• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada pasien asma bronkial di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta Bulan Januari-Desember 2009 - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada pasien asma bronkial di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta Bulan Januari-Desember 2009 - USD Repository"

Copied!
0
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh :

Yuniar Handayani

NIM : 068114077

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)

ii

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh :

Yuniar Handayani

NIM : 068114077

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(3)
(4)
(5)

v

Kupersembahan karyaku ini untuk:

Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria

Kedua orang tuaku

Kakak dan Adikku tercinta

(6)
(7)
(8)

viii

segala rahmat dan lindungan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi

yang berjudul “Evaluasi

Drug Related Problems (DRPs)

pada Pasien Asma

Bronkial di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta Bulan

Januari-Desember 2009” ini. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat

memperoleh gelar Sarjana Farmasi di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Pada kesempatan kali ini, penulis hendak mengucapkan terimakasih kepada

pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, antara

lain:

1.

Tuhan Yesus Kristus yang Maha Baik atas segala berkat dan semangat-Nya

dan Bunda Maria atas kebaikan, semangat, dan kekuatan yang diberikan

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

2.

Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Bapak Ipang Djunarko,

M.Sc.,

Apt.

atas

bimbingannya

selama

penulis

melakukan

proses

pembelajaran di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.

3.

Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta yang telah memberikan izin untuk

penulis sehingga dapat melakukan penelitian ini.

4.

Ibu dr. Luciana Kuswibawati M.Kes. selaku dosen pembimbing atas

dukungan, arahan, serta semangat yang diberikan kepada penulis selama

(9)

ix

dukungan, arahan, kritik, dan masukan serta semangat yang diberikan kepada

penulis.

7.

Kepala beserta staf Bagian Pendidikan dan Penelitian (Diklit) dan Bagian

Rekam Medik Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta atas bantuan dan

dukungannya.

8.

Seluruh pasien asma bronkial di Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta yang

secara tidak langsung telah membantu penulis menyelesaikan skripsi ini.

9.

Segenap dosen pengajar, staf sekretariatan serta laboran Fakultas Farmasi

Universitas

Sanata

Dharma

atas

dukungan

dan

bantuannya

dalam

menyelesaikan skripsi ini.

10. Kedua orangtuaku Slamet Widodo, S. Pd. dan Khristina Wuryani yang

dengan tulus ikhlas memberikan dukungan berupa kasih sayang, nasehat

maupun materi dalam setiap langkah hidup penulis.

11. Kakak dan adikku, Febrina Widya Hesti dan Yustina Tyas Kurniawati, atas

dukungan dan suka duka yang dijalani bersama dalam setiap langkah hidup

penulis.

12. Alexander Arie, atas editannya, kasih sayang, dukungan dan semangat yang

sangat berharga untuk penulis.

13. Seluruh keluarga yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu atas dukungan,

(10)

x

FKK A’06 pada khususnya atas kebersamaan yang telah dilalui bersama.

16. Serta pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu-persatu oleh penulis.

Semoga Tuhan Yang Maha Baik memberikan berkat-Nya kepada semua

pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis

menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna, untuk itu penulis sangat

mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca skripsi ini. Semoga skripsi ini

bermanfaat bagi yang membaca.

Yogyakarta, 19 Agustus 2010

(11)

xi

penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia. Pengobatan asma bronkial

cenderung bersifat mencegah, mengurangi gejala dan berlangsung dalam periode

yang cukup lama sehingga perlu adanya evaluasi terapi yang diharapkan dapat

membantu pasien untuk memperoleh pelayanan medis yang optimal sehingga

pasien dapat terhindar dari

Drug Related Problems

(DRPs).

Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental dengan rancangan

deskriptif evaluatif yang bersifat retrospektif. Pengumpulan data dilakukan

dengan cara mengumpulkan data-data rekam medis pasien asma bronkial yang

kemudian dianalisis dengan metode

subjective, objective, assessment, plan

(SOAP) dengan menggunakan pustaka MIMS Indonesia edisi 7 tahun 2007/2008,

Informasi Spesialite Obat Indonesia volume 43-2008, Informatorium Obat

Nasional Indonesia (IONI) 2000,

Drug Information Handbook

(DIH) edisi 14,

dan

Drug Interaction Facts

(DIF).

Kasus asma bronkial di Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta bulan

Januari-Desember 2009 sebanyak 32 kasus. Prosentase umur terbesar pada umur 12<n

65

tahun yaitu 60%, dengan jenis kelamin perempuan yaitu 68,75%. Pada pola

pengobatan asma bronkial terdapat 9 kelas terapi dengan penggunaan obat

terbanyak yaitu obat sistem pernapasan sebesar 100% diikuti gizi dan darah

sebesar 96,9%. Hasil evaluasi menunjukkan kejadian DRPs

adverse drug reaction

(ADR) dan interaksi obat sebesar 31,25%.

(12)

xii

illness in Indonesia. The medical treatment of bronchial asthma is tend to restrain,

reduce the indication and it is for quite long duration thus need therapy evaluation

which expected can help patient to get optimal medical treatment to avoid

Drug

Related Problems

(DRPs).

This is non experimental study with descriptive evaluative plan which have

retrospective characteristic. The data collection done by collect the medical record

data of patient with bronchial asthma, and analyzed by

subjective, objective,

assessment, plan

(SOAP) using MIMS Indonesia 7

th

edition (2007/2008),

Informasi Spesialite Obat Indonesia volume 43-2008, Informatorium Obat

Nasional Indonesia (IONI) 2000,

Drug Information Handbook

(DIH) 14

th

edition,

and

Drug Interaction Facts

(DIF).

Bronchial asthma cases in Panti Rini Hospital during January-December

2009 were 32 cases. The biggest percentage age of 12<n

65 is 60% with 68,75%

is woman. The medical treatment pattern of bronchial asthma has 9 therapy

classes, the highest was respiratory drugs (100%) and nutrition and blood

(96,9%). The evaluation result shows DRPs adverse drug reaction (ADR) and

drug interaction 31,25%.

(13)

xiii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING

iii

HALAMAN PENGESAHAN

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

v

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI

vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

vii

PRAKATA

viii

INTISARI

xi

ABSTRACT

xii

DAFTAR ISI

xiii

DAFTAR TABEL

xvii

DAFTAR GAMBAR

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

xix

BAB I. PENGANTAR

1

A. Latar Belakang

1

1. Perumusan Masalah

3

2. Keaslian Penelitian

4

3. Manfaat Penelitian

4

a. Manfaat Teoritis

4

b. Manfaat Praktis

4

(14)

xiv

A.

Drug Related Problems

(DRPs)

6

B. Asma Bronkial (Asma)

7

1. Definisi

7

2. Etiologi

8

3. Patofisiologi

9

4. Gejala dan Tanda

12

5. Diagnosis

13

6. Pembagian Asma Secara Klinis

15

7. Penatalaksanaan Terapi Asma

16

a. Tujuan Terapi

16

b. Sasaran Terapi

17

c. Strategi Terapi

17

d. Penatalaksanaan Terapi Asma Pada Anak

24

8.

Keterangan Empiris

25

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN

26

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

26

B. Definisi Operasional

26

C. Subjek Penelitian

28

D. Bahan Penelitian

28

(15)

xv

3. Analisis data

29

4. Pembahasan kasus

29

G. Tata Cara Analisis Hasil

30

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

33

A. Karakteristik Pasien

33

1. Distribusi Umur

33

2. Distribusi Jenis Kelamin

35

3. Diagnosis

36

B. Pola Pengobatan

36

1. Obat yang bekerja pada sistem saluran cerna

38

2. Obat untuk penyakit pada sistem kardiovaskuler

39

3. Obat yang bekerja pada sistem pernapasan

40

4. Obat yang digunakan untuk infeksi

43

5. Obat yang bekerja sebagai analgesik

44

6. Obat yang bekerja pada sistem saraf pusat

45

7. Obat-obat hormonal

46

8. Obat yang mempengaruhi gizi dan darah

47

9. Anestetik

48

C. Kajian

Drug Related Problem

(DRPs)

49

(16)

xvi

5. Pemilihan obat salah

52

6. Dosis terlalu rendah

52

D. Rangkuman Pembahasan

52

BAB V. PENUTUP

A. Kesimpulan

53

B. Saran

54

DAFTAR PUSTAKA

55

LAMPIRAN

58

(17)

xvii

Tabel II.

Karakteristik Pasien Asma Bronkial Berdasarkan Diagnosis di Rumah

Sakit Panti Rini Yogyakarta Bulan Januari-Desember 2009

36

Tabel III.

Distribusi Kelas Terapi Obat Kasus Pasien Asma Bronkial di Instalasi

Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta Bulan

Januari-Desember 2009

36

Tabel IV. Golongan, Kelompok, dan Jenis Obat yang Bekerja pada Saluran

Cerna yang Digunakan pada Terapi Pasien Asma Bronkial di Instalasi

Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta Bulan

Januari-Desember 2009

38

Tabel V.

Golongan, Kelompok, dan Jenis Obat yang Bekerja pada Saluran

Sistem Kardiovaskuler yang Digunakan pada Terapi Pasien Asma

Bronkial di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta

Bulan Januari-Desember 2009

39

Tabel VI. Golongan, Kelompok, dan Jenis Obat yang Bekerja pada Sistem

Pernapasan yang Digunakan pada Terapi Pasien Asma Bronkial di

Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta Bulan

Januari-Desember 2009

40

Tabel VII. Golongan, Kelompok, dan Jenis Obat untuk Infeksi yang Digunakan

pada Terapi Pasien Asma Bronkial di Instalasi Rawat Inap Rumah

(18)

xviii

2009

44

Tabel IX.

Golongan, Kelompok, dan Jenis Obat yang Bekerja pada Sistem

Saraf Pusat yang Digunakan pada Terapi Pasien Asma Bronkial di

Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta Bulan

Januari-Desember 2009

45

Tabel X.

Golongan, Kelompok, dan Jenis Obat –Obat Hormonal yang

Digunakan pada Terapi Pasien Asma Bronkial di Instalasi Rawat

Inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta Bulan Januari-Desember

2009

46

Tabel XI.

Golongan, Kelompok, dan Jenis Obat yang Mempengaruhi Gizi dan

Darah yang Digunakan pada Terapi Pasien Asma Bronkial di

Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta Bulan

Januari-Desember 2009

47

Tabel XII.

Golongan, Kelompok, dan Jenis Obat Anestetik yang Digunakan

pada Terapi Pasien Asma Bronkial di Instalasi Rawat Inap Rumah

Sakit Panti Rini Yogyakarta Bulan Januari-Desember 2009

48

Tabel XIII. Kejadian DRPs

Adverse Drug Reaction

dan Interaksi Obat pada

Pasien Asma Bronkial di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini

(19)

xix

Gambar 2 Mekanisme terjadinya asma

11

Gambar 3. Patofisiologi asma

12

Gambar 4. Kapasitas dan volume paru-paru

13

Gambar 5. Penatalaksanaan asma pada anak

24

Gambar 6. Diagram Prosentase Pasien Asma Bronkial Berdasarkan

Umur di Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta Bulan Januari-Desember

2009

33

Gambar 7. Diagram Prosentase Pasien Asma Bronkial Berdasarkan Jenis

Kelamin di Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta Bulan

(20)

xx

Inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta Bulan Januari-Desember

2009

60

(21)

1

A.

Latar Belakang

Asma didefinisikan sebagai gangguan inflamasi kronik jalan udara yang

melibatkan banyak sel dan komponennya (Kelly dan Sorkness, 2005). Asma

merupakan sepuluh besar penyebab sakit dan kematian di Indonesia, salah satunya

tergambar dari data studi Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di berbagai

propinsi di Indonesia. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik dan emfisema

merupakan penyebab kematian ke-4 di Indonesia (5,6%). Prevalensi asma di

seluruh Indonesia pada tahun 1995 adalah sebesar 13/1000. Angka ini lebih besar

dibandingkan

bronkitis

kronik

(11/1000)

dan

obstruksi

paru

(2/1000).

Peningkatan penderita asma bronkial di Indonesia juga terlihat dari hasil

penelitian pada anak usia 13-14 tahun dengan menggunakan kuesioner

International Study on Asthma and Allergy in Children

(ISAAC) yang pada tahun

1995 menunjukkan prevalensi asma 2,1%, pada tahun 2003 menunjukkan angka

5,2% (Anonim, 2007).

Berdasarkan data di atas, sangat diperlukan suatu pengobatan efektif yang

dapat mengurangi gejala-gejala yang menyertai penyakit asma dan dapat

mencegah serangan asma. Peningkatan prevalensi serangan asma yang meningkat

dapat terlihat dari meningkatnya angka kejadian asma rawat inap dan angka

kematian. Penanganan yang tepat dan berhasil dapat memperkecil kematian

(22)

asma bronkial (Crockett, 1994).

Terkait dengan proses penanganan yang memerlukan obat, dimungkinkan

pula adanya

Drug Related Problems

(DRPs).

Drug Related Problems

(DRPs)

merupakan peristiwa yang tidak diinginkan yang dialami oleh pasien yang

melibatkan atau dicurigai melibatkan terapi obat yang benar-benar atau berpotensi

bertentangan dengan hasil yang diinginkan atau dapat diartikan sebagai

masalah-masalah yang berhubungan dengan obat (Cipolle, 1998).

Pada pengobatan penyakit asma bronkial, meskipun pengobatan efektif telah

dilakukan untuk menurunkan morbiditas karena asma, keefektifan hanya tercapai

jika penggunaan obat telah sesuai. Pada umumnya pengobatan asma bronkial

cenderung bersifat mencegah, mengurangi gejala dan berlangsung dalam periode

yang cukup lama sehingga perlu adanya evaluasi terapi yang diharapkan dapat

membantu pasien untuk memperoleh pelayanan medis yang optimal sehingga

pasien dapat terhindar dari DRPs.

Rumah sakit memiliki stratifikasi tersendiri, mulai dari rumah sakit yang

mempunyai fasilitas pelayanan medik lengkap sampai pada kemampuan medik

dasar. Rumah Sakit Umum Swasta Pratama adalah rumah sakit umum swasta

yang memberikan pelayanan medik bersifat umum setara dengan rumah sakit

pemerintah kelas D, yaitu rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan

kemampuan pelayanan medik dasar dengan kapasitas tempat tidur kurang dari

100. Salah satu rumah sakit tipe pratama adalah Rumah Sakit Panti Rini. Rumah

(23)

Spesialis Penyakit Dalam, Kebidanan dan Kandungan, Bedah dan Penyakit anak.

1.

Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut ini.

a.

Bagaimanakah karakteristik pasien asma bronkial di Instalasi Rawat Inap

Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta bulan Januari-Desember 2009?

b.

Bagaimanakah pola pengobatan pasien asma bronkial di Instalasi Rawat

Inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta bulan Januari-Desember 2009?

c.

Apakah terdapat

Drug Related Problems

(DRPs) seperti butuh obat (

need

for additional drug therapy

), tidak butuh obat (

unnecessary drug therapy

),

obat salah (

wrong drug

), dosis kurang (

dosage too low

), dosis berlebih

(

dosage too high

), munculnya efek yang tidak diinginkan atau efek samping

obat (

adverse drug reaction

), dan adanya interaksi obat (

drug interaction

)

pada pasien asma di Rumah Sakit Panti Rini ?

2.

Keaslian penelitian

Berdasarkan penelusuran yang dilakukan oleh penulis, penelitian mengenai

Drug Related Problems

(DRPs) pasien asma bronkial di Instalasi Rawat Inap

Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta belum pernah dilakukan. Penelitian mengenai

asma bronkial yang sudah ada membahas tentang pola pengobatan dan kajian

profil peresepan.

(24)

Pasien Rawat Inap di Rumah Sakit Umum Daerah Wonosari Selama Tahun

1998”.

b. Kusuma (1998) mengenai “Kajian Pola Peresepan Obat Asma yang Diberikan

pada Pasien Asma Anak di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih

Yogyakarta Tahun 2002”.

c. Nugraha (2002) mengenai “Pola Peresepan Obat Penyakit Asma Bronkial pada

Pasien Pediatri di Instalasi Rawat Jalan Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta

Tahun 2006”.

d. Chinthia (2002) mengenai “Pola Pengobatan Penyakit Asma Bronkial pada

Pasien Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Tahun 1999-2001”.

e. Gibson (2002) mengenai “Kajian Peresepan Pasien Dewasa Asma Bronkial

Non Komplikasi di Instalasi Rawat Inap di Rumah Sakit Panti Rapih

Yaogyakarta Tahun 2000”.

f. Wibowo (2003) mengenai “Kajian Profil Peresepan Pasien Asma Bronkial di

Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Bangli-Bali Tahun 2005”.

3.

Manfaat Penelitian

a.

Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan menjadi sumber informasi dan

evaluasi pengobatan pada pasien asma bronkial.

(25)

informasi, dan referensi untuk bahan pertimbangan dalam meningkatkan

pelayanan kesehatan kepada masyarakat pada umumnya dan khususnya para

penderita asma bronkial di instalasi rawat inap.

B.

Tujuan Penelitian

1.

Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi terjadinya

Drug Related

Problems

(DRPs) pada pasien asma bronkial di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit

Panti Rini Yogyakarta bulan Januari-Desember 2009.

2.

Tujuan Khusus

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui:

a.

karakteristik pasien asma bronkial,

b.

pola pengobatan pasien asma bronkial,

c.

potensial kejadian

Drug Related Problems

yang mungkin terjadi pada

pasien asma bronkial yang meliputi:

1)

membutuhkan tambahan obat (

need for additional drug therapy

),

2)

obat yang tidak dibutuhkan (

unnecessary therapy

),

3)

pemilihan obat salah (

wrong drug

),

4)

dosis terlalu rendah (

dose too low

),

5)

efek obat merugikan (

adverse drug reaction

),

6)

dosis terlalu tinggi (

dose too high

),

(26)

6

A.

Drug Related Problems

(DRPs)

Asuhan kefarmasian membutuhkan kemampuan dari pelaku farmasi untuk

mengidentifikasi masalah DRPs guna peningkatan kualitas hidup pasien (Kelly

dan Sorkness, 2005). Masalah-masalah dalam kajian DRPs menurut Cipolle,

Strand dan Morley (1998) antara lain:

1. membutuhkan tambahan obat (

need for additional drug therapy

), jika kondisi

baru yang membutuhkan obat, kondisi kronis yang membutukan kelanjutan

terapi obat, kondisi yang membutuhkan kombinasi obat, dan kondisi yang

mempunyai risiko kejadian efek samping dan membutuhkan obat untuk

pencegahannya.

2. tidak butuh obat (

unnecessary drug therapy

), jika obat yang diberikan tidak

sesuai dengan indikasi pada saat itu, pemakaian obat kombinasi yang

seharusnya tidak diperlukan, dan meminum obat dengan tujuan untuk

mencegah efek samping obat lain yang seharusnya dapat dihindarkan.

3. obat salah (

wrong drug

), jika obat yang diberikan kepada pasien tidak efektif

(kurang sesuai dengan indikasinya), obat tersebut efektif tetapi ekonomis,

pasien mempunyai alergi terhadap obat tersebut, obat yang diberikan

mempunyai kontraindikasi dengan obat lain yang dibutuhkan, dan antibiotika

(27)

4. pasien mendapat yang tidak mencukupi atau kurang (

dosage too low

), jika

dosis obat tersebut terlalu rendah untuk memberikan efek, dan interval dosis

tidak cukup.

5. pasien mendapat dosis obat yang berlebih (

dosage too high

), jika dosis obat

terlalu tinggi untuk memberikan efek.

6. munculnya efek yang tidak diinginkan atau efek samping obat (

adverse drug

reaction

) dan adanya interaksi obat (

drug interaction

), jika ada alergi, ada

faktor risiko, ada interakis dengan obat lain, dan hasil laboratorium berubah

akibat penggunaan obat.

7. ketidaktaatan pasien pada penggunaan obat yang diresepkan (

uncompliance

),

jika pasien tidak menerima regimen obat yang tepat, terjadi

medication error

(peresepan, penyerahan obat dan monitoring pasien), ketidaktaatan pasien,

pasien tidak membeli obat yang disarankan karena mahal, pasien tidak

menggunakan obat karena ketidaktahuan cara pemakaian obat, pasien tidak

menggunakan obat karena ketidakpercayaan dengan produk obat yang

dianjurkan.

Dokumentasi mengenai pasien mutlak diperlukan dalam mendefinisikan tujuan

terapi dan menghindari terjadinya DRPs (Kelly dan Sorkness, 2005).

B. Asma Bronkial (Asma)

1. Definisi

(28)

melibatkan peran banyak sel dan komponennya, yaitu sel mast, eosinofil,

T-limfosit, makrofag, neutrofil, dan sel-sel epitel (Kelly dan Sorkness, 2005).

Gangguan ini menyebabkan penyempitan jalan napas yang menyebabkan

terjadinya kesulitan bernapas (Neal, 2002).

Pada individu yang rentan, inflamasi ditunjukkan dengan adanya mengi

,

kesulitan bernafas, dada terasa sesak, dan batuk yang biasanya terjadi pada malam

hari atau dini hari. Hal tersebut terkait dengan obstruksi jalan udara yang sering

terjadi reversibel baik secara spontan maupun sebagai hasil terapi (Kelly dan

Sorkness, 2005).

Gambar 1. Bronkus normal dan bronkus pada penderita asma (Adam, 2005)

2. Etiologi

Penyebab asma belum diketahui secara pasti. Asma merupakan penyakit

kompleks dengan faktor genetik dan faktor lingkungan yang ikut berperan di

dalam menyebabkan terjadinya asma. Faktor pemicu asma adalah:

a.

atopy

(hipersensitivitas),

b.

zat allergen, misalnya: asap, debu, bulu binatang, serbuk sari,

(29)

d.

infeksi bakteri dan virus pada saluran pernapasan,

e.

olahraga,

f.kelelahan dan stress,

g.

lingkungan : cuaca dingin,

h.

pekerjaan (Kelly dan Sorkness, 2005).

3.

Patofisiologi

Karakteristik utama asma adalah obstruksi jalan udara yang terkait dengan

bronkospasmus, edema, hipersekresi,

Bronchial Hiperresponsive

(BHR), dan

inflamasi jalan udara (Kelly dan Sorkness, 2005). Selama serangan pasien

mengalami mengi dan kesulitan bernapas akibat bronkospasme, edema mukosa

dan pembentukan mukus.

Bronchial Hiperresponsive

(BHR) disebabkan oleh:

a. kontraksi otot polos (bronkokonstriksi),

b. hipersekresi mukus,

c. edema mukosa (William and Self, 2002).

Munculnya inflamasi saluran napas pada penderita asma melibatkan sel-sel

inflamasi (sel mast, eosinofil, limfosit T, neutrofil), mediator kimia (histamin,

leukotrien,

platelet-activating factor

, bradikinin), dan faktor kemotaktik (sitokinin

dan kemotaxin). Inflamasi terjadi apabila timbul respons berlebihan pada saluran

napas penderita asma, sehingga cenderung terjadi penyempitan saluran napas

yang diakibatkan oleh respon alergi, iritan, infeksi virus dan beban fisik. Hal

tersebut juga mengakibatkan edema, peningkatan produksi mukus, keluarnya sel

(30)

Gambar 2. Mekanisme terjadinya asma (Kelly dan Sorkness

,

2005)

Reaksi alergi fase awal dimulai dengan adanya alergen yang terhirup dan

menyebabkan aktivasi sel yang akan menghasilkan antibodi IgE yang spesifik

terhadap alergen. Aktivasi yang cepat dari sel mast dan makrofag pada saluran

napas akan membebaskan mediator proinflamasi seperti histamin dan eikosanoid

yang menginduksi kontraksi otot polos, sekresi mukus, vasodilatasi dan eksudasi

plasma pada saluran napas sehingga menyebabkan kebocoran plasma protein yang

kemudian menginduksi terjadinya penebalan dan pembengkakan saluran napas

serta penyempitan lumen yang disertai dengan sulitnya pengeluaran mukus (Kelly

dan Sorkness, 2005).

Reaksi inflamasi fase akhir pada penderita asma terjadi selama 6 sampai 9

jam setelah serangan alergen dan melibatkan aktivasi eosinofil, limfosit-T, basofil,

(31)

membebaskan mediator inflamasi berupa leukotrien dan protein granul, mediator

sitotoksik, dan sitokin. Adanya aktivasi limfosit-T menyebabkan pembebasan

sitokin dari sel T-helper tipe 2 (Th2) yang akan memperantarai inflamasi alergik

(IL-4, IL-5, IL-6, IL-9, dan IL-13). Sebaliknya sel T-helper tipe 1 (Th1)

menghasilkan IL-2 dan interferon gamma yang penting untuk mekanisme

pertahanan selular. Adanya inflamasi asmatik alergik dapat disebabkan oleh

ketidakseimbangan antara sel Th1 dan Th2 (Kelly dan Sorkness, 2005).

Degranulasi sel mast sebagai respon terhadap alergen mengakibatkan

pembebasan mediator seperti histamin, faktor kemotaksis, eosinofil dan neutrofil,

leukotrien C4, D4, dan E4, prostaglandin dan faktor pengaktivasi platelet (PAF).

Histamin mampu menginduksi konstriksi otot polos dan bronkospasme dan

berperan dalam edema mukosa dan sekresi mukus sedangkan makrofag alveolar

akan membebaskan sejumlah mediator inflamasi termasuk PAF, leukotrien B4,

C4, dan D4. Adanya produksi faktor kemotaktik neutrofil dan eosinofil dapat

memperkuat proses inflamasi (Sukandar, Andrajati, Sigit, Adnyana, Setiadi,

Kusnandar, 2008).

Jalur 5-lipooksigenase dari asam pemecahan asam arakhidonat berhubungan

dengan produksi leukotrien. Leukotrien C4, D4, dan E4 (sistenil leukotrien)

merupakan penyusun zat reaksi lambat anafilaksis (s

low-reacting substance of

anaphylaxis,

SRS-A). Leukotrien ini akan dibebaskan selama proses inflamasi di

paru-paru dan dapat menyebabkan bronkokonstriksi, sekresi mukus, permeabilitas

(32)

Proses inflamasi eksudatif dan pengikisan sel epitel ke dalam lumen saluran

napas dapat merusak transport mukosiliar sehingga kelenjar bronkus menjadi

berukuran besar dan sel goblet meningkat baik ukuran maupun jumlahnya dan

menunjukkan suatu peningkatan produksi mukus. Mukus yang dikeluarkan oleh

penderita asma cenderung mempunyai viskositas yang tinggi (Sukandar

dkk

,

2008).

Gambar 3. Patofisiologi asma (Kelly dan Sorkness, 2005)

4.

Gejala dan Tanda

Penanda utama untuk mendiagnosis adanya asma antara lain:

a.

mengi pada saat menghirup napas,

b.

riwayat batuk yang memburuk pada malam hari, dada sesak yang terjadi

berulang dan napas tersengal-sengal,

c.

hambatan pernapasan yang reversibel secara bervariasi selama siang hari,

d.

adanya peningkatan gejala pada saat olahraga, infeksi virus, eksposur

terhadap alergen dan perubahan musim, dan

(33)

5.

Diagnosis

Udara yang berada di paru-paru dibagi menjadi empat kompartemen, yaitu

volume tidal, volume inspirasi cadangan, volume ekspirasi cadangan, dan volume

residu. Total dari keempat komponen biasanya disebut kapasitas total paru-paru.

Gambar 4. Kapasitas dan volume paru-paru (Kelly dan Sorkness, 2005)

Diagnosis asma biasanya didasarkan pada simptom pasien, riwayat

kesehatan, pemeriksaan fisik, dan tes laboratorium untuk mengukur fungsi paru.

Faktor-faktor yang memicu terjadinya simptom antara lain adanya kegiatan, udara

dingin, dan paparan terhadap alergen, dimana faktor-faktor tersebut tidak dapat

diidentifikasi secara lebih jelas (Anonim, 2009).

a.

Spirometri

Spirometri dapat mengukur kapasitas vital paksa (KVP) dan volume

ekspirasi paksa detik pertama (VEP1). Untuk mendapatkan nilai yang akurat,

diambil nilai tertinggi dari 2-3 nilai yang diperiksa. Sumbatan jalan napas

diketahui dari nilai VEP1 < 80% nilai prediksi atau rasio VEP1/KVP < 75%

(34)

Selain itu, spirometri dapat mengetahui reversibilitas asma, yaitu adanya

perbaikan VEP1 > 15% secara spontan, atau setelah inhalasi bronkodilator (uji

bronkodilator), atau setelah pemberian bronkodilator oral 10-14 hari, atau setelah

pemberian kortikosteroid (inhalasi/oral) 2 minggu (Anonim, 2007).

b.

Peak Expiratory Flow Meter

(PEF meter)

Peak Expiratory Flow Meter

(PEF meter) dapat mengukur fungsi paru yang

ditunjukkan dengan arus puncak ekspirasi (APE). Sumbatan jalan napas diketahui

dari nilai APE < 80% dari nilai prediksi. Selain itu juga dapat memeriksa

reversibilitas yang ditandai dengan perbaikan nilai APE > 15% setelah inhalasi

bronkodilator, atau setelah pemberian bronkodilator oral 10-14 hari, atau setelah

pemberian kortikosteroid (inhalasi/oral) 2 minggu. Variabilitas APE ini

tergantung pada siklus diurnal (pagi dan malam yang berbeda nilainya), dan nilai

normal variabilitas ini < 20% (Anonim, 2007).

c.

Provokasi bronkus

Provokasi bronkus disebut juga bronkoprovokasi yang digunakan untuk

mengidentifikasikan karakteristik hiperresponsif jalan udara pada pasien yang

melakukan inhalasi aerosol kimia, yang disebut agonis bronko-spastik, dimana zat

tersebut merupakan pemicu reaksi hiperresponsif. Zat kimia yang sering

(35)

d.

Tes Lain

Tes-tes ini mungkin dapat dilakukan untuk mengeksklusi penyakit lain dan

dapat digunakan untuk mengevaluasi kondisi yang lebih buruk dari kondisi

asmatik. Tes tersebut antara lain:

1)

foto dada: pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan penyebab lain

obstruksi saluran nafas dan adanya kecurigaan terhadap proses patologis di

paru atau komplikasi asma seperti pneumotoraks, pneumomediastinum,

atelaktasis dan lain-lain;

2)

foto sinus paranalis diperlukan jika asma sulit terkontrol untuk melihat

adanya sinusitis;

3)

pemeriksaan eosinofil dalam darah, sekret hidung dan dahak dapat

menunjang diagnosis asma;

4)

pemeriksaan sputum: sputum eosinofil sangat karakteristik untuk asma,

sedangkan neutrofil sangat dominan pada bronkitis kronik. Selain itu,

pemeriksaan ini untuk melihat adanya eosinofil, kristal

Charcot-Leyden

dan

spiral Curschmann

;

5)

tes alergi, yaitu dengan tes kulit atau dengan pengukuran antibodi dalam

darah. Terkadang dapat dilakukan untuk menentukan diagnosis jika asma

disebabkan alergi, atau secara spesifik disebabkan oleh alergen (Anonim,

(36)

6.

Pembagian Asma Secara Klinis

Tabel I. Klasifikasi asma secara klinis

Classify Severity : Clinincal Features Before Treatment or Adequate Control

Medications Required to Maintain Long-Term Control

Symptoms/Day Symptoms/Night

PEF or FEV1

PEF Variability Daily Medications STEP 4 Severe Persistent Continual Frequent ≤60% >30%

Preferred treatment:

- High-dose inhaled corticosteroidsAND - Long-acting inhaledβ2-agonist,And, ifneeded

- Corticosteroid tablets or syrup long term (2 mg/kg/day, generally do not exceed 60 mg/day). (Make a repeat attempts to reduce systemic corticosteroids and maintain control with high-dose inhaled corticosteroids)

STEP 3 Moderate Persistent Daily >1 night/week >60%-<80% >30%

Preferred treatment:

- Low-to-medium inhaled corticosteroids and long-acting inhaledβ2-agonist

Alternative treatment (listed alphabetically)

- Increase inhaled corticosteroids within medium-dose range OR

- Low-to medium-dose inhaled cortiosteroids and either leukotriene modifier or theophylline

If needed (particullary in patient with recuring severe exacerbations):

Preferred treatment:

- Increase inhaled corticosteroids within medium-dose range and add long-acting inhaledβ2-agonist

Alternative treatment (listed alphabetically)

- Increase inhaled corticosteroids within medium-dose range and add either leukotriene modifier or theophylline

STEP 2 Mild Persistent

>2 week but < 1x/day >2 nights/month

≥80% 20-30%

Preferred treatment:

- Low dose inhaled corticosteroids

Alternative treatment (listed alphabetically): cromolyn, leukotriene modifier, nedocromil, OR sustained release theophylline to serum concentration of 5-15 mcg/mL

STEP 1 Mild Intermitten

≤2 days/week ≤2 nights/month

≥80% < 20%

No daily medication needed

Severe exacerbation may occur, separated by long periods or normal lung function and no symptom. A course of systemic corticosteroids is recommended

Quick Relief All Patient

Short-acting bronchodilator: 2-4 puffs short-acting inhaledβ2-agonist as needed for symptoms.

Intensity of treatment will depend on severity of exacerbation; up to 3 treatments at 20-minute intervals or a single nebulizer treatment as needed. Course of systemic corticosteroids may be needed.

Use of short-actingβ2-agonist > 2 times a week in intermittent asthma (daily, or increasing use in persistent

asthma) may indicate the need to initiate (increase) long-term-control therapy. ↓STEP DOWN

Review treatment every 1 to 6 months; a gradual stepwise reduction in treatment may be possible

↑STEP UP

If control is not maintained, consider step up. First, review patient medication technique, adherence, and environmental control.

Goals of Therapy: Asthma Control

Minimal or no chronic symptoms day or night

Minimal or no exacerbations

No limitations on activities; no school/work missed

Maintain (near) normal pulmonary function

Minimal use of short-acting inhaledβ2-agonist Minimal or no adverse effects from medications Note

The stepwise approach in meant to assist, no replace, the clinical decision making required to meet individual patient needs.

Classify severity: assign patient to most severe step in which any feature occurs (PEF is % of personal best; FEV1is %

predicted).

Gain control as quickly as possible (consider a short course of systemic corticosteroids); then step down to the least medication necessary to maintain control

Minimize use of short-acting inhaledβ2-agonist. Over reliance on short-acting inhaled β2-agonist (e.g., use of short-acting

inhaledβ2-agonist everyday, increasing use or lack of expected effect, or use of approximately one canister a month even if not

using it everyday) indicates inadequate control of asthma and the need to initiate or intensity long-term control therapy.

Provide education on self-management and controlling environmental factors that make asthma worse (e.g., allergens and irritant).

Refer to an asthma specialist if there are difficult controlling asthma or if step 4 care is required. Referral may be considered if step 3 care is required.

(37)

7.

Penatalaksanaan Terapi Asma

a.

Tujuan terapi

Tujuan

utama

penatalaksanaan

asma

adalah

meningkatkan

dan

mempertahankan kualitas hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa

hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Selain itu juga, dilakukan untuk

menghilangkan dan mengendalikan gejala asma, mencegah eksaserbasi akut,

meningkatkan dan mempertahankan fungsi paru seoptimal mungkin, menghindari

efek samping obat, mencegah terjadinya keterbatasan aliran udara irreversibel

serta mencegah kematian karena asma (Mangunnegoro, 2006).

b.

Sasaran Terapi

Sasaran dari penatalaksanaan asma meliputi gejala asma, bronkokonstriksi,

peradangan saluran napas, obstruksi jalan napas oleh mukus serta frekuensi dan

keparahannya (William and Self, 2002).

c.

Strategi Terapi

1)

Terapi Non Farmakologis

Edukasi

pasien

dan

menghindari

penyebab

asma

merupakan

manajemen strategi asma untuk setiap pasien. Edukasi pasien bertujuan

untuk meningkatkan pemahaman mengenai penyakit asma, meningkatkan

kemampuan dalam penatalaksanaan dan pengontrolan asma. Kunci topik

edukasi meliputi: pengetahuan dasar tentang asma (termasuk mengenali

simptom dan tindakan yang dilakukan jika simptom berkembang), aturan

pengobatan, cara penggunaan alat inhalasi yang tepat, saran untuk

(38)

melibatkan keluarga pasien dalam edukasi ini karena keluarga pasien juga

ikut berperan serta dalam proses terapi pasien tersebut (Anonim, 2009).

2)

Terapi Farmakologis

Secara garis besar, terapi yang digunakan untk mengobati asma

dibedakan menjadi 2 golongan, yaitu:

a)

Reliever

Obat golongan ini efektif untuk meringankan bronkokonstriksi akut

dan hanya untuk untuk mengobati asma akut. Obat ini tidak memiliki efek

dalam mencegah serangan akut atau mencegah inflamasi yang panjang.

Pengobatan ini hanya digunakan saat terjadi serangan asma, dan tidak dapat

digunakan secara terus-menerus (Wolf, 2004).

Obat golongan

reliever

bekerja sebagai bronkodilator dan mengurangi

simptom. Obat golongan ini terdiri dari inhalasi agonis

β

2

kerja cepat,

antikolinergik, teofilin kerja singkat dan oral agonis

β

2

kerja cepat (Anonim,

2006).

(1)

Inhalasi agonis

β

2

kerja cepat

Inhalasi agonis

β

2

kerja cepat merupakan obat pilihan untuk

menghilangkan bronkospasme selama serangan asma dan digunakan

sebelum melakukan latihan yang dapat menyebabkan bronkokonstriksi.

Mekanisme

kerja

obat

ini

adalah

menstimulasi

reseptor

β

2

yang

menyebabkan bronkodilatasi, peningkatan klirens mukosiliari, stabilitas sel

mast, dan menstimulasi otot skelet. Contoh obat golongan ini: salbutamol,

(39)

Obat golongan ini hanya digunakan dalam dosis rendah dan sangat

dibutuhkan. Penambahan dosis, khususnya pada penggunaan setiap hari

menunjukkan keadaan asma tidak terkontrol dan memerlukan pengobatan

yang baru. Efek samping dari penggunaan obat ini seperti tremor dan

takikardi (Anonim, 2006). Perhatian penggunaan obat ini adalah toleransi

yang dapat terjadi pada penggunaan simpatomimetik yang diperlama tapi

penghentian sementara obat ini akan tetap mempertahankan efektifitas

awalnya, hipokalemia, dan hiperglisemia (Anonim, 2007).

(2)

Antikolinergik

Obat yang termasuk antikolinergik adalah bronkodilator, tetapi

kerjanya tidak seefektif agonis

β

2

kerja singkat, onsetnya lama dan

dibutuhkan 30-60 menit untuk mencapai efek maksimum. Mekanisme

kerjanya memblok efek pelepasan asetilkolin dari saraf kolinergik pada

saluran napas. Dapat menimbulkan bronkodilatasi dengan menurunkan

tonus kolinergik vagal instrinsik, selain itu juga menghambat refleks

bronkokonstriksi yang disebabkan iritan. Contoh obat golongan ini adalah

ipratorium bromide dan tiotropium bromide (Mangunnegoro, 2006).

Untuk dapat mencapai efek bronkodilator maksimal maka disarankan

menggunakan kombinasi antikolinergik dan agonis

β

2

kerja cepat sebagai

bronkodilator pada terapi awal serangan asma berat atau serangan asma

yang kurang memberikan respon dengan agonis

β

2

kerja cepat saja. Efek

samping obat ini berupa rasa kering di mulut dan rasa pahit (Mangunnegoro,

(40)

kondisi berikut : glukoma sudut sempit, hiperplasia prostat, atau kerusakan

saluran urin (tiotropium dapat memperparah tanda dan gejala) (Anonim,

2007).

(3)

Teofilin kerja singkat

Teofilin kerja singkat dapat mengurangi simptom asma. Obat ini

potensial menimbulkan efek samping, meskipun secara umum dapat

dihindari dengan penyesuaian dosis dan monitoring (Anonim, 2006).

Mekanisme kerja obat ini adalah akan merelaksasi secara langsung otot

polos bronki dan pembuluh darah pulmonal, merangsang SSP, menginduksi

diuresis, meningkatkan sekresi asam lambung, menurunkan tekanan

sfinkter

esofageal

bawah dan menghambat kontraksi uterus. Obat ini mempunyai

perhatian untuk penyakit jantung, hipoksemia, penyakit hati, hipertensi,

gagal jantung kongestif, pecandu alkohol, pasien lanjut usia dan bayi

(Anonim, 2007).

(4)

Oral agonis

β

2

kerja cepat

Oral agonis

β

2

kerja cepat cocok digunakan untuk beberapa pasien

yang tidak dapat menggunakan inhalasi. Walaupun penggunaan obat ini

memiliki efek samping yang sangat besar (Anonim, 2006).

b)

Controller

Obat golongan ini mengurangi inflamasi bronkus dan memberikan

kontrol jangka panjang terhadap asma dengan menurunkan frekuensi

(41)

Controller

merupakan obat yang digunakan setiap hari yang

mempunyai efek lama untuk mengontrol asma, utamanya memberikan efek

antinflamasi.

Obat

golongan

ini

meliputi:

glukokortikosteroid,

antileukotrien, agonis

β

2

kerja lama, kromolin (Anonim, 2006).

(1)

Glukokortikosteroid

(a) Glukokortikosteroid inhalasi

Glukokortikosteroid inhalasi merupakan antiinflamasi yang lebih

efektif dalam pengobatan asma persisten. Obat ini telah terbukti

manfaatnya dalam mengurangi simptom asma, meningkatkan kualitas

hidup, mengontrol inflamasi, mengurangi frekuensi dan keparahan dan

mengurangi kematian karena asma (Anonim, 2006). Mekanisme kerja

obat ini adalah menurunkan jumlah dan aktivitas dari sel yang

terinflamasi dan meningkatkan efek obat beta adrenergik dengan

memproduksi AMP siklik, inhibisi mekanisme bronkokonstriktor, atau

merelaksasi otot polos secara langsung (Anonim, 2007). Contoh obat

golongan ini adalah budenosid dan flutikason. Efek samping obat ini

termasuk

oropharyngeal candidiasis, dysphonia

, dan kadang-kadang

batuk karena iritasi saluran napas atas (Mangunnegoro, 2006).

Perhatian obat ini adalah selama penghentian steroid oral,

beberapa pasien mungkin mengalami gejala penghentian terapi aktif

dengan steroid sistemik (contoh : sakit sendi atau otot, lelah, depresi)

tanpa mempengaruhi efek fungsi pernapasan pada dosis pemeliharaan

(42)

dapat menimbulkan keparahan dan kekambuhan asma jika dosis

kortikosteroid sebelumnya melebihi dosis prednison 10 mg/hari atau

ekivalen, dan juga dapat terjadi supresi Hypothalamic-Pituitary-Adrenal

(HPA) (Anonim, 2007).

(b) Glukokortikosteroid sistemik

Merupakan antiinflamasi yang efektif mengobati asma. Cara

kerjanya dalam mengobati asma adalah meningkatkan jumlah reseptor

β

2

adrenergik

dan

meningkatkan

stimulasi

respon

reseptor

β

2

adrenergik, mengurangi produksi dan hipersekresi mukus, menurunkan

BHR serta mencegah terjadinya

airway remodeling

(Kelly dan

Sorkness, 2005). Contoh obat yang termasuk golongan ini adalah

deksametason dan prednisolon. Efek samping obat ini meliputi

osteoporosis,

arterial

hipertensi,

diabetes,

hipothalamicpituitary-adrenal axis suppression

, obesitas, katarak, glaukoma dan lemah otot

(Anonim, 2006).

(2) Antileukotrien

Mekanisme kerjanya menghambat 5-lipoksigenase sehingga memblok

sintesis semua leukotrien atau memblok semua reseptor-reseptor pada sel

target. Keuntungan obat ini adalah preparatnya dalam bentuk tablet (oral)

sehingga mudah diberikan (Kelly dan Sorkness, 2005).

Obat-obat golongan antagonis reseptor leukotrien adalah montelukast,

pranlukast dan zafirlukast sedangkan contoh inhibitor lipoksigenase adalah

(43)

gastrointestinal,

sakit

kepala,

demam,

mialgia,

reaksi

alergi

kulit,

meningkatnya enzim hati dan infeksi saluran napas atas (Anonim, 2003).

Perhatian penggunaan obat ini adalah hepatoksisitas (jarang terjadi)

yaitu peningkatan satu atau lebih enzim liver pada pasien yang

menggunakan zafirlukast. Hal ini umumnya terjadi pada penggunaan dosis 4

kali lebih besar dari dosis rekomendasi. Selain itu terjadinya

eosinofilia

,

ruam pembuluh darah, gejala pulmonari yang lebih parah, komplikasi

jantung, atau neuropati. Pada kasus yang lebih jarang, penggunaan

zafirlukast bisa menyebabkan eosinifil sistemik. Hal ini biasanya, tapi tidak

selalu, berhubungan dengan penurunan dosis kortikosteroid oral (Anonim,

2007).

(3)

Agonis

β

2

kerja lama

Contoh obat golongan agonis

β

2

kerja lama adalah salmeterol dan

formoterol yang mempunyai waktu kerja lama (>12 jam). Seperti lazimnya

agonis

β

2

mempunyai efek relaksasi otot polos, meningkatkan pembersihan

mukosilier, menurunkan permeabilitas pembuluh darah dan memodulasi

pengelepasan mediator dari sel mast dan basofil (Mangunnegoro, 2006).

(4)

Kromolin

Mekanisme dari sodium kromoglikat dan nedokromil sodium belum

sepenuhnya dipahami, tetapi diketahui merupakan anti inflamasi nonsteroid

yang menghambat pelepasan mediator dari sel mast melalui reaksi yang

diperantarai Ig E yang bergantung kepada dosis dan seleksi supresi sel

(44)

Kalsium intrasel sangat diperlukan untuk degranulasi atau pelepasan

histamin dan mediator inflamasi lainnya dari sel mast. Terjadinya

penghambatan masuknya kalsium dalam sel dapat menstabilkan sel mast,

sehingga tidak melepaskan mediator inflamasi. Efek samping yang

ditimbulkan obat ini minimal, umumnya batuk (Mangunnegoro, 2006).

8.

Penatalaksanaan Terapi Asma pada Anak

Penatalaksanaan asma bronkial pada anak yaitu pertama, perlu diberikan

edukasi antara lain tentang patogenesis asma, peranan terapi asma, jenis-jenis

terapi yang tersedia, serta faktor pencetus yang perlu dihindari. Selain itu, perlu

dipastikan pasien menggunakan alat untuk terapi inhalasi yang sesuai.

(45)

Secara umum terapi penatalaksanaan asma bronkial pada anak sama dengan

dewasa yaitu obat pengendali (

controller

) dan pereda (

reliever

). Obat pengendali

merupakan profilaksis serangan yang diberikan setiap hari, ada atau tidak ada

serangan atau gejala, sedangkan obat pereda adalah yang obat yang diberikan saat

terjadi serangan (Mansjoer, Suprohaita, Wardhani, Setiowulan, 2000). Berikut

adalah bagan penatalaksanaan terapi asma pada anak.

C. Keterangan Empiris

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik pasien, pola

pengobatan, dan untuk mengevaluasi kejadian

Drug Related Problems

yang

mungkin terjadi pada pengobatan asma bronkial di Instalasi Rawat Inap Rumah

(46)

26

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian mengenai ”Evaluasi

Drug Related Problems

(DRPs) pada

Pasien Asma Bronkial di Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta Bulan

Januari-Desember 2009” ini merupakan jenis penelitian non eksperimental dengan

rancangan deskriptif evaluatif yang bersifat retrospektif. Penelitian ini bersifat non

eksperimental karena tidak ada perlakuan pada subyek penelitian (Pratiknya,

2001) dengan rancangan penelitian deskriptif evaluatif karena hanya bertujuan

melakukan eksplorasi deskriptif terhadap fenomena kesehatan yang terjadi

kemudian mengevaluasi data dari rekam medik (Notoatmodjo, 2005).

Penelitian ini menggunakan data secara retrospektif dengan melakukan

penelusuran dokumen terdahulu, yaitu pada lembar rekam medis pasien asma

bronkial di Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta bulan Januari-Desember 2009.

B. Definisi Operasional

1.

Asma Bronkial adalah penyakit saluran napas yang ditandai dengan

gejala-gejala seperti mengi (

wheezing),

sesak napas, dan batuk yang terjadi baik

malam hari maupun dini hari.

2.

Subjek penelitian adalah pasien yang terdiagnosis asma bronkial dan

menjalani perawatan di instalasi rawat inap Rumah Sakit Panti Rini

(47)

3.

Drug Related Problems

adalah masalah-masalah yang dapat timbul selama

pasien diberi terapi yang meliputi:

a. membutuhkan tambahan obat (

need for additional drug therapy

)

b. obat yang tidak dibutuhkan (

unnecessary therapy

)

c. pemilihan obat salah (

wrong drug

)

d. dosis terlalu rendah (

dose too low

)

e. efek obat merugikan (

adverse drug reaction

)

f. dosis terlalu tinggi (

dose too high

)

4.

Kajian

Drug Related Problems

adalah kajian mengenai adanya

masalah-masalah yang timbul dalam pengobatan pasien asma bronkial di instalasi

rawat inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta bulan Januari-Desember 2009

dengan menggunakan metode

subjective, objective, assessment, plan

(SOAP)

yang dikhususkan pada terapi penggunaan obat asma bronkial.

5.

Kriteria pasien adalah pasien yang terdiagnosis asma bronkial dan mendapat

perawatan medis di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta

bulan Januari-Desember 2009.

6.

Usia pasien dikelompokkan menjadi balita (0-5 tahun), anak-anak (5<n

12

tahun), dewasa (12<n

65 tahun), dan lanjut usia (>65 tahun).

7.

Lembar rekam medik merupakan lembar catatan medik dari pasien yang

berisi nomor rekam medik, umur, jenis kelamin, diagnosis masuk, diagnosis

keluar, diagnosis lain, lama perawatan, jenis obat yang digunakan, dosis,

frekuensi pemberian, interval pemberian, dan tes-tes penunjang seperti tes

(48)

8.

Profil Obat meliputi jumlah obat, golongan obat, jenis obat, dosis obat,

frekuensi pemberian, cara pemberian obat, dan bentuk sediaan obat.

C. Subjek Penelitian

Subjek penelitian yang digunakan adalah pasien asma bronkial di Instalasi

Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta bulan Januari-Desember 2009

yang berjumlah 34 kasus yang berasal dari data

printout

di Instalasi Catatan

Rekam Medik. Dari jumlah tersebut terdapat 2 kasus yang dieksklusi karena

catatan rekam medik pasien tidak ditemukan atau tidak memenuhi syarat untuk

diteliti.

D. Bahan Penelitian

Bahan penelitian yang digunakan di sini adalah lembar rekam medik

pasien rawat inap yang menderita asma bronkial di Rumah Sakit Panti Rini

Yogyakarta bulan Januari-Desember 2009.

E. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta, Jalan Solo

Km 12,5 Kalasan, Yogyakarta.

F. Jalannya Penelitian

(49)

1. Persiapan

Dilakukan survei jumlah pasien asma bronkial yang menjalani rawat inap di

Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta bulan Januari-Desember 2009 di bagian

rekam medik. Diketahui dari

printout

di Instalasi Catatan Rekam Medik Rumah

Sakit Panti Rini bahwa jumlah pasien asma bronkial sebanyak 34 kasus.

2. Pengumpulan data

Tahap ini adalah tahap pengumpulan data dari subyek penelitian yaitu

pasien asma bronkial yang menjalani rawat inap di Rumah Sakit Panti Rini

Yogyakarta bulan Januari-Desember 2009. Adapun data yang dikumpulkan terdiri

atas: identitas pasien, diagnosis, riwayat penyakit, riwayat obat, riwayat penyakit

keluarga, pemeriksaan fisik, catatan perkembangan pasien serta terapi yang

diberikan.

3. Analisis data

Hasil penelitian yang telah diperoleh dianalisis secara deskriptif kemudian

data-data tersebut disajikan dalam bentuk diagram yang menggambarkan

karakteristik pasien asma bronkial berdasarkan umur, jenis kelamin, dan

diagnosis.

Selain

itu

data

juga

disajikan

dalam

bentuk

tabel

untuk

menggambarkan pola pengobatan yang digunakan pada pasien asma bronkial

berdasarkan kelas terapinya.

4. Pembahasan kasus

Setelah dilakukan analisis data kemudian dibahas dengan menggunakan

(50)

berdasarkan pustaka yang sesuai, kemudian dihitung jumlah kasus yang terjadi

DRPs

dan

dikelompokkan

berdasarkan

jenis

DRPs,

kemudian

dihitung

prosentasenya. Karena penelitian ini bersifat retrospektif maka ketidakpatuhan

pasien dalam menggunakan obat tidak dapat diamati.

Literatur yang digunakan dalam menentukan kelas terapi pada pengobatan

asma bronkial adalah MIMS Indonesia edisi 7 tahun 2007/2008, Informasi

Spesialite Obat Indonesia volume 43-2008, dan Informatorium Obat Nasional

Indonesia (IONI) 2000. Untuk pembahasan

Drug Related Problems

menggunakan

pustaka MIMS Indonesia edisi 7 tahun 2007/2008, Informasi Spesialite Obat

Indonesia volume 43-2008, Informatorium Obat Nasional Indonesia (IONI) 2000,

Drug Information Handbook

(DIH) edisi 14, dan

Drug Interaction Facts

(DIF).

G. Tata Cara Analisis Hasil

Hasil penelitian yang diperoleh dianalisis untuk melihat karakteristik pasien

berdasarkan umur, jenis kelamin, dan diagnosis. Untuk pola pengobatan asma

bronkial dibagi menjadi 10 kelas terapi yang kemudian akan dibagi berdasarkan

golongan obat, kelompok obat, dan jenis obat. Pembahasan

Drug Related

Problems

menggunakan metode

SOAP

pada masing-masing kasus, kemudian dari

pembahasan dirangkum dan data disajikan dalam bentuk tabel yang berisi nomor

kasus, jenis obat, penilaian, dan rekomendasi terhadap adanya

Drug Related

Problems

.

Tata cara analisis hasil yang dilakukan dapat diuraikan sebagai berikut ini.

(51)

a. Distribusi pasien berdasarkan kelompok umur dibagi menjadi 4 kelompok

yaitu kelompok balita (0-5 tahun), anak-anak (5<n

12 tahun), dewasa

(12<n

65 tahun), dan lanjut usia (>65 tahun) yang dihitung dengan cara

membagi jumlah kasus pada setiap kelompok umur dengan jumlah

keseluruhan kasus kemudian dikalikan 100%.

b. Distribusi pasien berdasrkan jenis kelamin dibagi menjadi 2 kelompok

yaitu yang berjenis kelamin laki-laki dan perempuan, dihitung dengan

cara membagi jumlah kasus setiap kelompok jenis kelamin dengan

jumlah keseluruhan kasus kemudian dikalikan 100%.

c. Distribusi pasien berdasarkan diagnosis dihitung dengan cara membagi

jumlah kasus pada setiap kelompok dengan jumlah keseluruhan kasus

kemudian dikalikan 100%.

2.

Persentase kelas terapi obat yang digunakan pada pengobatan asma bronkial

dikelompokkan menjadi 10 kelas terapi, dihitung dengan cara

membagi

jumlah kasus yang mendapat obat pada kelas terapi tertentu dengan jumlah

keseluruhan kasus kemudian dikalikan 100%.

3.

Persentase jenis obat yang digunakan pada masing-masing kelas terapi

dihitung dengan cara membagi jumlah kasus setiap jenis obat dalam kelas

terapi tertentu dengan jumlah keseluruhan kasus yang mendapatkan jenis obat

pada kelas terapi tersebu kemudian dikalikan 100%.

4.

Pembahasan

Drug Related Problems

dilakukan dengan menggunakan metode

(52)

diderita, keadaan umum, alergi obat, dan keadaan pulang pasien. Pada bagian

objective

disajikan dalam tabel mengenai data laboratorium, tanda vital, dan

penatalaksanaan terapi selama perawatan. Terjadinya

Drug Related Problems

(DRPs) dijabarkan pada bagian

assessment

, kemudian apabila ada kejadian

DRPs maka akan diberikan

plan

.

5.

Pembahasan

Drug Related Problems

kemudian dirangkum yaitu dengan

mengelompokkan kasus berdasarkan keenam parameter DRPs dan dihitung

persentase kejadian DRPs dengan cara membagi setiap jenis DRPs dengan

(53)

33

A. Karakteristik Pasien

1.

Distribusi Umur

Pasien asma bronkial di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini

Yogyakarta bulan Januari-Desember 2009 dapat dibagi menjadi 4 kelompok umur

yaitu kelompok balita (0-5 tahun), anak-anak (5<n

12 tahun), dewasa (12<n

65

tahun), dan lanjut usia (>65 tahun) dari 32 pasien yang dievaluasi. Persentase

distribusi umur dapat digambarkan dalam diagram di bawah ini.

Gambar 6.

Prosentase Pasien Asma Bronkial Berdasarkan Umur di Rumah

Sakit Panti Rini Yogyakarta Bulan Januari-Desember 2009

Dari hasil penelitian ini dapat terlihat bahwa jumlah pasien asma bronkial

didominasi oleh pasien dewasa yaitu usia 12<n

65 tahun (60%) dan pasien balita

yaitu usia 0-5 tahun (28%). Asma dapat terjadi setiap saat dan terutama terjadi

(54)

umur 5 tahun dan sampai 50% anak-anak mempunyai simptom pada umur 2

tahun. Antara 30-70% anak-anak dengan asma dapat membaik atau simptomnya

hilang pada awal usia dewasa sedangkan penyakit kronik terjadi pada 30-40%

pasien, dan secara umum 20% atau kurang berkembang menjadi penyakit kronis

yang parah (Kelly dan Sorkness, 2005).

Perkembangan paru-paru yang kurang baik dapat terjadi pada anak-anak

dengan keparahan asma yang tidak terkontrol. Fungsi paru-paru yang rendah dan

kenaikan hiperresponsif bronkus adalah faktor resiko yang tidak mempengaruhi

rendahnya fungsi paru-paru pada usia dewasa. Adanya faktor resiko pada awal

usia (< 3 tahun) berupa

wheezing

yang berulang berhubungan dengan adanya

infeksi virus termasuk berat badan lahir yang rendah, jenis kelamin laki-laki, dan

orang tua yang merokok. Pada usia anak-anak, penyebab penyakit asma adalah

saluran napas yang kecil, tetapi faktor resiko ini bukan faktor resiko asma di

kemudian hari (Kelly dan Sorkness, 2005). Pada usia dewasa biasanya pasien

sudah dapat mengenali faktor-faktor pencetus serangan asma, sehingga tindakan

pencegahan serangan asma dapat dilakukan.

Pasien asma mempunyai kepekaan terhadap adanya infeksi saluran napas

dan kebanyakan terjadi karena virus. Hal tersebut mengakibatkan peradangan

bronkus

yang

dapat

menimbulkan

serangan

asma.

Faktor

inilah

yang

menyebabkan terjadinya asma bronkial pada pasien lanjut usia (Tjay dan

(55)

2.

Distribusi Jenis Kelamin

Berdasarkan distribusi jenis kelamin dapat diketahui bahwa jumlah pasien

asma bronkial yang berjenis kelamin perempuan lebih banyak yaitu sebanyak 22

kasus (68,75%) sedangkan laki-laki hanya 10 kasus (31,25%) dari 32 kasus yang

dievaluasi. Selain itu dapat terlihat juga bahwa pada pasien balita dan anak-anak

lebih banyak yang berjenis kelamin laki-laki sedangkan pada usia dewasa jumlah

pasien asma bronkial lebih banyak berjenis kelamin perempuan dibandingkan

laki-laki. Hasil tersebut sesuai dengan kebanyakan penelitian dimana prevalensi

asma pada anak laki-laki dan perempuan adalah 1,5:1 dan 3,3:1, sedangkan pada

orang dewasa lebih kurang sama dan pada orang tua angka kejadiannya lebih

besar pada wanita (Baratawidjaja, 1990). Distribusi jenis kelamin pasien asma

bronkial tersaji dalam diagram di bawah ini.

(56)

3.

Diagnosis

Pada penelitian ini data yang diambil adalah pasien yang terdiagnosis asma

bronkial dan menjalani perawatan rawat inap di Rumah Sakit Panti Rini

Yogyakarta bulan Januari-Desember 2009. Dari data tersebut diketahui bahwa

pasien yang terdiagnosis asma bronkial sebanyak 29 kasus (90,6%) dan yang

terdiagnosis asma bronkial dengan komplikasi sebanyak 3 kasus (9,4%).

Komplikasi yang dialami pasien asma bronkial yaitu dislipidemia, infeksi paru,

dan

cor pulmonale chronicum

. Hasil tersebut secara persentase dapat dilihat pada

tabel II.

Tabel II. Karakteristik Pasien Asma Bronkial Berdasarkan Diagnosis di

Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta Bulan Januari-Desember 2009

Diagnosis Jumlah kasus Persentase

Asma bronkial 29 90,6%

Asma bronkial + komplikasi 3 9,4%

Jumlah 32 100%

B. Pola Pengobatan

Hasil penelitian pasien asma bronkial di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit

Panti Rini Yogyakarta bulan Januari-Desember 2009 juga akan menggambarkan

pola pengobatan yang digunakan dalam penatalaksanaan pasien asma bronkial.

Obat-obat yang digunakan dibagi menjadi sembilan kelas terapi berdasarkan

Informatorium Obat Nasional Indonesia (IONI) 2000. Data tersebut tersaji pada

(57)

Tabel III. Distribusi Kelas Terapi Obat Kasus Pasien Asma Bronkial di

Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta Bulan

Januari-Desember 2009

No Kelas Terapi Jumlah

Kasus

Persentase

(%)

1. Obat yang bekerja pada sistem pernapasan 32 100

2. Obat yang mempengaruhi gizi dan darah 31 96,9

3. Obat yang digunakan untuk infeksi 22 68,8

4. Obat-obat hormonal 22 68,8

5. Obat yang bekerja sebagai analgesik 21 65,6

6. Obat yang bekerja pada sistem saluran cerna 15 46,9

7. Obat untuk penyakit pada sistem kardiovaskuler 6 18,8

8. Obat yang bekerja pada sistem saraf pusat 6 18,8

9. Anestetik 1 3,1

Berdasarkan tabel III dapat terlihat bahwa kelas terapi yang paling banyak

digunakan adalah obat-obat yang bekerja pada sistem pernapasan yaitu sebesar

100%. Semua pasien asma bronkial yang menjalani rawat inap di Rumah Sakit

Panti Rini Yogyakarta ini memperoleh terapi obat-obat sistem pernapasan dimana

obat-obat ini merupakan terapi utama yang digunakan dalam pengobatan pasien

asma bronkial. Obat-obatan ini mempunyai indikasi untuk menghilangkan dan

mengendalikan gejala-gejala asma.

Kelas terapi terbanyak kedua adalah gizi dan darah yaitu 96,9%. Pada kelas

terapi ini persentase terbesar adalah penggunaan cairan rehidrasi (infus). Infus

yang digunakan dalam pengobatan pasien asma bronkial yaitu infus RL, Dextrose

5%, natrium klorida (NS), KA-EN 1B, dan KA-EN 3A. Penggunaan infus pada

(58)

serangan asma berat disebabkan kurang adekuatnya asupan cairan, peningkatan

insensible water lost,

dan akibat efek diuretik teofilin.

1.

Obat yang bekerja pada sistem saluran cerna

Tabel IV. Golongan, Kelompok, dan Jenis Obat yang Bekerja pada Saluran

Cerna yang Digunakan pada Terapi Pasien Asma Bronkial di

Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta Bulan

Januari-Desember 2009

Obat saluran cerna yang paling banyak digunakan adalah golongan

antitukak (76,3%) yaitu antagonis reseptor H

2

dengan zat aktif ranitidin. Ranitidin

mempunyai indikasi untuk tukak lambung dan tukak duodenum, refluks

esofagitis, dispepsia episodik kronis, tukak akibat AINS, dan kondisi lain dimana

pengurangan asam lambung akan bermanfaat. Pada pasien asma bronkial, obat

Golongan Kelompok Zat aktif Jenis obat Jumlah kasus

Persentase (%)

Antasida Antasida 2 5,3

Antasida Aluminium hidroksida Farmacrol® Plantacid® 3 1 7,9 2,6 Ranitidin Ranitidin Acran® Gastridin® 4 9 3 10,5 23,7 7,9 Antagonis reseptor H2

Famotidin Magard FA® 2 5,3

Khelator dan senyawa

kompleks

Sukralfat Inpepsa® 1 2,6

Omeprazole Socid® Omevell® 2 1 5,3 2,6 Antitukak (76,3%) Penghambat pompa proton

Lanzoprazole Lanzoprazole® 1 2,6 Antidiare Adsorben dan

obat pembentuk massa

Attapulgit Arcapec® 1 2,6

Dioctahedral smectit

Smecta® 1 2,6

Viabel cell count, vit C, B2,B6,niacin, protein

Lacto B® 1 2,6

Antispasmodi k (10,5%) Stimulan motilitas Metoklopram id Metolon® Primperan® 1 3 2,6 7,9 Pencahar Pelunak tinja Parafin cair Laxadine® 1 2,6

Lain-lain L. rhamnosus,

L. acidophilus

(59)

saluran cerna diberikan kepada pasien yang mempunyai keluhan gangguan saluran

cerna.

2.

Obat untuk penyakit pada sistem kardiovaskuler

Tabel V. Golongan, Kelompok, dan Jenis Obat yang Bekerja pada Sa

Gambar

Gambar 1. Bronkus normal dan bronkus pada penderita asma (Adam, 2005)
Gambar 2. Mekanisme terjadinya asma (Kelly dan Sorkness, 2005)
Gambar 3. Patofisiologi asma (Kelly dan Sorkness, 2005)
Gambar 4. Kapasitas dan volume paru-paru (Kelly dan Sorkness, 2005)
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Dengan menggunakan rumusan pada indeks kesukaran aitem, indeks daya diskriminasi aitem, dan membandingkan hasilnya dengan kategori evaluasi indeks oleh Ebel kita dapat

Kondisi ekonomi pasca konversi hutan mangrove menjadi lahan tambak di Kabupaten Pangkajene Kepulauan Provinsi Sulawesi Selatan.. Kondisi ekonomi pasca konversi hutan

Dekomposisi beberapa tanaman penutup tanah dan pengaruhnya terhadap sifat-sifat tanah, serta pertumbuhan dan produksi jagung pada ultisol Lampung.Thesis.. Program

Philips, TBK Surabaya Berdasarkan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya dengan Analisis Profil Multivariate , sedangkan pada penelitian ini membahas tentang kepuasan kerja

Berdasarkan tujuan tersebut diatas, maka penulisan penelitian ini berguna untuk menambah wawasan berkaitan dengan adanya pasal 197 Undang-Undang No.36 tahun 2009 tentang

Dengan segenap puji syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir ini dengan

Hasil penelitian ini dapat menunjukkan unsur dari dalam dan peran dan perjuangan tokoh perempuan yang diperankan oleh tokoh Tuti yaitu konta feminis, serta