• Tidak ada hasil yang ditemukan

Alih Fungsi Lahan Dan Tingkat Kohesi Sosial Masyarakat Pedesaan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Alih Fungsi Lahan Dan Tingkat Kohesi Sosial Masyarakat Pedesaan"

Copied!
73
0
0

Teks penuh

(1)

ALIH FUNGSI LAHAN DAN TINGKAT KOHESI SOSIAL MASYARAKAT PEDESAAN

HANA HILALY ANISA

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Alih fungsi lahan dan Tingkat Kohesi Sosial Masyarakat Pedesaan di Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2016 Hana Hilaly Anisa

(3)

ABSTRAK

Hana Hilaly Anisa. Alih Fungsi Lahan dan Tingkat Kohesi Sosial Masyarakat Pedesaan. NURMALA K. PANDJAITAN.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perubahan alih fungsi lahan dan hubungannya dengan tingkat kohesi sosial masyarakat pedesaan. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode kuantitatif yang didukung oleh data kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa alih fungsi lahan yang terjadi di Mulyaharja mempengaruhi terhadap perubahan mata pencaharian dari sektor pertanian ke non pertanian dan perubahan pendapatan yang lebih rendah. Interaksi sosial yang mencakup intensitas dan bentuk interaksi memiliki hubungan yang lemah dengan kohesi sosial komunitas yang tergolong tinggi karena hubungan kekeluargaan yang sudah kuat. Tingkat kohesi sosial memiliki hubungan yang positif dalam kategori tinggi terhadap tingkat keterlibatan masyarakat dalam aksi kolektif.

Kata kunci: Alih fungsi lahan, interaksi sosial, kohesi sosial, aksi kolektif ABSTRACT

Hana Hilaly Anisa. Land Conversion and The Level of Rural Community Social Cohesion. NURMALA K. PANDJAITAN.

This research aimed to analyze changes in land conversion and correlation the level of social cohesion of rural community.. The research was conducted using quantitative method and supported by qualitative data. The results of this study indicate that the land conversion that occurs in Mulyaharja influence to change livelihood from agriculture to non- agriculture and changes in lower revenues . The social interaction that includes the intensity and forms of interaction have a weak relationship with the community social cohesion is high because kinship is strong. The level of social cohesion has a positive relationship in the high category of the level of community involvement in collective action .

Key words: Land Conversion,, social interaction, social cohesion, collective action

(4)
(5)

v

ALIH FUNGSI LAHAN DAN TINGKAT KOHESI SOSIAL MASYARAKAT PEDESAAN

Oleh

HANA HILALY ANISA

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN

MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)
(7)
(8)

melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Alih Fungsi Lahan dan Tingkat Kohesi Sosial Masyarakat Pedesaan” ini dengan baik. Skripsi ini ditujukan untuk memenuhi syarat kelulusan sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Ibu Dr. Nurmala K. Pandjaitan, MS DEA sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan, masukan dan waktu selama proses penulisan hingga penyelesaian skripsi. Selain itu, ucapan terimakasih kepada Bapak Dr Satyawan Sunito sebagai dosen penguji utama dan Bapak Ir. Sutisna Riyanto, Ms sebagai dosen komdik akademik yang telah bersedia hadir pada sidang serta memberikan saran untuk perbaikan skripsi. Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kedua orangtua tercinta, Ibu Nia Setiawati dan Bapak Nursamsi atas semangat dan doa yang tiada henti-hentinya mengalir untuk kelancaran penulisan skripsi ini. Adik-adik penulis, Asti Carissa Malinda, Mariska Putri, dan Syaza Nadiena Azzahra. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada teman-teman SKPM angkatan 49, IPB maupun luar kampus IPB, Andi Putri Rezky Noviana, Nadya Apriella, Riza Ryanda, Tazkiyah Syakira, Almira Devina, Meliani Rosalina, Inez Kania, Vany Ardianto, Mirza Alam, Amanda Pradipto, Chairinnisa Salmanda Putri yang telah berkenan menjadi rekan bertukar pikiran dalam menyelesaikan skripsi ini serta para pihak yang telah membantu pada proses penyelesaian skripsi.

(9)

ix

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI viii

DAFTAR TABEL ix

DAFTAR GAMBAR xi

DAFTAR LAMPIRAN xi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Masalah Penelitian 3

Tujuan Penelitian 3

Keguanaan Penelitian 4

PENDEKATAN TEORITIS 5

Komunitas Pedesaan 5

Kohesi Sosial 5

Aksi Kolektif 7

Alih Fungsi Lahan 8

Interaksi Sosial 11

PENDEKATAN LAPANG 18

Metode Penelitian 18

Jenis dan Sumber Data 18

Lokasi dan Waktu 18

Teknik Penentuan Responden dan Informan 19

Teknik Pengumpulan Data 19

Teknik Pengolahan dan Analisis Data 20

GAMBARAN UMUM LOKASI 21

Kelurahan Mulyaharja 21

Kampung Pabuaran 23

KARAKTERISTIK RESPONDEN 25

Umur Responden 25

Jenis Kelamin Responden 25

Tingkat Pendidikan Responden 26

Penguasaan Lahan Sawah Responden 27

(10)

Jenis Mata Pencaharian Utama 28

Jenis Mata Pencaharian Sampingan 29

ALIH FUNGSI LAHAN YANG TERJADI DI PEDESAAN 31

Perubahan Mata Pencaharian 33

Perubahan Pendapatan 34

INTERAKSI SOSIAL KOMUNITAS 35

Intensitas Interaksi 36

Bentuk Interaksi 36

Tingkat Interaksi Sosial Komunitas 38

KOHESI SOSIAL KOMUNITAS 39

Tingkat Kohesi Sosial 39

Aksi Kolektif 42

Hubungan Antara Tingkat Interaksi Sosial dan Tingkat Kohesi Sosial 45 Hubungan Antara Tingkat Kohesi Sosial dan Tingkat Keterlibatan

Masyarakat dalam Aksi Kolektif 46

SIMPULAN DAN SARAN 48

DAFTAR PUSTAKA 50

LAMPIRAN 54

(11)

xi

DAFTAR TABEL

1 Tabel 1 Sebaran Luas Wilayah menurut penggunaan di Kelurahan

Mulyaharja tahun 2015 21

2 Tabel 2 Sebaran penduduk menurut tingkat usia di Kelurahan

Mulyaharja tahun 2015 22

3 Tabel 3 Jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian pada

tahun 2015 22

4 Tabel 4 Jumlah penduduk berdasarkan penganut agama 23 5 Tabel 5 Jumlah dan persentase responden berdasarkan umur 25 6 Tabel 6 Jumlah dan persentase responden berdasarkan jenis kelamin 26 7 Tabel 7 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat

pendidikan 27

8 Tabel 8 Jumlah dan persentase responden berdasarkan penguasaan

lahan 27

9 Tabel 9 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat

pendapatan 28

10 Tabel 10 Jumlah dan persentase responden berdasarkan jenis mata

pencaharian utama 29

11 Tabel 11 Jumlah dan persentase responden berdasarkan jenis mata

pencaharian sampingan 30

12 Tabel 12 Jumlah dan persentase responden berdasarkan peruntukan

alih fungsi lahan 32

13 Tabel 13 Jumlah dan persentase responden berdasarkan jumlah

lahan yang dijual 32

14 Tabel 14 Jumlah dan persentase responden berdasarkan perubahan

mata pencaharian sebelum dan sesudah terjadinya alih di 33 15 Tabel 15 Jumlah dan persentase responden berdasarkan perubahan

pendapatan setelah terjadinya alih fungsi lahan 34 16 Tabel 16 Jumlah dan persentase responden berdasarkan intensitas

interaksi 35

(12)

interaksi 36 18 Tabel 18 Jumlah dan persentase responden berdasarkan perubahan

interaksi dengan masyarakat setelah alih fungsi lahan 37 19 Tabel 19 Jumlah dan persentase responden berdasarkan total interaksi 38 20 Tabel 20 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat

kohesi sosial 40

21 Tabel 21 Jumlah dan persentase responden berdasarkan keterlibatan

dalam aksi kolektif 42

22 Tabel 22 Jumlah dan persentase responden berdasarkan jenis kegiatan

dalam aksi kolektif 43

23 Tabel 23 Jumlah dan persentase responden berdasarkan bentuk

keterlibatan warga komunitas Kampung Pabuaran 44 24 Tabel 24 Jumlah dan persentase berdasarkan peran warga komunitas

Kampung Pabuaran 44

25 Tabel 25 Jumlah dan persentase responden berdasarkan hubungan

tingkat interaksi sosial dan tingkat kohesi sosial 45 26 Tabel 26 Jumlah dan persentase responden berdasarkan hubungan

tingkat kohesi sosial dan tingkat keterlibatan dalam

(13)

xiii

DAFTAR GAMBAR

1 Gambar 1 Kerangka Pemikiran 13

2 Gambar 2 Persentase responden berdasarkan topik pembicaraan

dalam interaski 36

DAFTAR LAMPIRAN

1 Lampiran 1 Peta Lokasi Penelitian 53

2 Lampiran 2 Tabel Correlation 54

3 Lampiran 3 Daftar Nama Responden 55

3 Lampiran 4 Dokumentasi 56

(14)
(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Jumlah penduduk Indonesia sebesar 237.641.326 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk 1,40 persen per tahun (Data BPS 2010). Kondisi penduduk seperti ini berpengaruh terhadap kebutuhan dasar manusia untuk hidup. Selain itu, lahan menjadi sangat vital dalam menunjang kehidupan manusia yakni sebagai tempat manusia beraktivitas dan mempertahankan eksistensinya. Penggunaan lahan yang semakin meningkat oleh manusia, seperti untuk tempat tinggal, tempat melakukan usaha, pemenuhan akses umum dan fasilitas lain akan menyebabkan lahan yang tersedia semakin menyempit. Hal ini yang mendorong terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian.

Berkembangnya bisnis perumahan di kota-kota besar termasuk di Kabupaten Bogor sebagai daerah penyangga ibukota mendorong developer untuk menanamkan investasi. Ekspansi properti dan perumahan di Kabupaten Bogor pada tahun 2015 menunjukkan gejala peningkatan yang sangat pesat, terlebih dalam lima tahun terakhir ini. Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (BPMPTSP) Kabupaten Bogor setidaknya menyebutkan dalam lima tahun belakangan ini telah menerbitkan 382 izin untuk perumahan, jika dirata-ratakan ada 77 perumahan dibangun setiap tahun di Kabupaten Bogor (Gunawan 2015). Menurut Maxwell (2000) seperti yang dikutip Yuasidha (2014) kota telah begitu menarik, bukan hanya penduduk asli yang bertambah populasinya namun juga arus urbanisasi pun semakin tinggi. Pertumbuhan penduduk yang pesat dan persaingan untuk bertahan hidup yang lebih besar menyebabkan kesenjangan sosial di masyarakat perkotaan lebih terlihat jelas dibandingkan di daerah pedesaan. Alih fungsi lahan berdampak pada menurunnya lahan pertanian. Alih fungsi lahan menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 dapat diartikan sebagai berubahnya fungsi sebagian atau seluruh kawasan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain baik secara tetap maupun sementara, dan kondisi tersebut memiliki implikasiimplikasi baik umum maupun khusus. Proses konversi lahan saat ini berlangsung cepat, seolah-olah tidak terkendali, terutama terhadap lahan sawah irigasi di Pulau Jawa dan sekitar kota-kota besar di luar Jawa. Pada tahun 1981-1999 di Indonesia terjadi konversi lahan sawah seluas 1,60 juta ha, dan sekitar 1 juta ha di antaranya terjadi di Jawa (Irawan et. al. 2004). Sebagian besar lahan tersebut dikonversi menjadi kawasan perumahan mewah. hal tersebut ditemukan fakta pula bahwa petani dipaksa untuk menjual lahannya kepada developer.

Berbagai peraturan telah dikeluarkan oleh pemerintah untuk membatasi fenomena alih fungsi lahan, namun upaya ini tidak banyak berhasil karena adanya kemudahan untuk merubah kondisi fisik lahan sawah, peraturan yang bertujuan untuk mengendalikan konversi lahan secara umum hanya bersifat himbauan dan tidak dilengkapi sanksi yang jelas, serta ijin konversi merupakan keputusan kolektif sehingga sulit ditelusuri pihak mana yang bertanggung jawab atas pemberian ijin konversi lahan.

(16)

Ristawani (2013) yang menyatakan bahwa pembangunan infrastruktur khususnya jalan dirasa penting karena membuka akses masyarakat kepada pelayanan pendidikan, kesehatan, dan informasi yang lebih baik. Namun karena alih fungsi lahan dapat mempengaruhi pola nafkah masyarakat menjadi berorientasi ekonomi sehingga menimbulkan norma atau nilai baru yang masuk ke suatu komunitas. Perubahan aspek perekonomian dalam suatu komunitas yang diakibatkan oleh alih fungsi lahan akan menyebabkan perubahan pola interaksi sosial dalam komunitas tersebut (Handayani 1992).

Interaksi dilihat sebagai sebuah proses sosial yang dihadapkan pada perubahan-perubahan yang terjadi akibat dari alih fungsi lahan. Interaksi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kohesivitas sosial komunitas. Semakin tinggi interaksinya maka kohesi sosial tersebut semakin kuat (Faturochman 2006). Merujuk pada penelitian Umiyati (1994) alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian (perumahan) yang terjadi di Desa Padasuka mempengaruhi kondisi sosial ekonomi masyarakatnya. Kehadiran pembangunan perumahan BTN di Desa Padasuka membawa dampak berkurangnya interaksi dalam keluarga sedangkan pada interaksi sosial dengan warga masyarakat di sekitarnya meningkat. Hal tersebut dipengaruhi oleh hadirnya perumahan BTN yang menyebabkan aspek perekonomian yang ada akan membawa perubahanperubahan di bidang lain seperti sarana dan prasarana transportasi, akses pendidikan, dan pola nafkah menjadi beragam di Desa Padasuka. Secara tidak langsung membuat hubungan dengan dunia luar, informasi yang diterima, banyaknya pendatang dan perubahan proses sosial menjadi ancaman eksternal pada masyarakat. Hal tersebut meningkatkan kebutuhan masyarakat untuk menangkal pengaruh dari luar yang negatif melalui lembaga kemasyaratan keagamaan yaitu pengajian. Interaksi sosial yang dibangun adalah dengan frekuensi, intensitas, dan kualitas yang sering mereka lakukan dalam kegiatan pengajian tersebut. Adanya pengajian sebagai kegiatan atau wadah atau forum sosial bagi masyarakat untuk bersilahturahmi dan merekatkan hubungan diantara warga. Dengan demikian interaksi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kohesivitas sosial komunitas.

Kelurahan Mulyaharja yang terletak di Kecamatan Bogor Selatan merupakan wilayah yang masih memiliki banyak lahan pertanian yang produktif. Pemandangan pertama yang terlihat saat memasuki wilayah Mulyaharja adalah puluhan petak sawah yang terhampar luas di samping kiri dan kanan. Belakangan ini luasan lahan pertanian di Kelurahan Mulyaharja semakin berkurang. Hal ini disebabkan oleh semakin maraknya fenomena konversi lahan pertanian menjadi kawasan perumahan di wilayah tersebut.

(17)

3

al. (2008) dimana rasa komunitas dapat dilihat dari keanggotan, pengaruh, pemenuhan kebutuhan dan berbagi hubungan emosional. Oleh karena itu, perubahan yang terjadi di dalam komunitas sebagai akibat alih fungsi lahan yang berdampak pada aspek ekonomi dan sosial diharapkan tidak menggangu rasa memiliki dan rasa komunitas di Keluharan Mulyaharja. Penelitian ini akan melihat bagaimana alih fungsi lahan yang terjadi di komunitas dan hubungannya dengan tingkat kohesi sosial komunitasnya.

Masalah Penelitian

Peningkatan jumlah penduduk di Indonesia khususnya di daerah padat penduduk seperti di kota tidak diiringi oleh ketersediaan tanah yang cukup. Tanah menjadi sangat vital dalam menunjang kehidupan manusia yakni sebagai tempat manusia beraktivitas dan mempertahankan eksistensinya. Penggunaan tanah yang semakin meningkat oleh manusia, seperti untuk tempat tinggal, tempat melakukan usaha, pemenuhan akses umum dan fasilitas lain dapat menyebabkan lahan pertanian semakin menyempit sehingga mendorong masyarakat mencari nafkah di luar pertanian. Bagaimana dampak ekonomi dan sosial dari alih fungsi lahan yang terjadi di pedesaan?

Perubahan pada aspek perekonomian dapat menjadi ruang masuk bagi nilai atau norma baru ke dalam sebuah komunitas seperti akses pendidikan, informasi yang terbuka, dan mata pencaharian yang semakin beragam. Interaksi antara anggota komunitas yang berubah dapat menggangu hubungan antar anggota komunitas. Bagaimana kohesi sosial (sense of community) pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses alih fungsi lahan ?

Kesamaan (homogenitas) antar warga membuat aksi kolektif dapat dengan mudah dilakukan dalam komunitas. Dengan masuknya akses terhada penghuni perumahan yang membawa nilai atau norma baru membawa perubahan pada kohesivitas antar anggota komunitas yang dapat berdampak pada keterlibatan warga pada aksi kolektif. Bagaimana hubungan antara tingkat kohesi sosial masyarakat dan keterlibatan masyarakat dalam aksi kolektif?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan penjelasan rumusan masalah maka penulisan skripsi berjudul “Perubahan Alih Fungsi Lahan dan Tingkat Kohesi Sosial Sosial Masyarakat Pedesaan” memiliki rumusan tujuan:

1. Menganalisis dampak ekonomi dan sosial alih fungsi lahan yang terjadi di pedesaan.

2. Menganalisis kohesi sosial (sense of community) pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses alih fungsi lahan.

3. Menganalisis hubungan antara tingkat kohesi sosial masyarakat dan keterlibatan masyarakat dalam aksi kolektif?

(18)

Kegunaan Penelitian

1. Bagi masyarakat: diharapkan dapat menjadi informasi dan wawasan untuk dapat meningkatkan kohesi sosial masyarakat (sense of community) dalam menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi di sekitar.

2. Bagi pemerintah: diharapkan menjadi acuan dalam mengambil kebijakan mengenai perubahan alih fungsi lahan dan pembangunanpembangunan lainnya, serta mengetahui dampak sosial dalam hal ini kohesi sosial bagi masyarakat yang mengalami.

3. Bagi peneliti: diharapkan dapat bergunan dalam mengembangkan kemampuan mengkaji studi kohesi sosial pada masyarakat dan menjadi proses pembelajaran dalam memahami fenomena sosial yang terjadi.

(19)

PENDEKATAN TEORITIS

Tinjauan Pustaka

Komunitas Pedesaan

Menurut Norris et al. (2007) komunitas adalah suatu kesatuan yang mempunyai batas geografi yang sama dan berbagi nasib yang sama. Komunitas merupakan suatu organisasi sosial yang dibangun oleh lingkungan alam sosial dan ekonomi yang saling mempengaruhui. Pedesaan adalah suatu sistem sosial ekologi yang dibangun oleh berbagai komponen yang terdiri dari komponen ekologi, ekonomi, dan sosial yang terkait sedemikian rupa sehingga menciptakan karakteristik yang khas pedesaan (Schouten et al. 2009). Daerah pedesaan yang umumnya hidup dari pertanian adalah daerah yang sering terkena dampak terhadap berbagai gangguan eksternal seperti bencana alam maupun gangguan sosial. Keterbatasan kapasitas yang dimiliki anggota komunitas pedesaan menjadikan mereka menjadi kelompok yang rentan ketika menghadapi perubahan ataupun guncangan dalam kehidupan.

Menurut Kulig et al. (2008) komunitas pedesaan memiliki karakteristik yang berbeda dari komunitas lainnnya, yakni memiliki latar belakang belakang yang sama dengan tingkat pendidikan yang setara, afiliasi keagamaan, dan etnik, juga rentang waktu masyarakat berada dalam komunitas tersebut. Homogenitas ini mebuat kohesi sosial pada komunitas pedesaan relatif lebih tinggi daripada komunitas perkotaan. Kepedulian antara anggota komunitas, komunikasi antar komunitas, dan berbagai proses sosial yang asosiatif masih dapat ditemukan di komunitas pedesaan. Kohesi Sosial ini dapat menjadi dasar terpengaruhnya sense of community yang diukur melalui pemenuhan kebutuhan, keterlibatan anggota, memberikan pengaruh, dan berbagi kontak emosional. sehingga ketika adanya gangguan eksternal komunitas dapat melakukan aksi kolektif sebagai strategi bertahan. Berdasarkan penelitian Kulig et al. (2008) pada 3 komunitas menunjukkan bahwa pada komunitas petani ada rasa memiliki yang lebih tinggi dibandingkan dengan komunitas pertambangan dan komunitas perkotaan. Komunitas petani memiliki inisiatif dalam mengatasi masalah, saling membantu menanam dan panen serta berinteraksi sebagai aksi kolektif. Hal tersebut menjadi aspek penting terbangunnya resiliensi komunitas. Namun sejalannya dengan terbukanya desa saat ini melalui maraknya pembangunan berbagai insfrastruktur dan perumahan serta perkembangan teknologi komunikasi bisa mendatangkan perubahan pada pola interaksi sosial dan nilai-nilai yang selama ini mengikat hubungan antara anggota komunitas. Perubahan tersebut dapat dilihat dari kerekatan antar anggota komunitas, bertahannya anggota dalam sebuah komunitas, serta keterlibatan anggota komunitas dalam melakukan aksi kolektif.

Kohesi Sosial

(20)

bersifat individualis dalam menciptakan aksi-aksi kolektif dari komunitas untuk mengatasi guncangan atau bencana (Tousignant dan Sioui 2009).

Penelitian Forrest et al (2009) di Amerika Serikat menyatakan bahwa kohesi sosial dan lingkungan perumahan sebagai unsur penting dalam identitas sosial. Kohesi sosial di tingkat masyarakat dapat berasal dari bentuk dan kualitas interaksi sosial di tingkat lokal. Di dalam model masyarakat modern, kohesi sosial dipandang sebagai proses bottom up. Pada modal sosial lokal, bukan dipandang sebagai proses top down. Pengamatan lain berpendapat bahwa semakin banyak orang Amerika yang tidak peduli dan menyebabkan penurunan kepercayaan kepada pemerintah. Karena asumsinya bahwa keterlibatan masyarakat meningkatkan kohesi sosial.

Definisi lain tentang kohesi sosial dinyatakan Johnson and Johnson (1991) seperti yang dikutip oleh Noorkamilah (2008) menyatakan bahwa kohesi sosial dalam sebuah komunitas terjadi ketika anggota-anggota kelompok saling menyukai dan saling menginginkan kehadiran satu dengan lainnya. Kemudian Noorkamilah (2008) menambahkan bahwa kohesi sosial dapat dilihat dari partisipasi anggota komunitas, rasa solidaritas yang menumbuhkan rasa kebersamaan dan rasa memiliki terhadap sebuah kelompok. Selain itu, Mollering (2001) seperti yang dikutip oleh Primadona (2001) menyatakan bahwa salah satu fungsi penting kepercayaan (trust) dalam hubungan-hubungan sosial kemasyarakatan adalah pemeliharan kohesi sosial, trust membantu merekatkan setiap komponen sosial yang hidup dalam sebuah komunitas menjadi kesatuan yang tidak tercerai-berai. Selain itu, menurut Faturochman (2006) seperti yang dikutip oleh Yuasidha (2014) faktor-faktor yang membentuk kohesivitas, yakni setiap anggota memiliki komitmen yang tinggi, interaksi didominasi kerjasama bukan persaingan, mempunyai tujuan yang terkait satu dengan yang lainnya, sesuai dengan perkembangan waktu tujuan yang dirumuskan meningkat, terjadi pertukaran antar anggota yang sifatnya mengikat, dan ada ketertarikan antar anggota sehingga relasi yang terbentuk menguatkan jaringan relasi di dalam komunitas.

(21)

7

sebagai bentuk budaya dari masyarakat setempat yang pada umumnya masih memegang teguh nilai-nilai adat luhur menjadikan tingkat kohesi sosial menjadi kuat.

Menurut Myers (2010) kohesi sosial merupakan perasaan “we feeling” yang mempersatukan setiap anggota menjadi satu bagian. Rasa memiliki tersebut juga dapat membentuk kohesi sosial antar individu dalam suatu komunitas. Rasa memiliki ini yang membuat individu menyadari bahwa ia merupakan bagian dari komunitas. Sense of community Index (SCI) adalah ukuran kuantitatif yang paling sering digunakan dalam mengukur rasa komunitas pada ilmu sosial. SCI berdasarkan teori rasa komunitas yang dibawa oleh McMilan dan Chavis (1986) seperti yang dijelaskan oleh Chavis et al. (2008) dimana rasa komunitas dapat dilihat dari keanggotan, pengaruh, pemenuhan kebutuhan dan berbagi hubungan emosional. pemenuhan kebutuhan adalah kondisi dimana anggota komunitas mendapatkan apa yang mereka butuhkan karena telah menjadi bagian dari komunitas. Keterlibatan sebagai anggota komunitas adalah orang-orang yang tergabung dalam komunitas dan anggota komunitas meluangkan banyak waktu dan usaha mereka untuk menjadi bagian dari komunitas. Memberikan pengaruh adalah kemampuan komunitas dalam mempengaruhi komunitas lainnya. Selain itu, anggota komunitas juga memiliki pengaruh atas komunitasnya. Berbagi kontak emosional adalah anggota-anggota komunitas menikmati kebersamaan di dalam komunitas dan berbagi kejadian penting bersama seperti ulang tahun. Hasil studi rasa komunitas tersebut telah menunjukkan bahwa SCI menjadi indikator yang kuat dari suatu perilaku (seperti partisipasi) dan valid pengukurannya. Dengan demikian teori rasa komunitas relevan dengan kohesi sosial yang dimana melihat anggota komunitas dari rasa memiliki diantara anggota komunitas.

Aksi Kolektif

Kohesi sosial komunitas membuat anggota tidak bersifat individualis serta mampu menciptakan aksi-aksi kolektif dari komunitas untuk mengatasi guncangan atau bencana (Tousignant dan Sioui 2009). Aksi-aksi kolektif membutuhkan kerja sama antar pemangku kepentingan dan kekokohan kelembagaan dalam pengaturan komunitas. Faktor intrinsik komunitas yang terdiri dari kepemimpinan, aksi kolektif dan kekokohan kelembagaan serta kerja sama dengan pemangku kepentingan akan berpengaruh dalam pembentukan resiliensi komunitas namun harus di dukung juga oleh kebijakan yang dapat melindungi komunitas. Kebijakan di keluarkan oleh pemerintah untuk peningkatan kapasitas komunitas (Schouten et al. 2009). Kebijakan ini terkait kebijakan ekonomi, sosial budaya dan politik yang meningkatkan kapasitas komunitas untuk bertahan dalam menghadapi guncangan

(22)

Ramdhani dan Martono (1996) menambahkan bahwa masyarakat yang sudah berkohesi, kepentingan individu sudah tidak diutamakan lagi. Berbagai keadaan yang biasanya muncul sebagai akibat masyarakat yang berkohesi di antaranya adalah meningkatnya kemauan anggota untuk berpartisipasi dalam segala bentuk aktivitas yang dilaksanakan bersama. Kemauan ini timbul karena adanya keikatan dalam kelompok.

Alih Fungsi Lahan

Menurut Utomo et al. (1992) seperti yang dikutip oleh Lestari (2010) mendefinisikan alih fungsi lahan atau lazimnya disebut sebagai konversi lahan adalah perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang menjadi dampak negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensial lahan itu sendiri. Alih fungsi lahan berarti perubahan atau penyesuaian peruntukan penggunaan, disebabkan oleh fakto-faktor yang secara garis besar meliputi keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin bertambah jumlahnya dan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik.

Sihaloho (2004) membagi konversi lahan kedalam tujuh pola atau tipologi, yaitu:

1. Konversi gradual berpola sporadis; dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu lahan yang kurang/tidak produktif dan keterdesakan ekonomi pelaku konversi.

2. Konversi sistematik berpola „enclave‟; dikarenakan lahan kurang produktif, sehingga konversi dilakukan secara serempak untuk meningkatkan nilai tambah.

3. Konversi lahan sebagai respon atas pertumbuhan penduduk (population growth driven land conversion); lebih lanjut disebut konversi adaptasi demografi, dimana dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk, lahan terkonversi untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal.

4. Konversi yang disebabkan oleh masalah sosial (social problem driven land conversion); disebabkan oleh dua faktor yakni keterdesakan ekonomi dan perubahan kesejahteraan.

5. Konversi tanpa beban; dipengaruhi oleh faktor keinginan untuk mengubah hidup yang lebih baik dari keadaan saat ini dan ingin keluar dari kampung. 6. Konversi adaptasi agraris; disebabkan karena keterdesakan ekonomi dan

keinginan untuk berubah dari masyarakat dengan tujuan meningkatkan hasil pertanian.

7. Konversi multi bentuk atau tanpa bentuk; konversi dipengaruhi oleh berbagai faktor, khususnya faktor peruntukan untuk perkantoran, sekolah, koperasi, perdagangan, termasuk sistem waris yang tidak dijelaskan dalam konversi

demografi.

(23)

9

pemerintah. Terdapat tiga macam ketimpangan yang terjadi di Indonesia (Cristodoulou sebagaimana dikutip Wiradi 2000), yakni:

1. Ketimpangan dalam hal struktur “pemilikan” dan “penguasaan” tanah Kepentingan/keberpihakan Pemerintah. Peran pemerintah mendominasi dalam menentukan kebijakan peruntukan penggunaan lahan dan mendukung pihak bermodal dan penguasaan lahan, sedangkan peran masyarakat rendah.

2. Ketimpangan dalam hal peruntukan tanah

Terdapatnya indikasi kesenjangan, yakni tanah yang seharusnya diperuntukan bagi pertanian rakyat digusur, sedangkan sektor non pertanian semakin bertambah luas.

3. Ketimpangan atau Incompability dalam hal persepsi dan konsepsi mengenai agraria

Terjadi perbedaan persepsi dan konsepsi mengenai bermacam hak atas tanah, yakni pemeritah dan pihak swasta yang menggunakan hukum positif dengan penduduk yang berpegang pada hokum normatif/hukum adat.

Pasandaran (2006) menjelaskan paling tidak ada tiga faktor, baik sendirisendiri maupun bersama-sama yang merupakan determinan konversi lahan sawah,yaitu:

1. Kelangkaan sumberdaya lahan dan air 2. Dinamika pembangunan

3. Peningkatan jumlah penduduk

Pakpahan, et al. (1993) seperti yang dikutip oleh Lestari (2010) membagi faktor yang mempengaruhi konversi dalam kaitannya dengan petani, yakni faktor tidak langsung dan faktor langsung. Faktor tidak langsung antara lain perubahan struktur ekonomi, pertumbuhan penduduk, arus urbanisasi dan konsistensi implementasi rencana tata ruang. Sedangkan faktor langsung dipengaruhi oleh pertumbuhan pembangunan sarana transportasi, pertumbuhan kebutuhan lahan untuk industri, pertumbuhan sarana pemukiman dan sebaran lahan sawah. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah di tingkat petani, sebagaimana dikemukakan oleh Rusastra (1994) dalam Munir (2008) adalah sebagai pilihan alokasi sumber daya melalui transaksi yang dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi petani seperti tingkat pendidikan, pendapatan dan kemampuan ekonomi secara keseluruhan serta pajak tanah, harga tanah dan lokasi tanah, sehingga diperlukan kontrol agar sesuai dengan rencana tata ruang.

(24)

dalam persentase yang kerap lebih hebat. Contoh kasus di Klaten tersebut juga menunjukkan bagaimana pra dan pasca alih fungsi lahan ternyata menimbulkan dinamika sosial ekonomi yang kompleks, hal tersebut ditunjukkan dengan bagaimana suatu lahan yang dialihfungsikan menyebabkan masyarakatnya yang pada awalnya bertani harus berganti mata pencaharian menjadi sektor nonpertanian yang belum pasti. Kemudian Fahmi (2012) menambahkan bahwa proses alih fungsi lahan dapat mempengaruhi mata pencaharian masyarakat yang mempengaruhi pola nafkah seperti halnya yang terjadi di Kota Tangerang. Perubahan fungsi lahan berupa lahan pertanian menjadi rest area menyebabkan masyarakat yang dulunya petani berpindah menuju sektor perdagangan dan jasa. Proses perubahan mempengaruhi pola nafkah masyarakat, yaitu ada yang memilih untuk mencari pekerjaan tambahan, migrasi, atau bertahan dengan keterampilan yang dimiliki. Petani yang memilih mencari pekerjaan lain, pada umumnya melakukan pekerjaan pertanian dan non-pertanian (karyawan, tukang ojeg, dan lain sebagainya). Migrasi juga merupakan cara yang dapat dilakukan petani. i Migrasi biasanya dilakukan secara keseluruhan oleh keluarga atau hanya kepala keluarga yang melakukan migrasi. Petani yang memiliki keterampilan rendah kecuali bidang pertanian lebih memilih bertahan dengan mata pencaharian yang ada dan berupaya memenuhi kebutuhan hidup secara subsisten.

(25)

11

kecuali bidang pertanian lebih memilih bertahan dengan mata pencaharian yang ada dan berupaya memenuhi kebutuhan hidup secara subsisten.

Menurut Widjanarko. (2006) dampak negatif akibat alih fungsi lahan, antara lain: (1) Berkurangnya luas sawah yang mengakibatkan turunnya produksi padi, yang mengganggu tercapainya swasembada pangan. (2) Berkurangnya luas sawah yang mangakibatkan bergesernya lapangan kerja dari sektor pertanian ke non-pertanian, yang apabila tenaga kerja lokal yang ada tidak terserap seluruhnya justru akan meninggikan angka pengangguran. Dampak sosial ini akan berkembang dengan meningkatnya kecemburuan sosial masyarakat setempat terhadap pendatang yang pada gilirannya berpotensi meningkatkan konflik sosial (3) Investasi pemerintah dalam pengadaan prasarana dan sarana pengairan menjadi tidak optimal pemanfaatannya (4) Kegagalan investor dalam melaksanakan pembangunan perumahan maupun industri sebagai dampak krisis ekonomi atau karena kesalahan perhitungan mengakibatkan tidak termanfaatkannya tanah yang telah diperoleh sehingga meningkatkan luas lahan tidur yang pada gilirannya akan menimbulkan konflik sosial seperti penjarahan tanah atau sengketa tanah (5) Berkurangnya ekosistem sawah terutama di jalur pantai utara Pulau Jawa yang terbaik dan telah terbentuk puluhan tahun, sedangkan pencetakan sawah baru yang sangat besar biayanya di luar Pulau Jawa seperti di Kalimantan Tengah tidak memuaskan hasilnya. Berdasarkan kelima poin tersebut, dapat terlihat bahwa tidak hanya terkait dengan aspek ekologis dan pangan, namun kembali isu alih fungsi lahan erat kaitannya dengan konflik dan segeregasi sosial.

Interaksi Sosial

Interaksi sosial dapat dipahami sebagai hubungan-hubungan sosial yang terbangun secara dinamis antar individu, antar kelompok, maupun antara individu dan kelompok (Soekanto 2010). Istilah interaksi sosial secara harfiah juga menunjukkan identitas hingga nilai-norma suatu kelompok. Interaksi tersebut kerap berbeda antara komunitas yang satu dengan yang lainnya atau antar masyarakat, konsep interaksi ini dapat bermakna sangat beragam. Interaksi antar komunitas atau masyarakat yang berbeda tidak akan lepas dari perbedaan penangkapan makna bersama (shared meaning), dan tidak jarang kondisi tersebut akan menimbulkan berbagai dinamika hingga konflik di dalamnya. Karena dalam proses interaksi sosial, ditunjukkan proses bagaimana suatu kelompok masyarakat memposisikan dirinya dihadapan kelompok yang lainnya, namun kerap kali suatu kelompok masyarakat tidak memperdulikan atau menganggap proses-proses dalam interaksi sosial sebagai suatu cara untuk memahami pihak lain dan upaya “menyatukan” diri mereka dalam kontruksi nilai dan norma bersama.

Beberapa bentuk interaksi sosial yang terdapat dalam masyarakat (Soekanto 2010) sebagai berikut:

(26)

dalam bentuk tolongmenolong, gotong-royong, dan musyawarah. Bentuk lainnya adalah asimilasi, atau sebuah proses yang ditandai dengan adanya usaha mempertinggi kesatuan tindak, sikap, dan proses mental untuk mengurangi perbedaan yang terdapat antara orang perorang, antar kelompok dengan memperhatikan kepentingan dan tujuan bersama, kondisi tersebut dapat terbangun apabila salah satu pihak yang berasal dari berbeda kelompok saling berhubungan dan berkumpul bersama, sering mengikuti pola atau “gaya” kelompok tersebut, dan lain-lain.

(27)

13

masyarakat sebagai wadah untuk bersilahturahmi dan berinteraksi dengan masyarakat di sekitar .

Kerangka Analisis

Peningkatan jumlah penduduk yang tidak sebanding dengan ketersediaan

tanah dalam memenuhi kebutuhan penduduk atas tempat tinggal (pemukiman) menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian. Hal tersebut disebabkan oleh kota tidak lagi dapat menampung jumlah penduduk yang padat sehingga pemerintah mengambil langkah dengan mengkonversi lahan pertanian ke non pertanian di daerah pedesaan. Hal tersebut menjadi faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan. Oleh karena itu, alih fungsi lahan berpengaruh pada perubahan pola nafkah komunitas pedesaan yang kemudian berdampak pada aspek perekonomian masyarakat sehingga dapat menjadi ruang masuk bagi nilai atau norma baru ke dalam sebuah komunitas. Perubahan tersebut mempengaruhi interaksi antar warga komunitas yang dilihat dari intensitas, frekuensi, dan kualitas interaksi. Interaksi sosial merupakan faktor yang membentuk kohesi sosial di antar komunitas. Tingkat kohesi sosial dyang dilihat dari (sense of community) dapat diukur dengan pemenuhan kebutuhan, keterlibatan

(28)

keanggotaan, memberikan pengaruh, dan berbagi kontak emosional. Kohesi sosial yang telah terbentuk akan mempengaruhi pada keterlibatan anggota komunitas pada aksi kolektif.

Gambar 1 Kerangka Pemkirian

Hipotesis

Diduga tingkat kohesi sosial memiliki hubungan positif dengan tingkat keterlibatan masyarakat dalam aksi kolektif.

Definisi Operasional

Definisi operasional untuk masing-masing variabel sebagai berikut:

1. Karakteristik komunitas adalah ciri-ciri khusus yang melekat pada suatu komunitas. Karakter komunitas dapat dilihat dari:

a. Umur adalah selisih antara tahun responden dilahirkan sampai tahun pada saat dilaksanakan penelitian.

b. Jenis kelamin adalah sifat fisik responden sebagaimana yang tercatat dalam kartu identitas yang dimiliki responden. Jenis kelamin dinyatakan dalam dua jenis yaitu:

1.Laki-laki 2.Perempuan

c. Tingkat pendidikan adalah jenis pendidikan/sekolah tertinggi yang pernah diikuti oleh responden. Tingkat pendidikan dikategorikan menjadi:

1. Tidak sekolah

2. Tidak tamat SD/sederajat 3. Tamat SMP/sederajat 4. Tamat SMA/sederajat 5. Diploma/Sarjana

d. Penguasaan lahan sawah adalah luas areal lahan sawah yang dikuasai oleh responden saat ini. Penguasaan lahan sawah dikategorikan menjadi:

1. Tidak mempunyai tanah 2. Berlahan sempit (0-0,25 ha) 3. Berlahan sedang (0,25-0,5 ha) 4. Berlahan luas (> 0,5 Ha)

e. Jenis mata pencaharian utama adalah jenis pekerjaan yang dilakukan oleh responden yang memberi pendapatan terbesar. Jenis pekerjaan dikelompokkan menjadi:

(29)

15

2. Pedagang 3. Wiraswasta 4. PNS

5. Tukang Ojek

f. Pendapatan adalah jumlah uang yang diterima oleh responden selama bekerja. Tingkat pendapatan dikategorikan menjadi:

1. Rendah, pendapatan < Rp 1.000.000,-

2. Sedang, pendapatan antara Rp 1.000.000 hingga Rp 2.000.000 3. Tinggi, pendapatan > Rp 2.000.000

2. Alih fungsi lahan adalah adanya penggunaan lahan di luar kegiatan pertanian baik sebagian maupun seluruhnya. Alih fungsi lahan dikelompokkan menjadi:

1. Seluruhnya, responden menjual seluruh lahan yang dimiliki (skor 1) 2. Sebagian, responden menjual sebagian lahan yang dimiliki (skor 2) 3. Seperempat, responden menjual sebagian lahan yang dimiliki (skor 3)

3. Perubahan pola nafkah adalah perubahan jenis sumber nafkah dari pertanian ke non pertanian.

Perubahan pendapatan adalah perubahan jumlah uang yang diterima oleh responden. Pendapatan dibedakan menjadi: responden dengan lingkungan sosialnya dalam sebuah komunitas dan dilihat dari :

1. Intensitas interaksi adalah lamanya waktu yang digunakan untuk melakukan interaksi tatap muka serta keterlibatannya antara responden dengan lingkungan sosial. Intensitas dikategorikan menjadi:

1) Intensitas interaksi rendah, satu kali dalam seminggu dan pada hari libur saja (skor 3)

2) Intensitas interaksi sedang, dua kali seminggu dan pada hari-hari terntentu saja (skor 4-5)

3) Intensitas interaksi tinggi, lebih dari dua kali seminggu dan pada hari kerja (skor 6)

2. Bentuk interaksi adalah aktivitas yang dilakukan anggota dalam komunitas. Dikategorikan menjadi 3 bagian, yaitu kerjasama, konflik, persaingan dengan jawabannya ya dan tidak. Dengan kategori tidak pernah (1), jarang (2), sering (3), selalu (4).

Gambaran tentang total interaksi dapat dikategorikan menjadi tinggi, sedang, dan rendah, sebagai berikut :

(30)

5. Kohesi sosial adalah kesatuan, keutuhan, dan kepaduan dalam upaya untuk mendorong anggota tetap bertahan dalam sebuah komunitas. Menurut Chavis et al. (2008) kohesi sosial diukur dengan menggunakan empat indikator yaitu Reinforcement of Needs (pemenuhan kebutuhan), Membership (keterlibatan sebagai anggota komunitas), Influence (memberikan pengaruh) dan Shared Emotional Connection (berbagi kontak emosional).

a. Reinforcement of needs (pemenuhan kebutuhan): kondisi dimana anggota komunitas mendapatkan apa yang mereka butuhkan karena telah menjadi bagian dari komunitas.

b. Membership (keterlibatan sebagai anggota komunitas): orang-orang yang tergabung dalam komunitas dan anggota komunitas meluangkan banyak waktu dan usaha mereka untuk menjadi bagian dari komunitas.

c. Influence (memberikan pengaruh): kemampuan komunitas dalam mempengaruhi komunitas lainnya. Selain itu, anggota komunitas juga memiliki pengaruh atas komunitasnya.

d. Shared Emotional Connection (berbagi kontak emosional): Anggota-anggota komunitas menikmati kebersamaan di dalam komunitas dan berbagi kejadian penting bersama seperti ulang tahun.

Terdapat 24 pernyataan pada Sense of Community Index version 2/SCI-2 (Chavis et al. 2008) yang digunakan pada penelitian ini. Kemudian diberikan skor sebagai berikut:

1. Tidak sama sekali (diberi skor 1) 2. Jarang (diberi skor 2)

3. Sering (diberi skor 3) 4. Selalu (diberi skor 4)

Gambaran tentang kohesi sosial pada rasa kebersamaan (sense of community) dalam konteks alih fungsi lahan dapat dikategorikan berdasarkan rata skor dari setiap indikatornya. Kemudian rata-rata tersebut dijumlahkan dan dibagi 4. Jika hasil nilai diatas 2 maka kohesi sosial tinggi dan jika dibawah 2 maka kohesi sosial rendah. Tinggi : skor 24-59

Rendah : skor 60-96

6. Aksi Kolektif

a. Aksi kolektif yaitu tindakan bersama yang diakukan oleh anggota komunitas. Aksi kolektif terdiri atas:

1. Jenis: bentuk kegiatan dari aksi kolektif yang dilakukan oleh anggota komunitas. Dengan kategori tidak pernah (1), jarang (2), sering (3), selalu (4). Terdapat jenis-jenis aksi kolektif sebagai berikut:

a. Kerja bakti (gotong royong) b. Musyawarah

(31)

17

e. Lainnya

2. Keterlibatan: keikutsertaan anggota komunitas pada aksi kolektif. Dengan kategori tidak pernah (1), jarang (2), sering (3), selalu (4). Keterlibatan dalam aksi kolektif sebagai berikut:

a. Menyumbang uang, responden hanya menyumbangkan uang dalam setiap kegiatan

b. Menyumbang tenaga, responden hanya menyumbangkan tenaga dalam setiap kegiatan

c. Menyumbang ide, responden hanya menyumbangkan ide dalam setiap kegiatan

3.Peran: posisi anggota komunitas pada aksi kolektif. Dengan kategori tidak pernah (1), jarang (2), sering (3), selalu (4). Peran dalam aksi kolektif sebagai berikut:

a. Inisiator, responden yang memiliki inisiatif

b. Pengikut, responden hanya bertindak sebagai anggota yang mengikuti arahan

Gambaran tentang aksi kolektif dapat dikategorikan menjadi tinggi dan rendah, sebagai berikut :

(32)

PENDEKATAN LAPANG

Metode Penelitian

Pendekatan penelitian menggunakan metode kuantitatif yang didukung dengan data kualitatif. Metode kuantitatif menggunakan kuisioner kepada responden. Kuesioner penelitian disusun sesuai dengan kerangka pemikiran yang telah dibuat sebelumnya. Data kualitatif dilaksanakan dengan observasi, dan studi dokumentasi terkait. Selain itu, untuk informasi lebih mendalam dan memperjelas gambaran tentang keadaan sosial dilakukan beberapa wawancara mendalam dengan informan yang merupakan tokoh-tokoh masyarakat seperti ketua RW, ketua RT, staff kelurahan, dan tetua di kampung.

Jenis & Sumber Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini yaitu data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh langsung di lapangan dan melalui metode survei dengan kuisioner. Kuisioner diisi responden dengan pendampingan. Selain itu, diperlukan juga data sekunder yakni data yang diperoleh melalui data-data yang sudah tersedia di desa seperti profil desa, data monografi desa, dan data dari Badan Pusat Statistik mengenai potensi desa. Penelitian juga melakukan penelusuran pustaka dan dokumen lain yang terkait dengan topik penelitian.

Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor. Pemilihan lokasi penelitian tersebut dilakukan secara purposive (sengaja) karena beberapa pertimbangan, diantaranya adalah:

1. Kelurahan Mulyaharja merupakan daerah yang jarang diteliti.

2. Kelurahan Mulyaharja merupakan daerah sub urban (transisi dari desa ke kota). Pada awalnya dibawah pemerintahan Kabupaten Bogor sebagai desa, namun dengan adanya pemekaran Kota Bogor dan Perda No. 9 tahun 2001, maka Desa Mulyaharja masuk ke dalam wilayah Kota Bogor dan berubah status menjadi Kelurahan.

3. Kelurahan Mulyaharja merupakan daerah yang berbatasan langsung dengan perumahan mewah yakni BNR (Bogor Nirwarna Residence) milik developer PT. Bakrieland dan Perumahan Telkom.

(33)

19

langsung dengan warga komunitas di Kampung Pabuaran yang menjadi responden dan berberapa pihak yang menjadi informan dalam penelitian ini.

Teknik Penentuan Responden dan Informan

Populasi penelitian adalah masyarakat di Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor. Unit analisis dalam penelitian ini adalah warga komunitas yang pernah menjual lahan pertanian ke non pertanian dan berusia 40-50 tahun. Pemilihan responden dilakukan dengan teknik accidental sampling, karena sulit mengetahui berapa besar populasi anggota yang pernah menjual lahan pertanian. Jumlah responden yang diambil adalah 35 responden, sedangkan informan adalah orang-orang di sekitar komunitas yang mengetahui tentang alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian seperti tokoh-tokoh masyarakat dan dinas terkait.

Teknik Pengumpulan Data

Responden diwawancarai dengan menggunakan kuisioner, namun untuk mengatasi kesulitan responden dalam memahami data yang diminta maka dalam mengisi kuisioner didampingi oleh peneliti. Untuk mendapatkan data kualitatif dilakukan wawancara pada beberapa informan yang mengetahui mengenai alih fungsi lahan yang terjadi.

Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Unit analisis dalam penelitian ini adalah komunitas meskipun data diperoleh dari individu. Data yang diperoleh adalah data kuantitatif dan data kualitatif. Data kuantitatif akan diolah menggunakan Microsoft Excel dan aplikasi SPSS for windows 20.0 dengan pengodean dan memberikan nilai dari jawaban-jawaban yang terdapat dalam kuisioner. Untuk mengetahui hubungan tingkat kohesi sosial masyarakat dan keterlibatan masyarakat dalam aksi kolektif digunakan pengukuran dengan rank spearman.

(34)
(35)

GAMBARAN UMUM LOKASI

Kelurahan Mulyaharja

Kelurahan Mulyaharja merupakan sebuah Kelurahan yang terletak di Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat. Kelurahan Mulyaharja memiliki ciri dan karakteristik sebagai Desa menjadi Kelurahan baik dilihat dari perspektif territorial, kehidupan, ekonomi, sosial, dan lingkungan. Dimana Kelurahan Mulyaharja dulunya merupakan salah satu Desa dibawah pemeritahan Kabupaten Bogor. Dengan adanya pemekaran Kota Bogor (PP No. 2 tahun 995 dan Instruksi Menteri Dalam Negeri tahun 1995 pada tanggal 24 Agustus 1995 tentang perubahan batas-batas wilayah Kotamadya DT. II Bogor) dan Peraturan Daerah nomor 9 tahun 2001 tentang perubahan Desa menjadi Kelurahan, maka Desa Mulyaharja masuk ke dalam wilayah Kota Bogor dan berubah status menjadi Kelurahan pada tanggal 01 September 2001.

Jarak kelurahan dari ibukota kecamatan yaitu sekitar 8 Km dengan jarak tempuh waktu 20 menit, sedangkan jarak dengan kotamadya yaitu 8 Km dengan waktu tempuh kurang lebih 30 menit. Jarak ke pusat Ibu Kota provinsi Jawa Barat yaitu 80 Km. Jarak ke pusat Ibu Kota Negara yaitu 60 Km. Kelurahan Mulyaharja berbatasan langsung dengan Kelurahan Cikaret di sebelah utara, Desa Sukaharja di sebelah selatan, Kelurahan Pamoyanan di sebelah timur, dan Desa Sukamantri di sebelah barat. Letak geografis di Kelurahan Mulyaharja dengan ketinggian tanah dari permukaan laut kurang lebih 1500 m dpl. Curah hujan sebesar 4000 mm. Suhu udara rata-rata mencapai 25-37o C. Kelurahan Mulyaharja luasnya kurang lebih 477 hektar. Berikut adalah Tabel 1 yang menunjukkan penggunaan lahan di Kelurahan Mulyaharja.

Tabel 1 Sebaran Luas Wilayah menurut peggunaan di Kelurahan Mulyaharja tahun 2015

Luas Wilayah Luas (Ha)

Pemukiman 367

Pekuburan 5

Pertanian 90

Taman 5

Pekantoran 1

Total 477

Sumber: Diolah dari data Potensi Desa 2015

(36)

merupakan lulusan dibawah Sekolah Menengah Atas sebanyak 754 jiwa. Oleh karena itu pekerjaan disana tidak beragam.

Tabel 2 Sebaran penduduk menurut tingkat usia dan jenis kelamin di Kelurahan Mulyaharja tahun 2015

Umur L P Jumlah

0-14 tahun 2.968 2.905 5.873

15-64 tahun 5.801 5.492 11.302

>65 tahun 313 179 492

Jumlah 9.082 8.576 17.667

Sumber: Diolah dari data Potensi Desa 2015

Berdasarkan tabel sebaran penduduk yang diolah menurut 3 golongan yakni usia muda dari 0-14 tahun sebanyak 5.873 jiwa, usia produktif dari 15-64 tahun sebanyak 11.302, dan usia tua sebanyak 492 jiwa.

Dahulu, mata pencaharian warga komunitas Kelurahan Mulyaharja sebagian besar adalah petani. Tradisi pertanian pun masih terasa di wilayah ini, sebelum menanam dan pada saat panen biasanya petani sering mengadakan acara selamatan agar proses menananm dan panen berjalan lancar. Selain itu, ada tradisi yang dinamakan liuran. Liuran merupakan tradisi gotong royong diantara sesama petani dengan cara membantu pada saat menanam dan saat panen. Namun semakin lama tradisi tersebut hilang karena sudah tidak ada lahan untuk merayakannya.

Alih fungsi lahan yang marak terjadi saat ini, menyebabkan banyak penduduk Kelurahan Mulyaharja yang beralih profesi ke sektor non-pertanian, seperti home industry, buruh, berdagang pertukangan, ojek dan lain-lain.

Tabel 3 Jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian di Kelurahan Mulyaharja pada tahun 2015

Bidang usaha n %

Buruh 6.214 35,2

Wiraswasta 3.714 21,4

Pegawai swasta 2.000 11,3

Lain-lain 516 2,8

PNS 238 1,7

Pedagang 174 1,2

Petani 127 0,9

TNI/POLRI 39 0,2

Belum bekerja 4.645 26,3

Total 17.667 100,0

Sumber: Diolah dari data Potensi Desa 2015

(37)

23

di bidang pengrajin dan bengkel sandal menempati urutan kedua yakni sebesar 28,4 persen. Warga yang bekerja di swasta berada diurutan ketiga yakni sebesar 15,3 persen. Sedangkan warga komunitas yang berprofesi sebagai petani hanya 0,9 persen. Hal tersebut disebabkan oleh konversi lahan yang mengakibatkan petani kehilangan lahannya, namun karena developer belum memaksimalkan lahan tersebut untuk pembangunan perumahan, petani masih dapat menggarap lahan seadanya atau bekerja menjadi buruh tani pada lahan orang lain. Selain itu, merubah cara pandang masyarakat dengan meninggalkan pekerjaan di sektor pertanian yang penghasilannya tidak cukup ke sektor non pertanian.

Tabel 4 Jumlah penduduk berdasarkan penganut agama di Kelurahan Mulyaharja

Agama n %

Sumber: Diolah dari data Potensi Desa 2015

Pada tabel 4 menjelaskan bahwa mayoritas komunitas di Kelurahan Mulyaharja menganut agama islam yakni sebesar 96 persen. Hampir sebagian besar warga komunitas masih menganut agama islam fanatik yang menjadi acuan mereka dalam berperilaku mereka sehari-hari. Mereka juga berpegangan teguh dengan nilai-norma yang sudah diyakini dari leluhur mereka, seperti tidak memiliki televisi, tidak menggunakan alat-alat pengeras suara, wanita memakai celana masih dianggap tabu, dan lain-lain. Selain itu, hanya 2 persen warga komunitas yang menganut agama kristen dan 1 persen yang menganut agama kristen katolik. Selebihnya tidak mencapai dari 1 persen warga komunitas yang menganut agama hindu dan budha.

Kampung Pabuaran

Berdasarkan informasi yang diperoleh dari beberapa informan, kampung Pabuaran dinamai oleh para leluhur yang berasal dari kata buyar yang meimiliki arti bubar, pecah, atau terpisah-pisah. Mereka meramalkan bahwa suatu saat kampung ini akan pecah atau terpisah-pisah, hal ini terbukti jika dikaitkan dengan kondisi kampung ini sekarang yang penduduknya terpisah-pisah akibat maraknya konversi lahan yang menyebabkan banyak penduduk yang pindah ke luar kampung dan ada pula yang terkena konversi lahan lalu pindah ke kampung pabuaran. Sebagian lahan pertanian yang ada di Kampung Pabuaran dimiliki oleh orang luar Kelurahan Mulyaharja, seperti yang berasal dari Desa Sukahrja, Cikaret, Kota Batu, Pamoyanan, dan lain-lain.

(38)

pun semakin berkurang. Walaupun masih ada yang bertahan pada sektor pertanian, tapi jumlahnya sangat kecil dan mayoritas petani yang bertahan adalah petani penggarap. Mereka ada yang menggarap lahan milik swasta yang belum dibangun. Sebagian besar penduduk kampung ini beralih profesi ke sektor nonpertanian seperti home industry sandal, buruh, berdagag, ojek, dan pertukangan.

Tahun 1994 PT XY mulai memasuki kampung ini. PT XY merupakan salah satu perusahaan terbesar yang bergerak di bidang property. Dalam menjalankan usahanya, PT Bakrieland membeli lahan-lahan yang ada di wilayah ini untuk dijadikan kawasan perumahan. Hal tersebut berdampak kepada harga lahan yang melonjak tajam, yang semula harganya murah hingga bisa menjadi 10 kali lipat. Namun letak tanah juga sangat berpengaruh pada harga jual, semakin strategis maka semakin mahal.

PT XY melakukan segala cara untuk meyakinkan warga komunitas untuk dapat menjual tanah kepada mereka. Salah satunya adalah dengan membeli tanah yang berlokasi di pinggir kemudian bagian tersebut di tembok tinggi. Hal ini menyebabkan petani yang posisi lahannya berada di tengah-tengah akan terkurung yang berdampak kepada mereka tidak bisa menggarap lahan tersebut pada akhirnya ikut menjual lahannya.

Kampung Pabuaran pada awalnya memiliki 5 RT, tetapi sekarang jumlah RT yang ada hanya 4, yaitu RT 01, RT 02, RT 03, RT 04 sedangkan RT 05 sudah tidak ada karena lahannya sudah habis terkena konversi yang menyebabkan warganya pindah bahkan keluar kampung.

Kondisi lingkungan dari Kampung terlihat sangat berbanding terbaik dengan kemegahan dari perumahan BNR beserta fasilitas pendukung lainnya. Kampung Pabuaran terletak persis dibelakang dari restoran Rumah Air dan Junglefest yang merupakan fasilitas yang disediakan oleh BNR. Di RT 01 RW 06 yang dilalui oleh jalan aspal terlihat kondisi rumah yang sudah ditembok dan mayoritas adalah pengrajin sandal (home industry) jadi banyak ditemukan bengkel-bengkel sandal untuk berproduksi. Penduduk dengan ekonomi kalangan menengah keatas. Tetapi rumah tetap padat dan berdempetan. Sedangkan di RT 02 RW 06 dengan karateristik warganya ekonomi menengah tetapi tetap sama padat penduduk dan berdempetan rumah-rumahnya sudah masuk ke dalam gang dan berlantaikan semen. Di RT 03 RW 06 dengan penduduk yang ekonomi ke bawah sudah mulai memprihatinkan karena jalannya masih tanah dan terlihat seperti kumuh. Rumah-rumahnya pun ada beberapa yang masih memakai bambu dan disekitar sungai.

(39)

25

“Disini mah sawahnya udah pada dijual ke BNR, lagian penghasilan dari sawah juga Cuma sedikit. Mendingan nerusin usaha sendal aja

(40)

KARAKTERISTIK RESPONEDEN

Umur Responden

Umur responden adalah selisih antara tahun responden dilahirkan sampai tahun pada saat dilaksanakan penelitian. Umur responden dikategorikan menjadi kurang dari 40 tahun hingga lebih dari 50 tahun. Berdasarkan hasil penelitian, umur responden berada pada rentang 35 tahun hingga 80 tahun dengan rata-rata umur responden 55 tahun. Jumlah dan persentase responden berdasarkan umur disajikan dalam tabel 5.

Tabel 5 Jumlah dan persentase responden berdasarkan umur

Umur n %

Tabel 5 menunjukkan bahwa responden paling banyak adalah kategori umur lebih dari 50 tahun yaitu 60 persen responden. Hal ini disebabkan masyarakat Kelurahan Mulyaharja ramai menjual tanah dalam 10 tahun terakhir yang menyebabkan pada tahun ini responden berada pada usia lanjut atau tua (> 40 tahun). Responden yang berumur 40-50 tahun sebanyak 25,7 persen, sedangkan yang kurang dari 40 tahun adalah yang jumlahnya paling sedikit yakni sebanyak 14,3 persen. Pada umumnya yang berusia pada kategori tersebut mempunyai lahan yang berasal dari warisan orang tua atau milik keluarga yang di kelola bersama yang kemudian dijual. Keadaan ini terjadi karena tuntutan ekonomi keluarga, mempertahankan status keluarga demi gengsi di mata masyarakat lainnya karena dengan memiliki lahan merupakan sebuah prestige yang dinilai oleh masyarakat lainnya., keinginan untuk menunaikan ibadah haji, dan bersamaan dengan adanya pembangunan perumahan BNR (Bogor Nirwarna Residence).

Jenis Kelamin

Jenis kelamin responden adalah sifat fisik responden sebagaimana yang tercatat dalam kartu identitas yang dimiliki responden. Jenis kelamin digolongkan menjadi dua yaitu laki-laki dan perempuan. Dalam data potensi desa sudah disebutkan bahwa di Kelurahan Mulyaharja penduduk paling tinggi adalah laki-laki.

(41)

27

Tabel 6 Jumlah dan persentase responden berdasarkan jenis kelamin

Jenis Kelamin n %

Tabel 6 menunjukkan bahwa responden paling banyak adalah laki-laki sebesar 71,4 persen sedangkan perempuan sebesar 28,6 persen. Kondisi tersebut disebabkan oleh sebagian besar dari warga komunitas yang pernah menjual lahan adalah laki-laki karena mereka merupakan kepala rumah tangga yang mengambil keputusan atas rumah tangganya serta perempuan menurut atas keputusan kepala rumah tangga. Namun persentase rendah terhadap perempuan disebabkan oleh mayoritas warga komunitas di Kampung Pabuaran memiliki tingkat pendidikan yang rendah dan golongan ekonomi menengah ke bawah yang menyebabkan perempuan dianggap tidak bisa mengambil keputusan, bagi beberapa responden perempuan yang mampu menjual lahan. Lahan berasal dari warisan keluarganya atau suami mereka yang bekerja di luar kampung sehingga mengambil peran dalam pengambilan keputusan di rumah.

Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan responden adalah jenis pendidikan/sekolah yang pernah diikuti oleh responden. Sebanyak 74,3 % responden berada pada kategori tingkat pendidikan tamat SD. Tingkat pendidikan yang rendah di Kelurahan Mulyaharja disebabkan oleh pada umumnya masyarakat disana tidak memprioritaskan pendidikan karena tuntutan ekonomi dan pada masa itu sebagian besar memilih belajar di sekolah rakyat. Keadaan sosial dan ekonomi masyarakat yang masih rendah juga menjadi salah satu alasan rendahnya tingkat pendidikan orang-orang disana. Masyarakat yang masih fanatik dengan agama yang lebih memilih mendalami ilmu agama dibandingkan dengan pendidikan sekolah formal sehingga kesadaran akan pentingnya pendidikan masih sangat rendah. Masyarakat berpikir bahwa ketika sudah lulus SD dapat langsung bekerja di sawah atau membantu perekonomian keluarga. Kemudian responden dengan tidak sekolah memiliki nilai sebesar 11,4 persen. Selanjutnya responden dengan tamatan SMP (Sekolah Menengah Pertama) dan SMA ( Sekolah Menengah Atas) memiliki nilai persentase sebesar 5,7 persen. Sedangkan yang merupakan lulusan dari diploma/sederajat hanya pada 1 orang responden. Hal tersebut sejalan dengaan yang diungkapkan salah satu responden yang merupakan mantan ketua RT bahwa dahulu pada saat zaman kemerdekaan sekolah dasar bernama sekolah rakyat dan setelah lulus langsung bekerja membantu keluargaya.

(42)

Tabel 7 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat pendidikan

Tingkat Pendidikan n %

Tidak sekolah 4 11,4

Tamat SD 26 74,3

Tamat SMP 2 5,7

Tamat SMA 2 5,7

Diploma/Sarjana 1 2,9

Total 35 100,0

Sumber: Data Primer

Penguasaan Lahan Sawah

Penguasaan lahan sawah adalah jumlah luas areal sawah yang dikuasai oleh responden saat ini. Kategori dalam penguasaa lahan ini didapatkan dari ukuran yang diperoleh dari data lapang. Responden yang memiliki lahan lebih dari 1 hektar dianggap menjadi tuan tanah atau termasuk golongan orang kaya. Pola penguasaan lahan di Kelurahan Mulyaharja disajikan dalam tabel berikut.

Tabel 8 Jumlah dan persentase responden berdasarkan penguasaan lahan

Penguasaan Lahan n %

Tidak memiliki tanah 2 5,8

sempit (0-0,25 ha) 32 91,4

sedang (0,25-0,5 ha) 1 2,8

luas (> 0,5 ha) 0 0

Total 35 100,0

Sumber: Data Primer

Tabel 8 menunjukan responden yang paling banyak adalah responden dengan kelompok bertanah sempit dengan ukuran 0 - 0,25 hektar sebesar 91,4 persen. Tidak ada responden yang mempunyai lahan dengan kategori luas di atas 0,5 hektar. Kondisi ini disebabkan oleh penguasaan lahan sawah di Kelurahan Mulyaharja tidak terlalu luas karena lahannnya sudah dibagi-bagi kepada keluar atau saudara yang memiliki hubungan darah. Sedangkan bagi responden dengan kelompok tidak bertanah yakni orang-orang yang tidak lagi menjadikan lahan sawah sebagai tempat mata pencahariannya melainkan beralih kepada home industry sandal. Selain itu, mereka yang menjual lahannya dan tidak menginvestasikan pendapatannya pada lahan melainkan menjual untuk kepentingan bisnis dan kepentingan keluarga. Bagi responden yang memiliki luas lahan sedang yakni orang atau petani kaya umumnya suka membeli tanah dan jumlahnya bertambah setiap tahun.

(43)

29

Tingkat Pendapatan

Tingkat pendapatan adalah jumlah uang yang diterima oleh responden selama bekerja. Tingkat pendapatan dikelompokkan berdasarkan data lapang yang diperoleh. Pendapatan utama berasal dari sektor pertanian yang jumlahnya tidak terlalu besar. Terutama bagi responden dengan kelas menengah ke bawah yang tidak memiliki keterampilan lain di luar sektor pertanian. Hal ini karena luas lahan pertanian yang semakin sempit dan terkendala pada usia yang sudah tidak produktif untuk bekerja. Walapun pendapatan di sektor pertanian tidak terlalu besar bagi sebagian warga, namun masih ada warga yang tetap bertahan pada sektor ini.

Tabel 9 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat pendapatan

Tingkat Pendapatan n %

Tinggi 10 28,5

Sedang 8 22,9

Rendah 17 48,6

Total 35 100,0

Sumber: Data Primer

Tabel 9 menunjukkan bahwa tingkat pendapatan responden yang paling banyak adalah tingkat pendapatan rendah kurang dari Rp 1.000.000, kondisi tersebut disebabkan oleh warga yang bekerja sebagai buruh tani atau serabutan serta usia yang sudah tidak produktif lagi. Sedangkan bagi responden dengan tingkat pendapatan warga komunitas yang paling sedikit yakni lebih dari Rp 2.000.000. Responden dengan pendapatan tersebut biasanya yang memiliki lahan di beberapa daerah, memiliki usaha sandal atau bengkel sandal yang sudah beproduksi dengan keuntungannya yang tinggi dan memperjual-belikan tidak hanya di Bogor melainkan daerah-daerah luar Bogor. Selain itu, responden dengan tingkat pendapatan sedang sebesar 8 persen. Responden dengan pendapatan tersebut mengakui memiliki usaha atau tingkat ekonomi yang sedang-sedang saja.

Jenis Mata Pencaharian Utama

Alih fungsi lahan mengakibatkan terjadinya perubahan mata pencaharian. Sebagian besar responden yang dulunya bermata pencaharian utama sebagai pertani, sekarang banyak yang beralih profesi ke sektor non-pertanian.

(44)

Tabel 10 Jumlah dan persentase responden berdasarkan jenis mata pencaharian utama

Mata Pencaharian Utama n %

Wiraswasta 13 37,1

Petani/ Buruh 8 22,8

IRT 5 14,4

Pedagang 4 11,4

Serabutan 3 8,5

PNS/TNI/POLRI 1 2,9

Karyawan Swasta 1 2,9

Total 35 100,0

Sumber: Data Primer

Wiraswasta atau pengrajin sendal merupakan mata pencaharian utama responden pertama bagi masyarakat kampung Pabuaran. Hal ini disebabkan oleh pengrajin sendal di Kampung Pabuaran merupakan pekerjaan yang turun-menurun. Selain itu, kondisi tersebut didukung oleh berkurangnya lahan pertanian bagi petani untuk menggarap sawah yang berubah menjadi perumahan BNR (Bogor Nirwarna Residence). Pada tahun 1994 sebelum Mulyaharja mengalami pembebasan lahan, responden bekerja sebagai petani atau buruh tani tetapi karena keadaan yang mendesak dan keterbatasan lahan sawah membuat mereka melakukan usaha lain untuk tetap memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga seharihari. Ibu rumah tangga dianggap juga sebagai pekerjaan karena melakukan pekerjaan domestik di rumah, bagi warga komunitas di Kampung Pabuaran dengan tingkat pendidikan yang rendah dan kefanatikan pada agama masih tinggi, perempuan dianggap tidak boleh bekerja. Namun diperbolehkan untuk membuka warung atau berdagang. Pekerjaan dengan tingkat pendidikan dan keterampilan yang tinggi hanya dilakukan oleh sedikit warga komunitas. Pemilihan bidang pekerjaan ini didasarkan pada norma yang berlaku pada komunitas, walaupun di daerah Kampung pabuaran berbatasan langsung dengan tempat hiburan yang masuk dalam wilayah BNR tetapi menurut keterangan beberapa warga di komunitas tidak ada salah satu warganya yang ikut atau tergabung dalam tempat hiburan tersebut.

Jenis Mata Pencaharian Sampingan

Alih fungsi lahan mengakibatkan terjadinya perubahan mata pencaharian. Sebagian besar responden yang dulunya bermata pencaharian utama sebagai pertani, sekarang banyak yang beralih profesi ke sektor non-pertanian.

(45)

31

Tabel 11 Jumlah dan persentase responden berdasarkan jenis mata pencaharian sampingan

Mata Pencaharian n %

Warung 4 11,4

Tukang bangunan 1 2,9

Lainnya 6 17,1

Tidak ada pekerjaan sampingan 24 68,6

Total 35 100,0

Sumber: Data Primer

Berdasarkan tabel 11 menunjukan bahwa sebesar 68,6 persen responden tidak memiliki pekerjaan sampingan. Adapun yang memiliki pekerjaan sampingan seperti membuka warung, tukang bangunan, dan buruh tani. Dalam hal ini yang menjadikan usaha membuka warung sebesar 11,4 persen yang biasanya dilakukan oleh ibu rumah tangga. Hal ini disebabkan dari karakteristik usia yang sudah tidak produktif lagi dan merasa kecukupan dengan kondisi ekonomi yang ada.

“Ya saya mah percaya aja sama rezeki dari Allah. Kalo ga ada rezeki

Gambar

Tabel 1 Sebaran Luas Wilayah menurut penggunaan di Kelurahan
Tabel 1  Sebaran Luas Wilayah menurut peggunaan di Kelurahan Mulyaharja tahun 2015
Tabel 2  Sebaran penduduk menurut tingkat usia dan jenis kelamin di Kelurahan Mulyaharja tahun 2015
Tabel 4  Jumlah penduduk berdasarkan penganut agama di Kelurahan Mulyaharja
+7

Referensi

Dokumen terkait

Responsiveness atau daya tanggap merupakan kemampuan perusahaan yang dilakukan oleh langsung karyawan untuk memberikan pelayanan dengan cepat dan tanggap.Daya

Masalah yang dikaji dalam penelitian ini yaitu proses evaluasi saat ini pada Kota Cimahi masih dilakukan dengan metode penyebaran formulir kuesioner, akibatnya

Termokopel merupakan sambungan (junction) dua jenis logam atau campuran yang salah satu sambungan logam tadi diberi perlakuan suhu yang berbeda dengan sambungan lainnya. Sambungan

Pengambilan sampel dilakukan secara berjenjang ( multistages ), yakni setiap UPBJJ-UT dibagi berdasarkan kota dan kelompok belajar. Sampel secara acak ditentukan satu

Dalam melaksanakan praktik mengajar, praktikan harus mampu menguasai kelas, sebab proses penyampaian materi dapat tercapai dalam suasana yang kondusif untuk proses belajar

 Boundary System : lahan perkebunan kemiri sunan, kapasistas produksi biodiesel dari industri skala besar dan skala kecil untuk memenuhi kebutuhan biodiesel untuk bahan..

Berdasarkan Peraturan Rektor Universitas Negeri Semarang Nomor 14 Tahun 2012 tentang Pedoman Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) bagi Mahasiswa Program Kependidikan

Hal ini dapat terjadi pada saat terjadi peralihan hak atas tanah, dan hanya tercantum nama salah satu pihak dari pasan- gan suami isteri tersebut, sehingga mengaki- batkan