• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PEMBELIAN KOMPULSIF PADA SPESIFIK PRODUK TERTENTU: PAKAIAN. SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS PEMBELIAN KOMPULSIF PADA SPESIFIK PRODUK TERTENTU: PAKAIAN. SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS INDONESIA

ANALISIS PEMBELIAN KOMPULSIF PADA SPESIFIK

PRODUK TERTENTU: PAKAIAN

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Ekonomi

ROSSANA PUSPITA SARI

1206316420

FAKULTAS EKONOMI

PROGRAM STUDI S1 EKSTENSI

MANAJEMEN PEMASARAN

DEPOK

(2)

 

ANALISIS PEMBELIAN KOMPULSIF PADA SPESIFIK

PRODUK TERTENTU: PAKAIAN

Rossana Puspita Sari dan Sumiyarto

Program Studi Ekstensi Manajemen, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia

Email: rossana.puspitasari@gmail.com

Abstrak

Tujuan utama skripsi ini adalah untuk mengetahui pengaruh dari neurotisisme, materialisme dan ketertarikan pada fashion terhadap pembelian pakaian kompulsif. Model penelitian dengan lima hipotesis diuji menggunakan metode Structural Equation Model (SEM) dengan bantuan software Lisrel. Dari penelitian dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh yang positif dan signifikan antara neurotisisme dengan materialisme, materialisme dengan ketertarikan pada fashion, neurotisisme dengan pembelian kompulsif dan ketertarikan pada fashion dengan pembelian kompulsif. Namun, materialisme dengan pembelian kompulsif tidak memiliki pengaruh yang positif dan signifikan. Kata kunci: neurotisisme, materialisme, fashion, pembelian kompulsif

Compulsive Buying in a Specific Product Context: Clothing

Abstract

The purpose of this study is to investigate compulsive consumption within product specific context (compulsive buying of clothing). The five-hypotheses research model in this study are tested with Structural Equation Model (SEM) using Lisrel Software. Path analysis results revealed significant relationships between neuroticism and materialism, neuroticism and compulsive clothing buying, materialism and fashion interest, and fashion interest and compulsive clothing buying. The path between materialism and compulsive clothing buying was not significant.

(3)

Pendahuluan

Terkadang banyak orang yang tidak tahu atau mengalami kesulitan untuk membedakan antara pembelian kompulsif dan pembelian impulsif. Mereka selalu berpikir dua hal tersebut adalah hal yang sama, secara konstruktif memang ada kemiripan diantara pembelian kompulsif dan impulsif, namun jika diketahui lebih dalam sebenarnya dua hal tersebut adalah hal yang berbeda. Pembelian impulsif dimotivasi oleh pemicu eksternal, sedangkan pembelian kompulsif dimotivasi oleh pemicu internal seperti depresi atau kecemasan. Pembelian secara kompulsif bisa berkembang lebih jauh menjadi kecanduan yang diakibatkan oleh kebutuhan dari pembeli untuk mengurangi perasaan depresi dan kecemasan yang dialami dirinya (DeSarbo dan Edwards,1996). Perilaku pembelian kompulsif dapat secara sementara meningkatkan suasana hati dan harga diri dari pembeli (Mc Elroy etal. 1995).

Variabel lainnya yang mempengaruhi perilaku pembelian kompulsif adalah materialisme. (DeSarbo dan Edwards, 1996; Dittmar et

al.1996; Mowen dan Spears, 1999; Yurchisin dan Johnson, 2004). Seseorang dianggap memiliki nilai materialisme yang tinggi cenderung meyakini bahwa pendapatan dan kepemilikan akan sebuah materi adalah hal yang penting didalam hidup mereka. Tingginya konsumsi yang merupakan indikator pembelian kompulsif cenderung dialami oleh kaum perempuan berusia muda yang beranggapan bahwa kemampuan mereka dalam bebelanja atau membeli memberikan pengaruh terhadap posisi atau status sosial mereka di dalam sebuah masyarakat (d'Astous, 1990; Elliot, 1994; Roberts, 1998; Roberts dan Martinez, 1997; Yurchisin dan Johnson, 2004). Selain itu, para peneliti juga menemukan bahwa produk-produk yang biasa dipilih untuk dibeli oleh pembeli kompulsif adalah pakaian serta produk yang mendukung penampilan lainnya seperti perhiasan, sepatu, dan kosmetik (Christenson etal, 1995;. O'Guinn dan Faber, 1989;. Schlosseretal, 1994). Sebuah studi olehYurichisin dan Johnson (2004) mengungkapkan bahwa ada keterkaitan yang tinggi antara pembeli kompulsif dengan pembelian terhadap pakaian. Dengan kata lain, pembeli kompulsif cenderung memiliki ketertarikan yang tinggi terhadap fashion (Park dan Burns, 2005).

Pembeli kompulsif kerap membeli produk seperti pakaian sebagai persepsi subjektif mereka sendiri terhadap penampilan mereka di khalayak sosial yang diinginkan atau dibutuhkan sebagai tujuan definisi diri (Elliot, 1994). Industri fashion saat ini memungkinkan untuk memicu pembelian secara kompulsif dari konsumen. Permintaan dari konsumen akan produk pakaian telah mendorong pengecer untuk menawarkan produk dengan strategi "fast mode" dengan penawaran produk baru dengan sirkulasi yang cepat dimana produk tersebut diproduksi dengan cara “lead time” yaitu adanya proses jeda antara pemesanan produk dengan waktu pendistribusian produk kepada retailer (Doyle et al, 2006;. Hayes dan Jones, 2006).

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyelidiki perilaku kompulsif khususnya untuk produk pakaian. Konsentrasi terhadap suatu produk tertentu dinilai bisa menjadi topik yang dipilih untuk memfokuskan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti (Gatignon dan Robertson, 1985).

(4)

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pada pemasaran fashion dan bidang manajemen dengan meneliti pembelian pakaian kompulsif dan bagaimana keterkaitan nya dengan beberapa variabel yang telah ditemukan terkait dengan kompulsif secara umum yaitu, neurotisisme, materialisme, dan Ketertarikan pada Fashion Pakaian.

Tinjauan Teoritis

Pembelian Kompulsif

Menurut Salomon (2002) dalam Faber dan O’Guinn (1992) pembelian kompulsif adalah perilaku pembelian yang cenderung dilakukan secara repetitif yang disebabkan oleh perasaan tertekan, bosan dan ketagihan.Pembelian kompulsif ini merupakan suatu akibat dari kejadian atau perasaan negatif yang dialami oleh diri pembeli sehingga menjadikan mereka melakukan pembelian kronis yang berulang. Menurut Faber dan O’Guinn (1992), seseorang yang termasuk kedalam pembeli kompulsif adalah sosok yang tidak dapat mengatasi atau mengendalikan keinginan mereka untuk membeli sesuatu. Ditambahkan oleh American Psychiatric Association (1983) dalam Faber dan O’Guinn (1992) bahwa pembeli kompulsif melakukan pembelian repetitif ini sebagai cara untuk mengurangi atau meringankan perasaan tertekan, kegelisahan atau ketidaknyamanan yang muncul dari pemikiran yang timbul ketika mereka sedang menghadapi suatu masalah.

Mowen dan Spears (1999) juga berpendapat bahwa, aspek kepribadian bisa menjelaskan kecenderungan seseorang untuk melakukan perilaku kompulsif. Ditambahkan oleh Walker dan Lidz (1993) dalam Faber dan O’Guinn (1992) definisi penting akan pembelian kompulsif dibagi menjadi dua kategori yaitu, repetitif (berulang) dan timbul nya masalah pada individu. Pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa pembelian kompulsif muncul akibat dari suatu peristiwa atau kejadian negatif yang dialami oleh pembeli sehingga memicu pembelian yang bersifat repetitif sebagai respon dari hal tersebut.Pada awalnya mungkin pembelian ini bisa membantu mereka untuk mengurangi atau meringankan perasaan cemas atau tekanan emosional yang dihadapi (Salzman, 1981 dalam Faber dan O’Guinn, 1992) dan juga dapat memberikan rasa puas didalam diri mereka, namun pada akhir nya pembelian kompulsif bisa memberikan konsekuensi atau risiko yang cenderung ke arah yang negatif (Marlatt et al, 1988 dalam Faber dan O’Guinn,1992).

Neurotisisme

John dan Sirvastava (1999) menyatakan bahwa Neurotisisme adalah salah satu dari suatu pendekatan yang digunakan dalam psikologi untuk melihat kepribadian manusia melalui trait yang tersusun dalam lima buah domain kepribadian yang telah dibentuk dengan menggunakan analisis faktor yaitu “Big Five Personality” diantaranya, extraversion (senang bergaul), agreeableness (selalu mengalah), openness (mudah untuk bertoleransi), conscientiousness (senang berambisi) dan yang terakhir adalah neuroticism (rasa khawatir tinggi). McCrae dan John (1992) menambahkan bahwa neurotisisme memiliki keterkaitan terhadap gaya kognitif dan bentuk perilaku atas kecenderungan mengalami suatu penderitaan. Menurut Pervin (1996), parameter yang digunakan untuk mengukur neurotisisme adalah dengan melihat penyesuaian seseorang dan stabilitas emosional yang ada pada diri mereka.

Neurotisisme menggambarkan seseorang yang memiliki masalah dengan emosi yang negatif seperti rasa khawatir dan rasa tidak aman. Secara emosional mereka labil, seperti juga teman-temannya

(5)

yang lain, mereka juga mengubah perhatian menjadi sesuatu yang berlawanan. Seorang individu yang memiliki nilai neurotisisme yang tinggi cenderung memiliki perasaan khawatir, gugup, emosional, perasaan tidak aman, tidak memadai, (Pervin, 1996), cemas, mengasihani diri sendiri, tegang, sensitif, dan tidak stabil (McCrae dan John, 1992).Sedangkan seorang individu yang memiliki nilai neurotisisme yang rendah cenderung memiliki sifat yang santai, tenang, tidak mudah emosi, kuat, memiliki rasa aman, puas diri (Pervin, 1996) dan tidak mudah marah (McCrae and John, 1992). Mowen dan Spears (1999) serta Sharpe dan Ramaniah (1999) juga menemukan bahwa, seseorang yang memiliki nilai neurotisisme tinggi cenderung materialistis.

Materialisme

Kilborne (2007) menyatakan bahwa definisi dari materialisme adalah apabila seseorang menggunakan strukur nilai barang yang mereka miliki melebihi dari nilai instrumental dari barang tersebut. Barang yang mereka miliki digunakan sebagai pembentuk identitas diri mereka dan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Sedangkan menurut Richin dan Dawson (2004) materialisme adalah pentingnya kepemilikan atas suatu barang dan akuisisi sebuah materi sebagai pencapaian atas tujuan hidup utama atau status yang diinginkan.

Mowen dan Minor (2002).Mengatakan materialisme adalah tendensi untuk mencapai kebahagiaan melalui kepemilikan benda tertentu. Ciri-ciri seseorang dapat dikategorikan memiliki sifat materialisme adalah sebagai berikut:

1. Individu yang mengutamakan, menghargai dan memamerkan kepemilikan atas sesuatu 2. Secara umum mereka cenderung memiliki sifat egois dan terpusat pada diri sendiri, mereka

mencari gaya hidup yang penuh dengan kepemilikan, contohnya: mereka menginginkan untuk mempunyai tidak hanya “sesuatu”, tetapi lebih dari sebuah gaya hidup yang biasa dan sederhana,

3. Apa yang saat ini mereka miliki tidak dapat memberikan kepuasan karena selalu mengharapkan kepemilikan yang lebih tinggi agar mendapatkan kebahagiaan yang lebih besar (Schiffman dan Kanuk, 2007 :129).

Ketertarikan pada Fashion Pakaian

Ketertarikan pada Fashion Pakaian merupakan faktor yang penting bagi produsen fashion. Seseorang yang memiliki Ketertarikan pada Fashion Pakaianyang tinggi biasanya akan melakukan banyak hal untuk bisa mendapatkan gaya fashion yang terbaik bagi diri mereka (Bernards Portis, 1996). Bentuk hal yang biasa mereka lakukan meliputi:

1. Membaca literatur tentang fashion secara teratur 2. Menjaga agar pakaian mereka selalu up to date 3. Memperhatikan perkembangan tren fashion

Dengan berbagi dasar yang sama dengan Gutman dan Mills (1982), Huddleston et al., (1993) menggunakan Ketertarikan pada Fashion Pakaian untuk memperkenalkan karakteristik gaya hidup yang berpengaruh langsung dengan kebiasaan berbelanja dan Lumpkin (1985) menyertakan itu sebagai variabel dalam mengidentifikasi segmen orientasi berbelanja.

Darley dan Johnson (1993) dalam Park and Burns (2005) juga menemukan bahwa Ketertarikan pada Fashion Pakaian adalah pengaruh yang membuat para remaja wanita di Amerika Serikat memiliki kebiasaan berbelanja, dan hal ini memiliki pengaruh yang paling signifikan terhadap

(6)

pembelian kompulsif. Walsh et al (2001) juga menemukan bahwa pada Ketertarikan pada Fashion Pakaian dari masyarakat di Jerman adalah bagi mereka yang ingin selalu update dengan gaya atau trend saat in, mereka cenderung secara rutin mengikuti perubahan gaya berpakaian yang ada dan memiliki perasaan yang menyenangkan apabila mereka sedang berbelanja.    

Metode Penelitian

Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah model yang dipakai oleh Johnson dan Attman (2008). Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Gambar 3.1 Model Penelitian

NN

Sumber : Johnson dan Attman (2008)

Mowen dan Spears (1999) menemukan bahwa seorang individu yang memiliki tingkat neurotisisme yang tinggi adalah seorang pembeli kompulsif. Ditambahkan pula, telah ditemukan oleh peneliti lain bahwa ada pengaruh antara perasaan khawatir, gugup, emosional, perasaan tidak aman dengan pembelian kompulsif. Variabel tersebut memiliki kemiripan dengan neurotisisme.

Sehingga dapat diprediksikan bahwa seorang pembeli kompulsif akan memiliki skor yang tinggi pada neurotisisme di penelitian ini, sehingga dapat dibuat sebuah hipotesis seperti dibawah ini: H1: Neurotisisme memiliki pengaruh yang positif dan signifikan dengan materialisme.

H2: Neurotisisme memiliki pengaruh yang positif dan signifikan dengan pembelian pakaian kompulsif. Beberapa studi menemukan bahwa seorang yang materialistis cenderung merupakan pembeli kompulsif (Dittmar et al., 1996; Mowen dan Spears, 1999; O’Guinn dan Faber, 1989; Yurchisin dan Johnson, 2004) Selain itu, seorang materialistis juga memiliki banyak ketertarikan terhadap produk aparel (Browne dan Kaldenberg, 1997; Yurchisin dan Johnson, 2004). Oleh karena itu, cukup beralasan untuk berasumsi bahwa seorang individu yang memiliki skor yang tingi pada sifat materialisme juga akan memiliki skor yang tinggi pada pembelian kompulsif. Sehingga dapat dibuat sebuah hipotesis seperti di bawah ini:

Neurotisisme Pembelian Pakaian Kompulsif Ketertarikan pada Fashion Pakaian Materialisme H1 H2 H3 H4 H5

(7)

H3: Materialisme memiliki pengaruh yang positif dan signifikan dengan pembelian pakaian kompulsif. Park dan Burns (2005) memiliki hipotesis bahwa 3 dari 4 dimensi orientasi fashion (pedoman fashion, Ketertarikan pada Fashion Pakaian, pentingnya berpakaian baik) memiliki pengaruh dengan pembelian kompulsif. Namun, berdasarkan penemuan pada penelitian mereka ditarik sebuah kesimpulan bahwa kertarikan terhadap fashion adalah satu-satu nya dimensi yang memiliki pengaruh dengan pembelian kompulsif. Ditambahkan pula bahwa, pembeli kompulsif memiliki sifat materialistis dan menunjukkan minat yang tinggi terhadap produk aparel (Yurchisin dan Johnson, 2004). Oleh karena itu, diprediksikan bahwa seorang individu yang memiliki skor yang tinggi pada bagian pembelian kompulsif akan memiliki sifat materialisme dan juga memiliki Ketertarikan pada Fashion Pakaian. Sehingga dapat dibuat sebuah hipotesis seperti dibawah ini:

H4: Materialisme memiliki pengaruh yang positif dan signifikan dengan Ketertarikan pada Fashion Pakaian.

H5: Ketertarikan pada Fashion Pakaian memiliki pengaruh yang positif dan signifikan pembelian pakaian kompulsif.

Adapun responden yang akan diteliti oleh peneliti adalah wanita. Wanita yang dituju oleh peneliti adalah wanita yang telah memiliki penghasilan sendiri, yang diharapkan memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk bisa menunjukkan perilaku pembelian kompulsif.

Adapun kriteria yang Penulis tentukan adalah sebagai berikut:

a. Umur : umur yang dipilih untuk digunakan sebagai sampel adalah di atas 21 tahun

b. Jenis Kelamin: jenis kelamin yang dipilih adalah wanita, mengingat berdasarkan penelitian sebelumnya pembelian kompulsif cenderung lebih banyak dialami oleh wanita.

c. Jenis Pekerjaan : jenis pekerjaan yang dipilih adalah mahasiswa pasca sarjana, pekerja, professional dan ibu rumah tangga.

Desain dari kuesioner yang akan digunakan pada penelitian ini mengikuti desain penelitian sebelumnya. Dimana Tricia Johnson dan Johnson Attman membagi kuesioner menjadi dua bagian. Bagian pertama kuesioner adalah untuk mengukur tingkat neurotisisme dari responden, pertanyaan kuesioner diambil dari NEO-FFI (McCrae dan John, 1992). Bagian kedua kuesioner adalah untuk mengukur tingkat pembelian pakaian kompulsif dari responden, Ketertarikan pada Fashion Pakaian dan kecenderungan memiliki sifat materialisme.

Penelitian ini menggunakan model penelitian Structural Equation Modeling (SEM). Software yang digunakan untuk mengolah data yang didapatkan dari hasil kuesioner yang diisi oleh responden dalam model penelitian Structural Equation Modeling (SEM) ini yaitu LISREL 8.54. Structual Equation Model (SEM) mampu menganalisis variabel latent, variabel indikator dan mendeteksi kesalahan pengukuran. Metode yang digunakan SEM yaitu Exploratory Factor Analysis (EFA) dan Confirmatory Factor Analysis (CFA). (Hair, Black, Babin and Anderson, Tatham 2006 dalam Fathoni, 2014) mendefinisikan metode EFA digunakan untuk menganalisis data dan menyediakaninformasi mengenai beberapa faktor yang dibutuhkan untuk mempresentasikan data yang terbaik, sedangkan metode CFA peneliti menentukan faktor padavariable yang akan digunakan dalam penelitian dan faktor pada setiap variabel yang akan dipergunakan sebelum hasilnya dapat dihitung. Kemudian estimator yang digunakan adalah Maximum Likelihood (ML). Menurut (Wijanto, 2008) dalam Fathoni, 2014) dalam ML estimator (MLE) memiliki karakteristik yang penting dan asimpotik sehingga MLE bisa digunakan untuk analisis data sampel yang besar. Penggunaan MLE hanya bisa digunakan untuk data dengan pengukuran skala Likert.

(8)

Hasil Penelitian

Berikut merupakan hasil dari uji kecocokan keseluruhan model pengukuran yang dilakukan oleh peneliti :

Tabel 1 Tabel Ukuran Goodness of Fit

Ukuran GOF Kriteria Nilai Keterangan

Goodness of Fit Index (GFI) ≥0.90 0,70 Marginal Fit Root Mean Square Error of

Approximation (RMSEA) ≤ 0.08 0,084 Marginal Fit Root Mean Square Residuan

(RMR) ≤ 0.05 0,065 Marginal Fit

Tucker-Lewis Index atau Non Normed Fit Index (TLI atau NNFI)

≥0.90 0,95 Good Fit Normed Fit Index (NFI) ≥0.90 0,93 Good Fit Adjusted Goodness of Fit Index

(AGFI) ≥0.90 0,66 Marginal Fit

Relative Fit Index (RFI) ≥0.90 0,92 Good Fit Incremental Fit Index (IFI) ≥0.90 0,96 Good Fit Comparative Fit Index (CFI) ≥0.90 0,96 Good Fit Parsimonious Goodness of Fit

(PGFI) ≥0.90 0,62 Marginal Fit

Sumber : Hasil Olahan Peneliti

Berdasarkan dari hasil perhitungan pada tabel di atas menunjukan nilai uji kecocokan model pengukuran pada setiap variabel penelitian tidak jauh berbeda.Nilai uji kecocokan pada tiap konstrukvariabel penelitian 5 (lima) memenuhi syarat good fit yaitu pada perhitungan CFI sebesar 0,96, IFI sebesar 0,96, RFI sebesar 0,92, NFI sebesar 0,93 dan NNFI sebesar 0,95 sedangkan pada uji kecocokan GFI mendapat skor 0,70, RMSEA mendapat skor 0,084, RMR sebesar 0,065, AGFI sebesar 0,66, dan PGFI mendapat skor 0,62 sehingga memenuhi syarat marginal fit. Hal ini dapat disimpulkan bahwa nilai kecocokan model untuk CFA sudah baik.

Setelah menganalisis hasil dari model pengukuran, analisis berikutnya yang dilakukan adalah dengan melakukan analisis hubungan kausal model. Pengujian statistik untuk hubungan kasual model

(9)

struktural ini dilakukan dengan tingkat signifikansi 5% sehingga nilai kritis dari nilai-t adalah ±1,96. Hasil estimasi hubungan kausal penelitian berdasarkan output LISREL 8.54 dalam tabel berikut:

Tabel 2 Nilai t-value pada Model Struktural

No. Path Nilai

t-value

Kesimpulan 1 Neurotisisme à Materialisme 7,38 Signifikan 2 Neurotisisme à Pembelian Kompulsif 4,02 Signifikan 3 Materialisme à Pembelian Kompulsif 0,45 Tidak Signifikan 4 Materialisme àKetertarikan pada Fashion Pakaian 6,18 Signifikan 5 Ketertarikan pada Fashion Pakaianà Pembelian

Kompulsif

5,93 Signifikan

Sumber : Hasil olah data Penulis

Berdasarkan Tabel 2 terdapat 1 (satu) hubungan yang tidak signifikan hal tersebut dikarenakan nilai t-value di antara +1,96 dan -1,96 yaitu, pengaruh materialisme terhadap pembelian kompulsif. Dengann nilai t-value 0,45. Sedangkan untuk variabel lainnya menunjukkan angka t-value yang signifikan.

Analisis SEM bertujuan untuk untuk uji fit suatu model yang menguji kesesuaian model teoritik tersebut dengan data empiris (Wijaya, 2009 dalam Fathoni, 2014). Yang termasuk kriteria dari goodness of fit adalah nilai GFI, AGFI, CMIN/df, CF,I dan RMSEA (Hair et. al, 2006 dalam Fathoni, 2014). Untuk hasil dari pengujian overall model fit akan ditampilkan dalam tabel 2 berikut ini:

Tabel 2 Uji Kecocokan (Goodness of Fit) Model Struktural

Ukuran GOF Kriteria Nilai Keterangan

Absolute

Goodness of Fit Index (GFI) ≥0.90 0,75 Marginal Fit Root Mean Square Error of

Approximation (RSMEA) ≤ 0.08 0,066 Good Fit Root Mean Square Residuan

(RMR) ≤ 0.05 0,064 Marginal Fit

Relative

Tucker-Lewis Index atau Non Normed Fit Index (TLI atau NNFI)

≥0.90 0,97 Good Fit Normed Fit Index (NFI) ≥0.90 0,94 Good Fit Adjusted Goodness of Fit Index

(AGFI) ≥0.90 0,72 Marginal Fit

(10)

Incremental Fit Index (IFI) ≥0.90 0,97 Good Fit Comparative Fit Index (CFI) ≥0.90 0,97 Good Fit

Parsimonious

Parsimonious Goodness of Fit

(PGFI) ≥0.90 0,67 Marginal Fit

Sumber : Hasil olah data Penulis

Berdasarkan dari hasil perhitungan pada tabel di atas menunjukan nilai uji kecocokan model pengukuran pada setiap variabel penelitian tidak jauh berbeda. Nilai uji kecocokan pada tiap konstruk variabel penelitian 6 (lima) memenuhi syarat good fit yaitu pada perhitungan RMSEA sebesar 0,066, NNFI sebesar 0,97, NFI sebesar 0,94, RFI sebesar 0,93 dan IFI sebesar 0,97 dan CFI sebesar 0,97. Sedangkan pada uji kecocokan GFI mendapat skor 0,75, RMR mendapat skor 0,064, AGFI sebesar 0,72 dan PGFI mendapat skor 0,67 sehingga memenuhi syarat marginal fit. Hal ini dapat disimpulkan bahwa nilai kecocokan model struktural sudah baik.

Pembahasan

H1:Neurotisisme memiliki pengaruh yangpositif dan signifikan dengan materialisme

Berdasarkan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti menggunakan software statistik LISREL 8.54 yang telah dipaparkan dalam Tabel 4.18, diketahui bahwa berdasarkan hasil pengolahan data dari model struktural variabel penelitian diperoleh nilai t-value sebesar 7,38. Hasil t-value tersebut lebih dari 1,96 maka kesimpulannya adalah variabel Neurotisisme memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap Materialisme. Dengan demikian Hipotesis H1 didukung olehdata dan dapat diterima.

Hal tersebut sesuai dengan temuan dari hasil penelitian sebelumnyayang dilakukan (Johnson dan Attman, 2008) yang mengemukakan bahwa Neurotisisme memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap Materialisme. Menurut teori yang dikemukakan oleh Mowen dan Spears (1998) dan Sharpe dan Ramaniah (1999), seseorang yang memiliki sifat neurotisisme biasa nya cenderung lebih besar memiliki sifat materialistis. Kemungkinannya adalah mereka cenderung menggunakan kepemilikan materi sebagai pengakuan atas bentuk jati diri mereka, sehingga dengan memiliki sebuah materi dapat mengurangi emosi negative yang dirasakan didalam diri mereka.

H2:Neurotisisme memiliki pengaruh yangpositif dan signifikan dengan pembelian pakaian kompulsif Berdasarkan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti menggunakan software statistik LISREL 8.54 yang telah dipaparkan dalam Tabel 4.18,diketahui bahwa berdasarkan hasil pengolahan data dari model struktural variabel penelitian diperoleh nilai t-value sebesar 4,02 Hasil t-value tersebut

(11)

lebih dari 1,96 maka kesimpulannya adalah variabel Neurotisisme memiliki pengaruh yang positif dan signifikan dengan pembelian pakaian kompulsif. Dengan demikian Hipotesis H2 didukung olehdata dan dapat diterima.

Hal tersebut sesuai dengan temuan dari hasil penelitian sebelumnyayang dilakukan (Johnson dan Attman, 2008)yang mengemukakan bahwaNeurotisisme memiliki pengaruh yang positif dan signifikan dengan pembelian pakaian kompulsif. Berdasarkan temuan yang ditemukan oleh Faber et. al (1995) seorang pembeli kompulsif cenderung memiliki perasaan depresi, cemas dan rendah diri. Sehingga dapat dikatakan bahwa cara yang dipilih orang orang-orang tersebut untuk melupakan atau mengurangi perasaan tersebut adalah dengan melakukan pembelian sebagai bentuk pelarian dari apa yang diderita mereka.

H3:Materialisme memiliki pengaruh yangpositif dan signifikan dengan pembelian pakaian kompulsif Berdasarkan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti menggunakan software statistik LISREL 8.54 yang telah dipaparkan dalam Tabel 4.18,diketahui bahwa berdasarkan hasil pengolahan data dari model struktural variabel penelitian diperoleh nilai t-value sebesar 0,45. Hasil t-value tersebut kurang dari 1,96 maka kesimpulannya adalah variabel Materialisme tidak memiliki pengaruh yang positif dan signifikan dengan pembelian pakaian kompulsif. Dengan demikian Hipotesis H3 didukung olehdata dan tidak dapat diterima.

Hal tersebut sesuai dengan temuan dari hasil penelitian sebelumnyayang dilakukan (Johnson dan Attman, 2008)yang mengemukakan bahwa Materialisme tidakm memiliki pengaruh yang positif dan signifikan dengan pembelian pakaian kompulsif.Sehingga dapat dikatakan bahwa seorang materialistis belum tentu memilih untuk melakukan pembelanjaan terhadap pakaian sebagai bentuk pencapaian kepuasan mereka. Hal ini semakin menguatkan bahwa ada variabel atau faktor lain yang membuat seorang materialistis melakukan pembelanjaan terhadap pakaian secara kompulsif.

H4:Materialisme memiliki pengaruh yangpositif dan signifikan dengan Ketertarikan pada Fashion Pakaian

Berdasarkan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti menggunakan software statistik LISREL 8.54 yang telah dipaparkan dalam Tabel 4.18,diketahui bahwa berdasarkan hasil pengolahan data dari model struktural variabel penelitian diperoleh nilai t-value sebesar 6.18 Hasil t-value tersebut lebih dari 1,96 maka kesimpulannya adalah variabelMaterialisme memiliki pengaruh yang positif dan signifikan dengan Ketertarikan pada Fashion Pakaian. Dengan demikian Hipotesis H4 didukung olehdata dan dapat diterima.

(12)

Hal tersebut sesuai dengan temuan dari hasil penelitian sebelumnyayang dilakukan (Johnson dan Attman, 2008)yang mengemunkakan bahwa Materialisme memiliki pengaruh yang positif dan signifikan dengan Ketertarikan pada Fashion Pakaian.Sesuai dengan temuan yang dikemukakan oleh Park dan Burns (2005) bahwa seorang materialiastis cenderung memiliki ketertarikan yang tinggi terhadap sebuah produk apparel. Mereka yang meterialistis cenderung lebih besar untuk memiliki kesadaran dalam berpenampilan yang baik.

H5:Ketertarikan pada Fashion Pakaian memiliki pengaruh yangpositif dan signifikan dengan pembelian pakaian kompulsif

Berdasarkan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti menggunakan software statistik LISREL 8.54 yang telah dipaparkan dalam Tabel 4,18,diketahui bahwa berdasarkan hasil pengolahan data dari model struktural variabel penelitian diperoleh nilai t-value sebesar 5,93. Hasil t-value tersebut lebih dari 1,96 maka kesimpulannya adalah variabel Ketertarikan pada Fashion Pakaian memiliki pengaruh yang positif dan signifikan dengan pembelian pakaian kompulsif. Dengan demikian Hipotesis H5 didukung oleh data dan dapat diterima.

Hal tersebut sesuai dengan temuan dari hasil penelitian sebelumnyayang dilakukan (Johnson dan Attman, 2008) yang mengemunkakan bahwa Ketertarikan pada Fashion Pakaianmemiliki pengaruh yang positif dan signifikan dengan pembelian pakaian kompulsif. Sehingga dapat dikatakan bahwa seseorang yang memiliki ketertarikan pada fashion pakaian yang tinggi akan melakukan pelarian terhadap emosi negatif di dalam diri mereka dengan melakukan pembelian pakaian kompulsif. Penelitian ini mengungkapkan bahwa pembeli kompulsif cenderung memiliki sifat neurotik yang berarti, mereka memiiki rasa kekhawatiran dan kecemasan yang tinggi. Selain itu, ada pengaruh yang positif antara neurotisisme dengan materialisme. Ketika seseorang memiliki sifat neurotisisme dan materialisme yang tinggi maka mereka akan cenderung melakukan pelarian untuk melupakan perasaan tersebut.

Sedangkan hubungan pengaruh antara materialisme dengan pembelian pakaian kompulsif adalah tidak positif dan signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya materialisme tidak memiliki hubungan secara langsung dengan pembelian pakaian kompulsif. Sehingga variabel ketertarikan pada fashion merupakan mediasi yang penting dengan perilaku pembelian pakaian kompulsif. Hal ini menunjukkan apabila seorang neurotik merasakan kekhawatiran dan kecemasan secara umum, seorang pembeli pakaian kompulsif lebih spesifiknya akan merasakan kekhawatiran dan kecemasan di dalam diri mereka terhadap pakaian terutama fashion itu karena rasa Ketertarikan pada Fashion Pakaian mereka yang tinggi. Akibatnya, dorongan di dalam diri mereka menjadi lebih besar untuk berbelanja pakaian dan jika tidak dilakukan maka rasa khawatir dan cemas mereka akan timbul.

(13)

Berdasarkan hasil pengolahan dan analisis data penelitian yang dilakukan untuk menganalisa pengaruh atau pengaruh kausal sifat dan kepribadian neurotisisme, materialisme dan Ketertarikan pada Fashion Pakaian terhadap pembelian pakaian kompulsif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada pengaruh yang positif dan signifikan dari masing-masing variabel neurotisisme dan Ketertarikan pada Fashion Pakaian dengan pembelian pakaian kompulsif. Sedangkan untuk variabel materialisme ada pengaruh yang tidak positif dan signifikan dengan pembelian pakaian kompulsif. Penelitian ini telah menjawab tujuan dari penelitian ini, antara lain adalah sebagai berikut:

1. Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa seseorang yang memiliki sifat neurotisisme cenderung memiliki sifat materialisme didalam dirinya.

2. Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa seseorang yang memiliki sifat neurotisisme cenderung melakukan pelarian dengan melakukan pembelian pakaian kompulsif

3. Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa materialisme tidak memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap pembelian pakaian kompulsif. Sehingga dapat disimpulkan bahwa seseorang yang memiliki sifat materialisme belum tentu memiliki kecenderungan untuk melakukan perilaku pembelian pakaian kompulsif.

4. Dari hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa seseorang yang memiliki sifat materialisme cenderung memiliki ketertarikan terhadap produk apparel yang membuat mereka memiliki rasa ketertarikan pada fashion pakaian yang tinggi.

5. Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa ketertarikan pada fashion pakaianmemiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap pembelian pakaian kompulsif. Jadi dapat disimpulkan bahwaketertarikan pada fashion pakaian merupakan variabel yang memediasi pengaruh neurotisisme dan materialismeterhadap keputusan dari seseorang untuk melakukan pembelian pakaian kompulsif.

Saran

Saran Manajerial

Hasil uji hipotesis menunjukkan bahwa ketertarikan pada fashion pakaian memediasi neurotisisme dan materialisme dengan pembelian pakaian kompulsif sehingga pengaruh diantara keduanya menjadi lebih positif dan signifikan. Hal ini dapat dimanfaatkan oleh pemasar dengan meningkatkan daya tarik atau nilai dari produk pakaian yang ditawarkan kepada konsumen. Dengan selalu meng-update pakaian yang dijual sesuai dengan tren fashion yang sedang diminati oleh konsumen. Diharapkan peningkatan yang dilakukan tersebut dapat menarik perhatian dari konsumen yang memiliki sifat materialisme dan ketertarikan pada fashion pakaian yang tinggi. Meskipun dilihat dari tanggung jawab sosial, upaya tersebut dapat dikatakan kurang etis karena dapat mempengaruhi perilaku konsumen untuk berbelanja diluar kemampuannya.

(14)

1. Penelitian ini dibuat dengan asumsi bahwa seluruh responden yang dijadikan sampel penelitian merupakan target yang tepat untuk mengisi kuisioner karena telah masuk kedalam kriteria responden yang dibuat oleh peneliti. Namun, pada kenyataan nya ada beberapa responden yang kurang tepat untuk dijadikan sampel karena tidak termasuk kedalam wanita yang kemungkinan memiliki ketertarikan yang tinggi terhadap fashion atau cenderung memiliki sifat neurotisisme. Hal ini terjadi dikarenakan peneliti tidak memberikan pertanyaanscreening terlebih dahulu pada saat memberikan kuisioner kepada responden sebelum mereka menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diberikan oleh peneliti.

2. Penelitian ini dilakukan dengan memilih responden terbatas hanya pada wanita saja. Hal ini mengakibatkan adanya keterbatasan generalisasi hasil penelitian.

Saran Penelitian Selanjutnya

1. Ada baiknya untuk penelitian selanjutnya, responden bisa diperluas dengan meneliti populasi pria. Lebih baik lagi jika penelitian bisa dibandingkan antar kedua nya. Sehingga bisa ditemukan apakah ada perbedaan dalam hal perilaku pembelian kompulsif pada pria dan wanita.

2. Peneliti selanjutnya bisa memperluas objek produk yang akan diteliti, misal seperti pembelian benda elektronik (gadget), otomotif, traveling atau kosmetik.

3. Menambahkan metode pengumpulan data, misalnya dengan focus group discussion atau wawancara langsung dengan objek yang ingin diteliti, atau pengamatan observasi untuk mendapatkan informasi yang jauh lebih banyak.

Daftar Referensi

DeSarbo, W.S. dan Edwards, E.A. (1996), “Typologies of compulsive buying behavior: a constrained clusterwise regression approach”. “Journal of Consumer Psychology, Vol. 5, pp 231-62. McElroy, S., Keck, P. and Phillips, K. (1995), “Kleptomania, compulsive buying and binge-eating

disorder” Journal of Clinical Psychiatry, Vol. 56 No. 4, pp 14-26

Dittmar, H., Beattie, J. dan Friese, S. (1996), “Objects, decision considerations and self-image in men’s and women’s impulse purchases”, Acta Psychologica, Vol. 93, pp. 187-206.

Mowen, J.C. dan Spears, N. (1999), “Understanding compulsive buying among college students: a hierarchical approach”, Journal of Consumer Psychology, Vol. 8 No. 4, pp. 407-30.

Yurchisin, J. dan Johnson, K.K.P. (2004), “Compulsive buying behavior and its relationship to perceived social status associated with buying, materialism, self-esteem, and apparel-product involvement”, Family and Consumer Sciences Research Journal, Vol. 32 No. 3, pp 291-314.

D’Astous, A.(1990), “An inquiry into the compulsive side of normal consumer”, Journal of Consumer Policy, Vol. 13, pp 15-31.

(15)

Elliot, R. (1994), “Addictive consumption: function and fragmentation in postmodernity”, Journal of Consumer Research, Vol. 19, pp. 459-69.

Roberts, J. dan Martinez, C. (1997), “The emerging consumer culture in Mexico an exploratory investigation of compulsive buying in Mexican young adults”, Journal of International Consumer Marketing, Vol. 10, pp. 7-31.

Christenson, G., Faber, R., deZwaan, M., Raymond, N.C., Specker, S.M., Ekern, M.D., Mackenzie, T.B., Crosby R.D., Crow, S.J., Eckert, E.D., Mussel, M.P. and Mitchell, J.E. (1994), “Compulsive buying: descriptive characteristics and psychiatric comorbidity”, Journal of Clinical Psychiatry, Vol. 55, pp 5-11.

Faber, R.J. dan O’Guinn, T. (1992), “A clinical screener for compulsive buying”, Journal of Consumer Research, Vol. 19, pp. 459-69.

Schlosser, S., Black, D., Repetinger, S. dan Freet, D. (1994), “Compulsive buying: demography phenomenology, and comorbidity in 46 subjects”, General Hospital Psychiatry, Vol. 16, pp. 205-12.

Park, H.J. dan Burns, L.D. (2005), “Fashion orientation, credit use, and compulsive buying”, Journal of Consumer Marketing, Vol. 22 No. 3, pp. 135-41.

Elliot, R. (1994), “Addictive consumption: function and fragmentation in postmodernity”, Journal of Consumer Research, Vol. 19, pp. 459-69.

Doyle, S.A., Moore, C. dan Morgan, L. (2006), “Supplier management in fast moving fashion retailing”, Journal of Fashion Marketing and Management, Vol. 10 No. 3, pp 272-81. Hayes, S.G., dam Jones, N. (2006), “Fast fashion: a financial snapshot”, Journal of Fashion Marketing

and Management, Vol. 10 No. 3, pp. 282-300.

Gatignon, H. dan Robertson, T.S. (1985), “A propositional inventory for new diffusion research”, Journal of Consumer Research, Vol. 11, pp. 849-67.

John, O.P. and Sirvastava, S. (1999), “ The big five trait taxonomy: history, measurement, and theoretical perspectives”, in Pervin, L.A. and John, O.P. (Eds), Handbook of Personality: Theory and Research, The Guilford Press, New York, NY, pp. 102-38.

Solomon, M. R. (2002), Consumer Behavior, Prentice-Hall, Englewood Cliffs, NJ. Pervin, L.A. (1996), The Science of Personality, John Wiley and Sons, New York, NY.

McCrae, R.R. and John, O.P. (1992), “An introduction to the Five Factor Model and its applications”, Journal of Personality, Vol. 60 No. 2, pp. 175-215.

Sharpe, J.P. and Ramaniah, N.V. (1999), “Materialism and the five factor model of personality”, Psychological Reports, Vol. 85, pp. 327-30.

(16)

Fathoni, Mu’tiaul (2014), Pengaruh Consumer Brand Identification Terhadap Brand Loyalty dan Brand Advocacy pada Produk Smartphone Samsung.

Gambar

Gambar 3.1 Model Penelitian
Tabel  1 Tabel Ukuran Goodness of Fit
Tabel 2 Nilai t-value pada Model Struktural

Referensi

Dokumen terkait

Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah: Untuk mengetahui bagaimmana analisis model pembelajaran kooperatif terhadap

Metode kajian yang digunakan untuk mengungkap prinsip dan faktor yang mempengaruhi efektivitas integrasi nanoteknologi dalam pembelajaran fisika, kajian yang dipaparkan pada tulisan

Berdasarkan hasil tes siswa dapat disimpulkan bahwa kesulitan siswa dalam pembelajaran daring menulis teks eksposisi pada aspek pengetahuan terletak pada indikator

Hal ini menunjukkan bahwa dekstrin dengan kondisi konsentrasi tepung 50% b/v dan konsentrasi enzim α-amilase 0.6% v/b pada tahap likuifikasi, berpengaruh terhadap perolehan kadar

topik pembicaraan jika target self disclosure adalah teman perempuan. Sedangkan pada target guru BK, kelompok perempuan merupakan. kelompok yang lebih mengungkapkan

Dasar pemerintah melakukan pengawasan terhadap koperasi adalah bahwa pemerintah (dalam arti eksekutif) memiliki kewenangan untuk mengesahkan berdirinya koperasi atau

Dalam metode harga pokok rata-rata tertimbang, untuk menghitung harga pokok per satuan kumulatif produk yang dihasilkan departemen setelah departemen produksi

calon peserta didik yang memiliki prestasi di bidang Non Akademik (Olahraga, Seni/Kreativitas) dan bidang Akademik, perorangan maupun beregu diberikan penghargaan dalam