DI INDONESIA
MELALUI KATEKESE
S K R I P S I
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik
Oleh: Berliana Aritonang
NIM: 041124022
PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN
KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
iv
Skripsi ini kupersembahkan kepada
semua anggota Kongregasi FCJM di Indonesia
v
”Belajarlah pada-Ku,
karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan.”
vi
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak
memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam
kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 5 Agustus 2008
Penulis
vii
Skripsi ini berjudul UPAYA MENINGKATKAN PENERIMAAN MASA TUA BAGI PARA SUSTER FCJM LANJUT USIA DI INDONESIA MELALUI KATEKESE. Pemilihan judul ini bertitik tolak dari keprihatinan penulis terhadap penerimaan masa tua bagi para suster FCJM lanjut usia di Indonesia. Suatu kenyataan yang tak bisa dipungkiri, semakin tahun jumlah para suster FCJM lanjut usia semakin meningkat, namun banyak di antara mereka kurang menyadari bahwa mereka sudah berada pada taraf umur tersebut. Mereka kurang menerima bahwa dirinya sudah menjadi tua, sehingga kurang siap menerima segala tantangan dan pergulatan yang ada pada umur lanjut usia. Penulis mengamati kenyataan ini terjadi karena kekurang pengetahuan para suster FCJM tentang masa lanjut usia dengan segala kekayaan, makna dan nilainya, tetapi juga melemahnya fisik sehingga mengakibatkan menderita sakit, kurangnya tenaga dan lain sebagainya. Kurangnya kesadaran untuk mempersiapkan masa tua, mengakibatkan para suster FCJM yang lanjut usia tidak berusaha mencari tahu tentang tahap lanjut usia, bahkan seakan-akan mereka mencoba menjauhkan masa lanjut usia dari hidup mereka.
Persoalan pokok dalam skripsi ini adalah bagaimana usaha katekese dalam membantu para suster FCJM lanjut usia di Indonesia untuk menerima masa tuanya sebagai masa yang bermakna dan bernilai. Untuk mengkaji masalah ini, penulis mengamati dan studi pustaka. Pengamatan dapat memperkaya studi pustaka dan diperdalam dengan refleksi sehingga semakin memberikan gagasan- gagasan untuk dapat menemukan upaya dalam membantu para suster FCJM untuk menerima masa tuanya.
Hasil analisa tersebut dipaparkan bahwa katekese merupakan salah satu usaha untuk membantu para suster FCJM lanjut usia dalam menerima masa tuanya. Melalui katekese ini mereka dapat merefleksikan pengalaman hidupnya, khususnya pengalaman pergulatan untuk sampai pada suatu pemaknaan dari setiap pengalaman khususnya pengalaman penderitaan. Katekese membantu para suster FCJM semakin beriman kepada Kristus, dengan demikian dapat menerima penderitaan dan sakit dengan merasakan bahwa kasih Tuhan bekerja melalui pengalaman tersebut. Untuk
sampai pada pemaknaan tersebut katekese model shared christian praxis sebagai
viii
This paper is entitled “AN EFFORT TO INCREASE AN
ACCEPTATION OF THE OLD AGE FOR THE FCJM OLD NUNS IN INDONESIA THROUGH CATECHISM”. The choosing of this title departs from our concern of the way of our old nuns accepting their old age in Indonesia. As a matter of fact, the number of FCJM nuns increases every year and similarly the number of old nuns too. However, not all of the old nuns recognize this reality. They do not want to accept that they are growing older so that they are not ready for many challenges and problems that come together with the stage of age. Even in some particular cases some of them try to avoid this natural truth. As the best of our knowledge, this phenomenon takes place because the FCJM nuns are short of information of the meaningful old age with its richness and values. In addition to this, when they are sick and face some particular problems of the old age their situation is getting worse. Therefore we think that it is necessary to help the old nuns to prepare their old age by giving them deeper information concerning to details of the old age. As a result they can accept their old age calmly and live it in a deep faith. Then their old age will become a blessed time and grateful one.
The main concern of this paper is the functio n of catechism in helping the Indonesian FCJM old nuns to accept their old age as a valuable and meaningful time. As a method of this work we use a library research and a daily observation. Through the library research and reflections we enrich our daily experiences so as to offer some ideas to help the old nuns in accepting their condition.
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma :
Nama : BERLIANA ARITONANG
Nomor Mahasiswa : 041124022
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :
UPAYA MENINGKATKAN PENERIMAAN MASA TUA BAGI PARA SUSTER FCJM LANJUT USIA DI INDONESIA MELALUI KATEKESE
beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, me-ngalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.
Yogyakarta, 23 September 2008
Yang menyatakan
ix
Puji syukur kepada Allah Bapa karena kasih-Nya penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul UPAYA MENINGKATKAN
PENERIMAAN MASA TUA BAGI PARA SUSTER FCJM LANJUT USIA DI
INDONESIA MELALUI KATEKESE.
Skripsi ini diilhami oleh keprihatinan penulis terhadap kurangnya
pemahaman terhadap nilai dan makna yang terkandung dalam tahap umur lanjut usia.
Kekurang pemahaman ini sangat berpengaruh kepada kurangnya tingkat penerimaan
masa tua bagi para suster FCJM lanjut usia di Indonesia. Masa lanjut usia sering
dilihat dari sisi negatif, yang membawa mereka ke arah yang traumatis atau
penolakan masa lanjut usia itu sendiri. Oleh karena itu penyusunan skripsi ini
dimaksudkan untuk meningkatkan penerimaan masa tua bagi para suster FCJM, agar
mereka dapat memaknai dan menerima masa tua, sebagai suatu anugerah dan rahmat
yang khusus dari Tuhan. Dengan demikian dalam setiap peristiwa hidup, baik
pengalaman kelemahan maupun kesakitan, mereka tetap mengandalkan kekuatan
Tuhan yang selalu berkarya dalam kehidupan khususnya melalui pengalama n
penderitaan dan kesakitan. Selain itu, skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Tersusunnya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, baik
secara langsung maupun tidak langsung. Pada kesempatan ini penulis dengan setulus
x
perhatian, meluangkan waktu dan membimbing penulis dengan penuh kesabaran,
memberi masukan- masukan, dan kritikan-kritikan sehingga penulis dapat
termotivasi dalam me renungkan gagasan-gagasan dari awal hingga akhir
penulisan skripsi ini.
2. Bapak Y. Kristianto, SFK, selaku dosen wali dan dosen penguji II yang terus
menerus mendampingi penulis selama perkuliahan sampai selesainya penulisan
skripsi ini.
3. Ibu Dra. J. Sri Murtini, M.Si., selaku dosen penguji III yang selalu mengingatkan
penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini.
4. Segenap Staf Dosen Prodi IPPAK-JIP, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,
Universitas Sanata Dharma, yang telah mendidik dan membimbing serta
mendukung penulis selama belajar hingga selesainya skripsi ini.
5. Segenap Staf Sekretariat dan Perpustakaan Prodi IPPAK, dan seluruh karyawan
bagian lain yang telah memberi dukungan kepada penulis dalam penulisan skripsi
ini.
6. Sr. Avelina Simbolon, FCJM beserta Dewannya, yang telah memberi perhatian
kepada penulis berupa materi dan spiritual, memberi waktu dan kesempatan bagi
penulis untuk belajar hingga menyelesaikan penulisan skripsi ini.
7. P. Salvador Perusquia, SX, yang telah bersedia membaca dengan teliti mulai dari
awal penulisan skripsi ini, memberikan saran dan komentar yang sangat berguna
dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini serta memberikan dukungan dan
xi
dalam menempa pribadi dan memurnikan motivasi penulis menjadi pewarta
kabar gembira di zama n yang penuh tantangan ini.
9. Para suster anggota komunitas FCJM Yogyakarta yang telah mendukung,
memotivasi dan mendorong penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.
10.Bapak, ibu, dan saudara-saudariku yang memberikan perhatian dan dukungan
berupa doa-doa selama penulis menempuh studi di Yogyakarta sampai
berakhirnya penulisan skripsi ini.
11.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah dengan tulus
membantu penulis hingga berakhirnya penulisan skripsi ini.
Penulis menyadari keterbatasan pengetahuan dan pengalaman, sehingga
penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis
mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca demi perbaikan skripsi ini. Akhir
kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan ma nfaat bagi semua
pihak yang berkepentingan.
Yogyakarta, 5 Agustus 2008
Penulis
xii
Halaman
JUDUL ... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii
PENGESAHAN ... iii
PERSEMBAHAN ... iv
MOTTO ... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... vi
ABSTRAK ... vii
ABSTRAC T... viii
KATA PENGANTAR... ix
DAFTAR ISI... xii
DAFTAR SINGKATAN... xvi
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Pokok-Pokok Lanjut Usia Pada Umumnya... 13
xiii
3. Pengalaman ... 37
4. Kebergantungan satu sama lain... 38
5. Visi hidup yang lebih lengkap... 39
BAB III. TANTANGAN, PERGULATAN DAN PELUANG MASA LANJUT USIA ... 57
2. Berlatih melepaskan diri dan bijaksana ... 73
3. Menghadapi problem kesepian... 75
xiv
7. Mene mukan kebahagiaan... 81
8. Bersyukur dan bersukacita ... 83
9. Mencapai keutuhan ... 85
10. Menyiapkan kematian, menantikan kebangkitan... 86
D. Gambaran Umum Pergulatan Roha ni Kaum Lanjut Usia ... 88
E. Pergulatan Rohani Para Suster FCJM Lanjut Usia di Indonesia... 94
BAB IV. SUMBANGAN KATEKESE DALAM USAHA MENINGKATKAN PENERIMAAN MASA TUA BAGI PARA SUSTER FCJM LANJUT USIA ... 100
A. Gambaran Umum Katekese ... 101
1. Pengertian katekese umat... 102
2. Tujuan katekese ... 105
3. Isi katekese ... 107
4. Tugas-tugas katekese... 108
a. Katekese memberitakan Sabda Allah dan mewartakan Kristus ... 108
B. Peranan Katekese Dalam Upaya Membantu Para Suster FCJM Lanjut Usia Menerima Masa Tua ... 112
C. Pemilihan Model Katekese: ”Shared Christian Praxis” (SCP) ... 114
1. Pengertian “Shared Christian Praxis:... 114
a. Shared... 115
b. Christian... 116
c. Praxis... 116
xv
faktual... 117
c. Langkah kedua: refleksi kritis dan sharing pengalaman hidup faktual... 118
d. Langkah ketiga: mengusahakan supaya tradisi dan visi Kristiani lebih terjangkau... 119
e. Langkah keempat: Interpretasi/tafsir dialektis antara tradisi dan visi kristiani dengan tradisi dan visi peserta... 120
f. Langkah kelima : Keterlibatan baru demi makin terwujudnya Kerajaan Allah di dunia ini ... 120
D. Usulan Program Katekese ... 121
1. Pengertian Program... 121
2. Tujuan usulan Program ... 121
3. Pemikiran dasar untuk program katekese... 123
4. Program katekese jangka pendek ... 126
E. Contoh Katekese Model ”Shared Christian Praxis” (SCP)... 131
1. Katekese model “Shared Christian Praxis” I ... 131
2. Katekese model “Shared Christian Praxis” II ... 145
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 161
A. Kesimpulan... 161
B. Saran ... 163
DAFTAR PUSTAKA ... 167
LAMPIRAN:
Lampiran 1: Cerita ”Allah Sungguh Mendengarkan Semua Doa”
xvi A. Singkatan Kitab Suci
Seluruh singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti Kitab Suci
Perjanjian Baru: dengan Pengantar dan Catatan Singkat. (Dipersembahkan
kepada Umat Katolik Indonesia oleh Ditjen Bimas Katolik Departemen Agama
Republik Indonesia dalam rangka PELITA IV). Ende: Arnoldus, 1984/1985, hal.
8.
B. Singkatan Dokumen Resmi Gereja
CT : Catechesi Tradendae, Anjuran Apostolik Paus Yohanes Paulus UU
kepada para Uskup, Klerus, dan segenap umat beriman tentang
katekese masa kini, 16 Oktober 1979.
C. Singkatan Lain
FCJM : Fransiscanae Filiae Sanctissimae Cordis Jesus et Mariae.
(Suster-Suster Fransiskan Puteri-Puteri Hati Kudus Yesus dan Maria).
IPPAK : Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik.
JIP : Jurusan Ilmu Pendidikan.
LBI : Lembaga Biblika Indonesia.
Lih : Lihat.
No : Nomor.
PKKI : Pertemuan Kateketik antar Keuskupan se-Indonesia.
PS : Puji Syukur .
SCP : Shared Christian Praxis.
xvii
TV : Televisi.
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Masa lanjut usia merupakan suatu tahap yang pasti akan dijalani oleh semua
orang bila sudah mencapai umur tertentu. Masa lanjut usia ini tidak dapat dielakkan
oleh siapapun kalau dia tidak dipanggil Tuhan pada masa mudanya. Namun sadar
ataupun tidak, masa lanjut usia seringkali dihindari, disingkirkan, dan dielakkan oleh
banyak orang, mengingat masalah yang ada di dalamnya. Oleh karena itu, di antara
mereka ada yang memaksakan diri supaya tampak sehat dan normal seperti
sediakala, mengerjakan pekerjaan yang dulu biasa dilakukan, tetapi tidak jarang
pekerjaan ini justru mengganggu ritme pekerjaan yang lain, karena harus
memberikan perhatian khusus (Sudiarja A., 2005: 2).
Masalah- masalah yang dihadapi pada masa lanjut usia pada umumnya
berhubungan dengan fisik.Orang yang mencapai lanjut usia mulai merasa lemahdan
akhirnya terpaksa pensiun ataupun tidak mempunyai pekerjaan lagi. Dalam situasi
ini, orang cenderung mengalami kesepian yang luar biasa karena tidak mempunyai
kesibukan lagi seperti sediakala dan juga merasa ditinggalkan orang-orang yang
dulunya dekat dalam satu unit kerja. Maka dalam tahap ini, orang pada umumnya
mengalami krisis, khususnya yang biasanya aktif dan menjabat beberapa tugas
rangkap selama masa medior.
Sudiarja, A. (2005: 2) menggambarkan hal yang sama tentang pengalaman
bahwa di antara biarawan/ti yang sudah terbiasa sibuk dengan berbagai macam
pekerjaan pada masa mudanya, kehilangan pekerjaan di masa lanjut usia dapat
mengakibatkan kehilangan eksistensinya. Kehilangan pekerjaan bagi orang yang
lanjut usia dapat juga berakibat kehilangan keberadaan hidupnya di komunitas di
mana mereka tinggal. Mereka mengalami kekosongan dalam hidup dan bahkan bagi
mereka, hidup tidak berarti lagi. Dalam mengalami kenyataan ini sering dijumpai
orang-orang yang sudah lanjut usia menjadi rewel dan sulit dalam hidup bersama.
Salah satu penyebab bahwa mereka itu menjadi semakin sulit dalam hidup bersama
karena mengalami krisis usia lanjut, yang dengan sendirinya mengakibatkan kurang
menerima diri bahwa mereka sudah menjadi tua.
Paul Suparno (2004: 36) mengemukakan beberapa problem sekitar masa
pensiun Pertama, “over sindrom”, sindrom kekuasaan. Ini dialami mereka yang
biasanya bekerja hebat dan memegang banyak tugas dan jabatan, namun tiba-tiba
harus melepaskan semuanya. Kalau tidak siap menerimanya, akhirnya mereka
mengalami stres, bingung, dan tidak tahu apa yang harus dikerjakan. Kedua, merasa
tidak berarti lagi. Orang yang sudah pensiun merasa seperti tidak digunakan lagi dan
tidak mempunyai penghasilan bagi komunitasnya. Mereka merasa kehilangan
kekuasaannya karena pada umumnya orang-orang menurut i kehendak mereka,
namun setelah pensiun, mereka tidak berkuasa lagi. Akhirnya, mereka menjadi
bingung karena semuanya berubah; hal seperti ini terjadi bagi orang-orang yang
mempunyai kekuasaan dan mempunyai bawahan yang dapat dimintai tolong untuk
mengerjakan tugas-tugas yang diprioritaskan. Namun setelah menjadi tua, mereka
dibuang atau ditolak. Ketiga, merasa kesepian. Pada waktu masih aktif, mereka
berjumpa dan dijumpai banyak orang, tetapi setelah pensiun perjumpaan denga n
orang sangat terbatas. Keempat, menjadi cepat drop. Beberapa di antara orang tua
menjadi drop dan sakit-sakitan, apalagi mereka yang tidak diberi tugas baru.
Melihat realitas di atas, menurut pendapat penulis, masalah lanjut usia perlu
dipikirkan oleh semua orang yang tidak hanya terbatas oleh biarawan/ti tetapi juga
oleh keluarga-keluarga, agar para orang tua dapat menerima masa tua dengan penuh
syukur. Penerimaan ini tentunya tidak cukup diperhatikan pada saat menjelang
pensiun, tetapi dibutuhkan suatu persiapan yang sebaiknya sudah dimulai sejak masa
muda. Maka, orang yang masih muda, perlu mempertanyakan diri, apakah senja yang
akan datang dapat saya terima dengan hati dan suasana yang dewasa? Dengan
kesadaran ini, setiap orang mungkin terdorong untuk mempersiapkan diri di masa
tua, misalnya dengan menekuni beberapa hobi, sehingga setelah menjalani masa tua
dapat melanjutkan hobinya sebagai kegiatan yang dapat mengisi hidup.
Beberapa tahun terakhir ini, masalah- masalah lanjut usia sering menjadi
fokus yang dibahas karena dirasa penting dan mendesak oleh beberapa pihak.
Mendesaknya pemikiran terhadap lanjut usia ini mengingat jumlah populasi lanjut
usia di Indonesia yang semakin hari semakin meningkat, selaras dengan
meningkatnya taraf hidup dan pelayana n kesehatan. Kondisi ini membuat jumlah
orang lanjut usia semakin tinggi. Di Indonesia, angka harapan hidup meningkat dari
65 tahun (1997) menjadi 73 tahun (2025). Kondisi ini akan menempatkan Indonesia
pada urutan ke 3 yang memiliki populasi lanjut usia terbanyak di dunia pada tahun
Sebenarnya meningkatnya jumlah lanjut usia ini bukan hanya di Indonesia,
tetapi juga terjadi di seluruh dunia pada umumnya. Hal ini dapat dibuktikan di
Amerika yang dewasa ini menjadi gawat dibanding masa- masa sebelumnya. Ini
terjadi karena angka kelahiran yang semakin menurun, maka persentasi orang lanjut
usia semakin bertambah. Pada tahun 1850 penduduk Amerika yang berumur 65
tahun ke atas hanya 2,5%, sekarang mencapai 10% atau 20 juta orang. Menurut
proyeksi statistik, satu dari tiga orang yang kini berumur 50 tahun atau lebih, masih
akan hidup di tahun ini. Maka diperkirakan pada waktu ini sekurang-kurangnya 30
juta orang Amerika akan berumur 65 tahun (Deeken, 1986: 9-10).
Dengan jumlah populasi lanjut usia ini, Simone de Beauvoir melukiskan
sikap peradaban orang Barat terhadap orang lanjut usia sebagai sebuah gambaran
yang suram. Ia menyatakan bahwa orang lanjut usia sering diperlakukan secara tidak
manusiawi. Generasi muda sering mengejek, memeras, dan merendahkannya.
Orang-orang yang hidup makmur di Barat cenderung memperlakukan Orang-orang tua sebagai
barang dagangan, dikirim ke Yayasan-yayasan yang mengurusi rumah-rumah orang
jompo atau rumah-rumah rawat bagi mereka yang mampu me mbayar. Sedangkan
mereka yang miskin mengalami penderitaan karena pelayanan yang kurang memadai
(Deeken, 1986: 11).
Nowmen dan Gaffney (1986: 21-14) menguraikan penelitian dan analisis
yang dilakukan Simone de Beauvoir mengenai bertambahnya usia. Dia
menyimpulkan, “…sebagian besar dari umat manusia memandang datangnya hari tua
dengan sedih dan sikap menolak. Hari tua lebih mencemaskan mereka daripada
bahwa manusia itu seperti barang yang pecah-dibuang”. Hal seperti ini dialami oleh
banyak orang berusia lanjut pada zaman ini. Seringkali dalam masyarakat, orang tua
tidak mempunyai lagi tempat. Mereka diasingkan, dipisahkan, dan disingkirkan
seperti penderita kusta yang menularkan penyakit. Mereka tidak lagi dianggap
sebagai warga masyarakat yang penuh, sehingga bagi banyak orang merasa menjadi
tua itu jauh lebih menakutkan dari pada kematian.
Masalah- masalah semacam ini bukan hanya terjadi dalam dunia yang luas
pada umumnya tetapi juga dalam dunia biarawan/ti. Seperti yang diutarakan Paul
Suparno (2006: 34), bahwa biarawan/ti juga mengalami konflik terhadap para
anggota yang lanjut usia. Dia menerangkan beberapa gejala yang dapat kita amati
bila seseorang mengalami krisis ketuaan. Menurut Paul Suparno (2006: 34) ada
empat gejala krisis ketuaan yang dialami oleh orang yang sudah lanjut usia. Keempat
gejala itu adalah pertama, orang mudah frustrasi. Orang mudah tidak puas dengan
pelayanan-pelayanan yang dilakukan dan yang diterima, merasa kesepian, mudah
jengkel dengan dirinya sendiri, dan kadang merasa tidak kerasan dengan hidupnya.
Kedua, orang sulit menerima keadaan dirinya. Ia merasa sudah tua, tidak lincah
seperti waktu masih medior dan kadang merasa tidak dimanfaatkan oleh Kongregasi
lagi. Ketiga, orang sudah sakit-sakitan. Sedikit-sedikit merasa tidak sehat, lemah,
tidak mampu dan beberapa menjadi mudah mengeluh tentang fisiknya. Keempat,
mengalami konflik dalam dirinya. Kadang maunya ingin aktif pergi ke sana-ke mari,
tetapi ternyata fisik tidak mampu karena mudah lelah. Kadang mau berdoa
berjalan mengunjungi banyak tempat, tetapi setelah pergi sebentar lagi sudah capek
dan tidak kuat lagi, ingin pulang saja.
Berkaitan dengan masalah di atas penulis melihat bahwa masalah ini mirip
dengan masalah yang terjadi dalam Kongregasi FCJM. Dari jumlah anggota
Kongregasi yang mencapai dua ratusan lebih, penulis melihat sudah ada 28 orang
suster (11,47%) yang telah mencapai lanjut usia dan dalam tahun-tahun berikutnya
banyak yang akan menjelang lanjut usia (Statistik FCJM, 2007:6). Dengan kata lain,
beberapa tahun ke depan para suster yang lanjut usia akan bertambah dan peristiwa
ini akan menjadi masala h yang perlu ditangani secara serius dan menurut pendapat
penulis, masalah ini menjadi suatu keprihatinan dalam Kongregasi FCJM .
Dalam menanggapi masalah tersebut, para suster FCJM Se-Indonesia telah
membuat suatu tahap awal dengan mendirikan rumah khusus bagi para suster yang
sudah lanjut usia. Sudiarja A., (2005: 2) mengatakan hal yang sama bahwa dalam
menanggapi persoalan masa tua, Tarekat religius banyak yang sudah memikirkan
membangun rumah masa senja bagi anggotanya yang sudah tidak dapat bekerja lagi
karena usia tua. Namun, ada satu keprihatinan, sebagian besar para suster FCJM
lanjut usia belum bersedia untuk tinggal di rumah tersebut. Mereka lebih senang
tinggal di komunitas-komunitas di mana para suster FCJM berkarya. Di sini penulis
melihat adanya kesalahan paradigma dari para suster yang sudah lanjut usia. Mereka
beranggapan bahwa rumah lansia merupakan rumah persiapan untuk menghadapi
kematian.
Masing- masing anggota di komunitas bersedia memberikan pelayanan bagi
kekurangpuasan dari segi pelayanan, khususnya dari pihak mereka yang sudah lanjut
usia. Sementara tidak semua anggota komunitas mengetahui dan memahami masalah
dan kebutuhan mereka yang sudah lanjut usia. Untuk itu diharapkan setiap suster
dapat mengerti dan memahami masalah- masalah masa tua serta mengetahui
kebutuhan mereka. Dengan demikian, setiap anggota komunitas dapat memberikan
perhatian dan pelayanan bagi suster lanjut usia sesuai dengan situasi dan kebutuhan
mereka.
Penulis melihat bahwa kebutuhan yang mendesak bagi para suster FCJM
yang sudah lanjut usia, bukanlah pertama-tama rumah megah yang layak untuk
mereka, melainkan bagaimana mempersiapkan mereka untuk menerima masa tuanya.
Kebutuhan ini belum serius dipikirkan dan menurut pengamatan penulis, para suster
yang sudah memasuki masa lanjut usia sungguh membutuhkan pendampingan
khusus supaya mereka benar-benar merasakan bahwa masa tua bukanlah masa
penderitaan, melainkan masa berahmat yang patut disyukuri. Dengan demikian, para
suster lanjut usia senantiasa mengalami kegembiraan yang memancar melalui sikap
dan perbuatannya.
Melihat kemauan yang kuat dari para suster lanjut usia untuk tetap tinggal di
komunitas-komunitas karya, dalam tahun-tahun terakhir ini para suster yang sudah
pensiun diberi kebebasan memilih komunitas yang kiranya cocok untuk mereka
sendiri. Di sana, mereka hidup bersama para suster dan mengerjakan tugas-tugas
yang biasa dikerjakan tanpa diwajibkan. Pada umumnya dengan senang hati mereka
bekerja melaya ni sesuai dengan kemampuan, dan pelayanan itu membawa
mengapa para suster FCJM lanjut usia masih belum mendapatkan pelayanan khusus,
karena mereka ma sih tinggal di beberapa komunitas.
Bila dalam tahun-tahun ini para suster yang lanjut usia masih berada di
komunitas-komunitas, beberapa tahun ke depan fisik mereka akan semakin lemah
sehingga mereka membutuhkan pelayanan di tempat yang khusus. Dengan pemikiran
ini, penulis melihat bahwa pendampingan lanjut usia merupakan salah satu
kebutuhan yang sangat mendesak dan perlu ditanggapi secara serius. Oleh karena itu
Kongregasi FCJM mendorong penulis memikirkan salah satu tema yang berkaitan
dengan lanjut usia sebagai salah satu sarana yang diharapkan untuk dapat memenuhi
sebagian dari kebutuhan Kongregasi tersebut. Tulisan ini diharapkan dapat
membantu Kongregasi FCJM untuk mengatasi masalah yang dihadapi pada saat ini,
di mana para suster lanjut usia sebagia n besar kurang menerima masa tuanya. Sulit
melepaskan tugas perutusan karena mereka merasa masih kuat untuk meneruskan
dan memegang tugas tersebut. Bila terpaksa meninggalkan tugas, mereka merasa
kurang berharga, kurang diterima, kurang mendapat perhatian dan muncul segala
macam perasaan-perasaan yang menganggap diri kurang diterima oleh sesama.
Akibatnya tanpa disadari, mereka menjadi orang sulit dan rewel di
komunitas-komunitas.
Dengan latar belakang tersebut di atas, penulis termotivasi untuk memberikan
sumbangan dalam menanggapi permasalahan yang dialami Kongregasi FCJM,
khususnya bagi para suster FCJM lanjut usia, agar mereka dapat menerima dan
mens yukuri masa tua sebagai masa yang berahmat. Maka penulis memilih judul,
Usia Di Indonesia Melalui Katekese”. Karya tulis ini diharapkan berguna bagi
Kongregasi FCJM, khususnya bagi mereka yang lanjut usia, agar dapat menerima
masa tuanya. Bagi anggota Kongregasi yang lain, dapat mengerti dan memahami
masalah masa tua serta dapat mempersiapkan diri menerima masa tua di kemudia n
hari.
B. RUMUSAN MASALAH
Dengan melihat latar belakang di atas sehubungan dengan penerimaan masa
lanjut usia dalam Kongregasi FCJM di Indonesia, permasalahan yang akan dibahas
dirumuskan sebagai berikut.
1. Bagaimana keberadaan para suster FCJM lanjut usia di Indonesia?
2. Tantangan, pergulatan dan peluang apa sajakah yang dialami para suster FCJM
dalam masa tuanya dan bagaimana cara menghadapinya?
3. Bagaimana katekese dapat menyumbangkan upaya meningkatkan penerimaan
masa tua bagi para suster FCJM lanjut usia?
C. TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini sebagai
berikut.
1. Mendeskripsikan pemahaman tentang keberadaan masa tua, agar para suster
FCJM memahami dan menerima keberadaannya sebagai lanjut usia.
2. Mendeskripsikan tantangan, pergulatan dan peluang yang dialami para suster
alami dan siap menerima masa tuanya sebagai anugerah serta semakin
mengalami cinta Allah yang membimbing hidupnya dari waktu ke waktu.
3. Memberikan sumbangan kepada Kongregasi FCJM dalam upaya pendampingan
bagi para suster FCJM yang sudah lanjut usia.
D. MANFAAT PENULISAN
Menambah wawasan dan pengetahuan bagi penulis dan pembaca tentang
keberadaan lanjut usia dengan segala pergulatannya, sehingga dapat memahami dan
membantu mereka yang sudah lanjut usia dalam menerima masa tua sebagai
anugerah. Memberi masukan kepada anggota Tarekat FCJM di Indonesia supaya
semakin mengetahui dan memahami keberadaan para suster FCJM lanjut usia,
sehingga dapat memberikan pelayanan yang tepat sesuai dengan kebutuhan para
suster lanjut usia.
E. METODE PENULISAN.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis akan menggunakan metode deskriptif
yakni data-data yang diperoleh dari studi pustaka untuk memperoleh gambaran
tentang keberadaan masa tua dengan segala tantangan dan pergulatannya. Dengan
demikian dapat merefleksikan salah satu upaya meningkatkan penerimaan masa tua
bagi para suster FCJM yang sudah dan yang masih menjelang masa lanjut usia.
F. SISTEMATIKA PENULISAN
Dalam sistematika penulisan skripsi ini, penulis akan menyampaikan
Bab I, penulis mengawalinya dengan pendahuluan yang membahas latar
belakang penulisan judul skripsi. Latar belakang penulisan judul skripsi berdasarkan
permasalahan-permasalahan yang penulis temukan dalam kehidupan religius pada
umumnya dan secara khusus dalam Kongregasi FCJM di Indonesia.
Permasalahan-permasalahan ini ditemukan melalui pengalaman serta pengamatan penulis dalam
hidup bersama di beberapa komunitas, sharing antar teman Medior, maupun dengan
beberapa suster Senior serta informasi dari Dewan Pimpinan Propinsi Indonesia,
yang mengungkapkan keprihatinan terhadap penerimaan masa tua bagi para suster
FCJM yang lanjut usia.
Permasalahan-permasalahan ini menimbulkan keprihatinan Kongregasi dan
penulis. Dengan demikian penulisan skripsi ini dapat memberi sumbangan pemikiran
bagi Kongregasi FCJM, sehingga dapat membantu meningkatkan pene rimaan masa
tua bagi para anggota yang sudah lanjut usia. Selain itu dalam Bab I ini penulis
menguraikan rumusan masalah, tujuan penulisan dan manfaat penulisan berdasarkan
latar belakang. Di bagian akhir pendahuluan, penulis menguraikan secara singkat
sistematika serta isi keseluruhan skripsi.
Pada bab II, penulis menguraikan tentang masa lanjut usia secara umum.
Penulisan bab ini terdiri dari enam bagian yang dimulai dari pokok-pokok lanjut usia
pada umumnya, lanjut usia menurut Kitab Suci, makna dan nilai lanjut usia, tempat
bagi kaum lanjut usia, peranan kaum lanjut usia dan lanjut usia dalam Kongregasi
FCJM. Tujua n penulisan ini, agar para suster FCJM lanjut usia di Indonesia
memahami keberadaan dirinya, mengetahui kekayaan yang ada di dalamnya,
Pada bab III, penulis menulis tentang tantangan, pergulatan dan peluang masa
lanjut usia. Bab ini dibagi menjadi lima bagian yaitu tantangan masa lanjut usia,
pergulatan masa lanjut usia, peluang masa lanjut usia kemudian dilanjutkan dengan
gambaran umum pergulatan rohani kaum lanjut usia dan diakhiri dengan pergulatan
rohani para suster FCJM lanjut usia di Indonesia. Penulisan bab ini berguna untuk
mendeskripsikan tantangan, pergulatan, dan peluang yang dialami para suster FCJM
lanjut usia, agar mereka sadar akan pergulatan dan tantangan yang mereka alami dan
siap menerima masa tuanya sebagai anugerah serta semakin mengalami cinta Allah
yang membimbing hidupnya dari waktu ke waktu.
Pada bab IV, penulis menulis tentang sumbangan katekese dalam usaha
meningkatkan penerimaan masa tua bagi para suster FCJM lanjut usia. Bab ini
dimulai dengan gambaran umum katekese, peranan katekese dalam upaya membantu
para suster FCJM lanjut usia menerima masa tua, pemilihan model katekese: Shared
Christian Praxis (SCP). Agar ketekese ini sungguh terarah dan bermanfaat bagi
Kongregasi, pada bagian keempat penulis mengusulkan program pelaksanaan
katekese yang dapat diterapkan untuk membantu anggota Kongregasi yang sudah
lanjut usia dalam menerima masa tuanya.
Pada bab V, penulis menuliskan kesimpulan dan usulan berdasarkan uraian
dari seluruh bab dalam skripsi ini. Kesimpulan dan usulan berguna sebagai bahan
pemikiran bagi Kongregasi FCJM untuk membantu para suster FCJM lanjut usia
BAB II
MASA LANJUT USIA
a. Pokok-Pokok Lanjut Usia Pada Umumnya
1. Pengertian Lanjut Usia
Masa lanjut usia sering diartikan masa lemah, masa kemunduran baik fisik
maupun sosial, justru itu dalam masa ini banyak orang yang tidak mempunyai
semangat hidup. Orang membayangkan masa lanjut usia sebagai masa yang tak
berguna, menderita berbagai penyakit, mengalami penurunan fungsi otak, menjadi
beban bagi yang muda, tidak mendapatkan keluarga, masyarakat dan sebagainya,
sehingga menyebabkan ketakutan bagi setiap orang yang akan mengalaminya. Tidak
jarang orang seperti ini memandang usia tua sebagai perjalanan yang traumatis dan
yang bereaksi terhadap usia tua mereka, dengan sikap-sikap yang berkisar antara
kepasrahan yang pasif dan pemberontakan, penolakan dan keputusasaan (Dewan
Kepausan untuk Kaum Awam, 2002: 17). Orang-orang seperti ini biasanya
terkungkung dengan diri sendiri dan merasa tersingkir karena ulah mereka sendiri,
sehinggaproses kemerosotan jasmani dan mental mereka menurun cepat.
Ada beberapa istilah lanjut usia atau masa tua yang dipakai oleh para ahli.
Menurut Miramis (1993: 3), ada beberapa istilah yang dipakai untuk golongan lanjut
usia, tetapi belum ada pembakuan arti. Ada yang menyebutnya “manula” (manusia
lanjut usia), ada yang mengatakan “lansia” (lanjut usia) atau “usila” (usia lanjut) dan
ada pula yang menamakannya “glamur” (golongan lanjut umur). Dengan
lanjut usia belum memadai. Sampai saat ini para penulis atau para ahli belum ada
yang menyebutkan kaum lanjut usia dengan menggunakan istilah “manusia tua” atau
“masa tua”. Tua rasanya diartikan sebagai sesuatu yang lebih negatif, bila dipandang
dari sisi manusia.
Dari beberapa istilah tersebut di atas, maka dalam tulisan ini penulis akan
menggunakan istilah lanjut usia. Karena menurut hemat penulis, mereka yang sudah
berada pada tahap umur tua, lebih senang dengan istilah lanjut usia.
Bock (2007: 2) menulis beberapa arti tentang kata tua yaitu pertama, tua
berarti sudah lama hidup, kedua, tua berarti sudah masak untuk dipetik
(buah-buahan). Ketiga, tua juga dapat berarti tinggi mutunya, misalnya emas. Keempat,
dalam arti lebih luas tua berarti berharga dan terpelihara seperti misalnya bangunan
yang tua tetap dipelihara dan dilindungi, agar tetap awet bagi generasi-generasi yang
akan datang. Kelima, tua juga dapat berarti teruji dan terpilih.
Pengertian-pengertian di atas mengandung makna positif. Bila dikaitkan
dengan mereka yang sudah lanjut usia, bisa dikatakan bahwa hidup mereka lebih
bermutu karena sudah melakukan hal- hal yang berharga, baik terhadap dirinya
sendiri maupun sesamanya. Maka pengertian tua bila dilihat dari sisi manusia berarti
mereka sudah lama hidup. Mereka yang sudah lama hidup mempunyai pengalaman
hidup yang lebih, dibanding dengan mereka yang masih muda. Melalui berbagai
macam pengalaman hidup yang membahagiakan, khususnya pengalaman yang
menantang, menjadikan kaum lanjut usia menjadi bermutu karena sudah teruji dalam
melewati masa-masa sulit. Dengan demikian, mutu hidup mereka sudah lebih tinggi
Pandangan ini hampir mirip dengan budaya Indonesia dan Asia terhadap
mereka yang sudah lanjut usia. Budaya Asia masih menghormati mereka yang sudah
lebih tua dan menganggap mereka sudah mempunyai kebijaksanaan, semakin
disegani, dihormati dan didengarkan. Deeken (1986: 9) mengatakan hal yang sama
dengan adat istiadat di Jepang, ada sesuatu yang menyolok, yaitu hormat yang
mendalam terhadap orang tua. Kedudukan terhormat dari orang tua di Jepang sudah
merupakan tradisi yang lama. Ajaran ini diwariskan oleh Konfusius, yang sampai
dicetuskan oleh seorang murid sekolah neo-konfusian, bahwa hormat kepada orang
tualah yang membedakan manusia dengan burung dan binatang-binatang. Melalui
pandangan ini dapat dilihat bahwa masa lanjut usia merupakan sesuatu yang bernilai
dan berharga. Karena itu kaum lanjut usia pantas dihormati dan dihargai, khususnya
karena mereka sudah mempunyai banyak pengalaman dan kebijaksanaan.
Di samping pengertian yang positif di atas, tua juga dapat diartikan dengan
makna yang mengarah kepada sesuatu yang lebih negatif, berkaitan dengan umur dan
kerapuhannya. Orang yang sudah berumur kekuatannya semakin menurun. Sama
halnya dengan barang atau mesin- mesin yang telah lama dipakai akan semakin aus,
sehingga lama-kelamaan pasti dibuang. Makanan dan buah-buahan yang disimpan
terlalu lama mulai membusuk. Tubuh manusia yang semakin tua semakin rapuh,
berkurang ketahanan dan kesehatannya. Pemahaman ini sama halnya di dunia orang
Barat, mati dianggap berlawanan dengan hidup. Kebudayaan Barat menonjolkan
individualitas dan pengendalian. Karena menjadi tua dan mati tidak bisa
dikendalikan, maka kebanyakan orang Barat cenderung menganggap menjadi tua dan
sering dianggap sama dengan satu kaki sudah di liang kubur (Miramis, 1993: 10).
Dengan pandangan semacam ini, orang cenderung beranggapan bahwa masa tua
merupakan sesuatu yang menakutkan dan perlu dihindari.
Pada umumnya indikasi seseorang dianggap memasuki kelompok lanjut usia
di Indonesia terjadi pada usia 55 tahun, saat seseorang menjalani pensiun. Di
beberapa negara yang sudah maju, seseorang dianggap memasuki lanjut usia setelah
mencapai umur 65 tahun. Misalnya: di Amerika Serikat, lanjut usia diklasifikasikan
sebagai orang yang berumur 77 tahun, dan pra- lansia antara 69-76 tahun. Tetapi
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menilai usia 60 tahun sebagai awal usia
peralihan menuju ke arah penduduk tua. Pada usia 50-60 tahun, fisik seseorang sudah
mengalami kemunduran hebat disertai penurunan mental. Kemunduran fisik
disebabkan oleh terjadinya proses me nua di seluruh sel-sel tubuh, sedangkan
kemunduran yang bersifat psikologis banyak diakibatkan dari sikap tidak senang
terhadap diri sendir i, orang lain atau pekerjaan (Emma, 2000: 1-2).
Miramis (1993: 4) menegaskan, bahwa dalam masa tahun-tahun lanjut us ia
manusia tidak bertumbuh lagi secara fisik. Maka pada umur 60 tahun, manusia
mempunyai tuntutan-tuntutan khusus untuk berkembang dan berubah secara
psikologis. Ia mempunyai banyak pengalaman dan riwayat yang panjang, tetapi
sekaligus ia tetap hidup dalam perubahan dan perkembangan dalam masa kini.
Dari penjelasan beberapa tokoh di atas, penulis melihat bahwa pengertian
lanjut usia diartikan secara berbeda-beda oleh para ahli. Dari perbedaan pendapat ini,
dapat disimpulkan betapa banyak dan rumitnya permasalahan yang ada pada lanjut
masa lanjut usia, karena ketakutan untuk menghadapi persoalan dan permasalahan
yang ada di dalamnya.
Dari uraian-uraian tersebut di atas, penulis berpendapat bahwa penerimaan
masa lanjut usia sangat tergantung pada bagaimana seseorang itu memandang dan
mengartikan lanjut usia itu sendiri. Bila pengertian mereka lebih mengarah ke hal- hal
yang positif, maka kemungkinan besar masa tua akan dilihat sebagai masa berahmat
dan perlu disyukuri. Sebaliknya bila masa lanjut usia dilihat dari segi negatif, maka
datangnya lanjut usia dirasa sebagai sesuatu yang menakutkan dan perlu
disingkirkan.
2. Proses menjadi lanjut usia
Proses menjadi tua bagi setiap orang berbeda-beda, hal ini tergantung dari
sikap dan kemauan dalam mengendalikan proses penuaan. Proses ini juga tergantung
pada faktor- faktor keturunan, gaya hidup dan lingkungan. Maka tidak heran bila kita
menemukan orang yang sudah tua tetapi tetap energik, berjiwa muda, semangat,
optimis dan tidak merasa tua, bahkan selalu berusaha mempertahankan diri untuk
tampil muda. Sebaliknya jangan heran bila kita menemukan orang yang sebelum
masa tua sudah mengalami penuaan diri. Orang-orang seperti ini pada umumnya
mengabaikan pola hidup sehat, merasa pesimis, mudah stres, tidak bersemangat dan
cenderung membiarkan dirinya digerogoti oleh berbagai penyakit (Emma, 2000: 4).
Thomae berpendapat bahwa proses menjadi tua merupakan suatu struktur
perubahan yang mengandung berbagai macam dimensi. Ia menyebutkan bahwa
penuaan yang primer, proses fisiologis atau timbulnya penyakit-penyakit, perubahan
fungsional-psikologis, perubahan kepribadian dalam arti sempit, penstrukturan
kembali dalam hal sosial psikologis yang berhubungan dengan bertambahnya usia,
perubahan yang berhubungan dengan kenyataan bahwa orang tidak hanya mengalami
keadaan menjadi tua. Birren dan Schroots membedakan tiga proses sentral yaitu
pertama, penuaan sebagai proses biologis, kedua, menjadi senior dalam masyarakat
atau penuaan sosial dan ketiga, penuaan psikologis subyektif (Haditono, 2002:
323-324).
Ada tiga macam perubahan yang terjadi dalam diri lanjut usia yaitu pertama,
tubuh yang menjadi tua, kedua, dalam kedudukan sosial dan ketiga, dalam
pengalaman batinnya. Berbagai perubahan ini terjadi selama hidup seseorang yang
meskipun tidak selalu terkait pada usia tertentu. Tempo dan bentuk akhir proses
penuaan ini berbeda-beda pada setiap orang. Begitu pula dalam berhubungan dengan
masyarakat, ikut memberikan struktur pada proses penuaan tersebut, maka ada
perbedaan antara periode sejarah yang satu dengan periode sejarah yang lain
(Haditono, 2002: 324).
Bagi setiap orang muncul suatu kesadaran ketuaan setelah memasuki umur
40-an. Ia menyadari bahwa umurnya tidak akan lama lagi, apalagi setelah
menyaksikan beberapa teman yang sebayanya meninggal. Ia tahu bahwa pada suatu
saat yang tidak terduga, dirinya juga akan mengalami nasib yang sama yaitu
kefanaan tubuh yang ia rawat selama hidupnya akan lenyap, yang kemungkinan
besar tidak pernah dipikirkan sebelumnya. Inilah yang membuat orang tidak siap
Deeken (1986: 13-14) mengatakan bahwa menghadapi masa tua merupakan
salah satu tugas yang paling sulit dan menurut kodrat manusia menolak pelepasan
mahkota hidupnya. Kadang-kadang manusia melawan kenyataan, tidak rela
menerima bahwa ia sudah tua dan akhirnya dengan sakit hati ia hanya pasrah
“menerima”. Seakan-akan ambisi akan dilepaskan, ia menjadi kesal dan kehilangan
semangat hidup. Dalam keadaan ini, kesempatan yang manis untuk pertumbuhan dan
perkembangan diri menjadi hilang, karena orang yang bersangkutan tidak mengerti
bahwa proses menjadi tua memberikan kesempatan besar untuk pematangan diri dan
mencapai tingkat perkembangan diri sebagai manusia yang utuh.
Nouwen dan Gaffney (1989: 21-24) mengatakan bahwa sebagian besar
manusia memandang hari tua merupakan suatu kesedihan dan sikap menolak.
Seorang yang lanjut usia mengungkapkan segala penderitaan yang dialami baik fisik
maupun rohani, yang membuat mereka merasa sebagai orang yang tidak berharga
dan terbuang dari masyarakat. Dari beberapa pandangan ini jelas diketahui bahwa
banyak orang yang memandang masa tua merupakan hal yang menakutkan dan
mencemaskan.
Dengan problem dan permasalahan yang terjadi pada masa lanjut usia, maka
sebaiknya masa tua ini sungguh-sungguh perlu dipersiapkan dan dibantu supaya
kaum lanj ut usia dapat menerima, mengalami dan menikmati serta menjalani masa
tuanya dengan suatu pemaknaan. Dengan demikian masa tua merupakan masa yang
membahagiakan, bukan masa yang suram dan menyedihkan.
Sukses atau gagal dalam menjalani usia lanjut sangat tergantung pada apakah
semakin surut. Seseorang yang menjalani masa pensiun, kemungkinan besar
dipengaruhi oleh keadaan jiwanya. Orang yang menganggap pensiun itu wajar dan
sejak semula menanti- nantikan hal itu, akan lebih mudah menyesuaikan diri dan
menikmati masa pensiunnya dibandingkan dengan orang yang tidak berani atau
enggan memikirkan tentang hal itu (Miramis, 1993:15).
Bock (2007: 5) menyampaikan, bahwa seseorang yang mempunyai motivasi
rendah untuk mempelajari hal-hal baru atau ketinggalan dalam penampilan dalam
sikap atau perilaku, akan memburuk lebih cepat daripada orang yang mempunyai
motivasi yang kuat dan mendalam. Dari pandangan ini boleh dikatakan bahwa
perlunya motivasi dari setiap orang dalam menghadapi masa pensiunnya agar tidak
merasakan kebosanan akibat banyaknya waktu yang luang karena tidak terikat lagi
dengan suatu pekerjaan.
Olie A. Randall mengatakan: “Masa tua hanyalah sebuah tahap kehidupan
seperti ha lnya masa kanak-kanak dan masa remaja. Sebagaimana seorang anak harus
dipersiapkan untuk menapaki masa remajanya, orang dewasa juga harus
mempersiapkan diri guna menyongsong masa kematangan berikutnya, yang disebut
masa tua”. Orang bisa mempersiapkan diri kapan saja, karena masa tua adalah masa
menuai, maka makin cepat orang menabur benih, makin cepat akan memetik
hasilnya saat orang sudah mencapai masa lanjut usia (Maurus, 2007: 19).
Miramis (1993: 15) menyampaikan, bahwa kematangan dalam lanjut usia
berarti bersedia mengandalkan diri pada bantuan orang lain, serta mau dan tidak
malu tergantung pada orang lain bila perlu. Berpengharapan adalah ciri orang yang
seseorang dan memperbesar kemampuannya untuk menghadapi
perubahan-perubahan dengan baik. Bila seseorang tidak mempunyai harapan lagi, maka ia
sering kehilangan kemauan hidup dan lebih lekas menjadi lanjut usia.
3. Gejala-gejala lanjut usia
a. Gejala-gejala fisik
Setelah mencapai lanjut usia, ada beberapa gejala fisik yang sering dialami
dalam proses penuaan. Proses penuaan tidak merupakan akhir hidup melainkan
merupakan penyusutan kemampuan dan kecakapan. Dengan bertambahnya umur,
organ-organ tubuh manusia semakin kecil misalnya hati dan ginjal, jantung serta
paru-paru berkurang kekuatannya. Jaringan-jaringan pada tubuh menjadi berubah
dan semakin merosot serta berat otak berkurang pula. Kecepatan transmisi urat saraf,
persediaan egergi dalam keadaan istirahat, volume denyut jantung, daya kerja ginjal
dan daya pernafasan juga berkurang. Mudah masuk angin dan bila keseleo bisa
memakan waktu berminggu- minggu untuk pulih kembali. Jantung tiba-tiba
berdebar-debar bila bekerja atau berjalan secepat dulu. Maka perlu memperhatikan lama dan
cepatnya kerja serta gaya gerak supaya dikurangi (Bock, 2007: 5).
Miramis (1993: 25) menyampaikan bahwa, bila orang yang lanjut usia tidak
melakukan latihan, maka otot-otot lekas mengecil dan sendi-sendi menjadi kaku
sehingga kekuatan dan gerakan terganggu. Dalam keadaan istirahat, jantung bekerja
baik, seperti biasa, tetapi bila ada kegiatan, jantung tidak bereaksi secepat dulu dan
lanjut usia mengeluh, merasa panas atau dingin dalam ruang di mana orang yang
lebih muda merasa nyaman.
Terjadi juga pengapuran urat- urat saraf, pembulu nadi mengeras dan
dindingnya menebal. Sering timbul rasa nyeri pada pinggang, lutut dan tulang
punggung. Lemak antara setiap ruas tulang punggung semakin menyusut. Beberapa
di antara kaum lanjut usia merasakan itu terlebih pada ruas-ruas tulang punggung
bagian bawah, terpengaruh juga pada urat-urat saraf sampai pada jari- jari kaki.
Rambut semakin beruban akhirnya putih diawali pada pelipis lalu perlahan bergerak
sampai pada ubun- ubun. Kaum pria cenderung kehilangan rambut lebih cepat dan
lebih banyak, lalu menjadi semakin botak. Gejala lain ialah gigi mudah berlubang,
goyang dan tanggal. Sekali-kali menjadi sempoyongan karena kehilangan kesadaran
beberapa detik. Mudah capai bahkan bisa tidur di depan TV, namun malam hari sulit
tidur. Merasa kurang berharga, dan keadaan itu suka ditutup-tutupi, misalnya dengan
berusaha lebih keras, bahkan menjadi memaksa diri, namun hal itu akan berakibat
negatif dan dapat bermuara ke dalam sikap marah, mencela dan mempersalahkan
sesama.
Selanjutnya terjadi juga kekebalan tubuh menurun dan membawa bahaya
jatuh sakit, terlebih dalam keadaan stres. Tampak juga gejala- gejala tekanan darah
tinggi serta meningkatnya lemak dan gula dalam darah. Gejala yang sangat kentara
adalah berkurangnya daya pemulihan.
Gejala lain yang sering dikeluhkan kaum lanjut usia adalah kelopak mata
yang menjadi berat, perut semakin gendut, kulit pada tubuh mulai mengerisi, wajah
mantap, langkah kaki yang pasti dan memperlambat gerak- gerik, bahkan berat badan
menghalangi menaiki tangga dengan lancar. Menjadi tua bukanlah suatu penyakit,
melainkan suatu proses yang wajar dialami setiap insan sesuai jenjang hidup yang
telah diatur oleh Sang Pencipta (Bock, 2007: 5-7).
Fungsi panca indera berkurang dan tidak begitu tajam lagi karena saraf
menjadi lambat dalam mengantar impuls dan karena perubahan pada organ indera itu
sendiri. Penglihatan dalam keadaan sedikit gelap menjadi sukar dan diperlukan lebih
banyak cahaya untuk dapat melihat lebih jelas.
Pendengaran juga berkurang, dapat mengakibatkan percakapan yang biasa
dianggap sebagai bisikan-bisikan rahasia, sehingga dapat menimbulkan kecurigaan
yang mengganggu hubungan antar sesama. Karena kepekaan panca indera menurun
pada umumnya, maka orang lanjut usia kurang menerima informasi dari lingkungan,
ia menjadi lebih terisolasi dari dunia luar sehingga ia menjadi mudah tegang,
murung, emosional (lekas marah, cemas, sedih ataupun gembira). Hal ini
mengakibatkan orang lanjut usia merasa terkucil dan semakin kurang mau
melibatkan dirinya dalam berbagai kegiatan (Miramis, 1993: 26-27).
b. Gejala-gejala Mental
Salah satu gejala lain pada kaum lansia adalah berkurangnya perhatian pada
penampilan diri seperti rambut kurang rapi, kemeja atau blus sobek, celana atau rok
ada percikan cairan atau janggut tidak dicukur. Ada juga orang lanjut usia yang
awalnya jarang, bila diingatkan akan berjalan baik beberapa hari, tetapi kemudian
terjadi lagi dan lambat laun menjadi kebiasaan.
Gejala lain berkurangnya ketajaman indera netra, indera rungu, kecerdasan
dan daya tangkap, sedangkan daya berpikir kreatif bertambah. Daya ingat berkurang,
terlebih mengenai kejadian dan pengalaman baru, sedangkan kejadian yang sudah
lama tetap tersimpan. Sering kaum lanjut usia mau mengingat nama orang, tetapi
nama itu tidak muncul- muncul dalam ingatannya.
Kaum lanjut usia sering bicara mengenai masa lalu yang dilihatnya sebagai
masa emas. Mereka dapat bercerita berjam-jam lamanya tentang pengalaman mereka
di masa muda atau di masa karya. Pengalaman-pengalaman itu mengandung makna
mendalam dan tidak boleh diterjemahkan secara mentah tetapi perlu dijernihkan dan
dipahami. Perlu melihat pengalaman-pengalaman yang lalu dan menggali kehidupan
masa lampau dalam cahaya Ilahi.
Kebiasaan-kebiasaan perilaku dan kejiwaan ya ng dilakukan pada masa muda
muncul kembali pada masa tua. Kalau dalam masa muda menjadi orang sulit, maka
setelah menjadi tua akan menjadi sulit juga. Bila pada masa muda cenderung
menyendiri, maka setelah lanjut usia pun ia akan sering menyendiri. Maka selama
masa muda perlu membangun perilaku dan kebiasaan serta kejiwaan yang positif dan
menyenangkan agar pada masa lanjut usia menjadi orang yang menyenangkan
(Bock, 2007: 10-13).
Miramis (1993: 4) menuliskan juga bahwa lanjut usia pada umumnya hanya
menonjolkan ciri-ciri khas usia muda dan us ia pertengahan. Bila pada waktu itu
lanjut usia juga sifat-sifat seperti itu biasanya menjadi semakin parah. Oleh karena
itu perlu mengubah sifat-sifat yang tidak baik sewaktu masih muda. Dengan
demikian setelah menjadi tua sifat-sifat yang baik itu tercermin dalam sikap dan
tingkah laku kaum lanjut usia.
4. Tahap-Tahap Lanjut Usia
Dengan melihat gejala- gelaja yang dialami oleh mereka yang lanjut usia,
dapat dilihat adanya beberapa tahap lanjut usia yakni pertama, lanjut usia muda yaitu
mereka yang baru saja meraih umur 60 tahun. Sebagian dari mereka sudah pensiun
dan mereka masih tergolong cukup segar secara rohani dan jasmani. Kedua, lanjut
usia madya yang berumur 70 tahun ke atas, mereka ini mulai mengalami penurunan
stamina dan mulai menunjukkan gejala penguzuran. Ketiga, lanjut usia tua suntuk
yang berumur 80 tahun ke atas yang memerlukan bantuan, pendampingan, serta
perawatan khusus. Keempat, lanjut usia tua lontok (bengok) yang berumur 90 tahun
ke atas dan yang menderita macam- macam penyakit. Mereka telah menunjukkan
gejala pikun, banyak lupa, mudah bingung sering kehilangan orientasi dan mereka
tidak lagi mengikuti perkembangan.
Biasanya kelompok lanjut usia muda (60 tahun ke atas) masih cukup segar.
Banyak di antara mereka masih menggunakan waktu dengan baik untuk aktif
mengerjakan beberapa pekerjaan yang masih bisa dikerjakan. Mereka tetap mandiri
dan kreatif. Pada saat lanjut usia inilah mereka dapat mengerjakan
pekerjaan-pekerjaan yang selama ini tertunda karena mereka tidak terikat dengan jadual yang
Pada tahap lanjut usia madya (70 tahun ke atas) sudah mulai menunjukkan
gejala penguzuran. Dalam tahap ini mereka mulai mengalami penurunan daya ingat,
sering lupa nama orang, tempat, serta peristiwa. Hal-hal yang masih biasa mereka
lakukan akan dijalankan dengan irama yang sangat lambat seperti menulis, bicara,
senam, berjalan dan bekerja.
Pada tahap lanjut usia suntuk (80 tahun ke atas), mulai penurunan tenaga
yang memaksa mereka minta bantuan dan perawatan. Bisa dibayangkan pada
umur-umur ini beban cukup berat, ketergantungan pada kebaikan orang lain tidak selalu
mudah diterima. Mengomel, marah dan rasa tidak puas sering terlontar dari mulut
mereka. Mereka harus belajar menunggu kerelaan sesama agar kebutuhan paling
sederhana dan paling intimpun dipenuhi. Mereka ini sungguh tergantung dengan
orang-orang yang merawatnya dan pola hidupnya pun sesuai dengan yang merawat.
Pada saat ini kesepian bertambah besar dan sekali waktu orang merasa seperti
ditinggalkan. Pada masa ini setiap orang yang mengalaminya perlu mencari makna
yang terkandung dalam tahap hidup ini (Bock, 2007: 8-9).
b. Lanjut Usia Menurut Kitab Suci
Untuk memahami sepenuhnya makna dan nilai lanjut usia, kita dikuatkan
melalui ajaran yang dituliskan dalam Kitab Suci. Ada beberapa ayat dalam Kitab
Suci yang mendorong pemikiran kembali makna lanjut usia. Tulisan mengenai
lanjut usia ini dapat kita temukan dalam beberapa teks Kitab Suci.
1. Im. 19:32: “Engkau harus bangun berdiri di hadapan orang ubanan dan engkau
Penghormatan terhadap orang tua sudah ditegaskan dan dianjurkan dari dulu
pada zaman Perjanjian Lama oleh Bangsa Israel. Hal ini tertulis juga dalam hukum
Taurat yakni sepuluh perintah Allah yang selalu dipedomani dan dipelihara oleh
Gereja hingga saat ini. Kebudayaan hormat kepada orang tua amat terpelihara sampai
saat ini khususnya budaya bagian Timur. Orang tua dianggap sebagai wakil Allah
yang hidup dalam mendidik, mengajari, menasihati dan memelihara hidup bagi
anak-anak dan cucu-cucunya. Orang tua selalu memberikan ajaran dan nasehat yang baik
dan berguna untuk kehidupan anak-anak serta keturuna nnya di masa yang akan
datang.
Kerap orang meminta pesan ataupun wejangan dari orang tua pada masa
tuanya untuk dipedomani, diingat dalam masa hidupnya dan pesan itu pasti akan
diingat serta dikenang selama hidupnya. Dari pengalaman ini dapat dilihat betapa
manusia amat menghargai para orang tua yang sudah lanjut usia (Dewan Kepausan
untuk Kaum Awam, 2002: 24-26).
2. Mzm 92:15: “Mereka masih berbuah di masa tua”.
Sekalipun ciri khas lanjut usia adalah kelemahan-kelemahan serta
rintangan-rintangan jasmani, tetapi kuasa Allah dapat juga dinyatakan dalam diri orang yang
lanjut usia. Hal ini menyatakan bahwa dalam diri lanjut usia yang lemah dan kecil,
Allah menunjukkan kekuasaan-Nya: “Tetapi apa yang bodoh bagi dunia, dipilih
Allah untuk memalukan orang-orang ya ng berhikmat dan apa yang lemah bagi dunia,
dipilih Allah untuk meniadakan apa yang berarti, supaya jangan ada seseorang
Allah untuk menyelamatkan juga terpenuhi dalam tubuh-tubuh ya ng rapuh, lemah
dan layu, tidak berdaya dan tidak muda lagi. Dari rahim Sara yang mandul dan
Abraham yang sudah tua justru lahirlah bangsa terpilih. Demikian juga dalam
Perjanjian Baru yaitu Yohanes Pembaptis sebagai pendahulu Kristus, ia lahir dari
rahim Elisabet yang sudah mandul dan Zakharia yang sudah lanjut usia (Lih. Luk
1:5-25). Maka para kaum lanjut usia yang selalu merasa hidup senantiasa diliputi
kegelapan dan kelemahan sungguh dapat memandang dirinya sebagai suatu alat
dalam sejarah keselamatan: “Dia akan dipuaskan dengan umur panjang dan
Kuselamatkan” (Mzm 91:16), demikianlah Tuhan berjanji (Dewan Kepausan untuk
Kaum Awam, 2002: 26-27).
3. Pkh 12:1: Ingatlah akan Penciptamu pada masa mudamu sebelum tiba hari- hari
yang malang dan mendekat tahun-tahun yang kau katakan: “Tak ada kesenangan
bagiku di dalamnya”.
Teks Kitab Suci ini merupakan suatu peringatan terhadap lanjut usia yang
amat mengejutkan, seperti yang ditambahkan Pemazmur lagi, hidup orang berakhir
dalam sekejap dan hidup itu tidak selalu enak dan mudah. Perkataan Pengkotbah ini
memberikan gambaran yang suram tentang lanjut usia dan melukiskan kemunduran
dalam hidup yang penuh kesukaran, keresahan, dan penderitaan. Dalam mengalami
semua penderitaan tersebut, Kitab Suci mengingatkan agar orang menengadah dan
memandang Allah selama hidup, karena Allah satu-satu-Nya tujuan perjalanan
usia dialami sebagai cobaan yang berat (Dewan Kepausan untuk Kaum Awam, 2002:
27-28).
4. Mzm 90:12: “Ajarilah kami menghitung hari- hari hidup kami sedemikian hingga
kami beroleh hati yang bijaksana”.
Dewan Kepausan untuk Kaum Awam (2002: 30) menuliskan bahwa Kitab
Suci mengatakan bahwa salah satu “kharisma hidup panjang” adalah kebijaksanaan.
Akan tetapi kebijaksanaan bukan hak istimewa usia tua yang otomatis, namun
kebijaksanaan merupakan anugerah Allah, yang harus diterima oleh orang-orang
lanjut usia, maka mereka perlu mengusahakan memiliki kebijaksanaan sebagai
tujuan hidup mereka. Hanya dengan mengejar tujuan itu mereka dapat mencapai
kebijaksanaan hati yang memampukan mereka untuk “menyadari betapa singkatnya
hidup mereka, yaitu untuk menghayati waktu yang diberikan oleh Penyelenggara
Ilahi kepada masing- masing dengan penuh tanggungjawab. Hakekat kebijaksanaan
ini merupakan penemuan makna mendalam hidup manusia dan penemuan tujuan
transendenhidup manusia dalam Allah. Kebijaksanaan ini amat penting bagi kaum
lanjut usia yang dipanggil untuk hidup tanpa melupakan “satu-satunya hal yang
paling penting” (lih. Luk 10:42).
5. Mzm 71:1: “Pada-Mu ya Tuhan aku berlindung, janganlah sekali-sekali
mendapat malu”.
Mazmur yang indah ini merupakan salah satu dari banyak doa kaum lanjut
perasaan saleh yang dialami jiwa di hadirat Tuhan. Doa merupakan sarana utama
untuk memperoleh pengertian rohani tentang hidup khas bagi kaum lanjut usia.
Walaupun mereka tidak lagi bisa berbuat apa-apa karena kelemahan tubuh atau
karena sakit, melalui doa kaum lanjut usia dapat memberikan pelayanannya terhadap
tugas Gereja. Melalui doa mereka dapat terhibur dari rasa terisolasi dan
ketidakberdayaan untuk merasakan sukacita orang lain (Dewan Kepausan untuk
Kaum Awam, 2002: 30-32).
6. 2Tim 4:6-7: “Mengenai diriku, darahku sudah mulai dicurahkan sebagai
persembahan dan saat kematianku sudah dekat. Aku telah mengakhiri
pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara
iman”.
Dalam teks di atas Paulus berada di Roma dan sedang dalam penjara, namun
tetap diberi kesempatan untuk mewartakan Sabda Tuhan kepada jemaat yang pada
waktu itu ada di Roma. Paulus menyadari bahwa kematiannya sudah dekat, merasa
tua dan sudah kehabisan tenaga. Dari penjara, dengan penuh cinta dia menulis surat
kepada orang yang dikasihinya yaitu Timotius “yang dilahirkannya dalam iman” dan
kemudian menjadi muridnya yang setia. Di sini Paulus menggambarkan hidupnya
dalam kiasan “olahraga” yang sudah melewati garis akhir menuju Tuhan. Dengan
sungguh-sungguh Paulus memelihara imannya dalam berbagai pengalaman.
Pengalaman Paulus ini, hendak menggambarkan bahwa menjadi tua serupa
dengan berputarnya roda yaitu pemenuhan lingkaran kehidupan langkah demi
adalah suatu pesembahan dan siap sedia untuk memberi, dengan demikian hidupnya
menjadi lebih bermakna.
Bertambahnya usia tidak perlu disembunyikan atau disangkal, namun dapat
dimengerti, diterima dan dialami sebagai proses perkembangan. Kalau menjadi tua
dapat dialami sebagai perkembangan budi, hati dan perkembangan kehidupan itu
sendiri, maka bertambahnya usia dapat menjadi suatu gerak menuju saat kepenuhan.
7. Fil 1:9-12: “Tetapi mengingat kasihmu itu, lebih baik aku memintanya dari
padamu. Aku, Paulus, yang sudah menjadi tua, lagi pula sekarang dipenjarakan
karena Kristus Yesus”.
Dalam teks ini Paulus mengingat orang yang sungguh dikasihi yaitu Filemon
yang pada waktu itu tidak bersama dia. Kepadanya Paulus menulis kutipan ini
denga n memohon agar Filemon menerima seorang saudara yang sungguh berguna
bagi Paulus yaitu Onesimus, yang selanjutnya akan sangat berguna juga bagi
Filemon. Pada waktu itu Paulus merasa sudah tua apalagi dipenjarakan karena
Kristus. Dengan mengirim Onesimus kepada Filemon, Paulus bermaksud agar
mereka kerjasama untuk tugas pelayanan dalam Gereja. Dengan rendah hati Paulus
mempercayakan diri kepada saudara-saudaranya, memberikan tugas dan kuasa untuk
melanjutkan perutusannya. Di sini tercermin suatu hubungan dari generasi ke
generasi yaitu dari masa tua ke masa yang muda. Paulus yang sudah menjadi tua
menjalin hubungan dengan seorang yang lebih muda yaitu Filemon, agar dia
melanjutkan tugas perutusannya bersama dengan seorang yang muda lagi yaitu
Menurut penulis, ini berarti bahwa ada hubungan timbal balik antara generasi
tua dengan generasi muda. Dari satu pihak generasi tua membagikan pengalaman
hidup dan ajaran-ajaran kepada generasi muda sebagai model hidup yang sudah
dirintis dan dijalani. Sementara generasi muda memberikan perhatian kepada
generasi tua sebagaimana yang diharapkan Rasul Paulus dalam suratnya kepada
Filemon. Maka masa tua bukanlah alasan untuk berputus asa, melainkan masa yang
seharusnya disyukuri, berkat pengalaman hidup sebagaimana dialami Rasul Paulus.
Dari pengalaman kaum lanjut usia yang ada dalam Kitab Suci ini, dapat
memberi suatu pencerahan baru bahwa pada masa tuapun Allah tetap berkarya dan
bahkan menampakkan karya keselamatan. Maka dari pandangan ini kaum lanjut usia
boleh memandang, bahwa masa tua merupakan sesuatu yang penuh rahmat, karena
itu patut diterima dengan hati terbuka dan disyukuri.
c. Makna Dan Nilai Lanjut Usia
Pada tahun-tahun terakhir ini, manusia hidup lebih lama daripada tahun-tahun
yang lalu dan mereka dapat mengembangkan minat- minat yang dimiliki berkat
pendidikan yang lebih tinggi. Maka lanjut usia bukan dipandang lagi sebagai
ketergantungan pada orang lain atau berkurangnya mutu hidup yang akan
memberikan gambaran negatif bagi kaum lanjut usia. Tetapi di atas semuanya itu
mereka perlu didorong supaya menerima masa hidup secara positif dan tidak
memandang masa lanjut usia sebagai suatu beban yang berat. Dengan demikian
mereka dapat mengisi, menikmati dan memaknai masa lanjut usia dengan
Orang sering menilai bahwa masa lanjut usia merupakan masa kemunduruan,
masa kelemahan dari segi kemanusiaan dan sosial. Pandangan ini diterima begitu
saja tanpa melihat potensi dan kekayaan yang masih dimiliki oleh kaum lanjut usia.
Padahal ada banyak orang berusia lanjut yang mampu melihat arti penting lanjut usia
dalam konteks eksistensi manusia yang memberi mereka kesempatan-kesempatan
untuk tumbuh, berkembang dan bertekad baik (Dewan Kepausan untuk Kaum
Awam, 2002: 16).
Bock (2007: 3) mengatakan bahwa dalam umur tua orang akan mengalami
banyak keluhan dan penyusutan, tetapi masa itu merupakan masa penuh rahmat dan
hadiah yang amat berharga dari Allah Pencipta yang perlu dipelihara dan dirawat
dengan saksama. Lanjut usia juga ditandai dengan kebaikan dan kegembiraan,
dengan harapan dan kejutan. Orang dapat mencapai puncak perkembangan rohani
dan intelektual justru dalam lanjut usia. Sekali lagi ditegaskan bahwa masa tua
merupakan masa yang penuh rahmat.
Maka diharapkan setiap orang mempersiapkan diri untuk menerima lanjut
usia agar kelak dapat menghayatinya sepanjang hidup, karena lanjut usia tumbuh dan
berkembang bersama dengan diri sendiri dan mutunya tergantung pada kemampuan
untuk memahami dan menghargai nilainya baik pada tingkat manusia semata- mata
maupun tingkat iman. Tartono (2004: 20-22) mengatakan: Orang pada masa tuapun
masih bisa berbuat hal yang berarti dan bermakna. Karena yang harus dilakukan
tidak mesti hal yang besar, hebat atau luar biasa, cukup melakukanhal yang kecil
dan sederhana, asal dikerjakan dengan sepenuh hati, segenap jiwa dan seluruh
biasa. Maka kaum lanjut usia hendaknya jangan pernah merasa kecil hati, apalagi
rendah diri karena hanya dapat berbuat yang kecil dan sederhana. Sebaliknya merasa
berbangga hati karena masih bisa berbuat sesuatu kendati kecil dan sederhana.
Dewan Kepausan untuk Kaum Awam (2002: 18) menyampaikan, bahwa
orang harus meletakkan usia tua dalam konteks rencana penyelenggaraan Allah
sendiri yang adalah kasih. Setiap orang harus menyambutnya sebagai tahap dalam
perjalanan yang digunakan oleh Kristus untuk menuntunnya ke rumah Bapa (lih.
Yoh 14:2). Hanya dengan diterangi iman dan diperkuat oleh pengharapan yang tidak
akan sia-sia (lih. Rm 5:5), orang akan mampu menyambut usia tua dengan cara yang
benar-benar kristiani, baik secara anugerah maupun sebagai tugas. Inilah rahasia
semangat muda yang tetap dapat dipupuk dan dikembangkan meskipun makin hari
orang makin menjadi tua.
Bila melihat anjuran dan ajakan yang diutarakan Yohanes Paulus II ini, maka
kaum lanjut usia tidak perlu memberontak karena usianya yang tua, tetapi seharusnya
menyambut dan menerima masa tuanya dengan penuh syukur yang didasari oleh
iman dan kasih akan Allah yang selalu menuntunnya selama perjalanan hidup. Maka
setiap kesulitan, kelemahan dan pergulatan yang dihadapi tidak ditanggung sendiri,
tetapi dialami bersama Yesus yang diikutinya, supaya beban penderitaan akan
semakin ringan.
Untuk sampai pada tahap penerimaan di atas tentunya kaum lanjut usia tidak
bisa berjalan sendiri, tetapi perlu mendapatkan pendampingan dari sesamanya. Maka
setiap orang diharapkan dapat bertanggungjawab atas sesamanya seperti yang