• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Indoor Air Quality (IAQ)

Ilmu Arsitektur merupakan penggabungan dari ilmu seni, konstruksi dan perencanaan untuk menghasilkan suatu ruang, bentuk dan suasana yang artistik, aman dan juga nyaman. Kualitas udara dalam ruangan yang baik merupakan salah satu contoh kenyamanan yang dapat dicapai dengan perencanaan sistem bukaan yang baik, sehingga memenuhi kebutuhan pertukaran udara yang dibutuhkan.

Kualitas udara dalam ruangan (IAQ) adalah kondisi kandungan udara di dalam ruangan yang dapat mempengaruhi kesehatan dan kenyamanan penghuni suatu ruangan (Satwiko, 2009). Ketika suatu bangunan digunakan, terkadang terjadi berbagai aktivitas manusia (bernafas, merokok, memasak) dan pelepasan senyawa lain (cat baru, debu, kapur barus, VOC) dari benda-benda tertentu. Ketika udara yang bersih tercemar oleh unsur-unsur tersebut dengan melewati batas ambang yang diperbolehkan, maka dapat mengganggu kenyamanan serta kesehatan manusia. Unsur-unsur yang melewati batasan yang ditentukan disebut sebagai polutan.

Kualitas udara dalam ruangan yang baik dapat tercapai bila ruangan/bangunan tersebut memiliki pertukaran udara yang baik. Baik buruknya pertukaran udara yang terjadi dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya sistem bukaan. Penerapan perencanaan sistem ventilasi alami yang baik pada bangunan akan memberikan kenyamanan bagi pengguna ruang serta dapat menghemat penggunaan energi pada bangunan.

Kandungan polutan dalam ruangan dinyatakan dengan istilah emisi dan konsentrasi. Emisi berarti banyaknya polutan yang diukur per satuan luas (massa/luas/waktu). Dan konsentrasi berarti banyaknya polutan dihitung per satuan volume/media. Satuan yang digunakan yaitu ppm (part per million).

Peneliti cenderung menggunakan konsentrasi CO2 sebagai indikator untuk

(2)

pertukaran udara yang terjadi. Bila sirkulasi udara dalam ruangan baik, maka udara dalam ruangan yang tercemar akan netral kembali (CO2 cenderung rendah).

ASHRAE (62-2001) merekomendasikan agar konsentrasi CO2 dalam ruangan

tidak melewati 1.000 ppm.

2.2 Udara

Udara merupakan gabungan dari sekumpulan gas (nitrogen (78%), oksigen (20,95%), argon (0,93%), karbondioksida (0,038%), uap air (1%), dan gas lainnya (0,002%)) yang terdapat di alam semesta dan mengelilingi bumi. Udara bergerak bebas mengikuti jalur yang ada dan mengisi ruang yang kosong, serta berpindah dari daerah bertekanan tinggi (suhu dingin) ke daerah bertekanan rendah (suhu panas).

Udara yang bergerak akan menghasilkan angin. Udara bergerak akibat adanya gaya penggerak angin, yaitu adanya perbedaan tekanan dan suhu. Angin yang bergerak melewati ventilasi (jendela) disebut sebagai laju ventilasi.

2.3 Ventilasi

Indonesia merupakan negara beriklim tropis dengan suhu dan kelembaban yang tinggi serta kecepatan angin yang rendah, maka sebaiknya ruangan atau bangunan memiliki sistem ventilasi yang baik. Kesehatan dan kenyamanan termal merupakan dua aspek yang erat kaitannya dengan ventilasi bangunan. Pada umumnya terdapat 2 jenis ventilasi, yaitu:

 Ventilasi alami

Pergantian udara secara alami tanpa bantuan peralatan mekanis seperti kipas ataupun penyejuk udara (AC).

 Ventilasi mekanis

Penghawaan ruangan dengan bantuan peralatan mekanis (kipas angin atau AC), yang tujuannya untuk memperoleh kenyamanan suhu ruangan.

(3)

2.3.1 Ventilasi Alami

Ventilasi alami merupakan media terjadinya proses pergantian udara dalam ruangan oleh udara segar dari luar ruangan tanpa bantuan peralatan mekanik. Ventilasi alami diperlukan untuk 2 tujuan yang umum:

 Sebagai media penyedia udara segar ke dalam ruangan dan untuk menetralkan polutan, dengan kata lain berfungsi untuk menjaga kualitas udara dalam ruangan dalam kondisi baik.

 Sebagai media untuk mendinginkan ruangan yang kelebihan panas.

Secara umum, sistem ventilasi alami terbagi atas 2 jenis, yaitu:  Ventilasi horizontal

Ventilasi horizontal merupakan aliran udara yang terjadi bila terdapat perbedaan suhu udara luar dan dalam ruangan, seperti: cross ventilation dan single-sided ventilation.

 Ventilasi vertikal

Ventilasi vertikal merupakan ventilasi yang terjadi karena perbedaan jenis lapisan udara luar dan dalam bangunan. Udara dengan berat jenis rendah akan mengalir ke atas, dan udara luar yang lebih dingin (berat jenis tinggi), akan mengalir ke bawah (ruangan), yang disebut stack-effect ventilation.

Pergantian udara dalam ruangan sering dinyatakan dalam satuan ACH (Air Change per Hour). ACH merupakan jumlah pergantian seluruh udara dalam ruangan dengan udara segar dari luar setiap jam-nya (Satwiko, 2009). Menurut SNI, ACH yang bagus untuk ruang belajar sebesar 8 ach. M.Evans (1980) menyarankan sebaiknya besar bukaan outlet sama dengan inlet agar pertukaran udara optimum. Bila bukaan outlet lebih besar dari inlet, maka kecepatan angin dalam ruangan akan meningkat, namun pertukaran udara tidak optimum. Dari SNI, disarankan agar besar bukaan minimum 5% dari luas lantai ruangan.

Sistem ventilasi alami digemari di lokasi yang beriklim tropis karena dapat mengurangi penggunaan energi (Dutton, 2010). Menurut panduan BB 101 (2006) ventilasi alami pada sekolah harus menghasilkan:

(4)

 Laju ventilasi minimum 3 l/s per orang.

 Laju ventilasi minimum rata-rata setiap hari 5 l/s per orang.

 Laju ventilasi minimum 8 l/s per orang kapan saja saat ruangan digunakan. Ketika laju angin mencapai 8 l/s per orang, maka konsentrasi CO2 pada

umumnya akan berada dibawah 1.000 ppm.

Efisiensi ventilasi dapat diprediksi dengan menggunakan rumus yang dinyatakan oleh Hananto (2010).

2.3.2 Cross Ventilation dan Single Sided Ventilation

Pencapaian jarak aliran udara tergantung pada kondisi inlet dan outlet-nya. Pertukaran udara akan optimum bila ukuran inlet dan outlet sama (cross-ventilation). Namun bila ruangan tersebut hanya memiliki salah 1 area bukaan saja (single-sided ventilation), maka ruangan tersebut akan sulit untuk mendapatkan pertukaran udara yang optimum.

Gambar 2.1 Perbandingan ukuran bukaan dengan kecepatan rata-rata aliran udara. Sumber: M.Evans,1980 dalam Putra, 2009.

Ef = produksi CO2 per orang

(

pertambahan kadar CO2

)

(5)

Cross ventilation (ventilasi silang) merupakan sistem ventilasi dengan bukaan pada dua atau lebih sisi ruangan. Sedangkan single-sided ventilation berarti ventilasi suatu ruangan hanya berada pada satu sisi ruangan.

Single-sided ventilation tidak efektif untuk diterapkan di daerah beriklim panas dan hanya cocok untuk ruangan yang kecil. Karena bila ruangan terlalu besar (lebar ruangan), maka pertukaran udara yang baik tidak akan terjadi, sehingga udara dalam ruangan akan terasa pengap dan tidak nyaman serta tidak baik untuk kesehatan.

Panjang ruangan maksimum untuk sistem ventilasi single-sided dapat dithitung dengan:

Panjang ruangan maksimum untuk sistem ventilasi silang (cross ventilation) dapat dithitung dengan:

Gambar 2.2 Single-sided ventilation (atas) dan cross ventilation (bawah). Sumber: S.Roaf, 2003 dalam Putra, 2009.

Q = CV.A.V

W = 2,5.c.H

(6)

dimana:

W = Panjang maksimum ruangan c = Rasio luas bukaan dengan luas lantai H = Tinggi ruangan

2.3.3 Laju Ventilasi

Laju ventilasi merupakan jumlah laju udara per-m3 yang melewati sistem bukaan (jendela) ke dalam bangunan setiap jam-nya. Laju ventilasi ditentukan oleh kecepatan dan arah angin dari luar bangunan. Adanya bangunan sekitar atau penghalang pada inlet dapat mengurangi laju ventilasi, maka disarankan agar jarak antar bangunan berjarak minimal 6 kali dari tinggi penghalang (Mediastika, 2002).

Mike Thompson (2000) menyatakan bahwa laju ventilasi dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut apabila tidak dilakukan pengukuran.

dimana:

Vr = Laju ventilasi (l/s) V = Volume ruangan(m3)

ACH = Banyaknya pertukaran udara per jam

Dengan mengukur laju angin, maka laju ventilasi dapat dihitung dengan perumusan oleh Satwiko (2009) yang merumuskan perhitungan laju ventilasi berdasarkan perbedaan tekanan angin sebagai berikut:

dimana:

Q = Laju ventilasi (m3/detik) A = Luas bukaan inlet (m2) V = Kecepatan angin (m/detik)

CV = Efektivitas bukaan (CV dianggap sama dengan 0,5~0,6 untuk angin frontal dan

0,25~0,35 untuk arah angin yang diagonal)

Pada rumus diatas (Q = CV.A.V), ketentuan CV digunakan untuk luas area

bukaan inlet dan outlet yang sama. Bila luas bukaan inlet dan outlet berbeda, maka digunakan ketentuan dengan perbandingan rasio bukaan (Tabel 2.1).

Q = CV.A.V

Vr = V. ACH. 1000 3600

(7)

Tabel 2.1 Konstanta penyesuaian proporsi bukaan akibat tekanan angin Perbandingan luas inlet dan

outlet CV

Perbandingan luas inlet dan

outlet CV

1 : 1 1,00 1 : 5 1,40

1 : 2 1,27 2 : 1 0,63

1 : 3 1,35 4 : 1 0,35

1 : 4 1,38 4 : 3 0,86

Minimum laju ventilasi yang disarankan ASHRAE pada ruangan kelas (belajar) sebesar 5 l/s. Dan menurut Ministry of Education (2007), laju ventilasi untuk ruangan kelas dalam kondisi belajar dengan pengguna sebanyak 30 orang sebesar 8 l/s/org.

2.4 Sumber Polutan

Polusi udara dalam ruangan terjadi karena adanya proses pelepasan gas atau partikel ke udara dari sumbernya. Umumnya polusi udara dari luar dapat masuk ke dalam ruangan akibat infiltrasi dan sistem ventilasi yang buruk.

Sumber polusi udara dari luar ruangan dapat berasal dari berbagai jenis proses pembakaran. Dari dalam ruangan sendiri, polutan udara dapat berasal dari material bangunan dan perabotan yang mulai rusak, produk yang mengandung bahan isolasi asbes, karpet yang lembab, perabotan dari kayu yang di-press, produk pembersih dan perawatan pribadi, alat pendingin, kompor, pelembab ruangan, dsb.

2.5 Jenis dan Sumber Polutan, serta Efek yang Ditimbulkan 2.5.1 Polutan Non-organik

1) Karbon Monoksida (CO)

CO merupakan senyawa gas yang tidak berwarna, tidak berbau, dan tidak berasa, serta sukar larut dalam air, serum darah, dan plasma. Senyawa gas ini dihasilkan dari proses pembakaran tidak sempurna karbon seperti kayu, bensin, batu bara, gas alam, dan kerosin.

Senyawa CO dalam ruangan berasal dari emisi kompor dan pembakaran yang menggunakan bahan bakar fosil dan biomassa, terutama yang Sumber: Boutet (1987)

(8)

tidak dipasang dan terawat. Asap tembakau dan kendaraan menjadi salah satu sumber utama polutan CO dalam ruangan.

Dalam tubuh manusia, gas CO dapat beraksi dengan hemoglobin membentuk COHb yang dapat mengganggu sistem pengangkutan oksigen dalam darah. Pada konsentrasi 2.5% – 10% dapat menyebabkan kerusakan fungsi otak. Pada konsentrasi 25% – 30%, penderita akan kehilangan kesadaran secara perlahan, dan ketika COHB mencapai 60%, maka akan menyebabkan kematian. Individu yang keracunan gas CO sering menunjukkan gejala kecapekan, sakit kepala, mual, kesulitan bernafas, meningkatnya debaran jantung, kejang-kejang, kelumpuhan, kehilangan kesadaran, iritasi, gangguan memori, dan tinnitus.

WHO (2005) menyarankan standard konsentrasi CO sebagai berikut:  15 menit → 100 mg/m3

 1 jam → 35 mg/m3

 8 jam → 10 mg/m3  24 jam → 7 mg/m3 Disarankan agar menekan konsentrasi CO hingga 4,6 – 5,8 mg/m3. EPA menentukan standard rata-rata konsentrasi CO tidak boleh melewati 9 ppm selama 8 jam. Menurut lembaga pemerintahan Jerman (2008) untuk kondisi udara yang baik pada sekolah disarankan gas CO berkisar antara 60mg/m3 selama 30 menit dan 15mg/m3 selama 8 jam.

2) Karbon Dioksida (CO2)

CO2 merupakan gas yang tidak berwarna dan tidak berbau, yang

dihasilkan dari alam dan proses pembakaran bensin, batu bara, minyak, dan kayu, serta hasil dari proses respirasi dan metabolisme manusia (merupakan kontributor terbesar gas CO2 dalam ruangan).

Konsentrasi gas CO2 di dalam ruangan tergantung pada jumlah orang,

lama ruangan dipergunakan, kegiatan dalam ruangan, pertukaran udara, dan polutan dari luar.

(9)

Tabel 2.2 Efek senyawa gas CO2

Kadar CO2 (%) Interval Efek yang ditimbulkan

2% B eberapa ja m Sakit kepala, sesak nafas dalam aktivitas ringan

3% 1 jam Sakit kepala ringan,berkeringat, dyspnea

(istirahat)

4 – 5% Beberapa menit Sakit kepala, pusing, tekanan darah meningkat, dyspnea yang tidak nyaman

6%

1 – 2 menit Gangguan pada penglihatan dan pendengaran ≤ 16 menit Sakit kepala, dyspnea

Beberapa jam Gemetar

7 – 10%

Beberapa menit Kehilangan kesadaran 1.5 menit – 1 jam

Sakit kepala, detak jantung meningkat, dyspnea, pusing, berkeringat, bernafas dengan cepat.

10 – 15% 1 – beberapa menit Pusing, mengantuk, kejang parah pada otot, ketidaksadaran.

16 – 30 % Dalam 1 menit Hilang kendali dalam melakukan aktivitas, pingsan, kejang, koma hingga kematian.

Menurut EPA dan ASHRAE batas maksimum gas CO2 dalam ruangan

tidak boleh melewati 1.000 ppm untuk mencapai keadaan ruangan yang nyaman. Lembaga pemerintahan Hongkong (2003) dan Jerman (2008) juga menyarankan standard konsentrasi CO2 pada ruangan kelas dengan

range 800 ppm – 1.000 ppm selama 8 jam.

3) Ozon (O3)

Ozon merupakan senyawa gas yang berbau tajam, tidak berwarna dan beracun, sangat reaktif dan merupakan salah satu oksidan yang kuat. Sekarang ini ozon sudah dikembangkan untuk menghilangkan warna dan bau pada air, berperan sebagai antiseptik, memutihkan kain, pengawet makanan, dan sterilisasi peralatan medis.

Ozon terbentuk akibat adanya reaksi kimiawi yang terjadi di atmosfer, dimana sumber awalnya dapat berasal dari hasil proses evaporasi dan proses pembakaran bahan bakar bensin, serta berasal dari penguapan bahan organik (VOC) dari produk tertentu. Dari dalam ruangan sendiri, gas ozon dapat berasal dari alat pembersih udara, udara dari luar ruangan, mesin fotokopi, printer, dan produk lain yang mengandung sinar UV.

(10)

Secara umum ozon cenderung menyerang sistem pernafasan, dan menyebabkan batuk kering, sakit pada dada (paru-paru), iritasi sensorik, pneumonia, bronkitis, dengungan pada telinga, dan terkadang dapat menyebabkan rasa mual. Berdasarkan penelitian NIEHS, kapasitas paru-paru berkurang sebesar 5% – 10% pada konsentrasi 0,08 ppm (National Institute of Health 2001) selama 6,5 jam.

Ozon juga dapat menyebabkan manusia lebih sensitif terhadap udara kering, lembab, dan berdebu sehingga dapat meningkatkan alergi pada individu yang rentan serta menurunkan sistem imun pernafasan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh University of Southern California Keck School of Medicine, setiap pertambahan 0,02 ppm pada ozon dapat menyebabkan 63% penurunan absen siswa karena sakit.

Menurut WHO dan panduan BB101 konsentrasi ozon yang diizinkan yaitu 100 µg/m3 selama rentang waktu 8 jam. Lembaga pemerintahan Hongkong (2003) menyarankan standard konsentrasi O3 pada ruangan

kelas antara 0,025 ppm – 0,061 ppm selama 8 jam.

4) Nitrogen Dioksida (NO2)

NO2 merupakan gas berwarna merah-kecoklatan dengan aroma

menyengat yang dihasilkan dari rumah kaca dan kegiatan antropogenik. NO2 merupakan oksidan yang kuat, korosif, dan sulit larut dalam air.

Sumber utama NO2 merupakan asap tembakau dan gas pembakaran dari

kayu, minyak, kerosin, dan batu bara. Jarak bangunan terhadap jalan juga menentukan konsentrasi NO2 dalam ruangan.

Keracunan NO2 cenderung menyerang sistem pernafasan

(bronkokotriksi), juga menyebabkan gangguan pada media pendengaran, hidung, tenggorokan, meningkatnya koabilitas, menurunkan imun, sehingga menaikkan kemungkinan terjadi infeksi pada pernafasan.

WHO menyarankan agar kandungan NO2 di udara sebesar:  200µg/m3 → selama rata-rata 1 jam

(11)

Lembaga pemerintahan Hongkong (2003) menyarankan standard konsentrasi NO2 pada ruangan kelas sebesar 0,021 ppm – 0,08 ppm

selama 8 jam. Dan menurut lembaga pemerintahan German (2008) ditetapkan standard untuk mencapai kondisi udara yang baik di sekolah sebesar 0,19 ppm selama 30 menit dan 0,03 ppm selama 1 minggu.

5) Radon

Radon merupakan radioaktif yang tidak berwarna dan tidak berbau. Radon terbentuk dari radium yang rusak dalam tanah dan bebatuan . Radon berasal dari pembusukan radium di bawah tanah rumah. Ketika suhu dalam ruangan lebih tinggi dan memiliki tekanan yang lebih rendah dari tanah di bawah ruangan, maka gas radon akan masuk ke dalam ruangan dari dalam tanah secara infiltrasi.

Penelitian dilakukan pada para pekerja tambang dan diperoleh hasil bahwa senyawa ini dapat menyebabkan kanker paru-paru. Ditemukan bahwa resiko perokok yang menderita kanker paru-paru akibat radon lebih rendah daripada pekerja yang tidak pernah merokok. Efek karsinogenik yang lain yaitu leukimia, kanker perut dan kanker hati. Juga dapat menyebabkan kerusakan pada DNA, gen dan sel.

Sampai saat ini, WHO belum menentukan batasan aman, maka disarankan batasan pada penderita kanker paru-paru akibat radon (≥ 75 tahun) diperkirakan sebesar:

 0,6 x 10-5 per Bq/m3 → individu yang tidak pernah merokok  15 x 10-5 per Bq/m3 → individu perokok aktif

 Pada individu yang pernah merokok terdapat resiko medium

2.5.2 Polutan Organik 1) Benzena

Benzena merupakan senyawa yang berbau, tidak berwarna, jernih, mudah menguap, cepat larut dalam air dan senyawa organik, sangat mudah terbakar dengan susunan molekul C6H6. Senyawa benzena digunakan

(12)

secara luas sebagai pelarut, terutama dalam industri cat, pembersih cat, karet semen, produk kesenian dan kerjinan tangan.

Dalam ruangan, benzena dapat berasal dari material bangunan dan perabotan, gelas fiber, perekat lantai, cat, sistem pembakaran, produk larutan, dan kegiatan manusia (bersih-bersih, penggunaan produk tertentu dan pengusir nyamuk, fotokopi, proses menge-print, asap rokok). Emisi benzena dari material dan perabotan akan menghilang secara perlahan dalam selang waktu minggunan, bulanan, hingga tahunan.

Terdapat banyak laporan kasus kematian setelah beberapa jam (asphyxia dan sistem depresi saraf pusat) akibat terhirupnya senyawa benzena pada konsentrasi yang tinggi. Benzena dapat menyebabkan efek cerebovaskular ischemic pada konsentrasi 20.000 ppm selama 5–10 menit.

Dalam kasus keracunan ringan (300 ppm – 3.000 ppm) menyebabkan kesulitan berbicara, sakit kepala, pusing, insomnia, mual, parestesia pada tangan dan kaki serta kecapekan. Inhalasi sebanyak 50 ppm – 100 ppm selama 30 menit dapat menyebabkan kecapekan dan sakit kepala, dan pada kisaran 250 ppm – 500 ppm dapat menyebabkan pusing, sakit kepala, pingsan dan mual.

Efek genoktosisitas merupakan efek paling kronis yang disebabkan oleh benzena. Efek ini akan menyebabkan kromosom menjadi tidak normal dan menimbulkan efek yang bersifat karsinogen (myeloid leukemia). WHO belum menentukan standard untuk polutan benzena. Lembaga pemerintahan Hongkong (2003) menetapkan batasan untuk benzena terhadap kualitas udara nyaman di ruangan kelas sebesar 16,1µg/m3. Standard INRS untuk gejala neurologikal akibat benzena:

 25 ppm → tidak terdapat efek  50 – 100 ppm → sakit kepala dan asthenia  500 ppm → ada gejala yang menonjol  3.000 ppm → toleransi 30 – 60 menit  20.000 ppm → kematian dalam 5 – 15 menit

(13)

2) Formaldehyde (CH2O)

Formaldehyde merupakan gas yang tidak berwarna, mudah terbakar dan sangat bereaksi pada suhu ruangan. Formaldehyde dapat dibeli dalam bentuk cairan, yang dikenal dengan Formalin. Senyawa ini bereaksi cepat dengan hidroksil radikal dan menghasilkan asam. Senyawa ini dapat larut dalam air dan etanol serta klorofom dengan penambahan aseton, benzen, dan dietileter.

Secara luas formaldehyde digunakan untuk menghasilkan getah, desinfektan dan bahan preservatif dalam makanan. Sumber dalam ruangan dapat berasal dari proses pembakaran, material bangunan (terutama yang baru), kosmetik, penggunaan elektronik, produk insektisida dan kertas. Faktor usia material, asap rokok, kadar CO2 dan

suhu juga turut menentukan kadar senyawa ini.

Aroma yang tidak nyamanan timbul pada konsentrasi 0.2 – 0.4 mg/m3. Efek yang lain yaitu iritasi sensorik pada mata dan pernafasan bagian atas, efek pada paru-paru hingga eksema.

IARC dan NCI menyatakan formaldehyde bersifat karsinogenik pada manusia karena dapat menyebabkan kanker nasofaring, hipofaring, dan laring, sehingga mempengaruhi kemampuan berbicara, kanker pankreas, kanker paru-paru, kanker otak, dan myeloid leukemia.

Batasan konsentrasi yang disarankan WHO yaitu 0,1 mg/m3 selama 30 menit. Pada konsentrasi 0,38 mg/m3 selama 4 jam dapat menyebabkan iritasi sensorik pada mata dan pada konsentrasi 0,6 mg/m3 dapat meningkatkan frekuensi kedipan mata dan menyebabkan mata merah. Lembaga pemerintahan Hongkong (2003) menyarankan standard konsentrasi NO2 pada ruangan kelas antara 0,024 ppm – 0,081 ppm

selama 8 jam. Sedangkan lembaga pemerintahan Jerman (2008) menetapkan standard ≤ 0,1 ppm selama 30 menit.

(14)

3) Naftalin

Senyawa naftalin mempunyai susunan molekul C10H8, berbentuk bubuk

putih kristal dengan aroma seperti kapur barus, sangat mudah menguap, tidak larut dalam air, namun larut dalam alkohol dan asetat.

Naftalin digunakan sebagai bahan baku pelunak, resin sintetik, naftalin sulfonat, papan plaster, dispersan karet sintetis dan natural, penggelap di industri kulit, cat dan dalam proses produksi karbaril insektisida.

Dari dalam ruangan naftalin berasal dari kapur barus (terutama), berbagai jenis pelarut, pelumas, herbisida, pembakar arang dan hair-spray, kompor kerosin, asap rokok, material karet, desinfektan dan pewangi ruangan (padat).

Efek yang paling serius yaitu anemia hemolitik. Bila terjadi keracunan pada wanita hamil, terdapat kemungkinan besar bayi dalam kandungan juga akan menderita anemia hemolitik dan methemoglobinemia. Tidak banyak kasus yang di dokumentasikan, namun keracunan kronis naftalin pada manusia diantaranya kanker pada laring dan kolon, sakit saraf, dan gagal ginjal. Selain itu, juga terdapat kemungkinan dapat menyebabkan diabetes, hipertensi, dan obesitas.

Menurut WHO konsentrasi naftalin yang direkomendasikan selama setahun yaitu 0,01 mg/m3. Lembaga pemerintahan German (2008) menyarankan standard terhadap kondisi udara pada sekolah yang baik menetapkan standard 0,002 mg/m3 – 0,02 mg/m3 selama 8 jam.

2.5.3 Jamur

Jamur timbul akibat adanya area yang lembab pada bangunan, sistem ventilasi yang tidak bagus ataupun infiltrasi. Pertumbuhan jamur dapat dihambat dengan menjaga kelembaban dalam ruangan di bawah 50% dan menjaga masalah kelembaban yang lain seperti kebocoran air.

Jamur yang sering terdapat dalam ruangan yaitu Aspergillus versicolor, A.parasiticus, A. flavus, Penicillium spp., Fusarium spp., Trichoderma spp. dan

(15)

Stachybotrys (atra) chartarum. Efek yang sering ditimbulkan yaitu ashma, rhinitis, dan hipersensitivitas pheumonitis.

2.5.4 Bakteri Legionella sp.

Legionella sp. merupakan bakteri yang cenderung berkembang biak pada air yang tenang dan hangat (25°C – 45°C) dan dapat menyebabkan Legionellosis. Bakteri ini bersifat seperti amuba, biasanya berpindah melalui udara dan cenderung ditemukan pada cooling tower, air mancur publik, kepala shower, serta keran yang sudah tidak bagus/tidak terawat. Satuan untuk menyatakan konsentrasi Legionella dinyatakan dalam cfu/liter.

Untuk mencegah timbulnya bakteri ini, dapat dilakukan dengan mengatur derajat air dingin selalu pada suhu < 20°C, dan air panas pada suhu 60°C (setidaknya berkisar antara 55°C ketika mencapai keran air), membersihkan aerator pada keran, dan melakukan pengujian secara berkala.

2.5.5 Asbes

Asbes merupakan bahan bangunan yang terdiri dari mineral silikat yang dulunya sering digunakan pada ambang jendela, partisi, pipa pembuangan, dan panel penutup. Material asbes dinyatakan bersifat karsinogen terhadap manusia dan berbahaya bila ―terusak‖ dan menghasilkan serpihan miroskopis.

Serpihan mikroskopis akan tersebar ke udara, sehingga dapat masuk ke dalam saluran pernafasan dan menyebabkan gangguan kesehatan seperti:

 Asbestosis → pengerasan pada bagian lapisan paru-paru.

 Untuk selang waktu 20 – 30 tahun dapat menyebabkan kanker paru-paru.  Untuk selang waktu 30 – 40 tahun dapat menyebabkan Mesothelioma.

2.6 Indoor Air Quality pada Sekolah

Faktor yang mempengaruhi kualitas udara di sekolah pada umumnya sama seperti di bangunan lain, namun pengguna ruangan sebagian besar merupakan anak-anak yang kondisi pertahanan tubuhnya cenderung lebih rentan.

(16)

Anak-anak cenderung bernafas lebih cepat dan banyak daripada orang dewasa. Kualitas udara dalam ruangan ternyata dapat mempengaruhi kinerja, konsentrasi dan kehadiran siswa (Mendell & Heath, 2004 dan Salleh, 2011).

Kualitas udara di ruangan sekolah, bila ditinjau dari segi polutan CO2,

maka faktor yang mempengaruhinya cenderung berupa:  Jumlah siswa atau pengguna

ruang (sumber utama CO2)  Aktivitas di dalam ruangan

 Lama Penggunaan ruangan  Laju ventilasi

Kualitas udara yang buruk di sekolah merupakan penyebab masalah pernafasan, penularan penyakit dari udara, dan menimbulkan alergi pada anak-anak, sehingga menurunkan persentase kehadiran dan kinerja belajar siswa (Jaakkola dkk., 2000; Mendell, 2007).

2.7 Indoor Air Quality dan Ventilasi

Kualitas udara dalam ruangan menunjukkan kondisi udara dalam ruangan. Desain sistem ventilasi yang baik dapat menciptakan kualitas udara yang lebih baik dengan tersedianya pertukaran udara bersih.

Ventilasi merupakan media terjadinya pertukaran udara, yaitu proses masuknya udara segar dari luar dan keluarnya polutan dari dalam ruangan. Pertukaran udara terjadi karena adanya laju ventilasi dan perbedaan tekanan suhu dan udara sekitar. Melalui proses pertukaran udara tersebut, maka polutan udara dalam ruangan dapat dinetralkan.

Gambar 2.3 CO2 sebagai indikator sistem ventilasi di kelas.

(17)

Besar bukaan ventilasi mempengaruhi besarnya laju ventilasi, dimana laju ventilasi berpengaruh terhadap kandungan CO2 dalam ruangan. Bila laju ventilasi

tidak lancar (sistem pengoperasian bukaan dan faktor lain) dan tidak memenuhi kebutuhan aktivitas di dalamnya, maka akan menimbulkan efek negatif seperti rasa pengap dan kurangnya oksigen dalam ruangan, yang kemudian akan berdampak pada kenyamanan dan kesehatan manusia seperti gangguan pada sistem pernafasan dan timbulnya jamur serta polutan lain.

Pada suatu bangunan atau ruangan, umumnya terdapat 2 fungsi ventilasi, yaitu inlet dan outlet. Ventilasi yang berfungsi sebagai inlet, disarankan diletakkan pada ketinggian manusia (60–150 cm) agar udara dapat mengalir di sekitar manusia. Sedangkan untuk ventilasi yang berfungsi sebagai outlet harus diletakkan lebih tinggi dari inlet, agar udara panas dalam ruangan dapat mengalir keluar (Mediastika, 2002).

Melalui sistem ventilasi yang baik, maka sirkulasi udara akan lancar. Menurut CIBSE (2006) dalam panduan Khatami (2013), manusia memerlukan udara bersih sebesar 10 l/s. Namun untuk standard yang dibutuhkan di sekolah, cenderung berkisar antara 5l/s – 8 l/s (BB101, 2006 ; ASHRAE, 2003).

Konsentrasi CO2 dalam ruangan berbeda-beda bila ditinjau dari ketinggian

dalam ruangan. Pembuktian ini ditemukan dalam penelitian Stieger dkk., yang menemukan bahwa konsentrasi CO2 lebih tinggi pada area yang lebih tinggi.

Namun bila sistem ventilasi ditutup, maka konsentrasi CO2 dalam ruangan akan

sama rata di semua titik dalam rentang beberapa menit.

2.8 Penelitian Terkait

2.8.1 Efek Pengkondisian Ventilasi yang berbeda terhadap Konsentrasi CO2 dalam Ruangan

Penelitian ini dilakukan oleh Sribanurekha dkk. di Sri Lanka yang merupakan daerah beriklim tropis. Beliau melakukan penelitian dengan metode pembagian kuisioner dan pengukuran terhadap konsentrasi CO2 di dalam ruangan

dengan sistem ventilasi mekanis dan ventilasi alami pada masing-masing bangunan sekolah, perkantoran dan rumah sakit.

(18)

Metode pengukuran dilakukan dengan mengukur konsentrasi CO2,

temperatur dan kelembaban di dalam dan luar ruangan. Aktivitas dan jumlah pengguna ruangan juga di-data begitu juga dengan jenis jendela yang digunakan. Kemudian sistem ventilasi alami dikondisikan dalam 3 fase dengan besar bukaan yang berbeda, yaitu: jendela 100% terbuka, 50% terbuka, dan 100% tertutup. Pengukuran pada setiap kondisi dilakukan setelah udara dalam ruangan dikondisikan selama 3 jam hingga mencapai keadaan stabil. Pengukuran diulang 2 kali untuk memperoleh hasil yang lebih akurat. Kemudian hasil pengukuran pada sistem ventilasi alami dan buatan dibandingkan.

Pada hasil penelitian ditemukan bahwa konsentrasi CO2 berbanding

terbalik dengan luas bukaan jendela. Ukuran, jumlah dan posisi jendela sangat berperan penting terhadap kualitas udara dalam ruangan. Perbedaan besar bukaan jendela 100% dan 50% tidak jauh berbeda, namun bila jumlah pengguna ruangan ditingkatkan, maka akan terdapat perbedaan yang lebih besar. Dan pada ruangan dengan sistem ventilasi mekanis, ditemukan bahwa AC central lebih bagus daripada AC split pada keadaan tidak terawat. Secara keseluruhan disimpulkan bahwa konsentrasi CO2 lebih tinggi pada ruangan dengan sistem ventilasi mekanis

daripada ruangan dengan sistem ventilasi alami. Dimana hal ini dimungkinkan karena tidak diaktifkannya sistem ventilasi alami sehingga tidak ada pertukaran udara.

2.8.2 Distribusi CO2 pada Ruangan dengan Sistem Ventilasi Alami dan

Pemanasan yang Tinggi dalam Ruangan

Penelitian terhadap hubungan ventilasi alami dan CO2 dengan pemanasan

dalam ruangan dilakukan oleh Steiger. Pengukuran dilakukan berdasarkan ketinggian perletakkan sensor yang berbeda dengan total penempatan 27 buah sensor CO2 di suatu ruangan dengan ukuran 2,6 m x 5,6 m x 2,7 m. Pada ruangan

yang dikondisikan, terdapat 3 buah jendela, namun 2 buah jendela ditutup, dan hanya dibuka 1 buah jendela dengan model gantung yang dikondisikan terbuka dan tertutup.

(19)

Pemanasan yang dikeluarkan dalam ruangan berasal dari boneka tiruan (dummies). Panas yang dikeluarkan sebesar 1,2 met dan 0,006 l/s/dummy konsentrasi CO2. Konsentrasi CO2 di ruangan diukur dengan menggunakan

photo-acoustic multi-gas sensor. Sensor CO2 tersebut diletakkan pada 9 titik dengan

masing-masing pada tiga ketinggian yang berbeda(0,0 m, 1,2 m, 2,7 m), sehingga terdapat total 27 sensor. Hasil pengukuran berada pada satuan km/m3 yang kemudian dikonversikan ke dalam satuan ppm pada kondisi ruangan 20°C dan tekanan 930 hPa . Sampel diambil setiap 250 detik.

Pada hasil penelitian, diperoleh bahwa pada di awal penelitian konsentrasi CO2 cenderung lebih tinggi pada area yang lebih tinggi (2,7 m) dan akan stabil

setelah 2,5 jam. Titik yang dekat dengan jendela mengalami fluktuasi. Dari hasil penelitian ini juga ditemukan bahwa posisi yang paling baik untuk sensor CO2

yaitu pada ketinggian pernafasan manusia dan berada dekat dengan dinding serta jauh dari sistem ventilasi. Dan konsentrasi CO2 perlahan meningkat ketika dikeluarkan dan posisi jendela dibuka, kemudian turun sedikit setelah karbon dioksida dihentikan dengan kondisi jendela ditutup. Dan ketika jendela ditutup dan CO2 dikeluarkan, konsentrasi CO2 meningkat tajam, dan kemudian perlahan

turun ketika jendela dibuka dan konsentrasi CO2 dihentikan.

2.9 Sintesa Pustaka

Kualitas udara dalam ruangan dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti: jumlah pengguna ruangan, kegiatan dan lama penggunaan ruang, pencemaran oleh polutan organik, non-organik, material bangunan, mikro-organisme dan senyawa VOC, iklim, kecepatan dan arah angin, besar bukaan, dan sistem ventilasi yang digunakan.

Salah satu cara mengukur kualitas udara dalam ruangan adalah dengan meninjau konsentrasi CO2 di dalam ruangan yang cenderung dihasilkan dari

proses respirasi dan metabolisme manusia. Untuk menetralkan konsentrasi CO2 di

dalam ruangan diperlukan pertukaran udara. Dengan adanya pertukaran udara yang terjadi, maka konsentrasi udara dalam ruangan yang sudah jenuh dapat dinetralkan kembali dengan adanya udara segar dari luar. Efisiensi pertukaran

(20)

udara yang terjadi dipengaruhi beberapa faktor, salah satunya sistem ventilasi. Pada penelitian ini hanya akan ditinjau konsentrasi CO2 dari pengaruh sistem

jendela cross-ventilation dan single-sided-ventilation.

Menurut teori, pertukaran udara pada sistem ventilasi cross ventilation lebih optimum dibandingkan single-sided ventilation. Maka seharusnya pada penelitian ini, kualitas udara (konsentrasi CO2) pada sistem cross ventilation lebih

rendah dibandingkan single-sided ventilation.

Laju ventilasi merupakan banyaknya laju udara per-m3 yang melewati sistem bukaan ke dalam bangunan setiap jamnya. Laju ventilasi dapat diukur dengan menggunakan perhitungan Q = Cv.A.V.

Berdasarkan standard yang disarankan, kualitas udara pada ruangan kelas dinyatakan sangat baik bila konsentrasi CO2 ≤ 800 ppm dan dinyatakan baik bila

tidak melewati 1.000 ppm. Dan untuk mencapai kondisi tersebut, disarankan laju ventilasi berada pada kisaran 5l/s – 8 l/s (ASHRAE, BB 101, dan Ministry of Education).

Gambar

Gambar 2.1 Perbandingan ukuran bukaan dengan kecepatan rata-rata aliran udara.
Gambar 2.2 Single-sided ventilation (atas) dan cross ventilation (bawah).
Tabel 2.2 Efek senyawa gas CO 2
Gambar 2.3 CO 2  sebagai indikator sistem ventilasi di kelas.

Referensi

Dokumen terkait

Svojstva vunenih materijala opra- nih na 40 °C kroz tri ciklusa u vodi i vodenom ekstraktu lišća bršljana bez pomoćnog sredstva i uz pomoćno sredstvo (funkcionalne maramice)

Selain itu, sangat dianjurkan bahwa semua instruktur yang mempunyai level 3 harus dilibatkan secara intensif dalam pelatihan yang ada dalam organisasi dan juga untuk membimbing

12.30 WITA yakni Perkara Perceraian yang telah didaftarkan oleh Pembanding Fatrah Dai Binti Mohamad Dai tanggal 30 Maret 2010 Masehi bertepatan tanggal 14 Rabiul

Salah satunya yaitu web-based GIS yang merupakan aplikasi Sistem Informasi Geografis yang dapat menampilkan informasi data spasial maupun data atribut dengan menggunakan jaringan

Menurut Kepmenkes RI No.1197/MenKes/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit, Panitia Farmasi dan Terapi (PFT) adalah organisasi yang mewakili hubungan

Hubungan antara kemiringan lahan dengan kadar air tanah pada kedalaman 0-10 cm yang diukur pada jarak 1, 2,3 dan 4 m dari pohon kelapa sawit (setiap data merupakan rerata

Rahyono (2003) menyatakan intonasi sebuah bahasa memiliki keteraturan yang telah dihayati bersama oleh para penuturnya.Penutur sebuah bahasa tidak memiliki kebebasan yang

Puji syukur kehadiran Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayah-nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, yang berjudul “ Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi