• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kelas Reguler Angkatan 2015 - 2016

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kelas Reguler Angkatan 2015 - 2016"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

RINGKASAN

ARMAN. Keterkaitan Ekonomi Interregional ; Kajian Empiris Keterkaitan Pulau Sulawesi, Jawa Timur, dan Kalimantan Timur. Dibimbing oleh SETIA HADI, NOER AZAM ACHSANI dan AKHMAD FAUZI.

Masalah ketidakmerataan pembangunan antar wilayah Pulau Sulawesi dengan Jawa Timur dan Kalimantan Timur menjadi poin utama dalam penelitian ini. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis pola keterkaitan ekonomi antar wilayah Pulau Sulawesi (Sulawesi Lain), Sulawesi Selatan, Jawa Timur dan Kalimantan Timur, menganalisis dampak Spillover dan Feedback antar wilayah, menganalisis nilai tambah dan aliran nilai tambah (upah, pajak dan surplus usaha) di suatu wilayah dan merumuskan kebijakan pembangunan antar wilayah. Lokasi penelitian di Wilayah Sulawesi Lain (Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara), Sulawesi Selatan (Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat), Jawa Timur dan Kalimantan Timur. Data yang digunakan adalah Data IRIO Tahun 2005, selanjutnya data tersebut diprediksi ke Tahun 2011 dengan menggunakan teknik RAS.

Hasil analisis menunjukkan bahwa keterkaitan (hubungan) ekonomi Sulawesi Lain Kalimantan Timur dan Sulawesi Selatan terhadap Jawa Timur relatif tinggi. Hubungan ekonomi tersebut relatif lebih banyak memberikan manfaat ekonomi kepada wilayah Jawa Timur. Wilayah Jawa Timur memberikan pengaruh spillover yang kecil terhadap seluruh wilayah tetapi memperoleh pengaruh feedback yang lebih besar. Wilayah Kalimantan Timur memberikan pengaruh spillover yang lebih besar dibandingkan dengan wilayah Jawa Timur (seperti halnya dengan wilayah Sulawesi Selatan dan Sulawesi Lain).

Wilayah Sulawesi Selatan dianggap mampu menjadi jembatan ekonomi terhadap wilayah lain karena memberikan pengaruh spillover yang paling besar terhadap total wilayah. Peran Sulawesi Selatan sebagai jembatan ekonomi dalam rangka mendorong pemerataan pembangunan ekonomi wilayah dan memperkuat keterkaitan ekonomi antar Sulawesi Selatan dengan wilayah Sulawesi Lain, Kalimantan Timur serta Kawasan Timur Indonesia.

Pergerakan arus modal diharapkan mampu meningkatkan investasi pemerintah (melalui Dana Alokasi Khusus), investasi swasta serta ekspor hingga 100%. Sektor primer ditingkatkan outputnya untuk menjadi input antara industri makanan dan minuman, industri pengolahan hasil laut, industri tekstil serta industri kayu dan rotan. Skenario kebijakan wilayah Sulawesi Lain sama dengan Sulawesi Selatan. Skenario kebijakan wilayah Jawa Timur lebih difokuskan pada investasi industri manufaktur.

(2)

keterkaitan sektor (hilirisasi industri) pertambangan (Kaltim), perkebunan (Sulsel), industri besi (Sulain) di dalam dan antar wilayah Kalimantan Timur dan (6) memperkuat ekonomi wilayah dari interregionalLinkage menuju Interregional Partnership

(3)

RINGKASAN

FARIDA. Analisis Kinerja Kredit Usaha Mikro dan Dampaknya Terhadap Pendapatan Usaha Mikro di Kabupaten Pati Jawa Tengah. Dibimbing oleh HERMANTO SIREGAR, NUNUNG NURYARTONO, EKA INTAN KUMALA PUTRI.

Program kredit usaha rakyat (KUR) digulirkan oleh pemerintah dalam rangka mengentaskan kemiskinan melalui pemberdayaan usaha mikro. Jenis pembiayaan ini formal yang disalurkan melalui bank-bank pelaksana yang ditunjuk oleh pemerintah. Banyak rumah tangga usaha mikro yang belum tersentuh oleh pembiayaan KUR ini. Sebelumnya banyak skim kredit telah digulirkan juga, namun banyak yang mengalami kendala karena tidak tepat sasaran, banyaknya kebocoran kredit maupun gagal bayar. Sehingga banyak skim kredit tidak bisa berlanjut. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mendorong rumah tangga usaha mikro untuk mengakses KUR, menganalisis faktor-faktor dalam pembayaran kembali KUR, menganalisis dampak KUR terhadap pendapatan rumah tangga usaha mikro, menganalisis efisiensi penyaluran KUR dan keberlangsungan program KUR.

Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Margorejo dan Kecamatan Dukuhseti, Kabupaten Pati Jawa Tengah dari bulan Mei sampai Agustus 2014. Sumber data primer dengan pemilihan sampel yang diambil secara purposive untuk rumah tangga usaha mikro. Total responden yang menjadi sampel sebanyak 332 rumah tangga yang terdiri dari 155 rumah tangga usaha dengan KUR dan 177 rumah tangga tanpa menggunakan KUR. Metode analisis yang digunakan adalah regresi logistik, propensity score matching, dan data envelopment analysis.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi rumah tangga usaha mikro untuk mengakses KUR adalah usaha baru yang dijalankan oleh laki-laki yang menghadapi kesulitan modal, memiliki rekening di bank dan tidak memiiki sumber pinjaman lain akan lebih besar peluangnya untuk mengakses KUR. Faktor-faktor yang mendorong dalam pengembalian pinjaman KUR adalah jenis usaha pengolahan, meningkatnya modal kerja, meningkatnya pengeluaran makanan, memiliki sumber pinjaman lain, dan tidak dikenakan agunan saat pinjam akan memberikan peluang lebih besar untuk tidak membayar pinjaman. Sedangkan adanya pekerjaan sampingan, adanya agunan BPKB, screening awal yang ketat akan mendorong rumah tangga usaha mikro untuk membayar kembali KUR. Ternyata KUR memberikan dampak pada peningkatan keuntungan dan total pendapatan, berkurangnya share pengeluaran untuk makanan, meningkatnya jumlah pekerja dan meningkatnya kepemilikan aset. Keberlangsungan program dilihat dari dua sisi, yaitu nasabah memperoleh manfaat atau dampak adanya program KUR, dan dari sisi penyalur KUR, mampu menguntungkan, efisien dan Non Performance Loannya rendah.

(4)

RINGKASAN

MANGASA AUGUSTINUS SIPAHUTAR. Keterkaitan Kredit dan Kelembagaan Perbankan Indonesia pada Perekonomian Nasional dan Regional. Dibimbing oleh RINA OKTAVIANI, HERMANTO SIREGAR dan BAMBANG JUANDA

Kredit perbankan Indonesia merupakan growth accelerating factor pada perekonomian nasional melalui sektor riil sebagai transmission channel. Terdapat bi-direction causality antara kredit perbankan dengan pertumbuhan ekonomi nasional, yaitu bahwa kredit perbankan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi berpengaruh terhadap credit depth. Kredit perbankan memberikan kontribusi 6,5% pada keragaman pertumbuhan ekonomi. Kredit perbankan berperan sebagai source of economic growth dan akselerator pada pertumbuhan ekonomi Indonesia. Lebih lanjut, kredit perbankan berpengaruh positip mereduksi pengangguran dan kemiskinan. Hal ini berarti bahwa dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, maka pada proses perencanaan pembangunan nasional, kredit perbankan adalah endogenous variable.

Inflasi, BI rate dan funds rate merupakan faktor penting yang harus dikendalikan agar kredit perbankan berperan sebagai stimulus perekonomian. Terdapat bi-direction causality antara credit depth dengan inflasi, antara credit depth dengan BI rate, dan antara credit depth dengan funds rate. Lebih lanjut, terdapat trade-off antara credit depth dengan inflasi, antara credit depth dengan BI rate, dan antara credit depth dengan funds rate. Bersama dengan NPL, inflasi, BI rate dan funds rate merupakan faktor kendala pada maksimisasi credit depth.

Berdasarkan penggunaan kredit, pengaruh yang nyata adalah pada kredit investasi dan konsumsi. Kredit investasi berpengaruh positif dan mampu menurunkan pengangguran sedangkan kredit konsumsi berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Pada tingkat pendapatan tetap, kredit konsumsi menurunkan propensity to consume dan propensity to save secara bersamaan dan berpengaruh negatif pada pertumbuhan ekonomi. Kredit konsumsi tidak bersifat sebagai multiplier effect pada pertumbuhan ekonomi. Meskipun kredit modal kerja tidak berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi tetapi kredit modal kerja berperan untuk memelihara tingkat likiditas korporat.

Berdasarkan sektor ekonomi kredit, pertumbuhan ekonomi tidak tergantung pada credit depth tetapi pada komposisi kredit berdasarkan sektor ekonomi terhadap total kredit perbankan. Pengaruh kredit ke sektor pertanian, perindustrian, perdagangan dan jasa terhadap total kredit perbankan adalah signifikan, sedangkan kredit ke sektor pertambangan tidak signifikan. Meskipun kredit ke sektor pertanian signifikan, tetapi pengaruhnya negatif. Lebih lanjut, pengaruh sektor ekonomi GDP (terutama yang bersifat produktif) terhadap pertumbuhan ekonomi perkapita adalah positif dan signifikan. Hal ini berimplikasi bahwa dibutuhkan komposisi kredit sektor pertanian dan pertambangan yang lebih besar agar kontribusinya signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Berhubung kredit investasi berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi maka kredit investasi yang ditujukan pada sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan, pertambangan dan penggalian, industri pengolahan, bangunan, perdagangan, hotel dan restoran, pengangkutan dan komunikasi merupakan sources of economic growth melalui perannya untuk memperbesar capital di sektor-sektor tersebut.

(5)

kredit perbankan yang lebih tinggi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, dan sebaliknya, dibutuhkan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi untuk mendorong kredit perbankan.

Kredit perbankan secara signifikan akan mereduksi tingkat kemiskinan di masing-masing provinsi, tetapi terdapat ketidakpastian hubungan antara credit depth, pertumbuhan ekonomi regional dan kemiskinan di masing-masing provinsi. Beberapa provinsi dengan high credit depth dan pertumbuhan ekonomi sangat cepat ternyata berada pada kategori tingkat kemiskinan yang tinggi. Diperlukan credit depth dan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi terutama pada provinsi dengan kategori tingkat kemiskinan tinggi.

Dalam hal BPD sebagai bank yang dimiliki oleh pemerintah provinsi, kabupaten dan kota, peran BPD pada perekonomian regional masih sangat rendah. Penempatan pada SBI yang tinggi serta BPD yang lebih berorientasi pada kredit konsumsi mengindikasikan bahwa BPD kurang memiliki kemampuan untuk melakukan peran intermediasi serta kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi regional masih rendah. Dalam kerangka pertumbuhan ekonomi regional, BPD seharusnya mendorong kredit investasi agar menghasilkan pertumbuhan ekonomi dan akhirnya berpengaruh positif untuk mereduksi pengangguran dan kemiskinan.

Perbankan Indonesia menghadapi situasi ketatnya kompetisi dalam hal penghimpunan DPK dalam bentuk perang suku bunga yang menjadikan cost of loanable funds meningkat dan berdampak pada tingginya suku bunga kredit. Situasi yang terjadi di perbankan ini mengindikasikan bahwa transmission mechanism melalui credit channel dibatasi oleh kinerja perbankan itu sendiri atau didefinisikan sebagai bank view. Di samping itu, karena faktor NPL menjadi prioritas perbankan maka faktor balance sheet channel tetap menjadi bagian yang tidak terpisahkan bagi perbankan untuk menjalankan perannya pada monetary transmission mechanism. Oleh karena itu, faktor kesehatan bank dan balance sheet channel menjadi elemen penting pada bank view.

Terdapat trade-off antara peran otoritas moneter BI terhadap perannya sebagai pengendali moneter dalam kerangka stabilitas nilai mata uang, stabilitas harga dan inflasi dengan bank view merupakan faktor penghambat efektifitas dari setiap kebijakan moneter. Sebagai fungsi utama untuk stabilitas nilai tukar untuk mendukung pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat, BI harus memiliki kewenangan secara mandatory kepada perbankan untuk secara simultan mengimplementasikan kebijakan moneter di tatanan operasional sebagai credit channel.

(6)

RINGKASAN

NOVITA ERLINDA. Pembangunan Wilayah Berkelanjutan di Provinsi Jambi dan Implikasi Model JAMRUD. Dibimbing oleh AKHMAD FAUZI (Ketua), SLAMET SUTOMO (Anggota), dan EKA INTAN KUMALA PUTRI (Anggota)

Pembangunan berkelanjutan telah menjadi konsen nasional dan wilayah. Pencapaian pembangunan yang seimbang antara aspek ekonomi, sosial dan lingkungan telah menjadi perhatian pengambil kebijakan yakni bagaimana mencapai pembangunan berkelanjutan tersebut secara terukur dan layak. Belakangan konsern pembangunan berkelanjutan juga telah bergeser dari sekeder konsern global atau internasional ke lebih lokal atau regional (Giaoutzi dan Nijkamp 1993, Nijkamp dan Vreeker 2000, Clement, Hansen, dan Bradley 2003, Patterson dan Theobold 1995). Nijkamp dan Vreeker (2000) menyatakan bahwa pergeseran ini diperkuat dengan fakta bahwa wilayah lebih memiliki demarkasi yang jelas sehingga pengukuran empiris pembangunan berkelanjutan lebih mudah dilakukan dan lebih relevan pada tinggat wilayah.

Perhatian pada integrasi pembanguann berkelanjutan pada tingkat regional telah memicu perkembangan kaidah pembangunan yang disebut sebagai Sustainable Regional Development atau SRD. Dengan demikian SRD pada prinsipnya adalah sebuah konsep yang mengintegrasikan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan ke dalam praktek pengembangan wilayah (Clement et al. 2003). Clement et al (2003) lebih jauh menyatakan bahwa SRD melibatkan berbagai aktivitas dan instrumen yang mendukung pembangunan berkelanjutan di tingkat wilayah. Sehingga integrasi pembangunan berkelanjutan ke pembangunan wilayah merupakan unsur yang penting dalam pembangunan wilayah secara keseluruhan. Schleicher-Tappeser and Lukesch (1999), menyatakan bahwa pembangunan wilayah bukanlah konsep singular yakni bukan hanya mementingkan aspek spasial semata, namun juga kebutuhan akan penilaian kualitatif dan kuantitatif dalam pembangunan wilayah. Dengan demikian SRD mengacu pada aspek konsep dan instrumen integrasi pembangunan (Haughton dan Councel 2004).

Situasi seperti ini dihadapi oleh Provinsi Jambi saat ini. Dengan penduduk lebih kurang 3 juta jiwa dan sebagian besar wilayahnya adalah wilayah konservasi, Provinsi Jambi memiliki target pembangunan yang cukup ambisius melalui agenda JAMBI EMAS (Ekonomi Maju Adil dan Sejahtera) dengan target pertumbuhan ekonomi sekitar 8% per tahun. Namun dalam agenda pembangunan ini, konsern lingkungan dan aspek pembangunan berkelanjutan belum sepenuhnya diakomodasi dalam agenda pembangunan. Jambi EMAS sendiri sudah berakhir pada tahun 2015 dan pada awal 2016, agenda pembangunan Jambi menuju pembangunan baru dengan pemerintahan yang baru. Dengan demikian menjadi penting dalam konteks ini bukan hanya untuk mengevaluasi pembangunan berkelanjutan yang sudah berjalan namun juga bagaimana menawarkan skenario pembangunan berkelanjutan di masa mendatang.

(7)

lingkungan. Ketiga belas indikator ini kemudian dievaluasi melalui tiga rejim pembangunan berkelanjutan yakni strong, moderate dan weak serta empat skenario kebijakan pembanguann yakni Business as Ususal (BAU), Peningkatan Daya Saing (PDS), Memanfaatkan Sumber Daya Lokal (MSDL), dan pengembangan Ekonomi Non-Ekstraktif (ENE).

Hasil studi menunjukkan bawah pembangunan di Provinsi Jambi dengan skenario business as usual cenderung tidak akan berkelanjutan baik dengan menggunakan basis data perencanaan maupun basis data capaian pembangunan saat ini. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya frekuensi bendera kuning dan merah, bahkan hitam pada skenario BAU. Pembangunan berkelanjutan dengan banyaknya bendera hijau dicapai pada skenario strong progression yang mengindikasikan kuatnya pengendalian lingkungan. Hasil ini juga diperkuat dengan hasil analisis IDM yang menunjukkan bahwa skenario BAU cenderung memiliki risiko yang lebih tinggi, sementara risiko yang lebih kecil akan diperoleh pada skenario pembangunan dengan MSDL dan ENE. Hasil analisis tornado pada IDM juga menunjukkan bahwa beberapa variabel seperti pertumbuhan ekonomi, lahan kritis, hot spot dan kemiskinan cenderung mempengaruhi cukup penting bagi capaian pembangunan berkelanjutan di Provinsi Jambi.

Penelitian ini menawarkan paradigma pembangunan baru bagi pembangunan berkelanjutan di Provinsi Jambi dengan menawarkan model pembangunan yang disebut sebagai model JAMRUD (Jambi Regional sUstainable Development). Paradigma pembangunan ini didasarkan pada pertumbuhan inklusif yang bersifat pro poor dan sektor yang lebih luas serta didukung oleh basis ekonomi hijau. Studi ini menawarkan pula beberapa strategi pembangunan dengan model JAMRUD untuk mendukung skenario pembangunan PDS, MSDL dan ENE. Beberapa diantara skenario tersebut antara lain pengembangan skema Pembayaran Jasa Lingkungan (PJL), penguatan UMKM yang mendorong pengembangan sumber daya lokal dan ekonomi non-ekstraktif, pengembangan eko-wisata. Selain itu di sektor primer perlu juga dikembangkan pertanian yang berkelanjutan, pengembangan solidarity alternative dan berbagai kebijakan yang didasarkan pada pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. Paradigma pembangunan yang ditawarakan dari hasil studi ini juga sejalan dengan beberapa agenda pembangunan yang ditawarkan oleh pemerintah baru Provinsi Jambi yakni Jambi TUNTAS, dan juga mendukung beberapa tujuan dari agenda global terkait dengan Sustainable Development Goals (SDGs).

(8)

RINGKASAN

WERENFRIDUS TAENA. Kelembagaan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Wilayah Perbatasan Negara yang Adaptif terhadap Perubahan Iklim dalam Pembangunan Berkelanjutan (Kasus: Daerah Aliran Sungai Tono di Pulau Timor). Dibimbing oleh LALA M. KOLOPAKING, BAMBANG JUANDA, BABA BARUS, RIZALDI BOER.

Penelitian ini bertujuan untuk: (i) analisis hubungan antara pembangunan wilayah perbatasan dengan perubahan penggunaan lahan, (ii) analisis pengaruh perubahan penggunaan lahan dan perubahan iklim terhadap banjir dan kekeringan, dan dampaknya terhadap produksi dan efisiensi usahatani tanaman pangan, (iii) evaluasi kelembagaan pengelolaan DAS wilayah perbatasan Indonesia dan Timor Leste, dan (iv) disain kelembagaan pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara Indonesia dan Timor Leste yang adaptif terhadap perubahan iklim.

Metode analisis menggunakan analisis multivariat untuk analisis hubungan pembangunan dengan penggunaan lahan, dan spatial durbin model untuk analisis ketergantungan spatial pendapatan petani. Metode logit untuk analisis peluang banjir dan kekeringan. Analisis multivariat juga digunakan untuk analisis dampak banjir dan kekeringan terhadap produksi usahatani tumpangsari, dan analisis regresi berganda untuk analisis produksi usahatani monokultur, serta analisis frontier untuk evaluasi efisiensi ekonomi usahatani. Selanjutnya pembobotan faktor internal dan faktor eksternal untuk evaluasi kelembagaan pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara, dan analisis hirarki proses untuk menentukan model pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara.

Hasil analisis multivariat menunjukkan peningkatan jumlah penduduk dan kemudahan akses meningkatkan konversi lahan konservasi menjadi lahan budidaya (pemukiman, pertanian lahan kering campur, sawah), sedangkan spatial durbin model menunjukkan peningkatan pendapatan petani pada hulu menyebabkan penurunan pendapatan petani di hilir. Peningkatan luas pertanian lahan kering campur, dan akumulasinya dengan peningkatan temperatur bulanan dan penurunan curah hujan bulanan menyebabkan peluang kekeringan makin tinggi. Analisis logit juga menunjukkan peningkatan curah hujan bulanan dan pertanian lahan kering campur, serta penurunan luas hutan dan sawah meningkatkan peluang banjir di DAS Tono. Dampaknya terjadi penurunan produksi dan efisiensi ekonomi usahatani tanaman pangan. Analisis frontier menunjukkan rendahnya efisiensi ekonomi usahatani, yakni 0,36 untuk usahatani lahan basah dan 0,30 untuk usahatani lahan kering (standar efisiensi ≥0.8).

Kurang koordinasinya kelembagaan pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara (masyarakat, unilateral dan bilateral) menjadi akar penyebabnya. Hasil pembobotan faktor internal dan eksternal berada pada kuadran III, yang berarti dibutuhkan rekonstruksi kelembagaan pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara. Kelembagaan ini sebagai bentuk adaptasi terhadap perubahan penggunaan lahan dan perubahan iklim. Kelembagaan ini akan mewujudkan pembangunan berkelanjutan dalam bentuk road map yakni: perjanjian kerjasama, forum DAS, dan badan pengelola DAS.

(9)

RINGKASAN

WIDHIANTHINI. Pengendalian Konversi Lahan Pertanian di Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali: Analisis Kelembagaan Subak dan Pakraman. Dibimbing oleh ARYA HADI DHARMAWAN, NOER AZAM ACHSANI dan SETIA HADI.

Konversi lahan pertanian tidak terlepas dari situasi ekonomi secara keseluruhan. Situasi ekonomi yang menguntungkan di suatu wilayah selanjutnya akan mendorong terjadinya proses migrasi penduduk ke wilayah tersebut sehingga akan berdampak pada pergeseran lahan pertanian ke penggunaan lainnya. Penyebab pertama, kebijakan yang kontradiktif terjadi karena di satu pihak pemerintah berupaya melarang terjadinya alih fungsi, tetapi di sisi lain kebijakan pertumbuhan industri atau manufaktur dan sektor non pertanian lainnya justru mendorong terjadinya alih fungsi lahan-lahan pertanian. Penyebab kedua, cakupan kebijakan yang terbatas. Peraturan-peraturan tersebut di atas baru dikenakan terhadap perusahaan-perusahaan atau badan hukum yang akan menggunakan tanah atau akan merubah tanah pertanian ke non pertanian. Perubahan penggunaan tanah sawah ke non pertanian yang dilakukan secara individual/peorangan belum tersentuh oleh peraturan-peraturan tersebut, di sisi lain perubahan fungsi lahan yang dilakukan secara individual secara langsung diperkirakan cukup luas. Dalam kenyataannya, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) justru merencanakan untuk mengkonversi tanah sawah beririgasi teknis menjadi non pertanian.

Kelemahan lain penyebab konversi lahan pertanian adalah lemahnya peraturan perundangan yang ada, yaitu: (1) Objek lahan pertanian yang dilindungi dari proses konversi ditetapkan berdasarkan kondisi fisik lahan, padahal kondisi fisik lahan relatif mudah direkayasa, sehingga konversi lahan dapat berlangsung tanpa melanggar peraturan yang berlaku; (2) Peraturan yang ada cenderung bersifat himbauan dan tidak dilengkapi sanksi yang jelas, baik besarnya sanksi maupun penentuan pihak yang dikenai sanksi; (3) Jika terjadi konversi lahan pertanian yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku sulit ditelusuri lembaga yang paling bertanggung jawab untuk menindak karena ijin konversi adalah keputusan kolektif berbagai instansi.

Pembangunan yang mendominasikan pariwisata sebagai basis pertumbuhan akan menghadapi masalah bagi masyarakat lokal. Secara evolutif, hubungan antara wisatawan dengan masyarakat lokal menyebabkan terjadinya proses komersialisasi dari keramahtamahan masyarakat lokal. Pada awalnya wisatawan dipandang sebagai 'tamu' dalam pengertian tradisional, yang disambut dengan keramahtamahan tanpa motif ekonomi. Dengan semakin bertambahnya jumlah wisatawan, maka hubungan berubah terjadi atas dasar pembayaran, yang tidak lain daripada proses komersialisasi, dimana masyarakat lokal sudah mulai agresif terhadap wisatawan, mengarah kepada eksploitasi dalam setiap interaksi, tanpa mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang.

(10)

subak melalui “proses individualisasi penguasaan tanah” menyebabkan laju konversi lahan pertanian dari peruntukan pangan ke non pangan (turisme) meluncur dengan hebat.

Terkait dengan uraian permasalahan di atas, penelitian ini memiliki tiga tujuan, yaitu: (1) mengetahui peran stakeholder dan kelembagaan lokal dalam mencegah konversi lahan pertanian; (2) merumuskan model pengendalian konversi lahan pertanian yang berbasis kelembagaan lokal subak dan desa pakraman; dan (3) merumuskan arahan kebijakan bagi pemerintah daerah dan kelembagaan lokal subak dan desa pakraman dalam mengendalikan konversi lahan pertanian. Ketiga tujuan tersebut menggunakan berbagai data yang berasal dari pemerintah daerah, kelembagaan lokal (subak, desa pakraman), dan sumber data lainnya.

Tujuan pertama penelitian dijawab dengan menggunakan analisis stakeholder. Analisis ini dilakukan dengan menganalisis tugas pokok dan fungsi (tupoksi) masing-masing stakeholder dan kelembagaan subak serta desa pakraman ke dalam matriks. Tujuan kedua dan ketiga dijawab dengan menggunakan sistem dinamik. Sistem dinamik pada dasarnya menggunakan hubungan-hubungan sebab-akibat (causal) dalam menyusun model suatu sistem yang kompleks, sebagai dasar dalam mengenali dan memahami tingkah laku dinamis sistem tersebut.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Terdapat dua kekuatan stakeholder yang berpengaruh terhadap laju konversi lahan pertanian, yaitu: (a) pemerintah daerah dan swasta yang sangat pro konversi lahan; (b) pemerintah desa pakraman dan subak yang anti konversi lahan. Selama ini pemerintah daerah dan swasta adalah pihak yang paling dominan dalam menentukan pemanfaatan ruang sehingga sangat pro konversi lahan. Agar terjadi keseimbangan antara pihak yang pro dengan yang anti konversi lahan, maka pemerintah desa pakraman dan kelembagaan lokal subak harus diikutsertakan dalam perencanaan pemanfaatan ruang. Proposal ini meniscayakan apa yang kemudian dikonseptualisasikan sebagai “duality of land governance”. Upaya pencegahan konversi lahan pertanian akan maksimal apabila mengikutsertakan kelembagaan subak di dalam pengambilan keputusan investasi oleh semua stakeholder mulai dari perencanaan hingga evaluasi; (2) Kelembagaan lokal subak dan desa pakraman berpengaruh signifikan dalam mengendalikan konversi lahan melalui efektivitas bekerjanya awig-awig; (3) Untuk menahan laju konversi lahan pertanian ke peruntukan lain, maka diusulkan implementasi skenario I. Skenario ini berintikan gagasan model pengendalian konversi lahan pertanian yang diarahkan pada pengurangan akses jalan umum yang menuju lahan sawah, peningkatan bantuan pemerintah terhadap desa (desa wisata), serta dukungan sarana prasarana untuk kelembagaan lokal subak dan desa pakraman.

Referensi

Dokumen terkait

Surat balasan resmi dari instansi seyogyanya dan sebaiknya menuliskan informasi tentang nama kegiatan yang akan dilakukan mahasiswa pada saat KP serta waktu dimulai dan

Jadi, berdasarkan uraian di atas, penelitian ini merupakan penelitian yang datanya berupa kata-kata atau ujaran seperti apa adanya dari penutur untuk menjaring medan makna verba

Allah adalah pemilik mutlak, sedangkan manusia memegang hak milik relative. Artinya, manusia hanyalah sebagai penerima titipan, pemegang amanah yang harus

Dari Tabel 2 clan Gambar 4, dapat dilihat untuk batas laju dosis maksimum yang diijinkan 2,5 mren1/jam (laju batas dosis yang berlaku untuk pekerja radiasi pada

Hasil penelitian menunjukkan: (1) ada perbedaan penggunaan metode Make A Match dan metode Snowball Throwing terhadap hasil belajar sosiologi siswa kelas XI IPS

Dalam pengembangan usaha, sangat membutuhkan suatu pandangan ke depan (visi), motivasi dan tentu saja sebuah kreativitas (misi), jika ini dilakukan oleh setiap pelaku usaha ,

Apabila kita tertarik untuk melakukan pembelian barang atau melakukan transaksi secara angsuran tentu saja harus mengikuti prosedur yang telah ditetapkan oleh masing- masing

Dengan pengembangan yang lebih terfokus di masing-masing satuan unit lahan tersebut, maka akan diperoleh gambaran tentang jenis-jenis tanaman yang dominan