BAB III. METODOLOGI
3.1.
Kerangka Pemikiran
Peningkatan APBD idealnya dapat menghasilkan peningkatan kesejahteraan masyarakat yang ditandai dengan meningkatnya angka IPM. Penggunaan APBD untuk meningkatkan IPM secara optimal salah satunya ditentukan oleh alokasi APBD untuk kepentingan pelayanan publik terutama untuk pelayanan pendidikan, kesehatan dan perekonomian. Oleh karena itu hal utama yang harus diketahui adalah pengaruh alokasi APBD terutama belanja aparatur dan belanja publik terhadap kenaikan IPM. Kajian terdahulu yang dilakukan Cardiman (2006) memperlihatkan bahwa ada pengaruh yang signifikan dari alokasi belanja publik dan belanja aparatur dalam APBD dengan angka IPM di Kota Bekasi. Pengaruh belanja publik dan belanja aparatur terhadap angka IPM bersifat positif. Kajian pembangunan daerah ini disusun untuk mengetahui pengaruh alokasi belanja publik dan belanja aparatur dalam APBD terhadap kenaikan angka IPM Kab. Bogor.
Setelah kita mengetahui pengaruh alokasi APBD terhadap IPM, maka hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah bagaimana alokasi APBD tersebut digunakan. Jika alokasi untuk sektor kesehatan, pendidikan dan perekonomian digunakan untuk membiayai program-program yang berdampak langsung terhadap angka IPM, maka kenaikan IPM dapat optimal. Angka IPM sangat dipengaruhi oleh angka rata-rata lama sekolah (RLS), angka melek huruf (AMH), angka harapan hidup (AHH) dan daya beli per kapita.
Menurut Bappeda Kab. Bogor (2006), banyak faktor yang berpengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap perubahan angka IPM. Faktor-faktor tersebut dapat diuraikan berdasarkan masing-masing indeks pendidikan,
kesehatan dan daya beli. Selain penyebab langsung, terdapat juga penyebab tidak langsung level 1 dan level 2 serta penyebab mendasar. Jika pengaruh masing-masing faktor terhadap masing-masing komponen IPM dapat diketahui, maka pembiayaan program-program APBD yang berkaitan langsung dengan hal tersebut dapat meningkatkan angka IPM secara optimal. Gambaran mengenai faktor-faktor penyebab langsung maupun tidak langsung terhadap perubahan derajat pendidikan, derajat kesehatan dan daya beli serta kerangka pemikiran yang digunakan dalam kajian ini dapat dilihat pada Gambar 5, Gambar 6, dan Gambar 7.
INDIKATOR RATA-RATA LAMA SEKOLAH ANGKA MELEK HURUF PENYEBAB
LANGSUNG PARTISIPASI PENDIDIKAN (SD, SMP, SMA) DROP OUT PENYEBAB TIDAK
LANGSUNG LEVEL 1 KUANTITAS GURU KUALITAS GURU PENYEBAB TIDAK
LANGSUNG LEVEL 2
KUALITAS KUANTITAS BIAYA AKSESIBILITAS SARANA DAN SARANA DAN PENDIDIKAN (JARAK/JALAN) PRASARANA PRASARANA
PENDIDIKAN PENDIDIKAN PENEYBAB
MENDASAR
DAYA BELI MOTIVASI KELEMBAGAAN ALOKASI (KEMISKINAN) DUKUNGAN MASYARAKAT ANGGARAN KELUARGA
IPM
DERAJAT PENDIDIKAN
Gambar 5. Penyebab langsung dan tidak langsung perubahan derajat pendidikan (Bappeda Kab. Bogor, 2006).
Berdasarkan Gambar 5 dapat diketahui bahwa indikator peningkatan derajat pendidikan adalah rata-rata lama sekolah (RLS) dan angka melek huruf. (AMH). Besar kecilnya angka rata-rata lama sekolah dipengaruhi langsung oleh tingkat
partisipasi masyarakat dalam pendidikan formal (jenjang SD, SLTP dan SLTA). Ukuran yang dapat digunakan untuk menentukan tingkat partisipasi sekolah adalah
angka partisipasi kasar (APK) dan angka partisipasi murni (APM).2 Angka melek
huruf dipengaruhi secara langsung oleh banyaknya siswa yang putus sekolah dan juga banyaknya jumlah penduduk buta huruf.
Secara umum penyebab tidak langsung yang mempengaruhi RLS dan AMH adalah kuantitas dan kualitas guru. Semakin baik kuantitas dan kualitas guru maka akan semakin meningkatkan partisipasi dan menurunkan jumlah putus sekolah. Penyebab tidak langsung yang lain adalah kuantitas dan kualitas sarana pendidikan, biaya pendidikan dan kemudahan menjangkau sarana pendidikan. Faktor kuantitas dan kualitas sarana pendidikan menentukan dalam hal ketersediaan daya tampung sekolah. Semakin banyak dan semakin baik sarana pendidikan akan meningkatkan partisipasi sekolah dan mengurangi angka putus sekolah. Hal yang sama juga terjadi pada faktor kemudahan menjangkau sarana sekolah. Semakin mudah sarana sekolah dijangkau oleh masyarakat akan semakin meningkatkan partisipasi sekolah dan menurunkan angka putus sekolah.
Penyebab mendasar yang mempengaruhi RLS dan AMH adalah daya beli, dukungan keluarga, kelembagaan di masyarakat dan alokasi anggaran pendidikan. Penyebab mendasar daya beli mempengaruhi tingkat partisipasi sekolah terutama dalam hal biaya pendidikan dan kemudahan menjangkau sarana pendidikan.
_______________________
2) Ada tiga jenis APK yaitu APK SD, APK SLTP dan APK SLTA. APK SD adalah rasio jumlah murid sekolah SD semua umur dengan jumlah anak umur 7-12 tahun, APK SLTP adalah rasio jumlah murid SLTP semua umur dengan jumlah anak umur 13-15 SD dan APK SLTA adalah rasio jumlah murid SLTA semua umur dengan jumlah anak umur 16-18 tahun. Angka partisipasi murni juga ada tiga yaitu APM SD, APM SLTP dan APM SLTA. APM SD adalah rasio jumlah murid SD umur 7-12 tahun dengan jumlah anak umur 7-12 tahun, APM SLTP adalah rasio jumlah murid SLTP umur 13-15 tahun dengan jumlah anak umur 13-15 tahun, dan APM SLTA adalah jumlah murid SLTA umur 16-18 tahun dengan jumlah anak umur 16-18 tahun.
Masyarakat yang memiliki daya beli rendah tidak mampu menyediakan biaya pendidikan yang memadai dan biaya transportasi untuk sekolah anak-anaknya.
Faktor dukungan keluarga berkaitan erat dengan faktor daya beli. Dukungan keluarga yang lemah dalam menyekolahkan anak-anaknya umumnya terjadi pada keluarga yang memiliki daya beli rendah. Mereka lebih menginginkan anak-anaknya bekerja dari pada menempuh pendidikan. Pada keluarga yang memilik daya beli relatif baik, motivasi keluarga untuk menyekolahkan anak-anaknya relatif tinggi.
Adapun faktor kelembagaan masyarakat lebih berkaitan dengan penyediaan pendidikan non formal untuk menampung siswa yang putus sekolah. Semakin baik kelembagaan di masyarakat akan semakin meningkatkan partisipasi sekolah dan menekan buta huruf. Kelembagaan yang dimaksud dalam hal ini adalah sejenis partisipasi masyarakat untuk membantu sektor pendidikan terutama untuk menyelenggarakan berbagai macam jenis pendidikan non formal seperti pendidikan buta aksara, SLTP terbuka dan lain sebagainya.
Penyebab mendasar alokasi anggaran pemerintah berkaitan dengan kemampuan pemerintah menyediakan sarana pendidikan yang memadai bagi masyarakat baik kuantitas maupun kualitasnya. Semakin besar alokasi anggaran pembangunan untuk sektor pendidikan maka akan semakin meningkatkan partisipasi sekolah dan menurunkan angka buta huruf. Alokasi anggaran yang dimaksud bukan hanya untuk penyediaan sarana pendidikan tetapi juga untuk perbaikan kesejahteraan guru termasuk penyediaan subsidi bagi siswa yang berasal dari keluarga kurang mampu.
INDIKATOR ANGKA HARAPAN HIDUP
ANGKA KEMATIAN BAYI ANGKA KEMATIAN IBU PENYEBAB LANGSUNG GIZI BALITA GIZI IBU PENYEBAB TIDAK
LANGSUNG LEVEL 1 KUANTITAS PELAYANAN KONSUMSI PENYAKIT INFEKSI PERSALINAN DIBANTU MEDIS MAKANAN BERGIZI IKUTAN TENAGA KESEHATAN PENYEBAB TIDAK
LANGSUNG LEVEL 2
JUMLAH TENAGA DISTRIBUSI SARANA DAN PRASARANA KEMAMPUAN MEMBIAYAI MEDIS DAN NON KESEHATAN KESEHATAN PENEYBAB MENDASAR KONDISI SANITASI KESADARAN KEMISKINAN KELEMBAGAAN AKSESIBILITAS
LINGKUNGAN PERILAKU HIDUP MASYARAKAT THD SARANA BERSIH DAN SEHAT KESEHATAN
HORIZONTAL CAUSALITY
IPM
DERAJAT KESEHATAN
Gambar 6. Penyebab langsung dan penyebab tidak langsung perubahan derajat kesehatan (Bappeda Kab. Bogor, 2006).
Berdasarkan Gambar 6 dapat diketahui bahwa derajat kesehatan memiliki indikator tunggal yaitu angka harapan hidup (AHH). Angka harapan hidup yang dimaksud dalam hal ini adalah angka harapan hidup waktu lahir yaitu perkiraan rata-rata lamanya hidup sejak lahir yang akan dicapai oleh sekelompok penduduk. Besaran AHH dipengaruhi oleh angka kematian bayi (AKB) dan angka kematian ibu saat melahirkan (AKI). Angka kematian bayi adalah besarnya kemungkinan bayi meninggal sebelum mencapai usia satu tahun yang dinyatakan per seribu kelahiran hidup.
Penyebab langsung yang mempengaruhi AKB antara lain adalah tingkat gizi balita sedangkan penyebab yang mempengaruhi AKI adalah tingkat gizi ibu saat mengandung. Semakin baik tingkat gizi dipastikan akan semakin mengurangi AKB
dan AKI. Penyebab tidak langsung yang mempengaruhi AKB dan AKI adalah jumlah pelayanan medis, pelayanan gizi, penanggulangan penyakit dan penanganan persalinan. Semakin baik berbagai pelayanan kesehatan yang diperlukan akan semakin menekan AKB dan AKI.
Penyebab tidak langsung lain yang mempengaruhi AKB dan AKI adalah ketersediaan tenaga medis, sebaran sarana dan prasarana kesehatan serta kemampuan masyarakat untuk membiayai layanan kesehatan. Faktor ketersediaan tenaga medis yang memadai dan sebaran sarana kesehatan yang merata ke setiap wilayah akan semakin mengurangi AKB dan AKI. Adapun faktor kemampuan membiayai kesehatan adalah juga faktor yang sangat penting. Semakin baik daya beli masyarakat maka akan semakin mudah membiayai pelayanan kesehatan yang diperlukan.
Penyebab mendasar dari semua hal yang mempengaruhi derajat kesehatan sebenarnya adalah budaya hidup sehat dan kesadaran menjaga kesehatan lingkungan tempat tinggal. Penyebab mendasar lainnya adalah kemiskinan, kelembagaan masyarakat dan kemudahan menjangkau fasilitas kesehatan. Kemiskinan dan budaya hidup sehat saling mempengaruhi satu sama lain. Semakin tinggi kemiskinan akan semakin sulit budaya hidup sehat diterapkan.
Penyebab mendasar kelembagaan di masyarakat sebetulnya berkaitan erat dengan budaya hidup sehat. Pada masyarakat yang budaya hidup sehatnya baik, kelembagaan masyarakat yang berkaitan dengan kesehatan akan mudah terbentuk. Nilai-nilai seperti kewajiban menjaga kebersihan, membuang sampah pada tempatnya hingga pembentukan lembaga sosial yang mengurusi soal kesehatan adalah contoh kelembagaan kesehatan yang ada di masyarakat.
INDIKATOR KONSUMSI PER KAPITA
PENYEBAB LANGSUNG TINGKAT PENDAPATAN) SERAPAN TENAGA KERJA PENYEBAB TIDAK
LANGSUNG LEVEL 1 PERTUMBUHAN EKONOMI KUALITAS SDM DISTRIBUSI PENDAPATAN PENYEBAB TIDAK
LANGSUNG LEVEL 2
PEMANFAATAN SUMBER DAYA IKLIM INVESTASI LAJU INVESTASI ALAM
PENEYBAB MENDASAR
KEMISKINAN KUALITAS KELEMBAGAAN ENTREPRENEURSHIP AKSES THD INFRASTRUKTUR EKONOMI LEMBAGA WILAYAH MASYARAKAT EKONOMI
KONDISI MAKRO NASIONAL
IPM
DAYA BELI
Gambar 7. Penyebab langsung dan penyebab tidak langsung perubahan daya beli (Bappeda Kab. Bogor, 2006).
Berdasarkan Gambar 7 diketahui bahwa daya beli memiliki indikator tunggal berupa konsumsi per kapita. Semakin tingginya konsumsi per kapita semakin memperlihatkan tingginya daya beli. Penyebab langsung yang mempengaruhi daya beli adalah besarnya tingkat pendapatan masyarakat dan serapan tenaga kerja. Masyarakat yang memiliki tingkat pendapatan memadai akan meningkatkan jumlah konsumsi per kapita. Hal yang sama juga terjadi pada penyebab berupa serapan tenaga kerja. Semakin banyak tenaga kerja yang diserap oleh sektor industri akan semakin meningkatkan jumlah masyarakat yang berpenghasilan sehingga otomatis akan berpeluang meningkatkan jumlah konsumsi per kapita.
Penyebab tidak langsung yang mempengaruhi konsumsi per kapita adalah pertumbuhan ekonomi, kualitas sumber daya manusia dan distribusi pendapatan. Pertumbuhan ekonomi sangat berkaitan erat dengan konsumsi per kapita. Adanya
pertumbuhan ekonomi berarti adanya kenaikan angka Produk Domestik Bruto (PDB). Salah satu komponen pembentuk PDB adalah konsumsi masyarakat di samping terdapat komponen lain seperti belanja pemerintah, investasi swasta dan selisih ekspor-impor.
Penyebab tidak langsung kualitas sumber daya manusia berkaitan erat dengan peluang serapan tenaga kerja. Semakin baik kualitas SDM yang ada akan semakin meningkatkan serapan tenaga kerja. Penyebab berupa distribusi pendapatan berperan dalam meningkatkan pemerataan pendapatan yang terjadi akibat pertumbuhan ekonomi. Semakin baik distribusi pendapatan akan berpeluang meningkatkan konsumsi per kapita. Jika distribusi pendapatan kurang baik maka ada kecenderungan pada masyarakat berpenghasilan tinggi untuk menabung dari pada mengeluarkan konsumsi.
Penyebab tidak langsug lainnya yang mempengaruhi konsumsi per kapita adalah pemanfaatan sumber daya alam (SDA), tingkat investasi. Pemanfaatan SDA berkaitan erat dengan upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Semakin baik pemanfaatan SDA akan semakin meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Hal yang sama juga terjadi pada penyebab berupa tingkat investasi. Semakin baik iklim investasi maka akan semakin meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Penyebab mendasar yang mempengaruhi konsumsi per kapita adalah kemiskinan, kualitas infrastruktur wilayah, kelembagaan ekonomi masyarakat dan kewirausahaan masyarakat serta kemudahan menjangkau permodalan. Kemiskinan yang tinggi dipastikan akan menyebabkan rendahnya konsumsi per kapita. Rendahnya kualtias dan kuantitas infrastruktur wilayah seperti jalan dan jembatan juga akan menyebabkan rendahnya daya beli masyarakat. Kualitas dan kuantitas infrastruktur yang baik akan memperlancar arus barang dan jasa yang berarti juga
meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Penyebab berupa kelembagaan masyarakat di sektor ekonomi, motivasi kewirausahaan di masayarakt dan kemudahan menjangkau permodalan sangat berkaitan erat. Motivasi wirausaha akan lahir jika kelembagaan ekonomi di masyarakat berjalan dengan baik dan juga adanya kemudahan menjangkau permodalan yang diperlukan dalam wirausaha.
Faktor-faktor yang mempengaruhi derajat pendidikan, kesehatan dan daya beli di atas adalah faktor-faktor yang akan dibahas dalam penelitian ini. Setelah faktor-faktor penting yang mempengaruhi masing-masing komponen dalam IPM diketahui, maka kajian dilanjutkan dengan menentukan prioritas program pembangunan untuk masing-masing sektor. Hasil akhir dari kajian yang dilakukan adalah rekomendasi program pembangunan yang dapat dibiayai oleh APBD. Secara umum kerangka pemikiran yang digunakan dalam kajian ini adalah seperti Gambar 8.
APBD berorientasi IPM Strategi Perancangan APBD
dengan AHP (Analytical Hierarchy Process)
Kesehatan Pendidikan Perekonomian Lainnya
AHH AMH RLS PPP Gizi buruk Tkt. Imunisasi Kemiskinan, dll Daya tampung Tkt. Kelulusan Kemiskinan, dll Lapangan Kerja Tkt. Kemiskinan Tkt. Investasi, dll PKBM Peserta PKBM Kemiskinan, dll APBD
3.2.
Metode Penelitian Dan Kajian
Metode yang digunakan dalam kajian pembangunan daerah ini meliputi metode pengumpulan data, metode pengolahan dan analisis data serta metode perancangan program. Hasil akhir dari kajian pembangunan daerah ini adalah berupa rekomendasi program dan kebijakan yang dapat dilaksanakan oleh pemerintah daerah terutama berkaitan dengan strategi perancangan APBD yang dapat mengoptimalkan peningkatan kualitas pembangunan manusia. Ukuran yang digunakan untuk menilai kualitas pembangunan manusia dalam hal ini adalah indeks pembangunan manusia (IPM).
3.2.1.
Lokasi Penelitian dan Kajian
Lokasi pelaksanaan penelitian dan kajian ini adalah di wilayah Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Kajian ini dilaksanakan selama kurang lebih 4 bulan. Adapun unit analisis yang menjadi sasaran penelitian adalah Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor. Aspek yang dikaji adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sejak tahun 1997 sampai 2006 dan pertumbuhan angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sejak tahun 1997 sampai 2006.
3.2.2.
Metode Pengolahan Dan Analisis Data
Data yang digunakan dalam kajian ini adalah data sekunder yang berasal dari BPS Kab. Bogor, Pemda Kab. Bogor dan BAPPEDA Kab. Bogor serta instansi teknis yang ada di Kabupaten Bogor seperti Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta Bagian Perekonomian Kab. Bogor. Untuk mengetahui pengaruh APBD terhadap IPM digunakan metode analisis regresi
berganda (multiple regression). Untuk mengetahui tingkat pertumbuhan IPM digunakan
metode reduksi Shortfall yang ditetapkan oleh United Nation Development Program
(UNDP). Adapun untuk mengetahui pengaruh beberapa faktor dugaan terhadap indeks kesehatan, indeks pendidikan dan daya beli, dilakukan metode penyajian menggunakan statistika deskriptif.
3.2.2.1.
Metode Analisis Regresi Berganda
Analisis regresi berganda adalah analisis regresi yang digunakan untuk
menduga nilai variabel terikat (dependent) dengan menggunakan lebih dari satu variabel
bebas (independent). Parameter penting yang dihasilkan dari analisis regresi berganda
yang bermanfaat untuk mengambil kesimpulan adalah : (1) koefisien determinasi yang menggambarkan persentase keragaman variabel terikat yang dapat dijelaskan oleh variabel bebas di mana nilai koefisien determinasi semakin mendekati 100% berarti semakin baik, (2) selang kepercayaan model yang menggambarkan tingkat perbedaan nyata (signifikan) dari persamaan yang digunakan yang nilainya biasanya adalah 90 – 95% (alfa : 0,1 atau alfa : 0,05), (3) nilai intersep dan nilai koefisien model beserta selang kepercayaannya masing-masing yang menggambarkan berapa nilai intersep dan nilai koefisien masing-masing variabel bebas beserta selang kepercayaannya di mana nilai-nilai ini kemudian dapat disusun menjadi sebuah persamaan regresi berganda.
Untuk mengetahui pengaruh realisasi belanja publik dan belanja aparatur dalam APBD terhadap IPM dilakukan analisis regresi berganda dengan variabel terikat angka IPM dan variabel bebasnya adalah realisasi belanja publik dan realisasi belanja aparatur dalam APBD. Angka realisasi belanja publik dan belanja aparatur dalam APBD yang digunakan adalah angka realisasi belanja yang sudah dihilangkan pengaruh inflasinya. Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut :
Y(t) = ßo + ß1 A(t) + ß2 B(t) + ε(t) ….. ……….. ( 1) Di mana :
Y(t) : Indeks Pembangunan Manusia Tahun ke-t
A(t) : Realisasi Belanja Aparatur Tahun ke-t
B(t) : Realisasi Belanja Publik Tahun ke-t
ßo : Koefisien Intersep
ßi, i = 1,2,3 : Parameter Regresi
ε
(t) : Error term3.2.2.2.
Metode Reduksi
Shortfall
Untuk mengukur kecepatan perkembangan IPM dalam suatu kurun waktu
digunakan reduksi Shortfall per tahun. Ukuran ini secara sederhana menujukkan
perbandingan antara capaian yang telah ditempuh dengan capaian yang masih harus ditempuh untuk mencapai titik ideal yaitu IPM = 100 (BPS Kab. Bogor, 2005).
Prosedur perhitungan reduksi Shortfall dirumuskan sebagai berikut :
...... (2) (IPM t+n – IPM t) x 100 1/n
R =
(IPM ideal – IPM t)
Di mana :
IPM t : IPM pada tahun t
IPM t+n : IPM pada tahun t+n
IPM ideal : 100
Untuk menentukan klasifikasi pertumbuhan IPM, UNDP telah menetapkan tiga klasifikasi. Klasifikasi tersebut terdiri dari klasifikasi pertumbuhan IPM cepat, pertumbuhan IPM sedang dan pertumbuhan IPM lambat. Rincian ketentuan mengenai klasifikasi pertumbuhan IPM yang ditetapkan oleh UNDP dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Klasifikasi Pertumbuhan IPM Menurut UNDP
Klasifikasi Pertumbuhan IPM Angka Reduksi Shortfall
Cepat R > 1,70
Sedang 1,50 < R < 1,70
Lambat R < 1,50
Sumber : BPS Kab. Bogor (2005)
3.2.2.3.
Metode Statistika Deskriptif
Metode statistika deskriptif dalam kajian ini digunaka untuk menggambarkan faktor-faktor yang mempengaruhi IPM baik sektor pendidikan, kesehatan maupun perekonomian. Statistika deskriptif adalah metode yang berkaitan dengan pengumpulan dan penyajian suatu gugus data sehingga memberikan informasi yang bermanfaat (Walpole, 1992). Beberapa metode statistika deskriptif yang digunakan
adalah : penyajian data dalam bentuk grafik, penentuan nilai rata-rata, penentuan trend
atau kemiringan data, dan beberapa metode statistika deskriptif lainnya.
3.3. Metode Perancangan Program
Perancangan program merupakan tahap penyampaian hasil kajian kepada para stakeholder pembangunan daerah yang meliputi unsur pemerintahan, masayarakat dan pihak swasta. Respon dari para stakeholder dihimpun sedemikian rupa sehingga menjadi strategi penerapan hasil kajian. Respon para stakeholder juga diperlukan untuk menentukan prioritas program pembangunan daerah yang akan disusun dalam kajian.
Pemaparan atau sosialisasi program disampaikan kepada beberapa pihak di lingkungan Pemda Kab. Bogor dan juga masyarakat untuk mendapat tanggapan. Jumlah responden yang digunakan adalah sebanyak 12 orang terdiri dari unsur
Pemerintah Kab. Bogor terutama dari BAPPEDA, anggota DPRD Kab. Bogor terutama pimpinan komisi, masyarakat terutama akademisi dan pihak swasta terutama kontraktor dan perusahaan swasta.. Data respon para stakeholder ini kemudian dianalisis dengan menggunakan metode analisis SWOT untuk menentukan strategi
perencanaan pembangunan dan Analytical Hierarchy Process (AHP) untuk menyusun
prioritas program pembangunan daerah yang dapat dibiayai oleh APBD.
3.3.1.
Metode Analisis SWOT
Metode analisis SWOT pertama kali dikembangkan oleh Albert Humphrey dari Stanfrod University AS pada tahun 1960. Metode analisis SWOT merupakan
metode yang ditujukan untuk menyusun strategi perencanaan (strategic planning) bagi
program dan kegiatan organisasi yang sesuai dengan kondisi internal dan eksternal organisasi yang bersangkutan. Kondisi internal organisasi dikelompokkan dalam
kategori S (strength atau kekuatan) dan W (weakness atau kelemahan). Kondisi
eksternal organisasi dikelompokkan dalam kategori O (opportunity atau peluang) dan T
(threat atau ancaman).
Metode analisis SWOT terdiri dari beberapa tahap pengerjaan yaitu tahap pengumpulan data, tahap analisis dan tahap pengambilan keputusan. Tahap pengumpulan data yang merupakan tahap sangat penting dalam analisis. Semakin akurat data yang digunakan maka akan semakin tepat keputusan yang akan dibuat. Data yang dikumpulkan diusahakan berkaitan dengan data keadaan internal organisasi dan juga keadaan eksternal yang berpengaruh terhadap organisasi. Data yang terkumpul kemudian dikelompokkan dalam matriks faktor strategi internal dan matriks faktor strategi eksternal. Bentuk matriks adalah sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Faktor Strategi Eksternal dan Faktor Strategi Internal
Faktor Strategi Internal Bobot Rating Bobot x Rating
Kekuatan 1. 2. ... Total Kekuatan Kelemahan 1. 2. ... Total Kelemahan
TOTAL FAKTOR INTERNAL 1,0
Faktor Strategi Eksternal Bobot Rating Bobot x Rating
Peluang 1. 2. ... Total Peluang Ancaman 1. 2. ... Total Ancaman
TOTAL FAKTOR EKSTERNAL 1,0
Sumber : Rangkuti (2001)
Pengisian matrik dimulai dengan mengisi kolom faktor strategi internal dan eksternal yang disesuaikan dengan kelompok kekuatan, kelemahan, peluang serta ancaman. Bobot masing-masing faktor ditetapkan dengan skala 1,0 (paling penting) sampai 0,0 (tidak penting) berdasarkan tingkat pengaruh faktor tersebut terhadap posisi strategis organisasi. Semua penjumlahan angka bobot tidak boleh melebihi 1,0 pada faktor internal (kekuatan dan kelemahan) maupun faktor eksternal (peluang dan ancaman). Pengisian rating masing-masing faktor ditetapkan dengan skala 4 (sangat baik) sampai 1 (buruk) berdasarkan pengaruh faktor tersebut terhadap kondisi organisasi.
Tahap analisis dimulai dengan menghitung perkalian bobot dengan rating dari faktor-faktor internal dan eksternal. Berdasarkan nilai perkalian tersebut dapat ditentukan komponen yang paling besar nilainya pada faktor internal dan faktor eksternal. Masing-masing komponen yang memiliki nilai terbesar tersebut dijadikan sebagai komponen yang paling berpengaruh dalam organisasi. Tahap pengambilan keputusan dilakukan dengan membuat matrik strategi SWOT dan menetapkan pilihan strategi berdasarkan komponen yang paling berpengaruh baik dari faktor internal maupun eksternal. Matriks strategi SWOT dapat dilihat pada Gambar 9.
Faktor Internal
Faktor Eksternal
Strengts (S) atau
Kekuatan Weakness (W) atau Kelemahan
Opportunities (O) atau Peluang
Strategi S-O atau Progresif menggunakan kekuatan
untuk memanfaatkan peluang
Strategi W-O atau Korektif mengatasi kelemahan untuk memanfaatkan peluang Threats (T) atau Ancaman Strategi S-T atau Diversifikasi menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman
Strategi W-T atau Defensif mengatasi kelemahan untuk menghindari ancaman Sumber : Rangkuti (2001)
Gambar 9. Matriks Pilihan Strategi Dalam Analisis SWOT
3.3.2. Metode
Analytical Hierarchy Process
Analytical Hierarchy Process (AHP) adalah metode analisa yang digunakan untuk mengambil keputusan yang komplek dengan menggunakan pendekatan matematika dan psikologi atau persepsi manusia. Metode ini dikembangkan oleh Thomas L.
Saaty pada tahun 1970. Beberapa keunggulan dari AHP antara lain : (1) melibatkan persepsi seorang ahli yang mengerti persoalan sebagai bahan masukan, (2) mampu
memecahkan masalah yang memiliki banyak tujuan (multi objectives) dan banyak kriteria
(multi criterias), (3) mampu memecahkan persoalan yang kompeks dan tidak terkerangka akibat dari data yang minim. Adapun kelemahan AHP yang sebenarnya juga dapat berarti kelebihan adalah bahwa metode penyelesaian sederhana sehingga bagi beberapa orang sering dianggap kurang meyakinkan. Beberapa tahapan yang harus dilakukan dalam menerapkan AHP adalah :
1. menentukan hirarki yaitu merumuskan persoalan dalam bentuk struktur berupa
diagram pohon yang terdiri dari tujuan, kriteria dan alternatif.
2. tahap menetapkan prioritas yaitu menentukan prioritas dari masing-masing
kriteria atau sub kriteria dengan membandingkannya satu sama lain. Untuk melakukan pembandingan digunakan skala banding seperti pada Tabel 8.
Tabel 8. Skala Banding Secara Berpasangan Dalam AHP
Intensitas Keterangan
1 Kedua elemen sama pentingnya
3 Elemen yang satu sedikit lebih penting dibanding elemen lainnya
5 Elemen yang satu lebih penting dibanding elemen lainnya
7 Elemen yang satu jelas lebih penting dibanding elemen lainnya
9 Elemen yang satu mutlak lebih penting dibanding elemen lainnya
2,4,6,8 Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan yang berdekatan
Sumber : Saaty (1988)
3. tahap sintesis yaitu penyatuan keputusan dengan cara pembobotan dan
penjumlahan untuk menghasilkan satu bilangan tunggal yang menunjukkan prioritas tiap elemen.
4. tahap mempertimbangkan konsistensi untuk menjamin semua elemen
dikelompokkan secara logis dan diperingkat secara konsisten sesuai dengan kriteria yang logis.
Metode AHP dalam kajian ini dilakukan dengan menggunakan perangkat
lunak EXPERT CHIOICE 2000 yang dibuat oleh Expert Choice Inc. Pengambilan
keputusan dalam kajian ini dilakukan untuk tiga sektor yaitu sektor pendidikan, kesehatan dan ekonomi atau daya beli. Hasil akhir dari keputusan yang dibuat dengan AHP adalah rekomendasi program APBD yang menjadi prioritas untuk masing-masing sektor. Hirarki pemilihan program pembangunan yang digunakan dalam kajian ini dapat dilihat pada Gambar 10.
Program Pembangunan Daerah Di Kab. Bogor
Pelaku Pemerintahan Swasta Masyarakat
Daerah Pembangunan
Kendala Aspek Aspek Aspek Aspek Aspek
Pembangunan Biaya Kebijakan Aparatur Manfaat Partisipasi
Alternatif Program Program Program
Bid. Pendidikan Bid. Kesehatan Bid. Ekonomi
Pembangunan