PERBEDAAN TINGKAT KECEMASAN KOMUNIKASI
TERHADAP LAWAN JENIS ANTARA REMAJA PUTRA DAN
REMAJA PUTRI SLEMAN YOGYAKARTA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Oleh: Sutri Astuti
NIM: 029114138
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
T
erima kasih
Telah mengajariku membedakan yang benar dan yang salah
Mendorongku untuk mempertahankan mimpi-mimpiku
Menunjukkan padaku agar tidak terpengaruh oleh rintangan
Dan untuk mengubah kebingunganku menjadi senyuman
Telah mengatakan bahwa kalian menyayangiku
Menunjukkan bahwa betapa istimewanya cinta itu
Menghapuskan air mataku kala aku sedih
Dan untuk menenangkan kala aku ingin marah
Telah membantu sesama dengan perbuatan baik kalian
Mengajariku bahwa aku pun mesti menolong sesama
Memelukku ketika aku merasa sunyi
Dan membisikkan padaku, “Aku sayang padamu”
Terima kasih, keluargaku, atas segala yang kalian lakukan.
Entah bagaimana jadinya diriku tanpa kalian.
James Malinchak
Ada orang yang memberikan waktunya, uangnya, keterampilannya dan
koneksinya. Ada juga yang memberikan darahnya ..., tapi setiap orang selalu mempunyai sesuatu untuk diberikan.
Barbara bush
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak
memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam
kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 20 April 2007
Penulis
ABSTRAK Yogyakarta. Kecemasan komunikasi terhadap lawan jenis yang dapat mengganggu hubungan individu dengan lawan jenisnya dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya berkaitan dengan stereotip perbedaan peran gender laki-laki dan perempuan yang ada di dalam masyarakat. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada perbedaan tingkat kecemasan komunikasi terhadap lawan jenis antara remaja putra dan remaja putri Sleman Yogyakarta.
Subjek dalam penelitian ini berjumlah 100 orang. Terdiri dari 50 orang laki-laki dan 50 orang perempuan, berusia 13 – 17 tahun, yang merupakan keturunan dari perkawinan antar suku Jawa, yang dilahirkan, dibesarkan dan bertempat tinggal di Sleman Yogyakarta, serta mengenal bahasa Jawa sebagai bahasa ibu.
ABSTRACT
Astuti, S (2007). The Difference of Communication Anxiety Level toward The Opposite Sex between Sleman Yogyakarta Male and Female Teenagers. Yogyakarta: Departement of Psychology, Faculty of Psychology, Sanata Dharma University.
The research was aimed at investigating the defference of communication anxiety level toward the opposite sex between Sleman Yogyakarta male and female teenagers. Communication anxiety toward the opposite sex that could disturb individual and the opposite sex relationship, was under the influence of culture values hooked on defference gender rules stereotypes males and females in society. The hypothesis proposed there was defference communication anxiety level toward the opposite sex between Sleman Yogyakarta male and female teenagers.
Participant in this research were 100 persons. Consist of 50 males and 50 females, in 13 – 17 years old, were descent of the Javanese marriage, were born, stayed in Sleman Yogyakarta and knew the Javanese language as the mother tongue.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus dan Bunda
Maria yang telah memberikan rahmat dan bimbingan-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang disusun untuk memenuhi syarat memperoleh gelar
Sarjana Psikologi di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Pada kesempatan ini penulis hendak berterima kasih kepada segenap pihak
yang telah memberikan dukungan, semangat, dorongan dan bantuannya dalam bentuk
waktu, pikiran, tenaga ataupun doa kepada penulis, sehingga skripsi ini dapat
diselesaikan dengan baik. Maka sudah sepantasnya penulis mengucapkan terima
kasih kepada:
1. Bapak P. Eddy Suhartanto, S. Psi., M. Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi yang
telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melaksanakan penelitian ini.
2. Ibu Sylvia CMYM, S. Psi., M. Si. selaku Kaprodi Fakultas Psikologi yang telah
membantu dan membimbing penulis selama ini, baik di dalam maupun di luar
kelas.
3. Ibu ML. Anantasari, S. Psi., M. Si. selaku Dosen Pembimbing Skripsi. Terima
kasih atas waktu, tenaga dan sumbangan pikiran yang diberikan, sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
4. Ibu MM. Nimas Eki Suprawati, S. Psi., M. Si. selaku Dosen Pembimbing
Akademik. Terima kasih telah menjadi dosen pembimbing yang baik pada dua
5. Bapak Y. Agung Santoso, S. Psi. selaku Dosen Pembimbing Akademik yang
senantiasa membantu penulis selama empat tahun terakhir.
6. Dra. L. Pratidarmanastiti, MS. selaku Dosen Mata Kuliah Seminar yang telah
memberikan banyak pengetahuan kepada penulis, sehingga penulis dapat
melaksanakan penelitian ini dengan lancar.
7. Pegawai Sekretariat Psikologi. Mas Gandung, Mbak Nanik dan Pak Gie yang
dengan sabar membantu dan melayani kebutuhan administrasi perkuliahan
penulis.
8. Mas Muji dan Mas Doni selaku pengurus Laboratorium dan Ruang Baca
Psikologi yang dengan sabar membantu dan melayani penulis selama praktikum
psikodiagnostik dan juga peminjaman koleksi buku serta literatur.
9. Kedua orangtua penulis yang telah membesarkan dan mendidik dengan sepenuh
hati serta membantu dalam segala hal, baik dalam bentuk dukungan , semangat
ataupun doa. Suatu penghargaan bagiku memiliki kalian.
10. Adik-adikku yang bandel. Terima kasih atas semangat, doa, bantuan dan
kegembiraan yang kalian berikan di setiap hari-hariku.
11. Bude, pakde, bulik dan paklik-paklikku terima kasih atas dukungan dan
bantuannya selama ini.
12. Kakak-kakakku, Mbak Tantie, Mbak Rinie, Mbak Tutut. Terima kasih atas doa
dan nasehat-nasehat yang kalian berikan.
13. Sahabatku di rumah. Siwar, Dewok dan Imung, terima kasih atas dukungan,
14. Sahabat-sahabatku di SMA. Indrek, Nitul dan Nety. terima kasih atas bantuan,
doa dan dukungannya.
15. Sahabatku Dina yang mau menjadi teman ngobrolku dari bangku SMA hingga di
bangku kuliah.
16. Sahabat-sahabatku di kampus. Winda, Katy, Cicil, terima kasih atas hari-hari
yang begitu mengebirakan, doa dan dukungan yang kalian berikan padaku. Aku
beruntung mengenal kalian.
17. Temen-temen KKN-ku, Nick, Rinda, Lenta, Anez, Domi dan Heri. Terima kasih
atas doa dan bantuannya, senang pernah mengenal kalian.
18. Bappeda Kabupaten Sleman, segenap Perangkat Kelurahan Sinduadi dan segenap
Perangkat Dusun terima kasih atas ijin serta bantuannya sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
19. Teman-teman angkatan 2002, baik cewek ataupun cowok yang telah menjadi
sahabat yang baik bagiku. Terima kasih atas saran, doa dan dukungannya.
20. Segenap subjek penelitian yang telah rela meluangkan waktunya untuk membantu
penulis dalam mengisi angket penelitian.
21. Segenap pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh penulis, yang telah
membantu, baik secara moril maupun materiil. Terima kasih penulis sampaikan
kepada Anda semua.
Skripsi ini telah disusun oleh penulis dengan usaha yang maksimal. Namun
demikian, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan
menerima segala bentuk saran dan kritik yang membangun dari semua pihak, agar
skripsi ini dapat menjadi lebih baik. Penulis juga berharap agar skripsi ini dapat
bermanfaat dan menambah pengetahuan serta wawasan bagi semua pihak yang
terkait.
Yogyakarta, 20 April 2007
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
Halaman Persetujuan ... i
Halaman Pengesahan ... ii
Halaman Motto dan Persembahan ... iii
Pernyataan Keaslian Karya ... iv
Abstrak ... v
Abstract ... vi
Kata Pengantar ... vii
Daftar Isi ... xi
Daftar Tabel ... xv
Daftar Gambar ... xvi
Daftar Lampiran ... xvii
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 8
C. Tujuan Penelitian ... 8
D. Manfaat Penelitian ... 8
1. Manfaat Teoritis ... 8
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Remaja ... 10
1. Definisi dan batasan Remaja ... 10
2. Ciri-ciri Masa Remaja... 11
3. Tugas Perkembangan Remaja ... 14
B. Jenis Kelamin ... 16
1. Pengertian Jenis Kelamin ... 16
2. Perbedaan Karakteristik Laki-laki dan Perempuan ... 17
C. Budaya Jawa Terkait dengan Stereotip Perbedaan Peran Gender Laki-laki dan Perempuan ... 18
D. Kecemasan Komunikasi... 19
1. Pengertian Komunikasi ... 19
2. Pengertian Kecemasan ... 20
3. Kecemasan Komunikasi ... 21
4. Ciri-ciri Kecemasan Komunikasi ... 22
5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecemasan Komunikasi ... 24
E. Kecemasan Komunikasi terhadap Lawan Jenis... 25
F. Perbedaan Tingkat Kecemasan Komunikasi terhadap Lawan Jenis antara Remaja Putra dan Remaja Putri Sleman Yogyakarta ... 27
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian ... 35
B. Variabel Penelitian ... 35
1. Variabel Bebas ... 35
2. Variabel Tergantung ... 36
C. Definisi Operasional ... 36
1. Jenis Kelamin ... 36
2. Kecemasan Komunikasi terhadap Lawan Jenis... 36
D. Subjek Penelitian ... 38
E. Prosedur Penelitian ... 39
F. Metode dan Alat Pengumpulan Data ... 40
G. Validitas, Seleksi Aitem dan Reliabilitas ... 42
1. Validitas ... 42
2. Seleksi Aitem ... 43
3. Reliabilitas ... 45
H. Metode Alnalisis Data ... 46
BAB IV. PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pelaksanaan Penelitian ... 47
B. Hasil Penelitian ... 48
1. Deskripsi Data Penelitian ... 48
a. Uji Normalitas ... 48
b. Uji Homogenitas ... 49
3. Uji Perbedaan ... 49
C. Analisis Tambahan ... 51
D. Pembahasan ... 53
BAB V. PENUTUP A. Kesimpulan ... 60
B. Saran ... 60
DAFTAR PUSTAKA ... 62
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Skala Kecemasan Komunikasi terhadap Lawan Jenis ... 41
Tabel 2. Blue Print Aitem Skala Kecemasan Komunikasi
terhadap Lawan Jenis ... 41
Tabel 3. Distribusi Aitem Pra Uji Coba Skala Kecemasan Komunikasi
terhadap Lawan Jenis ... 42
Tabel 4. Distribusi Aitem Skala Kecemasan Komunikasi
terhadap Lawan Jenis yang Lolos Seleksi ... 44
Tabel 5. Distribusi Aitem Paska Uji Coba Skala Kecemasan Komunikasi
terhadap Lawan Jenis ... 45
Tabel 6. Deskripsi Data Skor Penelitian Kecemasan Komunikasi
terhadap Lawan Jenis ... 48
Tabel 7. Ringkasan Hasil Uji t Skor Kecemasan Komunikasi
terhadap Lawan Jenis ... 50
Tabel 8. Norma Kategori Skor ... 51
Tabel 9. Kategori Skor Kecemasan Komunikasi terhadap Lawan Jenis ... 52
Tabel 9. 1. Kategori Skor Kecemasan Komunikasi terhadap
Lawan Jenis Remaja Putra ... 53
Tabel 9. 2. Kategori Skor Kecemasan Komunikasi terhadap
DAFTAR GAMBAR
Gbr 1. Skema Perbedaan Tingkat Kecemasan Komunikasi
terhadap Lawan Jenis antara Remaja Putra dan Remaja
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN UJI COBA
Uji Daya Beda Aitem dan Estimasi Reliabilitas ... 64
Slkala Uji Coba Penelitian ... 70
Tabulasi Data Hasil Uji Coba ... 75
LAMPIRAN PENELITIAN Uji Normalitas ... 83
Uji Homogenitas ... 86
Uji perbedaan / Uji t ... 87
Skala Penelitian ... 88
Tabulasi Data Penelitian ... 92
LAMPIRAN SURAT IJIN PENELITIAN DAN SURAT KETERANGAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri dan selalu
berkeinginan untuk menjalin hubungan dan berinteraksi dengan manusia yang
lain. Proses interaksi antar manusia tersebut selalu didahului dengan kontak
komunikasi. Komunikasi merupakan peristiwa sosial, yaitu peristiwa yang terjadi
ketika manusia berinteraksi dengan manusia lain (Rakhmat, 2001).
Komunikasi merupakan hal yang biasa dilakukan oleh manusia.
Komunikasi dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari, seperti komunikasi antara
guru dan murid, orangtua dan anak serta komunikasi yang dilakukan remaja putra
dan remaja putri pada masa pacaran, yaitu masa untuk lebih mengenal lawan
jenis.
Komunikasi menurut Johnson (dalam Supratiknya, 2003), dinyatakan
sebagai proses penyampaian pesan baik dalam bentuk verbal ataupun nonverbal
yang dikirimkan oleh seseorang kepada orang lain. Komunikasi juga merupakan
hal yang akrab dalam kehidupan manusia, seperti komunikasi yang dilakukan
oleh remaja putra dan remaja putri dalam pergaulan untuk lebih mengenal
teman-temannya, termasuk teman lawan jenisnya. Berdasarkan hal tersebut maka setiap
manusia, khususnya remaja diharapkan dapat melakukan komunikasi dengan
demikian, masih saja ada orang yang mengalami kegagalan dalam komunikasi
dengan sesama dan tidak semua remaja dapat berkomunikasi secara baik dengan
lawan jenisnya.
Menurut Rakhmat (2001) kecemasan adalah salah satu faktor yang dapat
menyebabkan kegagalan komunikasi dengan orang lain. Kecemasan dalam
komunikasi menurut De Vito (1995) dinyatakan sebagai perasaan malu, perasaan
takut dan keengganan untuk berkomunikasi atau terlibat dalam interaksi
komunikasi. Orang yang pencemas dalam komunikasi cenderung menarik diri
dari pergaulan, berusaha sekecil mungkin untuk tidak terlibat komunikasi dan
berbicara apabila terdesak saja (Rakhmat, 2001).
Kecemasan dalam berkomunikasi sering terjadi pada remaja dalam
hubungannya dengan lawan jenis. Kanuyoso (1986) menyatakan bahwa tidak
sedikit muda-mudi atau remaja yang kesulitan berhadapan dengan lawan
jenisnya. Hal ini biasanya disebabkan oleh perasaan malu dan minder ketika
berhadapan dengan lawan jenis yang mengakibatkan kesulitan untuk
berkomunikasi, sehingga mereka hanya diam saja ketika harus berhadapan
dengan lawan jenisnya.
Masa remaja adalah masa yang penting dimana seorang individu
mengalami berbagai perubahan baik secara biologis, psikologis ataupun sosial.
Hurlock (1991) menyatakan bahwa awal masa ini berlangsung antara umur 13
tahun sampai dengan kira 17 tahun dan berakhir antara umur 18 hingga
perkembangan yang berhubungan dengan lawan jenis. Mereka harus
menyesuaikan diri dengan lawan jenis dalam hubungan yang sebelumnya belum
pernah ada. Mereka yang sebelumnya lebih berminat untuk bermain dengan
sesama jenis, pada masa remaja ini minat tersebut mulai beralih kepada
ketertarikan untuk menjalin hubungan dengan lawan jenis. Keadaan atau perasaan
tersebut adalah hal yang baru yang memerlukan penyesuaian, sehingga terkadang
dapat menimbulkan ketegangan emosi atau kecemasan.
Kecemasan komunikasi yang dialami remaja dalam hubungannya dengan
lawan jenis dapat mengganggu terpenuhinya tugas perkembangan remaja, yaitu
menjalin hubungan yang baru dengan lawan jenisnya. Kegagalan penguasaan
tugas perkembangan akan menimbulkan konsekuensi yang tidak menyenangkan
bagi seorang individu. Salah satunya adalah pertimbangan sosial yang tidak
menyenangkan dan tidak dapat dihindari sebagai seorang individu yang dianggap
belum matang. Hal ini akan mengakibatkan penilaian diri yang kurang
menyenangkan dan dapat mengakibatkan konsep diri yang negatif (Hurlock,
1991).
Kecemasan komunikasi tersebut menurut Burgoon dan Ruffner (1978)
memiliki beberapa ciri, meliputi unwillingness yaitu keengganan individu untuk
terlibat komunikasi akibat adanya rasa cemas. Remaja cenderung merasa enggan
untuk terlibat komunikasi dengan lawan jenisnya karena telah dikuasai oleh
perasaan cemas yang ada dalam dirinya. Avoiding yang merupakan komponen
adanya rasa cemas. Remaja memiliki minat untuk berkomunikasi, tetapi mereka
dikuasai oleh perasaan cemas, sehingga cenderung menghindari situasi
komunikasi dengan lawan jenis. Komponen yang terakhir adalah uncontrol, yaitu
kurangnya kontrol terhadap situasi komunikasi yang diakibatkan adanya rasa
cemas. Remaja kurang dapat mengontrol situasi komunikasi dengan lawan jenis
akibat adanya rasa cemas.
Kecemasan komunikasi terhadap lawan jenis tidak timbul begitu saja
Kecemasan komunikasi terhadap lawan jenis secara tidak langsung dapat
dipengaruhi oleh stereotip masyarakat tempat individu hidup dan dibesarkan.
Anthony (dalam Hurlock, 1991), menegaskan bahwa stereotip berfungsi sebagai
cerminan yang ditegakkan masyarakat bagi remaja, yang menggambarkan citra
diri remaja sendiri yang lambat laun akan dianggap sebagai gambaran yang asli
atau konsep diri dari remaja sendiri dan remaja membentuk perilakunya melalui
gambaran ini. Menurut Maxwell Maltz (dalam Rakhmat, 2001), konsep diri yang
positif dapat meningkatkan rasa percaya diri. Rakhmat (2001) juga
mengemukakan bahwa percaya diri adalah faktor yang paling menentukan adanya
kecemasan komunikasi. Orang yang kurang percaya diri cenderung menghindari
situasi komuniksi, lebih banyak diam dan dalam diskusi cendrung berbicara
terpatah-patah.
Masyarakat sebagai lingkungan sosial telah memberikan stereotip atau
penilaian yang berbeda terhadap laki-laki dan perempuan semenjak lahir.
untuk bersifat feminin (Uyun, 2002). Penelitian mengenai stereotip atau penilaian
perbedaan peran gender (gender rules) laki-laki dan perempuan telah banyak
dilakukan dan dapat disimpulkan bahwa stereotip atau penilaian perbedaan peran
gender tersebut ada pada semua budaya, termasuk budaya Jawa (Uyun, 2002).
Budaya Jawa hidup dan berkembang pada masyarakat Jawa atau suku
bangsa Jawa. Magnis-Suseno (2001) menyatakan bahwa masyarakat atau suku
bangsa Jawa adalah mereka yang tinggal di bagian tengah dan timur pulau Jawa
dan menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa ibu. Budaya Jawa sendiri
dipelajari melalui pendidikan dalam keluarga sejak seorang individu masih kecil
dan ditekankan oleh masyarakat kepada individu sebagai anggota dari
masyarakat. Pendidikan dalam keluarga dimaksudkan untuk menghasilkan
individu yang sosial dan patuh terhadap otoritas norma dan penilaian
masyarakatnya (Mulder, 1986).
Penelitian mengenai budaya Jawa terkadang dikaitkan dengan kota
Yogyakarta dan ada beberapa peneliti yang memilih kota tersebut sebagai lokasi
penelitian. Hal ini dapat dilihat pada penelitian yang dilakukan Mulder (1986) dan
penelitian yang dilakukan oleh Nurmawati (2004) yang menggunakan kota
Yogyakarta sebagai lokasi penelitian. Namun dalam penelitian ini peneliti ingin
menggunakan Sleman sebagai lokasi penelitian mengingat Sleman merupakan
salah satu daerah yang masih menjunjung budaya Jawa. Sebagian besar
sebagai pedoman dan tuntunan berperilaku dalam masyarakat (Ariani, dkk.,
2002).
Masyarakat Kabupaten Sleman yang masih menjunjung budaya Jawa
memberikan stereotip atau penilaian bagi laki-laki pada umumnya sebagai
seorang yang superior, yaitu aktif, pemberani, mau berusaha, agresif dan realistik.
Stereotip atau penilaian superioritas tersebut membuat mereka juga mendapatkan
aturan dalam pergaulan dari masyarakat, namun tidak begitu ketat seperti halnya
kaum perempuan (Uyun, 2002). Stereotip atau penilaian superioritas dan
larangan yang tidak begitu ketat dalam hal pergaulan tersebut justru menjadi suatu
hal yang akan mendukung bagi tumbuhnya konsep diri yang positif dan rasa
percaya diri remaja putra ketika harus berkomunikasi dengan orang lain, yang
membuat mereka menjadi seorang yang aktif, pemberani, mau berusaha dan
agresif dalam situasi komunikasi dengan orang lain, termasuk dengan lawan
jenisnya.
Berbeda dengan kaum perempuan yang pada umumnya dipandang sebagai
seorang yang inferior, yaitu penakut, pencemas, tergantung dan pemalu. Stereotip
inferioritas tersebut membuat mereka mendapatkan aturan dalam pergaulan yang
lebih ketat dari masyarakat. Mereka selalu mengingatkan bahwa seorang remaja
putri harus menjaga kehormatan dan tidak boleh keluar malam sendirian (Uyun,
2002). Aturan dalam pergaulan yang lebih ketat dan stereotip atau penilaian
inferioritas masyarakat tersebut menjadi suatu hal yang kurang mendukung bagi
harus berkomunikasi dengan orang lain, yang membuat mereka menjadi seorang
yang penakut, pencemas, tergantung dan pemalu dalam situasi komunikasi
dengan orang lain, termasuk dengan lawan jenisnya.
Peran kaum perempuan dalam budaya Jawa memang cenderung ditekan
dengan stereotip atau penilaian inferioritas dan ruang gerak dalam kehidupan
serta pergaulannya cenderung dibatasi. Namun, seiring dengan perkembangan
zaman kearah modernisasi, tampak peran kaum perempuan cukup besar dalam
berbagai aspek kehidupan. Ruang gerak kaum perempuan sudah semakin luas dan
mereka juga mulai mendapat kesempatan untuk bekerja di luar rumah serta
memperoleh pendidikan seperti halnya kaum laki-laki. Uyun (2002),
mengemukakan bahwa ada perempuan yang bekerja di pabrik, di kantor, di toko
ataupun bekerja sebagai tenaga kerja di negara lain. Bahkan, menurut Nurmawati
(2004), dalam kegiatan yang melibatkan kedua jenis kelamin, kaum perempuan
mulai diberi kesempatan menduduki posisi-posisi penting yang biasanya
diberikan kepada kaum laki-laki.
Peran kaum perempuan dalam kehidupan yang semakin besar tersebut,
tentu saja menunjukkan bahwa kemampuan kaum perempuan sebenarnya belum
tentu kalah bila dibandingkan dengan kemampuan kaum laki-laki, salah satunya
adalah kemampuan untuk berkomunikasi dengan orang lain, termasuk
Berdasarkan telaah di atas maka peneliti disini ingin melihat apakah ada
perbedaan tingkat kecemasan komunikasi terhadap lawan jenis antara remaja
putra dan remaja putri Sleman Yogyakarta.
B. Rumusan Masalah
Apakah ada perbedaan tingkat kecemasan komunikasi terhadap lawan
jenis antara remaja putra dan remaja putri Sleman Yogyakarta?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan tingkat kecemasan
komunikasi terhadap lawan jenis antara remaja putra dan remaja putri Sleman
Yogyakarta.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis
a. Apabila penelitian ini terbukti ada perbedaan, diharapkan hasil penelitian
ini dapat memberikan bukti empiris dan menambah informasi di bidang
psikologi, khususnya bagi psikologi komunikasi dan psikologi
perkembangan mengenai perbedaan tingkat kecemasan komunikasi
terhadap lawan jenis antara remaja putra dan remaja putri Sleman
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan
memberikan inspirasi bagi peneliti selanjutnya untuk melaksanakan
penelitian yang akan datang.
2. Manfaat praktis
a. Bagi remaja
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai wacana reflektif
dan dasar pengembangan keterampilan sosial dalam diri remaja, terutama
keterampilan komunikasi remaja dalam pergaulan dengan lawan jenis,
sehingga remaja dapat lebih mempersiapkan diri untuk mengantisipasi
terjadinya kecemasan komunikasi dalam pergaulan mereka dengan teman
lawan jenis.
b. Bagi masyarakat dan keluarga
Apabila penelitian ini terbukti ada perbedaan, diharapkan hasil penelitian
ini dapat menjadi bahan pertimbangan bagi keluarga dan masyarakat
untuk lebih mengembangkan dan menanamkan nilai-nilai yang
mendukung keterampilan sosial remaja putra dan remaja putri, terutama
keterampilan komunikasi dalam pergaulan dengan lawan jenis bagi
kelompok remaja yang memiliki tingkat kecemasan komunikasi terhadap
lawan jenis yang lebih tinggi dan tetap menanamkan nilai-nilai yang
mendukung keterampilan komunikasi dalam pergaulan dengan lawan jenis
terhadap lawan jenis yang lebih rendah, sehingga perbedaan kecemasan
komunikasi yang terjadi pada remaja putra dan remaja putri dalam
pergaulan dengan lawan jenisnya dapat diantisipasi secara tepat dan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Remaja
1. Definisi dan Batasan Remaja
Istilah remaja sering dikenal dengan istilah adolescence yang berasal
dari kata latin adolescere yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa.
Istilah adolescence memiliki artian yang luas, meliputi kematangan mental,
emosional, sosial dan fisik yang berawal pada usia 13 tahun hingga kurang
lebih 17 tahun dan berakhir antara usia 18 tahun hingga kurang lebih 21 tahun
(Hurlock, 1991).
Piaget (dalam Hurlock, 1991) menyatakan bahwa secara psikologis
masa remaja adalah masa dimana seorang individu mulai berintegrasi dengan
masyarakat dewasa, dimana mereka sudah tidak merasakan adanya perbedaan
tingkat usia, baik merasa lebih tua ataupun merasa lebih muda.
Neidhart (dalam Gunarsa, 1981) berpendapat bahwa remaja
merupakan masa peralihan dan ketergantungan dari masa kanak-kanak ke
masa dewasa, dimana ia sudah harus berdiri sendiri. Erikson (dalam Gunarsa,
1981) juga menyatakan definisi mengenai remaja yang dihubungkan dengan
perkembangan psikis yang berlangsung pada masa tersebut. Ia
mengemukakan bahwa remaja merupakan suatu masa dimana terbentuk
dialami sendiri dan sulit dikenal oleh orang lain, serta tetap ada walaupun
telah mengalami berbagai perubahan.
Pandangan dari segi seksualitas juga dikemukakan oleh Anna Freud
(dalam Gunarsa, 1981), menurutnya remaja merupakan suatu masa yang
meliputi proses perkembangan dimana terjadi perubahan-perubahan dalam hal
motivasi seksual, organisasi ego, hubungan dengan orangtua dan orang lain
serta cita-cita yang dimiliki.
Spranger (dalam Gunarsa, 1981) juga berpendapat bahwa masa
remaja merupakan masa dimana seorang individu sangat membutuhkan
pengertian dan hanya dengan pengertian yang mendalam para remaja dapat
dibantu.
Berdasarkan beberapa pendapat ahli tersebut, maka dapat dikatakan
bahwa remaja adalah individu yang berada pada masa peralihan dan
perubahan berbagai aspek diri, baik fisik, seksual, emosional ataupun psikis
kearah tingkatan yang lebih matang.
2. Ciri-ciri Masa Remaja
Masa remaja adalah masa yang paling menonjol dalam kehidupan
setiap individu. Pada masa ini setiap individu akan mengalami suatau situasi
yang khas yang mungkin tidak dialami pada masa kanak-kanak ataupun masa
agar dapat diarahkan dengan baik. Zulkifli (1995) mengemukakan beberapa
ciri masa remaja, yaitu:
a. Perubahan fisik
Fisik mengalami perubahan dengan cepat, lebih cepat dibandingkan
perubahan yang terjadi pada masa kanak-kanak dan masa dewasa. Untuk
mengimbangi perubahan yang cepat itu maka remaja memerlukan makan
dan tidur yang lebih banyak.
b. Perkembangan seksual
Seksual mengalami perkembangan yang kadang-kadang menimbulkan
masalah. Tanda-tanda kematangan seksual mulai muncul baik pada remaja
putra ataupun remaja putri. Pada remaja putra alat reproduksi sperma
mulai diprodukasi, leher menonjol karena tumbuhnya buah jakun yang
membuat suara menjadi pecah dan tumbuh bulu-bulu (rambut) di sekitar
alat kemaluannya. Sedangkan pada remaja putri, karena produksi hormon
dalam tubuhnya mulai timbul jerawat, buah dada mulai tumbuh, pinggul
melebar dan mengalami menstruasi.
c. Cara berpikir kausalitas
Remaja akan berpikir kritis sehingga mereka akan melawan bila guru dan
orangtua tidak memahami cara berpikir remaja dan akibatnya akan muncul
d. Emosi yang meluap-luap
Keadaan emosi remaja masih labil karena erat hubungannya dengan
keadaan hormon. Emosi remaja lebih kuat dan lebih menguasai diri
mereka dari pikiran yang realistis.
e. Mulai tertarik pada lawan jenis
Secara biologis manusia dibagi menjadi laki-laki dan perempuan. Dalam
kehidupan sosial remaja mulai tertarik pada lawan jenis dan mulai
berpacaran. Jika dalam hal ini orangtua kurang mengerti dan melarang,
maka akan menimbulkan masalah dan remaja akan bersikap tertutup
terhadap orangtuanya.
f. Menarik perhatian lingkungan
Remaja mulai menarik perhatian dari lingkungannya, mereka berusaha
mendapatkan status dan peran. Bila tidak diberi peranan, ia akan menarik
perhatian masyarakat dengan malakukan perkelahian atau kenakalan
lainnya.
g. Terikat dengan kelompok
Remaja dalam kehidupan sosial sangat terikat dengan kelompok
sebayanya, sehingga tidak jarang orangtua atau keluarga dinomorduakan
dan kelompok dinomorsatukan. Orangtua biasanya akan marah dan karena
remaja di rumah kurang dimengerti oleh orangtuanya, maka mereka
Hurlock (1991) mengemukakan beberapa ciri masa remaja meliputi
perubahan fisik, keraguan akan peran dan status, nilai kausalitas, penyesuaian
terhadap standar kelompok, terlibat dalam perbuatan seks dan meningginya
emosi. Gunarsa (1981), juga mengemukakan beberapa ciri remaja meliputi
kegelisahan akan keinginan yang tak tersalurkan, kebingungan akan status,
keinginan akan hal yang berhubungan dengan fungsi ketubuhan (seks,
obat-obatan dan merokok) dan terlibat aktivitas kelompok.
Berdasarkan paparan di atas maka dapat disimpulkan bahwa
perubahan fisik, perkembangan seksual, cara berpikir kausalitas, emosi yang
meluap-luap, mulai tertarik pada lawan jenis atau minat akan seks, menarik
perhatian lingkungan, keraguan akan peran dan status, serta terikat dengan
kelompok merupakan ciri-ciri yang menjadi kekhasan masa remaja.
3. Tugas Perkembangan Remaja
Remaja harus belajar untuk dapat mengembangkan diri. Pada masa
remaja seorang individu akan melewati masa belajar yang cukup luas meliputi
berbagai bidang yang akan menunjang perkembangan kepribadiannya di
dalam kehidupan. Dalam rangka belajar untuk mengembangkan diri, seorang
remaja harus memenuhi beberapa tugas perkembangan. Beberapa tugas
perkembangan tersebut dikemukakan oleh Havighurst (dalam Gunarsa, 1981)
a. Mencapai hubungan antar pribadi dan berkomunikasi secara lebih dewasa
dengan teman sebaya baik pria atau wanita.
b. Mencapai peran sosial pria atau wanita.
c. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif.
d. Memperoleh kebebasan emosionil dari orangtua dan orang dewasa lain.
e. Mencapai kemandirian emosional dari orangtua dan orang dewasa lainnya.
f. Mempersiapkan karir ekonomi atau lapangan pekerjaan.
g. Mempersiapkan perkawinan dan keluarga.
h. Memperoleh perangkat nilai dan falsafah hidup.
Remaja harus berusaha untuk memenuhi tugas-tugas
perkembangannya tersebut supaya dapat lebih diterima oleh lingkungan
sosialnya. Pendapat serupa mengenai tugas perkembangan remaja juga
dikemukakan oleh Zulkifli (1995), meliputi menarik perhatian teman sebaya
dari kedua jenis kelamin, mencapai peran sosial sebagai pria atau wanita,
menerima keadaan fisik sendiri, mempersiapkan lapangan kerja dan
mempersiapkan diri untuk hidup berkeluarga.
Hurlock (1991) juga mengemukakan beberapa tugas perkembangan
remaja, meliputi menerima peran seks dewasa yang diakui masyarakat,
mencapai kemandirian emosional, mencapai kecakapan sosial dan
mengembangkan nilai yang selaras dengan orang dewasa.
Berdasarkan paparan di atas maka dapat dikatakan bahwa mencapai
peran sosial pria atau wanita, menerima keadaan fisik, memperoleh kebebasan
emosional, mencapai kemandirian emosional, mempersiapkan karir dan
lapangan kerja, mempersiapkan perkawinan, serta memperoleh perangkat nilai
dan falsafah hidup merupakan tugas perkembangan remaja yang harus
dipelajari oleh remaja dan diteruskan ke masa berikutnya.
B. Jenis Kelamin
1. Pengertian Jenis Kelamin
Individu ditinjau dari jenis kelamin, terdiri dari individu berjenis
kelamin laki-laki dan individu berjenis kelamin perempuan atau dengan istilah
lain disebut sebagai pria dan wanita atau putra dan putri. Pengertian jenis
kelamin menurut Gilarso (2003) dinyatakan sebagai keseluruhan ciri-ciri baik
biologis ataupun psikologis yang membedakan manusia sebagai pria dan
wanita.
Mahmud (dalam Nurmawati, 2004), memberikan pengertian mengenai
jenis kelamin sebagai suatu komponen yang kritis dalam identitas seseorang
dan membedakan manusia dalam dua kelompok, yaitu laki-laki dan
perempuan.
Menurut kamus psikologi (dalam Chaplin, 2002), jenis kelamin
diartikan sebagai perbedaan yang khas antara perempuan dan laki-laki atau
Berdasarkan paparan di atas maka dapat dikatakan bahwa jenis
kelamin adalah keseluruhan ciri atau karakteristik baik secara biologis
ataupun psikologis yang membedakan manusia sebagai laki-laki dan
perempuan.
2. Perbedaan Karakteristik Laki-laki dan perempuan
Gilarso (2003) menyatakan bahwa secara biologis laki-laki dan
perempuan memiliki karakteristik yang berbeda. Laki-laki memiliki kaki dan
tangan yang kuat, suara besar dan dada yang lapang. Sedangkan perempuan
memiliki tangan dan kaki yang runcing dan lembut, suara kecil merdu dan
dada yang agak menonjol.
Secara psikologis atau kejiwaan mernurut Gilarso (2003), laki-laki dan
perempuan juga memiliki karakteristik yang berbeda. Laki-laki cenderung
lebih terbuka dalam memandang, aktif dan lebih rasional. Sedangkan
perempuan cenderung tertutup dan dipengaruhi oleh perasaan. Sifat
keterbukaan yang dimiliki oleh laki-laki akan membuatnya lebih mudah
dalam menumbuhkan hubungan interpersonal dengan orang lain
dibandingkan dengan sifat tertutup yang dimiliki oleh perempuan, sehingga
laki-laki lebih mudah untuk menjalin komunikasi dengan orang lain, karena
keterbukaan adalah salah satu faktor yang amat berpengaruh dalam
Berdasarkan paparan di atas, maka dapat dikatakan bahwa baik secara
biologis ataupun psikologis, laki-laki dan perempuan memiliki karakteristik
yang berbeda, dimana laki-laki memiliki karakteristik yang sifatnya lebih
superior atau kuat dan perempuan memiliki karakteristik yang sifatnya lebih
inferior atau lemah.
C. Budaya Jawa Terkait dengan Stereotip Perbedaan Peran Gender Laki-laki
dan Perempuan
Budaya Jawa menurut Magnis-Suseno (2001) adalah budaya yang hidup
dan berkembang dalam masyarakat atau suku bangsa Jawa. Budaya Jawa
dipelajari melalui pendidikan dalam keluarga sejak individu masih kecil dan
ditekankan oleh masyarakat kepada individu sebagi anggota masyarakat (Mulder,
1986).
Masyarakat atau suku bangsa Jawa sendiri menurut Magnis-Suseno (2001)
adalah mereka yang tinggal di tengah atau timur pulau Jawa, serta menggunakan
bahasa Jawa sebagi bahasa ibu. Masyarakat dalam budaya Jawa mengatur secara
otoriter keseluruhan hidup pesertanya. Orang sebagai individu dianggap tidak
penting dan bersama-sama mereka mewujudkan masyarakat. Keselarasan
masyarakat dianggap menjamin kehidupan yang baik bagi individu sebagai
anggota masyarakat (Mulder, 1986).
Penilaian atau stereotip perbedaan peran gender laki-laki dan perempuan
nilai terkait stereotip perbedaan gender ini tidak hanya dilakukan oleh orangtua,
tetapi juga dilakukan oleh masyarakat secara jelas sejalan dengan pertumbuhan
mereka. Dalam budaya Jawa laki-laki dipandang sebagai kaum yang superior,
yaitu dipandang sebagai individu yang aktif, mau berusaha, pemberani, agresif
dan realistik. Sedangkan perempuan dipandang sebagai kaum yang inferior, yaitu
dipandang sebagai individu yang penakut, pencemas, tergantung dan pemalu
(Uyun, 2002).
Individu menginjak remaja dalam budaya Jawa terkait dengan perbedaan
stereotip atau penilaian terhadap laki-laki dan perempuan juga ditekan oleh
perbedaan peraturan dalam pergaulan. Aturan-aturan tersebut lebih banyak
ditujukan pada remaja putri. Uyun (2002) mengemukakan bahwa masyarakat atau
orangtua dalam budaya Jawa memberikan larangan yang lebih banyak bagi
remaja putri. Seorang pemuda dan pemudi dalam budaya Jawa tidak boleh
memperlihatkan diri bersama sendirian dan kontak yang mungkin terjadi antara
mereka hanya sebentar (Magnis-Suseno, 2001).
Berdasarkan paparan di atas maka dapat dikatakan bahwa stereotip
perbeaan peran gender laki-laki dan perempuan dalam budaya Jawa ditanamkan
oleh masyarakat secara otoriter dan ditenamkan sejak kecil oleh keluarga kepada
D. Kecemasan Komunikasi
1. Pengertian Komunikasi
Komunikasi berasal dari bahasa latin, yaitu kata commutio atau
common. Ketika mengadakan komunikasi, berarti mencoba memberikan
informasi agar si penerima atau si pengirim sepaham atas pesan tertentu
(Schramm dalam Siahaan, 2000). Effendi (dalam Siahaan, 2000) juga
menyatakan bahwa komunikasi pada hakekatnya adalah proses penyampaian
pikiran atau perasaan oleh komunikator kepada komunikan.
Johnson (dalam Supratiknya, 2003) mendefinisikan komunikasi secara
luas sebagai setiap bentuk tingkah laku seseorang, baik verbal maupun
nonverbal yang ditanggapi oleh orang lain. Komunikasi secara sempit oleh
Johnson ( dalam Supratiknya, 2003), diartikan sebagai pesan yang dikirimkan
oleh seseorang kepada satu atau lebih penerima dengan maksud sadar untuk
mempengaruhi tingkah laku si penerima.
Berdasarkan beberapa pendapat tentang komunikasi di atas, maka
dapat disimpulkan bahwa komunikasi merupakan proses penyampaian pesan
atau informasi yang berupa tingkah laku verbal ataupun nonverbal yang
didalamnya terkandung pikiran dan perasaan dari orang sebagai pengirim
pesan (komunikator) yang ingin disampaikan kepada orang sebagai penerima
2. Pengertian Kecemasan
Setiap orang pasti pernah merasa cemas karena dihadapkan pada suatu
peristiwa atau pengalaman yang tidak enak, menegangkan dan menekan
dalam kehidupan. Kartono (dalam Ikawati dan Astuti, 2004) mendefinisikan
kecemasan sebagai suatu kegelisahan, kekhawatiran dan ketakutan terhadap
sesuatu yang tidak jelas. Sulaeman (dalam Ikawati dan Astuti, 2004), juga
menambahkan bahwa kecemasan adalah ketidaktenteraman yang kabur, suatu
perasaan gugup atau perasaan-perasaan lain yang tidak menyenangkan seperti
takut, gelisah dan tertekan.
Lazarus (1969) mendefinisikan kecemasan sebagai suatu keadaan atau
kondisi yang kurang menyenangkan. Seseorang akan merasa ragu-ragu,
was-was, curiga dan tidak tenang dalam keadaan cemas, sehingga sulit untuk
melakukan aktivitas dengan baik serta sulit untuk mencapai keberhasilan.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa kecemasan merupakan suatu pengalaman emosional yang kurang
menyenangkan yang muncul karena situasi yang menegangkan dan menekan,
yang ditandai dengan perasaan ragu-ragu, was-was, curiga dan tidak tenang.
3. Kecemasan Komunikasi
Kecemasan komunikasi dengan orang lain merupakan suatu gejala
yang mempunyai beberapa istilah. Pada awalnya label kecemasan komunikasi
ketakutan untuk berkomunikasi di depan umum. Kemudian istilah tersebut
berkembang menjadi communication apprehension, yang merupakan label
kecemasan komunikasi dengan arti yang lebih luas dan meliputi berbagai
situasi dan konteks komunikasi (Mc Croskey, 1982).
Mc Croskey (1982) mendefinisikan communication apprehension
sebagai suatu kecemasan yang dihubungkan dengan tingkah laku yang banyak
dialami oleh individu. Individu yang mempunyai kecemasan untuk
berpartisipasi dalam komunikasi yang tinggi, tidak dapat mengantisipasi
perasaan negatifnya dan sedapat mungkin menghindari komunikasi.
De Vito (1995) mendefinisikan communication apprehension sebagai
perasaan malu, perasaan takut dan keengganan untuk berkomunikasi atau
terlibat dalam interaksi komunikasi.
Burgoon dan Ruffner (1978) menyebutkan kecemasan komunikasi
sebagai communication anxiety yang didefinisikan sebagai kondisi seseorang
yang merasa cemas dalam menghadapi situasi komunikasi.
Beatty dan Beatty (1976) juga menyebutkan kecemasan komunikasi
sebagai communication anxiety yang didefinisikan sebagai reaksi negatif
terhadap tugas untuk melakukan interaksi komunikasi dengan orang lain atau
orang-orang, dimana muncul kecenderungan penghindaran yang kuat. Orang
dengan kecemasan komunikasi yang tinggi akan memilih untuk menghindari
Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa kecemasan komunikasi adalah kecemasan yang dialami individu dalam
situasi komunikasi dengan orang lain. Kecemasan komunikasi ini merupakan
reaksi negatif terhadap interaksi komunikasi dengan orang lain, yang ditandai
dengan perasaan malu, perasaan takut dan keengganan untuk berkomunikasi
ketika dihadapkan pada situasi komunikasi dengan orang lain.
4. Ciri-ciri Kecemasan Komunikasi
Burgoon dan Ruffner (1978) mengemukakan tentang ciri-ciri
kecemasan komunikasi, yaitu:
a. Keengganan atau ketidaksediaan (Unwillingness), yaitu individu
cenderung enggan dan tidak bersedia dalam komunikasi. Individu enggan
berkomunikasi yang disebabkan adanya rasa cemas dan adanya sifat
introvert, sehingga mengakibatkan rendahnya frekuensi partisipasi dalam
situasi komunikasi.
b. Penghindaran (Avoiding), yaitu individu cendrung menghindar terlibat
dalam komunikasi. Hal ini dapat disebabkan adanya kecemasan atau
kurangnya informasi mengenai situasi komunikasi yang dihadapi yang
dapat mempengaruhi intimasi dan empati terhadap orang lain.
c. Uncontrol, kurangnya kontrol dalam situasi komunikasi yang diakibatkan
terhadap perbedaan individu, reaksi lawan bicara dan faktor lingkungan
lainnya.
Orang yang mengalami kecemasan komunikasi memiliki ciri-ciri
antara lain merasa terganggu dalam interaksi sosial, cenderung menghindar
dari pergaulan, kurang berpartisipasi dalam kelompok, kurang dapat
mengekspresikan diri, merasa tertekan, takut bercakap-cakap dan kurang
dapat mengontrol diri dalam interaksi (De Vito, 1995).
Berdasarkan paparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
keenganan untuk berkomunikasi, penghindaran terhadap komunikasi dan
kurangnya kontrol dalam situasi komunikasi merupakan ciri-ciri yang muncul
ketika seseorang mengalami kecemasan komunikasi.
5. Faktor - faktor yang Mempengaruhi Kecemasan Komunikasi
Kecemasan komunikasi menurut Mc Croskey (dalam De Vito, 1995)
dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:
a. Lack of Communication Skills and Experience (kurangnya keterampilan
dan pengalaman komunikasi)
Kurangnya keterampilan dan pengalaman dalam komunikasi dapat
membuat seseorang mengalami kecemasan komunikasi.
b. Degree of Evaluation (derajat penilaian)
Penilaian dari lingkungan yang menekan akan mengakibatkan munculnya
c. Subordinate Status (status yang lebih rendah)
Status orang lain yang dianggap lebih baik sebagai komunikator juga
dapat menyebabkan kecemasan komunikasi. Berpikir positif terhadap diri
sendiri dan penguatan terhadap keterampilan sendiri dapat menolong
seseorang untuk berpikir secara lebih seimbang.
d. Degree of Conspicuousness (derajat kemencolokkan)
Situasi yang membuat seseorang mencolok atau menyorot dapat
menyebabkan kecemasan komunikasi. Orang menjadi lebih cemas ketika
berbicara di hadapan banyak orang dibandingkan ketika berhadapan
dengan kelompok kecil.
e. Degree of Unpredictability (derajat ketakterprediksian)
Situasi yang tidak bisa diprediksi, seperti situasi yang kabur dan situasi
yang baru dapat memunculkan kecemasan komunikasi.
f. Degree of Dissimilarity (derajat ketidaksamaan)
Merasa tidak sama dengan lawan komunikasi dapat memunculkan
perasaan cemas. Perbedaan yang dirasakan terhadap lawan komunikasi
merupakan suatu pengalaman yang menakutkan dalam komunikasi.
g. Prior Successes and Failures (prioritas terhadap kesuksesan dan
kegagalan)
Pengalaman dalam situasi yang sama berpengaruh besar terhadap cara
merespon. Pengalaman yang lebih berprioritas terhadap kesuksesan pada
berprioritas terhadap kegagalan akan meningkatkan kecemasan
komunikasi.
Berdasarkan paparan di atas, maka dapat dilihat bahwa keterampilan
dan pengalaman komunikasi, penilaian lingkungan, anggapan bahwa orang
lain lebih baik dalam komunikasi, anggapan bahwa orang lain tidak sama
dalam komunikasi, situasi yang mencolok atau menyorot, situasi yang baru
dan kegagalan atau keberhasilan pengalaman komunikasi merupakan
faktor-faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya kecemasan komunikasi terhadap
orang lain.
E. Kecemasan Komunikasi terhadap Lawan Jenis
Remaja dalam kehidupan sosialnya, mereka mulai tertarik kepada lawan
jenisnya dan mulai berpacaran. Dalam kelompok jenis kelamin lain mereka
belajar untuk menguasai keterampilan sosial, misalnya kemahiran berbicara atau
berkomunikasi, mengorganisasi kegiatan sosial dan sebagainya. Keberhasilan
individu melaksanakan tugas perkembangan ini akan membawa penyesuaian
sosial yang lebih baik sepanjang hidupnya (Zulkifli, 1995).
Banyak remaja yang ingin memiliki teman. Mereka mau berkorban,
hormat terhadap orang lain dan sebagainya. Tetapi sayang mereka tidak tahu
bagaimana caranya berkomunikasi dengan orang lain (Kelly, 2004).
Komunikasi dengan orang lain menurut Rakhmat (2001) dapat mengalami
Kecemasan untuk berkomunikasi sering terjadi pada remaja dalam hubungannya
dengan lawan jenis. Kanuyoso (1986) menyatakan bahwa tidak sedikit
muda-mudi atau remaja yang mengalami kecemasan ketika berhadapan dengan lawan
jenisnya. Remaja mulai memiliki hasrat untuk mengenal lawan jenisnya, namun
tidak tahu harus menentukan sikap yang tepat ketika berhadapan dengan lawan
jenis, sehingga terkadang seorang remaja putri hanya menjawab satu dua kata saja
ketika diajak ngobrol oleh teman laki-lakinya dan remaja putra terkadang sama
sekali tidak bisa bicara ketika diajak ngobrol oleh teman perempuannya.
Kecemasan komunikasi tersebut menurut kesimpulan dari beberapa
pendapat ahli yang telah dibahas sebelumnya dinyatakan sebagai reaksi negarif
terhadap interaksi komunikasi dengan orang lain, yang ditandai dengan perasaan
malu, perasaan takut dan keengganan untuk berkomunikasi ketika dihadapkan
pada situasi komunikasi dengan orang lain.
Orang yang pencemas dalam komunikasi cendrung menarik diri dalam
pergaulan, berusaha untuk sekecil mungkin untuk terlibat komunikasi dan
berbicara apabila terdesak saja.
Berdasarkan paparan di atas maka dapat disimpulkan bahwa kecemasan
komunikasi terhadap lawan jenis adalah kecemasan yang sering dialami remaja
ketika dihadapkan pada situasi komunikasi dengan lawan jenisnya. Hal tersebut
merupakan reaksi negatif terhadap interaksi komunikasi dengan orang lain
sebagai lawan jenisnya, yang ditandai dengan perasaan malu, perasaan takut dan
dengan lawan jenis, yang dapat mengakibatkan terganggunya hubungan
interpersonal atau penyesuaian individu terhadap lawan jenisnya.
F. Perbedaan Tingkat Kecemasan Komunikasi terhadap Lawan Jenis antara
Remaja Putra dan Remaja Putri Slaman Yogyakarta
Ariani, dkk. (2002) menyatakan dalam penelitiannya bahwa sebagian
besar masyarakat Sleman mengakui pentingnya tata karma dan norma budaya
Jawa sebagai pedoman dan tuntunan berperilaku dalam masyarakat. Hal tersebut
menunjukkan bahwa masyarakat Sleman masih menjunjung nilai-nilai
kebudayaan Jawa.
Perilaku sosial dalam budaya Jawa ditentukan oleh prinsip kerukunan dan
hormat. Individu selalu berada di bawah tekanan masyarakat untuk bertindak
sesuai dengan prinsip tersebut (Magnis-Suseno, 2001). Tekanan dari masyarakat
ini didukung pula oleh rasa sungkan dan isin yang telah ditanamkan di dalam
keluarga semenjak individu masih kecil. Jadi dalam masyarakat berbudaya Jawa
individu selalu berada dalam tekanan otoritas aturan-aturan yang ditanamkan oleh
masyarakat dan keluarganya.
Seorang anak laki-laki dan perempuan pada masyarakat Jawa sudah
memiliki nilai yang berbeda semenjak kecil. Seorang anak laki-laki cendrung
memiliki arti yang berhubungan dengan martabat, perlindungan dan tumpuan
harapan keluarga dimasa depan, sehingga anak laki-laki mempunyai tanggung
arti yang berhubungan dengan kepraktisan, kehadirannya bermanfaat untuk
memperlancar kegiatan beres-beres urusan rumah tangga dan anak laki-laki
dianggap tabu melakukan tugas-tugas tersebut. Masyarakat juga percaya bahwa
anak perempuan dan laki-laki mempunyai pembawaan sifat yang berbeda, anak
laki-laki sulit diatur, dan anak perempuan lebih mudah diatur serta memahami
keinginan orangtua (Uyun, 2001).
Perbedaan nilai tersebut menimbulkan penilaian atau stereotip masyarakat
yang berbeda dalam memandang laki-laki dan perempuan. Menurut Uyun (2002),
seorang laki-laki dalam budaya Jawa dipandang sebagai seorang yang superior,
yaitu sebagai seorang yang aktif, agresif, mau berusaha dan realistik. Sedangkan
seorang perempuan lebih dipandang sebagai seorang yang inferior, yaitu sebagai
seorang yang penakut, pemalu, pencemas dan cenderung tergantung.
Stereotip atau penilaian masyarakat yang memandang laki-laki sebagai
kaum yang superior lambat laun akan membentuk perilaku remaja putra menjadi
seperti yang mereka harapkan. Hal tersebut juga terjadi pada remaja putri.
Stereotip atau penilaian inferioritas yang diberikan masyarakat lambat laun juga
akan mereka tanamkan dalam diri mereka, sehingga mereka dapat memenuhi
harapan masyarakat. Hal ini terjadi karena masyarakat dalam budaya Jawa
merupakan sumber norma satu-satunya yang secara otoriter mengatur masyarakat
yang ada di dalamnya (Mulder, 1986).
Seorang remaja dalam budaya Jawa selain harus patuh terhadap nilai-nilai
ditegakkan oleh masyarakat, mereka pada umumnya juga memiliki tugas
perkembangan yang harus dilakukan, yaitu menjalin hubungan yang baru dengan
lawan jenis. Penyesuaian diri remaja dengan lawan jenis pada hubungan yang
belum pernah ada sebelumnya tentunya tidak mudah, sehingga terkadang dapat
menimbulkan ketegangan emosi atau kecemasan dan mengakibatkan kegagalan
dalam penyesuaian dengan lawan jenis. Tugas perkembangan yang tidak berhasil
atau yang gagal dilaksanakan oleh remaja akan menimbulkan pertimbangan sosial
yang tidak menyenangkan dari masyarakat (Hurlock, 1991).
Bagi remaja dalam budaya Jawa untuk mewujudkan kedua hal tersebut,
yaitu harapan masyarakat terkait dengan sterotip atau penilaian laki-laki dan
perempuan, serta pemenuhan tugas perkembangan mereka untuk menjalin
hubungan dengan lawan jenis merupakan suatu hal yang tidak mudah, khususnya
bagi remaja putri.
Otoritas masyarakat dalam budaya Jawa tercermin pada perbedaan
penilaian atau strereotip peran gender dalam memandang laki-laki dan perempuan
yang menimbulkan perbedaan aturan dalam hal pergaulan bagi laki-laki dan
perempuan. Seorang remaja putra dalam budaya Jawa menurut Uyun (2002),
dipandang sebagai seorang yang superior, yaitu sebagai seorang yang aktif,
agresif mau berusaha dan realistik. Hal tersebut membuat mereka mendapatkan
larangan dari masyarakat yang tidak begitu ketat dan cenderung lebih bebas, serta
memiliki ruang gerak yang luas dalam pergaulan dengan teman-temannya,
(2002), mereka dipandang oleh masyarakat sebagai seorang yang infereior, yaitu
sebagai seorang yang pemalu, pencemas, penakut dan cenderung tergantung. Hal
tersebut membuat mereka memiliki larangan yang lebih banyak dalam bergaul
daripada remaja putra dan memiliki ruang gerak yang terbatas, serta cenderung
ditempatkan pada sektor domestik, yaitu sektor rumah tangga, yang membuat
mereka kurang memiliki kesempatan untuk melihat dunia luar dan bergaul dengan
teman-temannya, termasuk teman lawan jenisnya.
Penilaian atau stereotip dari masyarakat tersebut menurut Hurlock (1991),
dinyatakan dapat mempengaruhi konsep diri dan sikap remaja terhadap dirinya
sendiri. Maxwell Maltz (dalam Rakhmat, 2001) juga menambahkan bahwa
konsep diri yang positif dapat meningkatkan rasa percaya diri dan rasa percaya
diri sendiri menurut Rakhmat (2001), dinyatakan sebagai faktor yang menentukan
adanya kecemasan komunikasi. Hal tersebut menunjukkan bahwa secara tidak
langsung stereotip dari masyarakat dapat mempemgaruhi terjadinya kecemasan
komunikasi.
Stereotip atau penilaian superioritas dan aturan dalam pergaulan yang
tidak begitu ketat dari masyarakat bagi remaja putra akan menjadi suatu hal yang
mendukung bagi tumbuhnya konsep diri yang positif dan rasa percaya diri mereka
untuk berkomunikasi dengan orang lain, yang akan membuat mereka menjadi
seorang yang aktif, mau berusaha, agresif, pemberani dan realistik dalam interaksi
komunikasi dengan teman-temannya, termasuk teman lawan jenisnya dan
teman-temannya, termasuk dengan teman lawan jenisnya, sehingga akan menekan
kemungkinan terjadinya kecemasan komunikasi ketika mereka dihadapkan pada
situasi komunikasi dengan lawan jenisnya.
Stereotip atau penilaian inferioritas dan larangan dalam hal pergaulan
yang lebih ketat dari masyarakat bagi remaja putri akan menjadi suatu hal yang
kurang mendukung bagi tumbuhnya konsep diri yang positif dan rasa percaya diri
untuk berkomunikasi dengan orang lain, yang membuat mereka menjadi seorang
yang pemalu, penakut, pencemas dan cenderung tergantung dalam interaksi
komunikasi teman-temannya, termasuk teman lawan jenisnya dan membuat
mereka memiliki ruang gerak yang terbatas dalam pergaulan dengan
teman-temannya, termasuk dengan lawan jenisnya, sehingga dapat memicu
kemungkinan terjadinya kecemasan komunikasi ketika mereka dihadapkan pada
situasi komunikasi dengan lawan jenisnya.
Stereotip perbedaan peran gender yang memandang kaum laki-laki
sebagai sosok yang superior dan kaum perempuan sebagai sosok yang inferior
seiring dengan perkembangan zaman kearah modernisasi tampaknya mulai
mengalami pergeseran kearah kesetaraan. Hal ini tampak pada peran kaum
perempuan yang cukup besar dalam berbagai aspek kehidupan dan ruang gerak
mereka yang semakin luas (Uyun, 2002).
Kaum perempuan mulai diperbolehkan mendapatkan
kesempatan-kesempatan seperti kesempatan-kesempatan yang diberikan kepada kaum laki-laki, yaitu
(2002), juga menyatakan bahwa ada perempuan yang bekerja di pabrik, di kantor,
di toko ataupun bekerja sebagai tenaga kerja di negara lain. Bahkan, menurut
Nurmawati (2004), dalam kegiatan yang melibatkan kedua jenis kelamin, kaum
perempuan mulai diberi kesempatan menduduki posisi-posisi penting yang
biasanya diberikan kepada kaum laki-laki. Penelitian yang dilakukan oleh
Arkowitz et al (dalam Leary, !983), juga menemukan bahwa laki-laki lebih cemas
terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan hubungan yang lebih akrab dengan
lawan jenisnya dibandingkan perempuan. Hal tersebut menunjukkan bahwa
kemampuan kaum perempuan sebenarnya belum tentu kalah bila dibandingkan
dengan kaum laki-laki, salah satunya adalah kemampuan untuk berkomunikasi
dengan orang lain, termasuk dengan lawan jenis dalam aktivitas kehidupannya.
G. Hipotesis
Berdasarkan paparan di atas maka diajukan hipotesis penelitian sebagai
berikut:
Ada perbedaan tingkat kecemasan komunikasi terhadap lawan jenis antara remaja
Gbr. 1 Skema Perbedaan Tingkat Kecemasan Komunikasi terhadap Lawan Jenis antara Remaja Putra dan Remaja Putri Sleman Yogyakarta
Budaya Jawa yang dibentuk oleh masyarakat: nilai-nilai terkait dengan stereotip perbedaan peran gender, norma, sikap hidup.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
komparatif. Penelitian ini bertujuan untuk melihat perbedaan tingkat kecemasan
komunikasi terhadap lawan jenis antara remaja putra dan remaja putri Sleman
Yogyakarta.
B. Variabel Penelitian
Variabel penelitian adalah faktor-faktor yang berperan dalam peristiwa
atau gejala yang diteliti (Narbuko dan Achmadi, 2004). Variabel yang digunakan
dalam penelitian ini adalah:
1. Variabel Bebas
Variabel bebas adalah kondisi atau karakteristik yang oleh peneliti
dimanipulasi dalam rangka untuk menerangkan hubungannnya dengan
fenomena yang diobservasi (Narbuko dan Achmadi, 2004). Variabel bebas
dalam penelitian ini adalah jenis kelamin. Remaja yang berjenis kelamin
laki-laki, dalam penelitian ini disebut sebagai remaja putra dan remaja yang
berjenis kelamin perempuan, dalam penelitian ini disebut sebagai remaja
2. Variabel Tergantung
Variabel tergantung adalah kondisi atau karakteristik yang berubah
atau muncul ketika penelitian mengintrodusi, menggubah atau menggganti
variabel bebas (Narbuko dan Achmadi, 2004). Variabel tergantung dalam
penelitian ini adalah kecemasan komunikasi terhadap lawan jenis.
C. Definisi Operasional
Definisi operasional adalah spesifikasi kegiatan penelitian dalam
mengukur variabel dan memanipulasinya (Kerlinger, 2002). Berikut ini adalah
definisi operasional dari jenis kelamin dan kecemasan komunikasi terhadap lawan
jenis:
1. Jenis kelamin
Jenis kelamin adalah keseluruhan ciri atau karakteristik baik secara
biologis ataupun psikologis yang membedakan manusia sebagai laki-laki dan
perempuan. Keterangan mengenai jenis kelamin dalam penelitian ini
diperoleh dari pernyataan subjek dalam keterangan jenis kelamin di dalam
skala mereka.
2. Kecemasan komunikasi terhadap lawan jenis
Kecemasan komunikasi terhadap lawan jenis adalah kecemasan yang
terjadi ketika individu dihadapkan pada situasi komunikasi dengan lawan
interaksi komunikasi dengan orang lain sebagai lawan jenisnya, yang ditandai
dengan perasaan malu, perasaan takut, keengganan untuk berkomunikasi
ketika dihadapkan pada situasi komunikasi dengan lawan jenisnya.
Komunikasi yang terjadi bisa dalam konteks verbal, yaitu dengan
menggunakan bahasa atau kata-kata, seperti ditunjukkan dengan diskusi,
bicara, menjawab, berdialog, berpendapat, ngobrol, serta bercakap-cakap dan
konteks nonverbal, yaitu dengan menggunakan jarak, ekspresi emosi, kontak
mata, serta gerak tubuh, seperti ditunjukkan dengan keguguban, ketegangan,
perasaan senang, keresahan, salah tingkah, kepura-puraan, kemalasan,
keengganan, menghindari pertemuan atau tempat duduk, serta menatap mata
lawan bicara.
Kecemasan komunikasi terhadap lawan jenis di ukur dengan skala
kecemasan komunikasi terhadap lawan jenis yang dibuat berdasarkan ciri-ciri
kecemasan komunikasi yang dikemukakan oleh Burgoon dan Rufnner
(1978), yaitu:
a. Keengganan atau ketidaksediaan (Unwillingness), yaitu individu
cenderung enggan dan tidak bersedia dalam komunikasi. Individu enggan
berkomunikasi yang disebabkan adanya rasa cemas karena adanya sifat
introvert, sehingga mengakibatkan rendahnya frekuensi partisipasi dalam
situasi komunikasi.
b. Penghindaran (Avoiding), yaitu individu cendrung menghindar terlibat
kurangnya informasi mengenai situasi komunikasi yang dihadapi yang
dapat mempengaruhi intimasi dan empati terhadap orang lain.
c. Uncontrol, kurangnya kontrol dalam situasi komunikasi yang diakibatkan
oleh kecemasan. Hal ini dapat dikarenakan kurangnya penyesuaikan diri
terhadap perbedaan individu, reaksi lawan bicara dan faktor lingkungan
lainnya.
Skor skala yang diperoleh menunjukkan tingkat kecemasan
komunikasi terhadap lawan jenis individu. Semakin tinggi skor skala yang
diperoleh, semakin tinggi tingkat kecemasan komunikasi terhadap lawan jenis
individu.
D. Subjek Penelitian
Pemilihan subjek penelitian dilakukan dengan teknik sampel purposif,
yaitu teknik sampel yang ciri-ciri dan sifat-sifatnya diperkirakan mempunyai
sangkut paut erat dengan ciri-ciri atau sifat-sifat yang ada dalam populasi yang
telah diketahui sebelumnya (Narbuko dan Achmadi, 2004).
Subjek yang digunakan dalam penelitian ini memiliki karakteristik sebagai
berikut:
1. Remaja laki-laki ataupun remaja perempuan.
2. Remaja yang berada dalam masa remaja awal, yaitu antara usia 13 tahun
hingga kurang lebih 17 tahun. Alasan pemilihan subjek pada usia remaja awal
untuk lebih mengenal lawan jenisnya. Hal ini merupakan tugas perkembangan
yang harus dipenuhi oleh seorang remaja supaya dapat diterima oleh
lingkungan sosialnya dan juga merupakan hal baru yang membutuhkan
banyak penyesuaian serta proses belajar yang tidak mudah yang terkadang
dapat menimbulkan kecemasan pada diri remaja.
3. Remaja yang dilahirkan, dibesarkan dan bertempat tinggal di kabupaten
Sleman Yogyakarta.
4. Remaja yang merupakan keturunan dari perkawinan antar suku Jawa dan
mengenal bahasa Jawa sebagai bahasa ibu.
E. Prosedur Penelitian
Langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Menyusun alat ukur kecemasan komunikasi terhadap lawan jenis, yaitu skala
Kecemasan Komunikasi terhadap Lawan Jenis dan melakukan uji coba.
2. Melakukan analisis statistik terhadap data hasil uji coba untuk memperoleh
aitem-aitem yang baik dan skala yang reliabel.
3. Menentukan subjek penelitian yang sesuai dengan kriteria dan melakukan
penelitian.
4. Melakukan analisis terhadap data hasil penelitian.
F. Metode dan Alat Pengumpulan Data
Metode yang digunakan untuk mendapatkan data dalam penelitian ini
adalah dengan menggunakan skala, yaitu skala kecemasan komunikasi terhadap
lawan jenis. Skala ini termasuk jenis skala likert dan disusun sendiri oleh peneliti
berdasarkan ciri-ciri kecemasan komunikasi dari Burgoon dan Ruffner dengan
menggunakan metode summated rating, yaitu metode penskalaan pernyataan
sikap yang kesemuanya kira-kira dipandang sama dengan nilai sikap subjek
dalam menanggapi setiap butir aitem dengan mengungkap taraf kesetujuan atau
ketidaksetujuan (Kerlinger, 2002).
Setiap pernyataan dalam skala diberi empat alternatif jawaban, yaitu SS
(Sangat Setuju), S (Setuju), TS (Tidak Setuju), STS (Sangat Tidak Setuju). Skala
kecemasan komunikasi terhadap lawan jenis ini terdiri dari dua rumusan, yaitu
favorabel dan unfavorabel. Pernyataan favorabel berisi pernyataan yang
mendukung, memihak atau menunjukkan ciri adanya atribut yang hendak diukur.
Sedangkan pernyataan unfavorabel adalah pernyataan yang isinya tidak
mendukung, tidak memihak atau tidak menunjukkan ciri adanya atribut yang
hendak diukur.
Berikut ini adalah penskoran skala kecemasan komunikasi terhadap lawan