• Tidak ada hasil yang ditemukan

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi"

Copied!
137
0
0

Teks penuh

(1)

i

PERBEDAAN NASIONALISME ANTARA SISWA SEKOLAH

BIASA DAN SISWA SEKOLAH BERTARAF

INTERNASIONAL

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun oleh: Swastika Maharani

069114014

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

iv PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang sudah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 7 Juni 2011 Penulis

(5)

v

PERBEDAAN NASIONALISME ANTARA SISWA SEKOLAH BIASA DAN SISWA SEKOLAH BERTARAF INTERNASIONAL

Swastika Maharani

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menguji perbedaan nasionalisme antara siswa sekolah biasa dan siswa sekolah bertaraf internasional. Nasionalisme dalam penelitian ini dibagi dalam dua dimensi yaitu, dimensi chauvinisme dan dimensi patriotisme. Hipotesis pertama dalam penelitian ini adalah terdapat perbedaan nasionalisme pada dimensi chauvinisme antara siswa sekolah biasa dan siswa sekolah bertaraf internasional. Hipotesis kedua yaitu, terdapat perbedaan nasionalisme pada dimensi patriotisme antara siswa sekolah biasa dan siswa sekolah bertaraf internasional. Subyek dalam penelitian ini berjumlah 120 orang, yang terdiri dari 60 siswa sekolah biasa dan 60 siswa sekolah bertaraf internasional. Seluruh subyek merupakan siswa SMA yang sedang menempuh pendidikan di Jakarta dan berusia 15 sampai 18 tahun. Penelitian ini menggunakan dua skala, yaitu skala nasionalisme dimensi chauvinisme dan skala nasionalisme dimensi patriotisme yang dibuat sendiri oleh penulis. Berdasarkan hasil uji hipotesis dua sisi (2 tailed) menggunakan

Independent Sample t- test, pada skala chauvinisme didapatkan angka 0,791 (p>0,05). Hal ini berarti bahwa tidak terdapat perbedaan nasionalisme pada dimensi chauvinisme antara siswa sekolah biasa dan siswa sekolah bertaraf internasional. Pada skala patriotisme didapatkan angka 0,012 (p>0,05). Hal ini berarti bahwa terdapat perbedaan nasionalisme pada dimensi patriotisme antara siswa sekolah biasa dan siswa sekolah bertaraf internasional.

(6)

vi

THE DIFFERENCE OF NATIONALISM BETWEEN STUDENTS OF REGULAR SCHOOLS AND STUDENTS OF INTERNATIONAL

SCHOOLS

Swastika Maharani

ABSTRACT

This research aimed to examine if there is a difference regarding nationalism between students of regular schools and students of international schools. For the purpose of this research, nationalism was divided into two dimensions: the dimension of chauvinism and the patriotic dimension. The first hypothesis in this research is that there is a difference on the chauvinism dimension between students of regular schools and students of international schools. The second hypothesis is that there is a difference on the patriotic dimension between students of regular schools and students of international schools. This research was conducted by having 120 students fill out questionnaires. Of these 120 students, 60 students went to regular school and 60 students went to an international school. All participants were senior high school students in Jakarta, aged 15 – 18. Two scales were used in this research. On the one hand, a scale using chauvinism, on the other hand one using the patriotic dimension. Both scales were made by the author. Using an Independent Samples t–test, the result on the chauvinism scale was 0,791 (p>0,05). This indicates that there is no difference of nationalism on the chauvinism dimension between students of regular schools and students of international schools. In contrast to this, on the patriotic scale, the number was 0,012 (p>0,05). This result indicates that there is a difference of nationalism on the patriotic dimension between students of regular schools and students of international schools.

.

(7)

vii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:

Nama : Swastika Maharani

Nomor Mahasiswa : 069114014

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

Perbedaan Nasionalisme antara Siswa Sekolah Biasa dan Siswa Bertaraf Internasional

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelola dalam bentuk penskalaan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan yang saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal : 7 Juni 2011

Yang menyatakan,

(8)

viii

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur atas kasih Tuhan Yesus yang begitu besar sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini tidak lepas dari peran serta dan bantuan dari berbagai pihak yang telah banyak membantu penulis, untuk itu dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada :

1. Bapak V. Didik Suryo H., S.Psi., M.Si. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih atas masukan dan kesabaran bapak selama ini.

2. Ibu Dr. Christina Siwi Handayani selaku dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

3. Bapak Prof. Dr. A. Supratiknya selaku dosen pembimbing akademik.

4. Dosen-dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang telah membagikan ilmunya sehingga penulis dapat mencapai tahap ini. 5. Segenap staff dan karyawan Fakultas Psikologi, Mas Gandung, Pak Gie,

Bu Nanik, Mas Muji dan Mas Doni, atas segala bantuan dan keramahan yang diberikan selama penulis belajar hingga menyusun skripsi di Fakultas Psikologi.

6. Rekan-rekan yang telah membantu penulis untuk menyebarkan dan bersedia mengisi angket, terimakasih atas kesediaan kalian dalam membantu proses pengambilan data.

7. Papa, Mama dan Ario. Terima kasih atas segala perhatian, dukungan, doa dan fasilitas yang telah diberikan. Aku sayang kalian...

8. Keluarga besar Soetyasmo dan keluarga besar Wasis. Terima kasih atas doa kalian di setiap arisan keluarga dan pertanyaan “kapan lulusnya?”. Anyway.. I can’t hardly wait for christmas!

9. Jagoanku. Gemblung dan Whiskey... Terima kasih.. bersama kalian, semua air mata menjadi tawa bahagia.Lov you both!

(9)

ix

11. Pihak-pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu, yang telah ikut membantu, baik langsung maupun tidak langsung. Tanpa bantuan kalian, skripsi ini tidak mungkin terselesaikan.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, segala kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan.

Akhir kata, semoga skripsi ini berguna bagi kita semua.

(10)

x DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ...ii

HALAMAN PENGESAHAN ...iii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ...iv

ABSTRAK ...v

ABSTRACT ...vi

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ...vii

KATA PENGANTAR ...viii

DAFTAR ISI ...x

DAFTAR TABEL ...xiv

DAFTAR LAMPIRAN ...xv

BAB I. PENDAHULUAN ...1

A. Latar Belakang Masalah ...1

B. Rumusan Masalah ...…...9

C. Tujuan Penelitian ...10

D. Manfaat Penelitian ...10

BAB II. LANDASAN TEORI ...12

A. Nasionalisme ...12

1. Pengertian Nasionalisme ...12

2. Dimensi Nasionalisme ...15

(11)

xi

b. Patriotisme ...17

B. Pendidikan di Indonesia ...19

C. Perbedaan Sekolah Biasa dengan Sekolah Bertaraf Internasional ...20

1. Sekolah Biasa (SB) ...21

a. Karakteristik Visi ...21

b. Konsep SB ...21

c. Proses Pembelajaran SB ...23

2. Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) ...24

a. Karakteristik Visi ...24

b. Konsep SBI ...24

c. Proses Pembelajaran SBI ...25

D. Remaja ...27

E. Perbedaan Nasionalisme antara Siswa Sekolah Biasa dan Siswa Sekolah Bertaraf Internasional ...29

F. Hipotesis ...33

G. Pertanyaan Deskriptif ...33

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ...34

A. Jenis Penelitian ...34

B. Identifikasi Variabel Penelitian ...34

C. Definisi Operasional ...34

1. Jenis Sekolah ...34

a. Sekolah Biasa ...34

(12)

xii

2. Nasionalisme ...35

D. Subyek Penelitian ...37

E. Metode dan Alat Pengumpulan Data ...38

F. Validitas, Reliabilitas dan Seleksi Item Alat Ukur ...39

1. Validitas ...39

2. Seleksi Item ...40

3. Reliabilitas ...41

G. Metode Analisis Data ...44

1. Uji Asumsi Data Peneltian ...44

a. Uji Normalitas ...44

b. Uji Homogenitas ...45

2. Uji Hipotesis Penelitian ...45

3. Analisis Data untuk Menjawab Pertanyaan Deskriptif ...46

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...47

A. Pelaksanaan Penelitian ...48

B. Hasil Penelitian ...48

1. Mata Pelajaran SB dan SBI ...48

a. Materi Pelajaran Sekolah Biasa ...49

b. Materi Pelajaran Sekolah Bertaraf Internasional ...54

2. Deskripsi Subyek Penelitian ...55

a. Persentase Subyek Berdasarkan Usia ...55

b. Persentase Subyek Berdasarkan Kelas ...56

(13)

xiii

3. Uji Asumsi ...57

a. Uji Normalitas ...57

b. Uji Homogenitas ...58

4. Hasil ...59

a. Uji Hipotesis ...59

b. Analisis Data untuk menjawab Pertanyaan Deskriptif ...60

c. Hasil Tambahan ...61

5. Pembahasan ...64

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ...72

A. Kesimpulan ...72

B. Saran ...73

DAFTAR PUSTAKA ...74

(14)

xiv

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Tabel Perbedaan SB dan SBI ...27

2. Tabel Blue PrintSkala Nasionalisme Sebelum Uji Coba ...39

3. Tabel Blue PrintSkala Nasionalisme Setelah Uji Coba ...42

4. Tabel Blue PrintSkala Nasionalisme Setelah Dikorelasikan dengan Skala Social Desirability ...43

5. Tabel Blue PrintSkala Nasionalisme Setelah Modifikasi ...44

6. Tabel Mata Pelajaran SB dan SBI ...48

7. Tabel Presentase Subyek Berdasarkan Usia ...55

8. Tabel Presentase Subyek Berdasarkan Kelas ...56

9. Tabel Presentase Subyek Berdasarkan Jenis Sekolah ...56

10. Tabel Hasil Uji Normalitas ...57

11. Tabel Hasil Uji Homogenitas ...58

12. Tabel Hasil Uji Hipotesis...60

13. Tabel Hasil Uji Hipotesis...60

14. Tabel Paired Samples t- test ...61

15. Tabel Mean Empiris ...62

(15)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman A. LAMPIRAN A : Skala Uji Coba Nasionalisme

dan Angket Social Desirability ...79

B. LAMPIRAN B : Uji Reliabilitas Butir Skala Nasionalisme ...86

C. LAMPIRAN C : Korelasi Skala Nasionalisme dan Angket Social Desirability ...96

D. LAMPIRAN D : Skala Penelitian Nasionalisme ...101

E. LAMPIRAN E : Uji Normalitas ...106

F. LAMPIRAN F : Uji Homogenitas ...108

G. LAMPIRAN G : Uji Hipotesis ...110

H. LAMPIRAN H : Uji Tambahan ...113

(16)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Era Globalisasi yang melanda dunia dewasa ini dapat menguntungkan

masyarakat Indonesia tetapi juga dapat merugikan yaitu dapat mengakibatkan

terkikisnya budaya nasional dalam masyarakat Indonesia yang pada akhirnya

melemahkan ketahanan negara (Handayani, 2008). Menurut Sofyan Wanandi

(2007) globalisasi telah membuat nilai-nilai bangsa Indonesia luntur dan

untuk dapat mempertahankan nilai-nilai tersebut dibutuhkan semangat

nasionalisme.

Di Indonesia, kesadaran nasionalisme para pemuda tumbuh karena

mereka prihatin melihat bangsa terus terlindas dalam kolonialisme dan kultur

imprealisme. Para pemuda itu memiliki pemikiran kritis, gigih, serta idealis

karena merasa ketidakadilan mulai merajalela. Nasionalisme tumbuh karena

sebuah dorongan jiwa dan moral sebagai anak bangsa (Marzali dalam

Rahmat, 2007)

Hidayat (2008) mengatakan bahwa nasionalisme adalah pilar utama

dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebuah negara yang tidak

ditopang dengan pilar nasionalisme yang kokoh akan menjadi rapuh,

kemudian runtuh, dan akhirnya tinggal sejarah. Nasionalisme lebih mengarah

pada perasaan cinta, rasa memiliki, dan mau berkorban dari individu atau

(17)

Mahfud (2009) mengatakan bahwa sikap nasionalisme anak bangsa

sekarang ini semakin berkurang. Hal tersebut ditandai dengan disorientasi,

dislokasi dan krisis sosial-budaya di kalangan masyarakat Indonesia.

Berbagai ekspresi sosial budaya yang sebenarnya ‘asing’ dan tidak memiliki

basis kultural dalam masyarakat Indonesia, semakin menyebar dan

memunculkan “gaya hidup” baru yang tidak selalu sesuai, positif dan

kondusif bagi kehidupan sosial budaya masyarakat Indonesia. Hal tersebut

dapat terlihat dari munculnya kultur hybrid atau budaya ‘gado-gado’ tanpa identitas, di Indonesia saat ini. Pada satu sisi, kemunculan budaya hybrid

tampaknya tidak terelakkan, khususnya karena proses globalisasi yang

semakin sulit dihindari. Pada sisi lain, budaya hybrid dapat mengakibatkan erosi budaya, lenyapnya identitas kultural nasional dan lokal. Padahal,

identitas nasional dan lokal tersebut mutlak diperlukan bagi terwujudnya

integrasi sosial, kultural dan politik masyarakat dan negara-bangsa (Mahfud,

2009).

Krsnaagni (2005) menambahkan bahwa globalisasi dalam aspek

ekonomi, menyebabkan hilangnya rasa cinta terhadap produk dalam negeri

karena banyaknya produk luar negeri membanjiri di Indonesia. Hilangnya

rasa cinta terhadap produk dalam negeri menunjukan gejala berkurangnya

rasa nasionalisme masyarakat kita terhadap bangsa Indonesia. Segala sesuatu

yang berbau lokal dianggap ketinggalan jaman. Di samping itu masyarakat

Indonesia kelas atas lebih senang menghabiskan waktu untuk berbelanja ke

(18)

Edy Santosa (2009) mengatakan bahwa menurunnya rasa nasionalisme

dapat meyebabkan jaringan teroris bergerak leluasa. Penurunan rasa

nasionalisme terjadi akibat keyakinan diri yang terikat sebagai suatu bangsa

tererosi dan meluntur. Disamping itu, secara umum kondisi masyarakat yang

terbebani dengan himpitan berbagai persoalan untuk memenuhi kebutuhan

pokok yang semakin sulit. Kemudian timbul pemahaman bahwa urusan

keamanan bukan urusan mereka tetapi merupakan urusan pemerintah semata.

kondisi tersebut membuat masyarakat menjadi tidak atau kurang peduli

terhadap kondisi keamanan lingkungannya. Ketidakpedulian masyarakat

terhadap keamanan dan lingkungannya menyebabkan kelompok teroris

dengan leluasa dapat membaurkan diri pada lingkungan kehidupan

masyarakat untuk aktivitasnya. Padahal dampak yang ditimbulkan dari

aksi-aksi terorisme sangat merusak mental, semangat dan daya juang masyarakat

dan dalam skala yang lebih luas serta jangka panjang dapat melumpuhkan

kehidupan masyarakat. Selain itu, Edy Santosa juga juga mengatakan bahwa

tidak menutup kemungkinan bahwa menurunnya rasa nasionalisme dapat

menyebabkan terjadinya disorientasi dan perpecahan.

Menurut Amien Rais (1999), salah satu cara yang digunakan untuk

menyelamatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari ancaman

melunturnya patriotisme dan nasionalisme adalah melalui pendidikan. Tidak

dapat dipungkiri lagi bahwa pendidikan telah memberikan sumbangan yang

sangat besar bagi masa depan bangsa. Pendidikan mempunyai peran dalam

(19)

bekal ilmu, keterampilan, wawasan, dan sikap. Pendidikan diharapkan

mampu meningkatkankan semangat nasionalisme para generasi muda yang

semakin meluntur. Sikap nasionalisme sangat dibutuhkan untuk membangun

Indonesia yang kuat dan kokoh karena dengan menanamkan perasaan cinta

tanah dan bangsa (nasionalisme) dalam hati serta adanya aplikasi dalam

kehidupan sehari-hari, suatu bangsa tidak akan mudah digoyahkan.

Ketertinggalan bangsa Indonesia dalam berbagai bidang di era

globalisasi dibandingkan negara-negara tetangga rupanya menyebabkan

pemerintah terdorong untuk memacu diri untuk memiliki standar

internasional. Sektor pendidikan termasuk yang didorong untuk berstandar

internasional. Sekolah internasional sebenarnya bukan fenomena baru di

Indonesia. Sekolah internasional pertama yang tercatat di Indonesia adalah

Jakarta International School (JIS). JIS didirikan pada tahun 1951 untuk melayani anak-anak para ekspatriat yang tinggal di Jakarta. Dua direktori dari

sekolah internasional di seluruh dunia mencatat terdapat 62 sekolah

internasional yang terletak di berbagai daerah di Indonesia. Sekolah-sekolah

tersebut telah berdiri mulai dari 1 tahun sampai 50 tahun. Sekolah

internasional ini bukan satu-satunya jenis sekolah swasta yang menyediakan

sertifikat internasional kepada siswa. Kelompok sekolah lain yang

mengklaim telah memiliki standar internasional adalah sekolah Nasional Plus

(NP) (Kustulasari,2009).

Kustulasari (2009) mengatakan bahwa sekolah Nasional Plus tidak

(20)

menawarkan program internasional, melainkan menggabungkan kurikulum

nasional dengan kurikulum internasional pilihan mereka. Jumlah sekolah NP

telah berkembang banyak dalam sepuluh tahun terakhir. Perkembangan

sekolah NP yang pesat ini juga tidak lepas dari dukungan pemerintah.

Pemerintah bahkan mencantumkan di dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang

Sisdiknas pasal 50 ayat (3) yang berbunyi, “Pemerintah dan/atau pemerintah

daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada

semua jenjang pendidikan, untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan

yang bertaraf internasional”. Oleh karena itu, Undang-Undang Sisdiknas

2003 memperkenalkan klasifikasi sekolah baru.

Sekolah itu antara lain disebut Sekolah Bertaraf Internasional (SBI),

Sekolah dengan Kategori Mandiri (SKM), dan kelompok Sekolah Biasa (SB).

Dari ketiga klasifikasi tersebut, pembangunan Sekolah Bertaraf Internasional

adalah pembangunan yang paling pesat. Hal tersebut di dukung oleh data

yang diperoleh Suara Pembaruan (2008) dalam kurun waktu 2005-2007 jumlah sekolah rintisan atau sudah bertaraf internasional sudah mencapai 749

sekolah. Rincian sekolah itu adalah Taman kanak-kanak (TK)/Sekolah Dasar

(SD) rintisan atau sudah bertaraf internasional mencapai 141 sekolah,

Sekolah Menengah Pertama (SMP) rintisan atau sudah bertaraf internasional

mencapai 170 sekolah, Sekolah Menengah Atas (SMA) rintisan atau bertaraf

internasional mencapai 259 sekolah, dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)

(21)

menutup kemungkinan, Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) akan

terus mengembangkan sekolah-sekolah lainnya menjadi SBI.

Dalam visi yang dijalankan, terdapat perbedaan antara sekolah biasa dan

sekolah bertaraf internasional. Visi sekolah biasa cenderung mengacu pada

UU no 20/ 2003, yang lebih mempersiapkan peserta didiknya untuk mampu

mengembangkan potensi diri dalam keagamaan, pengendalian diri,

kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan bagi diri,

masyarakat dan bangsa Indonesia. Sedangkan sekolah bertaraf internasional

memiliki visi untuk mewujudkan peserta didik yang cerdas dan kompetitif

atau memiliki daya saing secara internasional. Visi SBI untuk mampu

bersaing secara internasional diwujudkan dari kurikulum yang digunakan dan

proses belajar mengajar yang dilakukan. Kurikulum SBI mengacu pada

negara-negara yang tergabung dalam OECD (Organization for Economic Co-operation and Development) dan proses belajar mengajar disampaikan dalam bahasa Inggris.

Dari beberapa hal yang diungkapkan diatas, para pengamat pendidikan

memiliki pandangan yang berbeda-beda baik pro maupun kontra terhadap

perkembangan SBI. Pandangan yang kontra dikemukakan oleh M. Fajri

Siregar, seorang peneliti SBI Universitas Indonesia, dalam acara diskusi

publik "Membedah Kebijakan Sekolah Bertaraf Internasional" (2009) di

Jakarta. Beliau mengemukakan kekhawatiran pada pemerintah karena

pemerintah terkesan tidak mengontrol kurikulum dan materi pelajaran yang

(22)

nasional tersebut juga mengadopsi kurikulum internasional. Bahkan,

pengajarnya lebih banyak warga negara asing, termasuk penggunaan Bahasa

Inggris sebagai bahasa pengantar. Fajri mangatakan jika hal tersebut

dibiarkan maka tidak menutup kemungkinan akan muncul dampak panjang

sosial budaya dan nasionalisme pada anak-anak Indonesia. Para siswa begitu

minim pengetahuan sosial dan budaya Indonesia, nilai-nilai historis dan

nasionalisme, serta sikap individualisme yang begitu tinggi karena kurikulum

sekolah mempersiapkan mereka sebagai warga dunia atau sebagai komunitas

internasional, sedangkan nilai-nilai ke-Indonesiaan tidak ditanamkan.

Pendapat lain dikemukakan oleh Prof Suyanto PhD, Direktur Jenderal

Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Kementerian Pendidikan

Nasional. Beliau mengatakan bahwa di era globalisasi ini masyarakat diminta

untuk tidak berpikiran sederhana dan berpandangan picik. Jika hal-hal yang

bernuansa internasional selalu dipersoalkan, masyarakat akan terisolasi dan

semakin jauh tertinggal oleh kemajuan global. Oleh karena itu, pemerintah

sudah mengantisipasi dengan cara tidak semua mata pelajaran menggunakan

pengantar bahasa asing. Disamping itu beliau juga mengungkapkan bahwa

ketakutan masyarakat itu tidak masuk akal, hanya alasan bagi orang-orang

yang malas berbahasa asing. Beliau mempercayai sebuah teori yang

mengatakan bahwa setiap ada aksi selalu dilawan dengan reaksi. Bahwa

semakin gencar budaya global menerpa, sebenarnya secara otomatis budaya

lokal juga akan merespon dengan gencar pula karena masyarakat tidak ingin

(23)

masyarakat tidak perlu terlalu khawatir jika SBI akan melunturkan

kebanggaan akan budaya lokal karena justu akan semakin memperkokoh.

Hal ini diperkuat Hayden (2000) yang mengatakan bahwa nilai-nilai

yang ditanamkan oleh sekolah semacam SBI kepada para siswanya adalah

pemikiran yang universal, kepedulian dan empati, toleransi pada berbagai macam budaya, menghormati perilaku dan sudut pandang orang lain,

pemikiran yang tebuka, pemikiran yang fleksibel, netralitas dan afiliasi yang

universal. Nugroho (2008) mengemukakan bahwa manusia-manusia yang terbiasa hidup dan bekerja dalam keberagaman adalah manusia yang cakap

untuk masuk dalam globalisasi, oleh karena, globalisasi adalah keberagaman

dan suatu kesatuan.

Penelitian sebelumnya Coenders dan Scheepers (2003) menemukan

pengaruh pendidikan terhadap nasionalisme dan eksklusifitas etnis. Subyek

dalam penelitian ini terdiri dari berbagai kelompok, yaitu kelompok

berdasarkan tingkat pendidikan, jabatan, usia, dan agama. Hasil penelitian

secara umum menunjukkan bahwa pendidikan secara jelas berkaitan dengan

chauvinisme dan eksklusifitas etnis seperti, orang dengan tingkat pendidikan

tinggi cenderung tidak berprasangka terhadap etnis di luar kelompok mereka

daripada kelompok orang dengan tingkat pendidikan rendah. Pada dimensi

patriotisme tidak begitu tampak perbedaan antar kelompok-kelompok

pendidikan, hanya subyek dari kelompok pendidikan terendah saja yang

secara signifikan lebih patriotis dibandingkan dengan kelompok pendidikan

(24)

berpengaruh terhadap nasionalisme. Subyek dalam penelitian sebelumnya

adalah kelompok orang dari berbagai tingkat pendidikan sedangkan peneliti

ingin mengetahui apakah terdapat perbedaan rasa nasionalisme pada tingkat

pendidikan yang setara.

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan juga bahwa karakteristik

sekolah biasa berbeda dengan sekolah bertaraf internasional namun belum

diketahui secara tepat, jenis sekolah mana yang lebih menunjang

nasionalisme para siswa. Oleh karena itu peneliti ingin melihat apakah

terdapat perbedaan nasionalisme antara siswa sekolah biasa dan siswa sekolah

bertaraf internasional. Selain itu peneliti juga ingin melihat apakah terdapat

perbedaan kecenderungan nasionalisme antara siswa SB dan SBI dimana

kecenderungan nasionalisme yang dimaksud dalam penelitian ini adalah

chauvinisme atau patriotisme. Kecenderungan nasionalisme pada generasi

muda sekarang ini menarik untuk diketahui karena menurut Hamdi (2011)

sikap chauvinisme dapat berujung pada diskriminasi. Oleh karena itu, penting

untuk mengetahui apakah nasionalisme generasi muda sekarang ini termasuk

nasionalisme yang sehat atau tidak.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah ada perbedaan nasionalisme antara siswa sekolah biasa dengan

(25)

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan

nasionalisme antara siswa sekolah biasa dengan siswa sekolah bertaraf

internasional.

D. Manfaat Penelitian

1. Teoritis :

Memberi pengetahuan tentang perbedaan nasionalisme antara siswa

sekolah biasa dan sekolah bertaraf internasional serta memberi

pengetahuan tentang perbedaan kecenderungan nasionalisme pada tiap

jenis sekolah, yang nantinya dapat dijadikan informasi tambahan bagi

penelitian serupa.

2. Praktis :

a. Bagi pihak sekolah

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pihak sekolah

agar lebih memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi

nasionalisme para siswa.

b. Bagi orangtua

Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi kepada orang tua

untuk dijadikan bahan pertimbangan dalam memilih sekolah bagi

(26)

c. Bagi siswa

Penelitian ini diharapkan menjadi sumber informasi bagi para siswa

mengenai perbedaan nasionalisme antara siswa sekolah biasa dan

(27)

12 BAB II

LANDASAN TEORI

A. Nasionalisme

1. Pengertian Nasionalisme

Awalnya seorang tokoh di tahun 1862 yang berasal dari Prancis,

Ernest Renan, mengatakan bahwa nasionalisme adalah suatu paham

sekelompok orang yang mempunyai keinginan bersama untuk dan

mempertahankan persatuan. Di Indonesia nasionalisme dipertegas oleh

Pembukaan UUD 1945 sebagai nasionalisme pancasila yaitu religious

monoteistis, humanistis, berkerakyatan dan berkeadilan sosial.

Nasionalisme dan patriotisme saling kait mengkait dan merupakan dwi

tunggal. Keduanya disumberi oleh rasa cinta, hanya arahnya berbeda.

Apabila cinta nasionalisme lebih terarah kepada sesama bangsa maka

patiotisme lebih terarah kepada cinta tanah air dan keduanya berisikan

solidaritas atau setia kawan (Abdulgani, 1987

Pada tahun 2003 Anthony Smith (Miftahuddin, 2009) memberikan

pandangan yang lain tentang nasionalisme. Smith memberikan definisi

nasionalisme sebagai suatu gerakan ideologis untuk mencapai dan

mempertahankan otonomi, kesatuan, dan identitas bagi suatu populasi,

yang sejumlah anggotanya bertekad untuk membentuk suatu ‘bangsa’

(28)

Di kalangan ilmuwan sosial Ernest Gellner (Miftahuddin, 2009)

yang berkebangsaan Perancis dikenal sebagai modernis. Gellner

menjelaskan bahwa konteks nasionalisme dapat muncul dalam konteks

industrialisme karena hal tersebut merupakan ciri-ciri dan tuntutan

masyarakat modern dan industrialis itu sendiri, di mana di dalamnya

menuntut adanya egalitarianisme dan mobilitas individu di dalam

pencapaian tujuan-tujuan ekonomi dan politiknya. Tuntutan-tuntutan ini

memang cocok dengan gagasan yang diusung nasionalisme, yang hendak

menggeser tatanan budaya lama seperti adanya status budaya atau kelas,

yang selama ini membelenggu masyarakat untuk bergerak bebas (sesuatu

yang selama ini, menurut Gellner merupakan atribut masyarakat

pra-modern). Jadi nasionalisme, menurut Gellner, adalah ideologi politik dan

kebudayaan modernitas.

Masyarakat industri modern mengandaikan adanya kemampuan

individu untuk melakukan mobilitas tinggi lintas batas apa pun, termasuk

batas-batas status dan kelas. Dalam struktur masyarakat lama (pra-modern

dan pra-industri), kebebasan semacam ini tidak dimungkinkan, karena

adanya batas-batas yang tak mungkin dilewati, seperti jaring-jaring budaya

(seperti kelas, kasta, adat istiadat, status dan lain-lain). Modernisasi

menghasilkan jenis masyarakat industri baru, menuntut tenaga yang mobil,

terpelajar dan berjumlah banyak, mampu terlibat dalam kerja sistematik

dan komunikasi yang bebas konteks. Dalam konteks seperti ini masyarakat

(29)

egaliter. Di sinilah maka nasionalisme, menurut Gellner, merupakan suatu

keharusan bagi masyarakat modern. Sementara dalam masyarakat

sebelumnya yang agraris hanya ada sedikit orang yang terpelajar dan

orang-orang masih disatukan oleh struktur peran dan institusi yang

seringkali didasarkan pada kekeluargaan, di masyarakat industri modern

‘budaya telah menggantikan struktur’. Artinya, bahasa dan budaya

menjadi perekat baru bagi masyarakat yang telah terpecah-pecah dan

identitas mereka yang baru dan bisa diterima hanyalah kewarganegaraan

yang didasarkan pada pendidikan dan budaya. Karena itu, modernisasi

telah mengikis tradisi dan masyarakat tradisional, dan menjadikan bahasa

dan budaya sebagai basis tunggal untuk identitas.

Terkait erat dengan teori nasionalisme, yang penting juga untuk

dikemukakan di sini adalah konsep mengenai identitas. Di dalamnya buku

Nation and Identity (Miftahuddin, 2009) Poole menyatakan bahwa, kita

memiliki identitas karena kita memang mengidentifikasikan diri kita

dengan gambaran atau representasi yang memang disediakan untuk kita

gunakan. Jadi konsep identitas juga berkaitan dengan sikap nasionalisme

tiap individu, dimana sikap seseorang yang merasa berkebangsaan

Indonesia akan merepresentasikan budaya bangsanya melalui perilakunya.

Dengan melihat batasan dari bermacam-macam ahli tersebut,

terlihat bahwa nasionalisme adalah perasaan cinta terhadap tanah air yang

disatukan oleh nasib sepenanggungan karena adanya kesamaan sejarah

(30)

dan bangsa dari berbagai bentuk tantangan baik dari dalam maupun luar

negeri. Kondisi ini menyebabkan tiap individu harus melakukan

harmonisasi perbedaan budaya dan agama, untuk mencapai dan

mempertahankan otonomi, kesatuan, dan identitas bagi suatu populasi

yang sejumlah anggotanya bertekad untuk membentuk suatu bangsa.

2. Dimensi Nasionalisme

Menurut Marcel Coenders & Peer Scheepers (2003) nasionalisme

memiliki dua dimensi yaitu Chauvinisme dan Patriotisme:

a. Chauvinisme

Chauvinisme dapat digambarkan sebagai pandangan bahwa suatu

kelompok etnisnya sendiri dan suatu negaranya adalah unik dan

superior. Hal ini dilakukan dengan membandingkan secara rendah

etnis maupun negara lain yang dikombinasikan dengan memandang

fanatik buta dan tidak kritis pada kelompok dan negaranya sendiri.

Pengertian ini sejalan dengan pengertian Adorno et al (dalam

Coenders, 2003), yang mengatakan bahwa kombinasi dari perasaan

superior dan fanatik buta pada suatu negara atau kelompok dapat

disebut “Pseudopatriotism” (berbanding terbalik dengan “patriotisme

murni”), yang dapat didefinisikan sebagai fanatik buta terhadap

nilai-nilai budaya nasional tertentu, konformitas yang tidak kritis pada suatu

kelompok dan adanya penolakan terhadap negara-negara lain dan

(31)

Dewasa ini, Staub dan Schatz dan Lavine (1999) menyarankan

perbedaan yang lebih halus antara nasionalisme, fanatik patriotisme

dan konstruktif patriotisme. Nasionalisme didefinisikan sebagai

perasaan superioritas nasional dan mendukung dominasi nasional.

Fanatik patriotisme didefinisikan sebagai perilaku yang kaku dan tidak

fleksibel kepada suatu negara yang ditandai dengan tidak meragukan

evaluasi positif, setia pada negara dan intoleransi dalam kritik.

Argumen yang sama juga dikemukakan oleh Kosterman dan Feshbach

(dalam Mumendey, 2001), nasionalisme dapat menjadi kerugian suatu

kelompok karena mencakup pandangan bahwa suatu negara lebih

unggul daripada negara lain dan karenanya harus dominan.

Mencerminkan karakter Janus, Staub dan Schatz, mereka

mendefinisikan fanatik patriotisme sebagai suatu perilaku yang

mendukung setiap hal yang dilakukan kelompoknya baik itu benar

maupun salah.

Jadi, chauvinisme dalam penelitian ini adalah pandangan bahwa

suatu kelompok etnisnya sendiri dan suatu negaranya adalah unik dan

superior. Hal ini dilakukan dengan membandingkan secara rendah

etnis maupun negara lain yang dikombinasikan dengan perilaku

konformitas yang tidak kritis pada negaranya sendiri.

Berdasarkan definisi di atas, dapat diketahui bahwa aspek dari

(32)

1. Superior

Aspek ini ditunjukkan dengan adanya pandangan bahwa negaranya

adalah unik dan superior, sehingga seseorang cenderung

menganggap rendah negara lain. Perasaan superior ini dapat

menimbulkan penolakan terhadap negara-negara lain dan

menganggap negara lain di luar kelompok.

2. Fanatik

Aspek ini ditunjukkan dengan adanya perasaan cinta yang

berlebihan pada suatu negara sehingga menciptakan konformitas

yang tidak kritis pada suatu kelompok. Sikap fanatik ini dapat juga

diartikan sebagai suatu perilaku yang mendukung setiap hal yang

dilakukan kelompoknya baik itu benar maupun salah.

b. Patriotisme

Menurut Marcel Coenders & Peer Scheepers (2003) Patriotisme

adalah perasaan cinta, bangga pada suatu masyarakat dan negara yang

berdasar pada pemahaman kritis akan situasi negaranya. Sejalan

dengan hal tersebut, Staub dan Schatz dan Lavine (1999),

mendefinisikan konstruktif patriotisme sebagai perilaku mendukung

suatu negara yang ditandai dengan mempertanyakan dan mengkritik

praktek suatu kelompok saat ini yang dimaksudkan untuk

menghasilkan suatu perubahan yang positif. Hal tersebut juga sesuai

(33)

mengatakan konstruktif patriotisme itu merupakan kesadaran kritis

akan hal yang dilakukan kelompoknya dan kesetiaan terhadap

kelompoknya.

Kosterman dan Feshbach (dalam Mumendey, 2001) memahami

patriotisme sebagai aspek dasar yang berharga karena hal tersebut

mewakili perasaan keterikatan seseorang pada negara. Oleh karena itu

patriotisme dalam penelitian ini didefinisikan sebagai perasaan cinta,

bangga pada suatu masyarakat dan negara yang berdasar pada

pemahaman kritis akan situasi negaranya

Berdasarkan definisi di atas, dapat diketahui bahwa aspek dari

patriotisme adalah :

1. Perasaan bangga dan kepedulian terhadap kultur dan masyarakat

Aspek ini ditunjukkan dengan adanya perasaan cinta, bangga pada

suatu masyarakat dan negara yang berdasar pada pemahaman

kritis. Selain itu, aspek ini juga meliputi perasaan senasib dan

sepenanggungan terhadap masyarakat sekitar dan kepeduliam

terhadap kebudayaan.

2. Sikap kritis membangun

Aspek ini ditunjukkan oleh perilaku mendukung suatu negara yang

ditandai dengan mempertanyakan dan mengkritik praktek suatu

kelompok saat ini. Kritik tersebut dimaksudkan untuk

(34)

B. Pendidikan di Indonesia

Pendidikan Indonesia dewasa ini menghadapi berbagai tantangan dan

persoalan, diantaranya (Sa’ud, 2008):

1. Bertambahnya jumlah penduduk yang sangat cepat dan sekaligus

bertambahnya keinginan masyarakat untuk mendapat pendidikan, yang

secara kumulatif menuntut tersedianya sarana pendidikan yang memadai

2. Berkembangnya ilmu pengetahuan yang modern menghendaki dasar-dasar

pendidikan yang kokoh dan penguasaan kemampuan terus-menerus, dan

dengan demikian menuntut pendidikan yang lebih lama sesuai dengan

konsep pendidikan seumur hidup (life long education).

3. Berkembangnya teknologi yang mempermudah manusia dalam menguasai

dan memanfaatkan alam dan lingkungannya, tetapi yang sering kali

ditangani sebagai suatu ancaman terhadap kelestarian peranan manusiawi.

Persoalan-persoalan tersebut membuat masyarakat membutuhkan sarana

pendidikan yang memadai. Di Indonesia sendiri, menurut Undang-Undang

Sisdiknas tahun 2003 terdapat tiga klasifikasi sekolah baru. Sekolah itu antara

lain disebut Sekolah Bertaraf Internasional (SBI), Sekolah dengan Kategori

Mandiri (SKM), dan kelompok Sekolah Biasa (SB).

Perbedaan ketiga klasifikasi sekolah tersebut menurut Purwalodra (2009)

yaitu; untuk Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) yang dikelola oleh pihak

penyelenggara pendidikan, diberikan ruang gerak untuk menggunakan silabus

pembelajaran dan penilaian yang umumnya dipakai pada sekolah menengah di

(35)

Co-operation and Development) atau Negara maju lainnya yang mempunyai

keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan, sehingga memiliki daya saing

di forum Internasional. Silabus pembelajaran dan penilaian itu hanya

berfungsi sebagai bahan pengayaan terhadap kurikulum nasional (KTSP) saja.

Sementara itu, untuk Sekolah dengan Kategori Mandiri (SKM), pihak

penyelenggara pendidikan dapat memakai sistem kredit semester (SKS)

sebagaimana lazimnya di perguruan tinggi. Di sisi lain, Sekolah Biasa (SB)

hanya menyelenggarakan kegiatan pendidikan secara klasikal dan dengan

menggunakan KTSP.

Dari ketiga klasifikasi tersebut, pembangunan Sekolah Bertaraf

Internasional adalah pembangunan yang paling pesat karena dianggap mampu

menjawab persoalan yang ada. Dalam penelitian ini, peneliti hanya akan

membandingkan dua jenis sekolah saja yaitu sekolah bertaraf internasional

dan sekolah biasa karena menurut Depdiknas (2008) model pembelajaran

SKM menekankan pada potensi dan kebutuhan peserta didik agar mampu

belajar mandiri yang dibangun melalui komunitas belajar di kelas. Sedangkan

secara ideologi, SKM dan SB memiliki karakteristik yang hampir sama yaitu

lebih nasional dibandingkan dengan SBI yang cenderung mempersiapkan

siswanya untuk dapat bersaing di dunia internasional.

C. Perbedaan Sekolah Biasa dengan Sekolah Bertaraf Internasional

Berikut adalah perbedaan antara sekolah bertaraf internasional dengan

(36)

1. Sekolah Biasa (SB)

a. Karakteristik visi

Dalam sebuah lembaga/organisasi, menentukan visi sangat penting

sebagai arahan dan tujuan yang akan dicapai. Tony Bush & Merianne

Coleman (dalam Haryana, 2007) menjelaskan visi adalah gambaran dari

masa depan organisasi yang diinginkan. Hal tersebut berkaitan erat dengan

tujuan sekolah atau perguruan tinggi, yang diekspresikan dalam

terma-terma nilai dan menjelaskan arah organisasi yang diinginkan. Tony Bush

& Merianne Coleman mengutip pendapat Block, bahwa visi adalah masa

depan yang dipilih dan sebuah keadaan yang diinginkan.

Visi sekolah biasa mengacu pada sistem pendidikan nasional yang

ditetapkan melalui undang-undang berupa Undang-undang Republik

Indonesia Nomor 20/ 2003, menggantikan UU No. 2/ 1989. Dalam UU ini

pendidikan dipahami sebagai :

“usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan

proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan

potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,

pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta

keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”.

b. Konsep SB

Sekolah biasa menyelenggarakan kegiatan pendidikan secara klasikal

(37)

Tingkat Satuan Pendidikan merupakan kurikulum yang bersifat

operasional dan dilaksanakan di masing-masing tingkat satuan pendidikan.

Landasan hukum kurikulum ini yaitu Undang-undang Sikdiknas No. 20

Tahun 2003 dan Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 2005 tentang Standar

Nasional Pendidikan. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan disusun oleh

masing-masing sekolah dengan mengacu pada Standar Kompetensi

Lulusan (SKL) dan Standar Isi (SI) untuk jenjang pendidikan dasar dan

menengah. Penyerahan pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan

Pendidikan pada tiap sekolah dengan mengacu pada Standar Isi dan

Standar Kompetensi Lulusan bertujuan agar kurikulum tersebut dapat

disesuaikan dengan karakter dan tingkat kemampuan sekolah

masing-masing.

Isi kurikulum setiap jenis, jalur, dan jenjang pendidikan wajib

memuat; a). pendidikan Pancasila, b) pendidikan Agama, c) pendidikan

Kewarganegaraan. Mengenai bahasa pengantar, bahasa pengantar dalam

pendidikan nasional adalah bahasa Indonesia. Bahasa daerah dapat

digunakan sebagai bahasa pengantar dalam tahap awal pendidikan dan

sejauh diperlukan dalam penyampaian pengetahuan dan/atau keterampilan

tertentu. Bahasa asing dapat digunakan sebagai bahasa pengantar sejauh

diperlukan dalam penyampaian pengetahuan dan/atau melalui

(38)

c. Proses pembelajaran SB

Ciri-ciri proses pembelajaran, penilaian, dan penyelenggaraan SB:

(1) KTSP dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip :

a. Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan

peserta didik dan lingkungannya

b. Beragam dan terpadu

c. Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan

seni

d. Relevan dengan kebutuhan kehidupan

e. Menyeluruh dan berkesinambungan

f. Belajar sepanjang hayat

g. Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah

(2) Muatan lokal disesuaikan dengan ciri khas dan potensi daerah,

termasuk keunggulan daerah.

(3) Penilaian dilakukan dengan menggunakan tes dan non tes dalam

bentuk tertulis maupun lisan, pengamatan kinerja, pengukuran sikap,

penilaian hasil karya berupa tugas, proyek dan/atau produk,

penggunaan portofolio, dan penilaian diri.

(4) Ketuntasan belajar setiap indikator yang telah ditetapkan dalam suatu

kompetensi dasar berkisar antara 0-100%. Kriteria ideal ketuntasan

untuk masing-masing indikator 75%. Satuan pendidikan harus

menentukan kriteria ketuntasan minimal dengan mempertimbangkan

(39)

2. Sekolah Bertaraf Internasional (SBI)

a. Karakteristik visi

Visi sekolah bertaraf internasional menurut Haryana (2007) adalah

Terwujudnya Insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif secara

internasional. Visi ini mengisyaratkan secara tidak langsung gambaran

tujuan pendidikan yang diselenggarakan oleh sekolah model SBI, yaitu

mewujudkan insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif/memiliki daya

saing secara internasional.

b. Konsep SBI

Sekolah bertaraf internasional memiliki rumusan SNP + X (OECD).

Rumusan SNP + X (OECD) maksudnya adalah SNP singkatan dari

Standar Nasional Pendidikan plus X. Sedangkan OECD singkatan dari

Organization for Economic Co-operation and Development atau sebuah

organisasi kerjasama antar negara dalam bidang ekonomi dan

pengembangan. Anggota organisasi ini biasanya memiliki keunggulan

tertentu dalam bidang pendidikan yang telah diakui standarnya secara

internasional. Yang termasuk anggota OECD ialah: Australia, Austria,

Belgia, Kanada, Republik Ceko, Denmark, Finlandia, Perancis, Jerman,

Yunani, Hungaria, Islandia, Irlandia, Italia, Jepang, Korea, Luxemborg,

Meksiko, Belanda, Selandia Baru, Norwegia, Polandia, Portugal, Republik

Slovakia, Spanyol, Swedia, Swiss, Turki, Inggris, Amerika dan Negara

(40)

dan Hongkong. Sebagaimana dalam “Pedoman Penjaminan Mutu

Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional pada Jenjang Pendidikan Dasar

dan Menengah tahun 2007”, bahwa sekolah/madarasah internasional

adalah yang sudah memenuhi seluruh Standar Nasioanl Pendidikan (SNP)

dan diperkaya dengan mengacu pada standar pendidikan salah satu Negara

anggota Organization for Economic Co-operation and Development

(OECD) dan /atau Negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan

tertentu dalam bidang pendidikan, sehingga memiliki daya saing di forum

Internasional.

Jadi, SNP+X di atas artinya bahwa dalam penyelenggaraan SBI,

sekolah/madrasah harus memenuhi Standar Nasional Pendidikan

(Indonesia) dan ditambah dengan indikator X, maksudnya ditambah atau

diperkaya/di-kembangkan/diperluas/diperdalam dengan standar anggota

OECD di atas atau dengan pusat-pusat pelatihan, industri,

lembaga-lembaga tes/sertifikasi inter-nasional, seperti Cambridge, IB,

TOEFL/TOEIC, ISO, pusat-pusat studi dan organisasi-organisasi

multilateral seperti UNESCO, UNICEF, SEAMEO, dan sebagainya.

c. Proses pembelajaran SBI

Ciri-ciri proses pembelajaran, penilaian, dan penyelenggaraan SBI

sebagai berikut: (1) pro-perubahan, yaitu proses pembelajaran yang

mampu menumbuhkan dan mengembangkan daya kreasi, inovasi, nalar,

(41)

joy of discovery,(2) menerapkan model pembelajaran aktif, kreatif, efektif,

dan menyenangkan; student centered; reflective learning, active learning;

enjoyable dan joyful learning, cooperative learning; quantum learning;

learning revolution; dan contextual learning, yang kesemuanya itu telah

memiliki standar internasional; (3) menerapkan proses pembelajaran

berbasis TIK pada semua mata pelajaran; (4) proses pembelajaran

menggunakan bahasa Inggris, khususnya mata pelajaran sains,

matematika, dan teknologi; (5) proses penilaian dengan menggunakan

model penilaian sekolah unggul dari negara anggota OECD dan/atau

negara maju lainnya, dan (6) dalam penyelenggaraan SBI harus

menggunakan standar manajemen internasional, yaitu

mengimplementasikan dan meraih ISO 9001 versi 2000 atau sesudahnya

dan ISO 14000, dan menjalin hubungan sister school dengan sekolah

(42)

Dari deskripsi di atas, perbedaan antara SB dan SBI dapat

disimpulkan sebagai berikut :

Tabel.1

siswa agar berguna bagi

dirinya, masyarakat, bangsa

dan negara

Mewujudkan insan

Indonesia yang cerdas dan

memiliki daya saing secara

internasional

Konsep Menggunakan KTSP yang

mengacu pada SKL dan SI

Menggunakan rumusan SNP

Menggunakan tes dan non tes

dalam bentuk tertulis maupun

lisan sesuai dengan indikator

yang telah ditentukan

Menggunakan model

penilaian sekolah unggul

dari negara anggota OECD

atau negara maju lainnya

D. Remaja

Masa remaja merupakan masa transisi yang kompleks pada saat individu

beranjak dari anak-anak menuju perkembangan ke arah dewasa. Masa ini

merupakan masa dimana individu memiliki persahabatan pada kelompok

sebayanya. Hal ini didukung dengan banyaknya waktu yang dihabiskan

(43)

daripada orangtua mereka (Dacey & Kenny, 1997). Santrock (2002)

mengemukakan bahwa remaja merupakan masa peralihan perkembangan dari

masa anak-anak menuju masa dewasa.

Umumnya, masa remaja berlangsung sekitar umur 13 tahun sampai

umur 18 tahun, yaitu masa ketika anak duduk di bangku sekolah menengah

(Ali, 2004). Menurut Needlman (2004) sekolah mempunyai pengaruh yang

sangat besar bagi remaja, karena selain rumah, sekolah adalah lingkungan

kedua dimana remaja banyak melakukan berbagai aktifitas dan menjalin

hubungan sosial dengan teman-temannya. Berundt, dkk (dalam Steinberg,

2002) mengungkapkan bahwa konformitas remaja dengan teman sebayanya

menguat pada masa remaja awal (12-14 tahun) dan remaja tengah (15-17

tahun) dibandingkan pada usia sebelum remaja dan remaja akhir. Dalam

penelitian ini subyek yang digunakan siswa SMA usia 15-18 tahun yang

termasuk dalam remaja tengah. Menurut Brown & Bigler (dalam Scottham,

2008) sikap remaja tengah lebih menunjukkan penekanan yang lebih besar

pada nasionalisme dibanding remaja awal. Hal ini mungkin disebabkan oleh

perkembangan kognitif dan sosial yang lebih baik.

Perkembangan kognitif adalah perubahan kemampuan mental seperti

belajar, memori, menalar, berpikir, dan bahasa. Piaget (dalam Papalia & Olds,

2001) mengemukakan bahwa pada masa remaja terjadi kematangan kognitif,

yaitu interaksi dari struktur otak yang telah sempurna dan lingkungan sosial

yang semakin luas untuk eksperimentasi memungkinkan remaja untuk berpikir

(44)

operasi formal. Santrock (2001) mengatakan bahwa tahap operasi formal

adalah suatu tahap dimana seseorang sudah mampu berpikir secara abstrak.

Seorang remaja tidak lagi terbatas pada hal-hal yang aktual serta pengalaman

yang benar-benar terjadi. Dalam kaitannya dengan nasionalisme, seorang

remaja yang sudah mencapai tahap operasi formal diharapkan mampu

memahami mengenai konsep nasionalisme dan penerapannya dalam

kehidupan nyata. Remaja dapat memahami bahwa tindakan yang dilakukan

pada saat ini dapat memiliki efek pada masa yang akan datang. Dengan

demikian, seorang remaja mampu memperkirakan konsekuensi dari

tindakannya,

E. Perbedaan Nasionalisme antara siswa SB dan siswa SBI

Globalisasi telah membawa banyak perubahan dalam perkembangan

bangsa-bangsa di dunia baik positif maupun negatif, dan dalam berbagai

bidang seperti dalam bidang ekonomi, budaya, pendidikan dan lain-lain. Salah

satu dampak negatif dari globalisasi yaitu lunturnya nilai-nilai bangsa

Indonesia dan untuk dapat mempertahankan nilai-nilai tersebut dibutuhkan

semangat nasionalisme. Menurut Amien Rais (1999), salah satu cara yang

digunakan untuk menyelamatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari

ancaman melunturnya patriotisme dan nasionalisme adalah melalui

pendidikan.

Pendidikan merupakan usaha untuk menyiapkan murid-murid melalui

(45)

yang akan datang. Menurut Tilaar (2003) proses pendidikan merupakan suatu

tindakan yang sadar tujuan. Artinya, pendidikan itu dituntun oleh suatu sistem

norma dan nilai-nilai yang secara reflektif telah dipilih untuk peserta didik.

Sadar tujuan ini mempunya dua aspek, yaitu intern dan ekstern. Aspek intern

ialah sumber kuasa yang berada dalam diri peserta didik, yaitu keinginannya

untuk menjadi seorang individu. Sebaliknya, aspek ekstern adalah kekuasaan

dari luar diri peserta didik yang membimbing praksis pendidikan ke arah

tertentu. Inilah wilayah pelaksanaan ideologi sebagai sumber kekuasaan dalam

mengarahkan proses pendidikan. Jadi, sekolah sebagai lembaga pendidikan

formal memiliki peranan paling strategis bagi pembinaan generasi muda. Hal

ini didukung oleh pernyataan Needlman (2004) yang mengungkapkan bahwa

sekolah mempunyai pengaruh yang sangat besar bagi remaja, karena selain

rumah, sekolah adalah lingkungan kedua dimana remaja banyak melakukan

berbagai aktifitas dan menjalin hubungan sosial dengan teman-temannya.

Globalisasi juga membawa perubahan dalam bidang pendidikan di

Indonesia. Salah satu bukti pendidikan telah mendapat pengaruh dari

globalisasi adalah maraknya pembangunan Sekolah Bertaraf Internasional.

Hal ini didukung oleh Pemerintah Indonesia (Saksono, 2010) yang

menetapkan pendidikan sebagai bidang usaha yang terbuka untuk penanaman

modal asing, dan menjadi bagian dari paket kebijakan liberalisasi yang

ditetapkan melalui UU No. 25 tentang Penanaman Modal Asing, dan Perpres

No. 77 tahun 2007 tentang penetapan Bidang Usaha yang Tertutup dan

(46)

mutu pendidikan yang tertinggal jauh dari negara-negara lain, dan untuk

kapitalisasi modal yang diperlukan guna menyediakan pendidikan bermutu

bagi 103 juta penduduk usia pra-sekolah sampai penduduk usia pendidikan

tinggi,

SBI memiliki visi untuk menjadikan murid-muridnya sebagai komunitas

internasional mampu berkompetitif secara global dan berkarakter global. Visi

SBI untuk mampu bersaing secara internasional diwujudkan dari kurikulum

yang digunakan dan proses belajar mengajar yang dilakukan. Kurikulum SBI

mengacu pada negara-negara yang tergabung dalam OECD (Organization for

Economic Co-operation and Development) dan proses belajar mengajar

disampaikan dalam bahasa Inggris. Sedangkan karakter global itu sendiri

meliputi adanya perilaku demokratis, kritis, bersedia berbagi (ilmu tidak

dirahasiakan untuk menjadi miliknya), terbuka, adaptif. Hal tersebut

dikarenakan objek kajian yang diajarkan di SBI adalah nilai-nilai peradaban,

kemanusiaan, kesejahteraan dunia, pluralitas dan moral spiritual.

Menurut Hayden (2000) nilai-nilai yang ditanamkan oleh sekolah

semacam SBI kepada para siswanya adalah pemikiran yang universal,

kewaspadaan dan empati, toleransi pada berbagai macam budaya,

menghormati perilaku dan sudut pandang orang lain, pemikiran yang tebuka,

pemikiran yang fleksibel, netralitas dan afiliasi yang universal. Jadi

seharusnya masyarakat tidak perlu takut akan lunturnya nasionalisme pada

(47)

Pendapat berbeda diutarakan oleh Prof Dr Mungin Eddy Wibowo, MPd.,

seorang anggota Badan Standar Nasional (Susilo, 2010). Beliau mengatakan

bahwa dalam sekolah bertaraf internasional ditemukan adanya kecenderungan

pengikisan nasionalisme siswa akibat penggunaan bahasa asing. Realitas

pendidikan sekarang memberikan kesan bahwa pendidikan telah menjadi

komoditas binis bagi kaum pemilik modal. Rakyat ekonomi lemah tidak lagi

mampu mengenyam pendidikan bermutu sebagai akibat dari mahalnya biaya

pendidikan.

Sekolah biasa memiliki visi untuk menyelenggarakan pendidikan agar

murid-muridnya mampu mencapai tujuan pendidikan nasional. Hal ini terlihat

dari fungsi dan tujuan pendidikan sekolah biasa yaitu “Mencerdaskan

kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia indonesia seutuhnya yaitu

manusia beriman dan bertakwa keada tuhan Yang Maha Esa dan berbudi

pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan

rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab

kemasyarakatan dan kebangsaan”.

Perbedaan visi, kurikulum dan proses belajar-mengajar antara SB dan

SBI dalam mendidik para siswa akan mempengaruhi siswa dalam bersikap,

hal ini memungkinkan terjadi perbedaan nasionalisme antara SB dan SBI.

Namun, belum diketahui secara tepat, jenis sekolah mana yang lebih

menunjang nasionalisme para siswa. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk

mengetahui apakah terdapat perbedaan nasionalisme antara siswa sekolah

(48)

nasionalisme memiliki dua dimensi yaitu dimensi chauvinisme dan

patriotisme. Chauvinisme dapat digambarkan sebagai pandangan bahwa suatu

kelompok etnisnya sendiri dan suatu negaranya adalah unik, superior dan

membandingkan secara rendah etnis maupun negara lain namun tidak kritis

akan negaranya sendiri. Patriotisme adalah perasaan cinta, bangga pada suatu

masyarakat dan negara yang berdasar pada pemahaman kritis akan situasi

negaranya. Jadi penelitian ini dilakukan untuk melihat termasuk dimensi

nasionalisme yang manakah sikap para murid dari masing-masing jenis

sekolah tersebut.

F. Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah :

1. Terdapat perbedaan nasionalisme pada dimensi chauvinisme antara siswa

sekolah biasa dan siswa sekolah bertaraf internasional.

2. Terdapat perbedaan nasionalisme pada dimensi patriotisme antara siswa

sekolah biasa dan siswa sekolah bertaraf internasional.

G. Pertanyaan Deskriptif

Selain hendak menguji hipotesis, penelitan ini hendak menjawab

pertanyaan lain yaitu :

1. Apakah ada perbedaan kecenderungan nasionalisme, chauvinisme atau

patriotisme, antara siswa sekolah biasa dan siswa sekolah bertaraf

(49)

34

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian komparatif. Penelitian ini disebut

penelitian komparatif karena ingin melihat perbedaan tingkat nasionalisme

antara siswa Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) dan murid Sekolah Biasa

(SB).

B. Identifikasi Variabel Penelitian

Variabel-variabel yang terdapat dalam penelitian ini adalah :

1. Variabel Bebas : Jenis sekolah ( SB dan SBI )

2. Variabel Tergantung : Nasionalisme

C. Definisi Operasional Variabel Penelitian 1. Jenis Sekolah

a. Sekolah Biasa (SB)

Sekolah biasa menyelenggarakan kegiatan pendidikan secara

klasikal dan dengan menggunakan KTSP. KTSP yang dikenal dengan

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan merupakan kurikulum yang

bersifat operasional dan dilaksanakan di masing-masing tingkat satuan

pendidikan. Landasan hukum kurikulum ini yaitu Undang-undang

(50)

2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Sekolah yang termasuk

kategori Sekolah Biasa dapat dilihat dari nama sekolahnya yang tidak

mencantumkan label Sekolah Internasional.

b. Sekolah Bertaraf Internasional (SBI)

Sekolah bertaraf internasional menggunakan silabus pembelajaran

dan penilaian yang umumnya dipakai pada sekolah menengah di

negara-negara yang tergabung dalam OECD (Organization for Economic Co-operation and Development) atau Negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan,

sehingga memiliki daya saing di forum Internasional. Dalam

penerapan proses pembelajaran berbasis Teknologi Informasi dan

Komunikasi (TIK) pada semua mata pelajaran dan pembelajaran pada

mata pelajaran IPA, Matematika, dan lainnya dengan menggunakan

bahasa Inggris, kecuali mata pelajaran bahasa Indonesia. Sekolah yang

termasuk dalam kategori Sekolah Bertaraf Internasional dapat dilihat

dari nama sekolahnya yang mencantumkan label ‘Sekolah

Internasional’.

2. Nasionalisme

Nasionalisme yaitu adanya perasaan cinta terhadap tanah air yang

disatukan oleh nasib sepenanggungan karena adanya kesamaan sejarah

(51)

dan bangsa dari berbagai bentuk tantangan baik dari dalam maupun luar

negeri. Nasionalisme murid akan diukur menggunakan skala nasionalisme.

Semakin tinggi skor yang diperoleh menunjukkan semakin tinggi

nasionalisme seseorang.

Skala ini disusun oleh peneliti dengan menggunakan dimensi sebagai

berikut (Coenders & Scheepers, 2003) :

a. Chauvinisme adalah pandangan bahwa suatu kelompok etnisnya

sendiri dan suatu negaranya adalah unik dan superior. Hal ini

dilakukan dengan membandingkan secara rendah etnis maupun negara

lain yang dikombinasikan dengan perilaku konformitas yang tidak

kritis pada negaranya sendiri. Misalnya menganggap negaranya adalah

negara yang paling baik dibanding dengan negara-negara lain.

Aspek-aspek chauvinisme adalah :

1. Superior

2. Fanatik.

b. Patriotisme adalah perasaan cinta, bangga pada suatu masyarakat dan

negara yang berdasar pada pemahaman kritis akan situasi negaranya.

Misalnya tetap cinta pada negaranya walaupun negaranya memiliki

reputasi yang buruk, berani memprotes negaranya untuk memperbaiki

keadaan dan memajukan bangsa.

Aspek-aspek patriotisme adalah :

1. Perasaan bangga dan kepedulian terhadap kultur dan masyarakat

(52)

D. Subyek Penelitian

Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah siswa-siswi dari

sekolah bertaraf internasional dan sekolah biasa tingkat menengah atas yang

berada di Jakarta. Sekolah bertaraf internasional yang digunakan dalam

penelitian ini adalah Lentera International School, Pondok Indah. Sekolah ini dipilih oleh peneliti karena sesuai dengan kriteria SBI yang telah ditentukan

dalam penelitian ini. Sekolah biasa yang digunakan dalam penelitian ini

adalah SMAK Penabur, Serpong. Sekolah ini dipilih oleh peneliti karena

siswa dari SMAK Penabur berada di strata sosial tinggi atau tidak jauh

berbeda dengan strata sosial siswa SBI. Hal ini dilakukan untuk mengurangi

adanya faktor kesenjangan strata sosial antara siswa SB dan siswa SBI.

Metode pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah purposive sampling. Purposive sampling adalah metode pengambilan subyek dengan kriteria tertentu. Tujuan tersebut didasarkan atas ciri atau sifat yang erat

keterkaitannya dengan populasi yang sudah diketahui sebelumnya (Hadi,

1991).

Ciri-ciri subyek yang digunakan sebagai sampel adalah :

a. Siswa-siswi Sekolah Biasa :

1. Merupakan siswa aktif dari sekolah biasa tingkat SMA

2. Sekolah berada di Jakarta

b. Siswa-siswi Sekolah Bertaraf Internasional :

1. Merupakan siswa aktif dari sekolah bertaraf internasional tingkat SMA

(53)

E. Metode dan Alat Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

skala, yaitu skala nasionalisme. Model skala yang akan digunakan dalam

penelitian ini adalah model skala Likert. Model ini merupakan metode penskalaan pernyataan sikap yang menggunakan distribusi respon sebagai

dasar penentuan nilai skalanya (Gable dalam Azwar, 2004).

Subyek akan diminta untuk menyatakan kesesuaian atau

ketidaksesuaiannya terhadap isi pernyataan dalam empat macam kategori

jawaban, yaitu ”sangat setuju” (SS), ”setuju” (S) ”tidak setuju” (TS) dan ”sangat tidak setuju” (STS). Menurut Azwar (2004), tidak diberikannya alternatif jawaban tengah atau netral dengan tujuan untuk menghindari

adanya responden yang ragu-ragu dalam menjawab sehingga kemudian

memilih jawaban tengah atau netral, serta agar responden dapat lebih tegas

dalam memilih dan menentukan jawaban tanpa menggiringnya ke arah

jawaban tengah. Perrnyataan dalam skala ini terdiri dari pernyataan favorable

(54)

Tabel.2

Blue PrintSkala Nasionalisme Sebelum Uji Coba

No Aspek Favorabel Unfavorabel Total

1. Chauvinisme

a. Perasaan bangga dan kepedulian terhadap

Skala ini termasuk skala langsung dimana subjek penelitian mengisi

sendiri jawaban-jawaban dari pernyataan dalam skala (Lampiran A, halaman

72). Selain itu, skala ini merupakan skala tertutup karena jawabannya dibatasi

dan ditentukan oleh peneliti. Subjek penelitian tidak diberi kesempatan untuk

menentukan jawaban lain, selain dari jawaban yang tersedia (Nawawi, 2001).

F. Validitas, Reliabilitas dan Seleksi Item Alat Ukur 1. Validitas

Validitas yang digunakan dalam alat ukur penelitian ini adalah

validitas isi. Validitas suatu alat ukur berkaitan dengan permasalahan

apakah alat itu dapat mengukur secara tepat apa yang akan diukur.

(55)

2. Seleksi Item

Seleksi item dilakukan dengan tujuan untuk memilih item-item yang

baik dan berkualitas. Hanya item yang mempunyai kualitas baik yang

boleh digunakan dalam skala penelitian, sedangkan item yang tidak

mempunyai kualitas baik harus disingkirkan atau direvisi kembali. Seleksi

item dilakukan dengan cara uji coba alat ukur atau biasa disebut tryout.

Pengujian data diskriminasi item menghendaki dilakukannya komputasi

koefisien korelasi antara distribusi skor item dengan suatu kriteria yang

relevan, yaitu distribusi skor skala itu sendiri. Komputasi ini akan

menghasilkan koefisien korelasi item total (rix) yang dikenal dengan

sebutan Parameter Daya Beda Item (Azwar, 2009). Penghitungan koefisien

korelasi item total menggunakan program SPSS 15.0 for Windows Evaluation.

Batasan yang digunakan sebagai kriteria pemilihan item berdasarkan

korelasi item total adalah (rix) ≥ 0,300. Semua item yang mencapai

koefisien minimal 0,300 dianggap memiliki daya beda yang memuaskan

dan dapat digunakan, sedangkan item yang memiliki koefisien korelasi

kurang dari 0,300 dinyatakan gugur (Azwar, 2004). Hasil seleksi item

tahap pertama menghasilkan daya beda item antara - 0,85 sampai dengan

0,753. Selanjutnya, dilakukan pengguguran item yang memiliki rix kurang

dari 0,300. Item-item tersebut adalah item nomor 1, 15, 16, 18, 20, 24, 30,

31, dan 47. Pada tahap kedua, dihasilkan daya beda item antara 0,264

Gambar

Tabel Perbedaan SB dan SBI  ........................................................................27
Tabel 7Persentase Subyek Berdasarkan Usia
Tabel 9Persentase Subyek Berdasarkan Jenis Sekolah
Tabel 10Hasil Uji Normalitas
+5

Referensi

Dokumen terkait

Stratigrafi batuan Tersier daerah Pangkalan berdasarkan Peta Geologi Lembar Solok (Silitonga P.H. & Kastowo, 1995) disusun secara berurutan dari tua ke muda sebagai

Direksi memuji reformasi penentu atas subsidi energi di tahun 2015, termasuk rencana untuk subsidi listrik sebagai sasaran subsidi yang lebih baik, dan penggunaan ruang fiskal

terasa di awal tahun 2009, yang ditunjukkan dengan perkiraan pertumbuhan ekonomi Jawa Barat sebesar 4,1% (yoy) pada triwulan I-2009, melambat dibandingkan dengan triwulan

Data flow diagram adalah representasi grafis dari suatu sistem yang menggambarkan komponen-komponen sebuah sistem, aliran data diantara komponen-komponen tersebut

Pada kondisi awal, kemampuan pemecahan masalah siswa SMP N 1 Ngemplak masih rendah. Hal tersebut disebabkan oleh guru yang masih menerapkan strategi pembelajaran

Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik

Penelitian ini dimotivasi oleh adanya perbedaan hasil penelitian yang menganalisis reaksi pasar terhadap pengumuman penerbitan.. obligasi

Aktualisasi diri yang terdapat dalam UKM Sepak Bola USU dapat dilihat dari kebutuhan fisiologis yang didapat oleh mahasiswa, kenyamanan berada dilingkungan