• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA STRES KERJA DAN KEPUASAN KERJA DENGAN KOMITMEN AFEKTIF KARYAWAN TERHADAP ORGANISASI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA STRES KERJA DAN KEPUASAN KERJA DENGAN KOMITMEN AFEKTIF KARYAWAN TERHADAP ORGANISASI"

Copied!
159
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA STRES KERJA DAN KEPUASAN

KERJA DENGAN KOMITMEN AFEKTIF KARYAWAN

TERHADAP ORGANISASI

Studi Kasus pada Karyawan Tetap Administratif Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi

Program Studi Manajemen

Disusun Oleh :

Firdaus Antonius Sariputra Pasaribu 022214016

PROGRAM STUDI MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)
(3)
(4)

iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Aku hanya manusia, tapi aku masih manusia;

aku tidak dapat mengerjakan segalanya; tapi aku masih mampu berbuat sesuatu; dan karena aku tidak mampu mengerjakan semuanya, aku tidak akan menolak untuk mengerjakan sesuatu yang mampu aku lakukan.

Edward Everett Hale

Juallah kepandaianmu dan belilah kebingungan;

Kepandaian adalah pendapat, kebingungan adalah Intuisi.

Jalaludin Rumi

Kemenangan sering berpihak kepada bala tentara

yang membuat paling sedikit kesalahan, bukan mereka yang memiliki perencanaan paling brilian.

Charles De Gaulle

(Jendral dan Presiden Prancis)

(5)
(6)

vi ABSTRAK

HUBUNGAN ANTARA STRES KERJA DAN KEPUASAN KERJA DENGAN KOMITMEN AFEKTIF KARYAWAN

TERHADAP ORGANISASI

Studi Kasus pada Karyawan Tetap Administratif Universitas Sanata Dharma

Firdaus Antonius Sariputra Pasaribu Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta 2007

Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah ada hubungan antara stres kerja dan kepuasan kerja dengan komitmen afektif karyawan tetap administratif Universitas Sanata Dharma terhadap organisasi baik secara parsial maupun secara bersama-sama.

(7)

vii ABSTRACT

THE RELATIONSHIP BETWEEN WORK STRESS AND THE SATISFACTION WITH EMPLOYEES AFECTIVE COMMITMENT

TOWARD THE ORGANISATION

A Case Study on the Administrative Permanent Employee of Sanata Dharma University

Firdaus Antonius Sariputra Pasaribu Sanata Dharma University

Yogyakarta 2007

This research aimed to examine if there were any connection between work stress, job satisfaction and the affective commitment of administrative permanent employee of Sanata Dharma University both partially and simultaneously.

(8)

viii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan atas segala berkat dan

karunia yang melimpah sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana

Ekonomi, Program Studi Manajamen, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Skripsi ini tersusun berkat bantuan dan dukungan dari berbagai pihak,

untuk itu sudah selayaknya penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Drs. Alex Kahu Lantum, MS., selaku Dekan Fakultas Ekonomi,

Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

2. Bapak Drs. Hendra Poerwanto. G, M.Si., selaku Ketua Jurusan Manajemen,

Universitas Sanata Dharma.

3. Bapak Dr. Herry Maridjo, M.Si., selaku Dosen Pembimbing I yang dengan

sabar telah membimbing, mengarahkan, dan mendukung penulis selama

penulisan sekripsi.

4. Ibu Dra. Y. Rini Hardanti, M.Si., selaku Dosen Pembimbing II yang telah

meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan selama penulisan skripsi

ini.

5. Ibu Dr. Fr. Ninik Yudianti, M.Acc., selaku Wakil Rektor I yang telah

memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian ini.

6. Bapak Drs. Th. Sutadi, MBA, selaku kepala Biro Personalia yang telah

(9)

ix

7. Segenap Karyawan Tetap Administratif Universitas Sanata Dharma yang

telah bersedia menjadi responden dalam penelitian ini.

8. Bapa dan Mamaku yang paling kukagumi di muka bumi ini. Trimakasih

sudah menjadi orang tua ku, kalian sudah banyak mengajarkanku segala hal.

Saya merasa beruntung sekali memiliki kalian dan untuk saat ini hanyalah

karya kecil ini yang baru bisa saya berikan buat kalian.

I love You Mom and Dad.

9. Kedua adekku, Lamtiar Rogantian PS dan Sofiyan Wibowo PS,terimakasih

untuk semua doa, saran, dan semangat yang selalu kalian berikan. Abang

bangga memiliki kalian. Lam, jadi dokter ya. Sofiyan, jadi polisi yang Baik

yaa. Buat Bapa dan Mama bangga.

10. Opungku yang ada disurga. maafin pahoppu mu ini kalo selama hidup

opung, saya pernah berbuat salah. Buat semua tulang-tulangku, uda-udaku,

lae-laeku, inangtuaku-amangtuaku, namboru-amangboru, ito-itoku,

abang-abangku, Mouliate.

11. My Honey. “Thank’s sudah memampukanku melakukan hal yang mungkin

tidak mampu kulakukan sendiri”. Saya merasa sudah banyak keajaiban kecil

yang kau ciptakan bagi ku.I think i’m a lucky man

12. Ibu ku di Sragen, makasih semua nasehat dan doanya, You‘re the great

woman as long as i know. Buat keluarga Om Teguh “makasih om untuk

operasi kecilnya”, dan untuk mas tanto maturnuhun boss udah sering

(10)

x

13. Segenap penghuni papringan bersaudara (Antok, Okta, Igun, Petok, Tomidi,

Yudha, Jusman dll) dan buat Keluarga Bp Walijo, (pak,maturnuhun sudah

mausharingdengan saya, makasih nasehat-nasehat dan masukannya)

14. Teman-teman seperjuangan Anton “beler” (Kapan kita kaya?!), Riski (Jadi

Bapak yang baik ya.), Hari Pamudji (jangan di biasakan rugi?!), Me’Enk

(Hebat kamu lulus dulan ya.), Eko “kodok”

13. Para kru PT.Taylor Nelson Sofres Yogyakarta (Jangan saling mengambil

“jatah makan” temen donk).

14. Temen-temen KKP angkatan XI, Wawan, Yeni, Eka “oneng”, Willy, Monik,

Widi, Radiq, Viki, Iron, dll, “jangan kena kutu sapi lagi”.

15 annoying.clothing co (Ditunggu Gratisannya?!)

16. Kru CV. Diandra yang telah susah payah mencari iklannya (Jangan pernah

lupa belajar dari kesalahan).

17. Teman-teman di BEM FE 2004, (Kentang, Dewo, Edo, Wawan, Galih, Anin,

Mitha, Kris, Gabuk, Manu, Hendra, Vita, Yudha, Wahyu; sukses terus

kawan). Temen-temen di Komunitas Jurnalistik Saringan Teh (Acong, Vidi,

Gagat, Anton, Katri, Rahma, Helmi) dan Temen-temen di UKPM Natas

(Donal, Lysis, Dewiq, Ariq, Enkong, Bebe, Koko, Gatik, Kristin, Anggun,

Theo dll) “Thanksbuat setetes pengalamannya”

18. Kawan-kawan Manajemen angkatan 2002, baik yang sudah lulus maupun

belum, semoga keberuntungan selalu menyertai kalian.

19 Buat kawan-kawan MPT: Alex, Nunung, Andi, Anton, Mesum, Yani, Agnes,

(11)

xi

20. Buat teman lama ku Daniel “Iyenk” Sirait, Perdana Sinaga, Joy Hifder

Leonardo. Kawan, kita harus reuni. Buat Iyenk, aku tidak mungkin ada di

jogja tanpa bantuan mu. Trimakasih banyak kawan.

21. Rekan-rekan di GAIA Corps, Jangan jadikan bencana sebagai komoditi.

Sukses terus desa wisatanya.

22. Saya secara pribadi juga mengucapkan terimakasih pada semua pihak yang

telah membantu saya dalam menyelasaikan sekripsi ini. Smoga kesuksesan

senantiasa menyertai kalian. Amien.

(12)

xii DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Batasan Masalah ... 6

D. Tujuan Penelitian ... 7

E. Manfaat Penelitian ... 8

F. Sistematika Penulisan ... 9

BAB II. LANDASAN TEORI ... 10

A. Pengertian Stres ... 10

B. Faktor-faktor Penyebab Stres ... 14

C. Pengertian Stres Kerja ... 16

D. Faktor Penyebab Stres Kerja ... 19

E. Dampak Stres Kerja ... 25

F. Reaksi Terhadap Stres ... 27

G. Pengertian Kepuasan Kerja ... 28

H. Dimensi Dalam Kepuasan Kerja... 30

(13)

xiii

J. Pengertian Komitmen Organisasi ... 34

K. Faktor-faktor Penyebab Komitmen Organisasi ... 37

L. Bentuk-bentuk Komitmen Organisasi ... 41

M. Penelitian Terdahulu ... 43

N. Kerangka Berfikir ... 45

O. Hipotesis ... 46

BAB III. METODE PENELITIAN ... 48

A. Jenis Penelitian ... 48

B. Subjek dan Objek Penelitian ... 48

C. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 49

D. Variabel Penelitian ... 49

E. Populasi dan Sampel ... 50

F. Teknik Pengambilan Sampel ... 50

G. Jenis Data ... 50

H. Definisi Operasional ... 51

I. Teknik Pengumpulan Data ... 52

J. Teknik Pengujian Instrumen ... 53

K. Teknik Analisis Data... 55

BAB IV. GAMBARAN UMUM ORGANISASI ... 59

A. Sejarah USD ... 59

B. Nama-nama Rektor USD ... 62

C. Visi, Misi, dan Motto USD ... 63

D. Tujuan Pendidikan USD ... 65

E. Lambang, Bendera, Himne, dan Mars USD... 66

F. Organisasi USD ... 66

G. Sasaran Jangka Menengah dan Rencana Strategi USD... 70

H. Data Statistik Karyawan USD (Administratif dan Edukatif)... 73

BAB V. ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN ... 77

A. Deskripsi Data ... 77

B. Metode Pengujian Instrumen ... 78

(14)

xiv

D. Analisis Presentase ... 84

E. Pengujian Hipotesis ... 88

F. Pembahasan ... 96

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 103

A. Kesimpulan ... 103

B. Keterbatasan ... 106

C. Saran ... 106

DAFTAR PUSTAKA

(15)

xv

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

IV. 1 Rumusan pendek visi, misi dan motto USD ... 65

IV. 2 Data pegawai administrasi berdasarkan jenjang pendidikan dan status kepegawaian ... 73

IV. 3 Status kepegawaian, jenjang pendidikan, dan studi lanjut pegawai edukatif ... 75

V. 1 Hasil pengujian validitas stres kerja ... 79

V. 2 Hasil pengujian validitas kepuasan kerja ... 80

V. 3 Hasil pengujian validitas komitmen afektif ... 81

V. 4 Hasil pengujian reliabilitas ... 81

V. 5 Rangkuman hasil pengujian normalitas ... 82

V. 6 Rangkuman hasil pengujian linieritas ... 83

V. 7 Klasifikasi responden berdasarkan jenis kelamin ... 85

V. 8 Klasifikasi responden berdasarkan usia ... 85

V. 9 Klasifikasi responden berdasarkan status perkawinan ... 86

V. 10 Kalsifikasi responden atas dasar tingkat pendidikan akhir ... 87

V. 11 Klasifikasi responden atas dasar masa kerja ... 88

V. 12 Interpretasi terhadap nilai r hasil analisis korelasi ... 89

V. 13 Hasil pengujian signifikansi F ... 95

V. 14 Tingkat stres kerja ... 97

V. 15 Tingkat kepuasan kerja ... 98

(16)

xvi

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

II. 1 Kerangka penelian ... 46

V. 1 Kurve Normal Daerah Penerimaan atau Penolakan Hipotesis

Pertama pada Taraf Signifikansi 5% ... 90

V. 2 Kurve Normal Daerah Penerimaan atau Penolakan Hipotesis

Kedua pada Taraf Signifikansi 5% ... 92

V. 3 Kurve Normal Daerah Penerimaan atau Penolakan Hipotesis

(17)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kemampuan untuk menarik dan mempertahankan karyawan yang berbakat

dan bermotivasi sering menjadi perbedaan antara keberhasilan dan kegagalan di

lingkungan bisnis yang bersaing saat ini. Manajer yang berfikiran maju akan

memahami bahwa karyawan yang bermotivasi dan memiliki komitmen, bersama

dengan strategi yang efektif dan operasi yang efisien, akan menghasilkan

kombinasi yang akan sulit ditandingi. Organisasi saat ini harus menemukan

sebuah “ramuan” dalam mengupayakan keunggulan bersaing dengan cara menarik

dan mempertahankan karyawan terbaik dan dengan mengembangkan kecakapan

mereka.

Sumber daya manusia menjadi faktor penentu keberhasilan pelaksanaan

organisasi yang efektif. Status SDM di jaman dahulu pernah diremehkan oleh

banyak organisasi, tetapi derajat kepentingannya telah berkembang sangat

dramatis dalam dua dekade terakhir ini. Semakin pentingnya SDM itu berakar

pada meningkatnya kerumitan hukum, kesadaran bahwa sumber daya manusia

merupakan alat berharga bagi peningkatan produktivitas, dan kesadaran dewasa

ini mengenai biaya yang berkaitan dengan manajemen sumber daya manusia.

Tentu saja, para manajer ini sadar bahwa keefektifan fungsi-fungsi sumber

daya manusia mereka berdampak besar terhadap kinerja perusahaan. Perencanaan

sumber daya manusia yang buruk dapat mengakibatkan serangkaian rekrutmen

(18)

yang diikuti oleh pemecatan. Konsekuensinya, akan muncul biaya-biaya yang

mahal dalam kaitannya dengan pembayaran kompensasi pengangguran,

pengeluaran biaya pelatihan, dan moril. Oleh karena itu, para pemimpin dapat

berusaha membina keterikatan dan keikatan dengan menempatkan para pekerja

dalam situasi yang membuka kesempatan bagi mereka untuk mencapai

tujuan-tujuan yang berarti bagi pribadi mereka, dengan asumsi bahwa tujuan-tujuan-tujuan-tujuan

tersebut relevan bagi organisasi sehingga diharapkan karya secara keseluruhan

akan meningkat. Selain itu, kepada para pekerja manajemen dan para karyawan

lainnya benar-benar memperhatikan kesejahteraan mereka, ataupun ada

kemungkinan merubah beberapa segi tertentu dalam pekerjaan para karyawan,

sehingga mereka memiliki otonomi dan tanggung jawab yang lebih besar dan

dapat mengindentifikasikan diri dengan tugas mereka yang sebenarnya. Hal ini

diharapkan dapat mendukung tercapainya tujuan manajerial yang menitikberatkan

pada tingginya komitmen karyawan, integrasi organisasi, peningkatan kualitas

kerja (quality of work), dan peningkatan kualitas karyawan. Tujuan manajerial

tersebut dapat dicapai dengan upaya mewujudkan kondisi lingkungan yang

kondusif, sehingga tumbuh “sense of belonging” pada diri karyawan terhadap

organisasi secara keseluruhan.

Karyawan yang memiliki komitmen tinggi akan lebih berpeluang dalam

peningkatan karir dan cenderung memiliki masa jabatan yang panjang. Bagi

perusahaan, dengan komitmen karyawan yang tinggi akan memberikan dampak

yang positif pada stabilitas tenaga kerja perusahaan tersebut, rendahnya labour

(19)

Dalam berbagai studi mengenai perilaku organisasi, komitmen organisasi

adalah suatu perasaan sayang atau tidak sayang yang dimiliki oleh karyawan

terhadap organisasi tempat mereka bekerja. Allen dan Meyer (dalam Luthan dan

Fred, 1998:148) membagi komitmen organisasi kedalam tiga komponen, yaitu:

komitmen afektif (affective commitment), komitmen kontinuan (continuan

commitment), dan komitmen normatif (normative commitment).

Seorang karyawan yang mempunyai kepuasan kerja akan menunjukkan

sikap positf dan menyenangkan terhadap pekerjannya. Sikap positif itu dapat

berupa kesediaan untuk tetap tinggal di perusahaan tersebut, karena hanya

karyawan yang tidak memiliki kepuasan kerja yang akan meninggalkan

perusahaan dan mencari perusahaan lain yang dapat memenuhi kebutuhannya

dalam bekerja sampai ia merasa puas. Selain itu, positif terhadap pekerjaan juga

dapat berupa kesediaan untuk menerima nilai-nilai yang dianut perusahaan tempat

ia bekerja, dimana nilai-nilai yang dianut oleh perusahaan merupakan aspek yang

terdapat dalam sebuah perusahaan yang berkaitan dengan pekerjaan. Kesediaan

untuk berusaha bagi kepentingan perusahaan juga merupakan sikap positif dan

menyenangkan terhadap pekerjaan yang ditunjukkan oleh karyawan yang

mempunyai kepuasan kerja, karena ketika seorang karyawan melakukan

pekerjaannya dengan baik berarti ia telah berusaha untuk kepentingan karyawan

itu sendiri. Kesediaan untuk tetap tinggal di perusahaan, kesediaan untuk

menerima nilai-nilai yang dianut perusahaan, serta kesediaan untuk berusaha bagi

kepentingan perusahaan menunjukkan adanya komitmen karyawan terhadap

(20)

komitmen terhadap organisasi. Hal ini sejalan dengan pendapat Simmons (2005:

196-206), yang mengatakan bahwa kepuasan kerja karyawan dapat menjadi

prediktor komitmen organisasi. Meskipun kepuasan kerja itu sendiri merupakan

hal yang bersifat relatif, dimana setiap pekerja belum tentu memiliki perspektif

yang sama dalam memandang kepuasan kerja. Namun, secara umum dapat

dikatakan bahwa semakin banyak aspek kerja yang sesuai dengan keinginan

karyawan, maka semakin tinggi pula tingkat kepuasan dan diharapkan dapat

meningkatkan komitmen mereka terhadap perusahaan.

Di sisi lain, di dalam bekerja tidak dapat dipungkiri akan terjadi begitu

banyak tekanan-tekanan yang dapat berpotensi menjadi sumber-sumber stres

(stressor). Kondisi tersebut dapat menimbulkan efek negatif pada kepuasan kerja

dan pada akhirnya dapat menurunnya tingkat produktivitas kerja mereka.

Bukti-bukti empiris maupun pengamatan awam menunjukkan bahwa stres dapat

menyebabkan timbulnya berbagai gangguan, baik fisik maupun psikis, yang pada

akhirnya dapat mengganggu tingkat produktivitas seseorang.

Sutton (1984:7-28) mengatakan bahwa tuntutan peran menjadi tekanan

bagi pengajar ketika harapan organisasi mengenai sikap pengajar tidak jelas (role

ambiguity), ketika pekerjaan mereka berlebihan (role overload) atau ketika

memenuhi satu harapan namun sulit atau tidak bisa memenuhi harapan yang lain

(role conflict). Penelitian yang dilakukan oleh Mathieu dan Zajac (1990:171-194),

menemukan bahwa role ambiguitydanrole over load memiliki hubungan negatif

dengan komitmen organisasi. Role ambiguty yang dimaksud adalah tingkat

(21)

tugas-tugas lain, sementara itu role conflict yang dimaksud adalah tingkat dimana

performa peran dianggap dipengaruhi oleh tekanan-tekanan yang mengakibatkan

munculnya konflik atau tingkah laku yang saling bertentangan. Sedangkan yang

dimaksud dengan role overload adalah tingkat dimana performa peran dianggap

dipengaruhi oleh waktu dan sember daya yang tidak mencukupi (Seniati, 2002).

Dengan demikian, semakin rendah tingkatrole stressor, maka kepuasan karyawan

akan meningkat.

Penelitian ini sengaja dilakukan terhadap karyawan tetap administratif

Universitas Sanata Dharma dengan alasan bahwa penelitian mengenai sumber

daya manusia pada lembaga tersebut, khususnya yang mengarah pada tema

tentang stres kerja, kepuasan kerja dan komitmen organisasi belum banyak

dilakukan, sehingga peneliti menganggap perlu untuk melakukan penelitian ini

untuk membantu memperbaiki manajemen sumber daya manusia pada lembaga

tersebut.

Hal-hal tersebut di atas membuat peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian dengan judul “Hubungan Stres Kerja dan Kepuasan Kerja dengan

Komitmen Afektif Karyawan terhadap Organisasi” Studi Kasus pada

Karyawan Tetap Administratif Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan

(22)

1. Apakah ada hubungan yang negatif dan signifikan antara stres kerja

karyawan tetap administratif dengan komitmen afektif mereka terhadap

organisasi?

2. Apakah ada hubungan yang negatif dan signifikan antara stres kerja

karyawan tetap administratif dengan kepuasan kerja mereka?

3. Apakah ada hubungan yang positif dan signifikan antara kepuasan kerja

karyawan tetap administratif dengan komitmen afektif mereka terhadap

organisasi?

4. Apakah ada hubungan secara simultan antara stres kerja dan kepuasan

kerja karyawan tetap administratif dengan komitmen afektif mereka

terhadap organisasi?

C. Batasan masalah

Dalam penelitian ini, untuk membatasi ruang lingkup penelitian, peneliti

akan membatasi variabel-variabel yang akan diteliti.

Variabel stres yang akan diteliti pada penelitian ini mengacu pada faktor-faktor

penyebab stres kerja pada tingkat individu yang meliputi:

1. Ambiguitas peran(role ambiguity)

2. Peran yang berlebihan(role overload)

3. Konflik peran(role conflict)

Variabel kepuasan kerja yang akan diteliti dalam penelitian ini mengacu pada

penelitian Luthan (1995:114) yang meliputi:

(23)

2. Kepuasan pada pembayaran

3. Kepuasan pada promosi

4. Kepuasan pada supervisi

5. Kepuasan pada rekan kerja

Variabel komitmen organisasi yang akan diteliti mengacu pada penelitian yang

dilakukan oleh Allen dan Mayer (dalam Luthan, 1995:149). Dalam penelitian ini,

komitmen yang akan diteliti diambil dari salah satu bentuk yang dikemukakan

oleh Allen dan Meyer yakni komitmen afektif

D. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan perumusan masalah dan pembatasan masalah, maka tujuan

yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui hubungan stres kerja karyawan tetap administratif

dengan komitmen afektif mereka terhadap organisasi.

2. Untuk mengetahui hubungan stres kerja dengan kepuasan kerja karyawan

tetap administratif.

3. Untuk mengetahui hubungan kepuasan kerja karyawan tetap administratif

dengan komitmen afektif mereka terhadap organisasi.

4. Untuk mengetahui hubungan stres kerja dan kepuasan kerja karyawan

tetap administratif secara bersama-sama dengan komitmen afektif mereka

(24)

E. Manfaat Penelitian

1. Bagi Universitas Sanata Dharma

Temuan dalam penelitian ini, diharapkan dapat menjadi masukan bagi

pihak Universitas dalam menetapkan kebijakan-kebijakan yang tepat

dalam mengelola tenaga karyawan tetap administratif, berkaitan dengan

upaya penanggulangan stres kerja dengan cara memperbaiki dan

mempertahankan kepuasan kerja, sehingga diharapkan kepuasan tenaga

karyawan tetap administratif terhadap organisasi dapat meningkat dan

pada akhirnya komitmen mereka juga dapat meningkat.

2. Bagi Perpustakaan

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi dalam

menambah khazanah wacana di bidang keprilakuan manusia dalam

organisasi dan pada akhirnya penulis berharap penelitian ini dapat

menambah wacana pengembangan ilmu pengetahuan di lingkungan

Universitas Sanata Dharma.

3. Bagi Penulis

Penulis berharap penelitian ini dapat menjadi salah satu wahana untuk

memperdalam dan menerapkan pengetahuan penulis dalam ilmu

manajemen dan ilmu lainnya yang sekiranya terkait, yang telah diperoleh

(25)

F. Sistematika Penulisan

BAB I : Pendahuluan

Bab ini berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, batasan

masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika

penulisan.

BAB II : Landasan Teori

Bab ini menguraikan teori-teori yang digunakan sebagai dasar

dalam pengolahan data.

BAB III : Metode Penelitian

Bab ini menguraikan jenis penelitian, subjek dan objek penelitian,

lokasi dan waktu penelitian, variabel penelitian, populasi dan

sampel penelitian, teknik pengambilan sampel, jenis data, definisi

operasional, teknik pengumpulan data, teknik pengujian

instrumen dan teknik analisis data.

BAB IV : Gambaran Umum Organisasi

Bab ini berisikan tentang gambaran umum Universitas Sanata

Dharma Yogyakarta.

BAB V : Analisis Data dan Pembahasan

Bab ini berisikan analisis data dan pembahasan

BAB VI : Kesimpulan dan Saran

Bab ini berisikan tentang kesimpulan, keterbatasan penelitian dan

(26)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Pengertian stres

Setiap manusia dari berbagai lapisan bisa saja mengalami ketegangan

hidup yang diakibatkan adanya tantangan, kesulitan, ancaman ataupun ketakutan

terhadap bahaya kehidupan yang sulit diselesaikan, sehingga seringkali didapati

orang yang seringkali mengalami ketegangan akan merasakan keluhan-keluhan

yang kadang membutuhkan perawatan medis. Pada dasarnya besar kecilnya saat

yang menegangkan tersebut sebenarnya relatif, tergantung tinggi rendahnya

kedewasaan kepribadian serta bagaimana sudut pandang seseorang dalam

menghadapinya.

Secara sederhana, Anoraga dan Suyati (1995:156) mendefinisikan stres

sebagai sesuatu bentuk tanggapan seseorang, baik secara fisik maupun mental,

terhadap suatu perubahan di lingkungan yang dirasakan mengganggu dan

mengakibatkan dirinya terancam. Sedangkan pengertian stres menurut Handoko

(dalam Martoyo, 2000:146) sebagai suatu kondisi yang mempengaruhi emosi,

proses berfikir dan kondisi sesorang. Stres yang terlalu besar dapat mengancam

kemampuan seseorang untuk menghadapi lingkungan, yang akhirnya pelaksanaan

tugas-tugasnya, dan berarti menggangu prestasi kerjanya.

Stres juga merupakan suatu pengalaman emosional negatif yang

menyebabkan perubahan biologis, fisiologis dan perilaku pada individu.

Perubahan yang terjadi disebabkan oleh penyesuaian diri individu dengan keadaan

(27)

yang mengancam di lingkungannya. Dalam hal ini stres dipandang sebagai hasil

dari proses penilaian individu terhadap lingkungan yang mengancam atau

menekan sehingga individu merespon kejadian-kejadian tersebut (Taylor, 1995:

219). Sementara itu, Abraham dan Shanley (1997:210-213) mendefinisikan stres

melalui tiga pendekatan, yaitu: Pendekatan Stimulus, Pendekatan Respon dan

Pendekatan Transaksional.

1. Stres sebagai Stimulus

Stres sebagai stimulus, artinya stres dipandang sebagai faktor eksternal

yang merupakan suatu tekanan sehingga mempengaruhi keadaan internal

individu, menggerakkan individu sehingga menghasilkan suatu tanggapan

yang berupa ketegangan, ketegangan tersebut dapat diartikan mengalami

perubahan secara fisik. Stimulus terjadinya stres disebut stresor. Stresor

adalah kejadian atau situasi eksternal yang berpotensi mendatangkan

bahaya atau ancaman (Gibson et al., 1989:219). Sedangkan Hardjana

(1994:12), mendefinisikan stresor sebagai hal, kejadian, peristiwa, orang,

keadaan dan lingkungan yang dirasakan mengancam atau merugikan.

2. Stres sebagai Respon

Pendekatan ini memfokuskan pada reaksi individu terhadap stresor dan

menggambarkan stres sebagai suatu respon. Ketika seseorang menghadapi

suatu stresor maka ia akan merespon dengan respon psikologis, fisiologis,

danbehavioral. Respon psikologis misalnya dalam bentuk perubahan pola

pikiran dan perubahan emosi. Respon fisiologis dapat berupa detak

(28)

seperti sakit maag dan migran. Respon tersebut akan mengakibatkan

respon perubahan dalam perilaku. Style (dalam Luthans, 1995:307),

menjelaskan stres sebagai respon non fisik tubuh terhadap tuntutan

lingkungan. Respon ini disebut sebagai General Adaption Syndrome

(GAS). Dikatakan reaksi pertahanan general sebab stresor memiliki efek

pada beberapa area tubuh. Adaption, mengacu pada dorongan atau

rangsangan dari bentuk pertahan diri untuk membantu tubuh untuk

menyesuaikan diri atau melawan stresor, sedangkan syndrome

menunjukkan bagian-bagian dari reaksi inidividu yang terjadi secara

bersamaan. Ada tiga faseGAS, yaitu: reaksi alarm, fase resistensi dan fase

kepayahan. Reaksi alarm disebut juga sebagai tahap peringatan. Pada fase

ini terjadi peningkatan aktivitas kerja sistem internal tubuh karena

kemunculan stresor. Dengan demikian tubuh akan siap melakukan

tindakan yang diperlukan untuk mengatasi situasi. Tahap kedua disebut

fase penolakan (fase resistance). Pada tahap ini beberapa bagian organ

tubuh tertentu yang dibutuhkan mulai diaktifkan untuk menghadapi

penyebab stres, baik untuk melawan atau menarik diri. Besarnya

penolakan terhadap suatu sumber dengan sumber stres yang lain yang

tidak saling berhubungan tidak sama. Ini sebabnya individu yang

mengalami ketegangan emosional menjadi lemah terhadap penyakit fisik

atau gangguan lain. Jika ketegangan yang harus dihadapi sangat besar atau

terus menerus, maka terjadi kelelahan/ kepayahan (exhaustion). Pada fase

(29)

surut dan melemah karena tubuh tidak sempat memperbaiki kondisinya.

Ketika individu berhadapan dengan stimulus yang menekan, maka ia akan

merespon dengan ketiga fase tersebut.

3. Pendekatan Transaksional

Stres merupakan suatu prose interaksi antara faktor-faktor lingkungan dan

Individu. Individupun mampu mempengaruhi lingkungan dan

mengendalikan tingkat stres yang ditimbulkan. Interaksi antara individu

dan lingkungan yang saling berpengaruhi disebut sebagai hubungan

transaksional (Smet, 1994:111).

Pendekatan transaksional memberikan suatu pandangan yang lebih

komprehensif tentang stres. Menurut model ini, kemampuan individu

dalam mengatasi masalah tergantung pada cara ia menginterpretasikan

atau mengukur hubungannya dengan kejadian lingkungan. Akibatnya

individu dianggap sebagai insan aktif yang memiliki kemampuan untuk

menginterpretasikan situasi lingkungan yang dihadapinya. Hal ini

memiliki konsekuensi yang penting pada seseorang dalam mengurangi

atau menghindari pengalaman yang penuh stres.

Interaksi lingkungan dan individu memunculkan dinamika psikologis yang

khas. Ada proses internal individual yang mempengaruhi persepsi

seseorang terhadap kondisi stres. Individu bisa saja memberikan reaksi

stres yang berbeda terhadap ancaman atau stresor yang sama. Ini

tergantung pada penilaian kognitif personal terhadap suatu stimulus yang

(30)

menerangkan mengapa kondisi tertentu menyebabkan stres pada suatu

individu, namun tidak pada individu lain.

Peneliti lain Ivancevich dan Matteson (1980:8-9) mendefinisikan stres

sebagai suatu respon yang adaptif, dihubungkan oleh karakteristik dan/atau proses

psikologis individu, yang merupakan suatu konsekuensi dari setiap tindakan

eksternal, situasi, atau peristiwa yang menempatkan tuntutan psikologis dan fisik.

Dari uraian diatas dapatlah ditarik sebuah kesimpulan bahwa stres

merupakan tekanan yang mempengaruhi emosi, proses berfikir dan kondisi

sesorang.

B. Faktor-Faktor Penyebab Stres

Semua manusia mengalami stres dari hari ke hari. Walaupun stres

disebabkan oleh banyak faktor, para peneliti menyimpulkan bahwa stres dapat

memicu dari dua reaksi yang mendasar: memerangi secara aktif atau melarikan

diri secara pasif (lari menjauh atau menerimanya), yang disebut respon

memerangi atau melarikan diri. Secara fisiologis, respon stres ini merupakan suatu

”penyampaian pesan” biokimiawi yang melibatkan perubahan-perubahan

hormonal yang memobilisasi tubuh terhadap tututan yang luar biasa.

Secara umum faktor utama yang berkaitan langsung dengan stres adalah

lingkungan dan perubahan dalam diri individu itu sendiri (Anoraga dan Suyati,

1995:156). Perubahan lingkungan yang sangat pesat dan ganas membuat sesorang

(31)

tersebut. Maka hal ini harus di tanggulangi, jika tidak sesorang akan mengalami

stres.

Taylor (1995: 237), mengelompokkan faktor penyebab stres, antara lain:

1. Faktor Biologis

Faktor biologis yaitu faktor penyebab stres yang berasal dari keadaan

fisiologis individu, meliputi gangguan fisik maupun organ tubuh individu,

misalnya terkena penyakit, kurang gizi, kelelahan dan cacat tubuh.

2. Faktor Psikologis

Faktor psikologis yaitu faktor penyebab stres yang berhubungan dengan

keadaan psikis individu yang secara psikis memiliki hambatan. Misalnya

pola pikir yang irasional, cenderung mudah mengalami stres dibandingkan

dengan individu yang dengan pola pikir rasional.

3. Faktor Sosial

Faktor sosial yaitu faktor penyebab stres yang berhubungan dengan

keadaan lingkungan, seperti kepadatan, kebisingan dan tekanan ekonomi.

Sedangkan Handoko (dalam Martoyo, 2000:147), membedakan dua

kategori penyebab stres, yakni:

1. On The Job Stress, adalah penyebab stres yang terjadi didalam organisasi,

antara lain: beban kerja yang berlebihan, tekanan/desakan waktu, kualitas

supervisi, iklim politis yang tidak aman, umpan balik tentang pelaksanaan

kerja yang tidak memadai, wewenang yang tidak mencukupi dalam

(32)

pribadi dan antar kelompok, perbedaan antara nilai-nilai organisasi dan

karyawan serta berbagai bentuk perubahan.

2. Off The Job Stress, adalah penyebab stres yang terjadi di luar organisasi

yang berpengaruh pada diri karyawan, antara lain: kekuatan finansial,

masalah-masalah yang bersangkutan dengan anak, masalah-masalah fisik,

masalah perkawinan, perubahan-perubahan yang terjadi di tempat tinggal

serta masalah-masalah pribadi lainnya.

C. Pengertian Stres Kerja

Dalam kehidupan manusia, selalu mengadakan bermacam-macam aktivitas

yang salah satu aktivitas itu diwujudkan dalam gerakan-gerakan yang dinamakan

bekerja. Bekerja mengandung arti melakukan tugas yang diakhiri dengan buah

karya yang dapat dinikmati oleh manusia. Faktor pendorong yang meyebabkan

manusia bekerja adalah adanya berbagai kebutuhan yang harus dipenuhi.

Aktivitas dalam bekerja mengandung unsur kegiatan sosial, menghasilkan sesuatu

dan pada akhirnya bertujuan untuk memenuhi kebutuhannya.

Didalam aktivitas manusia khususnya bekerja, tidak dapat dipungkiri

bahwa terdapat ketegangan-ketegangan yang dapat berpotensi menjadi sumber

stres. Hal-hal yang dapat menjadi sumber stres atau penyebab stres pada diri

seseorang disebut dengan stresor.

Di dalam suatu industri, misalnya perusahaan dapat merupakan tekanan

bagi sesorang bila keadaan menuntut dirinya untuk bertindak berlawanan dengan

(33)

untuk menyesuaikan diri dengan pekerjaan dan situasi kerja, sistem manajemen

yang tidak sesuai, perebutan kedudukan, persaingan yang semakin ketat untuk

memperoleh kemajuan, anggaran yang terbatas dapat menjurus ke stres dalam

bekerja. Stres yang dirasakan menggambarkan persepsi keseluruhan seorang

individu mengenai bagaimana berbagai stresor mempengaruhi kehidupannya.

Persepsi terhadap stresor ini merupakan suatu komponen yang penting dalam

proses stres karena tanggapan setiap orang terhadap stresor yang sama berlainan.

Sebagai contoh, beberapa orang merasakan penganguran sebagi pengalaman

pembebasan yang positif, sedangkan orang lain merasakannya sebagai suatu

pengalaman melemahkan yang negatif (Hanisch, 1998:188-220).

Stres yang dialami karyawan dan kepuasan kerja yang didambakan adalah

dua kondisi yang bukan saja berkaitan, tetapi juga sekaligus antagonis. Karena

memang terjadi suatu interaksi kompleks antara stres manusia, pekerjaan dan

kepuasan.

Stres adalah fenomena psikologis manusia yang tidak dapat terpisahkan

dari kehidupan manusia dan mempunyai dampak tertentu terhadap kondisi fisik

manusia tersebut. Perhatian terhadap stres harus dibedakan atas jenisnya antara

dampak stres sebagai“eustres” yakni stres yang berdampak positif atau stres yang

berdampak negatif (distress). Distres adalah stres yang menghasilkan dampak

yang merugikan bagi manusia, baik secara fisik (kesehatan tubuh), secara

psikologis (kesehatan jiwa), maupun secara sosial, karena pada dasarnya manusia

(34)

Secara umum orang berpendapat bahwa jika seseorang dihadapkan pada

tuntutan pekerjaan yang melampaui kemampuan individu tersebut maka dikatakan

bahwa individu tersebut mengalami stres. Gibson (dalam Handoyo, 2001:61-62),

mendefinisikan stres kerja sebagai suatu respon adaptif yang dipengaruhi oleh

karasteristik individu atau proses psikologis sebagai suatu konsekuensi dari

perilaku atau proses psikologis sebagai suatu konsekuensi dari perilaku atau

kejadian-kejadian lingkungan yang menimbulkan akibat-akibat khusus psikologis

maupun fisiologis terhadap perilaku.

Smither (1994:470), menjelaskan bahwa stres kerja merupakan respon

fisik atau psikologis karena adanya tuntutan terhadap individu. Respon fisik itu

meliputi hal-hal seperti detak jantung meningkat, tekanan darah naik, sakit

jantung, insomnia, kecemasan dan ketakutan. Sementara itu Robbins (1998:470),

mendefinisikan stres kerja sebagai suatu kondisi dinamis yang terjadi ketika

seseorang dihadapkan pada sebuah peluang, kendala, dan tuntutan yang tidak

seimbang dalam pekerjaan. Ketidakseimbangan tersebut mengakibatkan

munculnya ketidakpastian yang dirasakan seseorang dalam kehidupan kerjanya.

Ahli lain, Beehr dan Newman (dalam Luthan, 1995:297), mendefinisikan

stres kerja sebagai suatu respon individu dalam menyesuaikan diri terhadap situasi

eksternal yang menyebabkan penyimpangan secara fisik, psikis, dan perilaku

orang-orang yang berpartisipasi dalam suatu organisasi. Beehr juga

mendefinisikan stres kerja dengan empat pendekatan, yaitu pendekatan medis,

psikologis klinis, teknis dan psikologi organisasi. Secara medis, stres kerja dapat

(35)

fisiologis dalam bekerja, misalnya kebisingan(noise)dan suhu ruangan yang tidak

wajar. Pendekatan psikologis klinis memandang bahwa stres kerja muncul karena

adanya stresor psikologis sehingga mengakibatkan individu mengalami tekanan

psikologis dalam melakukan pekerjaan. Dilihat dari segi teknis, stres kerja adalah

suatu keadaan yang terjadi apabila individu berhadapan dengan keadaan

lingkungan teknis dalam organisasi yang menekan, misalnya peralatan yang tidak

menunjang, sehingga stresor yang muncul adalah stresor fisiologi yang dapat

mempengaruhi penampilan kerja. Pendekatan organisasional memandang bahwa

stres kerja adalah suatu kondisi yang terjadi karena adanya stresor psikologis yang

bersumber dari organisasi tempat kerja.

D. Faktor Penyebab Stres Kerja

Hampir dapat dipastikan bahwa dalam setiap kondisi pekerjaan akan

dijumpai berbagai faktor yang dapat memicu munculnya stres dalam bekerja.

Diantaranya kondisi-kondisi tersebut adalah sebagai berikut (Umar, 2001:231)

1. Beban kerja yang berlebihan

2. Tekanan atau desakan waktu

3. Kualitas supervisi yang jelek

4. Iklim politis yang tidak aman

5. Umpan balik tentang pelaksanaan pekerjaan yang tidak memadai

6. Wewenang yang tidak mencukupi untuk melaksanakan tanggungjawab

7. Kemenduaan peran (role ambiguity)

(36)

9. Konflik antar pribadi dan antar kelompok

10. Perbedaan antara nilai-nilai perusahan dan karyawan

11. Berbagai bentuk perubahan kebijaksanaan

Cooper (dalam Krispramudyani, 2004:16-17), berpendapat bahwa terdapat lima

sumber stres kerja, yaitu:

1. Kondisi Kerja

Meliputi beban kerja yang berlebihan (work overload) atau beban kerja

yang kurang (work underload), kondisi demikian tidak mampu

membangkitkan semangat kerja. Selain itu adapula kondisi fisik pekerjaan

yang membahayakan (seperti tim SAR, polisi, tentara, penjinak bom),

pembagian waktu kerja (pekerjaan yang memiliki pembagian jam kerja

terkadang menggangu ritme hidup sehari-hari), stres dengan adanya

kemajuan teknologi.

2. Ambiguitas Peran

Kelompok pekerja wanita sering menghadapi situasi seperti ini, terutama

bagi mereka yang telah menikah. Wanita bekerja menghadapi dua peran

sekaligus, sebagai ibu rumah tangga dan sebagai pekerja. Selain itu

ambiguitas dalam menempatkan peran biasanya terjadi pada organisasi

yang besar dan struktur organisasi yang kurang baik.

3. Faktor interpersonal

Hubungan interpersonal dalam bekerja merupakan faktor penting untuk

(37)

sangat diperlukan oleh pekerja agar selalu tercipta hubungan yang

harmonis.

4. Perkembangan Karir

Tiap individu yang bekerja biasanya mempunyai berbagai harapan dalam

kehidupan karir kerjanya, yang ditujukan pada pencapaian prestasi dan

pemenuhan kebutuhan untuk mengaktualisasi diri. Bilamana pihak

perusahaan tidak dapat memenuhi kebutuhan berkarir karyawan maka

tumbuh perasaan ketidakpastian dalam diri pekerja sehingga menimbulkan

gejala perilaku stres.

5. Struktur Organisasi

Struktur organisasi yang diperlakukan secara kaku, pihak manajemen

kurang mempedulikan inisiatif karyawan, tidak melibatkan karyawan

dalam proses pengambilan keputusan akan berpotensi menimbulkan stres.

Sementara itu Gibson, Ivancevich dan Donnelly (1989:214-217), mengatakan

bahwa stres kerja pada tingkat individu berkaitan erat dengan tuntutan peran yang

diemban individu tersebut. Mereka membagi Stressor Individu atas tiga jenis,

yakni:

1. Konflik peranan(role conflict)

Konflik peranan (role conflict) adalah stressor individu yang paling

banyak diteliti secara luas. Konflik peranan terjadi bilamana penyesuaian

terhadap seperangkat harapan tentang pekerjaan bertentangan dengan

penyesuaian terhadap seperangkat harapan yang lain. Segi-segi konflik

(38)

dari seorang penyelia (supervisor) tentang pekerjaan, dan mendapat

tekanan agar bekerjasama dengan orang yang dirasa tidak bisa cocok. Ahli

lain, Schein dalam Kreitner dan Kinichi (2005:70-71), mengatakan bahwa

konflik peran dialami ketika anggota yang berbeda dari sekumpulan peran

mengharapkan hal yang berbeda dari orang yang vokal. Para manajer

seringkali menghadapi tuntutan peran yang bertentangan antara pekerjaan

dan keluarga misalnya. Wanita mengalami konflik peranan yang lebih

besar antara pekerjaan dan keluarga daripada pria karena wanita terus

mengerjakan mayoritas kewajiban rumah tangga dan tanggungjawab

mengasuh anak. Para karyawan yang hidup sendirian memiliki versi

konflik peranannya sendiri yaitu antara pekerjaan dan minat luarnya.

Konflik peran dapat juga terjadi ketika internalisasi nilai, etika, atau

standar pribadi bertabrakan dengan harapan orang lain. Tanpa

memperhatikan apakah konflik peranan disebabkan oleh kebijakan

organisasi atau dari orang lain, konflik tersebut dapat menjadi penekan

(stressor) yang penting bagi sebagian orang. Khan et al. (1964:94),

melaporkan hasil suatu survei wawancara dari percontohan (sampel)

nasional tentang upah dan gaji karyawan pria, bahwa 48 persen dari

peserta survei mengalami konflik peranan. Sangat menarik dicatat, bahwa

para peneliti juga menemukan bahwa semakin besar kekuasaan atau

wewang dari orang yang mengirimkan pesan konflik peran, semakin besar

(39)

2. Ambiguitas peranan(role ambiquity)

Agar karyawan dapat melaksanakan pekerjaan mereka dengan baik, para

karyawan memerlukan keterangan tertentu yang menyangkut hal-hal yang

diharapkan untuk mereka lakukan dan hal-hal yang tidak harus mereka

lakukan. Karyawan perlu mengetahui hak-hak, hak-hak istimewa, dan

kewajiban-kewajiban mereka. Lebih lanjut mereka mendefinisikan

ambiguitas peranan sebagai kondisi kurangnya pemahaman atas hak-hak,

hak-hak istimewa, dan kewajiban yang dimiliki seseorang untuk

melaksanakan pekerjaannya. Sedangkan menurut Seniati (2002) role

ambiguty adalah tingkat ambiguitas terhadap tuntutan, kriteria dan peran

yang berkaitan dengan tugas-tugas lain. Lebih lanjut Seniati mengatakan

bahwa role ambiguty akan timbul apabila pemegang peran merasa tidak

yakin mengenai kemungkinan evalusi yang diberikan dan sadar akan

adanya ketidak pastian itu. Schein (dalam Kreitner dan Kinichi 2005:72),

berpendapat bahwa ambiguitas peran, terjadi jika anggota dari sekumpulan

peran gagal untuk mengkomunikasikan kepada orang yang vokal

pengharapan yang mereka miliki atau informasi yang dibutuhkan untuk

menjalankan peran, karena mereka tidak memiliki informasi atau karena

mereka secara sengaja menahannya. Singkatnya, seseorang mengalami

ambiguitas peranan ketika mereka tidak tahu apa yang diharapkan dari

mereka. Para pendatang baru organisasional sering mengeluhkan deskripsi

pekerjaan dan kriteria promosi mereka yang tidak jelas. Menurut teori

(40)

ketidakpuasan kerja, mengikis rasa percaya diri, dan menghambat kinerja

pekerjaan.

3. Beban peran berlebihan(work overload)

Pada suatu ketika beban peran yang berlebihan tersebut mungkin terdiri

atas dua jenis yang berbeda yakni kuantitatif atau kualitatif. Terlalu

banyak melakukan sesuatu atau tidak cukup waktu untuk menyelesaikan

suatu pekerjaan adalah beban berlebihan kuantitatif (quantitative

overload). Di pihak lain, beban berlebihan kualitatif (qualitative overload)

terjadi jika individu merasa bahwa ia kurang memiliki kemampuan untuk

menyelesaikan pekerjaan atau standar prestasi terlalu tinggi. Schein (dalam

Kreitner dan Kinichi 2005:70) mengatakan bahwa beban peran berlebihan

terjadi ketika jumlah total yang diharapkan oleh para pengirim pesan

kepada orang yang vokal jauh melampaui apa yang mampu ia kerjakan.

Jika individu mencoba untuk bekerja semakin berat namun waktu

semakin sedikit, maka perasaan tertekan naik dan efektivitas pribadi

menurun. Sedangkan menurut Sutton (1984:7-28), role overload terjadi

jika tuntutan beragam yang diberikan kepada karyawan melebihi sumber

daya yang dimilikinya, baik secara kuantitatif maupun kualitatif.

Qualitative overload yang dimaksud adalah suatu situasi yang dirasakan

dimana pekerjaan yang diminta terlalu sulit untuk dapat diselesaikan,

sedangkan quantitative overloadadalah jika pekerjaan yang diberikan

terlalu banyak atau karyawan tidak mempunyai cukup waktu untuk

(41)

kondisi dimana seorang karyawan memiliki terlalu banyak pekerjaan yang

harus diselesaikan dalam satu waktu (Beehr, walsh dan Taber,

1976:41-47).

E. Dampak Stres Kerja

Para ahli teori menyatakan bahwa stres memiliki konsekuensi atau hasil

psikologis yang berkaitan dengan sikap, keprilakuan, kognitif, dan kesehatan fisik.

Stres berkaitan dengan secara negatif dengan kepuasan kerja, komitmen

organisasi, emosi positif, dan kinerja dan berhubungan secara positif dengan

tingkat perputaran yang disebabkan oleh kepenatan (Grandey dan Cropanzano,

1999:350-370). Peneliti juga memberikan banyak bukti yang mendukung

kesimpulan bahwa stres mempengaruhi kesehatan fisik secara negatif. Stres

memberikan kontribusi pada persoalan kesehatan berikut ini: kemampuan yang

menurun untuk menangkal penyakit dan infeksi, tekanan darah tinggi, penyakit

arteri koroner, sakit kepala karena tegang, nyeri punggung, diare dan sembelit

(DeFrank dan Ivancevich, 1998:55-66).

Cox dalam Gibson, Ivancevich dan Donnelly (1989:206-208)

mengidentifikasikan lima jenis konsekuensi dampak dari stres kerja yang

potensial. Kategori yang disusun Cox meliputi:

1. Dampak subjektif: Meliputi kecemasan, agresi, acuh, kebosanan, depresi,

keletihan, frustasi, kehilangan kesabaran, rendah diri, gugup, merasa

(42)

2. Dampak perilaku (behavioral effects): Kecenderungan mendapat

kecelakaan, alkoholik, penyalahgunaan obat-obatan, emosi yang tiba-tiba

meledak, makan berlebihan, merokok berlebihan, perilaku yang mengikuti

kata hati, ketawa gugup.

3. Dampak kognitif: Ketidakmampuan mengambil keputusan yang jelas,

konsentrasi yang buruk, rentang perhatian yang pendek, sangat peka

terhadap kritik, rintangan mental.

4. Dampak fisiologis: Meningkatnya kadar gula, meningkatnya denyut

jantung dan tekanan darah, kekeringan di mulut, berkeringat,

membesarnya pupil mata, tubuh panas dingin.

5. Dampak organisasi: Keabsenan, pergantian karyawan, rendahnya

produktivitas, keterasingan diri dari rekan kerja, ketidakpuasan kerja,

menurunnya keikatan dan kesetiaan terhadap organisasi.

Muchlas (dalam Sekarwulan, 2005:16) mengatakan bahwa stres kerja

dapat menimbulkan perilaku yang berupa perubahan dalam kepuasan kerja, tidak

masuk kerja, keluar dari pekerjaannya, perubahan dalam kebiasaan makan,

banyak merokok, mengkonsumsi alkohol dan gangguan tidur. Hubungan antara

variabel stres kerja dengan kepuasan kerja merupakan hubungan negatif. Semakin

tinggi tingkat stres karyawan maka kepuasan kerja karyawan akan semakin rendah

yang dapat mengakibatkan turunnya produktivitas kerja karyawan, sehingga stres

di kalangan karyawan harus harus ditekan agar karyawan dapat mencapai

kepuasan dalam bekerja sehingga dapat lebih produktif dengan demikian

(43)

turunnya kepuasan maka dapat menurunkan semangat dan kegairahan kerja dari

para karyawan yang dapat mengakibatkan kerugian bagi perusahaan.

Beberapa indikasi turunnya semangat kerja akibat stres kerja menurut

Nitisemito (1982:161) sebagai berikut:

1. Turunnya atau rendahnya produktivitas kerja

2. Tingkat absensi yang naik atau tinggi

3. Labour turn-over(tingkat perpindahan buruh yang tinggi)

4. Tingkat kerusakan yang tinggi

5. Kegelisahan dimana-mana

6. Tuntuan yang sering kali terjadi

7. Pemogokan

F. Reaksi Terhadap Stres

Orang tidak mengalami tingkat stres yang sama atau menunjukkan hasil

yang serupa untuk suatu jenis stresor tertentu. Sebagai contoh, jenis stresor yang

dialami di tempat kerja bervariasi menurut pekerjaan dan jenis kelamin: stresor

untuk pengendalian yang rendah adalah lebih tinggi pada pekerjaan yang klerikal

tingkat rendah dari pada pekerjaan profesional, dan konflik antar pribadi

merupakan suatu sumber stres yang lebih besar bagi kaum wanita dari pada kaum

pria (Narayana, Menon dan Spector, 1999:63-73).

Handoko (2001:203), membedakan dua tipe orang berdasarkan reaksi

(44)

1. Tipe A

Orang-orang tipe A adalah mereka yang agresif dan kompetitif,

menetapkan standar-standar tinggi dan meletakkan diri mereka di bawah

tekanan waktu yang konstan.

2. Tipe B

Orang-orang tipe B adalah lebih rileks dan suka menghadapi masalah.

Mereka menerima situasi-situasi yang ada dan bekerja di dalamnya, serta

tidak senang bersaing.

G. Pengertian Kepuasan Kerja

Studi mengenai kepuasan kerja dewasa ini menjadi perhatian yang serius

bagi manajer perusahaan, karena berkaitan erat dengan tenaga kerja berkaitan erat

dengan tenaga kerja, produktivitas kerja dan kelangsungan hidup perusahaan yang

bersangkutan. Meskipun hanya merupakan salah satu faktor dari banyak faktor

pengaruh lainnya, kepuasan kerja mempengaruhi tingkat perputaran karyawan dan

absensi. Perusahaan bisa mengharapkan bahwa bila kepuasan kerja meningkat,

perputaran karyawan dan absensi akan menurun, atau sebaliknya kepuasan kerja

yang rendah biasanya akan mengakibatkan perputaran karyawan yang lebih tinggi.

Mereka lebih mudah meninggalkan perusahaan dan mencari kesempatan di

perusahaan yang lain. Hubungan tersebut juga berlaku untuk absensi. Para

karyawan yang kurang mendapatkan kepuasan kerja cenderung lebih sering absen.

Mereka sering tidak merencanakan untuk absensi, tetapi bila ada alasan untuk

(45)

Pada dasarnya kepuasan kerja bersifat berbeda sesuai dengan sistem yang

berlaku pada masing-masing individu, semakin banyak aspek-aspek yang sesuai

dengan keinginan individu tersebut maka semakin tinggi tingkat kepuasan yang

dirasakan.

Handoko (2001:194), mendefinisikan kepuasan kerja sebagai keadaan

emosional yang menyenangkan atau tidak menyenangkan dengan mana karyawan

memandang pekerjaan mereka. Kepuasan kerja mencerminkan perasaan seseorang

terhadap pekerjaannya. Ini nampak dalam sikap positif karyawan terhadap

pekerjaan dan segala sesuatu yang dihadapi di lingkungan kerjanya. Martoyo

(2000:142), mengatakan bahwa kepuasan kerja adalah sebagai keadaan emosional

karyawan dimana terjadi atau tidak terjadi titik temu antara nilai balas jasa

karyawan dari perusahaan dengan tingkat nilai balas jasa yang memang

diinginkan oleh karyawan yang bersangkutan. Sedangkan Keith Davis (dalam

Mangkunegara, 2000:117) mengemukakan kepuasan kerja adalah perasaan

menyokong atau tidak menyokong yang dialami pegawai dalam bekerja. Pendapat

lain dari Wekley dan Yuki (dalam Mangkunegara, 2000:117) tentang kepuasan

kerja adalah sebagai cara pegawai merasakan dirinya atas pekerjaan mereka.

Blum (dalam As’ad, 1999:104) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai

suatu sikap umum hasil dari sifat khusus individu terhadap faktor kerja,

karateristik individu dan hubungan sosial individu diluar pekerjaan.

Berikut ini beberapa definisi kepuasan kerja (job satisfaction) yang

(46)

1. Menurut Locke (dalam Luthan, 1995:114)

Ia memberikan definisi bahwa kepuasan kerja adalah suatu ungkapan

emosi yang bersifat positif atau menyenangkan sebagai hasil dari penilaian

terhadap suatau pekerjaan atau pengalaman.

2. Menurut Hasibuan (2000:199)

Kepuasan kerja adalah sikap emosional yang menyenangkan dan

mencintai pekerjaan.

3. Menurut Robbins (2002:36)

Kepuasan kerja merupakan sikap individu secara umum terhadap

pekerjaanya. Seseorang dengan tingkat kepuasan kerja yang tinggi

mempunyai sikap positif terhadap pekerjaannya; seseorang tidak puas

dengan pekerjaannya mempunyai sikap negatif terhadap pekerjaannya.

4. Menurut Wood,et.al. (1998: 146)

Kepuasan kerja mengacu pada sikap umum individu terhadap pekerjaan

mereka.

5. Menurut While dan Stoner (dalam Sirait, 1996:84)

Mendefinisikan kepuasan kerja sebagai faktor-faktor di dalam individu

yang mengakibatkan bertidak dengan cara tertentu.

H. Dimensi Dalam Kepuasan Kerja

Luthan (1995:114), mengemukakan bahwa terdapat lima dimensi dalam

(47)

1. Kepuasan pada pekerjaan itu sendiri(satisfaction with work it self).

Pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang karyawan dapat menghasilkan

kepuasan kerja, motivasi internal, prestasi kerja yang tinggi, tingkat

kemangkiran yang rendah dan tingkat labour turn over yang rendah. Hal

ini bisa dicapai apabila:

a. Pekerjaan itu dapat dipahami sebagai sesuatu yang berarti, bermanfaat

atau penting.

b. Pekerja menyadari bahwa dirinya bertanggungjawab atas hasil

pekerjaan itu sendiri secara pribadi.

c. Pekerja dapat memastikan dengan cara yang teratur dan terandalkan

mengenai hasil usahanya, apa saja yang telah dicapai dan memuaskan

atau tidak.

2. Kepuasan pada Pembayaran

Kepuasan pada pembayaran merupakan hal yang bersifat multi

dimensional. Hal ini berarti bahwa kepuasan bukan hanya terletak pada

gaji atau upah semata, namun karyawan lebih melihat hal itu sebagai suatu

refleksi dari pihak perusahaan atas kontribusi yang mereka berikan

(Luthan, 1995:121), sehingga dapat disimpulkan bahwa kepuasan pada

pembayaran dapat dilihat dari:

a. Kepuasan terhadap administrasi dan kebijakan perusahaan.

b. Kepuasan terhadap berbagai jenis tunjangan yang ada.

c. Kepuasan terhadap gaji atau upah.

(48)

3. Kepuasan pada Promosi

Kesempatan untuk dipromosikan merupakan hal yang dapat memberikan

kepuasan pada karyawan. Kesempatan ini merupakan bentuk imbalan yang

bentuknya berbeda dengan imbalan yang lain. Promosi bisa dilakukan

berdasarkan senioritas karyawan ataupun berdasarkan kinerja.

Luthan menambahkan bahwa keinginan untuk dipromosikan sangat terkait

dengan keinginan untuk meningkatkan status sosial, dan menambah

pendapatan.

4. Kepuasan pada Supervisi

Supervisi merupakan salah satu hal yang cukup penting sebagai sumber

kepuasan kerja. kepuasan terhadap supervisi sangat berkaitan dengan gaya

kepemimpinan supervisi.

5. Kepuasan pada Rekan Kerja

Rekan kerja dapat menjadi sumber kepuasan bagi karyawan manakala

antar karyawan diberi kesempatan untuk berinteraksi satu sama lain.

Rekan kerja bisa menjadi sumber kepuasan yang paling kuat jika

anggotanya memiliki kemiripan dalam nilai-nilai dan perilaku. Nilai dari

suatu kelompok kerja berkaitan erat dengan kepuasan kerja. Bagi sebagian

besar karyawan bekerja juga memenuhi kebutuhan untuk berinteraksi

sosial. Oleh sebab itu, tidak mengherankan bila memiliki rekan kerja yang

ramah akan mendukung kepuasan kerja (Robbins, 2002:36).

Peneliti lain, Wood et al. (1998:147), menyimpulkan bahwa dimensi dari

(49)

minat, keanekaragaman, peluang belajar, tingkat kesulitan, jumlah kerja,

kesempatan berhasil, dan pengendalian atas langkah dan metode. Kedua, upah:

sejumlah keadilan atau kesamaan dalam sistem penggajian, dan metode dari

pengupahan/penggajian. Ketiga, promosi: kesempatan promosi, keadilan,

pedoman promosi. Keempat, penghargaan: pujian atas prestasi, penghargaan atas

kerja yang dilakukan, dan kritik. Kelima, jaminan atas pensiun: kesehatan, cuti

tahunan, dan upah atas pekerjaan. Keenam, kondisi kerja: jumlah jam kerja, waktu

istirahat, perlengkapan, temperatur, ventilasi, kelembapan, lokasi, dan tata letak

fisik. Ketujuh, supervisi: pengaruh dan gaya supervisi, teknik supervisi, hubungan

manusia, ketrampilan administrasi. Kedelapan, teman kerja: kompetensi, suka

menolong, dan keramahtamahan. Kesembilan, perusahaan dan manajemen: fokus

pada pekerja, dan berbagai kebijakan.

I. Teori Kepuasan Kerja

Teori kepuasan kerja yang dikemukakan oleh Ndraha (1999:149) adalah

sebagai berikut:

1. Teori Kesenjangan(Discrepancy Theory)

Teori ini menjelaskan bahwa kepuasan tergantung pada perbedaan antara

outcome yaitu reward yang diterima oleh seseorang dengan reward yang

diterima oleh orang lain untuk pekerja yang setingkat. Semakin besar

(50)

2. Teori Keadilan

Teori ini menjelaskan bahwa kepuasan bergantung pada rasa adil.

Sementara rasa adil bergantung pada persepsi sesorang terhadap

keseimbangan antara input (effort, jerih payah) dengan outcome (reward,

imbalan) yang diterimanya. Semakin seimbang antara input dengan

outcome, semakin terasa adil persepsi seseorang terhadap kepuasan

kerjanya.

J. Pengertian Komitmen Organisasi

Komitmen dipandang sebagai suatu orientasi nilai terhadap suatu

organisasi yang menunjukkan individu sangat memikirkan dan mengutamakan

pekerjaan dan organisasinya. Individu akan berusaha memberikan segala usaha

yang dimilikinya dalam rangka membantu organisasi mencapai tujuannya.

Konsep komitmen organisasi mulai dikenal lebih kurang 25 tahun yang

lalu oleh Modway, Steers dan Porter (1979:224-247). Konsep ini sekarang

berkembang dan popular dalam literatur psikologi industri, keperilakuan

organisasi, maupun keperilakuan akuntansi. Karyawan atau manajer yang

memiliki komitmen organisasi adalah mereka yang mau bekerja keras, tetap

bergabung dalam organisasi, dan memberikan kontribusi terhadap efektivitas

kinerja organisasi. Komitmen organsiasi mempunyai implikasi tidak hanya pada

para karyawan, manajer, dan organisasi, namun juga bagi masyarakat secara

keseluruhan. Masyarakat dapat memperoleh manfaat dari komitmen organisasi

(51)

Komitmen Organisasi (organizational commitment) adalah bentuk

keterikatan individu dengan organisasi (Mathieu dan Zajac, 1990:171-194)

sehingga individu tersebut “merasa memiliki” organisasinya.

Porter et al. (dalam Setiawan dan Ghozali, 2005:39-44), mendefinisikan

komitmen organisasi sebagai suatu kekuatan relatif individual terhadap suatu

organisasi dan keterlibatannya dalam organisasi tertentu, yang dicirikan oleh tiga

faktor psikologis:

1. Keinginan yang kuat untuk tetap menjadi anggota organisasi tertentu.

2. Keinginan untuk berusaha sekuat tenaga demi organisasi.

3. Kepercayaan yang pasti dan penerimaan terhadap nilai-nilai dan tujuan

organisasi.

Jadi, komitmen meliputi hubungan yang aktif antara karyawan dengan

organisasi dimana karyawan tersebut bersedia memberikan sesuatu atas kemauan

sendiri agar dapat menyokong tercapainya tujuan organisasi secara keseluruhan,

bukan hanya aspek pekerjaan saja. Komitmen pada organisasi adalah bentuk

keterikatan, keterlibatan, dan keikatan karyawan pada apa yang dirasakan dan

dialami dalam organisasi.

Robbins dalam pengembangan kualitas SDM dari perspektif PIO (2001:

456) mengatakan bahwa komitmen karyawan pada organisasi merupakan salah

satu sikap yang merefleksikan perasaan suka atau tidak suka dari seorang

karyawan terhadap organisasi tempat ia bekerja. Dijelaskan pula, bahwa

komitmen karyawan pada organisasi sebagai suatu orientasi individu terhadap

(52)

Robbins (2002:36) komitmen karyawan pada organisasi mendefinisikan hubungan

(aktif) antara individu dan organisasinya. Orientasi hubungan tersebut

mengakibatkan individu (pekerja) atas kehendak sendiri bersedia memberikan

sesuatu, dan sesuatu yang diberikan itu demi merefleksikan dukungannya bagi

tercapainya tujuan organisasi.

Komitmen organisasional ditunjukkan dalam sikap penerimaan, keyakinan

yang kuat terhadap nilai-nilai dan tujuan sebuah organisasi, begitu juga adanya

dorongan yang kuat untuk mempertahankan keanggotaannya dalam suatu

organisasi demi tercapainya tujuan organisasi. Steer (dalam Dessler,

1992:319-321) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai kekuatan relatif dari suatu sifat

seseorang dengan dan keterlibatannya dalam organisasi tertentu, dimana hal

tersebut mempunyai tiga faktor seperti:

1. Kepercayaan dan penerimaan terhadap nilai serta tujuan organisasi.

2. Kesadaran dalam mengarahkan usahanya terhadap organisasi.

3. Keinginan kuat untuk menjadi anggota organisasi.

Sama dengan Steers, Buchanan (dalam Dessler, 1992:319), mengatakan

bahwa komitmen organisasi mengandung tiga tindakan yang saling terpisah

namun saling berkaitan:

1. Pengenalan terhadap misi organisasi.

2. Rasa keterlibatan atau keikutsertaan psikologis dalam tugas organisasi.

3. Rasa setia dan cinta terhadap organisasi sebagai tempat untuk hidup dan

bekerja secara terpisah dengan misi atau nilai instrumental terhadap diri

(53)

Secara singkat pada intinya beberapa definisi komitmen organisasi dari

beberapa ahli diatas mempunyai penekanan yang hampir sama yaitu proses pada

individu (pegawai) dalam mengidentifikasikan dirinya dengan nilai-nilai,

aturan-aturan, dan tujuan organisasi. Disamping itu, komitmen organisasi mengandung

pengertian sebagai sesuatu hal yang lebih dari sekedar kesetiaan yang pasif

terhadap organisasi, dengan kata lain komitmen organisasi menyiratkan hubungan

karyawan dengan perusahaan atau organisasi secara aktif. Karena karyawan yang

menunjukkan komitmen tinggi memiliki keinginan untuk memberikan tenaga dan

tanggung jawab yang lebih dalam menyokong kesejahteraan dan keberhasilan

organisasi tempatnya bekerja

K. Faktor-Faktor Penyebab Komitmen Organisasi

Faktor komitmen dalam organisasi menjadi satu hal yang dipandang

penting karena anggota yang memiliki komitmen yang tinggi terhadap organisasi

akan memiliki sikap yang profesional dan menjunjung nilai-nilai yang telah

disepakati dalam sebuah organisasi. Tetrick (dalam Supriyati 2003)

mengemukakan bahwa komitmen yang kuat terhadap organisasi dapat diciptakan

dengan bantuan memberikan penjelasan tentang segala sesuatu yang telah

ditargetkan oleh organisasi yang meliputi sistem kerja dan jenjang karir serta

pendidikan bagi karyawan.

Hrebeniak dan Alutto (1972:555-572) berpendapat bahwa seorang pekerja

memiliki komitmen terhadap organisasi dilatarbelakangi oleh faktor-faktor

(54)

1. Ciri pribadi pekerja, termasuk juga jabatannya dalam organisasi dan

variasi kekuatan kebutuhannya seperti kebutuhan untuk berprestasi,

imbalan, dan lingkungan kerja.

2. Ciri pekerjaan, seperti identitas tugas, kesempatan berinteraksi, bekerja

sesuai dengan kemampuan.

3. Kemampuan bekerja, seperti keterandalan organisasi, peran pentingnya

arti diri seseorang bagi organisasi, cara pekerja-pekerja lainnya

memperbincangkan dan mengutarakan perasaan mereka bagi organisasi.

Dengan demikian, pemimipin dapat meningkatkan komitmen karyawan,

misalnya dengan cara harus dibujuk agar tetap tinggal bersama organisasi. Hal ini

mungkin dilakukan dengan menawarkan serangkaian imbalan yang berlaku di

seluruh organisasi bagi para anggotanya, seperti tingkat gaji yang lebih tinggi,

fasilitas tambahan yang lebih baik, kesempatan bagi pertumbuhan, kemajuan

pribadi melalui program pelatihan, dan sebagainya. Tindakan seperti ini membuat

organisasi lebih menarik dibandingkan organisasi lain.

Disisi lain, penting juga bahwa para karyawan mengerti dan

mengidentifikasikan diri dengan sasaran dan tujuan organisasi. Dengan kata lain,

perlu diciptakan suasana saling percaya dan saling mendukung diantara para

karyawan dan pemimpin, sehingga masing-masing menyumbang sesuatu bagi

tercapainya tujuan pihak lain dan keinginan karyawan.

Tinggi rendahnya komitmen karyawan terhadap organisasi menurut

Dessler (dalam Wea, 2005:19-20) dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya

(55)

1. Nilai-nilai kemanusiaan

Dasar utama membangun komitmen karyawan adalah kesungguhan dari

perusahaan untuk memprioritaskan nilai-nilai kemanusiaan. Perusahaan

berasumsi bahwa karyawan merupakan aset yang paling penting sehingga

kesejahteraan karyawan penting untuk diperhatikan.

2. Komunikasi dua arah yang komprehensif

Komitmen yang dibangun atas dasar kepercayaan untuk menghasilkan

suatu bentuk rasa saling percaya maka diperlukan komunikasi dua arah.

3. Rasa kebersamaan dan keakraban

Faktor ini menciptakan rasa senasib sepenanggungan yang pada tahap

selanjutnya memberikan kontribusi pada komitmen terhadap perusahaan

atau organisasi.

4. Visi dan misi organisasi

Adanya visi dan misi yang jelas pada sebuah organisasi akan memudahkan

setiap karyawan dalam bekerja yang pada akhirnya dalam setiap aktivitas

kerja karyawan senantiasa bekerja berdasarkan apa yang menjadi tujuan

organisasi.

5. Nilai sebagai dasar perekrutan

Aspek ini penting untuk mengetahui kualitas dan nilai-nilai personal

karena dapat menjadi petunjuk kesesuaian antara nilai-nilai personal dan

nilai-nilai organisasi.

Selain faktor-faktor diatas, Porter dan Steers (1991:374), mengemukakan

(56)

1. Faktor eksternal

Faktor eksternal meliputi kewenangan (authority), pengaruh kelompok

kerja serta imbalan dan insentif eksternal. Tingkat kewenangan karyawan

akan mempengaruhi pada kemampuan untuk bekerja keras dalam

menyelesaikan tugas-tugasnya dan komitmen cenderung meningkat. Jika

karyawan tersebut memiliki tingkat kewenangan yang lebih besar dalam

kaitannya dengan peningkatan kepuasan kerja dan produktivitas kerja yang

akan berimplikasi pada peningkatan kadar komitmen kerja. Imbalan dan

insentif eksternal meliputi upah, gaji, dan bonus. Kebijakan-kebijakan

yang berhubungan dengan pengelolaan imbalan tersebut mempengaruhi

tingkat kepuasan karyawan yang selanjutnya mempengaruhi tingkat

komitmen.

2. Faktor Internal

Faktor internal meliputi harapan akan sukses dan imbalan internal yang

adil. Tingkat harapan akan keberhasilan atau kesuksesan, pada akhirnya

akan menentukan kadar komitmen karyawan. Sedangkan imbalan internal

meliputi kesempatan untuk berpartisipasi, mengembangkan diri dan

keleluasaan untuk menjalankan tugas serta adanya penghargaan atas

prestasi akan meningkatkan kadar komitmen.

3. Faktor Interaksi

Faktor interaksi meliputi partisipasi dan kompetisi. Partisipasi dapat

diartikan sebagai diberikannya kesempatan yang sama untuk duduk

(57)

meningkatkan rasa ikut memiliki karyawan pada perusahaannya.

Sedangkan suasana kompetisi dalam tubuh perusahaan diperkirakan juga

berpengaruh dalam mengembangkan komitmen.

L. Bentuk-Bentuk Komitmen Organisasi

Menurut Allen dan Mayer (dalam Luthan, 1995:149), terdapat tiga bentuk

komitmen terhadap organisasi, yaitu:

1. Komitmen Afektif(affecitve commitment)

Komitmen afektif terkait dengan adanya keterikatan emosional seseorang

pada suatu organisasi, dimana seseorang dengan komitmen afektif yang

tinggi mengidentifikasikan dirinya dengan organisasi, terlibat dalam

organisasi dan menikmati keanggotaannya didalam organisasi tersebut.

Komitmen afektif mengacu pada pendekatan affective attachment dari

Mowday et al. (dalam Allen dan Mayer 1991:61-89), dimana komitmen

afektif diartikan sebagai kekuatan relatif dari identifikasi dan keterlibatan

individu dalam organisasi tertentu. Karyawan yang memiliki komitmen

afektif yang tinggi akan tetap melanjutkan keanggotaannya dalam

organisasi karena memang ia menginginkannya (want to) dan senang

dengan keanggotaanya dalam organisasi. Lebih lanjut Mowday et al.,

menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi komitmen afektif

secara umum terbagi atas empat kategori yaitu karasteristik personal,

karasteristik struktur, karateristik pekerjaan yang bersangkutan, dan

(58)

2. Komitmen Kontinuan

Komitmen kontinuan terkait dengan pertimbangan untung rugi jika

karyawan meninggalkan organisasi. Komitmen ini merefleksikan besarnya

biaya yang harus ditanggung dan apa yang harus dikorbankan jika

meninggalkan organisasi, sehingga segala sesuatu yang dapat

meningkatkan biaya dapat dianggap sebagai faktor-faktor yang

berpengaruh terhadap komitmen kontinuan. Biaya yang timbul karena

meninggalkan organisasi cenderung agak berbeda bagi setiap individu.

Menurut Allen dan Mayer (1990:1-18) individu memutuskan menetap

pada suatu organisasi karena menganggap sebagai suatu pemenuhan

kebutuhan (need to). Biaya yang timbul karena meninggalkan organisasi

berbeda untuk tiap individu.

3. Komitmen Normatif

Berkaitan dengan adanya perasaan wajib pada diri karyawan untuk terus

bekerja dalam organisasi (Allen dan Mayer, 1991:61-89), sehingga

karyawan dengan tingkat komit

Gambar

Gambar II. 1
Tabel IV. 1
Tabel IV. 2
Tabel IV. 3
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan Peraturan Sekretaris Kabinet Nomor 1 Tahun 2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Kabinet sebagaimana telah diubah dengan Peraturan

Untuk menentukan ciri-ciri suatu bilangan yang habis dibagi dengan 9 atau tidak, kita misalkan bilangan itu adalah N = abcd.. Untuk bisa melihat bahwa angka-angka

170 Hal ini berbeda dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial Lingkungan yang klausulanya lebih menegaskan

Even among established Western democratic societies, there is considerable variation in the way programs of citizenship education work. There are many curriculum projects at the

Melihat masih tingginya kejadian kasus gizi kurang pada balita di wilayah kerja Puskesmas Batua Kota Makassar tahun 2010, maka disarankan bagi ibu sebagai pengatur

Data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan informasi bagi pihak terkait mengenai korelasi Body Mass Index (BMI) terhadap kadar glukosa darah puasa dan korelasi

Laporan keuangan konsolidasian PT Perkebunan Nusantara XIII dan entitas anaknya yang terdiri dari laporan posisi keuangan konsolidasian tanggal 31 Desember 2015,

Peningkatan penyediaan hijauan makanan ternak (HMT) berupa peningkatan produksi hijauan segar dan produksi bahan kering (BK) dari sistem tiga strata (STS) termodifikasi,