi salah satu alasan Papua Barat mendapat dukungan dari negara-negara Pasifik dalam melihat kasus pelanggaran HAM hingga pada penentuan nasib sendiri bagi bangsa Papua Barat.

MSG merupakan salah satu organisasi kawasan di kepulauan pasifik yang didirikan untuk membangun negara-negara yang merupakan ras Melanesia. Dalam perkembangannya fokus tidak lagi hanya pada rana perdagangan atau kerjasama ekonomi namun meluas pada aspek politik. MSG dibahas pada penelitian ini guna untuk melihat peranannya dalam aktifitas kalangan pro kemerdekaan Papua yang berjuang untuk menentukan nasib sendiri. Penelitian ini secara garis besar dibagi pada dua bagian (Bab IV dan V) yaitu pada bagian pertama tulisan berfokus pada sejarah Papua yang mencakup integrasi, politik dan konflik serta aktor-aktor yang bergerak dalam perjuangan kemerdekaan Papua. Pada bagian kedua penelitian lebih berfokus kepada peranan dari MSG dalam perjuangan kemerdekaan Papua. Peranan dalam penelitian ini untuk mendeskripsikan MSG terkait isu Papua. Dan apakah MSG benar-benar memiliki peran dalam pergerakan Papua merdeka dijelaskan pada bagian ini. Pembahasan berfokus pada sejarah dan struktur MSG, peranan, hubungan MSG dan Papua Barat di kaji pada bagian ini.

(2)

4.1. Latar Belakang Kemunculan Gerakan Papua Merdeka

Pada bagian pertama pembahasan secara menyeluruh dijelaskan mengenai sejarah dalam perjuangan kemerdekaan Papua sebagai bagian dari konflik berkepanjangan di Indonesia. Penjelasan ini menjadi penting untuk melihat peristiwa politik pada masa lampau untuk menarik kesimpulan mengenai konflik di Papua. Pembahasan ini terdiri atas;

Pertama, Politik Papua sebelum masuk NKRI dimana pada masa ini masih dipengaruhi oleh kekuatan asing yang menjajah (Belanda). Kedua, Politik Papua setelah masuk NKRI, situasi dan pengaruh berubah karena Belanda tidak lagi berkuasa dan Indonesia melalui bantuan PBB berhasil memerintah di Papua. Ketiga, kompleksitas identitas politik Papua, terdapat perbedaan nilai yang kuat antara Indonsia dan Papua, identitas politik menjadi buram terlebih ketika ditinjau dari berbagai aspek. Keempat, kompleksitas sejarah konflik Papua, sebab akibat dari semua kejadian di Papua meningkatkan ruang kebingungan dalam membaca peta konflik Papua. Kelima, kompleksitas aktor di Papua, semakin banyak aktor di Papua juga turut memberikan konflik baik secara langsung maupun tidak langsung.

Keenam, kompleksitas penyebab konflik di Papua, dalam memahami sebab akibat dari konflik Papua yang berkepanjangan maka penyebab atau sumber konflik perlu dibahas dalam bagian terakhir dari pembahasan sejarah konflik Perjuagan Papua Barat.

4.1.1. Politik Papua Sebelum Integrasi Dalam NKRI

Salah satu manfaat dari mempelajari kembali sejarah dan latar belakang adalah agar dapat menjelaskan kembali sebab-akibat suatu peristiwa yang bersifat membangun ataupun menghancurkan. Suatu kejadian sosial-politik tidak dapat berdiri sendiri melainkan didorong oleh faktor lain sehingga untuk menjelaskan kembali suatu permasalahan yang bersifat sosial, politik dan ekonomi perlu meninjau kembali sejarah agar dapat melihat dan memberikan proses rekonsiliasi yang adil dan komperhensif.

Konflik yang terjadi di Papua membutuhkan peninjauan kembali faktor sejarah untuk melihat kembali status politik yang hingga saat ini masih diperdebatkan1 oleh

1 Penelitian LIPI, Updating Road Map Papua, tahun 2017. Yang menyebut empat masalah besar yang harus diselesaikan. Empat masalah besar tersebut termasuk marjinalisasi dan kriminalisasi orang asli Papua, gagalnya pembangunan, pelanggaran HAM yang masih terus terjadi, dan pandangan sejarah serta status politik yang berbeda antara Jakarta dan Papua. Penelitian menemukan bahwa pemerintahan pusat di Jakarta melihat persoalan Papua sebagai bagian dari NKRI adalah hal yang sudah final dan selesai, sementara Papua melihat status ini masih terus diperdebatkan

(3)

Indonesia dan Papua (bagi kalangan pro kemerdekaan Papua bedah pandangan politik).

Studi kajian sejarah sosial budaya, studi antropologi, studi politik dan bahkan studi ekonomi mengenai Papua sangat penting untuk dikaji dan dipelajari lebih dalam saat menjelaskan konflik yang terjadi di Papua. Peninjauan kembali mengenai situasi politik Papua sebelum tahun 1960-an era di mana Papua masih belum diintegrasikan ke Indonesia menjadi jalan untuk menghubungkan sebab akibat dari satu atau banyak peristiwa yang sedang terjadi saat ini.

Konflik di Papua sendiri terlihat semakin jelas dan kekerasan terjadi dalam jumlah besar pasca integrasi Papua ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), hal ini dibuktikan dengan angka kekerasan yang mencapai 4.146 korban hanya di wilayah Pegunungan Tengah (Jayawijaya) melalui Operasi Kikis pada tahun 1977-1978 (AHRC- ICP; 2013:7-9) kekerasan dilanjutkan dengan Operasi Sapu Bersih I dan II pada tahun 1981 yang mengakibatkan lebih dari 10.000 orang mengungsi ke PNG (Al Araf, Anton Aliabbas, (Dkk). 2011:5-6). Integrasi Papua ke dalam NKRI tidak terlepas dari dukungan Perserikatan Bangsa Bangsa2 (PBB) melalui United National Temporary Executive Authority (UNTEA)3 pada tanggal 01 Mei 1963 yang terjadi penyerahan ke NKRI dan hasil akhir melalui Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) pada tahun 1969 (John Saltford, 2003:75). Pada bagian ini penjelasan lebih berfokus mengenai Papua sebelum diintegrasikan ke dalam NKRI dan peninjauan latar belakang baik secara sosial budaya dan politik-ekonomi.

4.1.1.1. Sosial Budaya Papua

Kajian antropologis sangat penting dalam menjelaskan Papua sebelum integrasi ke dalam NKRI terkait peristiwa yang sedang terjadi di Papua hingga saat ini, antropologi sendiri mempelajari dan memahami perilaku manusia dalam segala aspek kehidupan (Wiranata. A.B, Gede.I; 2002;6-12). Kajian mengenai kehidupan sosial dan budaya di Papua sangat membantu dalam menjelaskan pola pikir dan pandangan masyarakat Papua

2 PBB adalah sebuah organisasi internasional yang anggotanya mencakup hampir seluruh negara di dunia. Lembaga PBB ini dibentuk untuk memfasilitasi persoalan hukum internasional, pengamanan internasional, lembaga ekonomi, dan perlindungan sosial bagi bangsa-bangsa di seluruh dunia.

3 UNTEA adalah sebuah organisasi bentukan PBB untuk mengatasi penyelesaian konflik Indonesia dan Belanda yg saling memperebutkan Irian Barat. Dimana berdasar perjanjian New York belanda harus menggangkat kaki dari Irian Barat selambatnya 1 mei 1963. UNTEA (United Nations Temporary Executive Authority) adalah Pelaksana Sementara PBB . Masa kerjanya tanggal 1 oktober 1962 - 1 mei 1963.

(4)

terhadap suatu aspek. Perbedaan pola pikir masyarakat di Papua dan di luar Papua akan terbukti berbeda ketika keduanya memiliki tanggapan yang berbeda terhadap suatu peristiwa yang terjadi, baik peristiwa masa lampau, masa sekarang, bahkan pada saat memberikan asumsi terhadap suatu peristiwa yang mungkin akan terjadi. Salah satu hal sederhana yaitu secara kebudayaan orang di Pegunungan Papua menjadikan ubi sebagai makanan pokok, jelas sangat berbeda dengan di Jawa menjadikan nasi sebagai makanan pokok dan banyak sekali hal lain yang berbeda dalam aspek sosial budaya.

Kehidupan orang Papua sebelum integrasi sangat bergantung pada kehidupan alam, pelestarian lingkungan alam menjadi suatu kewajiban untuk kehidupan berkelanjutan, nilai-nilai kebersamaan, norma-norma dalam kehidupan diturunkan secara lisan melalui dongeng dan cerita rakyat, nilai ini diturunkan kepada anak cucu oleh orang tua di malam hari sebelum tidur4. Bertahan hidup dengan hasil dari alam sehingga uang tidak memiliki pengaruh yang signifikan bahkan tidak dibutuhkan oleh orang Papua saat di mana Papua belum masuk ke dalam NKRI. Tidak semua orang Papua memahami dunia luar. Namun, yang ada adalah kehidupan bersama untuk melanjutkan keturunan. Secara kebudayaan di Papua dalam lingkungan sosial dipimpin oleh kepala suku5 (daerah gunung), Ondoafi dan ondofolo6 (daerah Pantai sekitarnya Jayapua) (Peter Bang, 2018: 109-115), di daerah Pegunungan suara seorang Kepala suku akan sangat berpengaruh dalam lingkungan sosial sehingga struktur sosial akan tertata rapi, seorang kepala suku juga merupakan seseorang yang pandai perang dan memiliki kehebatan menggunakan senjata tradisional, seperti panah dan jubi7, dan sedikit berbeda dengan daerah sekitar Jayapura, Ondoafi atau Ondofolo sebagai ketua adat dan paling tinggi di bawahnya terdapat kepala suku atau sering disebut Kose8 memiliki pengaruh yang sama hanya berbeda penyebutan.

4 Data hasil wawancara peneliti dengan orang asli Papua mengenai kehidupan sosial budaya serta serita yang diturunkan secara turun-temurun melalui orang tua dan tua-tua adat. Cerita mengenai kebudayaan serta pola kehidupan berkelanjutan disampaikan secara lisan turun temurun kepada para narasumber. Hampir semua dataran Papua memiliki cerita yang serupa, perbedaan yang ada adalah faktor geografis.

5 Kepala Suku adalah seseorang yang memiliki pengaruh sangat kuat di sebuah wilayah, kepala suka juga seseorang yang jago dalam berperang dan memiliki wibawa yang kuat dan pengaruh untuk mempengaruhi setiap rakyat yang berada di sana.

6 Ondoafi/Ondofolo adalah seseorang yang memiliki pengaruh sama dengan kepala suku hanya saja kepala suku berada di wilaya gunung dan Ondoafi/ondofolo berada di dataran pesisir.

7 Jubi adalah senjata tradisional yang digunakan pada saat berperang, pada umumnya Jubi digunakan oleh orang Papua dataran gunung. Bentuk jubi sendiri menyerupai tombak.

8 Kose adalah pimpinan wilayah yang berada di daerah pesisir, kekuasaan Kose berada di bawah Ondoafi/Ondofolo.

(5)

Dalam pembahasan untuk lebih jelas menggunakan teori Johan Galtung untuk menganalisis model kekerasan namun di sini pembahasan menggunakan model segitiga tahap kedua untuk menjelaskan sosial budaya.

Dalam segitiga di samping menunjukan bahwa secara struktur terdapat (atittude) nilai-nilai dalam lingkungan masyarakat yang muncul berdasarkan pengalaman empiris dan ide-ide dari masyarakat setempat terhadap suatu peristiwa atau isu, nilai-nilai ini kemudian menjadi Norma dan diturunkan secara lisan dan diterima oleh masyarakat karena rasionalitasnya dan diturunkan secara turun-temurun, dari generasi ke generasi. Sangat sulit untuk menemukan daerah di Papua yang menggunakan norma secara tertulis sebelum 1960-an.

Norma muncul karena ada nilai dalam masyarakat, nilai sendiri berbicara mengenai sesuatu yang dianggap baik atau buruk, benar atau salah dan pantas atau tidak sehingga nilai kemudian melahirkan norma yang mana norma sendiri berisi anjuran atau larangan bahkan seringkali norma disertai dengan sanksi sekalipun tidak semua norma disertai dengan sanksi (Roshydin Mohamad. 2015;68-71). Norma-norma dalam masyarakat di Papua seperti larangan untuk menebang pohon, mencuri, membunuh, berzina merupakan norma- norma yang melekat erat dalam kehidupan masyarakat di Papua.

Pada tahap berikutnya melalui segitiga di atas terdapat behaviour (perilaku), perilaku di masyarakat sangat tergantung pada norma yang berlaku dalam kehidupan sosial, salah satu alasan karena akibat dari melanggar norma sanksi akan diterima secara sosial pula, sekalipun sering terjadi pelanggaran terhadap norma yang ada dalam lingkungan sosial, masyarakat hidup cenderung lebih damai dan masyarakat mematuhi norma yang ada dalam lingkungan masyarakat yang diturunkan secara lisan, perilaku manusia sangat didorong oleh nilai dan norma yang terdapat dalam lingkungan masyarakat.

Kemudian pada bagian ketiga yaitu Contradiction (kontradiksi) dalam tatanan sosial masyarakat di Papua sangat menghormati pimpinan di lingkungan masyarakat, seperti halnya di daerah Pegunungan masyarakat menghormati Kepala Suku, daerah pesisir Pantai ( Jayapura dan sekitarnya) menghormati Ondoafi sebagai pimpinan Adat, perintah

Behaviour

Atittude Contradiction

Skema. 1 . Pola kekerasan Johan Galtung

(6)

atau nilai yang diberikan oleh seorang pemimpin wilayah memiliki pengaruh yang kuat dalam lingkungan masyarakat, ketika terdapat pelanggaran terhadap norma Kepala suku/Ondoafi memiliki peran yang sangat penting dalam menyelesaikan konflik dan pendekatan yang digunakan secara adat, proses rekonsiliasi konflik secara kebudayaan, salah satu contoh acara bakar batu9 di daerah pegunungan menjadi proses rekonsiliasi konflik, atau “barapen10” di daerah pesisir11.

Secara sosial budaya masyarakat di Papua hidup relatif stabil karena masyarakat sangat menghormati adat/istiadat yang berlaku dalam wilayah meraka dan pimpinan suku mereka akan sangat menentukan kehidupan bersama di wilayah mereka, maka ketika suatu wilayah berkonflik atau terjadi perang suku, perang terus berlajut hingga mendapatkan korban dalam jumlah sama, lebih luas lagi ketika perang menghabiskan banyak nyawa maka dalam kajian ini dapat dikatakan bahwa perang suku terjadi sebagai konsep keseimbangan kekuatan (balance of Power ) niat untuk menjadi hegemoni di wilayah masing-masing terdapat dalam setiap wilayah, kepala suku yang pandai dalam berperang dan mengatur strategi dapat menguasai dan memperlebar daerah kekuasaan sehingga suku- suku yang memiliki pengaruh atau kekuatan yang kecil akan beraliansi.

4.1.1.2. Status Politik Papua

Secara politik pada tahun ini Papua bukan bagian dari NKRI, Papua menjadi sebuah wilayah terpisah hingga perebutan kembali masuk dalam NKRI pada tahun 1969 melalui hasil PEPERA12. Bahkan jauh sebelumnya upaya negara lain untuk menguasai wilayah Papua sudah ada sejak abad ke-13 namun kedatangan mereka dengan motif perdaganagan.

Tidak ada hubungan secara langsung dalam hal sistem pemerintahan dan perdagangan dari

9 Bakar Batu adalah salah satu cara masak tradisional orang Papua di dataran Gunung yang mana batu di susun di atas kayu kemudian batu dipanaskan (dibakar). Batu yang panas akan dipindahkan ke dalam lubang yang telah digali dan kemudian ditutup. Bahan pangan akan matang dengan uap panas dari batu. Yang dapat dimasak adalah babi, umbi- umbian, sayur dan berbagai jenis makanan lainnya.

10 Barapann sama dengan Bakar batu hanya barapanen adalah penyebutan bagi orang Papua daerah Pesisir/Pantai.

11 Data hasil wawancara bersama beberapa teman dari pesisir, daerah Jayapura (SA) ,Sarmi (RY) dan Sentani (CY) beberapa dari daerah Gunung Papua yaitu. (FW), (YS), (TM), sumber data adalah mahasiswa UKSW yang masih akfif, pola pengambilan data peneliti meminta untuk menceritakan perbandingan pendidikan di Jawa dan di Papua (lokasi asal) dan cerita atau nilai yang diturunkan oleh orang Tua kepada anak.

12 Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) adalah referendum yang diadakan pada tahun 1969 di Papua Barat yang untuk menentukan status daerah bagian barat Pulau Papua, antara milik Belanda atau Indonesia. Pemilihan suara ini menanyakan apakah sisa populasi mau bergabung dengan Republik Indonesia atau merdeka. Para wakil yang dipilih dari populasi dengan suara bulat memilih persatuan dengan Indonesia dan hasilnya diterima oleh PBB, meskipun validitas suara telah ditantang dalam Ietrospeksi.

(7)

kerajaan luar seperti Majapahit dan Sriwijaya, kekuasaan mereka terbatas hingga di Ambonnia. Negara-negara luar seperti Portugis, Spanyol, Inggris dan Belanda mendatangai Papua untuk misi perdagangan namun melalui Kesultanan Ternate dan Tidore tidak secara langsung masuk di wilayah Papua. Pada abad ke 13, Kerajaan Ternate dan Tidore merupakan dua kerajaan Maritim yang sangat kuat, pada masa ini Ternate melebarkan sayap ke arah Barat dan Selatan sampai ke Sulawesi dan Kepulauan Sunda Kecil sedangkan Tidore menjurus ke arah Timur di wilayah-wilayah Papua yang berdekatan dengan Tidore (P. J. Drooglever, 2005:19-21).

Dalam kurun waktu 1875-1944 Belanda tidak memikirkan Papua secara serius, namun Belanda mendapatkan kekuasaan secara penuh atas Papua setelah pasukan sekutu menyerahkan Papua kepada belanda pasca perang dunia II, sejak saat itu Belanda mulai memikirkan Papua secara serius atas kekuasaan politiknya di Papua sebagai wilayah jajahan kemudian mencatat Nieuw Guinea (Papua Barat) sebagai wilayah jajahan pada tahun 1875.

Pemerintah Belanda melakukan ekspedisi-ekspedisi sejak tahun 1900-1930an dan tercatat sekitar 140 ekspedisi dilakukan di Papua. Setelah adanya ekspedisi Belanda membuka ibu kota Afdeling zuid Nieuw Guinea di Muara kali Maro, yang sekarang dikenal dengan Merauke, setahun kemudian Belanda mendatangkan orang Jawa ke Merauke sebagai tenaga kerja di sana. Pada tahun 1904 Belanda meningkatkan status Hollandia menjadi Onderafeling (sub-wilayah) dari Afdeling Noord Nieuw Guinea dan langsung menempatkan seorang petugas pemerintahan di Hollandia yang kini dikenal dengan Jayapura (Agus A. Alua, 2000: 13).

Kekuasaan atas wilayah Papua langsung dikendalikan oleh Belanda di Nederland batas kekuasaan wilayah Hindia Belanda dari Aceh hingga di Maluku sehingga Netherland Nieuw Guninea tidak termasuk Hindia Belanda, pembagian ini berdasarkan deklarasi Batavia13 oleh Belanda pada tanggal, 7 maret 1910 sehingga pada tahun 1923 status Nieuw Guinea ditingkatkan secara penuh sebagai Keresidenan (Agus A. Alua, 2000: 15).

13Deklarasi Batavia merupakan salah satu deklarasi buatan Belanda yang dicatat dalam sejarah pembagian wilayah atas Indonesia yang saat itu disebut sebagai Hindia Belanda oleh kolonial Belanda. Deklarasi Batavia diketahui dikeluarkan pada tanggal 7 Maret 1910.

(8)

Secara politik status wilayah Papua mulai diperebutkan oleh Belanda dan Indonesia sejak tahun 1945 hingga 1960 an yang kemudian dilanjutkan dengan PEPERA dan membawa Papua kembali kepada Indonesia. Terdapat beberapa aktor yang berperan penting dalam menyebarkan nasionalisme sebagai bangsa Indonesia kepada orang Papua diantaranya seperti Soegoro Athmoprasodjo, G.S.S.J. Ratulangi, dan Dr. Garungan.

Perubahan nama dari Papua menjadi IRIAN merupakan ide dari Soegoro kemudian salah satu muridnya yaitu Frans Kaisepo berangkat ke Makasar dalam Konferensi Malino dan berpidato bahwa Papua adalah salah satu bagian dari NKRI yang perlu diperjuangkan dan sekaligus mempromosikan dan memperkenalkan nama IRIAN yang berarti “Ikut Republik Indonesia Anti Nederland” pada tanggal, 18 Juni 1946.

Pada tahun-tahun ini muncul beberapa Partai pro Indonesia seperti Partai Indonesia Merdeka (PIM) di Biak dan diketuai oleh Lukas Rumkorem, partai ini tepat didirikan setelah Pidato Frans Kaisepo di Sulawesi Selatan. pada tahun yang sama juga didirikan Komite Indonesia Merdeka (KIM) di Jayapura oleh Marthen Indey dan setahun kemudian pada tanggal 17 Agustus 1947 diadakan perayaan kemerdekaan di Manokwari dan dilakukan upacara bendera merah putih yang dipimpin langsung oleh Silas Papare. Di Serui dibentuk Partai Kemerdekaan Indonesia Irian (PKII) yang diketui oleh Silas Papare dan Petrus Watterbossy bersama dengan Corinus Crey mendirikan Partai Irian Dalam Republik Indonesia namun kedua pendiri beserta dengan Marthen Indey ditangkap oleh Belanda karena mendirikan Partai tersebut kemudian dimasukan ke dalam penjara di Jayapura.

Terjadi konfrontasi yang memakan waktu diantara pemerintah Indonesia dan Belanda mengenai status Papua pada tahun 1950an, terlebih mengenai status politik yang mana Belanda ingin membentuk sebuah negara Papua Barat sendiri dan terpisah dari Indonesia namun pihak Indonesia keberatan dan tetap ingin mempertahankan Papua dalam kerangka NKRI, Upaya Indonesia hingga di Perserikatan Bangsa-Bangsa namun Belanda selalu menolak untuk membicarakan masalah Papua di forum PBB hingga pada tahun 1955 keinginan Indonesia diterima oleh Belanda untuk membicarakan dalam sidang Majelis Umum PBB di New York. Usaha Indonesia hingga pada Konferesi Asia-Afrika di Bandung Indonesia yang pada akhirnya para peserta konferensi pun menyutujui upaya Indonesia dalam membawa Papua ke pangkuan NKRI, dukungan diantaranya datang dari Perdana Menteri Pakistan, India dan Sri Langka.

(9)

Pemerintah Indonesia secara sepihak juga membatalkan dan menolak hasil Konferensi Meja Bundar14 (KMB) yang dilaksanakan di Den Haag Belanda, sehingga semua keputusan dikedua bela pihak dibatalkan secara sepihak dan pemutusan hubungan ini diatur dalam UU No.13 Tahun 1956. Setelah itu untuk menindaklanjuti secara cepat Indonesia membentuk provinsi untuk Papua Barat namun dikendalikan dari Maluku dan Sultan Tidore Zainal Abidin Sjah menjadi gubernur pertama untuk Papua Barat dan dilanjutkan dengan pembentukan Tentara Tjenderawasih Tjadangan (TTT) yang di ketuai oleh David Woisiri di Biak tujuannya adalah untuk mengatasai kemungkinan munculnya agresi Belanda pasca pembatalan hasil KMB oleh Indonesia secara sepihak.

Atas desakan para politisi dan negarawan Papua Barat yang terdidik, maka pemerintah Belanda membentuk Nieuw Guinea Raad15 (Dewan Nieuw Guinea). Beberapa tokoh-tokoh terdidik yang masuk dalam Dewan ini adalah M.W. Kaisiepo dan Mofu (Kepulauan Chouten/Teluk Cenderawasih), Nicolaus Youwe (Hollandia), P. Torey (Ransiki/Manokwari), A.K. Gebze (Merauke), M.B. Ramandey (Waropen), A.S. Onim (Teminabuan), N. Tanggahma (Fakfak), F. Poana (Mimika), Abdullah Arfan (Raja Ampat). Kemudian wakil-wakil dari keturunan Indo-Belanda adalah O de Rijke (mewakili Hollandia) dan H.F.W. Gosewisch (mewakili Manokwari) (Raweya Yorrys Th;2002;16). Setelah melakukan berbagai persiapan disertai dengan perubahan politik yang cepat akibat ketegangan Indonesia dan Belanda, maka dibentuk Komite Nasional yang beranggotakan 21 orang untuk membantu Dewan Nieuw Guinea dalam mempersiapkan kemerdekaan

14 Konferensi Meja Bundar atau Perjanjian KMB merupakan merupakan sebuah pertemuan (konferensi) yang bertempat di Den Haag, Belanda, dari 23 Agustus sampai 2 November 1949 antara perwakilan Republik Indonesia, Belanda. Isi Dari Konferensi Meja Bundar 1.Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS) sebagai sebuah negara yang merdeka. 2.Status Provinsi Irian Barat diselesaikan paling lama dalam waktu setahun, sesudah pengakuan kedaulatan.3.Dibentuknya Uni Indonesia-Belanda untuk bekerja sama dengan status sukarela dan sederajat.4.Republik Indonesia Serikat akan mengembalikan hak milik Belanda dan memberikan hak-hak konsesi serta izin baru untuk perusahaan-perusahaan Belanda.5.Republik indonesia Serikat harus membayar semua utang Belanda yang dari tahun 1942.

15 Dewan Nugini Belanda (bahasa Belanda: Nieuw Guinea Raad), adalah sebuah badan perwakilan unikameral yang dibentuk di koloni Belanda di Nugini Belanda pada tahun 1961. Dewan ini diresmikan pada tanggal 5 April 1961 dengan 28 anggota dewan, dan 16 di antaranya telah terpilih dalam pemilihan yang diadakan pada bulan Januari 1961.Dewan ini diminta untuk membuat keinginan mereka untuk menentukan nasib sendiri hanya dalam waktu setahun,[1] namun pada tanggal 18 Oktober 1961 mendapat berita tentang tindakan Amerika Serikat untuk melibatkan Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam sebuah upaya penjajahan baru di wilayah tersebut. Dalam sebuah sesi darurat, dewan ini merancang sebuah manifesto dan simbol nasional termasuk bendera Bintang Kejora sebagai sebuah entitas nasional baru yang dikenal sebagai "Papua Barat"

(10)

Papua Barat16. Komite ini akhirnya dilengkapi dengan 70 orang Papua yang berpendidikan dan berhasil melahirkan Manifesto Politik Rencana pengibaran bendera Bintang Kejora tanggal 1 November 1961 tetapi tidak dilaksanakan karena belum mendapat persetujuan dari Pemerintah Belanda. Tetapi setelah persetujuan dari Komite Nasional, maka Bendera Bintang Kejora17 dikibarkan pada 1 Desember 1961 di Hollandia, sekaligus “Deklarasi Kemerdekaan Papua Barat”. Bendera Bintang Kejora dikibarkan di samping bendera Belanda, dan lagu kebangsaan “Hai Tanahku Papua” dinyanyikan setelah lagu kebangsaan Belanda “Wilhelmus”. Deklarasi kemerdekaan Papua Barat ini disiarkan oleh Radio Belanda dan Australia18.

Sekalipun Papua Barat pada saat itu mampu untuk mendeklarasikan diri sebagai negara yang merdeka dan berdaulat, Namun, kemerdekaan itu hanya berumur 19 hari, karena tanggal 19 Desember 1961 Presiden Soekarno mengeluarkan Tri Komando Rakyat di Alun-alun Utara Yogyakarta yang isinya (Maulwi Saelan, 2001:296):

1. Gagalkan Pembentukan “Negara Boneka Papua” buatan Belanda Kolonial 2. Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat Tanah Air Indonesia

3. Bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan Tanah Air dan Bangsa.

Realisasi dari isi Trikora ini, maka Presiden Soekarno sebagai Panglima Besar Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat mengeluarkan Keputusan Presiden No. 1 Tahun 1962 yang memerintahkan kepada Panglima Komando Mandala, Mayor Jendral Soeharto untuk melakukan operasi militer ke wilayah Irian Barat untuk merebut wilayah itu dari tangan Belanda.

Suhu Politik Indonesia dan Belanda cukup tinggi hal ini memungkinkan untuk terjadinya perang secara terbuka diantara kedua bela pihak, upaya Indonesiapun saat itu untuk mendatangkan persenjataan dibuktikan melalui pembelian melalui Pemerintah Uni

16 Papua Barat meruk pada keseluruhan wilayah Tanah Papua, bukan provinsi Papua Barat.

17 Bendera Bintang Kejora digunakan untuk wilayah Nugini Belanda dari 1 Desember 1961[1]hingga 1 Oktober 1962 ketika wilayah ini berada di bawah pemerintahan Otoritas Eksekutif Sementara Perserikatan Bangsa- Bangsa (UNTEA). Kini, bendera ini biasanya digunakan oleh pendukung Organisasi Papua Merdeka. Berdasarkan UU Otonomi Khusus Papua yang diratifikasi pada tahun 2002, bendera bintang kejora dapat dikibarkan di Papua selama bendera Indonesia juga dikibarkan dan lebih tinggi dari bendera Bintang Kejora.[2] Bendera ini terdiri dari sebuah pita vertikal merah di sepanjang sisi tiang, dengan bintang putih berujung lima di tengahnya. Sampai saat ini Bintang kejora sebagai Bendera Negara Papua Barat.

18 Data di dapat dari materi ajar bimbingan Politik Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) se-Indonesia yang di kaji dalam sebuah arsip pribadi

(11)

Sovyet setelah gagal mendapatkan persetujuan dari pemerintah Amerika Serikat. Perang Ideologi Negara barat juga terjadi pada masa ini dalam penyebaran ideology di kawasan Asia Pasifik. Untuk menghindari konflik terbuka dan berkepanjangan maka mantan Duta Besar Amerika untuk India bernama E.Bunker mengajukan beberapa solusi penyelesaian konflik dalam bentuk proposal. Ada 4 pokok dari isi proposal Bunker yaitu19:

a. Pemerintahan atas Irian Barat harus diserahkan kepada Indonesia

b. Sesudah sekian tahun dibawah pemerintah Indonesia maka rakyat Irian Barat diberikan kesempatan untuk menentukan nasibnya sendiri secara bebas apakah tetap dengan Indonesia atau memisahkan diri.

c. Pelaksanaan penyerahan di Irian Barat dilaksanakan dalam waktu 2 (dua) tahun.

d. Untuk menghindari kekuasaan Indonesia secara langsung berhadapan dengan Belanda, maka perlu diadakan pemerintahan pealihan di bawah Pengwasan PBB.

Dengan berbagai pertimbangan dan pembahasan mengenai proposal ini maka Indonesia dan Belanda saat itu menyetujui proposal Bunker yang kemudian dikenal umum dengan nama New York Agreement (Perjanjian New York) yang ditandatangi pada tanggal 15 Agustus 1962 mengenai Irian Barat (Agreement Between The Republic of Indonesia and The Kingdom Of the Netherland Concerning West New Guinea/West Irian). Perjanjian New York berisikan 29 pasal yang mengatur 13 macam hal dan penandataganan diwakili oleh Soebandrio selaku menteri luar negeri Indonesia kemudian dari pihak Belanda diwakili oleh J.Herman Van Roijen dan C.A.W. Schurmann. Penrjanjian New York pada umumnya berisikan mengenai beberapa hal berikut ini:

a. Transfer administrasi (pengalihan asministrasi) dari pemerintah Belanda kepada PBB yang diatur dalam pasal 2 sampai dengan pasal 11

b. Transfer administrasi dari PBB kepada Indonesia yang diatur dalam Pasal 12 dan pasal 13

c. Penentuan Nasib Sendiri (Self-Determination) yang diatur dalam pasal 14 samapai dengan pasal 21. Inti dari pasal ini adalah

1. Pelaksanaan Penentuan Nasib Sendiri Harus di bawah nasehat, bantuan dan parisipasi PBB.

19 Data New York Agreement 1962

(12)

2. Prosedur penetuan nasib sendiri harus dimusyawarakan dengan wakil-wakil rakyat

3. Persyaratan untuk berpartisipasi dalam penentuan nasib sendiri harus berdasarkan prakterk-praktek Internasional.

4. PBB dan Indonesia akan menyampaikan laporan pelaksanaan Penentuan Nasib sendiri kepada Majelis Umum PBB

5. Indonesia dan Belanda mengakui dan terikat pada hasil penentuan Nasib sendiri.

d. Hak-hak penduduk diatur dalam pasal 22 dan pasal 23

Tanggal 1 Mei 1963 PBB melalui United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia dan kedaulatan secara penuh diberikan kepada Indonesia setelah adanya Act Of Free Choice (AFC) atau Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA). Kekuasaan secara penuh akan diberikan ketika PEPERA dimenangkan oleh Indonesia sehingga dalam kurung waktu 1963-1969 selama 6 tahun itu kekuasaan Indonesia di Irian Barat bersifat Transfer of Indonesian Administration (peralihan administrasi dan bukan bersifat Transfer of Indonesian Authority ( peralihan kekuasaan). PEPERA kemudian dimenangkan oleh Indonesia dengan keyakinan bahwa rakyat Irian Barat yang mengikuti Musyawah Besar saat itu memilih untuk bergabung dengan Indonesia, namun yang menjadi salah satu kendala dan ketidakterbukaan adalah proses dari PEPERA tersebut, hal ini karena dalam pelaksanaan PEPERA dipercaya bahwa terjadi banyak sekali pelanggaran terhadap hak asasi manusia, sehingga pemilihan dilakukan dibawah tekanan militer.

Kekerasan ini dilakukan demi membawa Irian Barat ke dalam Pangkuan NKRI.

Suatu niat baik yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia untuk merangkul Papua namun hanya sedikit kesalahan dalam membawa dan merangkul hati orang Papua, terdapat cara- cara yang salah dalam menanamkan nasionalisme Indonesia kepada rakyat Papua saat itu.

Peserta PEPERA berada di bawah tekanan dan intimidasi, terbatas ruang untuk bicara, militer sangat berkuasa penuh atas rakyat Papua yang pada akhirnya perlawanan kembali muncul karena bukan memilih dari hati melainkan memilih karena dibawah tekanan20.

20Data mengenai pelaksanaan PEPERA di dapat didapat dari cerita Almr. Pakeram Elosak beliau banyak bercerita mengani kegiatan selama ada di penampungan, kendala yang dihadapi dan kekerasan yang menimpa meraka dalam

(13)

Pasca kemenagan PEPERA oleh Indonesia maka Irian Barat masuk ke dalam pangkuan NKRI menjadi wilayah tanah air Indonesia. PEPERA menjadi salah satu jembatan untuk melihat pada pembahasan selanjutnya mengenai perubahan situasi politik pasca integrasi.

4.1.2. Politik Papua Pasca Integrasi Dalam NKRI

Pasca masuknya Papua ke dalam pangkuan NKRI situasi politik berubah dan politik militer untuk menguasai Papua sebagai bagian dari NKRI sangat kuat dan berpengaruh, Rezim militer Orde Baru Soeharto menjadikan Papua sebagai daerah kekuasaan militer, terutama Angkatan Darat (AD). Kesan seperti itu sangat terasa karena instansi militer dan para petinggi militer di Kodam dan jajarannya mendominasi. Salah satu perwira ABRI yang menjadi infiltran ini adalah Kapten Benny Moerdani (kemudian menjadi Menghankam/ Pangab 1983-1988, Menhankam 1988¬1993) dengan pasukan berkekuatan 206 yang berasal dari RPKAD dan Kompi II Batalyon 530/Para dari Kodam Brawijaya21. Pasukan ini diterjunkan di Merauke dengan sandi Operasi Naga. Operasi penyusupan di Papua ini secara keseluruhan diberi sandi Operasi Djayawijaya. Setelah New York Agreement disetujui, Benny dipindahkan ke Holandia (Jayapura) menjadi komandan sementara seluruh pasukan infiltran Indonesia di Irian Barat, politik dan jalannya pemerintahan di Papua. Cengkraman AD atas Papua kian kuat karena adanya dwifungsi ABRI dan dijadikannya Papua sebagai Daerah Operasi Militer22 (DOM)23 hal ini karena pasca integrasi Papua terdapat beberapa kalangan yang tidak sependapat dengan masuknya Papua sebagai bagian dari Indonesia, untuk menstabilkan situasi politik yang konfliktual ini militer memiliki pengaruh kuat di Papua Barat karena banyak kalangan pada saat itu tidak menyetujui hasil PEPERA.

proses PEPERA. Penulis banyak mendengar perjuangan Almr sejak SD-SMP mengenai PEPERA dan perjuanganan, data tambahn di dapat dari cerita pelaku PEPERA di daerah lain di waktu yang berbeda namun mmiliki pengalaman yang sama.

21 Amirudin Al Rahap, Operasi-Operasi militer di Papua, Pagar makan tanaman, Jurnal Penelitian Politik, Vol.3/No.1/2006, LIPI, Jakarta) hal. 5-7. Diakses pada 28 Maret 2018, Pukul 18.00.

22 DOM (Daerah Operasi Militer) secara bahasa berarti daerah-daerah yang menjadi fokus kegiatan yang dilakukan oleh TNI (Tentara Negara Indonesia) dalam upaya mempertahankan dan memberi keamanan pada masyakat secara keseluruhan. Dalam struktur Angkatan Darat DOM menjadi bagian daripada Angkatan Bersenjata yang bertugas menjaga kesatuan dan persatuan Indonesia.

23 Amirudin Al Rahap, Operasi-Operasi militer di Papua, Pagar makan tanaman, Jurnal Penelitian Politik, Vol.3/No.1/2006, LIPI, Jakarta) hal. 4. Diakses pada 28 Maret 2018, Pukul 18.00.

(14)

Kalangan yang melakukan perlawanan kepada pemerintah Indonesia atas ketidakpuasan ini tergabung dalam beberapa kelompok dan paling nampak saat itu dengan sebutan Organisasi Papua Merdeka (OPM), yang mana OPM sering melakukan perlawanan secara fisik dengan menggunakan kekerasan, OPM pada awalnya adalah reaksi orang¬orang Papua atas sikap pejabat-pejabat asal Indonesia yang mengecewakan mereka sejak tahun 1963. Perlawanan secara bersenjata pertama kali diluncurkan di Kebar, Manokwari 26 Juli 1965. Perlawanan di Kebar ini dipimpin oleh Johannes Djambuani dengan kekuatan 400 orang yang berasal dari suku Karun dan Ayamaru. Seiring dengan itu, sukuArfak di Arfai, Manokwari melancarkan pula perlawanan yang dipimpin oleh Mayor Tituler Lodewijk Mandatjan yang diikuti oleh Kapten Tituler Barent Mandatjan dan Lettu Tituler Irogi Maedogda dengan mengajak penduduk lari ke hutan24.

Sementara di Manokwari 28 Juli 1965 juga terjadi perlawanan yang dipimpin oleh Permanas Ferry Awom dengan pengikutnya sekitar 400 orang yang berasal dari suku Biak, Ajamaru, Serui dan Numfor menyerang asrama Yonif 641/Tjendrawasih I. Dalam penyerangan ini 3 anggota ABRI tewas namun saat ini OPM sudah tidak Nampak seperti dulu karena saat itu pergerakan ini tidak memiliki struktur organisasi yang jelas, kini lebih banyak dikenal dengan Tentara Nasional Pembebasan Papua Barat (TPN-PB). Pada tahun 1970-an kelompok ini tidak nampak dengan nama yang sama namun kembali dengan nama lain dan memiliki struktur organisasi yang jelas, kelompok-kelompok pro kemerdekaan pasca integrasi hingga sekarang semakin banyak muncul, hal ini didorong oleh adanya reformasi pada tahun 1998 di mana ruang demokrasi di buka secara luas di setiap kalangan masyarakat. Dibandingakan dengan pada masa sebelum demokrasi banyak kalangan di Papua yang berbicara mengeni kemerdekaan Papua berada dalam situasi yang berbahaya, sehingga keinginan untuk melakukan perlawanan harus ditunda karena kekuasaan militer yang begitu kuat di Papua era Presiden Soeharto.

Dinamika politik Papua pasca integrasi sangat dinamis dalam perkembanganya.

Ruang untuk terjadi kekerasan juga sangat terbuka bagi siapa saja yang berbicara mengenai Papua merdeka, pelanggaran HAM terjadi hampir di seluruh wilayah Papua dan itupun

24 Ibid. hal.9.

(15)

dilakukan oleh Militer Indonesia demi menjaga kedaulatan Indonesia25. Istilah OPM kini lebih banyak dikenal dengan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) atau Kelompok Kriminal Separatis Bersenjata (KKSB) sebutan ini juga muncul dari Pemerintah Indonesia oleh Menko Polhukam Wiranto26, namun terdapat perbedaan penanaman nilai terhadap suatu objek, bagi kelompok pro kemerdekaan dalam menjalankan aksi demonstrasi hingga pada bentrok dengan menggunakan senjata menganggap bahwa mereka adalah Pejuang kemerdekaan tetapi mereka dipandang berbeda oleh pemerintah Indonesia dengan sebutan sebagai kelompok separatisme, tentu dengan adanya perbedaan nilai akan mendorong aksi dan reaksi yang berbeda pula dalam menangani suatu permasalahan atau isu yang muncul.

Istilah KKSB sengaja diberikan oleh pemerintah dengan alasan bahwa di dalamnya adalah upaya untuk memisahkan diri, dengan demikian maka TNI bisa masuk dengan leluasa melaksanakan operasasi penumpasan hingga akhir27. Situasi politik sangat sentralistik di Papua dalam hal pembangunan baik dibidang, ekonomi, politik, sosial- budaya, semuanya bersifat terpusat sehingga banyak sekali terjadi kekerasan di Papua yang menyebabkan situasi Papua konfliktual salah satu contoh adalah dengan adanya Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) yang kembali digulirkan Presiden Joko Widodo sejak 2015 lalu28 Presiden juga mencanangkan Merauke menjadi pusat penghasil pangan padi nasional atau dikenal dengan istilah “ lumbung pangan nasional” dalam kurun waktu 3 tahun dengan cakupan lahan seluas 1,2 juta ha. Dengan luasan tersebut diperkirakan diperoleh hasil produksi padi 24 ton per hektar per tahun maka secara

25 Al Araf, Anton Aliabbas, (Dkk). 2011. Hal 5. Securitization in Papua; the implication of secutiry approach towards human right condition in papua. Imparsial. Jakarta; Devies Matthew. N, 2014; TNI & POLRI forces in west papua:

restructuring & reasserting sovereigthy. Operasi khusus- Operasi Sadar (1956-1967), Operasi Barathauda (1967- 1969), Operasi Wibawa (1969), Operasi Militer di Jayawijaya (1977) akibat dari operasi ini membuat lebih dari 100.000 orang melarikan diri ke PNG dan dan memakan korban jiwa lebih dari 3000 orang, Operasi Sapu Bersih I dan II (1981), Operasi galang I dan II (1990-1991), Operasi Tumpas (1983-1984), Operasi Sapu Bersih dan Operasi Gagak (1985-1987), Operasi Kasuari I dan II (1987-1989), Operasi Rajawali I dan II (1990-1991), Operasi militer di Map Nduma (1996), In the reform era, a number of military operations was launched as well. This included an operation leading to Wasior case (2001), Military Operation in Wamena (2003) and in Puncak Jaya District (2007).

26Humas Polkam, Menkopolhukam: Sebutanya Kelompok kriminal separatis bersenjata, diakses dari https://polkam.go.id/menko-polhukam-sebutannya-kelompok-kriminal-separatis-bersenjata/ , akses pada, 5 Mei 2018, pukul 21.05

27Ambaranie Nadia Kemala Movanita, Wiranto sebut kelompok criminal bersenjata juga bertindak separatisme, diakses dari: https://nasional.kompas.com/read/2017/11/20/18184311/wiranto-sebut-kelompok-kriminal-bersenjata- juga-bertindak-separatisme, akses pada, 5 Mei 2018, pukul 21.015

28Hilda B Alexander, Februari Pemerintah Tangani Sisa 44 Kilometer Jalan MIFEE, diakses dari:

https://properti.kompas.com/read/2017/02/17/211514121/februari.pemerintah.tangani.sisa.44.kilometer.jalan.mifee.

Diakses pada tanggal 20 Mei 2018, pukul 18.00

(16)

keseluruhan dihasilkan sekitar 24 juta ton per tahun. Jumlah ini serupa dengan 30 % produksi padi nasional (produksi padi nasional 70.83 juta ton per tahun).29

Pembangunan tidak dilaksaakan secara kontekstual, artinya pembangunan tidak mempertimbangkan aspek sosial-budaya dalam masyarakat Papua serta kebutuhan dari masarakat Papua sehingga akibat dari MIFEE tersebut terjadi perlawanan masyarakat setempat terhadap Pemerintah pusat30. Dengan sistem yang penuh dengan kekuasaan militer dan kekerasan yang terus terjadi membuka semangat dan rasa sakit bagi orang Papua, semangat untuk melakukan perlawanan terhadap ketidakadilan dan kekerasan yang selalu terjadi pada orang Papua sehingga dengan demikian penjelasan mengenai politik identitas bahwa bentuk ekstrim dari gerakan politik identitas adalah munculnya kelompok separatism untuk membela hak dan mencari keadilan dari dominasi kekuatan tunggal (Ahmad Shafii Maarif, 2010: 5-7).

Politik Indonesia untuk menanamkan rasa nasionalisme bagi orang Papua sebagai bagian dari Indoneisa dapat dikatakan tidak berhasil, hal ini didasarkan pada kegagalan awal melalui PEPERA saat integrasi dan hingga kini masih banyak kalangan yang kontra NKRI, fakta yang ada justu nasionalisme sebagai orang Papua berambut keriting dan berkulit hitam lebih kuat dibandingkan dengan rasa nasionalsime sebagai orang Indonesia.

Politik sentralistik menimbulkan kekerasan baik secara langsung (direc violence) dan tidak langsung (Aandirec violece) Johan Galtung. Galtung menjelaskan bahwa kekerasan terjadi secara langsung seperti pembunuhan, pemerkosaan, penculikan dan lain-lain, selain itu kekerasan juga terjadi secara tidak langsung, kekerasan ini didukung oleh undang-undang atau otoritas yang memiliki pengaruh terhadap orang lain. Upaya untuk meredam niat rakyat Papua untuk merdeka diredam dengan pemberian Dana untuk otonomi khusus (OTSUS) tujuan dari OTSUS baik yaitu demi mempercepat pembangunan untuk kesejahteraan rakyat tetapi Dana OTSUS diberikan atas dasar kepentingan politik untuk meredam niat rakyat Papua yang menuntut kemerdekaan. Setelah pemberian Dana OTSUS

29 WWF, 1,2 Juta Ha Lahan Merauke untuk Lumbung Pangan Nasional, diakses dari:

https://www.wwf.or.id/?40183/12-Juta-Ha-Lahan-Merauke-untuk-Lumbung-Pangan-Nasional, akses pada, 5 Mei 2018, pukul 23.00

30The Mahuze: Film documenter: The Mahuze, Suprata ERZ dan Dandh Laksono, melalui Ekspedisi Indonesia Biru, film ini menjelaskan kebijakan pemerintah yang tidak melihat mata pencaharian masarakat adat suku Malin, sebagai akibat dari MIFEE hilangnya hutan pohon sagu masyarakat yang selama ini dikonsumsi sehingga secara tidak langsung MIFEE akan mengubah struktur sosial masarakat setempat. Youtube, diakses dari:

https://www.youtube.com/watch?v=MSVTZSa4oSg. Diakses pada tanggal 20 Mei 2018, pukul 19.00

(17)

pada tahun 2000 beberapa tahun kemudian terjadi pemekaran provinsi Papua menjadi dua yaitu provinsi Papua dan Papua Barat31.

Rentang waktu dari 1960-1998 pemerintah membuat suatu kebijakan yang cukup penting di Papua yang pertama yaitu kebijakan keamanan di Papua untuk memberantas kelompok pro kemerdekaan yang dilebel sebagai separatisme, kedua kebijakan mengenai penanaman modal asing yang membuka peluang pada penanaman invstasi dalma negeri dan invstasi asing, sebaga tindak lanjut maka pada tahun 1967 pemerintah menegashkan UU penanaman modal asing di Indonsia dan pada tahun yang sama juga PT.Freeport memulai kontrak karya yang pertama32 padahal pada tahun 1967 Papua belum secara sah menjadi bagian dari NKRI karena act of an free choice belum dijalankan. Dinamika politik Papua berjalan atas kepentingan nasional demi menjaga kedaulatan NKRI secara penuh, pembagunan nasional di Papua berjalan tidak efektif karena tidak berdasarkan pada kebutuhan pokok, pola kebijakan sentralistik memiliki dampak kekerasan secara struktur seperi yang dikatakan oleh Johan Galtung, hal ini karena kebijakan nasional menimbulkan konflik vertikal dikalangan masyarakat Papua. Terjadi perubahan struktur sosial dalam masyarakat Papua sebagai dampak dari kebijakan, terjadi banyak pemekaran kabupaten di Papua dalam jangakauan waktu yang singkat tanpa mempertimbangkan kesiapan sumber daya manusia untuk menjalankan pemerintahan lokal di Papua, dalam pengertian lain Papua dimanja oleh pemerintah pusat demi meredam tuntutan rakyat Papua pro kemerdekaan yang berada di seluruh wilayah Papua dan Papua Barat.

Secara politik pasca reformasi kebebasan berpendapat di Papua di buka secara luas, hal ini juga memberikan ruang yang luas untuk kalangan pro kemerdekaan untuk menyampaikan aksi dan tuntunan untuk mendapatkan kemerdekaan tetapi kekerasan juga berjalan siringan dengan semakin luas ruang demokrasi di Papua berjalan bersamaan dengan tindak kekerasan yang terhadap orang Papua. Tercatat pada bulan April 2013 - Desember 2014 terjadi 47 kasus dengan jumlah total korban sebanyak 653 jiwa, kekerasan terjadi dalam bentuk penangkapan semena-mena oleh aparatur militer, penganiayaan, pengadilan tanpa keadilan, penyiksaan dalam tanahan, dan kekerasan dalam bentuk lain, data diatas merupakan kekerasan yang terjadi saat korban meyampaikan aspirasi di ruang

31 Jurnal HAM. Voll.12-Tahun 2016 hal 6-7. Diakses pada 2 Juni 2018, pukul 10.30

32 Ibid 11.

(18)

publik kemudian pada bulan Desember 2014 terjadi penembakan terhadap siswa di Enarotali Pania dan menelan korban sebanyak 4 orang serta korban luka sebanyak 17 orang (ICP; 2015;25-29). Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) akhir tahun 2016, sudah hampir 8.000 orang Papua yang ditangkap, dianiaya serta ditahan dan diproses secara hukum, karena menyampaikan pandangan politik yang berbeda secara damai33.

Secara politik Papua menjadi tempat pentas pelanggaran HAM hal ini tidak dapat dipungkiri dengan adanya kasus kekerasan yang terjadi di setiap tahun, kekerasan secara langsung dan tidak langsung di Papua menjadi sumber utama yang membawa Papua ke dalam situasi konfliktual dan pendekatan dari Negara yang selalu bersifat pendekatan keamanan. Seperti penjelasan di awal bahwa militer memiliki peran penting untuk mengamankan Papua terlebih khusus dengan adanya kalangan pro kemerdekaan di Papua, UU mengenai pengamanan objek vital turut memberikan kebebasan kepada Polri untuk bergerak secara leluasa di wilayah Papua, hal ini karena keberadaan Freeport yang menjadi tambang emas terbesar di Indonesia dan telah didukung oleh Kepress No. 63 tahun 2004 yang sahkan oleh Pemerintahan Megawati menyangkut Keamanan Hak Vital Nasional.

Keppres memberikan kebebasan kepada Polri yang dahulunya dikendalikan oleh militer, hal ini tertuang dalam pasal ke-4 yang berbunyi:

1.Pengelola objek Vital Nasional bertanggungjawab atas penyelenggaraan objek vital nasional masing-masing berdasarkan perinsip pengamanan internal

2.Kepolisian Negara republik Indonesia berkewajiban memberi bantuan pengamanan terhadap objek vital nasional34.

Keppress No.63 memberikan kesempatan kepada Polri untuk melakukan kekerasan secara luas demi mejaga aset Negara, Freeport menjadi objek vital nasional tetapi juga secara umum Papua adalah wilayah di mana objek vital berada dan status Papua pada saat itu penuh konflikktual karena adanya kalangan pro Papua merdeka sehingga tugas dari TNI dan Polri adalah mengamankan objek vital dan menjaga kedaulatan Negara (mengamankan keduanya).

33Humas Komnasham, Laporan tahunan komnasham, diakses dari: diakses dari:

https://www.komnasham.go.id/files/20161008-laporan-tahunan-komnas-ham-2015$R0EQA7F.pdf, diakses pada 29/07/2017 pukul 17.00

34 Jurnal HAM. Voll.12-Tahun 2016 hal 14. Diakses pada 2 Juni 2018, pukul 10.30

(19)

Melihat kasus-kasus kekerasan yang terjadi di Papua pada masa lalu hingga sekarang memberikan suatu gambaran bahwa kedaulatan berada di atas HAM, seolah-olah Pemerintah memberikan kebebeasan kepada TNI dan POLRI untuk melakukan kekerasan terhadap manusia demi menjaga kedaulatan Negara. Berikut data mengenai kekerasan yang terjadi di tahun 1990 hingga 2003. Pada tahun 1994 terjadi dua peristiwa yaitu penyerangan dan pembunuhan terhadap orang-orang yang mengibarkan bendera Bintang Kejora di Mimika di bawah pimpinan Elly Kwalik kekerasan ini dilakukan oleh militer. Pada tahun yang sama 7 orang dinyatakan hilang/meninggal, kemudian pada tahun 1995 11 orang meninggal akibat serang dari Batalion 752 pos Jila yang dipimpin oleh Serda Marjaka dan pada tahun yang sama 43 orang mengalami penyiksaan dari militer dan 4 orang dinyatakan meninggal, keempat orang ini merupakan keluarga Kelly Kwalik yang melarikan diri dalam pengejaran tahun 1994 di Mimika.

Kekerasan selanjutnya terjadi pada tahun 1996 dalam Operasi Mampenduma yang dipimpin oleh Prabowo yang mengakibatkan 7 orang perempuan mendapatkan pelecehan seksual, 4 orang dianiaya dan 17 orang meninggal dan terjadi pembakaran rumah yang menyebabkan terjadinya pengungsian warga. Kasus selanjutnya yang sulit unik adalah kasus Biak yang dilancarkan oleh TNI karena pengibaran bendera Bintang Kejora pada tahun 1998. Kasus ini telah menewaskan 11 orang dan diperkirakan korban lebih dari angka di atas dan 37 orang mendapatkan penyiksaan. Selanjutnya pada tahun 2000 konflik terbuka yang melibatkan militer dan konflik horizontal telah menyebabkan 3000 mengungsi dan 37 orang meninggal serta 89 orang luka-luka, diperkirakan jumlah korban lebih dari data yang tertera di atas. Sebuah kasus unik lain terjadi di Abepura yang di kenal dengan Abe Berdara yang dilakukan oleh Polisi dan Bromob yang menyebabkan 96 laki- laki serta 9 orang perempuan di siksa. Kasus ini menjadi uni karena Pengadilan tidak menyalakan pihak Polisi dan Brimob dalam arti tindakan kedua pihak dibenarkan. Sebuah kasus fenomenal dan melukakan hari rakyat pada terjadi ketika Theis Eluay di culik dan di Bunuh oleh Kopassus pada tahun 2001, kasus menjadi fenomenal dan membakar emosi rakyat Papua karena Theis Eluay merupakan tokoh penggerak Papua Merdeka35.

35 Jurnal HAM dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang diterbitkan pada pada tahun 2016 memberikan data kekerasan serta bisnis keamanan yang dilakukan oleh militer di Papua secara umum. Kekerasan yang terjadi di Papua dalam banyak kasus melibatan TNI dan Polri. Secara terperinci jurnal ini juga membeberkan nama-nama korban akibat

(20)

Situasi konflik Papua pasca Integrasi telah memberikan pemahaman mengenai ketidakstabilan politik domenstik Indonesia yang ditandai dengan banyaknya kasus pelanggaran HAM di Papua, kekerasan secara langsung dan tidak langsung yang terjadi di Papua hingga saat ini menjelaskan kembali tentang adanya ketidakjelasan sejarah dan proses integrasi Papua ketika menjadi bagian dari NKRI. Dibutuhkan suatu peninjauan historis untuk mengkaji sebab akibat setiap peristiwa dalam bentuk kekerasan yang terjadi di Papua untuk menemukan titik terang dari konflik untuk sehingga rekomendasi dalam penyelesaian konflik dapat memberian titik cerah. Untuk menciptakan suasa damai di Papua dan di Indonesia membutuhkan suatu rekonsiliasi konflik yang baik pula.

Politik adalah kepentingan dan juga politik adalah kekuatan untuk mempengaruhi aktor lain agar tunduk, politik juga menjadi seni, dinamika politik Papua dalam kerangka NKRI sangat dinamis, tindakan aktor dipengaruhi oleh nilai yang telah dibangun atas ide dan dijalankan berdasarkan norma. Seni tidak selamanya identik dengan keindahan begitupulah dengan dinamika politik Papua dalam kerangka NKRI, status politik di Papua menjadi panggung pertunjukan berbagai aktor dalam kepentingan mereka tetapi tidak wajar ketika seni berpolitik mengorbankan hak asasi manusia di Papua.

4.1.3. Kompleksitas Politik Papua Sesudah Masuk NKRI

Penjelasan mengenai Identitas mengenai Papua membutuhkan kajian yang mendalam terlebih ketika identitas dalam ranah politik, tentunya sangat berbeda ketika menjelaskan identitas politik dan politik identitas. Politik identitas mengacu suatu tindakan yang didasarkan pada ketidakadilan, kesenjangan, pengakuan atas eksistensi suatu ras, agama dan lainya. Namun, berbeda dengan identitas politik Papua yang sangat mungkin untuk diperdebatkan, identitas politik mengacu pada suatu hal yang digunakan sebagai alat untuk mencapai suatu kepentingan, Individu-individu yang memiliki identitas yang sama memiliki identitas kolektif, hal ini memungkinkan bahwa mereka juga memiliki kepentingan yang sama dan kadang-kadang memiliki musuh yang sama pula . Mansbach &

Rafferty (2012; 826).

tindak kekerasan yang dilakukan oleh militer diatas payun Undang-Undang. Jurnal HAM. Voll.12-Tahun 2016 hal 33-44. Diakses pada 8 Februari 2018 pukul 20.00

(21)

Lebih kompleks lagi ketika mengkaji identitas politik dari Papua, secara keseluruhan sebuah pulau yang berbentuk bagaikan burung ini disebut sebagai Papua namun secara administratif wilayah ini dibagi menjadi dua bagian oleh Pemerintah Indonesia yaitu Papua dan Papua Barat, awalnya era pemerintahan B.J. Habibie Papua rencanakan untuk dibagi menjadi 3 provinsi yaitu, Papua, Papua Tengah dan Papua Barat dengan tujuan untuk mempercepat laju pembangunan dan peningkatan pertumbuhan dengan efektif namun rencana ini ditolak oleh masyarakat Papua, pada saat terjadi pemekaran Papua dan Papua Barat juga terjadi banyak sekali penolakan yang disertai dengan adanya demonstrasi besar-besaran di gedung Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi Papua di Jayapura, penolakan ini dilakukan karena tindakan pemekaran dilakukan secara sepihak dari pemerintahan Megawati tanpa rekomendasi dari DPR provinsi Papua. Sedikit memiliki kompleksitas dalam penggunaan istilah Papua dan Papua Barat dalam rana kepentingan politik baik secara lokal di Papua maupun nasional dan internasional. Papua secara administratif merupakan salah satu Provinsi dari Indonesia dengan ibu kota di Jayapura, sedangkan Papua Barat, Propinsi yang ibu kotanya berada di Manokwari, namun dalam rana kepentingan politik beberapa kalangan yang pro akan kemerdekaan mengakui Papua dan Papua Barat dengan satu nama yaitu Papua Barat (West Papua) dalam memperjuangkan kemerdekaan Papua agar terlepas dari NKRI.

Kalangan pro kemerdekaan Papua merdeka menggunakan sebutan Papua Barat (West Papua) berdasarkan sejarah bahwa pada masa colonial Hindia-Belanda wilayah ini dikenal sebagai Nugini Belanda ( Nederlands Nieuw Guinea atau Dutch New Guinea) belahan timurnya merupakan Negara Papua New Guinea (PNG) dan belahan baratnya merupakan West New Guinea. Namun setelah masuk pangkuan Indonesia namanya kemudian diubah pada tahun 1969 menjadi Irian Barat sekaligus menjadi salah satu provinsi di Indonesia hingga tahun 1975 kemudian namanya diganti oleh presiden Soeharto menjadi Irian Jaya dan diganti lagi pada tanggal, 24 Oktober 2001 menjadi Papua dan terjadi pembentukan Provinsi Papua Barat tahun 2004.

Penjelasan konflik dari kajian kekerasan struktural setidaknya membantu menjelaskan alasan dibalik pemberian nama Papua dan Papua Barat dalam rana kepentingan pemerintah Pusat. Seperti sebelumnya Johan Galtung membagi kekerasan dalam dua model yaitu kekerasan secara langsung dan tidak langsung. Untuk menjelaskan

(22)

pemberian nama dan kompleksitas identitas politik yang ada di Papua akan menggunakan kekerasan struktural yang mana hal ini mengakibatkan konflik yang ada di Papua hingga kini tidak pernah selesai, dikaji dengan teliti karena setiap isu pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) ketika terjadi di Papua dengan sangat muda argumentasi di bantah oleh Pemerintah Indonesia karena dalam perjuangan kemerdekaan, suara rakyat akan dibawa atas nama Papua Barat (west Papua;keseluruhan wilayah Papua) namun pemerintah Indonesia akan merujuk pada salah satu Propinsi.

Pada umumnya Papua dikenal dengan daerah yang rawan, konfliktual, daerah tertinggal dan manusia Papua masih terbelakang, dan primitiv, pemberian label mengenai Papua dengan sebutan diatas merupakan identitas Papua yan dikonstruk oleh lingkungan sosial melalui hasil dari proses interaksi yang terjadi. Konstruksi sosial mengenai Papua bersumber dari adanya kesepakatan-kesepakatan atas nilai yang rasional mengenai Papua sehingga muncul suatu nilai yang berbeda terhadap Papua.

Tokoh terkemuka Herbert Blumer mengemukakan tiga asumsi dasar teori interaksionisme simbolik yaitu, pertama bahwa tindakan seseorang terhadap suatu objek didasarkan pada makna yang dikandung oleh objek tersebut. Dengan asumsi demikian maka ketika Papua dimaknai sebagai tempat yang rawan dan konfliktual maka pendekatan yang akan dilakukan di Papua yaitu dengan pendekatan keamanan dengan tujuan untuk mengamankan wilayah yang dianggap konfliktual, situasi yang muncul karena hasil interaksi antar aktor sehingga ketika Papua dimaknai sebagai daerah yang berbahaya tindakan akan didasarkan pada makna yang dikandung.

Kedua, makna tercipta melalui interaksi sosial. Papua menjadi daerah yang konfliktual menjadi suatu kesepakatan yang muncul secara tidak langsung sejak awal integrasi kedalam NKRI, upaya-upaya yang dilakukan oleh kalangan pro kemerdekaan yang memiliki nilai yang berbeda tentang nasionalisme Indonesia merupakan salah satu sumber konflik di Papua, banyak kekerasan terjadi di Papua baik secara vertikal maupun secara horizontal. Sehingga sudah ada makna mengenai Papua sebagai daerah yang rawan dan konflik sejak lama yang meyebabkan konflik Papua tidak pernah tuntas untuk memperjelas status sebagai bagian dari NKRI atau bukan.

Ketiga adalah makna mengalami perubahan melalui proses penafsiran. Status Papua bisa mengalami perubahan jika adanya penafsiran yang baru menganai Papua untuk

(23)

mengubah pola pendekatan di Papua. Penafsiran berdasarkan konteks dan rasionalitas yang benar berdasarkan prinsip-prinsip kemanusiaan untuk membangun Papua, bukan dengan kepentingan politik hanya sebatas mempertahankan status politik Papua sebagai bagian dari NKRI.

Kajian konflik menjelaskan pula bahwa dalam upaya mempertahankan diri dari hal- hal yang mendasar merupakan salah satu sumber dari konflik, hal ini berhubungan erat dengan adanya persaingan yang terjadi dalam upaya untuk tetap bertahan. Kepentingan politik Negara untuk mempertahankan Papua sebagai bagian dari NKRI mendorong terjadinya konflik, konflik yang muncul secara langsung maupun tidak langsung. Dalam banyak hal identitas banyak menimbulkan konflik, baik dulu dan sekarang, identitas kelas, agama, etnis, non-negara mungkin saja bertabrakan dengan identitas warga. Hal ini kemudian seseorang sekalipun memiliki identitas ganda loyalitas terkuat diberikan kepada negara, dalam konteks ini maka pertanyaan apa identitas anda? Mungkin saja dijawab dengan ‘Indonesia, Singapura atau nama dari Negara lain, dengan cepatnya kemajuan dan manusia mulai memahami dengan baik maka jawaban yang muncul saat ini bisa berupa identitas, nama, suku etnis ataupun negara . Mansbach & Rafferty (2012; 826-828).

Konflik identitas serta gerakan politik identitas kemudian melahirkan upaya individu-individu yang memiliki identitas kolektif yang merasa terpinggirkan dan diperlakukan dengan tidak adil ataupun tidak mendapatkan hak yang harus diterima, dalam kajian lain gerakan-gerakan yang dilakukan oleh kalangan yang pro kemerdekaan Papua bisa dilihat sebagai gerakan politik identias, tujuan jelas untuk membentuk negara namun alasan dalam perjuangan mereka untuk mendapatkan pengakuan ras Melanesia dan mendapatkan keadilan, dan melawan kekerasan yang terjadi di Papua. Identitas kolektif sebagai rambut keriting dan berkulit hitam dengan ras Melanesia menjadikan gerakan yang dilakukan menjadi nyata. Upaya untuk mempertahankan identitas Papua disatu sisi menjadi ancaman bagi kedaulatan Indonesia apabila pada akhirnya berujung pada penentuan nasib sendiri. Identitas merupakan sesuatu yang cair dan dapat berubah dalam ruang dan waktu tertentu namun identitas juga memiliki pengaruh dan kekuatan untuk menggerakan manusia dalam bertindak dan berinteraksi dengan lingkungan sosial.

Papua memiliki kompleksitas dalam mengkaji identitas, hal ini menyebabkan sering muncul konflik baik secara vertikal maupun secara horizontal di Papua. Salah satu

(24)

penyebab yaitu identitas kesukuan di Papua sangat tinggi, secara gasir besar identitas sebagai orang gunung dan orang pantai, kemudian turun dalam suku-suku yang ada dalam dua golongan di atas. Perdebatan tentang identitas nasional sebagai Indonesia dan sebagai Papua menjadi suatu perhatian khusus, hal ini karena kalangan orang Papua sendiri banyak yang pro NKRI dan ada pula yang Pro Papua yang memiliki nasionalisme yang sangat kuat untuk Papua. Kepentingan pusat di Papua sangat nyata dalam hal pembangunan dengan banyaknya kebijakan-kebijakan mengenai pemekaran kabupaten/kota di Papua namun tidak meredam konflik di Papua.

Pada satu titik identitas mengikat suatu kebersamaan namun satu titik juga identitas menghancurkan, hal yang perlu adalah dari banyaknya identitas yang dimiliki oleh setiap individu, kelompok, agama, etnis pencarian terhadap identitas kolektif untuk mempertahankan persatuan Negara sebagai kekuatan. Hal yang terjadi di Indonesia sering terjadi rasisme dan diskriminasi terhadap identitas kelompok tertentu yang menyebabkan konflik muncul. Proses nasionalisasi orang Papua menjadi Indonesia menempuh jalan yang dapat dikatan tidak efektif atau salah, upaya untuk mematikan identitas mengalami kegagalan karena proses belajar dan tingkat pengetahuan yang terus meningkat, kesadaran sebagai orang Papua tidak diajarkan melalui pendidikan formal sejak sekolah dasar, kesadaran muncul karena hasil interaksi di lingkungan masyarakt yang kemudian muncul istilah aku dan kamu berbeda36.

4.1.4. Kompleksitas Sejarah Konflik Di Papua

Mempelajari sejarah Papua membutuhkan literatur yang dikaji berdasarkan data dan fakta yang akurat untuk memberikan kejelasan dan pencerahan dari sejarah tersebut, terlebih khusus ketika sejarah Papua dibahas dalam kajian konflik seperti pada bagian ini, maka sejarah tidak dapat ditulis berdasarkan suka dan tidak suka karena terdapat kemungkinan untuk adanya kejanggalan dalam mempelajarinya, sejarah konflik Papua dipelajari untuk menemukan sebab akibat semua peristiwa yang terjadi di Papua. Untuk mempelajari sejarah konflik di Papua perlu adanya kajian aspek politik, ekonomi dan sosial budaya. Sejarah konflik tidak lain berbicara mengenai sumber-sumber dari konflik yang

36 Data hasil wawancara terhadap seorang kaka senior di salatiga (OT) sangat kaget karena perbedaan pemahaman dan penguasaan bahasa di Jawa dan Papua. Serta perbandingan model materi di sekolah dasar di Papua dan di Jawa.

(25)

ada di Papua, konflik di Papua terjadi dalam banyak lingkup, situasi konfliktual di Papua ini dapat dilihat dari angka kekerasan yang terjadi dari skala kecil hingga skala yang besar.

Kajian data mengenai kekerasan di Papua memberikan penjelasan bagaimana situasi Papua yang bersifat konfliktual, konflik adalah situasi ketika adanya kekerasan yang terjadi, maka untuk menjelaskan konflik perlu data mengenai kekerasan.

Secara umum konflik di Papua terjadi dalam dua skala yaitu skala vertikal dan horizontal, mengenai hal-hal yang menyebabkan mengapa konflik terjadi di Papua dibahas pada bagian yang terpisah. Namun, menjadi suatu keharusan adalah menjelaskan mengapa sejarah konflik perlu dipelajari untuk menemukan suatu rekonsiliasi konflik yang akurat dan komperhensif untuk menciptakan perdamaian dan keadilan. Menggali kembali sejarah Papua serupa dengan mencari sumber-sumber dari konflik untuk menjelaskan sebab-akibat dari konflik itu sendiri. Sehingga kekerasan dan konflik tidak dapat dipisahkan sendiri, keduanya bagikan dua sisi pada koin, bentuk manifestasi dari konflik adalah adanya kekerasan. Sejarah integrasi Papua menjadi poin penting dalam menjelaskan sejarah konflik karena pada saat itulah banyak terjadi kekerasan terhadap rakyat Papua ketika mereka menolak untuk bergabung dengan NKRI dan kalangan pro kemerdekaan Papua juga mendapatkan banyak kekerasan baik secara langsung maupun tidak langsung37.

Konflik di Papua ada sejak masa penjajahan Belanda hanya saja memiliki intensitas konflik yang kecil. Sejarah konflik di Papua tidak terlepas dari sejarah integrasi/sejarah perebutan kembali Papua ke dalam pangkuan NKRI. Ingatan kolektif tentang perlakuan tidak menyenangkan dari militer yang diturunkan kepada anak cucu memicu perlawanan tiada akhir yang menyebabkan konflik berkepanjangan, di sisi lain pola penyelesaian dan pendekatan dari Negara dalam penyelesaian yang tidak efektif memberikan ruang kosong bagi terjadinya kekerasan secara terus-menerus di Papua. Papua pada awal integrasi dipenuhi dengan banyaknya kekerasan terhadap orang Papua yang tidak mengakui Indonesia, pengetahuan yang di dapat melalui proses belajar mengenai PEPERA memberikan pemahaman yang berbeda dengan memberi respon yang berbeda, terlebih

37Salah satu lembaga non pemerintah merilis data bahwa selama kurun waktu sekitar 10 tahun (sejak PEPERA hingga era tahun 1990-an), diperikirakan sebanyak 100.000 orang Papua telah menjadi korban berbagai peristiwa kekerasan yang terjadi di tanah Papua, data ELSHAM, diakses pada 5/6/2018. Pukul 1.54

Gambar

Gambar 1. Matthew N. Devies, TNI & POLRI Forces In West Papua
Gambar 3. Matthew N. Devies, TNI & POLRI Forces In West Papua
Gambar 4. Data diolah oleh peneliti

Referensi

Dokumen terkait

Skripsi dengan judul “Korelasi Antara Tingkat Pendidikan Formal Orang Tua Dengan Prestasi Belajar Siswa Kelas VIII pada Mata Pelajaran PAI di SMPN 1.. NGUNUT Tahun 2014/2015”

Pemetaan dari data persepsi sensoris dilakukan dengan metode Cluster Analysis untuk menghasilkan dendogram yang menunjukkan hasil klaster antar variabel yang terbentuk

Anggota dari Himpunan Ilmu Tanah Indonesia (HITI) dari tahun 1974 sampai sekarang7. Anggota dari International Soil Science Society (ISSS) dari tahun 1983

Antarmuka hasil perancangan form rekening deposito yang dapat digunakan untuk melakukan manipulasi data master rekening deposito.. Gambar 11 Form aplikasi

1. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan dan sumbangan pada pemikiran dalam bidang ilmu hukum, khususnya dalam praktek kenotariatan yang

perpaduan dan integrasi kaum di Malaysia yang dilihat sangat jauh untuk kecapi pada waktu itu, kerajaan telah mengambil inisiatif dengan menubuhkan beberapa dasar seperti Dasar

Pada 28 hari pertama fermentasi moromi, moromi hasil pre-inkubasi selama 12 jam dan 24 jam, baik pre-inkubasi tanpa garam maupun dengan 10% garam, mempunyai jumlah bakteri

Tujuan dari penelitian ini adalah menjelaskan mekanisme kerja asupan ikan teri (Stolephorus sp) terhadap proses osteogenesis melalui ekspresi OPG serta Kolagen Tipe