• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fatawa Radha ah: Anak Susuan Adalah Mahram Bagi Saudara Wanita Orang Yang Menyusui (Syaikh Shalih Al-Fauzan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Fatawa Radha ah: Anak Susuan Adalah Mahram Bagi Saudara Wanita Orang Yang Menyusui (Syaikh Shalih Al-Fauzan)"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

Fatawa Radha’ah: Anak Susuan

Adalah Mahram Bagi Saudara

Wanita Orang Yang Menyusui

(Syaikh Shalih Al-Fauzan)

Anak Susuan Adalah Mahram Bagi Saudara Wanita Orang Yang Menyusui Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan ditanya, “Aku telah menyusui bayi laki-laki. Apakah dia menjadi mahram bagi saudaraku yang wanita sehingga boleh bagi saudariku tersebut untuk tidak berhijab di hadapannya?

Beliau menjawab, “Apabila penyusuan dilakukan pada masa (umur bayi) dua tahun, dan dilakukan sebanyak lima kali sebagaimana dijelaskan di dalam hadits-hadits, maka bayi tadi menjadi anak bagi wanita yang menyusuinya, dan saudarinya akan menjadi bibi baginya (anak tersebut), yakni anak tadi adalah mahram bagi wanita-wanita tersebut; menjadi mahram bagi ibu karena telah menyusuinya, dan menjadi mahram bagi bibinya dari penyusuan. Akan tetapi

(ini berlaku) dengan dua syarat yang telah kami sebutkan tadi, yaitu

penyusuan dilakukan dalam masa dua tahun berdasarkan sabda beliau

Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, “

ﺔﻋﺎﺠﻤﻟا ﻦﻣ ﺔﻋﺎﺿﺮﻟا ﺎﻤﻧإ “Hanyalah penyusuan yang sah adalah yang menghilangkan rasa lapar” (HR. Muslim)

Dan berdasarkan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam,

مﺎﻄﻔﻟا ﻞﺒﻗ نﺎﻛو ءﺎﻌﻣﻷا ﻖﺘﻓ ﺎﻣ ﻻإ عﺎﺿﺮﻟا ﻦﻣ مﺮﺤﻳ ﻻ “Penyusuan tidak akan menjadikan mahram kecuali yang mengenyangkan dan itu sebelum disapih.” (HR. Tirmidzi)

Dan penyusuan dilakukan sebanyak lima kali berdasarkan hadits Aisyah

(2)

ﻚﻟذ ﻠﻋ ﺮﻣﻷاو ﻢﻠﺳو ﻪﻴﻠﻋ ﻪﻟا ﻠﺻ ﻪﻟا لﻮﺳر ﻓﻮﺗو ،ﻦﻣﺮﺤﻳ تﺎﻣﻮﻠﻌﻣ تﺎﻌﺿر ﺲﻤﺧ “Penyusuan yang maklum sebanyak lima kali menyebabkan menjadi mahram. Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat sedangkan perkara ini tetap pada hal ini (yaitu susuan sebanyak lima kali menjadi mahram).”

Sumber: Majmu’ Fatawa Al-Fauzan 2/614

Admin Warisan Salaf

Fatawa Ar-Radha’ah: Syarat-Syarat

Saudara Persusuan (Syaikh Shalih

Al-Fauzan)

Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan ditanya, “Ada seorang pria yang menikahi seorang wanita dan telah hidup bersamanya selama dua tahun. Kemudian setelah itu keduanya mengetahui bahwa keduanya telah disusui oleh satu orang wanita di pedesaan atau tetangganya. Apakah wanita tersebut menjadi mahram bagi pria tadi atau tidak? Dimana keadaan keduanya seperti yang telah aku sebutkan tadi yaitu pernah disusui oleh satu orang wanita. Berilah kami fatwa semoga Allah memberikan pahala kepada anda.

Beliau menjawab, “Sebuah perkara yang telah tetap di dalam syari’at bahwasanya penyusuan membuat seseorang menjadi mahram. Sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dalam sabdanya, “Penyusuan membuat seseorang menjadi mahram sebagaimana kelahiran membuat seseorang menjadi mahram.” Dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam juga bersabda,

(3)

ﺐﺴﻨﻟا ﻦﻣ مﺮﺤﻳ ﺎﻣ عﺎﺿﺮﻟا ﻦﻣ مﺮﺤﻳ

Diharamkan bagi persusuan seperti apa yang diharamkan bagi hubungan nasab.”

Dan Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Tinggi ketika menyebutkan wanita-wanita yang haram dinikahi,

{ﺔﻋﺎﺿﺮﻟا ﻦﻣ ﻢُﺗاﻮَﺧاو ﻢَﻨﻌﺿرا ﺗﱠﻟا ﻢُﺗﺎﻬﻣاو}

“Dan ibu-ibu kalian yang telah menyusui kalian dan saudara perempuan kalian sepersusuan.” (QS. An-Nisaa:23)

Akan tetapi, ar-radha’ah (penyusuan) tidak akan berlaku (yakni tidak menjadi mahram,pen) kecuali terpenuhinya dua syarat:

Pertama: Penyusuan dilakukan selama lima kali secara sempurna.

Kedua: Penyusuan dilakukan ketika umur bayi dua tahun (atau dibawahnya). Itulah kaedah dalam hal penyusuan yang menjadi mahram.

Adapun kasus anda secara khusus, dan apa yang telah disebutkan bahwasanya anda menikahi seorang wanita yang ternyata anda dan dia menyusu kepada seorang wanita yang sama dan bahwasanya anda telah hidup bersamanya selama dua tahun. Maka kasus semacam ini perlu dikembalikan kepada hakim syari’ah yang berwenang di daerah kalian, atau (dikembalikan) kepada mufti yang bisa dijadikan sandaran agar dia dapat memahami duduk perkaranya dan kemudian dapat menghukuminya dengan hukum syar’i, insya Allah.

Sumber: MAJMU’ FATAWA AL-FAUZAN 2/614 Admin Warisan Salaf

(4)

Fatawa

Kurban

4:

Hukum

Berkurban Lebih dari 1 Ekor

dalam Satu Keluarga

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin ditanya tentang seseorang yang sudah berkeluarga akan tetapi masih tinggal bersama orang tuanya, dan dia memiliki harta. Apakah dia mencukupkan dengan kurban orang tuanya?

Beliau menjawab, “Yang sesuai dengan sunnah ialah seseorang berkurban untuk dirinya dan keluarganya, baik yang masih kecil atau yang sudah besar (yakni cukup satu ekor saja,pen). Adapun jika dia tinggal secara terpisah dari ayahnya, yaitu dia tinggal di rumah sendiri dan ayahnya di rumahnya sendiri, maka masing-masingnya berkurban sendiri-sendiri. Si ayah berkurban untuk dia dan keluarganya (yang serumah dengan dia) dan si anak berkurban untuk dia dan keluarganya.

Akan tetapi perlu diperhatikan bahwa yang disebutkan ini adalah yang sesuai dengan sunnah, bukan maksudnya diharamkan bagi si anak yang tinggal bersama orang tuanya untuk berkurban sendiri. Akan tetapi tidak diragukan lagi bahwasanya mencocoki sunnah itu lebih baik daripada tidak. Aku akan berikan sebuah permisalan: ada dua orang, yang satu menegakkan shalat sunnah fajar secara ringkas dan yang satunya memanjangkannya, mana dari keduanya yang lebih mencocoki sunnah? Jawabannya adalah orang pertama yang shalatnya pendek (yang mencocoki sunnah). Akan tetapi orang kedua walaupun dia memanjangkan shalatnya dan menyalahi sunnah dia tidak dianggap berdosa.

Demikian pula, jika kita katakan bahwa yang sunnah bagi penghuni dalam satu rumah menyembelih 1 hewan kurban, dan yang akan melakukannya adalah kepala rumah tangga. Bukan berarti seandainya mereka berkurban lebih dari satu ekor maka mereka berdosa, mereka tidak berdosa. Hanyasaja beramal sesuai sunnah lebih afdhal ketimbang memperbanyak amalan. Allah Ta’ala berfirman,

(ًﻤﻋ ﻦﺴﺣا ﻢﻳا ﻢﻛﻮُﻠﺒﻴﻟ)

“agar Allah menguji kalian, siapakah di antara kalian yang paling baik amalannya.” (QS. Al-Mulk:2)

(5)

Oleh karena itu, ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mengutus dua orang dalam suatu keperluan. Ketika keduanya tidak mendapati air (untuk berwudhu), keduanya pun bertayamum dan melakukan shalat. Kemudian (ketika selesai shalat) keduanya mendapati air. Lantas seorang dari keduanya berwudhu’ dan mengulangi shalatnya, sedangkan yang satu lagi tidak berwudhu’ dan tidak mengulangi shalatnya. Kejadian itu dilaporkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa

Sallam, maka beliau berkata kepada orang yang tidak mengulangi shalatnya,

“Engkau telah benar (mencocoki sunnah,pen).” Dan kepada orang yang mengulangi shalatnya beliau katakan, “Engkau mendapat pahala dua kali.” Maka tentu saja yang afdhal dari keduanya adalah yang mencocoki sunnah. Hanyalah orang satunya mendapat pahala dua kali dikarenakan dia melakukan dua amalan, sehingga mendapat pahala dari dua amalan tersebut. Akan tetapi pahalanya tidak seperti orang yang mencocoki sunnah.

Majmu Fatawa wa Rasail Ibnu Utsaimin 25/39

FATAWA KURBAN 3: HUKUM

BERHUTANG

UNTUK

BERKURBAN,

BERKURBAN

DENGAN KERBAU, DAN MANA

YANG AFDHAL ANTARA KAMBING

DAN SAPI

Pertanyaan Ketiga: BERHUTANG UNTUK KURBAN

Apa Hukum berkurban dan apakah boleh seseorang berhutang untuk berkurban?

(6)

muakkadah bagi orang yang mampu. Bahkan sebagian ahlul ilmi menyatakan, hukum berkurban adalah wajib. Di antara ulama yang berpendapat wajib adalah Abu Hanifah dan pengikutnya –semoga Allah merahmati mereka, juga dalam satu riwayat dari Imam Ahmad bin Hanbal –semoga Allah merahmati beliau-. Dan pendapat ini yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah –semoga Allah

merahmati beliau-. Atas dasar ini maka tidak sepantasanya bagi orang yang

mampu untuk tidak berkurban.

Adapun orang yang tidak memiliki uang, maka tidak sepantasanya dia berhutang hanya untuk berkurban, karena hutang akan membebani dirinya, sedangkan dia tidak tahu apakah mampu untuk membayar hutang itu atau tidak?! Akan tetapi bagi orang yang mampu maka jangan meninggalkan berkurban karena itu adalah sunnah.

Dan hakekat berkurban adalah (1 ekor) mencukupi seorang (yang berkurban) dan keluarganya, ini yang sunnah sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah

Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Beliau dahulu menyembelih satu ekor domba

dengan niat dari beliau dan keluarga beliau. Dan seseorang jika menyembelih satu ekor domba dengan niat dari dirinya dan keluarganya, maka hal itu sudah mencukupi bagi keluarganya yang masih hidup dan yang sudah meninggal. Sehingga tidak perlu berkurban khusus untuk keluarga yang telah meninggal sebagaimana dilakukan oleh sebagian orang, dimana mereka mengkhususkan kurban untuk keluarga yang telah meninggal tapi membiarkan diri-diri mereka dan keluarga yang hidup tidak berkurban.

Adapun berkurban bagi orang yang telah meninggal jika itu adalah wasiat darinya maka harus dilaksanakan wasiat tersebut. Wallahu ‘alam.

Pertanyaan Keempat: HUKUM BERKURBAN DENGAN KERBAU

Pertanyaan: “Ada banyak perbedaan sifat antara kerbau dan sapi sebagaimana perbedaan antara kambing kacang dan domba. Dan Allah telah menjelaskan secara rinci di dalam surat Al-An’am antara domba dan kambing kacang, tapi tidak merinci antara kerbau dan sapi. Apakah kerbau masuk dalam kategori 8 pasangan hewan (yang disebutkan dalam surat Al-An’am) sehingga boleh berkurban dengannya atau tidak?

Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin menjawab, “ Kerbau termasuk dari jenis sapi. Allah Azza

(7)

bangsa arab yaitu yang mereka haramkan apa yang mereka mau dan menghalalkan apa yang mereka mau. Sedangkan kerbau tidak ma’ruf bagi bangsa arab.

Pertanyaan Keempat: LEBIH AFHDAL MANA DOMBA ATAU SAPI?

Pertanyaan: “manakah yang lebih afdhal di dalam berkurban, domba atau sapi?”

Asy-Syaikh Al-Utsaimin menjawab, “Para fuqoha’ menyebutkan, apabila ditinjau dari sisi seorang yang berkurban dengan satu hewan (sendirian), maka yang afdhal adalah unta, kemudian sapi, kemudian kambing, dan kambing domba lebih afdhal dari kambing kacang. Akan tetapi jika berserikat 7 orang dalam berkurban unta dan sapi, maka berkurban kambing lebih afdhal, dan domba lebih afdhal dari kambing kacang. (Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibnu Utsaimin 25/34-35)

Pertanyaan Kelima: LEBIH AFHDAL MANA, HEWAN YANG BESAR dan BANYAK DAGINGNYA, ATAU YANG MAHAL HARGANYA?

Pertanyaan: “Manakah yang lebih afdhal di dalam berkurban, yang besar hewannya dan banyak gajih dan dagingnya atau yang mahal harganya?

Asy-Syaikh Al-Utsaimin menjawab, “Permasalahan ini apakah yang afdhal dalam berkurban yang mahal harganya atau yang gemuk badannya? Sebenarnya keumuman yang ada bahwa dua perkara itu adalah mutalazim, dan bahwasanya hewan yang gemuk dan banyak dagingnya lebih afdhal, tapi terkadang juga sebaliknya.

Apabila kita melihat kepada manfa’at dari berkurban tersebut maka tentu hewan yang besar lebih afdhal walaupun harganya murah. Tapi jika kita melihat kepada kejujuran hati dalam beribadah kepada Allah Azza wa Jalla bisa kita katakan bahwa yang mahal lebih afdhal, karena ketika seseorang mengeluarkan hartanya dalam jumlah banyak untuk beribadah kepada Allah, itu sebagai bukti atas kesempurnaan ibadahnya dan kejujuran ibadahnya.

Sebagai jawaban dari pertanyaan ini kami katakan, coba perhatikan mana yang lebih bermaslahat bagi hatimu maka lakukanlah. Ketika dua maslahat yang telah disebutkan tadi bertentangan, maka perhatikanlah mana yang lebih bermasalahat bagi hatimu. Jika engkau memandang

(8)

bahwa dirimu akan bertambah keimanannya dan rasa tunduknya kepada Allah Azza wa Jalla dengan memilih yang harganya mahal, maka berkurbanlah dengan yang harganya mahal.

(Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibnu Utsaimin 25/34-35)

FATAWA KURBAN 2: SYARAT

HEWAN

KURBAN

DAN

PEMBAGIAN DAGINGNYA

Asy-Syaikh Al-Utsaimin berkata, “Kemudian berkurban memiliki beberapa syarat, di antaranya ada syarat terkait waktunya, dan ada syarat terkait hewan kurban itu sendiri.

Adapun waktunya: Sesungguhnya berkurban memiliki waktu yang telah ditentukan, yang tidak disyari’atkan untuk dilakukan sebelum atau setelahnya. Waktunya adalah dimulai sejak selesai dilaksanakannya shalat ‘ied sampai terbenamnya matahari di malam 13 (DzulHijjah). Sehingga waktunya ada 4 hari, yaitu hari Ied dan 3 hari setelahnya.

Maka siapa saja yang menyembelih hewan kurbannya dalam kurun waktu tersebut baik di waktu siang atau malam hari maka sembelihannya adalah sah, ini ditinjauh dari sisi waktu.

Dan barangsiapa menyembelihnya sebelum shalat ‘Ied maka hewan kurbannya adalah hewan kurban lahm (yaitu daging biasa,pen) dan tidak bisa dijadikan sebagai hewan kurban, dia boleh menyembelih hewan kurban lain sebagai pengganti yang pertama.

Barangsiapa menyembelih setelah matahari terbenam di malam ke 13 (DzulHijjah) maka hewan kurbannya tidak sah, kecuali jika ada udzur.

(9)

Pertama: harus dari bahimatul an’am (hewan ternak), yaitu Onta, sapi, dan kambing domba atau kacang. Barangsiapa yang berkurban dengan selain hewan tersebut maka kurbannya tidak sah. Misalnya seseorang berkurban dengan kuda, kijang, atau burung unta, maka kurbannya tidak diterima darinya, karena hewan kurban hanyak berlaku bagi hewan-hewan ternak. Udhiyah adalah ibadah dan syari’at, sehingga tidaklah seseorang menjadikan sebuah syari’at dan tidak beribadah kecuali yang telah ditetapkan di dalam syari’at. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam,

“در ﻮﻬﻓ ﺎﻧﺮﻣأ ﻪﻴﻠﻋ ﺲﻴﻟ ﻼﻤﻋ ﻞﻤﻋ ﻦﻣ”

“Barangsiapa melakukan sebuah perbuatan yang tidak ada dasarnya dari kami maka amalannya tertotak.” (HR. Muslim no.1718) yakni ditolak tidak diterima.

Kedua: telah mencapai usia yang cukup menurut syari’at. Bagi kambing domba usia 6 bulan, kambing kacang/jawa 1 tahun, sapi 2 tahun, dan unta 5 tahun.

Barangsiapa menyembelih di bawah usia tersebut maka tidak sah kurbannya. Seandainya ia menyembelih kambing domba berusia 5 bulan maka tidak sah kurbannya, atau menyembelih sapi usia 1 tahun lebih 10 bulan juga tidak sah kurbannya, atau menyembelih unta usia 4 tahun lebih 6 bulan juga tidak sah kurbannya. Maka harus telah sampai usia yang telah ditentukan. Dalilnya adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam,

(نﺄﻀﻟا ﻦﻣ ﺔﻋَﺬﺟ اﻮﺤﺑﺬﺘﻓ ﻢﻴﻠﻋ ﺮﺴﻌﺗ نأ ﻻإ ‐ﺔﻴﻨﺛ ﻨﻌﻳ ‐ﺔﱠﻨﺴﻣ ﻻإ اﻮﺤﺑﺬﺗ ﻻ “

“Janganlah kalian menyembeli (hewan kurban) kecuali musinnah (yaitu tsaniyyah). Kecuali jika kalian kesulitan mendapatkannya, maka boleh menyembelih jadza’ah dari domba.”

(Keterangan tambahan: Musinnah adalah Tsaniyah. Tsaniyah pada Unta adalah unta yang genap berumur lima tahun. Tsaniyah pada Sapi adalah sapi yang genap berumur dua tahun. Tsaniyah pada Kambing (baik dari jenis dha’n maupun ma’iz) adalah yang genap berumur satu tahun.Adapun jadza’ dari jenis dha’n adalah yang genap berumur setengah tahun.)

Ketiga: Terbebas dari ‘aib yang membuatnya tidak sah.

(10)

Shallallahu ‘alaihi wa Sallam ketika beliau ditanya, “Apa yang harus dihindari dari

hewan kurban? Maka beliau menjawab, “yang buta dan jelas butanya, yang sakit

dan jelas sakitnya, yang pincang dan jelas pincangnya, yang kurus tidak bersumsum.” (HR. Malik)

Hewan-hewan seperti di atas atau bahkan lebih parah lagi maka dihukumi sama. Inilah 3 syarat yang kembalinya kepada hewan kurban, dan 1 syarat sebelumnya kembali kepada waktu pelaksanaannya, dan telah dijelaskan sebelumnya.

CARA PEMBAGIANNYA

Adapun mengenai bagaimana cara pembagiannya, maka Allah telah berfirman, “ﺎﻬْﻨﻣ ْاﻮُﻠَﻓ مﺎﻌﻧﻷَا ﺔﻤﻴِﻬﺑ ﻦﻣ ﻢﻬَﻗَزر ﺎﻣ َﻠﻋ ٍتﺎﻣﻮُﻠﻌﻣ مﺎﻳأ ﻓ ﻪﻟا ﻢﺳآ اوﺮﻛﺬﻳو ﻢﻬَﻟ ﻊﻓﺎﻨﻣ اوُﺪﻬﺸﻴﻟ

ﺮﻴﻘَﻔﻟَا ﺲﺋﺂﺒْﻟآ اﻮﻤﻌْﻃأو “

“supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir.” (QS. Al-Hajj:28)

Allah juga berfirman,

ﺎﻬﺑﻮُﻨﺟ ﺖﺒﺟو اَذﺈَﻓ فآﻮﺻ ﺎﻬﻴَﻠﻋ ﻪﻟَا ﻢﺳَا اوﺮﻛْذَﺎَﻓ ﺮﻴَﺧ ﺎﻬﻴﻓ ﻢَﻟ ﻪﻟا ِﺮﺋﺎﻌَﺷ ﻦﻣ ﻢَﻟ ﺎﻫﺎَﻨْﻠﻌﺟَنﺪﺒﻟاو َنوﺮْﺸَﺗ ﻢﱠﻠﻌَﻟ ﻢَﻟ ﺎﻫﺎَﻧﺮﱠﺨﺳ َﻚﻟاَﺬﻛ ﺮَﺘﻌﻤْﻟاو ﻊﻧﺎَﻘْﻟا اﻮﻤﻌﻃأو ﺎﻬْﻨﻣ ْاﻮْﻠَﻓ

“Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syiar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan unta-unta itu kepada kamu, mudah-mudahan kamu bersyukur.” (QS. Al-Hajj:36)

Jadi hendaknya seseorang memakan sebagian dagingnya, menyedekahkan sebagiannya kepada fuqoro’, dan menghadiahkan sisanya kepada orang yang mampu, dalam rangka melembutkan hati dan menumbuhkan rasa cinta. sehingga di dalam udhiyah tersebut terkumpul tiga perkara yang dimaukan oleh Syari’at, yaitu:

(11)

Bersenang-senang dengan nikmat Allah dengan memakan 1.

sebagiannya.

Mengharap pahala Allah dengan menyedekahkannya. 2.

Saling mencinta di antara hamba Allah dengan cara 3.

menghadiahkannya.

Ini adalah kandungan mulia yang dimaukan oleh syari’at. Oleh karenanya sebagian ulama menyukai daging hewan kurban dibagi menjadi tiga bagian, sepertiga dimakan, sepertiga disedekahkan, dan sepertiga lagi di hadiahkan.

Sumber: Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibnu Utsaimin 25/12-14.

FATAWA KURBAN 1: HUKUM

BERKURBAN

DAN

MENIATKANNYA UNTUK ORANG

YANG SUDAH MENINGGAL

Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin ditanya tentang hukum berkurban, dan apakah boleh mengkhususkannya untuk keluarga yang telah meninggal?

Beliau menjawab, “Udhiyah (menyembelih hewan kurban,pen) adalah sunnah mu’akkadah bagi orang yang mampu melakukannya. Maka dia hendaknya menyembeli hewan kurban untuk dirinya dan keluarganya.

Adapun meniatkan berkurban khusus untuk anggota keluarga yang telah meninggal, maka hal itu tidak pernah teriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi

wa Sallam, menurut yang saya tahu, bahwa beliau menyembelih hewan kurban

khusus untuk orang yang telah meninggal. hal ini juga tidak (pernah diriwayatkan) dari para shahabat ketika di masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa

Sallam .

(12)

dan keluarganya, dan bila ia meniatkan juga untuk anggota keluarganya yang telah meninggal maka tidak mengapa (yang dilarang adalah mengkhususkan untuk mayit,pen).” (Majmu Fatawa wa Rasail 25/10)

Di dalam fatwa berikutnya beliau menambah keterangan tentang larangan mengkhususkan berkurban bagi anggota keluarga yang telah meninggal, beliau berkata “Kemudian berkurban bukan bagi orang yang telah meninggal, tapi berkurban bagi orang yang masih hidup. Dan berkurban tidak sunnah bagi orang yang telah meninggal. Dalilnya adalah, bahwasanya syari’at ini hanya bersumber dari sisi Allah dan rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Dan as-sunnah telah datang menjelaskan bahwasanya berkurban hanya bagi orang yang masih hidup.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam juga memiliki kerabat-kerabat yang telah meninggal, akan tetapi beliau tidak pernah berkurban khusus bagi mereka. Semua putra dan putri Nabi telah meninggal sebelum beliau Shallallahu ‘alaihi

wa Sallam. Di antara mereka ada yang meninggal sebelum usia baligh, dan

sebagian yang lain setelah usia baligh. Anak laki-laki beliau semuanya meninggal sebelum baligh, sedangkan putri-putri beliau meninggal di usia baligh, kecuali Fathimah yang masih hidup sepeninggal beliau. Juga ada dua isteri Nabi yang meninggal sebelum beliau yaitu Khadijah dan Zainab bintu Khuzaimah

Radhiallahu ‘anhuma. Demikian pula paman beliau, Hamzah bin Abdul Muthallib

telah terbunuh sebagai syahid, akan tetapi tidak pernah beliau (mengkhususkan) berkurban bagi mereka. Maka (dapat diketahui bahwa) beliau tidak mensyari’atkan berkurban bagi orang yang telah meninggal, dan tidak mendakwahkan hal tersebut.

Atas dasar ini kami katakan, tidak termasuk sunnah (mengkhususkan) berkurban bagi mayit, karena tidak pernah diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa

Sallam, dan aku juga tidak mengetahui ada riwayat dari shahabat .

Baik, jika si mayit telah berwasiat untuk disembelihkan hewan kurban baginya maka ditunaikan wasiatnya dengan disembelihkan hewan kurban baginya, dalam rangka menunaikan wasiatnya. Demikian pula bila si mayit digabungkan bersama orang-orang yang masih hidup, contohnya seseorang menyembelih hewan kurban dengan niat untuk dirinya dan keluarganya, dia meniatkan keluarga yang masih hidup dan yang sudah meninggal (maka tidak mengapa). Adapun mengkhususkan berkurban untuk orang yang sudah meninggal, maka perbuatan itu bukan

(13)

sunnah. (Majmu Fatawa wa Rasail 25/11)

Fikih Ringkas dalam Berkurban

Bismillahirrahmanirrahim. Artikel ini sebenarnya telah kami posting beberapa tahun yang lalu di blog kami yang masih beralamat di warisan salaf wordpress. Mengingat sebentar lagi kita akan memasuki bulan Dzulhijjah dan barangkali ada di antara kita ada yang ingin berkurban. Maka kami angkat kembali pembahasan ini dengan harapan kita dapat mengambil manfaat darinya:

Allah subhaanahu wa ta’aalaa mensyari’atkan menyembelih al-udhiyah (hewan kurban) bagi kaum muslimin yang memiliki kemampuan. Hal ini Allah sebutkan dalam firman-Nya:

“Maka shalatlah hanya kepada Rabb-mu dan menyembelihlah.” (QS. Al-Kautsar:

2) Di dalam ayat ini yang dimaksud dengan “menyembelih” adalah menyembelih hewan kurban pada hari nahr (‘Idul Adha dan tiga hari setelahnya). Pendapat ini dipilih oleh mayoritas ahli tafsir dan dikuatkan oleh Ibnu Katsir. (lihat Zadul Masir 6/195 dan Tafsir Ibnu katsir 8/503)

Makna Udhiyah

Al-Udhiyyah adalah bentuk tunggal dari al-adhahi. Al-Imam al-Jurjani

menjelaskan, bahwa al-udhiyah adalah nama untuk hewan kurban yang disembelih pada hari-hari nahr (Idul Adha dan 3 hari setelahnya) dengan niat mendekatkan diri kepada Allah ta’ala. (At-Ta’rifat 1/45)

Hukum Udhiyah

Mayoritas ulama berpendapat bahwa hukum berkurban adalah sunnah mu’akkadah, dan bagi orang yang memiliki kemampuan agar tidak meninggalkannya. Adapun jika berkurbannya karena wasiat atau nadzar maka

(14)

menjadi wajib untuk ditunaikan. (Majmu’ Fatawa Ibnu Baaz 16/156 dan Majmu’ Fatawa Ibnu ‘Utsaimin 25/10)

Kedudukan Berkurban dalam Islam

Berkurban memiliki kedudukan yang sangat agung dalam Islam. Cukuplah menunjukkan hal itu manakala kurban itu lebih utama daripada shadaqah sunnah. Ibnu Qudamah berkata, “Al-Udhiyah lebih utama ketimbang shadaqah biasa yang senilai dengannya.” (Al-Mughni 9/436)

Syarat-Syarat Udhiyah

Ada empat syarat hewan yang boleh untuk dijadikan sebagai udhiyah:

Pertama: Dari jenis hewan yang telah ditentukan syari’at yaitu unta, sapi, dan kambing. Barangsiapa berkurban dengan kuda atau ayam maka tidak sah walaupun bentuknya lebih bagus dan harganya lebih mahal.

Kedua: Telah mencapai usia tertentu, yaitu enam bulan untuk domba dan satu tahun untuk kambing Jawa. Adapun untuk sapi adalah dua tahun, sedangkan unta adalah lima tahun.

Barangsiapa berkurban dengan domba berumur lima bulan atau sapi berumur satu tahun maka tidak sah.

Ketiga: tidak memiliki 4 cacat tubuh yang disebutkan dalam hadits al-Bara’ bin ‘Azib radhiyallaahu ‘anhu, “Ada empat cacat yang tidak boleh ada pada hewan

kurban; al-‘aura (buta sebelah) yang jelas butanya, sakit yang jelas sakitnya, pincang yang jelas pincangnya, dan kurus yang tidak ada sumsumnya.”

Maka tidak boleh berkurban dengan hewan-hewan yang memiliki kriteria cacat tubuh seperti tersebut di atas atau yang lebih parah darinya, seperti buta kedua matanya, putus salah satu kakinya, sekarat karena diterkam hewan buas atau yang lainnya.

Adapun cacat tubuh yang tidak terlalu parah maka masih sah dijadikan sebagai udhiyah seperti hewan yang terpotong telinga, tanduk, atau ekornya, baik terpotong secara keseluruan atau hanya sebagian saja. Tetapi yang afdhal (lebih utama) adalah memilih hewan yang bagus, gemuk, dan sehat.

(15)

Keempat: Menyembelih pada waktu yang telah ditentukan, yaitu setelah shalat ‘Idul Adha sampai akhir hari tasyriq. Maka total waktu penyembelihan adalah empat hari (‘Idul Adha dan 3 hari setelahnya).

Barangsiapa menyembelih pada selain hari yang telah ditentukan maka tidak dianggap sebagai hewan kurban walaupun orang tersebut tidak mengetahui hukumnya. (Lihat Liqa’ Al-Babil Maftuh Ibnu ‘Utsaimin 92/3 dan al-Fatawa Ibnu Utsaimin 25/13)

Satu Hewan Cukup untuk Satu Keluarga

Berkurban dengan satu ekor kambing telah mewakili seluruh keluarga yang tinggal dalam satu atap walaupun berjumlah lebih dari satu keluarga. Dengan ketentuan ketika menyembelihnya harus diniatkan untuk dirinya dan keluarganya. Sebagaimana dahulu Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam hanya berkurban satu ekor domba untuk beliau dan seluruh isteri dan keluarga beliau

shallallaahu ‘alaihi wasallam. (HR. Ahmad 6/391, lihat Majmu’ Fatawa Ibnu

‘Utsaimin 25/40).

Mengkhusukan Kurban untuk Orang Yang Telah Meninggal

Tidak boleh mengkhususkan kurban untuk orang yang telah meninggal walaupun kerabat dekat. Karena hal ini tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah

shallallaahu ‘alaihi wasallam dan para shahabat beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam. Adapun jika meniatkan untuk diri dan semua keluarganya baik yang

masih hidup atau yang telah meninggal maka yang seperti ini tidak mengapa. (Lihat Liqa’ Al-Babil Maftuh Ibnu ‘Utsaimin 92/2)

Beberapa Hukum Berkaitan dengan Orang yang Berkurban

Berikut beberapa hukum yang harus diperhatikan oleh seorang yang ingin berkurban:

a. Ikhlas Mengharap Ridha Allah subhaanahu wa ta’aalaa

Niat yang ikhlas adalah kunci diterimanya sebuah amalan. Seorang yang berkurban dengan kambing yang mahal harganya, gemuk tubuhnya, dan bagus bentuknya tetapi tidak diiringi dengan keikhlasan maka tidak akan memiliki arti

(16)

sedikitpun di sisi Allah subhaanahu wa ta’aalaa,

“Tidak akan sampai kepada Allah daging dan darahnya (hewan sembelihan), akan tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan dari kalian.” (QS. Al-Hajj: 37)

dan ketakwaan yang paling agung adalah mengikhlaskan niat.

b. Tidak Boleh Memotong Kuku dan Mencukur Rambut

Memasuki sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, seorang yang telah berniat berkurban tidak boleh memotong kuku dan semua rambut yang tumbuh di tubuh. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda,

“Apabila telah masuk sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah dan salah seorang di antara kalian hendak berkurban, maka janganlah ia memotong rambut dan kulitnya sedikitpun.” (HR. Muslim no. 1977 dari Ummu Salamah radhiyallaahu ‘anha)

Dalam riwayat lain, “Janganlah sekali-kali ia memotong rambutnya atau

memotong kukunya.”

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Yang dimaksud larangan memotong kuku dan rambut adalah menghilangkan kuku baik dengan cara memotong, mematahkan, atau cara lainnya. Sedangkan larangan memotong rambut adalah dengan mencukur, memendekkan, mencabut, membakar, menggunakan obat perontok, atau cara lainnya. Larangan tersebut berlaku bagi bulu ketiak, kumis, bulu kemaluan, dan seluruh rambut yang tumbuh di tubuh.” (Al-Minhaj 6/472)

Tata Cara Memotong Udhiyah

Cara memotong udhiyah yang berupa kambing, baik domba maupun kambing Jawa adalah sebagai berikut:

Siapkan pisau yang tajam. 1.

Baringkanlah hewan kurban di atas lambungnya yang kiri. Kemudian 2.

(17)

anda memegangi kepala hewan kurban sehingga menjadi tampak urat lehernya.

Bacalah basmalah: 3.

Bismillah, Allahu Akbar, Allohumma hadza minka wa laka, Allohumma hadzihi ‘anni wa ‘an ahli baiti

“Dengan nama Allah, Allah Maha besar. Ya Allah (hewan) ini dari-Mu dan untuk-Mu. Ya Allah, ini kurban dariku dan keluargaku.”

Dan boleh juga dengan membaca,

Bismillah, wallahu Akbar

“Dengan nama Allah, Allah Maha besar.”

4. Lalu gorokkan pisau dengan kuat di leher bagian atas hingga terputus

al-hulqum (jalan pernapasan), al-wajdain (dua urat leher) dan al-muri (jalur

makanan).

Diusahakan menyembelih hewan kurbannya sendiri karena itu yang lebih utama, bila tidak mampu maka diwakilkan kepada orang yang terpercaya. Boleh baginya melihat proses penyembelihan atau pun tidak melihatnya. Dan diperbolehkan bagi wanita menyembelih hewan kurbannya sendiri bila ia mampu melakukannya. (lihat Majmu’ Fatawa Ibnu ‘Utsaimin 25/60 dan 81)

Memakan Daging Kurbannya

Seorang yang berkurban disunnahkan memakan sebagian dari daging hewan kurbannya, bahkan ada sebagian ulama’ yang mewajibkannya berdasarkan firman Allah subhaanahu wa ta’aalaa:

“Maka makanlah sebagian darinya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang membutuhkan lagi fakir.” (QS. Al Hajj: 28)

Tidak ada ketentuan batas maksimal dalam pengambilan daging kurban, boleh mengambil sedikit, separuh, atau sebagian besar.

(18)

Berhutang untuk Berkurban

Berhutang untuk membeli hewan kurban diperbolehkan bagi seseorang yang memiliki pekerjaan tetap dan penghasilan pasti, sehingga dia bisa membayar hutangnya tidak melebihi batas tempo yang telah disepakati. Apabila tidak ada penghasilan pasti, maka tidak dianjurkan berhutang karena syari’at kurban hanya berlaku bagi orang yang memiliki kemampuan. (Majmu’ Fatawa Ibnu ‘Utsaimin 25/110)

Menyimpan Daging Kurbannya

Diperbolehkan menyimpan daging hewan kurban walaupun lebih dari tiga hari. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Hanyalah dahulu aku melarang kalian (menyimpan daging kurban) karena ada golongan yang membutuhkan. Sekarang makanlah, simpanlah, dan bersedehkahlah” (HR. Muslim no.1971)

Menyedekahkan sebagian Daging Kurban

Hendaknya daging hewan kurbannya tidak dimakan semuanya, sisihkanlah sebagiannya sebagai sedekah bagi orang-orang fakir, Allah subhaanahu wa

ta’aalaa berfirman (yang artinya):

“Maka makanlah sebagian darinya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang membutuhkan lagi fakir.” (QS. Al Hajj: 28)

Boleh memberikan daging hewan kurban kepada orang kafir yang tidak memerangi kaum muslimin atau menampakkan kebencian kepada mereka. (lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin 25/133)

(19)

4 Perkara Yang Mewajibkan Mandi

dan Tatacara Mandi Wajib

Bismillah. Saudaraku seiman, berikut ini adalah 4 perkara yang mewajibkan seseorang untuk mandi dan tatacara mandi wajib. Faedah ini kami nukilkan dari Kitab Minhajus Salikin wa Taudhihul Fiqhi fid Diin karya Al-Imam Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di Rahimahullah Ta’ala.

Berkata As-Syaikh As’-Sa’di Rahimahullah:

“Bab Perkara-Perkara Yang Mewajibkan Mandi dan Sifat Mandi Wajib” Dan diwajibkan mandi dikarenakan:

Pertama: Al-Janabah (Kondisi Junub), yaitu:

Mengeluarkan mani disebabkan senggama atau selainnya. Bertemunya dua kemaluan.

Kedua: Keluarnya Darah Haid dan Darah Nifas Ketiga: Meninggal Selain Dalam Peperangan Keempat: Masuk Islamnya Seorang kafir Allah Ta’ala berfirman,

{6 :ةﺪﺋﺎﻤﻟا] {اوﺮﻬﱠﻃﺎَﻓ ﺎﺒُﻨﺟ ﻢُﺘْﻨﻛ ْناو]

“Dan jika kalian dalam keadaan junub maka bersucilah (mandilah).” (QS.

Al-Maidah:6)

Dan Allah Ta’ala berfirman,

(20)

“Dan janganlah kalian mendekati (mencampuri,pen) isteri-isteri kalian hingga mereka bersuci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepada kalian.” (QS. Al-Baqarah:222) Yang

dimaksud “Apabila mereka telah suci” yakni telah mandi.

Dan nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pernah memeritahkan seseorang untuk mandi dikarenakan orang itu memandikan jenazah (HR. Ahmad, Abu Daud, dan Tirmidzi dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu. Dishahihkan Al-Albani dalam Al-Irwa:144)

dan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam juga memerintahkan orang yang masuk Islam untuk mandi (HR. Abu Daud, Tirmidzi, dan Nasa’i dari Qois bin ‘Ashim

Radhiallahu ‘anhu)

Adapun tatacara mandi janabah dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam adalah sebagai berikut:

Terlebih dahulu mencuci dzakarnya. 1.

Berwudhu’ secara sempurna (seperti wudhu’ untuk shalat,pen) 2.

Menuangkan Air ke kepala sebanyak tiga kali dan mengurutnya. 3.

Menuangkan air ke seluruh badan. 4.

Kemudian mencuci kedua kakinya di tempat yang lain. 5.

Dan yang wajib (dikerjakan) dari tatacara di atas adalah membasuh seluruh badan dan kulit yang ada di dasar rambut baik (rambut) yang tebal dan tipis.

Wallahu ‘alam

Sumber: Minhajus Salikin Karya Syaikh As-Sa’di Hal. 49

(21)

Bagi Ibnul Qoyyim Rahimahullah

(Syaikh Shalih Al-Fauzan)

Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan ditanya tentang sebagian orang yang menjuluki Ibnul Qoyyim Rahimahullah sebagai dokter hati (Thobibul Qulub) disebabkan banyak sekali beliau membahas perkara hati di dalam kitab-kitab beliau.

Maka beliau menjawab, “Dokter hati adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Ibnu Qoyyim hanya menjelaskan pengobatan Rasulullah Shallallahu

‘alaihi wa Sallam. Beliau bukanlah dokter hati. Dokter hati (yang sesungguhnya)

adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.” .

Sumber rekaman Pelajaran Manzhumah Al-Ihsai ‘ala Muqoddimah Abi Zaid Al-Quzwaini.

Sumber: http://www.sahab.net/forums/?showtopic=135642

SEMUA

TENTANG

I’TIKAF

Bersama Asy-Syaikh Muhammad

bin Shalih Al-Utsaimin (BAGIAN 2)

Pertanyaan Kesepuluh: Kapan seorang mu’takif boleh keluar dari i’tikafnya? Apakah setelah terbenamnya matahari di malam Ied atau ketika waktu fajarnya?

Beliau menjawab, “Seorang mu’takif boleh keluar dari i’tikafnya apabila bulan ramadhan telah selesai. Dan selesainya bulan Ramadhan ditandai dengan

(22)

terbenamnya matahari pada malam Ied.

Pertanyaan Kesebelas: Apasaja Perkara-Perkara yang Sunnah dalam I’tikaf?

Beliau menjawab, “Perkara-perkara yang sunnah adalah seseorang menyibukkan diri dengan ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla berupa membaca Al-Qur’an, Dzikir, Shalat, dan selainnya. Dan agar tidak menyia-nyiakan waktunya untuk sesuatu yang tidak ada manfaatnya. Seperti yang dilakukan oleh sebagian orang yang i’tikaf, engkau mendapatinya berdiam di masjid dan manusia mendatanginya disembarang waktu, mereka asyik bercerita, dan dia memotong i’tikafnya untuk sesuatu yang tidak bermanfaat. Adapun bercerita dengan manusia, atau sebagian keluarga maka tidak mengapa jika dilakukan jarang-jarang. Berdasarkan riwayat yang kuat di dalam Ash-Shahihain dari perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi

wa Sallam ketika Shafiyyah Radhiallahu ‘anha mendatanginya, maka ia bercerita

kepada beliau sebentar kemudian kembali ke rumahnya.

Pertanyaan KeDuaBelas: Apa yang seharusnya dilakukan oleh orang yang i’tikaf?

Beliau menjawab, “Seorang yang i’tikaf -sebagaimana yang telah lalu- adalah berdiam diri di masjid untuk melakukan ketaatan dan beribadah kepada Allah

Azza wa Jalla. Maka seyogyanya dia menyibukkan diri melakukan perkara-perkara

yang dapat mendekatkan diri kepada Allah berupa dzikir, membaca Al-Qur’an, dan selainnya.

Akan tetapi perbuatan orang yang i’tikaf terbagi menjadi beberapa bagian: mubah, mustahab dan disyari’atkan, dan dilarang.

Adapun jenis yang disyari’at adalah dia menyibukkan diri dengan ketaatan, ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah. Karena ini adalah tujuan inti dilakukannya i’tikaf. Dan untuk perkara itu dia mengikatkan diri di masjid-masjid. Dan jenis yang ke dua adalah jenis yang dilarang, yaitu yang dapat meniadakan makna i’tikaf, seperti seseorang keluar dari masjid tanpa udzur, berjualan, membeli, menggauli isteri, dan perbuatan-perbuatan sejenis yang dapat membatalkan i’tikaf disebabkan meniadakan makna i’tikaf.

(23)

lain dan bertanya keadaan mereka, dan selain itu dari perkara-perkara yang Allah halalkan bagi orang yang i’tikaf. Di antaranya juga, keluar untuk urusan yang memang harus dilakukan, seperti menyiapkan makan dan minum apabila tidak ada yang melayaninya. Begitu juga keluar untuk buang hajat baik buang air kecil dan besar. Demikian pula keluar untuk sesuatu yang wajib baginya, seperti keluar untuk mandi besar (janabah).

Adapun keluarnya untuk perkara yang disyari’atkan tapi tidak wajib, jika dia mensyaratkan (sejak awal i’tikaf) maka tidak mengapa (untuk keluar), seperti menjenguk orang sakit, mengikuti jenazah, dan selain keduanya. Boleh baginya untuk keluar jika sudah mensyaratkan. Apabila dia tidak mensyaratkan maka tidak boleh keluar. Akan tetapi bila ada kerabatnya yang meninggal, atau temannya, dan dia khawatir jika tidak keluar (untuk takziyah) akan terputus hubungan silaturahmi atau timbul mafsadah, maka dia boleh keluar walaupun i’tikafnya batal. Karena i’tikaf adalah sunnah sehingga tidak ada keharusan untuk melanjutkannya (hingga selesai).

Pertanyaan Ketiga Belas: Bolehkah Seorang yang I’tikaf Pulang ke Rumah untuk Makan dan Mandi?

Beliau menjawab, “Seorang mu’takif boleh pulang ke rumahnya untuk mengambil makanan jika tidak ada orang yang melayaninya. Akan tetapi apabila ada orang yang menyiapkan makananan untuknya maka dia tidak boleh keluar. Karena seorang mu’takif tidak boleh keluar kecuali untuk suatu perkara yang harus dilakukan.

Adapun mandi, jika itu adalah mandi janabah maka wajib baginya untuk keluar. Karena mandi merupakan keharusan baginya. Adapun untuk selain mandi janabah, seperti untuk mendinginkan badan maka tidak boleh keluar, karena itu adalah perkara yang tidak harus dia lakukan. Sedangkan jika untuk menghilangkan bau tidak sedap dari tubuhnya maka boleh keluar. Maka hukum keluar untuk mandi menjadi tiga jenis: wajib, boleh, dan dilarang.

Pertanyaan Ke Empat Belas: Seseorang Memiliki Tanggungan untuk Keluarganya. Apakah I’tikaf Afdhal baginya?

Beliau menjawab, “I’tikaf adalah sunnah bukan wajib. Berdasarkan hal itu, apabila seseorang memiliki tanggungan terhadap keluarganya, bila tanggungan tersebut adalah wajib maka harus ditunaikan, dan dia berdosa jika memaksakan

(24)

untuk i’tikaf yang hukumnya di bawah wajib. Dan jika tanggungan tersebut tidak wajib, maka menunaikan tanggungan tersebut bisa jadi lebih afdhal dari pada i’tikaf. Abdullah bin Amr bin Al-‘Ash Radhiallahu ‘anhu berkata, “Demi Allah. Aku akan berpuasa di siang hari dan shalat di malam hari selama aku hidup. Lalu Nabi

Shallallahu ‘alaihi wa Sallam memanggilnya dan berkata, “Kamu yang berkata demikian?” dia menjawab, “Benar.” Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam

besabda, “Berpuasa dan berbukalah, Tidur dan bangunlah. Sesungguhnya bagi

Dirimu ada hak yang wajib engkau tunaikan, dan bagi Rabbmu ada hak yang wajib engkau tunaikan, dan juga bagi keluargamu ada hak yang wajib engkau tunaikan.” Keadaan seseorang yang meninggalkan kewajiban untuk beri’tikaf

adalah tanda dangkalnya ilmunya, dan juga dangkalnya hikmahnya. Karena pada dasarnya memenuhi kebutuhan keluarga itu lebih afdhal dari pada i’tikaf.

Adapun seseorang yang lapang, maka i’tikaf disyari’atkan baginya. Dan apabila dia memiliki tanggunggan yang harus dipenuhi di awal bulan, dan bisa diselesaikan di pertengahan bulan. Maka tidak mengapa jika dia ingin i’tikaf di akhir bulan. Karena hal ini masuk kepada firman Allah,

{ﻢﻫ َﻚﺋوﺎَﻓ ﻪﺴْﻔَﻧ ﺢُﺷ قﻮﻳ ﻦﻣو ﻢﺴُﻔﻧﻻ ًاﺮﻴَﺧ ْاﻮُﻘﻔْﻧاو ْاﻮﻌﻴﻃاو ْاﻮﻌﻤﺳاو ﻢُﺘﻌَﻄَﺘﺳا ﺎﻣ ﻪﻟا ْاﻮُﻘﱠﺗﺎَﻓ َنﻮﺤﻠْﻔﻤْﻟا}

“Maka bertakwalah kalian kepada Allah sesuai dengan kemampuan kalian dan dengarlah serta taatlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikirian dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ath-Thaghobun: 16)

Referensi

Dokumen terkait

Tegasnya, Syaykh Abd Aziz bin Abd Salam telah memberi suatu sumbangan yang besar terhadap metodologi pentafsiran kepada pengajian tafsir di Malaysia.. Sumbangan

Kondisi kerja yang baik adalah kondisi yang dapat mendukung dalam penyelesaian pekerjaan oleh karyawan. Segenap fasilitas yang diperlukan dalam mengerjakan atau

Hasanuddin (2002:117) memaparkan jenis-jenis citraan antara lain, citraan penglihatan adalah citraan yang timbul karena daya saran penglihatan, (2) citraan

PPKA Bodogol atau yang dikenal dengan Pusat Pendidikan Konservasi Alam Bodogol adalah sebuah lembaga konservasi alam di daerah Lido Sukabumi dan masih merupakan bagian dari

Fungsi wilayah adalah menyelenggarakan kegiatan perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian bidang pemasaran dalam rangka merintis, menciptakan, membina, memelihara dan

Tujuan dari penelitian ini yaitu: (1) Menguji kontribusi sikap disiplin, fasilitas belajar, dan monitoring orang tua terhadap hasil belajar matematika secara tidak

Puji syukur ke Hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Analisis Profil Protein Ekstrak Biji

Flowchart adalah bagan- bagan yang mempunyai arus yang menggambarkan langkah- langkah penyelesaian suatu masalah.Bagan alir program (program flowchart) adalah suatu bagan