• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. cepat membawa dampak baik yang bersifat positif maupun negatif. Era globalisasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. cepat membawa dampak baik yang bersifat positif maupun negatif. Era globalisasi"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan ekonomi global dan kemajuan teknologi yang sedemikian cepat membawa dampak baik yang bersifat positif maupun negatif. Era globalisasi sekarang ini, telah menciptakan pesatnya laju daya saing usaha yang begitu ketat. Lingkungan usaha yang sangat kompetitif ini membuat perusahaan lebih mengutamakan tuntutan pasar yang menginginkan pelayanan dan respon yang cepat dan flexibel dalam peningkatan pelayanan terhadap pelanggan.1 Pelaku usaha dituntut untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan pasar dengan jalan menggerakkan roda perusahaan seefektif mungkin agar tidak kalah bersaing dengan para kompetitornya.

Dalam iklim persaingan perusahaan yang ketat ini, perusahaan berusaha untuk melakukan efisiensi dalam biaya produksi (cost of production). Salah satu solusinya adalah dengan menggunakan sistem outsourcing, dimana dengan sistem ini perusahaan dapat menghemat pengeluaran dalam membiayai sumber daya manusia (SDM) yang bekerja di perusahaan bersangkutan. Strategi outsourcing merupakan salah satu bentuk fleksibilitas yang patut dipertimbangkan bagi kalangan pelaku usaha. Berbagai manfaat dan strategi ini membuat perkembangan outsourcing semakin meluas, tidak hanya pada jumlah transaksi yang terjadi melainkan juga aktivitas yang dilakukan.

1

Richardus Eko Indrajit, dan Richardus Djokopranoto, 2003, Proses Bisnis Outsourcing, Grasindo, Jakarta, hlm. 1

(2)

Outsourcing adalah pemindahan atau pendelegasian beberapa proses bisnis kepada suatu badan penyedia jasa, dimana badan penyedia jasa tersebut melakukan proses administrasi dan manajemen berdasarkan definisi serta kriteria yang telah disepakati para pihak.2 Outsourcing merupakan proses pemindahan tanggung jawab tenaga kerja dari perusahaan induk ke perusahaan lain diluar perusahaan induk. Outsourcing dalam regulasi ketenagakerjaan biasanya hanya mencakup tenaga kerja pada proses pendukung (none busines unit).

Pengaturan outsourcing di Indonesia, diakomodir dalam ketentuan Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 Undang-Undang Negera Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Tahun 2003 No. 39, Tambahan Lembaran Negara No. 4279). Dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan dibedakan mekanisme penyerahan sebagaian pekerjaan kepada perusahaan lain dengan dua cara. Pertama, dengan pemborongan pekerjaan dan kedua lewat penyedia jasa pekerja/buruh yang lebih dikenal dengan outsourcing.

Pasca dilegalkanya sistem outsourcing menuai kontroversi, puncak dari berbagai reaksi tersebut adalah ketika Didi Suprijadi yang merupakan pekerja pada Aliansi Petugas Pembaca Meter Listrik Indonesia (AP2ML) mengajukan permohonan uji materiil terhadap Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ke Mahkamah Konstitusi. Permohonan uji materiil yang diajukan oleh Didi Suprijadi tersebut dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi dengan mengeluarkan putusan Nomor 27/PUU-IX/2011 pada tanggal 17 Januari 2012 yang pada intinya menyatakan bahwa pekerja yang melaksanakan pekerjaan pada perusahaan outsourcing tidak boleh kehilangan hak-haknya yang dilindungi

2

Tunggal Iman Sjahputra, 2009, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan, Harvindo, Jakarta, hlm. 308

(3)

konstitusi. Terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PUU-XI/2011, kemudian diikuti oleh keluarnya Surat Edaran oleh Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans). Surat Edaran Nomor B.13/PHIJSK/I/2011 tanggal 17 Januari 2012, dikeluarkan dalam rangka menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi untuk menghimbau para pihak terkait dalam pelaksanaan sistem outsourcing serta mengatur dengan lebih tepat lagi mekanisme outsourcing yang selama ini berjalan.

Selang beberapa waktu sejak lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PUU-XI/2011, terhitung sejak tanggal 19 November 2012, Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No. 19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagai Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain, telah berlaku. Permenaker tersebut lebih dikenal sebagai Permenaker Outsourcing karena mengatur secara khusus mengenai pelaksanaan outsourcing di Indonesia.

Dengan lahirnya Permenaker Outsourcing ini, maka Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Kep. 101/Men/VI/2004 tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Kep. 220/Men/X/2004 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain sudah tidak berlaku lagi, sehingga segala ketentuan mengenai outsourcing saat ini selain mengacu pada Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juga berpedoman kepada Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No. 19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain.

(4)

Dalam hal substansi, Permenaker No. 19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain, mengubah pengaturan soal syarat dan tata cara penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain yang telah diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Kep. 101/Men/VI/2004 tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Kep. 220Men/X/2004 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain. Secara umum, Permenaker No. 19 Tahun 2012 ini lebih memperketat keberadaan perusahaan outsourcing. Salah satu pengaturan yang dirubah adalah terkait syarat bentuk badan hukum perusahaan outsourcing.

Dengan status badan hukum ini, suatu perusahaan menjadi subjek hukum yang mempunyai hak dan kewajiban untuk melakukan tindakan hukum. “Disamping manusia pribadi sebagai pembawa hak, terdapat badan-badan yang oleh hukum diberi status “persoon” yang mempunyai hak dan kewajiban seperti manusia yang disebut badan hukum. Dengan berdasar pada hal ini, maka dibuatlah ketentuan syarat berstatus badan hukum bagi perusahaan yang bergerak di bidang outsourcing selain juga untuk memberikan kepastian hukum dalam perlindungan terhadap hak-hak dasar pekerja/buruh outsourcing.

Dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Kep. 101/Men/VI/2004 tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh menyatakan Perseroan Terbatas (PT) dan Koperasi yang dapat dipilih untuk digunakan dalam bentuk badan hukum perusahaan penyediaan jasa pekerja/buruh, tidaklah demikian pengaturan dalam Permenaker No. 19 Tahun

(5)

2012. Terkait bentuk perusahaan penyediaan jasa pekerja/buruh, dinyatakan jelas dalam Pasal 24, yang hanya membolehkan perusahaan berbentuk Perseroan Terbatas (PT) dan untuk Koperasi boleh jadi tidak layak menjadi pelaku outsourcing. Dalam Pasal 66 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyatakan juga dengan tegas bahwa perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum.

Sama halnya dengan jenis outsourcing pemborongan pekerjaan, yang mana dalam Kepmenakertrans No. 220/MEN/X/2004 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain Pasal 3 mengatur bahwa perusahaan pemborongan pekerjaan harus berbadan hukum, namun masih dalam pasal yang sama diatur mengenai pengecualian akan syarat berbadan hukum. Artinya, untuk perusahaan pemborongan pekerjaan dimungkinkan perusahaan berbentuk bukan badan hukum, sehingga dapat didirikan dengan bentuk perusahaan perseorangan, Persekutuan Komanditer (CV), Firma.

Berbeda dengan Permenakertrans No. 19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain telah mempertegas pengaturan akan bentuk perusahaan outsourcing jenis pemborongan pekerjaan. Pasal 12 huruf a menegaskan bahwa perusahaan pemborongan pekerjaan harus berbentuk badan hukum. Berbeda dengan pengaturan untuk perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang hanya membolehkan Perseroan Terbatas, untuk perusahaan pemborongan pekerjaan, badan hukum meliputi Perseroan Terbatas, Koperasi dan Yayasan.

(6)

Perusahaan/badan usaha yang memiliki status sebagai perusahaan berbadan hukum adalah Perseroan terbatas (PT), Yayasan dan Koperasi sementara bagi perusahaan non badan hukum adalah perusahaan perseorangan, Firma dan CV (Persekutuan Komanditer).3 Berdasarkan pada ketentuan pada Permenaker No. 19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain untuk perusahaan perseorangan, Firma dan CV (Persekutuan Komanditer) secara institusional tidak memiliki kewenangan dan kemampuan untuk bertindak sebagai subjek hukum dalam kegiatan bisnis outsourcing.

Khusus mengenai kewenangan dan kemampuan perusahaan outsourcing (vendor) untuk menjalankan bisnisnya diatur dan dibatasi oleh Pasal 65 ayat (3) dan Pasal 66 ayat (3) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Ketentuan diatas menetapkan bahwa perusahaan yang dapat melakukan outsourcing adalah perusahaan yang berbadan hukum. Bagi perusahan penyedia jasa pekerja/buruh, legalitas operasionalnya disamping harus berbadan hukum juga harus mendapatkan izin operasional dari instansi yang bertanggung jawab, selain untuk pengawasan atas pemenuhan syarat-syarat yang ditentukan, juga untuk memenuhi tertib administrasi/pendataan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.

Latar belakang penetapan syarat berstatus badan hukum untuk perusahaan outsourcing ini adalah agar perusahaan-perusahaan outsourcing tidak terlalu mudah melepaskan tanggung jawab dan kewajibanya terhadap pihak

3

Ridwan Khairandy, Machsun Tabroni, Ery Arifudding & Djohari Santoso, 1999, Pengantar Hukum Dagan Indoneisa, Gama Media, Yogyakarta, hlm. 9

(7)

pekerja/buruh maupun pihak ketiga lainnya. Dengan demikian, hak-hak pekerja/buruh sebagai pihak yang lemah dan memiliki posisi tawar yang rendah dibandingkan pihak perusahaan dapat dilindungi, sehingga apa yang telah pekerja/buruh kerjakan terbayar impas.4

Dalam praktek sering dijumpai kesenjangan antara das sollen (keharusan) dan das sein (kenyataan). Kesenjangan antara das sollen dengan das sein ini disebabkan adanya perbedaan pandangan dan prinsip antara kepentingan hukum (perlindungan terhadap pekerja/buruh) dan kepentingan ekonomi (keuntungan perusahaan), sementara hukum menghendaki terpenuhinya hak-hak pekerja/buruh secara maksimal, bagi perusahaan hal tersebut justru dirasakan sebagai suatu rintangan karena akan mengurangi laba atau keuntungan.

Prakteknya telah terjadi pelanggaran atas ketentuan yang telah ditetapkan dalam Permenaker No. 19 Tahun 2012. Perusahaan outsourcing yang belum berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas bagi penyediaan jasa pekerja/buruh dan badan hukum (PT, Koperasi, Yayasan) bagi pemborongan pekerjaan masih ditemukan dalam berbentuk badan usaha misalnya Persekutuan Komanditer (CV). Adanya ketidaksesuaian antara peraturan dan pelaksanaan dalam praktek mengenai syarat berstatus badan hukum untuk perusahaan outsourcing ini membuat penulis ingin mengetahui alasan atau faktor-faktor apa yang melatarbelakangi tindakan para pemilik perusahaan outsourcing masih mempertahankan bentuk perusahaannya sebagai badan usaha (Persekutuan Komanditer).

4

Sehat Damanik, 2006, Outsourcinf dan Perjanjian Kerja menurut UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, DSS Publishing, Jakarta, hlm. 6

(8)

Hal ini pun berimbas pada penerapan aturan yang ada di dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain. Merupakan kewajiban bagi Dinsosnakertrans sebagai perwakilan pemerintah untuk membuat aturan-aturan tersebut menjadi berlaku. Tindakan-tindakan baik preventif maupun represif apa yang harus dilakukan oleh Dinsosnakertrans dalam menerapkan ketentuan berbadan hukum bagi perusahaan outsourcing sehingga dapat terealisasikan dan dipatuhi oleh pihak-pihak yang berkepentingan.

Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai hal tersebut, yang hasilnya ditungkan dalam bentuk penelitian hukum dengan judul Penerapan Ketentuan Perubahan Status Badan Hukum Terhadap Perusahaan Outsourcing Non Badan Hukum (CV) Pasca Permenakertrans Nomor 19 Tahun 2012 Tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain Di Kota Yogyakarta (Studi Kasus Pada CV. Prima Karya).

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan pada bagian sebelumnya, dapat diambil rumusan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana penerapan aturan syarat berbadan hukum bagi perusahaan outsourcing dalam Permenakertrans No. 19 Tahun 2012 di Kota Yogyakarta?

(9)

2. Faktor-faktor apakah yang melatarbelakangi perusahaan outsourcing non badan hukum (CV) tidak melakukan perubahan status menjadi perusahaan badan hukum?

3. Tindakan-tindakan apa yang dilakukan oleh Dinsosnakertrans Kota Yogyakarta terhadap perusahaan outsourcing non badan hukum (CV) yang belum beralih ke badan hukum?

C. Tujuan Penelitian

Terkait masalah yang telah dirumuskan di atas, maka penelitian ini memilik dua tujuan yaitu :

1. Tujuan Objektif

a. Untuk menganalisis dan mengetahui faktor-faktor yang melatarbelakangi perusahaan outsourcing non badan hukum (CV) tidak melakukan perubahan status menjadi perusahaan badan hukum.

b. Untuk menganalisis dan mengetahui penerapan aturan syarat berbadan hukum bagi perusahaan outsourcing dalam Permenakertrans No. 19 Tahun 2012 di Dinsosnakertrans Kota Yogyakarta.

c. Untuk menganalisis dan mengetahui tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Dinsosnakertrans Kota Yogyakarta terhadap perusahaan outsourcing non badan hukum (CV) yang belum beralih ke badan hukum.

2. Tujuan Subjektif

Tujuan subjektif dari penelitian ini adalah untuk memperoleh data-data guna menyusun penulisan hukum sebagai salah satu syarat untuk meraih derajat S-2 di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.

(10)

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah :

1. Manfaat Akademis

a. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu hukum, yaitu hukum ketenagakerjaan sebagai salah satu referensi tambahan yang membahas mengenai pelaksanaan kegiatan outsourcing pasca lahirnya Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No. 19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain.

b. Penelitian ini diharapkan serta dapat memberikan sumbangan pemikiran serta menambah wawasan maupun pengetahuan di bidang hukum ketenagakerjaan, khususnya mengenai konsep pengaturan outsourcing. 2. Manfaat Praktis

a. Menjadi sarana bagi penulis untuk menambah wawasan dan pengalaman dalam bidang penelitian hukum serta mengetahui kemampuan peneliti dalam menerapkan ilmu yang sudah diperoleh.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu memberi masukan kepada semua pihak antara lain perusahaan pemberi kerja, perusahaan outsourcing dan pekerja/buruh terkait dengan permasalahan yang diteliti.

E. Keaslian Penelitian

Sejauh penelusuran yang dilakukan penulis di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, penulisan hukum dengan judul “Penerapan

(11)

Ketentuan Mengenai Perubahan Status Badan Hukum Terhadap Perusahaan Outsourcing Non Badan Hukum (CV) Pasca Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012 Tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain Di Kota Yogyakarta”, belum pernah dilakukan. Namum, penulis menemukan beberapa penulisan hukum yang membahas mengenai outsourcing, antara lain :

1. “Pelaksanaan Perlindungan Hukum Bagi Pekerja di Perusahan Outsourcing Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomr 27/PUU-IX/2011 yang ditulis dalam tesis oleh Hans Benardi pada tahun 2013.5 Penulisan hukum ini lebih pada mengenai perlindungan hukum bagi para pekerja di perusahaan outsourcing, manakala prinsip hubungan kerja yang diatur menurut UU No. 13 Tahun 2003 terjadi pergeseran pasca dikeluarkanya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PUU-IX/2011. Hubungan kerja antara pekerja dengan pengusaha menjadi tidak langusng, melainkan bertingkat. Dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi ini, perlu disikapi dengan segera untuk merivisi aturan-aturan yang mengatur dalam bidang outsourcing, tidak cukup hanya menerbitkan regulasi turunannya seperti Keputusan Menteri atau Peraturan Menteri. Selain mengacu pada Putusan MK juga perlu diselaraskan dengan konvensi yang menjadi acuan internasional yang mengatur ketenagakerjaan yakni ILO (International Labour Organization).

2. “Pelaksanaan Perjanjian Kerja Bagi Pekerja/Buruh Outsourcing Pada PT. Swakarya Insan Mandiri Cabang Yogyakarta Pasca Lahirnya Peraturan

5

Hans Benardi, 2013, “Pelaksanaan Perlindungan Hukum Bagi Pekerja di Perusahan Outsourcing Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomr 27/PUU-IX/2011”, Tesis, UGM, Yogyakarta

(12)

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No. 19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain” yang ditulis dalam skripsi oleh Wini Rahayu pada tahun 2013.6 Penulisan hukum ini lebih menitik beratkan pada konsekunsi yuridis yang timbul akibat lahirnya Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012 terhadap pelaksanaan perjanjian kerja antara pekerja/buruh outsourcing dengan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang menaungi pekerja/buruh outsourcing. Kedua judul hasil penelitian diatas, tidak identik dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis meskipun memiliki tema yang sama yakni mengangkat tema outsoucing. Adapun penelitian yang dilakukan oleh penulis memiliki kekhasan yaitu terletak pada pemberlakukan syarat berbentuk badan hukum bagi perusahaan outsourcing. Penelitian ini memfokuskan pada subjek hukum dari kegiatan outsourcing yakni perusahaan outsourcing non badan.

Dengan demikian penelitian ini dapat dianggap memenuhi kaedah keaslian penelitian dan dapat dinyatakan bahwa penelitian ini merupakan karya orisinil, sehingga dapat dipertanggung jawabkan secara akademik. Apabila ditemukan hasil penelitian yang sama atau hampir sama setelah penelitian ini selesai dilakukan maka diharapkan penelitian tersebut dapat melengkapinya.

6

Wini Rahayu, 2013, “Pelaksanaan Perjanjian Kerja Bagi Pekerja/Buruh Outsourcing Pada PT. Swakarya Insan Mandiri Cabang Yogyakarta Pasca Lahirnya Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No. 19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain”, Skripsi, UGM, Yogyakarta

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai hal-hal bersangkutan, yang hasilnya akan dituangkan dalam bentuk penulisan

Pada dasarnya setiap negara akan menghadapi keterbatasan wilayah, karena setiap negara mempunyai batas-batas geografis yang diakui oleh dunia (Samuelson dan Nordhaus, 1993 dan

Oleh karena itu berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai tingkat kepatuhan wajib pajak dalam membayar Pajak

Kegiatan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM) ini dilaksanakan dengan melalui beberapa tahapan. Tahapan yang akan dilaksanakan dapat dilihat pada diagram alir pada gambar 3.1. Dimana

Perusahaan berupaya menghasilkan produk yang sesuai dengan harapan pelanggan dengan cara memperbaiki dan menemukan proses kerja secara berkesinambungan, dengan kata

Bagian Konverter Teks ke Fonem berfungsi untuk mengubah kalimat masukan dalam suatu bahasa tertentu yang berbentuk teks menjadi rangkaian kode-kode bunyi yang

Hasil penelitian menunjukkan bahwa alasan pasien memilih terapi pijat dalam perawatan stroke di Kecamatan Gunungsitoli adalah faktor psikologis (mean=4,75), faktor manfaat

Peserta didik yang belajar pada tahun terakhir di satuan pendidikan, memiliki rapor lengkap penilaian hasil belajar sampai dengan semester I tahun terakhir, dan atau