III. KERANGKA TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN
HIPOTESIS
3.1. Kerangka Teori
3.1.1. Tabel Input-Output, Perekonomian Wilayah dan Industri
Tabel Input-Output (Tabel I-O) telah dikenal sejak pertengahan abad ke-18, khususnya oleh Francois Quesnay pada tahun 1758 dengan Tableau
De'economique-nya. Semula Quesnay hanya mengkonstruksi model makro ekonomi
I-O khususnya antara petani dan buruh (farmers and laborers), tuan tanah
(landowners) dan pihak lainnya (others, sterile class). Leon Walras pada tahun 1877
dengan general equilibrium membuatnya menjadi lebih terinci melalui pemisahan
sektor yang lebih baik dan jelas. Perkembangan Tabel Input-Output menuju bentuk yang mendasari Tabel Input-Output modern adalah Tabel I-O yang dikembangkan oleh Leontief pada tahun 1947.
Tujuan Leontief mengembangkan Tabel I-O adalah untuk menjelaskan besarnya arus interindustri dalam hal tingkat produksi dalam tiap-tiap sektor. Saat ini, analisis I-O telah berkembang luas menjadi model analisis standar untuk melihat struktur keterkaitan perekonomian nasional, wilayah dan antar wilayah, serta dimanfaatkan untuk berbagai peramalan perkembangan struktur perekonomian.
Menurut Nicholson (2001), model keseimbangan umum dari Walras menjelaskan adanya dua lembaga ekonomi yaitu rumah tangga dan perusahaan. Di antara kedua lembaga tersebut terjadi, penawaran barang-barang jadi (final good)
dari perusahaan dan permintaan terhadap barang-barang jadi oleh rumahtangga, tetapi secara bersamaan terjadi permintaan terhadap faktor-faktor produksi dari perusahaan terhadap rumah tangga. Apabila jumlah yang diminta sama dengan jumlah yang ditawarkan, maka keseimbangan umum tercapai.
Konsep dasar Model Input-Output Leontief adalah: (1) struktur perekonomian tersusun dari berbagai sektor atau industri yang satu sama lain berinteraksi melalui transaksi jual beli, (2) output suatu sektor dijual kepada sektor lainnya untuk memenuhi permintaan akhir rumah tangga, pemerintah, pembentukan modal dan ekspor, (3) input suatu sektor dibeli dari sektor-sektor lainnya, dan rumah tangga dalam bentuk jasa dan tenaga kerja, pemerintah dalam bentuk pajak tidak langsung, penyusutan, surplus usaha dan impor, (4) hubungan input-output bersifat linier, (5) dalam suatu kurun waktu analisa selama satu tahun, total input sama dengan total output, dan (6) suatu sektor terdiri dari satu atau beberapa perusahaan. Suatu sektor hanya menghasilkan suatu output yang dihasilkan oleh suatu teknologi. Model dasar Tabel Input-Output disajikan pada Tabel 5.
Tabel input-output digunakan untuk: (1) memperkirakan dampak permintaan akhir terhadap output, nilai tambah, impor, dan penyerapan tenaga kerja di berbagai sektor produksi, (2) menyusun proyeksi variabel-varibel ekonomi makro, (3) menganalisis perubahan harga, (4) mengetahui sektor-sektor yang pengaruhnya paling dominan terhadap pertumbuhan ekonomi dan sektor-sektor yang pengaruhnya paling dominan terhadap pertumbuhan perekonomian nasional, (5) melihat komposisi penyediaan dan penggunaan barang dan jasa, terutama dalam analisis terhadap kebutuhan dan kemungkinan substitusinya, dan (6) melihat konsistensi dan kelemahan berbagai data statistik yang pada gilirannya dapat digunakan sebagai landasan perbaikan, penyempurnaan dan pengembangan lebih lanjut (BPS, 2000).
Model input-output juga dapat digunakan untuk berbagai tujuan, antara lain sebagai: (1) analisis struktural yang melukiskan hubungan permintaan dan penawaran pada tingkat keseimbangan, (2) alat evaluasi pengaruh ekonomi pada investasi masyarakat terhadap perekonomian wilayah dan nasional, (3) alat peramalan dan perencanaan melalui mekanisme tertentu, (4) alat analisis regional
dan interregional, (5) analisis dampak antar sektor ekonomi, tenaga kerja, pendapatan, dan lain-lain, (6) analisis kepekaan dan uji kelayakan, (7) bersama-sama dengan metode linear programming dapat digunakan untuk tujuan perencanaan, dan (8) bersama-sama dengan analisis comparative cost, untuk analisis industrial
kompleks dalam suatu rangkaian analisis ekonomi regional (BPS, 2000). Tabel 5. Model Dasar Tabel Input-Output
Sektor 1 2 … J … N C G I E Total Output 1 X11 … … Xij … Xin C1 G1 I1 E1 X1 2 X21 … … X2j … X2n C2 G2 I2 E2 X2 … … … … … … … … … … I … … … Xij … … Ci Gi Ii Ei Xi .. … … … … … … … … … Input Antara N Xn1 … … Xnj … Xnn Cn Gn In En Xn W W1 … … Wj … Wn CW GW IW EW W T T1 … … Tj … Tn CT GT IT ET T Input Primer S S1 … … Sj … Sn CS GS IS ES S Impor M M1 Mj Mn CM GM IM - M Total Input X1 Xj Xn C G I E X Keterangan :
i,j : Sektor ekonomi, i =1,2,...n, dan j =1,2, ...n
Xij : Total output sektor i yang dipergunakan sebagai input sektor j Xi : Total ouput sektor i, X j total input sektor j, untuk sektor yang sama (i=j) , total output sama dengan total input (Xi= Xj).
Ci : Pengeluaran konsumsi rumah tangga terhadap output sektor i
Gi : Pengeluaran pemerintah yaitu belanja rutin dan pembangunan terhadap output sektor i.
Ii : Pengeluaran pembentukan modal tetap netto (investasi) dari output
sektor i, output i, ouput sektor i yang menjadi barang modal.
Ei : Ekspor barang dan jasa sektor i, output sektor i yang disekpor/ dijual ke
luar wilayah, permintaan wilayah eksternal terhadap output sektor i. Yi : Total permintaan akhir terhadap output sektor i (Yi=Ci+Gi+Ii+E i)
Wj : Balas jasa rumah tangga yaitu upah dan gaji dari sektor j, nilai tambah
sektor j yang dialokasikan sebagai upah dan gaji anggota rumah tangga
yang bekerja di sektor j.
Tj : Pendapatan pemerintah yaitu pajak dari sektor j, nilai tambah sektor j
yang menjadi pendapatan asli daerah dari sektor j.
Sj : Surplus usaha sektor j, nilai tambah sektor j yang menjadi surplus usaha Mj : Impor sektor j, komponen input produksi sektor j yang diperoleh/ dibeli dari luar wilayah.
Secara sederhana, tabel input output pada Tabel 5 terdiri dari : pemintaan antara, permintaan akhir, input antara, input primer, total input dan total output. Berdasarkan Tabel 5, terlihat bahwa pada sektor 1, output sebesar X1 dialokasikan
sebesar X11, X21, X31 dan X14 berturut-turut kepada sektor 1, 2, 3 dan 4, sebagai permintaan antara, serta Fi yaitu konsumsi rumahtangga, pengeluaran pemerintah,
investasi, dan ekspor, untuk memenuhi permintaan akhir. Alokasi output secara keseluruhan dapat dirumuskan ke dalam bentuk persamaan aljabar sebagai berikut :
1 1 13 12 11 X X F X X + + + = 2 2 23 22 21 X X F X X + + + = 3 3 33 32 31 X X F X X + + + =
Persamaan diatas selanjutnya ditulis kembali sebagai berikut :
1 1 1 13 1 12 1 11X a X a X F X a + + + = 2 2 2 13 2 22 2 21X a X a X F X a + + + = 3 3 3 33 3 32 3 31X a X a X 3 X a + + + =
Dimana aij = Xij/Xj dan menyatakan koefisien (teknik) secara langsung. Dalam
bentuk matriks persamaan dapat dinyatakan sebagai berikut :
AX + F = X (3.1)
Dimana : [αij] merupakan matriks koefisien, X menyatakan matriks total dan F menyatakan matriks permintaan akhir. Persamaan 3.1 dapat dinyatakan sebagai berikut :
F A I
X =( − )−1. (3.2)
Tabel input-output sederhana dapat dibagi menjadi empat bagian yaitu kuadran I, II, III dan IV. Menurut Bendavid (1991), pembagian tabel input-output ke dalam empat kuadran tersebut sangat penting untuk memahami ketergantungan ekonomi dan gambaran holistik masing-masing sektor.
Kuadran Antara (kuadran I) atau intermediate quadrant disebut juga kuadran
interindustri atau kuadran prosesing, yaitu suatu matriks dalam tabel input-output yang menunjukkan transaksi antar sektor produksi atau industri dalam perekonomian. Menurut Bendavid (1991), analisis input output berbeda dengan perhitungan sosial, dimana pendapatan dan nilai tambah sudah dalam permintaan akhir (final demand). Kuadran ini merupakan sumber yang membedakan antara
sistem perhitungan sosial (misalnya pendapatan dan pengeluaran) nasional atau regional dengan perhitungan sosial lainnya, karena transaksi antara yang menyebabkan timbulnya perhitungan ganda terhadap nilai output transaksi.
Analisis keterkaitan antar sektor atau ketergantungan ekonomi bertitik tolak dari kuadran ini sehingga kuadran ini menjadi suatu bagian terpenting dalam model input-output. Dari kuadran ini pula akan dapat disusun matriks koefisien input yang merupakan dasar analisis linkages, yaitu perbandingan antara penggunaan input
antara dengan nilai output dari sektor yang bersangkutan atau dengan kata lain kuadran antara (kuadran I) memiliki peranan penting karena kuadran inilah yang menunjukkan antara sektor ekonomi dalam melakukan proses produksinya. Kuadran antara menunjukkan keterkaitan antar sektor perekonomian. Keterkaitan ini penting untuk melihat perubahan output suatu sektor terhadap pendapatan, ketenagakerjaan dan output sektor-sektor lainnya.
Kuadran pemintaan akhir (kuadran II) atau final demand quadrant
menunjukkan penjualan barang dan jasa yang diproduksi oleh sektor-sektor perekonomian untuk memenuhi permintaan akhir. Isian sel pada kuadran II ada dua jenis, yaitu: (1) transaksi permintaan akhir, dan (2) komponen penyediaan pada masing-masing sektor produksi. Permintaan akhir terdiri dari enam komponen, yaitu pengeluaran konsumsi rumahtangga, pengeluaran konsumsi pemerintah, pembentukan modal tetap bruto, perubahan stok, ekspor barang dan ekspor jasa.
Jumlah permintaan merupakan jumlah permintaan antara ditambah dengan jumlah permintaan akhir.
Isian sepanjang baris pada kuadran II memperlihatkan komposisi permintaan akhir terhadap suatu sektor produksi dan bagaimana komposisi penyediaannya. Sedangkan isian sepanjang kolom menunjukkan distribusi masing-masing komponen permintaan akhir dan penyediaan menurut sektor. Secara umum komponen permintaan akhir yang terdiri dari pengeluaran rumahtangga, pengeluaran pemerintah, pembentukan modal, perubahan stok, dan ekspor merupakan sisi pengeluaran dalam sistem perhitungan nasional atau merupakan komponen perhitugan gross domestic regional product dari sisi pengeluaran.
Kuadran input primer (kuadran III) atau primary input quadrant disebut juga
dengan kuadran nilai tambah yang menunjukkan pembelian input yang dihasilkan diluar sistem produksi oleh sektor-sektor dalam kuadran antara. Isian kuadran III terdiri dari sel-sel nilai tambah bruto atau input primer. Nilai tambah bruto terdiri dari upah dari gaji, surplus usaha/penyusutan, pajak tak langsung dan subsidi. Isian sepanjang baris pada kuadran III menunjukkan distribusi penciptaan masing-masing komponen nilai tambah bruto menurut sektor. Sedangkan isian sepanjang kolom menunjukkan komposisi penciptaan nilai tambah bruto oleh masing-masing sektor menurut komponennya.
Dalam banyak analisis, nilai tambah bruto yang dihasilkan oleh masing-masing sektor pada umumnya dikonversikan ke produk domestik regional bruto. Untuk keperluan ini maka nilai tambah bruto sektor perdagangan terlebih dahulu harus ditambah pajak penjualan impor dan bea masuk. Di samping melalui nilai tambah bruto, dapat juga diturunkan dari permintaan akhir, yaitu jumlah seluruh permintaan akhir dikurangi dengan impor barang dan impor jasa.
Kuadran input primer permintaan akhir (kuadran IV) atau kuadran input primer permintaan akhir menunjukkan transaksi langsung antara kuadran input primer dan permintaan akhir tanpa melalui sistem produksi atau kuadran antara. Umumnya kuadran IV ini jarang terdapat dalam tabel input-output. Tabel transaksi menggambarkan tentang arus (flow) komoditi barang dan jasa yang dinyatakan
dalam nilai uang diantara sektor-sektor dalam satuan waktu dan sistem ekonomi tertentu. Penjualan dan pembelian diantara sektor ekonomi diproyeksikan dalam suatu matriks yang terdiri dari baris dan kolom, pada suatu sektor tertentu ke sektor-sektor lainnya serta kepada konsumen akhir, seperti ditunjukkan pada Tabel 5.
Pembelian sektor tertentu terhadap output sektor lainnya serta pembelian faktor-faktor produksi primer (nilai tambah bruto didistribusikan menurut kolom). Sedangkan isian angka menurut baris memperlihatkan bagaimana output suatu sektor dialokasikan unruk memenuhi permintaan antara dan permintaan akhir. Isian angka menurut kolom menunjukkan permintaan input antara maupun input primer yang disediakan oleh input-input lain untuk melaksanakan proses produksi.
Menurut Kuncoro (2004b), analisis tabel input-output dapat dipergunakan untuk mengukur struktur dan perilaku industri. Untuk mengetahui struktur industri digunakan analisis keterkaitan antarsektor ke depan dan ke belakang dan analisis konsentrasi industri. Perilaku industri dipergunakan analisis angka pengganda output, pendapatan dan tenaga kerja. Analisis perilaku (conduct) merupakan salah
satu elemen dasar analisis klasik yang dikenal pada ekonomi industri. Perilaku perusahaan-perusahaan dalam suatu industri tidak pernah lepas dari struktur industri dan pasar yang dihadapi oleh masing-masing perusahaan.
Menurut Miller and Blair (1985), ada tiga angka pengganda yang dipergunakan untuk mengestimasi efek dari perubahan eksogen guna mengukur perilaku industri, yaitu :
Output Multiplier (Efek Pengganda Output)
Rumus efek pengganda output adalah sebagai berikut :
∑
= = n i ij j O 1 α (3.3) dimana : i = nomor baris j = nomor kolomOj = efek pengganda sektor j
α = elemen dalam matriks Leontief invers
Income Multiplier (Efek Pengganda Pendapatan)
Rumus efek pengganda pendapatan adalah sebagai berikut :
∑
= = = n i ij i n j a H 1 1... α (3.4) dimana :Hj = efek pengganda pendapatan a = koefisien pendapatan
α = elemen dalam matriks Leontief invers
Employment multipler (Efek pengganda tenaga kerja)
ij n i n j W E
∑
α = + = 1 1 (3.5) dimana:Eij = efek pengganda tenaga kerja w = koefisien tenaga kerja
α = elemen dalam matriks Leontief invers
Rasmussen (1956) mengukur keterkaitan antarsektor berdasarkan penjumlahan kolom (atau baris) pada matrix invers Leontief, (I–A)-1. Keterkaitan ke
belakang dan keterkaitan ke depan menurut metode ini masing-masing diukur dengan cara :
∑
= = n i ij R j g BL 1 (3.6) dan,∑
= = n j ij R j g FL 1 (3.7) Di mana R jBL dan FLRj berturut-turut menunjukkan ukuran keterkaitan ke belakang
dan keterkaitan ke depan untuk metode Rasmussen, sedangkan guj adalah elemen
pada matriks invers Leontief, (I–A)-1. Oleh karena model Rasmussen menggunakan
matriks invers Leontief, maka ukuran keterkaitan antarsektor yang diperoleh bisa dikatakan merupakan ukuran keterkaitan secara tidak langsung, yang menghitung dampak tidak langsung dari suatu sektor dalam perekonomian.
Rasmussen (1956) juga memberikan dua jenis ukuran indeks lainnya yang disebut : (1) kemampuan penyebaran (power of dispersion), dan (2) kepekaan
penyebaran (sensitivity of dispersion). Dengan dua indeks ini kita bisa melakukan
perbandingan besarnya derajad keterkaitan antarsektor, yang nantinya bisa ditentukan sektor-sektor mana saja yang dapat dijadikan sebagai sektor kunci atau sektor pemimpin dalam pembangunan ekonomi.
∑∑
∑
= = i j ij n n j i ij j g g a 1 (3.8) dan, j β =∑∑
∑
= i j ij n n j i ij g g 1 (3.9)Dari persamaan 3.8 dan 3.9, αj menunjukkan indeks daya penyebaran dari sektor j
dalam perekonomian, dan βi merupakan indeks derajat kepekaan dari sektor i.
Sedangkan gii adalah elemen matriks invers Leontief, G = (1-A)-1. Invers Leontief
dipergunakan untuk multiplier (angka pengganda), baik pengganda output,
pendapatan rumah tangga (RT) dan tenaga kerja.
Analisis keterkaitan dipergunakan untuk mengukur keterkaitan antara sektor pertanian dan industri. Salah satu syarat perlu (necessary condition) agar dapat
mencapai transformasi struktural dari pertanian ke industri manufaktur adalah adanya keterkaitan sektor pertanian dan sektor industri yang tangguh. Kaitan yang paling sesuai menuju industri yang tangguh adalah pengolahan produk-produk pertanian ke dalam pengembangan sektor agroindustri.
3.1.2. Konsentrasi Spasial dan Kekuatan Aglomerasi
Konsentrasi spasial merupakan pengelompokan setiap industri dan aktivitas ekonomi secara spasial berlokasi pada suatu wilayah tertentu (Fujita et al., 1999).
Definisi tersebut melengkapi pandangan Krugman (1991) yang menyatakan bahwa konsentrasi spasial merupakan aspek yang ditekankan dari aktivitas ekonomi secara geografis dan sangat penting penentuan lokasi industri. Krugman (1991) menyatakan bahwa dalam konsentrasi aktivitas ekonomi secara spasial, ada tiga hal yang saling terkait yaitu interaksi antara skala ekonomi, biaya transportasi, dan permintaan. Untuk mendapatkan dan meningkatkan kekuatan skala ekonomis, perusahaan-perusahaan cenderung berkonsentrasi secara spasial dan melayani seluruh pasar dari suatu lokasi. Sedangkan untuk meminimumkan biaya transportasi, perusahaan cenderung berlokasi pada wilayah yang memiliki permintaan lokal yang besar, akan tetapi permintaan lokal yang besar cenderung berlokasi di sekitar terkonsentrasinya aktivitas ekonomi. Selanjutnya, Fujita et al. (1999) menjelaskan
bahwa pada dasarnya, pemikiran tentang terjadinya aglomerasi didasari oleh pentingnya hasil yang meningkat akibat skala ekonomi dan biaya transportasi, serta keterkaitan ke belakang dan keterkaitan ke depan yang besar merupakan argumentasi logis yang dapat menjelaskan terjadinya aglomerasi.
Menurut Aiginger and Hansberg (2003), konsentrasi spasial merupakan
regional share yang menunjukkan distribusi lokasional dari suatu industri.
Sedangkan spesialisasi industri didefinisikan sebagai distribusi share industri dari suatu wilayah. Pada wilayah terspesialisasi, konsentrasi spasial menunjukkan tingkatan aktivitas dan distribusi lokasional dari industri pada wilayah tersebut. Adanya spesialisasi, konsentrasi spesial di industri utama relatif lebih tinggi dari pada konsentrasi spesial di luar industri utama. Dengan demikian, kontribusi industri utama pada suatu wilayah menimbulkan distribusi spasial yang cenderung terkonsentrasi pada suatu wilayah. Suatu industri yang terpesialisasi atau industri utama akan cenderung terkonsentrasi pada wilayah secara spasial.
Dasar analisis pada penelitian ini bersumber pada dua indikator yang merupakan dasar dalam penyusunan indeks spesialisasi dan konsentrasi spasial seperti yang dikemukakan oleh Kuncoro (2000) yang menggunakan PDRB yaitu:
i s i s i PDRB PDRB V = (3.10) dimana : S i
V = pangsa dari PDRB subsektor Agroindustri s di kota atau kabupaten i
terhadap PDRB sektor industri manufaktur kabupaten atau kota i
secara keseluruhan.
i = kota atau kabupaten di Provinsi Lampung
Berdasarkan pendapat yang dikemukakan Aiginger and Hansberg (2003), kontribusi PDRB subsektor industri manufaktur s di kabupaten atau kota i terhadap
PDRB kabupaten secara keseluruhan dapat menunjukkan subsektor industri manufaktur apa yang merupakan spesialisasi sektor dan kabupaten i.
i s i s i PDRB PDRB V = (3.11) Spesialisasi pada tingkatan yang lebih luas dilambangkan oleh s
V yang merupakan
pangsa dari PDRB subsektor agroindustri s terhadap PDRB sektor agroindustri
Provinsi Lampung secara keseluruhan. s
V menunjukkan subsektor agroindustri
yang merupakan spesialisasi dari sektor agroindustri. Penggunaan data PDRB dalam menganalisis spesialisasi didasarkan pada penelitian Kuncoro (2000).
S S i S i PDRB PDRB S = (3.12) dimana : SSi = konsentrasi spesial S i
PDRB = PDRB subsektor S di kota/ kabupaten i
S
PDRB = PDRB subsektor S di seluruh provinsi
Pada sisi lain, Aiginger and Hansberg (2003) menyatakan bahwa konsentrasi dapat didefinisikan sebagai regional pangsa yang menunjukkaan distribusi lokasional dari suatu industri. Konsentrasi spesial yang dilambangkan SS
i menunjukkan kontribusi PDRB subsektor s di kota/ kabupaten i terhadap PDRB
subsektor s di seluruh Provinsi Lampung. Penggunaan data PDRB pada konsentrasi
spasial berdasarkan penelitian yang dilakukan Sjoberg and Sjoholm (2001).
PDRB PDRB
Xi = i (3.13)
Xi = kontribusi kabupaten/ kota i terhadap agroindustri Provinsi Lampung Perbandingan nilai Xi antara daerah i = (1…..n) menunjukkan distribusi lokasional agroindustri di Provinsi Lampung.
Salah satu pendekatan yang paling sering digunakan adalah menganalisis spesialisasi daerah adalah Location Quotient (LQ), yang juga disebut Koefisien
Hoover-Balassa (Lafourcade and Mion, 2003). Pendekatan ini menyatakan bahwa spesialisasi relatif (agroindustri) pada suatu wilayah terjadi apabila spesialisasi industri pada suatu wilayah lebih besar dari pada spesialisasi industri pada wilayah agregat (Kuncoro, 2000). X S V V LQ i S i S S i = = (3.14) dimana :
LQ = Location Quotient atau Koefisien Hoover-Balassa
S
i
V = pangsa subsektor agroindustri s di kabupaten/ kota terhadap
industri provinsi
S
V = pangsa sektor agroindustri kabupaten/ kota terhadap agroindustri
provinsi S
i
S = kontribusi subsektor agroindustri di kabupaten/ kota terhadap
agroindustri provinsi
Xi = kontribusi sektor agroindustri kabupaten/ kota terhadap
agroindustri provinsi Apabila VS VS
i > atau SSi > Xi maka LQ>1; Apabila VSi <VS atau
X
SiS > i maka LQ<1. Nilai LQ>1, menunjukkan bahwa subsektor s terspesialisasi secara relatif di wilayah i. Menurut Bendhavid (1991), subsektor s
demikian pula sebaliknya apabila LQ<1 maka subsektor s bukan merupakan
subsektor unggulan daerah tersebut.
Pada sisi lain, Krugman (1991) menyatakan tentang perbedaan struktur industri pada suatu wilayah dengan struktur industri pada suatu wilayah lain maupun seluruh wilayah akan mempengaruhi daya saing wilayah yang menjadi standar. Hasil penilaian menunjukkan tingkat spesialisasi wilayah yang dianalisis. Oleh karena itu, dalam menganalisis spesialisasi suatu daerah digunakan indikator yang digunakan oleh Krugman (1991) yaitu Indeks spesialisasi regional atau KSPEC. Kim (1999) menyatakan bahwa nilai yang menjadi ukuran KSPEC berkisar antara nilai nol dan dua. Nilai nol menunjukkan bahwa adanya kesamaan struktur industri antara wilayah yang dianalisis dengan wilayah yang dijadikan benchmark. Nilai dua menunjukkan tidak adanya kesamaan struktur antara wilayah yang dianalisis sehingga masing-masing wilayah yang dinalisis terspesialisasi pada industri unggulan masing-masing. ∑ − = = N S S S i SPEC V V K 1 (3.15) dimana :
KSPEC = indeks spesialisasi regional.
S
i
V = pangsa subsektor agroindustri s di kabupaten/ kota terhadap
agroindustri di tingkat provinsi
S
V = pangsa sektor agroindustri kabupaten/ kota terhadap agroindustri
provinsi
KSPEC atau indeks spesialisasi regional menunjukkan tingkatan spesialisasi suatu wilayah bila dengan wilayah lain dengan wilayah bersama sebagai benchmark.
Dalam konteks Provinsi Lampung, yang menjadi benchmark dalam menganalisis KSPEC pada i adalah struktur agroindustri Provinsi Lampung. KSPEC bernilai dua
apabila struktur agroindustri pada wilayah i memiliki tidak memiliki kesamaan
dengan struktur agroindustri di Lampung secara keseluruhan. KSPEC bernilai nol apabila persamaan struktur agroindustri daerah i sama dengan struktur agroindustri
Lampung secara keseluruhan. KSPEC wilayah i bernilai lebih besar daripada satu sampai dengan lebih kecil sama dengan dua menunjukkan bahwa wilayah i lebih
terspesialisasi daripada wilayah lain di Lampung.
Pendekatan lain untuk menganalisis konsentrasi spasial adalah Indeks Herfindahl yang dilambangkan HS yang menunjukkan distribusi lokasi pada
subsektor s di wilayah tertentu. Nilai HS berkisar antara nol dan satu, semakin tinggi HS maka distribusi lokasi semakin tidak merata dan industri manufaktur pada
subsektor S cenderung terkonsentrasi pada wilayah tertentu.
( )
∑ = = M i S S S H i 1 2 (3.16) dimana :HS = distribusi lokasi pada subsektor s di wilayah tertentu
S i
S = konsentrasi spasial subsektor s di kabupaten/ kota i
Ellison and Glaeser (1997) menganalisis konsentrasi spasial dengan menggunakan indeks yang berbasis tenaga kerja :
(
)
∑ = = − M i EG S X g si i 1 2 (3.17) dimana :g EG= Indikator Gini Lokasional
s i
S = kontribusi subsektor agroindustri di kabupaten/ kota terhadap
agroindustri provinsi
Xi= kontribusi sektor agroindustri kabupaten/ kota terhadap agroindustri
Indikator ini menunjukkan tingkat spesialisasi suatu sektor dan konsentrasi spasial antara beberapa wilayah.
Indeks yang dikembangkan dari g EG telah digunakan oleh Ellison and
Glaeser (1999) untuk menganalisa konsentrasi spasial dari industri manufaktur di Amerika Serikat, berdasarkan analisa yang telah dilakukan berkesimpulan bahwa pada industri yang terspesialisasi, konsentrasi spasial terjadi karena natural
advantage dan knowledge spillover (disebut juga Marshal-Arrow-Romer atau MAR
eksternalitas). Akan tetapi sangat sulit untuk mengukur dorongan dari knowledge
spillover terhadap konsentrasi spasial. Oleh karena itu, Ellison and Glaeser (1999)
mengemukakan tentang kontribusi natural advantages berdasarkan factor
endowment yang secara simultan mempengaruhi dan mendorong skala ekonomi
internal perusahaan. Ellison and Glaeser (1999) membangun indikator untuk merefleksikan kontribusi dari natural advantages dan knowledge spillover, yaitu :
f f EG EG H H G − − = 1
γ
(3.18) dimana : EGγ = Indeks Ellison dan Glaeser
EG
G = besarnya kekuatan aglomerasi
f
H = indeks Herfindahl
Indikator tersebut dibangun dari persamaan (3.19) dan (3.20)
( )
∑ − = = M i EG EG X g G i 1 2 1 (3.19) dimana : EGG = besarnya kekuatan aglomerasi
EG
i
X = kontribusi kabupaten/ kota terhadap agroindustri provinsi
GEG atau yang biasa disebut dengan raw concentration menunjukkan besarnya kekuatan aglomerasi yang mendorong konsentrasi spasial dan disusun berdasarkan persamaan (3.17)
( )
2 1∑
= = L f S f Z H (3.20)H f merupakan firm size Herfindahl yang menunjukkan distribusi tenaga kerja pada
industri, sedangkan S f
Z adalah firm size yang dikalkulasi berdasarkan pangsa tenaga
kerja firm terhadap tenaga kerja industri. Lafourcade and Mion (2003) menggunakan H sebagai proxy untuk menggantikan H f dengan memakai data
PDRB (salah unsurnya adalah upah tenaga kerja ) dimana :
( )
∑ = = M i S M S H i 1 2 1 (3.21) H = Indeks Herfindahl S iS = konsentrasi spasial subsektor s di kabupaten/ kota i
Oleh karena itu, dengan mengganti H f dengan H maka persamaan (3.18) akan
berubah menjadi: H H GEG EG − − = 1 γ (3.22) dimana : EG
γ = Indeks Ellison dan Glaeser
EG
G = besarnya kekuatan aglomerasi H = Indeks Herfindahl
Berdasarkan pengamatan empiris yang dilakukan oleh Ellison dan Glaeser, γEG menunjukkan pengaruh natural advantage dan knowledge spillover terhadap
konsentrasi spasial dari industri. Ellison and Glaeser (1997) menyatakan bahwa standar pengukuran dari indeks tersebut berdasarkan beberapa perhitungan empiris
adalah: di bawah 0.02 menunjukkan dispersi spasial dan di atas 0.05 menunjukkan terjadinya aglomerasi yang kedua-duanya disebabkan oleh pengaruh natural
advantage dan knowledge spillover.
3.1.3. Keterkaitan Model Input-Output dan Ekonometrika
Ada tiga strategi yang dipergunakan dalam menggabungkan model input-output dan ekonometrika yaitu (1) embedding, (2) linking, dan (3) coupling.
Perbedaan utama ketiga strategi ini terletak pada rezim integrasi dan struktur integrasi tenaga kerja. Rezim integrasi berhubungan dengan sifat dasar dan kuatnya interaksi antara model input-output dan ekonometrika, interaksi antar model dapat berupa sistem persamaan rekursif atau simultan. Struktur integrasi terdiri atas persamaan matematis dan metode solusi optimal yang dipilih. Struktur tersebut dapat bersifat komposit dan modular. Struktur komposit menyatakan bahwa kedua model di dalam sekuensial persamaan linear dan atau non-linear yang kemudian diselesaikan dengan algoritma iterasi yang tepat. Sedangkan struktur modular menunjukkan bahwa suatu model dapat dijalankan sampai konvergen sebagai sub-sekuensial kemudian berinteraksi dengan sub-sub-sekuensial model yang lain.
Integrasi model dengan strategi embedding, didominasi oleh model
ekonometrika, sedangkan model input-output hanya bersifat memberikan informasi keterkaitan antar sektor-sektor perekonomian. Akibatnya rezim integrasinya tidak bersifat rekursif dan simultan karena satu model lebih berpengaruh dari model yang lain. Struktur integrasi dari strategi dari strategi embedding ini bersifat komposit.
Dalam strategi linking, model input-output tidak terlalu tergantung dengan
model ekonometrika. Rezim integrasi dari strategi ini bersifat rekursif karena satu model digunakan sebagai input atau informasi bagi model yang lain secara rekursif
(satu arah). Strategi integrasi Model I-O dan Ekonometrika dapat dilihat pada Gambar 4.
Sumber : Rey, 1999
Gambar 4. Strategi Integrasi Model I-O dan Ekonometrika
Strategi yang terakhir adalah coupling, strategi ini menggambarkan eratnya
hubungan dan kuatnya interaksi antara model input-output dan ekonometrika. Model ini memandang satu kesatuan antara model input-output dan ekonometrika, yang dihubungkan oleh permintaan akhir. Strategi integrasi coupling, terdiri dari atas
beberapa bagian yang saling tumpah tindih, mirip seperti embedding, sedangkan
bagian lain mirip dengan strategi linking.
Studi-studi yang menggunakan model integrasi input-output dan ekonometrika banyak dilakukan di Amerika Serikat. Strategi integrasi embedding
digunakan oleh Glemon and Lane (1990) untuk Kentucky. Strategi integrasi linking
digunakan oleh King et al. (1977) untuk Ohio. Sedangkan strategi integrasi coupling
digunakan oleh Conway Jr. (1990) untuk Washington dan Israilevich et al. (1996)
3.2. Kerangka Pemikiran
3.2.1. Peran Agroindustri dalam Perekonomian Wilayah Provinsi Lampung Agroindustri merupakan pengolahan produk berbasis pertanian. Agroindustri terdiri dari agroindustri hulu (upstream agrobusiness) yaitu subsektor industri yang
menghasilkan sarana produksi pertanian, dan agroindustri hilir (downstream
agrobusiness) yaitu subsektor industri yang mengolah hasil-hasil pertanian.
Agroindustri merupakan merupakan subsistem agribisnis yang berperan untuk meningkatkan nilai tambah subsistem produksi pertanian.
Agroindustri merupakan salah satu sektor yang berpotensi menjadi leading
sector dalam perekonomian nasional atau regional. Indikator suatu sektor menjadi
leading sector antara lain memiliki pangsa yang besar dalam perekonomian secara
keseluruhan, pertumbuhan dan nilai tambah yang relatif tinggi; dan memiliki keterkaitan ke depan dan ke belakang (forward and backward linkages) yang cukup
besar. Pada tahun 2005, agroindustri di Provinsi Lampung memberikan kontribusi terhadap total output sebesar 28%, sementara sektor pertanian berkontribusi sebesar 27%.
Agroindustri mempunyai keterkaitan ke belakang (hulu) sangat besar karena menggunakan input dari bahan baku sektor pertanian. Sektor pertanian di Provinsi Lampung merupakan sektor yang berkontribusi besar setelah sektor agroindustri. Agroindustri mempunyai keterkaitan ke depan (hilir) besar karena outputnya dipergunakan sebagai input industri atau sektor lain. Keterkaitan industri merupakan salah satu proses yang mendorong terjadinya aglomerasi.
Aglomerasi agroindustri di Provinsi Lampung terjadi karena posisi wilayah provinsi dekat dengan kawasan megapolitan Jabotabek dan adanya ekspor langsung ke pasar internasional melalui Pelabuhan Panjang dan pelabuhan khusus yang
dibangun oleh industri. Selain industri berorientasi ekspor, juga berkembang industri berbasis bahan baku yang tersebar di wilayah sentra produksi pertanian.
Selain keterkaitan, agroindustri juga memberikan dampak pengganda bagi output sektoral, pendapatan rumah tangga sektoral, dan kesempatan kerja sektoral. Angka pengganda output menghitung output total yang tercipta dari satu unit uang permintaan akhir. Karena output sektor-sektor agroindustri yang paling besar, maka keterkaitan antarsektor dan dampak pengganda agroindustri dalam perekonomian wilayah Provinsi Lampung menjadi lebih besar dibandingkan sektor lain.
3.2.2. Konsentrasi Spasial, Klaster dan Kekuatan Aglomerasi
Konsentrasi spasial merupakan pengelompokan setiap industri dan aktivitas ekonomi secara spasial yang berlokasi pada suatu wilayah tertentu. Klaster adalah konsentrasi spasial dari industri-industri yang sama atau sejenis. Aglomerasi merupakan berkumpulnya atau terkonsentrasinya suatu kegiatan ekonomi pada suatu wilayah atau area tertentu yang memberikan manfaat bagi kegiatan sektor ekonomi.
Aglomerasi merupakan suatu proses yang menyebabkan industri berkonsentrasi secara spasial. Suatu industri yang terpesialisasi atau industri utama
(share besar) akan cenderung terkonsentrasi pada wilayah secara spasial.
Agroindustri di Provinsi Lampung merupakan sektor utama atau industri yang terspesialisasi sehingga cenderung terkonsentrasi secara spasial
Aglomerasi menimbulkan manfaat bagi pembangunan wilayah yaitu pergerakan barang, pergerakan sumberdaya manusia, dan kemudahan informasi. Pada beberapa industri yang lokasinya berdekatan, commuting cost untuk
memudahkan pergerakan barang di antara industri tersebut menjadi lebih murah. Pasar tenaga kerja menjadi lebih besar di kawasan industri yang teraglomerasi, informasi mengenai ketenagakerjaan menjadi lebih banyak, sedangkan biaya lain yang ditimbulkan adalah biaya hidup, commuting, dan biaya lainnya.
Kekuatan aglomerasi disebabkan oleh natural advantage dan knowledge
spillover. Natural advantage bagi sektor agoindustri di Provinsi Lampung didukung
ketersediaan bahan baku dan sarana infrastruktur penunjang. Sedangkan faktor
knowledge spillover ditunjang oleh semakin meningkatnya derajat pendidikan
pekerja.
3.2.3. Penghematan Akibat Aglomerasi di Sektor Agroindustri
Aglomerasi muncul karena para pelaku ekonomi berupaya mendapatkan penghematan aglomerasi (agglomeration economies), baik karena penghematan
lokasi maupun penghematan urbanisasi, dengan mengambil lokasi yang saling berdekatan satu sama lain.
Penghematan aglomerasi merupakan fungsi dari sejumlah barang-barang kapital, skala ekonomi, bahan baku, upah tenaga kerja dan jumlah pekerja. Interaksi dalam aglomerasi industri mencerminkan adanya sistem interaksi antara pelaku ekonomi, antar perusahaan dalam industri yang sama, antar perusahaan dalam industri yang berbeda, ataupun antar individu, perusahaan dan rumah tangga. Faktor-faktor yang menentukan ouput agroindustri di Provinsi Lampung yang beraglomerasi (agglomeration economies) adalah kapital, bahan baku, upah tenaga
kerja, energi, penghematan akibat lokasi, dan penghematan akibat urbanisasi.
Penghematan akibat lokalisasi terjadi jika biaya produksi dari perusahaan secara individu menurun sebagai akibat dari meningkatnya jumlah output dari wilayah perkotaan. Salah satu alasan mengapa penghematan akibat lokalisasi akan meningkatkan produktivitas karena alasan tenaga kerja, di mana pada daerah industri tertentu, tenaga dengan keahlian yang dibutuhkan oleh industri tersebut berkumpul dan memudahkan industri dalam mencari tenaga kerja sesuai kebutuhan sehingga menurunkan biaya pencarian.
Penghematan akibat urbanisasi merupakan keuntungan-keuntungan yang bcrsifal eksternal bagi industri, terutama dirasakan di daerah perkotaan. Aglomerasi yang bersifat penghematan akibat urbanisasi akan mempengaruhi aktifitas ekonomi wilayah perkotaan/metropolitan karena pertumbuhan penduduk dan tenaga kerja (kepadatan penduduk) mencerminkan pertumbuhan ekonomi daerah. Masuknya unsur penghematan akibat aglomerasi ke dalam fungsi produksi menyebabkan terjadinya kenaikan penggunaan input. Akibatnya, output akan terdorong naik dengan derajat yang lebih tinggi dibanding kenaikan input itu sendiri, sehingga penghematan akibat aglomerasi akan membawa dampak positif bagi perekonomian wilayah.
3.2.4. Dampak Kebijakan Ekonomi di Sektor Agroindustri terhadap Perekonomian Wilayah
Guna mewujudkan struktur perekonomian yang seimbang, kebijakan ekonomi di sektor agroindustri memiliki beberapa sasaran menarik pembangunan sektor pertanian, menciptakan nilai tambah, menciptakan lapangan pekerjaan, meningkatkan penerimaan devisa, dan meningkatkan pembagian pendapatan. Agar agroindustri dapat berperan sebagai penggerak utama perekonomian, persyaratan yang harus dipenuhi adalah: berlokasi di pedesaan, terintegrasi vertikal ke bawah, mempunyai kaitan input-output yang besar dengan industri lainnya, dan padat tenaga kerja.
Sesuai dengan permasalahan mendesak yang dihadapi, serta terbatasnya kemampuan sumberdaya pemerintah, maka kebijakan ekonomi di sektor agroindustri sejalan dengan fokus utama kebijakan pengembangan industri. Kebijakan ekonomi tersebut ditetapkan pada sub-sektor yang memenuhi kriteria sebagai berikut: (1) menyerap banyak tenaga kerja, (2) memenuhi kebutuhan dasar dalam negeri (seperti makanan-minuman dan obat-obatan), (3) mengolah hasil
pertanian dalam arti luas (termasuk perikanan) dan sumber-sumber daya alam lain dalam negeri, dan (5) memiliki potensi pengembangan ekspor.
Kebijakan ekonomi pada sektor agroindustri berupa stimulus ekonomi, baik peningkatan pengeluaran pemerintah, peningkatan investasi maupun peningkatan ekspor akan meningkatkan output sektor agroindustri. Pendapatan regional yang dimodifikasi dari rumus Keyness merupakan penjumlahan konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah dan selisih antara ekspor dan impor.
Dalam analisis input-output, ada tiga hal yang berpengaruh terhadap output atau pertumbuhan ekonomi yaitu investasi, pengeluaran pemerintah, dan ekspor. Pengeluaran pemerintah (goverment expenditure) merupakan pembelian barang dan
jasa yang merupakan injeksi terhadap perekonomian wilayah. Pengeluaran pemerintah dalam pengembangan agroindustri berupa program pengembangan produktivitas agroindustri, penyediaan infrastruktur dan pengembangan kawasan. Investasi agroindustri diperlukan untuk meningkatkan stok kapital guna meningkatkan kapasitas produksi. Peningkatan investasi dilakukan melalui penambahan pabrik agroindustri dan peningkatan kapasitas produksi. Peningkatan ekspor di Provinsi Lampung akan dapat meningkatkan pertumbuhan regional karena sebagian besar produk agroindustri berorientasi ekspor. Kebijakan pengeluaran pemerintah, peningkatan investasi dan peningkatan ekspor ditujukan untuk meningkatkan kinerja perekonomian wilayah dalam peningkatan output, pendapatan rumah tangga, dan kesempatan kerja.
Dampak kebijakan ekonomi pada sektor agroindustri melalui keterkaitan antarsektor akan meningkatkan pertumbuhan output sektor ekonomi lainnya. Peningkatan output akan mendorong peningkatan permintaan tenaga kerja, baik tenaga kerja sektor agroindustri maupun non sektor agroindustri, serta permintaan terhadap modal yang dipenuhi oleh rumah tangga dan perusahaan. Hal ini akan
Spasial
Gambar 5. Kerangka Pemikiran Penelitian PEREKONOMIAN WILAYAH SEKTOR AGROINDUSTRI Kontribusi/ Pangsa Keterkaitan Antarsektor Pengganda Industri Beraglomerasi (Klaster) Industri Tidak Beraglomerasi/ (Klaster) PENGHEMATAN AGLOMERASI Penghematan Lokalisasi Penghematan Urbanisasi KEBIJAKAN EKONOMI Pengeluaran Pemerintah Investasi Ekspor KINERJA MENINGKAT Output Pendapatan Rumah Tangga Kesempatan Kerja
berdampak lebih lanjut pada peningkatan pendapatan rumah tangga dan perusahaan. Proses ini akan terus berlangsung melalui efek pengganda.
Keterkaitan antarsektor dan dampak pengganda agroindustri yang beraglomerasi dalam perekonomian wilayah Provinsi Lampung lebih besar dari pada keterkaitan antarsektor dan dampak pengganda sektor lain. Oleh karena itu, kebijakan yang meningkatkan kinerja perekonomian wilayah dalam hal output, pendapatan rumah tangga, dan kesempatan kerja sektoral adalah kebijakan gabungan pengeluaran pemerintah, peningkatan investasi dan peningkatan ekspor ditujukan pada sektor agroindustri yang beraglomerasi. Kerangka pemikiran yang menghubungkan peran agroindustri dalam perekonomian wilayah, aglomerasi industri dan dampak kebijakan ekonomi dapat dilihat pada Gambar 5.
3.3. Hipotesis
Berdasarkan kerangka pemikiran, maka disusun hipotesis yaitu :
1. Konstribusi, keterkaitan antarsektor dan dampak pengganda agroindustri dalam perekonomian wilayah Provinsi Lampung lebih besar daripada peranan, keterkaitan antarsektor dan dampak pengganda non agroindustri.
2. Terjadi konsentrasi spasial dan aglomerasi pada sektor agroindustri.
3. Faktor-faktor yang menentukan ouput industri yang beraglomerasi adalah kapital, bahan baku, upah tenaga kerja, energi, penghematan akibat lokalisasi
(localization economies) dan penghematan akibat urbanisasi (urbanization
economies).
4. Kebijakan yang meningkatkan kinerja perekonomian wilayah dalam hal output, pendapatan rumah tangga, dan kesempatan kerja sektoral adalah kebijakan gabungan pengeluaran pemerintah, peningkatan investasi dan peningkatan ekspor pada sektor agroindustri yang beraglomerasi.