• Tidak ada hasil yang ditemukan

DOCRPIJM 150491649906 ASPEK TEKNIS LOMBOK TIMUR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "DOCRPIJM 150491649906 ASPEK TEKNIS LOMBOK TIMUR"

Copied!
108
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Bab ini menjabarkan rencana pembangunan infrastruktur bidang Cipta Karya mencakup 4 (empat) sektor yaitu pengembangan permukiman, penataan bangunan dan lingkungan, pengembangan air minum, serta pengembangan penyehatan lingkungan yang terdiri atas air limbah, persampahan, dan drainase. Penjabaran perencanaan teknis untuk setiap sektor tersebut dimulai dari pemetaan isu-isu strategis yang memengaruhi, penjabaran kondisi eksisting sebagai dasar awal perencanaan, serta permasalahan dan tantangan yang harus diantisipasi. Tahapan berikutnya adalah analisis kebutuhan dan pengkajian terhadap program-program sektoral, dengan mempertimbangkan kriteria kesiapan pelaksanaan kegiatan. Kemudian dilanjutkan dengan merumuskan usulan program dan kegiatan yang dibutuhkan.

6.1 Pengembangan Permukiman

6.1.1 Isu Strategis, Kondisi Eksisting, Permasalahan & Tantangan

A. Isu Strategis Pengembangan Permukiman

Berdasarkan arahan-arahan yang telah dipaparkan pada bab 2 (dua), isu-isu strategis nasional yang memberikan pengaruh terhadap pengembangan permukiman saat ini diantaranya adalah sebagai berikut.

 Mengimplementasikan konsepsi pembangunan berkelanjutan serta mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim.

 Percepatan pencapaian target MDGs 2020 yaitu penurunan proporsi rumah tangga kumuh perkotaan.

 Perlunya dukungan terhadap pelaksanaan Program-Program Direktif Presiden yang tertuang dalam MP3EI dan MP3KI.

 Percepatan pembangunan di wilayah timur Indonesia (Provinsi NTT, Papua, dan Papua Barat) untuk mengatasi kesenjangan.

 Meminimalisir penyebab dan dampak bencana sekecil mungkin.

 Meningkatnya urbanisasi yang berimplikasi terhadap proporsi penduduk perkotaan yang bertambah, tingginya kemiskinan penduduk perkotaan, dan bertambahnya kawasan kumuh.  Belum optimalnya pemanfaatan Infrastruktur Permukiman yang sudah dibangun.

 Perlunya kerjasama lintas sektor untuk mendukung sinergitas dalam pengembangan kawasan permukiman.

(3)

Untuk memperoleh informasi awal dalam perencanaan, selain isu strategis secara nasional perlu juga diketahui isu strategis yang bersifat lokal yakni di kabupaten/kota terkait. Isu terkait pengembangan permukiman yang bersifat lokal dan spesifik untuk Kabupaten Lombok Timur adalah sebagai berikut.

B. Kondisi Eksisting Pengembangan Permukiman

Kondisi pengembangan permukiman hingga tahun 2012 pada tingkat nasional mencakup 180 dokumen RP2KP (Rencana Pengembangan Permukiman Kumuh Perkotaan), 108 dokumen RTBL KSK (Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan Kawasan Strategis Kota). Di perkotaan sebanyak 500 kawasan kumuh yang tertangani, 385 unit RSH (Rumah Susun Sederhana) terbangun, 158 TB unit di Rusunawa terbangun. Sementara di perdesaan, sebanyak 416 kawasan perdesaan potensial telah terbangun infrastrukturnya, 108 kawasan perbatasan dan pulau kecil di perdesaan terbangun infrastrukturnya, 237 desa dengan komoditas unggulan telah tertangani infrastrukturnya, serta 15.362 desa tertinggal juga telah tertangani infrastrukturnya.

Kondisi eksisting pengembangan permukiman terkait dengan capaian suatu kota/ kabupaten dalam menyediakan kawasan permukiman yang layak huni. Terlebih dahulu perlu diketahui peraturan perundangan di tingkat kabupaten/kota (meliputi peraturan daerah, peraturan gubernur, peraturan walikota/bupati, maupun peraturan lainya) yang mendukung seluruh tahapan proses perencanaan, pembangunan, dan pemanfaatan pembangunan permukiman.

Jika dilihat secara umum, kondisi prasarana dasar permukiman dan perumahan di Kabupaten Lombok Timur perlu ditingkatkan kualitas dan kuantitasnya. Peningkatan kualitas dalam jangka pendek diantaranya adalah arahan untuk mengoptimalkan fungsinya dalam memenuhi ataupun melayani masyrakat terutama yang terkait langsung dengan aktivitas perekonomian masyarakat, seperti fasilitas air minum, saluran drainase, jalan lingkungan, jalan setapak, serta penataan permukiman kota dan desa.

Selain itu dipaparkan juga kondisi terkait kawasan kumuh, jumlah RSH terbangun, jumlah Rusunawa terbangun di perkotaan maupun dukungan infrastruktur dalam program-program perdesaan seperti PISEW (RISE), PPIP, serta di kawasan potensial, rawan bencana, perbatasan, dan pulau terpencil. Data yang ditampilkan merupakan kondisi eksisting pengembangan permukiman selama 5 (lima) tahun terakhir.

Walaupun saat ini kota Selong tengah giat-giatanya melakukan pembangunan, namun tidak dapat dipungkiri bahwa ketersediaan sarana dan prasarana umum masih belum dapat dikatakan memadai seperti Street furniture, taman kota, halte, pusat informasi, dsb.

(4)

C. Permasalahan dan Tantangan Pengembangan Permukiman

Permasalahan permukiman pada tingkat nasional diantaranya adalah sebagai berikut.

1. Masih luasnya kawasan kumuh sebagai permukiman tidak layak huni sehingga dapat menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan, dan pelayanan infrastruktur yang masih terbatas.

2. Masih terbatasnya prasarana sarana dasar pada daerah tertinggal, pulau kecil, daerah terpencil, dan kawasan perbatasan.

3. Belum berkembangnya Kawasan Perdesaan Potensial.

Sementara tantangan pengembangan permukiman pada tingkat nasional adalah sebagai berikut. 1. Percepatan peningkatan pelayanan kepada masyarakat.

2. Pencapaian target/sasaran pembangunan dalam Rencana Strategis Ditjen Cipta Karya sektor Pengembangan Permukiman.

3. Pencapaian target MDG‟s 2015, termasuk didalamnya pencapaian Program-Program Pro Rakyat (Direktif Presiden).

4. Perhatian pemerintah daerah terhadap pembangunan bidang Cipta Karya khususnya kegiatan Pengembangan Permukiman yang masih rendah .

5. Memberikan pemahaman kepada pemerintah daerah bahwa pembangunan infrastruktur permukiman yang saat ini sudah menjadi tugas pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota.

6. Penguatan Sinergi RP2KP/RTBL KSK dalam Penyusunan RPI2JM bidang Cipta Karya pada Kabupaten/Kota

(5)

Tabel 6.1 Identifikasi Permasalahan dan Tantangan Pengembangan Permukiman Kabupaten Lombok Timur

No. Permasalahan Pengembangan

Permukiman Tantangan Pengembangan Alternatif Solusi

1. Aspek Teknis

1) Permukiman padat penduduk  Ketidakteraturan posisi serta

letak permukiman penduduk  Jaringan jalan lingkungan

(gang) yang sempit masih

3) Untuk permukiman di bantaran sungai perlu

(6)

No. Permasalahan Pengembangan

Permukiman Tantangan Pengembangan Alternatif Solusi

yang partisipatif, transparan, akuntabel, dan berkelanjutan

3. Aspek Pembiayaan

1) Terdapat hambatan pendanaan baik yang berasal dari pemerintah baik dana pusat, daerah maupun swadaya

4. Aspek Peran Serta Masyarakat/Swasta

1) Peran serta masyarakat untuk ikut

mengembangkan diri sangat kurang sekali 2) Kualitas sumber daya

manusia masih sangat rendah

5. Aspek Lingkungan Permukiman

1) Pengembangan kawasan

permukiman baru diarahkan di semua lingkungan, khusus perbukitan (wilayah dengan kemiringan lebih dari 30%) hanya untuk pengembangan permukiman eksisting dan pertumbuhan alami.

2) Untuk permukiman di bantaran sungai perlu Pembangunan tanggul pada sisi permukiman

3) Dibutuhkan pengawasan ketat terhadap visualisasi sungai

(7)

6.1.2 Analisis Kebutuhan Pengembangan Permukiman

Analisis kebutuhan merupakan tahapan selanjutnya dari identifikasi kondisi eksisting. Analisis kebutuhan ini akan mengaitkan kondisi eksisting dengan target kebutuhan yang harus dicapai. Terdapat arahan kebijakan yang menjadi acuan penetapan target pembangunan bidang Cipta Karya khususnya sektor pengembangan permukiman baik di tingkat Pusat maupun di tingkat kabupaten/kota. Di tingkat Pusat acuan kebijakan meliputi RPJMN 2010-2014, MDGs 2015 (pengurangan proporsi rumah tangga kumuh tahun 2020), Standar Pelayanan Minimal (SPM) untuk pengurangan luasan kawasan kumuh tahun 2014 sebesar 10%, arahan MP3EI dan MP3KI, percepatan pembangunan Papua dan Papua Barat, arahan Direktif Presiden untuk program pro-rakyat, serta Renstra Ditjen Cipta Karya 2010-2014. Sedangkan di tingkat kabupaten/kota meliputi target RPJMD, RTRW Kabupaten/Kota, maupun Renstra SKPD. Acuan kebijakan tersebut hendaknya menjadi dasar pada tahapan analisis kebutuhan pengembangan permukiman.

Sementara itu untuk mengurangi luasan kumuh berdasarkan target capaian nasional tahun 2019 yakni 0%. Diketahui berdasarkan Arah Kebijakan Pendanaan Kegiatan Prioritas Kegiatan Pengembangan Permukiman, Direktur Pengembangan Permukiman, Kawasan Prioritas Penanganan 2 : Kecamatan Aikmel, Labuhan Haji, Masbagik dan Selong. Total Luas Kumuh 109,48 Ha). Hasil identifikasi tersebut tentunya harus disesuaikan dengan lokasi-lokasi yang teridentifikasi kawasan kumuh di Kabupaten Lombok Timur (sampai saat ini belum disusun penyusunan profil kawasan kumuh di Kabupaten Lombok Timur), sedangkan berdasarkan hasil FGD Kabupaten Lombok Timur program-program dan kegiatan hanya diarahkan kepada peningkatan kawasan permukiman dibeberapa lokasi pada kawasan yang memiliki PSD dan Infrastruktur yang minim. Lokasi penanganan permukiman : Kec. Suela, Sembalun, Sakra, Aikmel, Perum ladang Beduri, Rakam, Diarina Regenci I & II, Perum BSD, Degen Timur, Kelayu Jorong, Pringsela dan Wanasaba.

.

6.1.3 Program-Program Sektor Pengembangan Permukiman

Kegiatan pengembangan permukiman terdiri dari pengembangan permukiman kawasan perkotaan dan kawasan perdesaan. Adapun pengembangan permukiman kawasan perkotaan terdiri dari:

1) pengembangan kawasan permukiman baru dalam bentuk pembangunan Rusunawa serta 2) peningkatan kualitas permukiman kumuh dan RSH.

Sementara untuk pengembangan kawasan perdesaan terdiri dari:

1) pengembangan kawasan permukiman perdesaan untuk kawasan potensial (Agropolitan dan Minapolitan), rawan bencana, serta perbatasan dan pulau kecil,

(8)

Selain kegiatan fisik tersebut, program/kegiatan pengembangan permukiman dapat berupa kegiatan non-fisik seperti penyusunan RP2KP dan RTBL KSK ataupun kajian ulang apabila diperlukan.

Pengembangan kawasan permukiman perkotaan akan terkait dengan hal-hal yang menyangkut infrastruktur kawasn permukiman kumuh, infrastruktur permukiman RSH, dan Rusunawa beserta infrastruktur pendukungnya. Sementara pengembangan kawasan permukiman perdesaan akan terkait hal-hal yang menyangkut infrastruktur kawasan permukiman perdesaan potensial (agropolitan/minapolitan), infrastruktur kawasan permukiman rawan bencana, infrastruktur kawasan permukiman perbatasan dan pulau kecil, infrastruktur pendukung kegiatan ekonomi dan sosial (PISEW), infrastruktur perdesaan PPIP, infrastruktur perdesaan RIS PNPM.

Kriteria Kesiapan (Readiness Criteria)

Dalam pengembangan permukiman terdapat kriteria umum dan khusus, yakni sebagai berikut.

1. Umum

Kriteria umum ini terdiri dari:

 Ada rencana kegiatan rinci yang diuraikan secara jelas.

 Indikator kinerja sesuai dengan yang ditetapkan dalam Renstra.  Kesiapan lahan (sudah tersedia).

 Sudah tersedia DED.

 Tersedia Dokumen Perencanaan Berbasis Kawasan (RP2KP, RTBL KSK, Masterplan. Agropolitan & Minapolitan, dan KSK)

 Tersedia Dana Daerah untuk Urusan Bersama (DDUB) dan dana daerah untuk pembiayaan komponen kegiatan sehingga sistem bisa berfungsi.

 Ada unit pelaksana kegiatan.

 Ada lembaga pengelola pasca konstruksi. 2. Khusus

 Rusunawa

o Kesediaan Pemerintah Daerah untuk penandatanganan MoA o Dalam Rangka penanganan Kws. Kumuh

o Kesanggupan Pemerintah Daerah menyediakan Sambungan Listrik, Air Minum, dan PSD lainnya

o Ada calon penghuni  RIS PNPM

o Sudah ada kesepakatan dengan Menkokesra.

o Desa di kecamatan yang tidak ditangani PNPM Inti lainnya. o Tingkat kemiskinan desa >25%.

o Bupati menyanggupi mengikuti pedoman dan menyediakan BOP minimal 5% dari BLM.  PPIP

(9)

o Usulan bupati, terutama kabupaten tertinggal yang belum ditangani program Cipta Karya lainnya.

o Kabupaten reguler/sebelumnya dengan kinerja baik. o Tingkat kemiskinan desa >25%.

 PISEW

o Berbasis pengembangan wilayah.

o Pembangunan infrastruktur dasar perdesaan yang mendukung (i) transportasi, (ii) produksi pertanian, (iii) pemasaran pertanian, (iv) air bersih dan sanitasi, (v) pendidikan, serta (vi) kesehatan.

o Mendukung komoditas unggulan kawasan.

Selain kriteria kesiapan tersebut, terdapat pula beberapa kriteria yang harus diperhatikan dalam pengusulan kegiatan pengembangan permukiman seperti untuk penanganan kawasan kumuh di perkotaan. Mengacu pada UU No. 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, permukiman kumuh memiliki ciri (1) ketidakteraturan dan kepadatan bangunan yang tinggi, (2) ketidaklengkapan prasarana, sarana, dan utilitas umum, (3) penurunan kualitas rumah, perumahan, dan permukiman, serta prasarana, sarana dan utilitas umum, serta (4) pembangunan rumah, perumahan, dan permukiman yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah. Lebih lanjut kriteria tersebut diturunkan ke dalam kriteria yang selama ini dijadikan acuan oleh Direktorat Jenderal Cipta Karya meliputi hal-hal sebagai berikut.

1. Vitalitas Non Ekonomi

a. Kesesuaian pemanfaatan ruang kawasan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota (RDTRK), dipandang perlu sebagai legalitas kawasan dalam ruang kota.

b. Fisik bangunan perumahan permukiman dalam kawasan kumuh memiliki indikasi terhadap penanganan kawasan permukiman kumuh dalam hal kelayakan suatu hunian berdasarkan intensitas bangunan yang terdapat didalamnya.

c. Kondisi Kependudukan dalam kawasan permukiman kumuh yang dinilai, mempunyai indikasi terhadap penanganan kawasan permukiman kumuh berdasarkan kerapatan dan kepadatan penduduk.

2. Vitalitas Ekonomi Kawasan

a. Tingkat kepentingan kawasan dalam letak kedudukannya pada wilayah kota, termasuk kawasan strategis atau kurang strategis.

b. Fungsi kawasan dalam peruntukan ruang kota, yakni keterkaitan dengan faktor ekonomi memberikan ketertarikan pada investor untuk dapat menangani kawasan kumuh yang ada. Kawasan yang termasuk dalam kelompok ini adalah pusat-pusat aktivitas bisnis dan perdagangan seperti pasar, terminal/stasiun, pertokoan, atau fungsi lainnya.

c. Jarak jangkauan kawasan terhadap tempat mata pencaharian penduduk kawasan permukiman kumuh.

3. Status Kepemilikan Tanah

(10)

4. Keadaan Prasarana dan Sarana: Kondisi Jalan, Drainase, Air bersih, dan Air limbah. 5. Komitmen Pemerintah Kabupaten/Kota

a. Keinginan pemerintah untuk penyelenggaraan penanganan kawasan kumuh dengan indikasi penyediaan dana dan mekanisme kelembagaan penanganannya.

b. Ketersediaan perangkat dalam penanganan, seperti halnya rencana penanganan (grand scenario) kawasan, rencana induk (master plan) kawasan dan lainnya

6.1.4 Usulan Program dan Kegiatan

A. Usulan Program dan Kegiatan Pengembangan Permukiman

Setelah melalui tahapan analisis kebutuhan, maka perlu disusun usulan program dan kegiatan guna mengisi kesenjangan antara kondisi eksisting dengan kebutuhan. Akan tetapi usulan program dan kegiatan dibatasi oleh waktu dan kemampuan pendanaan pemerintah kabupaten/kota. Sehingga untuk jangka waktu perencanaan 5 (lima) tahun dalam RPI2JM dibutuhkan suatu kriteria untuk menentukan prioritasi dari tahun pertama hingga kelima. Dengan memperhatikan kriteria kesiapan yang telah dipaparkan pada sub-subbab sebelumnya maka dapat dirumuskan usulan program dan kegiatan pengembangan permukiman Kabupaten Lombok Timur yang disusun berdasarkan prioritasnya. Usulan program dan kegiatan tersebut adalah sebagai berikut.

Tabel 6.2 Usulan dan Prioritas Program Infrastruktur Permukiman Kabupaten Lombok Timur Tahun 2015 - 2019

No. Program/Kegiatan Volume/Satuan Biaya (Rp

(11)
(12)

No. Program/Kegiatan Volume/Satuan Biaya (Rp

dalam Ribu) Lokasi

Kriteria Kesiapan

Kaw. Kec. Sembelia Timur

Sumber: Hasil FGD RPI2JM Kabupaten Lombok Timur

B. Usulan Pembiayaan Pengembangan Permukiman

Dalam pengembangan permukiman, Pemerintah Daerah didorong untuk terus meningkatkan alokasi dana pada sektor tersebut serta mencari alternatif sumber pembiayaan dari masyarakat dan swasta (KPS, CSR). Berdasarkan usulan program dan kegiatan pengembangan permukiman yang telah dipaparkan sebelumnya, maka perlu diidentifkasi kemungkinan sumber pembiayaan baik dari APBD Kabupaten, APBD Provinsi, APBN, maupun dari masyarakat dan swasta sesuai dengan kemampuan pembiayaan pemerintah Kabupaten.

Tabel 6.3 Usulan Pembiayaan Proyek

(13)

No. Program/

16. Peningkatan Jalan Poros dan Talud Jalan Kaw.

5.500.000 - 300.000 - - -

(14)

No. Program/

Kegiatan APBN

APBD Prov

APBD Kab

Masya-rakat Swasta CSR Total

Kec. Sembelia

(15)

6.2 Penataan Bangunan dan Lingkungan (PBL)

6.2.1 Isu Strategis, Kondisi Eksisting, Permasalahan & Tantangan

A. Isu Strategis PBL

Untuk dapat merumuskan isu strategis Bidang PBL, maka dapat dilihat dari Agenda Nasional dan Agenda Internasional yang memengaruhi sektor PBL. Untuk Agenda Nasional, salah satunya adalah Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri), sebagai wujud kerangka kebijakan yang menjadi dasar acuan pelaksanaan program-program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat. Agenda nasional lainnya adalah pemenuhan Standar Pelayanan Minimal (SPM) bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang, khususnya untuk sektor PBL yang mengamanatkan terlayaninya masyarakat dalam pengurusan IMB di kabupaten/kota dan tersedianya pedoman Harga Standar Bangunan Gedung Negara (HSBGN) di kabupaten/kota.

Agenda internasional yang terkait PBL diantaranya adalah pencapaian MDG‟s 2015, khususnya tujuan 7 yaitu memastikan kelestarian lingkungan hidup. Target MDGs yang terkait bidang Cipta Karya adalah target 7C, yaitu menurunkan hingga separuhnya proporsi penduduk tanpa akses terhadap air minum layak dan sanitasi layak pada 2015, serta target 7D, yaitu mencapai peningkatan yang signifikan dalam kehidupan penduduk miskin di permukiman kumuh pada tahun 2020.

Agenda internasional lainnya adalah isu Pemanasan Global (Global Warming). Pemanasan global yang disebabkan bertambahnya karbondioksida (CO2) sebagai akibat konsumsi energi yang

berlebihan mengakibatkan naiknya suhu permukaan global hingga 6.4°C antara tahun 1990 dan 2010, serta meningkatnnya tinggi muka laut di seluruh dunia hingga mencapai 10-25 cm selama abad ke-20. Kondisi ini memberikan dampak bagi kawasan-kawasan yang berada di pesisir pantai, yaitu munculnya bencana alam seperti banjir, kebakaran serta dampak sosial lainnya.

(16)

Dari agenda-agenda tersebut maka isu strategis tingkat nasional untuk bidang PBL dapat dirumuskan adalah sebagai berikut.

1) Penataan Lingkungan Permukiman

a. Pengendalian pemanfaatan ruang melalui RTBL;

b. PBL mengatasi tingginya frekuensi kejadian kebakaran di perkotaan;

c. pemenuhan kebutuhan ruang terbuka publik dan ruang terbuka hijau (RTH) di perkotaan; d. revitalisasi dan pelestarian lingkungan permukiman tradisional dan bangunan bersejarah

berpotensi wisata untuk menunjang tumbuh kembangnya ekonomi lokal; e. peningkatan kualitas lingkungan dalam rangka pemenuhan SPM;

f. pelibatan pemerintah daerah dan swasta serta masyarakat dalam penataan bangunan dan lingkungan.

2) Penyelenggaraan Bangunan Gedung dan Rumah Negara

a. Tertib pembangunan dan keandalan bangunan gedung (keselamatan, kesehatan, kenyamanan dan kemudahan);

b. pengendalian penyelenggaraan bangunan gedung dengan perda bangunan gedung di kab/kota;

c. tantangan untuk mewujudkan bangunan gedung yang fungsional, tertib, andal dan mengacu pada isu lingkungan/ berkelanjutan;

d. tertib dalam penyelenggaraan dan pengelolaan aset gedung dan rumah negara; e. peningkatan kualitas pelayanan publik dalam pengelolaan gedung dan rumah Negara. 3) Pemberdayaan Komunitas dalam Penanggulangan Kemiskinan

a. Jumlah masyarakat miskin pada tahun 2012 sebesar 29,13 juta orang atau sekitar 11,96% dari total penduduk Indonesia;

b. realisasi DDUB tidak sesuai dengan komitmen awal termasuk sharing in-cash sesuai MoU PAKET;

c. keberlanjutan dan sinergi program bersama pemerintah daerah dalam penanggulangan kemiskinan.

(17)

B. Kondisi Eksisting

Untuk tahun 2012 capaian nasional dalam pelaksanaan program direktorat PBL adalah jumlah kelurahan/desa yang telah mendapatkan fasilitasi berupa peningkatan kualitas infrastruktur permukiman perdesaan/kumuh/nelayan melalui program P2KP/PNPM adalah sejumlah 10.925 kelurahan/desa. Untuk jumlah Kabupaten/Kota yang telah menyusun Perda Bangunan Gedung (BG) hingga tahun 2012 adalah sebanyak 106 Kabupaten/Kota. Untuk RTBL yang sudah tersusun berupa Peraturan Bupati/Walikota adalah sebanyak 2 Kabupaten/Kota, 9 Kabupaten/Kota dengan perjanjian bersama, dan 32 Kabupaten/Kota dengan kesepakatan bersama.

Berdasarkan Renstra Direktorat Jenderal Cipta Karya 2010-2014, di samping kegiatan non-fisik dan pemberdayaan, Direktorat PBL hingga tahun 2013 juga telah melakukan peningkatan prasarana lingkungan permukiman di 1.240 kawasan serta penyelenggaraan bangunan gedung dan fasilitasnya di 377 kabupaten/kota. Dalam RPI2JM bidang Cipta Karya pencapaian di Kabupaten/Kota perlu dijabarkan sebagai dasar dalam perencanaan. Berikut ini adalah gambaran kondisi eksisting Kabupaten Lombok Timur terkait kondisi peraturan daerah, kegiatan penataan lingkungan permukiman, kegiatan penyelenggaraan bangunan gedung dan rumah negara, serta capaian dalam pemberdayaan komunitas dalam penanggulangan kemiskinan.

C. Permasalahan dan Tantangan

Dalam kegiatan penataan bangunan dan lingkungan terdapat beberapa permasalahan dan tantangan yang dihadapi, antara lain adalah sebagai berikut.

Penataan Lingkungan Permukiman:

 kebutuhan sarana sistem proteksi kebakaran masih kurang diperhatikan;

 belum siapnya landasan hukum dan landasan operasional berupa RTBL untuk lebih melibatkan pemerintah daerah dan swasta dalam penyiapan infrastruktur guna pengembangan lingkungan permukiman;

 menurunnya fungsi kawasan dan terjadi degradasi kawasan kegiatan ekonomi utama kota, kawasan tradisional bersejarah serta heritage;

 masih rendahnya dukungan Pemerintah Daerah dalam pembangunan lingkungan permukiman yang diindikasikan dengan masih kecilnya alokasi anggaran daerah untuk peningkatan kualitas lingkungan dalam rangka pemenuhan SPM.

Penyelenggaraan Bangunan Gedung dan Rumah Negara:

 masih adanya kelembagaan bangunan gedung yang belum berfungsi efektif dan efisien dalam pengelolaan Bangunan Gedung dan Rumah Negara;

 masih kurangnya perda bangunan gedung untuk kota metropolitan, besar, sedang, kecil di seluruh Indonesia;

(18)

 kurang ditegakkannya aturan keselamatan, keamanan dan kenyamanan Bangunan Gedung termasuk pada daerah-daerah rawan bencana;

 prasarana dan sarana hidran kebakaran banyak yang tidak berfungsi dan kurang mendapat perhatian;

 lemahnya pengaturan penyelenggaraan Bangunan Gedung di daerah serta rendahnya kualitas pelayanan publik dan perijinan;

 banyaknya Bangunan Gedung Negara yang belum memenuhi persyaratan keselamatan, keamanan dan kenyamanan;

 penyelenggaraan Bangunan Gedung dan Rumah Negara kurang tertib dan efisien;  masih banyaknya aset negara yang tidak teradministrasikan dengan baik.

Penyelenggaraan Sistem Terpadu Ruang Terbuka Hijau:

 masih kurang diperhatikannya kebutuhan sarana lingkungan hijau/terbuka, sarana olah raga. Kapasitas Kelembagaan Daerah:

 masih terbatasnya kesadaran aparatur dan SDM pelaksana dalam pembinaan penyelenggaraan bangunan gedung termasuk pengawasan;

 masih adanya tuntutan reformasi peraturan perundang-undangan dan peningkatan pelaksanaan otonomi dan desentralisasi;

 masih perlunya peningkatan dan pemantapan kelembagaan bangunan gedung di daerah dalam fasilitasi penyediaan perangkat pengaturan.

Adapun masalah dan tantangan sektor PBL di Kabupaten Lombok Timur adalah sebagai berikut.

Tabel 6.4 Identifikasi Permasalahan dan Tantangan Penataan Bangunan dan Lingkungan

No. Aspek PBL Permasalahan yang dihadapi Tantangan Pengembangan

Alternatif Solusi

I. Kegiatan Penataan Lingkungan Permukiman

1. Aspek Teknis

1) Permukiman Kumuh  Ketidak teraturan posisi

(19)

No. Aspek PBL Permasalahan yang dihadapi Tantangan

5) Kurangnya fasilitasi akses mayarakat miskin terhadap

3) Peran serta masyarakat untuk ikut

mengembangkan diri sangat kurang sekali 4) Kualitas sumber daya

(20)

No. Aspek PBL Permasalahan yang dihadapi Tantangan Pengembangan

Alternatif Solusi

pertumbuhan alami.

5) Untuk permukiman di bantaran sungai perlu

Pembangunan tanggul pada sisi permukiman

6) Dibutuhkan pengawasan ketat terhadap

visualisasi sungai

(21)

6.2.2 Analisis Kebutuhan PBL

Analisis kebutuhan Program dan Kegiatan untuk sektor PBL oleh Kabupaten/Kota, hendaknya mengacu pada Lingkup Tugas Direktorat Jenderal Cipta Karya untuk sektor PBL yang dinyatakan pada Permen PU No. 8 Tahun 2010. Pada peraturan tersebut dijabarkan kegiatan dari Direktorat PBL adalah sebagai berikut.

A. Kegiatan Penataan Lingkungan Permukiman

Kegiatan yang terkait adalah penyusunan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL), Rencana Induk Sistem Proteksi Kebakaran (RISPK), pembangunan prasarana dan sarana lingkungan permukiman tradisional dan bersejarah, pemenuhan Standar Pelayanan Minimal (SPM), dan pemenuhan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di perkotaan.

RTBL (Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan

RTBL berdasarkan Permen PU No. 6 Tahun 2007 tentang Pedoman Umum Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan didefinisikan sebagai panduan rancang bangun suatu lingkungan/kawasan yang dimaksudkan untuk mengendalikan pemanfaatan ruang, penataan bangunan dan lingkungan, serta memuat materi pokok ketentuan program bangunan dan lingkungan, rencana umum dan panduan rancangan, rencana investasi, ketentuan pengendalian rencana, dan pedoman pengendalian pelaksanaan pengembangan lingkungan/kawasan. Materi pokok dalam Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan meliputi:

o Program Bangunan dan Lingkungan; o Rencana Umum dan Panduan Rancangan; o Rencana Investasi;

o Ketentuan Pengendalian Rencana; serta o Pedoman Pengendalian Pelaksanaan.

RISPK atau Rencana Induk Sistem Proteksi Kebakaran

RISPK atau Rencana Induk Sistem Proteksi Kebakaran seperti yang dinyatakan dalam Permen PU No. 26 tahun 2008 tentang Persyaratan Teknis Sistem Proteksi Kebakaran pada Bangunan Gedung dan Lingkungan, bahwa Sistem Proteksi Kebakaran pada Bangunan Gedung dan Lingkungan adalah sistem yang terdiri atas peralatan, kelengkapan dan sarana, baik yang terpasang maupun terbangun pada bangunan yang digunakan baik untuk tujuan sistem proteksi aktif, sistem proteksi pasif maupun cara-cara pengelolaan dalam rangka melindungi bangunan dan lingkungannya terhadap bahaya kebakaran.

Penyelenggaraan sistem proteksi kebakaran pada bangunan gedung dan lingkungan meliputi proses perencanaan teknis dan pelaksanaan konstruksi, serta kegiatan pemanfaatan, pelestarian dan pembongkaran sistem proteksi kebakaran pada bangunan gedung dan lingkungannya.

(22)

rencana kegiatan pencegahan kebakaran yang terdiri dari kegiatan inspeksi terhadap ancaman bahaya kebakaran pada kota, lingkungan bangunan dan bangunan gedung, serta kegiatan edukasi pencegahan kebakaran kepada masyarakat dan kegiatan penegakan Norma, Standar, Pedoman dan Manual (NSPM). RISPK juga memuat rencana tentang penanggulangan kebakaran yang terdiri dari rencana kegiatan pemadaman kebakaran serta penyelamatan jiwa dan harta benda.

 Penataan Lingkungan Permukiman Tradisional/Bersejarah

Pendekatan yang dilakukan dalam melaksanakan Penataan Lingkungan Permukiman Tradisional adalah:

o Koordinasi dan sinkronisasi dengan Pemerintah Daerah;

o Pendekatan Tridaya sebagai upaya pemberdayaan terhadap aspek manusia, lingkungan dan kegiatan ekonomi masyarakat setempat;

o Azas "berkelanjutan" sebagai salah satu pertimbangan penting untuk menjamin kelangsungan kegiatan;

o Rembug warga dalam upaya menggali sebanyak mungkin aspirasi masyarakat, selain itu juga melakukan pelatihan keterampilan teknis dalam upaya pemberdayaan masyarakat.

 Standar Pelayanan Minimal (SPM)

Analisa kebutuhan Program dan Kegiatan juga mengacu pada Permen PU No.14 tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang. Khusus untuk sektor PBL, SPM juga terkait dengan SPM Penataan Ruang dikarenakan kegiatan penataan lingkungan permukiman yang salah satunya melakukan pengelolaan kebutuhan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di perkotaan. Standar SPM terkait dengan sektor PBL sebagaimana terlihat pada tabel 8.19, yang dapat dijadikan acuan bagi Kabupaten/Kota untuk menyusun kebutuhan akan sektor Penataan Bangunan dan Lingkungan.

Tabel 6.5 SPM Kabupaten/Kota

No Jenis Pelayanan

Dasar Sasaran indikator Satuan

Target

(23)

B. Kegiatan Penyelenggaraan Bangunan Gedung dan Rumah Negara

Kegiatan penyelenggaraan Bangunan Gedung dan Rumah Negara meliputi:

1. Menguraikan kondisi bangunan gedung negara yang belum memenuhi persyaratan keandalan yang mencakup (keselamatan, keamanan, kenyamanan dan kemudahan);

2. Menguraikan kondisi Penyelenggaraan Bangunan Gedung dan Rumah Negara; 3. Menguraikan aset negara dari segi administrasi pemeliharaan.

Untuk dapat melakukan pendataan terhadap kondisi bangunan gedung dan rumah negara perlu dilakukan pelatihan teknis terhadap tenaga pendata HSBGN, sehingga perlu dilakukan pendataan kegiatan pembinaan teknis penataan bangunan gedung.

C. Kegiatan Pemberdayaan Komunitas dalam Penanggulangan Kemiskinan

Program yang mencakup pemberdayaan komunitas dalam penanggulangan kemiskinan adalah PNPM Mandiri, yang dilaksanakan dalam bentuk kegiatan P2KP (Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan). P2KP merupakan program pemerintah yang secara substansi berupaya menanggulangi kemiskinan melalui pemberdayaaan masyarakat dan pelaku pembangunan lokal lainnya, termasuk Pemerintah Daerah dan kelompok peduli setempat.

Adapun kebutuhan sektor Penataan Bangunan dan Lingkungan untuk jangka waktu 5 (lima) tahun ke depan dipaparkan pada tabel berikut. Kebutuhan tersebut mengacu pada program dan capaian Renstra Nasional dan RPJMD.

6.2.3 Program-Program dan Kriteria Kesiapan Sektor PBL

Berdasarkan Arahan Penataan dan Bangunan Lingkungan (PHLN sektor penataan bangunan dan lingkungan 2015 – 2019) Lingkup kegiatan sektor Penataan Bangunan dan Lingkungan adalah sebagai berikut:

• Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Perkotaan • Penghidupan Berkelanjutan (P2B)

• Pendukung P2B (PLP-BK) • City Changer dan KBP

Sedangkan bentuk kegiatan PBL ini diantaranya adalah Penataan Kawasan dan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) dengan syarat pemerintah daerah harus sudah memiliki Peraturan Daerah Menganai Bangunan Gedung. Adapun syarat dan ketentuan yang harus diacu dalam

penetapan kawasan penanganan PBL ini diantaranya adalah:

• Merupakan kawasan yang apa bila tidak diatur lebih detail , perkembangannya akan semrawut • Merupakan kawasan yang memiliki ciri khas budaya yang kental/ memiliki nilai sejarah

• Merupakan kawasan strategis & merupakan kawasan prioritas yang mendesak untuk segera diatur

(24)

b. Kegiatan Penyelenggaraan Bangunan Gedung dan Rumah Negara; serta c. Kegiatan Pemberdayaan Komunitas dalam Penanggulangan Kemiskinan.

Untuk penyelenggaraan program-program pada sektor PBL maka dibutuhkan Kriteria Kesiapan (Readiness Criteria) yang mencakup antara lain rencana kegiatan rinci, indikator kinerja, komitmen Pemerintah Daerah dalam mendukung pelaksanaan kegiatan melalui penyiapan dana pendamping, pengadaan lahan jika diperlukan, serta pembentukan kelembagaan yang akan menangani pelaksanaan proyek serta mengelola aset proyek setelah infrastruktur dibangun.

Kriteria Kesiapan (Readiness Criteria)

Kriteria kesiapan untuk sektor PBL adalah sebagai berikut.

1. Fasilitas RanPerda Bangunan Gedung, dengan kriteria khusus:

 Kabupaten/kota yang belum difasilitasi penyusunan ranperda Bangunan Gedung;  Komitmen Pemerintah Daerah untuk menindaklanjuti hasil fasilitasi Ranperda BG.

2. Penyusunan Rencana Penataan Lingkungan Permukiman Berbasis Komunitas, dengan kriteria khusus:

 Fasilitasi Penyusunan Rencana Penataan Lingkungan Permukiman Berbasis Komunitas: o Kawasan di perkotaan yang memiliki lokasi PNPM-Mandiri Perkotaan;

o Pembulatan penanganan infrastruktur di lokasi-lokasi yang sudah ada PJM Pronangkis-nya;

o Bagian dari rencana pembangunan wilayah/kota;

o Ada rencana pengembangan dan investasi Pemerintah Daerah, swasta, dan masyarakat; o Kesiapan pengelolaan oleh pemangku kepetingan setempat.

3. Penyusunan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL), dengan kriteria lokasi:  Sesuai dengan kriteria dalam Permen PU No.6 Tahun 2006;

 Kawasan terbangun yang memerlukan penataan;  Kawasan yang dilestarikan/heritage;

 Kawasan rawan bencana;

 Kawasan gabungan atau campuran (fungsi hunian, fungsi usaha, fungsi sosial/ budaya dan/atau keagamaan serta fungsi khusus, kawasan sentra niaga (central business district);  Kawasan strategis menurut RTRW Kab/Kota;

 Komitmen Pemerintah Daerah dalam rencana pengembangan dan investasi Pemerintah daerah, swasta, masyarakat yang terintegrasi dengan rencana tata ruang dan/atau pengembangan wilayahnya;

 Kesiapan pengelolaan oleh pemangku kepetingan setempat; serta  Pekerjaan dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat.

4. Penyusunan Rencana Tindak Revitalisasi Kawasan, Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan Permukiman Tradisional/Bersejarah

(25)

 Sudah memiliki RTBL atau merupakan turunan dari lokasi perencanaan RTBL (jika luas kawasan perencanaan > 5 Ha) atau turunan dari Tata Ruang atau masuk dlm skenario pengembangan wilayah (jika luas perencanaan < 5 Ha);

 Komitmen Pemerintah Daerah dalam rencana pengembangan dan investasi Pemerintah daerah, swasta, masyarakat yang terintegrasi dengan Rencana Tata Ruang dan/atau pengembangan wilayahnya;

 Kesiapan pengelolaan oleh pemangku kepentingan setempat. Kemudian dengan beberapa kriteria khusus sebagai berikut.

a. Kriteria khusus Fasilitasi Penyusunan Rencana Tindak Penataan dan Revitalisasi Kawasan:  Kawasan diperkotaan yang memiliki potensi dan nilai strategis;

 Terjadi penurunan fungsi, ekonomi dan/atau penurunan kualitas;  Bagian dari rencana pengembangan wilayah/kota;

 Ada rencana pengembangan dan investasi Pemerintah Daerah, swasta, dan masyarakat;  Kesiapan pengelolaan oleh pemangku kepentingan setempat.

b. Kriteria khusus Fasilitasi Penyusunan Rencana Tindak Ruang Terbuka Hijau:

 Ruang publik tempat terjadi interaksi langsung antara manusia dengan taman (RTH Publik);

 Area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman baik alamiah maupun ditanam (UU No. 26/2007 tentang Tata ruang);

 Dalam rangka membantu Pemerintah Daerah mewujudkan RTH publik minimal 20% dari luas wilayah kota;

 Ada rencana pengembangan dan investasi Pemerintah Daerah, swasta, masyarakat; • Kesiapan pengelolaan oleh pemangku kepentingan setempat.

c. Kriteria khusus Fasilitasi Penyusunan Rencana Tindak Permukiman Tradisional Bersejarah:  Lokasi terjangkau dan dikenal oleh masyarakat setempat (kota/kabupaten);

 Memiliki nilai ketradisionalan dengan ciri arsitektur bangunan yang khas dan estetis;  Kondisi sarana dan prasarana dasar yang tidak memadai;

 Ada rencana pengembangan dan investasi Pemerintah Daerah, swasta, dan masyarakat;  Kesiapan pengelolaan oleh pemangku kepentingan setempat.

d. Kriteria Fasilitasi Penyusunan Rencana Induk Sistem Proteksi Kebakaran (RISPK):  Ada Perda Bangunan Gedung;

 Kota/Kabupaten dengan jumlah penduduk > 500.000 orang;

 Tingginya intensitas kebakaran per tahun dengan potensi resiko tinggi;

 Kawasan perkotaan nasional PKN, PKW, PKSN, sesuai PP No.26/2008 tentang Tata Ruang;

(26)

 Kesiapan pengelolaan oleh pemangku kepentingan setempat.

e. Kriteria dukungan PSD Untuk Revitalisasi Kawasan, RTH Dan Permukiman Tradisional/Ged Bersejarah:

 Mempunyai dokumen Rencana Tindak PRK/RTH/Permukiman Tradisional-Bersejarah;  Prioritas pembangunan berdasarkan program investasinya;

 Ada DDUB;

 Dukungan Pemerintah Pusat maksimum selama 3 tahun anggaran;

 Khusus dukungan Sarana dan Prasarana untuk permukiman tradisional, diutamakan pada fasilitas umum/sosial, ruang-ruang publik yang menjadi prioritas masyarakat yang menyentuh unsur tradisionalnya;

 Ada rencana pengembangan dan investasi Pemda, swasta, dan masyarakat;  Kesiapan pengelolaan oleh pemangku kepentingan setempat.

f. Kriteria dukungan Prasarana dan Sarana Sistem Proteksi Kebakaran:

 Memiliki dokumen RISPK yang telah disahkan oleh Kepala Daerah (minimal SK/peraturan bupati/walikota);

 Memiliki Perda BG (minimal Raperda BG dalam tahap pembahasan dengan DPRD);  Memiliki DED untuk komponen fisik yang akan dibangun;

 Ada lahan yg disediakan Pemda;

 Ada rencana pengembangan dan investasi Pemda, swasta, dan masyarakat;  Kesiapan pengelolaan oleh pemangku kepentingan setempat.

g. Kriteria Dukungan Aksesibilitas Pada Bangunan Gedung Dan Lingkungan:  Bangunan gedung negara/kantor pemerintahan;

 Bangunan gedung pelayanan umum (puskesmas, hotel, tempat peribadatan, terminal, stasiun, bandara);

 Ruang publik atau ruang terbuka tempat bertemunya aktifitas sosial masyarakat (taman, alun-alun);

 Kesiapan pengelolaan oleh pemangku kepentingan setempat.

Berdasarkan hasil identifikasi kawasan penanganan PBL dan hasil FGD, rumusan kawasan yang perlu dilakukan penanganan adalah sebagai berikut :

 Perkotaan Selong (PKWP, Kawasan Strategis SPPIP, KSK untuk kepentingan ekonomi)  Sakra (PKLP, KSP untuk kepentingan ekonomi)

(27)

6.3 Penyehatan Lingkungan Permukiman

Mengacu pada Permen PU Nomor. 08/PRT/M/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pekerjaan Umum maka Direktorat Pengembangan Penyehatan Lingkungan Permukiman mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas pokok Direktorat Jenderal Cipta Karya di bidang kebijakan, pengaturan, perencanaan, pembinaan, pengawasan, pengembangan dan standardisasi teknis di bidang air limbah, drainase dan persampahan permukiman.

Dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 656, Direktorat Pengembangan Penyehatan Lingkungan Permukiman menyelenggarakan fungsi :

a. Penyusunan kebijakan teknis dan strategi pengembangan air limbah, drainase dan persampahan;

b. pembinaan teknik, pengawasan teknik dan fasilitasi pengembangan air limbah, drainase dan persampahan termasuk penanggulangan bencana alam dan kerusuhan sosial;

c. pembinaan investasi di bidang air limbah dan persampahan;

d. penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria serta pembinaan kelembagaan dan peran serta masyarakat di bidang air limbah, drainase dan persampahan; dan

e. pelaksanaan tata usaha direktorat.

6.3.1 Air Limbah

6.3.1.1 Arahan Kebijakan dan Lingkup Kegiatan Pengelolaan Air

Limbah

A. Arahan Kebijakan Pengelolaan Air Limbah

Beberapa peraturan perundangan yang mengatur pengelolaan air limbah, antara lain:

1. Undang-Undang No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional.

Pembangunan dan penyediaan air minum dan sanitasi diarahkan untuk mewujudkan terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat serta kebutuhan sektor-sektor terkait lainnya, seperti industri, perdagangan, transportasi, pariwisata, dan jasa sebagai upaya mendorong pertumbuhan ekonomi.

2. Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.

Pasal 21 ayat (2) butir d mengamanatkan pentingnya pengaturan prasarana dan sarana sanitasi dalam upaya perlindungan dan pelestarian sumber air.

3. Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum.

(28)

4. Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air

Pengaturan Sarana dan Prasarana Sanitasi dilakukan salah satunya melalui pemisahan antara jaringan drainase dan jaringan pengumpul air limbah pada kawasan perkotaan.

5. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 14/PRT/M/2010 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Pekerjaan Umum dan Tata Ruang.

Mensyaratkan tersedianya sistem air limbah setempat yang memadai dan tersedianya sistem air limbah skala komunitas/kawasan/kota.

6. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 02/MENKLH/I/1998 tentang Pedoman Penetapan Baku Mutu Lingkungan

Mengamanatkan bahwa Pengolahan yang dilakukan terhadap air buangan dimaksudkan agar air buangan tersebut dapat dibuang ke badan air penerima menurut standar yang diterapkan, yaitu standar aliran (stream standard) dan standar efluen (effluent standard).

B. Lingkup Pengelolaan Air Limbah

Air Limbah yang dimaksud disini adalah air limbah permukiman (Municipal Wastewater) yang terdiri atas air limbah domestik (rumah tangga) yang berasal dari air sisa mandi, cuci, dapur dan tinja manusia dari lingkungan permukiman serta air limbah industri rumah tangga yang tidak mengandung Bahan Beracun dan Berbahaya (B3). Air buangan yang dihasilkan oleh aktivitas manusia dapat menimbulkan pengaruh yang merugikan terhadap kualitas lingkungan sehingga perlu dilakukan pengolahan. Pengolahan air limbah permukiman di Indonesia ditangani melalui dua sistem yaitu sistem setempat (onsite) ataupun melalui sistem terpusat (offsite). Sanitasi sistem setempat (onsite) adalah sistem dimana fasilitas pengolahan air limbah berada dalam batas tanah yang dimiliki dan merupakan fasilitas sanitasi individual sedangkan sanitasi sistem terpusat (offsite) adalah sistem dimana fasilitas pengolahan air limbah dipisahkan dengan batas jarak dan mengalirkan air limbah dari rumahrumah menggunakan perpipaan (sewerage) ke Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL).

6.3.1.2 Isu Strategis, Kondisi Eksisting, Permasalahan &

Tantangan Air Limbah Permukiman

A. Isu Strategis Pengembangan Air Limbah Permukiman

Untuk melakukan rumusan isu strategis ini dilakukan dengan melakukan identifikasi data dan informasi dari dokumen-dokumen perencanaan pembangunan terkait dengan pengembangan permukiman tingkat nasional maupun daerah, seperti dokumen RPJMN, RPJMD, RTRW Kabupaten/Kota, Renstra Dinas, RP2KP, SSK dan dokumen lainnya yang selaras menyatakan isu strategis pengembangan air limbah sesuai dengan karakteristik di masing-masing Kabupaten/Kota. Tujuan dari bagian ini adalah:

• Teridentifikasinya rumusan isu strategis pengelolaan air limbah di Kabupaten/Kota; • tereviewnya isu strategis pengembangan air limbah dari dokumen terkait.

(29)

Sampai saat ini walaupun akses masyarakat terhadap prasarana sanitasi dasar mencapai 90,5% di perkotaan dan di pedesaan mencapai 67% (Susenas 2007) tetapi sebagian besar fasilitas pengolahan air limbah setempat tersebut belum memenuhi standar teknis yang ditetapkan. Sedangkan akses layanan air limbah dengan sistem terpusat baru mencapai 2,33% di 11 kota (Susenas 2007 dalam KSNP Air Limbah).

2. Peran Masyarakat

Peran masyarakat berupa rendahnya kesadaran masyakat dan belum diberdayakannya potensi masyarakat dan dunia usaha dalam pengelolaan air limbah serta terbatasnya penyelenggaraan pengembangan sistem pengelolaan air limbah permukiman berbasis masyarakat.

3. Peraturan perundang-undangan

Peraturan perundang-undangan meliputi lemahnya penegakan hukum dan belum memadainya perangkat peraturan perundangan yang dibutuhkan dalam sistem pengelolaan air limbah permukiman serta belum lengkapnya NSPM dan SPM pelayanan air limbah.

4. Kelembagaan

Kelembagaan meliputi kapasitas SDM yang masih rendah, kurang koordinasi antar instansi dalam penetapan kebijakan di bidang air limbah, belum terpisahnya fungsi regulator dan operator, serta lemahnya fungsi lembaga bidang air limbah.

5. Pendanaan

Pendanaan terutama berkaitan dengan terbatasnya sumber pendanaan pemerintah dan rendahnya alokasi pendanaan dari pemerintah yang merupakan akibat dari rendahnya skala prioritas penanganan pengelolaan air limbah. Selain itu adalah rendahnya tarif pelayanan air limbah sehingga berakibat pihak swasta kurang tertarik untuk melakukan investasi di bidang air limbah. Setiap Kabupaten/Kota wajib merumuskan isu strategis yang ada di daerah masing-masing. Isu strategis dalam pengembangan air limbah menjadi dasar dalam pengembangan infrastrukturair limbah dan akan menjadi landasan penyusunan program dan kegiatan dalam Rencana Terpadu dan Program Investasi Infrastruktur Jangka Menengah (RP2IJM) yang lebih berpihak kepada pencapaian MDGs, yang diharapkan dapat mempercepat pencapaian cita-cita pembangunan nasional.

Sesuai pembahasan Buku Strategi Sanitasi Kabupaten Lombok Timur, berdasarkan isu pokok sanitasi air limbah domestik, permasalahan mendesak sistem pengelolaan air limbah domestik di Kabupaten Lombok Timur, sebagai berikut :

(30)

namun tidak mendapat perlakuan/pengolahan terhadap limbah tersebut disebabkan IPLT tidak berfungsi.

2. Pelayanan terhadap jasa penyedotan tinja di kabupaten Lombok Timur melalui Kantor Kebersihan dan Tata Kota dilakukan dengan kendaran operasional pengangkut limbah cair dengan kapasitas tangki 2,5 m3. Jumlah kendaraan pengangkut yang tersedia sebanyak 2 buah dengan cakupan pelayanan masih sebatas areal perkotaan dengan rata-rata volume limbah terangkut sebanyak 15 – 17,5 m3 perbulannya.

3. Akses kepemilikan jamban, Sarana Pembuangan Air Limbah/Limbah cair (SPAL) dan Tempat Pembuangan Sampah (TPS) juga masih rendah. Cakupan rumah tangga yang menggunakan jamban sampai tahun 2010 baru mencapai 62,83%, cakupan SPAL 45,96%.

Berdasarkan dokumen SSK (Strategis Sanitasi Kota) Kabupaten Lombok Timur, diperoleh gambaran bahwa pada lingkup kecamatan sistem pengelolaan air limbah domestik di Kabupaten Lombok Timur dikategorikan dalam 2 (dua) klasifikasi wilayah, yaitu klasifikasi rural dan peri urban yang artinya kepadatan penduduk di wilayah rural < 25 jiwa/Ha dan 25-100 jiwa/Ha. Di Kabupaten Lombok Timur yang termasuk klasifikasi rural adalah meliputi hampir semua desa yang berjumlah 139 desa yang termasuk peri urban meliputi Desa Mantang dan Desa Pelambik yang berada di Kecamatan Praya Barat Daya dan Kecamatan Batukliang.

Berdasarkan hasil inspeksi sanitasi yang dilaksanakan oleh sanitarian puskesmas tahun 2010 didapatkan bahwa 36,59% sarana air bersih masyarakat memiliki risiko pencemaran rendah, 28,58% risiko pencemaran sedang, 12,47% risiko pencemaran tinggi dan 22,36% memiliki risiko pencemaran amat tinggi.

Cakupan Rumah Tangga yang menggunakan Jamban di Kabupaten Lombok Timur pada tahun 2010 baru mencapai 62,83%. Kondisi ini mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan kondisi 4 tahun sebelumnya, dimana pada tahun 2006 hanya mencapai 39,41%, tahun 2007 sebesar 42,69%, tahun 2008 mencapai 48,51% dan tahun 2009 mencapai 58,52%. Namun dibanding dengan target MDGs Tahun 2015 masih belum dibawah target sebesar 65%.

(31)

dimana masyarakat sudah tidak ada lagi yang buang air besar sembarangan. Sampai tahun 2010, pencapaian kegiatan ini adalah:

a) Pemicuan telah dilakukan di 91 desa dan 385 dusun b) Jumlah dusun yang sudah ODF sebanyak 121 dusun

c) Jumlah desa ODF sebanyak 18 desa, yaitu: Desa Kalijaga Timur, Rempung, Wanasaba, Jantuk, Mamben Daya, Kembang Kuning, Perian, Rensing, Selebung ketangga, Lendang Nangka, Aikmel, Sukamulia, Paok Pampang, Aikmel Utara, Lenek Pesiraman, Selong, Rarang, Rumbuk.

6.3.1.3 SANITASI DASAR

1. Cakupan Jamban Kelurga (JAGA) Data Kabupaten

Cakupan Rumah Tangga yang menggunakan Jamban di Kabupaten Lombok Timur pada tahun 2009 sebesar 91.684 KK dari 156.684 KK yang diperiksa atau baru mencapai 58,52%. Kondisi ini mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan kondisi 3 tahun sesudahnya dimana pada tahun 2006 hanya mencapai 39,41%, tahun 2007 sebesar 42,69% dan tahun 2008 mencapai 48,51%. Namun jika dilihat dari MDGs Th. 2015 masih

belum mencapai target yang ditetapkan secara nasional sebesar 65%. Berikut grafik cakupan Jamban Keluarga di Kabupaten Lombok Timur tahun 2006-2009 seperti terlihat pada gambar dibawah ini :

Gambar 6.1 Grafik Cakupan Jamban Keluarga Kab. Lombok Timur Th. 2006 s/d 2009

39,41 42,69

48,51

58,52

65

0 10 20 30 40 50 60 70

2006 2007 2008 2009 TARGET 2015

(MDGs)

C

a

k

u

p

a

n

(%

)

Sumber : Rekap Laporan Bulanan Puskesmas 2009

Prosentase Cakupan Jamban Keluarga Kabupaten Lombok Timur

(32)

Proporsi cakupan Rumah Tangga yang memiliki Jamban dirinci berdasarkan kecamatan di Kabupaten Lombok Timur seperti terlihat pada tabel dibawah ini:

Tabel 6.6 Cakupan Rumah Tangga Memiliki Jamban Keluarga Kabupaten Lombok Timur dirinci Bersdasarkan Kecamatan Tahun 2009

JUM

Sumber: Bappeda Kabupaten Lombok Timur, 2014

(33)

Sumber: Bappeda Kabupaten Lombok Timur, 2014

Gambar 6.2 Peta Cakupan Rumah Tangga Memiliki Jamban Keluarga Kabupaten Lombok Timur TH. 2009

Data Provinsi

Akses jamban keluarga di Provinsi NTB adalah 60,02% (tahun 2008) dari target provinsi sebesar 85% pada tahun 2008, berikut tabel akses jamban di Provinsi NTB berdasarkan Kabupaten/Kota seperti terlihat pada tabel dibawah ini:

(34)

Tabel 6.7 Prosentase Cakupan Jamban Propinsi NTB TH. 2008

NO KABUPATEN

JUMLAH KK YG ADA

KK DIPANTAU KK DGN JAMBAN

JUMLAH % JLH MS %

1 KOTA MATARAM 78.233 78.233 100,00 52.687 67,35

2 LOMBOK BARAT 210.893 73.840 35,01 39.471 53,45

3 LOMBOK TENGAH 266.859 77.908 29,19 49.001 62,90

4 LOMBOK TIMUR 291.821 46.585 15,96 21.954 47,18

5 SUMBAWA 101.742 56.012 55,05 44.650 79,72

6 SUMBAWA BARAT 29.013 17.597 60,65 11.838 67,27

7 D O M P U 57.075 57.075 100,00 33.115 58,02

8 B I M A 115.802 94.752 81,82 42.283 44,62

9 KOTA BIMA 31.147 31.147 100,00 15.577 50,01

NTB 1.182.585 533.149 45,00 319.971 60,02 Sumber : Bappeda Kabupaten Lombok Timur, 2014

Penduduk yang memiliki akses terhadap Sanitasi dasar untuk NTB 60.02% masih dibawah target nasional (Global Target 2015) yaitu sebesar 65%.

Data Nasional

Secara Nasional penduduk yang mempunyai akses sanitasi dasar yang memadai (Tangki Saptik dan Lubang Tanah) telah mencapai 68,7% (Berdasarkan hasil Susenas 2007). Hal ini menunjukkan peningkatan yang cukup berarti dari kondisi tahun 2001 yang baru mencapai 61,5 %. Pencapaian diatas masih jauh dari memadai mengingat proporsi penduduk yang buang air besar (BAB) sembarangan (di kolam/sawah, sunagai/danau, pantai/tanah terbuka lainnya) masih sekitar 31,3%.

Buang air besar (BAB) sembarangan sebagian besar pada lokasi sungai/danau (19,24 %), kemudian kolam/sawah (4,89%), pantai/tanah terbuka (5,54%) dan lainnya (1,65%). Penduduk BAB di sungai/danau berkurang (43%) selama periode 2001-2007 tetapi cenderung tetap pada lokasi seperti kolam/sawah dan pantai/tanah terbuka.

(35)

Tabel 6.8 Sanitasi Dasar Menurut Tempat Penampungan Akhir Tinja Tahun 2001 dan 2007

NO

Jenis Tempat

Pembuangan Air

Besar

Perkotaan Perdesaan Nasoinal

2001 2007 2001 2007 2001 2007

1 Tangki/Saptic 62,95 71,06 19,8 32,47 38,51 49,13

2 Kolam/ Sawah 3,36 2,52 7,47 6,69 5,69 4,89

3 Sungai/Danau/Laut 17,22 13,84 28,62 23,35 23,67 19,24 4 Lobang Tanah 13,23 10,16 30,49 26,67 23,01 19,54

5 Pantai/Kebun 1,51 1,18 9,22 8,85 5,88 5,54

6 Lainya 1,75 1,23 4,39 1,98 3,24 1,65

Total 100,02 99,99 99,99 100,01 100 99,99

Memadai 76,18 81,22 50,29 59,14 61,52 68,67

Sumber : Bappeda Kabupaten Lombok Timur, 2014

Sedangkan hasil Riskesdas 2007, Persentase nasional rumah tangga yang menggunakan jamban sendiri adalah 60,0%. Persentase rumah tangga yang menggunakan jamban sendiri di perkotaan lebih tinggi (73,2%) dibandingkan dengan di pedesaan (49,9%). Jenis sarana pembuangan kotoran dianggap „saniter‟ bila menggunakan jenis leher angsa. Secara nasional rumah tangga yang menggunakan jamban jenis leher angsa sebesar 68,9%. Dibandingkan dengan data tahun 2004 sebesar 49,3%, penggunaan jamban saniter ini mengalami peningkatan yang signifikan. Proporsi rumah tangga yang menggunakan jamban jenis leher angsa lebih tinggi di perkotaan (83,9%) dibandingkan dengan di perdesaan (56,0%).

Menurut Joint Monitoring Program WHO/Unicef, akses sanitasi disebut „baik‟ bila rumah tangga menggunakan sarana pembuangan kotoran sendiri dengan jenis sarana jamban leher angsa. Berdasarkan kriteria tersebut, secara nasional rumah tangga dengan akses baik terhadap sanitasi sebesar 43,0%. Proporsi rumah tangga dengan akses baik terhadap sanitasi bervariasi menurut tipe daerah dan tingkat pengeluaran rumah tangga per kapita. Proporsi rumah tangga dengan akses baik terhadap sanitasi, di perkotaan lebih tinggi dua kali lipat (63,3%) dibandingkan dengan di perdesaan (30,3%).

Untuk pembuangan akhir tinja, data diambil dari Kor Susenas 2007. Tempat pembuangan akhir tinja dikategorikan saniter adalah bila menggunakan jenis tangki/sarana pembuangan air limbah (SPAL). Secara nasional, proporsi rumah tangga dengan tempat pembuangan akhir tinja menggunakan tangki/SPAL (saniter) sebesar 46,3%, sisanya dibuang ke sungai/laut, lobang tanah, kolam/sawah, dan pantai/tanah.

(36)

pembuangan akhir tinja dua kali lebih tinggi di perkotaan (71,6%) dibandingkan dengan di perdesaan (30,5%).

2. Cakupan Sarana Pembuangan Air Limbah (SPAL) Rumah Tangga Data Kabupaten

Cakupan Rumah Tangga yang menggunakan Sarana Pembuangan Air Limbah (SPAL) rumah tangga pada tahun 2009 sebesar 66.660 dari jumlah rumah tangga yang diperiksa sebesar 156.684 atau baru mencapai 42,54%. Kondisi ini meningkat dari tahun 2006 yang hanya mencapai 28,72%, tahun 2007 sebesar 30,21% dan Tahun 2008 sebesar 31,37% . Sedangkan jika dilihat dari target yang ditetapkam menurut MDGs Th. 2015 sebesar 65% Kabupaten Lombok Timur masih jauh dari target. Berikut trend cakupan rumah tangga menggunkan SPAL di Kabupaten Lombok Timur dari tahun 2006-2009 seperti terlihat pada grafik dibawah ini.

Gambar 6.3 Prosentase Cakupan Sarana Pembuangan Air Limbah (SPAL) RT Di Kabupaten Lombok Timur TH. 2006 s/d 2009

Proporsi Cakupan SPAL rumah tangga di Kabupaten Lombok Timur tahun 2009 seperti terlihat pada tabel dibawah ini :

28,72 30,21

31,37

42,54

65

0 20 40 60 80

2006 2007 2008 2009 Target 2015(MDGs)

Sumber : Rekap Laporan Bulanan Puskesmas Th. 2009

GRAFIK CAKUPAN SARANA PEMBUANGAN AIR LIMBAH (SPAL) RUMAH TANGGA KABUPATEN LOMBOK TIMUR

(37)

Tabel 6.9 Cakupan RT Memiliki Sarana Pembuangan Air Limbah (SPAL) Kab. Lombok

Sumber : Bappeda Kabupaten Lombok Timur, 2014

(38)

Gambar 6.4 Peta Cakupan Rumah Tangga Memiliki SPAL Di Kabupaten Lombok Timur TH. 2009

Data Provinsi

Akses rumah tangga dengan SPAL di Propinsi NTB tahun 2008 sebesar 48,76% adalah 50,91% dan kondisi ini belum mencapai target yang ditentukan sebesar 65% (Target MDGs TH. 2015). Berikut proporsi cakupan rumah tangga dengan SPAL dirinci per Kabupaten di Propinsi NTB tahun 2008 seperti terlihat pada tabel 3.11 dibawah ini :

(39)

Tabel 6.10 Prosentase Cakupan Rumah Tangga dengan SPAL Propinsi NTB TH. 2008

NO KABUPATEN

RUMAH DIPANTAU

RUMAH DGN

SPAL KET

JUMLAH % JLH MS %

1. KOTA MATARAM 65.784 100 41.482 63,06 2. LOMBOK BARAT 135.838 75,00 55.977 41,21

3. LOMBOK

TENGAH - - - -

4. LOMBOK TIMUR 46.585 13,58 14.474 31,07

5. SUMBAWA 66.075 64,94 44.262 66,99 6. SUMBAWA

BARAT 14.592 60,13 8.277 56,72

7. D O M P U - - - -

8. B I M A 39.985 36,17 15.355 38,40

9. KOTA BIMA 31.029 99,62 15.151 48,83

NTB 399.888 46,63 194.978 48,76

Sumber : Bappeda Kabupaten Lombok Timur, 2014

Data Nasional

Secara nasional, terdapat 67,7% rumah tangga yang menggunakan SPAL di rumahnya, baik SPAL jenis tertutup maupun terbuka.

Berdasarkan hasil Riskesdas 2007, Persentase nasional rumah tangga yang tidak mempunyai Sarana Pembuangan Air Limbah adalah 24,9%. Dibandingkan dengan data Susenas tahun 2004, terdapat peningkatan rumah tangga yang tidak memiliki SPAL, yaitu dari 25,8% menjadi 32,5%.

Proporsi rumah tangga yang tidak menggunakan SPAL bervariasi menurut tipe daerah. Di daerah perdesaan, proporsi rumah tangga yang tidak menggunakan SPAL hampir tiga kali lipat (42,9%) dibandingkan dengan di perkotaan (15,9%).

Arahan pentahapan pencapaian sektor sanitasi

Arahan penyusunan tahapan capaian pembangunan sektor sanitasi disusun berdasarkan pilihan sistem dan penetapan zona sanitasi dengan mempertimbangkan aspek-aspek seperti:

 Arah pengembangan kabupaten yang merupakan perwujudan dari visi dan misi Kabupaten LombokTimur dalam jangka panjang

 Kepadatan penduduk Kabupaten Lombok Timur

 Kawasan beresiko sanitasi

(40)

6.3.1.4 Sektor Limbah Cair

Perkembangan kabupaten Lombok Timur yang terus meningkat setiap tahunnya memicu terjadinya pertumbuhan jumlah penduduk yang semakin pesat. Hal ini tentunya berdampak negatif khususnya pada sektor sanitasi, seperti meningkatnya volume pencemar yang berasal dari buangan rumah tangga (domestik), baik berupa; air limbah cucian dan kamar mandi (grey water), dan limbah WC (black water). Volume pencemar tersebut bertambah setiap tahunnya seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk, oleh karena itu, diperlukan suatu pengelolaan air limbah yang baik dan berkelanjutan untuk mendukung pembangunan sanitasi di Kabupaten Lombok Timur.

Dalam SSK ini telah dilakukan penentuan wilayah prioritas pengembangan sistem pengelolaan air limbah (apakah on site maupun off site) secara umum. Beberapa kriteria telah digunakan dalam penentuan prioritas tersebut, yaitu: kepadatan penduduk, klasifikasi wilayah (perkotaan atau perdesaan), karakteristik tata guna lahan/Center of Business Development (CBD) (komersial atau rumah tangga), serta resiko kesehatan lingkungan.

Berdasarkan kriteria tersebut dihasilkan suatu peta yang menggambarkan kebutuhan sistem pengelolaan air limbah untuk perencanaan pengembangan sistem. Peta tersebut terbagi dalam beberapa zonasi, dimana zona tersebut sekaligus merupakan dasar dalam merencanakan pembangunan jangka panjang pengelolaan limbah cair Kabupaten Lombok Timur. Rencana pengembangan tersebut dapat diilustrasikan sebagai berikut:

 Zona 1, merupakan area dengan tingkat resiko sangat tinggi-tinggi karena merupakan kawasan berpenduduk padat, CBD, dll. Dalam jangka menengah harus diatasi dengan pilihan sistem terpusat (Offsite Medium). Zona ini mencakup 12 kecamatan, meliputi; Terara, Sikur, Masbagik, Pringgasela, Selong, Labuhan Haji, Sakra, Sakra Timur, Keruak, Aikmel, Suralaga, dan Kecamatan Pringabaya. Dalam peta diberi warna Merah tua.

 Zona 2, merupakan area dengan tingkat resiko tinggi. Membutuhkan penanganan dengan system setempat (onsite) berbasis rumah tangga-masyarakat/komunal. Zona ini meliputi 4 kecamatan, yaitu; Kecamatan; Montong Gading, Sakra Barat Wanasaba dan Kecamatan Sambelia. Dalam peta diberi warna Merah muda.

(41)
(42)

PENDANAAN

Penyusunan Strategi Sanitasi Kabupaten (SSK) merupakan tahap ke 2 dari tahapan pelaksanaan Program Percepatan Pembangunan Sanitasi Permukiman (PPSP). Tahapan ini menjabarkan lebih lanjut tentang Visi-misi, Tujuan, Sasaran, Strategi, program/kegiatan dan target dari permasalahan sanitasi yang ada di kabupaten Lombok Timur. Komitmen daerah dalam sanitasi sangat penting. 30% pendanaan pembangunan sanitasi berasal dari dana APBN, 25% dari APBD dan sisanya melalui alternatif pembiayaan. Hal ini menunjukkan perlunya komitmen kuat dari Pemda untuk mendukung pencapaian pembangunan Millenuim Development Goals (MDGs).

Peraturan Perundangan berkaitan dengan air limbah

Memperhatikan kecenderungan capaian akses sanitasi layak selama ini, Indonesia harus memberikan perhatian khusus kepada peningkatan kualitas infrastruktur sanitasi, selain pencapaian Target 7 MDGs 2015 yaitu guna melaksanaan amanat Pasal 28 H Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (bahwa setiap warga negara Indonesia berhak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, negara berkewajiban untuk menyediakan lingkungan yang baik dan sehat) dan amanat Undang-undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang mengamanatkan bahwa Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dari kedua dasar hukum tersebut menunjukkan bahwa peran regulasi telah cukup mendasar untuk mewadahi setiap aktivitas penciptaan lingkungan bersih dan sehat. Namun demikian untuk mendukung kebijakan regulasi yang menyeluruh pemerintah juga telah menetapkan beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pengelolaan sanitasi secara menyeluruh. Beberapa peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud adalah sebagai berikut:

1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian

2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alami Hayati dan Ekosistemnya;

3) Undang-Undang 7 tahun 2003 tentang Sumber Daya Alam;

4) Undang-Undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air; 5) Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan (Lembaran Negara RI Tahun 2004 No. 54, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4389);

6) Undang-undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025;

7) Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang;

(43)

Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara RI Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara RI No. 4548);

9) Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Lembaran Negara RI Tahun 2004 No. 126, Tambahan Lembaran Negara RI No. 4438);

10) Undang-Undang Republik Indonesia No. 15 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;

11) Undang-Undang Republik Indonesia No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah;

12) Undang-Undang Republik Indonesia No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik; 13) Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah; 14) Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup;

15) Undang-Undang Republik Indonesia No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan; 16) Undang-undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman; 17) Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah (Lembaran

Negara RI Tahun 2001 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4139); 18) Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan

Pengendalian Pencemaran Air;

19) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Air Minum;

20) Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum;

21) Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2007 tentang Mutu Limbah cair;

22) Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota;

23) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah;

24) Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;

25) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air;

Gambar

Tabel 6.2 Usulan dan Prioritas Program Infrastruktur Permukiman Kabupaten Lombok Timur Tahun 2015 - 2019
Tabel 6.3 Usulan Pembiayaan Proyek
Tabel 6.4 Identifikasi Permasalahan dan Tantangan Penataan Bangunan dan Lingkungan
Tabel 6.5 SPM Kabupaten/Kota
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penelitian kualitatif juga, temuan atau data dapat dikatakan valid apabila tidak ada perbedaan antara yang dilaporkan penliti dengan apa yang sesungguhnya terjadi

Kurs juga sangat berpengaruh terhadap ekspor nilai tukar lainnya merupakan harga suatu mata uang dari suatu negara yang di ukur atau dinyatakan dalam mata uang

Perancangan sistem keamanan akses pintu menggunakan face recognition ini mengacu berdasarkan blok diagram pada gambar 3. Dimana untuk bagian input terdiri keypad agar

Genus Lactobacillus mempunyai beberapa kelebihan yang berpotensi untuk digunakan sebagai agen probiotik, diantaranya adalah mampu bertahan pada pH rendah, tahan

Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini menunjukkan bahwa kesiapan kerja siswa memiliki peranan penting karena dengan kemampuan kesiapan kerja yang dimiliki

Tingkat Bahaya Erosi (TBE) adalah perkiraan jumlah tanah yang hilang maksimum yang akan terjadi pada suatu lahan, bila pengelolaan tanaman dan tindakan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dampak dari krisis keuangan global dalam mempengaruhi faktor internal dan faktor eksternal dari bank syariah di