PENGETAHUAN LOKAL SEBAGAI BAGIAN DALAM MENGEMBANGKAN DESAIN PEMBELAJARAN SAINS DI SD
BUNGKUS, PARANGTRITIS, KRETEK
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Fisika
Oleh:
S. YAKOBUS EKO SETIAWAN NIM: 031424004
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA
JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
i
PENGETAHUAN LOKAL SEBAGAI BAGIAN DALAM MENGEMBANGKAN DESAIN PEMBELAJARAN SAINS DI SD
BUNGKUS, PARANGTRITIS, KRETEK
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Fisika
Oleh:
S. YAKOBUS EKO SETIAWAN NIM: 031424004
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA
JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
Katakan padaku, hai tukang kayu
bagaimana caranya memotong kayu?
Lihat…lihat, anakku
beginilah caranya memotong kayu
Karya ini kupersembahkan untuk:
Sahabat, Guru dan Kekasih Sejatiku
Yesus Kristus
vi
S. Yakobus Eko Setiawan, Pengetahuan Lokal Sebagai Bagian Dalam Mengembangkan Desain Pembelajaran Sains di SD Bungkus, Parangtritis, Kretek. Program Studi Pendidikan Fisika, Jurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Fakultas Keguruan dan Ilmu Kependidikan, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta (2008).
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pengetahuan lokal masyarakat tentang alam di sekitar daerah penelitian, dilanjutkan dengan melihat pengaruh pengetahuan lokal masyarakat tentang alam pada siswa dalam konteks materi pembelajaran sains di kelas. Berdasarkan hal tersebut, kemudian didesain pembelajaran sains yang mengintegrasikan pengetahuan lokal masyarakat tentang alam menjadi bagian dalam pembelajaran sains di kelas.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September-November 2007 dengan lokasi penelitian di SD Negri Bungkus, Parangtritis, Kretek dan termasuk daerah sekitarnya. Penelitian didahului dengan wawancara lapangan di sekitar lokasi penelitian pada tiga orang tokoh masyarakat, kemudian dilanjutkan dilaksanakan di SD Negri Bungkus, Parangtritis, Kretek dengan subyek siswa kelas V dan VI menggunakan wawancara dan uraian tertulis sebagai instrumen penelitiannya.
vii
ABSTRACT
S.Yakobus Eko Setiawan, The Local Science as a part in developing the design of Science Learning Activities in Bungkus Elementary School, Parangtritis, Kretek. Physic Education Study Programme, Department of Mathematics and Science Education, Faculty of Teachers Training and Education, Sanata Dharma University (2008).
This research aims to identify the local science of the society upon their environment within the location of the research, which is later on continued by figuring out its influence toward the students due to the context of science learning activities in the class. Thus, the learning activities for science is then designed to be integrated with the local science of the society upon their environment.
This research is held on September until November 2007, located in Bungkus Elementary School, Parangtritis, Kretek dan some relevant area near the location. The research is begun by the field interview in the location. The first interviewees are three people, then it is continued by the interview toward the students of class V and VI in Bungkus elementary School, Parangtritis, kretek. Written essay is considered to be the instrument in the research.
viii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Bapa, Putera dan Roh Kudus atas karunia & kasih-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Pengetahuan Lokal Sebagai Bagian Dalam Mengembangkan Desain Pembelajaran Sains di SD Bungkus, Parangtritis, Kretek”.
Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Fisika di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Dalam penyusunan tulisan ini peneliti telah memperoleh segala bantuan dari banyak pihak, oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Bp. T. Sarkim, Ph.D. selaku guru dan dosen pembimbing skripsi yang telah
memberikan perhatian, bimbingan dan saran dan terutama banyak inspirasi yang dapat dikembangkan .
2. Bp. R. Rohandi, M.Ed., selaku dosen pembimbing akademik, Dr. Paul Suparno, S.J., M.S.T., Bp. Drs. Domi S, M.Si, Bp. Drs. Fr. Y. Kartika Budi, M.Pd, Bp. A. Atmadi, M.Si., Ibu Maslichah Asy’ari, M.Pd. dan Bp. Drs. F. Sinaradi, M.Pd. selaku para guru dan dosen program studi Pendidikan Fisika USD yang telah membimbing dan menginspirasi penulis selama melaksanakan pendidikan di Universitas Sanata Dharma ini.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v
ABSTRAK ... vi
ABSTRACT... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI... x
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Landasan Teori... 2
1. Teori Sosiokultural Vygotsky ... 2
a. Hukum Genetik Tentang Perkembangan ... 3
b. Zona Perkembangan Proksimal ... 3
c. Mediasi... 4
2. Pemahaman Masyarakat Jawa/Lokal terhadap Alam ... 5
a. Masyarakat Jawa... 5
b. Pandangan Masyarakat Jawa Terhadap Alam ... 6
3. Pengaruh Budaya dan Pentingnya Pengetahuan Lokal dalam Pembelajaran Sains di Sekolah ... 9
4. Model Pembelajaran Sains Berbasis Pengetahuan Lokal tentang Alam
... 13
5. Pembelajaran Sains SD ... 15
a. Sains... 15
b. Pembelajaran Sains di SD... 16
6. Metafora Pelintas Batas ... 20
C. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 21
1. Lokasi dan Keadaan Alam ... 21
2. Keadaan Masyarakat ... 22
3. Mitologi... 23
D. Rumusan Masalah ... 24
E. Tujuan Penelitian ... 24
F. Manfaat Penelitian ... 25
BAB II. METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian... 26
B. Partisipan Penelitian... 26
C. Waktu dan Tempat Penelitian ... 27
D. Desain Penelitian... 27
E. Instrumen Penelitian ... 28
1. Wawancara... 29
2. Uraian Tertulis ... 29
F. Metode Analisis Data... 30
xii
BAB III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Diskripsi Penelitian ... 32
B. Hasil Penelitian ... 33
1. Identifikasi Pengetahuan Lokal Masyarakat yang Terdapat di Sekitar Lokasi Penelitian dalam Melihat Suatu Fenomena Alam ... 33
2. Pengaruh Pengetahuan Lokal Masyarakat tentang Alam dalam Diri Siswa terhadap Pembebelajaran Sains di Kelas dalam Melihat Suatu Fenomena Alam ... 42
3. Rencana Pembelajaran yang Melibatkan Penggunaan Pengetahuan Lokal Masyarakat terhadap Alam dalam Pembelajaran Sains di Kelas ... 52
BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 68
B. Saran ... 70
DAFTAR PUSTAKA ... 72
LAMPIRAN Lampiran 1 : Surat Permohonan Izin Penelitian ... 74
Lampiran 2 : Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian ... 75
Lampiran 3 : Hasil Wawancara Masyarakat ... 76
Lampiran 4 : Analisis Wawancara Masyarakat ... 81
Lampiran 5 : Soal Uraian Siswa... 84
Lampiran 6 : Hasil Jawaban Uraian Siswa ... 86
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia adalah negara yang memiliki berbagai keragaman budaya, dari
bahasa, suku bangsa, agama dan adat istiadat, sehingga dapat dikatakan bahwa
Indonesia terdiri dari bermacam-macam latar budaya (multikultur). Budaya
menurut Koentjaraningrat (1990) adalah keseluruhan sistem, gagasan, cipta,
tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang
dijadikan milik dari manusia dengan cara belajar. Dalam proses pembelajaran
yang terjadi di sekolah, terdapat proses dan interaksi antar budaya, antara siswa,
guru, lingkungan sekolah dan lingkungan luar sekolah (masyarakat), sehingga
dalam pembelajaran di kelas akan terjadi proses interaksi budaya yang akan
sangat mempengaruhi proses belajar oleh siswa, terutama pada proses
perkembangan proses berpikir (cognitive development) anak.
Kebudayaan juga menghasilkan sistem pengetahuan, sehingga sistem
pengetahuan menjadi salah satu unsur dari kebudayaan (Koentjaraningrat,
1990). Mengingat bahwa di Indonesia terdapat beragam budaya pada setiap
tempat dan daerahnya, maka akan menyebabkan juga adanya perbedaan sistem
pengetahuan yang dimiliki, sehingga setiap tempat atau daerah yang mempunyai
latar belakang budaya yang berbeda akan memiliki sistem pengetahuan lokal
sendiri. Sistem pengetahuan lokal yang khas, khususnya dalam memandang
alam juga dimiliki oleh suatu masyarakat, dan akan dimiliki oleh setiap anggota
masyarakat dengan proses belajar. Dalam pendidikan di Indonesia, pengetahuan
terhadap alam diajarkan dalam pembelajaran di sekolah sebagai mata pelajaran
sains, tetapi kurang memperhatikan pengaruh budaya lokal (Wahyudi, 2003).
Karena sains dapat dianggap sebagai produk budaya barat, sehingga mata
pelajaran sains sendiri dapat dipandang sebagai suatu budaya sendiri (budaya
barat). Oleh sebab itu, dalam pendidikan di Indonesia, proses belajar dan
mengajar di kelas, khususnya pada mata pelajaran sains perlu untuk
memperhatikan pengaruh latar belakang budaya dan pengetahuan lokal
lingkungan sekitar dalam melihat, memahami dan memecahkan suatu
permasalahan yang terjadi dalam kelas (Wahyudi 2003, Tilaar 2004).
Agar sains yang dipelajari menjadi lebih humanis dan kontekstual, dan juga
karena topik budaya ini sangat relevan pada pendidikan di Indonesia, serta
karena sangat sedikitnya penelitian tentang pengaruh pengetahuan lokal di
sekolah khususnya terhadap proses pembelajaran sains di kelas, maka penulis
bermaksud mengkaji dan meneliti lebih lanjut dalam penelitian ini.
B. Landasan Teori
1. Teori Sosiokultural Vygotsky
Pemikiran Vygotsky dapat disebut sebagai filsafat konstuktivisme sosial
(Suparno, 2007) dan juga merupakan teori belajar revolusi-sosiokultural
(Budiningsih, 2005), yang didasari pada latar belakang sosial budaya dalam
melihat dan memahami perkembangan proses berpikir (cognitive
Beberapa konsep dari pemikiran Vygotsky yang penting, yaitu:
a) Hukum Genetik Tentang Perkembangan
Vygotsky berpendapat bahwa aktivitas manusia diakibatkan atau
didasarkan dari seting budayanya dan tidak dapat dimengerti di luar seting
budayanya sendiri.
Pemikiran Vygotsky tentang perkembangan proses berpikir (cognitive
development) didasarkan pada dua bagian pokok (Woolfolk, 2005), pertama
dalam level sosial dan kemudian pada level individual, pertama antar
sesama (inter-psycoloyical) kemudian dalam diri anak (intra-pscologycal).
Pada intinya, perkembangan kognitif dikonsepsikan sebagai transformasi
dari aktivitas sosialisasi yang diberikan, kemudian diinternalisasi dalam diri
anak dan menjadi bagian dari perkembangan kognitif anak. Internalisasi itu
bersifat transformatif, yaitu tidak hanya sekedar transfer pengetahuan, tetapi
juga memunculkan perubahan dan perkembangan (Budiningsih, 2005).
b) Zona Perkembangan Proksimal
Menurut Vygotsky, perkembangan seseorang dapat dibedakan dalam
dua tingkat, yaitu pada tingkat perkembangan aktual dan kemudian pada
tingkat perkembangan potensial. Tingkat perkembangan aktual tampak dari
kemampuan seseorang dalam memecahkan masalah secara mandiri, sedang
tingkat perkembangan potensial adalah kemampuan seseorang dalam
memecahkan masalah dengan bantuan orang dewasa. Jarak di antara tingkat
perkembangan aktual dan tingkat perkembangan potensial disebut zona
perkembangan proses mental yang lebih tinggi dari anak yang didapatkan
dari proses interaksi bersama antara orang dewasa dengan anak sendiri
dengan ZPD (Zone of Proximal Development). Tepatnya, ZPD adalah
daerah dimana anak tidak dapat menyelesaikan suatu masalah sendirian,
tetapi dapat berhasil melalui bimbingan orang dewasa (orang tua, guru) atau
dalam kerjasama dengan teman yang lebih dewasa (Woolfolk, 2005).
c) Mediasi
Perkembangan didasarkan pada sistem simbol yang bersamanya individu
tumbuh, simbol yang diciptakan kebudayaan untuk membantu seseorang
berpikir, berkomunikasi, dan memecahkan masalahnya (Slavin, 2005),
singkatnya simbol-simbol dalam budaya masyarakat dimana anak tumbuh
diperlukan anak dalam proses belajarnya. Sistem simbol atau bisa disebut
alat budaya ini dapat berupa bahasa, sistem tulisan, atau sistem hitungan.
Sistem simbol ini berfungsi sebagai mediator dan merupakan produk dari
lingkungan sosio-kultural (Budiningsih, 2005). Sistem ini diberikan dari
orang yang lebih dewasa dan kemudian diinternalisasi dalam diri anak
melalui interaksi formal dan informal, serta pengajaran (Woolfolk, 2005)
yang digunakan untuk membantu dalam perkembangan proses berpikir,
proses mental yang lebih tinggi serta pemecahan masalah.
Oleh sebab itu, dalam pembelajaran sains di sekolah, proses berpikir
anak terhadap sains tidak dapat dilihat tanpa memperhatikan faktor/seting
budaya yang mendasari cara berpikir anak, dan juga mediasi (alat budaya)
2. Pemahaman Masyarakat Jawa/Lokal Terhadap Alam
a) Masyarakat Jawa
Menurut sejarah daerah kebudayaan, daerah kebudayaan Jawa meliputi
seluruh bagian tengah dan timur pulau Jawa, dan secara kolektif ada
daerah yang disebut daerah kejawen, yang meliputi daerah Kedu,
Banyumas, Madiun, Malang, Kediri, serta Yogyakarta dan Surakarta yang
adalah pusat dari kebudayaan Jawa. Sedangkan daerah diluar itu disebut
dengan Jawa Pesisir dan Ujung Timur (Gunakaya, 1988). Berdasar
daerah kebudayaan tadi, walaupun ada perbedaan variasi yang bersifat
lokal seperti bahasa, dialek, dan lainnya, hal itu tidaklah besar karena
masih menunjukkan satu sistem kebudayaan Jawa.
Menurut Frans Magnis Suseno (1985), Orang Jawa adalah adalah
orang yang bahasa ibunya adalah bahasa Jawa, orang Jawa adalah
penduduk asli bagian tengah dan timur pulau Jawa yang berbahasa Jawa,
atau yang walaupun hidup di tempat lain, mempunyai profesi lain tapi
masih tetap mempertahankan bahasa dan adat istiadat mereka.
Dua kaidah dasar kehidupan masyarakat Jawa adalah prinsip
kerukunan dan prinsip hormat (Suseno, 1985).
Prinsip kerukunan bertujuan mempertahankan masyarakat dalam keadaan
harmonis. Rukun merupakan keadaan ideal yang diharapkan dan wajib
dipertahankan dalam semua hubungan sosial, yang berarti berada dalam
Prinsip rukun bersifat negatif, yaitu mencegah segala cara kelakuan yang
bisa mengganggu keselarasan dan tidak menimbulkan konflik.
Sedangkan, prinsip hormat menunjukkan bahwa semua hubungan dalam
masyarakat teratur secara hierarkis dan setiap orang wajib untuk
membawa diri sesuai dengannya, yaitu setiap orang dalam cara bicara dan
membawa diri harus selalu menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain
sesuai derajat dan kedudukannya. Prinsip hormat mencita-citakan
masyarakat yang teratur baik, dimana setiap orang mengenal tempat dan
tugasnya, dan dengan demikian ikut menjaga agar seluruh masyarakat
merupakan suatu kesatuan yang selaras. Kedua prinsip tadi merupakan
prinsip keselarasan, yang sangat mempengaruhi masyarakat dan dengan
sendirinya menjadi bagian dalam kebudayaan masyarakat serta juga akan
berpengaruh pada sistem pengetahuan lokal tentang alam.
b) Pandangan Masyarakat Jawa Terhadap Alam
Yang khas dalam pandangan masyarakat Jawa Terhadap Alam adalah
tidak terbaginya realitas atas bagian yang terpisah-pisah tanpa adanya
hubungan satu sama lain, melainkan realitas dilihat sebagai satu kesatuan
yang menyeluruh (Suseno, 1985), seperti juga dinyatakan oleh Niels
Mulder (1984) bahwa cara berpikir orang Jawa adalah menyatukan dan
menyelaraskan semua gejala. Berbeda dengan kebudayaan pada rata-rata
kebudayaan barat, bahwa realitas (alam fisik, masyarakat dan alam
adikodrati) dipisah, dibagi dan dibedakan secara tajam dimana semuanya
Jawa tidak terlalu memperhatikan perbedaan gejala yang ada, tetapi
memandangnya sebagai suatu kesatuan pengalaman yang menyeluruh agar
dicapai keadaan yang seimbang, maka orang Jawa cenderung tidak
membedakan antara teori dan praksis.
Dasar kebenaran bagi masyarakat Jawa bukan terletak pada alam
kebendaan/materi karena kebendaan tidak dihormati dan tidak dapat
menjadi dasar berpikir obyektif yang mengambil dasar kebenaran dari
pengertian tentang alam fisik (ilmu pengetahuan alam) yang dipisahkan
dari kehidupan manusia (Mulder, 1984). Pengertian yang timbul tidak bisa
diuji pada suatu sumber obyektif yang diluar hakekat hidup sendiri.
Kepastian hidup dan kepastian berpikir terletak pada alam sosial-simbolis
yang pasti, bukan pada ilmu pengetahuan alam. Kebenaran dicari dari
dalam kebulatan kehendak masyarakat, dan hasilnya adalah benar. Orang
akan benar bila selaras dengan hasil tersebut. Kebenaran terletak pada
alam sosial-simbolis dan tidak bisa menjadi obyektif. Kebenaran terletak
pada manusia dan kosmosnya, dan tidak ada dasar untuk menguji
kebenaran yang secara lebih tinggi daripada manusia. Kebenaran dan
kepastian terletak dalam kolektivitas manusia, ketidakpastian
individual-psikologis diganti dengan kepastian sosial yang otonom dan monolitis.
(Mulder, 1984). Sehingga terlihat bahwa rasionalitas kebudayaan Jawa
adalah berupa suatu pemahaman yang menyeluruh, sedangakan
Teknologi yang berkembang tentunya juga berdampingan dengan
dengan sistem pengetahuan dengan corak budaya Jawa tersebut, karenanya
lebih bertumpu pada fakta-fakta yang langsung dapat dijangkau oleh indra
manusia, dan kepada akumulasi pengalaman yang secara langsung dapat
dirasakan (Sasmojo, 1991).
Penghayatan terhadap alam tidak terpisahkan dari hubungan dengan
masyarakat dan alam adikodrati sebagai kesatuan yang selaras. Melalui
masyarakat, orang Jawa berhubungan dengan alam, irama alam seperti
siang dan malam, musim hujan dan musim kemarau menjadi iramanya
sendiri dan menentukan kehidupannya sehari-hari, pekerjaan serta seluruh
perencanaannya (Suseno, 1985). Bagi orang Jawa, alam empiris,
pengalaman dengan alam dan manusia juga berhubungan dan menjadi
kesatuan dengan alam metaempiris (alam gaib), sehingga orang Jawa
mengalami dunia selain menyesuaikan diri dengan dimensi sosial dan
alam juga dengan dimensi metaempiris. Dalam tradisi, hal itu terungkap
pada upacara “slametan”, yang berarti membuat keadaan dan unsur-unsur
tadi agar menjadi seimbang, karena dalam keselarasan itu tergantung
keselamatan manusia. Tradisi Jawa juga menghasilkan pengetahuan lokal
yang mendasarkan pada koordinasi unsur-unsur yang saling berhungan itu,
seperti : primbon, petungan dan pranata mangsa yang sampai sekarang
masih digunakan oleh masyarakat Jawa.
Pengetahun lokal tentang alam yang sampai sekarang masih dipakai
dalam bercocok tanam adalah pranata mangsa. Pranata mangsa yang
artinya “pengaturan musim” adalah merupakan sistem penanggalan
pertanian yang dasarnya adalah tahun surya. (Daljoeni, 1983)
3. Pengaruh Budaya dan Pentingnya Pengetahuan Lokal dalam
Pembelajaran Sains di Sekolah
Budaya, menurut Koentjaraningrat (1990), adalah keseluruhan sistem,
gagasan, cipta tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan
masyarakat yang dijadikan milik dari manusia dengan cara belajar. Sehingga
dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa budaya menyangkut hampir
keseluruhan tindakan manusia secara yang sadar dilakukan secara belajar.
Proses belajar dalam masyarakat sendiri tidak lepas dari kebudayaan
masyarakat itu sendiri, sehingga dalam masyarakat proses belajar adalah
merupakan proses belajar kebudayaan.
Sains yang merupakan usaha manusia untuk mencari keteraturan dalam
pengamatan oleh manusia pada alam (Giancoli, 2004), bila dilihat dari
pengertian budaya, adalah juga merupakan salah satu unsur pokok
kebudayaan yang dapat ditemukan pada semua bangasa di dunia, yaitu
termasuk dalam sistem pengetahuan (Koentjaraningrat, 1990), tepatnya sistem
pengetahuan tentang alam.
Sistem pengetahuan yang dimiliki oleh suatu bangsa atau lebih tepat lagi
suatu suku bangsa atau kelompok sosial tertentu, dalam antropologi disebut
Ahimsa (2003) didefinisikan sebagai “system of knowledge and cognition
typical of a given culture”, sehingga penekannannya disini adalah pada sistem
pengetahuan yang khas dari suatu masyarakat dan berbeda dengan
pengetahuan masyarakat lain, dan etnosains sendiri juga merupakan salah satu
teori atau aliran dari antropologi budaya yang menekankan pada usaha
memperoleh pemahaman tentang dunia penduduk asli/lokal (Ember & Ember,
1980).Dalam penelitian ini istilah etnoscience ini mengacu pada istilah sains
tradisional atau pengetahuan lokal terhadap alam atau sains (IPA) lokal, yang
dapat diartikan sebagai pemikiran atau kepercayaan serta praktek atau
kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan konsep/materi pelajaran IPA
(Wahyudi, 2003).
Menurut Aikenhead dan Cobern (1998), sains sendiri adalah merupakan
sub-budaya dari kebudayaan barat. Dalam pandangan antropologi budaya,
pembelajaran sains dianggap sebagai penguasaan budaya dan pengajaran sains
dianggap sebagai transmisi budaya (Wollcot dalam Aikenhead dan Cobern,
1998).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sains merupakan bagian
budaya, lebih tepatnya sistem pengetahuan, yang dimiliki manusia melalui
proses belajar dan belajar sains adalah juga merupakan belajar kebudayan,
khususnya sub-budaya/sistem pengetahuan barat.
Proses belajar unsur-unsur kebudayaan asing oleh warga suatu
masyarakat, yaitu melalui proses akulturasi dan asimilasi (Koentjaraningrat,
dapat dianggap sebagai budaya asing yang bila dipelajari oleh warga
masyarakat bukan barat (warga masyarakat dengan budaya sendiri/budaya
lokal) juga akan terjadi proses belajar kebudayaan melalui proses akulturasi
dan asimilasi.
Bila terdapat kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu
dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayan asing dengan
sedemikian rupa sehingga unsur-unsur dari kebudayaan asing lambat laun
diterima dan diolah kedalam kebudayaannya sendiri tanpa menyebabkan
hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri, pastilah terjadi proses sosial
yang disebut dengan akulturasi (Koentjaraningrat, 1990). Pada pembelajaran
di kelas, dimana terdapat kelompok manusia (siswa-siswa) dengan suatu
sistem pengetahuan tertentu (pengetahuan lokal) dihadapkan dengan sistem
pengetahuan asing (mata pelajaran sains) dalam proses belajar mengajar di
kelas sehingga unsur-unsur pelajaran sains lambat laun diterima dan diolah
tanpa mengakibatkan hilangnya kepribadian kebudayaan lokal, pastilah terjadi
proses akulturasi budaya dalam kelas.
Tetapi pada kenyataannya, dalam pembelajaran dalam kelas akan terjadi
proses penerimaan dan penolakan oleh siswa yang tentunya sudah mempunyai
sistem pengetahuan sendiri (pengetahuan lokal) terhadap pembelajaran sains
(sistem pengetahuan asing). Bila terjadi penerimaan oleh siswa terhadap
sistem pengetahuan asing tersebut (pelajaran sains) sehingga dapat terjadi
akulturasi budaya, maka proses tersebut disebut dengan proses asimilasi
dekat, suka, senang, dan faktor-faktor lain, dimana faktor-faktor tersebut
merupakan faktor yang mendukung dalam proses pembelajaran sains dalam
diri siswa sendiri. Sedangkan penolakan pada siswa akan menimbulkan
konflik-konflik yang dapat menghambat dan mengganggu proses
pembelajaran sains, bahkan dapat mengakibatkan terjadinya ketrasingan pada
diri siswa (Maddock dalam Aikenhead dan Cobern, 1999). Maka disinilah
letak pentingnya pengetahuan lokal dalam pembelajaran sains disekolah yaitu
bahwa faktor budaya, seperti pengetahuan lokal akan sangat berpengaruh pada
proses pembelajaran sains.
Pelajaran sains pada hakekatnya berobyek pada eksplorasi manusia
terhadap alam, dan hal itu merupakan landasan bagi kerangka variasi orientasi
sistem nilai budaya (Koentjaraningrat, 1990). Karena ada kebudayaan yang
memandang alam sebagai sesuatu hal yang begitu dasyat sehingga manusia
hanya dapat mengalah tanpa dapat berusaha banyak, ada kebudayaan yang
mengganggap bahwa manusia hanya dapat mencari keselarasan manusia
dengan alam (kebuadayaan rata-rata di Indonesia). Sebaliknya, ada
kebudayaan yang memandang alam sebagai sesuatu hal yang dapat dilawan
oleh manusia dan mewajibkan manusia untuk selalau berusaha menahklukan
alam, mengekspolitasi dan mengeksplorasi atau bahkan “memperkosa alam”
(kebudayaan barat, dalam hal ini adalah sains sebagai sub-budaya barat),
sehingga hal tersebut akan menyebabkan adanya perbedaan sistem
4. Model Pembelajaran Sains Berbasis Pengetahuan Lokal tentang Alam
Untuk mengembangkan pembelajaran sains berbasis kebudayaan lokal,
George seperti dikutip oleh Wahyudi (2003) menyarankan kepada para guru
untuk memperhatikan empat hal berikut dalam kegiatan pembelajaran di
kelas, yaitu :
1. Memberi kesempatan kepada siswa untuk mengekspresikan
pikiran-pikirannya, untuk mengakomodasi konsep-konsep atau keyakinan yang di
miliki siswa, yang berakar pada sains tradisional
2. Menyajikan kepada siswa contoh-contoh keganjilan atau keajaiban
(discrepant events) yang sebenarnya hal yang biasa menurut
konsep-konsep baku sains
3. Mendorong siswa untuk aktif bertanya
4. Mendorong siswa untuk membuat serangkaian skema tentang konsep yang
dikembangkan selama proses KBM
Driver dan Hewson dalam Wahyudi (2003) telah mengembangkan model
Pembelajaran sains berbasis sains lokal (etnoscience). Driver menyusun
model pembelajaran yang disebut dengan Conceptual Change Model yang
terdiri dari lima fase pembelajaran, yaitu : (1) fase orientasi yang memberikan
kesempatan kepada siswa untuk mengidentifikasi konsep-konsep sains yang
berkembang dalam masyarakat (etnoscience). (2) fase elisitasi yaitu untuk
mengeluarkan konsepsi-konsepsi mereka (3) fase restukturisasi yaitu dengan
memberi kesempatan secara bersama-sama bagi siswa dan guru untuk
sains barat, setelah itu baru dilakukan (4) fase review dengan sebelumnya
memberi kesempatan kepada siswa untuk mengaplikasikan konsep yang telah
direstukturisasi melalui pemberian soal maupun penyelesaian suatu masalah.
Sedangkan, Hewson yang berangkat dari pandangan konstruktivisme, bahwa
proses belajar siswa melalui proses panjang secara bertahap, yang tahapan itu
antara lain adalah terjadinya pergumulan (konflik) ide dalam diri siswa yang
berakar dalam pada sains lokal maupun sains barat dengan konsep-konsep
baru yang sedang dipelajari, modifikasi konsep yang berkembang dalam
pikiran siswa sampai dengan restrukturisasi konsep akhibat interaksi selama
proses pembelajaran.
Wahyudi (2003), memberikan saran tindakan untuk melakukan reformasi
kurikulum IPA di daerah, yaitu implementasi kurikulum IPA yang berbasis
pada sains lokal (etnoscience) melaui langkah-langkah di bawah ini :
1. Identifikasi sains tradisional, baik yang berupa pemikiran (kepercayaan)
maupun kebiasaan tindakan/praktek yang berkembang dalam masyarakat.
2. Pengelompokan dari langkah 1 ke dalam dua kategori, yaitu yang “selaras”
dan yang “bertentangan” dengan sains barat (materi pelajaran IPA).
3. Pengintegrasian sains tradisional ke dalam kurikulum IPA di sekolah
melalui penyusunan silabus dan bahan ajar.
4. Uji coba silabus dan bahan ajar oleh guru kelas dibantu dan dipantau oleh
tim rekayasa kurikulum.
5. Penyempurnaan silabus dan bahan ajar oleh tim rekayasa kurikulum.
Dari beberapa pendekatan model pembelajaaran sains (IPA) yang berbasis
pada sains lokal (pengetahuan lokal terhadap alam), dapat disimpulakan hal
pokok untuk perencanaan pembelajaran sains di kelas, yaitu:
1. Identifikasi sains lokal/pengetahuan lokal terhadap alam dari lingkungan
masyarakat sekitar yang dapat digunakan/menjadi bagian dalam
pembelajaran mata pelajaran sains di sekolah.
2. Melihat pada diri siswa, sejauh mana pemikiran, kepercayaan, kegiatan
atau kebiasaan siswa terhadap sains lokal/pengetahuan lokal terhadap alam
berpengaruh.
3. Membantu siswa melakukan “dialog” sebagai sesuatu yang sejajar dan
saling menghargai, sehingga muncul pertanyaan dari anak sendiri atas
“keselarasan” dan “pertentangan” antara sains lokal/pengetahuan lokal
terhadap alam dengan sains barat (mata pelajaran IPA) yang dipelajari
pada diri siswa.
5. Pembelajaran sains SD
a) Sains
Aspek penting dalam Sains mencakup dua hal, yaitu aspek proses dan
aspek produk.
Aspek Produk adalah hasil dari rekaan/buatan manusia dalam rangka
memahami dan menjelaskan alam bersama dengan berbagai fenomena
didalammya, aspek produk dalam sains dapat berupa teori, prinsip, dan
dikembangkan oleh manusia untuk mengetahui keadaan diri dan
lingkungannya (Sarkim, 1998). Lebih lanjut menurut Sarkim (1998), sains
yang berobyek pada alam membentuk dunianya sendiri melalui teori,
prinsip dan hukum sains, sehingga struktur pengetahuan dalam sains
membangun persepsi tersendiri pada manusia mengenai alam, dunia ilmu
alam.
Aspek proses dikenal juga dengan aspek metode keilmuan, yaitu
metode memperoleh pengetahuan. Horner dan Hunt dalam Sarkim (1998),
menyatakan bahwa metode keilmuan merupakan perpaduan antara
rasionalisme yang memandang bahwa pengetahuan dapat diperoleh
melalui pemikiran dan empirisme yang memandang bahwa pengetahuan
diperoleh dari pengalaman. Tahap-tahap metode keilmuan secara garis
besar terdiri dari: (1) adanya masalah dan perumusan masalah, (2)
pengamatan dan pengumpulan data, (3) penyusunan data, (4) perumusan
hipotesa, (5) deduksi dan hipotesis, (6) pengujian hipotesis.
b) Pembelajaran Sains di SD
Rohandi (1998), menyatakan bahwa tujuan pembelajararan sains
adalah untuk membuat anak berpikir logis, berkembang dan berdaya, cara
berpikir dan sikap sehingga dapat berguna untuk anak sendiri dan juga
untuk mengubah kebudayaan (mengembangakan masyarakat). Dari
pendapat tersebut jelas bahwa, pembelajaran sains disini dapat berfungsi
selain untuk mengembangkan cara berpikir anak juga berperan dalam
melalui anak (agent of change) yang juga merupakan anggota dari suatu
masyarakat.
Pembelajaran sains di sekolah dasar (SD) menurut kurikulum KTSP
yang dipakai di Indonesia saat ini menekankan bahwa proses pembelajaran
sains SD ditujukan pada pemberian pengalaman langsung untuk
mengembangkan kompetensi agar menjelajahi dan memahami alam
sekitar secara ilmiah (Puskur, 2007). Pengalaman terhadap alam sekitar
yang diperoleh oleh siswa secara langsung dalam interaksinya dengan
alam dan lingkungan terkadang berbeda dengan apa yang diperolehnya
dalam buku dan pelajaran sains di sekolah yang dipandang sebagai
pengetahuan ilmiah. Pengetahuan ilmiah dalam hal ini sebagai budaya
ilmiah, didasarkan pada metode ilmiah yang merupakan bagian dari
kebudayaan barat yang tidak diperoleh siswa dari lingkunganya dalam
meninjau alam, ataupun pada sekolah. Hal itu dimungkinkan karena
metode ilmiah ini tidak diajarkan oleh sebab tidak terdapat dalam standar
kompetensi maupun materi pelajaran sains SD. Sehingga, bagaimanakah
mungkin, siswa diharapkan memahami secara ilmiah alam sekitarnya, bila
cara berpikir maupun budaya ilmiah tidak ditekankan dan bahkan tidak
diajarkan, padahal berpikir ilmiah yang didasarkan diri pada metode
ilmiah merupakan hasil budaya barat yang dapat dimiliki siswa dengan
belajar. Dalam pembelajaran, hal ini menyebabkan salah pengertian pada
diri asiswa dan menganggap bahwa pengetahuan lokal terhadap alam yang
dengan buku dan pelajaran sains di sekolah, sehingga dianggap tidak
ilmiah.
Ruang Lingkup bahan kajian IPA untuk SD/MI pada pelajaran Sains
SD dalam kurikulum KTSP meliputi aspek-aspek berikut :
1. Makhluk hidup dan proses kehidupan, yaitu manusia, hewan,
tumbuhan dan interaksinya dengan lingkungan, serta kesehatan
2. Benda/materi, sifat-sifat dan kegunaannya meliputi: cair, padat dan gas
3. Energi dan perubahannya meliputi: gaya, bunyi, panas, magnet, listrik,
cahaya dan pesawat sederhana
4. Bumi dan alam semesta meliputi: tanah, bumi, tata surya, dan
benda-benda langit lainnya
Ruang lingkup kurikulum KTSP diatas, memungkinkan pengetahuan
lokal tentang alam dapat digunakan dalam pelajaran sains SD, salah
satunya adalah mengenai bumi dan alam semesta. Berdasarkan analisis
ruang lingkup tersebut, ditemukan beberapa standar kompetensi yang
potensial untuk mengembangkan pembelajaran dimana pengetahuan lokal
tentang alam menjadi bagian dalam pelajaran sains SD. Standar
kompetensi dan kompetensi dasar yang potensial dalam ruang lingkup
RUANG LINGKUP MATERI PENELITIAN
Kelas Semester Standar kompetensi Kompetensi Dasar I II • Mengenal berbagai benda langit dan
peristiwa alam (cuaca dan musim) serta pengaruhnya terhadap kegiatan manusia
1. Mengenal berbagai benda langit melalui pengamatan
2. Mengenal keadaan cuaca di sekitar kita 3. Membedakan pengaruh musim kemarau
dengan musim hujan terhadap kegiatan manusia
II II • Memahami peristiwa alam dan pengaruh matahari dalam kehidupan sehari-hari
1. Mengidentifikasi kenampakan matahari pada pagi, siang dan sore hari
2. Mendeskripsikan kegunaan panas dan cahaya matahari dalam kehidupan sehari-hari
III II • Memahami kenampakan permukaan bumi, cuaca dan pengaruhnya bagi manusia, serta hubungannya dengan cara manusia memelihara dan melestarikan alam
1. Mendeskripsikan kenampakan permukaan bumi di lingkungan sekitar
2. Menjelaskan hubungan antara keadaan awan dan cuaca
3. Mendeskripsikan pengaruh cuaca bagi kegiatan manusia
4. Mengidentifikasi cara manusia dalam memelihara dan melestarikan alam di lingkungan sekitar
IV II • Memahami perubahan kenampakan permukaan bumi dan benda langit
1. Mendeskripsikan perubahan kenampakan bumi
2. Mendeskripsikan posisi bulan dan kenampakan bumi dari hari ke hari
• Memahami perubahan lingkungan fisik dan pengaruhnya terhadap daratan
1. Mendeskripsikan perubahan kenampakan bumi
2. Mendeskripsikan posisi bulan dan kenampakan bumi dari hari ke hari 3. Memahami perubahan lingkungan fisik
dan pengaruhnya terhadap daratan 4. Mendeskripsikan berbagai penyebab
perubahan lingkungan fisik (angin, hujan, cahaya matahari, dan gelombang air laut)
5. Menjelaskan pengaruh perubahan lingkungan fisik terhadap daratan (erosi, abrasi, banjir, dan longsor) 6. Mendeskripsikan cara pencegahan
kerusakan lingkungan (erosi, abrasi, banjir, dan longsor)
• Memahami hubungan antara sumber daya alam dengan lingkungan, teknologi, dan masyarakat
1. Menjelaskan hubungan antara sumber daya alam dengan lingkungan 2. Menjelaskan hubungan antara sumber
daya alam dengan teknologi yang digunakan
3. Menjelaskan dampak pengambilan bahan alam terhadap pelestarian lingkungan
V II • Memahami perubahan yang terjadi di alam dan hubungannya dengan penggunaan sumber daya alam
1. Mendeskripsikan proses pembentukan tanah karena pelapukan
6. Metafora Pelintas Batas
Siswa dianggap sebagai pelintas batas antara dua budaya, yaitu nilai-nilai
budaya dalam kehidupannya sehari-hari (budaya lokal) dengan nilai-nilai
budaya sains dari barat (Wahyudi, 2003).
Costa dalam Wahyudi (2003), mengelompokan siswa dalam lima kategori
berdasarkan cara mereka masuk kedalam budaya sains disekolah dari
kebudayaan lokal mereka.
a) Kelompok pertama disebut dengan Potensial Sains, dimana siswa dapat
melintasi batas budaya dan menganggap bahwa batas budaya tersebut
tidak ada.
b) Kelompok kedua disebut dengan Other Smart Kid, dimana siswa dapat
melewati batas budaya, tetapi masih mengakui sains sebagai budaya asing.
3. Mendeskripsikan struktur bumi 4. Mendeskripsikan proses daur air dan
kegiatan manusia yang dapat mempengaruhinya
5. Mendeskripsikan perlunya penghematan air
6. Mengidentifikasi peristiwa alam yang terjadi di Indonesia dan dampaknya bagi makhluk hidup dan lingkungan 7. Mengidentifikasi beberapa kegiatan
manusia yang dapat mengubah
permukaan bumi (pertanian, perkotaan, dsb)
VI II • Memahami matahari sebagai pusat tata surya dan interaksi bumi dalam tata surya
1. Mendeskripsikan sistem tata surya dan posisi
2. penyusun tata surya
3. Mendeskripsikan peristiwa rotasi bumi, revolusi bumi dan revolusi bulan 4. Menjelaskan terjadinya gerhana bulan
dan gerhana matahari
c) Kelompok ketiga disebut I Don’t Know Student, dimana siswa
menghadapi masalah serius saat melewati batas budaya tetapi mau belajar
menagatasinya dengan belajar terus menerus.
d) Kelompok keempat disebut Outsider, dimana siswa cenderung terasing
selama proses pembelajaran berlangsung dan menghadapi masalah besar
saat melewati batas budaya sehingga tidak dapat melewati batas budaya
dikarenakan kuatnya pengaruh budaya lokal daripada mata pelajaran sains.
e) Kelompok terakhir disebut Inside Outsider, dimana siswa tidak dapat
melewati batas budaya karena diskriminasi.
C. Deskripsi Lokasi Penelitian
Dari penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh H.J Wibowo (2005) di
dapatkan data-data tentang desa Parangtritis sebagai berikut:
1. Lokasi dan Keadaan Alam
Desa Parangtritis mempunyai ketinggian rata-rata 13 m diatas permukaan
laut, dengan luas wilayah 11,87 km2. Keadaan Alam di desa Parangtritis
memiliki tiga macam topografi, yaitu: pegunungan, daratan dan pantai.
Pegunungan terletak di sebelah utara dan timur, sedangkan dataran
dimanfaatkan untuk ladang, sawah dan pemukiman. Pantai Parangtritis selalu
mengalami pertambahan luas yang terjadi secara alami karena abrasi dari laut
dan bila gelombang pasang terjadi, daerah di tepi pantai sering terendam atau
terterjang air laut. Di desa Parangtritis terdapat banyak obyek alam, seperti:
Parangtritis (gumuk), sumber mata air panas di parang wedang, sungai bawah
tanah, gua alam, dll.
2. Keadaan Masyarakat
Desa Parangtritis terdiri dari 11 dusun, 24 RW dan 55 RT. Sebelas dusun itu
adalah Pamancingan, Kretek, Sono, Pamiran, Bungkus, Depok, Dawuran,
Depok Lor, Grogol Tengah Satu, Grogol Tengah Dua, dan Grogol Kidul.
Desa Parangtritis mempunyai keadaan alam yang indah sehingga menjadi
obyek wisata andalan di DIY, yaitu: pantai Parangtritis, Parangkusumo, Parang
wedang, Parangendog dan pantai Depok. Selain obyek wisata alam, Parangtritis
ternyata juga menjadi obyek wisata budaya karena mempunyai tempat sakral,
seperti: Cepuri dan juga upacara-upacara adat, seperti: Labuhan, Bekti Pertiwi
dan Pisungsun Jaladri.
Menurut sensus penduduk (2001) Pemerintah kabupaten Bantul, penduduk
Parangtritis berjumlah 6.886 jiwa, terdiri dari laki-laki 3.342 jiwa dan
perempuan 3.544 jiwa dan jumlah KK adalah 1.811 buah. Mata Pencaharian
penduduk di desa Parangtritis sebagian besar adalah petani (bersawah dan
berladang), pegawai negri, buruh, pedagang, nelayan dan juga abdi dalem.
Kondisi penduduk berdasarkan latar belakang pendidikan di desa Parangtritis,
adalah: SD (60.1%), SMP (19.1%), SMU (18.1%) dan D3 serta S1 (2.7%).
Fasilitas Pendidikan yang ada adalah TK 5 buah, SD 5 buah, SMP 1 buah dan
3. Mitologi
Dalam kepercayaan masyarakat Yogyakarta, khususnya daerah desa
Parangtritis dan sekitarnya masih memegang kepercayaan akan hal-hal
adikodrati yang terhubung dalam satu kesatuan kosmos antara manusia, alam
fisik dan alam ghaib yang semuanya saling mempengaruhi, sehingga hal itu
mendasari cara pandang masyarakat terhadap alam. Berdasarkan letak geografis
dan mitologis, Kraton Yogyakarta mempunyai peran sebagai sentral kekuatan
adikodrati/mistis di persatukan oleh tempat-tempat yang mempunyai kekuatan
mistis pada empat penjuru mata anginnya, yaitu: gunung Merapi di sebelah
utara, Dlepih Kahyangan di sebelah barat, laut Selatan di sebelah selatan dan
gunung Sewu di sebelah timur. Laut Selatan sebagai sumber kekuatan mistis,
dipersonifikasi dalam diri makhluk ghaib penguasa laut Selatan yaitu Kanjeng
Ratu Kidul. Dalam menjaga keharmonisan antara manusia, alam fisik, alam
ghaib dan sebagai bentuk permohonan dan syukur oleh masyarakat di desa
Parangtritis dan sekitarnya maka dilakukan upacara adat seperti: labuhan, bhekti
pertiwi dan pisungsun jaladri. Hal itu menyebabkan terbentuknya karakteristik
masyarakat desa Parangtritis yang mistis (Wibowo, 2005) dan tidak bisa
dikatakan bahwa kebudayaan masyarakat mistis tersebut jauh tertinggal dengan
kehidupan modern barat, tetapi memang kedua kebudayaan tersebut adalah
berbeda. Dalam kehidupan masyarakat desa Parangtritis, kepercayaan dan mitos
memegang peranan yang penting dan merupakan lambang dan sifat dari
D. Rumusan Masalah
• Pengetahuan lokal apakah yang terdapat di desa Parangtritis khususnya
di daerah sekitar SD Bungkus, Parangtritis, Kretek dalam konteks ilmu
pengetahuan alam (sains) dalam melihat suatu fenomena alam?
• Apakah pengetahuan lokal tentang alam menjadi bagian dalam
pembelajaran sains di SD Bungkus, Parangtritis, Kretek?
• Bagaimanakah merancang pembelajaran yang melibatkan pengetahuan
lokal tentang alam yang dapat menjadi bagian dalam pembelajaran sains
di SD Bungkus, Parangtritis ,Kretek?
E. Tujuan penelitian
• Mengidentifikasi pengetahuan lokal apakah yang terdapat di desa
Parangtritis khususnya di daerah sekitar SD Bungkus, Parangtritis,
Kretek dalam konteks ilmu pengetahuan alam (sains) dalam melihat
suatu fenomena alam.
• Mengetahui penggunaan pengetahuan lokal tentang alam yang menjadi
bagian dalam pembelajaran sains di SD Bungkus, Parangtritis, Kretek.
• Mendesain pembelajaran yang melibatkan pengetahuan lokal tentang
alam yang menjadi bagian dalam pembelajaran sains di SD Bungkus,
F. Manfaat Penelitian
• Dalam Pembelajaran di Kelas
¾ Bagi guru atau calon guru
Guru atau calon guru menyadari perlunya memperhatikan aspek
budaya (pengetahuan lokal terhadap alam) dan mengintegrasikan
dalam pembelajaran sains di kelas.
¾ Bagi siswa
Secara tidak langsung, siswa diharapkan dapat menghargai dan
mengkaji pengetahuan lokal masyarakat yang ada di lingkungan
siswa dan dapat menjadi bagian dalam pembelajaran sains di kelas.
• Bagi peneliti
BAB II
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian deskriptif kualitatif dengan
menggunakan strategi penelitian etnografi. Penelitian etnografi adalah deskripsi
dan analisa tentang suatu masyarakat yang didasarkan pada penelitian langsung di
lapangan.
B. Partisipan Penelitian
Untuk dapat melihat dan mengkaji pengaruh budaya, maka dalam penelitian
ini akan dilakukan pendekatan secara etnografi pada suatu daerah, yaitu
Yogyakarta, khususnya desa parangtritis daerah sekitar pantai Depok. Desa
Parangtritis yang menjadi daerah penelitian ini terletak di Daerah Istemewa
Yogyakarta (DIY), tepatnya di kabupaten Bantul, kecamatan Kretek. Sedangkan
untuk partisipan penelitian ini adalah masyarakat desa Parngtritis khususnya
masyarakat sekitar pantai Depok serta Guru dan siswa-siswi SD Bungkus,
Parangtritis, Kretek. Alasan dipilihnya SD Negri Bungkus, Parangtritis, Kretek
yang lokasinya terletak di daerah sekitar pantai sebagai lokasi penelitian, karena
beberapa pertimbangan. Pertama, daerah ini terletak di dekat pantai selatan Jawa
dan mempunyai banyak fenomena/peristiwa alam yang terjadi, yang hal ini sangat
berhubungan dengan sains karena alam adalah obyek sains. Kedua, karena di
daearah ini kaya akan keragaman budaya, seperti: upacara-upacara adat, tempat
yang dikeramatkan/disakralkan, kepercayaan masyarakat yang khusus dalam
memandang alam.
C. Waktu dan Tempat Penelitian
September - November 2007 di desa Parangtritis
D. Desain Penelitian
Dalam penelitian ini ada beberapa tahap sebagai berikut:
1. Tahap 1 : Dalam tahap ini dilakukan observasi awal untuk pengenalan medan
penelitian berdasarkan tinjauan pustaka dan pengamatan secara langsung ke
lapangan. Setelah observasi awal kemudian dilakukan identifikasi partisipan
yaitu dengan mencari informan yang tepat, yaitu dengan mencari informasi
kepada seseorang yang mengetahui tentang pengetahuan lokal yang ada di
Tahap 3
• Analisis data & Intepretasi data
• Perancangan Pembelajaran
Tahap 2
• Pengambilan data disekolah
• Data pengetahuan lokal
(acuan penelitian selanjutnya)
Tahap 1
•
Observasi awal• Mengenal medan penelitian
• Identifikasi partisipan
• Wawancara responden
• Catatan lapangan secara umum
daerah sekitar. Selanjutnya dilakukan wawancara untuk mendapatkan data
tentang pengetahuan lokal masyarakat didaerah itu, kemudian dibuat catatan
lapangan secara umum dari observasi dan wawancara, setelah itu dilanjutkan
dengan analisis awal. Sehingga pada tahap 1 ini diperoleh data tentang
pengetahuan lokal di daerah itu.
2. Tahap 2 : Dari data observasi, wawancara dan analisis awal, baru dipahami
data tentang pengetahuan lokal yang akan digunakan dalam penelitian
selanjutnya. Pengambilan data yang kedua adalah di sekolah, dengan mencari
hubungan antara pengetahuan lokal yang diperoleh dari daerah itu dengan
pembelajaran sains di sekolah pada siswa. Data yang diambil adalah dengan
mengidentifikasi pengetahuan lokal terhadap alam dalam konteks mata
pelajaran sains yang ada pada diri siswa. Data pada tahap kedua ini digunakan
untuk mencari tahu hubungan antara pengetahuan lokal dan pembelajan sains
di sekolah.
3. Tahap 3 : Data yang sudah diperoleh kemudian distrukturisasi, dianalisis dan
diinterpretasi, setelah itu berdasarkan tahap 1 & 2 dicari pengetahuan lokal
dalam masyarakat yang dapat dijadikan bahan “dialog” dalam membuat
contoh pengembangan model belajar sains berbasis pengetahuan lokal
masayarakat.
E. Instrumen Penelitian
Dalam penelitian ini menggunakan beberapa instrumen penelitian untuk
1. Wawancara
Pengumpulan data dengan instrumen wawancara digunakan untuk
mengetahui pengetahuan tentang alam di sekitar daerah SD Bungkus, desa
Parangtritis. Hal itu dilakukan dengan mewawancarai beberapa narasumber yang
dapat memberikan informasi mengenai pengetahuan lokal tentang alam di daerah
sekitar itu, misalnya disini adalah para nelayan dan sesepuh desa. Wawancara
yang dilakukan dalam penelitian ini berjenis wawancara terbimbing, dimana
peneliti menanyakan pada responden mengenai pengetahuan lokal yang dibatasi
pada pengetahuan tentang alam khususnya yang digunakan di daerah sekitar itu.
Sehingga, untuk dapat menelusuri informasi mengenai data yang dibutuhkan,
maka pertanyaan dibuat hanya garis-garis pokoknya saja dan diharapkan
berkembang dalam kenyataanya di lapangan.
Instrumen wawancara juga digunakan dalam memperoleh data dari Guru
di sekolah, hal itu digunakan untuk mengetahui bagaimanakah pengetahuan lokal
terhadap alam digunakan dalam pembelajaran khususnya dalam pelajaran sains.
Pertanyaan wawancara diperoleh dari analisis hubungan antara pengetahuan lokal
terhadap alam dalam masyarakat sekitar dengan pengetahuan dari siswa dalam
konteks mata pelajaran sains SD.
2. Uraian Tertulis
Pengumpulan data ini dilakukan dengan memberikan pertanyaan secara
tertulis untuk siswa kelas V, VI karena dianggap siswa dapat mengerti dan
menjawab apa yang ditanyakan. Bentuk soalnya adalah uraian singkat, sedangkan
a) Mengetahui pemahaman anak-anak tentang alam dari materi IPA yang
berhubungan dengan pengetahuan lokal
b) Mengetahui pemahaman anak-anak tentang budaya sekitar
F. Metode Analisis Data
1. Analisis wawancara dari masyarakat untuk mengetahui memahami
pengetahuan lokal
a) Dianalisis hasil wawancara mengenai pengetahuan lokal tentang alam
yang ada di daerah sekitar
b) Dari hasil tersebut kemudian diidentifikasi pengetahuan lokal terhadap
alam yang berhubungan dengan konteks materi pelajaran IPA SD
c) Dari hasil identifikasi, kemudian dipilih pengetahuan lokal terhadap
alam yang berhubungan dengan konteks materi pelajaran IPA yang
akan digunakan dalam penelitin terhadap guru dan siswa di sekolah
2. Analisis uraian tertulis dari siswa dan wawancara Guru untuk mengetahui
hubungan pengetahuan lokal terhadap alam dari masyarakat dalam
pembelajaran di sekolah
a) Mengidentifikasi dan memilih pengetahuan lokal terhadap alam apa
sajakah dari siswa yang dapat menjadi bagian dalam materi pelajaran
sains dengan menyususun soal uraian tertulis untuk siswa.
b) Berdasarkan pengetahuan lokal yang sudah dipilih, kemudian dilihat
pengaruh pengetahuan lokal tentang alam pada siswa dari hasil
c) Menganalisis hasil wawancara guru untuk mengetahui apakah
pengetahuan lokal terhadap alam juga menjadi bagian dalam
pembelajaran sains di sekolah
3. Merancang suatu model pembelajaran dimana pengetahuan lokal terhadap
alam terintegrasi dalam materi pembelajaran sains di sekolah dalam
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Penelitian
Penelitian dilaksanakan di SD Negri Bungkus, yang terletak di desa
Parangtritis, kecamatan Kretek kabupaten Bantul, yang di lakukan pada tanggal
19 – 24 November 2007. Sebelumnya, penelitian sudah dimulai sejak bulan
Juli-September 2007 dengan melakukan observasi lapangan untuk mencari dan
mengenal medan penelitian yang kemudian dilanjutkan dengan memilih dan
menentukan lokasi penelitian, yaitu SD Bungkus yang terletak di dekat pantai
Depok (± 1 km dari pantai Depok), setelah itu dilanjutkan dengan melihat
pengetahuan lokal masyarakat tentang alam yang ada di sekitar daerah lokasi
penelitian dengan melakukan wawancara pada beberapa nelayan di Pantai Depok
(2 orang, yaitu bapak B dan bapak C) dan seorang yang di tuakan di daerah sekitar
itu (bapak A).
Proses pengumpulan data dalam penelitian ini kemudian di lanjutkan
dengan melakukan penelitian di SD Bungkus, yaitu terutama pada siswa dan
kemudian pada guru untuk melihat bagaimanakan hubungan antara pengetahuan
lokal tentang alam dari masayarakat, siswa, guru dan mata pelajaran sains. Hal ini
dilakukan pada siswa kelas V yang berjumlah 23 anak dan siswa kelas VI yang
berjumlah 22 anak dengan meminta siswa untuk mengisi beberapa pertanyaan
uraian. Sedangkan untuk guru, dilakukan beberapa wawancara untuk melihat
bagaimanakah mata pelajaran IPA yang diajarkan dengan pengetahuan lokal
tentang alam dalam masyarakat.
B. Hasil Penelitian
Berdasarkan tujuan dari penelitian diperoleh hasil penelitian sebagai
berikut :
1. Identifikasi Pengetahuan Lokal Masyarakat Yang Terdapat Di Sekitar
Lokasi Penelitian Dalam Melihat Suatu Fenomena Alam.
Berdasarkan analisis data dari hasil wawancara penelitian di lapangan
dapat dikonsepsikan mengenai pengetahuan lokal masyarakat terhadap alam di
daerah penelitian memuat hal-hal sebagai berikut (seperti juga di sebutkan oleh
Wahyudi, 2003):
a) Kepercayaan
Menurut peneliti, kepercayaan masyarakat dalam hal ini tidak dipandang
sebagai sesuatu yang berdiri sendiri seperti religi, melainkan juga menjadi bagian
dari pengetahuan lokal terhadap alam. Hal itu disebabkan karena sistem
kepercayaan ini sendiri tidak terpisah dalam hubungannya dengan alam.
Kepercayaan masyarakat yang berhubungan atau bersumber pada alam (Mulder,
1984), dalam penelitian ini ditemukan dalam bentuk seperti (i) kepercayaan pada
hal-hal adikodrati/alam gaib (metafisik), (ii) perwujudan kepercayaan melalui
upacara-upacara adat, (iii) mitos.
Kepercayaan pada hal-hal gaib yang melatarbelakangi kepercayaan
kepercayaan pada makhluk gaib Nyi Roro Kidul yang dipercayai sebagai
penunguasa laut selatan dan hal ini sangat akrab/dekat baik secara geografis
tempat maupun secara kultural masyarakat. Kepercayaan terhadap Nyi Roro Kidul
ini masih dianut oleh sebagian besar masyarakat, terutama oleh para nelayan di
sekitar lokasi penelitian, hal itu dapat dilihat berdasarkan cerita-cerita yang
berkembang di masyarakat, yang walaupun tidak pernah mengalami ataupun
melihat sendiri, mereka percaya akan keberadaan makhluk gaib tersebut. Sikap
masyarakat terhadap makhluk gaib, khususnya sebagian besar para nelayan bukan
dengan menyembahnya melainkan dengan menghormati (menjaga keharmonisan)
keberadaannya, yang diwujudkan dalam upacara-upacara adat.
Upacara adat di sekitar lokasi penelitian selain untuk menghormati
(menjaga keharmonisan) dengan alam, juga sebagai ungkapan syukur dan
permohonan kepada Tuhan, misalnya: bersih dusun (majemuk), doa bersama,
nanggap wayang, dan perayaan-perayaan lain seperti dangdutan. Secara khusus,
sebagai ungkapan syukur dan ujub permohonan seperti misalnya kelancaran rejeki
dan juga penghormatan terhadap makhluk gaib, yaitu Nyi Roro Kidul, diadakan
upacara labuhan yang diadakan setiap tanggal 1 Suro (tahun baru Jawa).
Mitos-mitos yang masih sangat dipercayai oleh masyarakat sekitar,
terutama oleh para nelayan, didasarkan pada hubungan antara manusia, alam fisik
dan alam gaib salah satunya adalah mengenai kebiasaan/adat para nelayan yang
tidak akan melaut pada hari pantangan melaut, yaitu hari selasa kliwon dan jumat
kliwon, karena menurut para nelayan (segi manusia), hari selasa kliwon dan jumat
b) Cara Berfikir
Cara berfikir masyarakat terhadap alam dalam masyarakat di sekitar lokasi
penelitian menurut peneliti, bersumber pada cara pandang (nilai) masyarakat
terhadap alam sehingga diperoleh pemahaman (pengetahuan) masyarakat terhadap
alam.
Cara pandang masayarakat terhadap alam didasari bagaimana masyarakat
sekitar menghayati/memandang alam, dan dari penelitian ini didapatkan bahwa
alam dianggap oleh masyarakat sebagai teman/patner, dimana alam sudah
mempunyai pola sendiri dan manusia tinggal menyesuaikan dengan pola alam
tersebut, dan hal itu membawa konsekwensi adanya “dialog” dengan alam
dimana tindakan manusia akan berpengaruh terhadap alam dan begitu pula
sebaliknya (keseimbangan ekologis). Hal itu dibuktikan dari pendapat salah
seorang narasumber, bahwa perubahan pola alam/musim yang sudah tidak
menentu saat ini, menurut narasumber disebabkan oleh tindakan dan sikap
manusia yang tidak mau memperhatikan (melestarikan) alam.
Pandangan masyarakat terhadap alam melahirkan pemahaman terhadap
alam yang mencakup pengetahuan masyarakat terhadap alam. Dari penelitian
diperoleh, pemahaman masyarakat terhadap alam yang masih sering digunakan
oleh masyarakat didasarkan pada dua hal pokok, yaitu: pranata mangsa dan
termasuk didalamnya ilmu titen.
Dalam melihat alam sekitar, pranata mangsa masih menjadi patokan,
Musim (pranata mangsa) digunakan untuk patokan menanam agar hasil yang diperoleh baik, tidak salah menanam, waktunya pas, menggunakan perkiraan waktu yang pas. Agar akur (penyesuaian yang tepat, harmoni)
Pranata mangsa merupakan sistem penanggalan pertanian Jawa yang
terdiri dari 12 musim (Daljoeni, 1983), setiap musim itu sendiri mempunyai
tanda-tanda alam yang dapat dilihat sebagai penanda dari suatu musim itu,
misalnya:
¾ Musim ke-1 ditandai dengan siang yang panas dan malam yang dingin, ini
juga menandakan sebagai musim kemarau.
¾ Musim ke-2 : bunga-bunga rontok (misal bunga pohon kapas)
¾ Musim ke-4 ditandai dengan banyak angin, dingin pada malam hari, siang
panas dan panasnya paling terik, yaitu menandakan musim kemarau, air tanah
turun paling dalam, membuat benih padi. Pergantian musim biasanya turun
hujan atau angin yang besar
¾ Musim ke-5&6 akan hujan (atau bulan yang biasanya berakhiran –ber pada
tahun masehi, misal: september, oktober)
¾ Musim ke-7&8 sudah dimulai musim hujan
Seperti yang ditemukan dalam penelitian, walaupun sudah ada acuan yang
sama tentang Pranata Mangsa, tetapi setiap orang bisa mempunyai variasi
pemahaman lain terhadap pranata mangsa tergantung dari pengetahuan dan
pemahaman masing-masing orang terhadap alam, misalnya: Pak A dan Pak C
mempunyai pandangan yang hampir sama tentang musim kemarau, yaitu: musim
kemarau ditandai dengan banyak angin, hawa dingin sekali pada malam hari,
sangat sehingga air tanah turun paling dalam, tetapi selain itu Pak C juga
mempunyai penanda lain yang menunjukkan musim kemarau berdasarkan
pengamatannya sendiri, yaitu: kupu kuning yang pada musim kemarau akan
migrasi ke barat dan saat musim penghujan akan migrasi ke timur. Contoh lain,
yaitu untuk menentukan penanda musim ke-2, bapak A berdasarkan
pengamatannya mengatakan bahwa musim ke-2 ditandai dengan berseminya
bunga-bunga, sedangkan bapak C berdasarkan pengamatannya mengatakan bahwa
musim ke-2 ditandai dengan gugurnya buah pohon kapas. Walaupun begitu tidak
semua orang memahami pranata mangsa, seperti dikatakan oleh bapak B yang
hanya sekedar tahu tetapi tidak terlalu paham. Hal ini tergantung dari pengamatan
masing-masing orang dari pola alam yang tampak, karena seperti yang
dikemukakan narasumber bahwa pengetahuan lokal pranata mangsa ini diperoleh
dari orangtua dan orang-orang tua zaman dahulu, serta dari pengalaman dan
pengamatan langsung dari alam dan hal ini tidak diperoleh dari sekolah.
Pengamatan masing-masing orang dari pola alam yang tampak ini disebut
juga dengan Ilmu Titen, seperti yang dituturkan oleh salah satu narasumber:
Ilmu Titen adalah pemahaman masyarakat Jawa dengan mengamati kebiasaan
terhadap suatu fenomena alam yang terjadi dengan melihat tanda-tanda (alam) yang diperlihatkan dan dapat digunakan dalam kehidupan manusia. Hal ini lebih condong ke prediksi pasti, karena alam menampakkan tanda-tanda yang jelas.
Seseorang menggunakan Ilmu Titen dengan mengamati kebiasaan
/pola/hubungan alam antara suatu fenomena alam dengan tanda-tanda alam yang
seperti dalam pertanian maupun melaut mencari ikan. Tanda-tanda Alam yang
dapat diamati menurut para narasumber dalam penelitian ini:
¾ Binatang, misalnya:
• gareng pong yang berbunyi menandai akan terjadinya musim kemarau
(keluar pada peralihan musim penghujan ke kemarau)
• Burung diatas laut, memberitahukan bahwa disitu banyak ikan
• Suara katak bangkong, menandakan akan turun hujan
• Penyu bertelur menandakan musim ke-4
• Kupu kuning pada musim ke-5& 6 akan migrasi ke timur, tetapi bila musim
ke-7 kembali ke barat
• Mangsa ke- 9 ditandai dengan musim anjing kawin, bunyi suara gangsir.
¾ Rasi bintang di langit juga dapat menjadi pertanda, misalnya:
• Bintang wuluh dapat mempengaruhi tumbuh yang tidak baik bagi tumbuhan
dan buah-buahan
• Bintang gubug penceng menunjukkan arah selatan
• Bintang beruang merah menunjuk arah utara
• Bintang Luku digunakan dalam bertanam, kecerahan salah satu bintang
pada rasi bintang wuku digunakan untuk menentukan tingkat intensitas
hujan. Kecerahan, bila pada ujung belakang (buntut) menandakan hujan
akan deras pada akhir musim, bila pada ujung depan (ratuk) menandakan
hujan akan deras pada awal musim, tengah
¾ Bulan, yaitu pasang surut air laut dapat dilihat dari bulan, pasang naik air laut
pada saat bulan mati tanggal 1 Jawa dan bulan purnama tanggal 15 Jawa,
pasang surut air laut pada pertengahan antara tanggal 1-15 Jawa. Selain itu,
bulan juga digunakan dalam mencari ikan, saat bulan muda ikan agak susah
didapat, untuk mendekati bulan tua ikan lebih banyak.
¾ Warna air laut: Panen impun/gangsing yang keluar pada musim tertentu dapat
dilihat dari air yang berwarna agak kekuningan (karena disebabkan kotoran
impun/gangsing)
¾ Awan: Bila terlihat awan mendung dari arah barat daya saat melaut terlihat
kemerahan pada musim penghujan, harus segera pulang dari melaut, akan
terjadi hujan disertai angin besar
¾ Cuaca sehari-hari, misalnya:
•Musim kemarau: malam sangat dingin dan berkabut sedangkan siang sangat
terik
•Musim penghujan: mendung/berawan, kondisi panas, gerah yang
menandakan akan turun hujan
Salah satu pertanda alam yang diperoleh dari penelitian yang menarik
menurut peneliti adalah fenomena alam khas yang terjadi di sekitar lokasi
penelitian, yaitu peristiwa alam “Buntu Suwangan”, menurut narasumber
merupakan peristiwa tertutupnya muara sungai oleh pasir yang dibawa oleh
ombak dan angin, terjadi pada musim ke-4, karena angin saat itu besar dan
menjadi penanda musim kemarau, karena peristiwa ini hanya terjadi pada musim
kemarau.
Menurut Penulis, pengetahuan lokal Ilmu Titen, selain didasari oleh
pengamatan akan pola alam secara langsung dan pengetahuan yang diwariskan
oleh orang tua, tetapi sering juga dicampur baurkan dengan keyakinan dan mitos
masyarakat, seperti dinyatakan oleh Mulder (1984) yaitu bahwa budaya Jawa
cenderung mencampur baurkan antara alam fisik/empiris dan alam
gaib/metaempiris. Hal ini, dalam penelitian dapat dilihat misalnya dari keyakinan
para nelayan pantai Depok yang tidak melaut di hari selasa kliwon dan jumat
kliwon dan pernyataan narasumber yang menyebutkan bahwa kemunculan
bintang kemukus (komet) yang diyakini menjadi pertanda akan adanya bencana.
Hal ini menurut peneliti, adalah merupakan salah satu bahan kajian “dialog”
dengan sains.
c) Kegiatan Masyarakat
Kegiatan masyarakat dalam hal ini adalah kegiatan masyarakat yang
didasarkan atas pemahaman (pengetahuan lokal) masyarakat terhadap alam,
khususnya menjadi khas dalam penelitian ini adalah kegiatan melaut mencari
ikan. oleh para nelayan.
Untuk nelayan sendiri ada 2 musim, yaitu: musim sering ombak besar dan
musim sering ombak kecil. Nelayan di pantai depok tidak melaut setiap hari,
paling sering pada musim ombak kecil dan biasanya sering mendapat banyak ikan
maka disebut juga dengan musim panen, dan pada musim ombak besar nelayan
sekitar bulan maret-september, musim panen ikan bulan oktober-april, tetapi juga
menurut penuturan narasumber, sudah sejak tahun 2005 hal itu sudah tidak stabil.
Melaut di pantai Depok dilakukan pada pagi hari, dan siang baru pulang,
tetapi saat musim panen ikan bisa sampai dua kali turun sehingga bisa sampai
sore.
Melaut di pantai Depok dan daerah pantai selatan berpatokan pada ombak.
Melaut dilakukan pada pagi hari agar bisa melihat ombak, yang berbeda dengan
nelayan di pantai utara yang biasa dan bisa melaut pada malam hari, kecuali juga
untuk daerah pantai Wonosari (misal: Baron, Ngrenean) yang bisa melaut pada
malam hari karena pantai disana mempunyai teluk. Ombak menjadi patokan untuk
melaut, bila ombak kecil baik untuk melaut, bila ombak besar tidak. Selain itu
ombak juga menjadi patokan untuk menjatuhkan kapal ke laut, ada hitungannya
untuk menjatuhkan kapal ke laut, hal itu dilakukan dengan menghitung jeda
ombak, bila sembarang menjatuhkan perahu maka perahu bisa terbalik dihantam
ombak.
Mengetahui pasang surut air laut dapat dilihat dari bulan. Pasang naik air
laut pada saat bulan mati dan saat bulan purnama, pasang surut air laut pada
pertengahan. Pasang surut tidak mempengaruhi dalam melaut, hal itu tergantung
2. Pengaruh Pengetahuan Lokal Masyarakat Tentang Alam Dalam Diri
Siswa Terhadap Pembelajaran Sains di Kelas Dalam Melihat Suatu
Fenomena Alam
Seperti telah dideskripsikan diatas mengenai pengetahuan lokal yang
terdapat dalam masyarakat, yaitu meliputi: (i) Pemahaman/cara berfikir
masyarakat terhadap alam, (ii) kepercayaan masyarakat dalam memandang alam,
serta (iii) kegiatan masyarakat yang khas lokal berhubungan dengan alam, yakni
kegiatan melaut mencari ikan.
Dari keseluruhan deskripsi pengetahuan lokal masyarakat terhadap alam
yang sudah diperoleh, hanya sebagian saja yang kemudian digunakan untuk
mengetahui apakah pengetahuan lokal itu juga berpengaruh dalam diri siswa.
Pengetahuan lokal dari masyarakat yang akan digunakan yaitu:
a) Pemahaman/cara berfikir masyarakat terhadap alam, yang mencakup:
1. Musim, yaitu untuk mengetahui sejauh mana siswa mengetahui mengenai
musim (analisis dari soal no.1).
2. Penyebab pasang surut air laut, karena setiap nelayan mengetahui bahwa
pasang surut disebabkan oleh bulan (analisis dari soal no.4).
3. Waktu nelayan pulang dan pergi melaut mencari ikan, peristiwa ini
dipakai karena mudah diamati dan untuk mengetahui pengetahuan dan
keakraban anak-anak terhadap lingkungan sekitarnya (analisis dari soal
no.2).
4. Peristiwa alam Buntu Suwangan, Peristiwa ini dipakai karena Buntu