HUBUNGAN ANTARA STRES KERJA DAN KEPUASAN
KERJA DENGAN KOMITMEN AFEKTIF KARYAWAN
TERHADAP ORGANISASI
Studi Kasus pada Karyawan Tetap Administratif Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi
Program Studi Manajemen
Disusun Oleh :
Firdaus Antonius Sariputra Pasaribu 022214016
PROGRAM STUDI MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS SANATA DHARMA
iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Aku hanya manusia, tapi aku masih manusia;
aku tidak dapat mengerjakan segalanya; tapi aku masih mampu berbuat sesuatu; dan karena aku tidak mampu mengerjakan semuanya, aku tidak akan menolak untuk mengerjakan sesuatu yang mampu aku lakukan.Edward Everett Hale
Juallah kepandaianmu dan belilah kebingungan;
Kepandaian adalah pendapat, kebingungan adalah Intuisi.Jalaludin Rumi
Kemenangan sering berpihak kepada bala tentara
yang membuat paling sedikit kesalahan, bukan mereka yang memiliki perencanaan paling brilian.
Charles De Gaulle
(Jendral dan Presiden Prancis)
vi ABSTRAK
HUBUNGAN ANTARA STRES KERJA DAN KEPUASAN KERJA DENGAN KOMITMEN AFEKTIF KARYAWAN
TERHADAP ORGANISASI
Studi Kasus pada Karyawan Tetap Administratif Universitas Sanata Dharma
Firdaus Antonius Sariputra Pasaribu Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta 2007
Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah ada hubungan antara stres kerja dan kepuasan kerja dengan komitmen afektif karyawan tetap administratif Universitas Sanata Dharma terhadap organisasi baik secara parsial maupun secara bersama-sama.
vii ABSTRACT
THE RELATIONSHIP BETWEEN WORK STRESS AND THE SATISFACTION WITH EMPLOYEES AFECTIVE COMMITMENT
TOWARD THE ORGANISATION
A Case Study on the Administrative Permanent Employee of Sanata Dharma University
Firdaus Antonius Sariputra Pasaribu Sanata Dharma University
Yogyakarta 2007
This research aimed to examine if there were any connection between work stress, job satisfaction and the affective commitment of administrative permanent employee of Sanata Dharma University both partially and simultaneously.
viii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan atas segala berkat dan
karunia yang melimpah sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana
Ekonomi, Program Studi Manajamen, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Skripsi ini tersusun berkat bantuan dan dukungan dari berbagai pihak,
untuk itu sudah selayaknya penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Bapak Drs. Alex Kahu Lantum, MS., selaku Dekan Fakultas Ekonomi,
Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
2. Bapak Drs. Hendra Poerwanto. G, M.Si., selaku Ketua Jurusan Manajemen,
Universitas Sanata Dharma.
3. Bapak Dr. Herry Maridjo, M.Si., selaku Dosen Pembimbing I yang dengan
sabar telah membimbing, mengarahkan, dan mendukung penulis selama
penulisan sekripsi.
4. Ibu Dra. Y. Rini Hardanti, M.Si., selaku Dosen Pembimbing II yang telah
meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan selama penulisan skripsi
ini.
5. Ibu Dr. Fr. Ninik Yudianti, M.Acc., selaku Wakil Rektor I yang telah
memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian ini.
6. Bapak Drs. Th. Sutadi, MBA, selaku kepala Biro Personalia yang telah
ix
7. Segenap Karyawan Tetap Administratif Universitas Sanata Dharma yang
telah bersedia menjadi responden dalam penelitian ini.
8. Bapa dan Mamaku yang paling kukagumi di muka bumi ini. Trimakasih
sudah menjadi orang tua ku, kalian sudah banyak mengajarkanku segala hal.
Saya merasa beruntung sekali memiliki kalian dan untuk saat ini hanyalah
karya kecil ini yang baru bisa saya berikan buat kalian.
I love You Mom and Dad.
9. Kedua adekku, Lamtiar Rogantian PS dan Sofiyan Wibowo PS,terimakasih
untuk semua doa, saran, dan semangat yang selalu kalian berikan. Abang
bangga memiliki kalian. Lam, jadi dokter ya. Sofiyan, jadi polisi yang Baik
yaa. Buat Bapa dan Mama bangga.
10. Opungku yang ada disurga. maafin pahoppu mu ini kalo selama hidup
opung, saya pernah berbuat salah. Buat semua tulang-tulangku, uda-udaku,
lae-laeku, inangtuaku-amangtuaku, namboru-amangboru, ito-itoku,
abang-abangku, Mouliate.
11. My Honey. “Thank’s sudah memampukanku melakukan hal yang mungkin
tidak mampu kulakukan sendiri”. Saya merasa sudah banyak keajaiban kecil
yang kau ciptakan bagi ku.I think i’m a lucky man
12. Ibu ku di Sragen, makasih semua nasehat dan doanya, You‘re the great
woman as long as i know. Buat keluarga Om Teguh “makasih om untuk
operasi kecilnya”, dan untuk mas tanto maturnuhun boss udah sering
x
13. Segenap penghuni papringan bersaudara (Antok, Okta, Igun, Petok, Tomidi,
Yudha, Jusman dll) dan buat Keluarga Bp Walijo, (pak,maturnuhun sudah
mausharingdengan saya, makasih nasehat-nasehat dan masukannya)
14. Teman-teman seperjuangan Anton “beler” (Kapan kita kaya?!), Riski (Jadi
Bapak yang baik ya.), Hari Pamudji (jangan di biasakan rugi?!), Me’Enk
(Hebat kamu lulus dulan ya.), Eko “kodok”
13. Para kru PT.Taylor Nelson Sofres Yogyakarta (Jangan saling mengambil
“jatah makan” temen donk).
14. Temen-temen KKP angkatan XI, Wawan, Yeni, Eka “oneng”, Willy, Monik,
Widi, Radiq, Viki, Iron, dll, “jangan kena kutu sapi lagi”.
15 annoying.clothing co (Ditunggu Gratisannya?!)
16. Kru CV. Diandra yang telah susah payah mencari iklannya (Jangan pernah
lupa belajar dari kesalahan).
17. Teman-teman di BEM FE 2004, (Kentang, Dewo, Edo, Wawan, Galih, Anin,
Mitha, Kris, Gabuk, Manu, Hendra, Vita, Yudha, Wahyu; sukses terus
kawan). Temen-temen di Komunitas Jurnalistik Saringan Teh (Acong, Vidi,
Gagat, Anton, Katri, Rahma, Helmi) dan Temen-temen di UKPM Natas
(Donal, Lysis, Dewiq, Ariq, Enkong, Bebe, Koko, Gatik, Kristin, Anggun,
Theo dll) “Thanksbuat setetes pengalamannya”
18. Kawan-kawan Manajemen angkatan 2002, baik yang sudah lulus maupun
belum, semoga keberuntungan selalu menyertai kalian.
19 Buat kawan-kawan MPT: Alex, Nunung, Andi, Anton, Mesum, Yani, Agnes,
xi
20. Buat teman lama ku Daniel “Iyenk” Sirait, Perdana Sinaga, Joy Hifder
Leonardo. Kawan, kita harus reuni. Buat Iyenk, aku tidak mungkin ada di
jogja tanpa bantuan mu. Trimakasih banyak kawan.
21. Rekan-rekan di GAIA Corps, Jangan jadikan bencana sebagai komoditi.
Sukses terus desa wisatanya.
22. Saya secara pribadi juga mengucapkan terimakasih pada semua pihak yang
telah membantu saya dalam menyelasaikan sekripsi ini. Smoga kesuksesan
senantiasa menyertai kalian. Amien.
xii DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v
ABSTRAK ... vi
ABSTRACT ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... xii
DAFTAR TABEL ... xv
DAFTAR GAMBAR ... xvi
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 5
C. Batasan Masalah ... 6
D. Tujuan Penelitian ... 7
E. Manfaat Penelitian ... 8
F. Sistematika Penulisan ... 9
BAB II. LANDASAN TEORI ... 10
A. Pengertian Stres ... 10
B. Faktor-faktor Penyebab Stres ... 14
C. Pengertian Stres Kerja ... 16
D. Faktor Penyebab Stres Kerja ... 19
E. Dampak Stres Kerja ... 25
F. Reaksi Terhadap Stres ... 27
G. Pengertian Kepuasan Kerja ... 28
H. Dimensi Dalam Kepuasan Kerja... 30
xiii
J. Pengertian Komitmen Organisasi ... 34
K. Faktor-faktor Penyebab Komitmen Organisasi ... 37
L. Bentuk-bentuk Komitmen Organisasi ... 41
M. Penelitian Terdahulu ... 43
N. Kerangka Berfikir ... 45
O. Hipotesis ... 46
BAB III. METODE PENELITIAN ... 48
A. Jenis Penelitian ... 48
B. Subjek dan Objek Penelitian ... 48
C. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 49
D. Variabel Penelitian ... 49
E. Populasi dan Sampel ... 50
F. Teknik Pengambilan Sampel ... 50
G. Jenis Data ... 50
H. Definisi Operasional ... 51
I. Teknik Pengumpulan Data ... 52
J. Teknik Pengujian Instrumen ... 53
K. Teknik Analisis Data... 55
BAB IV. GAMBARAN UMUM ORGANISASI ... 59
A. Sejarah USD ... 59
B. Nama-nama Rektor USD ... 62
C. Visi, Misi, dan Motto USD ... 63
D. Tujuan Pendidikan USD ... 65
E. Lambang, Bendera, Himne, dan Mars USD... 66
F. Organisasi USD ... 66
G. Sasaran Jangka Menengah dan Rencana Strategi USD... 70
H. Data Statistik Karyawan USD (Administratif dan Edukatif)... 73
BAB V. ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN ... 77
A. Deskripsi Data ... 77
B. Metode Pengujian Instrumen ... 78
xiv
D. Analisis Presentase ... 84
E. Pengujian Hipotesis ... 88
F. Pembahasan ... 96
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 103
A. Kesimpulan ... 103
B. Keterbatasan ... 106
C. Saran ... 106
DAFTAR PUSTAKA
xv
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
IV. 1 Rumusan pendek visi, misi dan motto USD ... 65
IV. 2 Data pegawai administrasi berdasarkan jenjang pendidikan dan status kepegawaian ... 73
IV. 3 Status kepegawaian, jenjang pendidikan, dan studi lanjut pegawai edukatif ... 75
V. 1 Hasil pengujian validitas stres kerja ... 79
V. 2 Hasil pengujian validitas kepuasan kerja ... 80
V. 3 Hasil pengujian validitas komitmen afektif ... 81
V. 4 Hasil pengujian reliabilitas ... 81
V. 5 Rangkuman hasil pengujian normalitas ... 82
V. 6 Rangkuman hasil pengujian linieritas ... 83
V. 7 Klasifikasi responden berdasarkan jenis kelamin ... 85
V. 8 Klasifikasi responden berdasarkan usia ... 85
V. 9 Klasifikasi responden berdasarkan status perkawinan ... 86
V. 10 Kalsifikasi responden atas dasar tingkat pendidikan akhir ... 87
V. 11 Klasifikasi responden atas dasar masa kerja ... 88
V. 12 Interpretasi terhadap nilai r hasil analisis korelasi ... 89
V. 13 Hasil pengujian signifikansi F ... 95
V. 14 Tingkat stres kerja ... 97
V. 15 Tingkat kepuasan kerja ... 98
xvi
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
II. 1 Kerangka penelian ... 46
V. 1 Kurve Normal Daerah Penerimaan atau Penolakan Hipotesis
Pertama pada Taraf Signifikansi 5% ... 90
V. 2 Kurve Normal Daerah Penerimaan atau Penolakan Hipotesis
Kedua pada Taraf Signifikansi 5% ... 92
V. 3 Kurve Normal Daerah Penerimaan atau Penolakan Hipotesis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kemampuan untuk menarik dan mempertahankan karyawan yang berbakat
dan bermotivasi sering menjadi perbedaan antara keberhasilan dan kegagalan di
lingkungan bisnis yang bersaing saat ini. Manajer yang berfikiran maju akan
memahami bahwa karyawan yang bermotivasi dan memiliki komitmen, bersama
dengan strategi yang efektif dan operasi yang efisien, akan menghasilkan
kombinasi yang akan sulit ditandingi. Organisasi saat ini harus menemukan
sebuah “ramuan” dalam mengupayakan keunggulan bersaing dengan cara menarik
dan mempertahankan karyawan terbaik dan dengan mengembangkan kecakapan
mereka.
Sumber daya manusia menjadi faktor penentu keberhasilan pelaksanaan
organisasi yang efektif. Status SDM di jaman dahulu pernah diremehkan oleh
banyak organisasi, tetapi derajat kepentingannya telah berkembang sangat
dramatis dalam dua dekade terakhir ini. Semakin pentingnya SDM itu berakar
pada meningkatnya kerumitan hukum, kesadaran bahwa sumber daya manusia
merupakan alat berharga bagi peningkatan produktivitas, dan kesadaran dewasa
ini mengenai biaya yang berkaitan dengan manajemen sumber daya manusia.
Tentu saja, para manajer ini sadar bahwa keefektifan fungsi-fungsi sumber
daya manusia mereka berdampak besar terhadap kinerja perusahaan. Perencanaan
sumber daya manusia yang buruk dapat mengakibatkan serangkaian rekrutmen
yang diikuti oleh pemecatan. Konsekuensinya, akan muncul biaya-biaya yang
mahal dalam kaitannya dengan pembayaran kompensasi pengangguran,
pengeluaran biaya pelatihan, dan moril. Oleh karena itu, para pemimpin dapat
berusaha membina keterikatan dan keikatan dengan menempatkan para pekerja
dalam situasi yang membuka kesempatan bagi mereka untuk mencapai
tujuan-tujuan yang berarti bagi pribadi mereka, dengan asumsi bahwa tujuan-tujuan-tujuan-tujuan
tersebut relevan bagi organisasi sehingga diharapkan karya secara keseluruhan
akan meningkat. Selain itu, kepada para pekerja manajemen dan para karyawan
lainnya benar-benar memperhatikan kesejahteraan mereka, ataupun ada
kemungkinan merubah beberapa segi tertentu dalam pekerjaan para karyawan,
sehingga mereka memiliki otonomi dan tanggung jawab yang lebih besar dan
dapat mengindentifikasikan diri dengan tugas mereka yang sebenarnya. Hal ini
diharapkan dapat mendukung tercapainya tujuan manajerial yang menitikberatkan
pada tingginya komitmen karyawan, integrasi organisasi, peningkatan kualitas
kerja (quality of work), dan peningkatan kualitas karyawan. Tujuan manajerial
tersebut dapat dicapai dengan upaya mewujudkan kondisi lingkungan yang
kondusif, sehingga tumbuh “sense of belonging” pada diri karyawan terhadap
organisasi secara keseluruhan.
Karyawan yang memiliki komitmen tinggi akan lebih berpeluang dalam
peningkatan karir dan cenderung memiliki masa jabatan yang panjang. Bagi
perusahaan, dengan komitmen karyawan yang tinggi akan memberikan dampak
yang positif pada stabilitas tenaga kerja perusahaan tersebut, rendahnya labour
Dalam berbagai studi mengenai perilaku organisasi, komitmen organisasi
adalah suatu perasaan sayang atau tidak sayang yang dimiliki oleh karyawan
terhadap organisasi tempat mereka bekerja. Allen dan Meyer (dalam Luthan dan
Fred, 1998:148) membagi komitmen organisasi kedalam tiga komponen, yaitu:
komitmen afektif (affective commitment), komitmen kontinuan (continuan
commitment), dan komitmen normatif (normative commitment).
Seorang karyawan yang mempunyai kepuasan kerja akan menunjukkan
sikap positf dan menyenangkan terhadap pekerjannya. Sikap positif itu dapat
berupa kesediaan untuk tetap tinggal di perusahaan tersebut, karena hanya
karyawan yang tidak memiliki kepuasan kerja yang akan meninggalkan
perusahaan dan mencari perusahaan lain yang dapat memenuhi kebutuhannya
dalam bekerja sampai ia merasa puas. Selain itu, positif terhadap pekerjaan juga
dapat berupa kesediaan untuk menerima nilai-nilai yang dianut perusahaan tempat
ia bekerja, dimana nilai-nilai yang dianut oleh perusahaan merupakan aspek yang
terdapat dalam sebuah perusahaan yang berkaitan dengan pekerjaan. Kesediaan
untuk berusaha bagi kepentingan perusahaan juga merupakan sikap positif dan
menyenangkan terhadap pekerjaan yang ditunjukkan oleh karyawan yang
mempunyai kepuasan kerja, karena ketika seorang karyawan melakukan
pekerjaannya dengan baik berarti ia telah berusaha untuk kepentingan karyawan
itu sendiri. Kesediaan untuk tetap tinggal di perusahaan, kesediaan untuk
menerima nilai-nilai yang dianut perusahaan, serta kesediaan untuk berusaha bagi
kepentingan perusahaan menunjukkan adanya komitmen karyawan terhadap
komitmen terhadap organisasi. Hal ini sejalan dengan pendapat Simmons (2005:
196-206), yang mengatakan bahwa kepuasan kerja karyawan dapat menjadi
prediktor komitmen organisasi. Meskipun kepuasan kerja itu sendiri merupakan
hal yang bersifat relatif, dimana setiap pekerja belum tentu memiliki perspektif
yang sama dalam memandang kepuasan kerja. Namun, secara umum dapat
dikatakan bahwa semakin banyak aspek kerja yang sesuai dengan keinginan
karyawan, maka semakin tinggi pula tingkat kepuasan dan diharapkan dapat
meningkatkan komitmen mereka terhadap perusahaan.
Di sisi lain, di dalam bekerja tidak dapat dipungkiri akan terjadi begitu
banyak tekanan-tekanan yang dapat berpotensi menjadi sumber-sumber stres
(stressor). Kondisi tersebut dapat menimbulkan efek negatif pada kepuasan kerja
dan pada akhirnya dapat menurunnya tingkat produktivitas kerja mereka.
Bukti-bukti empiris maupun pengamatan awam menunjukkan bahwa stres dapat
menyebabkan timbulnya berbagai gangguan, baik fisik maupun psikis, yang pada
akhirnya dapat mengganggu tingkat produktivitas seseorang.
Sutton (1984:7-28) mengatakan bahwa tuntutan peran menjadi tekanan
bagi pengajar ketika harapan organisasi mengenai sikap pengajar tidak jelas (role
ambiguity), ketika pekerjaan mereka berlebihan (role overload) atau ketika
memenuhi satu harapan namun sulit atau tidak bisa memenuhi harapan yang lain
(role conflict). Penelitian yang dilakukan oleh Mathieu dan Zajac (1990:171-194),
menemukan bahwa role ambiguitydanrole over load memiliki hubungan negatif
dengan komitmen organisasi. Role ambiguty yang dimaksud adalah tingkat
tugas-tugas lain, sementara itu role conflict yang dimaksud adalah tingkat dimana
performa peran dianggap dipengaruhi oleh tekanan-tekanan yang mengakibatkan
munculnya konflik atau tingkah laku yang saling bertentangan. Sedangkan yang
dimaksud dengan role overload adalah tingkat dimana performa peran dianggap
dipengaruhi oleh waktu dan sember daya yang tidak mencukupi (Seniati, 2002).
Dengan demikian, semakin rendah tingkatrole stressor, maka kepuasan karyawan
akan meningkat.
Penelitian ini sengaja dilakukan terhadap karyawan tetap administratif
Universitas Sanata Dharma dengan alasan bahwa penelitian mengenai sumber
daya manusia pada lembaga tersebut, khususnya yang mengarah pada tema
tentang stres kerja, kepuasan kerja dan komitmen organisasi belum banyak
dilakukan, sehingga peneliti menganggap perlu untuk melakukan penelitian ini
untuk membantu memperbaiki manajemen sumber daya manusia pada lembaga
tersebut.
Hal-hal tersebut di atas membuat peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian dengan judul “Hubungan Stres Kerja dan Kepuasan Kerja dengan
Komitmen Afektif Karyawan terhadap Organisasi” Studi Kasus pada
Karyawan Tetap Administratif Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan
1. Apakah ada hubungan yang negatif dan signifikan antara stres kerja
karyawan tetap administratif dengan komitmen afektif mereka terhadap
organisasi?
2. Apakah ada hubungan yang negatif dan signifikan antara stres kerja
karyawan tetap administratif dengan kepuasan kerja mereka?
3. Apakah ada hubungan yang positif dan signifikan antara kepuasan kerja
karyawan tetap administratif dengan komitmen afektif mereka terhadap
organisasi?
4. Apakah ada hubungan secara simultan antara stres kerja dan kepuasan
kerja karyawan tetap administratif dengan komitmen afektif mereka
terhadap organisasi?
C. Batasan masalah
Dalam penelitian ini, untuk membatasi ruang lingkup penelitian, peneliti
akan membatasi variabel-variabel yang akan diteliti.
Variabel stres yang akan diteliti pada penelitian ini mengacu pada faktor-faktor
penyebab stres kerja pada tingkat individu yang meliputi:
1. Ambiguitas peran(role ambiguity)
2. Peran yang berlebihan(role overload)
3. Konflik peran(role conflict)
Variabel kepuasan kerja yang akan diteliti dalam penelitian ini mengacu pada
penelitian Luthan (1995:114) yang meliputi:
2. Kepuasan pada pembayaran
3. Kepuasan pada promosi
4. Kepuasan pada supervisi
5. Kepuasan pada rekan kerja
Variabel komitmen organisasi yang akan diteliti mengacu pada penelitian yang
dilakukan oleh Allen dan Mayer (dalam Luthan, 1995:149). Dalam penelitian ini,
komitmen yang akan diteliti diambil dari salah satu bentuk yang dikemukakan
oleh Allen dan Meyer yakni komitmen afektif
D. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan perumusan masalah dan pembatasan masalah, maka tujuan
yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui hubungan stres kerja karyawan tetap administratif
dengan komitmen afektif mereka terhadap organisasi.
2. Untuk mengetahui hubungan stres kerja dengan kepuasan kerja karyawan
tetap administratif.
3. Untuk mengetahui hubungan kepuasan kerja karyawan tetap administratif
dengan komitmen afektif mereka terhadap organisasi.
4. Untuk mengetahui hubungan stres kerja dan kepuasan kerja karyawan
tetap administratif secara bersama-sama dengan komitmen afektif mereka
E. Manfaat Penelitian
1. Bagi Universitas Sanata Dharma
Temuan dalam penelitian ini, diharapkan dapat menjadi masukan bagi
pihak Universitas dalam menetapkan kebijakan-kebijakan yang tepat
dalam mengelola tenaga karyawan tetap administratif, berkaitan dengan
upaya penanggulangan stres kerja dengan cara memperbaiki dan
mempertahankan kepuasan kerja, sehingga diharapkan kepuasan tenaga
karyawan tetap administratif terhadap organisasi dapat meningkat dan
pada akhirnya komitmen mereka juga dapat meningkat.
2. Bagi Perpustakaan
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi dalam
menambah khazanah wacana di bidang keprilakuan manusia dalam
organisasi dan pada akhirnya penulis berharap penelitian ini dapat
menambah wacana pengembangan ilmu pengetahuan di lingkungan
Universitas Sanata Dharma.
3. Bagi Penulis
Penulis berharap penelitian ini dapat menjadi salah satu wahana untuk
memperdalam dan menerapkan pengetahuan penulis dalam ilmu
manajemen dan ilmu lainnya yang sekiranya terkait, yang telah diperoleh
F. Sistematika Penulisan
BAB I : Pendahuluan
Bab ini berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, batasan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika
penulisan.
BAB II : Landasan Teori
Bab ini menguraikan teori-teori yang digunakan sebagai dasar
dalam pengolahan data.
BAB III : Metode Penelitian
Bab ini menguraikan jenis penelitian, subjek dan objek penelitian,
lokasi dan waktu penelitian, variabel penelitian, populasi dan
sampel penelitian, teknik pengambilan sampel, jenis data, definisi
operasional, teknik pengumpulan data, teknik pengujian
instrumen dan teknik analisis data.
BAB IV : Gambaran Umum Organisasi
Bab ini berisikan tentang gambaran umum Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta.
BAB V : Analisis Data dan Pembahasan
Bab ini berisikan analisis data dan pembahasan
BAB VI : Kesimpulan dan Saran
Bab ini berisikan tentang kesimpulan, keterbatasan penelitian dan
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pengertian stres
Setiap manusia dari berbagai lapisan bisa saja mengalami ketegangan
hidup yang diakibatkan adanya tantangan, kesulitan, ancaman ataupun ketakutan
terhadap bahaya kehidupan yang sulit diselesaikan, sehingga seringkali didapati
orang yang seringkali mengalami ketegangan akan merasakan keluhan-keluhan
yang kadang membutuhkan perawatan medis. Pada dasarnya besar kecilnya saat
yang menegangkan tersebut sebenarnya relatif, tergantung tinggi rendahnya
kedewasaan kepribadian serta bagaimana sudut pandang seseorang dalam
menghadapinya.
Secara sederhana, Anoraga dan Suyati (1995:156) mendefinisikan stres
sebagai sesuatu bentuk tanggapan seseorang, baik secara fisik maupun mental,
terhadap suatu perubahan di lingkungan yang dirasakan mengganggu dan
mengakibatkan dirinya terancam. Sedangkan pengertian stres menurut Handoko
(dalam Martoyo, 2000:146) sebagai suatu kondisi yang mempengaruhi emosi,
proses berfikir dan kondisi sesorang. Stres yang terlalu besar dapat mengancam
kemampuan seseorang untuk menghadapi lingkungan, yang akhirnya pelaksanaan
tugas-tugasnya, dan berarti menggangu prestasi kerjanya.
Stres juga merupakan suatu pengalaman emosional negatif yang
menyebabkan perubahan biologis, fisiologis dan perilaku pada individu.
Perubahan yang terjadi disebabkan oleh penyesuaian diri individu dengan keadaan
yang mengancam di lingkungannya. Dalam hal ini stres dipandang sebagai hasil
dari proses penilaian individu terhadap lingkungan yang mengancam atau
menekan sehingga individu merespon kejadian-kejadian tersebut (Taylor, 1995:
219). Sementara itu, Abraham dan Shanley (1997:210-213) mendefinisikan stres
melalui tiga pendekatan, yaitu: Pendekatan Stimulus, Pendekatan Respon dan
Pendekatan Transaksional.
1. Stres sebagai Stimulus
Stres sebagai stimulus, artinya stres dipandang sebagai faktor eksternal
yang merupakan suatu tekanan sehingga mempengaruhi keadaan internal
individu, menggerakkan individu sehingga menghasilkan suatu tanggapan
yang berupa ketegangan, ketegangan tersebut dapat diartikan mengalami
perubahan secara fisik. Stimulus terjadinya stres disebut stresor. Stresor
adalah kejadian atau situasi eksternal yang berpotensi mendatangkan
bahaya atau ancaman (Gibson et al., 1989:219). Sedangkan Hardjana
(1994:12), mendefinisikan stresor sebagai hal, kejadian, peristiwa, orang,
keadaan dan lingkungan yang dirasakan mengancam atau merugikan.
2. Stres sebagai Respon
Pendekatan ini memfokuskan pada reaksi individu terhadap stresor dan
menggambarkan stres sebagai suatu respon. Ketika seseorang menghadapi
suatu stresor maka ia akan merespon dengan respon psikologis, fisiologis,
danbehavioral. Respon psikologis misalnya dalam bentuk perubahan pola
pikiran dan perubahan emosi. Respon fisiologis dapat berupa detak
seperti sakit maag dan migran. Respon tersebut akan mengakibatkan
respon perubahan dalam perilaku. Style (dalam Luthans, 1995:307),
menjelaskan stres sebagai respon non fisik tubuh terhadap tuntutan
lingkungan. Respon ini disebut sebagai General Adaption Syndrome
(GAS). Dikatakan reaksi pertahanan general sebab stresor memiliki efek
pada beberapa area tubuh. Adaption, mengacu pada dorongan atau
rangsangan dari bentuk pertahan diri untuk membantu tubuh untuk
menyesuaikan diri atau melawan stresor, sedangkan syndrome
menunjukkan bagian-bagian dari reaksi inidividu yang terjadi secara
bersamaan. Ada tiga faseGAS, yaitu: reaksi alarm, fase resistensi dan fase
kepayahan. Reaksi alarm disebut juga sebagai tahap peringatan. Pada fase
ini terjadi peningkatan aktivitas kerja sistem internal tubuh karena
kemunculan stresor. Dengan demikian tubuh akan siap melakukan
tindakan yang diperlukan untuk mengatasi situasi. Tahap kedua disebut
fase penolakan (fase resistance). Pada tahap ini beberapa bagian organ
tubuh tertentu yang dibutuhkan mulai diaktifkan untuk menghadapi
penyebab stres, baik untuk melawan atau menarik diri. Besarnya
penolakan terhadap suatu sumber dengan sumber stres yang lain yang
tidak saling berhubungan tidak sama. Ini sebabnya individu yang
mengalami ketegangan emosional menjadi lemah terhadap penyakit fisik
atau gangguan lain. Jika ketegangan yang harus dihadapi sangat besar atau
terus menerus, maka terjadi kelelahan/ kepayahan (exhaustion). Pada fase
surut dan melemah karena tubuh tidak sempat memperbaiki kondisinya.
Ketika individu berhadapan dengan stimulus yang menekan, maka ia akan
merespon dengan ketiga fase tersebut.
3. Pendekatan Transaksional
Stres merupakan suatu prose interaksi antara faktor-faktor lingkungan dan
Individu. Individupun mampu mempengaruhi lingkungan dan
mengendalikan tingkat stres yang ditimbulkan. Interaksi antara individu
dan lingkungan yang saling berpengaruhi disebut sebagai hubungan
transaksional (Smet, 1994:111).
Pendekatan transaksional memberikan suatu pandangan yang lebih
komprehensif tentang stres. Menurut model ini, kemampuan individu
dalam mengatasi masalah tergantung pada cara ia menginterpretasikan
atau mengukur hubungannya dengan kejadian lingkungan. Akibatnya
individu dianggap sebagai insan aktif yang memiliki kemampuan untuk
menginterpretasikan situasi lingkungan yang dihadapinya. Hal ini
memiliki konsekuensi yang penting pada seseorang dalam mengurangi
atau menghindari pengalaman yang penuh stres.
Interaksi lingkungan dan individu memunculkan dinamika psikologis yang
khas. Ada proses internal individual yang mempengaruhi persepsi
seseorang terhadap kondisi stres. Individu bisa saja memberikan reaksi
stres yang berbeda terhadap ancaman atau stresor yang sama. Ini
tergantung pada penilaian kognitif personal terhadap suatu stimulus yang
menerangkan mengapa kondisi tertentu menyebabkan stres pada suatu
individu, namun tidak pada individu lain.
Peneliti lain Ivancevich dan Matteson (1980:8-9) mendefinisikan stres
sebagai suatu respon yang adaptif, dihubungkan oleh karakteristik dan/atau proses
psikologis individu, yang merupakan suatu konsekuensi dari setiap tindakan
eksternal, situasi, atau peristiwa yang menempatkan tuntutan psikologis dan fisik.
Dari uraian diatas dapatlah ditarik sebuah kesimpulan bahwa stres
merupakan tekanan yang mempengaruhi emosi, proses berfikir dan kondisi
sesorang.
B. Faktor-Faktor Penyebab Stres
Semua manusia mengalami stres dari hari ke hari. Walaupun stres
disebabkan oleh banyak faktor, para peneliti menyimpulkan bahwa stres dapat
memicu dari dua reaksi yang mendasar: memerangi secara aktif atau melarikan
diri secara pasif (lari menjauh atau menerimanya), yang disebut respon
memerangi atau melarikan diri. Secara fisiologis, respon stres ini merupakan suatu
”penyampaian pesan” biokimiawi yang melibatkan perubahan-perubahan
hormonal yang memobilisasi tubuh terhadap tututan yang luar biasa.
Secara umum faktor utama yang berkaitan langsung dengan stres adalah
lingkungan dan perubahan dalam diri individu itu sendiri (Anoraga dan Suyati,
1995:156). Perubahan lingkungan yang sangat pesat dan ganas membuat sesorang
tersebut. Maka hal ini harus di tanggulangi, jika tidak sesorang akan mengalami
stres.
Taylor (1995: 237), mengelompokkan faktor penyebab stres, antara lain:
1. Faktor Biologis
Faktor biologis yaitu faktor penyebab stres yang berasal dari keadaan
fisiologis individu, meliputi gangguan fisik maupun organ tubuh individu,
misalnya terkena penyakit, kurang gizi, kelelahan dan cacat tubuh.
2. Faktor Psikologis
Faktor psikologis yaitu faktor penyebab stres yang berhubungan dengan
keadaan psikis individu yang secara psikis memiliki hambatan. Misalnya
pola pikir yang irasional, cenderung mudah mengalami stres dibandingkan
dengan individu yang dengan pola pikir rasional.
3. Faktor Sosial
Faktor sosial yaitu faktor penyebab stres yang berhubungan dengan
keadaan lingkungan, seperti kepadatan, kebisingan dan tekanan ekonomi.
Sedangkan Handoko (dalam Martoyo, 2000:147), membedakan dua
kategori penyebab stres, yakni:
1. On The Job Stress, adalah penyebab stres yang terjadi didalam organisasi,
antara lain: beban kerja yang berlebihan, tekanan/desakan waktu, kualitas
supervisi, iklim politis yang tidak aman, umpan balik tentang pelaksanaan
kerja yang tidak memadai, wewenang yang tidak mencukupi dalam
pribadi dan antar kelompok, perbedaan antara nilai-nilai organisasi dan
karyawan serta berbagai bentuk perubahan.
2. Off The Job Stress, adalah penyebab stres yang terjadi di luar organisasi
yang berpengaruh pada diri karyawan, antara lain: kekuatan finansial,
masalah-masalah yang bersangkutan dengan anak, masalah-masalah fisik,
masalah perkawinan, perubahan-perubahan yang terjadi di tempat tinggal
serta masalah-masalah pribadi lainnya.
C. Pengertian Stres Kerja
Dalam kehidupan manusia, selalu mengadakan bermacam-macam aktivitas
yang salah satu aktivitas itu diwujudkan dalam gerakan-gerakan yang dinamakan
bekerja. Bekerja mengandung arti melakukan tugas yang diakhiri dengan buah
karya yang dapat dinikmati oleh manusia. Faktor pendorong yang meyebabkan
manusia bekerja adalah adanya berbagai kebutuhan yang harus dipenuhi.
Aktivitas dalam bekerja mengandung unsur kegiatan sosial, menghasilkan sesuatu
dan pada akhirnya bertujuan untuk memenuhi kebutuhannya.
Didalam aktivitas manusia khususnya bekerja, tidak dapat dipungkiri
bahwa terdapat ketegangan-ketegangan yang dapat berpotensi menjadi sumber
stres. Hal-hal yang dapat menjadi sumber stres atau penyebab stres pada diri
seseorang disebut dengan stresor.
Di dalam suatu industri, misalnya perusahaan dapat merupakan tekanan
bagi sesorang bila keadaan menuntut dirinya untuk bertindak berlawanan dengan
untuk menyesuaikan diri dengan pekerjaan dan situasi kerja, sistem manajemen
yang tidak sesuai, perebutan kedudukan, persaingan yang semakin ketat untuk
memperoleh kemajuan, anggaran yang terbatas dapat menjurus ke stres dalam
bekerja. Stres yang dirasakan menggambarkan persepsi keseluruhan seorang
individu mengenai bagaimana berbagai stresor mempengaruhi kehidupannya.
Persepsi terhadap stresor ini merupakan suatu komponen yang penting dalam
proses stres karena tanggapan setiap orang terhadap stresor yang sama berlainan.
Sebagai contoh, beberapa orang merasakan penganguran sebagi pengalaman
pembebasan yang positif, sedangkan orang lain merasakannya sebagai suatu
pengalaman melemahkan yang negatif (Hanisch, 1998:188-220).
Stres yang dialami karyawan dan kepuasan kerja yang didambakan adalah
dua kondisi yang bukan saja berkaitan, tetapi juga sekaligus antagonis. Karena
memang terjadi suatu interaksi kompleks antara stres manusia, pekerjaan dan
kepuasan.
Stres adalah fenomena psikologis manusia yang tidak dapat terpisahkan
dari kehidupan manusia dan mempunyai dampak tertentu terhadap kondisi fisik
manusia tersebut. Perhatian terhadap stres harus dibedakan atas jenisnya antara
dampak stres sebagai“eustres” yakni stres yang berdampak positif atau stres yang
berdampak negatif (distress). Distres adalah stres yang menghasilkan dampak
yang merugikan bagi manusia, baik secara fisik (kesehatan tubuh), secara
psikologis (kesehatan jiwa), maupun secara sosial, karena pada dasarnya manusia
Secara umum orang berpendapat bahwa jika seseorang dihadapkan pada
tuntutan pekerjaan yang melampaui kemampuan individu tersebut maka dikatakan
bahwa individu tersebut mengalami stres. Gibson (dalam Handoyo, 2001:61-62),
mendefinisikan stres kerja sebagai suatu respon adaptif yang dipengaruhi oleh
karasteristik individu atau proses psikologis sebagai suatu konsekuensi dari
perilaku atau proses psikologis sebagai suatu konsekuensi dari perilaku atau
kejadian-kejadian lingkungan yang menimbulkan akibat-akibat khusus psikologis
maupun fisiologis terhadap perilaku.
Smither (1994:470), menjelaskan bahwa stres kerja merupakan respon
fisik atau psikologis karena adanya tuntutan terhadap individu. Respon fisik itu
meliputi hal-hal seperti detak jantung meningkat, tekanan darah naik, sakit
jantung, insomnia, kecemasan dan ketakutan. Sementara itu Robbins (1998:470),
mendefinisikan stres kerja sebagai suatu kondisi dinamis yang terjadi ketika
seseorang dihadapkan pada sebuah peluang, kendala, dan tuntutan yang tidak
seimbang dalam pekerjaan. Ketidakseimbangan tersebut mengakibatkan
munculnya ketidakpastian yang dirasakan seseorang dalam kehidupan kerjanya.
Ahli lain, Beehr dan Newman (dalam Luthan, 1995:297), mendefinisikan
stres kerja sebagai suatu respon individu dalam menyesuaikan diri terhadap situasi
eksternal yang menyebabkan penyimpangan secara fisik, psikis, dan perilaku
orang-orang yang berpartisipasi dalam suatu organisasi. Beehr juga
mendefinisikan stres kerja dengan empat pendekatan, yaitu pendekatan medis,
psikologis klinis, teknis dan psikologi organisasi. Secara medis, stres kerja dapat
fisiologis dalam bekerja, misalnya kebisingan(noise)dan suhu ruangan yang tidak
wajar. Pendekatan psikologis klinis memandang bahwa stres kerja muncul karena
adanya stresor psikologis sehingga mengakibatkan individu mengalami tekanan
psikologis dalam melakukan pekerjaan. Dilihat dari segi teknis, stres kerja adalah
suatu keadaan yang terjadi apabila individu berhadapan dengan keadaan
lingkungan teknis dalam organisasi yang menekan, misalnya peralatan yang tidak
menunjang, sehingga stresor yang muncul adalah stresor fisiologi yang dapat
mempengaruhi penampilan kerja. Pendekatan organisasional memandang bahwa
stres kerja adalah suatu kondisi yang terjadi karena adanya stresor psikologis yang
bersumber dari organisasi tempat kerja.
D. Faktor Penyebab Stres Kerja
Hampir dapat dipastikan bahwa dalam setiap kondisi pekerjaan akan
dijumpai berbagai faktor yang dapat memicu munculnya stres dalam bekerja.
Diantaranya kondisi-kondisi tersebut adalah sebagai berikut (Umar, 2001:231)
1. Beban kerja yang berlebihan
2. Tekanan atau desakan waktu
3. Kualitas supervisi yang jelek
4. Iklim politis yang tidak aman
5. Umpan balik tentang pelaksanaan pekerjaan yang tidak memadai
6. Wewenang yang tidak mencukupi untuk melaksanakan tanggungjawab
7. Kemenduaan peran (role ambiguity)
9. Konflik antar pribadi dan antar kelompok
10. Perbedaan antara nilai-nilai perusahan dan karyawan
11. Berbagai bentuk perubahan kebijaksanaan
Cooper (dalam Krispramudyani, 2004:16-17), berpendapat bahwa terdapat lima
sumber stres kerja, yaitu:
1. Kondisi Kerja
Meliputi beban kerja yang berlebihan (work overload) atau beban kerja
yang kurang (work underload), kondisi demikian tidak mampu
membangkitkan semangat kerja. Selain itu adapula kondisi fisik pekerjaan
yang membahayakan (seperti tim SAR, polisi, tentara, penjinak bom),
pembagian waktu kerja (pekerjaan yang memiliki pembagian jam kerja
terkadang menggangu ritme hidup sehari-hari), stres dengan adanya
kemajuan teknologi.
2. Ambiguitas Peran
Kelompok pekerja wanita sering menghadapi situasi seperti ini, terutama
bagi mereka yang telah menikah. Wanita bekerja menghadapi dua peran
sekaligus, sebagai ibu rumah tangga dan sebagai pekerja. Selain itu
ambiguitas dalam menempatkan peran biasanya terjadi pada organisasi
yang besar dan struktur organisasi yang kurang baik.
3. Faktor interpersonal
Hubungan interpersonal dalam bekerja merupakan faktor penting untuk
sangat diperlukan oleh pekerja agar selalu tercipta hubungan yang
harmonis.
4. Perkembangan Karir
Tiap individu yang bekerja biasanya mempunyai berbagai harapan dalam
kehidupan karir kerjanya, yang ditujukan pada pencapaian prestasi dan
pemenuhan kebutuhan untuk mengaktualisasi diri. Bilamana pihak
perusahaan tidak dapat memenuhi kebutuhan berkarir karyawan maka
tumbuh perasaan ketidakpastian dalam diri pekerja sehingga menimbulkan
gejala perilaku stres.
5. Struktur Organisasi
Struktur organisasi yang diperlakukan secara kaku, pihak manajemen
kurang mempedulikan inisiatif karyawan, tidak melibatkan karyawan
dalam proses pengambilan keputusan akan berpotensi menimbulkan stres.
Sementara itu Gibson, Ivancevich dan Donnelly (1989:214-217), mengatakan
bahwa stres kerja pada tingkat individu berkaitan erat dengan tuntutan peran yang
diemban individu tersebut. Mereka membagi Stressor Individu atas tiga jenis,
yakni:
1. Konflik peranan(role conflict)
Konflik peranan (role conflict) adalah stressor individu yang paling
banyak diteliti secara luas. Konflik peranan terjadi bilamana penyesuaian
terhadap seperangkat harapan tentang pekerjaan bertentangan dengan
penyesuaian terhadap seperangkat harapan yang lain. Segi-segi konflik
dari seorang penyelia (supervisor) tentang pekerjaan, dan mendapat
tekanan agar bekerjasama dengan orang yang dirasa tidak bisa cocok. Ahli
lain, Schein dalam Kreitner dan Kinichi (2005:70-71), mengatakan bahwa
konflik peran dialami ketika anggota yang berbeda dari sekumpulan peran
mengharapkan hal yang berbeda dari orang yang vokal. Para manajer
seringkali menghadapi tuntutan peran yang bertentangan antara pekerjaan
dan keluarga misalnya. Wanita mengalami konflik peranan yang lebih
besar antara pekerjaan dan keluarga daripada pria karena wanita terus
mengerjakan mayoritas kewajiban rumah tangga dan tanggungjawab
mengasuh anak. Para karyawan yang hidup sendirian memiliki versi
konflik peranannya sendiri yaitu antara pekerjaan dan minat luarnya.
Konflik peran dapat juga terjadi ketika internalisasi nilai, etika, atau
standar pribadi bertabrakan dengan harapan orang lain. Tanpa
memperhatikan apakah konflik peranan disebabkan oleh kebijakan
organisasi atau dari orang lain, konflik tersebut dapat menjadi penekan
(stressor) yang penting bagi sebagian orang. Khan et al. (1964:94),
melaporkan hasil suatu survei wawancara dari percontohan (sampel)
nasional tentang upah dan gaji karyawan pria, bahwa 48 persen dari
peserta survei mengalami konflik peranan. Sangat menarik dicatat, bahwa
para peneliti juga menemukan bahwa semakin besar kekuasaan atau
wewang dari orang yang mengirimkan pesan konflik peran, semakin besar
2. Ambiguitas peranan(role ambiquity)
Agar karyawan dapat melaksanakan pekerjaan mereka dengan baik, para
karyawan memerlukan keterangan tertentu yang menyangkut hal-hal yang
diharapkan untuk mereka lakukan dan hal-hal yang tidak harus mereka
lakukan. Karyawan perlu mengetahui hak-hak, hak-hak istimewa, dan
kewajiban-kewajiban mereka. Lebih lanjut mereka mendefinisikan
ambiguitas peranan sebagai kondisi kurangnya pemahaman atas hak-hak,
hak-hak istimewa, dan kewajiban yang dimiliki seseorang untuk
melaksanakan pekerjaannya. Sedangkan menurut Seniati (2002) role
ambiguty adalah tingkat ambiguitas terhadap tuntutan, kriteria dan peran
yang berkaitan dengan tugas-tugas lain. Lebih lanjut Seniati mengatakan
bahwa role ambiguty akan timbul apabila pemegang peran merasa tidak
yakin mengenai kemungkinan evalusi yang diberikan dan sadar akan
adanya ketidak pastian itu. Schein (dalam Kreitner dan Kinichi 2005:72),
berpendapat bahwa ambiguitas peran, terjadi jika anggota dari sekumpulan
peran gagal untuk mengkomunikasikan kepada orang yang vokal
pengharapan yang mereka miliki atau informasi yang dibutuhkan untuk
menjalankan peran, karena mereka tidak memiliki informasi atau karena
mereka secara sengaja menahannya. Singkatnya, seseorang mengalami
ambiguitas peranan ketika mereka tidak tahu apa yang diharapkan dari
mereka. Para pendatang baru organisasional sering mengeluhkan deskripsi
pekerjaan dan kriteria promosi mereka yang tidak jelas. Menurut teori
ketidakpuasan kerja, mengikis rasa percaya diri, dan menghambat kinerja
pekerjaan.
3. Beban peran berlebihan(work overload)
Pada suatu ketika beban peran yang berlebihan tersebut mungkin terdiri
atas dua jenis yang berbeda yakni kuantitatif atau kualitatif. Terlalu
banyak melakukan sesuatu atau tidak cukup waktu untuk menyelesaikan
suatu pekerjaan adalah beban berlebihan kuantitatif (quantitative
overload). Di pihak lain, beban berlebihan kualitatif (qualitative overload)
terjadi jika individu merasa bahwa ia kurang memiliki kemampuan untuk
menyelesaikan pekerjaan atau standar prestasi terlalu tinggi. Schein (dalam
Kreitner dan Kinichi 2005:70) mengatakan bahwa beban peran berlebihan
terjadi ketika jumlah total yang diharapkan oleh para pengirim pesan
kepada orang yang vokal jauh melampaui apa yang mampu ia kerjakan.
Jika individu mencoba untuk bekerja semakin berat namun waktu
semakin sedikit, maka perasaan tertekan naik dan efektivitas pribadi
menurun. Sedangkan menurut Sutton (1984:7-28), role overload terjadi
jika tuntutan beragam yang diberikan kepada karyawan melebihi sumber
daya yang dimilikinya, baik secara kuantitatif maupun kualitatif.
Qualitative overload yang dimaksud adalah suatu situasi yang dirasakan
dimana pekerjaan yang diminta terlalu sulit untuk dapat diselesaikan,
sedangkan quantitative overloadadalah jika pekerjaan yang diberikan
terlalu banyak atau karyawan tidak mempunyai cukup waktu untuk
kondisi dimana seorang karyawan memiliki terlalu banyak pekerjaan yang
harus diselesaikan dalam satu waktu (Beehr, walsh dan Taber,
1976:41-47).
E. Dampak Stres Kerja
Para ahli teori menyatakan bahwa stres memiliki konsekuensi atau hasil
psikologis yang berkaitan dengan sikap, keprilakuan, kognitif, dan kesehatan fisik.
Stres berkaitan dengan secara negatif dengan kepuasan kerja, komitmen
organisasi, emosi positif, dan kinerja dan berhubungan secara positif dengan
tingkat perputaran yang disebabkan oleh kepenatan (Grandey dan Cropanzano,
1999:350-370). Peneliti juga memberikan banyak bukti yang mendukung
kesimpulan bahwa stres mempengaruhi kesehatan fisik secara negatif. Stres
memberikan kontribusi pada persoalan kesehatan berikut ini: kemampuan yang
menurun untuk menangkal penyakit dan infeksi, tekanan darah tinggi, penyakit
arteri koroner, sakit kepala karena tegang, nyeri punggung, diare dan sembelit
(DeFrank dan Ivancevich, 1998:55-66).
Cox dalam Gibson, Ivancevich dan Donnelly (1989:206-208)
mengidentifikasikan lima jenis konsekuensi dampak dari stres kerja yang
potensial. Kategori yang disusun Cox meliputi:
1. Dampak subjektif: Meliputi kecemasan, agresi, acuh, kebosanan, depresi,
keletihan, frustasi, kehilangan kesabaran, rendah diri, gugup, merasa
2. Dampak perilaku (behavioral effects): Kecenderungan mendapat
kecelakaan, alkoholik, penyalahgunaan obat-obatan, emosi yang tiba-tiba
meledak, makan berlebihan, merokok berlebihan, perilaku yang mengikuti
kata hati, ketawa gugup.
3. Dampak kognitif: Ketidakmampuan mengambil keputusan yang jelas,
konsentrasi yang buruk, rentang perhatian yang pendek, sangat peka
terhadap kritik, rintangan mental.
4. Dampak fisiologis: Meningkatnya kadar gula, meningkatnya denyut
jantung dan tekanan darah, kekeringan di mulut, berkeringat,
membesarnya pupil mata, tubuh panas dingin.
5. Dampak organisasi: Keabsenan, pergantian karyawan, rendahnya
produktivitas, keterasingan diri dari rekan kerja, ketidakpuasan kerja,
menurunnya keikatan dan kesetiaan terhadap organisasi.
Muchlas (dalam Sekarwulan, 2005:16) mengatakan bahwa stres kerja
dapat menimbulkan perilaku yang berupa perubahan dalam kepuasan kerja, tidak
masuk kerja, keluar dari pekerjaannya, perubahan dalam kebiasaan makan,
banyak merokok, mengkonsumsi alkohol dan gangguan tidur. Hubungan antara
variabel stres kerja dengan kepuasan kerja merupakan hubungan negatif. Semakin
tinggi tingkat stres karyawan maka kepuasan kerja karyawan akan semakin rendah
yang dapat mengakibatkan turunnya produktivitas kerja karyawan, sehingga stres
di kalangan karyawan harus harus ditekan agar karyawan dapat mencapai
kepuasan dalam bekerja sehingga dapat lebih produktif dengan demikian
turunnya kepuasan maka dapat menurunkan semangat dan kegairahan kerja dari
para karyawan yang dapat mengakibatkan kerugian bagi perusahaan.
Beberapa indikasi turunnya semangat kerja akibat stres kerja menurut
Nitisemito (1982:161) sebagai berikut:
1. Turunnya atau rendahnya produktivitas kerja
2. Tingkat absensi yang naik atau tinggi
3. Labour turn-over(tingkat perpindahan buruh yang tinggi)
4. Tingkat kerusakan yang tinggi
5. Kegelisahan dimana-mana
6. Tuntuan yang sering kali terjadi
7. Pemogokan
F. Reaksi Terhadap Stres
Orang tidak mengalami tingkat stres yang sama atau menunjukkan hasil
yang serupa untuk suatu jenis stresor tertentu. Sebagai contoh, jenis stresor yang
dialami di tempat kerja bervariasi menurut pekerjaan dan jenis kelamin: stresor
untuk pengendalian yang rendah adalah lebih tinggi pada pekerjaan yang klerikal
tingkat rendah dari pada pekerjaan profesional, dan konflik antar pribadi
merupakan suatu sumber stres yang lebih besar bagi kaum wanita dari pada kaum
pria (Narayana, Menon dan Spector, 1999:63-73).
Handoko (2001:203), membedakan dua tipe orang berdasarkan reaksi
1. Tipe A
Orang-orang tipe A adalah mereka yang agresif dan kompetitif,
menetapkan standar-standar tinggi dan meletakkan diri mereka di bawah
tekanan waktu yang konstan.
2. Tipe B
Orang-orang tipe B adalah lebih rileks dan suka menghadapi masalah.
Mereka menerima situasi-situasi yang ada dan bekerja di dalamnya, serta
tidak senang bersaing.
G. Pengertian Kepuasan Kerja
Studi mengenai kepuasan kerja dewasa ini menjadi perhatian yang serius
bagi manajer perusahaan, karena berkaitan erat dengan tenaga kerja berkaitan erat
dengan tenaga kerja, produktivitas kerja dan kelangsungan hidup perusahaan yang
bersangkutan. Meskipun hanya merupakan salah satu faktor dari banyak faktor
pengaruh lainnya, kepuasan kerja mempengaruhi tingkat perputaran karyawan dan
absensi. Perusahaan bisa mengharapkan bahwa bila kepuasan kerja meningkat,
perputaran karyawan dan absensi akan menurun, atau sebaliknya kepuasan kerja
yang rendah biasanya akan mengakibatkan perputaran karyawan yang lebih tinggi.
Mereka lebih mudah meninggalkan perusahaan dan mencari kesempatan di
perusahaan yang lain. Hubungan tersebut juga berlaku untuk absensi. Para
karyawan yang kurang mendapatkan kepuasan kerja cenderung lebih sering absen.
Mereka sering tidak merencanakan untuk absensi, tetapi bila ada alasan untuk
Pada dasarnya kepuasan kerja bersifat berbeda sesuai dengan sistem yang
berlaku pada masing-masing individu, semakin banyak aspek-aspek yang sesuai
dengan keinginan individu tersebut maka semakin tinggi tingkat kepuasan yang
dirasakan.
Handoko (2001:194), mendefinisikan kepuasan kerja sebagai keadaan
emosional yang menyenangkan atau tidak menyenangkan dengan mana karyawan
memandang pekerjaan mereka. Kepuasan kerja mencerminkan perasaan seseorang
terhadap pekerjaannya. Ini nampak dalam sikap positif karyawan terhadap
pekerjaan dan segala sesuatu yang dihadapi di lingkungan kerjanya. Martoyo
(2000:142), mengatakan bahwa kepuasan kerja adalah sebagai keadaan emosional
karyawan dimana terjadi atau tidak terjadi titik temu antara nilai balas jasa
karyawan dari perusahaan dengan tingkat nilai balas jasa yang memang
diinginkan oleh karyawan yang bersangkutan. Sedangkan Keith Davis (dalam
Mangkunegara, 2000:117) mengemukakan kepuasan kerja adalah perasaan
menyokong atau tidak menyokong yang dialami pegawai dalam bekerja. Pendapat
lain dari Wekley dan Yuki (dalam Mangkunegara, 2000:117) tentang kepuasan
kerja adalah sebagai cara pegawai merasakan dirinya atas pekerjaan mereka.
Blum (dalam As’ad, 1999:104) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai
suatu sikap umum hasil dari sifat khusus individu terhadap faktor kerja,
karateristik individu dan hubungan sosial individu diluar pekerjaan.
Berikut ini beberapa definisi kepuasan kerja (job satisfaction) yang
1. Menurut Locke (dalam Luthan, 1995:114)
Ia memberikan definisi bahwa kepuasan kerja adalah suatu ungkapan
emosi yang bersifat positif atau menyenangkan sebagai hasil dari penilaian
terhadap suatau pekerjaan atau pengalaman.
2. Menurut Hasibuan (2000:199)
Kepuasan kerja adalah sikap emosional yang menyenangkan dan
mencintai pekerjaan.
3. Menurut Robbins (2002:36)
Kepuasan kerja merupakan sikap individu secara umum terhadap
pekerjaanya. Seseorang dengan tingkat kepuasan kerja yang tinggi
mempunyai sikap positif terhadap pekerjaannya; seseorang tidak puas
dengan pekerjaannya mempunyai sikap negatif terhadap pekerjaannya.
4. Menurut Wood,et.al. (1998: 146)
Kepuasan kerja mengacu pada sikap umum individu terhadap pekerjaan
mereka.
5. Menurut While dan Stoner (dalam Sirait, 1996:84)
Mendefinisikan kepuasan kerja sebagai faktor-faktor di dalam individu
yang mengakibatkan bertidak dengan cara tertentu.
H. Dimensi Dalam Kepuasan Kerja
Luthan (1995:114), mengemukakan bahwa terdapat lima dimensi dalam
1. Kepuasan pada pekerjaan itu sendiri(satisfaction with work it self).
Pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang karyawan dapat menghasilkan
kepuasan kerja, motivasi internal, prestasi kerja yang tinggi, tingkat
kemangkiran yang rendah dan tingkat labour turn over yang rendah. Hal
ini bisa dicapai apabila:
a. Pekerjaan itu dapat dipahami sebagai sesuatu yang berarti, bermanfaat
atau penting.
b. Pekerja menyadari bahwa dirinya bertanggungjawab atas hasil
pekerjaan itu sendiri secara pribadi.
c. Pekerja dapat memastikan dengan cara yang teratur dan terandalkan
mengenai hasil usahanya, apa saja yang telah dicapai dan memuaskan
atau tidak.
2. Kepuasan pada Pembayaran
Kepuasan pada pembayaran merupakan hal yang bersifat multi
dimensional. Hal ini berarti bahwa kepuasan bukan hanya terletak pada
gaji atau upah semata, namun karyawan lebih melihat hal itu sebagai suatu
refleksi dari pihak perusahaan atas kontribusi yang mereka berikan
(Luthan, 1995:121), sehingga dapat disimpulkan bahwa kepuasan pada
pembayaran dapat dilihat dari:
a. Kepuasan terhadap administrasi dan kebijakan perusahaan.
b. Kepuasan terhadap berbagai jenis tunjangan yang ada.
c. Kepuasan terhadap gaji atau upah.
3. Kepuasan pada Promosi
Kesempatan untuk dipromosikan merupakan hal yang dapat memberikan
kepuasan pada karyawan. Kesempatan ini merupakan bentuk imbalan yang
bentuknya berbeda dengan imbalan yang lain. Promosi bisa dilakukan
berdasarkan senioritas karyawan ataupun berdasarkan kinerja.
Luthan menambahkan bahwa keinginan untuk dipromosikan sangat terkait
dengan keinginan untuk meningkatkan status sosial, dan menambah
pendapatan.
4. Kepuasan pada Supervisi
Supervisi merupakan salah satu hal yang cukup penting sebagai sumber
kepuasan kerja. kepuasan terhadap supervisi sangat berkaitan dengan gaya
kepemimpinan supervisi.
5. Kepuasan pada Rekan Kerja
Rekan kerja dapat menjadi sumber kepuasan bagi karyawan manakala
antar karyawan diberi kesempatan untuk berinteraksi satu sama lain.
Rekan kerja bisa menjadi sumber kepuasan yang paling kuat jika
anggotanya memiliki kemiripan dalam nilai-nilai dan perilaku. Nilai dari
suatu kelompok kerja berkaitan erat dengan kepuasan kerja. Bagi sebagian
besar karyawan bekerja juga memenuhi kebutuhan untuk berinteraksi
sosial. Oleh sebab itu, tidak mengherankan bila memiliki rekan kerja yang
ramah akan mendukung kepuasan kerja (Robbins, 2002:36).
Peneliti lain, Wood et al. (1998:147), menyimpulkan bahwa dimensi dari
minat, keanekaragaman, peluang belajar, tingkat kesulitan, jumlah kerja,
kesempatan berhasil, dan pengendalian atas langkah dan metode. Kedua, upah:
sejumlah keadilan atau kesamaan dalam sistem penggajian, dan metode dari
pengupahan/penggajian. Ketiga, promosi: kesempatan promosi, keadilan,
pedoman promosi. Keempat, penghargaan: pujian atas prestasi, penghargaan atas
kerja yang dilakukan, dan kritik. Kelima, jaminan atas pensiun: kesehatan, cuti
tahunan, dan upah atas pekerjaan. Keenam, kondisi kerja: jumlah jam kerja, waktu
istirahat, perlengkapan, temperatur, ventilasi, kelembapan, lokasi, dan tata letak
fisik. Ketujuh, supervisi: pengaruh dan gaya supervisi, teknik supervisi, hubungan
manusia, ketrampilan administrasi. Kedelapan, teman kerja: kompetensi, suka
menolong, dan keramahtamahan. Kesembilan, perusahaan dan manajemen: fokus
pada pekerja, dan berbagai kebijakan.
I. Teori Kepuasan Kerja
Teori kepuasan kerja yang dikemukakan oleh Ndraha (1999:149) adalah
sebagai berikut:
1. Teori Kesenjangan(Discrepancy Theory)
Teori ini menjelaskan bahwa kepuasan tergantung pada perbedaan antara
outcome yaitu reward yang diterima oleh seseorang dengan reward yang
diterima oleh orang lain untuk pekerja yang setingkat. Semakin besar
2. Teori Keadilan
Teori ini menjelaskan bahwa kepuasan bergantung pada rasa adil.
Sementara rasa adil bergantung pada persepsi sesorang terhadap
keseimbangan antara input (effort, jerih payah) dengan outcome (reward,
imbalan) yang diterimanya. Semakin seimbang antara input dengan
outcome, semakin terasa adil persepsi seseorang terhadap kepuasan
kerjanya.
J. Pengertian Komitmen Organisasi
Komitmen dipandang sebagai suatu orientasi nilai terhadap suatu
organisasi yang menunjukkan individu sangat memikirkan dan mengutamakan
pekerjaan dan organisasinya. Individu akan berusaha memberikan segala usaha
yang dimilikinya dalam rangka membantu organisasi mencapai tujuannya.
Konsep komitmen organisasi mulai dikenal lebih kurang 25 tahun yang
lalu oleh Modway, Steers dan Porter (1979:224-247). Konsep ini sekarang
berkembang dan popular dalam literatur psikologi industri, keperilakuan
organisasi, maupun keperilakuan akuntansi. Karyawan atau manajer yang
memiliki komitmen organisasi adalah mereka yang mau bekerja keras, tetap
bergabung dalam organisasi, dan memberikan kontribusi terhadap efektivitas
kinerja organisasi. Komitmen organsiasi mempunyai implikasi tidak hanya pada
para karyawan, manajer, dan organisasi, namun juga bagi masyarakat secara
keseluruhan. Masyarakat dapat memperoleh manfaat dari komitmen organisasi
Komitmen Organisasi (organizational commitment) adalah bentuk
keterikatan individu dengan organisasi (Mathieu dan Zajac, 1990:171-194)
sehingga individu tersebut “merasa memiliki” organisasinya.
Porter et al. (dalam Setiawan dan Ghozali, 2005:39-44), mendefinisikan
komitmen organisasi sebagai suatu kekuatan relatif individual terhadap suatu
organisasi dan keterlibatannya dalam organisasi tertentu, yang dicirikan oleh tiga
faktor psikologis:
1. Keinginan yang kuat untuk tetap menjadi anggota organisasi tertentu.
2. Keinginan untuk berusaha sekuat tenaga demi organisasi.
3. Kepercayaan yang pasti dan penerimaan terhadap nilai-nilai dan tujuan
organisasi.
Jadi, komitmen meliputi hubungan yang aktif antara karyawan dengan
organisasi dimana karyawan tersebut bersedia memberikan sesuatu atas kemauan
sendiri agar dapat menyokong tercapainya tujuan organisasi secara keseluruhan,
bukan hanya aspek pekerjaan saja. Komitmen pada organisasi adalah bentuk
keterikatan, keterlibatan, dan keikatan karyawan pada apa yang dirasakan dan
dialami dalam organisasi.
Robbins dalam pengembangan kualitas SDM dari perspektif PIO (2001:
456) mengatakan bahwa komitmen karyawan pada organisasi merupakan salah
satu sikap yang merefleksikan perasaan suka atau tidak suka dari seorang
karyawan terhadap organisasi tempat ia bekerja. Dijelaskan pula, bahwa
komitmen karyawan pada organisasi sebagai suatu orientasi individu terhadap
Robbins (2002:36) komitmen karyawan pada organisasi mendefinisikan hubungan
(aktif) antara individu dan organisasinya. Orientasi hubungan tersebut
mengakibatkan individu (pekerja) atas kehendak sendiri bersedia memberikan
sesuatu, dan sesuatu yang diberikan itu demi merefleksikan dukungannya bagi
tercapainya tujuan organisasi.
Komitmen organisasional ditunjukkan dalam sikap penerimaan, keyakinan
yang kuat terhadap nilai-nilai dan tujuan sebuah organisasi, begitu juga adanya
dorongan yang kuat untuk mempertahankan keanggotaannya dalam suatu
organisasi demi tercapainya tujuan organisasi. Steer (dalam Dessler,
1992:319-321) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai kekuatan relatif dari suatu sifat
seseorang dengan dan keterlibatannya dalam organisasi tertentu, dimana hal
tersebut mempunyai tiga faktor seperti:
1. Kepercayaan dan penerimaan terhadap nilai serta tujuan organisasi.
2. Kesadaran dalam mengarahkan usahanya terhadap organisasi.
3. Keinginan kuat untuk menjadi anggota organisasi.
Sama dengan Steers, Buchanan (dalam Dessler, 1992:319), mengatakan
bahwa komitmen organisasi mengandung tiga tindakan yang saling terpisah
namun saling berkaitan:
1. Pengenalan terhadap misi organisasi.
2. Rasa keterlibatan atau keikutsertaan psikologis dalam tugas organisasi.
3. Rasa setia dan cinta terhadap organisasi sebagai tempat untuk hidup dan
bekerja secara terpisah dengan misi atau nilai instrumental terhadap diri
Secara singkat pada intinya beberapa definisi komitmen organisasi dari
beberapa ahli diatas mempunyai penekanan yang hampir sama yaitu proses pada
individu (pegawai) dalam mengidentifikasikan dirinya dengan nilai-nilai,
aturan-aturan, dan tujuan organisasi. Disamping itu, komitmen organisasi mengandung
pengertian sebagai sesuatu hal yang lebih dari sekedar kesetiaan yang pasif
terhadap organisasi, dengan kata lain komitmen organisasi menyiratkan hubungan
karyawan dengan perusahaan atau organisasi secara aktif. Karena karyawan yang
menunjukkan komitmen tinggi memiliki keinginan untuk memberikan tenaga dan
tanggung jawab yang lebih dalam menyokong kesejahteraan dan keberhasilan
organisasi tempatnya bekerja
K. Faktor-Faktor Penyebab Komitmen Organisasi
Faktor komitmen dalam organisasi menjadi satu hal yang dipandang
penting karena anggota yang memiliki komitmen yang tinggi terhadap organisasi
akan memiliki sikap yang profesional dan menjunjung nilai-nilai yang telah
disepakati dalam sebuah organisasi. Tetrick (dalam Supriyati 2003)
mengemukakan bahwa komitmen yang kuat terhadap organisasi dapat diciptakan
dengan bantuan memberikan penjelasan tentang segala sesuatu yang telah
ditargetkan oleh organisasi yang meliputi sistem kerja dan jenjang karir serta
pendidikan bagi karyawan.
Hrebeniak dan Alutto (1972:555-572) berpendapat bahwa seorang pekerja
memiliki komitmen terhadap organisasi dilatarbelakangi oleh faktor-faktor
1. Ciri pribadi pekerja, termasuk juga jabatannya dalam organisasi dan
variasi kekuatan kebutuhannya seperti kebutuhan untuk berprestasi,
imbalan, dan lingkungan kerja.
2. Ciri pekerjaan, seperti identitas tugas, kesempatan berinteraksi, bekerja
sesuai dengan kemampuan.
3. Kemampuan bekerja, seperti keterandalan organisasi, peran pentingnya
arti diri seseorang bagi organisasi, cara pekerja-pekerja lainnya
memperbincangkan dan mengutarakan perasaan mereka bagi organisasi.
Dengan demikian, pemimipin dapat meningkatkan komitmen karyawan,
misalnya dengan cara harus dibujuk agar tetap tinggal bersama organisasi. Hal ini
mungkin dilakukan dengan menawarkan serangkaian imbalan yang berlaku di
seluruh organisasi bagi para anggotanya, seperti tingkat gaji yang lebih tinggi,
fasilitas tambahan yang lebih baik, kesempatan bagi pertumbuhan, kemajuan
pribadi melalui program pelatihan, dan sebagainya. Tindakan seperti ini membuat
organisasi lebih menarik dibandingkan organisasi lain.
Disisi lain, penting juga bahwa para karyawan mengerti dan
mengidentifikasikan diri dengan sasaran dan tujuan organisasi. Dengan kata lain,
perlu diciptakan suasana saling percaya dan saling mendukung diantara para
karyawan dan pemimpin, sehingga masing-masing menyumbang sesuatu bagi
tercapainya tujuan pihak lain dan keinginan karyawan.
Tinggi rendahnya komitmen karyawan terhadap organisasi menurut
Dessler (dalam Wea, 2005:19-20) dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya
1. Nilai-nilai kemanusiaan
Dasar utama membangun komitmen karyawan adalah kesungguhan dari
perusahaan untuk memprioritaskan nilai-nilai kemanusiaan. Perusahaan
berasumsi bahwa karyawan merupakan aset yang paling penting sehingga
kesejahteraan karyawan penting untuk diperhatikan.
2. Komunikasi dua arah yang komprehensif
Komitmen yang dibangun atas dasar kepercayaan untuk menghasilkan
suatu bentuk rasa saling percaya maka diperlukan komunikasi dua arah.
3. Rasa kebersamaan dan keakraban
Faktor ini menciptakan rasa senasib sepenanggungan yang pada tahap
selanjutnya memberikan kontribusi pada komitmen terhadap perusahaan
atau organisasi.
4. Visi dan misi organisasi
Adanya visi dan misi yang jelas pada sebuah organisasi akan memudahkan
setiap karyawan dalam bekerja yang pada akhirnya dalam setiap aktivitas
kerja karyawan senantiasa bekerja berdasarkan apa yang menjadi tujuan
organisasi.
5. Nilai sebagai dasar perekrutan
Aspek ini penting untuk mengetahui kualitas dan nilai-nilai personal
karena dapat menjadi petunjuk kesesuaian antara nilai-nilai personal dan
nilai-nilai organisasi.
Selain faktor-faktor diatas, Porter dan Steers (1991:374), mengemukakan
1. Faktor eksternal
Faktor eksternal meliputi kewenangan (authority), pengaruh kelompok
kerja serta imbalan dan insentif eksternal. Tingkat kewenangan karyawan
akan mempengaruhi pada kemampuan untuk bekerja keras dalam
menyelesaikan tugas-tugasnya dan komitmen cenderung meningkat. Jika
karyawan tersebut memiliki tingkat kewenangan yang lebih besar dalam
kaitannya dengan peningkatan kepuasan kerja dan produktivitas kerja yang
akan berimplikasi pada peningkatan kadar komitmen kerja. Imbalan dan
insentif eksternal meliputi upah, gaji, dan bonus. Kebijakan-kebijakan
yang berhubungan dengan pengelolaan imbalan tersebut mempengaruhi
tingkat kepuasan karyawan yang selanjutnya mempengaruhi tingkat
komitmen.
2. Faktor Internal
Faktor internal meliputi harapan akan sukses dan imbalan internal yang
adil. Tingkat harapan akan keberhasilan atau kesuksesan, pada akhirnya
akan menentukan kadar komitmen karyawan. Sedangkan imbalan internal
meliputi kesempatan untuk berpartisipasi, mengembangkan diri dan
keleluasaan untuk menjalankan tugas serta adanya penghargaan atas
prestasi akan meningkatkan kadar komitmen.
3. Faktor Interaksi
Faktor interaksi meliputi partisipasi dan kompetisi. Partisipasi dapat
diartikan sebagai diberikannya kesempatan yang sama untuk duduk
meningkatkan rasa ikut memiliki karyawan pada perusahaannya.
Sedangkan suasana kompetisi dalam tubuh perusahaan diperkirakan juga
berpengaruh dalam mengembangkan komitmen.
L. Bentuk-Bentuk Komitmen Organisasi
Menurut Allen dan Mayer (dalam Luthan, 1995:149), terdapat tiga bentuk
komitmen terhadap organisasi, yaitu:
1. Komitmen Afektif(affecitve commitment)
Komitmen afektif terkait dengan adanya keterikatan emosional seseorang
pada suatu organisasi, dimana seseorang dengan komitmen afektif yang
tinggi mengidentifikasikan dirinya dengan organisasi, terlibat dalam
organisasi dan menikmati keanggotaannya didalam organisasi tersebut.
Komitmen afektif mengacu pada pendekatan affective attachment dari
Mowday et al. (dalam Allen dan Mayer 1991:61-89), dimana komitmen
afektif diartikan sebagai kekuatan relatif dari identifikasi dan keterlibatan
individu dalam organisasi tertentu. Karyawan yang memiliki komitmen
afektif yang tinggi akan tetap melanjutkan keanggotaannya dalam
organisasi karena memang ia menginginkannya (want to) dan senang
dengan keanggotaanya dalam organisasi. Lebih lanjut Mowday et al.,
menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi komitmen afektif
secara umum terbagi atas empat kategori yaitu karasteristik personal,
karasteristik struktur, karateristik pekerjaan yang bersangkutan, dan
2. Komitmen Kontinuan
Komitmen kontinuan terkait dengan pertimbangan untung rugi jika
karyawan meninggalkan organisasi. Komitmen ini merefleksikan besarnya
biaya yang harus ditanggung dan apa yang harus dikorbankan jika
meninggalkan organisasi, sehingga segala sesuatu yang dapat
meningkatkan biaya dapat dianggap sebagai faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap komitmen kontinuan. Biaya yang timbul karena
meninggalkan organisasi cenderung agak berbeda bagi setiap individu.
Menurut Allen dan Mayer (1990:1-18) individu memutuskan menetap
pada suatu organisasi karena menganggap sebagai suatu pemenuhan
kebutuhan (need to). Biaya yang timbul karena meninggalkan organisasi
berbeda untuk tiap individu.
3. Komitmen Normatif
Berkaitan dengan adanya perasaan wajib pada diri karyawan untuk terus
bekerja dalam organisasi (Allen dan Mayer, 1991:61-89), sehingga
karyawan dengan tingkat komit