• Tidak ada hasil yang ditemukan

BERLITURGI DALAM ROH DAN KEBENARAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BERLITURGI DALAM ROH DAN KEBENARAN"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

1

BERLITURGI DALAM ROH DAN KEBENARAN

Y.M. Seto Marsunu, M.Th.

Pendahuluan

Ketika mengikuti perayaan liturgi, banyak hal perlu mendapatkan perhatian kita. Mereka yang hadir untuk mengambil bagian dalam perayaan liturgi itu harus memperhatikan: Mengapa saya harus mengikuti perayaan itu? Bagaimana saya harus mengikuti dan terlibat di dalamnya? Sementara itu, pribadi-pribadi yang terlibat dalam pelayanan liturgi memberi perhatian pada tata liturgi: Bagaimana liturgi itu harus dirayakan? Bagaimana tempat merayakan liturgi itu harus dirayakan? Bagaimana para pelayan liturgi harus menjalankan tugas mereka?

Dalam makalah ini kita akan melihat sikap dasar yang harus dimiliki oleh setiap orang yang terlibat di dalam perayaan liturgi, baik sebagai peserta maupun pelayan. Semuanya perlu “berliturgi dalam roh dan kebenaran.” Ungkapan ini diambil dari perbincangan antara Yesus dengan perempuan Samaria di tepi sebuah sumur. Dalam kesempatan itu, Yesus menyatakan bahwa pada saatnya para penyembah yang benar akan menyembah Allah dalam roh dan kebenaran. Untuk memahami ungkapan yang disampaikan oleh Yesus itu, kita akan lebih dahulu melihat pemahaman yang terdapat di dalam Perjanjian Lama mengenai ibadah kepada Allah. Termasuk di dalamnya pemahaman mereka tentang Allah, ibadah kepada-Nya, tempat dilangsungkannya ibadah, dan kritik para nabi atas penyimpangan yang terjadi dalam ibadah. Sesudah itu kita akan melihat lebih jauh pengajaran Yesus mengenai penyembahan kepada Allah dalam roh dan kebenaran itu.

1. Allah: Tak Terhampiri Namun Sangat Dekat

Bangsa Israel menyadari bahwa keberadaannya sebagai manusia dan sebagai sebuah bangsa tidak dapat dilepaskan dari campur tangan Allah. Dialah yang membuat mereka menjadi ada di dalam dunia dan menjadikan mereka sebuah bangsa, bahkan bangsa yang dipilih oleh Allah menjadi umat kesayangannya. Dengan berbagai cara Perjanjian lama memberikan gambaran tentang Allah yang menyatakan diri kepada mereka itu dan apa yang telah dilakukan-Nya bagi mereka dalam perjalanan sejarah mereka. Allah itu tidak kelihatan karena Dia adalah Roh. Dia itu jauh tak terhampiri oleh manusia, namun sekaligus sangat dekat kepada mereka.

1.1. Allah adalah Roh

Kata “roh” yang berasal dari rumpun Bahasa Semit (Ibrani dan Arab) berarti sesuatu yang hidup tetapi tidak berbadan jasmani. Dalam Perjanjian Lama kata “ruakh” dalam arti aslinya adalah udara yang bergerak, seperti angin atau nafas. Bagi manusia dan binatang ruakh menjadi tanda kehidupan mereka. Ruakh itu diberikan oleh Pencipta ke dalam manusia (Kej. 2:7) dan binatang (Kej. 7:22). Inilah bahasa kiasan untuk “menjadikan hidup”.

Manusia adalah makhluk jasmani-rohani. Ia diciptakan oleh Allah untuk hidup selamanya, walaupun badannya akan mati dan menjadi tanah. Ia mempunyai hidup rohani dan tujuan serta maknanya melampaui dunia ini. Ketika dikatakan bahwa Allah adalah roh, biasanya yang dimaksudkan paling tidak adalah bahwa Ia tidak memiliki tubuh fisik, bahwa ia immaterial.

(2)

2 Dalam Kitab Suci Roh seringkali diperlawankan dengan daging. “Orang-orang Mesir hanyalah manusia, bukan ilah; kuda-kudanya daging belaka bukan roh” (Yes. 31:3; bdk. Yes. 40:6-8; Kej. 6:3). Dalam kutipan ini daging searti dengan manusia dan ditekankan kelemahan, dan roh searti dengan ilah(i), yang berdaya dan kuat. Yoh. 6:63 juga memperlawankan roh (yang menghidupkan) dengan daging yang tidak berguna sedikit pun. Mat. 26:41 dan Mrk. 14:38 berkata tentang daging yang lemah dan roh yang kuat. Yohanes menyejajarkan lahir dari Roh dengan lahir dari Allah (Yoh. 3:3,6,8; 1:13) sehingga termasuk dalam dunia ilahi.

1.2. Tak Terhampiri

Dengan banyak cara, Perjanjian Lama mengungkapkan keagungan Allah yang tak terhampiri. Dalam kisah panggilannya (Yes. 6), Yesaya mendapatkan penglihatan yang menyatakan kemuliaan TUHAN. Dalam penglihatan itu Yesaya melihat TUHAN duduk di atas takhta yang tinggi menjulang (ay. 1). Takhta-Nya yang tinggi dan menjulang itu menunjukkan kebesaran dan kemuliaan-Nya yang memenuhi langit dan angkasa. TUHAN digambarkan memakai jubah yang panjang, yaitu jubah kebesaran seorang raja.

Ia hadir dengan disertai oleh para serafim (ay. 2). Demi kekudusan dan kemuliaan-Nya mereka tidak dapat memandang wajah TUHAN. Mereka menutupi muka dan kaki mereka. Para serafim itu memuji-muji-Nya ”kudus, kudus, kuduslah Tuhan semesta alam” (ay. 3). Dengan kekudusan TUHAN, hendak dinyatakan bahwa Dia melebihi segala sesuatu. Ia sama sekali berbeda dengan makhluk-makhluk-Nya, jauh melampauinya dan terpisah darinya sehingga Ia tidak terhampiri dan sangat menakutkan (secara rohani dan menimbulkan rasa keseganan; bdk Kel 33:20).

Menyadari penglihatan itu Yesaya ketakutan “Celakalah aku! Aku binasa!” (ay. 5). Ia teringat akan akibat dahsyat yang dapat menimpa dirinya karena sebagai manusia yang berdosa ia telah melihat Allah dan kemuliaan-Nya (bdk. Kel 33:20). Tidak ada orang yang tahan memandang wajah Allah karena tidak ada orang yang memandang-Nya akan dapat tetap hidup. Bahkan Musa yang berbicara dengan TUHAN berhadap-hadapan pun hanya melihat-Nya dari belakang. Dalam terang kekudusan Allah, nabi menyadari kedosaannya: “Aku ini seorang yang najis bibir, dan aku tinggal di tengah-tengah bangsa yang najis bibir, namun mataku telah melihat Sang Raja, yakni Tuhan semesta alam.” Yesaya sadar akan kemuliaan Allah yang harus disembah dan diagungkan melebihi segala sesuatu. Ia sadar juga akan kehinaannya sendiri serta kesengsaraan bangsanya yang jauh dari Allah.

1.3. Amat Dekat

Sebaliknya, banyak juga kisah dalam Perjanjian Lama mengajarkan bahwa Allah berkenan turun ke dalam kehidupan dunia dan bergaul akrab dengan manusia. Dengan cara yang amat menarik kisah-kisah itu mengungkapkan bahwa Allah menghendaki hubungan erat dengan manusia. Tampak di dalamnya betapa dekatnya Allah dengan manusia. Allah benar-benar berada di tengah-tengah manusia ciptaan-Nya, menjadi teman hidup mereka, berbicara kepada mereka.

Kisah manusia di Taman Eden membentangkan bagaimana TUHAN berjalan-jalan di kebun dalam kesejukan sore hari dan bergaul dengan manusia. Dosa manusialah yang kemudian membuat manusia takut berhadapan dengan kehadiran Allah karena pada mulanya tidak demikian (Kej. 2:8). Jatuhnya manusia pertama ke dalam dosa tidak berarti bahwa Allah menutup diri dan tidak mau lagi bergaul dengan manusia. Henokh hidup dalam suasana persahabatan dengan Allah (Kej. 5:22-24). Demikian pula Abraham, mengingat kepercayaannya, pantas dimaksudkan ke dalam bilangan sahabat Allah. Ia mengunjungi Abraham dalam suasana kekeluargaan dan Abraham menyambut kedatangan-Nya sebagai tamu kehormatan. Ia memberitahukan kepada Abraham rencana-kedatangan-Nya menghukum Sodom dan Gomora (Kej 18).

Keluaran menceritakan bagaimana TUHAN berbicara kepada Musa dengan berhadapan muka seperti seorang berbicara kepada temannya (Kel 33:11). Musa diperbolehkan merasakan

(3)

3 pengalaman dengan Allah yang sungguh istimewa, sekalipun tidak melihat wajah Allah atau langsung memandang Wujud Allah dan hanya melihat punggung-Nya (Kel 33: 21-23).

Kedekatan Allah dengan manusia dalam Perjanjian Lama tampak juga dalam penggambaran Allah sebagai seorang bapa (bdk. Kel. 4:22) dan sebagai seorang ibu yang penuh kasih terhadap anaknya (Yes. 49:15). Gambaran lain yang mengungkapkan kedekatan Allah dengan manusia adalah gambaran tentang gembala yang baik. TUHAN memelihara Israel seperti seorang gembala memelihara kawanannya (Yes. 40:11).

2. Allah hadir dalam dunia

Allah yang demikian itu terlibat dalam kehidupan manusia di dunia. Sebaliknya manusia pun menyadari kebergantungannya pada Allah yang berkuasa atas dirinya dan atas seluruh alam semesta. Ia sadar bahwa ia memerlukan bantuan dari yang ilahi dalam menjalani kehidupan dunia ini. Dalam banyak kesempatan Perjanjian Lama menggambarkan bagaimana Allah hadir menjumpai manusia dan menolongnya. Tempat-tempat di mana Allah pernah hadir dan menjumpai manusia itu dipandang sebagai tempat yang suci. Tempat itu menjadi suci karena telah disucikan oleh kehadiran Allah itu. Tempat-tempat seperti ini seringkali dikunjungi oleh orang-orang yang ingin berjumpa dengan Allah karena Ia sendiri pernah hadir di tempat itu. Kadang-kadang di tempat itu didirikan sebuah bangunan untuk mengenangkan kehadiran Allah.

2.1. Tabut Perjanjian

Dalam Perjanjian Lama tempat paling penting dalam kaitannya dengan kehadiran Allah adalah Tabut Perjanjian. Yang dimaksudkan sebenarnya bukanlah suatu tempat melainkan sebuah peti yang di dalamnya ditaruh loh hukum (Kel 25:16), yaitu dua loh batu yang memuat Dasa Titah yang diterima orang Israel di Gunung Sinai. Loh-loh itu kadang disebut loh-loh hukum Allah (Kel 31:18, Ul 10:2,5); karena itu tabut itu dapat disebut sebagai Tabut Hukum (Kel 25:22). Di atas tabut itu dipasang dua patung kerubim (makhluk yang berbadan binatang, bersayap burung dan berkepala manusia) yang melambangkan takhta TUHAN semesta alam (bdk. 1Raj 8:6-7). Tabut yang mula-mula merupakan tempat penyimpanan Dasa Titah itu kemudian menjadi lambang TUHAN sendiri. Tidak dapat dipisahkan antara hukum dengan pemberi hukum. Tabut berperan sebagai lambang kehadiran TUHAN di tengah-tengah bangsa Israel. Tabut itu bahkan hampir diidentifikasikan dengan-Nya (bdk. Bil 10:35-36 Musa menyapa Tabut sebagai TUHAN).

Tabut itu menyertai orang-orang Israel pada pengembaraan di padang gurun (Bil. 10:33-36). Ketika orang Israel hendak memasuki tanah terjanji, tabut ini memutus aliran Sungai Yordan sehingga orang Israel dapat menyeberangi sungai itu tanpa menjadi basah (Yos. 3:13 dst). Kemudian tabut ini dibawa keliling tembok Yerikho (Yos. 6) sampai benteng kota itu roboh dan orang Israel dapat merebut kota itu. Di Kanaan Tabut Perjanjian ditempatkan di satu tempat suci dari suku-suku Israel: mula-mula di Gilgal (Yos. 4-5), kemudian Betel (Hak. 20:27), dan akhirnya di Silo (1Sam. 3:3). Di Kanaan ini Tabut menjadi lambang persekutuan suku-suku Israel yang berkumpul di tempat suci itu.

2.2. Tempat-tempat suci

Waktu orang-orang Israel memasuki Tanah Kanaan, mereka tidak hanya merebut tanahnya tetapi juga merebut kuil-kuil kuna untuk ibadat kepada El.1 Orang Israel mengambil alih kuil-kuil yang

merupakan tempat ibadat penduduk asli Kanaan ini dan mempergunakannya sebagai tempat ibadat mereka sendiri.

1 “El” atau “Elohim” pada mulanya adalah nama umum yang dipakai oleh banyak bangsa di Timur Tengah untuk menyebut ilah/dewa

mereka. El Shaddai (=Allah yang Mahakuasa, Kej 17:1; Kel6:2), El Elyon (Allah Mahatinggi, Mzm 46:5;47:3) aslinya adalah gelar dewa-kepala bangsa Kanaan. Orang Israel di kemudian hari mengambil alih nama-nama itu untuk menyebut nama Allah mereka sendiri.

(4)

4 Tempat-tempat suci ini penting bagi orang Israel bukan karena mereka merebutnya dari orang Kanaan, melainkan karena kenangan akan peristiwa yang penting bagi iman mereka yang pernah terjadi di tempat itu. Di Sikhem Abraham (Kej. 12:6 dst) dan juga Yakub (Kej. 33:18-20) mendirikan mezbah. Di tempat ini pula para tua-tua Israel pada zaman Yosua (Yos. 24) mengucapkan janji untuk selalu setia kepada TUHAN dan menolak dewa-dewi Kanaan. Asal muasal tempat suci Betel dikaitkan dengan Yakub (Kej. 28; bahkan dengan Abraham; bdk. Kej. 12:8). Melalui kisah Yakub, dikatakan bahwa Yakub, nenek moyang mereka sendiri telah mengalami bahwa tempat itu adalah tempat suci. Dan dengan demikian selayaknya keturunan Yakub menyembah Allah mereka di tempat itu. Di Hebron ini Daud diurapi menjadi raja (2Sam. 2:4; 5:3). Di tempat ini pula Abraham mendirikan mezbah bagi Allah (Kej. 13:18; bdk. 18:1).

Selain itu orang-orang Israel juga mendirikan tempat-tempat ibadat sendiri. Tempat-tempat ini didirikan ketika mereka membuka suatu wilayah dan membangun permukiman. Misalnya, kuil di Gilgal. Kuil yang didirikan suku Benyamin di Gilgal ini menjadi pusat keagamaan pada zaman Saul (1Sam. 11:15) dan pada zaman Daud (2Sam. 19:15). Kuil ini masih tetap memegang peran penting sampai zaman Nabi Amos (Am. 4:4; 9:15; 2Raj. 2:1; 4:38). Letaknya sekitar 10 km sebelah timur laut Yerikho. Tempat suci ini didirikan oleh suku-suku Israel yang telah meninggalkan Mesir dan masuk wilayah Kanaan, seperti yang dikisahkan dalam Yos. 4:19 dst. Kritik para nabi (Am. 4:4; Hos. 9:15) memberi kesan bahwa kuil Gilgal sangat dipengaruhi oleh tradisi Kanaan. Orang Israel juga mendirikan tempat-tempat ibadat baru di atas puing-puing kota Kanaan, seperti di Silo dan mungkin juga di Nob. Beberapa waktu lamanya Silo dipakai untuk menyimpan tabut. Tempat suci ini hancur dalam pertikaian antara Israel melawan Filistin (bdk. Yer. 7:12; 26:6; bdk. 1Sam. 1-7).

Sebelum Daud memindahkan tabut ke Yerusalem, tempat-tempat ibadat itu masih dipergunakan. Belum ada hukum yang memusatkan ibadat di suatu tempat atau kuil.2 Yerusalem

menjadi tempat penting dalam kehidupan agama Israel karena di tempat ini tabut diberi tempat dan peranan yang penting. Pemindahan Tabut Perjanjian ke Yerusalem (2Sam. 6) merupakan hal penting dalam kehidupan agama Israel. Pemindahan itu merupakan wujud pengakuan bahwa TUHAN adalah Allah yang satu-satunya dalam kerajaan Israel yang didirikan Daud.

2.3. Bait Allah

Pembangunan Bait Allah sebenarnya sudah direncanakan oleh Daud. Daud yang telah berkuasa atas seluruh Israel merasa prihatin karena TUHAN, yang telah membuatnya besar dan mulia, serta mengantarnya ke dalam istana yang megah itu justru tinggal di bawah tenda. Maksudnya, Tabut Perjanjian, tanda kehadiran TUHAN itu, disimpan di dalam tenda, tempat yang sederhana, padahal Daud diam di dalam istana yang megah. Tetapi, TUHAN tidak menyetujui rencana Daud itu karena Ia tidak memerlukan rumah.

Salomolah yang kemudian mewujudkan rencana Daud itu. Ia mendatangkan ahli-ahli bangunan dari luar negeri untuk membangun tempat ibadat yang direncanakannya itu. Bait Allah ini sebenarnya merupakan suatu kompleks bangunan. Ada lapangan luas yang dikelilingi pagar tembok. Di bagian utara lapangan ini berdirilah bangunan Bait Allah yang sebenarnya. Sekalipun menjadi kebanggaan Israel dan dipuji-puji keindahannya, Bait Allah bukanlah bangunan yang besar: panjangnya 27,4 m, lebarnya 9,4 m, dan tingginya 13,5 m.

Di depan bangunan ini berdiri sebuah mezbah, tempat binatang-binatang korban dibakar. Bangunan itu sendiri dibagi menjadi tiga: 1) tempat masuk, yang berupa semacam serambi beratap dan tertutup; 2) yang kudus, sebuah ruangan dengan jendela-jendela dan menjadi tempat para imam menyelenggarakan ibadat tertentu, khususnya mempersembahkan korban ukupan; 3) ruangan mahakudus, berupa ruangan tanpa jendela (sehingga gelap sama sekali). Di ruang mahakudus inilah Tabut Perjanjian ditempatkan.

(5)

5 Masuknya Tabut Perjanjian itu menunjukkan bagaimana TUHAN masuk ke dalam rumah kediaman-Nya yang baru dan berdiam di sana. Kehadiran Tuhan di Bait Allah ini menjadi pusat dan pokok ibadat Israel. Berkat kehadiran-Nya ini Israel menjadi bangsa terhormat dan terpilih antara bangsa yang lain (Kel. 33:15). Dari dalam bait-Nya TUHAN melindungi umat yang dipilih-Nya.

Bait Allah yang didirikan Salomo bertahan selama 400 tahun sebelum akhirnya dihancurkan oleh tentara Babel (586 SM). Sekembalinya dari pembuangan di Babel, umat Israel membangun kembali Bait Allah di tempat yang sama (selesai tahun 515 SM). Tahun 20 SM – 70 M Herodes Agung membangun Bait Allah yang baru menurut pola dasar Bait Allah yang lama. Dalam Bait Allah yang dibangun sesudah pembuangan dan yang dibangun oleh Herodes tidak lagi diletakkan Tabut Perjanjian karena tabut itu rupanya hilang waktu tentara Babel menghancurkan Bait Allah Salomo. Bait Allah Herodes dihancurkan oleh tentara Roma pada tahun 70 M dan sesudah itu tidak pernah dibangun kembali.

3. Ibadah

Allah yang adalah Roh yang tak terhampiri namun sangat dekat itu dapat berjumpa dengan manusia itu di tempat-tempat suci: Allah dapat menjumpai manusia, dan sebaliknya manusia dapat menjumpai Allah. Perjumpaan manusia dengan Allah di tempat suci itu diatur dengan tatanan tertentu yang kemudian disebut ibadah. Dalam Perjanjian Lama pada umumnya ibadah hanya dapat dilakukan di tempat-tempat suci karena kehadiran Allah dipahami terikat pada tempat-tempat itu. Apa yang terjadi dalam perjumpaan itu? Manusia mempersembahkan kurban bagi Allah dengan berbagai tujuan; antara lain mengungkapkan syukur atas semua yang telah diberikan oleh Allah kepada mereka dan memohon pengampunan dosa. Dalam perjumpaan itu mereka juga merayakan pekerjaan yang telah dilakukan Allah bagi mereka di masa lampau.

3.1. Etimologi Ibadah

Ibrani abodah pada mulanya menunjuk pada pekerjaan yang dilakukan oleh seorang budak bagi tuannya. Ibadah kepada Allah mengungkapkan pengakuan mereka kepada Allah yang menjadi pemilik dan penguasa mereka. Dalam ibadah manusia menyampaikan kurban dan persembahan kepada Allah, menyampaikan pengakuan akan kekuasaan Allah, menegaskan kesediaan untuk hidup sebagai umat dan hamba-Nya, serta memohon berkat-Nya. Semua ini diungkapkan dalam serangkaian upacara ritual yang disebut ibadah.

Dalam Perjanjian Lama ibadah dapat dilakukan secara pribadi (Kej. 24:26 dst; Kel. 33:9-34:8), namun ibadat bersama sebagai satu jemaat sangat ditekankan (Mzm. 42:4; 1Taw. 29:20). Ibadat umum itu dilakukan dalam kemah pertemuan dan di Bait Allah. Ketika Bait Allah dihancurkan menjelang zaman pembuangan, bangsa Israel merasa tidak memiliki tempat ibadah lagi. Tetapi, itu tidak menghalangi ibadah mereka. Mereka mendirikan sinagoga di banyak tempat sehingga mereka dapat berkumpul, berdoa, dan membaca kitab suci. Setelah Bait Allah dibangun kembali setelah pembuangan, Bait Allah itu dan sinagoga menjadi tempat ibadah mereka.

Pada zaman para nabi hari-hari raya keagamaan dilangsungkan dengan meriah. Pelayanan di Bait Allah diatur dengan baik. Jumlah imam makin banyak. Ibadah mereka disertai dengan nyanyian-nyanyian meriah dan kepada TUHAN dipersembahkan kurban yang tak terbilang banyaknya. Orang-orang yang percaya pada Allah mengunjungi tempat-tempat itu untuk menghadap hadirat Allah. Karena itu, orang harus sungguh-sungguh mempersiapkannya, seperti yang tampak dalam Kej. 35:1-5, yang menggambarkan ziarah Yakub ke Betel. Persiapan ini dilakukan oleh Yakub dan keluarganya itu untuk membuat diri mereka bersih karena mereka akan menghadap Allah yang kudus. Semua persiapan ini dilakukan agar mereka pantas menghadap Allah dan kehadiran mereka diterima

(6)

oleh-6 Nya.3 Untuk apa sebenarnya umat beriman dalam Perjanjian Lama mengunjungi tempat-tempat suci

itu dan menghadap hadirat Allah? Ada beberapa hal yang dapat saya sampaikan berkaitan dengan hal ini.

3.2. Ibadah kurban

Dalam ibadah Israel kurban kepada TUHAN memegang peran penting. Pada mulanya kurban persembahan itu merupakan ungkapan pengakuan akan TUHAN sebagai pemilik tanah Israel yang sesungguhnya, sedangkan mereka sendiri sebenarnya hanya penggarapnya. Sebagai persembahan, kurban itu seperti pajak yang dibayarkan kepada para raja. Gagasan ini tidak hanya berakar pada pemahaman mengenai Allah sebagai raja, tetapi juga pada pemahaman bahwa Allah yang menyelenggarakan seluruh bumi, layak mendapatkan persembahan. Sebagai pemberi hujan dan sebagainya, Ia berhak mendapatkan persembahan.

Kurban juga dipersembahkan untuk “menyediakan makanan” bagi Allah (bdk. Kel. 24:5-6; Im. 3:14; Ul. 32:37-38). Pada zaman dahulu orang percaya bahwa para dewa dan makhluk ilahi hidup dari makanan dan minuman khusus di surga. Ketika mereka datang ke dunia dan berada bersama manusia, mereka memerlukan makanan untuk menyegarkan diri mereka, yakni darah dan lemak dari binatang-binatang, yang diyakini mengandung kehidupan dan tenaga. Dalam agama Israel, makanan harian untuk Allah di bumi ini disediakan dengan membakar daging binatang, bersama gandum, minyak, garam, dan anggur (Ezr. 6:9). Selain itu, Allah juga mendapat persembahan roti sajian (Kel. 25:30; 1Sam. 21:6; 1Raj. 7:48), yang terdiri dari 12 roti dari gandum terbaik, yang diletakkan di altar dalam dua susunan yang masing-masing terdiri dari enam buah roti. Roti ini diganti setiap Hari Sabat, dan roti lama dimakan oleh para imam.

Kurban persembahan kepada TUHAN juga menjadi ungkapan syukur dari seorang yang nazarnya telah dipenuhi. Persembahan ini juga dapat dilakukan ketika orang mengucapkan nazar tersebut (Im. 7:16-17; 22:21; 27; Bil. 6:21; 15:3-13; Ul. 23:21-23). Persembahan disampaikan semata-mata untuk mengucap syukur atas anugerah yang telah diterima dari Allah (Im. 7:12-13; 2Taw. 33:16).

Dalam perkembangan selanjutnya kurban persembahan memiliki fungsi lain: kurban juga dipersembahkan untuk memohon pengampuan dosa dan mendamaikan kembali hubungan antara Allah dan manusia yang retak akibat dosa. Orang Yahudi percaya bahwa hubungan dengan yang tidak suci, baik fisik maupun moral, membuat orang tidak suci dan tidak layak untuk hadir menghadap Allah dalam ibadah. Karena itu, orang-orang yang mengalami hal itu perlu mempersembahkan kurban agar dirinya disucikan kembali dan layak untuk mengambil bagian dalam ibadah.

3.3. Perayaan Pesta Keagamaan

Setiap laki-laki dari bangsa Israel memiliki kewajiban untuk menghadap ke hadirat TUHAN tiga kali dalam setahun (Kel. 23:14). Tiga kesempatan menghadap TUHAN ini menunjuk pada tiga perayaan yang harus dirayakan dalam satu tahun (Kel. 23:14-19), yakni: a) Hari Raya Roti Tidak Beragi, dirayakan selama tujuh hari setelah Paskah.4 Selama tujuh hari semua ragi disingkirkan dari dalam

rumah dan selama itu pula orang makan roti yang tidak diberi ragi. Kebiasaan ini mengingatkan mereka pada saat nenek moyang mereka harus meninggalkan Mesir dengan tergesa-gesa sehingga terpaksa mengangkat adonannya sebelum diragi (bdk. Kel. 12:34,39). b) Hari Raya Tujuh Minggu (bdk. Ke. 34:22). Hari raya ini merupakan perayaan panen, mengakhiri pesta musim panen gandum, yang kemudian dihubungkan dengan pemberian Hukum Taurat di Gunung Sinai. Karena dirayakan tujuh minggu (Ul. 16:9) atau lima puluh hari (Im. 23:16) sesudah Paskah, pesta ini dalam bahasa

3 Pembersihan yang harus mereka lakukan ini mencakup tiga hal: a. penolakan dewa-dewa asing (ay 4). b. pentahiran diri yang dilakukan

dengan membasuh tubuh atau mandi (Kel. 29:4; 30:18-21; Im. 15:5,6; 16:4; 17:5; 22:6) dan dengan tidak bersetubuh (Kel. 19:15). c. mengganti pakaian yang mereka kenakan dengan pakaian yang baru atau yang bersih (Kel. 19:10, 14).

(7)

7 Yunani disebut Pentakosta (Tob. 2:1). c) Hari Raya Pondok Daun (Ul. 16:13; Im. 23:34), merupakan perayaan pemetikan buah-buahan di musim gugur, pada akhir musim buah-buahan. Selama perayaan itu orang tinggal di gubuk-gubuk yang dibuat dari ranting-ranting dan didirikan di kebun anggur di musim pemetikan; pondok-pondok itu mengingatkan umat Israel yang dahulu berkemah di padang gurun (Im. 23:43).

Pada hari-hari raya ini semua orang laki-laki pergi mengunjungi tempat-tempat suci5 untuk

merayakannya menurut ketetapan yang berlaku. Semua dilakukan dalam suasana penuh kegembiraan karena mengenangkan karya penyelamatan Allah di masa lampau. Mereka menghadirkan kembali peristiwa-peristiwa yang telah lampau. Di hadapan Allah sendiri, yakni di tempat-tempat suci itu, mereka memuji Allah yang telah menyelamatkan mereka. Para nabi seringkali mengkritik pesta-pesta ziarah dalam kritik mereka terhadap ibadat pada umumnya (Yes. 1:14-15; Am. 5:21; Mal. 2:3). Kritik mereka tidak ditujukan pada pesta ziarahnya sendiri tetapi pada sikap dan perilaku mereka yang merayakannya. Zakaria bahkan menubuatkan bahwa para bangsa akan berziarah ke Yerusalem untuk menyembah TUHAN dan merayakan pesta (Zak. 14:16-18).

4. Kritik Para Nabi

Perjumpaan bangsa Israel dengan bangsa-bangsa Kanaan telah mempengaruhi cara pandang mereka terhadap ibadah kepada TUHAN. Tujuan mereka beribadah bukan lagi untuk mengungkapkan bakti mereka kepada-Nya, tetapi untuk memenuhi kepentingan mereka sendiri.

4.1. Penyimpangan

Menutup mata Menutup mata Menutup mata

Menutup mata TUHANTUHANTUHANTUHAN. . . . TUHAN telah memilih Israel untuk membawa berkat bagi segala bangsa, tetapi mereka justru memperlakukan TUHAN sebagai ilah atau berhala yang dapat mereka pergunakan untuk kepentingan dan cita-cita mereka sendiri: kekayaan, kesejahteraan, kejayaan, dan kekuasaan. Mereka lupa bahwa mereka adalah milik TUHAN dan justru menganggap Dia sebagai milik mereka sendiri, sebagai alat atau sarana yang dapat mereka pergunakan menurut kehendak mereka untuk memenuhi keinginan mereka sendiri.

Perayaan-perayaan meriah dilangsungkan untuk memuji Allah dan kurban dipersembahkan kepada-Nya. Tetapi, semua itu mereka lakukan bukan untuk Allah, tetapi untuk mereka sendiri. Mereka memuji Allah dalam perayaan dan mempersembahkan kurban kepada-Nya supaya Ia merasa “senang” lalu mau melakukan apa saja yang mereka inginkan.

Mereka beranggapan bahwa Allah suka dengan kurban persembahan sehingga tidak mempedulikan perilaku umat-Nya. Mereka mengira bahwa Allah tidak akan memperhatikan dosa dan kesalahan mereka kalau sudah diberi kurban persembahan. Akibatnya, orang-orang kaya yang merasa diri dapat mempersembahkan banyak kurban, bisa berbuat dosa semaunya dan sesudahnya mereka dapat mempersembahkan kurban kepada TUHAN supaya Ia tidak murka terhadap mereka.

Para nabi melihat adanya praktek ibadat yang dilakukan seolah-olah hanya untuk menutup mata TUHAN. Bahkan, mereka melihat bahwa persembahan yang dibawa ke hadapan TUHAN adalah hasil pemerasan dan penindasan. Orang-orang itu memeras sesama, terutama yang miskin, lalu membawa sebagian hasilnya kepada TUHAN sebagai persembahan. Mereka beranggapan bahwa yang penting bagi-Nya adalah kurban yang mereka persembahkan. Jadi, di satu sisi mereka beribadah, di sisi lain mereka menindas sesamanya. Dengan cara demikian, sebenarnya ibadah itu hanya menyenangkan diri mereka sendiri, dan sama sekali tidak berkenan pada Allah.

Memenjarakan Memenjarakan Memenjarakan

Memenjarakan TUHANTUHANTUHANTUHAN. . . . Situasi tempat ibadat di Kerajaan Utara berbeda dari situasinya di Kerajaan Selatan. Di Kerajaan Selatan peribadatan dipusatkan di Bait Allah Yerusalem. Sedangkan di Kerajaan

5 Ketiga perayaan ini baru mulai dirayakan setelah Israel menetap di Kanaan. Dalam penanggalan Kel 23 dan 34 tidak ada tanggal yang

ditetapkan. Sebab penanggalan-penanggalan itu berasal dari zaman waktu ibadat belum berpusatkan Yerusalem. Orang dapat merayakan pesta-pesta tsb di tempat suci setempat sesuai dengan kemajuan pekerjaan di ladang di daerah tertentu.

(8)

8 Utara pemusatan seperti itu tidak ada; banyak tempat ibadah didirikan untuk keperluan ibadah di kerajaan tersebut. Walaupun demikian, tempat-tempat di kedua kerajaan tersebut dikecam oleh para nabi.

Pada zaman para nabi terjadi banyak salah paham berhubungan dengan tempat tempat ibadah itu. TUHAN adalah penguasa seluruh umat manusia dan seluruh alam semesta, tetapi orang Israel telah membatasi kuasa dan ruang lingkup-Nya, yakni hanya dalam bidang keagamaan di tempat-tempat ibadah. Para nabi menegur bangsa Israel agar jangan terus merasa aman dan menganggap bahwa mereka tidak akan mungkin mengalami suatu celaka karena Bait Allah ada di tengah mereka (bdk. Yer. 7).

Selain itu, terjadi juga percampuran antara agama Israel dengan agama Kanaan. Orang Israel mengambil alih banyak tempat ibadah orang Kanaan dan meniru kebiasaan mereka dalam beribadah. Salah satu tempat ibadah yang seringkali disebut dalam Perjanjian Lama adalah bukit pengurbanan, yang merupakan tempat ibadat terbuka. Di tempat ini didirikan mezbah (lambang dewa dan tempat mempersembah-kan kurban) dan tiang-tiang keramat (lambang dewi). Tiang-tiang keramat (Asyera) yang menjadi lambang Dewi Astarte itu merupakan salah satu sebab menonjolnya unsur seksual dalam ibadat di bukit pengurbanan. Dari kritik-kritik para nabi tampak bahwa Israel meniru kebiasaan orang Kanaan sehubungan dengan ibadat yang mereka lakukan di bukit-bukit pengurbanan itu.

4.2. Kritik Para Nabi

Para nabi tidak tinggal diam menyaksikan segala bentuk penyimpangan dalam ibadah yang dilakukan oleh orang Israel. Mereka melancarkan kritik baik terhadap praktek ibadah yang dilakukan oleh orang Israel maupun terhadap pandangan mereka yang bersumber pada tempat ibadah.

Mengenai ibadah Mengenai ibadah Mengenai ibadah

Mengenai ibadah. . . . Para nabi menyerukan bahwa TUHAN tidak tinggal diam melihat praktek yang keliru dalam ibadah Israel. Jika dibiarkan, mereka akan beranggapan bahwa TUHAN berkenan pada ibadah dan cara hidup mereka. Lebih jauh hal itu dapat berarti bahwa Ia membenarkan tindakan mereka TUHAN tidak berkenan pada kurban yang mereka persembahkan karena bukan itu yang dikehendaki-Nya. Yang sesungguhnya dikehendaki oleh TUHAN adalah bahwa mereka berlaku baik kepada sesama, terutama yang miskin dan menderita. Pernyataan ini menjelaskan makna ibadah yang sejati: ibadah adalah wujud ketaatan kepada TUHAN, Allah mereka. Kalau mereka mau hidup sesuai dengan kehendak-Nya, yang harus mereka lakukan adalah memperhatikan sesama mereka, dan bukan menindas sesama lalu mempersembahkan hasilnya kepada TUHAN.

Para nabi menunjukkan bahwa hubungan umat Israel dengan TUHAN itu tidak dapat dipisahkan dari hubungan dengan sesama. Orang yang tunduk dan taat kepada Allah, pasti mengasihi sesamanya. Ibadat itu tidak terpisah dari kehidupan yang nyata, tetapi merupakan bagian dari kehidupan tersebut. Ketaatan untuk hidup sebagai umat Allah sama sekali tidak dapat dibatasi dalam tempat-tempat ibadah, tetapi menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia. Bagi para nabi, ibadah itu tidak memiliki peran mutlak, apalagi bila dianggap sebagai cara terbaik untuk menyenangkan hati Allah. Ada hal lain yang perlu lebih mendapat perhatian, yakni kehidupan nyata. Kalau orang tidak mengabaikan perhatian pada sesamanya, ibadah yang dilakukannya akan kehilangan nilainya.

Mengenai tempat ibadah Mengenai tempat ibadah Mengenai tempat ibadah

Mengenai tempat ibadah. . . . Amos menyatakan bahwa tempat-tempat ibadah Israel sama sekali tidak berkenan kepada TUHAN, tetapi hanya memuaskan keinginan manusia. Ia melihat bahwa orang memiliki pandangan yang keliru mengenai tempat suci (Am. 5:4-6). Bagi mereka tempat itu adalah satu-satunya tempat TUHAN berkenan hadir menjumpai manusia. Seolah-olah tempat ibadah itu adalah tempat mereka memiliki TUHAN. Padahal, Ia hadir di mana pun Ia menghendakinya karena langit adalah takhta-Nya dan bumi adalah tumpuan kaki-Nya (Yes. 66:1). Allah hadir dalam setiap peristiwa hidup manusia dan dalam diri sesama manusia, terutama yang miskin karena Dia adalah bapa bagi anak yatim dan pelindung para janda. Bila orang mencari Allah dengan kurban persembahan, Allah tidak akan mereka temukan (Hos. 5:6).

(9)

9 Bahkan, Mika menyatakan bahwa sebaiknya Sion dihancurkan karena keyakinan para pemimpin Israel yang keliru (Mi. 3:9-12). Mereka telah berlaku jahat baik dalam bidang sosial maupun dalam bidang keagamaan, tetapi mereka beranggapan bahwa mereka tidak akan ditimpa malapetaka karena TUHAN “ada di tengah-tengah kita.” Ia adalah Allah mereka dan mereka mengira bahwa tidak mungkin Ia menghukum umat-Nya sendiri, sekalipun mereka berlaku jahat. Dengan cara demikian, sebenarnya mereka telah memperlakukan TUHAN seperti berhala.

Yeremia mengungkapkan bahwa Yerusalem dan Bait Allah telah menjadi sarang penyamun (Yer. 7:11-15). Karena itu, TUHAN akan menghancurkannya seperti dahulu TUHAN menghancurkan Silo karena penyimpangan yang dilakukan oleh umat Allah (bdk. 1Sam. 4). Mereka memiliki tempat ibadat dan merasa telah beribadat kepada TUHAN, tetapi sesungguhnya mereka tidak mau mendengarkan TUHAN sekalipun Ia terus menerus berbicara kepada mereka. Mereka salah bila menganggap bahwa tempat ibadah adalah jaminan keselamatan mereka karena TUHAN sendiri akan menghukum mereka.

Karena banyaknya salah paham itu TUHAN memang membiarkan Bait Allah yang mereka bangun itu dirusak oleh musuh-musuh Israel. TUHAN tidak akan menjadi tunawisma bila Bait Allah dihancurkan. Ia tidak memerlukan tempat tinggal di bumi ini karena, ”Langit adalah takhta-Ku dan bumi adalah tumpuan kaki-Ku” (Yes. 66:1). Penghancuran itu terjadi ketika Babel menyerbu dan menghancurkan Yehuda lalu membuang penduduknya (yaitu pada 586 SM).

Pembuangan yang dialami oleh Israel merintis jalan menuju pandangan yang lebih rohani mengenai kehadiran Allah. Bait Allah telah dihancurkan dan Tabut Perjanjian telah lenyap. Kehadiran TUHAN tak dapat lagi dikaitkan dengan bangunan dan barang jasmani itu. Nabi Yehezkiel tidak ragu-ragu menyatakan bahwa kehadiran TUHAN lepas dari Bait Allah dan Yerusalem. Dalam suatu penglihatan nabi menyaksikan kemuliaan/kehadiran TUHAN meninggalkan Bait Allah dan Kota Yerusalem(Yeh. 10 dan 11).

Walaupun demikian, tidak berarti bahwa TUHAN meninggalkan umat-Nya. Justru terjalin suatu hubungan baru antara kehadiran TUHAN ini dengan orang buangan, yang tetap setia kepada-Nya. Ketika berada di antara orang-orang buangan itu di tepi Sungai Kebar, nabi mendapat penglihatan tentang kemuliaan TUHAN (Yeh. 1).Ia melihat kemuliaan TUHAN ada di antara orang buangan di sebuah lembah (Yeh. 3:23). TUHAN sendirilah yang menjadi tempat kudus bagi orang-orang buangan yang terpencar-pencar itu (11:16). TUHAN akan mengumpulkan dan memimpin orang yang setia kepada-Nya pulang kembali ke tanah air mereka (36:24).

TUHAN tidak terikat pada suatu wilayah tertentu. Bangsa-bangsa tetangga Israel percaya bahwa dewa-dewa mereka terikat pada suatu wilayah, dan bahkan hanya dapat dihormati di wilayah mereka masing-masing.6 TUHAN adalah Allah yang bebas. Ia memang memilih suatu bangsa, tetapi

tidak terikat mutlak kepada bangsa pilihan-Nya itu. Bait Allah tempat tabut itu disimpan bukanlah tempat mereka ‘mempunyai’ Allah, melainkan tempat Allah berkenan menyatakan diri dan bertemu dengan mereka (bdk. Kel. 33:9-11; Bil. 11:25; 12:5:10).

4.3. Ibadah Sejati

Melihat kritik para nabi mengenai ibadah, orang bisa bertanya apakah para nabi itu anti ibadah dan apakah ibadah itu tidak diperlukan? Yang dikecam oleh para nabi sebenarnya adalah cara umat Israel beribadah. Ketika ibadah dilakukan sebagai pengakuan akan kuasa Allah dan tidak dipisahkan dari kehidupan nyata, para nabi tidak akan keberatan. Para nabi mengingatkan bahwa di padang gurun dahulu, mereka tidak mempersembahkan kurban untuk Allah (Am. 5:25) dan Ia pun tidak menuntut itu dari mereka (Yes. 43:23).

6 Bandingkan dengan Kisah Naaman yang disembuhkan oleh Elisa (2Raj. 5). Sadar bahwa penyembuhan itu diterimanya dari Allah Israel, ia

meminta kepada Elisa “tanah sebanyak muatan sepasang bagal.” Dalam kepercayaan primitif Naaman, Allah Israel diasosiakan hanya dengan Tanah Israel. Allah Israel hanya dapat dihormati di atas Tanah Israel. Dengan tanah itu ia akan mendirikan altar untuk mempersembahkan kurban bakaran atau kurban sembelihan kepada TUHAN, Allah Israel.

(10)

10 Bukan ibadah yang dapat mendekatkan manusia kepada Allah, melainkan kesetiaan pada Allah dan kesediaan untuk hidup menurut kehendak-Nya. Kesetiaan ini jauh lebih penting dalam pandangan TUHAN daripada kurban bakaran, seberapa pun banyaknya. Ia menyukai kasih setia dan bukan kurban sembelihan. Ia senang melihat umat Israel mengenal-Nya dan melakukan kehendak-Nya, tetapi tidak suka melihat mereka mempersembahkan kurban-kurban bakaran (Hos. 6:6; bdk. 1Sam. 15:22).

Nabi Yesaya mengingatkan bahwa ibadah sejati harus dilaksanakan dengan tangan yang bersih, jangan sampai orang beribadah dengan tangan yang penuh darah (Yes. 1:10-18). Semua bentuk ibadah Israel tidak berkenan pada Allah. Allah sudah jemu dengan semua kurban bakaran dan tidak menyukai darah lembu jantan dan domba. Ini berarti Allah tidak menerima segala bentuk kurban mereka. TUHAN melarang mereka membawa kepada-Nya “kurban yang tidak sungguh.” Ia pun tidak mau melihat perayaan-perayaan bulan baru dan Sabat serta pertemuan-pertemuan mereka karena perayaan mereka itu penuh kejahatan. Bahkan, Ia memalingkan muka ketika mereka menadahkan tangan untuk berdoa. Sekalipun mereka berkali-kali berdoa, Ia tidak akan mendengarkan doa mereka karena tangan mereka penuh darah!

TUHAN menunjukkan apa yang dikehendaki dari umat-Nya (ay. 16-17): bukan kurban atau persembahan atau ibadah, seberapa pun banyaknya dan seringnya, melainkan perilaku adil dan benar terhadap sesama. Ibadah harus dimulai dengan membersihkan diri, dalam arti bertobat (menjauhi kejahatan dan hidup menurut kehendak Allah). Mereka harus berhenti berbuat jahat dan belajar berbuat baik dengan bertindak adil terhadap sesama. Karena, tidak ada yang lebih berkenan pada Allah daripada perhatian terhadap sesama yang menderita, tertindas, dan tersingkir.

5. Menyembah Allah dalam Roh dan Kebenaran

Apa yang dikatakan Yesus mengenai ibadah? Keempat Injil mengisahkan bagaimana Yesus pergi ke Bait Allah dan merayakan pesta-pesta keagamaan Yahudi. Tetapi, Yesus juga menubuatkan kehancuran Bait Allah yang menjadi pusat peribadatan orang Yahudi itu. Dalam khotbah tentang akhir zaman yang disampaikan dalam ketiga Injil Sinoptik, Yesus menyatakan bahwa Bait Allah akan runtuh. Dengan demikian, orang Yahudi tidak dapat lagi beribadah di tempat suci itu. Dalam Injil Yohanes Yesus berbicara tentang menyembah Allah tanpa bergantung pada tempat tertentu. Hal ini disampaikan oleh Yesus ketika berbicara dengan seorang perempuan Samaria di tepi sebuah sumur.

5.1. Di Mana Menyembah Allah?

Ketika menyadari bahwa Yesus mengetahui kehidupan pribadinya, perempuan itu menarik simpulan bahwa ia sedang berbicara dengan seorang nabi (ay. 19). Seorang nabi dianggap memiliki pengetahuan adikodrati (Luk. 7:39). Orang-orang Samaria hanya menerima Taurat sebagai kitab suci mereka, karena itu pemahaman mengenai nabi harus dipahami berdasarkan Ul. 18:15-22, seorang nabi yang sama seperti Musa. Sebagai nabi Yesus diyakini dapat memberikan jawaban Allah mengenai masalah yang tidak dapat diselesaikan oleh manusia. Perempuan itu melihat adanya kesempatan untuk mengajukan persoalan kepada Yesus, yaitu suatu persoalan yang banyak diajukan oleh orang Samaria dan orang Yahudi. Persoalan itu menyangkut tempat di mana Tuhan Allah harus disembah, di Gunung Gerizim atau di Yerusalem. “Allah menghendaki orang menyembah Dia di Gunung Gerizim atau di Yerusalem?” Orang Yahudi dan orang Samaria selalu bertengkar soal di mana Allah harus di sembah. “Nenek moyang kami menyembah di atas gunung ini, tetapi kamu katakan, bahwa Yerusalemlah tempat orang menyembah” (ay. 20). Jawaban Yesus terhadap soal yang diajukan oleh perempuan itu merupakan bagian yang paling mendalam dalam percakapan antara Yesus dengan perempuan itu (ay. 21-24).

Pertama-tama, Yesus menyatakan bahwa akan datang masanya orang akan menyembah Allah, bukan di atas gunung ini, dan bukan di Yerusalem (ay. 21). Memang di masa lampau persoalan tempat di mana Tuhan harus disembah merupakan persoalan yang dipandang sangat serius.

(11)

Seolah-11 olah keberadaan Allah dan kehadiran-Nya itu sangat bergantung pada tempat tertentu. Sekalipun para nabi telah menyampaikan berbagai kecaman mengenai hal itu, tidak berarti bahwa orang Israel mengabaikan peran tempat-tempat suci. Yerusalem tetap dipandang sebagai kota yang paling suci dan kehadiran Allah tidak pernah dilepaskan dari Bait Allah yang dibangun di kota itu. Dalam jawaban-Nya Yesus menyebut suatu masa yang akan datang, di mana tidak lagi menjadi soal, di mana Allah harus di sembah. Soal di mana itu akan lenyap sama sekali dan segala bangsa, termasuk Yahudi dan Samaria, akan menyembah Allah di segala tempat. Untuk dapat berjumpa dan menyembah Allah orang tidak perlu datang ke tempat tertentu karena memang kehadiran-Nya tidak terikat pada hal-hal yang fisik.

5.2. Menyembah Allah yang Tidak Dikenal?

Selanjutnya Yesus menunjukkan persoalan yang sebenarnya ada dalam ibadah yang dilakukan oleh orang Samaria: menyembah apa yang tidak mereka kenal. Untuk memahami pernyataan Yesus itu, kita perlu mengingat kembali siapa sebenarnya orang Samaria itu. Pada tahun 722 SM Asyur menakhlukkan Israel dan membuang seluruh penduduknya ke Asyur dan ke wilayah-wilayah kekuasaannya yang lain. Untuk menghindari bangkitnya kembali kekuatan politik setempat Asyur menempatkan orang-orang dari wilayah-wilayah kekuasaannya ke Samaria, bekas ibukota Israel itu (2Raj. 17:24-41). Di tempat baru itu mereka menghadapi menghadapi berbagai kesulitan yang menurut keyakinan mereka terjadi karena mereka tidak menyembah Allah yang berkuasa di negeri itu. Seorang imam Israel, yang sudah diangkut ke pembuangan, dipanggil kembali untuk mengajarkan kepada warga baru itu bagaimana seharusnya berbakti kepada TUHAN. Mereka memang berbakti kepada TUHAN, tetapi juga beribadah kepada ilah-ilah mereka masing-masing, turun temurun.

Mengingat sejarah dan jatidiri mereka itulah, Yesus dapat menyatakan bahwa orang Samaria menyembah Allah yang tidak mereka kenal. Mereka melakukan ibadah, tanpa mengetahui kepada siapa ibadah itu ditujukan. Selain itu, motivasi mereka untuk beribadah kepada TUHAN pun menjadi keliru. Mereka menyembah TUHAN semata-mata terdorong oleh rasa takut akan bahaya yang didatangkan oleh Allah yang berkuasa di Israel itu. Tidak ada di benak mereka untuk mengabdi kepada Allah Israel itu karena memang mereka tidak memiliki pengalaman pribadi dengan Dia. Yang mereka perlukan hanyalah dapat tinggal di negeri itu tanpa ancaman dan untuk itu mereka mau menyembah Allah penguasa negeri itu.

Hal ini berbeda dengan yang terjadi di antara orang Yahudi: menyembah apa yang mereka kenal karena memang keselamatan datang dari bangsa Yahudi. Di masa lampau orang Yahudi mengalami Allah yang telah mengasihi mereka dengan membebaskan mereka dari perbudakan di Mesir dan memberikan kepada mereka Tanah Kanaan yang telah dijanjikan Allah kepada nenek moyang mereka. Pada zaman Daud Allah berjanji untuk membuat tahta dan kerajaan Daud kokoh untuk selamanya. Ketika kerajaan Daud itu pecah dan runtuh, orang Israel tetap percaya bahwa janji Allah kepada Daud itu akan dipenuhi. Seorang keturunan Daud akan bangkit untuk mendirikan kembali Israel lalu dan membawa Israel ke dalam damai sejahtera. Raja keturunan Daud yang akan memerintah Israel di masa depan itulah yang disebut sebagai Mesias. Para nabi berulangkali menubuatkan kedatangannya.

Dengan demikian jelas bagaimana tempat bangsa Israel dalam sejarah pewahyuan Allah. Terhadap penyembahan Samaria, memang bangsa Israel ada di pihak yang benar. Keselamatan memang datang dari Israel (Yes. 2:3; Rm. 3:1; 9:4,5; 11:18) karena secara lahiriah Mesias memang lahir dari Israel, sebagaimana telah dinubuatkan oleh para nabi. Orang Samaria tidak memahami hal ini karena mereka hanya menerima Taurat sebagai Kitab Suci mereka, dan tidak mempunyai kitab-kitab lain. Hanya saja dalam pemahaman Yesus, Mesias bukanlah perkara politik seperti yang dibayangkan oleh orang Yahudi pada umumnya. Bagi Yesus Mesias adalah pribadi utusan Allah yang datang untuk menyelamatkan manusia dari bahaya kematian kekal akibat dosa dan membawanya masuk dalam kehidupan abadi di rumah Bapa di surga.

(12)

12

5.3. Dalam Roh dan Kebenaran

Dalam pada itu kesempatan yang timbul dari bangsa Israel itu tidak terbatas pada bangsa itu saja, tetapi diberikan untuk seluruh dunia. Saatnya akan tiba bahwa Bait Allah dan seluruh ibadah yang dirayakan di dalamnya itu akan berakhir. Allah tidak akan disembah dengan berbagai upacara keagamaan di sebuah tempat yang dipandang layak untuk itu. Penyembahan kepada Allah tidak lagi bergantung pada tempat sehingga orang tidak perlu lagi bertengkar di mana Allah ingin disembah oleh manusia. Yesus menyatakan bahwa akan datang saatnya dan saat itu sudah tiba bahwa ibadah di Bait Allah akan digantikan dengan ibadah dalam roh dan kebenaran. Bapa menghendaki agar para penyembah yang benar akan menyembah-Nya dalam roh dan kebenaran.

Roh Allah. Roh Allah. Roh Allah.

Roh Allah. Lalu Yesus memberikan alasan untuk ibadah/ penyembahan yang baru itu: Allah itu adalah Roh. Hal ini menunjuk pada hakikat yang menerangkan bagaimana Allah berhubungan dengan manusia. Dalam tulisan-tulisan Yohanes, terdapat contoh lain mengenai hal ini: a). Allah adalah kasih (1Yoh. 4:16), artinya Allah berhubungan dengan manusia dengan penuh kasih, dan b). Allah adalah terang (1Yoh. 1:5), artinya Allah berhubungan dengan manusia sebagai cahaya. Kalau dikatakan bahwa Allah adalah Roh, hal ini berarti Allah berhubungan dengan manusia sebagai Roh dan memberikan roh kepada manusia. Karena Allah itu adalah Roh, manusia baru dapat menyembah Allah sebagai Bapa apabila ia telah lahir kembali dari Roh lalu hidup sebagai anak dalam hubungan dengan Bapa (Yoh. 3:5; 1:12; 1Yoh. 3:1).

Karena Alah itu adalah Roh, hanya mereka yang telah dilahirkan kembali dari roh dapat berhubungan dengan Dia (Yoh. 3:5). Roh itu berasal dari Allah di surga. Roh itu tidak berasal dari dunia, tetapi dari Allah (1Kor. 2:11, 14; 3:16; 6:11; 1Ptr. 4:14). Roh itu milik Allah dan datang dari Allah, dicurahkan dan diberikan oleh Allah (Kis. 2:17,18,33; 5:32; 15:18; 1Tes. 4:8; Luk. 1:13). Sesudah Yesus dibaptis langit terkoyak (Mrk. 1:10)/ terbuka (Mat. 3:16; Luk. 3:21) dan Roh Kudus turun dari surga seperti burung merpati ke atas Yesus. Ia pun turun atas para rasul pada ada Hari Pentakosta dan kedatangan-Nya disertai angin ribut dan api.7 Selanjutnya Roh Kudus turun atas

orang-orang yang menerima dan percaya pada pemberitaan tentang Kristus. Demikianlah, Roh itu turun dari surga (Luk. 1:35; Kis. 19:6; Yoh. 1:32-33), diterima oleh manusia (Kis. 2:33; 8:15,16; Gal. 3:2; 3:14; 1Kor. 2:12; Yoh. 7:39), dan memberikan hidup kepada manusia (Yoh. 6:63). Orang yang lahir dari Roh menerima kehidupan dari Roh dan seluruh hidupnya digerakkan oleh Roh itu.

Kehadiran-Nya di dunia menunjukkan bahwa melalui Roh Kudus Allah hadir dalam dunia dan dalam diri manusia. Roh Kudus menjadi alat, daya ilahi yang khas, yang dengan-Nya Allah tampak dan berkarya dalam dunia manusiawi. Roh Kudus yang adalah kekuatan dan daya ilahi itu menampakkan diri dalam macam-macam rupa dan bekerja dengan pelbagai cara. Kadang-kadang roh itu berupa daya ajaib, kadang-kadang berupa kemampuan untuk mengajar, memimpin, melayani, dan sebagainya. Penampakan dan karya Roh Kudus itu seringkali juga disebut “roh”, atau “roh-roh” atau “Roh Kudus” (1Tes. 1:5; 2Kor. 3:8; 6:6; 2Tes. 2:2; 2Kor. 11:4; 1Tes. 5:19; 1Kor. 14:12,32; 1Yoh. 4:1-3). Roh Kebenaran.

Roh Kebenaran. Roh Kebenaran.

Roh Kebenaran. Ungkapan “Roh dan kebenaran” merupakan suatu hendiadys,8 yang artinya sama

dengan “Roh yang adalah kebenaran” atau “Roh Kebenaran.” Roh Kudus juga disebut Roh Kebenaran karena Ia akan memimpin para murid Yesus ke dalam seluruh kebenaran (Yoh. 16:13). Tetapi, apakah yang dimaksud dengan kebenaran itu? Kebenaran yang dimaksudkan adalah rahasia Allah sebagaimana disingkapkan oleh Yesus dan kemudian diingatkan oleh Roh. Apakah mungkin bagi manusia untuk memahami Allah sebagaimana Dia ada? Yesus datang dari Bapa dan telah melihat-Nya (Yoh. 6:46; bdk. Yoh. 1:18). Apa yang dikerjakan oleh Bapa itulah yang dikerjakan oleh Yesus (Yoh. 5:19) dan apa yang dilihat oleh Yesus pada Bapa itulah yang dikatakan-Nya (Yoh. 8:38) dan Dialah

7 Gejala-gejala seperti ini biasanya menyertai teofania, yakni dimasukinya dunia kelihatan oleh sesuatu yang ilahi.

8 Hendiadys adalah suatu gaya bahasa yang digunakan untuk mengungkapkan satu gagasan yang rumit dengan cara menghubungkan dua

kata dengan kata hubung “dan.” Contoh: “Aku mengasihi TUHAN, sebab Ia mendengarkan suaraku dan permohonanku” (Mzm. 116:1). Dalam ungkapan “suaraku dan permohonanku” terdapat dua kata benda “suara” dan “permohonan” yang dihubungkan dengan kata “dan.” Kata benda kedua menerangkan kata benda pertama dan kedua kata itu sebenarnya mengungkapkan satu hal, yaitu suaraku yang memohon.

(13)

13 yang memerintahkan Yesus untuk mengatakan apa yang harus Ia katakan (Yoh. 12:49). Dengan demikian, melihat dan mendengarkan Yesus sama dengan melihat dan mendengarkan Bapa (Yoh. 14:9): “Siapa saja yang telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa.”

Dalam Yoh. 14:26 Yesus menyatakan bahwa Roh Kudus, yang akan diutus oleh Bapa dalam nama Yesus, akan mengajarkan segala sesuatu kepada para murid dan akan mengingatkan mereka akan semua yang telah dikatakan oleh Yesus kepada mereka. Apa yang diajarkan oleh Roh sama dengan yang telah dinyatakan oleh Kristus. Karena, Roh mengajarkan apa yang diajarkan oleh Kristus. Ia tidak akan berbicara dari diri-Nya sendiri, tetapi menyatakan segala sesuatu yang telah didengar-Nya (Yoh. 16:13).

Menyembah Menyembah Menyembah

Menyembah dalam Roh dan Kebenaran. dalam Roh dan Kebenaran. dalam Roh dan Kebenaran. dalam Roh dan Kebenaran. Lalu, apa yang dimaksudkan Yesus dengan menyembah Bapa dalam roh dan kebenaran? Menyembah Allah dalam Roh dan kebenaran berarti menyembah Allah karena digerakkan oleh Roh yang telah menyatakan kebenaran tentang Allah. Roh memperkenalkan dan menyatakan siapakah Allah yang sebenarnya, yaitu Allah sebagaimana Dia ada. Hal ini dilakukan dengan mengingatkan orang beriman pada semua yang telah diajarkan oleh Yesus mengenai Allah Bapa yang mengasihi manusia. Roh yang sama menggerakkan orang untuk menyembah Allah yang sebenarnya (sebagaimana adanya) dengan sikap hati yang benar, yakni dengan menempatkan diri di hadapan Allah yang mengasihi dia.

5.4. Mesias Pembawa Kebenaran

Perempuan itu menjawab: Ia mengetahui bahwa Mesias akan datang dan jika datang Ia akan memberitakan segala sesuatu kepada kami. Dalam keyakinan orang Samaria, Mesias akan datang untuk memulihkan ibadah yang sejati. Tidak mengherankan bahwa orang berlagak sebagai Mesias yang muncul pada zaman Pilatus berjanji untuk menunjukkan kepada orang Samaria di mana Musa menguburkan perlengkapan ibadah (yang suci) di Gunung Gerizim (Yosefus, Antiquities, 18.4.1. §85-87). Yesus menyatakan bahwa Dia yang sedang berbicara dengan perempuan itu adalah Mesias. Yesus menyatakan bahwa Ia memenuhi pengharapan perempuan itu akan datangnya Mesias yang akan menunjukkan kepadanya segala sesuatu (tentang ibadah yang sejati).

Refleksi

Menyembah Allah dalam roh dan kebenaran tidak dapat diartikan sebagai ibadah batiniah-rohaniah, yang dilawankan dengan ibadah publik di tempat ibadah. Menyembah Allah dalam roh dan kebenaran itu menyangkut iman akan Allah yang disembah dan motivasi untuk menyembah-Nya. Orang yang memiliki iman yang sejati mempercayakan diri kepada Allah yang diimaninya dan sepenuhnya mengandalkan Pribadi yang diimaninya itu. Ia menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah yang diimaninya. Pertanyaan yang muncul kemudian: Allah yang bagaimana yang diimani, yang kepadanya orang menyerahkan diri?

Mengenal Allah yang Disembah

Seringkali orang memilih-milih pemahaman tentang Allah menurut apa yang mereka inginkan. Orang yang bersikap demikian berusaha dan menerima pengetahuan tentang Allah hanya sejauh yang mereka inginkan. Hal-hal yang tidak diinginkan mereka abaikan dan mereka tidak mau tahu. Cara pandang yang demikian tentu tidak dapat dibenarkan. Keberadaan Allah dengan segala sifat-Nya sama sekali tidak bergantung keinginan manusia. Allah tidak mengubah diri-Nya menjadi seperti yang diinginkan manusia dan ketika menyatakan diri kepada manusia Ia tidak membatasi diri pada hal-hal yang diinginkan oleh manusia. Karena itu, ketika hendak menghadap Tuhan harus dicari adalah kebenaran yang menyeluruh dan lengkap, bukan sepotong-sepotong yang dipandang sesuai dengan yang diinginkan, walaupun mungkin manusia tidak dapat menangkap seluruh kebenaran itu.

Dalam keyakinan Kristiani, Allah menyatakan diri melalui ciptaan-Nya, melalui sejarah umat Israel, dan terutama melalui Yesus Kristus. Allah yang demikian diperkenalkan dalam Kitab Suci

(14)

14 Kristiani. Dengan kata lain, di dalam Kitab Suci orang Kristiani dapat berjumpa dengan Allah yang seharusnya dipercaya dan diandalkan oleh manusia. Selain itu, orang dapat belajar bagaimana harus menyerahkan diri kepada Allah yang sejati dan mengandalkan-Nya. Orang yang menyatakan diri Kristiani selayaknya membaca Kitab Sucinya. Hanya dengan cara demikian, ia dapat berjumpa dengan Allah yang diimaninya dan dapat mengenal-Nya dengan sungguh-sungguh. Jangan sampai ia tidak mengenal Allah yang dipercayainya dan justru mengimani Allah ”ciptaannya” sendiri, yakni Allah menurut angan-angannya sendiri.

Menyembah Allah yang Benar

Pemahaman dan keyakinan seseorang tentang Allah itu menentukan cara orang itu bersikap di hadapan Allah. Ada orang yang memahami bahwa Allah itu baik dan kebaikan-Nya itu diwujudkan dengan memberikan apa yang dibutuhkan oleh manusia. Karena itu, ia datang menghadap kepada Allah semata-mata untuk memohon pertolongan dari Allah agar Ia memenuhi apa saja yang dibutuhkannya. Kalaupun ia beribadah tujuannya pun terarah pada harapan bahwa Tuhan memenuhi apa yang diinginkannya. Bila sampai terjadi bahwa orang itu sudah berulang kali mengajukan permohonan kepada Allah, tetapi tidak dikabulkan, ia mulai protes kepada Allah, bahkan berhenti untuk percaya kepada Allah. Ia berpikir bahwa Allah tidak berlaku seperti yang diinginkannya.

Yesus Kristus memperkenalkan Allah yang benar kepada manusia, yaitu Allah yang mengasihi manusia. Begitu besar kasih Allah itu sehingga Ia rela menyerahkan Putra Tunggal-Nya untuk keselamatan manusia, supaya manusia dapat tinggal dalam kemuliaan abadi bersama Allah Bapa di surga. Di hadapan Allah yang begitu mengasihi manusia itu, bagaimana kita harus menempatkan diri dan bersikap? Ketika beribadah dan menyembah Allah, orang menempatkan diri sebagai pribadi yang telah dikasihi-Nya. Hal itu dilakukannya untuk mengungkapkan kepercayaan akan Allah yang mengasihi dia dan untuk mengungkapkan kasih kepada-Nya.

Sikap yang demikian itu tidak terbatas hanya pada tempat-tempat ibadah saja. Jatidiri sebagai umat yang dikasihi oleh Allah itu selalu ada di dalam diri orang beriman, kapan pun dan di mana pun. Sebagaimana di dalam Kristus Allah telah mengasihi dia, orang yang beriman akan Kristus mengasihi sesamanya. Pengalaman akan kasih Allah itu menggerakkannya dalam menjalani kehidupan dan mendorongnya untuk mengasihi sesamanya.

Kampung Sawah, HR Kenaikan Tuhan 2013

DAFTAR PUSTAKA

Brown, R. E., The Gospel According to John. New York: Doubleday, 1966. Darmawijaya, St., Warta Nabi Abad VIII. Yogyakarta: Kanisius, LBI, 1990.

Darmawijaya, St., Warta Nabi Sebelum Pembuangan. Yogyakarta: Kanisius, LBI, 1990.

De Menezes, R., Voices from Beyond: Theology of the Prophetical Books. Mumbai: St. Pauls, 2003. Harun, M., Kita Telah Melihat Kemuliaan-Nya. Jakarta: LBI, 205.

Kysar, R., John. Minneapolis: Augsburg, 1986.

McConville, J.G., Exploring the Old Testament: A Guide to the Prophets. Downers Grove: InterVarsity, 2002.

Moloney, F. J., The Gospel of John. Collegeville, The Liturgical Press, 1998.

Newman, B. M. dan E.A. Nida, A Translator’s Handbook on The Gospel of John. Stutgart: UBS, 1980. Sklba, R. J., Pre-Exlilic Prophecy. Collegeville: The Liturgical Press, 1990.

Vriezen, T. C., Agama Israel Kuno. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001.

Referensi

Dokumen terkait

Selain itu kelompok perlakuan dosis 64 mg/kg BB juga tidak memiliki perbedaan yang bermakna terhadap kontrol positif (Na-kromolin 2 mg/kg BB) untuk statistik luas area pigmentasi (p

Walaupun disudutkan secara tidak langsung oleh pihak lain, akan tetapi dengan kebesaran hati dan tidak terlepas dari rasa persatuan kebangsaan Muhammadiyah tetap

Berdasarkan pada hasil pengujian mulai dari Uji Validitas dan Reliabilitas menyatakan valid dan reliable, Regresi Linier Sederhana, uji koefisien determinasi,

Pembuatan nori diperlukan bahan pembentuk gel dikarenakan nori yang terbuat dari campuran rumput laut dan kulit melinjo menghasilkan tekstur yang keras dan

Pengetahuan siswa menjadi lebih luas dan siswa lebih mudah dalam memahami pelajaran, karena internet dapat membantu siswa untuk mencari materi yang tidak dipahami oleh

Hasil analisis data, dimensi ekologi, biologi, ekonomi, sosial dan teknologi merupakan lima komponen dasar yang menjadi acuan tingkat keberlanjutan pengelolaan

perihal materi dan tujuan yang akan dipelajari serta acara pembelajaran yang akan dipelajari dalam menulis teks puisia.

(menatap Rifan dengan sorot mata sedih bercampur emosi) Kalau Ibuk mati, kamu bisa mendoakan ibuk jika masuk Pondok.. Permintaan Ibuk itu saja, kamu mondok kalau masih sayang