• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. Telaah Morfologis terhadap Ragam Bahasa Remaja. dalam Media Jejaring Sosial Facebook

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II. Telaah Morfologis terhadap Ragam Bahasa Remaja. dalam Media Jejaring Sosial Facebook"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

Telaah Morfologis terhadap Ragam Bahasa Remaja

dalam Media Jejaring Sosial Facebook

Penelitian ini menelaah ihwal penggunaan bahasa remaja dalam Facebook

ditinjau dari sisi morfologisnya. Oleh karena itu, bab ini memuat pengertian morfologi dan proses morfologis. Berikut penjelasan mengenai proses afiksasi dan abreviasi juga turut dihadirkan di dalam bab ini. Bab ini juga membahas peran bahasa dalam masyarakat dan ragam bahasa, khususnya bahasa gaul. Akhir bab berisi penjelasan mengenai media jejaring sosial dan sejarah Facebook.

2.1 Morfologi

Kata merupakan unsur penting dalam memahami suatu bahasa sebagai alat komunikasi. Oleh karena itu, kajian terhadap bahasa dapat difokuskan pada kata dan proses pembentukannya. Cabang linguistik yang mempelajari kata dan pembentukannya disebut morfologi.

Morfologi dalam definisi O‟Grady (1996) dinyatakan sebagai sebuah sistem kategori dan aturan yang berkaitan dengan pembentukan kata dan interpretasinya. Sedangkan Ramlan (1985) mengatakan bahwa morfologi merupakan salah satu cabang linguistik yang mempelajari atau mengkaji atau menelaah seluk beluk bentuk kata serta pengaruh perubahan-perubahan bentuk kata terhadap kelas kata dan makna kata. Atau dengan kata lain, bahwa morfologi mempelajari seluk beluk bentuk kata serta fungsi

(2)

perubahan-perubahan bentuk kata itu, baik fungsi gramatikal, maupun fungsi semantik. Morfologi berkaitan dengan kajian pembentukan kata melalui proses penggabungan morfem yang satu dengan morfem yang lain.

Senada dengan dua pendapat di atas, Kridalaksana (1996) mengatakan bahwa morfologi dipandang sebagai subsistem yang berupa proses yang mengolah leksem menjadi kata. Dalam pengertian ini leksem sebagai satuan leksikal, sedangkan kata sebagai satuan gramatikal. Berdasarkan pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa kajian terkecil dari morfologi adalah morfem dan kajian terbesar adalah kata.

2.1.1 Morf, Morfem, dan Kata

Morf adalah satuan bentuk terkecil yang sudah mempunyai arti. Pada hakikatnya morf adalah deretan fonem yang dituliskan secara fonemis. Dalam bahasa Indonesia kita jumpai kata seperti rumah, berumah, rumah-rumah, di rumah, dan sebagainya. Dengan melihat deretan bentuk itu saja, kita dapat memerikan bahwa ada bagian bentuk yang dapat kita pisahkan dengan mudah, yaitu rumah. Dengan demikian kita dapat menetapkan bahwa / r u m a h/, / b e r /, / d i/ merupakan satuan terkecil yang bermakna. Satuan-satuan itu masing-masing disebut dengan morf.

Satuan meN- yang mempunyai struktur fonologik mem-, men-, meny-, meng-, dan

me-, misalnya pada membawa, mendatang, menyuruh, menggali, dan melerai. Bentuk-bentuk mem-, men-, meny-, meng-, dan me-, masing-masing disebut dengan morf, yang semuanya merupakan alomorf dari morfem meN-. Contoh lain, morfem ber-, yang terdiri atas morf ber- pada kata berjalan, morf be- pada kata bekerja, morf bel- pada kata

(3)

Definisi morfem itu sendiri adalah komponen struktur kata yang paling penting dan merupakan sebuah unit bahasa terkecil yang memiliki informasi mengenai makna atau fungsi (O‟Grady, 1996). Jadi, morfem merupakan bentuk yang paling kecil yang mempunyai arti yang terdapat dalam pembentukan kata. Sebuah morfem dapat terbentuk dari satu atau dua bunyi atau beberapa bunyi yang mempunyai sebuah unit yang bermakna.

Menurut Chaer (1994) sebuah morfem merupakan segmen terkecil dari bahasa yang harus memenuhi kriteria: (a) mempunyai arti, (b) tidak dapat dipisahkan ke dalam bentuk yang lebih kecil tanpa mengubah artinya atau tanpa bagian-bagian yang berati, dan (c) dapat muncul pada lingkungan verbal tertentu dengan arti yang tetap. Kata

memperbesar, misalnya, dapat dipilah menjadi mem – perbesar kemudian dipilah lagi

menjadi per – besar.

Jika satuan besar dipilah lagi, maka be dan sar masing-masing tidak mempunyai makna. Satuan seperti mem-, per-, besar disebut morfem. Morfem yang dapat berdiri sendiri, seperti besar, dinamakan morfem bebas, sedangkan yang melekat pada satuan lain, seperti mem- dan per- dinamakan morfem terikat. Dengan batasan itu, maka sebuah morfem dapat berupa kata (seperti besar di atas), tetapi sebuah kata dapat terdiri atas satu morfem atau lebih. Contoh, kata memperbesar di atas adalah satu kata yang terdiri atas tiga morfem, yakni dua morfem terikat mem- dan per- serta satu morfem bebas besar. Satuan besar itu sendiri terdiri atas satu morfem yang kebetulan juga satu kata

O‟Grady (1996) menjelaskan bahwa sebuah morfem yang mampu menjadi sebuah kata dengan berdiri sendiri disebut morfem bebas (free), sementara itu morfem yang harus dilekatkan pada bentuk lain disebutkan morfem terikat (bound).

(4)

Setiap morfem bebas disebut dengan bentuk dasar atau asal, dan morfem terikat dapat berwujud afiks. Kata dalam bahasa Indonesia dapat berbentuk kompleks dan dapat pula berbentuk tunggal. Bentuk tunggal terdiri atas sebuah morfem, sedangkan bentuk kompleks dapat terdiri atas lebih dari satu morfem. Morfem imbuhan selalu merupakan morfem terikat.

Berdasarkan pentingnya morfem dalam berkombinasi dengan morfem lain dapat diklasifikasikan menjadi morfem dasar dan morfem imbuhan. Pada setiap kombinasi, morfem dasar itu selalu ada, karena memang menjadi dasar bentukan yang lebih besar daripada morfem dasar itu sendiri. Tetapi morfem imbuhan tidak selalu harus ada dalam kombinasi. Tidak pernah ada suatu bentuk yang hanya terdiri dari atas kombinasi dari morfem-morfem imbuhan saja.

Para tata bahasawan tradisional biasanya memberi pengertian terhadap kata bardasarkan arti dan ortografi. Menurut mereka kata adalah satuan bahasa yang memiliki satu pengertian, atau kata adalah deretan huruf yang diapit oleh dua spasi, dan mempunyai satu arti.

Kata adalah satuan bebas yang paling kecil, atau dengan kata lain, setiap satu satuan bebas merupakan kata (Chaer, 1994). Jadi satuan-satuan rumah, duduk, penduduk,

kedudukan, dan sebagainya, masing-masing merupakan kata, karena masing-masing

merupakan satuan-satuan bebas.

Satuan-satuan dari, kepada, sebagai, tentang, karena, meskipun, lah dan sebagainya, juga termasuk golongan kata. Satuan-satuan tersebut meskipun tidak mempunyai satuan bebas, tetapi secara gramatikal mempunyai sifat bebas.

(5)

Satuan-satuan rumah makan, kamar mandi, kamar tidur, dan sebagainya sekalipun terdiri atas dua satuan bebas, juga termasuk golongan kata, karena satuan-satuan tersebut memiliki sifat sebagai kata, yang membedakan dirinya dari frase.

Berdasarkan contoh di atas, jelas bahwa kata itu dapat berupa morfem tunggal dan dapat berupa morfem kombinasi. Kata merupakan satuan yang lebih tinggi dari morfem, karena kata dapat dipergunakan secara langsung dalam tuturan, sedangkan morfem belum tentu.

Ditinjau dari fungsinya sebagai unsur tuturan, ada dua macam kata, yaitu kata yang langsung dapat dipergunakan sebagai unsur tuturan, dan yang lebih dahulu harus melaui proses morfemis. Yang pertama berupa morfem tunggal bebas, dan yang kedua berupa morfem tunggal terikat. Berangkat dari uraian di atas, kata juga dapat diklasifikasikan menjadi kata leksikal, kata morfologis, dan kata semantis.

Kata mempunyai dua macam satuan, yaitu satuan fonologik dan satuan gramatikal. Sebagai satuan fonologik, kata terdiri dari satu atau beberapa suku, dan suku terdiri dari satu atau beberapa fonem. Kata belajar, terdiri dari tiga suku, yaitu be, la, dan

jar. Suku be terdiri dari dua fonem, suku la terdiri dari dua fonem, suku jar terdiri dari tiga fonem. Sebagai satuan gramatik, kata terdiri atas satu atau beberapa morfem. Kata

belajar terdiri atas dua morfem, yaitu morfem ber- dan morfem ajar.

2.2 Proses Morfologis

Proses morfologis ialah proses pembentukan kata-kata dari satuan lain yang merupakan bentuk dasarnya (Ramlan, 1985). Lebih lanjut Ramlan mengatakan bahwa dalam bahasa Indonesia terdapat tiga proses morfologis, yaitu (1) afiksasi (proses

(6)

pembubuhan afiks), (2) proses pengulangan, dan (3) proses pemajemukan. Sedangkan Kridalaksana (1996), mengatakan bahwa proses morfologis meliputi (1) afiksasi, (2) reduplikasi, (3) komposisi, (4) abreviasi, (5) derivasi zero, (6) derevasi balik, dan (7) metanalisis.

Menurut Chaer (2008:25) proses morfologi pada dasarnya adalah proses pembentukan kata dari sebuah bentuk dasar melalui pembubuhan afiks (dalam proses afiksasi), pengulangan (dalam proses reduplikasi), penggabungan (dalam proses komposisi), pemendekkan (dalam proses akronimisasi), dan pengubahan status (dalam proses konversi).

Proses morfologi melibatkan komponen (1) bentuk dasar, (2) alat pembentuk (afiksasi, reduplikasi, komposisi, akronimisasi, dan konversi), (3) makna gramatikal, dan (4) hasil proses pembentukan.

Berikut ini akan di bicarakan proses-proses morfologis yang berkenaan dengan afiksasi dan abreviasi.

2.2.1 Afiksasi (Proses Pembubuhan Afiks)

Pembahasan mengenai afiks dapat ditemukan dalam setiap buku linguistik umum dan morfologi. Menurut Chaer (2003:8) proses afiksasi adalah proses pembubuhan afiks pada bentuk dasar, baik dalam membentuk verba turunan, nomina turunan, maupun kategori turunan lainnya. Sedangkan afiks adalah morfem terikat yang dilekatkan pada morfem dasar atau akar (Fromkin dan Rodman, 1998:519).

Ramlan (1985) menyatakan afiksasi adalah proses mengubah leksem menjadi kata kompleks. Dari semua pendapat diatas penulis berkesimpulan bahwa afiksasi merupakan

(7)

proses pembubuhan afiks pada suatu satuan, baik satuan berupa bentuk tunggal maupun bentuk kompleks. Dalam proses ini, leksem (1) berubah bentuknya, (2) menjadi kategori kelas kata tertentu, (3) berubah maknanya.

Kata yang dibentuk dari satuan lain (kata lain) pada umumnya mengalami tambahan bentuk pada kata dasarnya. Kata seperti berjalan, bersepeda, bertiga,

ancaman, gerigi, berdatangan terdiri atas enam bentuk dasar jalan, sepeda, tiga, ancam,

gigi, dan datang, yang masing-masing dilekati bentuk yang berwujud ber, ber, ber,

-an, -er-, ber-an. Bentuk (morfem) terikat yang dipakai untuk menurunkan kata

dinamakan afiks atau imbuhan. Atau dengan menggunakan konsep Ramlan (1985), afiks adalah suatu satuan gramatik terikat yang di dalam suatu kata merupakan unsur yang bukan kata dan bukan pokok kata, yang memiliki kesanggupan melekat pada satuan-satuan lain untuk membentuk kata baru.

Afiks bahasa Indonesia menurut posisi melekatnya pada bentuk dasar biasanya dibedakan menjadi prefiks, infiks, sufiks, konfiks, dan simulfiks. Berikut pengertiannya menurut Alwi dll., (1998):

(1) Prefiks disebut juga awalan. Prefiks adalah afiks yang ditempatkan di bagian muka suatu kata dasar. Istilah ini berasal dari bahasa Latin praefixus yang berarti melekat

(fixus, figere) sebelum sesuatu (prae).

Contoh: ajar + meN-mengajar

(2) Sufiks atau akhiran adalah afiks yang digunakan di bagian belakang kata. Istilah ini juga berasal dari bahasa Latin suffixus yang berarti melekat (fixus, figere) di bawah (sub).

(8)

(3) Infiks atau sisipan adalah afiks yang diselipkan di tengah kata dasar. Dalam bahasa Latinnya adalah infixus yang berarti melekat (fixus, figere) di dalam (in).

Contoh: getar +-em-gemetar

(4) Konfiks disebut juga ambifiks atau sirkumfiks. Secara etimologis dari bahasa Latin, ketiga istilah ini memiliki kesamaan arti. Kon- berasal dari kata confero yang berarti secara bersamaan (bring together), ambi- berasal dari kata ambo yang berarti kedua-duanya (both), dan sirkum- berasal dari kata circumdo yang berarti ditaruh disekeliling (put around) (Gummere dan Horn, 1955). Menurut Alwi dll. (1998:32) konfiks adalah gabungan prefiks dan sufiks yang membentuk suatu kesatuan dan secara serentak diimbuhkan.

Contoh: ke-an + pergikepergian

(5) Simulfiks, definisinya dapat dilihat dari asal katanya dalam bahasa Latin simulatus

„bersamaan, membentuk‟ dan fixus „melekat‟. Menurut Kridalaksana dll. (1985: 20), simulfiks adalah afiks yang dimanifestasikan dengan ciri-ciri segmental yang dileburkan pada bentuk dasar. Dalam bahasa Indonesia, simulfiks dimanifestasikan dengan nasalisasi dari fonem pertama suatu bentuk dasar. Simulfiks masih dianggap hanya terdapat dalam bahasa Indonesia tidak baku,

Contoh: kopi  ngopi

Dalam proses afiksasi sebuah kata akan terjadi proses morfofonemik. Proses morfofonemik merupakan peristiwa fonologis yang terjadi karena pertemuan morfem dengan morfem. Proses morfofonemik dalam bahasa Indonesia hanya terjadi dalam realisasi pertemuan morfem dasar dengan realisasi afiks, baik prefiks, sufiks, infiks

(9)

maupun konfiks. Morfofonemik merupakan subsistem yang menghubungkan morfologi dan fonologi.

2.2.1.1 Proses Morfofonemik

Morfofonemik berkaitan dengan struktur bahasa yang menggambarkan pola fonologis dari suatu morfem. Pola fonologis yang dimaksud adalah adanya penambahan, pengurangan, penggantian fonem, atau perubahan tekanan. Morfofonemik dianggap sebagai tataran tersendiri struktur linguistik antara gramatika dan fonologi.

Kemudian, Hockett (1958) mengemukakan bahwa setiap frase menyangkut bentuk fonemik morfem sebagai kajian morfofonemik. Oleh sebab itu, Hockett menekankan, morfofonemik merupakan inti kajian bahasa.

Dalam bahasa Indonesia yang terkenal ialah perubahan-perubahan fonem nasal yang berwujud /N/ di depan fonem /b/, /p/, /m/, /t/, /d/, /j/, /c/ dan lain-lain. Oleh karena itu, dalam bahasa Indonesia sedikitnya terdapat tiga proses morfofonemik, yaitu (1) proses perubahan fonem, (2) proses penambahan fonem, dan (3) proses hilangnya fonem.

Jadi, pada kesimpulannya morfofonemik adalah suatu kajian tentang perubahan-perubahan pada fonem yang disebabkan oleh hubungan antara dua morfem atau lebih. Morfofonemik merupakan subsistem yang menghubungkan morfologi dan fonologi. Di dalamnya dipelajari bagaimana morfem yang direalisasikan dalam tingkat fonologi.

2.2.1.1.1 Proses Perubahan Fonem

Proses perubahan fonem, misalnya terjadi sebagai akibat pertemuan morfem

(10)

/m, n, ñ, ŋ/, hingga morfem meN- menjadi mem-, men-, meny-, dan meng-, dan morfem

peN- berubah menjadi pem-, pen-, peny-, peng-. Perubahan itu tergantung pada bentuk dasar yang mengikutinya.

(1) Fonem /N/ pada morfem meN- dan peN- berubah menjadi fonem /m/ apabila bentuk dasar yang mengikutinya berawal dengan /p, b, f/.

Misalnya:

meN- + bawa ----> membawa meN- + pukul ----> memukul meN- + fasakh ----> memfasakh peN- + periksa ----> pemeriksa peN- + fitnah ----> pemfitnah.

(2) Fonem /N/ pada meN- dan peN- berubah menjadi fonem /n/ apabila bentuk dasar yang mengikuti berawal dengan fonem /t, d, s/.

Misalnya:

meN- + tulis ----> menulis meN- + dapat ----> mendapat meN- + sinyalir ----> mensinyalir peN- + dapat ----> pendapat

(3) Fonem /N/ pada morfem meN- dan peN- berubah menjadi /ñ/ apabila bentuk dasar yang mengikutinya berawal dengan /s/.

Misalnya:

(11)

peN- + suluh ----> penyuluh

(4) Fonem /N/ pada meN- dan peN- berubah menjadi /ŋ/ apabila bentuk dasar yang mengikutinya berawal dengan fonem /k, g, h, dan vokal/.

Misalnya:

meN- + kutip ----> mengutip meN- + gaji ---> menggaji meN- + hukum ----> menghukum meN- + usir ----> mengusir peN- + angkut ----> pengangkut peN- + hokum ----> penghukum

2.2.1.1.2 Proses Penambahan Fonem

Proses penambahan fonem, terjadi sebagai akibat pertemuan meN- dengan bentuk dasarnya yang terdiri dari satu suku. Fonem tambahannya adalah /e/, sehingga

meN-berubah menjadi menge-. Perhatikan contoh berikut ini.

meN- + bom ----> mengebom peN- + cat ----> pengecat meN- + bor ----> mengebor peN- + bor ----> pengebor

Selain itu akibat pertemuan morfem –an, ke-an, peN-an dengan bentuk dasarnya, terjadi penambahan fonem /?/ apabila bentuk dasarnya berakhir dengan vokal /a/, penambahan /w/ apabila bentuk dasarnya itu berakhir dengan /u, o, aw/, dan terjadi penambahan /y/ apabila bentuk dasar itu berakhir dengan /i, ay/, misalnya -an + hari

(12)

menjadi hari(y)an; ke-an + raja menjadi keraja(?)an; peN-an + temu menjadi

pertemu(w)an; peN- an + ada menjadi pengada(?)an

2.2.1.1.3 Proses Hilangnya Fonem

Proses hilangnya fonem /N/ pada meN- dan peN- terjadi sebagai akibat pertemuan morfem meN- dan peN- dengan bentuk dasar yang berawal dengan fonem /l, r, y, w, dan nasal/, misalnya meN- + lerai menjadi melerai; peN- + lerai menjadi pelerai; meN- +

rusak menjadi merusak; peN- + rusak menjadi perusak; meN- + wakil menjadi mewakili;

peN- + waris menjadi pewaris; meN- + yakin menjadi meyakinkan; peN- + lupa menjadi

pelupa; dan sebagainya.

Fonem /r/ pada morfem ber-, per-, dan ter- hilang sebagai akibat pertemuan morfem-morfem itu dengan bentuk dasar yang berawal dengan /r/ dan bentuk dasar yang suku pertamanya berakhir /er/, misalnya ber- + rantai menjadi berantai, ber- + ternak

menjadi beternak; per- + raga menjadi peraga; ter- + rasa menjadi terasa; dan sebagainya.

Fonem-fonem /p, t, s, k/ pada awal morfem hilang akibat pertemuan dengan morfem meN- dan peN- dengan bentuk dasar yang berawal dengan fonem-fonem itu, misalnya meN- + pakai menjadi memakai; meN- + tulis menjadi menulis; peN- + pakai

menjadi pemakai; meN- + karang menjadi mengarang; peN- karang menjadi pengarang, dan sebagainya.

(13)

2.2.2 Abreviasi (Pemendekan)

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:3) abreviasi adalah pemendekan bentuk sebagai pengganti bentuk yang lengkap; bentuk singkatan tertulis sebagai pengganti kata atau frasa. Hal yang senada dikemukakan oleh Arifin & Junaiyah (2009), abreviasi merupakan proses morfologis yang berupa penanggalan satu atau beberapa satuan kata atau kombinasi kata, sehingga membentuk kata baru. Istilah lain untuk abreviasi adalah pemendekan, sedang hasil prosesnya disebut kependekan..

Sejalan dengan pendapat Arifin dan Junaiyah, Kridalaksana (1993:1) menyatakan bahwa abreviasi merupakan proses morfologis berupa penanggalan satu atau beberapa bagian dari kombinasi leksem sehingga terjadi bentuk baru yang berstatus kata. Abreviasi ini menyangkut penyingkatan, pemenggalan, akronimi, kontraksi, lambang huruf.

Berdasarkan pendapat para linguis di atas penulis berkesimpulan abreviasi adalah proses penanggalan bagian-bagian leksem atau gabungan leksem sehingga menjadi sebuah bentuk singkat, tetapi maknanya tetap sama dengan makna bentuk utuhnya. Pemendekan merupakan proses yang cukup produktif dan terdapat hampir pada semua bahasa. Produktifnya proses pemendekan ini karena keinginan untuk menghemat tempat (tulisan) dan tentu juga ucapan. Dalam bahasa Indonesia pemendekan ini menjadi sangat produktif adalah karena bahasa Indonesia seringkali tidak mempunyai kata untuk menyatakan suatu konsep yang agak pelik.

Sebagaimana diuraikan di atas, abreviasi terdiri dari berbagai jenis, yaitu:

(1) Pemenggalan, yaitu proses pemendekan yang mengekalkan salah satu bagian kata atau leksem, seperti prof. (profesor), bu (Ibu), pak (Bapak), dan sebagainya.

(14)

(2) Kontraksi, yaitu proses pemendekan yang meringkaskan kata atau leksem dasar atau gabungan kata atau leksem dasar, seperti tak (dari tidak), takkan (dari tidak akan),

berdikari (dari berdiri di atas kaki sendiri), dan sebagainya;

(3) Akronim, yaitu pembentukan kata melalui penggabungan huruf-huruf awal urutan kata atau bagian tertentu dari kata-kata yang berurutan, misalnya kata raker (rapat

kerja), rapim (rapat pimpinan), polwan (polisi wanita), dan sebagainya;

(4) Penyingkatan, yaitu salah satu proses pemendekan berupa huruf atau gabungan huruf, yang dieja huruf demi huruf, seperti KKN (Kuliah Kerja Nyata), DKI Ddaerah Khusus Ibukota), DPR (Dewan Perwakilan Rakyat, dsb. (dan sebagainya), dll. (dan lain-lain).

(5) Lambang huruf, yaitu proses pemendekan yang menghasilkan satu huruf atau lebih yang menggambarkan konsep dasar kuantitas, satuan, atau unsur, seperti kg

(kilogram), g (gram), dan sebagainya.

Seperti yang telah penulis kemukakan pada bab sebelumnya bahwa penelitian ini membahas tentang ragam bahasa remaja dalam media jejaring sosial Facebook, pada bab ini juga akan dibahas beberapa teori yang berhubungan dengan ragam bahasa remaja dan penjelasan mengenai media jejaring sosial serta sejarah Facebook itu sendiri. Teori-teorinya adalah sebagai berikut:

2.3 Peran Bahasa dalam Masyarakat

Bahasa mempunyai peranan yang sangat penting dalam hidup manusia. Manusia sudah menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi antarsesamanya sejak berabad-abad silam. Bahasa hadir sejalan dengan sejarah sosial komunitas-komunitas masyarakat atau

(15)

bangsa. Pemahaman bahasa sebagai fungsi sosial menjadi hal pokok manusia untuk mengadakan interaksi sosial dengan sesamanya.

Bahasa bersifat manasuka (arbitrer). Oleh karena itu, bahasa sangat terkait dengan budaya dan sosial ekonomi suatu masyarakat penggunanya. Hal ini memungkinkan adanya diferensiasi kosakata antara satu daerah dengan daerah yang lain.

Bahasa tidak terlepas dari perkembangan budaya manusia. Bahasa berkembang sejalan dengan perkembangan budaya manusia. Bahasa dalam suatu masa tertentu mewadahi apa yang terjadi di dalam masyarakat. Sehingga, bahasa dapat disebut sebagai cermin zamannya.

Sumarsono dan Partana dalam Sosiolinguistik (2006) menyatakan bahwa bahasa sebagai produk sosial atau produk budaya. Bahasa tidak dapat dipisahkan dengan kebudayaan manusia. Sebagai produk sosial atau budaya, bahasa berfungsi sebagai wadah aspirasi sosial, kegiatan dan perilaku masyarakat, dan sebagai wadah penyingkapan budaya termasuk teknologi yang diciptakan oleh masyarakat pemakai bahasa itu.

Keraf (1991) yang menyatakan bahwa bahasa apabila ditinjau dari dasar dan motif pertumbuhannya, bahasa berfungsi sebagai (1) alat untuk menyatakan ekspresi diri, (2) alat komunikasi, (3) alat untuk mengadakan integrasi dan adaptasi sosial, dan (4) alat untuk mengadakan kontrol sosial.

Bahasa sebagai alat untuk menyatakan ekspresi diri dipergunakan untuk mengkespresikan segala sesuatu yang tersirat di dalam pikiran dan perasaan penuturnya. Ungkapan pikiran dan perasaan manusia dipengaruhi oleh dua hal yaitu oleh keadaan pikiran dan perasaan itu sendiri. Ekspresi bahasa lisan dapat dilihat dari mimik,

(16)

lagu/intonasi, tekanan, dan lain-lain. Ekspresi bahasa tulis dapat dilihat dengan diksi, pemakaian tanda baca, dan gaya bahasa. Ekspresi diri dari pembicaraan seseorang memperlihatkan segala keinginannya, latar belakang pendidikannya, sosial, ekonomi. Selain itu, pemilihan kata dan ekspresi khusus dapat menandai indentitas kelompok dalam suatu masyarakat.

Sebagai alat komunikasi, bahasa mempunyai fungsi sosial dan fungsi kultural. Bahasa sebagai fungsi sosial adalah sebagai alat perhubungan antaranggota masyarakat. Sedangkan sebagai aspek kultural, bahasa sebagai sarana pelestarian budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya. Hal ini meliputi segala aspek kehidupan manusia yang tidak terlepas dari peranan kehidupan manusia yang tidak terlepas dari peranan bahasa sebagai alat untuk memperlancar proses sosial manusia.

Bahasa dapat pula berperan sebagai alat integrasi sosial sekaligus alat adaptasi sosial, hal ini mengingat bahwa bangsa Indonesia memiliki bahasa yang majemuk. Kemajemukan ini membutuhkan satu alat sebagai pemersatu keberseragaman tersebut. Di sinilah fungsi bahasa sangat diperlukan sebagai alat integrasi sosial. Bahasa disebut sebagai alat adaptasi sosial apabila seseorang berada di suatu tempat yang memiliki perbedaan adat, tata krama, dan aturan-aturan dari tempatnya berasal. Proses adaptasi ini akan berjalan baik apabila terdapat sebuah alat yang membuat satu sama lainnya mengerti, alat tersebut disebut bahasa. Dari uraian ini dapat kita tarik kesimpulan bahwa bahasa merupakan sesuatu yang sangat penting bagi manusia.

(17)

2.4 Ragam Bahasa Remaja 2.4.1 Ragam Bahasa

Manusia merupakan mahluk sosial. Manusia melakukan interaksi, bekerja sama, dan menjalin kontak sosial di dalam masyarakat. Dalam melakukan hal tersebut, manusia membutuhkan sebuah alat komunikasi yang berupa bahasa. Bahasa memungkinkan manusia membentuk kelompok sosial, sebagai pemenuhan kebutuhannya untuk hidup bersama.

Bahasa dalam lingkungan sosial masyarakat satu dengan yang lainnya berbeda. Dari adanya kelompok-kelompok sosial tersebut menyebabkan bahasa yang dipergunakan beragam. Keberagaman bahasa ini timbul sebagai akibat dari kebutuhan penutur yang memilih bahasa yang digunakan agar sesuai dengan situasi konteks sosialnya. Oleh karena itu, ragam bahasa timbul bukan karena kaidah-kaidah kebahasaan, melainkan disebabkan oleh kaidah-kaidah sosial yang beraneka ragam.

Lebih sederhana, Sumarsono dan Partana (2006) mencoba mengelompokkan apakah dua bahasa merupakan dialek atau subdialek atau hanya sekedar dua ragam saja, dapat ditentukan dengan mencari kesamaan kosakatanya. Jika persamaannya hanya 20% atau kurang, maka keduanya adalah dua bahasa. Tetapi kalau bisa mencapai 40% - 60%, maka keduanya dua dialek; dan kalau mencapai 90% misalnya, jelas keduanya hanyalah dua ragam dari sebuah bahasa.

Pateda (1987) mengemukakan bahwa ragam bahasa dapat dilihat dari enam segi, yaitu tempat, waktu, pemakai, situasi, dialek yang dihubungkan dengan sapaan, status, dan pemakaiannya/ragam. Tempat dapat menjadikan sebuah bahasa beragam. Yang dimaksud dengan tempat di sini adalah keadaan tempat lingkungan yang secara fisik

(18)

dibatasi oleh sungai, lautan, gunung, maupun hutan. Kebervariasian ini mengahasilkan adanya dialek, yaitu bentuk ujaran setempat yang berbeda-beda namun masih dipahami oleh pengguna dalam suatau masyarakat bahasa walaupun terpisah secara geografis.

Ragam bahasa dilihat dari segi waktu secara diakronis (historis) disebut juga sebagai dialek temporal. Dialek tersebut adalah dialek yang berlaku pada kurun waktu tertentu. Perbedaan waktu itu pulalah yang menyebabkan perbedaan makna untuk kata-kata tertentu. Hal ini disebabkan oleh karena bahasa mengikuti perkembangan masyarakat pemakai bahasanya. Itulah mengapa bahasa bersifat dinamis, tidak statis.

Dari segi pemakai, bahasa dapat menimbulkan keberagaman juga. Istilah pemakai di sini adalah orang atau penutur bahasa yang bersangkutan. Ragam bahasa dilihat dari segi penutur oleh Pateda (1987:52) dibagi menjadi tujuh, yaitu glosolalia (ujaran yang dituturkan ketika orang kesurupan), idiolek (berkaitan dengan aksen, intonasi, dsb), kelamin, monolingual (penutur bahasa yang memakai satu bahasa saja), rol (peranan yang dimainkan oleh seorang pembicara dalam interaksi sosial), status sosial, dan umur.

Ragam bahasa dilihat dari segi situasi akan memunculkan bahasa dalam situasi resmi dan bahasa yang dipakai dalam tidak resmi. Dalam bahasa resmi, bahasa yang digunakan adalah bahasa standar. Kesetandaran ini disebabkan oleh situasi keresmiannya. Sedangkan dalam situasi tidak resmi ditandai oleh keintiman.

Bahasa menurut statusnya meliputi status bahasa itu sendiri. Hal ini berarti bahwa bagaimanakah fungsi bahasa itu serta peraanan apa yang disandang oleh bahasa. Sebuah bahasa, bahasa Indonesia, dapat memiliki berbagai macam status apakah ia sebagai bahasa ibu, bahasa nasional, bahasa resmi, bahasa pemersatu, atau bahasa negara.

(19)

Sebuah komunikasi dikatakan efektif apabila setiap penutur menguasi perbedaan ragam bahasa. Dengan penguasaan ragam bahasa, penutur bahasa dapat dengan mudah mengungkapkan gagasannya melalui pemilihan ragam bahasa yang ada sesuai dengan kebutuhannya. Oleh karena itu, penguasaan ragam bahasa termasuk bahasa gaul remaja menjadi tuntutan bagi setiap penutur, mengingat kompleksnya situasi dan kepentingan yang masing-masing menghendaki kesesuaian bahasa yang digunakan.

2.4.2 Masa Remaja

Definisi masa remaja bagi Romaine (1984) adalah sebagai berikut: adolescence is the time between being a child and full adult, that is the period of time during which a

person is biologically (physically) adult but emotionally (feelings) not at full maturity.

Jadi, masa remaja adalah masa transisi dari masa anak-anak menuju masa dewasa yang ditandai dengan secara biologis (fisik) sudah matang namun secara emosional (emosi) mereka itu belum matang sepenuhnya.

Sementara itu menurut Salzman (dalam Pikunas, 1976) mengemukakan bahwa remaja merupakan masa perkembangan sikap tergantung (dependence) terhadap orang tua kearah kemandirian (independence), minat-minat seksual, perenungan diri, dan perhatian terhadap nilai-nilai estetika dan isu-isu moral.

Romaine (1984) mengatakan bahwa masa remaja merupakan kebudayaan dan tidak mengacu pada periode waktu yang tetap. Batasan masa remaja pada setiap budaya berbeda-beda. Contohnya, di Amerika Serikat, seseorang dianggap remaja biasanya mulai sekitar usia 13 tahun, dan berakhir sekitar usia 18 tahun. Dalam bahasa Inggris, remaja

(20)

(adolescents) sering disebut teenagers atau teen, yang berasal dari akhiran kata bahasa Inggris thirteen sampai dengan nineteen.

Sedangkan Aristoteles (dalam Sarwono, 2010) membagi jiwa manusia yang dikaitkan dengan perkembangan fisiknya, ke dalam tiga tahap yang masing-masing berlangsung dalam kurun usia 7 tahunan. Tahap-tahap perkembangan jiwa menurut Aristoteles adalah sebagai berikut:

(1) 0-7 tahun: masa kanak-kanak (infancy) (2) 7-14 tahun: masa kanak-kanak (boyhood)

(3) 14-21 tahun: masa dewasa muda (young manhood)

Pandangan Aristoteles ini sampai sekarang masih berpengaruh pada dunia modern kita, antara lain dengan tetap dipakainya batas usia 21 tahun dalam kitab-kitab hukum di berbagai Negara, sebagai batas usia dewasa. Berdasarkan pendapat di atas, maka penulis berkesimpulan batasan masa remaja untuk penelitian ini dimulai dari usia 13 tahun sampai 20 tahun.

Masa remaja, ditinjau dari segi perkembangan, merupakan masa kehidupan manusia yang paling menarik dan mengesankan. Masa remaja mempunyai ciri antara lain petualangan, pengelompokan, dan “kenakalan”. Ciri ini tercermin pula dalam bahasa mereka. Keinginan untuk membuat kelompok eksklusif menyebabkan mereka menciptakan bahasa “rahasia” yang hanya berlaku bagi kelompok mereka, atau kalau semua pemuda sudah tahu, bahasa ini tetap rahasia bagi kelompok anak-anak dan orang tua (Sumarsono, 2009:150).

Pada umumnya para remaja menggunakan pertuturan ini untuk berkomunikasi dengan sesamanya dalam keadaan santai dan berfungsi untuk menjalin keakraban atau

(21)

sebagai identitas keakraban.Terkadang bagi mereka yang sudah tidak remaja lagi, bahasa remaja ini menimbulkan kebingungan karena tidak dapat mengerti apa yang diucapkan atau yang ditulis para remaja itu saat mereka berkomunikasi

2.4.3 Bahasa Remaja

Saat ini penggunaan bahasa Indonesia di kalangan anak remaja agak berbeda dengan bahasa Indonesia yang 'baik dan benar'. Salah satu syarat bahasa yang baik dan benar adalah pemakaian bahasa yang mengikuti kaidah yang dibakukan atau dianggap baku" atau "pemanfaatan ragam yang tepat dan serasi menurut golongan penutur dan jenis pemakaian bahasa (Badudu, 1985).

Ragam yang digunakan dalam bahasa remaja termasuk ragam santai sehingga bahasanya tidak terlalu baku. Ketidakbakuan tersebut tercermin dalam kosa kata, struktur kalimat dan intonasi. Misalnya, dalam pilihan kata gimana digunakan untuk mengganti kata bagaimana, napa untuk kenapa Untuk menghindari pembentukan kata dengan afiksasi, bahasa remaja menggunakan proses nasalisasi dan ada pula yang diiringi dengan penambahan akhiran -in seperti ngerusakin untuk merusak atau juga kata menguntungkan

menjadi nguntungin.

Kosakata yang dimiliki bahasa remaja sangatlah kaya. Kosakata bahasa remaja dapat berupa pemendekan kata, penggunaan kata alami diberi arti baru atau kosakata yang serba baru dan berubah-ubah. Disamping itu bahasa remaja juga dapat berupa pembalikan tata bunyi, kosakata yang lazim dipakai di masyarakat menjadi aneh, lucu, bahkan ada yang berbeda makna sebenarnya.

(22)

Bahasa remaja dapat dikenal secara luas melalui peran media massa, seperti media cetak dan media elektronik. Pada media cetak, bahasa remaja banyak digunakan dalam majalah, novel, cerpen, dan tabloid. Sedangkan dalam media elektronik, bahasa remaja kerap kita temukan dalam bahasa di sms, radio, televisi dan internet.

Saat ini, penggunaan internet bukanlah suatu hal yang istimewa. Internet tak lagi khusus untuk kalangan tertentu, baik dari status sosial, profesi, pendidikan dan usia. Hampir semua golongan masyarakat baik di kota dan di desa sudah tahu dan akrab dengan internet. Dalam era globalisasi ini, internet menjadi sebuah kebutuhan dan aktifitas tetap manusia sebagai anggota masyarakat. Beberapa tahun terakhir ini, selain menjadi tuntutan profesi, pengembangan ilmu pengetahuan, berita, dan hiburan, berinternet juga menjadi salah satu cara seseorang untuk bergaul sebagai makhluk sosial.

Kalau kita perhatikan bahasa yang digunakan kaum remaja dan mencoba memahaminya, tidak jarang kaum yang tidak dapat dikatakan remaja lagi akan bingung, heran bahkan pusing karena tidak dapat mengerti apa yang diucapkan atau pun yang ditulis pada waktu mereka berbicara dalam keadaan santai diantara mereka sendiri. Tampaknya bahasa yang digunakan itu merupakan bahasa yang biasa kita pakai sehari-hari atau campuran antara bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing. Dari bahasa yang digunakan ini ada sejumlah kosa kata yang dapat dipahami, tetapi ada yang tidak dapat dipahami.

Hal inilah yang sangat merisaukan masyarakat yang sama sekali tidak paham akan bahasa remaja ini sehingga menganggap bahwa mereka ini merusak bahasa Indonesia baku. Bahasa remaja memang tidak pernah tetap, atau dengan kata lain selalu

(23)

berganti-ganti, sesuai dengan sifat remaja itu sendiri yang memang belum mapan. Perubahannya itu tidak dapat diramalkan, juga tidak oleh para remaja itu sendiri.

Secara lingual perbedaan bahasa remaja dengan anggota kelompok masyarakat yang lain, dapat dilihat dalam berbagai tataran kebahasaannya, seperti tataran fonologi, tataran morfologi, tataran sintaksis, dan tataran leksikon, bahkan mungkin tataran yang lebih tinggi, seperti paragraf dan wacana.

Masyarakat sebagai lingkungan tersier (ketiga) adalah lingkungan terluas bagi remaja sekaligus paling banyak menawarkan piulihan. Terutama dengan maju pesatnya teknologi komunikasi massa, maka hampir-hampir tidak ada batas-batas geografis, etnis, politis maupun sosial antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain (Sarwono, 2010: 159). Masih menurut Sarwono (2010) bahasa remaja (kata-katanya diubah-ubah sedemikian rupa sehingga hanya bisa dimengerti di antara mereka) bisa dipahami oleh hampir seluruh remaja di tanah air yang terjangkau oleh media massa, padahal istilah– istilah tersebut berkembang, berubah, dan bertambah hampir setiap hari.

Teknologi komunikasi massa yang mempunyai andil paling besar dalam memperkenalkan bahsa remaja adalah media elektronik, salah satunya melalui internet. Khusus untuk penggunaan internet, saat ini banyak remaja yang menggunakan situs jejaring sosial Facebook sebagai sarana mereka untuk bersosialisasi dan berkomunikasi. Penulis melihat ada gaya bahasa tertentu yang digunakan para remaja itu dalam berkomunikasi.

Ragam bahasa remaja dalam Facebook merupakan kreativitas dalam bahasa yang dilatarbelakangi oleh faktor sosial yang terdapat dalam kehidupan masyarakat pembacanya. Faktor sosial itu berdasarkan pada usia, tingkat pendidikan, jenis kelamin,

(24)

profesi, dan sebagainya. Penerapan bahasa remaja dalam Facebook belum banyak diketahui oleh orang lain di luar pemakainya sebab bahasa remaja memiliki karakteristik tertentu yang hanya berlaku pada bahasa tersebut dan diketahui oleh penggunanya.

Ada berbagai pemakaian kata dalam bahasa remaja pada Facebook, misalnya pemakaian kata hbd, brownis, japri, curcol, lola, lagdim, maksi, tpaksa, ngedengerin,

lupain, harkos dan sebagainya. Bahasa unik ini sudah terlanjur membudaya khususnya di

kalangan anak-anak remaja. Mereka gemar menyingkat kata, sesuka hatinya mereka membuat perbendaharaan kata sendiri dan tak ada yang mampu menerjemahkan bahasa aneh ini selain mereka.

Kekhawatiran banyak orang bahwa bahasa remaja akan „merusak‟ bahasa Indonesia memang beralasan, tetapi menurut Chaer (1993) tidak perlu dibesar-besarkan, sebab tampaknya para remaja juga tahu kapan harus menggunakan ragam santai dan kapan pula harus menggunakan ragam baku. Kalau di dalam berbahasa formal mereka banyak melakukan kesalahan yang mereka buat sama saja dengan kesalahan remaja lain yang kuper, alias tidak mengenal bahasa prokem, atau kesalahan yang dibuat masyarakat lain.

Menurut Bloomfield (1933) faktor pendukung terjadinya perubahan bahasa itu antara lain: letak geografis, stratifikasi sosial/kelas sosial, level pendidikan, gender, usia, dan solidaritas sosial.

Fenomena perubahan bahasa banyak terdapat dalam kehidupan sosial. Bahasa dapat berubah jika dilihat dari aspek-aspek linguistik seperti fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik (Malmkjaer, 1991).

(25)

2.4 Media Jejaring Sosial

Kata “media” sendiri dalam bahasa Indonesia memiliki arti sebagai alat (sarana) komunikasi seperti koran, majalah, radio, televisi, film, poster, dan spanduk (Kamus

Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, 2008:892).

Dalam era globalisasi ini, media merupakan salah satu sarana globalisasi. Terdapat berbagai macam media yang berkembang di Indonesia seperti media televisi, majalah, musik, radio, perfilman, internet, dan jejaring sosial. Contoh-contoh dari media tersebut telah menjadi salah satu bagian gaya hidup remaja yang tidak terpisahkan.

Dalam konteks ini, media yang menjadi fokus penelitian yaitu media jejaring sosial. Media jenis ini merupakan sebuah sarana komunikasi untuk memperluas pergaulan dan pertemanan dalam lingkup global yang terhubung melalui internet, salah satunya adalah media jejaring sosial Facebook.

Seiring dengan hal tersebut, remaja Indonesia sebagai kalangan mayoritas yang menikmati perkembangan media, juga ikut mengalami perubahan. Menurut Fiske (1995), terdapat dua model perubahan sosial, yaitu model radikal dan model populer. Perubahan sosial radikal sering diartikan sebagai revolusi. Sedangkan, perubahan populer adalah proses perubahan yang berlangsung terus-menerus secara progresif.

Media sebagai salah satu sarana penyampaian informasi ternyata juga memiliki fungsi implisit yaitu sebagai trendsetter yang memberikan panduan mengenai gaya berpakaian dan gaya berbahasa terkini. Kalangan remaja dalam usianya yang masih belum stabil dengan sangat mudah menyerap dan mengikuti semua yang ditampilkan di media.

(26)

Menjadi bukan tidak mungkin bahwa fungsi implisit dari media, yaitu sebagai sarana memunculkan kata-kata baru yang menyimpang dari bahasa baku kemudian digunakan secara umum dalam gaya berbasa remaja untuk percakapan sehari-hari. Hal ini mungkin dikarenakan media telah membuat gaya bahasa remaja ini seolah-olah menjadi suatu gaya bahasa yang sedang tren, umum, dan layak digunakan.

2.5.1 Facebook

Facebook adalah sebuah situs jaringan sosial yang didirikan oleh Mark

Zuckerberg pada tanggal 4 Februari 2004. Pada awalnya, Facebook dengan situs www.facebook.com yang sebelumnya bernama the facebook dengan situs www.thefacebook.com digunakan untuk komunikasi antar mahasiswa Universitas Harvard. Namun setelah beberapa waktu, target pengguna adalah seluruh mahasiswa dan masyarakat umum.

Media jejaring sosial Facebook memungkinkan seseorang untuk menemukan teman lama, menemukan teman baru, menjalin pertemanan, bergabung dalam komunitas seperti kota, kerja, sekolah, dan daerah untuk melakukan koneksi dan berinteraksi dengan orang lain, mengirimkan pesan dan komentar. Selain fasilitas-fasilitas utama yang disebutkan, masih sangat banyak fasilitas-fasilitas yang ditawarkan situs itu, baik secara formal maupun non-formal, independen atau dependen.

Facebook saat ini masih mendominasi penggunaan situs jejaring sosial, baik

dalam hal jumlah pengguna maupun yang terpopuler di mesin pencari. (dalam

(27)

Harian New York Times (dalam http://id-id.facebook.com/note.php?note_id=132001396837183) pernah merilis sebuah grafik menarik. Isinya tentang peringkat negara pengguna Facebook terdaftar di dunia. Di grafik itu, sejumlah negara diperingkat berdasarkan jumlah warga pengguna Facebook di masing-masing negara. Indonesia dipatok pada peringkat ketiga setelah Inggris dan AS. Inggris, peringkat kedua disebut memiliki komunitas Facebook 24,1 juta orang. AS pada peringkat pertama dengan pecinta Facebook sebanyak 118,7 juta orang. Indonesia, peringkat ketiga berada di atas sejumlah negara maju seperti Perancis, Italia, Kanada, dan Spanyol.

Demikian uraian dari teori-teori yang menjadi landasan penelitian ini. Bab selanjutnya membahas metode penelitian yang digunakan.

Referensi

Dokumen terkait

Penilaian sertifikasi dilakukan terhadap pemenuhan prinsip dan kriteria ISPO kelapa sawit berkelanjutan untuk Usaha Kebun Swadaya oleh pihak ketiga yang

Munculnya pemikiran dan tindakan dari Amina Wadud yang mengguncang dunia dengan melaksanakan “Shalat Jumat Bersejarah” ini tidak terlepas dari kegelisahannya

Catatan Selama Pembelajaran :

• Sebagai contoh bila dikatakan Percentile ke‐ 95 dari suatu pengukuran tinggi badan berarti bahwa 95% populasi merupakan data tinggi badan yang bernilai sama atau lebih rendah

Penelitian menunjukkan CRP dapat mempengaruhi kerentanan vaskuler secara langsung melalui banyak mekanisme, termasuk peningkatan ekspresi molekul adhesif pada permukaan sel

Penelitian ini membahas mengenai pengaruh Motivasi Berprestasi, Motivasi Berafiliasi, Motivasi Berkuasa, Lingkungan Kerja, Kepemimpinan, Dan Kelelahan Kerja Terhadap Kinerja

Terlepas dari itu, untuk mengindari pemikiran orang tua/wali yang terkadang merasa dengan menyerahkan anak disekolah maka tanggung jawab anak sepenuhnya ada pada guru,

Berdasarkan kedua teori di atas maka dapat dikatakan bahwa penyajian mecanang gung dapat dilihat melalui adat pesta pernikahan di suku Kluet itu sendiri