REKONSTRUKSI PERTANAHAN PASCA
TSUNAMI DI PROVINSI ACEH DALAM
PERSPEKTIF HUKUM
DISERTASI
Untuk Memperoleh Gelar Doktor dalam Bidang Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Di bawah Pimpinan Rektor Universitas Sumatera Utara Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H., M.Sc (CTM)., Sp.A(K)
Untuk Dipertahankan Dihadapan Sidang Terbuka Senat Universitas Sumatera Utara
OLEH :
M A Z W A R
NIM. 118101007/HK
PROGRAM DOKTOR ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
REKONSTRUKSI PERTANAHAN PASCA
TSUNAMI DI PROVINSI ACEH DALAM
PERSPEKTIF HUKUM
DISERTASI
Untuk Memperoleh Gelar Doktor dalam Bidang Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Di bawah Pimpinan Rektor Universitas Sumatera Utara Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H., M.Sc (CTM)., Sp.A(K)
Untuk Dipertahankan Dihadapan Sidang Terbuka Senat Universitas Sumatera Utara
OLEH :
M A Z W A R
NIM. 118101007/HK
PROGRAM DOKTOR ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
LEMBAR PENGESAHAN
(Promosi Doktor)
Judul Disertasi : REKONSTRUKSI PERTANAHAN PASCA TSUNAMI DI PROVINSI ACEH DALAM PERSPEKTIF HUKUM
Nama Mahasiswa : Mazwar
Nomor Pokok : 118101007
Program Studi : Doktor (S3) Ilmu Hukum
Menyetujui, Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H, MS, CN Promotor
)
(Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum Kopromotor
) (Dr. Oloan Sitorus, S.H., MS Kopromotor
)
Ketua Program Studi,
(Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H
D e k a n
KOMISI PENGUJI :
Penguji
Prof. Dr. Tan Kamello, S.H., M.S
Penguji
Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H
Penguji
REKONSTRUKSI PERTANAHAN PASCA TSUNAMI DI PROVINSI ACEH DALAM PERSPEKTIF HUKUM
ABSTRAK
Mazwar1 Muhammad Yamin2Runtung3 Oloan Sitorus4
Peristiwa gempa bumi dan tsunami pada tanggal 26 Desember 2004 telah menimbulkan permasalahan kepemilikan hak atas tanah di Provinsi Aceh, karena peristiwa tersebut telah mengakibatkan meninggal/hilangnya masyarakat terutama pemilik tanah dan hilang, rusaknya fisik tanah serta dokumen pertanahan. Untuk mengembalikan administrasi pertanahan kepada kondisi semula, maka dilakukan rekonstruksi pertanahan melalui kegiatan pendaftaran tanah oleh tim ajudikasi RALAS.
Permasalahan dalam penelitian ini: (1) Bagaimana ketersediaan aturan hukum yang menjadi dasar dalam pelaksanaan rekonstruksi pertanahan pasca tsunami di Provinsi Aceh; (2) Bagaimana peranBPN dalam melaksanakan rekonstruksi pertanahan pasca tsunami di Provinsi Aceh; (3) Bagaimana partisipasi masyarakat dalam mendukung pelaksanaan rekonstruksi pertanahan pasca tsunami di Provinsi Aceh. Jenis penelitian ini adalah preskriptif dengan metode pendekatan hukum sosiologis (empiris) dan analisis data secara kualitatif.
Hasil penelitian ini menunjukkan kesimpulan bahwa aturan hukum yang dipergunakan dalam rekonstruksi pertanahan pasca tsunami di Provinsi Aceh adalah Keputusan Kepala BPN No. 114-II/2005 dan PERPU No. 2 Tahun 2007 (UU No. 48 Tahun 2007). Kedua aturan hukum tersebut belum memadai untuk dijadikan dasar dalam pelaksanaan rekonstruksi pertanahan. Belum memadai aturan hukum tersebut antara lain karena SK Kepala BPN No. 114-II/2005 tidak mengatur substansi penggantian sertipikat hilang. Substansi penggantian sertipikat hilang hanya ditemui dalam PERPU No. 2 Tahun 2007 (UU No. 48 Tahun 2007) namun PERPU tersebut baru diterbitkan pada saat rekonstruksi pertanahan telah berjalan lebih kurang tiga tahun dan tidak ditindaklanjuti dengan peraturan pelaksananya. Sedangkan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tidak dapat sepenuhnya diterapkan dalam rekonstruksi pertanahan pasca tsunami. Dampak dari permasalahan hukum tersebut mengakibatkan rekonstruksi pertanahan pasca tsunami di Provinsi Aceh tidak berjalan maksimal.
Badan Pertanahan Nasional (BPN) mempunyai peranan lebih besar dalam rekonstruksi pertanahan pasca tsunami di Provinsi Aceh, namun belum dilakukan secara maksimal. Peran BPN pada rekonstruksi pertanahan pasca tsunami tidak
1
Pegawai Negeri Sipil Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia.
2
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
4
hanya berkaitan dengan pelaksanaan teknis pendaftaran tanah, tetapi juga berperan dalam penyelamatan dokumen pertanahan, penetapan lokasi, mempasilitasi kesepakatan warga dan pelaksanaan pendaftaran tanah. Peran yang belum maksimal dilakukan oleh BPN dapat terlihat dalam pencapaian realisasi target kegiatan. Dari target yang telah direncanakan yaitu sebanyak 600.000 (enam ratus ribu bidang) bidang tanah, sampai berakhirnya kegiatan RALAS, BPN hanya mampu menyelesaikan sertipikat hak atas tanah sebanyak 231.316 (dua ratus tiga puluh satu ribu tiga ratus enam belas) bidang tanah.
Masyarakat mempunyai peranan penting dalam rekonstruksi pertanahan pasca tsunami di Provinsi Aceh, namum partisipasi masyarakat tersebut masih kurang. Masyarakat dan lembaga adat diikutsertakan dalam berbagai kegiatan rekonstruksi pertanahan baik dalam kegiatan kesepakatan warga maupun dalam setiap tahapan kegiatan pendaftaran tanah. Kurangnya partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan rekonstruksi pertanahan pasca tsunami di Provinsi Aceh, antara lain terlihat dari banyaknya masyarakat terutama pemilik tanah/ahli waris dan pihak yang berbatasan tidak hadir pada saat dilakukan penyuluhan, sosialiasi, penunjukan batas dan pengukuran; masyarakat tidak aktif atau kurang seksama dalam memperhatikan pengumuman data yuridis dan data fisik, serta terlambat menyampaikan keberatan/sanggahan kepada petugas Tim Ajudikasi.
Hasil penelitian ini merekomendasikan sebagai berikut: (1) Disarankan kepada Pemerintah dan DPR agar dalam Rancangan Undang-Undang Pertanahan (RUU Pertanahan) yang sedang dibahas untuk mencantumkan dalam bab khusus tentang penanganan masalah pertanahan sebagai dasar hukum dan pedoman bagi Kementerian Agraria dan Tata Ruang serta pihak/instansi terkait dalam melakukan rekonstruksi pertanahan di lokasi bencana alam seperti gempa bumi, tsunami dan bencana lainnya. (2) Disarankan kepada Kementerian Agraria dan Tata Ruang untuk membenahi dan menyediakan sarana dan prasarana berupa gedung khusus tempat/ruang khususpada Kanwil BPN Provinsi dalam rangka penyelamatan dokumen/arsip Kantor Pertanahan, terutama buku tanah, surat ukur dan alas hak sebagai dasar penerbitan sertipikat sebagai antisipasi terhadap kerusakan/kehilangan dokumen pertanahan apabila terjadi bencana alam seperti tsunami di Provinsi Aceh.
Back up data pada Kanwil BPN Provinsi tersebut dapat berbentuk “Bank Data
Pertanahan (BDP)”. Melaksanakan pendaftaran tanah yang belum selesai dilakukan melalui kegiatan RALAS. Penyelesaian sisa kegiatan RALAS secara gratis, tidak hanya melalui kegiatan PRONA, tetapi juga melalui kegiatan-kegiatan lain seperti sertipikasi nelayan, UKM (Usaha Kecil dan Menengah) dan lain sebagainya. (3) Disarankan kepada Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Instansi terkait, Pemerintah Daerah termasuk aparatur gampong dan Mukim agar dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan memberikan penyuluhan dan pemahaman kepada masyarakat tentang pentingnya menjaga keselamatan bukti hak dan surat-surat tanah sehingga seminimal mungkin dapat dihindari kerusakan dan kehilangan saat bencana alam terjadi.
POST-TSUNAMI LAND RECONSTRUCTION IN ACEH PROVINCE IN LEGAL PERSPECTIVE
ABSTRACT
Mazwar1 Muhammad Yamin2 Runtung Oloan Sitorus
3 4
The earthquake and tsunami occured on December 26, 2004 has resulted in the problem of the ownership of right to land in Aceh Province because the event has caused many people died or lost, especially the land owner, and the physically destroyed lands and their documents. To restore the land administration, a land reconstruction was implemented through land registration activity conducted by RALAS adjudication team.
The problems raised in this study were: 1) how the existing legal regulation that becomes the basis in implementing the post-tsunami land reconstruction in Aceh Province was used, 2) what role was played by BPN (National Land Board) in implementing the post-tsunami land reconstruction in Aceh Province, 3) how did community participation play its role in supporting the implementation of post-tsunami land reconstruction in Aceh Province. This is a prescriptive study with sociological (empirical) legal approach. The data obtained were qualitatively analyzed.
The result of this study showed that the legal regulation used in the implementation of post-tsunami land reconstruction in Aceh Province was the Decree of the Head of National Land Board No. 114-II/2005 and Regulation in Place of Legislation (PERPU) No.2/2007 (Law No. 48/2007). The two legal regulations was not adequate to be the basis in the implementation of land reconstruction because the Decree of the Head of National Land Board No. 114-II/2005 does not regulate the substance of the replacement of lost certificate. The substance of the replacement of lost certificate is only found in the Regulation in Place of Legislation (PERPU) No.2/2007 but the PERPU was issued when the land reconstruction had lasted for about three years and it was not followed up with its regulation of implementation, while the Government Regulation No.24/1997 could not fully applied in the post-tsunami land reconstruction. The impact brought by the legal problem resulted in the less-maximally implemented post-tsunami land reconstruction in Aceh Province. The BPN had a bigger role in the post-tsunami land reconstruction in Aceh Province, the role was not maximally implemented.
__________________________ 1
Staff (Civil Servant) of National Land Board, Republic of Indonesia 2
Professor, Faculty of Law, University of Sumatera Utara 3
Professor, Faculty of Law, University of Sumatera Utara 4
The role of the BPN in the post-tsunami land reconstruction was only related to the technical implementation of land reegistration, but it also played a role in safeguarding the land documents, location determination, facilitating the agreement made by the community members and the implementation of land registration. The non-maximal role played by the National Land Board can be seen through the achievement realization of the target of the activity. Of the targetted 600,000 lots of land planned, up to the end of RALAS activity, the BPN could only accomplish providing the land right certificate for 231,316 (two hundred thirty one thousand three hundred sixteen) lots of land.
The community had an important role in the post-tsunami land reconstruction in Aceh Province, but the community participation was still inadequate. The community members and Adat Institutions were involved in various land reconstruction activitieseither in the community agreement activity or in any stage of land registration activity. The less participation of community in the implementation of post-tsunami land reconstruction in Aceh Province was seen among other things through many commuity members especially the land owners/ their heirs and those who shared the land boundary did not attend when the extension, socialization, boundary determination, and measurement activities were done; the community members were not active or did not pay serious attention to the announcement of the juridical and physical data, and they were late to express their objection/complaint to the adjudication team members.
The result of this study recommended that (1) the government and the local legislative members are suggested to state in a special chapter about the handlings of land problem as the legal basis in the Law on Land which was still under discussion and as the guidance for the Ministry of Agraria and Land Use and the other related parties/agencies involved in the implementation of land construction in the locations of natural disasters such as earthquake, tsunami and the other kinds of disasters, (2) The Ministry of Agraria and Land Use is suggested to improve and provide facility and infrastructure in the form of special building or place/room in the Regional Office of Provincial BPN to safe the documents/archieves of the Land Office specifically the land book, letter of measurement, and the basic right as the basis of certificate issuance as the anticipation of the damage/loss of land documents when natural disaster occured such as the tsunami occured in Aceh Province. To accomplish the remaining activities of RALAS was free of charge through not only the PRONA activity but also through fishermen certification, UKM (small and medium scale businesses) and so forth, (3) The Ministry of Agraria and Land Use, Related Agencies and Local Government including “gampong” and “mukim” (village level) apparatuses are suggested, in any social activitiy, to provide extension and understanding to the community members on the importance of safely keeping the the evidence of the right of land ownership such as land documents that the damage and loss of those documents can probably be avoided and minimized when the natural disaster occurs.
KATA PENGANTAR
Bismillaahir rahmaanir rahim. Alhamdu lillaahi rabbil ’aalamiin. Puji syukur
penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat
menyelesaikan disertasi ini. Selawat dan salam kepada junjungan Nabi Besar
Muhammad SAW, sebagai pembawa rahmat dan pesan keilmuaan kepada manusia.
Penulis menyadari bahwa selama mengikuti pendidikan pada Program Doktor
(S3) Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara dan menyelesaikan tulisan disertasi ini,
menghadapi berbagai tantangan dan hambatan, namun berkat rahmat dan petunjuk
Allah SWT serta bantuan yang diberikan oleh berbagai pihak baik langsung maupun
tidak langsung baik secara moril maupun materil, semua hambatan dan tantangannya
dapat penulis hadapi dan akhirnya Alhamdulillah disertasi ini dapat penulis
pertanahankan dihadapan Rektor, Promotor, Kopromotor, dewan penguji dan Guru
Besar serta undangan yang hadir.
Besarnya arti bantuan dari berbagai pihak tersebut, dan dengan diawali ucapan
Alhamdu lillaahi rabbil ’aalamiin, dengan segala ketulusan hati pada kesempatan ini
penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc, (CTM), Sp.A (K), selaku
Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan
kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Doktor
2. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum., Dekan Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara dan selaku Kopromotor. Walaupun kesibukan dalam tugas-tugas
sebagai Dekan, beliau masih menyempatkan diri untuk membimbing dan
menstranfer ilmu pengetahuan kepada penulis.
3. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H., Ketua Program Doktor Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan selaku penguji. Sebagai Ketua
Program, beliau telah banyak memberikan kesempatan dan kemudahan pelayanan
akademik, sedangkan selaku penguji beliau banyak memberikan arahan dan
masukan yang konstruktif dalam penulisan disertasi ini.
4. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H., M.S., C.N., selaku Promotor. Dengan
penuh ketulusan, beliau banyak memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis
terutama dibidang keagrarian. Ilmu keagrarian yang beliau berikan akan
membawa manfaat bagi penulis sebagai praktisi agraria dan dalam mengabdi pada
instansi tempat penulis bekerja.
5. Bapak Dr. Oloan Sitorus, S.H., M.S,. selaku Kopromotor. Walaupun
kesibukannya sebagai Ketua Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN)
Yokyakarta, beliau masih menyempatkan diri secara aktif membimbing penulis
dalam penulisan disertasi ini baik langsung maupun melalui telepon dan e-mail.
Beliau adalah Lae saya, sebagai seorang sahabat yang penuh ketulusan dan
kesetiaan, dorongan dan motivasi yang diberikan tidak henti-hentinya kepada
6. menyelesaiakan disertasi ini. Penulis sangat terkesan dengan tekat beliau yang
selalu beliau sampaikan “Lae ku harus jadi Doktor”.
7. Bapak Prof. Dr. H. Tan Kamello, S.H., M.S., Sekretaris Program Doktor Ilmu
Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, dan selaku penguji. Sebagai
Sekretaris Program, beliau telah banyak memberikan kesempatan dan kemudahan
dalam pelayanan akademik sedangkan selaku penguji beliau banyak memberikan
arahan dan masukan yang konstruktif dalam penulisan disertasi ini.
8. Bapak Prof. Dr. Ilyas Ismail, S.H.,M.Hum., selaku penguji. Banyak pengetahuan
yang beliau tansferkan kepada penulis termasuk meminjamkan beberapa leteratur
kepada penulis terutama yang berkaitan dengan penulisan disertasi ini. Beliau
sangat aktif dalam setiap pengujian dan memberikan arahan dan masukan yang
konstruktif dalam penulisan disertasi ini.
9. Bapak dan Ibu Guru Besar serta Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara khususnya Program Doktor Ilmu Hukum yang telah memberikan ilmu
pengetahuan selama mengikuti pendidikan Program Doktor. Ilmu pengetahuan
yang diberikan sangat bermanfaat bagi penulis terutama dalam menyelesaikan
disertasi ini.
10.Para pegawai/staf pada Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara yang banyak membantu penulis dalam memberikan
pelayanan akademik, sehingga memotivasi, dan meperlancar administrasi selama
mengikuti pendidikan pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Sumatera
11.Kepada teman-teman peserta Program Studi Doktor (S3) Ilmu Hukum Universitas
Sumatera Utara angkatan 2011/2012 yang selalu berdiskusi dan meminjamkan
beberapa leteratur kepada penulis terutama yang berkaitan dengan penulisan
disertasi ini, semoga tetap terjalin silaturrahmi diantara kita semua.
12.Bapak/ibu dan rekan sejawat di tempat penulis bekerja, yang telah memberikan
semangat dan motivasi kepada penulis dalam mengikuti pendidikan Program
Doktor Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara hingga penyelesaian disertasi
ini.
Ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan melalui lubuh hati
yang paling dalam kepada Ibunda dan ayahnda tercinta; almarhumah Hj. Nur’aina
dan Almarhum Nyak Maneh, yang tak pernah berhenti menyayangi, membesarkan
dan mendidik penulis. Perjuangan dan doa-doa beliau telah mengantarkan penulis
untuk menikamati kehidupan seperti saat ini. Predikat Doktor dibidang ilmu hukum
ini penulis persembahkan kepada kedua orang tua penulis sebagai rasa hormat dan
terima kasih kepada kedua beliau diiringi doa yang tulus penulis panjatkan kehadirat
Allah SWT, Ya Allah, ampunilah dosa kedua orang tuaku, limpahkanlah rahmat dan
hidayah-Mu kepada keduanya, jadikanlah kedua orang tuaku sebagai orang yang
Engkau ridhoi, berikanlah tempat yang baik disisi Mu, amin yarabbal alamin.
Begitu juga penulis sampaikan terima kasih yang tidak terhingga kepada
mertua penulis, H.T. Zainal Arifin dan Hj. Putri Kartini. Atas doa, bimbingan dan
dukungan yang beliau berikan, penulis dapat menyelesaikan pendidikan Program
Teristimewa ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada isteri tercinta
Hj. Cut Ida, S.Ag dan anak-anakku tersayang; Rahmi Rimanda, Mirda Arifa, Fauzan
Maulana dan Fuad Zikrillah. Dukungan dalam bentuk motivasi, kesabaran yang
selalu ditujukkan serta dorongan dalam bentuk doa selalu diberikan oleh istri tercinta
dan anak-anakku tersayang sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan
Program Doktor (S3) Ilmu Hukum ini dengan baik dan tepat waktu. Mereka adalah
sumber motivator yang ulung dan hebat dalam setiap perjuangan penulis. Predikat
Doktor yang penulis sandang ini semoga dapat memotivasi anak-anakku untuk
menempuh pendidikannya, amin yarabbal alamin.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada kakak, abang dan
adik-adik penulis yang telah banyak memberikan dorongan dan bantuan kepada penulis
sehingga penulis dapat menyelesaikan pekuliahan Program Doktor Ilmu Hukum dan
penulisan disertasi ini. Terkhusus kepada adinda Asril, S.E., dan Nurul Aina, S.H.,
yang tanpa pamrih telah membantu penulis sejak awal perkulihaan hingga
penyelesaian disertasi ini.
Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah
memberikan saran dan pendapat ilmiah sebagai bahan masukan penulisan disertasi ini
yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Ucapan terima kasih yang telah penulis sampaikan di atas, disertai dengan
harapan yang tulus, semoga bantuan yang telah diberikan kepada penulis menjadi
amal ibadah, berguna bagi bangsa dan negara serta mendapatkan limpahan rahmat
Akhirnya penulis menyampaikan permohonan maaf kepada semua pihak yang
tidak dapat penulis sebutkan dalam pengantar ini yang sebenarnya memiliki andil
dalam proses penyelesaian studi dan penulisan disertasi ini, semoga Allah SWT
membalas amal baik Bapak/Ibu dan Saudara/i.
Medan, Desember 2014
Penulis,
DAFTAR ISI
DAFTAR SINGKATAN……….. xxi
BAB I PENDAHULUAN……… 1 Teoretis dan Kerangka Konsepsional...……….. 15
1. Kerangka Pengumpulan Data... 40
7. Analisis Data...………. 44
G. Asumsi……
………. 46
H. Sistematika
Penulisan……….. 47
BAB II KETERSEDIAAN ATURAN HUKUM YANG MENJADI DASAR DALAM PELAKSANAAN REKONSTRUKSI PERTANAHAN PASCA TSUNAMI
DI PROVINSI ACEH ……….. 50
A. Deskripsi
Lokasi Penelitian……… 50
1. Kota Banda
Aceh………. 51
2. Kabupaten
Aceh Besar……… 53
B. Dampak
Bencana Tsunami di Provinsi Aceh………. 54
1. Gambaran
dan Dampak Bencana…..………... 54
2. Upaya
C. Rekonstruksi Pertanahan………. 65
1. Maksud dan
Tujuan RALAS……… 67
2. Komponen
dan Lokasi Kegiatan RALAS……… 71
3. Konsolidasi
Tanah……… 73
D. Ketersediaan
Aturan Hukum Rekonstruksi Pertanahan
Pasca Tsunami di Provinsi Aceh……… 88
1. Pengaturan
Rekonstruksi Pertanahan dalam
Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 114-II/2005………. 111
a. Manual
Kesepakatan Warga……… 114
b. Manual
Teknis Pendaftaran Tanah……….. 125
2. Pengaturan
Rekonstruksi Pertanahan dalam
UU No. 48 Tahun 2007……… 134
BAB III PERANAN BADAN PERTANAHAN NASIONAL
MELAKSANAKAN REKONSTRUKSI PERTANAHAN
PASCA TSUNAMI DI PROVINSI ACEH……… 157
A. Struktur
Lembaga Pertanahan………….………... 157
1. Dasar
Pembentukan Lembaga Pertanahan ………... 157
2. Administrasi
Pertanahan………. 167
B. Struktur
Lembaga Rekonstruksi Pertanahan……….. 172
1. Dasar
Pembentukan RALAS dan Panitia Ajudikasi .. 172
2. Keterlibatan
Pihak-pihak Lain dalam Kegiatan
RALAS……… 178
C. Peranan
Badan Pertanahan Nasional dalam
Melaksanakan Rekonstruksi Pertanahan Pasca Tsunami
1. Melakukan Rekonstruksi Dokumen Pertanahan……. 188
2. Pelaksanaan
Pendaftaran Tanah Berbasis
Masyarakat……….. 194
a. Tahap
Penetapan Lokasi……….. 198
b. Tahap
Kesepakatan Warga………... 199
c. Tahap
Kegiatan Pendaftaran Tanah………. 203
3. Penyelesaian
Permasalahan dalam Rekonstruksi
Pertanahan……… 224
a.
Hambatan-hambatan dalam Pelaksanaan
Kegiatan RALAS dan Solusi……… 224
b. Penyelesaian
Pendaftaran Tanah Pasca Kegiatan
RALAS………. 232
BAB IV PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM MENDUKUNG PELAKSANAAN REKONSTRUKSI PERTANAHAN
A. Ruang Lingkup Partisipasi………. 237
B. Masyarakat
dan Lembaga Adat Aceh………. 246
C. Budaya Adat
Aceh dan Kearifan Lokal……….. 257
D. Partisipasi
Masyarakatdalam Mendukung Pelaksanaan Rekonstruksi
Pertanahan……… 269
1. Peran
Lembaga Adat Aceh dalam Rekonstruksi
Pertanahan……… 271
2. Pelaksanaan
Partisipasi Masyarakat……… 279
3.
Hambatan-hambatan dan Solusi dalam Partisipasi
Masyarakat……….. 308
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN..……….. 316
A. Kesimpulan
………. 316
B. Saran………
………... 318
DAFTAR PUSTAKA……… 321
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel II.1. Kerusakan Bidang Tanah Sebagai Akibat dari Bencana
Tsunami ……….. 51
Tabel II.2. Jumlah Pengungsi per Kabupaten/Kota……….. 57
Tabel II.3. Kebijakan Pemulihan Aspek Yuridis Bidang Tanah
Berdasarkan Variasi Permasalahan yang Dihadapi…………. 128
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar II.1. Jumlah Pengungsi per 21 Maret 2005……….. 57
Gambar II.2. Tahapan Penanggulangan Dampak Bencana Alam Gempa Bumi dan Gelombang Tsunami dan Rencana Rehabilitasi dan Rekonstruksi di Provinsi Aceh dan
Nias, Sumatera Utara……… 62
Gambar III.1. Skema Proses Penyelamatan Dokumen Pertanahan……. 191
Gambar III.2. Diagram Alur Proses Pendaftaran Tanah Secara
Sistematis Berbasis Masyarakat……….... 195
Gambar IV.1. Tangga Partisipasi Menurut Arnstein………... 242
Gambar IV.2. Langkah-langkah Kegiatan Membangun Kesepakatan
Warga……… 284
Gambar IV.3. Identifikasi Bidang Tanah pada Peta Kerja Identifikasi
Bidang Tanah……… 286
DAFTAR ISTILAH
Aceh Lhee Sagoe : Aceh Tiga Sagi
Aceh Rayeuk :
Administrative agencies : Badan-badan administrasi Aceh Besar
Al-hajaru al-asasiyyu : Batu pondasi
Antecedent conditions : Kondisi yang melatar belakanginya
Applied theory : Teori yang diterapkan
Arable land : Tanah sawah
Asl al-bina : Dasar bangunan
Beschikkingsgebied : Wilayah kekuasaan
Bijhouding : Kegiatan Pemeliharaan Data Pendaftaran Tanah
Blang : Persawahan
Cadastre : Pendaftaran tanah
Capistratum : Pendaftaran tanah
Catastro : Pendaftaran tanah
Community Driven
Adjudication : Ajudikasi berbasis masyarakat
Continuous recording : Rekaman yang berkesinambungan
Contradiktoire delimitatie: Suatu pengukuran lapangan yang disaksikan dan
ditandatangani oleh pemilik tanah yang berbatasan
langsung dengan tanah yang dimohonkan tersebut
Culture : Budaya hukum
Disfunctional conflict : Konflik disfungsional
Dispute : Sengketa
Economically viable : Kelayakan ekonomi
Emergency response : Tanggap darurat
Environmentally sound : Ramah lingkungan
Felt conflict : Konflik yang dirasakan
Field Research : Penelitian lapangan
Freies ermessen : Tindakan yang sewenang-wenang
Functional conflict : Konflik fungsional
Gampong : Kesatuan wilayah adat terkecil di Aceh yang berada
di bawah mukim
General land banking : Bank tanah umum
Glee : Gunung
Good community : Komunitas masyarakat yang baik
Grand theory : Teori dasar
Human capital : Kapabilitas penghidupan manusia
Improved food security : Meningkatnya sekuritas pangan
Imuem : Imam
Inbreng : Penyertaan dalam modal perusahaan
Inconsistent claim : Tuntutan yang tidak selaras
Increased well-being : Kesejahteraan yang meningkat
Individualimplementing
body : Badan pelaksana individual
Inspraak : Keberatan
Institution : Pranata
Interdependence : Ketergantungan tugas
Jurong : Lorong
Kadaster : Pendaftaran tanah
Kadastrale : Pendaftaran tanah
Keuciek : Kepala desa
Kukaku seiri : Konsolidasi tanah
Land owner : Pemilik tanah
Land readjustment : Konsolidasi tanah
Land reduction : Sumbangan tanah
Land registration : Pendaftaran tanah
Landrente : Pajak bumi
Land sharing : Sumbangan tanah
Law in book :Peraturan perundang-undangan yang terdapat dalam
kitab-kitab hukum
Legal approval : Pengakuan hak
Legal certainty : Kepastian hukum
Legal culture : Budaya hukum
Livelihood outcomes : Hasil-hasil penghidupan
Livelihood strategy : Strategi penghidupan
Living law : Hukum yang hidup
Local public bodies : Badan-badan publik lokal
Lot contribution : Sumbangan tanah
Maintenance : Kegiatan Pemeliharaan Data Pendaftaran Tanah
Meugoe :Bersawah
Meunasah : Masjid/musholla
More income : Pendapatan yang meningkat
Mukim : Persekutuan atau federasi dari beberapa gampong
di Aceh
Natural disaster : Bencana alam
Netwoking system : Sistem jaringan
Normal condition : Keadaan normal
Ordinary condition : Keadaan biasa
Participatory planning : Rencana partisipasi
Perceived conflict : Konflik yang dipersepsikan
Persoonlijke recht : Hak perorangan atau hak pribadi
Peukan : Pasar
Peutua Beuna : Orang tua yang selalu berkata benar
Planning CityAct : Undang-Undang Perencanaan Kota
Policies : Kebijakan
Processes : Proses
Project land banking : Bank tanah khusus
Public Administration : Administrasi Negara
Qawanin al-bilad
al-asasiyyah : Undang-undang dasar negara
Rechtsrelatie : Hubungan hukum
Rechtsstaat : Negara hukum
Rechtscadaster : Pendaftaran tanah
Recht zekerheit : Kepastian hukum
Reclaiming : Tuntutan kembali
Record :Rekaman
Reconstruction of Aceh
Land Administration
System : Rekonstruksi Sistem Administrasi Pertanahan Aceh
Redesign : Merancang kembali
Reduced vulnerability : Tereduksinya kerapuhan
Regeling : Peraturan
Reine rechtslehre : Ajaran hukum murni
Rescue team : Tim penyelamatan
Resources : Sumber daya
Right : Hak
Seuramo Mekkah : Serambi Mekkah
Social capital : Kapital sosial
Space : Data spasial
Specialland banking : Bank tanah khusus
Structure : Struktur hukum
Substance : Substansi hukum
Sustainable livelihood
approach : Pendekatan penghidupan yang berkelanjutan
Tambo : Bedug
Total purchase scheme : Skema pembelian total
Trafficking : Perdagangan manusia
Tumpok : Kelompok perumahan penduduk
Ujong : Ujung, sebutan untuk sebuah tempat yang terletak
di ujung kampung atau untuk menyebut tanjung
Ureuëng Acèh : Suku Aceh
Vermogens recht : Hak kekayaan
Vulnerability context : Konteks kerapuhan
Wisdom : Kearifan
Work schedule : Jadwal kerja
World Bank : Bank Dunia
Zakelijke rechten : Hak-hak kebendaan
DAFTAR SINGKATAN
ADB : Asean Development Bank
APBK : Anggaran Pendapatan dan Belanja Kota (APBK
APBN : Anggaran Pendapatan Belanja Negara
AS : Amerika Serikat
ASDP : Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan
BAKORNAS PBP : Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana
dan Penanganan Pengungsi
BAPEL : Badan Pelaksana
BAPPEDA : Badan Pembangunan dan Pendapatan Daerah
BAPPENAS : Badan Pembangunan dan Perencanaan Nasional
BPHN : Badan Pembinaan Hukum Nasional
BPHTB : Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
BPN RI : Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
BPS : Badan Pusat Statistik
BRR : Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi
BUMN : Badan Usaha Milik Negara
CDA : Community Driven Adjudication
CGI : Consultative Group on Indonesia
DIPA : Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran
DPRD : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
DPR RI : Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
FMR : Financial Management Report
GH : Gardu Hubung
GIM : Graphical Index Mapping
GPS : Global Positioning System
HAM : Hak Asasi Manusia
ICR : Implementation Completion Report
IKM : Industri Kecil dan Menengah
IKMN : Inventaris Kekayaan Milik Negara
ILAP : Indonesian Land Administration Project
IMTAQ : Iman dan Taqwa
IPA : Instalasi Pengolahan Air
IPLT : Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja
IPTEK : Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
JICA : Japan International Cooperation Agency
JTM : Jaringan Tegangan Menengah
JTR : Jaringan Tegangan Rendah
JUKNIS : Petunjuk Teknis
KANWIL : Kantor Wilayah
KPA : Konsorsium Pembaruan Agraria
KPTK : Koordinator Pelaksana Teknis Kegiatan
KT : Konsolidasi Tanah
KUA : Kantor Urusan Agama
KUHPerdata : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
LAKA : Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh
LOC : Land Office Computerization
LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat
MA : Madrasah Aliyah
MAA : Masyarakat Adat Aceh
MDTF : Multy Donor Trust Fund
MENKO KESRA : Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat
MI : Madrasah Ibtidaiyah
MoU : Memorandum of Understanding
Darussalam
NAD : Nanggroe Aceh Darussalam
NKRI : Negara Kesatuan Republik Indonesia
PA : Pengguna Anggaran
PBB : Pajak Bumi dan Bangunan
PEMDA : Pemerintah Daerah
PERGUB : Peraturan Gubernur
PERPU : Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
PKB : Pemeriksaan Kendaraan Bermotor
PLN : Perusahaan Listrik Negara
PLTD : Pembangkit Listrik Tenaga Diesel
PM : Perdana Menteri
POKMASDARTIBNAH : Kelompok Masyarakat Sadar Tertib Pertanahan
PPAIW : Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf
PPAN : Program Pembaharuan Agraria Nasional
PPAT : Pejabat Pembuat Akta Tanah
PPI : Pangkalan Pendaratan Ikan
PPK : Program Pengembangan Kecamatan
PRONA : Proyek Operasi Nasional Agraria
PT : Perguruan Tinggi
PUSKESMAS : Pusat Kesehatan Masyarakat
P2KP : Program Pengentasan Kemiskinan Perkotaan
P4T : Penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan
tanah
RA : Raudhatul Atfal
RALAS : Reconstruction of Aceh Land Administration System
RI : Republik Indonesia
RS : Rumah Sakit
RTR : Rencana Tata Ruang
R2WANS : Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah Aceh dan
Nias-Sumatera Utara
R3MAS : Rencana Rehabilitasi dan Rekonstruksi Masyarakat Aceh
dan Sumatera Utara
SATKORLAK PBP : Satuan Koordinasi Pelaksana Penanggulangan Bencana dan
Penanganan Pengungsi
SATLAKSUS : Satuan Pelaksana Khusus
SD : Sekolah Dasar
SDA : Sumber Daya Alam
SDM : Sumber Daya Manusia
SEKJEN PBB : Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa
SIMTANAS : Sistem Informasi Pertanahan Nasional
SKPA : Satuan Kerja Pemerintah Aceh
SLB : Sekolah Luar Biasa
SMK : Sekolah Menengah Kejuruan
SMP : Sekolah Menengah Pertama
SMU : Sekolah Menengah Umum
SPPTBPF : Surat Pernyataan Pemasangan Tanda Batas dan Penguasaan
Fisik
SR : Sambungan Rumah
STPDN : Sekolah Tinggi Ilmu Pemerintahan Dalam Negeri
STUP : Sumbangan Tanah Untuk Pembangunan
SU : Surat Ukur
TUPA : Tim Penyelesaian Ajudikasi
TK : Taman Kanak-kanak
TPA : Tempat Pembuangan Akhir
TPI : Tempat Pelelangan Ikan
UKM : Usaha Kecil dan Menengah
UKMP : Unit Kendali Manajemen Proyek
UN : United Nation
UPK : Unit Pelaksana Kegiatan
REKONSTRUKSI PERTANAHAN PASCA TSUNAMI DI PROVINSI ACEH DALAM PERSPEKTIF HUKUM
ABSTRAK
Mazwar1 Muhammad Yamin2Runtung3 Oloan Sitorus4
Peristiwa gempa bumi dan tsunami pada tanggal 26 Desember 2004 telah menimbulkan permasalahan kepemilikan hak atas tanah di Provinsi Aceh, karena peristiwa tersebut telah mengakibatkan meninggal/hilangnya masyarakat terutama pemilik tanah dan hilang, rusaknya fisik tanah serta dokumen pertanahan. Untuk mengembalikan administrasi pertanahan kepada kondisi semula, maka dilakukan rekonstruksi pertanahan melalui kegiatan pendaftaran tanah oleh tim ajudikasi RALAS.
Permasalahan dalam penelitian ini: (1) Bagaimana ketersediaan aturan hukum yang menjadi dasar dalam pelaksanaan rekonstruksi pertanahan pasca tsunami di Provinsi Aceh; (2) Bagaimana peranBPN dalam melaksanakan rekonstruksi pertanahan pasca tsunami di Provinsi Aceh; (3) Bagaimana partisipasi masyarakat dalam mendukung pelaksanaan rekonstruksi pertanahan pasca tsunami di Provinsi Aceh. Jenis penelitian ini adalah preskriptif dengan metode pendekatan hukum sosiologis (empiris) dan analisis data secara kualitatif.
Hasil penelitian ini menunjukkan kesimpulan bahwa aturan hukum yang dipergunakan dalam rekonstruksi pertanahan pasca tsunami di Provinsi Aceh adalah Keputusan Kepala BPN No. 114-II/2005 dan PERPU No. 2 Tahun 2007 (UU No. 48 Tahun 2007). Kedua aturan hukum tersebut belum memadai untuk dijadikan dasar dalam pelaksanaan rekonstruksi pertanahan. Belum memadai aturan hukum tersebut antara lain karena SK Kepala BPN No. 114-II/2005 tidak mengatur substansi penggantian sertipikat hilang. Substansi penggantian sertipikat hilang hanya ditemui dalam PERPU No. 2 Tahun 2007 (UU No. 48 Tahun 2007) namun PERPU tersebut baru diterbitkan pada saat rekonstruksi pertanahan telah berjalan lebih kurang tiga tahun dan tidak ditindaklanjuti dengan peraturan pelaksananya. Sedangkan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tidak dapat sepenuhnya diterapkan dalam rekonstruksi pertanahan pasca tsunami. Dampak dari permasalahan hukum tersebut mengakibatkan rekonstruksi pertanahan pasca tsunami di Provinsi Aceh tidak berjalan maksimal.
Badan Pertanahan Nasional (BPN) mempunyai peranan lebih besar dalam rekonstruksi pertanahan pasca tsunami di Provinsi Aceh, namun belum dilakukan secara maksimal. Peran BPN pada rekonstruksi pertanahan pasca tsunami tidak
1
Pegawai Negeri Sipil Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia.
2
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
4
hanya berkaitan dengan pelaksanaan teknis pendaftaran tanah, tetapi juga berperan dalam penyelamatan dokumen pertanahan, penetapan lokasi, mempasilitasi kesepakatan warga dan pelaksanaan pendaftaran tanah. Peran yang belum maksimal dilakukan oleh BPN dapat terlihat dalam pencapaian realisasi target kegiatan. Dari target yang telah direncanakan yaitu sebanyak 600.000 (enam ratus ribu bidang) bidang tanah, sampai berakhirnya kegiatan RALAS, BPN hanya mampu menyelesaikan sertipikat hak atas tanah sebanyak 231.316 (dua ratus tiga puluh satu ribu tiga ratus enam belas) bidang tanah.
Masyarakat mempunyai peranan penting dalam rekonstruksi pertanahan pasca tsunami di Provinsi Aceh, namum partisipasi masyarakat tersebut masih kurang. Masyarakat dan lembaga adat diikutsertakan dalam berbagai kegiatan rekonstruksi pertanahan baik dalam kegiatan kesepakatan warga maupun dalam setiap tahapan kegiatan pendaftaran tanah. Kurangnya partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan rekonstruksi pertanahan pasca tsunami di Provinsi Aceh, antara lain terlihat dari banyaknya masyarakat terutama pemilik tanah/ahli waris dan pihak yang berbatasan tidak hadir pada saat dilakukan penyuluhan, sosialiasi, penunjukan batas dan pengukuran; masyarakat tidak aktif atau kurang seksama dalam memperhatikan pengumuman data yuridis dan data fisik, serta terlambat menyampaikan keberatan/sanggahan kepada petugas Tim Ajudikasi.
Hasil penelitian ini merekomendasikan sebagai berikut: (1) Disarankan kepada Pemerintah dan DPR agar dalam Rancangan Undang-Undang Pertanahan (RUU Pertanahan) yang sedang dibahas untuk mencantumkan dalam bab khusus tentang penanganan masalah pertanahan sebagai dasar hukum dan pedoman bagi Kementerian Agraria dan Tata Ruang serta pihak/instansi terkait dalam melakukan rekonstruksi pertanahan di lokasi bencana alam seperti gempa bumi, tsunami dan bencana lainnya. (2) Disarankan kepada Kementerian Agraria dan Tata Ruang untuk membenahi dan menyediakan sarana dan prasarana berupa gedung khusus tempat/ruang khususpada Kanwil BPN Provinsi dalam rangka penyelamatan dokumen/arsip Kantor Pertanahan, terutama buku tanah, surat ukur dan alas hak sebagai dasar penerbitan sertipikat sebagai antisipasi terhadap kerusakan/kehilangan dokumen pertanahan apabila terjadi bencana alam seperti tsunami di Provinsi Aceh.
Back up data pada Kanwil BPN Provinsi tersebut dapat berbentuk “Bank Data
Pertanahan (BDP)”. Melaksanakan pendaftaran tanah yang belum selesai dilakukan melalui kegiatan RALAS. Penyelesaian sisa kegiatan RALAS secara gratis, tidak hanya melalui kegiatan PRONA, tetapi juga melalui kegiatan-kegiatan lain seperti sertipikasi nelayan, UKM (Usaha Kecil dan Menengah) dan lain sebagainya. (3) Disarankan kepada Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Instansi terkait, Pemerintah Daerah termasuk aparatur gampong dan Mukim agar dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan memberikan penyuluhan dan pemahaman kepada masyarakat tentang pentingnya menjaga keselamatan bukti hak dan surat-surat tanah sehingga seminimal mungkin dapat dihindari kerusakan dan kehilangan saat bencana alam terjadi.
POST-TSUNAMI LAND RECONSTRUCTION IN ACEH PROVINCE IN LEGAL PERSPECTIVE
ABSTRACT
Mazwar1 Muhammad Yamin2 Runtung Oloan Sitorus
3 4
The earthquake and tsunami occured on December 26, 2004 has resulted in the problem of the ownership of right to land in Aceh Province because the event has caused many people died or lost, especially the land owner, and the physically destroyed lands and their documents. To restore the land administration, a land reconstruction was implemented through land registration activity conducted by RALAS adjudication team.
The problems raised in this study were: 1) how the existing legal regulation that becomes the basis in implementing the post-tsunami land reconstruction in Aceh Province was used, 2) what role was played by BPN (National Land Board) in implementing the post-tsunami land reconstruction in Aceh Province, 3) how did community participation play its role in supporting the implementation of post-tsunami land reconstruction in Aceh Province. This is a prescriptive study with sociological (empirical) legal approach. The data obtained were qualitatively analyzed.
The result of this study showed that the legal regulation used in the implementation of post-tsunami land reconstruction in Aceh Province was the Decree of the Head of National Land Board No. 114-II/2005 and Regulation in Place of Legislation (PERPU) No.2/2007 (Law No. 48/2007). The two legal regulations was not adequate to be the basis in the implementation of land reconstruction because the Decree of the Head of National Land Board No. 114-II/2005 does not regulate the substance of the replacement of lost certificate. The substance of the replacement of lost certificate is only found in the Regulation in Place of Legislation (PERPU) No.2/2007 but the PERPU was issued when the land reconstruction had lasted for about three years and it was not followed up with its regulation of implementation, while the Government Regulation No.24/1997 could not fully applied in the post-tsunami land reconstruction. The impact brought by the legal problem resulted in the less-maximally implemented post-tsunami land reconstruction in Aceh Province. The BPN had a bigger role in the post-tsunami land reconstruction in Aceh Province, the role was not maximally implemented.
__________________________ 1
Staff (Civil Servant) of National Land Board, Republic of Indonesia 2
Professor, Faculty of Law, University of Sumatera Utara 3
Professor, Faculty of Law, University of Sumatera Utara 4
The role of the BPN in the post-tsunami land reconstruction was only related to the technical implementation of land reegistration, but it also played a role in safeguarding the land documents, location determination, facilitating the agreement made by the community members and the implementation of land registration. The non-maximal role played by the National Land Board can be seen through the achievement realization of the target of the activity. Of the targetted 600,000 lots of land planned, up to the end of RALAS activity, the BPN could only accomplish providing the land right certificate for 231,316 (two hundred thirty one thousand three hundred sixteen) lots of land.
The community had an important role in the post-tsunami land reconstruction in Aceh Province, but the community participation was still inadequate. The community members and Adat Institutions were involved in various land reconstruction activitieseither in the community agreement activity or in any stage of land registration activity. The less participation of community in the implementation of post-tsunami land reconstruction in Aceh Province was seen among other things through many commuity members especially the land owners/ their heirs and those who shared the land boundary did not attend when the extension, socialization, boundary determination, and measurement activities were done; the community members were not active or did not pay serious attention to the announcement of the juridical and physical data, and they were late to express their objection/complaint to the adjudication team members.
The result of this study recommended that (1) the government and the local legislative members are suggested to state in a special chapter about the handlings of land problem as the legal basis in the Law on Land which was still under discussion and as the guidance for the Ministry of Agraria and Land Use and the other related parties/agencies involved in the implementation of land construction in the locations of natural disasters such as earthquake, tsunami and the other kinds of disasters, (2) The Ministry of Agraria and Land Use is suggested to improve and provide facility and infrastructure in the form of special building or place/room in the Regional Office of Provincial BPN to safe the documents/archieves of the Land Office specifically the land book, letter of measurement, and the basic right as the basis of certificate issuance as the anticipation of the damage/loss of land documents when natural disaster occured such as the tsunami occured in Aceh Province. To accomplish the remaining activities of RALAS was free of charge through not only the PRONA activity but also through fishermen certification, UKM (small and medium scale businesses) and so forth, (3) The Ministry of Agraria and Land Use, Related Agencies and Local Government including “gampong” and “mukim” (village level) apparatuses are suggested, in any social activitiy, to provide extension and understanding to the community members on the importance of safely keeping the the evidence of the right of land ownership such as land documents that the damage and loss of those documents can probably be avoided and minimized when the natural disaster occurs.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Peristiwa bencana alam gempa bumi dan tsunami5 pada tanggal 26 Desember
20046
5
Dalam terminologi Aceh, istilah atau kata tsunami tidak dikenal. Namun demikian, dalam masyarakat Aceh, terutama di kalangan orang tua dan juga kalangan yang belajar di dayah (pesantren, mengenalinya dengan istilah lain, “ie beuna” melalui cerita-cerita lisan. Ie berarti air dan beuna berarti benar. Ie beuna dimaksudkan sebagai air yang menunjukkan kebenaran ayat-ayat Tuhan dalam menghapus segenap kebatilan. Selain istilah ie beuna, ada pula yang menyebutnya dengan smong atau
seumong. Lihat Abdullah Sanny, Lokakarya Nasional Menjaring Aspirasi Masyarakat dalam Rangka
Menyusun Program Rekonstruksi dan Rehabilitasi Aceh Pasca Tsunami, Banda Aceh: 1 Februari
2005, dalam Hasanuddin Yusuf, Sejarah Aceh dan Tsunami, (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2005), hal. 166. Menurut orang tua-tua, ie beuna itu dapat berasal dari laut dan juga disertai semburan air dari permukaan tanah. Lihat Sanusi M. Syarif, Gampong dan Mukim di Aceh: Menuju Rekonstruksi Pasca
Tsunami, Cetakan Kedua, (Banda Aceh: Pustaka Rumpun Bambu, 2010), hal. 102.
telah menimbulkan derita kemanusiaan dan menyebabkan ratusan ribu orang
meninggal dunia, kehilangan tempat tinggal dan harta benda serta lumpuhnya sektor
ekonomi, infrastruktur hingga menimbulkan keresahan masyarakat terhadap status
dan kepemilikan hak atas tanah. Dampak peristiwa tsunami di Provinsi Aceh (dulu
6
Gempa bumi tanggal 26 Desember 2004 di Asia Tenggara, yang terbesar dalam kurun waktu 40 tahun terakhir dan terbesar kelima sejak tahun 1900, tercatat 9,1 pada skala Richter. Gempa tersebut beserta gelombang tsunami yang terjadi setelahnya menyebabkan bencana yang menewaskan lebih dari 220.000 orang. Patahan seluas 1.000 kilometer persegi yang muncul akibat pergerakan sejumlah lempengan di bawah permukaan bumi dan energi raksasa yang ditimbulkan oleh bongkahan tanah raksasa yang berpindah tempat, berpadu dengan energi raksasa yang terjadi di samudra membentuk gelombang tsunami. Gelombang tsunami itu menghantam negara-negara Asia Tenggara seperti Indonesia, Sri Lanka, India, Malaysia, Thailand, Bangladesh, Myanmar, Maladewa dan Seychelles, dan bahkan pesisir pantai Afrika seperti Somalia, yang terletak sejauh kurang lebih 5.000 kilometer. Istilah “tsunami”, yang dalam bahasa Jepang berarti gelombang pelabuhan, menjadi bagian dari bahasa dunia pasca tsunami raksasa Meiji pada tanggal 15 Juni 1896 yang melanda Jepang dan menyebabkan
21.000 orang kehilangan nyaw
disebut Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)),7 telah menimbulkan
permasalahan pertanahan, antara lain:8
1. musnah dan kerusakan obyek/bidang-bidang tanah, termasuk hilang/ rusaknya tanda batas tanah dan titik dasar teknik;
2. subyek hak hilang, meninggal, mengungsi, tidak diketahui alamat serta tidak memiliki ahli waris;
3. rusak/hancurnya gedung kantor beserta dokumen pertanahan, seperti alas hak dan sertipikat hak atas tanah pada masyarakat, hak tanggungan pada Bank, buku tanah/dokumen pada Kantor Pertanahan;
4. petugas, aparatur dan pihak-pihak terkait hilang, meninggal dunia, tidak berada di tempat/tidak diketahui alamat, aparat desa/kecamatan, tokoh masyarakat, tokoh pemuda serta saksi/pihak yang berbatasan).
Tsunami telah mengakibatkan terjadinya proses pemisahan secara fisik
(penguasaan) antara bidang tanah dengan pemiliknya. Juga telah terjadi proses
kemusnahan (hilang dan rusak) berbagai bukti (dokumen dan bukti fisik) hubungan
pemilikan antara satu bidang tanah dengan orang tertentu. Hal tersebut sangat
berpotensi menimbulkan permasalahan di masa yang akan datang.
Bidang tanah adalah satu-satunya harta (asset) yang tertinggal. Tanah yang
tertinggal juga dalam keadaan rusak secara fisik dan kehilangan dokumen
penguasaan/pemilikan, bahkan sebagian bidang tanah musnah. Kerusakan fisik tanah
dan kehilangan dokumen penguasaan/pemilikan cenderung untuk dapat dinyatakan
7
Penggunaan kata Aceh bukan Nanggroe Aceh Darussalam, oleh penulis berdasarkan Peraturan Gubernur Aceh Nomor 46 Tahun 2009 tentang Penggunaan Sebutan Nama Aceh dan Gelar Pejabat Pemerintahan dalam Tata Naskah Dinas di Lingkungan Pemerintah Aceh tertanggal 7 April 2009. Ditegaskan dalam Pergub No. 46 Tahun 2009 tersebut bahwa sebutan Daerah Otonom, Pemerintahan Daerah, Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Nomenklatur dan Papan Nama Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA), Titelatur Penandatangan, Stempel Jabatan dan Stempel Instansi dalam Tata Naskah Dinas di lingkungan Pemerintah Aceh, diubah dan diseragamkan dari sebutan/nomenklatur “Nanggroe Aceh Darussalam” (“NAD”) menjadi sebutan/nomenklatur “Aceh”.
8
Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam,
Pemaparan, disampaikan pada Rapat Kerja NasionalBadan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
telah “lumpuh” nya penguasaan/pemilikan tanah warga di wilayah bencana. Sulit
membayangkan upaya pembangunan kembali wilayah yang terkena bencana dalam
prespektif pertanahan tanpa terlebih dahulu melaksanakan pemulihan hak
keperdataan atas tanah milik warga.
Berdasarkan data Badan Pertanahan Nasional (selanjutnya disebut BPN) yang
disampaikan pada rapat dengar pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia (DPR RI) tanggal 7 Maret 2005, kerusakan yang diakibatkan oleh gempa
dan tsunami di Provinsi Aceh meliputi areal ± 28.483,7 Ha atau 1,27% dari luas
Provinsi Aceh sebesar 2.252.053,9 Ha, yaitu: Kota Banda Aceh, Kota Lhokseumawe,
Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Aceh Barat, Kabupaten Aceh Jaya, Kabupaten
Nagan Raya, Kabupaten Pidie, Kabupaten Bireuen, Kabupaten Aceh Utara. Gempa
dan gelombang tsunami yang terjadi di Provinsi Aceh juga menimbulkan dampak
sebagai berikut:9
1. Dampak Kelembagaan a. Sumber Daya Manusia
Pegawai Kantor Wilayah BPN Provinsi Aceh yang meninggal dunia sebanyak 35 orang, dan dari pegawai yang selamat, terdapat beberapa pegawai yang mengalami trauma berat akibat kehilangan suami/istri/anak dan keluarga lainnya serta harta benda.
b. Sarana dan prasarana kerja
Kerusakan dan kehilangan sarana dan prasarana kerja di BPN Provinsi Aceh meliputi gedung kantor, perlengkapan/peralatan kantor, sarana mobilitas dan dokumen pertanahan. Kerusakan dan kehilangan dokumen pertanahan terparah adalah pada Kanwil BPN Provinsi Aceh, Kantor Pertanahan Kota Banda Aceh dan Kantor Pertanahan Kabupaten Aceh Besar.
9
2. Dampak Fisik
Kerusakan bidang-bidang tanah sebagai dampak dari bencana/peristiwa gempa bumi dan tsunami di Provinsi Aceh dapat dikategorikan menjadi 3 (tiga) tingkatan, yaitu:
a. Rusak berat
Tanahnya musnah, tenggelam atau turun. b. Rusak sedang
Tanahnya ada tetapi batas tanah dan fondasi bangunan tidak tampak sama sekali tetapi dapat diidentifikasi.
c. Rusak ringan
Katagori rusak ringan yang dimaksudkan adalah daerahnya hanya terkena lidah air, serta tidak terdapat kerusakan dan sama sekali aman/tidak terkena dampak bencana.
3. Dampak terhadap Koordinat Titik Kerangka Dasar
Gempa tektonik secara teoritis menimbulkan pergeseran pada kulit bumi (topografi) yang berakibat pada terjadinya pergeseran koordinat titik kerangka dasar. Dari hasil pengamatan melalui pengukuran beberapa titik Kerangka Dasar Kadastar Nasional (KDKN) diduga telah terjadi pergeseran koordinat yang cukup signifikan, oleh karenanya untuk pelaksanaan rekonstruksi batas tanah diperlukan:
a. Pengukuran KDKN Orde II dan Orde III dengan menggunakan GPS tipe Geodetik.
b. Pembuatan Peta Dasar Pendaftaran (baru) pasca tsunami dengan menampilkan bidang-bidang tanah.
4. Dampak terhadap Pengelolaan dan Pelayanan Pertanahan
Dampak kelembagaan, dampak fisik dan dampak lain yang ditimbulkan oleh gempa dan tsunami di Provinsi Aceh telah berakibat pada terhentinya penyelenggaraan pengelolaan dan pelayanan pertanahan pada Kantor-kantor Pertanahan yang terkena musibah yaitu meliputi Kantor Wilayah Badan Pertnahan Nasional Provinsi Aceh, Kantor Pertanahan Kota Banda Aceh dan Kantor Pertanahan Kabupaten Aceh Besar. Kerusakan gedung kantor dan tidak adanya perlengkapan serta peralatan kantor, sarana mobilitas, dan dokumen pertanahan, serta pegawai yang trauma karena kehilangan rumah, suami/istri, dan anak serta sanak keluarga lain, dan harta benda telah berakibat pada tidak berjalannya penyelenggaraan pengelolaan dan pelayanan pertanahan di Provinsi Aceh.
Berdasarkan analisis, permasalahan pertanahan berkaitan dengan keberadaan
obyek dan keberdaan subyek serta dokumen pertanahan dapat dinventarisir sebagai
1. Obyek hak
Terdapat tanah musnah10
2. Subyek Hak
. Terhadap fisik tanah yang masih ada, batas-batas
tanah mengalami kerusakan atau hilang antara lain batas-batas tanah dalam
bentuk permanen, bangunan, batas-batas alam seperti pohon-pohon besar serta
tempat-tempat pemakaman umum dan keluarga. Di beberapa lokasi sisa-sisa
batas-batas tanah yang masih ada telah diratakan dengan buldoser sehingga
batas fisik tanah yang masih tersisa menjadi semakin tidak jelas dan bahkan
hilang.
11
Pemilik tanah atau ahli waris yang sah banyak yang meninggal dunia, hilang,
tidak diketahui keberadaannya serta berdomisili di tempat pengungsian dan
diantaranya mengungsi di luar Provinsi Aceh. Beberapa ahli waris masih di
bawah umur dan belum ada kesepakatan diantara ahli waris.
3. Dokumen Pertanahan
Kondisi dokumen pertanahan yang berada pada Kantor Pertanahan dan
masyarakat banyak yang hilang dan dalam kondisi rusak/hancur. Dokumen
10
Tanah Musnah adalah tanah yang sudah berubah dari bentuk asalnya karena peristiwa alam dan tidak dapat diidentifikasi lagi sehingga tidak dapat difungsikan, digunakan, dan dimanfaatkan sebagaimana mestinya. Lihat Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2007 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2007 tentang Penanganan Permasalahan Hukum dalam Rangka Pelaksanaan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 168 (selanjutnya disebut UU No. 48 Tahun 2007).
11
Subyek hak menurut Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan adalah perorangan atau badan hukum yang pendiriannya sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang memohon sesuatu hak atas tanah. R. Rahardjo,
pertanahan meliputi alas hak dan sertipikat12 yang berada pada masyarakat
sedangkan yang berada pada Kantor Pertanahan dalam bentuk buku tanah,13
Masyarakat yang terkena tsunami baik yang selamat dari bencana maupun
ahli waris sangat mengharapkan untuk memperoleh perlindungan hukum hak-hak atas
tanah yang mereka miliki/kuasai sebelum terjadinya tsunami. Keinginan mereka
untuk kembali menata kehidupan di lokasi semula juga sangat tinggi.
tanda bukti hak atas tanah dan surat-surat yang berkaitan dengan tanah atau
bukti kepemilikan lainnya atas tanah yang menjadi dasar dan persyaratan
dalam proses penerbitan sertipikat hak atas tanah.
Desakan agar jaminan perlindungan hukum terhadap hak atas tanah warga
korban tsunami juga disampaikan oleh Anggota Komisi A, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) Kota Banda Aceh yang mendesak Pemerintah Kota Banda Aceh
12
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104 (selanjutnya disebut UUPA) tidak pernah disebut sertipikat tanah, namun seperti yang dijumpai dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c ada disebutkannya “surat tanda bukti hak”. Dalam pengertian sehari-hari surat tanda bukti hak ini sudah sering ditafsirkan sebagai sertipikat tanah. Menurut Mhd. Yamin Lubis dan Abd Rahim Lubis, bahwa pengertian yang sama bahwa surat tanda bukti hak adalah sertipikat (lihat Muhammad Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, (Bandung: Mandar Maju, 2008), hlm. 203. Senada dengan Herman Hermit, sertipikat merupakan surat tanda bukti hak atas tanah atau satuan rumah susun. Suatu pengakuan dan penegasan dari negara terhadap penguasaan tanah atau satuan rumah susun secara perorangan atau bersama atau badan hukum yang namanya ditulis di dalamnya dan sekaligus menjelaskan lokasi, gambar, ukuran dan batas-batas bidang tanah atau satuan rumah susun tersebut (lihat Herman Hermit, Cara Memperoleh Sertipikat Tanah: Tanah Hak Milik, Tanah Negara,
Tanah Pemda dan Balik Nama, Teori dan Praktek Pendaftaran Tanah di Indonesia, (Bandung:
Mandar Maju, 2009), hal. 31).
13
segera mengganti sertipikat tanah warga korban tsunami. Jika status dan kepemilikan
tanah-tanah tidak segera diselesaikan, dikhawatirkan masalah itu menjadi embrio
munculnya sengketa di tengah masyarakat.14
Pemerintah dalam hal ini BPN yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden
Republik Indonesia No. 26 Tahun 1988, bertanggung jawab mengelola dan
mengembangkan administrasi pertanahan, baik berdasarkan UUPA maupun peraturan
perundang-undangan lainnya.
15
Program pemulihan urusan pertanahan menjadi tidak sederhana, dan menjadi
hal yang sangat prioritas dilaksanakan karena tujuan kegiatan pertanahan dituntut
untuk dapat memberikan jaminan kepastian hukum kepada pemilik tanah.
Keputusan Presiden tersebut telah diubah dengan
Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 kemudian diubah dengan Peraturan
Presiden Nomor 85 Tahun 2012 dan terakhir diubah dengan Peraturan Presiden
Nomor 63 Tahun 2013 tentang Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (BPN
RI). Terakhir dalam Kabinet Kerja (Tahun 2014) telah berubah menjadi Kementerian
Agraria dan Tata Ruang.
16
14
Harian Serambi Indonesia terbitan tanggal 8 Agustus 2005.
Sebagai
15
A.P. Parlindungan, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, (Jakarta: Mandar Maju, 1993), hal. 10.
16
Tujuan kegiatan pertanahan antara lain memberikan jaminan kepastian hukum kepada pemegang hak atas tanah, hal ini senada dengan tujuan hukum yang dikemukakan oleh E. Utrecht bahwa hukum bertugas menjamin adanya kepastian hukum (recht zekerheid) dalam pergaulan manusia, E. Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Buku Ichtiar, 1957), hal. 254. Sedangkan menurut Jeremy Bentham, bahwa hukum harus menuju ke arah sesuatu yang berguna, suatu anggapan yang mengutamakan utilitiet (utilities theorie). Menurut anggapan Theorie Utilitiet
upaya menjamin perlindungan hukum terhadap pemilik tanah di wilayah bencana
tsunami serta dalam rangka proses percepatan pemulihan keadaan pasca bencana,
mutlak diperlukan suatu program simultan yang sistematis, komprehensif dan
terintegrasi di bidang pertanahan. Kegiatan ini diperlukan juga sebagai wujud
komitmen perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM)17 di wilayah bencana. Oleh
karena itu, Pemerintah dalam hal ini BPN, menyelenggarakan program pendaftaran
tanah terhadap seluruh bidang tanah di seluruh desa/kelurahan di lokasi bencana
tsunami tanpa memungut biaya,18
tentang kepastian hukum terdapat juga dalam Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45) perubahan ketiga bahwa “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.
yang dilakukan melalui kegiatan Rekonstruksi
Sistem Administrasi Pertanahan Aceh atau Reconstruction of Aceh Land
Administration System (RALAS). RALAS dilaksanakan untuk mengembalikan setiap
jengkal tanah kepada pemilik yang sebenarnya seperti keadaan sebelum terjadinya
bencana alam tsunami tanggal 26 Desember 2004. Upaya itu dilakukan dalam rangka
memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hak atas tanah.
17
Suatu hak baru berfungsi secara efektif, apabila hak tersebut dapat dipertahankan dan dilindungi. Untuk itu, sebagai negara yang berdasarkan atas hukum (rechsstaat), hak asasi harus merupakan bagian dari hukum nasional dan harus ada prosedur hukum untuk mempertahankan dan melindungi hak asasi tersebut. Oleh karena itu, pengimplementasian hak asasi manusia harus memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut:
1. Hak asasi manusia harus dijadikan sebagai hukum positif,
2. Harus ada prosedur hukum untuk mempertahankan dan melindungi hak asasi manusia tersebut,
3. Harus ada kemandirian pengadilan sebagai pemegang kekuasaan kehakiman yang bebas dan merdeka. Bahder Johan Nasution, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, (Bandung: Mandar Maju, 2012), hal. 244-245.
18
Program RALAS melakukan pendaftaran tanah berbasis masyarakat sebanyak
600.000 (enam ratus ribu) bidang tanah di wilayah komunitas yang terkena tsunami
dan komunitas yang berdekatan, sebagaimana Surat Keputusan Kepala Badan
Pertanahan Nasional No. 114-II/2005 tentang Manual Pendaftaran Tanah di
Daerah-daerah Pasca Tsunami. Pendaftaran tanah sebanyak 600.000 bidang tanah tersebut
dilaksanakan secara bertahap mulai tahun 2005 sampai dengan tahun 2009.19
Berdasarkan data dari Kantor Wilayah BPN Provinsi Aceh dari target 600.000
(enam ratus ribu) bidang tanah yang dilaksanakan melalui kegiatan RALAS,
pencapaian pengukurannya sebanyak 321.479 (tiga ratus dua puluh satu ribu empat
ratus tujuh puluh sembilan) bidang tanah sedangkan penerbitan sertipikatnya
sebanyak 231.316 (dua ratus tiga puluh satu ribu tiga ratus enam belas).
20
Program rekonstruksi pemilikan penguasaan tanah yang dilakukan oleh
jajaran BPN melalui kegiatan RALAS tersebut mendapat tantangan dalam
pelaksanaannya mengingat kompleksnya permasalahan yang muncul sebagai dampak
bencana alam gempa dan tsunami di Provinsi Aceh. Permasalahan rekonstruksi
pertanahan sebagai upaya dalam rangka perlindungan hukum bidang pertanahan
pasca tsunami di Provinsi Aceh dihadapkan pada 2 (dua) sisi yang saling berbenturan, Berdasarkan kajian realisasi kegiatan RALAS berkaitan dengan pendaftaran tanah di
lokasi tsunami masih jauh dari target yang direncanakan.
19
Surat Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 114-II/2005 tentang Manual Pendaftaran Tanah di Daerah-daerah Pasca Tsunami.
20
di mana di satu sisi tuntutan penanganan dalam kondisi darurat dan di sisi lain harus
berhadapan dengan tuntutan reformasi yang mengedepankan penanganan yang
demokratis.
Oleh karena problema tersebut, pemberdayaan masyarakat dalam pelaksanaan
kegiatan pertanahan pada wilayah bencana melalui peningkatan partisipasi
masyarakat mutlak diperlukan. Hal ini sesuai dengan rekomendasi Komisi II DPR RI
kepada Kepala BPN tentang bagaimana penanganan pasca bencana di Provinsi Aceh
dan Kabupaten Nias Provinsi Sumatera Utara.21
Partisipasi masyarakat merupakan hal yang mutlak diperlukan dalam
pemulihan hak-hak keperdataan di bidang pertanahan di wilayah bencana, hal yang
terkait kesiapan BPN seperti ketersediaan peraturan dan kemampuan sumber daya
manusia (SDM) sangat menentukan keberhasilan pelaksanaan program besar dan
mulia tersebut.
Kegiatan rekonstruksi fisik merupakan pekerjaan dengan menggunakan
teknologi tinggi yang belum pernah dilaksanakan oleh aparat BPN yang bertugas
di Provinsi Aceh. Pelaksanaan kegiatan tersebut agar dapat berjalan dengan optimal,
diperlukan sumber daya manusia yang profesional dan berkemampuan teknologi
tinggi. Kendala yang dihadapi terhadap sumber daya manusia terutama yang bertugas
di Provinsi Aceh sebagaimana telah diuraikan pada awal tulisan ini yaitu kekurangan
pegawai sebagai akibat dari korban tsunami baik yang meninggal maupun yang
21