• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB 1

PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

Informasi merupakan kebutuhan dasar bagi manusia. Melalui informasi ini manusia akan memperoleh suatu pengetahuan yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi di dalam kehidupannya. Menurut Undang-Undang Dasar 1945 amandemen kedua tahun 2000 yaitu pada pasal 28A dan 28F menyebutkan bahwa setiap manusia Indonesia berhak mendapatkan akses yang seluas-luasnya dalam mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi melalui berbagai media guna meningkatkan kualitas dan kesejahteraan hidup (Tim Pustaka Setia, 2001). Salah satu informasi penting adalah informasi spasial. Melalui informasi spasial manusia dapat memperoleh pengetahuan tentang kewilayahan dan berbagai macam hal dalam suatu wilayah yang mereka perlukan. Hak memperoleh informasi spasial merupakan hak asasi setiap manusia, tak terkecuali bagi penyandang tunanetra.

Tunanetra adalah sebutan bagi seseorang yang memiliki hambatan dalam menggunakan indera penglihatannya atau tidak berfungsinya indera penglihatannya. Tidak berfungsinya indera penglihatan ini dapat disebabkan oleh dua faktor, yaitu pre-natal dan post-natal. Faktor pre-natal merupakan faktor yang sangat erat hubungannya dengan faktor keturunan atau pertumbuhan seorang bayi di dalam kandungan. Faktor keturunan dapat terjadi akibat perkawinan bersaudara, perkawinan sesama tunanetra, ataupun perkawinan karena salah satu orang tuanya ada yang menyandang tunanetra. Faktor pertumbuhan bayi dalam kandungan merupakan faktor semasa dalam kandungan yang mempengaruhi seorang bayi mengalami gangguan pada indera penglihatannya, seperti gangguan waktu ibu hamil, penyakit menahun seperti TBC, infeksi pada ibu hamil, dll.

Faktor post-natal merupakan faktor yang terjadi sejak atau setelah seorang bayi dilahirkan dengan kata lain faktor ini terjadi di luar kandungan. Faktor yang terjadi pada post-natal ini antara lain : kerusakan pada mata atau saraf mata pada

(2)

2

waktu persalinan yang mungkin disebabkan karena benturan, saat persalinan ibu mengalami penyakit gonorrhoe, sehingga baksil gonorrhoe menular pada bayi yang dapat membuat penglihatan si bayi menjadi terganggu, mengalami penyakit mata yang menyebabkan ketunanetraan seperti xeropthalmia, trachoma, catarak, dsb. Serta faktor kecelakaan juga menjadi salah satu penyebab terjadinya ketunanetraan.

Adanya kekurangan pada indera penglihatan ini, maka penyandang tunanetra menggunakan indera peraba dan pendengarannya untuk memperoleh segala macam informasi yang mereka butuhkan. Indera peraba untuk memperoleh informasi tentang obyek-obyek yang memiliki bentuk fisik, sedangkan indera pendengaran untuk informasi tentang obyek-obyek berupa audio, akantetapi mereka sering menggunakan kedua indera ini untuk memperjelas informasi yang didapatkannya. Salah satu informasi yang dibutuhkan oleh tunanetra adalah informasi spasial yang digunakan untuk membantu mereka bergerak.

Aktivitas bergerak memiliki 2 unsur, yaitu orientasi dan mobilitas. Orientasi adalah proses penggunaan indera-indera yang masih berfungsi untuk menetapkan posisi diri dan hubungannya dengan objek-objek yang ada dalam lingkungannya. Seorang tunanetra harus terlebih dahulu faham betul tentang konsep dirinya untuk dapat mengorientasikan dirinya. Mobilitas adalah kemampuan, kesiapan, dan mudahnya bergerak dan berpindah tempat. Mobilitas juga berarti kemampuan bergerak dan berpindah dalam suatu lingkungan. (Raharja, 2010)

Melihat penjelasan di atas, bahwasannya untuk melakukan aktivitas bergerak setidaknya terdapat dua unsur penyusunnya, yaitu orientasi dan mobilitas. Orientasi merupakan penggunaan indera yang dimiliki untuk menetapkan diri dan hubungannya dengan objek di sekitarnya, sedangkan mobilitas kemampuan dan kesiapan dalam melakukan perpindahan tempat. Kedua unsur ini membuat penyajian informasi spasial yang akan diberikan kepada tunanetra harus di desain secara khusus.

(3)

3

Informasi spasial yang akan disampaikan kepada tunanetra mestinya dikemas dengan bentuk yang berbeda, dengan kata lain penyandang tunanetra memerlukan sarana/ alat khusus untuk dapat mengekstrak informasi spasial yang telah disampaikan dengan menggunakan indera peraba dan atau menggunakan indera pendengarannya. Kebutuhan tunanetra akan informasi spasial yang dapat di sadap informasinya melalui rabaan membuat geograf berpikir keras untuk membuat sarana dengan informasi spasial yang dapat disadap dengan rabaan, yang kemudian dibuatlah peta taktual. Peta taktual memiliki simbol-simbol timbul yang membuat tunanetra dapat meraba setiap simbolnya. Simbol-simbol ini mewakili setiap informasi geografis, sehingga dari perabaan simbol yang berada pada peta taktual ini tunanetra dapat memperoleh informasi spasial.

Peta taktual secara konvensional dihasilkan dari ekstraksi informasi data spasial dalam simbol timbul pada suatu lembaran/ permukaan. (Dayton, 1979 dalam Muslihah, 2010). Informasi yang disediakan biasanya juga tidak terlalu kompleks seperti peta pada umumnya. Informasi yang ditekankan hanya sebatas informasi yang dibutuhkan oleh penyandang tunanetra saja, misalkan peta fasilitas umum yang berisi informasi jalan, batas administrasi, serta fasilitas umum. Informasi tentang fasilitas umum yang ada pada peta ini juga tidak dimasukkan ke dalam peta seluruhnya, akan tetapi perlu dilakukan generalisasi dengan mempertimbangkan kepentingan fasilitas umum dan juga arti penting bagi tunanetra tersebut.

Informasi spasial disajikan di dalam peta taktual dengan membuat simbol-simbol timbul yang didesain sesuai kaidah kartografis, artinya setiap informasi spasial yang akan di masukkan ke dalam peta didesain bentuk simbolnya dan dibuat timbul supaya dapat diraba dengan tetap memperhatikan kaidah kartografisnya. Pendesainan simbol hendaknya disesuaikan dengan kebutuhan dari tunanetra tersebut, yakni dengan membuat bentuk-bentuk simbol yang dapat dengan mudah dikenali oleh tunanetra sehingga informasi yang disampaikan akan benar-benar tersampaikan kepada pengguna peta. Dalam pembuatan peta, desain simbol inilah yang akan menentukan peta akan memiliki nilai atau tidak. Sebuah

(4)

4

peta tidak akan memiliki nilai/ tidak akan berarti jika desain simbol peta tidak sesuai dengan penggunanya serta kapan dan dimana pengguna menggunakannya.

Di kota Yogyakarta sudah terdapat peta taktual yang dibuat oleh Ika Noor Muslihah M, seorang mahasiswi fakultas Geografi UGM dalam bentuk skripsi, akan tetapi peta taktual ini dirasa kurang dapat memeberikan informasi spasial secara optimal yang disebabkan karena desain simbol yang masih belum sesuai dengan kebutuhan tunanetra itu sendiri. Simbol pada peta taktual kurang informatif dijelaskan oleh tunanetra saat dilakukannya penelitian oleh Sigit Wibowo dan kawan-kawan mahasiswa Geografi UGM dalam PKM-P. Mereka mendapatkan banyak informasi yang salah satunya adalah kurang informatifnya simbol peta taktual yang sudah ada. Misalkan saja ukuran simbol yang dirasa kurang lebar, ini mengakibatkan tunanetra dalam meraba simbol hanya dapat diraba dengan satu jari sehingga kurang memberikan efek 3 dimensi, yang kemudian menjadi sulit bagi tunanetra untuk menginterpretasi simbol yang ada.

Gambar 1.1 potongan peta taktual (sumber : Muslihah, 2010)

Selain ukuran simbol yang kurang lebar, penunjuk nama jalan pada peta taktual juga dirasa mengganggu dalam pembacaan peta taktual. Seperti yang terlihat di gambar 1.1 bahwasannya terdapat anak panah yang menunjukkan nama jalan tersebut yang dituliskan dengan huruf braille. Ini akan mengakibatkan salah

(5)

5

persepsi bagi tunanetra antara panah penunjuk nama jalan atau persimpangan jalan. Selain ukuran simbol yang kurang lebar dan juga anak panah penunjuk nama jalan kurang sesuai, bagi penyandang tunanetra yang sejak lahir, akan memiliki kekurangan dalam mendapatkan persepsi dari simbol yang digambarkan, terutama untuk simbol yang memakai kombinasi bentuk, seperti yang terlihat pada gambar 1.2. Kesulitan ini disebabkan karena penyandang tunanetra yang sejak lahir tidak memiliki gambaran bentuk-bentuk obyek secara nyata sebelumnya.

Gambar 1.2 contoh simbol dengan kombinasi (sumber : Muslihah, 2010)

1.2 PERUMUSAN MASALAH

Tunanetra membutuhkan sarana perolehan informasi spasial yang khusus dalam melakukan aktivitasnya termasuk mobilisasi, sehingga dibuatlah peta taktual sebagai sarana perolehan informasi bagi tunanetra untuk dapat digunakan dalam menyadap informasi keruangan yang membantu mobilisasi tunanetra. Peta dengan simbol timbul ini diharapkan dapat membantu tunanetra dalam mendapatkan informasi keruangan lingkungannya dengan lebih optimal, sehingga dalam melakukan aktivitas menjadi lebih mudah. Simbol dibuat timbul supaya tunanetra dapat membedakan antar simbol dengan cara merabanya. Desain simbol ini tentunya tidaklah sekedar desain simbol yang dapat dibuat secara mudah, perlu

(6)

6

pertimbangan-pertimbangan tertentu untuk membuat desain simbol timbul ini supaya dapat menyampaikan informasi kepada tunanetra secara optimal.

Pembuatan peta taktual harus dibuat sesuai dengan kaidah kartografis dan juga disesuaikan dengan kebutuhan/ aspirasi dari pengguna peta itu sendiri. Di Yogyakarta sudah terdapat peta taktual yang dibuat oleh Ika Noor Muslihah, hanya saja simbol yang digunakan dalam peta taktual belum sesuai dengan kebutuhan tunanetra, seperti ukuran simbol yang kurang lebar, anak panah penunjuk nama jalan, dan simbol yang dibentuk dari kombinasi dengan 2 bentuk simbol atau lebih. Karena peta yang sudah ada masih belum dapat memberikan informasi secara optimal, maka sangat perlu dilakukan sebuah revisi desain simbol peta taktual khususnya dan peta taktual secara keseluruhan pada umumnya, sehingga tunanetra dapat memperoleh informasi spasial dengan optimal. Pembuatan desain simbol pada peta taktual tidak hanya melihat dari segi aturan-aturan yang ada seperti standar pembuatan desain simbolnya, akan tetapi selain berpedoman dengan standar pembuatan desain simbol ini pembuat peta taktual juga harus dapat menggali persepsi dan aspirasi tunanetra tersebut, sehingga dapat dipadukan pembuatan desain simbol yang masih berpedoman dengan standar pembuatannya serta dengan aspirasi tunanetra itu sendiri.

Tunanetra membutuhkan peta taktual dengan simbol yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Peta taktual harus segera dilakukan perubahan simbol yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan tunanetra. Berdasarkan atas keperluan tersebut, maka perlu dilakukan suatu evaluasi tentang simbol peta taktual yang ada, kemudian menyusunnya dalam bentuk peta taktual baru, agar tunanetra dapat memperoleh informasi spasial dengan benar dan nyaman.

(7)

7 1.3 PERTANYAAN PENELITIAN

Dari rumusan masalah yang telah dijelaskan di atas, maka muncul pertanyaan penelitian sebagai berikut :

1. Bagaimana revisi desain simbol dari peta taktual yang sudah ada berdasar aspirasi tunanetra?

2. Bagaimana membuat peta taktual berdasarkan dari hasil evaluasi peta taktual yang sudah ada?

1.4 TUJUAN PENELITIAN

Dilatar belakangi oleh permasalahan yang sudah diuraikan di atas, maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan :

1. Merevisi desain simbol dari peta taktual yang sudah ada berdasar aspirasi tunanetra.

2. Membuat peta taktual berdasarkan dari hasil evaluasi peta taktual yang sudah ada.

1.5 KEGUNAAN PENELITIAN

Kegunaan yang diharapkan dari penelitian ini adalah :

1. Dapat menjadikan inspirator bagi kartografer untuk lebih kreatif mendesain simbol peta taktual sesuai dengan aspirasi tunanetra yang tetap memperhatikan kaidah kartografi.

2. Menciptakan fasilitas untuk tunanetra dengan memanfaatkan sarana perolehan informasi kebumian dengan memanfaatkan peta taktual di Yogyakarta.

3. Menciptakan terobosan baru untuk para pelaku pendidikan untuk mengembangkan peta taktual lebih luas lagi.

Gambar

Gambar 1.1 potongan peta taktual  (sumber : Muslihah, 2010)
Gambar 1.2 contoh simbol dengan kombinasi  (sumber : Muslihah, 2010)

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian yang dilakukan di TK AndiniSukarame Bandar Lampung betujuan meningkatkan kemampuan anak dalam mengenal konsep bilangan melalui media gambar pada usia

Ketersediaan informasi lokasi rumah sakit, fasilitas dan layanan yang tersedia di rumah sakit dan tempat kejadian dapat tersedia secara jelas dan terkini sehingga penentuan

Alhamdulillahirobbil’alamin segala puji syukur dan sembah sujud, penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat, hidayah, dan kasih sayang-Nya sehingga penyusun

H1: (1) Terdapat perbedaan produktivitas kerja antara karyawan yang diberi insentif dengan karyawan yang tidak diberi insentif (2) Terdapat perbedaan

7.4.4 Kepala LPPM menentukan tindakan perbaikan yang harus dilakukan pada periode Pelaporan Hasil Pengabdian kepada masyarakat berikutnya.. Bidang Pengabdian kepada masyarakat

Ketika orang-orang dari budaya yang berbeda mencoba untuk berkomunikasi, upaya terbaik mereka dapat digagalkan oleh kesalahpahaman dan konflik bahkan

Dengan cara yang sama untuk menghitung luas Δ ABC bila panjang dua sisi dan besar salah satu sudut yang diapit kedua sisi tersebut diketahui akan diperoleh rumus-rumus

Dari teori-teori diatas dapat disimpulkan visi adalah suatu pandangan jauh tentang perusahaan, tujuan-tujuan perusahaan dan apa yang harus dilakukan untuk