• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tas Punggung

2.1.1 Definisi tas punggung

Tas punggung adalah wadah atau kemasan berbentuk persegi yang biasanya bertali yang berfungsi untuk menaruh, menyimpan, atau membawa sesuatu yang dibawa dengan cara digendong. Roman (2003) mendefenisikan tas punggung sebagai tas yang memilik dua tali untuk dikenakan di kedua bahu sehingga dapat membawa barang-barang di punggung.

Tas punggung didesain untuk mendistribusikan berat beban pada beberapa otot- otot tubuh terkuat. Saat digunakan dengan benar, tas punggung dapat menjadi cara yang tepat untuk membawa kebutuhan sekolah setiap harinya. Tas punggung yang terlalu berat atau cara pemakaian yang tidak benar dapat menyebabkan masalah untuk anak- anak dan remaja. Ketidaksesuaian pemakaian tas punggung dapat melukai otot – otot dan sendi – sendi. Hal ini dapat menyebabkan nyeri punggung, leher dan bahu memburuk, dan bahkan dapat menyebabkan masalah postur tubuh. Walaupun tas punggung dihubungkan dengan masalah postur, tas punggung berat tidak dapat menyebabkan skoliosis. Skoliosis adalah miringnya garis tulang belakang yang sering ditunjukkan anak- anak saat remaja (AAOS).

(2)

2.1.2 Batasan Berat tas punggung yang baik

Illinois State Board of Education (2006), American Occupational Therapy Association, American Chiropratic Association, American Physical Therapy Association and American Academy of Orthopedic Surgeons memiliki saran yang mirip terkait batasan berat tas punggung terhadap 15% berat anak yaitu:

Berat individu (Pon = Kg) Berat tas punggung maksimal (Pon = Kg) 60 = 27, 18 5 = 2,265 60 – 75 = 27,18- 33, 975 10 = 4,53 100 = 45,3 15 = 6,795 125 = 56,625 18 = 8,154 150 = 67, 95 20 = 9,06 200 = 90,6 atau lebih 25 = 11,325

Tabel 2.1 Perbandingan berat tas dan berat badan individu pengguna tas punggung.

Saran terkait berat tas punggung sekolah berhubungan dengan berat badan berbeda tergantung organisasi tertentu. Pada 2009, American Occupational Therapy Associaton (AOTA) dan American Physical Therapy Association (APTA) merekomendasikan tidak membawa sebuah tas punggung lebih berat dari 15% (atau anatara 10% dan 20%) dari berat badan siswa, pada tahun 2012, hal ini diganti menjadi 10% berat badan mereka. American Chiropratic Asssociation (ACA) menyarankan bahwa berat tas punggung tidak melebihi 5- 10% dari berat badan anak. Ada bahaya yang diakibatkan beban yang berlebih pada pematangan tulang belakang. Banyak peneliti telah menyimpulkan bahwa berat sebah tas punggung sekolah seharusnya tidak lebih dari 10% berat badan anak,

(3)

didasarkan pada fakta bahwa hal itu dapat mempengaruhi postur tulang belakang, bentuk kaki dan gaya berjalan mereka (Katarzyna, et al., 2015).

2.1.3 Peran orang tua dalam penggunaan tas punggung

Ada beberapa syarat berat beban tas punggung anak, yaitu bahwa seharusnya tidak lebih dari 10% dari berat badan mereka. Artinya disini adalah bahwa anak yang beratnya 100 pon seharusnya tidak memakai tas punggung sekolah yang lebih berat dari 10 pon; kedua adalah barang yang lebih berat paling dekat dengan bahu anak; yang ketiga yaitu susun buku- buku dan barang sehingga barang- barang mereka akan tersusun rapi dan teratur di dalam tas punggung mereka. Keempat adalah periksa barang yang dibawa ke sekolah dan dibawa pulang. Pastikan bahwa barang yang dibawa adalah kebutuhan untuk kegiatan di sekolah; kelima adalah jika tas punggung terlalu berat atau terlalu ketat, siswa dapat memegang buku atau membawa barang yang lain di sisi lain tas punggung, dan yang terakhir yaitu jika tas punggung terlalu berat dari yang seharusnya, pertimbangkan untuk menggunakan tas beroda jika sekolah mengijinkan (American Occupational Therapy Association/AOTA).

2.1.4 Karakterisitik tas punggung yang baik (Backpack Safety)

Ketika memilih sebuah tas punggung, cari satu yang sesuai dengan ukuran badan. Pastikan bahwa tinggi tas punggung kira- kira 2 inchi dibawah bahu sampai ke pinggang, atau sedikit di atas pinggang. Tas

(4)

punggung yang baik seharusnya memiliki 2 tali bahu; memiliki bantalan tali bahu yang luas; bantalan tali punggung untuk mengurangi tekanan pada area punggung; tali bahu dan tali ketiak untuk meningkatkan kenyamanan; tali pengikat pada dada dan pinggul untuk membagi berat tas dari punggung dan bahu ke pinggul dan ke seluruh tubuh; memiliki banyak ruang untuk mendistribusikan berat tas punggung; pastikan keamanan barang dan anak juga dapat mengambil isi tas dengan mudah; reflektor untuk meningkatkan jarak penglihatan anak saat malam; dan tas punggung yang bergelombang.

Penting diingat bahwa jika telah membeli tas punggung untuk anak- anak, ukuran tas punggung yang mereka gunakan saat ini ukurannya tidak akan baik bagi mereka jika lebih dari satu tahun. Karena masa anak- anak mengalami pertambahan tinggi yang cepat sehingga ukuran tas punggung yang baik sebelumnya tidak akan bertahan lebih dari satu tahun pada usia mereka sekarang (American Academy of Orthopaedic Surgeon/AAOS; Illinois State Board of Education, 2006).

2.1.5 Cara penggunaan tas punggung yang baik

Menghindari cedera akibat penggunaan tas punggung dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu:

a) Menggunakan kedua tali, dapat mendistribusikan berat tas. Menyandang tas punggung pada salah satu bahu dapat menyebabkan

(5)

anak miring ke salah satu sisi, pembengkokan tulang belakang dan menyebabkan nyeri ataupun ketidaknyamanan.

b) Melepas dan memakai tas punggung dengan hati- hati. Pertahankan bentuk tubuh stabil dan hindari gerakan memutar berlebihan.

c) Letakkan tas punggung pada otot punggung tengah terkuat. Berikan perhatian lebih pada posisi tas punggung di punggung. Tas punggung seharusnya berada pada bagian tengah punggung. Tali pada bahu seharusnya diatur agar mempermudah anak untuk melepas dan memakai tas punggung tanpa kesulitan dan memungkinkan lengan dapat bergerak dengan bebas.

d) Mengurangi beban. Pertahankan muatan pada sebesar 10 – 15 % BB atau kurang dari berat badan anak. Hanya membawa barang yang dibutuhkan untuk hari itu saja. Setiap malam mengeluarkan barang yang dapat ditinggalkan di rumah. Susun isi tas punggung dengan meletakkan barang terberat paling dekat ke punggung untuk mengurangi desakan kinetik yang menyebabkan ketidaksejajaran postur dan kerja berlebih otot (Illionis State Board of Education, 2006).

Menurut AOTA cara menghindari cedera akibat tas punggung dapat dengan cara, mendistribusikan berat tas dengan memakai kedua tali tas; kedua yaitu dengan memilih tas punggung dengan bantalan tali bahu yang baik. Bahu dan leher memiliki banyak pembuluh darah dan saraf yang dapat mengakibatkan nyeri dan geli pada leher, lengan, dan tangan ketika

(6)

terlalu besar tekanan yang diterima; yang ketiga adalah mengatur posisi tali bahu sehingga tas terletak pada posisi yang tepat pada punggung anak. Tas punggung yang bergantung bebas pada bahu dapat membuat anak tertarik ke belakang dan ototnya tegang.

Cara keempat adalah menggunakan tali pengikat pada pinggang jika tas punggung memilikinya. Ini membantu mendistribusikan berat tas punggung secara merata; kelima adalah bagian bawah tas seharusnya terletak di punggung bawah. Tas punggung seharusnya tidak boleh lebih dari 4 inchi dari garis pinggang anak. Dan terakhir yaitu ukuran tas punggung sekolah berbeda pada tiap usia. Pilih ukuran tas punggung yang benar sesuai usia anak dengan ruang yang cukup untuk barang- barang kebutuhan sekolah.

Matlabi, et al (2014) juga mengemukakan beberapa cara ataupun tindakan yang dapat dilakukan beberapa pihak untuk mengatasi masalah tas punggung dan tas tangan yang berat antara lain :

a. Institusi pendidikan

Tindakan yang dapat dilakukan oleh institusi pendidikan yaitu dengan menyediakan lemari buku (lockers) yang sesuai, lemari makanan (cupboards) dengan laci dan setiap siswa memiliki satu; membuat satu jadwal pelajaran yang mengajarkan siswa untuk tidak menyentuh/ mengambil barang orang lain, para guru dapat mengajarkan pada siswa untuk meletakkan barang- barang dan buku mereka dibawah kursi dan tidak membawanya ke rumah; mengadakan kelas belajar dengan topik

(7)

tas punggung untuk keluarga dan menyediakan brosur yang diberikan pada kedua orang tua mereka; melakukan pemeriksaan bentuk tubuh siswa secara berkala oleh dokter atau tenaga medis profesional; membagi topik pelajaran semester pertama dan semester dua menjadi buku yang berbeda; menyesuaikan pelajaran yang membutuhkan buku tambahan dan buku catatan dengan jadwal pelajaran olahraga.

b. Keluarga

Orang tua seharusnya mempertimbangkan untuk membeli jenis tas terbaik untuk siswa; orang tua seharusnya mengawasi siswa agar tidak membawa buku dan barang- barang yang tidak perlu ke sekolah sehingga tas punggung mereka tidak berat.

c. Siswa

Siswa sebaiknya mengosongkan botol minum dan mengisinya sebelum kelas; tidak membawa barang- barang yang tidak diperlukan dan meninggalkannya dirumah, jika barang tersebut memang perlu membawa banyak barang ke sekolah, sebaiknya diletakkan di tas lain; siswa sebaiknya berusaha untuk meringankan tas punggung mereka dan tidak membawa barang yang tidak perlu ke sekolah; siswa sebaiknya menyusun barang yang paling berat lebih dekat ke punggung; siswa sebaiknya meletakkan tas di bahu mereka karena tas akan berada pada otot punggung terkuat mereka.

(8)

2.1.6 Dampak penggunaan tas punggung

Whittifield, et al (2005) meneliti hubungan antara berat tas dengan prevalensi keluhan muskuloskeletal pada siswa kelas 3- 6 dengan rata- rata usia 13,6- 17,1 tahun. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi keluhan muskuloskeletal pada siswa sangat tinggi dan Whittifield, et al (2005) meyakini bahwa berat tas itu menjadi faktor yang berkontribusi dalam menyebabkan keluhan muskuloskeletal. Menurut Dianat et al, (2011) sebanyak 86% anak yang menggunakan tas punggung dengan berat 10% lebih dari berat badan mereka, mengalami beberapa jenis keluhan pada beberapa muskuloskeletal mereka yaitu pada bahu, pergelangan tangan, dan pinggang.

Menurut Al Fageeh, et al (2009) yang meneliti hubungan antara berat tas anak sekolah dengan kapasitas vital paru- paru, potensi nyeri punggung, dan masalah postur menyatakan bahwa saat anak sekolah membawa beban yang berlebih, kapasitas vital paru berkurang, gerakan flexi dan ekstensi berkurang, dan terjadi pembungkukan ke kiri dan ke kanan.

Ramprasad, et al (2010) yang meneliti efek berat tas punggung pada menyatakan bahwa individu yang membawa tas dengan berat dengan perubahan sudut potural tubuh. Pada saat individu membawa tas punggung >15% BB, sudut cranio- vertebra berubah secara signifikan. Dan pada saat individu membawa tas punggung >25% BB, head and neck on trunk (HNOT) dan head on neck (HON) juga berubah secara signifikan. Anak-

(9)

anak yang membawa tas punggung 15% BB, seluruh sudut postural mereka berubah.

2.2 Keluhan Muskuloskeletal

2.2.1 Definisi Keluhan Muskuloskeletal

Keluhan muskuloskeletal adalah keluhan pada bagian otot rangka yang dirasakan oleh seseorang mulai dari keluhan sangat ringan sampai sangat sakit. Apabila otot menerima beban statis secara berulang dan dalam waktu yang lama, akan dapat menyebabkan keluhan berupa kerusakan pada sendi, ligamen dan tendon. Keluhan hingga kerusakan ini biasanya diistilahkan dengan keluhan muskuloskeletal disorder atau cedera pada sistem muskuloskeletal.

Secara garis besar keluhan otot dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu:

1. Keluhan Sementara (Reversibel). Keluhan sementara yaitu keluhan otot yang terjadi pada saat otot menerima beban statis, namun demikian keluhan tersebut akan segera hilang apabila pembenanan dihentikan. 2. Keluhan menetap (Persistent). Keluhan menetap yaitu keluhan otot yang

bersifat menetap. Walaupun pembebanan kerja telah dihentikan, namun rasa sakit pada otot masih terus berlanjut.

Hasil studi menunjukkan bahwa bagian otot yang sering dikeluhkan adalah otot rangka yang meliputi otot leher, bahu, lengan, tangan, jari, punggung, pinggang dan otot- otot bagian bawah. Keluhan sistem muskuloskeletal pada umumnya terjadi karena kontraksi otot yang berlebihan

(10)

akibat pemberian beban kerja yang terlalu berat dengan durasi pembebanan yang panjang. Sebaliknya keluhan otot kemungkinan tidak terjadi apabila kontraksi otot hanya berkisar antara 15 – 20% dari kekukatan otot maksimum. Namun apabila kontraksi otot melebihi 20%, maka peredaran darah ke otot berkurang menurut tingkat kontraksi yang dipengaruhi oleh besarnya tenaga yang diperlukan. Suplai oksigen ke otot menurun, proses metabolisme karbohidrat terhambat dan sebagai akibatnya terjadi penimbunan asam laktat yang menyebabkan timbulnya rasa nyeri otot.

2.2.2. Penyebab Keluhan Muskuloskeletal

Peter Vi (2000 dalam Tarwaka, 2015) menjelaskan bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya keluhan otot skeletal, yaitu :

1. Peregangan Otot yang Berlebihan

Peregangan otot yang berlebihan pada umumnya sering dikeluhkan oleh pekerja dimana aktivitas kerjanya menuntut pengarahan tenaga yang besar seperti aktivitas mengangkat, mendorong, menarik dan menahan beban yang berat. Peregangan otot yang berlebihan ini terjadi karena pengarahan tenaga yang diperlukan melampaui kekuatan optimum otot. Apabila hal serupa sering dilakukan, maka dapat mempertinggi resiko terjadinya keluhan otot, bahkan dapat menyebabkan terjadinya cedera otot skeletal.

(11)

2. Aktivitas Berulang

Aktivitas berulang adalah pekerjaan yang dilakukan secara terus- menerus seperti pekerjaan mencangkul, membelah kayu besar, angkat- angkut dan lain- lain. Keluhan otot terjadi karena otot menerima tekanan akibat beban kerja secara terus- menerus tanpa memperoleh kesempatan untuk relaksasi.

3. Sikap Kerja tidak Alamiah

Sikap kerja yang tidak alamiah adalah sikap kerja yang menyebabkan posisi bagian tubuh bergerak menjauhi posisi alamiah misalnya pergerakan tangan terangkat, punggung terlalu membungkuk, kepala terangkat dan sebagainya. Semakin jauh posisi bagian tubuh dari pusat gravitasi tubuh, maka akan semakin tinggi pula resiko terjadinya keluhan otot skeletal. Sikap kerja tidak alamiah ini pada umunya karena karakteristik tuntutan tugas, alat kerja dan stasiun kerja tidak sesuai dengan kemampuan dan keterbatasan pekerja.

Empat faktor penyebab sekunder terjadinya keluhan muskuloskeletal, yang pertama adalah tekanan, terjadinya tekanan langsung pada jaringan otot yang lunak. Sebagai contoh, pada saat tangan harus memegang alat, maka jaringan otot tangan yang lunak akan meneriman tekanan langsung dari pegangan alat, dan apabila hal ini sering terjadi, dapat menyebabkan rasa nyeri otot yang menetap. Kedua yaitu getaran, getaran dengan frekuensi tinggi akan menyebabkan kontraksi otot bertambah. Kontraksi statis ini menyebabkan peredaran

(12)

darah tidak lancar, penimbunan asam laktat meningkat dan akhirnya timbul nyeri otot.

Ketiga adalah mikroklimat, paparan suhu dingin yang berlebihan dapat menurunkan kelincahan, kepekaan dan kekuatan pekerja sehingga gerakan pekerja menjadi lamban, sulit bergerak yang disertai dengan menurunnya kekuatan otot. Demikian juga dengan paparan udara yang panas. Beda suhu lingkungan dengan suhu tubuh yang terlampau besar menyebabkan sebagian energi yang ada dalam tubuh akan termanfaatkan oleh tubuh untuk beradaptasi dengan lingkungan tersebut. Apabila hal ini tidak diimbangi dengan pasokan energi yang cukup, maka akan terjadi kekurangan suplai energi ke otot. Sebagai akibatnya, peredaran darah kurang lancar, suplai oksigen ke otot menurun, proses metabolisme karbohidrat terhambat dan terjadi penimbunan asam laktat yang dapat menimbulkan rasa nyeri otot. Keempat adalah penyebab kombinasi. Risiko terjadinya keluhan sistem muskuloskeletal akan semakin meningkat apabila dalam melakukan tugasnya, pekerja dihadapkan pada beberapa faktor risiko dalam waktu yang bersamaan.

Faktor penyebab keluhan muskuloskeletal tidak hanya dipengaruhi oleh beberapa faktor tersebut diatas, tetapi ada beberapa ahli menjelaskan bahwa faktor individu seperti umur, jenis kelamin, kebiasaan merokok, aktivitas fisik, kekuatan fisik dan ukuran tubuh juga dapat menjadi penyebab terjadinya keluhan otot rangka (Tarwaka, 2015).

(13)

a. Umur. Pada anak sekolah sistem muskuloskeletal terus mengalami osteofikasi dan belum matang. Sehingga jika terkena tekanan yang terlalu berat atau mengalami tekanan dalam waktu yang lama, maka akan mudah mengalami cedera. Chaffin (1979) dan Guo et al (1995) menyatakan bahwa pada umumnya kerusakan sistem muskuloskeletal sudah mulai dirasakan pada usia kerja. Hal ini terjadi karena pada umur setengah baya, kekuatan dan ketahanan otot mulai menurun sehingga risiko terjadinya keluhan otot meningkat. Riihimaki, et al (1989) menjelaskan bahwa umur mempunyai hubungan yang sangat kuat dengan keluhan muskuloskeletal, terutama untuk otot leher dan bahu, bahkan ada beberapa ahli lainnya menyatakan bahwa umur merupakan penyebab utama terjadinya keluhan otot.

b. Jenis kelamin. Walaupun masih ada perbedaan pendapat dari beberapa ahli tentang pengaruh jenis kelamin terhada risiko keluhan sistem muskuloskeletal, namun beberapa hasil penelitian secara signifikan bahwa jenis kelamin sangat mempengaruhi tingkat risiko keluhan otot. Hal ini terjadi karena secara fisiologis, kemampuan otot wanita memang lebih rendah dari pada pria. Astrand & Rodahl (1996) menjelaskan bahwa kekuatan otot wanita hanya sekitar dua pertiga (2/3) dari kekuatan otot pria, sehingga daya tahan otot pria pun lebih tinggi dibandingkan dengan wanita. Hasil penelitian Betti’e et al. (1989) menunjukkan bahwa rerata kekuatan otot wanita

(14)

kurang lebih hanya 60% dari kekuatan oto pria, khususnya untuk otot lengan, punggung dan kaki. Dari uraian tersebut diatas, maka jenis kelamin perlu dipertimbangkan dalam mendesain beban tugas. c. Ukuran Tubuh (antropometri). Walaupun pengaruhnya relatif kecil,

berat badan, tinggi badan dan massa tubuh juga merupakan faktor yang dapat menyebabkan terjadinya keluhan muskuloskeletal. Vessy, et al (1990) menyatakan bahwa wanita yang gemuk mempunyai risiko dua kali lipat dibandingkan wanita kurus. Hal ini diperkuat oleh Werner, et al (1994) yang menyatakan bahwa bagi pasien yang gemuk (obesitas dengan indeks massa tubuh > 29) mempunyai risiko 2,5 lebih tinggi dibandingkan dengan yang kurus (indeks massa tubuh < 20), khususnya otot kaki. Temuan lain menyatakan bahwa pada tubuh yang umumnya sering menderita keluhan sakit punggung, tetapi tubuh tinggi tidak mempunyai pengaruh terhadap keluhan pada leher, bahu dan pergelangan tangan. Apabila dicermati, keluhan sistem muskuloskeletal yang terkait dengan ukuran tubuh lebih disebabkan oleh kondisi keseimbangan struktur rangka di dalam menerima beban, baik beban berat tubuh maupun beban tambahan lainnya. Sebagai contoh, tubuh yang tinggi pada umumnya mempunyai bentuk tulang yang langsing sehingga secara biometrik rentan terhadap beban tekan tekukan, oleh karena itu mempunyai risiko yang lebih tinggi terhadap terjadinya keluhan sistem muskuloskeletal.

(15)

d. Penggunaan tas punggung yang salah. Penggunaan tas punggung yang salah berkontribusi mengakibatkan terjadinya keluhan muskuloskeletal. Anak yang membawa tas punggung dengan berat lebih dari 10% BB, akan mengalami keluhan muskuloskeal. Tas punggung dengan berat 10% BB akan menekan otot, ligamen dan tendon sehingga terjadi ketegangan dan akan menimbulkan nyeri akut pada leher. Nyeri leher yang bertahan selama lebih dari 2 atau sampai 3 bulan, nyeri akan menyebar ke lengan dan dari lengan bisa sampai ke tangan maupun jari, biasanya disebabkan oleh diskus servikal yang herniasi atau stenosis foramen sehingga menekan saraf pada leher (Ullrich, 2009).

2.2.3 Mekanisme nyeri

Mekanisme dasar terjadinya nyeri adalah proses nosisepsi. Nosisepsi adalah proses penyampaian informasi adanya srimuli noksius, di perifer ke sistem saraf pusat. Rangsangan noksius adalah rangsangan yang berpotensi atau merupakan akibat terjadinya cedera jaringan, yang dapat berupa rangsangan mekanik, suhu dan kimia. Deskripsi mekanisme dasar terjadinya nyeri secara klasik dijelaskan dengan empat proses yaitu transduksi, transmisi, modulasi dan persepsi.

1. Proses transduksi

Proses dimana stimulus noksius diubah ke impuls elektrikal pada ujung saraf. Suatu stimuli kuat (noxion stimuli) seperti tekanan fisik kimia, suhu dirubah menjadi suatu aktivitas listrik yang akan

(16)

diterima ujung – ujung saraf perifer (nerve ending) atau organ – organ tubuh (reseptor meisneri, merkel, corpusculum paccini, golgi mazoni). Kerusakn jaringan karena trauma baik trauma pembedahan atau trauma lainnya menyebabkan sintesa prostaglandin, dimana prostaglandin inilah yang akan menyebabkan sensitisasi dari reseptor – reseptor nosiseptif dan dikeluarkannya zat – zat mediator nyeri seperti histamin, bradikinin, serotin yang akan menimbulkan sensasi nyeri. Keadaan ini dikenal sebagai sensitisasi perifer.

2. Proses transmisi

Proses penyaluran impuls melalui saraf sensori sebagai lanjutan proses transduksi melalui serabut A-delta dan serabut C dari perifer ke medulla spinalis, dimana impuls tersebut mengalami modulasi sebelum diteruskan ke thalamus oleh tractus spino thalamicus dan sebagian ke traktus spinorektikularis. Traktus spinorektikularis terutama membawa rangsangan dari organ – organ yang lebih dalam dan viseral serta berhubungan dengan nyeri yang lebih difus dan melibatkan emosi. Selain itu juga serabut – serabut saraf disini mempunyai sinaps interneuron dengan saraf – saraf berdiameter besar dan bermielin. Selanjutnya impuls disalurkan ke thalamus dan somatosensoris di cortex cerebri dan dirasakan sebagai persepsi nyeri.

(17)

3. Proses modulasi

Proses perubahan transmisi nyeri yang terjadi disusunan saraf pusat (medulla spinalis dan otak). Proses terjadinya interaksi antara sistem analgesik endogen yang dihasilkan oleh tubuh kita dengan input nyeri yang masuk ke kornu posterior medullan spinalis merupakan proses ascenden yang dikontrol oleh otak. Analgesik endogen (enkefalin, endorphin, serotonin, noradrenalin) dapat menekan impuls nyeri pada kornu posterior medulla spinalis. Diman kornu posterior sebaga pintu dapat terbuka dan tertutup untuk menyalurkan impuls nyeri untuk analgesik endogen tersebut. Inilah yang menyebabkan persepsi nyeri sangat subjektif pada setiap orang. 4. Persepsi

Hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dari proses transduksi, transmisi dan modulasi yang pada akhirnya akan menghasilkan suatu proses subjektif yang dikenal sebagai persepsi nyeri, yang diperkirakan terjadi pada thalamus dengan korteks sebaga diskriminasi dari sensorik (Turk & Flor, 1999; Davis, 2003).

2.2.4 Metode penilaian tingkat keparahan keluhan sistem muskuloskeletal dengan Nordic Body Map

Nordic Body Map merupakan metode penilaian yang sangat subjektif, artinya keberhasilan aplikasi metode ini sangat bergantung dari kondisi dan situasi yang dialami oleh individu saat dilakukannya penilaian dan juga

(18)

tergantung dari keahlian dan pengalaman observer yang bersangkutan. Namun demikian, metode ini secara luas telah digunakan oleh para ahli ergonomi untuk menilai tingkat keparahan gangguan pada sistem muskuloskeletal dan kuesioner ini dibuat oleh Kuorinka et al tahun 1987.

Dalam aplikasinya, metode ‘Nordic Body Map’ dengan menggunakan lembar kerja berupa peta tubuh (body map) merupakan cara yang sangat sederhana, mudah dipahami, murah dan memerlukan waktu yang sangat singkat (± 5 menit) per individu. Observer dapat langsung mewawancarai atau menanyakan kepada responden, pada sistem muskuloskeletal bagian mana saja yang mengalami gangguan kenyerian atau sakit, atau dengan menunjuk langsung pada setiap sistem muskuloskeletal sesuai yang tercantum dalam lembar kerja kuisioner ‘Nordic Body Map’. Nordic Body Map meliputi 28 bagian otot pada sistem muskuloskeletal pada kedua sisi tubuh kanan dan kiri, yang dimulai dari anggota tubuh bagian atas yaitu otot leher sampai dengan bagian paling bawah yaitu otot pada kaki. Melalui kuisioner ‘Nordic Body Map’ maka akan dapat diketahui bagian otot mana saja yang mengalami gangguan kenyerian atau keluhan dari tingkat rendah (tidak ada keluhan/cedera) sampai dengan keluhan tingkat tinggi (keluhan sangat sakit).

Pengukuran gangguan sistem muskuloskeletal dengan menggunakan kuesioner ‘Nordic Body Map’ sebaiknya digunakan untuk menilai tingkat keparahan gangguan sistem muskuloskeletal individu dalam kelompok kerja yang cukup banyak atau kelompok sampel yang dapat merepresentasikan populasi secara keseluruhan. Jika metode ini dilakukan hanya untuk beberapa

(19)

orang pekerja di dalam kelompok populasi kerja yang besar, maka hasilnya tidak akan valid dan reliabel.

Penilaian dengan menggunakan kuisioner ‘Nordic Body Map’ dapat dilakukan dengan berbagai cara; misalnya dengan menggunaan 2 jawaban sederhana (data nominal) yaitu ‘YA’ (tidak ada keluhan sakit pada sistem muskuloskeletal) dan ‘TIDAK’ (tidak ada keluhan atau tidak ada rasa sakit pada sistem muskuloskeletal). Tetapi lebih utama untuk menggunakan desain penilaian dengan skoring (misalnya; 4 skala likert). Apabila digunakan skoring dengan skala likert, maka setiap skor atau nilai haruslah mempunyai definisi operasional yang jelas dan mudah dipahami oleh responden.

Selanjutnya, setelah selesai melakukan wawancara dan pengisian kuisioner, maka langkah berikutnya adalah menghitung total skor individu dari seluruh sistem muskuloskeletal (28 bagian sistem muskuloskeletal) yang diobservasi. Pada desain 4 skala likert ini, maka akan diperoleh skor individu terendah adalah sebesar 0 dan skor tertinggi 84. Dalam banyak penelitian dengan menggunakan uji statistik tertentu yang dimaksudkan untuk menilai tingkat signifikansi hasil penelitian, maka total skor individu tersebut dapat langsung digunakan dalam entri data statistik.

Langkah terakhir dari aplikasi metode ‘Nordic Body Map’ ini, tentunya adalah melakukan upaya perbaikan pada pekerjaan maupun posisi/sikap kerja, jika diperoleh hasil yang menunjukkan tingkat keparahan pada sistem muskuloskeletal yang tinggi. Tindakan perbaikan yang harus dilakukan tentunya sangat tergantung dari perbaikan risiko sistem

(20)

muskuloskeletal mana saja yang mengalami adanya gangguan atau ketidaknyamanan. Hal ini dapat dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya adalah dengan melihat persentase pada setiap bagian sistem muskuloskeletal dan dengan menggunakan kategori tingkat risiko sistem muskuloskeletal. Berikut ini tabel klasifikasi subjektivitas tingkat risiko sistem muskuloskeletal berdasarkan total skor individu.

Total Skor keluhan individu

Tingkat risiko

Kategori risiko Tindakan perbaikan

1 – 20 0 Rendah Belum diperlukan

adanya tindakan perbaikan

21 – 41 1 Sedang Mungkin diperlukan

tindakan dikemudian hari.

42 – 62 2 Tinggi Diperlukan tindakan

segera

63 – 84 3 Sangat tinggi Diperlukan tindakan

menyeluruh sesegera mungkin.

Tabel 2.2 Klasifikasi subjektivitas tingkat risiko sistem muskuloskeletal berdasarkan total skor individu

2.2 Keluhan Muskuloskeletal pada Anak

Shamsoddini, Hollisaz, dan Hafezi (2010) mengatakan bahwa banyak faktor yang dapat menimbulkan keluhan muskuloskeletal pada anak sekolah antara lain dengan keikutsertaan pada kegiatan olahraga ataupun latihan, postur duduk yang salah, dan tidak beraktivitas untuk waktu yang lama, serta membawa tas punggung yang berat. Rai dan Argawal (2014) menambahkan bahwa faktor individu seperti usia, jenis kelamin, dan cedera tubuh dapat menyebabkan terjadinya masalah pada bagian tubuh yang berbeda – beda.

(21)

American Occupational Therapy Assosiation menyatakan bahwa lebih dari 50% siswa berusia 9 – 20 tahun mengalami nyeri punggung kronik akibat muatan tas punggung yang berlebih dan juga penyusunan isi tas punggung yang tidak benar. Saat anak masuk sekolah, tas sekolah menjadi teman yang sangat diperlukan. Tas sekolah adalah hadiah yang selalu diharapkan menjadi hadiah masuk sekolah bagi anak. Bagaimanapun, tas sekolah yang berat tidak hanya berat secara psikologi tetapi juga berat secara fisik pada postur tubuh. Kelas yang lebih rendah memiliki tas yang lebih berat (Rai, Argawal & Bharti, 2013).

Keluhan muskuloskeletal yang dialami oleh perempuan lebih sering pada ekstremitas atas. Dan juga, siswa perempuan mengatakan keluhan pada ekstremitas bawah dan punggung lebih sering daripada yang dialami oleh siswa laki – laki. Walaupun perbedaannya tidak signifikan. Hertzberg (1985, dalam Shamsoddini, et al., 2010) mengatakan bahwa nyeri punggung bawah dan punggung atas lebih sering dialami oleh siswa perempuan daripada siswa laki – laki. Haisman, (1988, dalam Shamsoddini, et al,. 2010) mengatakan alasan kemungkinan mengapa perempuan lebih sering mengalami keluhan pada sistem muskuloskeletalnya yaitu karena kekuatan otot perempuan lebih rendah daripada laki – laki, khususnya di otot lengan atas.

Lama membawa tas punggung dan cara ke sekolah juga dapat menjadi faktor pemicu terjadinya keluhan muskuloskeletal. Seperti yang dikatakan oleh Haselgrove, et al. (2008), bahwa durasi yang lama dan cara tempuh ke sekolah dengan transportasi pasif (mobil/bus) lebih sering mengalami nyeri punggung dan

(22)

leher, walaupun tidak memiliki hubungan yang kuat antara durasi dan cara tempuh ke sekolah.

Gambar

Tabel 2.1 Perbandingan berat tas dan berat badan individu pengguna tas  punggung.
Tabel  2.2  Klasifikasi  subjektivitas  tingkat  risiko  sistem  muskuloskeletal  berdasarkan total skor individu

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Pranaka (1999 dalam Potter &amp; Perry, 2010) ada tiga faktor penyebab luka tekan pada lansia yaitu Faktor kondisi fisik lansia itu sendiri (perubahan kulit, status gizi,

Menurut Notoatmodjo (2010), bahwa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penggunaan kontrasepsi AKDR/IUD adalah pemberi pelayanan kesehatan, fasilitas pelayanan kesehatan

Hal ini mengakibatkan penurunan fungsi paru (Kamangar, 2010). Pemaparan asap rokok pada anak dengan ibu yang merokok menyebabkan penurunan pertumbuhan paru anak. Ibu hamil yang

Anak lebih dari 4 dapat menimbulkan gangguan pertumbuhan janin sehingga melahirkan bayi dengan berat lahir rendah dan perdarahan saat persalinan karena keadaan

Penelitian yang dilakukan oleh Palender dan Leino- Kilpi (2010) di Filandia, dengan tujuan mengetahui pengalaman baik dan buruk anak pada usia sekolah selama

Sumber lain juga mengatakan bahwa faktor risiko yang meningkatkan kejadian kanker ovarium ini dapat berupa peningkatan umur, obesitas, status pascamenopause, riwayat keluarga

Faktor-faktor yang menentukan bagaimana anak akan bereaksi terhadap rasa takut dan cemas yaitu : pertama, derajat ketakutan (the degree of fear), bergantung pada bagaimana

2.2.6 Penanganan Anemia Untuk pencegahan anemia Manuaba 2010 menyebutkan bahwa dengan memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan darah dapat menjadi bahan pengawasan