• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI EKSPERIMENTAL PENDINGINAN ADSORBSI AMONIA-CaCl2 ENERGI SURYA MENGGUNAKAN PERBANDINGAN AMONIA-CaCl2 0,4

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "STUDI EKSPERIMENTAL PENDINGINAN ADSORBSI AMONIA-CaCl2 ENERGI SURYA MENGGUNAKAN PERBANDINGAN AMONIA-CaCl2 0,4"

Copied!
71
0
0

Teks penuh

(1)

i

STUDI EKSPERIMENTAL PENDINGINAN ADSORBSI

AMONIA-CaCl2

ENERGI SURYA MENGGUNAKAN

PERBANDINGAN AMONIA-CaCl2

0,4

TUGAS AKHIR

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Teknik

Program Studi Teknik Mesin

Diajukan Oleh:

PUJI AGUNG SUDRAJAT NIM: 085214046

JURUSAN TEKNIK MESIN

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)

ii

EXPERIMENTAL STUDY OF SOLAR ENERGY

AMMONIA-CaCl2

ADSORBTION REFRIGERATION USING 0,4

AMMONIA-CaCl2

RATIO

FINAL PROJECT

Presented as a partitial fulfilment of the requirement as to obtain the Bachelor of Engineering degree

in Mechanical Engineering Study Program

By:

PUJI AGUNG SUDRAJAT Student Number: 085214046

MECHANICAL ENGINEERING DEPARTMENT

FACULTY OF SCIENCE AND TECHNOLOGY

SANATA DHARMA UNIVERSITY

YOGYAKARTA

(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

vii ABSTRAK

Kebutuhan akan sistem pendingin setiap hari makin meningkat, terutama untuk pengawetan makanan, hasil pertanian, sterilisasi obat-obatan, dsb. Sistem pendingin yang umum digunakan saat ini adalah sistem kompresi uap, yang membutuhkan energi listrik dan menggunakan refrijeran sintetik. Kebutuhan akan energy listrik ini belum tentu bisa dipenuhi di daerah terpencil, dan hal ini yang menjadi kendala dalam pemenuhan kebutuhan pendinginan pada daerah terpencil. Maka system pendingin adsorbsi gas ammonia-CaCl2 tenaga surya merupakan

suatu gagasan yang dapat diterapkan pada daerah tersebut, sistem pendingin ini terdiri dari dua bagian yaitu desorbsi (menguapnya amonia murni saat proses pemanasan) dan adsorbsi (kembalinya amonia ke absorbernya yaitu CaCl2).

Tujuan dari penelitian ini adalah membuat model pendingin adsorbsi gas amonia-CaCl2, serta meneliti koefisien prestasi dan temperature terendah yang dapat

dicapai.

Komponen pendingin ini terdiri dari generator (juga sebagai absorber), kondensor yang berbentuk spiral dan evaporator. Bahan yang digunakan adalah logam stainless steel dan untuk reflektor digunakan dari kayu triplek dengan lapiasan alumunium foil. Variabel yang diukur dalam penelitian ini adalah temperatur pada generator (T1), temperatur pada kondensor (T2), temperatur pada

evaporator (T3), temperatur pada ruang pendinginan (T4), tekanan pada evaporator

(P2), tekanan pada generator (P2) dan waktu (t). Untuk pengukuran temperature

dan tekanan alat yang digunakan adalah Termokopel dan Manometer. Penelitian menggunakan perbandingan antara gas ammonia dengan CaCl2sebesar 40%.

Hasil dari penelitian ini adalah telah berhasilnya membuat sebuah sistem pendingin adsorbsi gas amonia-CaCl2 dan data Temperatur terendah yang dapat

dicapai adalah 20oC dan COP terbaik yang dihasilkan adalan 0,87.

(8)

viii

KATA PENGANTAR

Puji syukur bagi-Mu Tuhan Yang Maha Kasih atas segala berkah dan rahmat, sehingga laporan tugas akhir ini dapat diselesaikan dengan baik. Tugas akhir ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik untuk program studi Teknik Mesin, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis merasakan bahwa penelitian tugas akhir ini merupakan penelitian yang tidak mudah, dituntut keterlibatan langsung dalam pengambilan data, pemahaman terhadap sistem alat dan persamaan yang digunakan, serta penanggulangan yang tepat terhadap permasalahan yang dihadapi.

Penelitian Tugas Akhir dengan judul Studi eksperimental pendinginan adsorsi menggunakan perbandingan amonia-CaCl20,4 ini dapat berjalan dengan

baik karena adanya bantuan secara langsung maupun tidak langsung dan kerjasama dari berbagai pihak. Menyadari hal itu, maka pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Paulina Heruningsih Prima Rosa. S.Si., M.Sc. selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

2. Bapak Ir. P.K. Purwadi, M.T. selaku Ketua Program studi Teknik Mesin. 3. Bapak Ir. P.K. Purwadi, M.T. Selaku Dosen Pembimbing Akademik 4. Bapak Ir. FA. Rusdi Sambada, M.T. selaku dosen pembimbing tugas akhir

(9)
(10)

x

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

1.l Latar Belakang ... 1

1.2 Batasan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.4 Manfaat Penelitian ... 5

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Penelitian yang Pernah Dilakukan ... 6

(11)

xi

BAB III. METODE PENELITIAN ... 27

3.1 Skema Alat ... 27

3.3 Variabel Yang Diukur ... 28

3.4 Langkah Penelitian ... 28

3.5 Peralatan Pendukung ... 30

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN………. 31

4.1 Data Hasil Penelitian………... 31

4.2 Perhitungan Data ………. 35

4.2 Grafik dan Pembahasan ... 36

BAB V. PENUTUP ... 50

5.1 Kesimpulan ... 50

5.2 Saran ... 50

DAFTAR PUSTAKA ... 51

(12)

xii DAFTAR TABEL

Tabel 4.1. Data pemanasan pertama, mulai pada jam 10.30 WIB ... 31

Tabel 4.2. Data pendinginan pertama, mulai pada jam 08.30 WIB ... 32

Tabel 4.3. Data pemanasan kedua, mulai pada jam 09.30 WIB ... 32

Tabel 4.4. Data pendinginan kedua, mulai pada jam 10.00 WIB ... 33

Tabel 4.5. Data pemanasan ketiga, mulai pada jam 10.50 WIB ... 34

Tabel 4.6. Data pendinginan ketiga, mulai pada jam 09.10 WIB ... 34

(13)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Siklus pendinginan absorsi... 10

Gambar 2.2. Skema diagram carnot……… 12

Gambar 2.3. Kolektorthermosyphonplat datar………. 16

Gambar 2.3. Evacuated Tube Collectors( Kolektor tabung vakum )… 16 Gambar 2.5.a Parabolic dish collectors... 17

Gambar 2.5.b Parabolic trough collectors... 17

Gambar 2.6. Gambar kalsium klorida ……….... 19

Gambar 2.7. Gambar amonia ……….……. …... 23

Gambar 3.1 Skema alat ... 27

Gambar 3.2 Varibel yang diukur ... 28

Gambar 4.8.a Perbandingan Intensitas surya vs tekanan tiap waktu data 1 ………... 37

Gambar 4.8.b Perbandingan Intensitas surya vs tekanan tiap waktu data2 ………..…... 37

Gambar 4.8.c Perbandingan Intensitas surya vs tekanan tiap waktu data 3………..………. 38

Gambar 4.9.a Grafik perbandingan suhu evaporator terhadap waktu…. 39 Gambar 4.9.b Grafik perbandingan suhu tiap percobaan……….…. 40

Gambar 4.10.a Grafik perbandingan Tekanan terhadap waktu……..….... 41

Gambar 4.10.b Perbandingan tekanan maksimun tiap data…………..….. 41

Gambar 4.11 Perbandingan tekanan dengan intensitas radiasi tiap waktu pada gas ammonia:CaCl260%……….. 43

Gambar 4.12 Perbandingan tekanan dengan intensitas radiasi tiap waktu pada gas ammonia:CaCl220%……….. 44

Gambar. 4.13 Grafik perbandingan tekanan maksimum tiap data..…... 44

Gambar 4.14 Grafik perbandingan suhu minimum tiap data……... 45

(14)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kebutuhan akan sistem pendingin setiap hari makin meningkat, terutama untuk pengawetan makanan, hasil pertanian, sterilisasi obat-obatan, dsb. Namun sangat disayangkan kebutuhnan akan sistem pendingin yang banyak ini tidak diimbangi dengan pengembangan pemanfaatan sumber daya energi yang digunakan pada sistem pendingin tersebut, kebanyakan sistem pendinginan yang ada saat ini bekerja dengan sistem kompresi uap yang menggunakan energi listrik dan refrijeran sintetik (R-11, R-12, R-22, R-134a, dan R-502). Permasalahan yang ada di masyarakat, yaitu belum semua daerah terutama didaerah terpencil yang memiliki jaringan listrik sehingga sistem pendingin yang menggunakan energi surya diharapkan dapat menjadi pengganti dari sumber energi listrik. Sistem pendinginan dengan energi surya ini dapat bekerja tanpa adanya jaringan listrik, sehingga hal ini merupakan alternatif pemecahan permasalahan akan kebutuhan sistem pendingin di daerah yang masih belum terpenuhi kebutuhan jaringan listriknya.

(15)

pembakaraan kayu, arang, bahan bakar minyak dan gas bumi. Energi panas juga dapat berasal dari buangan proses industri, biomassa, biogas atau dari energi alam seperti panas bumi dan energi surya.

(16)

1.2. Batasan Masalah

Sumber energi panas yang biasa digunakan pada daerah terpencil atau desa pada umumnya berasal dari kayu bakar, biomassa, biogas dan arang. Penggunaan energi surya belum banyak digunakan, energi surya dipengaruhi juga oleh lokasi suatu wilayah, sehingga antara satu daerah dengan daerah yang lain memiliki intensitas radiasi surya yang berbeda. Penggunaan sistem pendingin adsorbsi ini juga dipengaruhi oleh cuaca. Cuaca di Indonesia hanya memiliki dua musim sehingga bila saat musim hujan, maka penggunaan pendingin adsorbsi energi surya ini akan menjadi sulit dan akan tidak bisa berkerja dalam jangka waktu yang lama. Jadi musim yang tepat dalam pengaplikasian sistem adsorbsi tenaga surya ini adalah musim panas agar didapatkan intensitas radasi matahari yang maksimal. Namun perlu disadari bahwa walaupun berkendala terhadap cuaca dan lokasi yang menyebabkan intensitas radiasi tidak besar, energi surya merupakan energi yang ramah lingkungan dan tersedia di alam dengan jumlah yang tidak terbatas sehingga pemilihan energi surya sebagai pengganti energi listrik merupakan pemilihan yang tepat.

Penggunaan kalsium klorida ( CaCl2) sebagai adsorber dan amonia

sebagai refigerannya dalam penelitian ini, memiliki kadar perbandingan antara amonia dengan CaCl2 sebesar 0,4 atau 0,4. Hal ini dikarenakan

(17)

amonia air, kadar uap amonia murni yang dihasilkan dan terpakai dalam sistem sebesar 2,34 kg. Perbandingan antara gas amonia murni dengan kadar 6kg CaCl2adalah sebesar 0,4. Perbandingan gas amonia-CaCl2 0,4 ini yang

menjadi acuan dalam penelitian ini. Pada penelitian ini menggunakan alat pengukur panas yang disebut dengan termokopel dan alat pencatat panas dari termokopel disebut logger. Namun dalam penelitian yang dilakukan tidak dapat dilakukan pencatatan data otomatis, yaitu saat adanya perubahan intensitas radiasi surya dikarekan keterbatasan alat pengukur yang digunakan sehingga pancatatan waktu penelitian diambil setiap 15 menit. Keterbatasan lain yang ada saat pengambilan data penelitian adalah kurang mampuannyalogger untuk mencatat perubahan suhu yang terjadi dan suhu terendah yang bisa tercatat hanya -5oC. Penelitian ini dilakukan pada tanggal 12 juli sampai dengan tanggal 16 juli 2012 di kampus III Sanata Dharma, Sleman, Yogyakata.

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai oleh peneliti yaitu :

1. Membuat model pendingin adsorbsi gas amonia CaCl2 dengan energi

surya.

(18)

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini :

1. Menambah kepustakaan teknologi pendingin dengan sistem adsorbsi. 2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dikembangkan lebih lanjut untuk

(19)

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penelitian yang pernah dilakukan

(20)

air-litium bromida dilakukan untuk mengetahui pengaruh perubahan kondisi kerja pada unjuk kerja yang dihasilkan. Hasil yang didapat menunjukan parameter yang penting adalah temperatur pemanasan dan perbandingan laju aliran. Semakin tinggi temperatur pemanasan semakin tinggi unjuk kerja yang dihasilkan. Laju aliran yang lebih besar memerlukan temperatur generator yang lebih tinggi (Eisa, 2007).

Penggunaan refrijeran baru untuk sistem pendingin adsorbsi yakni 2,2,2-trifluoroethanol (TFE)-N-methylpyrolidone (NMP). Refrijeran baru ini mempunyai keunggulan dibandingkan dengan refrijeran klasik seperti H2O–LiBr and HNO3–H2O. Keunggulan refrijeran baru tersebut adalah

(21)

menggunakan zeolit-air akan medekati konstan pada temperatur pemanasan 160OC atau lebih oleh Hinotani (1983).

(22)

2.2 Dasar Teori

Alat pendingin adsorbsi umumnya terdiri dari 3 (tiga) komponen utama yaitu: (1) generator, (2) kondensor dan (3) evaporator. Siklus pendinginan adsorbsi terdiri dari proses adsorbsi atau penyerapan refrijeran ke dalam adsorber dan proses pelepasan refrijeran dari adsorber (proses desorbsi) proses ini dapat dilihat pada Gambar 2.1. Proses adsorbsi dan desorbsi terjadi pada generator. Pada proses desorbsi di generator memerlukan energi panas dalam penelitian ini sebagai sumber energi panas digunakan energi surya. Refrijeran yang digunakan pada penelitian ini adalah uap amonia. Pada sistim pendingin adsorbsi dengan refrijeran uap amonia diperlukan bahan lain sebagai adsorber yakni CaCl2. Adsorber

(23)

Gambar 2.1. Siklus pendinginan adsorbsi

(24)

berlangsung terus selama ada sumber panas. Selama proses desorbsi pendinginan di dalam evaporator tidak dapat terjadi karena seluruh amoniak berada di dalam generator, oleh karena proses pendinginan tidak berlangsung secara kontinyu maka pendinginannya dikatakan berlangsung secara intermitten. Agar proses pendinginan bahan dapat berlangsung secara kontinyu maka harus terdapat dua alat pendingin, jika satu alat digunakan untuk mendinginkan bahan makanan atau obat (proses adsorbsi) maka pada alat yang lain dilakukan pemanasan (proses desorbsi).

Unjuk kerja pendingin adsorbsi umumnya dinyatakan dengan koefisien prestasi adsorbsi (COPAdsorbsi) dan dapat dihitung dengan

persamaan (Arismunandar, 1995) :

COPAdsorbsi=

Kerja pendinginan pada evaporator dapat dihitung dengan persamaan (Arismunandar, 1995)

Kerja pendinginan =∆(m.hfg)amonia

Kerja pemanasan pada generator dapat dihitung dengan persamaan (Arismunandar, 1995) :

Kerja pemanasan =

.

( )

(25)

Pada penelitian ini, analisa digunakan pendekatan siklus pendingin carnot, ini dikarenakan untuk perhitungan kerja pemanasan pada temperatur refrijeran dan adsorber pada generator tidak bisa dilakukan, karena tidak mungkinnya peletakkan termokopel di dalam generator untuk mengukur temperatur pada amonia dan CaCl2, berikut penjelasan siklus

pendingin carnot:

Karena proses melingkar carnot adalah proses reversible, maka proses dapat dibalik. Proses yang dibalik ini disebut refrigerator carnot. Jadi refrigerator carnot bekerja dengan kebalikan dari mesin carnot.

Refrigerator carnot menerima kerja luar W dan menyerap panas Q1

dari reservoir dingin (heat sink) temperatur T1 serta memberikan panas Q2

ke reservoir panas temperatur T2. Skema diagram alir refrigerator carnot,

pada gambar :

Gambar 2.2 Skema diagram carnot

Jadi dapat dibuat hubungan :

(26)

koefisienperformance,

COP = (2)

= (3)

= (4)

Dari persamaan (1) dan (2) didapat hubungan :

=

(5)

Sehingga penyederhanaan untuk mendapatkan COP adalah:

COPAdsorbsi=

(6)

Energi surya yang digunakan untuk menaikan temperatur sejumlah massa pada generator adalah besarnya intensitas energi surya yang diterima oleh kolektor sebanding dengan luasan permukaan kolektornya:

Energi surya = G . A

Sehingga untuk mengetahui efisiensi kolektor (Kolektor) dapat

(27)

η

kolektor

=

Keterangan:

m : massa (tabung, amonia dan CaCl2) yang dipanasi (kg)

CP : panas jenis (tabung, amonia dan CaCl2) (J/(kg.K)

T1 : temperatur awal (oC)

T2 : temperatur akhir (oC)

∆t : lama waktu pemanasan (detik) G : Intensitas radiasi surya ( W/m2) A : Luas permukaan kolektor ( m2) hfg : Entalpi penguapan amonia ( J/kg )

m : Massa amonia ( kg )

Dalam proses desorbsi atau pemanasan pada tabung generator dibutuhkan kolektor yang befungsi untuk memantulkan radiasi surya ke generator. Kolektor surya dapat didefinisikan sebagai sistem perpindahan panas yang menghasilkan energi panas dengan memanfaatkan radiasi surya sebagai sumber energi utama, ketika radiasi surya menimpa allumunium foil pada kolektor, maka akan di fokuskan ke sebuah titik, dalam hal ini adalah tabung generator.

Terdapat tiga jenis kolektor surya yang diklasifikasikan ke dalam Solar Thermal Collector Sistem (sistem kolektor energi surya) dan juga memiliki korelasi dengan pengklasifikasian kolektor surya berdasarkan dimensi dan geometri dari receiver (penerima) yang dimilikinya:

1. Flat-Plate Collectors( kolektor plat datar) 2. Parabolik Collectors( kolektor parabola )

(28)

Kolektor surya plat datar bisa memanfaatkan paparan radiasi surya melalui sorotan langsung dan juga sebaran, tidak memerlukan tracking surya atau perubahan posisi mengikuti surya dan juga karena desainnya yang sederhana, hanya sedikit memerlukan perawatan dan biaya pembuatan yang tidak susah. Kolektor pelat datar (gambar 2.3) dapat menghasilkan suhu antara 70-80oC.

Gambar 2.3 Kolektorthermosyphonplat datar

(29)

meminimalisa

isasi kehilangan panas yang terjadi secara n luar absorber menuju lingkungan

Gambar 2.4Evacuated Tube Collectors asarkan bentuk komponen absorber-nya, j dikelompokan menjadi dua jenis yaitu Pa (kolektor silinder parabolik) dan Parabolik parabola piringan). Parabolik dish collectors untuk memfokuskan pantulan radiasi sinar sury

(30)

terfokus pada alat yang ingin dipanaskan, dalam penelitian ini yaitu generator.

Gambar 2.5.a gambar 2.5.b

(31)

setiap beberapa saat. Berbeda dengan jenis kolektor parabola piringan yang harus selalu mengikuti pergerakan surya tiap menitnya.

Dengan menggunakan sistem pemanasan yang terfokus maka akan dapat meningkatkan kuantitas energi panas yang diserap oleh absorber. Berikut ini merupakan keterangan lebih lanjut tentang sifat-sifat adsorber dan amonia yang digunakan.

2.2.1 Kalsium Klorida (CaCl2)

Cairan kalsium klorida (CaCl2) adalah senyawa ionik yang terdiri

(32)

Gambar 2.6 Bentuk kalsium klorida

(33)

Kalsium klorida (CaCl2) dapat diproduksi dengan berbagai proses, antara lain :

1. Proses pemurnian dari air garam alami

Proses pemurnian ini merupakan proses yang paling sederhana dalam pembuatan kalsium klorida, tetapi kemurnian kalsium klorida dari proses ini sangatlah rendah, yaitu di bawah 10% (Tetra, 2010).

2. Proses Solvay

Metode yang paling umum dan sering digunakan untuk menghasilkan kalsium klorida "sintetik" adalah dengan proses Solvay. Solvay juga dikenal sebagai proses amonia-soda. Ini adalah proses industri utama yang digunakan dalam memproduksi kalsium karbonat dimana kalsium karbonat direaksikan dengan asam klorida, sehingga menghasilkan kalsium klorida.Bahan baku dasar yang digunakan adalah batu kapur dan larutan garam (natrium klorida) dengan katalis amoniak. Kalsium klorida dibuat dari campuran antara Larutan asam klorida dengan kalsium hidroksida dengan reaksi sebagai berikut:

CaCO3+ HClCaCl2+ H2CO3

3. Proses pembuatan dari batu kapur dan asam klorida (HCl)

(34)

dengan larutan asam klorida menghasilkan kalsium klorida, magnesium klorida, karbon dioksida dan air, berikut adalah reaksi yang terjadi :

CaCO3+ 2 HCl → CaCl2+ CO2+H2O

Refrijeran diklasifikasi kedalam beberapa kelas berdasarkan jenis fluida yang digunakan, yaitu :

1. CFC ( Chlorofluorocarbon )

CFC adalah senyawa yang hanya mengandung klorin, fluor, dan karbon dan tidak mengandung hidrogen. CFC memiliki efek ODP (Ozon Depletion) dan GWP (Global Warning Potensial) yang sangat tinggi. Contoh CFC antara lain R11, R12, R13, R113, R500, dll.

2. HCFC (Hydrochlorofluorocarbon)

HCFC adalah senyawa haloalkana dimana tidak semua hidrogen digantikan dengan klorin atau fluor. HCFC biasa digunakan sebagai pengganti CFC dengan nilai ODP yang lebih rendah. Contoh HCFC adalah R22, R123, R401A, R403A, R408A, dll.

3. HFC (Hydrofluorocarbon)

(35)

4. HC (Hydrocarbon)

Hidrokarbon adalah senyawa organik yang terdiri dari hidrogen dan karbon. Refrijeran HC tidak memiliki dampak yang buruk terhadap lingkungan, namun memiliki dampak negatif terhadap pengguna, karena umumnya mudah terbakar. Contoh refrijeran HC antara lain propana, ethane, iso-butana, dll.

5. Natural

Refrijeran natural adalah yang langsung berasal dari alam dan juga tidak memiliki dampak yang buruk terhadap lingkungan. Namun beberapa diantara refrijeran ini memiliki efek samping bagi penggunanya, seperti kadar racun yang tinggi. Refrijeran natural yang biasa digunakan adalah udara, amonia dan karbondioksida.

(36)

2.2.2 Amonia

Amonia terdiri dari sebuah unsur nitrogen dan 3 unsur hidrogen dengan rumus kimia NH3. Biasanya senyawa ini didapati berupa gas

dengan bau tajam yang khas (disebut bau amonia). Walaupun amonia memiliki sumbangan penting bagi keberadaan nutrisi di bumi, namun amonia sendiri dapat merusak kesehatan. Amonia berwujud gas yang tidak berwarna mudah terbakar dan sangat beracun. Amonia yang murni tidak korosif terhadap logam yang banyak dipakai pada sistem refigerasi. Namun amonia yang bercampur dengan air akan menjadi korosif terhadap logam, terutama tembaga, kuningan, seng dan timah. Kontak dengan gas amonia berkonsentrasi tinggi dapat menyebabkan kerusakan paru-paru dan bahkan kematian, amonia masih digolongkan sebagai bahan beracun jika terhirup.

(37)

Berikut ini merupakan karakteristik amonia, antara lai: 1. Titik beku -77,74C dan titik didih -33,5C.

2. Pada suhu dan tekanan biasa bersifat gas dan tidak berwarna, beratnya lebih ringan daripada udara dan baunya menyengat.

3. Amonia memiliki sifat basa, larutan amonia yang pekat mengandung 28%-29% amonia pada suhu 25C.

4. Amonia bersifat korosif pada tembaga dan timah

5. Amoniak berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan, karena dapat menimbulkan. Iritasi terhadap saluran pernapasan, hidung, tenggorokan mata dan paru-paru serta dapat menimbulkan pencemaran lingkungan.

Selain pasangan adsorbsi gas amonia dengan CaCl2 terdapat

beberapa pasangan pendingin adsorbsi yang lain, antara lain.

1. Air-Litium bromida

(38)

pembentukan lumpur padat dan penyumbatan sehingga mengganggu aliran di dalam pipa

2. Amonia-Air

Sistem amonia-air digunakan secara luas untuk mesin pendingin berskala kecil (perumahan) maupun industri, yang mana suhu evaporasi yang dibutuhkan mendekati atau di bawah 0 ºC. Sistem amonia-air mempunyai hampir seluruh kriteria yang diperlukan di atas, kecuali bahwa zat-zat tersebut dapat bersifat korosif terhadap tembaga dan alloynya, serta sifat amonia yang sedikit beracun sehingga membatasi penggunaannya untuk pengkondisian udara. Kelemahan sistem amonia-air yang paling utama adalah air yang juga mudah menguap sehingga amonia yang berfungsi sebagai refrijeran masih mengandung uap air pada saat keluar dari generator dan masuk ke evaporator melalui kondensor. Keadaan ini dapat menyebabkan uap air meninggalkan panas di evaporator dan meningkatkan suhunya sehingga dapat menurunkan efek pendinginan.

3. Zeolit-Air

(39)
(40)

27

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Skema Alat Penelitian

Alat pendingin adsorbsi yang dibuat dari 3 komponen utama, yaitu generator, kondensor dan evaporator serta beberapa komponen-komponen penunjang lainnya dapat dilihat pada gambar 3.1 dibawah ini:

Gambar 3.1 Skema rangkain alat Keterangan :

1. Reflektor 2. Generator 3. Manometer 4. Kondesor

5. Kotak pendingin Kondensor

6. Torong pengisi amonia 7. Keran/katub

(41)

3.2

Variabel yang diukur :

Gambar 3.2 Variabel yang digunakan P1: Tekanan generator

P2: Tekanan evaporator T1: Temperatur generator T2: Temperatur kondensor

T3 : Temperatur evaporator T4 : Temperatur kotak evaporator G : Radiasi surya

3.3 Langkah Penelitian

(42)

1. Pembuatan dan perakitan alat penelitian seperti gambar 3.1 & 3.2 untuk pengujian unjuk kerja alat pendingin.

2. Sebelum dilakukan pengambilan data harus dipastikan tidak terdapat kebocoran pada alat dengan melakukan pengujian kebocoran vakum dengan menggunakan kompresor untuk melakukan penekanan hingga 5 bar dan selanjutnya diuji tekanan air dengan pompa hingga 40 bar. 3. Semua alat divakumkan menggunakan pompa vakum.

4. Pada generator dimasukan adsorber sebanyak 6 kg CaCl2.

5. Mengisikan sebanyak 7,8 liter ammonia cair melalui corong ke dalam evaporator.

6. Evaporator dipanaskan dengan temperature sebesar 65-70oC, agar amoniak cair dapat menguap dan terpisah dengan air.

7. Bersihkan sisa air yang tertinggal di dalam evaporator dan kembali vakum evaporator.

8. Alat dipanasi dengan radiasi matahari menggunakan reflektor.

9. Data yang dicatat adalah Temperatur generator (T1), temperatur

kondensor (T2), temperatur evaporator (T3), temperature ruang (T4)

Radiasi Surya (G), Tekanan generator (P1) dan tekanan evaporator (P2).

(43)

11. Langkah penelitian 1 sampai 8 diulangi lagi hingga 3 (tiga) kali pengambilan data pemanasan dan 3 kali data pendinginan.

12. Analisa data untuk mengetahui koefisien prestasi dengan melakukan perhitungan menggunakan persamaan (6), kemudian mencari hubungan temperatur terendah.

3.3 Peralatan Pendukung

Adapun peralatan yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah : 1. Stopwatch:

Mencatat lama waktu pemanasan 2. Solar meter:

Digunakan untuk mengukur intensitas energi surya yang datang. 3. Termokopel:

Untuk mengetahui temperatur udara sekitar, temperatur panci pemasak dan temperatur air.

4. Ember

Digunakan untuk merendam kondensor saat proses desorbsi dan adsorbsi.

5. Kompor Listrik:

(44)

31

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Data Hasil Penelitian

Pengambilan data pada penelitian pendingin adsorbsi uap amonia-CaCl2 menggunakan 6 kg CaCl2 dan 2,4 kg amonia dengan tiga kali

pengambilan data untuk mengetahui unjuk kerja alat dan efek massa air dalam evaporator.

Tabel 4.1. Data pemanasan pertama diambil mulai pada tanggal 12 juli.

(45)

Tabel 4.2. Data pendinginan pertama diambil pada tanggal 13 juli.

Tabel 4.3. Data pemanasan kedua diambil pada tanggal 13 juli

(46)

Tabel 4.3. Data pemanasan kedua diambil pada tanggal 13 juli (lanjutan).

No.

waktu Radiasi surya Tekanan Tekanan Suhu (oC)

Tabel 4.4. Data pendinginan kedua diambil pada tanggal 14 juli.

(47)

Tabel 4.5. Data pemanasan ketiga diambil pada tangal 15 juli.

Tabel 4.6. Data pendinginan ketiga diambil pada tanggal 16 juli.

(48)

4.2. Perhitungan Data

Mengetahui unjuk kerja (temperatur terendah dan koefisien unjuk kerja, COP) alat pendinginan adsorbsi CaCl2 dengan refrijeran amonia-air

dengan membandingkan antara laju pendinginan yang terjadi di evaporator dengan laju pertambahan kalor pada generator. Dibawah ini ditunjukan contoh perhitungan untuk mengetahui koefisien prestasi yang dihasilkan.

COPAdsorbsi=

Dengan menggunakan siklus pendinginan karnot, dapat di sederhanakan Menjadi:

COPAdsorbsi=

Contoh perhitungan data diambil pada proses adsorbsi (proses pendinginan) saja, data yg dipake diambil dari table 4.2, 4.4 dan 4,6:

Menganbil contoh perhitungan pada tabel 4.2 :

(49)

Berikut ini merupakan hasil perhitungan perbandingan kerja pendinginan dengan kerja pemanasan pada ketiga pengujian pendinginan pada awal sampai menit ke 35 :

Tabel 4.7 Perbandingan Koefisien prestasi setiap pendinginan

waktu Pendinginan 1 Pendinginan 2 Pendinginan 3

(menit) t1 t3 COP t1 t3 COP t1 t3 COP

0 28 24 0.86 28 24 0.86 24.00 24.00 1.00

5 28 21 0.75 32 21 0.66 25.00 25.00 1.00

10 28 20 0.71 32 22 0.69 26.00 25.00 0.96

15 28 20 0.71 32 24 0.75 27.00 22.00 0.81

20 29 22 0.76 32 24 0.75 26.00 21.00 0.81

25 28 21 0.75 32 22 0.69 27.00 22.00 0.81

30 27 21 0.78 33 24 0.73 27.00 21.00 0.78

35 28 25 0.89 34 24 0.71 27.00 22.00 0.81

COP rata-rata 0.78 0.73 0.87

4.3. Grafik dan Pembahasan

(50)

Gambar. 4.8.a Perbandingan Intensitas surya vs tekanan tiap waktu data 1

Gambar 4.8.b Perbandingan Intensitas surya vs tekanan tiap waktu data 2

(51)

Gambar 4.8.c Perbandingan Intensitas surya vs tekanan tiap waktu data 3 Dari Gambar 4.8.a, 4.8.b dan 4.8.c, pengujian yang telah divariasikan sebanyak tiga kali, bahwa intensitas matahari pada ketiga data tidaklah stabil, radiasi sinar matahari yang terhalang oleh mendung menyebabkan pemanasan yang terjadi, tidak begitu maksimal. Pengaruh intensitas surya terhadap pemanasan dan tekanan pada generator dapat terlihat jelas pada Gambar 4.8.b, dimana pada menit ke-190 menghasilkan tekanan 5 bar, namun intensitas matahari yang turun menjadi 275 W/m2 mengakibatkan tekanan menjadi turun menjadi 4,8. Penurunan tekanan ini juga dapet dipengaruhi karena pipa generator berada di ruangan terbuka sehingga bila tindak terpanasi oleh radiasi surya makan akan menjadi dingin karena panas dari generator akan terbuang ke lingkungan. Untuk mengetahui suhu

(52)

evaporator yang dihasilkan dari pemanasan ini dapat dilihat pada grafik dibawah ini.

Gambar 4.9.a Grafik perbandingan suhu evaporator terhadap waktu Pada Gambar 4.9.a dapat dilihat bahwa perubahan suhu tiap percobaan berbeda, pendinginan pertama ( garis hitam ) dengan waktu kurang lebih 10 menit mampu menghasilkan suhu terendah sebesar 20oC. Sedikit lebih cepat dibandingkan dengan percobaan pengambilan ketiga ( garis hijau ) yang hanya menghasilkan suhu 21oC derajat dengan waktu kurang-lebih 20 menit. Percobaan kedua menghasilkan laju pendinginan yang lebih baik karena mampu menurunkan suhu evaporator dalam waktu 5 menit namun tidak sebesar pendinginan pertama, sebesar 21oC. Percobaan pendinginan 1,2 dan 3 hanya mampu menurunkan suhu yang tidak terlalu besar, sekitar 3-4 oC. Hal ini dapat dilihat dari table data 4.1, 4.3, dan 4.5 proses pelepasan (desorbsi) gas amoniak dari CaCl2 yang tidak maksimal,

(53)

dimana kurang tempat adsorber dan pada saat pr oleh adsorber se ini bisa di lihat da

Gamba

ng stabilnya intensitas matahari dalam memana ber ) sehingga tekanan yang dihasilkan tidakla t proses adsorbsi,uap yang kembali generator aka r sehingga proses pendinginannya pun akan me hat dari percobaan ketiga.

mbar 4.9.b grafik perbandingan suhu tiap perco ambar 4.9.b dapat dilihat bahwa hasil suhu pengujian menghasilkan suhu terendah yang

percobaan pengujian yang terbaik terlihat pa uk melihat tekanan rata-rata yang terjadi tiap pe grafik dibawah.

anasi generator ( klah begitu besar, r akan sulit diserap n menjadi lama, hal

rcobaan

(54)

Gambar 4.

bar 4.10.a Grafik perbandingan Tekanan terhada

bar 4.10.b Perbandingan tekanan maksimun tia ambar 4.10.b dapat dilihat tekanan tertinggi ter kanan maksimum 6,2 bar. Namun untuk mencapa

(55)

lebih lama dilakukan dibandingkan dengan data 1 dan data 2, hal ini karena tidak stabilnya intensitas matahari dari menit ke 50 sampai menit ke 120. Intensitas radiasi surya tidak stabil, maka pemanasan dan penguapan amonia-pun menjadi tidak akan stabil, sehingga apabila temperatur pemanasan menurun maka tekanan yang dihasilkan akan turun juga yang menyebabkan tekanan menjadi tidak stabil. Intensitas radiasi surya mempengaruhi lama dari proses desorbsi, data pertama untuk proses pemanasan membutuhkan waktu kurang lebih 150 menit, data kedua membutuhkan waktu 270 menit sedangkan data ketiga membutuhkan waktu 135 menit.

Berdasarkan data penelitian, dapat dilihat bahwa proses pendinginan kurang maksimal karena intensitas radiasi yang kurang. Kurangnya intensitas radiasi sinar matahari ini menyebabkan penguapan gas amoniak pada adsorber CaCl2 tidak begitu besar sehingga tidak banyak gas amonia

(56)

kondisi lingkungan sekitar, suhu lingkungan saat pengambilan data juga menentukan dalam proses pendinginan, dimana suhu lingkungan mempengaruhi suhu pada generator, bila suhu generator yang semakin tinggi, proses penyerapan (adsorbsi) akan menjadi sulit karena adsorber CaCl2 yang panas akan menguapkan kembali gas amonia, yang akan

menggangu proses adsorbsi itu sendiri. Berikut ini merupakan data perbandingan tekanan dengan intensitas radiasi surya tiap detiknya, yang diteliti dengan menggunakan perbandingan gas amonia-CaCl2 sebesar 0,2

pada tanggal 5 juli (Sasongko, 2012) dan gas amonia-CaCl2sebesar 0,6 yang

dilakukan pada tanggal 23 juli (Nopi, 2012).

Gambar 4.11 Grafik perbandingan tekanan vs intensitas radiasi tiap waktu pada gas amonia:CaCl20,6

(57)

Gambar 4.12 Perbandingan tekanan vs intensitas radiasi tiap waktu pada gas amonia:CaCl20,2

Penggunaan data penilitian gas amonia-CaCl2 sebesar 0,2 dan 0,6

dimaksudkan untuk sebagai pembanding atas hasil penelitian gas amonia-CaCl20,4 yang telah dilakukan. Hasil perbandingan temperatur pendinginan

terhadap waktu, perbandingan tekanan terhadap waktu dan perbandingan tekanan dengan intensitas radiasi tiap waktu

Gambar 4.13 Grafik perbandingan tekanan maksimum tiap data

-1

(58)

Gambar 4.14 Perbandingan suhu minimum tiap data

Dari hasil perbandingan data gas amonia:CaCl2 0,4 dengan data gas

amonia:CaCl2 0,6, terlihat perbedaan yang sangat besar antara intensitas

radiasi, tekanan dan suhu terendah yang dihasilkan, dimana hasil percobaan gas amonia:CaCl2 lebih baik. Hal ini bisa dikarenakan pada proses

penelitian yang di lakukan pada data gas amonia:CaCl2 0,6 berada pada

kondisi yang baik/cerah, dengan kadar gas amonia yang lebih banyak yaitu sebesar 3,6 kg yang lebih besar 1,2 kg dari kadar gas amonia-CaCl2 0,2

yang hanya sebesar 2,4 kg, sehingga pada proses pemanasan yang baik, proses desorbsi yang melepaskan gas amonia dari adsorber lebih besar dan dapat mencapai tekanan yang tinggi yaitu 12 bar. Dengan pelepasan gas amoniak yang besar maka akan membuat campuran gas amonia dengan CaCl2 menjadi lebih tidak jenuh, sehingga untuk proses penyerapan gas

20 21 21

Data 1 Data 2 Data 3 Amonia:

(59)

amonia (adsorbsi) akan menjadi lebih mudah dan cepat, sehingga dengan penyerapan yang cepat amonia pada tabung evaporator, akan mengakibatkan perubahan fase dari amonia cair menjadi gas amonia kembali, perpindahan fase gas amonia yang cepat tersebut akan menghisap kalor yang ada disekitar evaporator dan akhirnya membuat suhu evaporator menjadi rendah sampai 5oC.

Dari hasil perbandingan data gas amonia-CaCl2 0,4 dengan data gas

amonia-CaCl2 0,2, didapatkan perbandingan data pendinginan yang

berbeda dengan teorinya, dimana dengan kadar gas amonia yang lebih besar didalam adsorber maka diharapkan bisa mendapatkan suhu pendinginan yang lebih baik. Namun pada kenyataannya bisa berbeda, hal ini bisa terlihat dari data yang di dapatkan pada penelitian gas amonia-CaCl2 0,2 mempunyai hasil pendinginan yang lebih baik yaitu 12oC.

Penyebab dari campuran gas amonia-CaCl20,4 tidak dapat berkerja dengan

maksimal adalah pada proses desorbsinya, proses desorbsi membutuhkan pemanasan yang baik untuk bisa melepaskan gas amonia dari adsorber yang ada didalam generator, dan bila radiasi sinar matahari yang dibutuhkan untuk memanaskan generator tidak cukup, maka gas amonia yang akan lepas dari absorber tidak akan begitu banyak, sehingga campuran antara gas amonia-CaCl2 tersebut masih akan jenuh, sehingga dengan keadaan yang

(60)

Untuk mengetahui perbandingan koefisien prestasi rata-rata dari tabel pada tabel 4.7 yang dihasilkan pada ketiga percobaan penelitian dapat dilihat pada grafik dibawah ini.

Gambar 4.15. Grafik perbandingan COP rata-rata setiap Percobaan Perbandingan koefisien prestasi tiap percobaan begitu berbeda, data percobaan ketiga memiliki koefisien prestasi rata-rata terbesar diantara yang lainnya, yaitu sebesar 0,87. Perbedaan yang mendasar yang menyebabkan COP tiap data berbeda adalah karena kondisi yang berbeda pada setiap pengujian data yg dilakukan. Ini merupakan salah satu tantangan yang harus dihadapi dalam pengujian alat ini, dimana mendapatkan sumber panas radiasi yang konstan yang berguna untuk mendapatkan COP yang maksimal menjadi tidaklah mudah. Besar kecilnya harga COP dari tiap data penelitian bergantung pada temperatur pada evaporator dan generator, yang berarti semakin besar kerja pemanasan di generator maka COP akan semakin kecil, walaupun kerja pendinginannya cukup besar.

(61)

Namun pada data ketiga pendinginan dapat dilihat bahwa, pendinginan telah mulai berlangsung ditandai dengan turunnya temperatur evaporator saat proses adsorbsi. Pendinginan dengan menggunakan siklus adsorbsi berlangsung dalam beberapa proses yaitu:

4.3.1. Proses desorbsi, yaitu proses pelepasan amonia dari adsorber (CaCl2) melalui proses penguapan saat tabung generator

dipanaskan memanfaatkan energy surya dengan menggunakan reflektor.

4.3.2. Proses kondensasi, yaitu proses pendinginan dan pengembunan uap amonia yang terdesorbsi menjadi amonia cair di dalam evaporator. 4.3.3. Proses adsorbsi, yaitu proses penyerapan amonia oleh adsorber

(CaCl2). Saat proses adsorbsi berlangsung, amonia yang berada di

(62)

49

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, dapat ditarik beberapa kesimpulan, antaralain:

1. Telah berhasil dibuat sistem pendingin absorbsi gas amonia-CaCl2

yang menggunakan tenaga surya dengan bahan yang ada di pasar lokal dan didukung kemampuan industri lokal.

2. Temperatur pendinginan terendah yang bisa tercatat adalah 20oC. 3. COP atau unjuk kerja terbaik yang dihasilkan pada penelitian ini adalah

0,87, yaitu COP pada data ketiga dengan menggunakan tenaga surya.

5.2 Saran

1. Proses pendinginan sistem absorbsi membutuhkan tekanan yang tinggi, untuk itu akan lebih baik apabila dibuat alat pendingin absorbsi yang tahan terhadap tekanan tinggi.

2. Perancangan dalam pembuatan dan perangkaian alat harus dilakukan dengan teliti agar tidak ada terjadi kebocoran yang dapat menggangu proses pengujian.

(63)
(64)

DAFTAR PUSTAKA

Ali R., Ghalban E. (2002), Operational Results of an Intermittent Absorption Cooling Unit, International Journal of Energy Research 26(9):825-835 (2002) Arismunandar, Wiranto, (1995). Teknologi Rekayasa Surya. Jakarta, Pradnya Paramita.

Ayala R., Frias J. L., Lam L., Heard C. L., Holland F. A. (1994), Experimental assessment of an ammonia/lithium nitrate absorption cooler operated on low temperature geothermal energy. Heat recovery systems & CHP ISSN 0890-4332 CODEN HRSCEQ, vol. 14, no4, pp. 437-446 (5 ref.)

Best, R., Holland, F.A. (2007), A study of the operating characteristics of an experimental absorption cooler using ternary systems, International Journal of Energy Research, Volume 14 Issue 5, Pages 553–561 2007

Cornot, , 1976,Teori Penyelesaian Termodinamika.Werlin, nainggolan.

Eisa M.A.R., Holland, F.A. (2007), A study of the operating parameters in a water-lithium bromide absorption cooler, International Journal of Energy Research, Volume 10 Issue 2, Pages 137–144 2007

Grenier, Ph. (1983), Experimental Result on a 12 m3 Solar Powered Cold Store Using the Intermittent Zeolite 13x-Water Cycle. Solar World Congress, Pergamon Press, pp. 353-358, 1984

Grenier, Ph. 1983. Experimental Result on a 12 m3 Solar Powered Cold Store Using the Intermittent Zeolite 13x-Water Cycle. Solar World Congress, Pergamon Press, pp. 353-358

Grover G.S, Devotta S., Holland F.A. (1998), Performance of an experimental absorption cooler using aqueous lithium chloride and lithium chloride/lithium bromide solutions, Ind. Eng. Chem. Res., 1989, 28 (2), pp 250–253

Gunawan P.A.D. 2011.Pendingin Absorbsi Amonia-air dengan kapasitas 1300 cc menggunakan pipa celup 85 cm. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma

Harianto, B. 2010. Pengaruh Kadar Amonia Pada Unjuk Kerja Alat Pendingin Absorbsi Amonia-Air, Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma

Hinotani, K. 1983. Development of Solar Actuated Zeolite Refrigeration System. Solar World Congress, Pergamon Press, pp. 527-531

Kreussler, S. (1999),Experiments on Solar adsorption refrigeration Using Zeolite and Water. Laboratory for Solar Energy, University of Applied Sciences Germany.

(65)

Nopi, M., 2012., Studi Eksperimental Pendingin Adsorbsi Amonia-Cacl2 Energi

Surya Menggunakan Perbandingan Amonia-Cacl2 0,6, Yogyakarta: Universitas

Sanata Dharma

Pons, M. 1986. Design of solar powered solid adsorption ice-maker.ASME J. of Solar Engineering, 108, 327-337

Prastowo, A. S. P. 2010. Pendingin Absorbsi Amonia-Air Generator Horisontal Tercelup, Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma

Ramos, M. 2003. Evaluation Of A Zeolite-Water Solar Adsorption Refrigerator. Sweden, Goteborg: ISES Solar World Congress

Sasongko, E.F.D., 2012. Studi Eksperimental Pendingin Adsorbsi Amonia-Cacl2

Energi Surya Menggunakan Perbandingan Amonia-Cacl2 0,2, Yogyakarta:

Universitas Sanata Dharma.

Yudhokusumo, A.S. 2011.Pendingin Absorbsi Amonia-air kapasitas 900cc Menggunakan pipa celup 17 cm. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma

Zepei, Z. 1987. Testing of a Solar Powered Zeolite-Water Refrigeration, Bangkok: M. Eng. Thesis. AIT

Anonim, “kalsium-klorida”. http://blogkimia.wordpress.com/2011/01/22/kalsium-klorida, (diakses pada tanggal 3 agustus 2012.)

Anonim.”macam-macam-kolektorsurya”.

http://ismantoalpha.blogspot.com/search?q=macam-macam-kolektor-surya, (Diakses pada tanggal 4 agustus 2012.)

(66)

LAMPIRAN

Pengujian kebocoran dan kekuatan alat penelitian

(67)

Kerangka reflektor

(68)

Pemasangan alat pada rangka

(69)

Pendingin Adsorbsi amonia-CaCl2

(70)

Proses pengisian CaCl2ke dalam generator

(71)

Proses desorbsi

Gambar

Tabel 4.1.Data pemanasan pertama, mulai pada jam 10.30 WIB .......... 31
Gambar 2.1. Siklus pendinginan adsorbsi
Gambar 2.2 Skema diagram carnot
Gambar 2.3 Kolektor thermosyphon plat datar
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dengan implementasi kurikulum 2013 peserta didik dapat belajar menggunakan media yang lebih banyak dari sebelumnya yaitu ketika kurikulum KTSP di SMA-SMA

Pengumpulan dan Pemeliharaan Induk, Rangsang Pijah dan Pemijahan, Pemeliharaan Larva, Pemeliharaan Fase.. Penempelan, Pakan Alami

Pemekaran yang dilakukan oleh Telkom University tidak hanya pada Fakultas Teknik, tapi juga di Fakultas Ekonomi dan Bisnis (School of Economics and Business) yang dikembangkan

Workstation yang digunakan tidak safety, di mana workstation tidak memiliki konfigurasi yang dapat membuat pengrajin bisa menempatkan alat dan bahan saat bekerja

Untuk itu penulis memberikan saran untuk penelitian selanjutnya yaitu menggunakan seluruh sifat-sifat gambar kolkoskopi sebagai input atau mengunakan metode lain dalam

Menurut Tan dan Alison (1999, dalam Mardisar dan Sari, 2007), seseorang dengan akuntabilitas tinggi memiliki keyakinan yang lebih tinggi bahwa pekerjaan mereka akan

Dapat membandingkan waktu yang dibutuhkan pestisida nabati untuk membunuh hama ulat dengan konsentrasi tertentu..

Subyek penelitian adalah orang – orang yang dapat memberikan sebuah informasi tentang sesuatu yang sedang di teliti. Peneliti akan memfokuskan penelitiannya