• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keanekaragaman kelelawar (Mammalia: Chiroptera) Stasiun Penelitian Pungut dan kontribusinya terhadap keberadaan kelelawar Siberut

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Keanekaragaman kelelawar (Mammalia: Chiroptera) Stasiun Penelitian Pungut dan kontribusinya terhadap keberadaan kelelawar Siberut"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati :::

Keanekaragaman kelelawar (Mammalia: Chiroptera) Stasiun Penelitian Pungut

dan kontribusinya terhadap keberadaan kelelawar Siberut

Sabhrin Gita Aninta1Djoko T. Iskandar2

1,2

Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung

Jalan Ganesa No. 10 Bandung 40132 Indonesiae-mail: sabhrina@students.itb.ac.id

Abstrak. Dari 31 malam penangkapan di hutan kawasan Stasiun Penelitian Pungut, Pulau Siberut, diperoleh 11 spesies kelelawar. Jumlah spesies tersebut merupakan jumlah kekayaan spesies minimum berdasarkan estimator Chao 2, dengan estimator Jackknife 2 mengestimasi sebanyak 12 spesies. Kemerataan kawanan kelelawar di Pungut cukup rendah (E1/D = 0,47) dan menunjukkan adanya spesies yang

relatif lebih melimpah. Spesies tersebut adalah Kerivoula papillosa yang memiliki proporsi 37% dari hasil tangkapan. Tujuh spesies memiliki kelimpahan di bawah rata-rata individu per spesies dengan empat spesies memiliki proporsi kurang dari 5%. Frekuensi perjumpaan setiap spesies secara umum rendah. Berdasarkan pada koleksi Museum Zoologicum Bogoriense dan ditambah dengan hasil penelitian ini, didapatkan sepuluh spesies dan tiga genus yang merupakan catatan baru bagi Siberut. Jumlah spesies kelelawar Siberut kemudian meliputi lebih 28% spesies kelelawar Pulau Sumatera (23 dari 82 spesies), meskipun luas daratannya hanya 1,01% dari Pulau Sumatera (4.480/443.085,65 km2). Jumlah

catatan baru spesies kelelawar yang berkisar pada 85% catatan lama daftar spesies menurut kepustakaan mengindikasikan bahwa habitat Pulau Siberut belum banyak diteliti. Catatan baru menunjukkan bahwa hubungan biogeografi Pulau Siberut dengan Pulau Sumatra jauh lebih erat dari yang diperkirakan sebelumnya. Konsekuensi hubungan biogeografi antara Mentawai dengan pulau–pulau besar lainnya di Paparan Sunda didiskusikan.

Kata kunci: Ekologi, biogeografi, kekayaan spesies, kelelawar, Mentawai

Pendahuluan

Isolasi Siberut selama kira-kira lebih dari setengah juta tahundari paparan Sunda [1] memberikan beberapa konsekuensi bagi ekologi pulau tersebut. Siberut memiliki fauna dengan endemisitas pada tingkat spesies sebanyak 8,4% dan potensi flora endemik sebanyak 15% [2]. Selain itu, fauna pulau tersebut dianggap sebagai relik dari fauna Indo-Malaya awal yang dapat memberi arti penting bagi evolusi fauna modern kawasan Asia Tenggara [2]. Meskipun demikian, informasi tentang fauna Siberut tergolong minim sehingga survei tambahan diperkirakan dapat meningkatkan kekayaan spesies. Inventaris spesies burung Siberut di berbagai tipe

habitat selama 2,5 tahun menunjukkan adanya tambahan catatan baru sekitar 20% [3]. Terlepas dari potensi kekayaan alam Siberut, hutan pulau tersebut terus berkurang. Dari luas hutan mencakup 65% luas pulau pada 1978 [2], jumlah ini berkurang menjadi 40% luas pulau pada 2005 [4].

Dalam membantu upaya konservasi Siberut, Siberut Conservation Programme (SCP) mendirikan sebuah stasiun penelitian di kawasan Pungut, Hutan Peleonan, Siberut Utara. Kawasan ini telah menarik perhatian peneliti sejak didirikan tahun 2002 karena keberadaan empat spesies primata endemik (Presbytis potenziani, Hylobates klossii, Simias concolor, dan Macaca siberu) dalam kepadatan yang relatif tinggi dibanding area lain di pulau tersebut [4]. Karena itu, kawasan ini dapat dikatakan memiliki nilai konservasi tinggi sehingga membutuhkan informasi lebih banyak untuk efektivitas pengelolaannya. Inventaris tambahan dapat memberikan informasi mengenai kondisi habitat dan distribusi spesies yang ditemukan dan lebih lanjut mengenai biogeografi Siberut secara keseluruhan. Kelompok taksa yang dapat memberikan kedua informasi tersebut adalah kelelawar (Chiroptera). Kelelawar memiliki kekayaan tingkat trofik yang tinggi akibat kemampuannya terbang sehingga memberikan jasa ekosistem yang beragam antara lain sebagai penyerbuk, pengontrol populasi serangga, dan pemencar biji [5]. Keberadaan kelelawar yang cenderung melimpah dalam suatu habitat dapat mempengaruhi struktur habitat tersebut. Selain itu, proporsi tertinggi keanekaragaman kelelawar ada dalam ekosistem tropis [6]. Kekayaan spesies yang tinggi ini ditambah kelimpahan yang cenderung tinggi, minimnya tumpang tindih relung sebagai satu-satunya mamalia terbang, kisaran geografis yang luas, dan taksonomi yang relatif stabil, menjadikan kelelawar sesuai untuk studi biogeografi [7].

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi keanekaragaman spesies kelelawar di sekitar Stasiun Penelitian Pungut (selanjutnya disebut Pungut) milik SCP dan kontribusinya terhadap keberadaan kelelawar Siberut. Estimasi kekayaan spesies kelelawar kawasan Pungut serta penentuan kemerataan dan kelimpahan relatif kawanan kelelawar di Pungut dilakukan. Hasil inventaris Pungut kemudian dibandingkan dengan literatur [2, 8, 9] untuk menentukan kontribusinya terhadap daftar spesies kelelawar Siberut

(2)

bersama dengan catatan baru dari koleksi yang tidak dipublikasikan. Daftar spesies kelelawar tersebut kemudian dikompilasi dan dibandingkan dengan anggota Paparan Sunda lain.

Materi dan Metode

Deskripsi Area Penelitian

Penelitian dilakukan di kawasan stasiun penelitian Siberut Conservation Programme (SCP), tepatnya di Stasiun Pungut.

Stasiun ini berada di wilayah Hutan Peleonan (1°01’34”S, 98°50’16”E), Desa Sigapokna, Kecamatan Siberut Utara,

Kabupaten Kepulauan Mentawai, Provinsi Sumatera Barat. Sebagian besar dari kawasan tersebut merupakan dataran rendah berbukit, dengan ketinggian 2182 mdpl. Kawasan tersebut dialiri oleh satu sungai besar (Sungai Pungut) dan beberapa sungai kecil. Di Pulau Siberut, tidak ada satu bulan pun dengan hari hujan kurang dari 50% jumlah hari dengan curah hujan tertinggi pada bulan April (290 mm) dan Oktober (390 mm).

Pengambilan data dilakukan dalam rentang tiga bulan, yaitu mulai dari awal September sampai akhir Oktober 2013 dengan total waktu pengambilan data 31 hari tidak berturutturut. Pencuplikan dilakukan dalam transek yang sudah ada dengan pemilihan transek diupayakan mewakili mikrohabitat yang berbeda untuk memperoleh sebanyak mungkin spesies. Tiga transek yang merepresentasikan mikrohabitat sungai mulai dari hutan terganggu di sisi Utara stasiun sampai mendekati hutan primer di sisi Selatan stasiun. Dua transek berada di barat dan timur merepresentasikan mikrohabitat berbukit. Kelima transek berpusat pada Stasiun Penelitian Pungut dengan kisaran koordinat 1°01'00.32" S; 98°50'42.49" T dan panjang rata-rata 750 m.

Pencuplikan Kawanan Kelelawar

Perangkap yang digunakan dipasang di habitat yang memberikan kemungkinan kehadiran spesies kelelawar tinggi.Setiap satu jaring kabut atau satu jaring harpa dihitung sebagai satu unit usaha. Usaha di tiap transek tidak sama dengan total 58 usaha untuk jaring harpa dan 58 usaha untuk jaring kabut. Untuk setiap transek, koleksi dihentikan ketika spesies tidak bertambah setelah penambahan jarak sebanyak 500 m. Selain dalam transek, jaring kabut juga dipasang mengelilingi bangunan stasiun. Satu jaring kabut memiliki luas 6 m x 2 m sementara satu jaring harpa memiliki lebar 1 m x 1,5 m.

Selama kurun waktu 31 malam, dua sampai tiga jaring harpa dan tiga jaring kabut dipasang per malam. Jarak antarjaring harpa kurang lebih 50-100 m sementara jarak antarjaring kabut

100-200 m. Jaring kabut dipasang dalam ketinggian 1-1,5 m dari permukaan tanah terendah sementara jaring harpa dipasang di permukaan tanah. Setiap malam, jaring kabut dipasang selama lima jam (17.00–22.00) dengan pengecekan jaring setiap 30 menit sementara jaring harpa dipasang selama satu malam penangkapan, yaitu satu jam sebelum matahari terbenam sampai satu jam setelah matahari terbit (17.00–

07.00). Pengecekan terhadap perangkap harpa dilakukan pada sekitar pukul 20.00 dan 07.00. Koleksi dihentikan jika jumlah catatan baru yang ditemukan tidak bertambah setelah seminggu. Untuk mendeskripsikan kondisi populasi selama pencuplikan data kualitatif morfologi berupa jenis kelamin, kategori umur, dan kondisi reproduksi (khusus betina) diambil. Morfometri sederhana yaitu panjang lengan bawah, panjang betis, dan panjang telinga serta massa tubuh hingga ketelitian 0,1 g diambil untuk keperluan identifikasi.

Identifikasi dilakukan di lapangan dan Laboratorium Biosistematika SITH ITB. Identifikasi dilakukan menggunakan data morfometri, karakter morfologi khusus, observasi tengkorak dan foto yang telah diambil ketika spesimen masih hidup dengan berdasarkan kepada kunci identifikasi dan deskripsi dari beberapa literatur [8, 10, 11] dengan kamera digital untuk tiga sudut pengambilan: depan, samping, dan tiga perempat depan dan fitur morfologi khas. Validasi hasil identifikasi dilakukan di Laboratorium Mamalia Museum Zoologicum Bogoriense LIPI (MZB). Tinjauan mengenai koleksi spesies kelelawar Siberut dilakukan dengan data yang tidak dipublikasikan dari MZB.

Analisis Data

Deskripsi struktur kawanan kelelawar Pungut dilakukan terhadap aspek kemerataan dan kekayaan spesies. Kekayaan spesies diestimasi melalui ekstrapolasi kurva akumulasi spesies yang telah dirarefaksi menggunakan perangkat lunak EstimateS 9.1.0. [12] dengan pilihan estimator Chao 2 dan Jackknife 2. Kemerataan diukur dengan indeks kemerataan Simpson (E1/D). Spesies langka didefinisikan sebagai spesies

dengan kelimpahan relatif ≤ 5% (R5%). Data frekuensi

kehadiran spesies kelelawar berdasarkan lokasi penangkapan, kategori umur, reproduksi, dan jenis kelamin dianalisis dengan uji kehomogenan chi–square (X2) untuk melihat keterkaitan

dua kategori pengelompokan.

Hasil dan Pembahasan

Total hasil tangkapan selama 31 malam adalah 128 individu dan 11 spesies. Dari 128 individu, 14 individu ditangkap di luar metode standar: tiga individu ditangkap dengan jaring kabut yang disusun vertikal sebanyak tiga tingkat dan 11 lainnya ditangkap dari jaring kabut yang dipasang menutupi bagian tertentu dari dua bangunan Pungut yang menjadi

(3)

Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati :::

sarang. Penghitungan E1/D memberikan nilai 0,47. Empat

spesies didapati memiliki persentase kelimpahan kurang dari 5% yaitu Megaderma spasma, Kerivoula pellucida, Murina suilla, dan Philetor brachypterus. Rekapitulasi jumlah individu per spesies dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Kelimpahan individu spesies kelelawar Pungut. Berdasarkan grafik proporsi kelimpahan, spesies Kerivoula papillosa mendominasi struktur kawanan kelelawar. Namun, indeks kemerataan Simpson (0,47) mendekati nilai kemerataan sebesar 50% sehingga K. papillosa belum dapat dikategorikan sebagai spesies dominan. Sebagian besar lokasi penangkapan memiliki vegetasi lantai hutan yang padat diperkirakan menjadi penyebab hal ini karena spesies Kerivoulinae memiliki keunggulan dalam menangkap serangga di area dengan vegetasi yang rimbun menggunakan ekolokasi jarak pendek [13]. Selain itu, K. papillosa diketahui membutuhkan hutan dengan kanopi berkelanjutan [14, 15]. Kelangkaan spesies dapat disebabkan oleh metode pencuplikan [16] meskipun spesies langka dapat memiliki spesifikasi habitat dan perilaku yang berbeda.

Hasil estimasi kekayaan spesies kelelawar Pungut memberikan jumlah 11 spesies untuk estimator Chao 2 dan 12 untuk Jackknife 2 (Gambar 2) [12]. Dua estimator ini direkomendasikan untuk ukurancuplikan kecil [16] dengan Chao 2 mengestimasi kekayaan spesies minimum dan Jackknife 2 sebagai korektor untuk bias ukuran cuplikan [17]. Estimasi–estimasi tersebut dapat dikatakan lebih rendah dari jumlah spesies yang sebenarnya di lokasi pencuplikan karena beberapa asumsi dalam pembuatan kurva rarefaksi tidak terpenuhi demi mendapatkan jumlah spesies yang tinggi, yaitu metode yang sistematik [18] dan independensi antar–sampel [17]. Sebagai pembanding, 11 spesies kelelawar merupakan jumlah spesies kelelawar yang dapat ditemukan dalam fragmen hutan dataran rendah Dipterocarpaceae dalam luasan 31–122 ha [14]. Karena itu, Hutan Peleonan yang memiliki luas sekitar

4.000 ha diperkirakan memiliki lebih banyak spesies jika disurvei dengan lebih intensif.

Gambar 2. Kurva rarefaksi (■), estimator Chao 2 (▲), estimator Jackknife 2 (x), dan kurva akumulasi spesies (♦). Secara keseluruhan, frekuensi perjumpaan setiap spesies kurang dari satu. Untuk K. papillosa, rasio individu/usaha adalah 0,81. Frekuensi perjumpaan antarspesies tidak jauh berbeda (X2, P>0,05) sehingga dapat dikatakan bahwa ukuran

populasi kelelawar Pungut cukup rendah. Meskipun demikian, subordo Microchiroptera merupakan subordo dengan kekayaan maupun kelimpahan spesies yang lebih tinggi daripada Megachiroptera. Hal ini dapat disebabkan kelelawar pemakan serangga memiliki persentase yang cukup tinggi dalam keragaman kelelawar Paleotropis [19]. Anggota Microchiroptera bergantung kepada perkembangbiakan serangga mangsa yang tinggi di kondisi hutan yang baik. Hutan yang terfragmentasi lebih banyak menghilangkan spesies insektivora daripada frugivora [19]. Kekayaan dan kelimpahan spesies dalam subordo Megachiroptera yang relatif lebih rendah dalam studi ini dapat dikarenakan kondisi dalam hutan yang dicuplik telah lewat musim buah (informasi penduduk setempat). Kekayaan maupun kelimpahan spesies kelelawar pemakan buah bergantung kepada kelimpahan maupun kekayaan spesies tumbuhan berbuah [20]. Selain itu, kemudahan deteksi spesies kelelawar pemakan tumbuhan lebih bergantung kepada habitat dibanding spesies pemakan hewan [21].

Dari aspek kategori umur, jenis kelamin, dan status reproduksi betina, dapat dikatakan bahwa spesies-spesies kelelawar yang dicuplik sedang tidak berreproduksi. Rata-rata jumlah individu antarjenis kelamin tidak berbeda untuk setiap kategori usia (X2,

P>0,05) dengan kategori bayi dan remaja lebih sedikit dibandingkan kategori dewasa. Karena itu, dapat dikatakan bahwa baik individu betina maupun jantan yang berusia muda sangat sedikit. Hal ini didukung oleh tingginya persentase kelelawar betina dengan status non–reproduktif dalam cuplikan (52%).

Inventaris kelelawar Pungut memberikan catatan dan koleksi

0 10 20 30 40 50 Kerivoula papillosa Cynopterus brachyotis Cynopterus sphinx Emballonura monticola Macroglossus sobrinus Myotis muricola Kerivoula hardwicki Megaderma spasma Kerivoula pellucida Murina suilla Philetor brachypterus Jumlah Individu N am a sp e si e s 0 2 4 6 8 10 12 14 16 1 3 5 7 9 1 1 1 3 1 5 1 7 1 9 2 1 2 3 2 5 Juml ah spesi e s Malam

(4)

ke-MZB yang tidak dipublikasikan untuk Pulau Siberut memberikan tambahan sepuluh spesies terhadap daftar dalam kepustakaan [2, 8, 9]. Spesies-spesies tersebut dapat dilihat dalam Tabel 1. Kompilasi daftar spesies ini memberikan total 23 spesies kelelawar untuk Pulau Siberut dalam 13 genus dan lima famili. Dari 23 spesies ini, hanya dua yang memiliki status nyaris terancam (Near Threatened, atau NT) sementara dua spesies tidak ada datanya (Data Deficient, atau DD), dua tidak diketahui karena spesies tidak diketahui (Rhinolophus dan

Rousettus) dan sisanya berisiko rendah (Least Concern, atau LC) [22].

Tabel 1. Daftar spesies kelelawar Pulau Siberut. Tanda pagar (#) menunjukkan koleksi spesies kelelawar Pulau Siberut di MZB tahun 2006 yang tidak dipublikasikan, tanda asterisk (*)

menunjukkan hasil inventarisasi kelelawar Pungut

Famili Nama Spesies Status

IUCN

Pteropodidae Pteropus vampyrus NT

Pteropus hypomelanus LC Macroglossus sobrinus LC Macroglossus minimus# LC Eonycteris spelaea# LC Cynopterus sphinx LC Cynopterus brachyotis#* LC Rousettus sp.#

Emballonuridae Emballonura monticola LC

Megadermatidae Megaderma spasma LC

Hipposideridae Hipposideros galeritus LC

Hipposideros dyacorum# LC

Rhinolophidae Rhinolophus affinis LC

Rhinolophus sp.#

Vespertilionidae Myotis muricola LC

Myotis ater LC Kerivoula hardwickii LC Kerivoula papillosa#* LC Kerivoula pellucida* NT Murina suilla* LC Philetor brachypterus* LC Salah satu spesies catatan baru berstatus nyaris terancam,

Kerivoula pellucid dianggap secara umum bergantung kepada hutan primer yang rentan penebangan, pekebunan dan alih fungsi lahan sehingga statusnya terancam [23]. Namun, penemuan spesies tersebut di lokasi pencuplikan bagian utara yang dekat dengan aktivitas perkebunan oleh penduduk setempat [24] membuat spesies ini diprediksikan mampu bertahan di habitat yang lebih terganggu daripada perkiraan semula. Selain itu, hutan ini sering mengalami badai tropis yang mampu mengubah struktur vegetasi secara berkala. Penelitian mengenai preferensi habitat K. pellucida perlu dilakukan dengan lebih intensif untuk memperjelas status

konservasinya.

Perhatian yang serupa diperlukan bagi tiga genus tambahan untuk Siberut: Rousettus, Murina, dan Philetor. Ketiga genus tersebut merupakan anggota dua famili paling melimpah di Siberut: Vespertilionidae dan Pteropodidae. Genus Rousettus

merupakan anggota famili Pteropodidae sedangkan Murina

dan Philetor merupakan anggota famili Vespertilionidae. Kehadiran tiga genus tersebut di Pulau Siberut memberikan tambahan informasi mengenai persebaran genus–genus tersebut di Indonesia bagian Barat. Hal tersebut menunjukkan bahwa kemampuan dispersal ketiga genus tersebut lebih besar daripada yang diperkirakan sebelumnya.

Kekayaan spesies kelelawar Pulau Siberut yang tinggi menunjukkan bahwa habitat di Siberut beragam dan khas.Jumlah catatan baru spesies kelelawar yang berkisar pada 85% dari catatan lama daftar spesies Pulau Siberut menunjukkan bahwa Pulau Siberut memiliki banyak habitat yang masih belum dieksplorasi dengan baik. Spesies tertentu tidak ditemukan pada inventarisasi sebelumnya karena kondisi tertentu suatu habitat yang memfasilitasi spesies tertentu saja. Survei dalam laporan WWF lebih banyak dilakukan di Siberut bagian barat, selatan, dan tengah yang memiliki tipe ekosistem berbeda dengan Pungut [2, 25]. Beberapa spesies terbang di atas kanopi antara lain Pteropus (pengamatan langsung) dan

Eonycteris [26] sementara perangkap dipasang di bawah kanopi. Spesies yang merupakan anggota Hipposideridae dan Rhinolophidae lebih memilih gua sebagai tempat bersarang [11] sementara Hutan Peleonan tidak memiliki gua.

Berdasarkan daftar spesies mamalia Indonesia [27], hampir semua spesies yang ditemukan di Mentawai ditemukan pula di Sumatera dan anggota Paparan Sunda lainnya. Hanya satu spesies di Mentawai yang tidak hadir di Sumatera maupun anggota Paparan Sunda lainnya yaitu Hipposideros breviceps. Spesies ini dicatat sebagai endemik Mentawai. Selain spesies endemic tersebut, Myotis ater adalah spesies kelelawar lain yang tidak hadir di Sumatera. Tiga spesies Mentawai tidak ditemukan di Kalimantan (Cynopterus sphinx, Hipposideros breviceps, Macroglossus sobrinus, dan Myotis ater) sedangkan tiga spesies tidak ditemukan di Semenanjung Malaysia (Eonycteris major, Hipposideros breviceps, Hipposideros dyacorum dan

Rhinolophus affinis). Empat spesies tidak ditemukan di Jawa, yaitu Eonycteris major, Hipposideros breviceps, Hipposideros dyacorum dan Myotis ater.

Kehadiran hampir semua spesies kelelawar Siberut di Sumatera menunjukkan hubungan darat yang erat antara kedua pulau ini meskipun keduanya terpisah sejak pertangahan zaman Pleistosen. Siberut memiliki karakter vegetasi yang mirip dengan Sumatera [28] sehingga komunitas yang serupa dengan Sumatera diperkirakan dapat terbentuk di pulau tersebut. Hal

(5)

Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati :::

ini ditunjukkan oleh catatan tiga genus baru yang ditemukan pula di Sumatera. Meskipun demikian, Siberut tidak memiliki karakteristik habitat yang homogen dengan anggota Dangkalan Sunda lain, sehingga diperkirakan tetap memiliki ciri khas [29]. Mengingat luas Pulau Siberut (4.080 km2 [2]) hanya mencakup

satu persen luas Pulau Sumatera (443.085,65 km2 [30]), 21

spesies kelelawar merupakan jumlah yang cukup tinggi. Jumlah ini mencakup sekitar 25% spesies kelelawar yang ada di Pulau Sumatera. Jika perbandingan antara kedua pulau dilakukan menggunakan hubungan spesies versus area yang telah dibuat untuk spesies burung di kepulauan sekitar paparan Sunda [2], sebanyak paling sedikit 20 spesies diperkirakan untuk Siberut. Padahal, daftar spesies yang ada belum mengeksplorasi secara intensif kelima tipe ekosistem yang ada di Pulau Siberut. Dengan hubungan daratan yang tinggi antara Pulau Siberut dengan Pulau Sumatera, tambahan spesies dapat menurunkan tingkat endemisitas pulau tersebut. Jika dibandingkan dengan daftar spesies mamalia Siberut yang memuat informasi endemisitas [2], catatan spesies baru kelelawar menjadi sebanyak 14 spesies dengan satu spesies endemik menghasilkan total spesies mamalia sebanyak 41 spesies dengan 11 spesies endemik. Jumlah ini menjadikan endemisitas mamalia Siberut pada tingkat spesies sebesar 26% atau menurun sebanyak 6% dari semula (32%).

Kemampuan terbang kelelawar mampu mengatasi isolasi reproduktif yang dapat menyebabkan spesiasi. Hal ini menyebabkan jumlah spesies endemik pada kelelawar tidak sebanyak pada kelompok mamalia non–kelelawar lain. Spesies-spesies ini antara lain adalah empat Spesies-spesies primata endemik dan lima spesies tupai endemik yang dianggap sebagai sisa fauna Indo–Malaya sebelum Siberut memisah [2]. Di sisi lain, keanekaragaman kelelawar yang tinggi di Pulau Siberut dapat mendukung tingkat endemisitas yang tinggi melalui pengayaan habitat akibat tingginya jasa ekosistem yang diberikan kelelawar. Kemungkinan ini memerlukan penelitian lebih lanjut.

Kesimpulan

Kekayaan spesies kelelawar minimum kawasan Pungut adalah 11 spesies dengan probabilitas penambahan spesies melalui metode dan periode pencuplikan yang berbeda serta tambahan jenis habitat inventaris. Kondisi hutan di kawasan Pungut memfasilitasi spesies Kerivoula papillosa untuk memperoleh kelimpahan relatif tertinggi (37%) dengan relungnya sebagai spesies pemakan serangga yang aktif mencari makan di area bervegetasi rimbun. Hal ini menyebabkan kemerataan spesies kelelawar di Pungut rendah (E1/D = 0,47). Kemerataan

diprediksikan lebih tinggi dengan pencuplikan di mikrohabitat yang lebih beragam. Kerivoula papillosa cukup kompetitif di

hutan dengan kanopi berkesinambungan sehingga kehadiran spesies ini dalam jumlah relatif tinggi menunjukkan hutan di kawasan Pungut memiliki tingkat gangguan yang rendah. Berdasarkan daftar spesies dari LIPI, WWF, dan penelitian tentang Kepulauan Mentawai, daftar spesies kelelawar Pungut memberikan catatan baru sebanyak tiga spesies yaitu Kerivoula pellucida, Murina suilla, dan Philetor brachypterus sementara catatan baru dari koleksi yang tidak dipublikasikan milik MZB memberikan tambahan spesies sebanyak tujuh spesies yaitu

Cynopterus brachyotis, Eonycteris spelaea, Rousettus sp.,

Macroglossus minimus, Kerivoula papillosa, Rhinolophus sp., dan

Hipposideros dyacorum. Total sepuluh catatan baru ini menjadikan total spesies kelelawar Siberut sebanyak 23 spesies atau 28% jumlah spesies kelelawar Sumatera sehingga menunjukkan bahwa habitat di Pulau Siberut belum banyak diteliti. Berdasarkan catatan baru, Pulau Siberut memiliki biogeografi yang lebih dekat dengan Pulau Sumatera daripada anggota Paparan Sunda yang lain. Catatan baru tersebut juga menguatkan biogeografi spesies–spesies tersebut di Indonesia bagian barat dan dapat menjadi tambahan bahan kajian biogeografi yang memanfaatkan spesies kelelawar.

Ucapan Terima Kasih

Terima kasih Penulis haturkan kepada bapak S. Noerfahmy, M. Sc. selaku supervisor lapangan, pihak SCP selaku penyedia dana dan akomodasi penelitian di lokasi Stasiun Penelitian Pungut, pihak WCS atas pinjaman perangkap harpa, serta Risel Salamanang dan Piator Salamanang atas bantuan selama pengambilan data di lapangan. Terima kasih juga Penulis ucapkan kepada Maharadatunkamsi M. Sc., Sigit Wiantoro M. Sc., Kurnianingsih, dan Nanang Supriatna atas bantuan literatur dan bimbingan teknis di Laboratorium Mamalia MZB LIPI.

Daftar Pustaka

[1] Voris, H. K., Maps of Pleistocene sea levels in Southeast Asia: shorelines, river systems and time durations,Journal of Biogeography,vol. 27, pp. 1153–1167, 2000.

[2] WWF, "Saving Siberut: A Conservation Master Plan," World Wildlife Fund, Bogor, 1980.

[3] Kemp, N., The birds of Siberut, Mentawai Islands, West Sumatra,Kukila, vol. 11, pp. 73–96, 2000.

[4] Whittaker, D. J., A Conservation Action Plan for the Mentawai Primates, Primate Conservation, vol. 20, pp. 95–

105, 2006.

[5] Kunz, T. H., de Torrez, E. B., Bauer, D., Lobova, T. & Fleming, T. H. Ecosystem services provided by bats, Annals of the New York Academy of Sciences, vol. 1223, pp. 1-38, 2011.

(6)

[6] Willig, M. R., Patterson, B. D. & Stevens, R. D. "Patterns of Range Size, Richness, and Body Size in the Chiroptera," dalam Bat Ecology, T. H. Kunz and M. B. Fenton, Eds., Chicago, University of Chicago Press, 2003, pp. 580–621. [7] Procheş, Ş., The world’s biogeographical regions: cluster analyses based on bat distributions, Journal of Biogeography,

vol. 32, pp. 607–614, 2005.

[8] Corbet, G. B. & Hill, J. E., The Mammals of Indo-Malayan Region: A Systematic Review, Oxford: Oxford University Press, 1992.

[9] Wilting, A., Sollmann, R., Meijaard, E., Helgen, K. M. & Fickel, J., Mentawai's endemic, relictual fauna: is it evidence for Pleistocene extinctions on Sumatra?Journal of Biogeography,

vol. 39, pp. 1608–1620, 2012.

[10] Suyanto, A., Kelelawar di Indonesia, Bogor: LIPI, 2001. [11] Francis, C. M., A Field Guide to The Mammals of South-East

Asia, London: New Holland Publishers, 2008.

[12] Colwell, R. K. “EstimateS: Statistical estimation of species richness and shared species from samples. Version 9.” ,User's Guide and application published at: http://purl.oclc.org/estimates., 2013.

[13] Schmieder, D. A., Kingston, T., Hashim, R. & Siemers, B. M., Sensory constraints on prey detection performance in an ensemble of vespertilionid understorey rain forest bats, Functional Ecology, pp. 1–11, 2012.

[14] Struebig, M. J., Kingston, T., Zubaid, A., Mohd–Adnan, A. & Rossiter, S. J. Conservation value of forest fragments to Paleotropical bats, Biological Conservation,

doi:10.1016/j.biocon.2008.06.009, 2008.

[15] Struebig, M. J., Kingston, T., Petit, E. J., Le Comber, S. C., Zubaid, A., Mohd- Adnan, A. & Rossiter, S. J. Parallel declines in species and genetic diversity in tropical forest fragments, Ecology Letters, vol. 14, pp. 582–590, 2011. [16] Magurran, A. E., Measuring Biological Diversity, Oxford:

Blackwell Science, 2004.

[17] Gotelli, N. J. & Colwell, R. K., "Chapter 4: Estimating species richness," in Biological Diversity: frontiers in measurement and assessment, A. E. Magurran and B. J. McGill, Eds., New York, Oxford University Press, 2011, pp. 39–54.

[18] Colwell, R. K. & Coddington, J. A., Estimating terrestrial biodiversity through extrapolation, Philosophical Transactions of the Royal Society, London, Series B, vol. 345, pp. 101–

118, 1994.

[19] Kingston, T., Francis, C. M., Zubaid, A. & Kunz, T. H.,

Species richness in an insectivorous bat aseemblage from Malaysia, Journal of Tropical Ecology, vol. 19, pp. 67–79, 2003.

[20] Hodgkison, R., Balding, S. T., Zubaid, A., & Kunz, T. H.,Temporal Variation in the Relative Abundance of Fruit Bats

(Megachiroptera: Pteropodidae) in Relation to the Availability of Food in a Lowland Malaysian Rain Forest, Biotropica, 36(4), pp. 522–533, 2004.

[21] Meyer, C. F. J., Aguiar, L. M. S., Aguirre, L. F., Baumgarten, J., Clarke, F. M., Cosson, J.-F. o.,Villegas, S. E., Fahr, J.,Faria, D., Furey, N., Henry, M. l., Hodgkison, R., Jenkins, R. K. B., Jung, K. G., Kingston, T., Kunz,T. H., Gonzalez, M. C. M., Moya, I., Patterson, B. D., Pons, J.- M., Racey, P. A., Rex, K., Sampaio, E. M., Solari, S., Stoner, K. E., Voigt, C. C., von Staden, D., Weise, C. D. & Kalko, E. K. V., Accounting for detectability improves estimates of species richness in tropical bat surveys, Journal of Applied Ecology, vol. 48, pp. 777–787, 2011.

[22] IUCN, "IUCN Red List," IUCN, 2008. [Dalam Jaringan]. Available: iucnredlist.org. [Diakses 25 Agustus 2014]. [23] Francis, C., Rosell–Ambal, G., Kingston, T., & Nusalawo,

M. "Kerivoula pellucida. The IUCN Red List of Threatened Species. Version 2014.2.," 2008. [Dalam Jaringan]. Available: http://www.iucnredlist.org/details/10983/0. [Diakses 25 Agustus 2014].

[24] Luk, C.- L., Hadi, U. K., Ziegler, T. & Waltert, M., Vertical and Horizontal Habitats for FruitFeeding Butterflies (Lepidoptera) on Siberut, Mentawai Islands, Indonesia, Tropical Ecology, vol. 17, pp. 79–90, 2011.

[25] Meyers, K., Pio, D., Rachmania, S. & Hernandez, A., "25 Years of Siberut Biosphere Reserve "Saving Siberut and its unique cultural and natural heritage"," UNESCO, Jakarta, 2006.

[26] Hodgkison, R., Balding,S. T., Zubaid, A. & Kunz, T. H.,

Habitat structure, wing morphology, and the vertical stratification of Malaysian fruit bats (Megachiroptera: Pteropodidae), Journal of Tropical Ecology, vol. 20, pp. 667–673, 2004.

[27] Suyanto, A., Yoneda, M., Maryanto, I., Maharadatunkamsi & Sugardjito, J., Checklist of The Mammals of Indonesia, Bogor: LIPI–JICA, 2002.

[28] Whitten, T., Damanik, S. J., Anwar, J. & Hisyam, N., The Ecology of Sumatra, Singapore: Periplus Editions (HK) Ltd., 2000.

[29] Meijaard, E., Mammals of south-east Asian islands and their Late Pleistocene environments, Journal of Biogeography, vol. 30, pp. 1245–1257, 2003.

[30] Bakosurtanal, "Fisik Lingkungan Sumatera," 2009. [Dalam

Jaringan]. Available:

http://atlasnasional.bakosurtanal.go.id/fisik_lingkungan /fisik_lingkungan_detail.php?id=2&judul=Sumatera. [Diakses 19 Agustus 2014].

(7)

Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati :::

Keanekaragaman kelelawar (Mammalia: Chiroptera) Stasiun Penelitian Pungut

dan kontribusinya terhadap keberadaan kelelawar Siberut

Draft Publikasi Guna Memenuhi Syarat Studi Tingkat Sarjana di Program Studi Biologi, Institut

Teknologi Bandung

Oleh:

Sabhrina Gita Aninta

10610018

Bandung, September 2014

Diperiksa dan Disetujui:

Pembimbing Tugas Akhir,

Prof. Dr. Djoko T. Iskandar

Gambar

Gambar 1. Kelimpahan individu spesies kelelawar Pungut.
Tabel 1. Daftar spesies kelelawar Pulau Siberut. Tanda pagar

Referensi

Dokumen terkait

Yang menjadi permasalahan dalam skripsi adalah bagaimana pengaruh pemanfaatan handphone Sebagai Media Pembelajaran Pada Materi Keikhlasan Beribadah Dalam Al-Quran Surah

Setelah program terpasang pada komputer client sekarang pindahkan sertifikat SSL yang telah kita download dari EFW OpenVPN server ke lokasi instalasi OpenVPN client

Ideologi merupakan kerangka intelektual yang digunakan oleh para pembuat kebijakan untuk memperhatikan realitas, untuk menetapkan sasaran jangka panjang suatu perilaku ekstern

Upaya apa sajakah yang dilakukan oleh Balai Pemasyarakatan Klas II A Pekanbaru dalam rangka pencapaian tujuan pemidanaan tindak pidana narkotika.. Tujuan dan

Dalam memikirkan rencana pemecahan masalah subjek R1 memeriksa kembali cara yang digunakan dalam memahami masalah, diantaranya adalah: subjek R1 tidak memberikan alasan

5ontoh atau gambaran dari huruf dan angka yang dipakai pada gambar teknik adalah sebagai berikut.. a. !enulisan 3uru$ dan Angka Tegak..

Untuk prosedur sidang keliling sama dengan sidang di Pengadilan Agama pada umumnya hanya yang membedakan tempat dilakukannya sidang keliling tidak di dalam ruang

Hasil penelitian penelitian menunjukkan bahwa : (1) Faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam Proyek Pembangunan Masyarakat Pesisir ( CCDP – IFAD