ANALISIS PENGARUH PELAKSANAAN PEMUNGUTAN BPHTB DAN SOSIALISASI PERPAJAKAN TERHADAP PENERIMAAN BPHTB
(Studi Kasus Pada Kantor Pelayanan PBB Jakarta Selatan Satu)
Oleh Sherra Emaretha Nim : 203082001913
JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1429 H/2008 M
ANALISIS PENGARUH PELAKSANAAN PEMUNGUTAN BPHTB DAN SOSIALISASI PERPAJAKAN TERHADAP PENERIMAAN BPHTB
(Studi Kasus Pada Kantor Pelayanan PBB Jakarta Selatan Satu)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial Untuk Memenuhi Syarat-syarat untuk Meraih Gelar Sarjana
Ekonomi
Oleh Sherra Emaretha NIM: 203082001913
Di Bawah Bimbingan
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Yahya Hamja, MM Muhammad Yani, SE., MM NIP : 130 676 334
JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1429 H/2008 M
Hari ini Jum’at Tanggal 30 Bulan November Tahun Dua Ribu Tujuh telah dilakukan Ujian Komprehensif atas nama Sherra Emaretha NIM: 203082001913 dengan judul skripsi “ANALISIS PENGARUH PELAKSANAAN PEMUNGUTAN BPHTB DAN SOSIALISASI PERPAJAKAN TERHADAP PENERIMAAN BPHTB (Studi Kasus Pada Kantor Pelayanan PBB Jakarta Selatan Satu)” Memperhatikan kemampuan keilmuan mahasiswa tersebut selama ujian berlangsung, maka skripsi ini sudah dapat diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 30 November 2007
Tim Penguji Ujian Komprehensif
Rini, SE., Ak., M. Si Amilin, SE., Ak., M. Si Ketua Sekretaris
Prof. Dr. Abdul Hamid, MS Penguji Ahli
Hari ini Selasa Tanggal 18 Bulan Maret Tahun Dua Ribu Delapan telah dilakukan Ujian Skripsi atas nama Sherra Emaretha NIM: 203082001913 dengan judul skripsi “ANALISIS PENGARUH PELAKSANAAN PEMUNGUTAN BPHTB DAN SOSIALISASI PERPAJAKAN TERHADAP PENERIMAAN BPHTB (Studi Kasus Pada Kantor Pelayanan PBB Jakarta Selatan Satu)”
Memperhatikan kemampuan keilmuan mahasiswa tersebut selama ujian berlangsung, maka skripsi ini sudah dapat diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 18 Maret 2008
Tim Penguji Ujian Skripsi
Dr. Yahya Hamja, MM Muhammad Yani, SE., MM Ketua Sekretaris
Drs. Abdul Hamid Cebba, Ak., MBA Penguji Ahli
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Bagi negara Indonesia yang sedang meningkatkan pembangunan disegala bidang menuju masyarakat yang adil dan makmur, pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang sangat penting bagi penyelenggaraan pemerintah dan pelaksanaan pembangunan nasional. Seiring dengan tujuan untuk kemandirian bangsa maka penerimaan negara dari sektor pajak harus ditingkatkan. Untuk mendukung kemandirian ini pemerintah mengeluarkan Undang-Undang.
Indonesia pada saat ini memasuki era otonomi daerah, telah ada Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Undang-Undang Pemerintah Daerah dan Otonomi Daerah, serta Undang-Undang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Landasan yuridis yang terbentuk ini, dengan semangat pembaharuan dari pemerintah dan tentunya harus dilaksanakan dengan konsekuen untuk pengembangan daerah masing-masing sesuai potensi alam sektoral ekonomi lainnya yang dapat dimanfaatkan.
Didalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 3 yang menyatakan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Bumi sebagai contoh Tanah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Kuasa mempunyai fungsi sosial, kepentingan lainnya untuk memenuhi kebutuhan dasar, lahan usaha atau alat investasi yang menguntungkan. Atas tanah terletak bangunan yang juga
1
memberikan manfaat ekonomi kepada pemiliknya. Oleh karena itu, sudah sewajarnya bila pemilik atau yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan menyerahkan sebagian nilai ekonomis yang diperoleh kepada pemerintah melalui pembayaran pajak yang disebut Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Sedangkan pemungutannya atau pengenaannya harus tetap memperhatikan aspek keadilan bagi masyarakat golongan ekonomi lemah dan masyarakat berpenghasilan rendah yang diwujudkan dalam nilai perolehan hak atas tanah dan bangunan yang tidak dikenakan pajak.
Salah satu tujuan dari pelaksanaan pungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah menggali dan memperkuat potensi sumber penerimaan negara yang stabil dan dapat diandalkan untuk membiayai pembangunan daerah. Stabil dalam arti fluktuasi hasil penerimaan pajaknya secara aktif tidak begitu tinggi, sedangkan hasilnya dapat diandalkan yang berarti bahwa kontribusi BPHTB didalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah cukup berperan.
Walaupun secara nasional BPHTB tergolong penerimaan pajak yang tidak terlalu besar dibandingkan jenis pajak pusat lainnya, akan tetapi sekecil apapun pajak tetap berguna dalam menopang kas negara untuk pemerintah agar berjalan baik dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Disamping itu BPHTB merupakan pajak yang berkembang sesuai dengan perkembangan kondisi ekonomi nasional. Aturan BPHTB berkembang dan mengalami penyempurnan dari waktu ke waktu. Hal ini terbukti dari perubahan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 dengan Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2000 beserta perubahan peraturan pelaksanaannya. Perubahan ini juga mempengaruhi perkembangan penerimaan BPHTB yang terus mengalami peningkatan.
Seperti yang tercantum didalam Majalah Berita Pajak No.1570/ Tahun XXXIV/ 1 September 2006, halaman 21 dikatakan bahwa peneriman BPHTB, yaitu pajak yang dikenakan terhadap perolehan atas tanah dan bangunan, baik pemindahan maupun pemberian hak baru, dalam tiga tahun terakhir perkembangan penerimaan BPHTB mengalami peningkatan rata-rata 22,8 persen pertahun, yaitu dari Rp. 2,9 triliun pada tahun 2004 menjadi Rp. 3,4 triliun dalam tahun 2005, dan Rp. 4,4 triliun pada RAPBN-P 2006, sedangkan rasionya terhadap PDB relatif stabil yaitu sekitar 0,1 persen.
Namun ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang BPHTB tidak membahas secara mendalam tentang aturan hukum perolehan hak atas tanah dan bangunan, sehingga untuk memahami dan menerapkan BPHTB dengan benar setiap pihak (wajib pajak, pejabat berwenang, fiskus dan masyarakat lainnya) harus juga mengikuti perubahan ketentuan BPHTB. Pada dasarnya pemenuhan kewajiban BPHTB adalah menggunakan sistem self assessment, yaitu wajib pajak menghitung dan membayar sendiri utang pajaknya.
Dengan dianutnya sistem self assessment, para wajib pajak diberi kepercayaan melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya sesuai peraturan perpajakan, dan aparat perpajakan melaksanakan tugas pembinaan, bimbingan, pelayanan dan pengawasan terhadap pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan.
Dalam sistem self assessment wajib pajak merupakan subyek atau para pelaku perpajakan, sehingga memiliki nilai positif dalam mencerdaskan wajib pajak. Namun disisi lain sistem ini mempunyai kelemahan, yaitu tidak semua wajib pajak paham dengan prosedur pengisian data atau formulir yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak, kurangnya pengetahuan dan pemahaman wajib pajak terhadap peraturan yang berlaku, atau ketidaktahuan wajib pajak terhadap perubahan peraturan perpajakan, sehingga mengakibatkan wajib pajak kesulitan dalam menghitung, memperhitungkan, melaporkan, dan membayar pajak terhutang kepada negara.
Supaya wajib pajak tau, mau dan mampu melaksanakan hak dan kewajiban pajaknya dengan baik maka diperlukan peran aktif dari pihak Direktorat Jenderal Pajak untuk memasyarakatkan perpajakan yaitu berupa sosialisasi perpajakan.
Sosialisasi dilakukan melalui seminar, diskusi, penataran, penyuluhan perpajakan yang dilaksanakan dalam skala kecil, menengah, dan besar, dalam berbagai tempat dan kesempatan melalui berbagai jalur tradisional dan modern serta media cetak dan elektronik. Sosialisasi yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak kepada wajib pajak diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan, kesadaran dan kepatuhan wajib pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban pajaknya. Sosialisasi perpajakan selain memberikan manfaat secara langsung kepada wajib pajak berupa peningkatan pengetahuan, kesadaran dan kepatuhan wajib pajak, juga dapat meningkatkan penerimaan pajak.
Dengan langkah-langkah kebijakan peningkatan efektifitas dan efisiensi dalam pemungutan BPHTB serta peningkatan dalam sosialisasi perpajakan, maka
dua tahun terakhir penerimaan BPHTB di KP PBB Jakarta Selatan Satu mengalami peningkatan. Hal ini dapat dilihat, penerimaan BPHTB menghasilkan realisasi yang lebih besar dari rencana penerimaan BPHTB yaitu pada tahun 2005 rencana Rp 76.586.003.000 dan realisasi penerimaan Rp 82.101.338.482, kemudian pada tahun 2006 rencana Rp 91.262.000.000 dan realisasi penerimaan Rp 103.669.248.312.
Namun seberapa besar pengaruh pelaksanaan pemungutan BPHTB dan sosialisasi perpajakan terhadap peningkatan penerimaan BPHTB dimaksud belum diketahui secara pasti, untuk itu penulis mencoba menelitinya dalam bentuk skripsi yang berjudul “Analisis Pengaruh Pelaksanaan Pemungutan BPHTB dan Sosialisasi Perpajakan Terhadap Penerimaan BPHTB : Studi Kasus Pada Kantor Pelayanan PBB Jakarta Selatan Satu”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas, penulis merumuskan permasalahan, yaitu:
1. Seberapa besar pengaruh pelaksanaan pemungutan BPHTB dan sosialisasi perpajakan terhadap penerimaan BPHTB?
2. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan dari pelaksanaan pemungutan BPHTB dan sosialisasi perpajakan terhadap penerimaan BPHTB?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah:
1. Ingin mendiskripsikan seberapa besar pengaruh pelaksanaan pemungutan BPHTB dan sosialisasi perpajakan terhadap penerimaan BPHTB.
2. Ingin mendiskripsikan apakah terdapat pengaruh yang signifikan antara pelaksanaan pemungutan BPHTB dan sosialisasi perpajakan terhadap penerimaan BPHTB.
D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Penulis
Merupakan sarana untuk memperluas pengetahuan dan penerapan ilmu yang didapatkan selama kuliah khususnya dibidang perpajakan.
2. Bagi Direktorat Jenderal Pajak
Sebagai bahan masukan untuk semakin memahami perilaku wajib pajak dalam rangka memenuhi kewajiban perpajakannya dan lebih meningkatkan kualitas pelaksanaan pemungutan BPHTB dan sosialisasi perpajakan, khususnya pada KP PBB Jakarta Selatan Satu.
3. Bagi peneliti berikutnya
Hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan bahan perbandingan penelitian yang akan datang.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Devisa Negara
Penerimaan negara yang disebut sebagai devisa negara merupakan sumber utama untuk membiayai aktifitas pemerintah, selain digunakan untuk membelanjai pengeluaran pembangunan. Apabila pendapatan negara hanya cukup atau tidak cukup untuk membelanjai pengeluaran rutin, itu berarti anggaran deficit dan ditutupi dengan pinjaman (Siregar, 2000:317).
Penerimaan negara atau devisa negara terbagi menjadi dua:
1 Ekspor
Ekspor suatu negara biasanya terdiri dari barang dan jasa yang dihasilkan didalam negeri, oleh sebab itu nilainya harus dihitung kedalam pendapatan nasional. Pemerintah didalam meningkatkan pendapatan berupa devisa negara adalah dengan mengurangi impor dan menggalakkan ekspor dengan salah satu atau gabungan.
Langkah-langkah berikut yaitu:
a. Memperkenalkan atau mempertinggi pajak impor. Pajak impor adalah pungutan yang dikenakan pemerintah keatas barang- barang yang diimpor. Pungutan yang terutama adalah tarif.
Salah satu tujuan pemerintah untuk mengenakan tarif adalah memperoleh pendapatan.
7
b. Menentukan quota atas barang-barang tertentu. Quota adalah kebijakan membatasi impor dari luar negeri dengan menentukan jumlah barang yang boleh diimpor dari luar negeri.
c. Mengawasi penggunaan valuta asing yang dimiliki. Dalam kebijakan ini pemerintah secara cermat mengawasi cara-cara masyarakat. Menggunakan valuta asing yang dimilikinya.
Biasanya peraturan-peraturan akan dibuat yang tujuannya adalah untuk menjamin agar devisa yang dimiliki yang biasanya sangat tidak mencukupi jumlahnya dapat digunakan dengan sebaik-baiknya sehingga penggunaannya mencapai efisiensi yang tinggi (Sukirno, 1994:39, 398, 399).
Kesuksesan kegiatan ekspor tergantung kepada kemampuan barang dalam negeri untuk bersaing di pasaran luar negeri. Salah satu faktor yang menentukan daya saing adalah ongkos produksi yang rendah dan harga penjualan yang stabil. Keadaan ini dapat diciptakan apabila terdapat kestabilan harga dan upah. Selanjutnya adalah melakukan devaluasi, untuk menaikan daya persaingan barang dalam negeri, menyebabkan harga ekspor bertambah murah dan impor bertambah mahal. Oleh sebab itu devaluasi akan menambah ekspor dan mengurangi impor. (Sukirno, 1994:399)
2 Pajak
Pajak atau tax dalam buku Teori Ekonomi Makro biasanya dimaksudkan sebagai uang atau daya beli yang diserahkan oleh masyarakat kepada pemerintah dimana terhadap penyerahan uang atau daya beli tersebut pemerintah tidak memberikan balas jasa yang langsung. Jadi, penyerahan uang dari masyarakat kepada pemerintah berupa pajak pendapatan, pajak kekayaan, pajak warisan, pajak penjualan. Semuanya dapat kita sebut sebagai
“pajak”.
Pajak adalah sumber yang dapat diandalkan pemerintah untuk memperbesar penerimaan negara. Salah satu jenis pajak yang berperan besar dalam penerimaan negara adalah pajak penghasilan.
B. Dasar Perpajakan 1. Definisi
Definisi Pajak yang dikemukakan oleh Rochmat Soemitro
Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang- Undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal balik (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan, dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum (Siti Resmi, 2005:1).
Definisi tersebut kemudian disempurnakan, sehingga berbunyi:
Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan “surplus”nya digunakan untuk public investment (Siti Resmi, 2005:1).
Definisi Pajak yang dikemukakan oleh S. I. Djajadiningrat
Pajak sebagai suatu kewajiban untuk menyerahkan sebagian dari kekayaan kepada kas negara yang disebabkan suatu keadaan, kejadian dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu, tetapi bukan sebagai hukuman, menurut peraturan yang ditetapkan pemerintah serta dapat dipaksakan, tetapi tidak ada jasa balik dari negara secara langsung, untuk memelihara kesejahteraan umum (Siti Resmi, 2005:1).
Definisi Pajak yang dikemukakan oleh Mr. Dr. N. J. Fieldmann
Pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terutang kepada penguasa (menurut norma-norma yang ditetapkan secara umum), tanpa adanya kontraprestasi, dan semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran umum (Erly Suandy, 2005:9).
Definisi Pajak yang dikemukakan oleh Prof. DR. M. J. H. Smeets Pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terutang melalui norma-norma umum, dan yang dapat dipaksakan, tanpa ada kalanya kontraprestasi yang dapat ditunjukkan dalam hal yang individual, maksudnya adalah untuk membiayai pengeluaran pemerintah (Erly Suandy, 2005:10).
Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa:
a. Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan Undang-Undang serta aturan pelaksanaannya.
b. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah.
c. Pajak dipungut oleh negara baik pemerintah Pusat maupun pemerintah Daerah.
d. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran pemerintah, yang bila dari pemasukannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk membiayai public investment (Siti Resmi, 2005:2).
2. Fungsi Pajak
Bertitik tolak pada definisi pajak yang diberikan oleh para ahli pajak, terlihat adanya 2 fungsi pajak (Waluyo dan Wirawan B. Ilyas, 2000:2) sebagai berikut :
a. Fungsi Penerimaan (budgetair) yaitu sebagai sumber dana yang diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah.
b. Fungsi Mengatur (regular) yaitu sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan dibidang sosial dan ekonomi.
3. Tatacara Pemungutan Pajak a. Stelsel Pajak
Pemungutan pajak dilakukan berdasarkan stelsel pajak (Rimsky K.
Judisseno, 2001:6) yaitu : 1) Stelsel Nyata (Riil Stelsel)
Stelsel ini menerangkan bahwa pemungutan pajak baru dapat dilaksanakan pada akhir tahun setelah mengetahui penghasilan sesungguhnya yang diperoleh dalam masa pajak yang bersangkutan.
2) Stelsel Anggapan (Fictieve stelsel)
Dalam stelsel ini pemungutan pajak dapat dilakukan pada awal tahun pajak, karena berdasarkan peraturan dan perundang- undangan yang berlaku hal ini dimungkinkan untuk dilaksanakan berdasarkan suatu anggapan penerimaan atau pendapatan yang diperoleh oleh wajib pajak. Anggapan ini dapat menggunakan perbandingan data antara penerimaan atau pendapatan wajib pajak
pada tahun sebelumnya yang dianggap sama dengan pendapatan yang akan diperoleh pada tahun sekarang.
3) Stelsel Campuran
Dalam stelsel ini pengenaan pajak dilakukan pada awal tahun yang didasarkan pada suatu anggapan dan akhir tahun yang didasarkan pada suatu kenyataan, sehingga menurut stelsel ini akan terjadi penghitungan kembali untuk menentukan masalah kelebihan atau kekurangan pajak.
b. Asas Pemungutan Pajak
Asas-asas pemungutan pajak menurut Munawir (2000:44) yaitu : 1) Asas Domisili (Asas Tempat Tinggal)
Menurut asas domisili, negara dimana wajib pajak bertempat tinggal atau berkedudukan berhak mengenakan pajak terhadap wajib pajak tersebut dari semua penghasilannya. Menurut asas ini, siapapun yang bertempat kediaman di Indonesia dikenakan pajak atas segala penghasilannya baik yang diperoleh di Indonesia maupun yang diluar Indonesia.
2) Asas Sumber
Menurut asas sumber, pengenaan pajak tergantung adanya sumber disuatu negara. Negara dimana sumber penghasilan berada, berhak mengenakan pajak dengan tidak mengingat dimana wajib pajak bertempat tinggal atau berkedudukan. Menurut asas ini, siapapun yang memperoleh penghasilan dari Indonesia, akan
dikenakan pajak penghasilan oleh Negara Indonesia, baik wajib pajaknya berkediaman di Indonesia maupun diluar Indonesia.
3) Asas Kebangsaan
Asas yang berdasarkan kebangsaan ini menghubungkan pengenaan pajak dengan kebangsaan suatu negara.
c. Sistem Pemungutan Pajak
Menurut Waluyo dan Wirawan B. Ilyas (2000:10) system pemungutan pajak yang dapat digunakan adalah :
1) Official Assessment System
Yaitu suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang.
Ciri-ciri Official Assessment system adalah :
a. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang berada pada fiskus
b. Wajib pajak bersifat pasif
c. Utang pajak timbul setelah dikeluarkan Surat Ketetapan Pajak oleh fiskus.
2) Self Assessment System
Yaitu suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang, kepercayaan, tanggung jawab, kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayarkan.
3) With Holding System
Yaitu suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga untuk memotong atau memungut besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak.
d. Sasaran Pengenaan Pajak
Menurut Eko Lasmana (1994 :22 ) sasaran pengenaan pajak yaitu : 1) Pajak dikenakan pada sumber yang mengeluarkan yang
disebut pajak atas sumber.
Pajak yang dikenakan pada sumbernya umumnya mudah masuknya, lazimnya sumber itu adalah badan yang membayar hasil, diberi hak memotong pajaknya atas hasil yang akan dibayarkan, hal ini dimaksud melimpahkan pajak yang harus dibayar kepada mereka yang menerimanya dan harus menyetorkan pajak itu dalam kas negara.
2) Pajak dikenakan pada sumber yang menerima atau mendapat penghasilan.
Pajak yang dikenakan pada subjek (baik perorangan maupun badan) yang menerimanya, dikenakan dengan Surat Ketetapan Pajak, dan pemasukannya tidak semudah pajak atas sumber diatas.
e. Saat Pemungutan Pajak
Saat pemungutan pajak (Hilarius Abut, 2001:20) dapat dibedakan
1) Pajak dipungut dimuka (voorheffing)
Pajak dipungut dimuka artinya pajak dikenakan pada permulaan tahun, jadi pajak ini sebelum tahun pajak yang bersangkutan berakhir. Contohnya : PBB.
2) Pajak dipungut dibelakang (naheffing)
Pajak yang dikenakan dibelakang lazimnya adalah pajak yang didasarkan kepada stelsel riil, jadi pajak yang dipungut setelah berakhirnya tahun pajak yang bersangkutan.
Contohnya : Pajak Penghasilan.
C. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) 1. Pengertian Dasar BPHTB
Pada dasarnya Pasal 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolahan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) menyatakan bahwa BPHTB adalah “Pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan bangunan yang selanjutnya disebut dengan pajak”. Dimana kegiatan perolehan hak atas tanah dan bangunan tersebut merupakan kegiatan hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan bangunan yang didasari oleh kekuatan hukum baik untuk orang pribadi atau badan.
Pengertian dasar lain yang berkaitan dengan kewajiban BPHTB diantaranya (Waluyo dan Wirawan B, 2000:426):
a. Surat Tagihan BPHTB (STB)
Adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan atau sanksi administrasi berupa bunga atau denda.
b. Surat Ketetapan BPHTB Kurang Bayar (SKBKB)
Adalah surat ketentuan yang menentukan besarnya jumlah pajak yang terutang, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi dan jumlah yang masih harus dibayar.
c. Surat Ketetapan BPHTB Kurang Bayar Tambahan (SKBKBT)
Adalah surat keputusan yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang ditetapkan.
d. Surat Ketetapan BPHTB Lebih Bayar (SKBLB)
Adalah surat keputusan yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah pajak yang telah dibayar lebih bayar dari pajak yang seharusnya dibayar.
e. Surat Ketetapan BPHTB Nihil (SKBN)
Adalah surat keputusan yang menentukan jumlah pajak yang sama dengan besarnya jumlah pajak yang telah dibayarkan.
f. Surat Setoran BPHTB (SSB)
Adalah surat yang oleh wajib pajak digunakan untuk melakukan pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang ke kas negara atau tempat lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan sekaligus untuk melaporkan data perolehan tanah dan atau bangunan.
g. Surat Keputusan Pembetulan BPHTB
Adalah surat untuk membetulkan kesalahan tulis, hutang, dan atau kekeliruan dalam penerapan peraturan perundang-undangan perpajakan yang terdapat dalam STB, SKBKB, SKBKBT, SKBLB, atau Surat Tagihan BPHTB.
h. Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
Adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan bangunan oleh pribadi atau badan.
i. Surat Keputusan Keberatan
Adalah surat keputusan atas keberatan surat ketetapan BPHTB kurang bayar, surat ketetapan BPHTB kurang bayar tambahan, surat ketetapan BPHTB lebih bayar, surat ketetapan BPHTB nihil yang diajukan oleh wajib pajak.
j. Putusan Banding
Adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap surat keputusan keberatan yang diajukan oleh wajib pajak.
2. Objek Pajak
Yang menjadi objek pajak menurut pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, yang meliputi:
a. Pemindahan hak karena:
1) jual beli;
2) tukar menukar;
3) hibah;
4) hibah wasiat;
5) waris;
6) pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya;
7) pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
8) penunjukan pembeli dalam lelang;
9) pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
10) pengabungan usaha;
11) peleburan usaha;
12) pemekaran usaha;
13) hadiah.
b. Pemberian hak baru karena:
1) kelanjutan pelepasan hak;
2) diluar pelepasan hak.
Hak atas tanah sebagaimana dimaksud diatas seperti dinyatakan oleh pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang BPHTB adalah:
a. hak milik;
b. hak guna usaha;
c. hak guna bangunan;
d. hak guna pakai;
e. hak milik atas satuan rumah susun;
f. hak pengelolaan.
Ada pun objek pajak yang tidak dikenakan BPHTB (Marihot, 2003:68) adalah objek pajak yang diperoleh:
a. Perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik,
b. Negara untuk penyelengaraan pemerintah dan atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum,
c. Badan atau perwakilan organisasi Internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain diluar fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut,
d. Orang pribadi atau badan karena konversi hak dan perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama,
e. Orang pribadi atau badan karena wakaf,
f. Orang pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.
3. Subjek Pajak
Yang menjadi subjek pajak menurut pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan yang dikenakan kewajiban membayar pajak.
4. Dasar Pengenaan Pajak
Dasar pengenaan pajak menurut pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak dimana dalam hal:
a. jual beli adalah harga transaksi, b. tukar menukar adalah nilai pasar, c. hibah adalah nilai pasar,
d. hibah wasiat adalah nilai pasar, e. waris adalah nilai pasar,
f. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah nilai pasar,
g. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah nilai pasar, h. peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai
kekuatan hukum tetap adalah nilai pasar,
i. pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah nilai pasar,
j. pemberian hak baru atas tanah diluar pelepasan hak adalah nilai pasar,
k. penggabungan usaha adalah nilai pasar, l. peleburan usaha adalah nilai pasar, m. pemekaran usaha adalah nilai pasar, n. hadiah adalah nilai pasar,
o. penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang tercantum dalam Risalah lelang.
5. Saat dan Tempat Pajak Yang Terutang
Saat terutang pajak atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan menurut pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 yaitu:
a. jual beli adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta, b. tukar menukar adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya
akta,
c. hibah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta,
d. waris adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke Kantor Pertanahan,
e. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta,
f. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta,
g. lelang adalah sejak tanggal penunjukan pemenang lelang,
h. putusan hakim adalah sejak tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap,
i. hibah wasiat adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke Kantor Pertanahan,
j. pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah sejak tanggal ditandatangani dan diterbitkannya surat keputusan pemberian hak,
k. pemberian hak baru diluar pelepasan hak adalah sejak tanggal ditandatangani dan diterbitkanya surat keputusan pemberian hak,
l. penggabungan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta,
m. peleburan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta,
n. pemekaran usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta,
o. hadiah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya.
Menurut pasal 9 ayat (2) dan (3) dikatakan bahwa pajak yang terutang harus dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak dan tempat terutangnya pajak adalah wilayah kabupaten, kota atau propinsi yang meliputi letak tanah dan atau bangunan.
6. Pembayaran BPHTB
Ketentuan pembayaran BPHTB ditetapkan dalam pasal 10 Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2000 dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 517/KMK.04/2000 sebagai berikut:
a. wajib pajak wajib membayar pajak yang terutang dengan tidak mendasarkan pada adanya Surat Ketetapan Pajak (self assessment system)
b. pajak yang terutang dibayar ke Kas Negara melalui kantor pos dan atau bank badan usaha milik negara atau bank badan usaha daerah atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri dengan Surat Setoran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (SSB) BPHTB terutang dibayar (Marihot, 2003:218) pada saat:
1) akta pemindahan hak atas tanah dan atau bangunan ditandatangani oleh notaris atau pejabat pembuat akta tanah, 2) risalah lelang yang memuat penunjukan pemenang lelang
ditandatangani oleh Kepala Kantor Lelang atau Pejabat Lelang, 3) dilakukan pendaftaran hak oleh Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten atau Kota dalam hal pemindahan hak karena pelaksanaan (eksekusi) putusan hakim yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, hak waris atau hibah wasiat,
4) diterbitkannya surat keputusan pemberian hak baru, baik sebagai kelanjutan kelepasan hak maupun diluar pelepasan hak.
7. Penetapan Pajak
Menurut pasal 11 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang BPHTB bahwa dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya pajak, Direktur Jendral Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar (SKBKB) apabila berdasarkan pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah pajak yang terutang kurang bayar. Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua Persen) sebulan untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung mulai saat terutangnya pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar (SKBKB).
Menurut pasal 12 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang BPHTB bahwa dalam jangka 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya pajak, Direktur Jendral Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan (SKBKBT) apabila ditemukan data baru atau data yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang yang setelah diterbitkanya Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan (SKBKBT) ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak tersebut, kecuali wajib pajak melaporkan sendiri sebelum dilakukan tindakan pemeriksaan.
8. Penagihan Pajak
Direktur Jendral Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan BPHTB (Marihot, 2003:237) apabila :
a. pajak yang terutang tidak atau kurang bayar,
b. dari hasil pemeriksaan Surat Setoran BPHTB terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan atau salah hitung, dan
c. wajib pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda dan atau bunga
Sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sejak saat terutangnya pajak. Surat Tagihan BPHTB mempunyai kekuatan hukum
yang sama dengan Surat Ketetapan Pajak, sehingga penagihannya dapat dilanjutkan dengan penerbitan Surat Paksa.
Yang menjadi dasar penagihan pajak (Marihot, 2003:237) adalah Surat Ketetapan BPHTB Kurang Bayar, Surat Ketetapan BPHTB Kurang Bayar Tambahan, Surat Tagihan BPHTB, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan maupun Putusan Banding yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah.
Jangka waktu pelunasan pajak yang harus dibayar tersebut adalah paling lama 1 (satu) bulan sejak diterima wajib pajak. Jumlah pajak yang terutang apabila tidak atau kurang dibayar pada waktunya dapat ditagih dengan surat paksa.
9. Keberatan Pajak
Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan kepada Direktur Jendral Pajak (Marihot, 2003:245) atas suatu :
a. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar (SKBKB),
b. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan (SKBKBT),
c. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar (SKBLB),
d. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Nihil (SKBN).
Keberatan Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah pajak yang terutang menurut perhitungan wajib pajak dengan disertai dengan alasan-alasan yang jelas. Keberatan harus diajukan dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal di terimanya Surat Ketetapan (dibuktikan dengan tanda terima dari Direktur Jendral Pajak atau pun tanda pengiriman pos tercatat dari kantor pos kecuali apabila wajib pajak dapat menunjukan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan diluar kekuasaannya.
10. Pengurangan Pajak
Ketentuan pemberian pengurangan BPHTB ditetapkan dalam keputusan Menteri Keuangan Nomor 87/KMK.03/2002 yaitu :
a. Kondisi tertentu wajib pajak yang ada hubungannya dengan objek pajak, yaitu :
1) Wajib pajak orang pribadi yang memperoleh hak baru melalui program pemerintah dibidang Pertanahan dan tidak mempunyai kemampuan secara ekonomis, besarnya pengurang pajak yaitu 75%,
2) Wajib pajak badan yang memperoleh hak baru selain hak pengelolaan dan telah menguasai tanah dan atau keterangan dari Pejabat Pemerintah Daerah Setempat, besarnya pengurangan pajak yaitu 50%,
3) Wajib pajak orang pribadi yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan Rumah Sederhana (RS), diperoleh langsung dari
pengembang dan dibayar secara angsuran, besarnya pengurang pajak yaitu 25%,
4) Wajib pajak orang pribadi yang menerima hibah dari orang pribadi yang mempunyai hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat keatas atau satu derajat kebawah, besarnya pengurangan pajak yaitu 50%.
b. Kondisi wajib pajak yang ada hubunganya dengan sebab-sebab tertentu yaitu :
1) Wajib pajak yang memperoleh hak atas tanah melalui pembelian dari hasil ganti rugi pemerintah yang mulai menganti ruginya dibawah Nilai Jual Objek Pajak, besarnya pengurangan pajak yaitu 50%,
2) Wajib pajak yang memperoleh hak atas tanah sebagai pengganti hak atas tanah yang dibebaskan oleh pemerintah untuk kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus, besarnya pengurang pajak yaitu 50%,
3) Wajib pajak badan yang terkena dampak krisis ekonomi dan moneter yang berdampak luas pada kehidupan perekonomian nasional sehingga wajib pajak harus melakukan restrukturisasi usaha dan atau utang usaha sesuai dengan kebijakan pemerintah, besarnya pengurang pajak yaitu 75%,
4) Wajib pajak Bank Mandiri yang memperoleh hak atas tanah yang berasal dari Bank Bumi Daya, Bank Dagang Negara,
Bank Pembangunan Indonesia, dan Bank Ekspor Impor dalam rangkai proses penggabungan usaha besarnya pengurangan pajak yaitu 100% dari pajak yang terutang pajak untuk wajib pajak,
5) Wajib pajak badan yang melakukan Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha dengan tanpa terlebih dahulu mengadakan likuidasi dan telah memperoleh keputusan persetujuan pengunaan nilai buku dalam rangka penggabungan atau peleburan usaha dari Direktur Jendral Pajak, besarnya pengurangan pajak yaitu 50%,
6) Wajib pajak yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan yang tidak berfungsi lagi seperti semula disebabkan bencana alam atau sebab-sebab lainnya seperti kebakaran, banjir, tanah longsor, gempa bumi, gunung meletus yang terjadi dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak penandatanganan akta, besarnya pengurang pajak yaitu 50%, 7) Wajib pajak orang pribadi veteran, Pegawai Negeri Sipil
(PNS), Tentara Nasional Indonesia (TNI), Polisi Republik Indonesia (POLRI), Pensiunan PNS, Purnawirawan TNI, Purnawirawan POLRI atau janda atau dudanya yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan rumah dinas pemerintah, besarnya pengurangan pajak yaitu 75%
c. Tanah dan atau bangunan digunakan untuk kepentingan sosial atau pendidikan yang semata-mata tidak untuk mencari keuntungan antara lain untuk panti asuhan, panti jompo, rumah yatim piatu, sekolah yang tidak ditujukan mencari keuntungan, rumah sakit swasta milik institusi pelayanan sosial masyarakat. Besarnya penguranganya pajak yaitu 50%
11. Pengembalian Kelebihan Pembayaran
Wajib pajak dapat mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak (Marihot, 2003:358) yaitu dalam hal :
a. pajak yang dibayar lebih besar pada yang seharusnya terutang, b. pajak yang dibayar tidak seharusnya terutang,
c. pajak yang terutang yang dibayarkan oleh wajib pajak sebelum akta ditandatangani namun memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan batal,
d. terjadi perubahan aturan.
Untuk memperoleh pengembalian kelebihan pembayaran BPHTB, wajib pajak mengajukan permohonan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan menyebutkan jumlah kelebihan pembayaran disertai alasan yang jelas kepada Direktur Jendral Pajak u.p. Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan yang wilayah kerjanya meliputi letak tanah dan atau bangunan.
D. Prinsip Pemungutan BPHTB
Menurut Marihot (2003:43), pemungutan BPHTB di Indonesia dilakukan dengan berpegang pada lima prinsip, dibawah ini :
1. Pemenuhan kewajiban Bea Perolehan Atas Tanah dan Bangunan adalah berdasarkan sistem self assessment, yaitu wajib pajak menghitung dan membayar sendiri utang pajaknya.
Sistem self assessment merupakan sistem Perpajakan Indonesia yang diterapkan sejak dilakukannya reformasi perpajakan tahun 1983. pada sistem ini, wajib pajak diberi kepercayaan untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang terutang. Petugas pajak hanya berfungsi untuk melakukan pelayanan dan pemeriksaan agar wajib pajak melakukan kewajibannya secara benar. Dengan sistem self assessment ini, khususnya pada BPHTB, diharapkan masyarakat dapat
dengan mudah memenuhi kewajiban pajaknya dan meningkatkan kesadaran pajak masyarakat, terutama pajak yang timbul pada saat terjadinya perolehan atas tanah dan bangunan.
2. Besarnya tarif ditetapkan sebesar 5 persen dari Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP).
Dalam BPHTB pajak yang terutang tidak dikenakan langsung atas Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) yang menjadi dasar pengenaan pajak, tetapi harus dikurangi dahulu dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP), yaitu besaran tertentu dari NPOP yang tidak dikenakan pajak. Hal ini demi asas keadilan yaitu bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan dengan nilai
perolehan (NPOP) dibawah NPOPTKP yang ditetapkan tidak akan dikenakan pajak (bebas pajak), sementara bagi pihak yang memperoleh hak dengan nilai perolehan (NPOP) diatas NPOPTKP maka NPOP sebagai dasar pengenaan pajak harus terlebih dahulu dikurangi dengan NPOPTKP.
3. Agar pelaksanaan Undang-Undang BPHTB dapat berlaku secara efektif, wajib pajak dan pejabat umum yang melanggar ketentuan atau tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana ditentukan oleh Undang-Undang akan dikenakan sanksi menurut peraturan perundangan yang berlaku. Hal ini memang diperlukan untuk menjamin kepastian hukum dalam pelaksanaan pemungutan BPHTB sehingga wajib pajak dan pejabat yang berwenang tidak melakukan penyimpangan dalam pemenuhan kewajiban pajak.
4. Hasil penerimaan BPHTB merupakan penerimaan negara yang sebagian besar diserahkan kepada pemerintah daerah, untuk meningkatkan pendapatan daerah guna membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dalam rangka memantapkan otonomi daerah.
5. Semua pungutan atas perolehan hak atas tanah dan bangunan diluar ketentuan UU BPHTB tidak diperkenankan.
Dengan diundangkannya Undang-Undang BPHTB maka BPHTB merupakan satu-satunya pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan bangunan di Indonesia sehingga segala pungutan yang ada kaitannya dengan perolehan hak (kecuali biaya resmi yang berkaitan dengan pembuatan akta dan pendaftaran hak atas tanah dan bangunan yang telah ditetapkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku) tidak boleh dilakukan oleh
pihak manapun. Hal ini penting diatur agar masyarakat tidak dibebani pungutan yang tidak sesuai dengan ketentuan berkaitan dengan perolehan atas tanah dan bangunan yang diterimanya.
E. Sosialisasi Perpajakan 1. Pengertian Sosialisasi
Pengertian sosialisasi menurut Soerjono Soekarno (2002:65) adalah suatu proses dimana anggota masyarakat baru mempelajari norma dan nilai masyarakat, dimana dia menjadi anggota. Sedangkan menurut Anies S. Basalamah (2004:196) dalam mendefinisikan sosialisasi sebagai suatu proses dimana orang mempelajari sistem nilai, norma dan pola perilaku yang diharapkan oleh kelompok sebagai bentuk trasformasi dari orang tersebut sebagai orang luar menjadi anggota organisasi yang efektif.
Pada dasarnya, sosialisasi memberikan 2 (dua) kontribusi fundamental bagi kehidupan kita, yaitu:
a. Memberikan dasar atau fondasi kepada individu bagi terciptanya partisipasi yang efektif dalam masyarakat.
b. Memungkinkan lestarinya suatu masyarakat karena tanpa sosialisasi akan hanya ada satu generasi saja sehingga kelestarian masyarakat akan sangat terganggu.
2. Pengertian Sosialisasi Perpajakan
Dari pengertian diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa sosialisasi perpajakan merupakan suatu upaya dari Direktorat Jenderal Pajak untuk memberikan pengertian, informasi dan pembinaan kepada masyarakat pada umumnya dan wajib pajak pada khususnya mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan peraturan dan perundangan perpajakan, dengan adanya sosialisasi perpajakan diharapkan akan terciptanya partisipasi yang efektif dari masyarakat dalam memenuhi hak dan kewajiban sebagai wajib pajak dan memungkinkan lestarinya suatu kesadaran dan kepatuhan perpajakan.
Dalam melakukan sosialisasi perpajakan perlu adanya strategi dan metode yang tepat yang dapat diaplikasikan dengan baik, sebagaimana yang dikemukakan dalam buku karangan Azhari A.
Samudra (2004:2) yaitu:
a. Publikasi (publication) adalah aktivitas publikasi yang dilakukan melalui media komunikasi setempat, baik media cetak seperti surat kabar atau majalah, maupun media audio-visual seperti televisi atau radio.
b. Kegiatan (event) adalah institusi pajak dapat melibatkan diri pada penyelenggaraan aktivitas tertentu yang dihubungkan dengan program peningkatan kesadaran masyarakat akan perpajakan pada momen-momen tertentu, misalnya: kegiatan olahraga, sponsor, seminar atau kegiatan lainnya.
c. Pemberitaan (news) adalah pemberitaan dalam hal ini mempunyai pengertian khusus yaitu menjadi bahan berita dalam arti positif sehingga menjadi sarana promosi yang efektif.
d. Keterlibatan komunitas (community involvement); melibatkan komunitas yang pada dasarnya adalah cara untuk mendekatkan institusi pajak dengan masyarakat dimana iklim budaya Indonesia masih menghendaki adat ketimuran untuk bersilahturahmi dengan tokoh setempat sebelum suatu institusi pajak dibuka.
e. Pencantuman identitas (idenity media); berkaitan dengan pencantuman logo otoritas pajak pada berbagai media yang ditujukan sebagai sarana promosi.
f. Pendekatan pribadi (lobbying); lobbying atau pendekatan pribadi yang dilakukan sacara internal untuk mencapai tujuan tertentu.
F. Pembagian Hasil Penerimaan BPHTB
Hasil penerimaan Bea Perolehan Atas Tanah dan Bangunan merupakan penerimaan negara. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 penerimaan negara dari BPHTB dibagi untuk pemerintah pusat dan pemerintah daerah dengan imbangan sebagai berikut :
1. 20% (dua puluh persen) untuk pemerintah pusat, dan 2. 80% (delapan puluh persen) untuk daerah.
Bagian pemerintah pusat sebesar 20% dari penerimaan BPHTB seluruh kabupaten atau kota di Indonesia dibagikan kepada seluruh pemerintahan
kabupaten atau kota di Indonesia secara merata. Keputusan penetapan pembagian hasil penerimaan BPHTB lebih lanjut diatur dengan keputusan Menteri Keuangan.
Bagian daerah sebesar 80% dari penerimaan BPHTB pada suatu kabupaten atau kota dibagi dengan imbangan 20% untuk pemerintah provinsi dan 80% untuk pemerintah kota atau kabupaten. Dengan demikian, 80% bagian daerah dibagi dengan perincian :
a. 16% (enam belas persen), yaitu 20% dari 80% bagian daerah, diperuntukkan bagi pemerintah provinsi yang bersangkutan dan disalurkan melalui rekening kas daerah provinsi, dan
b. 64% (enam puluh empat persen), yaitu 80% dari 80% bagian daerah, diperuntukkan bagi daerah kabupaten atau kota penghasil dan disalurkan melalui rekening kas daerah kabupaten atau kota.
Menurut Marihot (2003:363), hasil penerimaan BPHTB yang berasal dari bagian daerah dan pembagian dari bagian pemerintah pusat merupakan pendapatan daerah dan setiap tahun anggaran dicantumkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, salah satu sumber penerimaan daerah adalah dana perimbangan, yaitu dana yang bersumber dari penerimaan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana perimbangan ini salah satunya bersumber dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, dan penerimaan dari sumber daya alam.
Penerimaan daerah dari sektor BPHTB dibutuhkan oleh pemerintah daerah sebagai salah satu sumber pembiayaan pelaksanaan desentralisasi pemerintah (yang dikenal sebagai otonomi daerah). Dengan demikian, pembagian hasil penerimaan BPHTB dimaksudkan untuk mendukung daerah dalam mencukupi kebutuhannya, khususnya dalam pelaksanaan otonomi daerah saat ini.
G. Referensi Penelitian Sebelumnya
Riyadulzanah (2005) dengan judul skripsi Analisis Realisasi Anggaran BPHTB Pada Kantor Pelayanan PBB Tangerang Dua. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa rencana dan realisasi penerimaan BPHTB antara tahun 2001- 2004 terus mengalami peningkatan. Jumlah seluruh rencana realisasi penerimaan BPHTB mencapai Rp 275.830.902.000. Dan jumlah seluruh realisasi penerimaan BPHTB mencapai Rp 382.607.039.000 dengan peningkatan seluruhnya 138,7%.
Dengan jumlah peningkatan Surat Setoran BPHTB (SSB) sebanyak 105.416 SSB selama 2001 s/d 2004. Metode yang digunakan adalah deskriptif analisis, yaitu dengan menggunakan data primer yang didapat langsung dari KP PBB Tangerang Dua , kemudian data tersebut diolah dan dianalisis untuk memperoleh pengertian yang lebih luas dengan cara mendeskriptifkan data dari tahun 2001 s/d 2004.
H. Kerangka Pemikiran
Apabila dikaitkan dengan salah satu fungsi pajak sebagai sumber penerimaan bagi negara (fungsi budgeter pajak) perbelakuan BPHTB dilatar belakangi oleh pemikiran untuk meningkatkan penerimaan negara, terutama
penerimaan daerah, yang penting bagi penyelenggaraan pemerintah dan pelaksanaan pembangunan nasional. Hal ini mendasari pemikiran bahwa subjek pajak yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan mendapatkan keuntungan ekonomis dari pemilikan suatu tanah dan bangunan sehingga dianggap wajar jika diwajibkan untuk menyerahkan sebagian nilai ekonomi yang diperolehnya kepada negara melalui pembayaran BPHTB.
Agar pelaksanaan Undang-Undang BPHTB dapat berlaku secara efektif maka diperlukan kepastian hukum dalam pelaksanaan pemungutan BPHTB sehingga wajib pajak dan pejabat umum yang berwenang tidak melakukan penyimpangan dalam pemenuhan kewajiban pajak. Disamping itu ketentuan yang diatur dalam UU BPHTB tidak membahas secara mendalam tentang aturan hukum perolehan hak atas tanah dan bangunan, sehingga sangat diperlukan peran aktif Direktorat Jenderal Pajak untuk memasyarakatkan peraturan perpajakan dengan melakukan sosialisasi perpajakan agar masyarakat dan para pejabat yang berkepentingan dapat memahami aturan pajak secara benar.
Pada dasarnya aturan pajak dapat berhasil dengan baik dan mencapai target penerimaan pajak, tidak terlepas dari cara pelaksanaan pemungutan pajak yang dilakukan dengan baik dan juga peningkatan sosialisasi perpajakan.
Oleh karena itu perlu dilakukan suatu analisa dengan menggunakan regresi berganda untuk mengetahui seberapa besar pengaruh pelaksanaan pemungutan BPHTB dan sosialisasi perpajakan terhadap peningkatan penerimaan BPHTB pada KP PBB Jakarta Selatan Satu.
Berdasarkan kerangka teoritis, dapat digambarkan kerangka pemikiran sebagai berikut :
Gambar 2.1 skema kerangka pemikiran
KP PBB
Jakarta Selatan Satu
Pelaksanaan Pemungutan BPHTB (X1)
Sosialisasi Perpajakan
(X2)
Uji Validitas dan Reliabilitas Penerimaan
BPHTB (Y)
Kesimpulan dan Implikasi Uji Asumsi Klasik a. Uji Normalitas
b. Uji Heteroskedastisitas c. Uji Multikolinearitas
Uji Koefisien Determinasi Uji F Hitung Uji T hitung
BAB III
METODELOGI PENELITIAN
A. Ruang Lingkup Penelitian
Karena permasalahan yang terkait dengan topik penelitian ini sangat luas, maka penelitian ini di fokuskan pada permasalahan yang berkaitan dengan penilaian wajib pajak efektif orang pribadi tentang pengaruh pelaksanaan pemungutan BPHTB dan sosialisasi perpajakan terhadap penerimaan BPHTB.
Penelitian dilakukan pada KP PBB Jakarta Selatan Satu yang berlokasi di Jl.
Raya Pasar Minggu no.11 Jakarta 12780.
B. Metode Penentuan Sampel
Teknik yang digunakan dalam penelitian sampel adalah Convenience Sampling atau pemilihan sampel yang berdasarkan kemudahan. Menurut Abdul
Hamid (2004:23), Convenience Sampling adalah teknik pemilihan sampel dari elemen populasi (orang atau kejadian) yang datanya mudah diperoleh peneliti.
Elemen populasi yang dipilih adalah tidak terbatas sehingga peneliti memiliki kebebasan untuk memilih sampel yang cepat dan mudah. Alasan memakai teknik Convenience Sampling dikarenakan data yang diperlukan pada penelitian ini
berupa data kualitatif melalui survey dan penyebaran kuisioner kepada responden hal ini membutuhkan waktu, tenaga serta biaya yang tidak sedikit untuk menyebarkan kuisioner dan mendapatkan data. Sehingga peneliti membataskan
39
penelitian pada KP PBB Jakarta Selatan Satu saja agar memudahkan penelitian namun tetap mendapatkan sampel yang dibutuhkan.
Dalam menentukan jumlah sampel atau responden yang akan diambil menggunakan rumus slovin. Dimana dari jumlah populasi yang terdapat di KP PBB Jakarta Selatan Satu yakni sebanyak 83.914 wajib pajak, jumlah responden yang diambil hanya sebesar 100 orang. Dengan tingkat kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan pengambilan sampel yang dapat ditolerir sebesar 10% (sepuluh persen). Adapun rumus slovin menurut Husein Umar (2003:113) adalah sebagai berikut :
n = 1+NN
( )
e2( )
0,12914 . 83 1
914 . 83
+ = 99,88
Keterangan : n = ukuran sampel N = ukuran populasi
E = kelonggaran ketidaktelitian, karena kesalahan pengambilan sampel yang dapat ditolerir
C. Metode Pengumpulan Data
Dalam mengumpulkan data yang diperlukan, penulis akan menggunakan metode pengumpulan data antara lain:
1. Penelitian kepustakaan (library research)
Dengan cara ini penulis dapat menggunakan daftar kepustakaan berupa buku, surat kabar, majalah dan sumber tertulis lainnya untuk memperoleh data yang bersifat teoritis dan mendukung penelitian.
2. Penelitian lapangan (field research)
Dalam penelitian lapangan, penulis memperoleh data primer berupa hasil pengisian kuisioner dengan memberikan angket yang berisi pernyataan- pernyataan yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.
D. Metode Analisis Data
1. Uji Instrumen Penelitian a. Uji Validitas
Validitas berasal dari kata validity yang mempunyai arti sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya. Suatu tes atau instrument pengukur dapat dikatakan mempunyai validitas yang tinggi apabila alat tersebut menjalankan fungsi ukurnya, atau memberikan hasil ukur, yang sesuai dengan maksud dilakukannya pengukuran tersebut. Menghasilkan data yang tidak relevan dengan tujuan pengukuran dikatakan sebagai tes yang memiliki validitas rendah (Drs.
Saefuddin Azwar, MA. 1996:5-6)
Validitas menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur itu mampu mengukur apa yang ingin diukur (Husein Umar. 2003:176). Pengujian validitas tiap butir pertanyaan dengan skor pertanyaan secara keseluruhan.
Dalam memberikan interpretasi terhadap koefisien korelasi, Masrun menyatakan item yang memiliki korelasi positif dengan kriterium (skor total) serta korelasi yang tinggi, menunjukan bahwa item ini mempunyai
validitas yang tinggi pula jika r = positif (+), sedangkan r = negatif (-) maka butir dalam instrument tersebut dinyatakan tidak valid.
b. Uji Reliabilitas
Apabila suatu alat pengukuran telah dinyatakan valid maka tahap berikutnya adalah mengukur reliabilitas dari alat. Sebagai ukuran yang menunjukkan konsistensi dari alat ukur dalam mengukur gejala yang sama dilain kesempatan.
Menurut Purbayu (2005:251) untuk melihat reliabilitas, maka dihitung cronbach alpha masing-masing instrument variabel. Variabel- variabel tersebut dikatakan reliabel bila cronbach alphanya memiliki nilai lebih besar dari 0,60. Uji reliabilitas bertujuan untuk melihat konsistensi alat ukur yang akan digunakan yakni apakah alat ukur tersebut akurat, stabil dan konsisten. Teknik yang digunakan untuk menguji reliabilitas adalah koefisien alpha cronbach dengan rumus:
Keterangan :
r11 = reabilitas Instrumen k = banyaknya butir pertanyaan
2t
σ = varians total
2b
σ = jumlah varians butir
⎟⎟
⎠
⎞
⎜⎜
⎝
⎛ σ
− σ
⎟⎠
⎜ ⎞
⎝
⎛
= −
∑
t 1 b
1 k
r k 2
2 11
2. Uji Asumsi Klasik
Sebelum melakukan penelitian ini terlebih dahulu dilakukan pengujian atas data yang didapat. Adapun pengujian yang dilakukan adalah sebagai berikut :
a. Uji Normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam sebuah model regresi, variabel independen, variabel dependen, atau keduanya mempunyai distribusi normal atau tidak, model regresi yang baik adalah memiliki distribusi data normal atau mendekati normal.
Deteksi normalitas dengan melihat penyebaran data (titik-titik) pada sumbu diagonal dari grafik. Dasar pengambilan keputusannya jika data menyebar disekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis diagonal, maka model regresi memenuhi asumsi normalitas, sedangkan jika data menyebar jauh dari garis diagonal dan atau tidak mengikuti arah garis diagonal, maka model regresi tidak memenuhi asumsi normalitas. (Ghozali, 2005 : 112)
b. Uji Heteroskedastisitas
Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam sebuah model regresi terjadi kesamaan varians dari residual dari suatu pengamatan yang lain. Jika varians dari residual dari suatu pengamatan ke pengamatan lain tetap, maka disebut homoskedastisitas. Sebaliknya jika varians berbeda disebut heteroskedastisitas. Model regresi yang baik tidak terjadi heteroskedastisitas. Untuk mendeteksi adanya heteroskedastisitas
dilakukan dengan cara melihat grafik yaitu dengan melihat grafik scatter plot. Jika titik–titik pada grafik menyebar secara acak dan tidak
membentuk suatu pola tertentu yang jelas, serta tersebar diatas maupun dibawah angka 0 pada sumbu Y, maka dikatakan tidak terjadi heteroskedastisitas. Sebaliknya jika titik-titik membentuk suatu pola yang teratur, maka dikatakan terjadi masalah heteroskedastisitas. (Singgih Santoso, 2002:208)
c. Uji Multikolinearitas
Uji multikolinearitas diperlukan untuk mengetahui ada tidaknya variabel independen yang memiliki kemiripan dengan variabel independen lain
dalam satu model. Kemiripan antar variabel independen dalam suatu model akan menyebabkan terjadi korelasi yang sangat kuat antar variabel
independen dengan variabel independen yang lain. Selain itu, deteksi terhadap multikolinearitas juga bertujuan untuk menghindari kebiasaan
dalam proses pengambilan kesimpulan mengenai pengaruh uji parsial masing-masing variabel independen terhadap variabel dependen.
Menurut Bhuono (2005:58) untuk melihat ada tidaknya multikolinearitas biasanya dengan melihat VIF (Variance Inflation Factor), ini tidak lebih dari 10 dan nilai tolerance tidak kurang dari 0,1.
3. Uji Hipotesis
Metode analisis data yang digunakan untuk menguji hipotesis adalah metode regresi berganda. Persamaan regresi digunakan untuk menguji
variabel terikat (Y) terhadap variabel bebas (X1) dan (X2) guna memperkirakan atau menaksir besarnya efek kuantitatif dari suatu kejadian terhadap kejadian lain. Adapun persamaan regresi berganda secara statistik adalah sebagai berikut:
Y= a + bX1 + bX2 + e Keterangan: Y = Variabel terikat (Penerimaan BPHTB)
X1= Variabel bebas (Pelaksanaan Pemungutan BPHTB) X2= Variabel bebas (Sosialisasi Perpajakan)
a = Konstanta/ intersep
b = Koefisien regresi/ slop (kemiringan garis) e = Error
Dalam pengujian hipotesis analisis dilakukan melalui:
a Uji R2 (Koefisien Determinasi)
Untuk menentukan seberapa besar variabel independen dapat menjelaskan variabel terikat, maka perlu diketahui nilai koefisien determinasi (Adjusted R Square) adalah sebesar 1 berarti fluktuasi variabel terikat seluruhnya dapat dijelaskan oleh variabel bebas dan tidak ada faktor lain yang menyebabkan fluktuasi variabel terikat. Adjusted R Square berkisar antar 0 sampai dengan 1, berarti semakin kuat kemampuan variabel bebas dapat menjelaskan fluktuasi variabel terikat. Sebaliknya jika nilai Adjusted R Square semakin mendekati angka 0 (nol) berarti semakin lemah variabel bebas dapat menjelaskan fluktuasi variabel terikat (Iman Ghozali, 2001: 45).
b Uji F-Statistik
Uji F-Statistik dilakukan untuk mengetahui hubungan variabel- variabel bebas secara bersama-sama (simultan) terhadap variabel terikat.
Untuk mengetahui apakah variabel-variabel bebas secara bersama-sama mempengaruhi variabel terikat, maka digunakan tingkat signifikansi sebesar 0,05. Jika nilai probabilitas F lebih besar dari 0,05 maka Ho tidak berhasil ditolak, jika nilai probabilitas F lebih kecil dari 0,05 maka Ho berhasil ditolak (Singgih Santoso, 2001: 108).
c Uji t-Statistik
Uji t-Statistik digunakan untuk mengetahui hubungan masing- masing variabel bebas secara individual terhadap variabel terikat.
Untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh masing-masing variabel bebas secara individual terhadap variabel terikat digunakan tingkat signifikansi 0,05. Jika nilai probabilitas t lebih besar dari 0,05 maka Ho tidak berhasil ditolak, sedangkan jika nilai probabilitas t lebih kecil dari
0,05 maka Ho berhasil ditolak (Singgih Santoso, 2001: 89).
Hipotesis:
Ho : Tidak ada pengaruh antara variabel X terhadap variabel Y Ha : Ada pengaruh antara variabel X terhadap variabel Y
Dengan pengambilan keputusan :
a. Membandingkan statistik t hitung dengan statistik t tabel : Statistik t hitung < Statistik t tabel, maka Ho diterima
Statistik t hitung > Statistik t tabel, maka Ho ditolak
b. Berdasarkan probabilitas:
Jika Probabilitas > 0,05 maka Ho diterima Jika Probabilitas < 0,05 maka Ho ditolak
E. Operasional Variabel Penelitian
Variabel-variabel dalam penelitian ini terdiri:
1 Variabel bebas adalah variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel dependen (terikat). Dalam penelitian ini yang menjadi variabel bebas adalah pelaksanaan pemungutan BPHTB = X1, dan sosialisasi perpajakan = X2.
2 Variabel tidak bebas adalah variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi akibat, karena adanya variabel bebas. Yang jadi variabel tidak bebas (terikat) dalam penelitian ini adalah penerimaan BPHTB = Y.
Tabel 3.1
Operasional Variabel Penelitian dan Pengukurannya
No Variabel Sub Variabel Indikator Ukuran 1 Pelaksanaan
Pemungutan BPHTB (X1)
1. Sistem Self Assessment
2. Pelayanan
3. Prosedur 4. Pemutakhiran
5. Dasar Pengenaan BPHTB
6. Pemeriksaan Pajak
7. Penagihan Pajak 8. Koordinasi
dengan Pejabat Berwenang
a. WP melaksanakan sistem self assessment
b. Memberi kepercayaan kepada WP
c. Melatih WP d. WP aktif
a. Ketersediaan Pelayanan b. SDM berkualitas c. Sesuai harapan
masyarakat
a. Pelaksanaan prosedur a. Data dengan kondisi
terakhir
b. Pembetulan data dengan kondisi terakhir
a. Tarif 5% dari NPOPKP
a. Pelaksanaan pemeriksaan b. Mendeteksi pelanggaran
pajak
a. Tindakan penagihan a. Koordinasi berjalan
dengan baik
b. Memberi kemudahan bagi WP
Ordinal
2 Sosialisasi Perpajakan (X2)
1. Informasi
2. Penyelenggaraan 3. Motivasi
a. Saat ada peraturan baru a. KP PBB setempat a. Motivasi WP
b. Transparansi pemerintah c. Berfikir Konstruktif d. Membangun Image WP
yang sehat
Ordinal
4. Bagaimana Sosialisasinya 5. Media yang
digunakan
6. Manfaat
a. Seminar b. Penyuluhan
a. Media Cetak, seperti brosur, majalah&surat kabar
b. Media audio-visual, seperti televisi&radio c. Internet
d. Spanduk
a. Menambah pengetahuan b. Meningkatkan kesadaran c. Meningkatkan
penerimaan 3 Penerimaan
BPHTB (Y)
1. Untuk Pemerintah Pusat
2. Untuk Pemerintah Daerah
a. Peningkatan sertifikat tanah
b. Penyediaan peralatan dan sarana
c. Pengembangan SDM d. Kesetaraan Pembangunan
a. Pelaksanaan
Pembangunan Daerah b. Perkembangan
Pembangunan c. Meningkatkan
Pendapatan
d. Pembangunan Memadai e. Penyediaan Fasilitas f. Pengembangan SDM
Otonomi Daerah g. Perbaikan Mutu h. Memperlancar
Pembangunan didaerah i. Kualitas Pembangunan j. Keberhasilan
Pembangunan
Ordinal
Skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala likert. Skala likert merupakan metode yang mengukur sikap, pendapat dan persepsi seseorang dengan menyatakan setuju atau ketidaksetujuan terhadap subyek, obyek, atau kejadian tertentu. Metode yang paling sering digunakan ini dikembangkan oleh Rensis Likert sehingga dikenal dengan skala likert. Dalam penelitian ini, pengukurannya dimulai dengan angka 1 untuk menyatakan sangat tidak setuju (STS), angka 2 untuk menyatakan tidak setuju (TS), angka 3 untuk menyatakan ragu-ragu (R), angka 4 untuk menyatakan setuju (S), angka 5 untuk menyatakan sangat setuju (SS).
Tabel 3.2
Metode Skala dan Pengukurannya Sangat Tidak
Setuju (STS)
Tidak Setuju (TS)
Ragu-Ragu (R)
Setuju (S)
Sangat Setuju (SS)
1 2 3 4 5
BAB IV
PENEMUAN DAN PEMBAHASAN
A. Sekilas Gambaran Umum Tentang Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan (KP PBB) Jakarta Selatan Satu
1. Sejarah Singkat Berdirinya KP PBB Jakarta Selatan Satu
Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan (KP PBB) Jakarta Selatan terletak di daerah Pancoran di Jalan Raya Pasar Minggu No. 11 Jakarta 12780. Pada tahun 2002 bulan Juni KP PBB Jakarta Selatan dipecah menjadi 3 (tiga) bagian yaitu Kantor Pelayanan PBB Jakarta Selatan Satu tetap berlokasi didaerah Pancoran, Kantor Pelayanan PBB Jakarta Selatan Dua terletak didaerah Pondok Pinang dan Kantor Pelayanan PBB Jakarta Selatan Tiga berlokasi didaerah TB. Simatupang.
Area KP PBB Jakarta Selatan Satu adalah luas tanah 2.270 m² dan luas bangunan 3.417 m² dimana terdiri dari 4 (empat) lantai. KP PBB Jakarta Selatan satu bertugas membawahi 3 (tiga) kecamatan yaitu kecamatan Pancoran, kecamatan Setia Budi, kecamatan Tebet.
2. Wilayah Kerja KP PBB Jakarta Selatan Satu
Wilayah kerja KP PBB Jakarta Selatan Satu terdiri dari 3 (tiga) kecamatan, yaitu : kecamatan Pancoran, Setia Budi, Tebet.
a. Kecamatan Pancoran meliputi : 1) Kelurahan Kalibata 2) Kelurahan Rawajati
51
3) Kelurahan Duren Tiga 4) Kelurahan Pengadegan 5) Kelurahan Cikoko 6) Kelurahan Pancoran b. Kecamatan Setia Budi meliputi :
1) Kelurahan Karet Semanggi 2) Kelurahan Kuningan Timur 3) Kelurahan Karet Kuningan 4) Kelurahan Karet
5) Kelurahan Menteng Atas 6) Kelurahan Pasar Manggis 7) Kelurahan Guntur
8) Kelurahan Setia Budi c. Kecamatan Tebet meliputi :
1) Kelurahan Menteng Dalam 2) Kelurahan Tebet Barat 3) Kelurahan Tebet Timur 4) Kelurahan Kebon Baru 5) Kelurahan Bukit Duri
6) Kelurahan Manggarai Selatan 7) Kelurahan Manggarai
4. Jumlah Wajib Pajak KP PBB Jakarta Selatan Satu
Berdasarkan data yang ada pada KP PBB Jakarta Selatan Satu, jumlah wajib pajak yang tercatat sebanyak 83.914 orang. Untuk kecamatan Pancoran berjumlah 19.752, kecamatan Setia Budi berjumlah 25.576 dan kecamatan Tebet berjumlah 38.586.
Tabel 4.1
Jumlah Wajib Pajak KP PBB Jakarta Selatan Satu
PANCORAN SETIA BUDI TEBET
No
Kelurahan WP
No
Kelurahan WP No
Kelurahan WP 1 Kalibata 5.604 1 Karet
Semanggi
1.386 1 Menteng Dalam 7.351 2 Rawajati 2.977 2 Kuninggan
Timur
1.717 2 Tebet Barat 5.540 3 Duren Tiga 3.911 3 Karet
Kuningan
3.681 3 Tebet Timur 4.948 4 Pengadegan 2.863 4 Karet 2.460 4 Kebon Baru 6.079 5 Cikoko 1.590 5 Menteng Atas 8.196 5 Bukit Duri 5.840 6 Pancoran 2.807 6 Pasar Manggis 5.938 6 Manggarai Selatan 3.713 7 Guntur 1.454 7 Manggarai 5.115
8 Setia Budi 744
Jumlah 19.752 Jumlah 25.576 Jumlah 38.586
No KECAMATAN WP
1 PANCORAN 19.752
2 SETIA BUDI 25.576
3 TEBET 38.586
JUMLAH 83.914 Sumber: KP PBB Jakarta Selatan Satu (diolah oleh penulis)
B. Uji Instrumen Penelitian
Instrumen yang valid adalah alat ukur yang digunakan untuk mendapatkan data yang valid dapat digunakan mengukur apa yang hendak diukur. Instrumen yang reliabel berarti instrumen tersebut bila digunakan beberapa kali untuk mengukur obyek yang sama, akan menghasilkan data yang sama.