• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI. Psikologi (2009: 488) adalah satu keadaan tertekan baik secara fisik maupun

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI. Psikologi (2009: 488) adalah satu keadaan tertekan baik secara fisik maupun"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

15 1. Pengertian Gejala Stres Kerja

Gejala menurut Kamus Lengkap Psikologi (2009: 463) adalah satu kejadian yang melatarbelakangi atau mendasari makna yang penting, seperti satu simptom atau gejala suatu penyakit. Stres menurut Kamus Lengkap Psikologi (2009: 488) adalah satu keadaan tertekan baik secara fisik maupun psikologis. Kerja menurut Kamus Lengkap Psikologi (2009: 540) terbagi ke dalam pengertian yaitu secara fisiologis merupakan kegiatan satu kekuatan yang bertindak melawan satu perlawanan dan pengeluaran energi selama kegiatan jasmaniah, kemudian secara psikologis berarti penyelesaian suatu tugas. Jadi, dapat disimpulkan bahwa gejala stres kerja adalah satu keadaan tertekan yang dialami individu dalam menyelesaikan suatu tugas atau pekerjaannya yang dapat muncul dalam bentuk gejala fisik, gejala psikologis, dan gejala perilaku.

Pada individu yang mengalami stres akan muncul berbagai gejala stres kerja yang pada akhirnya dapat mengganggu prestasi kerjanya. Menurut Mangkunegara (2009: 157), stres kerja tampak dari simptom, antara lain emosi tidak stabil, perasaan tidak tenang, suka menyendiri, sulit tidur, merokok yang berlebihan, tidak bisa rileks, cemas, tegang, gugup, tekanan darah meningkat, dan mengalami gangguan pencernaan.

(2)

Gejala stres pada diri seseorang seringkali tidak disadari karena perjalanan awal tahapan stres berjalan secara lambat dan dirasakan bilamana tahapan gejala sudah lanjut dan mengganggu fungsi kehidupannya sehari-hari baik di rumah, tempat kerja, ataupun di pergaulan lingkungan sosialnya. Amberg (dalam Hutami: 2015), membagi gejala stres menjadi enam tahap dimana semakin lanjut tahapan gejala stres berarti semakin klimaks.

Tahapan satu merupakan tahapan stres yang paling ringan yang biasanya disertai dengan keluhan-keluhan antara lain merasa letih sewaktu bangun pagi, merasa mudah lelah sesudah makan siang dan menjelang sore hari serta otot punggung dan tengkuk terasa tegang. Bila seseorang tersebut tetap memaksakan diri dalam pekerjaannya tanpa menghiraukan keluhan-keluhan sebagaimana diuraikan diatas maka yang bersangkutan akan menunjukkan keluhan-keluhan yang semakin nyata dan mengganggu, seperti ketegangan otot semakin terasa, perasaan tidak tenang dan ketegangan emosional makin meningkat, serta mengalami gangguan dalam koordinasi tubuh (badan serasa mau pingsan). Bila hal ini terjadi dan yang bersangkutan terus memaksakan diri untuk bekerja tanpa mengenal istirahat, maka gejala stres tahap selanjutnya akan muncul. Gejala stres yang ditimbulkan pada tahap yang lebih lanjut meliputi daya konsentrasi dan daya ingat menurun, timbul perasaan kecemasan dan ketakutan yang tidak dijelaskan apa penyebabnya serta mudah merasa panik (Hutami, 2015).

Pada tahapan klimaks, seseorang dapat mengalami perasaan panik dan perasaan takut mati. Tidak jarang orang yang menglami stres tahap VI ini

(3)

berulang-ulang dibawa ke Unit Gawat Darurat bahkan ke ICCU, meskipun pada akhirnya dipulangkan karena tidak ditemukan kelainan fisik organ tubuh. Bila dikaji, maka keluhan dan gejala yang digambarkan diatas lebih didominasi oleh gangguan faal (fungsional) yang melebihi kemampuan seseorang untuk mengatasinya (Hutami, 2015).

Secara umum, stres didefinisikan sebagai rangsangan eksternal yang mengganggu fungsi mental, fisik, dan kimiawi dalam tubuh seseorang (Nykodym dan George, 1989). Stres adalah kondisi dinamik yang didalamnya individu menghadapi peluang, kendala (constraints), atau tuntutan (demands) yang terkait dengan apa yang sangat diinginkannya dan yang hasilnya dipersepsikan sebagai tidak pasti tapi penting (dalam Robbins, 2006: 793).

Kata stres berasal dari bahasa latin stringer yang berarti menarik secara kencang. Dalam ilmu fisika dan teknik telah diketahui secara luas bahwa tekanan akan menghasilkan ketegangan dan akhirnya menyebabkan sesuatu bisa patah/retak. Sebagai contoh, tali yang ditarik dari dua ujungnya (dalam lomba tarik tambang) akan mengalami tekanan dan bisa putus. Demikian juga dalam ilmu kedokteran kita sering mendengar istilah orang yang sarafnya putus yang disebabkan karena ketegangan berlebihan. Konsep inilah yang kemudian diadopsi oleh para behavioral scientist untuk menjelaskan konsep stres (Sobirin, 2013: 342).

Ivancevich & Matteson, secara sederhana menyatakan bahwa stres merupakan interaksi antara individu dengan lingkungan. Stres juga sering didefinisikan sebagai respon tidak spesifik dari tubuh manusia terhadap

(4)

lingkungan eksternal. Dua pernyataan ini menegaskan bahwa sebab musabab munculnya stres karena adanya interaksi antara seseorang dengan lingkungannya yang ditindaklanjuti oleh respon individual terhadap interaksi tersebut.

Menurut Beehr dan Newman (1978) mendefinisikan bahwa stres kerja sebagai suatu keadaan yang timbul dalam interaksi di antara manusia dengan pekerjaan. Selye (dalam Briet et al. 1981) berpendapat bahwa stres kerja merupakan suatu konsep yang terus-menerus bertambah. Ini terjadi jika semakin banyak permintaan, maka semakin bertambah munculnya potensi stres kerja dan peluang untuk menghadapi ketegangan akan ikut bertambah pula. Kemudian, Kahn dan Quin (dalam Ivanceviech et.al, 1982) mendefinisikan bahwa stres kerja merupakan faktor-faktor lingkungan kerja yang negatif seperti konflik peran, kekaburan peran, dan beban kerja yang berlebihan dalam pekerjaan (dalam Wijono, 2011 : 121-122 ).

Teori yang dipakai teori stres kerja (dalam Wijono, 2011 :122 ) yang mengemukakan bahwa stres kerja merupakan suatu kondisi dari hasil penghayatan subjektif individu yang dapat berupa interaksi antara individu dan lingkungan kerja yang dapat mengancam dan memberi tekanan secara psikologis, fisiologis, dan sikap individu. Kemudian gejala-gejala stres kerja dalam teori tersebut dijadikan sebgai aspek dalam skala penelitian ini.

Jadi dapat disimpulkan bahwa stres kerja adalah suatu keadaan yang timbul dalam interaksi antara manusia dengan pekerjaannya yang dapat muncul dalam bentuk gejala-gejala stres yaitu gejala fisik, gejala psikologis,

(5)

dan gejala perilaku. Dimana Gejala stres itu sendiri adalah segala sesuatu yang yang dapat menyebabkan timbulnya stres kerja atau disebut juga dengan tanda-tanda seseorang yang mengalami stres dalam bekerja.

2. Bentuk-Bentuk Gejala Stres

Seorang individu mungkin mengalami gejala stres kerja positif seandainya mendapat kesempatan untuk naik jabatan atau menerima ganjaran (reward). Tetapi sebaliknya, jika dia merasa dihambat oleh berbagai sebab di luar kontrol dalam mencapai tujuannya, maka dia akan mengalami gejala stres yang negatif (Brief et al, 1981).

Beberapa gejala stres dapat dilihat dari berbagai faktor (Wijono, 2011: 122), yaitu:

a. Perubahan secara fisiologis, yaitu ditandai oleh adanya gejala-gejala seperti merasa lelah/letih, kehabisan tenaga, pusing, dan gangguan pencernaan.

b. Perubahan secara psikologis, yaitu ditandai oleh adanya kecemasan berlarut-larut, sulit tidur, dan nafas tersengal-sengal.

c. Perubahan sikap, seperti keras kepala, mudah marah, tidak puas terhadap apa yang dicapai, dan sebagainya.

Gejala stres kerja menurut Beehr & Newman (dalam Marchelia, 2014: 136) terbagi menjadi tiga, yaitu:

a. Gejala psikologis, yang ditandai dengan adanya kecemasan, ketegangan, bingung, mudah tersinggung, kelelahan mental, depresi, komunikasi yang tidak efektif, dan kebosanan.

(6)

b. Gejala fisiologis, perubahan fisiologis yang ditandai dengan adanya gejala seperti merasa letih/lelah, kehabisan tenaga, pusing, gangguan pencernaan, gangguan pernapasan, tekanan darah tinggi, gangguan tidur, kelelahan secara fisik, gangguan kulit, dan meningkatnya denyut jantung.

c. Gejala perilaku, seperti absensi, menurunnya prestasi dan produktivitas, menurunnya hubungan interpersonal dengan keluarga dan teman, serta gelisah.

3. Sumber Stres Kerja

Sumber stres (stressors) adalah suatu kondisi, situasi, atau peristiwa yang dapat menyebabkan stres. Pada dasarnya, sumber stres merupakan hasil interaksi dan transaksi antara seorang individu dengan lingkungannya. Dalam pembahasan ini lingkungan individu tersebut dapat digolongkan menjadi dua faktor sebagai sumber dari stres.

Tiga kategori potensi sumber stres (Robbins, 2006 : 794-797) yaitu: a. Faktor Lingkungan

Seperti halnya ketidakpastian lingkungan mempengaruhi perancangan struktur organisasi, ketidakpastian itu juga mempengaruhi tingkat stres di kalangan para karyawan dalam organisasi tersebut.

b. Faktor Organisasi

Banyak sekali faktor di dalam organisasi yang dapat menimbulkan stres. Tekanan untuk menghindari kekeliruan atau menyelesaikan tugas dalam kurun waktu yang terbatas, beban kerja yang berlebihan,

(7)

bos yang menuntut dan tidak peka, serta rekan sekerja yang tidak menyenangkan. Faktor organisasi ini dikategorikan berdasarkan tuntutan tugas, tuntutan peran, tuntutan hubungan antar pribadi, struktur organisasi, kepemimpinan organisasi, dan tingkat hidup organisasi.

c. Faktor Individu

Lazimnya individu hanya bekerja 40 sampai 50 jam sepekan. Namun pengalaman dan masalah yang dijumpai orang di luar jam kerja yang lebih dari 120 jam tiap pekan dapat membuat pekerjaan kedodoran. Maka kategori akhir ini mencakup faktor-faktor dalam kehidupan pribadi karyawan. Terutama sekali dalam faktor ini adalah persoalan keluarga, masalah ekonomi pribadi, dan karakteristik kepribadian bawaan.

Soewondo (dalam Wijono, 2011: 125) dalam penelitiannya pada tahun 1992 yang telah mengidentifikasi sumber stres terhadap 200 karyawan di sebuah perusahaan swasta yang bergerak di bidang perminyakan. Hasilnya antara lain adalah sumber stres dapat berhubungan dengan:

a. Tempat bekerja, seperti ruangan kerja yang terlalu panas atau terlalu dingin, ruangan sempit, berisik, dan kurangnya penerangan.

b. Isi pekerjaan, seperti batas waktu, beban kerja, tekanan waktu, kekompleksitasan pekerjaan, pekerjaan yang terlalu banyak sehingga tak terselesaikan,dan pekerjaan baru yang belum dikenal.

(8)

c. Syarat-syarat pekerjaan, seperti karir tidak jelas, kenaikan pangkat tertahan, tidak dipromosikan, status kepegawaian yang tidak jelas, dan masalah penghargaan.

d. Hubungan interpersonal dalam bekerja, seperti atasan yang terlalu banyak tuntutan, atasan yang menyebalkan, kurang apresiasi dari pimpinan, keputusan atasan yang berubah-ubah, sikap kolega yang tidak enak, tidak cocok dengan teman sekerja, kurang terbuka antara atasan dan bawahan, dan bawahan yang memerlukan petunjuk setiap saat dalam menyelesaikan pekerjaan rutin.

Penyebab stres kerja, antara lain beban kerja yang dirasakan terlalu berat, waktu kerja yang mendesak, kualitas pengawasan kerja yang rendah, iklim kerja yang tidak sehat, otoritas kerja yang tidak memadai yang berhubungan dengan tanggung jawab, konflik kerja, perbedaan nilai antara karyawan dengan pemimpin yang frustasi dalam bekerja (Mangkunegara, 2009 : 157).

4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sumber Stres

Pada dasarnya sumber stres merupakan hasil interaksi dan transaksi antara seseorang individu dengan lingkungannya. Lingkungan individu yang dapat digolongkan kepda faktor-faktor yang mempengaruhi sumber stres yaitu sebagai berikut (Wijono, 2011: 124-130) .

(9)

Soewondo (dalam Wijono, 2011: 124) menemukan bahwa sumber stres adalah tempat kerja, isi pekerjaan, syarat-syarat pekerjaan, dan hubungan interpersonal dalam bekerja.

Kemudian, Tosi et al. (1990 : 348) (dalam Wijono, 2011: 125) juga mengatakan bahwa ada 5 faktor pekerjaan yang menjadi sumber stres, yaitu :

1) Faktor-faktor yang berkaitan dengan pekerjaan seorang individu Ada beberapa tugas yang cenderung menunjukkan lebih banyak berhubungan dengan stres daripada tugas-tugas lain. Hal ini terbukti dari beberapa contoh hasil penelitian yang dilakukan oleh beberapa ahli, yaitu :

Karyawan-karyawan yang berkolar biru lebih memungkinkan menghadapi resiko pekerjaan yang mengancam kesehatan, tugas-tugas yang dilakukan berhubungan dengan bahan-bahan yang beracun (Shostak, 1980). Peneliti yang lain menunjukkan bahwa orang yang bekerja pada pekerjaan rutin mengalami tingkat keengganan dan kebosanan (Kornhauser, 1965). Bekerja dengan kecepatan gerakan mempunyai hubungan signifikan dengan ketegangan, kecemasan, kemarahan, dan tugas yang ada dalam pekerjaan tersebut (Hurrel, 1985).

2) Stres peran

Kahn dkk. (1964) telah melakukan penelitian tentang konflik peran dalam suatu organisasi. Tujuan mereka melakukan penelitian

(10)

ini adalah untuk mengetahui hubungan tinggkat ketegangan peran dan penyesuaian diri. Penelitian ini didasarkan pada premis bahwa individu-individu lebih efektif dalam memainkan perannya ketika ia memahami tentang peran yang dimaninkannya, sehingga mereka tidak mengalami stres/tekanan-tekanan peran yang menimbulkan konflik peran yang tinggi.

3) Peluang partisipasi

Partisipasi adalah penting untuk dua alasan, yaitu partisipasi dihubungkan dengan konflik peran yang rendah dan ketidakjelasan peran yang rendah (Kahn et al. 1964, Tosi, 1971), partisipasi yang tinggi (keputusan-keputusannya lebih berpengaruh) dapat membuat seseorang merasa dapat mengendalikan lingkungan sekitarnya. 4) Tanggung jawab

Tanggung jawab yang lain mungkin dapat mempengaruhi stres yang sedang bekerja (Cooper dan Marshall, 1976). Sebagai seorang manajer keefektifannya tergantung pada siapa yang bekerja untuknya, seandainya manajer mempunyai alasan bahwa dirinya tidak mempunyai kepercayaan terhadap mereka, atau kemampuannya kurang dapat mengendalikan mereka, manajer akan mengalami stres karena dirinya tidak dapat mengendalikan situasi tersebut.

(11)

Ciri-ciri organisasi yang dapat menyebabkan stres adalah tingkat organisasi, keadaan yang sulit dalam organisasi, taraf perubahan organisasi, dan batas peran (Wijono, 2011: 130).

b. Faktor-faktor di luar pekerjaan

Beberapa faktor di luar pekerjaan yang dapat menjadi sumber stres adalah perubahan struktur kehidupan, dukungan sosial, locus of control, tipe A & B, harga diri, fleksibilitas/kaku, dan kemampuan (Wijono, 2011 : 130)

c. Faktor-faktor dipekerjaan

Faktor-faktor dipekerjaan yang berdasarkan penelitian dapat menimbulkan stres dapat dikelompokkan ke dalam lima kategori besar, yaitu faktor-faktor intrinsik dalam pekerjaan, peran dalam organisasi, pengembangan karir, hubungan dalam pekerjaan, serta struktur dan iklim organisasi (Hurrel, dkk, 1998).

d. Faktor-faktor intrinsik dalam pekerjaan

Termasuk dalam faktor-faktor intrinsik dalam pekerjaan adalah tuntutan fisik dan tuntutan tugas. Tuntutan tugas meliputi bising, vibrasi, hygience. Sedangkan faktor-faktor tugas mencakup kerja shift/kerja malam, beban kerja, dan penghayatan dari risiko dan bahaya (Munandar, 2010: 381).

(12)

Kondisi fisik kerja mempunyai pengaruh terhadap kondisi faal dan psikologis diri seorang tenaga kerja. Kondisi fisik dapat merupakan pembangkit stres (stressor) .

Bising, yaitu gangguan sementara atau tetap pada alat pendengaran, juga dapat merupakan sumber stres yang dapat menyebabkan peningkatan dari kesiagaan dan ketidakseimbangan psikologis. Kondisi demikian akan memudahkan timbulnya kecelakaan. Misalnya tidak mendengar suara-suara peringatan sehingga timbulnya kecelakaan. Invancevich dan Matteson (1980) berpendapat bahwa bising yang berlebih yang berulang kali didengar, untuk jangka waktu lama, dapat menimbulkan stres.

Vibrasi (getaran), merupakan sumber stres yang kuat yang mengakibatkan peningkatan taraf catecholamine dan perubahan dari berfungsinya seseorang secara psikologikal dan neurological.

Hygience, yaitu Lingkungan yang kotor dan tidak sehat yang merupakan pembangkit stres. Para pekerja dari industri baja menggambarkan kondisi berdebu dan kotor, akomodasi pada waktu istirahat yang kurang baik, juga toilet yang kurang memadai. Hal ini dinilai oleh para pekerja sebagai faktor tinggi pembangkit stres. 2) Tuntutan Tugas

Kerja shift/kerja malam, dimana penelitian menunjukkan bahwa kerja shift merupakan sumber utama dari stres bagi para pekerja pabrik (Monk & Tepas, 1985). Para pekerja shift lebih

(13)

sering mengeluh tentang kelelahan dan gangguan perut daripada para pekerja pagi/siang dan dampak dari kerja shift terhadap kebiasaan makan yang mungkin menyebabkan gangguan-gangguan perut. Pengaruhnya adalah emosional dan biological, karena gangguan ritme circadian dari tidur/daur keadaan bangun (wake cycle), pola suhu, dan ritme pengeluaran adrenalin.

Menurut Monk dan Folkard (dalam Munandar, 2010: 383) ada tiga faktor yang harus baik keadaannya agar dapat berhasil menghadapi kerja shift: tidur, kehidupan social dan keluarga, dan ritme circadian. Faktor-faktor tersebut saling berkaitan, sehingga salah satu dapat membatalkan efek positif dari keberhasilan yang telah dicapai dengan kedua faktor lain.

Beban Kerja, yaitu beban kerja berlebih dan beban kerja terlalu sedikit merupakan pembangkit stres. Beban kerja dapat dibedakan lebih lanjut ke dalam beban kerja berlebih/terlalu sedikit “kuantitatif”, yang timbul sebagai akibat dari tugas-tugas yang terlalu banyak/sedikit diberikan kepada tenaga kerja untuk diselesaikan dalam waktu tertentu, dan beban kerja berlebih/terlalu sedikit “kualitatif”, yaitu jika orang merasa tidak mampu untuk melakukan suatu tugas, atau tugas tidak menggunakan keterampilan dan atau potensi dari tenaga kerja.

Paparan terhadap risiko dan bahaya, jika risiko dan bahaya digandengkan dengan jabatan tertentu, maka merupakan sumber

(14)

dari stres. Kelompok-kelompok jabatan yang dianggap memiliki risiko tinggi dalam arti kata secara fisikal berbahaya, antara lain polusi, pekerja tambang, tentara, pegawai di lembaga pemasyarakatan, pegawai mobil kebakaran, pekerja pada eksplorasi gas dan minyak, dan pada instalasi produksi.

5. Jenis Stres Kerja

Pembagian stres kerja menurut Wijono (2011: 120), dapat dibagi menjadi 2 yaitu:

a. Eustress Kerja

Stres kerja yang dapat meningkatkan motivasi karyawan dianggap sebagai stres positif yang disebut eustress kerja (Wijono, 2011: 120). Menurut Selye, eustress mengandung suku awal yang dalam bahasa Yunani berarti “baik”. Seperti dalam kata euphoria stres diperlukan untuk menghasilkan prestasi yang tinggi (dalam Munandar, 2001: 374).

Stres yang meningkat sampai unjuk-kerja mencapai titik optimalnya merupakan stres yang baik dan menyenangkan yang disebut eustress. Makin tinggi dorongan untuk berprestasi, makin tinggi tingkat stresnya dan makin tinggi pula produktivitas dan efisiensinya. Sampai titik tertentu bekerja dengan tekanan batas waktu merupakan proses kreatif yang merangsang. Seseorang yang bekerja pada tingkat optimal menunjukkan antusiasme, semangat yang tinggi, kejelasan dalam berfikir (mental clarity), dan pertimbangan yang baik. Dekat sebelum

(15)

mencapai titik optimalnya, peristiwanya atau situasinya dialami sebagai tantangan yang merangsang (Munandar, 2010: 374-375).

b. Distress Kerja

Stressor yang dapat mengakibatkan hancurnya produktivitas kerja karyawan dianggap sebagai stres negatif yang disebut distress kerja (Wijono, 2011: 120). Melewati titik optimal stres menjadi distress, karena situasinya dialami sebagai ancaman yang mencemaskan (Munandar, 2010: 375).

Everly dan Girdano (1980) mengajukan daftar “tanda-tanda dari adanya distress”. Menurut mereka, stres akan mempunyai dampak pada suasana hati (mood), otot kerangka (musculoskeletal), dan organ-organ dalam badan (visceral) (dalam Munandar, 2010: 378-379).

1) Tanda-tanda suasana hati (mood): a) menjadi overexcited

b) cemas

c) merasa tidak pasti

d) sulit tidur pada malam hari (somnabulisme) e) menjadi mudah bingung dan lupa

f) menjadi sangat tidak-enak (uncomfortable) dan gelisah (ill at ease)

g) menjadi gugup (nervous)

2) Tanda-tanda otot kerangka (musculoskeletal): a) Jari-jari dan tangan gemetar

(16)

b) Tidak dapat duduk diam atau berdiri di tempat c) Mengembangkan tic (gerakan tidak sengaja) d) Kepala mulai sakit

e) Merasa otot menjadi tegang atau kaku f) Menggagap jika berbicara

g) Leher menjadi kaku

3) Tanda-tanda organ-organ dalam badan (visceral): a) Perut terganggu

b) Merasa jantung berdebar c) Banyak berkeringat d) Tangan berkeringat

e) Merasa kepala ringan atau akan pingsan f) Mengalami kedinginan (cold chills) g) Wajah menjadi panas

h) Mulut menjadi kering

i) Mendengar bunyi berdering dalam kuping

j) Mengalami “rasa akan tenggelam” dalam perut (sinking feeling) B. Perawat

1. Pengertian Perawat

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. HK.02.02/MENKES/148/1/2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktek Perawat, mendefinisikan perawat sebagai seseorang yang telah lulus

(17)

pendidikan perawat baik di dalam maupun di luar negeri sesuai peraturan perundang-undangan.

Perawat sebagai manusia merupakan organisme kompleks yang memiliki perasaan, rasa takut, harapan, dan kebutuhan. Sebagai manusia, perawat juga merupakan produk dari susunan genetikanya, lingkungan keluarga, jejaring teman, latar belakang budaya, dan pengalaman sebelumnya. Untuk menjadi perawat yang efektif diperlukan identifikasi karakteristik yang membuat setiap orang unik, termasuk dirinya. Sebagian besar siswa keperawatan ingin berkembang menjadi perawat profesional yang baik hati, penuh hormat, dan efektif. Mereka termotivasi untuk memahami dan bekerja dengan pasien untuk meningkatkan kenyamanan, pengertian, dan penyembuhan dengan sikap terpusat-pasien (Sheldon, 2010: 12).

Jadi dapat disimpulkan bahwa perawat adalah seseorang yang telah lulus pendidikan perawat yang memiliki rasa takut, harapan, dan kebutuhan. Perawat juga termotivasi untuk memahami dan bekerja dengan pasien dalam upaya meningkatkan kenyamanan, pengertian, dan penyembuhan dengan sikap terpusat pada pasien.

2. Peran Perawat

Teoritikus keperawatan Hildegard Peplau berpegang pada teori Sullivan, mengaplikasikannya pada praktek keperawatan. Beliaulah yang pertama mengembangkan model interpersonal pada praktek keperawatan, bergerak menjauh dari apa yang perawat lakukan terhadap pasien menjadi

(18)

apa yang perawat lakukan dengan pasien. Peplau juga menjelaskan perawat-sebagai-manusia sebagai hal yang secara bermakna mempengaruhi hasil akhir pasien dan kualitas hidup (Sheldon, 2010: 13).

Menurut Peplau (dalam Sheldon, 2010: 13-14), perawat berfungsi dalam enam peran:

a. Peran orang asing: Perawat menerima pasien sebagai orang asing, menyediakan suasana yang membangkitkan kepercayaan.

b. Peran sumber: Perawat memberikan informasi, menjawab pertanyaan, dan menginterpretasikan informasi klinis.

c. Peran pengajar: Perawat bertindak sebagai pengajar bagi pasien, memberikan instruksi, dan pelatihan.

d. Peran konseling: Perawat memberikan panduan dan dukungan untuk membantu pasien mengintegrasikan pengalaman hidupnya saat ini. e. Peran wali: Perawat bekerja atas nama pasien dan membantu pasien

memperjelas wilayah kemandirian, ketergantungan, dan saling-ketergantungan.

f. Peran kepemimpinan aktif: Perawat membantu pasien dalam mencapai tanggung jawab untuk tujuan penanganan dengan cara yang saling memuaskan.

Menurut Nike (2012: 17-18), Tugas perawat di bidang non medis bertugas mendukung aktifitas keperawatan secara intensif dalam waktu lama, dimana lingkup keperawatan yang dilakukan bersifat rutin dan terbatas diluar tindakan medis, antara lain:

(19)

a. Menjaga kebersihan pasien seperti: memandikan pasien, memasang pempers/popok, membersihkan ruangan pasien.

b. Membantu rutinitas pasien seperti: membantu memberi makan pasien baik secara normal atau menggunakan alat bantu seperti selang makan NGT/ Sonde, memakaikan baju, membantu minum obat.

c. Menjaga kesehatan pasien seperti: mengawasi pasien dari bahaya (kecelakaan), membantu pasien berjalan, menemani pasien di rimah sakit.

d. Memotivasi dan memberi perhatian seperti: memberi motivasi dan semangat untuk kesembuhan pasien, menghibur pasien untuk mengurangi rasa sakit.

3. Hubungan Kerja Perawat-Pasien

Peplau lebih jauh lagi mengembangkan teori untuk menjelaskan hubungan perawat-pasien sebagai proses dinamis yang menciptakan kesempatan untuk belajar dan bertumbuh baik pasien maupun perawat (1992). Hubungan kerja ini memiliki tiga fase, seperti yang dijelaskan oleh Peplau (dalam Sheldon, 2010: 14) berikut:

a. Fase orientasi: Perawat dan pasien bertemu satu sama lain sebagai orang asing dan mengembangkan kemitraan kerja untuk mendiskusikan masalah kesehatan pasien. Perawat juga melakukan penilaian kebutuhan pasien.

b. Fase kerja: Memiliki dua komponen yaitu identifikasi dan eksploitasi. Komponen identifikasi terjadi saat perawat dan pasien memperjelas

(20)

ide dan harapan pada hubungan ini dan perawat mengembangkan rencana asuhan keperawatan. Pada bagian eksploitasi dari fase kerja, perawat membantu pasien untuk mengidentifikasi pelayanan asuhan kesehatan dan sumber pribadi serta strategi yang diimplementasikan untuk meresolusi isu kesehatan.

c. Fase resolusi/terminasi: perawat dan pasien mengevaluasi status kesehatan saat ini, dan perawat membuat rujukan jika perlu, untuk melanjutkan asuhan di luar hubungan.

C. Shift Kerja

1. Pengertian Shift Kerja

Penyebab stres dalam bekerja adalah sistem kerja bergilir/shift kerja. Shift kerja merupakan suatu sistem yang diterapkan oleh perusahaan untuk meningkatkan produksi secara maksimal dan kontinyu dengan bekerja dalam 24 jam sehari (Marchelia, 2014: 3)

Adnan (2002) mengemukakan bahwa sistem shift kerja dapat berdampak positif dan negatif. Dampak positifnya adalah memaksimalkan sumber daya yang ada, memberikan lingkungan kerja yang sepi khususnya shift malam, dan memberikan waktu libur yang banyak. Sedangkan dampak negatifnya adalah penurunan kinerja, keselamatan kerja, dan masalah kesehatan. Tidak semua orang dapat menyesuaikan diri dengan sistem shift kerja karena membutuhkan banyak sekali penyesuaian waktu, seperti waktu tidur, waktu makan, dan waktu berkumpul dengan keluarga (dalam Marchelia, 2014: 3).

(21)

Shift kerja adalah periode waktu kerja yang dibagi secara bergilir dalam waktu 24 jam. Pekerja yang terlibat dalam sistem shift rotasi akan berubah-ubah waktu kerjanya sesuai dengan sistem kerja shift yang ditentukan (Jurnal Kesehatan Masyarakat, 2015: 3).

Jadi dapat disimpulkan bahwa shift kerja adalah suatu sistem atau periode waktu kerja yang diterapkan oleh perusahaan untuk meningkatkan produksi kerja dengan sistem yang berubah-ubah.

2. Pembagian Shift Kerja

Menurut Winarsunu (2008), sistem kerja shift yang berlaku umum biasanya terbagi atas 3 periode yang masing-masingnya selama 8 jam kerja, termasuk istirahat. Pembagiannya adalah shift pagi, sore, dan malam. Shift pagi dimulai dari jam 08.00-16.00, shift sore dari jam 16.00-24.00, dan shift malam dari jam 24.00-08.00 pagi. Pada masing-masing shift, pekerja mempunyai satu kali kesempatan untuk makan bersama-sama keluarganya dan mempunyai kesempatan untuk tidur dengan baik khususnya bagi shift pagi dan sore (dalam Marchelia, 2014: 4).

Menurut Maurits & Widodo (dalam Marchelia, 2014: 5), ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penyusunan shift kerja yaitu:

a. Pergantian shift kerja sebaiknya dengan pola rotasi maju, dengan waktu rotasi kurang dari dua minggu, dan dengan waktu libur rata-rata 2 hari/perminggu.

b. Lama shift kerja sebaiknya tidak lebih dari 8 jam, jika lebih dari 8 jam tersebut beban kerja sebaiknya dikurangi.

(22)

c. Pada pekerja dengan shift malam dianjurkan ada waktu tidur siang sebelumnya, dan bila melaksanakan pekerjaan dengan pertimbangan khusus sebaiknya dilaksanakan sebelum jam 4 pagi agar kesalahan dapat dikurangi.

d. Aspek demografis seperti jenis kelamin dan umur perlu diperhatikan dalam penyusunan shift kerja.

D. Penelitian Yang Relevan

Dalam upaya memperkuat dasar penelitian ini, diperlukan beberapa penelitian terdahulu yang relevan sesuai dengan bidang penelitian ini. Adapun penelitian sebelumnya sebagai berikut:

a. Venny Marchelia, 2014, Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang tahun 2014, meneliti tentang “Stres Kerja Ditinjau dari Shift Kerja Karyawan”. Tujuan Penelitiannya untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan stres kerja ditinjau dari shift kerja karyawan bagian produksi PT.UNISEM BATAM.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif dengan menggunakan skala. Subjek penelitian berjumlah 121 karyawan yang diambil dengan teknik purposive sampling, yaitu sebanyak 40 subjek yang bekerja pada shift pagi (34,7%), 39 subjek yang bekerja pada shift siang (32,2%), dan 40 subjek yang bekerja pada shift malam (33,1%). Karakteristik yang ditentukan oleh peneliti yaitu rentang usia 20-40 tahun, karena usia tersebut merupakan usia produktif dalam bekerja. Dimana subjek berjenis kelamin laki-laki dan perempuan yang bekerja dengan

(23)

sistem shift pagi, shift siang, dan shift malam, dan lama bekerja minimal 2 tahun, karena karyawan yang bekerja selama 2 tahun sudah beradaptasi dengan baik pada pekerjaannya.

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tingkat stres antara shift pagi, shift siang, shift malam dengan nilai signifikan 0,000 (<0,05). Stres tertinggi berada pada shift malam dengan mean= 71.25 dibandingkan shift pagi dengan nilai mean= 64.57 dan shift siang dengan mean= 60.72.

b. Pascal Lumintang, Lucky Kumaat, Mulyadi, 2015. Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi, meneliti tentang “Perbedaan Tingkat Stres Kerja Perawat Instalasi Gawat Darurat dan Unit Rawat Inap di Rumah Sakit Pancaran Kasih GMIM Manado”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan tingkat stres kerja pada perawat di Instalasi Gawat Darurat dan Unit Rawat Inap.

Populasi penelitian ini adalah seluruh perawat di instalasi gawat darurat dan rawat inap. Perawat Instalasi Gawat Darurat: 17 perawat dan perawat Unit Rawat Inap: 73 perawat, jadi total populasi adalah 90 perawat. Sampel diambil dengan menggunakan metode purposive sampling yaitu sebanyak 34 orang yang terdiri dari 17 perawat Instalasi Gawat Darurat dan 17 perawat Unit Rawat Inap. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner The Work Place Stres Scale. Kuesioner ini berisi tentang pernyataan untuk mengukur tingkat stres kerja

(24)

pada perawat Instalasi Gawat Darurat dan perawat Unit Rawat Inap RS Pancaran Kasih GMIM Manado.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tingkat stres perawat Instalasi Gawat Darurat dan perawat Unit Rawat Inap Rumah Sakit Pancaran Kasih GMIM Manado. Dimana 7 (41,2%) perawat Instalasi Gawat Darurat stres tingkat ringan dan 12 (70,6%) perawat Unit Rawat Inap tidak mengalami stres. Data dianalisis dengan uji Man Whitney (0,05) dengan nilai probabilitasnya 0,002.

c. Nadia Selvia Revalicha, Sami’an, 2013. Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Surabaya, meneliti tentang “Perbedaan Stres Kerja Ditinjau dari Shift Kerja pada Perawat di RSUD Dr. Soetomo Surabaya”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada perbedaan stres kerja ditinjau dari shift kerja pada Perawat di RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Penelitian ini termasuk penelitian kuantitatif dengan menggunakan tipe penelitian survei komparatif yaitu penelitian untuk menguji perbedaan atau keberadaan suatu variabel pada dua sampel atau lebih.

Subjek penelitian ini adalah perawat Irna Medik RSUD Dr. Soetomo Surabaya yang bekerja di shift pagi, shift sore, dan shift malam yang sudah bekerja minimal selama satu tahun. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah simple random sampling yaitu pengambilan anggota sampel dan populasi secara acak tanpa memperhatikan strata yang ada dalam populasi dengan jumlah 138 orang

(25)

perawat. Alat pengumpulan data berupa kuesioner stres kerja yang disusun oleh Theorell berdasarkan dimensi stres kerja milik Karasek.

Sesuai dengan tujuan penelitian ini, yakni untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan yang signifikan antara dua sampel atau lebih yang berhubungan, maka dalam penelitian ini dilakukan melalui uji F atau disebut dengan anova yaitu one-way anova. Jika didapatkan nilai p < 0,05 maka dinyatakan ada perbedaan (Ha diterima dan Ho ditolak) dan jika didapat nilai p > 0,05 maka dinyatakan tidak ada perbedaan (Ha ditolak dan Ho diterima). Nilai signifikansi variabel stres kerja yang didapat adalah sebesar 0,688 yang berarti lebih besar dari 0,05 . Hal ini memberikan arti bahwa tidak ada perbedaan stres kerja ditinjau dari shift kerja pada perawat di RSUD Dr. Soetomo Surabaya.

Tidak adanya perbedaan stres kerja pada penelitian ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu sistem rotasi shift kerja di Irna Medik Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya yang paling lama berotasi tiga hari sekali sehingga perawat sering berganti-ganti shift dengan jarak relatif singkat. Kemudian, juga disebabkan adanya faktor-faktor di lingkungan kerja yang tidak diperhatikan dan dipertimbangkan, yaitu kondisi pasien, resiko tertular penyakit, tanggung jawab atas kondisi dan kesehatan pasien, dan kondisi tempat ruangan perawat bekerja.

d. Mayan Sari Hasibuan, Kalsum, Halinda Sari Lubis, 2013. Program Sarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Departemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja Medan, meneliti tentang

(26)

“Perbedaan Stres Kerja Berdasarkan Shift Kerja Pada Pekerja bagian Electrical Field Service di PT. Baker Huges Indonesia Duri-Riau”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada perbedaan stres kerja berdasarkan shift kerja pada pekerja bagian electrical field service di PT. Baker Huges Indonesia Duri-Riau. Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat survei analitik dengan desain cros sectional dengan nilai signifikansi sebesar 0,02 (p<0,05). Jumlah sampel adalah keseluruhan populasi yaitu sebanyak 27 orang pekerja. Pekerja akan diukur sebanyak 2 kali, yaitu pada hari ketiga shift pagi dan pada hari ketiga shift malam. Data primer diperoleh dengan menggunakan kuesioner.

Electrical Field Service merupakan bagian pekerjaan untuk menangani masalah listrik pompa agar pompa minyak dapat hidup dan tetap bekerja selama 24 jam. Pekerjaan seorang electrician dilakukan dilapangan terbuka tempat kilang-kilang pompa minyak berada. Dalam proses kerjanya, seorang electrician harus menunggu panggilan untuk bekerja. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan stres kerja pada masing-masing shift dimana pada shift pagi ditemukan 9 orang (33.33%) yang mengalami tingkat stres kerja tinggi, sedangkan pada shift malam ditemukan 13 orang (48,15%) yang mengalami stres kerja tinggi. e. Jurnal Kesehatan Masyarakat, Volume 2, Nomor 2, Februari 2014 oleh

Findi Purbonani, Daru Lestantyo, dan Ida Wahyuni Mahasiswa bagian Peminatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Fakultas Kesehatan

(27)

Masyarakat Universitas Diponegoro dan Staf Pengajarnya tentang perbedaan stres kerja antara pekerja shift I dan shift III bagian produksi di PT. Nusantara Building Industries. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis perbedaan stres kerja antara pekerja shift I dan shift III bagian produksi di PT. Nusantara Building Industries. Penelitian ini merupakan penelitian survei analitik dengan pendekatan cross sectional. Populasi penelitian ini adalah operator mesin di bagian produksi yang bekerja di shift I dan shift III yang berjumlah 196 pekerja. Sampel di hitung dengan rumus sampel minimal dan dengan metode proporsional random sampling didapatkan 32 pekerja pada masing-masing shift I dan shift III. Dimana hasil penelitian menunjukkan bahwa 56,3% pekerja shift I mengalami stres kerja sedang dan 53,1% pekerja shift III mengalami stres kerja ringan. Hasil uji statistik menunjukkan tidak ada perbedaan stres kerja antara pekerja shift I dan shift III bagian produksi di PT. Nusantara Building Industries.

E. Analisis Kritis Perbedaan Stres Kerja

Stres kerja adalah suatu reaksi individu berupa reaksi fisiologis, psikologis, dan perilaku yang disebabkan oleh sumber-sumber stres kerja (stressor). Stressor kerja merupakan segala kondisi pekerjaan yang dipersepsikan sebagai suatu tuntutan kerja. Shift kerja merupakan sebuah pola waktu kerja yang diterapkan perusahaan bagi pekerja, yang dianggap sebagai suatu tuntutan tugas dalam pekerjaan. Shift kerja ternyata memiliki dampak yang cukup besar terhadap kesehatan pekerja. Disinilah akan tampak

(28)

perbedaan tersebut yaitu pekerja yang bekerja sesuai pola waktu alami berbeda stres kerjanya dengan pekerja yang bekerja pada waktu siang dan malam. Dimana pagi hari adalah waktu yang baik digunakan untuk beraktivitas, sedangkan pekerja yang masuk siang dan malam hari akan Nampak perbedaannya karena malam adalah waktu yang biasa digunakan untuk beristirahat. Tingkat konsentrasi akan menurun pada malam hari terutama tengah malam dan menjelang subuh. Dengan bekerja di malam hari tubuh dipaksa untuk tetap produktif, sehingga dapat mengakibatkan kelelahan fisik dan mental yang selanjutnya menjadi rentan mengalami stres (dalam Findi Purbonani, 2014).

Munandar (2010: 383), menyatakan bahwa para pekerja shift mengalami stress kerja yang berbeda. Dimana pekerja yang bekerja shift malam lebih sering mengeluh tentang kelelahan dan gangguan perut daripada pekerja shift pagi/siang. Dampak dari pekerja shift malam terhadap kebiasaan makan adalah menyebabkan gangguan-gangguan perut. Pengaruhnya adalah emosional dan biological, karena gangguan dari tidur atau daur keadaan bangun, pola suhu, dan ritme pengeluaran adrenalin. Dan hal ini terlihat bahwa ada perbedaan stres kerja antara pekerja yang bekerja berdasarkan shift kerja.

Adapun penelitian yang akan dilakukan adalah mengenai gejala-gejala stres kerja perawat yang bekerja berdasarkan shift kerja di Rumah Sakit TK. III Dr. Reksodiwiryo Padang. Berdasarkan beberapa uraian di atas dapat diketahui bahwa stres kerja dapat dilihat dari gejala-gejala yang timbul akibat

(29)

sumber stres. Hal ini juga dapat dilihat dari wawancara awal yang dilakukan pada perawat yang bekerja berdasarkan shift kerja di Rumah Sakit TK. III Dr. Reksodiwiryo Padang. Bahwasanya perawat yang bekerja pada shift pagi, perawat yang bekerja pada shift sore, dan perawat yang bekerja pada shift malam cenderung memperlihatkan gejala-gejala stres yang berbeda-beda. Untuk lebih jelasnya, maka akan dilakukan penelitian mengenai hal tersebut . F. Kerangka Konseptual

Berdasarkan hasil studi pendahuluan sebagaimana yang diuraikan pada latar belakang masalah dan rumusan masalah tesebut, serta memperhatikan teori dan konsep yang mendukung, maka dapat diungkapkan kerangka konseptual penelitian sebagai berikut:

Bagan 2.1 Kerangka Konseptual

Secara teori stres kerja akan tampak dari gejala-gejala yang timbul akibat stres yaitu gejala psikologis, yang ditandai dengan adanya kecemasan, ketegangan, bingung, mudah tersinggung, kelelahan mental, depresi,

Stres Kerja

Beberapa gejala stres kerja, sebagai berikut : 1. Gejala psikologis

2. Gejala fisiologis 3. Gejala perilaku

Perawat yang Bekerja Pada Shift

Malam Perawat yang

Bekerja Pada Shift Sore Perawat yang

Bekerja Pada Shift Pagi

(30)

komunikasi yang tidak efektif, dan kebosanan. Gejala fisiologis yang ditandai dengan adanya gejala seperti merasa letih/lelah, kehabisan tenaga, pusing, gangguan pencernaan, gangguan pernapasan, tekanan darah tinggi, gangguan tidur, kelelahan secara fisik, gangguan kulit, dan meningkatnya denyut jantung. Kemudian, gejala perilaku seperti absensi, menurunnya prestasi dan produktivitas, menurunnya hubungan interpersonal dengan keluarga dan teman, serta gelisah, (perawat yang bekerja shift pagi, shift sore, dan shift malam).

G. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah dalam penelitian ini, maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian ini yaitu

Ho : Tidak ada perbedaan gejala stres kerja perawat yang bekerja berdasarkan shift kerja di Rumah Sakit TK. III Dr. Reksodiwiryo Padang.

Ha : adanya perbedaan gejala stres kerja perawat yang bekerja berdasarkan shift kerja di Rumah Sakit TK. III Dr. Reksodiwiryo Padang.

Referensi

Dokumen terkait

2 Paradigma, Majalah Ilmiah Sains dan Matematika 1410-4385 FMIPA Universitas Haluoleo Kendari Tidak Terakreditasi PERTANIAN 1 Jurnal Penelitian Pertanian Terapan 1410-5020

Contoh: hanya ada satu bayi tiap tahunnya/lebih- jika kondisi lingkungan mendukung proses kelahiran, jika tidak-induk Sirenia akan menunda kelahiran bayinya hingga musim mendatang

CATATAN: Jika produk tidak dapat mengirim faks pada waktu yang telah dijadwalkan, informasi itu akan ditandai pada laporan kesalahan faks (jika opsi itu diaktifkan) atau direkam

Dari kondisi yang dipaparkan tersebut, dilakukan penelitian terhadap saluran tataniaga hasil produksi ternak ayam ras pedaging, share margin keuntungan terhadap beberapa

Adanya variasi tangkapan larva ikan dapat pula disebabkan oleh adanya masa pemijahan genus tersebut yang terjadi di daerah perairan yang lebih dalam di dekat Pulau Abang dimana

Total estimasi waktu tempuh hasil pengolahan network analyst dari kesembilan rute tersebut adalah 13,07 menit dengan total jarak sepanjang 8,254 km, sedangkan waktu

Hasil uji morfologi didapatkan ukuran diameter antara 3,062 mm – 3,572 mm dimana ukuran ini sesuai dengan diameter pembuluh darah sintetik yang dapat digunakan pada pembuluh

Berdasarkan observasi, objek kajian belum memiliki sertifikasi dari Lembaga Ekolabel Indonesia, sehingga hasil yang dicapai dari kriteria kayu bersertifikat adalah