• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGETAHUAN LOKAL SEBAGAI BAGIAN DALAM MENGEMBANGKAN DESAIN PEMBELAJARAN SAINS DI SD BUNGKUS, PARANGTRITIS, KRETEK Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Fisika

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PENGETAHUAN LOKAL SEBAGAI BAGIAN DALAM MENGEMBANGKAN DESAIN PEMBELAJARAN SAINS DI SD BUNGKUS, PARANGTRITIS, KRETEK Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Fisika"

Copied!
113
0
0

Teks penuh

(1)

PENGETAHUAN LOKAL SEBAGAI BAGIAN DALAM MENGEMBANGKAN DESAIN PEMBELAJARAN SAINS DI SD

BUNGKUS, PARANGTRITIS, KRETEK

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Fisika

Oleh:

S. YAKOBUS EKO SETIAWAN NIM: 031424004

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)

i

PENGETAHUAN LOKAL SEBAGAI BAGIAN DALAM MENGEMBANGKAN DESAIN PEMBELAJARAN SAINS DI SD

BUNGKUS, PARANGTRITIS, KRETEK

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Fisika

Oleh:

S. YAKOBUS EKO SETIAWAN NIM: 031424004

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(3)
(4)
(5)

Katakan padaku, hai tukang kayu

bagaimana caranya memotong kayu?

Lihat…lihat, anakku

beginilah caranya memotong kayu

Karya ini kupersembahkan untuk:

Sahabat, Guru dan Kekasih Sejatiku

Yesus Kristus

(6)
(7)
(8)

vi

S. Yakobus Eko Setiawan, Pengetahuan Lokal Sebagai Bagian Dalam Mengembangkan Desain Pembelajaran Sains di SD Bungkus, Parangtritis, Kretek. Program Studi Pendidikan Fisika, Jurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Fakultas Keguruan dan Ilmu Kependidikan, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta (2008).

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pengetahuan lokal masyarakat tentang alam di sekitar daerah penelitian, dilanjutkan dengan melihat pengaruh pengetahuan lokal masyarakat tentang alam pada siswa dalam konteks materi pembelajaran sains di kelas. Berdasarkan hal tersebut, kemudian didesain pembelajaran sains yang mengintegrasikan pengetahuan lokal masyarakat tentang alam menjadi bagian dalam pembelajaran sains di kelas.

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September-November 2007 dengan lokasi penelitian di SD Negri Bungkus, Parangtritis, Kretek dan termasuk daerah sekitarnya. Penelitian didahului dengan wawancara lapangan di sekitar lokasi penelitian pada tiga orang tokoh masyarakat, kemudian dilanjutkan dilaksanakan di SD Negri Bungkus, Parangtritis, Kretek dengan subyek siswa kelas V dan VI menggunakan wawancara dan uraian tertulis sebagai instrumen penelitiannya.

(9)

vii

ABSTRACT

S.Yakobus Eko Setiawan, The Local Science as a part in developing the design of Science Learning Activities in Bungkus Elementary School, Parangtritis, Kretek. Physic Education Study Programme, Department of Mathematics and Science Education, Faculty of Teachers Training and Education, Sanata Dharma University (2008).

This research aims to identify the local science of the society upon their environment within the location of the research, which is later on continued by figuring out its influence toward the students due to the context of science learning activities in the class. Thus, the learning activities for science is then designed to be integrated with the local science of the society upon their environment.

This research is held on September until November 2007, located in Bungkus Elementary School, Parangtritis, Kretek dan some relevant area near the location. The research is begun by the field interview in the location. The first interviewees are three people, then it is continued by the interview toward the students of class V and VI in Bungkus elementary School, Parangtritis, kretek. Written essay is considered to be the instrument in the research.

(10)

viii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Bapa, Putera dan Roh Kudus atas karunia & kasih-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Pengetahuan Lokal Sebagai Bagian Dalam Mengembangkan Desain Pembelajaran Sains di SD Bungkus, Parangtritis, Kretek”.

Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Fisika di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Dalam penyusunan tulisan ini peneliti telah memperoleh segala bantuan dari banyak pihak, oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Bp. T. Sarkim, Ph.D. selaku guru dan dosen pembimbing skripsi yang telah

memberikan perhatian, bimbingan dan saran dan terutama banyak inspirasi yang dapat dikembangkan .

2. Bp. R. Rohandi, M.Ed., selaku dosen pembimbing akademik, Dr. Paul Suparno, S.J., M.S.T., Bp. Drs. Domi S, M.Si, Bp. Drs. Fr. Y. Kartika Budi, M.Pd, Bp. A. Atmadi, M.Si., Ibu Maslichah Asy’ari, M.Pd. dan Bp. Drs. F. Sinaradi, M.Pd. selaku para guru dan dosen program studi Pendidikan Fisika USD yang telah membimbing dan menginspirasi penulis selama melaksanakan pendidikan di Universitas Sanata Dharma ini.

(11)
(12)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI... x

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Landasan Teori... 2

1. Teori Sosiokultural Vygotsky ... 2

a. Hukum Genetik Tentang Perkembangan ... 3

b. Zona Perkembangan Proksimal ... 3

c. Mediasi... 4

2. Pemahaman Masyarakat Jawa/Lokal terhadap Alam ... 5

a. Masyarakat Jawa... 5

b. Pandangan Masyarakat Jawa Terhadap Alam ... 6

3. Pengaruh Budaya dan Pentingnya Pengetahuan Lokal dalam Pembelajaran Sains di Sekolah ... 9

(13)

4. Model Pembelajaran Sains Berbasis Pengetahuan Lokal tentang Alam

... 13

5. Pembelajaran Sains SD ... 15

a. Sains... 15

b. Pembelajaran Sains di SD... 16

6. Metafora Pelintas Batas ... 20

C. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 21

1. Lokasi dan Keadaan Alam ... 21

2. Keadaan Masyarakat ... 22

3. Mitologi... 23

D. Rumusan Masalah ... 24

E. Tujuan Penelitian ... 24

F. Manfaat Penelitian ... 25

BAB II. METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian... 26

B. Partisipan Penelitian... 26

C. Waktu dan Tempat Penelitian ... 27

D. Desain Penelitian... 27

E. Instrumen Penelitian ... 28

1. Wawancara... 29

2. Uraian Tertulis ... 29

F. Metode Analisis Data... 30

(14)

xii

BAB III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Diskripsi Penelitian ... 32

B. Hasil Penelitian ... 33

1. Identifikasi Pengetahuan Lokal Masyarakat yang Terdapat di Sekitar Lokasi Penelitian dalam Melihat Suatu Fenomena Alam ... 33

2. Pengaruh Pengetahuan Lokal Masyarakat tentang Alam dalam Diri Siswa terhadap Pembebelajaran Sains di Kelas dalam Melihat Suatu Fenomena Alam ... 42

3. Rencana Pembelajaran yang Melibatkan Penggunaan Pengetahuan Lokal Masyarakat terhadap Alam dalam Pembelajaran Sains di Kelas ... 52

BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 68

B. Saran ... 70

DAFTAR PUSTAKA ... 72

LAMPIRAN Lampiran 1 : Surat Permohonan Izin Penelitian ... 74

Lampiran 2 : Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian ... 75

Lampiran 3 : Hasil Wawancara Masyarakat ... 76

Lampiran 4 : Analisis Wawancara Masyarakat ... 81

Lampiran 5 : Soal Uraian Siswa... 84

Lampiran 6 : Hasil Jawaban Uraian Siswa ... 86

(15)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia adalah negara yang memiliki berbagai keragaman budaya, dari

bahasa, suku bangsa, agama dan adat istiadat, sehingga dapat dikatakan bahwa

Indonesia terdiri dari bermacam-macam latar budaya (multikultur). Budaya

menurut Koentjaraningrat (1990) adalah keseluruhan sistem, gagasan, cipta,

tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang

dijadikan milik dari manusia dengan cara belajar. Dalam proses pembelajaran

yang terjadi di sekolah, terdapat proses dan interaksi antar budaya, antara siswa,

guru, lingkungan sekolah dan lingkungan luar sekolah (masyarakat), sehingga

dalam pembelajaran di kelas akan terjadi proses interaksi budaya yang akan

sangat mempengaruhi proses belajar oleh siswa, terutama pada proses

perkembangan proses berpikir (cognitive development) anak.

Kebudayaan juga menghasilkan sistem pengetahuan, sehingga sistem

pengetahuan menjadi salah satu unsur dari kebudayaan (Koentjaraningrat,

1990). Mengingat bahwa di Indonesia terdapat beragam budaya pada setiap

tempat dan daerahnya, maka akan menyebabkan juga adanya perbedaan sistem

pengetahuan yang dimiliki, sehingga setiap tempat atau daerah yang mempunyai

latar belakang budaya yang berbeda akan memiliki sistem pengetahuan lokal

sendiri. Sistem pengetahuan lokal yang khas, khususnya dalam memandang

alam juga dimiliki oleh suatu masyarakat, dan akan dimiliki oleh setiap anggota

(16)

masyarakat dengan proses belajar. Dalam pendidikan di Indonesia, pengetahuan

terhadap alam diajarkan dalam pembelajaran di sekolah sebagai mata pelajaran

sains, tetapi kurang memperhatikan pengaruh budaya lokal (Wahyudi, 2003).

Karena sains dapat dianggap sebagai produk budaya barat, sehingga mata

pelajaran sains sendiri dapat dipandang sebagai suatu budaya sendiri (budaya

barat). Oleh sebab itu, dalam pendidikan di Indonesia, proses belajar dan

mengajar di kelas, khususnya pada mata pelajaran sains perlu untuk

memperhatikan pengaruh latar belakang budaya dan pengetahuan lokal

lingkungan sekitar dalam melihat, memahami dan memecahkan suatu

permasalahan yang terjadi dalam kelas (Wahyudi 2003, Tilaar 2004).

Agar sains yang dipelajari menjadi lebih humanis dan kontekstual, dan juga

karena topik budaya ini sangat relevan pada pendidikan di Indonesia, serta

karena sangat sedikitnya penelitian tentang pengaruh pengetahuan lokal di

sekolah khususnya terhadap proses pembelajaran sains di kelas, maka penulis

bermaksud mengkaji dan meneliti lebih lanjut dalam penelitian ini.

B. Landasan Teori

1. Teori Sosiokultural Vygotsky

Pemikiran Vygotsky dapat disebut sebagai filsafat konstuktivisme sosial

(Suparno, 2007) dan juga merupakan teori belajar revolusi-sosiokultural

(Budiningsih, 2005), yang didasari pada latar belakang sosial budaya dalam

melihat dan memahami perkembangan proses berpikir (cognitive

(17)

Beberapa konsep dari pemikiran Vygotsky yang penting, yaitu:

a) Hukum Genetik Tentang Perkembangan

Vygotsky berpendapat bahwa aktivitas manusia diakibatkan atau

didasarkan dari seting budayanya dan tidak dapat dimengerti di luar seting

budayanya sendiri.

Pemikiran Vygotsky tentang perkembangan proses berpikir (cognitive

development) didasarkan pada dua bagian pokok (Woolfolk, 2005), pertama

dalam level sosial dan kemudian pada level individual, pertama antar

sesama (inter-psycoloyical) kemudian dalam diri anak (intra-pscologycal).

Pada intinya, perkembangan kognitif dikonsepsikan sebagai transformasi

dari aktivitas sosialisasi yang diberikan, kemudian diinternalisasi dalam diri

anak dan menjadi bagian dari perkembangan kognitif anak. Internalisasi itu

bersifat transformatif, yaitu tidak hanya sekedar transfer pengetahuan, tetapi

juga memunculkan perubahan dan perkembangan (Budiningsih, 2005).

b) Zona Perkembangan Proksimal

Menurut Vygotsky, perkembangan seseorang dapat dibedakan dalam

dua tingkat, yaitu pada tingkat perkembangan aktual dan kemudian pada

tingkat perkembangan potensial. Tingkat perkembangan aktual tampak dari

kemampuan seseorang dalam memecahkan masalah secara mandiri, sedang

tingkat perkembangan potensial adalah kemampuan seseorang dalam

memecahkan masalah dengan bantuan orang dewasa. Jarak di antara tingkat

perkembangan aktual dan tingkat perkembangan potensial disebut zona

(18)

perkembangan proses mental yang lebih tinggi dari anak yang didapatkan

dari proses interaksi bersama antara orang dewasa dengan anak sendiri

dengan ZPD (Zone of Proximal Development). Tepatnya, ZPD adalah

daerah dimana anak tidak dapat menyelesaikan suatu masalah sendirian,

tetapi dapat berhasil melalui bimbingan orang dewasa (orang tua, guru) atau

dalam kerjasama dengan teman yang lebih dewasa (Woolfolk, 2005).

c) Mediasi

Perkembangan didasarkan pada sistem simbol yang bersamanya individu

tumbuh, simbol yang diciptakan kebudayaan untuk membantu seseorang

berpikir, berkomunikasi, dan memecahkan masalahnya (Slavin, 2005),

singkatnya simbol-simbol dalam budaya masyarakat dimana anak tumbuh

diperlukan anak dalam proses belajarnya. Sistem simbol atau bisa disebut

alat budaya ini dapat berupa bahasa, sistem tulisan, atau sistem hitungan.

Sistem simbol ini berfungsi sebagai mediator dan merupakan produk dari

lingkungan sosio-kultural (Budiningsih, 2005). Sistem ini diberikan dari

orang yang lebih dewasa dan kemudian diinternalisasi dalam diri anak

melalui interaksi formal dan informal, serta pengajaran (Woolfolk, 2005)

yang digunakan untuk membantu dalam perkembangan proses berpikir,

proses mental yang lebih tinggi serta pemecahan masalah.

Oleh sebab itu, dalam pembelajaran sains di sekolah, proses berpikir

anak terhadap sains tidak dapat dilihat tanpa memperhatikan faktor/seting

budaya yang mendasari cara berpikir anak, dan juga mediasi (alat budaya)

(19)

2. Pemahaman Masyarakat Jawa/Lokal Terhadap Alam

a) Masyarakat Jawa

Menurut sejarah daerah kebudayaan, daerah kebudayaan Jawa meliputi

seluruh bagian tengah dan timur pulau Jawa, dan secara kolektif ada

daerah yang disebut daerah kejawen, yang meliputi daerah Kedu,

Banyumas, Madiun, Malang, Kediri, serta Yogyakarta dan Surakarta yang

adalah pusat dari kebudayaan Jawa. Sedangkan daerah diluar itu disebut

dengan Jawa Pesisir dan Ujung Timur (Gunakaya, 1988). Berdasar

daerah kebudayaan tadi, walaupun ada perbedaan variasi yang bersifat

lokal seperti bahasa, dialek, dan lainnya, hal itu tidaklah besar karena

masih menunjukkan satu sistem kebudayaan Jawa.

Menurut Frans Magnis Suseno (1985), Orang Jawa adalah adalah

orang yang bahasa ibunya adalah bahasa Jawa, orang Jawa adalah

penduduk asli bagian tengah dan timur pulau Jawa yang berbahasa Jawa,

atau yang walaupun hidup di tempat lain, mempunyai profesi lain tapi

masih tetap mempertahankan bahasa dan adat istiadat mereka.

Dua kaidah dasar kehidupan masyarakat Jawa adalah prinsip

kerukunan dan prinsip hormat (Suseno, 1985).

Prinsip kerukunan bertujuan mempertahankan masyarakat dalam keadaan

harmonis. Rukun merupakan keadaan ideal yang diharapkan dan wajib

dipertahankan dalam semua hubungan sosial, yang berarti berada dalam

(20)

Prinsip rukun bersifat negatif, yaitu mencegah segala cara kelakuan yang

bisa mengganggu keselarasan dan tidak menimbulkan konflik.

Sedangkan, prinsip hormat menunjukkan bahwa semua hubungan dalam

masyarakat teratur secara hierarkis dan setiap orang wajib untuk

membawa diri sesuai dengannya, yaitu setiap orang dalam cara bicara dan

membawa diri harus selalu menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain

sesuai derajat dan kedudukannya. Prinsip hormat mencita-citakan

masyarakat yang teratur baik, dimana setiap orang mengenal tempat dan

tugasnya, dan dengan demikian ikut menjaga agar seluruh masyarakat

merupakan suatu kesatuan yang selaras. Kedua prinsip tadi merupakan

prinsip keselarasan, yang sangat mempengaruhi masyarakat dan dengan

sendirinya menjadi bagian dalam kebudayaan masyarakat serta juga akan

berpengaruh pada sistem pengetahuan lokal tentang alam.

b) Pandangan Masyarakat Jawa Terhadap Alam

Yang khas dalam pandangan masyarakat Jawa Terhadap Alam adalah

tidak terbaginya realitas atas bagian yang terpisah-pisah tanpa adanya

hubungan satu sama lain, melainkan realitas dilihat sebagai satu kesatuan

yang menyeluruh (Suseno, 1985), seperti juga dinyatakan oleh Niels

Mulder (1984) bahwa cara berpikir orang Jawa adalah menyatukan dan

menyelaraskan semua gejala. Berbeda dengan kebudayaan pada rata-rata

kebudayaan barat, bahwa realitas (alam fisik, masyarakat dan alam

adikodrati) dipisah, dibagi dan dibedakan secara tajam dimana semuanya

(21)

Jawa tidak terlalu memperhatikan perbedaan gejala yang ada, tetapi

memandangnya sebagai suatu kesatuan pengalaman yang menyeluruh agar

dicapai keadaan yang seimbang, maka orang Jawa cenderung tidak

membedakan antara teori dan praksis.

Dasar kebenaran bagi masyarakat Jawa bukan terletak pada alam

kebendaan/materi karena kebendaan tidak dihormati dan tidak dapat

menjadi dasar berpikir obyektif yang mengambil dasar kebenaran dari

pengertian tentang alam fisik (ilmu pengetahuan alam) yang dipisahkan

dari kehidupan manusia (Mulder, 1984). Pengertian yang timbul tidak bisa

diuji pada suatu sumber obyektif yang diluar hakekat hidup sendiri.

Kepastian hidup dan kepastian berpikir terletak pada alam sosial-simbolis

yang pasti, bukan pada ilmu pengetahuan alam. Kebenaran dicari dari

dalam kebulatan kehendak masyarakat, dan hasilnya adalah benar. Orang

akan benar bila selaras dengan hasil tersebut. Kebenaran terletak pada

alam sosial-simbolis dan tidak bisa menjadi obyektif. Kebenaran terletak

pada manusia dan kosmosnya, dan tidak ada dasar untuk menguji

kebenaran yang secara lebih tinggi daripada manusia. Kebenaran dan

kepastian terletak dalam kolektivitas manusia, ketidakpastian

individual-psikologis diganti dengan kepastian sosial yang otonom dan monolitis.

(Mulder, 1984). Sehingga terlihat bahwa rasionalitas kebudayaan Jawa

adalah berupa suatu pemahaman yang menyeluruh, sedangakan

(22)

Teknologi yang berkembang tentunya juga berdampingan dengan

dengan sistem pengetahuan dengan corak budaya Jawa tersebut, karenanya

lebih bertumpu pada fakta-fakta yang langsung dapat dijangkau oleh indra

manusia, dan kepada akumulasi pengalaman yang secara langsung dapat

dirasakan (Sasmojo, 1991).

Penghayatan terhadap alam tidak terpisahkan dari hubungan dengan

masyarakat dan alam adikodrati sebagai kesatuan yang selaras. Melalui

masyarakat, orang Jawa berhubungan dengan alam, irama alam seperti

siang dan malam, musim hujan dan musim kemarau menjadi iramanya

sendiri dan menentukan kehidupannya sehari-hari, pekerjaan serta seluruh

perencanaannya (Suseno, 1985). Bagi orang Jawa, alam empiris,

pengalaman dengan alam dan manusia juga berhubungan dan menjadi

kesatuan dengan alam metaempiris (alam gaib), sehingga orang Jawa

mengalami dunia selain menyesuaikan diri dengan dimensi sosial dan

alam juga dengan dimensi metaempiris. Dalam tradisi, hal itu terungkap

pada upacara “slametan”, yang berarti membuat keadaan dan unsur-unsur

tadi agar menjadi seimbang, karena dalam keselarasan itu tergantung

keselamatan manusia. Tradisi Jawa juga menghasilkan pengetahuan lokal

yang mendasarkan pada koordinasi unsur-unsur yang saling berhungan itu,

seperti : primbon, petungan dan pranata mangsa yang sampai sekarang

masih digunakan oleh masyarakat Jawa.

Pengetahun lokal tentang alam yang sampai sekarang masih dipakai

(23)

dalam bercocok tanam adalah pranata mangsa. Pranata mangsa yang

artinya “pengaturan musim” adalah merupakan sistem penanggalan

pertanian yang dasarnya adalah tahun surya. (Daljoeni, 1983)

3. Pengaruh Budaya dan Pentingnya Pengetahuan Lokal dalam

Pembelajaran Sains di Sekolah

Budaya, menurut Koentjaraningrat (1990), adalah keseluruhan sistem,

gagasan, cipta tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan

masyarakat yang dijadikan milik dari manusia dengan cara belajar. Sehingga

dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa budaya menyangkut hampir

keseluruhan tindakan manusia secara yang sadar dilakukan secara belajar.

Proses belajar dalam masyarakat sendiri tidak lepas dari kebudayaan

masyarakat itu sendiri, sehingga dalam masyarakat proses belajar adalah

merupakan proses belajar kebudayaan.

Sains yang merupakan usaha manusia untuk mencari keteraturan dalam

pengamatan oleh manusia pada alam (Giancoli, 2004), bila dilihat dari

pengertian budaya, adalah juga merupakan salah satu unsur pokok

kebudayaan yang dapat ditemukan pada semua bangasa di dunia, yaitu

termasuk dalam sistem pengetahuan (Koentjaraningrat, 1990), tepatnya sistem

pengetahuan tentang alam.

Sistem pengetahuan yang dimiliki oleh suatu bangsa atau lebih tepat lagi

suatu suku bangsa atau kelompok sosial tertentu, dalam antropologi disebut

(24)

Ahimsa (2003) didefinisikan sebagai “system of knowledge and cognition

typical of a given culture”, sehingga penekannannya disini adalah pada sistem

pengetahuan yang khas dari suatu masyarakat dan berbeda dengan

pengetahuan masyarakat lain, dan etnosains sendiri juga merupakan salah satu

teori atau aliran dari antropologi budaya yang menekankan pada usaha

memperoleh pemahaman tentang dunia penduduk asli/lokal (Ember & Ember,

1980).Dalam penelitian ini istilah etnoscience ini mengacu pada istilah sains

tradisional atau pengetahuan lokal terhadap alam atau sains (IPA) lokal, yang

dapat diartikan sebagai pemikiran atau kepercayaan serta praktek atau

kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan konsep/materi pelajaran IPA

(Wahyudi, 2003).

Menurut Aikenhead dan Cobern (1998), sains sendiri adalah merupakan

sub-budaya dari kebudayaan barat. Dalam pandangan antropologi budaya,

pembelajaran sains dianggap sebagai penguasaan budaya dan pengajaran sains

dianggap sebagai transmisi budaya (Wollcot dalam Aikenhead dan Cobern,

1998).

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sains merupakan bagian

budaya, lebih tepatnya sistem pengetahuan, yang dimiliki manusia melalui

proses belajar dan belajar sains adalah juga merupakan belajar kebudayan,

khususnya sub-budaya/sistem pengetahuan barat.

Proses belajar unsur-unsur kebudayaan asing oleh warga suatu

masyarakat, yaitu melalui proses akulturasi dan asimilasi (Koentjaraningrat,

(25)

dapat dianggap sebagai budaya asing yang bila dipelajari oleh warga

masyarakat bukan barat (warga masyarakat dengan budaya sendiri/budaya

lokal) juga akan terjadi proses belajar kebudayaan melalui proses akulturasi

dan asimilasi.

Bila terdapat kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu

dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayan asing dengan

sedemikian rupa sehingga unsur-unsur dari kebudayaan asing lambat laun

diterima dan diolah kedalam kebudayaannya sendiri tanpa menyebabkan

hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri, pastilah terjadi proses sosial

yang disebut dengan akulturasi (Koentjaraningrat, 1990). Pada pembelajaran

di kelas, dimana terdapat kelompok manusia (siswa-siswa) dengan suatu

sistem pengetahuan tertentu (pengetahuan lokal) dihadapkan dengan sistem

pengetahuan asing (mata pelajaran sains) dalam proses belajar mengajar di

kelas sehingga unsur-unsur pelajaran sains lambat laun diterima dan diolah

tanpa mengakibatkan hilangnya kepribadian kebudayaan lokal, pastilah terjadi

proses akulturasi budaya dalam kelas.

Tetapi pada kenyataannya, dalam pembelajaran dalam kelas akan terjadi

proses penerimaan dan penolakan oleh siswa yang tentunya sudah mempunyai

sistem pengetahuan sendiri (pengetahuan lokal) terhadap pembelajaran sains

(sistem pengetahuan asing). Bila terjadi penerimaan oleh siswa terhadap

sistem pengetahuan asing tersebut (pelajaran sains) sehingga dapat terjadi

akulturasi budaya, maka proses tersebut disebut dengan proses asimilasi

(26)

dekat, suka, senang, dan faktor-faktor lain, dimana faktor-faktor tersebut

merupakan faktor yang mendukung dalam proses pembelajaran sains dalam

diri siswa sendiri. Sedangkan penolakan pada siswa akan menimbulkan

konflik-konflik yang dapat menghambat dan mengganggu proses

pembelajaran sains, bahkan dapat mengakibatkan terjadinya ketrasingan pada

diri siswa (Maddock dalam Aikenhead dan Cobern, 1999). Maka disinilah

letak pentingnya pengetahuan lokal dalam pembelajaran sains disekolah yaitu

bahwa faktor budaya, seperti pengetahuan lokal akan sangat berpengaruh pada

proses pembelajaran sains.

Pelajaran sains pada hakekatnya berobyek pada eksplorasi manusia

terhadap alam, dan hal itu merupakan landasan bagi kerangka variasi orientasi

sistem nilai budaya (Koentjaraningrat, 1990). Karena ada kebudayaan yang

memandang alam sebagai sesuatu hal yang begitu dasyat sehingga manusia

hanya dapat mengalah tanpa dapat berusaha banyak, ada kebudayaan yang

mengganggap bahwa manusia hanya dapat mencari keselarasan manusia

dengan alam (kebuadayaan rata-rata di Indonesia). Sebaliknya, ada

kebudayaan yang memandang alam sebagai sesuatu hal yang dapat dilawan

oleh manusia dan mewajibkan manusia untuk selalau berusaha menahklukan

alam, mengekspolitasi dan mengeksplorasi atau bahkan “memperkosa alam”

(kebudayaan barat, dalam hal ini adalah sains sebagai sub-budaya barat),

sehingga hal tersebut akan menyebabkan adanya perbedaan sistem

(27)

4. Model Pembelajaran Sains Berbasis Pengetahuan Lokal tentang Alam

Untuk mengembangkan pembelajaran sains berbasis kebudayaan lokal,

George seperti dikutip oleh Wahyudi (2003) menyarankan kepada para guru

untuk memperhatikan empat hal berikut dalam kegiatan pembelajaran di

kelas, yaitu :

1. Memberi kesempatan kepada siswa untuk mengekspresikan

pikiran-pikirannya, untuk mengakomodasi konsep-konsep atau keyakinan yang di

miliki siswa, yang berakar pada sains tradisional

2. Menyajikan kepada siswa contoh-contoh keganjilan atau keajaiban

(discrepant events) yang sebenarnya hal yang biasa menurut

konsep-konsep baku sains

3. Mendorong siswa untuk aktif bertanya

4. Mendorong siswa untuk membuat serangkaian skema tentang konsep yang

dikembangkan selama proses KBM

Driver dan Hewson dalam Wahyudi (2003) telah mengembangkan model

Pembelajaran sains berbasis sains lokal (etnoscience). Driver menyusun

model pembelajaran yang disebut dengan Conceptual Change Model yang

terdiri dari lima fase pembelajaran, yaitu : (1) fase orientasi yang memberikan

kesempatan kepada siswa untuk mengidentifikasi konsep-konsep sains yang

berkembang dalam masyarakat (etnoscience). (2) fase elisitasi yaitu untuk

mengeluarkan konsepsi-konsepsi mereka (3) fase restukturisasi yaitu dengan

memberi kesempatan secara bersama-sama bagi siswa dan guru untuk

(28)

sains barat, setelah itu baru dilakukan (4) fase review dengan sebelumnya

memberi kesempatan kepada siswa untuk mengaplikasikan konsep yang telah

direstukturisasi melalui pemberian soal maupun penyelesaian suatu masalah.

Sedangkan, Hewson yang berangkat dari pandangan konstruktivisme, bahwa

proses belajar siswa melalui proses panjang secara bertahap, yang tahapan itu

antara lain adalah terjadinya pergumulan (konflik) ide dalam diri siswa yang

berakar dalam pada sains lokal maupun sains barat dengan konsep-konsep

baru yang sedang dipelajari, modifikasi konsep yang berkembang dalam

pikiran siswa sampai dengan restrukturisasi konsep akhibat interaksi selama

proses pembelajaran.

Wahyudi (2003), memberikan saran tindakan untuk melakukan reformasi

kurikulum IPA di daerah, yaitu implementasi kurikulum IPA yang berbasis

pada sains lokal (etnoscience) melaui langkah-langkah di bawah ini :

1. Identifikasi sains tradisional, baik yang berupa pemikiran (kepercayaan)

maupun kebiasaan tindakan/praktek yang berkembang dalam masyarakat.

2. Pengelompokan dari langkah 1 ke dalam dua kategori, yaitu yang “selaras”

dan yang “bertentangan” dengan sains barat (materi pelajaran IPA).

3. Pengintegrasian sains tradisional ke dalam kurikulum IPA di sekolah

melalui penyusunan silabus dan bahan ajar.

4. Uji coba silabus dan bahan ajar oleh guru kelas dibantu dan dipantau oleh

tim rekayasa kurikulum.

5. Penyempurnaan silabus dan bahan ajar oleh tim rekayasa kurikulum.

(29)

Dari beberapa pendekatan model pembelajaaran sains (IPA) yang berbasis

pada sains lokal (pengetahuan lokal terhadap alam), dapat disimpulakan hal

pokok untuk perencanaan pembelajaran sains di kelas, yaitu:

1. Identifikasi sains lokal/pengetahuan lokal terhadap alam dari lingkungan

masyarakat sekitar yang dapat digunakan/menjadi bagian dalam

pembelajaran mata pelajaran sains di sekolah.

2. Melihat pada diri siswa, sejauh mana pemikiran, kepercayaan, kegiatan

atau kebiasaan siswa terhadap sains lokal/pengetahuan lokal terhadap alam

berpengaruh.

3. Membantu siswa melakukan “dialog” sebagai sesuatu yang sejajar dan

saling menghargai, sehingga muncul pertanyaan dari anak sendiri atas

“keselarasan” dan “pertentangan” antara sains lokal/pengetahuan lokal

terhadap alam dengan sains barat (mata pelajaran IPA) yang dipelajari

pada diri siswa.

5. Pembelajaran sains SD

a) Sains

Aspek penting dalam Sains mencakup dua hal, yaitu aspek proses dan

aspek produk.

Aspek Produk adalah hasil dari rekaan/buatan manusia dalam rangka

memahami dan menjelaskan alam bersama dengan berbagai fenomena

didalammya, aspek produk dalam sains dapat berupa teori, prinsip, dan

(30)

dikembangkan oleh manusia untuk mengetahui keadaan diri dan

lingkungannya (Sarkim, 1998). Lebih lanjut menurut Sarkim (1998), sains

yang berobyek pada alam membentuk dunianya sendiri melalui teori,

prinsip dan hukum sains, sehingga struktur pengetahuan dalam sains

membangun persepsi tersendiri pada manusia mengenai alam, dunia ilmu

alam.

Aspek proses dikenal juga dengan aspek metode keilmuan, yaitu

metode memperoleh pengetahuan. Horner dan Hunt dalam Sarkim (1998),

menyatakan bahwa metode keilmuan merupakan perpaduan antara

rasionalisme yang memandang bahwa pengetahuan dapat diperoleh

melalui pemikiran dan empirisme yang memandang bahwa pengetahuan

diperoleh dari pengalaman. Tahap-tahap metode keilmuan secara garis

besar terdiri dari: (1) adanya masalah dan perumusan masalah, (2)

pengamatan dan pengumpulan data, (3) penyusunan data, (4) perumusan

hipotesa, (5) deduksi dan hipotesis, (6) pengujian hipotesis.

b) Pembelajaran Sains di SD

Rohandi (1998), menyatakan bahwa tujuan pembelajararan sains

adalah untuk membuat anak berpikir logis, berkembang dan berdaya, cara

berpikir dan sikap sehingga dapat berguna untuk anak sendiri dan juga

untuk mengubah kebudayaan (mengembangakan masyarakat). Dari

pendapat tersebut jelas bahwa, pembelajaran sains disini dapat berfungsi

selain untuk mengembangkan cara berpikir anak juga berperan dalam

(31)

melalui anak (agent of change) yang juga merupakan anggota dari suatu

masyarakat.

Pembelajaran sains di sekolah dasar (SD) menurut kurikulum KTSP

yang dipakai di Indonesia saat ini menekankan bahwa proses pembelajaran

sains SD ditujukan pada pemberian pengalaman langsung untuk

mengembangkan kompetensi agar menjelajahi dan memahami alam

sekitar secara ilmiah (Puskur, 2007). Pengalaman terhadap alam sekitar

yang diperoleh oleh siswa secara langsung dalam interaksinya dengan

alam dan lingkungan terkadang berbeda dengan apa yang diperolehnya

dalam buku dan pelajaran sains di sekolah yang dipandang sebagai

pengetahuan ilmiah. Pengetahuan ilmiah dalam hal ini sebagai budaya

ilmiah, didasarkan pada metode ilmiah yang merupakan bagian dari

kebudayaan barat yang tidak diperoleh siswa dari lingkunganya dalam

meninjau alam, ataupun pada sekolah. Hal itu dimungkinkan karena

metode ilmiah ini tidak diajarkan oleh sebab tidak terdapat dalam standar

kompetensi maupun materi pelajaran sains SD. Sehingga, bagaimanakah

mungkin, siswa diharapkan memahami secara ilmiah alam sekitarnya, bila

cara berpikir maupun budaya ilmiah tidak ditekankan dan bahkan tidak

diajarkan, padahal berpikir ilmiah yang didasarkan diri pada metode

ilmiah merupakan hasil budaya barat yang dapat dimiliki siswa dengan

belajar. Dalam pembelajaran, hal ini menyebabkan salah pengertian pada

diri asiswa dan menganggap bahwa pengetahuan lokal terhadap alam yang

(32)

dengan buku dan pelajaran sains di sekolah, sehingga dianggap tidak

ilmiah.

Ruang Lingkup bahan kajian IPA untuk SD/MI pada pelajaran Sains

SD dalam kurikulum KTSP meliputi aspek-aspek berikut :

1. Makhluk hidup dan proses kehidupan, yaitu manusia, hewan,

tumbuhan dan interaksinya dengan lingkungan, serta kesehatan

2. Benda/materi, sifat-sifat dan kegunaannya meliputi: cair, padat dan gas

3. Energi dan perubahannya meliputi: gaya, bunyi, panas, magnet, listrik,

cahaya dan pesawat sederhana

4. Bumi dan alam semesta meliputi: tanah, bumi, tata surya, dan

benda-benda langit lainnya

Ruang lingkup kurikulum KTSP diatas, memungkinkan pengetahuan

lokal tentang alam dapat digunakan dalam pelajaran sains SD, salah

satunya adalah mengenai bumi dan alam semesta. Berdasarkan analisis

ruang lingkup tersebut, ditemukan beberapa standar kompetensi yang

potensial untuk mengembangkan pembelajaran dimana pengetahuan lokal

tentang alam menjadi bagian dalam pelajaran sains SD. Standar

kompetensi dan kompetensi dasar yang potensial dalam ruang lingkup

(33)

RUANG LINGKUP MATERI PENELITIAN

Kelas Semester Standar kompetensi Kompetensi Dasar I II • Mengenal berbagai benda langit dan

peristiwa alam (cuaca dan musim) serta pengaruhnya terhadap kegiatan manusia

1. Mengenal berbagai benda langit melalui pengamatan

2. Mengenal keadaan cuaca di sekitar kita 3. Membedakan pengaruh musim kemarau

dengan musim hujan terhadap kegiatan manusia

II II • Memahami peristiwa alam dan pengaruh matahari dalam kehidupan sehari-hari

1. Mengidentifikasi kenampakan matahari pada pagi, siang dan sore hari

2. Mendeskripsikan kegunaan panas dan cahaya matahari dalam kehidupan sehari-hari

III II • Memahami kenampakan permukaan bumi, cuaca dan pengaruhnya bagi manusia, serta hubungannya dengan cara manusia memelihara dan melestarikan alam

1. Mendeskripsikan kenampakan permukaan bumi di lingkungan sekitar

2. Menjelaskan hubungan antara keadaan awan dan cuaca

3. Mendeskripsikan pengaruh cuaca bagi kegiatan manusia

4. Mengidentifikasi cara manusia dalam memelihara dan melestarikan alam di lingkungan sekitar

IV II • Memahami perubahan kenampakan permukaan bumi dan benda langit

1. Mendeskripsikan perubahan kenampakan bumi

2. Mendeskripsikan posisi bulan dan kenampakan bumi dari hari ke hari

• Memahami perubahan lingkungan fisik dan pengaruhnya terhadap daratan

1. Mendeskripsikan perubahan kenampakan bumi

2. Mendeskripsikan posisi bulan dan kenampakan bumi dari hari ke hari 3. Memahami perubahan lingkungan fisik

dan pengaruhnya terhadap daratan 4. Mendeskripsikan berbagai penyebab

perubahan lingkungan fisik (angin, hujan, cahaya matahari, dan gelombang air laut)

5. Menjelaskan pengaruh perubahan lingkungan fisik terhadap daratan (erosi, abrasi, banjir, dan longsor) 6. Mendeskripsikan cara pencegahan

kerusakan lingkungan (erosi, abrasi, banjir, dan longsor)

• Memahami hubungan antara sumber daya alam dengan lingkungan, teknologi, dan masyarakat

1. Menjelaskan hubungan antara sumber daya alam dengan lingkungan 2. Menjelaskan hubungan antara sumber

daya alam dengan teknologi yang digunakan

3. Menjelaskan dampak pengambilan bahan alam terhadap pelestarian lingkungan

V II • Memahami perubahan yang terjadi di alam dan hubungannya dengan penggunaan sumber daya alam

1. Mendeskripsikan proses pembentukan tanah karena pelapukan

(34)

6. Metafora Pelintas Batas

Siswa dianggap sebagai pelintas batas antara dua budaya, yaitu nilai-nilai

budaya dalam kehidupannya sehari-hari (budaya lokal) dengan nilai-nilai

budaya sains dari barat (Wahyudi, 2003).

Costa dalam Wahyudi (2003), mengelompokan siswa dalam lima kategori

berdasarkan cara mereka masuk kedalam budaya sains disekolah dari

kebudayaan lokal mereka.

a) Kelompok pertama disebut dengan Potensial Sains, dimana siswa dapat

melintasi batas budaya dan menganggap bahwa batas budaya tersebut

tidak ada.

b) Kelompok kedua disebut dengan Other Smart Kid, dimana siswa dapat

melewati batas budaya, tetapi masih mengakui sains sebagai budaya asing.

3. Mendeskripsikan struktur bumi 4. Mendeskripsikan proses daur air dan

kegiatan manusia yang dapat mempengaruhinya

5. Mendeskripsikan perlunya penghematan air

6. Mengidentifikasi peristiwa alam yang terjadi di Indonesia dan dampaknya bagi makhluk hidup dan lingkungan 7. Mengidentifikasi beberapa kegiatan

manusia yang dapat mengubah

permukaan bumi (pertanian, perkotaan, dsb)

VI II • Memahami matahari sebagai pusat tata surya dan interaksi bumi dalam tata surya

1. Mendeskripsikan sistem tata surya dan posisi

2. penyusun tata surya

3. Mendeskripsikan peristiwa rotasi bumi, revolusi bumi dan revolusi bulan 4. Menjelaskan terjadinya gerhana bulan

dan gerhana matahari

(35)

c) Kelompok ketiga disebut I Don’t Know Student, dimana siswa

menghadapi masalah serius saat melewati batas budaya tetapi mau belajar

menagatasinya dengan belajar terus menerus.

d) Kelompok keempat disebut Outsider, dimana siswa cenderung terasing

selama proses pembelajaran berlangsung dan menghadapi masalah besar

saat melewati batas budaya sehingga tidak dapat melewati batas budaya

dikarenakan kuatnya pengaruh budaya lokal daripada mata pelajaran sains.

e) Kelompok terakhir disebut Inside Outsider, dimana siswa tidak dapat

melewati batas budaya karena diskriminasi.

C. Deskripsi Lokasi Penelitian

Dari penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh H.J Wibowo (2005) di

dapatkan data-data tentang desa Parangtritis sebagai berikut:

1. Lokasi dan Keadaan Alam

Desa Parangtritis mempunyai ketinggian rata-rata 13 m diatas permukaan

laut, dengan luas wilayah 11,87 km2. Keadaan Alam di desa Parangtritis

memiliki tiga macam topografi, yaitu: pegunungan, daratan dan pantai.

Pegunungan terletak di sebelah utara dan timur, sedangkan dataran

dimanfaatkan untuk ladang, sawah dan pemukiman. Pantai Parangtritis selalu

mengalami pertambahan luas yang terjadi secara alami karena abrasi dari laut

dan bila gelombang pasang terjadi, daerah di tepi pantai sering terendam atau

terterjang air laut. Di desa Parangtritis terdapat banyak obyek alam, seperti:

(36)

Parangtritis (gumuk), sumber mata air panas di parang wedang, sungai bawah

tanah, gua alam, dll.

2. Keadaan Masyarakat

Desa Parangtritis terdiri dari 11 dusun, 24 RW dan 55 RT. Sebelas dusun itu

adalah Pamancingan, Kretek, Sono, Pamiran, Bungkus, Depok, Dawuran,

Depok Lor, Grogol Tengah Satu, Grogol Tengah Dua, dan Grogol Kidul.

Desa Parangtritis mempunyai keadaan alam yang indah sehingga menjadi

obyek wisata andalan di DIY, yaitu: pantai Parangtritis, Parangkusumo, Parang

wedang, Parangendog dan pantai Depok. Selain obyek wisata alam, Parangtritis

ternyata juga menjadi obyek wisata budaya karena mempunyai tempat sakral,

seperti: Cepuri dan juga upacara-upacara adat, seperti: Labuhan, Bekti Pertiwi

dan Pisungsun Jaladri.

Menurut sensus penduduk (2001) Pemerintah kabupaten Bantul, penduduk

Parangtritis berjumlah 6.886 jiwa, terdiri dari laki-laki 3.342 jiwa dan

perempuan 3.544 jiwa dan jumlah KK adalah 1.811 buah. Mata Pencaharian

penduduk di desa Parangtritis sebagian besar adalah petani (bersawah dan

berladang), pegawai negri, buruh, pedagang, nelayan dan juga abdi dalem.

Kondisi penduduk berdasarkan latar belakang pendidikan di desa Parangtritis,

adalah: SD (60.1%), SMP (19.1%), SMU (18.1%) dan D3 serta S1 (2.7%).

Fasilitas Pendidikan yang ada adalah TK 5 buah, SD 5 buah, SMP 1 buah dan

(37)

3. Mitologi

Dalam kepercayaan masyarakat Yogyakarta, khususnya daerah desa

Parangtritis dan sekitarnya masih memegang kepercayaan akan hal-hal

adikodrati yang terhubung dalam satu kesatuan kosmos antara manusia, alam

fisik dan alam ghaib yang semuanya saling mempengaruhi, sehingga hal itu

mendasari cara pandang masyarakat terhadap alam. Berdasarkan letak geografis

dan mitologis, Kraton Yogyakarta mempunyai peran sebagai sentral kekuatan

adikodrati/mistis di persatukan oleh tempat-tempat yang mempunyai kekuatan

mistis pada empat penjuru mata anginnya, yaitu: gunung Merapi di sebelah

utara, Dlepih Kahyangan di sebelah barat, laut Selatan di sebelah selatan dan

gunung Sewu di sebelah timur. Laut Selatan sebagai sumber kekuatan mistis,

dipersonifikasi dalam diri makhluk ghaib penguasa laut Selatan yaitu Kanjeng

Ratu Kidul. Dalam menjaga keharmonisan antara manusia, alam fisik, alam

ghaib dan sebagai bentuk permohonan dan syukur oleh masyarakat di desa

Parangtritis dan sekitarnya maka dilakukan upacara adat seperti: labuhan, bhekti

pertiwi dan pisungsun jaladri. Hal itu menyebabkan terbentuknya karakteristik

masyarakat desa Parangtritis yang mistis (Wibowo, 2005) dan tidak bisa

dikatakan bahwa kebudayaan masyarakat mistis tersebut jauh tertinggal dengan

kehidupan modern barat, tetapi memang kedua kebudayaan tersebut adalah

berbeda. Dalam kehidupan masyarakat desa Parangtritis, kepercayaan dan mitos

memegang peranan yang penting dan merupakan lambang dan sifat dari

(38)

D. Rumusan Masalah

• Pengetahuan lokal apakah yang terdapat di desa Parangtritis khususnya

di daerah sekitar SD Bungkus, Parangtritis, Kretek dalam konteks ilmu

pengetahuan alam (sains) dalam melihat suatu fenomena alam?

• Apakah pengetahuan lokal tentang alam menjadi bagian dalam

pembelajaran sains di SD Bungkus, Parangtritis, Kretek?

• Bagaimanakah merancang pembelajaran yang melibatkan pengetahuan

lokal tentang alam yang dapat menjadi bagian dalam pembelajaran sains

di SD Bungkus, Parangtritis ,Kretek?

E. Tujuan penelitian

• Mengidentifikasi pengetahuan lokal apakah yang terdapat di desa

Parangtritis khususnya di daerah sekitar SD Bungkus, Parangtritis,

Kretek dalam konteks ilmu pengetahuan alam (sains) dalam melihat

suatu fenomena alam.

• Mengetahui penggunaan pengetahuan lokal tentang alam yang menjadi

bagian dalam pembelajaran sains di SD Bungkus, Parangtritis, Kretek.

• Mendesain pembelajaran yang melibatkan pengetahuan lokal tentang

alam yang menjadi bagian dalam pembelajaran sains di SD Bungkus,

(39)

F. Manfaat Penelitian

• Dalam Pembelajaran di Kelas

¾ Bagi guru atau calon guru

Guru atau calon guru menyadari perlunya memperhatikan aspek

budaya (pengetahuan lokal terhadap alam) dan mengintegrasikan

dalam pembelajaran sains di kelas.

¾ Bagi siswa

Secara tidak langsung, siswa diharapkan dapat menghargai dan

mengkaji pengetahuan lokal masyarakat yang ada di lingkungan

siswa dan dapat menjadi bagian dalam pembelajaran sains di kelas.

• Bagi peneliti

(40)

BAB II

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian deskriptif kualitatif dengan

menggunakan strategi penelitian etnografi. Penelitian etnografi adalah deskripsi

dan analisa tentang suatu masyarakat yang didasarkan pada penelitian langsung di

lapangan.

B. Partisipan Penelitian

Untuk dapat melihat dan mengkaji pengaruh budaya, maka dalam penelitian

ini akan dilakukan pendekatan secara etnografi pada suatu daerah, yaitu

Yogyakarta, khususnya desa parangtritis daerah sekitar pantai Depok. Desa

Parangtritis yang menjadi daerah penelitian ini terletak di Daerah Istemewa

Yogyakarta (DIY), tepatnya di kabupaten Bantul, kecamatan Kretek. Sedangkan

untuk partisipan penelitian ini adalah masyarakat desa Parngtritis khususnya

masyarakat sekitar pantai Depok serta Guru dan siswa-siswi SD Bungkus,

Parangtritis, Kretek. Alasan dipilihnya SD Negri Bungkus, Parangtritis, Kretek

yang lokasinya terletak di daerah sekitar pantai sebagai lokasi penelitian, karena

beberapa pertimbangan. Pertama, daerah ini terletak di dekat pantai selatan Jawa

dan mempunyai banyak fenomena/peristiwa alam yang terjadi, yang hal ini sangat

berhubungan dengan sains karena alam adalah obyek sains. Kedua, karena di

daearah ini kaya akan keragaman budaya, seperti: upacara-upacara adat, tempat

(41)

yang dikeramatkan/disakralkan, kepercayaan masyarakat yang khusus dalam

memandang alam.

C. Waktu dan Tempat Penelitian

September - November 2007 di desa Parangtritis

D. Desain Penelitian

Dalam penelitian ini ada beberapa tahap sebagai berikut:

1. Tahap 1 : Dalam tahap ini dilakukan observasi awal untuk pengenalan medan

penelitian berdasarkan tinjauan pustaka dan pengamatan secara langsung ke

lapangan. Setelah observasi awal kemudian dilakukan identifikasi partisipan

yaitu dengan mencari informan yang tepat, yaitu dengan mencari informasi

kepada seseorang yang mengetahui tentang pengetahuan lokal yang ada di

Tahap 3

• Analisis data & Intepretasi data

• Perancangan Pembelajaran

Tahap 2

• Pengambilan data disekolah

• Data pengetahuan lokal

(acuan penelitian selanjutnya)

Tahap 1

Observasi awal

• Mengenal medan penelitian

• Identifikasi partisipan

• Wawancara responden

• Catatan lapangan secara umum

(42)

daerah sekitar. Selanjutnya dilakukan wawancara untuk mendapatkan data

tentang pengetahuan lokal masyarakat didaerah itu, kemudian dibuat catatan

lapangan secara umum dari observasi dan wawancara, setelah itu dilanjutkan

dengan analisis awal. Sehingga pada tahap 1 ini diperoleh data tentang

pengetahuan lokal di daerah itu.

2. Tahap 2 : Dari data observasi, wawancara dan analisis awal, baru dipahami

data tentang pengetahuan lokal yang akan digunakan dalam penelitian

selanjutnya. Pengambilan data yang kedua adalah di sekolah, dengan mencari

hubungan antara pengetahuan lokal yang diperoleh dari daerah itu dengan

pembelajaran sains di sekolah pada siswa. Data yang diambil adalah dengan

mengidentifikasi pengetahuan lokal terhadap alam dalam konteks mata

pelajaran sains yang ada pada diri siswa. Data pada tahap kedua ini digunakan

untuk mencari tahu hubungan antara pengetahuan lokal dan pembelajan sains

di sekolah.

3. Tahap 3 : Data yang sudah diperoleh kemudian distrukturisasi, dianalisis dan

diinterpretasi, setelah itu berdasarkan tahap 1 & 2 dicari pengetahuan lokal

dalam masyarakat yang dapat dijadikan bahan “dialog” dalam membuat

contoh pengembangan model belajar sains berbasis pengetahuan lokal

masayarakat.

E. Instrumen Penelitian

Dalam penelitian ini menggunakan beberapa instrumen penelitian untuk

(43)

1. Wawancara

Pengumpulan data dengan instrumen wawancara digunakan untuk

mengetahui pengetahuan tentang alam di sekitar daerah SD Bungkus, desa

Parangtritis. Hal itu dilakukan dengan mewawancarai beberapa narasumber yang

dapat memberikan informasi mengenai pengetahuan lokal tentang alam di daerah

sekitar itu, misalnya disini adalah para nelayan dan sesepuh desa. Wawancara

yang dilakukan dalam penelitian ini berjenis wawancara terbimbing, dimana

peneliti menanyakan pada responden mengenai pengetahuan lokal yang dibatasi

pada pengetahuan tentang alam khususnya yang digunakan di daerah sekitar itu.

Sehingga, untuk dapat menelusuri informasi mengenai data yang dibutuhkan,

maka pertanyaan dibuat hanya garis-garis pokoknya saja dan diharapkan

berkembang dalam kenyataanya di lapangan.

Instrumen wawancara juga digunakan dalam memperoleh data dari Guru

di sekolah, hal itu digunakan untuk mengetahui bagaimanakah pengetahuan lokal

terhadap alam digunakan dalam pembelajaran khususnya dalam pelajaran sains.

Pertanyaan wawancara diperoleh dari analisis hubungan antara pengetahuan lokal

terhadap alam dalam masyarakat sekitar dengan pengetahuan dari siswa dalam

konteks mata pelajaran sains SD.

2. Uraian Tertulis

Pengumpulan data ini dilakukan dengan memberikan pertanyaan secara

tertulis untuk siswa kelas V, VI karena dianggap siswa dapat mengerti dan

menjawab apa yang ditanyakan. Bentuk soalnya adalah uraian singkat, sedangkan

(44)

a) Mengetahui pemahaman anak-anak tentang alam dari materi IPA yang

berhubungan dengan pengetahuan lokal

b) Mengetahui pemahaman anak-anak tentang budaya sekitar

F. Metode Analisis Data

1. Analisis wawancara dari masyarakat untuk mengetahui memahami

pengetahuan lokal

a) Dianalisis hasil wawancara mengenai pengetahuan lokal tentang alam

yang ada di daerah sekitar

b) Dari hasil tersebut kemudian diidentifikasi pengetahuan lokal terhadap

alam yang berhubungan dengan konteks materi pelajaran IPA SD

c) Dari hasil identifikasi, kemudian dipilih pengetahuan lokal terhadap

alam yang berhubungan dengan konteks materi pelajaran IPA yang

akan digunakan dalam penelitin terhadap guru dan siswa di sekolah

2. Analisis uraian tertulis dari siswa dan wawancara Guru untuk mengetahui

hubungan pengetahuan lokal terhadap alam dari masyarakat dalam

pembelajaran di sekolah

a) Mengidentifikasi dan memilih pengetahuan lokal terhadap alam apa

sajakah dari siswa yang dapat menjadi bagian dalam materi pelajaran

sains dengan menyususun soal uraian tertulis untuk siswa.

b) Berdasarkan pengetahuan lokal yang sudah dipilih, kemudian dilihat

pengaruh pengetahuan lokal tentang alam pada siswa dari hasil

(45)

c) Menganalisis hasil wawancara guru untuk mengetahui apakah

pengetahuan lokal terhadap alam juga menjadi bagian dalam

pembelajaran sains di sekolah

3. Merancang suatu model pembelajaran dimana pengetahuan lokal terhadap

alam terintegrasi dalam materi pembelajaran sains di sekolah dalam

(46)

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Penelitian

Penelitian dilaksanakan di SD Negri Bungkus, yang terletak di desa

Parangtritis, kecamatan Kretek kabupaten Bantul, yang di lakukan pada tanggal

19 – 24 November 2007. Sebelumnya, penelitian sudah dimulai sejak bulan

Juli-September 2007 dengan melakukan observasi lapangan untuk mencari dan

mengenal medan penelitian yang kemudian dilanjutkan dengan memilih dan

menentukan lokasi penelitian, yaitu SD Bungkus yang terletak di dekat pantai

Depok (± 1 km dari pantai Depok), setelah itu dilanjutkan dengan melihat

pengetahuan lokal masyarakat tentang alam yang ada di sekitar daerah lokasi

penelitian dengan melakukan wawancara pada beberapa nelayan di Pantai Depok

(2 orang, yaitu bapak B dan bapak C) dan seorang yang di tuakan di daerah sekitar

itu (bapak A).

Proses pengumpulan data dalam penelitian ini kemudian di lanjutkan

dengan melakukan penelitian di SD Bungkus, yaitu terutama pada siswa dan

kemudian pada guru untuk melihat bagaimanakan hubungan antara pengetahuan

lokal tentang alam dari masayarakat, siswa, guru dan mata pelajaran sains. Hal ini

dilakukan pada siswa kelas V yang berjumlah 23 anak dan siswa kelas VI yang

berjumlah 22 anak dengan meminta siswa untuk mengisi beberapa pertanyaan

uraian. Sedangkan untuk guru, dilakukan beberapa wawancara untuk melihat

(47)

bagaimanakah mata pelajaran IPA yang diajarkan dengan pengetahuan lokal

tentang alam dalam masyarakat.

B. Hasil Penelitian

Berdasarkan tujuan dari penelitian diperoleh hasil penelitian sebagai

berikut :

1. Identifikasi Pengetahuan Lokal Masyarakat Yang Terdapat Di Sekitar

Lokasi Penelitian Dalam Melihat Suatu Fenomena Alam.

Berdasarkan analisis data dari hasil wawancara penelitian di lapangan

dapat dikonsepsikan mengenai pengetahuan lokal masyarakat terhadap alam di

daerah penelitian memuat hal-hal sebagai berikut (seperti juga di sebutkan oleh

Wahyudi, 2003):

a) Kepercayaan

Menurut peneliti, kepercayaan masyarakat dalam hal ini tidak dipandang

sebagai sesuatu yang berdiri sendiri seperti religi, melainkan juga menjadi bagian

dari pengetahuan lokal terhadap alam. Hal itu disebabkan karena sistem

kepercayaan ini sendiri tidak terpisah dalam hubungannya dengan alam.

Kepercayaan masyarakat yang berhubungan atau bersumber pada alam (Mulder,

1984), dalam penelitian ini ditemukan dalam bentuk seperti (i) kepercayaan pada

hal-hal adikodrati/alam gaib (metafisik), (ii) perwujudan kepercayaan melalui

upacara-upacara adat, (iii) mitos.

Kepercayaan pada hal-hal gaib yang melatarbelakangi kepercayaan

(48)

kepercayaan pada makhluk gaib Nyi Roro Kidul yang dipercayai sebagai

penunguasa laut selatan dan hal ini sangat akrab/dekat baik secara geografis

tempat maupun secara kultural masyarakat. Kepercayaan terhadap Nyi Roro Kidul

ini masih dianut oleh sebagian besar masyarakat, terutama oleh para nelayan di

sekitar lokasi penelitian, hal itu dapat dilihat berdasarkan cerita-cerita yang

berkembang di masyarakat, yang walaupun tidak pernah mengalami ataupun

melihat sendiri, mereka percaya akan keberadaan makhluk gaib tersebut. Sikap

masyarakat terhadap makhluk gaib, khususnya sebagian besar para nelayan bukan

dengan menyembahnya melainkan dengan menghormati (menjaga keharmonisan)

keberadaannya, yang diwujudkan dalam upacara-upacara adat.

Upacara adat di sekitar lokasi penelitian selain untuk menghormati

(menjaga keharmonisan) dengan alam, juga sebagai ungkapan syukur dan

permohonan kepada Tuhan, misalnya: bersih dusun (majemuk), doa bersama,

nanggap wayang, dan perayaan-perayaan lain seperti dangdutan. Secara khusus,

sebagai ungkapan syukur dan ujub permohonan seperti misalnya kelancaran rejeki

dan juga penghormatan terhadap makhluk gaib, yaitu Nyi Roro Kidul, diadakan

upacara labuhan yang diadakan setiap tanggal 1 Suro (tahun baru Jawa).

Mitos-mitos yang masih sangat dipercayai oleh masyarakat sekitar,

terutama oleh para nelayan, didasarkan pada hubungan antara manusia, alam fisik

dan alam gaib salah satunya adalah mengenai kebiasaan/adat para nelayan yang

tidak akan melaut pada hari pantangan melaut, yaitu hari selasa kliwon dan jumat

kliwon, karena menurut para nelayan (segi manusia), hari selasa kliwon dan jumat

(49)

b) Cara Berfikir

Cara berfikir masyarakat terhadap alam dalam masyarakat di sekitar lokasi

penelitian menurut peneliti, bersumber pada cara pandang (nilai) masyarakat

terhadap alam sehingga diperoleh pemahaman (pengetahuan) masyarakat terhadap

alam.

Cara pandang masayarakat terhadap alam didasari bagaimana masyarakat

sekitar menghayati/memandang alam, dan dari penelitian ini didapatkan bahwa

alam dianggap oleh masyarakat sebagai teman/patner, dimana alam sudah

mempunyai pola sendiri dan manusia tinggal menyesuaikan dengan pola alam

tersebut, dan hal itu membawa konsekwensi adanya “dialog” dengan alam

dimana tindakan manusia akan berpengaruh terhadap alam dan begitu pula

sebaliknya (keseimbangan ekologis). Hal itu dibuktikan dari pendapat salah

seorang narasumber, bahwa perubahan pola alam/musim yang sudah tidak

menentu saat ini, menurut narasumber disebabkan oleh tindakan dan sikap

manusia yang tidak mau memperhatikan (melestarikan) alam.

Pandangan masyarakat terhadap alam melahirkan pemahaman terhadap

alam yang mencakup pengetahuan masyarakat terhadap alam. Dari penelitian

diperoleh, pemahaman masyarakat terhadap alam yang masih sering digunakan

oleh masyarakat didasarkan pada dua hal pokok, yaitu: pranata mangsa dan

termasuk didalamnya ilmu titen.

Dalam melihat alam sekitar, pranata mangsa masih menjadi patokan,

(50)

Musim (pranata mangsa) digunakan untuk patokan menanam agar hasil yang diperoleh baik, tidak salah menanam, waktunya pas, menggunakan perkiraan waktu yang pas. Agar akur (penyesuaian yang tepat, harmoni)

Pranata mangsa merupakan sistem penanggalan pertanian Jawa yang

terdiri dari 12 musim (Daljoeni, 1983), setiap musim itu sendiri mempunyai

tanda-tanda alam yang dapat dilihat sebagai penanda dari suatu musim itu,

misalnya:

¾ Musim ke-1 ditandai dengan siang yang panas dan malam yang dingin, ini

juga menandakan sebagai musim kemarau.

¾ Musim ke-2 : bunga-bunga rontok (misal bunga pohon kapas)

¾ Musim ke-4 ditandai dengan banyak angin, dingin pada malam hari, siang

panas dan panasnya paling terik, yaitu menandakan musim kemarau, air tanah

turun paling dalam, membuat benih padi. Pergantian musim biasanya turun

hujan atau angin yang besar

¾ Musim ke-5&6 akan hujan (atau bulan yang biasanya berakhiran –ber pada

tahun masehi, misal: september, oktober)

¾ Musim ke-7&8 sudah dimulai musim hujan

Seperti yang ditemukan dalam penelitian, walaupun sudah ada acuan yang

sama tentang Pranata Mangsa, tetapi setiap orang bisa mempunyai variasi

pemahaman lain terhadap pranata mangsa tergantung dari pengetahuan dan

pemahaman masing-masing orang terhadap alam, misalnya: Pak A dan Pak C

mempunyai pandangan yang hampir sama tentang musim kemarau, yaitu: musim

kemarau ditandai dengan banyak angin, hawa dingin sekali pada malam hari,

(51)

sangat sehingga air tanah turun paling dalam, tetapi selain itu Pak C juga

mempunyai penanda lain yang menunjukkan musim kemarau berdasarkan

pengamatannya sendiri, yaitu: kupu kuning yang pada musim kemarau akan

migrasi ke barat dan saat musim penghujan akan migrasi ke timur. Contoh lain,

yaitu untuk menentukan penanda musim ke-2, bapak A berdasarkan

pengamatannya mengatakan bahwa musim ke-2 ditandai dengan berseminya

bunga-bunga, sedangkan bapak C berdasarkan pengamatannya mengatakan bahwa

musim ke-2 ditandai dengan gugurnya buah pohon kapas. Walaupun begitu tidak

semua orang memahami pranata mangsa, seperti dikatakan oleh bapak B yang

hanya sekedar tahu tetapi tidak terlalu paham. Hal ini tergantung dari pengamatan

masing-masing orang dari pola alam yang tampak, karena seperti yang

dikemukakan narasumber bahwa pengetahuan lokal pranata mangsa ini diperoleh

dari orangtua dan orang-orang tua zaman dahulu, serta dari pengalaman dan

pengamatan langsung dari alam dan hal ini tidak diperoleh dari sekolah.

Pengamatan masing-masing orang dari pola alam yang tampak ini disebut

juga dengan Ilmu Titen, seperti yang dituturkan oleh salah satu narasumber:

Ilmu Titen adalah pemahaman masyarakat Jawa dengan mengamati kebiasaan

terhadap suatu fenomena alam yang terjadi dengan melihat tanda-tanda (alam) yang diperlihatkan dan dapat digunakan dalam kehidupan manusia. Hal ini lebih condong ke prediksi pasti, karena alam menampakkan tanda-tanda yang jelas.

Seseorang menggunakan Ilmu Titen dengan mengamati kebiasaan

/pola/hubungan alam antara suatu fenomena alam dengan tanda-tanda alam yang

(52)

seperti dalam pertanian maupun melaut mencari ikan. Tanda-tanda Alam yang

dapat diamati menurut para narasumber dalam penelitian ini:

¾ Binatang, misalnya:

gareng pong yang berbunyi menandai akan terjadinya musim kemarau

(keluar pada peralihan musim penghujan ke kemarau)

• Burung diatas laut, memberitahukan bahwa disitu banyak ikan

• Suara katak bangkong, menandakan akan turun hujan

• Penyu bertelur menandakan musim ke-4

• Kupu kuning pada musim ke-5& 6 akan migrasi ke timur, tetapi bila musim

ke-7 kembali ke barat

• Mangsa ke- 9 ditandai dengan musim anjing kawin, bunyi suara gangsir.

¾ Rasi bintang di langit juga dapat menjadi pertanda, misalnya:

• Bintang wuluh dapat mempengaruhi tumbuh yang tidak baik bagi tumbuhan

dan buah-buahan

• Bintang gubug penceng menunjukkan arah selatan

• Bintang beruang merah menunjuk arah utara

• Bintang Luku digunakan dalam bertanam, kecerahan salah satu bintang

pada rasi bintang wuku digunakan untuk menentukan tingkat intensitas

hujan. Kecerahan, bila pada ujung belakang (buntut) menandakan hujan

akan deras pada akhir musim, bila pada ujung depan (ratuk) menandakan

hujan akan deras pada awal musim, tengah

(53)

¾ Bulan, yaitu pasang surut air laut dapat dilihat dari bulan, pasang naik air laut

pada saat bulan mati tanggal 1 Jawa dan bulan purnama tanggal 15 Jawa,

pasang surut air laut pada pertengahan antara tanggal 1-15 Jawa. Selain itu,

bulan juga digunakan dalam mencari ikan, saat bulan muda ikan agak susah

didapat, untuk mendekati bulan tua ikan lebih banyak.

¾ Warna air laut: Panen impun/gangsing yang keluar pada musim tertentu dapat

dilihat dari air yang berwarna agak kekuningan (karena disebabkan kotoran

impun/gangsing)

¾ Awan: Bila terlihat awan mendung dari arah barat daya saat melaut terlihat

kemerahan pada musim penghujan, harus segera pulang dari melaut, akan

terjadi hujan disertai angin besar

¾ Cuaca sehari-hari, misalnya:

•Musim kemarau: malam sangat dingin dan berkabut sedangkan siang sangat

terik

•Musim penghujan: mendung/berawan, kondisi panas, gerah yang

menandakan akan turun hujan

Salah satu pertanda alam yang diperoleh dari penelitian yang menarik

menurut peneliti adalah fenomena alam khas yang terjadi di sekitar lokasi

penelitian, yaitu peristiwa alam “Buntu Suwangan”, menurut narasumber

merupakan peristiwa tertutupnya muara sungai oleh pasir yang dibawa oleh

ombak dan angin, terjadi pada musim ke-4, karena angin saat itu besar dan

(54)

menjadi penanda musim kemarau, karena peristiwa ini hanya terjadi pada musim

kemarau.

Menurut Penulis, pengetahuan lokal Ilmu Titen, selain didasari oleh

pengamatan akan pola alam secara langsung dan pengetahuan yang diwariskan

oleh orang tua, tetapi sering juga dicampur baurkan dengan keyakinan dan mitos

masyarakat, seperti dinyatakan oleh Mulder (1984) yaitu bahwa budaya Jawa

cenderung mencampur baurkan antara alam fisik/empiris dan alam

gaib/metaempiris. Hal ini, dalam penelitian dapat dilihat misalnya dari keyakinan

para nelayan pantai Depok yang tidak melaut di hari selasa kliwon dan jumat

kliwon dan pernyataan narasumber yang menyebutkan bahwa kemunculan

bintang kemukus (komet) yang diyakini menjadi pertanda akan adanya bencana.

Hal ini menurut peneliti, adalah merupakan salah satu bahan kajian “dialog”

dengan sains.

c) Kegiatan Masyarakat

Kegiatan masyarakat dalam hal ini adalah kegiatan masyarakat yang

didasarkan atas pemahaman (pengetahuan lokal) masyarakat terhadap alam,

khususnya menjadi khas dalam penelitian ini adalah kegiatan melaut mencari

ikan. oleh para nelayan.

Untuk nelayan sendiri ada 2 musim, yaitu: musim sering ombak besar dan

musim sering ombak kecil. Nelayan di pantai depok tidak melaut setiap hari,

paling sering pada musim ombak kecil dan biasanya sering mendapat banyak ikan

maka disebut juga dengan musim panen, dan pada musim ombak besar nelayan

(55)

sekitar bulan maret-september, musim panen ikan bulan oktober-april, tetapi juga

menurut penuturan narasumber, sudah sejak tahun 2005 hal itu sudah tidak stabil.

Melaut di pantai Depok dilakukan pada pagi hari, dan siang baru pulang,

tetapi saat musim panen ikan bisa sampai dua kali turun sehingga bisa sampai

sore.

Melaut di pantai Depok dan daerah pantai selatan berpatokan pada ombak.

Melaut dilakukan pada pagi hari agar bisa melihat ombak, yang berbeda dengan

nelayan di pantai utara yang biasa dan bisa melaut pada malam hari, kecuali juga

untuk daerah pantai Wonosari (misal: Baron, Ngrenean) yang bisa melaut pada

malam hari karena pantai disana mempunyai teluk. Ombak menjadi patokan untuk

melaut, bila ombak kecil baik untuk melaut, bila ombak besar tidak. Selain itu

ombak juga menjadi patokan untuk menjatuhkan kapal ke laut, ada hitungannya

untuk menjatuhkan kapal ke laut, hal itu dilakukan dengan menghitung jeda

ombak, bila sembarang menjatuhkan perahu maka perahu bisa terbalik dihantam

ombak.

Mengetahui pasang surut air laut dapat dilihat dari bulan. Pasang naik air

laut pada saat bulan mati dan saat bulan purnama, pasang surut air laut pada

pertengahan. Pasang surut tidak mempengaruhi dalam melaut, hal itu tergantung

(56)

2. Pengaruh Pengetahuan Lokal Masyarakat Tentang Alam Dalam Diri

Siswa Terhadap Pembelajaran Sains di Kelas Dalam Melihat Suatu

Fenomena Alam

Seperti telah dideskripsikan diatas mengenai pengetahuan lokal yang

terdapat dalam masyarakat, yaitu meliputi: (i) Pemahaman/cara berfikir

masyarakat terhadap alam, (ii) kepercayaan masyarakat dalam memandang alam,

serta (iii) kegiatan masyarakat yang khas lokal berhubungan dengan alam, yakni

kegiatan melaut mencari ikan.

Dari keseluruhan deskripsi pengetahuan lokal masyarakat terhadap alam

yang sudah diperoleh, hanya sebagian saja yang kemudian digunakan untuk

mengetahui apakah pengetahuan lokal itu juga berpengaruh dalam diri siswa.

Pengetahuan lokal dari masyarakat yang akan digunakan yaitu:

a) Pemahaman/cara berfikir masyarakat terhadap alam, yang mencakup:

1. Musim, yaitu untuk mengetahui sejauh mana siswa mengetahui mengenai

musim (analisis dari soal no.1).

2. Penyebab pasang surut air laut, karena setiap nelayan mengetahui bahwa

pasang surut disebabkan oleh bulan (analisis dari soal no.4).

3. Waktu nelayan pulang dan pergi melaut mencari ikan, peristiwa ini

dipakai karena mudah diamati dan untuk mengetahui pengetahuan dan

keakraban anak-anak terhadap lingkungan sekitarnya (analisis dari soal

no.2).

4. Peristiwa alam Buntu Suwangan, Peristiwa ini dipakai karena Buntu

Referensi

Dokumen terkait

Penulisan tentang representasi tradisi berahoi pada masyarakat Melayu Langkat Sumatera Utara dimaksudkan untuk mengangkat kembali budaya lokal yang bercorak

Pengaruh Metode Role Playing Dalam Mengembangkan Keterampilan Sosial Pada Siswa Tunagrahita Ringan Usia Remaja Di Splb-C Yplb Cipaganti.. Universitas Pendidikan Indonesia |

Sedangkanpada baseline terakhirmendapatkanjumlah rata – rata 246,6dengan mean level 82,2. Makasecara

Buku Teks Analisis Anorganik Kualitatif Makro

Berdasarkan hasil analisa diperoleh kesimpulan bahwa kadar sulfat dan kadar mangan yang terdapat pada air yang diproduksi oleh PDAM TIRTANADI DELITUA telah memenuhi standar

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kadar air tanah dengan indeks plastisitas, bahan organik dengan indeks plastisitas dan liat terhadap

RINCIAN DANA ALOKASI KHUSUS NONFISIK.

Perangkat soal merupakan rangkaian pertanyaan yang harus dijawab oleh siswa. Perangkat soal bisa berupa tes tertulis berupa isian dan dikerjakan secara