• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBEDAAN TINGKAT KECEMASAN KOMUNIKASI TERHADAP LAWAN JENIS ANTARA REMAJA PUTRA DAN REMAJA PUTRI SLEMAN YOGYAKARTA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PERBEDAAN TINGKAT KECEMASAN KOMUNIKASI TERHADAP LAWAN JENIS ANTARA REMAJA PUTRA DAN REMAJA PUTRI SLEMAN YOGYAKARTA"

Copied!
125
0
0

Teks penuh

(1)

PERBEDAAN TINGKAT KECEMASAN KOMUNIKASI

TERHADAP LAWAN JENIS ANTARA REMAJA PUTRA DAN

REMAJA PUTRI SLEMAN YOGYAKARTA

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh: Sutri Astuti

NIM: 029114138

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

T

erima kasih

Telah mengajariku membedakan yang benar dan yang salah

Mendorongku untuk mempertahankan mimpi-mimpiku

Menunjukkan padaku agar tidak terpengaruh oleh rintangan

Dan untuk mengubah kebingunganku menjadi senyuman

Telah mengatakan bahwa kalian menyayangiku

Menunjukkan bahwa betapa istimewanya cinta itu

Menghapuskan air mataku kala aku sedih

Dan untuk menenangkan kala aku ingin marah

Telah membantu sesama dengan perbuatan baik kalian

Mengajariku bahwa aku pun mesti menolong sesama

Memelukku ketika aku merasa sunyi

Dan membisikkan padaku, “Aku sayang padamu”

Terima kasih, keluargaku, atas segala yang kalian lakukan.

Entah bagaimana jadinya diriku tanpa kalian.

James Malinchak

Ada orang yang memberikan waktunya, uangnya, keterampilannya dan

koneksinya. Ada juga yang memberikan darahnya ..., tapi setiap orang selalu mempunyai sesuatu untuk diberikan.

Barbara bush

(5)

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak

memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam

kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 20 April 2007

Penulis

(6)

ABSTRAK Yogyakarta. Kecemasan komunikasi terhadap lawan jenis yang dapat mengganggu hubungan individu dengan lawan jenisnya dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya berkaitan dengan stereotip perbedaan peran gender laki-laki dan perempuan yang ada di dalam masyarakat. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada perbedaan tingkat kecemasan komunikasi terhadap lawan jenis antara remaja putra dan remaja putri Sleman Yogyakarta.

Subjek dalam penelitian ini berjumlah 100 orang. Terdiri dari 50 orang laki-laki dan 50 orang perempuan, berusia 13 – 17 tahun, yang merupakan keturunan dari perkawinan antar suku Jawa, yang dilahirkan, dibesarkan dan bertempat tinggal di Sleman Yogyakarta, serta mengenal bahasa Jawa sebagai bahasa ibu.

(7)

ABSTRACT

Astuti, S (2007). The Difference of Communication Anxiety Level toward The Opposite Sex between Sleman Yogyakarta Male and Female Teenagers. Yogyakarta: Departement of Psychology, Faculty of Psychology, Sanata Dharma University.

The research was aimed at investigating the defference of communication anxiety level toward the opposite sex between Sleman Yogyakarta male and female teenagers. Communication anxiety toward the opposite sex that could disturb individual and the opposite sex relationship, was under the influence of culture values hooked on defference gender rules stereotypes males and females in society. The hypothesis proposed there was defference communication anxiety level toward the opposite sex between Sleman Yogyakarta male and female teenagers.

Participant in this research were 100 persons. Consist of 50 males and 50 females, in 13 – 17 years old, were descent of the Javanese marriage, were born, stayed in Sleman Yogyakarta and knew the Javanese language as the mother tongue.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus dan Bunda

Maria yang telah memberikan rahmat dan bimbingan-Nya sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi yang disusun untuk memenuhi syarat memperoleh gelar

Sarjana Psikologi di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Pada kesempatan ini penulis hendak berterima kasih kepada segenap pihak

yang telah memberikan dukungan, semangat, dorongan dan bantuannya dalam bentuk

waktu, pikiran, tenaga ataupun doa kepada penulis, sehingga skripsi ini dapat

diselesaikan dengan baik. Maka sudah sepantasnya penulis mengucapkan terima

kasih kepada:

1. Bapak P. Eddy Suhartanto, S. Psi., M. Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi yang

telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melaksanakan penelitian ini.

2. Ibu Sylvia CMYM, S. Psi., M. Si. selaku Kaprodi Fakultas Psikologi yang telah

membantu dan membimbing penulis selama ini, baik di dalam maupun di luar

kelas.

3. Ibu ML. Anantasari, S. Psi., M. Si. selaku Dosen Pembimbing Skripsi. Terima

kasih atas waktu, tenaga dan sumbangan pikiran yang diberikan, sehingga penulis

dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

4. Ibu MM. Nimas Eki Suprawati, S. Psi., M. Si. selaku Dosen Pembimbing

Akademik. Terima kasih telah menjadi dosen pembimbing yang baik pada dua

(9)

5. Bapak Y. Agung Santoso, S. Psi. selaku Dosen Pembimbing Akademik yang

senantiasa membantu penulis selama empat tahun terakhir.

6. Dra. L. Pratidarmanastiti, MS. selaku Dosen Mata Kuliah Seminar yang telah

memberikan banyak pengetahuan kepada penulis, sehingga penulis dapat

melaksanakan penelitian ini dengan lancar.

7. Pegawai Sekretariat Psikologi. Mas Gandung, Mbak Nanik dan Pak Gie yang

dengan sabar membantu dan melayani kebutuhan administrasi perkuliahan

penulis.

8. Mas Muji dan Mas Doni selaku pengurus Laboratorium dan Ruang Baca

Psikologi yang dengan sabar membantu dan melayani penulis selama praktikum

psikodiagnostik dan juga peminjaman koleksi buku serta literatur.

9. Kedua orangtua penulis yang telah membesarkan dan mendidik dengan sepenuh

hati serta membantu dalam segala hal, baik dalam bentuk dukungan , semangat

ataupun doa. Suatu penghargaan bagiku memiliki kalian.

10. Adik-adikku yang bandel. Terima kasih atas semangat, doa, bantuan dan

kegembiraan yang kalian berikan di setiap hari-hariku.

11. Bude, pakde, bulik dan paklik-paklikku terima kasih atas dukungan dan

bantuannya selama ini.

12. Kakak-kakakku, Mbak Tantie, Mbak Rinie, Mbak Tutut. Terima kasih atas doa

dan nasehat-nasehat yang kalian berikan.

13. Sahabatku di rumah. Siwar, Dewok dan Imung, terima kasih atas dukungan,

(10)

14. Sahabat-sahabatku di SMA. Indrek, Nitul dan Nety. terima kasih atas bantuan,

doa dan dukungannya.

15. Sahabatku Dina yang mau menjadi teman ngobrolku dari bangku SMA hingga di

bangku kuliah.

16. Sahabat-sahabatku di kampus. Winda, Katy, Cicil, terima kasih atas hari-hari

yang begitu mengebirakan, doa dan dukungan yang kalian berikan padaku. Aku

beruntung mengenal kalian.

17. Temen-temen KKN-ku, Nick, Rinda, Lenta, Anez, Domi dan Heri. Terima kasih

atas doa dan bantuannya, senang pernah mengenal kalian.

18. Bappeda Kabupaten Sleman, segenap Perangkat Kelurahan Sinduadi dan segenap

Perangkat Dusun terima kasih atas ijin serta bantuannya sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini.

19. Teman-teman angkatan 2002, baik cewek ataupun cowok yang telah menjadi

sahabat yang baik bagiku. Terima kasih atas saran, doa dan dukungannya.

20. Segenap subjek penelitian yang telah rela meluangkan waktunya untuk membantu

penulis dalam mengisi angket penelitian.

21. Segenap pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh penulis, yang telah

membantu, baik secara moril maupun materiil. Terima kasih penulis sampaikan

kepada Anda semua.

Skripsi ini telah disusun oleh penulis dengan usaha yang maksimal. Namun

demikian, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan

(11)

menerima segala bentuk saran dan kritik yang membangun dari semua pihak, agar

skripsi ini dapat menjadi lebih baik. Penulis juga berharap agar skripsi ini dapat

bermanfaat dan menambah pengetahuan serta wawasan bagi semua pihak yang

terkait.

Yogyakarta, 20 April 2007

Penulis

(12)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

Halaman Persetujuan ... i

Halaman Pengesahan ... ii

Halaman Motto dan Persembahan ... iii

Pernyataan Keaslian Karya ... iv

Abstrak ... v

Abstract ... vi

Kata Pengantar ... vii

Daftar Isi ... xi

Daftar Tabel ... xv

Daftar Gambar ... xvi

Daftar Lampiran ... xvii

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8

1. Manfaat Teoritis ... 8

(13)

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Remaja ... 10

1. Definisi dan batasan Remaja ... 10

2. Ciri-ciri Masa Remaja... 11

3. Tugas Perkembangan Remaja ... 14

B. Jenis Kelamin ... 16

1. Pengertian Jenis Kelamin ... 16

2. Perbedaan Karakteristik Laki-laki dan Perempuan ... 17

C. Budaya Jawa Terkait dengan Stereotip Perbedaan Peran Gender Laki-laki dan Perempuan ... 18

D. Kecemasan Komunikasi... 19

1. Pengertian Komunikasi ... 19

2. Pengertian Kecemasan ... 20

3. Kecemasan Komunikasi ... 21

4. Ciri-ciri Kecemasan Komunikasi ... 22

5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecemasan Komunikasi ... 24

E. Kecemasan Komunikasi terhadap Lawan Jenis... 25

F. Perbedaan Tingkat Kecemasan Komunikasi terhadap Lawan Jenis antara Remaja Putra dan Remaja Putri Sleman Yogyakarta ... 27

(14)

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian ... 35

B. Variabel Penelitian ... 35

1. Variabel Bebas ... 35

2. Variabel Tergantung ... 36

C. Definisi Operasional ... 36

1. Jenis Kelamin ... 36

2. Kecemasan Komunikasi terhadap Lawan Jenis... 36

D. Subjek Penelitian ... 38

E. Prosedur Penelitian ... 39

F. Metode dan Alat Pengumpulan Data ... 40

G. Validitas, Seleksi Aitem dan Reliabilitas ... 42

1. Validitas ... 42

2. Seleksi Aitem ... 43

3. Reliabilitas ... 45

H. Metode Alnalisis Data ... 46

BAB IV. PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pelaksanaan Penelitian ... 47

B. Hasil Penelitian ... 48

1. Deskripsi Data Penelitian ... 48

(15)

a. Uji Normalitas ... 48

b. Uji Homogenitas ... 49

3. Uji Perbedaan ... 49

C. Analisis Tambahan ... 51

D. Pembahasan ... 53

BAB V. PENUTUP A. Kesimpulan ... 60

B. Saran ... 60

DAFTAR PUSTAKA ... 62

(16)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Skala Kecemasan Komunikasi terhadap Lawan Jenis ... 41

Tabel 2. Blue Print Aitem Skala Kecemasan Komunikasi

terhadap Lawan Jenis ... 41

Tabel 3. Distribusi Aitem Pra Uji Coba Skala Kecemasan Komunikasi

terhadap Lawan Jenis ... 42

Tabel 4. Distribusi Aitem Skala Kecemasan Komunikasi

terhadap Lawan Jenis yang Lolos Seleksi ... 44

Tabel 5. Distribusi Aitem Paska Uji Coba Skala Kecemasan Komunikasi

terhadap Lawan Jenis ... 45

Tabel 6. Deskripsi Data Skor Penelitian Kecemasan Komunikasi

terhadap Lawan Jenis ... 48

Tabel 7. Ringkasan Hasil Uji t Skor Kecemasan Komunikasi

terhadap Lawan Jenis ... 50

Tabel 8. Norma Kategori Skor ... 51

Tabel 9. Kategori Skor Kecemasan Komunikasi terhadap Lawan Jenis ... 52

Tabel 9. 1. Kategori Skor Kecemasan Komunikasi terhadap

Lawan Jenis Remaja Putra ... 53

Tabel 9. 2. Kategori Skor Kecemasan Komunikasi terhadap

(17)

DAFTAR GAMBAR

Gbr 1. Skema Perbedaan Tingkat Kecemasan Komunikasi

terhadap Lawan Jenis antara Remaja Putra dan Remaja

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN UJI COBA

Uji Daya Beda Aitem dan Estimasi Reliabilitas ... 64

Slkala Uji Coba Penelitian ... 70

Tabulasi Data Hasil Uji Coba ... 75

LAMPIRAN PENELITIAN Uji Normalitas ... 83

Uji Homogenitas ... 86

Uji perbedaan / Uji t ... 87

Skala Penelitian ... 88

Tabulasi Data Penelitian ... 92

LAMPIRAN SURAT IJIN PENELITIAN DAN SURAT KETERANGAN

(19)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri dan selalu

berkeinginan untuk menjalin hubungan dan berinteraksi dengan manusia yang

lain. Proses interaksi antar manusia tersebut selalu didahului dengan kontak

komunikasi. Komunikasi merupakan peristiwa sosial, yaitu peristiwa yang terjadi

ketika manusia berinteraksi dengan manusia lain (Rakhmat, 2001).

Komunikasi merupakan hal yang biasa dilakukan oleh manusia.

Komunikasi dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari, seperti komunikasi antara

guru dan murid, orangtua dan anak serta komunikasi yang dilakukan remaja putra

dan remaja putri pada masa pacaran, yaitu masa untuk lebih mengenal lawan

jenis.

Komunikasi menurut Johnson (dalam Supratiknya, 2003), dinyatakan

sebagai proses penyampaian pesan baik dalam bentuk verbal ataupun nonverbal

yang dikirimkan oleh seseorang kepada orang lain. Komunikasi juga merupakan

hal yang akrab dalam kehidupan manusia, seperti komunikasi yang dilakukan

oleh remaja putra dan remaja putri dalam pergaulan untuk lebih mengenal

teman-temannya, termasuk teman lawan jenisnya. Berdasarkan hal tersebut maka setiap

manusia, khususnya remaja diharapkan dapat melakukan komunikasi dengan

(20)

demikian, masih saja ada orang yang mengalami kegagalan dalam komunikasi

dengan sesama dan tidak semua remaja dapat berkomunikasi secara baik dengan

lawan jenisnya.

Menurut Rakhmat (2001) kecemasan adalah salah satu faktor yang dapat

menyebabkan kegagalan komunikasi dengan orang lain. Kecemasan dalam

komunikasi menurut De Vito (1995) dinyatakan sebagai perasaan malu, perasaan

takut dan keengganan untuk berkomunikasi atau terlibat dalam interaksi

komunikasi. Orang yang pencemas dalam komunikasi cenderung menarik diri

dari pergaulan, berusaha sekecil mungkin untuk tidak terlibat komunikasi dan

berbicara apabila terdesak saja (Rakhmat, 2001).

Kecemasan dalam berkomunikasi sering terjadi pada remaja dalam

hubungannya dengan lawan jenis. Kanuyoso (1986) menyatakan bahwa tidak

sedikit muda-mudi atau remaja yang kesulitan berhadapan dengan lawan

jenisnya. Hal ini biasanya disebabkan oleh perasaan malu dan minder ketika

berhadapan dengan lawan jenis yang mengakibatkan kesulitan untuk

berkomunikasi, sehingga mereka hanya diam saja ketika harus berhadapan

dengan lawan jenisnya.

Masa remaja adalah masa yang penting dimana seorang individu

mengalami berbagai perubahan baik secara biologis, psikologis ataupun sosial.

Hurlock (1991) menyatakan bahwa awal masa ini berlangsung antara umur 13

tahun sampai dengan kira 17 tahun dan berakhir antara umur 18 hingga

(21)

perkembangan yang berhubungan dengan lawan jenis. Mereka harus

menyesuaikan diri dengan lawan jenis dalam hubungan yang sebelumnya belum

pernah ada. Mereka yang sebelumnya lebih berminat untuk bermain dengan

sesama jenis, pada masa remaja ini minat tersebut mulai beralih kepada

ketertarikan untuk menjalin hubungan dengan lawan jenis. Keadaan atau perasaan

tersebut adalah hal yang baru yang memerlukan penyesuaian, sehingga terkadang

dapat menimbulkan ketegangan emosi atau kecemasan.

Kecemasan komunikasi yang dialami remaja dalam hubungannya dengan

lawan jenis dapat mengganggu terpenuhinya tugas perkembangan remaja, yaitu

menjalin hubungan yang baru dengan lawan jenisnya. Kegagalan penguasaan

tugas perkembangan akan menimbulkan konsekuensi yang tidak menyenangkan

bagi seorang individu. Salah satunya adalah pertimbangan sosial yang tidak

menyenangkan dan tidak dapat dihindari sebagai seorang individu yang dianggap

belum matang. Hal ini akan mengakibatkan penilaian diri yang kurang

menyenangkan dan dapat mengakibatkan konsep diri yang negatif (Hurlock,

1991).

Kecemasan komunikasi tersebut menurut Burgoon dan Ruffner (1978)

memiliki beberapa ciri, meliputi unwillingness yaitu keengganan individu untuk

terlibat komunikasi akibat adanya rasa cemas. Remaja cenderung merasa enggan

untuk terlibat komunikasi dengan lawan jenisnya karena telah dikuasai oleh

perasaan cemas yang ada dalam dirinya. Avoiding yang merupakan komponen

(22)

adanya rasa cemas. Remaja memiliki minat untuk berkomunikasi, tetapi mereka

dikuasai oleh perasaan cemas, sehingga cenderung menghindari situasi

komunikasi dengan lawan jenis. Komponen yang terakhir adalah uncontrol, yaitu

kurangnya kontrol terhadap situasi komunikasi yang diakibatkan adanya rasa

cemas. Remaja kurang dapat mengontrol situasi komunikasi dengan lawan jenis

akibat adanya rasa cemas.

Kecemasan komunikasi terhadap lawan jenis tidak timbul begitu saja

Kecemasan komunikasi terhadap lawan jenis secara tidak langsung dapat

dipengaruhi oleh stereotip masyarakat tempat individu hidup dan dibesarkan.

Anthony (dalam Hurlock, 1991), menegaskan bahwa stereotip berfungsi sebagai

cerminan yang ditegakkan masyarakat bagi remaja, yang menggambarkan citra

diri remaja sendiri yang lambat laun akan dianggap sebagai gambaran yang asli

atau konsep diri dari remaja sendiri dan remaja membentuk perilakunya melalui

gambaran ini. Menurut Maxwell Maltz (dalam Rakhmat, 2001), konsep diri yang

positif dapat meningkatkan rasa percaya diri. Rakhmat (2001) juga

mengemukakan bahwa percaya diri adalah faktor yang paling menentukan adanya

kecemasan komunikasi. Orang yang kurang percaya diri cenderung menghindari

situasi komuniksi, lebih banyak diam dan dalam diskusi cendrung berbicara

terpatah-patah.

Masyarakat sebagai lingkungan sosial telah memberikan stereotip atau

penilaian yang berbeda terhadap laki-laki dan perempuan semenjak lahir.

(23)

untuk bersifat feminin (Uyun, 2002). Penelitian mengenai stereotip atau penilaian

perbedaan peran gender (gender rules) laki-laki dan perempuan telah banyak

dilakukan dan dapat disimpulkan bahwa stereotip atau penilaian perbedaan peran

gender tersebut ada pada semua budaya, termasuk budaya Jawa (Uyun, 2002).

Budaya Jawa hidup dan berkembang pada masyarakat Jawa atau suku

bangsa Jawa. Magnis-Suseno (2001) menyatakan bahwa masyarakat atau suku

bangsa Jawa adalah mereka yang tinggal di bagian tengah dan timur pulau Jawa

dan menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa ibu. Budaya Jawa sendiri

dipelajari melalui pendidikan dalam keluarga sejak seorang individu masih kecil

dan ditekankan oleh masyarakat kepada individu sebagai anggota dari

masyarakat. Pendidikan dalam keluarga dimaksudkan untuk menghasilkan

individu yang sosial dan patuh terhadap otoritas norma dan penilaian

masyarakatnya (Mulder, 1986).

Penelitian mengenai budaya Jawa terkadang dikaitkan dengan kota

Yogyakarta dan ada beberapa peneliti yang memilih kota tersebut sebagai lokasi

penelitian. Hal ini dapat dilihat pada penelitian yang dilakukan Mulder (1986) dan

penelitian yang dilakukan oleh Nurmawati (2004) yang menggunakan kota

Yogyakarta sebagai lokasi penelitian. Namun dalam penelitian ini peneliti ingin

menggunakan Sleman sebagai lokasi penelitian mengingat Sleman merupakan

salah satu daerah yang masih menjunjung budaya Jawa. Sebagian besar

(24)

sebagai pedoman dan tuntunan berperilaku dalam masyarakat (Ariani, dkk.,

2002).

Masyarakat Kabupaten Sleman yang masih menjunjung budaya Jawa

memberikan stereotip atau penilaian bagi laki-laki pada umumnya sebagai

seorang yang superior, yaitu aktif, pemberani, mau berusaha, agresif dan realistik.

Stereotip atau penilaian superioritas tersebut membuat mereka juga mendapatkan

aturan dalam pergaulan dari masyarakat, namun tidak begitu ketat seperti halnya

kaum perempuan (Uyun, 2002). Stereotip atau penilaian superioritas dan

larangan yang tidak begitu ketat dalam hal pergaulan tersebut justru menjadi suatu

hal yang akan mendukung bagi tumbuhnya konsep diri yang positif dan rasa

percaya diri remaja putra ketika harus berkomunikasi dengan orang lain, yang

membuat mereka menjadi seorang yang aktif, pemberani, mau berusaha dan

agresif dalam situasi komunikasi dengan orang lain, termasuk dengan lawan

jenisnya.

Berbeda dengan kaum perempuan yang pada umumnya dipandang sebagai

seorang yang inferior, yaitu penakut, pencemas, tergantung dan pemalu. Stereotip

inferioritas tersebut membuat mereka mendapatkan aturan dalam pergaulan yang

lebih ketat dari masyarakat. Mereka selalu mengingatkan bahwa seorang remaja

putri harus menjaga kehormatan dan tidak boleh keluar malam sendirian (Uyun,

2002). Aturan dalam pergaulan yang lebih ketat dan stereotip atau penilaian

inferioritas masyarakat tersebut menjadi suatu hal yang kurang mendukung bagi

(25)

harus berkomunikasi dengan orang lain, yang membuat mereka menjadi seorang

yang penakut, pencemas, tergantung dan pemalu dalam situasi komunikasi

dengan orang lain, termasuk dengan lawan jenisnya.

Peran kaum perempuan dalam budaya Jawa memang cenderung ditekan

dengan stereotip atau penilaian inferioritas dan ruang gerak dalam kehidupan

serta pergaulannya cenderung dibatasi. Namun, seiring dengan perkembangan

zaman kearah modernisasi, tampak peran kaum perempuan cukup besar dalam

berbagai aspek kehidupan. Ruang gerak kaum perempuan sudah semakin luas dan

mereka juga mulai mendapat kesempatan untuk bekerja di luar rumah serta

memperoleh pendidikan seperti halnya kaum laki-laki. Uyun (2002),

mengemukakan bahwa ada perempuan yang bekerja di pabrik, di kantor, di toko

ataupun bekerja sebagai tenaga kerja di negara lain. Bahkan, menurut Nurmawati

(2004), dalam kegiatan yang melibatkan kedua jenis kelamin, kaum perempuan

mulai diberi kesempatan menduduki posisi-posisi penting yang biasanya

diberikan kepada kaum laki-laki.

Peran kaum perempuan dalam kehidupan yang semakin besar tersebut,

tentu saja menunjukkan bahwa kemampuan kaum perempuan sebenarnya belum

tentu kalah bila dibandingkan dengan kemampuan kaum laki-laki, salah satunya

adalah kemampuan untuk berkomunikasi dengan orang lain, termasuk

(26)

Berdasarkan telaah di atas maka peneliti disini ingin melihat apakah ada

perbedaan tingkat kecemasan komunikasi terhadap lawan jenis antara remaja

putra dan remaja putri Sleman Yogyakarta.

B. Rumusan Masalah

Apakah ada perbedaan tingkat kecemasan komunikasi terhadap lawan

jenis antara remaja putra dan remaja putri Sleman Yogyakarta?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan tingkat kecemasan

komunikasi terhadap lawan jenis antara remaja putra dan remaja putri Sleman

Yogyakarta.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis

a. Apabila penelitian ini terbukti ada perbedaan, diharapkan hasil penelitian

ini dapat memberikan bukti empiris dan menambah informasi di bidang

psikologi, khususnya bagi psikologi komunikasi dan psikologi

perkembangan mengenai perbedaan tingkat kecemasan komunikasi

terhadap lawan jenis antara remaja putra dan remaja putri Sleman

(27)

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan

memberikan inspirasi bagi peneliti selanjutnya untuk melaksanakan

penelitian yang akan datang.

2. Manfaat praktis

a. Bagi remaja

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai wacana reflektif

dan dasar pengembangan keterampilan sosial dalam diri remaja, terutama

keterampilan komunikasi remaja dalam pergaulan dengan lawan jenis,

sehingga remaja dapat lebih mempersiapkan diri untuk mengantisipasi

terjadinya kecemasan komunikasi dalam pergaulan mereka dengan teman

lawan jenis.

b. Bagi masyarakat dan keluarga

Apabila penelitian ini terbukti ada perbedaan, diharapkan hasil penelitian

ini dapat menjadi bahan pertimbangan bagi keluarga dan masyarakat

untuk lebih mengembangkan dan menanamkan nilai-nilai yang

mendukung keterampilan sosial remaja putra dan remaja putri, terutama

keterampilan komunikasi dalam pergaulan dengan lawan jenis bagi

kelompok remaja yang memiliki tingkat kecemasan komunikasi terhadap

lawan jenis yang lebih tinggi dan tetap menanamkan nilai-nilai yang

mendukung keterampilan komunikasi dalam pergaulan dengan lawan jenis

(28)

terhadap lawan jenis yang lebih rendah, sehingga perbedaan kecemasan

komunikasi yang terjadi pada remaja putra dan remaja putri dalam

pergaulan dengan lawan jenisnya dapat diantisipasi secara tepat dan

(29)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Remaja

1. Definisi dan Batasan Remaja

Istilah remaja sering dikenal dengan istilah adolescence yang berasal

dari kata latin adolescere yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa.

Istilah adolescence memiliki artian yang luas, meliputi kematangan mental,

emosional, sosial dan fisik yang berawal pada usia 13 tahun hingga kurang

lebih 17 tahun dan berakhir antara usia 18 tahun hingga kurang lebih 21 tahun

(Hurlock, 1991).

Piaget (dalam Hurlock, 1991) menyatakan bahwa secara psikologis

masa remaja adalah masa dimana seorang individu mulai berintegrasi dengan

masyarakat dewasa, dimana mereka sudah tidak merasakan adanya perbedaan

tingkat usia, baik merasa lebih tua ataupun merasa lebih muda.

Neidhart (dalam Gunarsa, 1981) berpendapat bahwa remaja

merupakan masa peralihan dan ketergantungan dari masa kanak-kanak ke

masa dewasa, dimana ia sudah harus berdiri sendiri. Erikson (dalam Gunarsa,

1981) juga menyatakan definisi mengenai remaja yang dihubungkan dengan

perkembangan psikis yang berlangsung pada masa tersebut. Ia

mengemukakan bahwa remaja merupakan suatu masa dimana terbentuk

(30)

dialami sendiri dan sulit dikenal oleh orang lain, serta tetap ada walaupun

telah mengalami berbagai perubahan.

Pandangan dari segi seksualitas juga dikemukakan oleh Anna Freud

(dalam Gunarsa, 1981), menurutnya remaja merupakan suatu masa yang

meliputi proses perkembangan dimana terjadi perubahan-perubahan dalam hal

motivasi seksual, organisasi ego, hubungan dengan orangtua dan orang lain

serta cita-cita yang dimiliki.

Spranger (dalam Gunarsa, 1981) juga berpendapat bahwa masa

remaja merupakan masa dimana seorang individu sangat membutuhkan

pengertian dan hanya dengan pengertian yang mendalam para remaja dapat

dibantu.

Berdasarkan beberapa pendapat ahli tersebut, maka dapat dikatakan

bahwa remaja adalah individu yang berada pada masa peralihan dan

perubahan berbagai aspek diri, baik fisik, seksual, emosional ataupun psikis

kearah tingkatan yang lebih matang.

2. Ciri-ciri Masa Remaja

Masa remaja adalah masa yang paling menonjol dalam kehidupan

setiap individu. Pada masa ini setiap individu akan mengalami suatau situasi

yang khas yang mungkin tidak dialami pada masa kanak-kanak ataupun masa

(31)

agar dapat diarahkan dengan baik. Zulkifli (1995) mengemukakan beberapa

ciri masa remaja, yaitu:

a. Perubahan fisik

Fisik mengalami perubahan dengan cepat, lebih cepat dibandingkan

perubahan yang terjadi pada masa kanak-kanak dan masa dewasa. Untuk

mengimbangi perubahan yang cepat itu maka remaja memerlukan makan

dan tidur yang lebih banyak.

b. Perkembangan seksual

Seksual mengalami perkembangan yang kadang-kadang menimbulkan

masalah. Tanda-tanda kematangan seksual mulai muncul baik pada remaja

putra ataupun remaja putri. Pada remaja putra alat reproduksi sperma

mulai diprodukasi, leher menonjol karena tumbuhnya buah jakun yang

membuat suara menjadi pecah dan tumbuh bulu-bulu (rambut) di sekitar

alat kemaluannya. Sedangkan pada remaja putri, karena produksi hormon

dalam tubuhnya mulai timbul jerawat, buah dada mulai tumbuh, pinggul

melebar dan mengalami menstruasi.

c. Cara berpikir kausalitas

Remaja akan berpikir kritis sehingga mereka akan melawan bila guru dan

orangtua tidak memahami cara berpikir remaja dan akibatnya akan muncul

(32)

d. Emosi yang meluap-luap

Keadaan emosi remaja masih labil karena erat hubungannya dengan

keadaan hormon. Emosi remaja lebih kuat dan lebih menguasai diri

mereka dari pikiran yang realistis.

e. Mulai tertarik pada lawan jenis

Secara biologis manusia dibagi menjadi laki-laki dan perempuan. Dalam

kehidupan sosial remaja mulai tertarik pada lawan jenis dan mulai

berpacaran. Jika dalam hal ini orangtua kurang mengerti dan melarang,

maka akan menimbulkan masalah dan remaja akan bersikap tertutup

terhadap orangtuanya.

f. Menarik perhatian lingkungan

Remaja mulai menarik perhatian dari lingkungannya, mereka berusaha

mendapatkan status dan peran. Bila tidak diberi peranan, ia akan menarik

perhatian masyarakat dengan malakukan perkelahian atau kenakalan

lainnya.

g. Terikat dengan kelompok

Remaja dalam kehidupan sosial sangat terikat dengan kelompok

sebayanya, sehingga tidak jarang orangtua atau keluarga dinomorduakan

dan kelompok dinomorsatukan. Orangtua biasanya akan marah dan karena

remaja di rumah kurang dimengerti oleh orangtuanya, maka mereka

(33)

Hurlock (1991) mengemukakan beberapa ciri masa remaja meliputi

perubahan fisik, keraguan akan peran dan status, nilai kausalitas, penyesuaian

terhadap standar kelompok, terlibat dalam perbuatan seks dan meningginya

emosi. Gunarsa (1981), juga mengemukakan beberapa ciri remaja meliputi

kegelisahan akan keinginan yang tak tersalurkan, kebingungan akan status,

keinginan akan hal yang berhubungan dengan fungsi ketubuhan (seks,

obat-obatan dan merokok) dan terlibat aktivitas kelompok.

Berdasarkan paparan di atas maka dapat disimpulkan bahwa

perubahan fisik, perkembangan seksual, cara berpikir kausalitas, emosi yang

meluap-luap, mulai tertarik pada lawan jenis atau minat akan seks, menarik

perhatian lingkungan, keraguan akan peran dan status, serta terikat dengan

kelompok merupakan ciri-ciri yang menjadi kekhasan masa remaja.

3. Tugas Perkembangan Remaja

Remaja harus belajar untuk dapat mengembangkan diri. Pada masa

remaja seorang individu akan melewati masa belajar yang cukup luas meliputi

berbagai bidang yang akan menunjang perkembangan kepribadiannya di

dalam kehidupan. Dalam rangka belajar untuk mengembangkan diri, seorang

remaja harus memenuhi beberapa tugas perkembangan. Beberapa tugas

perkembangan tersebut dikemukakan oleh Havighurst (dalam Gunarsa, 1981)

(34)

a. Mencapai hubungan antar pribadi dan berkomunikasi secara lebih dewasa

dengan teman sebaya baik pria atau wanita.

b. Mencapai peran sosial pria atau wanita.

c. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif.

d. Memperoleh kebebasan emosionil dari orangtua dan orang dewasa lain.

e. Mencapai kemandirian emosional dari orangtua dan orang dewasa lainnya.

f. Mempersiapkan karir ekonomi atau lapangan pekerjaan.

g. Mempersiapkan perkawinan dan keluarga.

h. Memperoleh perangkat nilai dan falsafah hidup.

Remaja harus berusaha untuk memenuhi tugas-tugas

perkembangannya tersebut supaya dapat lebih diterima oleh lingkungan

sosialnya. Pendapat serupa mengenai tugas perkembangan remaja juga

dikemukakan oleh Zulkifli (1995), meliputi menarik perhatian teman sebaya

dari kedua jenis kelamin, mencapai peran sosial sebagai pria atau wanita,

menerima keadaan fisik sendiri, mempersiapkan lapangan kerja dan

mempersiapkan diri untuk hidup berkeluarga.

Hurlock (1991) juga mengemukakan beberapa tugas perkembangan

remaja, meliputi menerima peran seks dewasa yang diakui masyarakat,

mencapai kemandirian emosional, mencapai kecakapan sosial dan

mengembangkan nilai yang selaras dengan orang dewasa.

Berdasarkan paparan di atas maka dapat dikatakan bahwa mencapai

(35)

peran sosial pria atau wanita, menerima keadaan fisik, memperoleh kebebasan

emosional, mencapai kemandirian emosional, mempersiapkan karir dan

lapangan kerja, mempersiapkan perkawinan, serta memperoleh perangkat nilai

dan falsafah hidup merupakan tugas perkembangan remaja yang harus

dipelajari oleh remaja dan diteruskan ke masa berikutnya.

B. Jenis Kelamin

1. Pengertian Jenis Kelamin

Individu ditinjau dari jenis kelamin, terdiri dari individu berjenis

kelamin laki-laki dan individu berjenis kelamin perempuan atau dengan istilah

lain disebut sebagai pria dan wanita atau putra dan putri. Pengertian jenis

kelamin menurut Gilarso (2003) dinyatakan sebagai keseluruhan ciri-ciri baik

biologis ataupun psikologis yang membedakan manusia sebagai pria dan

wanita.

Mahmud (dalam Nurmawati, 2004), memberikan pengertian mengenai

jenis kelamin sebagai suatu komponen yang kritis dalam identitas seseorang

dan membedakan manusia dalam dua kelompok, yaitu laki-laki dan

perempuan.

Menurut kamus psikologi (dalam Chaplin, 2002), jenis kelamin

diartikan sebagai perbedaan yang khas antara perempuan dan laki-laki atau

(36)

Berdasarkan paparan di atas maka dapat dikatakan bahwa jenis

kelamin adalah keseluruhan ciri atau karakteristik baik secara biologis

ataupun psikologis yang membedakan manusia sebagai laki-laki dan

perempuan.

2. Perbedaan Karakteristik Laki-laki dan perempuan

Gilarso (2003) menyatakan bahwa secara biologis laki-laki dan

perempuan memiliki karakteristik yang berbeda. Laki-laki memiliki kaki dan

tangan yang kuat, suara besar dan dada yang lapang. Sedangkan perempuan

memiliki tangan dan kaki yang runcing dan lembut, suara kecil merdu dan

dada yang agak menonjol.

Secara psikologis atau kejiwaan mernurut Gilarso (2003), laki-laki dan

perempuan juga memiliki karakteristik yang berbeda. Laki-laki cenderung

lebih terbuka dalam memandang, aktif dan lebih rasional. Sedangkan

perempuan cenderung tertutup dan dipengaruhi oleh perasaan. Sifat

keterbukaan yang dimiliki oleh laki-laki akan membuatnya lebih mudah

dalam menumbuhkan hubungan interpersonal dengan orang lain

dibandingkan dengan sifat tertutup yang dimiliki oleh perempuan, sehingga

laki-laki lebih mudah untuk menjalin komunikasi dengan orang lain, karena

keterbukaan adalah salah satu faktor yang amat berpengaruh dalam

(37)

Berdasarkan paparan di atas, maka dapat dikatakan bahwa baik secara

biologis ataupun psikologis, laki-laki dan perempuan memiliki karakteristik

yang berbeda, dimana laki-laki memiliki karakteristik yang sifatnya lebih

superior atau kuat dan perempuan memiliki karakteristik yang sifatnya lebih

inferior atau lemah.

C. Budaya Jawa Terkait dengan Stereotip Perbedaan Peran Gender Laki-laki

dan Perempuan

Budaya Jawa menurut Magnis-Suseno (2001) adalah budaya yang hidup

dan berkembang dalam masyarakat atau suku bangsa Jawa. Budaya Jawa

dipelajari melalui pendidikan dalam keluarga sejak individu masih kecil dan

ditekankan oleh masyarakat kepada individu sebagi anggota masyarakat (Mulder,

1986).

Masyarakat atau suku bangsa Jawa sendiri menurut Magnis-Suseno (2001)

adalah mereka yang tinggal di tengah atau timur pulau Jawa, serta menggunakan

bahasa Jawa sebagi bahasa ibu. Masyarakat dalam budaya Jawa mengatur secara

otoriter keseluruhan hidup pesertanya. Orang sebagai individu dianggap tidak

penting dan bersama-sama mereka mewujudkan masyarakat. Keselarasan

masyarakat dianggap menjamin kehidupan yang baik bagi individu sebagai

anggota masyarakat (Mulder, 1986).

Penilaian atau stereotip perbedaan peran gender laki-laki dan perempuan

(38)

nilai terkait stereotip perbedaan gender ini tidak hanya dilakukan oleh orangtua,

tetapi juga dilakukan oleh masyarakat secara jelas sejalan dengan pertumbuhan

mereka. Dalam budaya Jawa laki-laki dipandang sebagai kaum yang superior,

yaitu dipandang sebagai individu yang aktif, mau berusaha, pemberani, agresif

dan realistik. Sedangkan perempuan dipandang sebagai kaum yang inferior, yaitu

dipandang sebagai individu yang penakut, pencemas, tergantung dan pemalu

(Uyun, 2002).

Individu menginjak remaja dalam budaya Jawa terkait dengan perbedaan

stereotip atau penilaian terhadap laki-laki dan perempuan juga ditekan oleh

perbedaan peraturan dalam pergaulan. Aturan-aturan tersebut lebih banyak

ditujukan pada remaja putri. Uyun (2002) mengemukakan bahwa masyarakat atau

orangtua dalam budaya Jawa memberikan larangan yang lebih banyak bagi

remaja putri. Seorang pemuda dan pemudi dalam budaya Jawa tidak boleh

memperlihatkan diri bersama sendirian dan kontak yang mungkin terjadi antara

mereka hanya sebentar (Magnis-Suseno, 2001).

Berdasarkan paparan di atas maka dapat dikatakan bahwa stereotip

perbeaan peran gender laki-laki dan perempuan dalam budaya Jawa ditanamkan

oleh masyarakat secara otoriter dan ditenamkan sejak kecil oleh keluarga kepada

(39)

D. Kecemasan Komunikasi

1. Pengertian Komunikasi

Komunikasi berasal dari bahasa latin, yaitu kata commutio atau

common. Ketika mengadakan komunikasi, berarti mencoba memberikan

informasi agar si penerima atau si pengirim sepaham atas pesan tertentu

(Schramm dalam Siahaan, 2000). Effendi (dalam Siahaan, 2000) juga

menyatakan bahwa komunikasi pada hakekatnya adalah proses penyampaian

pikiran atau perasaan oleh komunikator kepada komunikan.

Johnson (dalam Supratiknya, 2003) mendefinisikan komunikasi secara

luas sebagai setiap bentuk tingkah laku seseorang, baik verbal maupun

nonverbal yang ditanggapi oleh orang lain. Komunikasi secara sempit oleh

Johnson ( dalam Supratiknya, 2003), diartikan sebagai pesan yang dikirimkan

oleh seseorang kepada satu atau lebih penerima dengan maksud sadar untuk

mempengaruhi tingkah laku si penerima.

Berdasarkan beberapa pendapat tentang komunikasi di atas, maka

dapat disimpulkan bahwa komunikasi merupakan proses penyampaian pesan

atau informasi yang berupa tingkah laku verbal ataupun nonverbal yang

didalamnya terkandung pikiran dan perasaan dari orang sebagai pengirim

pesan (komunikator) yang ingin disampaikan kepada orang sebagai penerima

(40)

2. Pengertian Kecemasan

Setiap orang pasti pernah merasa cemas karena dihadapkan pada suatu

peristiwa atau pengalaman yang tidak enak, menegangkan dan menekan

dalam kehidupan. Kartono (dalam Ikawati dan Astuti, 2004) mendefinisikan

kecemasan sebagai suatu kegelisahan, kekhawatiran dan ketakutan terhadap

sesuatu yang tidak jelas. Sulaeman (dalam Ikawati dan Astuti, 2004), juga

menambahkan bahwa kecemasan adalah ketidaktenteraman yang kabur, suatu

perasaan gugup atau perasaan-perasaan lain yang tidak menyenangkan seperti

takut, gelisah dan tertekan.

Lazarus (1969) mendefinisikan kecemasan sebagai suatu keadaan atau

kondisi yang kurang menyenangkan. Seseorang akan merasa ragu-ragu,

was-was, curiga dan tidak tenang dalam keadaan cemas, sehingga sulit untuk

melakukan aktivitas dengan baik serta sulit untuk mencapai keberhasilan.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan

bahwa kecemasan merupakan suatu pengalaman emosional yang kurang

menyenangkan yang muncul karena situasi yang menegangkan dan menekan,

yang ditandai dengan perasaan ragu-ragu, was-was, curiga dan tidak tenang.

3. Kecemasan Komunikasi

Kecemasan komunikasi dengan orang lain merupakan suatu gejala

yang mempunyai beberapa istilah. Pada awalnya label kecemasan komunikasi

(41)

ketakutan untuk berkomunikasi di depan umum. Kemudian istilah tersebut

berkembang menjadi communication apprehension, yang merupakan label

kecemasan komunikasi dengan arti yang lebih luas dan meliputi berbagai

situasi dan konteks komunikasi (Mc Croskey, 1982).

Mc Croskey (1982) mendefinisikan communication apprehension

sebagai suatu kecemasan yang dihubungkan dengan tingkah laku yang banyak

dialami oleh individu. Individu yang mempunyai kecemasan untuk

berpartisipasi dalam komunikasi yang tinggi, tidak dapat mengantisipasi

perasaan negatifnya dan sedapat mungkin menghindari komunikasi.

De Vito (1995) mendefinisikan communication apprehension sebagai

perasaan malu, perasaan takut dan keengganan untuk berkomunikasi atau

terlibat dalam interaksi komunikasi.

Burgoon dan Ruffner (1978) menyebutkan kecemasan komunikasi

sebagai communication anxiety yang didefinisikan sebagai kondisi seseorang

yang merasa cemas dalam menghadapi situasi komunikasi.

Beatty dan Beatty (1976) juga menyebutkan kecemasan komunikasi

sebagai communication anxiety yang didefinisikan sebagai reaksi negatif

terhadap tugas untuk melakukan interaksi komunikasi dengan orang lain atau

orang-orang, dimana muncul kecenderungan penghindaran yang kuat. Orang

dengan kecemasan komunikasi yang tinggi akan memilih untuk menghindari

(42)

Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas, maka dapat disimpulkan

bahwa kecemasan komunikasi adalah kecemasan yang dialami individu dalam

situasi komunikasi dengan orang lain. Kecemasan komunikasi ini merupakan

reaksi negatif terhadap interaksi komunikasi dengan orang lain, yang ditandai

dengan perasaan malu, perasaan takut dan keengganan untuk berkomunikasi

ketika dihadapkan pada situasi komunikasi dengan orang lain.

4. Ciri-ciri Kecemasan Komunikasi

Burgoon dan Ruffner (1978) mengemukakan tentang ciri-ciri

kecemasan komunikasi, yaitu:

a. Keengganan atau ketidaksediaan (Unwillingness), yaitu individu

cenderung enggan dan tidak bersedia dalam komunikasi. Individu enggan

berkomunikasi yang disebabkan adanya rasa cemas dan adanya sifat

introvert, sehingga mengakibatkan rendahnya frekuensi partisipasi dalam

situasi komunikasi.

b. Penghindaran (Avoiding), yaitu individu cendrung menghindar terlibat

dalam komunikasi. Hal ini dapat disebabkan adanya kecemasan atau

kurangnya informasi mengenai situasi komunikasi yang dihadapi yang

dapat mempengaruhi intimasi dan empati terhadap orang lain.

c. Uncontrol, kurangnya kontrol dalam situasi komunikasi yang diakibatkan

(43)

terhadap perbedaan individu, reaksi lawan bicara dan faktor lingkungan

lainnya.

Orang yang mengalami kecemasan komunikasi memiliki ciri-ciri

antara lain merasa terganggu dalam interaksi sosial, cenderung menghindar

dari pergaulan, kurang berpartisipasi dalam kelompok, kurang dapat

mengekspresikan diri, merasa tertekan, takut bercakap-cakap dan kurang

dapat mengontrol diri dalam interaksi (De Vito, 1995).

Berdasarkan paparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa

keenganan untuk berkomunikasi, penghindaran terhadap komunikasi dan

kurangnya kontrol dalam situasi komunikasi merupakan ciri-ciri yang muncul

ketika seseorang mengalami kecemasan komunikasi.

5. Faktor - faktor yang Mempengaruhi Kecemasan Komunikasi

Kecemasan komunikasi menurut Mc Croskey (dalam De Vito, 1995)

dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:

a. Lack of Communication Skills and Experience (kurangnya keterampilan

dan pengalaman komunikasi)

Kurangnya keterampilan dan pengalaman dalam komunikasi dapat

membuat seseorang mengalami kecemasan komunikasi.

b. Degree of Evaluation (derajat penilaian)

Penilaian dari lingkungan yang menekan akan mengakibatkan munculnya

(44)

c. Subordinate Status (status yang lebih rendah)

Status orang lain yang dianggap lebih baik sebagai komunikator juga

dapat menyebabkan kecemasan komunikasi. Berpikir positif terhadap diri

sendiri dan penguatan terhadap keterampilan sendiri dapat menolong

seseorang untuk berpikir secara lebih seimbang.

d. Degree of Conspicuousness (derajat kemencolokkan)

Situasi yang membuat seseorang mencolok atau menyorot dapat

menyebabkan kecemasan komunikasi. Orang menjadi lebih cemas ketika

berbicara di hadapan banyak orang dibandingkan ketika berhadapan

dengan kelompok kecil.

e. Degree of Unpredictability (derajat ketakterprediksian)

Situasi yang tidak bisa diprediksi, seperti situasi yang kabur dan situasi

yang baru dapat memunculkan kecemasan komunikasi.

f. Degree of Dissimilarity (derajat ketidaksamaan)

Merasa tidak sama dengan lawan komunikasi dapat memunculkan

perasaan cemas. Perbedaan yang dirasakan terhadap lawan komunikasi

merupakan suatu pengalaman yang menakutkan dalam komunikasi.

g. Prior Successes and Failures (prioritas terhadap kesuksesan dan

kegagalan)

Pengalaman dalam situasi yang sama berpengaruh besar terhadap cara

merespon. Pengalaman yang lebih berprioritas terhadap kesuksesan pada

(45)

berprioritas terhadap kegagalan akan meningkatkan kecemasan

komunikasi.

Berdasarkan paparan di atas, maka dapat dilihat bahwa keterampilan

dan pengalaman komunikasi, penilaian lingkungan, anggapan bahwa orang

lain lebih baik dalam komunikasi, anggapan bahwa orang lain tidak sama

dalam komunikasi, situasi yang mencolok atau menyorot, situasi yang baru

dan kegagalan atau keberhasilan pengalaman komunikasi merupakan

faktor-faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya kecemasan komunikasi terhadap

orang lain.

E. Kecemasan Komunikasi terhadap Lawan Jenis

Remaja dalam kehidupan sosialnya, mereka mulai tertarik kepada lawan

jenisnya dan mulai berpacaran. Dalam kelompok jenis kelamin lain mereka

belajar untuk menguasai keterampilan sosial, misalnya kemahiran berbicara atau

berkomunikasi, mengorganisasi kegiatan sosial dan sebagainya. Keberhasilan

individu melaksanakan tugas perkembangan ini akan membawa penyesuaian

sosial yang lebih baik sepanjang hidupnya (Zulkifli, 1995).

Banyak remaja yang ingin memiliki teman. Mereka mau berkorban,

hormat terhadap orang lain dan sebagainya. Tetapi sayang mereka tidak tahu

bagaimana caranya berkomunikasi dengan orang lain (Kelly, 2004).

Komunikasi dengan orang lain menurut Rakhmat (2001) dapat mengalami

(46)

Kecemasan untuk berkomunikasi sering terjadi pada remaja dalam hubungannya

dengan lawan jenis. Kanuyoso (1986) menyatakan bahwa tidak sedikit

muda-mudi atau remaja yang mengalami kecemasan ketika berhadapan dengan lawan

jenisnya. Remaja mulai memiliki hasrat untuk mengenal lawan jenisnya, namun

tidak tahu harus menentukan sikap yang tepat ketika berhadapan dengan lawan

jenis, sehingga terkadang seorang remaja putri hanya menjawab satu dua kata saja

ketika diajak ngobrol oleh teman laki-lakinya dan remaja putra terkadang sama

sekali tidak bisa bicara ketika diajak ngobrol oleh teman perempuannya.

Kecemasan komunikasi tersebut menurut kesimpulan dari beberapa

pendapat ahli yang telah dibahas sebelumnya dinyatakan sebagai reaksi negarif

terhadap interaksi komunikasi dengan orang lain, yang ditandai dengan perasaan

malu, perasaan takut dan keengganan untuk berkomunikasi ketika dihadapkan

pada situasi komunikasi dengan orang lain.

Orang yang pencemas dalam komunikasi cendrung menarik diri dalam

pergaulan, berusaha untuk sekecil mungkin untuk terlibat komunikasi dan

berbicara apabila terdesak saja.

Berdasarkan paparan di atas maka dapat disimpulkan bahwa kecemasan

komunikasi terhadap lawan jenis adalah kecemasan yang sering dialami remaja

ketika dihadapkan pada situasi komunikasi dengan lawan jenisnya. Hal tersebut

merupakan reaksi negatif terhadap interaksi komunikasi dengan orang lain

sebagai lawan jenisnya, yang ditandai dengan perasaan malu, perasaan takut dan

(47)

dengan lawan jenis, yang dapat mengakibatkan terganggunya hubungan

interpersonal atau penyesuaian individu terhadap lawan jenisnya.

F. Perbedaan Tingkat Kecemasan Komunikasi terhadap Lawan Jenis antara

Remaja Putra dan Remaja Putri Slaman Yogyakarta

Ariani, dkk. (2002) menyatakan dalam penelitiannya bahwa sebagian

besar masyarakat Sleman mengakui pentingnya tata karma dan norma budaya

Jawa sebagai pedoman dan tuntunan berperilaku dalam masyarakat. Hal tersebut

menunjukkan bahwa masyarakat Sleman masih menjunjung nilai-nilai

kebudayaan Jawa.

Perilaku sosial dalam budaya Jawa ditentukan oleh prinsip kerukunan dan

hormat. Individu selalu berada di bawah tekanan masyarakat untuk bertindak

sesuai dengan prinsip tersebut (Magnis-Suseno, 2001). Tekanan dari masyarakat

ini didukung pula oleh rasa sungkan dan isin yang telah ditanamkan di dalam

keluarga semenjak individu masih kecil. Jadi dalam masyarakat berbudaya Jawa

individu selalu berada dalam tekanan otoritas aturan-aturan yang ditanamkan oleh

masyarakat dan keluarganya.

Seorang anak laki-laki dan perempuan pada masyarakat Jawa sudah

memiliki nilai yang berbeda semenjak kecil. Seorang anak laki-laki cendrung

memiliki arti yang berhubungan dengan martabat, perlindungan dan tumpuan

harapan keluarga dimasa depan, sehingga anak laki-laki mempunyai tanggung

(48)

arti yang berhubungan dengan kepraktisan, kehadirannya bermanfaat untuk

memperlancar kegiatan beres-beres urusan rumah tangga dan anak laki-laki

dianggap tabu melakukan tugas-tugas tersebut. Masyarakat juga percaya bahwa

anak perempuan dan laki-laki mempunyai pembawaan sifat yang berbeda, anak

laki-laki sulit diatur, dan anak perempuan lebih mudah diatur serta memahami

keinginan orangtua (Uyun, 2001).

Perbedaan nilai tersebut menimbulkan penilaian atau stereotip masyarakat

yang berbeda dalam memandang laki-laki dan perempuan. Menurut Uyun (2002),

seorang laki-laki dalam budaya Jawa dipandang sebagai seorang yang superior,

yaitu sebagai seorang yang aktif, agresif, mau berusaha dan realistik. Sedangkan

seorang perempuan lebih dipandang sebagai seorang yang inferior, yaitu sebagai

seorang yang penakut, pemalu, pencemas dan cenderung tergantung.

Stereotip atau penilaian masyarakat yang memandang laki-laki sebagai

kaum yang superior lambat laun akan membentuk perilaku remaja putra menjadi

seperti yang mereka harapkan. Hal tersebut juga terjadi pada remaja putri.

Stereotip atau penilaian inferioritas yang diberikan masyarakat lambat laun juga

akan mereka tanamkan dalam diri mereka, sehingga mereka dapat memenuhi

harapan masyarakat. Hal ini terjadi karena masyarakat dalam budaya Jawa

merupakan sumber norma satu-satunya yang secara otoriter mengatur masyarakat

yang ada di dalamnya (Mulder, 1986).

Seorang remaja dalam budaya Jawa selain harus patuh terhadap nilai-nilai

(49)

ditegakkan oleh masyarakat, mereka pada umumnya juga memiliki tugas

perkembangan yang harus dilakukan, yaitu menjalin hubungan yang baru dengan

lawan jenis. Penyesuaian diri remaja dengan lawan jenis pada hubungan yang

belum pernah ada sebelumnya tentunya tidak mudah, sehingga terkadang dapat

menimbulkan ketegangan emosi atau kecemasan dan mengakibatkan kegagalan

dalam penyesuaian dengan lawan jenis. Tugas perkembangan yang tidak berhasil

atau yang gagal dilaksanakan oleh remaja akan menimbulkan pertimbangan sosial

yang tidak menyenangkan dari masyarakat (Hurlock, 1991).

Bagi remaja dalam budaya Jawa untuk mewujudkan kedua hal tersebut,

yaitu harapan masyarakat terkait dengan sterotip atau penilaian laki-laki dan

perempuan, serta pemenuhan tugas perkembangan mereka untuk menjalin

hubungan dengan lawan jenis merupakan suatu hal yang tidak mudah, khususnya

bagi remaja putri.

Otoritas masyarakat dalam budaya Jawa tercermin pada perbedaan

penilaian atau strereotip peran gender dalam memandang laki-laki dan perempuan

yang menimbulkan perbedaan aturan dalam hal pergaulan bagi laki-laki dan

perempuan. Seorang remaja putra dalam budaya Jawa menurut Uyun (2002),

dipandang sebagai seorang yang superior, yaitu sebagai seorang yang aktif,

agresif mau berusaha dan realistik. Hal tersebut membuat mereka mendapatkan

larangan dari masyarakat yang tidak begitu ketat dan cenderung lebih bebas, serta

memiliki ruang gerak yang luas dalam pergaulan dengan teman-temannya,

(50)

(2002), mereka dipandang oleh masyarakat sebagai seorang yang infereior, yaitu

sebagai seorang yang pemalu, pencemas, penakut dan cenderung tergantung. Hal

tersebut membuat mereka memiliki larangan yang lebih banyak dalam bergaul

daripada remaja putra dan memiliki ruang gerak yang terbatas, serta cenderung

ditempatkan pada sektor domestik, yaitu sektor rumah tangga, yang membuat

mereka kurang memiliki kesempatan untuk melihat dunia luar dan bergaul dengan

teman-temannya, termasuk teman lawan jenisnya.

Penilaian atau stereotip dari masyarakat tersebut menurut Hurlock (1991),

dinyatakan dapat mempengaruhi konsep diri dan sikap remaja terhadap dirinya

sendiri. Maxwell Maltz (dalam Rakhmat, 2001) juga menambahkan bahwa

konsep diri yang positif dapat meningkatkan rasa percaya diri dan rasa percaya

diri sendiri menurut Rakhmat (2001), dinyatakan sebagai faktor yang menentukan

adanya kecemasan komunikasi. Hal tersebut menunjukkan bahwa secara tidak

langsung stereotip dari masyarakat dapat mempemgaruhi terjadinya kecemasan

komunikasi.

Stereotip atau penilaian superioritas dan aturan dalam pergaulan yang

tidak begitu ketat dari masyarakat bagi remaja putra akan menjadi suatu hal yang

mendukung bagi tumbuhnya konsep diri yang positif dan rasa percaya diri mereka

untuk berkomunikasi dengan orang lain, yang akan membuat mereka menjadi

seorang yang aktif, mau berusaha, agresif, pemberani dan realistik dalam interaksi

komunikasi dengan teman-temannya, termasuk teman lawan jenisnya dan

(51)

teman-temannya, termasuk dengan teman lawan jenisnya, sehingga akan menekan

kemungkinan terjadinya kecemasan komunikasi ketika mereka dihadapkan pada

situasi komunikasi dengan lawan jenisnya.

Stereotip atau penilaian inferioritas dan larangan dalam hal pergaulan

yang lebih ketat dari masyarakat bagi remaja putri akan menjadi suatu hal yang

kurang mendukung bagi tumbuhnya konsep diri yang positif dan rasa percaya diri

untuk berkomunikasi dengan orang lain, yang membuat mereka menjadi seorang

yang pemalu, penakut, pencemas dan cenderung tergantung dalam interaksi

komunikasi teman-temannya, termasuk teman lawan jenisnya dan membuat

mereka memiliki ruang gerak yang terbatas dalam pergaulan dengan

teman-temannya, termasuk dengan lawan jenisnya, sehingga dapat memicu

kemungkinan terjadinya kecemasan komunikasi ketika mereka dihadapkan pada

situasi komunikasi dengan lawan jenisnya.

Stereotip perbedaan peran gender yang memandang kaum laki-laki

sebagai sosok yang superior dan kaum perempuan sebagai sosok yang inferior

seiring dengan perkembangan zaman kearah modernisasi tampaknya mulai

mengalami pergeseran kearah kesetaraan. Hal ini tampak pada peran kaum

perempuan yang cukup besar dalam berbagai aspek kehidupan dan ruang gerak

mereka yang semakin luas (Uyun, 2002).

Kaum perempuan mulai diperbolehkan mendapatkan

kesempatan-kesempatan seperti kesempatan-kesempatan yang diberikan kepada kaum laki-laki, yaitu

(52)

(2002), juga menyatakan bahwa ada perempuan yang bekerja di pabrik, di kantor,

di toko ataupun bekerja sebagai tenaga kerja di negara lain. Bahkan, menurut

Nurmawati (2004), dalam kegiatan yang melibatkan kedua jenis kelamin, kaum

perempuan mulai diberi kesempatan menduduki posisi-posisi penting yang

biasanya diberikan kepada kaum laki-laki. Penelitian yang dilakukan oleh

Arkowitz et al (dalam Leary, !983), juga menemukan bahwa laki-laki lebih cemas

terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan hubungan yang lebih akrab dengan

lawan jenisnya dibandingkan perempuan. Hal tersebut menunjukkan bahwa

kemampuan kaum perempuan sebenarnya belum tentu kalah bila dibandingkan

dengan kaum laki-laki, salah satunya adalah kemampuan untuk berkomunikasi

dengan orang lain, termasuk dengan lawan jenis dalam aktivitas kehidupannya.

G. Hipotesis

Berdasarkan paparan di atas maka diajukan hipotesis penelitian sebagai

berikut:

Ada perbedaan tingkat kecemasan komunikasi terhadap lawan jenis antara remaja

(53)

Gbr. 1 Skema Perbedaan Tingkat Kecemasan Komunikasi terhadap Lawan Jenis antara Remaja Putra dan Remaja Putri Sleman Yogyakarta

Budaya Jawa yang dibentuk oleh masyarakat: nilai-nilai terkait dengan stereotip perbedaan peran gender, norma, sikap hidup.

(54)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian

komparatif. Penelitian ini bertujuan untuk melihat perbedaan tingkat kecemasan

komunikasi terhadap lawan jenis antara remaja putra dan remaja putri Sleman

Yogyakarta.

B. Variabel Penelitian

Variabel penelitian adalah faktor-faktor yang berperan dalam peristiwa

atau gejala yang diteliti (Narbuko dan Achmadi, 2004). Variabel yang digunakan

dalam penelitian ini adalah:

1. Variabel Bebas

Variabel bebas adalah kondisi atau karakteristik yang oleh peneliti

dimanipulasi dalam rangka untuk menerangkan hubungannnya dengan

fenomena yang diobservasi (Narbuko dan Achmadi, 2004). Variabel bebas

dalam penelitian ini adalah jenis kelamin. Remaja yang berjenis kelamin

laki-laki, dalam penelitian ini disebut sebagai remaja putra dan remaja yang

berjenis kelamin perempuan, dalam penelitian ini disebut sebagai remaja

(55)

2. Variabel Tergantung

Variabel tergantung adalah kondisi atau karakteristik yang berubah

atau muncul ketika penelitian mengintrodusi, menggubah atau menggganti

variabel bebas (Narbuko dan Achmadi, 2004). Variabel tergantung dalam

penelitian ini adalah kecemasan komunikasi terhadap lawan jenis.

C. Definisi Operasional

Definisi operasional adalah spesifikasi kegiatan penelitian dalam

mengukur variabel dan memanipulasinya (Kerlinger, 2002). Berikut ini adalah

definisi operasional dari jenis kelamin dan kecemasan komunikasi terhadap lawan

jenis:

1. Jenis kelamin

Jenis kelamin adalah keseluruhan ciri atau karakteristik baik secara

biologis ataupun psikologis yang membedakan manusia sebagai laki-laki dan

perempuan. Keterangan mengenai jenis kelamin dalam penelitian ini

diperoleh dari pernyataan subjek dalam keterangan jenis kelamin di dalam

skala mereka.

2. Kecemasan komunikasi terhadap lawan jenis

Kecemasan komunikasi terhadap lawan jenis adalah kecemasan yang

terjadi ketika individu dihadapkan pada situasi komunikasi dengan lawan

(56)

interaksi komunikasi dengan orang lain sebagai lawan jenisnya, yang ditandai

dengan perasaan malu, perasaan takut, keengganan untuk berkomunikasi

ketika dihadapkan pada situasi komunikasi dengan lawan jenisnya.

Komunikasi yang terjadi bisa dalam konteks verbal, yaitu dengan

menggunakan bahasa atau kata-kata, seperti ditunjukkan dengan diskusi,

bicara, menjawab, berdialog, berpendapat, ngobrol, serta bercakap-cakap dan

konteks nonverbal, yaitu dengan menggunakan jarak, ekspresi emosi, kontak

mata, serta gerak tubuh, seperti ditunjukkan dengan keguguban, ketegangan,

perasaan senang, keresahan, salah tingkah, kepura-puraan, kemalasan,

keengganan, menghindari pertemuan atau tempat duduk, serta menatap mata

lawan bicara.

Kecemasan komunikasi terhadap lawan jenis di ukur dengan skala

kecemasan komunikasi terhadap lawan jenis yang dibuat berdasarkan ciri-ciri

kecemasan komunikasi yang dikemukakan oleh Burgoon dan Rufnner

(1978), yaitu:

a. Keengganan atau ketidaksediaan (Unwillingness), yaitu individu

cenderung enggan dan tidak bersedia dalam komunikasi. Individu enggan

berkomunikasi yang disebabkan adanya rasa cemas karena adanya sifat

introvert, sehingga mengakibatkan rendahnya frekuensi partisipasi dalam

situasi komunikasi.

b. Penghindaran (Avoiding), yaitu individu cendrung menghindar terlibat

(57)

kurangnya informasi mengenai situasi komunikasi yang dihadapi yang

dapat mempengaruhi intimasi dan empati terhadap orang lain.

c. Uncontrol, kurangnya kontrol dalam situasi komunikasi yang diakibatkan

oleh kecemasan. Hal ini dapat dikarenakan kurangnya penyesuaikan diri

terhadap perbedaan individu, reaksi lawan bicara dan faktor lingkungan

lainnya.

Skor skala yang diperoleh menunjukkan tingkat kecemasan

komunikasi terhadap lawan jenis individu. Semakin tinggi skor skala yang

diperoleh, semakin tinggi tingkat kecemasan komunikasi terhadap lawan jenis

individu.

D. Subjek Penelitian

Pemilihan subjek penelitian dilakukan dengan teknik sampel purposif,

yaitu teknik sampel yang ciri-ciri dan sifat-sifatnya diperkirakan mempunyai

sangkut paut erat dengan ciri-ciri atau sifat-sifat yang ada dalam populasi yang

telah diketahui sebelumnya (Narbuko dan Achmadi, 2004).

Subjek yang digunakan dalam penelitian ini memiliki karakteristik sebagai

berikut:

1. Remaja laki-laki ataupun remaja perempuan.

2. Remaja yang berada dalam masa remaja awal, yaitu antara usia 13 tahun

hingga kurang lebih 17 tahun. Alasan pemilihan subjek pada usia remaja awal

(58)

untuk lebih mengenal lawan jenisnya. Hal ini merupakan tugas perkembangan

yang harus dipenuhi oleh seorang remaja supaya dapat diterima oleh

lingkungan sosialnya dan juga merupakan hal baru yang membutuhkan

banyak penyesuaian serta proses belajar yang tidak mudah yang terkadang

dapat menimbulkan kecemasan pada diri remaja.

3. Remaja yang dilahirkan, dibesarkan dan bertempat tinggal di kabupaten

Sleman Yogyakarta.

4. Remaja yang merupakan keturunan dari perkawinan antar suku Jawa dan

mengenal bahasa Jawa sebagai bahasa ibu.

E. Prosedur Penelitian

Langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut:

1. Menyusun alat ukur kecemasan komunikasi terhadap lawan jenis, yaitu skala

Kecemasan Komunikasi terhadap Lawan Jenis dan melakukan uji coba.

2. Melakukan analisis statistik terhadap data hasil uji coba untuk memperoleh

aitem-aitem yang baik dan skala yang reliabel.

3. Menentukan subjek penelitian yang sesuai dengan kriteria dan melakukan

penelitian.

4. Melakukan analisis terhadap data hasil penelitian.

(59)

F. Metode dan Alat Pengumpulan Data

Metode yang digunakan untuk mendapatkan data dalam penelitian ini

adalah dengan menggunakan skala, yaitu skala kecemasan komunikasi terhadap

lawan jenis. Skala ini termasuk jenis skala likert dan disusun sendiri oleh peneliti

berdasarkan ciri-ciri kecemasan komunikasi dari Burgoon dan Ruffner dengan

menggunakan metode summated rating, yaitu metode penskalaan pernyataan

sikap yang kesemuanya kira-kira dipandang sama dengan nilai sikap subjek

dalam menanggapi setiap butir aitem dengan mengungkap taraf kesetujuan atau

ketidaksetujuan (Kerlinger, 2002).

Setiap pernyataan dalam skala diberi empat alternatif jawaban, yaitu SS

(Sangat Setuju), S (Setuju), TS (Tidak Setuju), STS (Sangat Tidak Setuju). Skala

kecemasan komunikasi terhadap lawan jenis ini terdiri dari dua rumusan, yaitu

favorabel dan unfavorabel. Pernyataan favorabel berisi pernyataan yang

mendukung, memihak atau menunjukkan ciri adanya atribut yang hendak diukur.

Sedangkan pernyataan unfavorabel adalah pernyataan yang isinya tidak

mendukung, tidak memihak atau tidak menunjukkan ciri adanya atribut yang

hendak diukur.

Berikut ini adalah penskoran skala kecemasan komunikasi terhadap lawan

Gambar

Tabel 1Skor Skala Kecemasan Komunikasi terhadap Lawan Jenis
Tabel 3Distribusi Aitem Pra-Uji coba Skala Kecemasan Komunikasi terhadap Lawan Jenis
Tabel 4Distribusi Aitem Skala Kecemasan Komunikasi terhadap Lawan Jenis yang Lolos
Tabel 5Distribusi Aitem Paska-Uji coba Skala Kecemasan Komunikasi terhadap Lawan Jenis
+6

Referensi

Dokumen terkait

dalam bentuk senyawa yang lebih kecil atau disebut juga ion sianida (CN) - ,.. hydrogen sianida (HCN),

Tinggi rendahnya porositas suatu tanah ini sangat berguna dalam menentukan tanaman yang cocok untuk tanah tersebut.Bila suatu tanah dengan porositas

pada siswa tunagrahita dapat menambah inovasi dalam dunia pendidikan serta dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pendidik ataupun peneliti lain, khususnya dalam

tinggi bagi anak kemenakannya. Ulayat Kaum , ditentukan bagi pengelolaan hutan oleh kaum dalam satu paruik. Maka setiap kaum yang ada di Nagari Guguak Malalo

Dari hasil simulasi yang dilakukan terhadap 1000 simbol OFDM, kedua teknik ini memberikan reduksi PAPR yang semakin besar untuk jumlah subblok yang semakin

Ketika anda mengetahui tipe kepribadian, akan lebih mudah untuk memi- lih aksi, karir dan pasangan yang sesuai dengan kepribadian anda.. Misalkan, jika anda termasuk orang

[r]

Saya tidak berani ,mengungkapkan kepada magister bahwa saya kurang senang dengan sikap magister yang kurang mendengarkan saya ketika saya menceritakan pergulatan saya di