ESTIMASI NILAI PENURUNAN KUALITAS LINGKUNGAN
TERHADAP HARGA LAHAN DI SEKITAR TEMPAT
PEMBUANGAN AKHIR SAMPAH CIPAYUNG
KOTA DEPOK JAWA BARAT
GARNA YUANA SUHAN
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
i
RINGKASAN
GARNA YUANA SUHAN. Estimasi Nilai Penurunan Kualitas Lingkungan
terhadap Harga Lahan di Sekitar Tempat Pembuangan Akhir Sampah Cipayung Kota Depok Jawa Barat. Dibimbing Oleh PINI WIJAYANTI
Kondisi TPAS Cipayung yang merupakan satu-satunya TPAS di Kota Depok sudah mengalami over limit, sehingga terdapat gunungan sampah yang menimbulkan dampak negatif di sekitar TPAS Cipayung. Dampak negatif tersebut berupa penurunan kualitas lingkungan yang berdampak pada harga lahan. Harga lahan menjadi menarik karena semakin meningkatnya kebutuhan lahan untuk tempat tinggal.
Penelitian ini dilakukan untuk menunjukkan adanya dampak negatif pencemaran lingkungan terhadap harga lahan dan menghitung nilai ekonomi dari penurunan kualitas lingkungan di sekitar TPAS Cipayung. Tujuan penelitian ini yaitu: 1) mengkaji penilaian responden mengenai kondisi lingkungan pemukiman di sekitar TPAS Cipayung dengan menggunakan skala perbedaan semantik, 2) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi harga lahan di sekitar TPAS Cipayung dengan menggunakan Hedonic Price Method (HPM), 3) menghitung besarnya nilai ekonomi dari penurunan kualitas lingkungan akibat keberadaan TPAS Cipayung digunakan metode dose-respon.
Penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Cipayung Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok. Lokasi ini dipilih secara sengaja (purposive) dikarenakan di daerah tersebut terdapat TPAS Cipayung yang diduga menyebabkan penurunan kualitas lingkungan yang berdampak pada harga lahan di sekitar TPAS Cipayung. Pengambilan data primer dilaksanakan pada bulan Mei 2008 sampai Juni 2008.
Hasil penelitian menunjukan bahwa masyarakat sekitar TPAS Cipayung secara umum menilai keberadaan TPAS Cipayung menurunkan kualitas lingkungan, hal ini dapat ditunjukkan dengan penurunan hasil perhitungan nilai rata-rata semantic differential setelah adanya TPAS Cipayung. Selain itu diketahui bahwa responden mengalami beberapa dampak negatif dari keberadaan TPAS Cipayung yang tidak dikelola dengan baik sehingga dapat mengganggu terhadap kehidupan responden.
Penurunan kualitas lingkungan tersebut berpengaruh terhadap harga lahan. Berdasarkan HPM diketahui bahwa harga lahan di Kelurahan Cipayung dipengaruhi oleh jarak tempat tinggal dengan TPAS Cipayung, biaya kesehatan, luas bangunan, dan status lahan. Nilai implisit dari jarak tempat tinggal dengan TPAS Cipayung, luas bangunan, dan status lahan bertanda positif, sedangkan nilai implisit dari biaya kesehatan bertanda negatif.
Hasil perhitungan menggunakan metode dose-respon diperoleh nilai ekonomi penurunan kualitas lingkungan akibat keberadaan TPAS Cipayung di Kelurahan Cipayung adalah Rp 97.870.215,00 setiap bulan. Namun demikian nilai ini belum mencerminkan seluruh nilai ekonomi penurunan kualitas lingkungan.
ii
ESTIMASI NILAI PENURUNAN KUALITAS LINGKUNGAN
TERHADAP HARGA LAHAN DI SEKITAR TEMPAT
PEMBUANGAN AKHIR SAMPAH CIPAYUNG
KOTA DEPOK JAWA BARAT
GARNA YUANA SUHAN H44050913
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada
Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
iii Judul Skripsi : Estimasi Nilai Penurunan Kualitas Lingkungan terhadap Harga Lahan di Sekitar Tempat Pembuangan Akhir Sampah Cipayung Kota Depok Jawa Barat
Nama : Garna Yuana Suhan
NRP : H44050913
Menyetujui Dosen Pembimbing,
Pini Wijayanti SP., M.Si. NIP. 19810919 200701 2 001
Mengetahui
Ketua Departemen
Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc. NIP. 19620421 198603 1 003
iv
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL
“ESTIMASI NILAI PENURUNAN KUALITAS LINGKUNGAN TERHADAP HARGA LAHAN DI SEKITAR TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR SAMPAH
CIPAYUNG KOTA DEPOK JAWA BARAT” BELUM PERNAH DIAJUKAN
PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN
UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA
JUGA MENYATAKAN SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA
SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH
DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI
BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.
Bogor, September 2009
Garna Yuana Suhan H44050913
v
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 12 Oktober 1987. Penulis
adalah putra pertama dari dua bersaudara pasangan Bapak Bermanto Suhan dan
Ibu Nining Yuaningsih.
Penulis mengawali pendidikan formal di SDN Sukamanah Subang pada
tahun 1993-1999. Pendidikan menengah pertama penulis bertempat di MTsN
Subang pada tahun 1999-2002, sedangkan pendidikan menengah atas penulis
dapatkan di SMAN 1 Subang pada tahun 2002-2005. Pada tahun 2005, penulis
diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB
(USMI). Akhir semester dua penulis memilih dan diterima di Departeman
Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen.
Selama menjadi mahasiswi IPB, penulis mengikuti beberapa kepanitiaan
dalam kegiatan kampus. Selain itu penulis juga aktif dalam beberapa Unit
Kegiatan Mahasiswa (UKM) diantaranya yaitu Forum for Scientific Study
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan
judul ” Estimasi Nilai Penurunan Kualitas Lingkungan terhadap Harga Lahan di Sekitar Tempat Pembuangan Akhir Sampah Cipayung Kota Depok Jawa Barat”.
Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar sarjana
ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Tujuan penulisan skripsi ini adalah mendeskripsikan kondisi lingkungan
pemukiman di sekitar TPAS Cipayung berdasarkan penilaian responden dan
menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi harga lahan di sekitar TPAS
Cipayung dengan menggunakan Hedonic Price Method (HPM). Dihitung juga
besarnya nilai ekonomi dari penurunan kualitas lingkungan akibat keberadaan
TPAS Cipayung.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih belum
sempurna. Akhir kata, semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua pihak,
khususnya pihak yang terkait dengan penelitian ini.
Bogor, September 2009
vii
UCAPAN TERIMA KASIH
Proses penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan dan bantuan
berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis
menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada:
1. Pini Wijayanti, SP., M.Si. atas bimbingan dan arahan serta motivasi yang
diberikan selama proses penyusunan skripsi ini.
2. Ir. Nindyantoro, MSP. dan Nuva, SP., M.Sc. atas kesediaannya menjadi
dosen penguji.
3. Pihak Pemerintah Kota Depok dan Kelurahan Cipayung yang telah
memberikan izin kepada peneliti untuk melakukan penelitian serta bantuan
yang diberikan kepada penulis.
4. Ibu (Nining Yuaningsih), Bapak (Bermanto Suhan), adik (Rania Yuani
Suhan), bibi (Ndeunk), kakek (Suhanta) dan seluruh keluarga yang telah
melimpahkan kasih sayang, doa serta dukungan yang tak terhingga
nilainya.
5. Eva Nursusandhari dan teman-teman lainnya atas kesediaannya menemani
dan membantu penulis dalam melakukan penelitian sehingga penelitian ini
dapat berjalan dengan lancar serta pengaruh positif yang sangat berharga.
6. Keluarga Bapak Suprapto atas doa dan dukungannya sehingga penelitian
ini dapat berjalan dengan lancar.
7. Teman-teman di Saung Kuring, ESL 42, ESL 43, dan kelas A18 TPB atas
kebersamaannya selama ini dan juga semua keceriaan yang pernah kita
lewati bersama.
viii
DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN ... i
LEMBAR PERNYATAAN ... ii
LEMBAR PENGESAHAN ... iii
PERNYATAAN KEORISINILAN ... iv
RIWAYAT HIDUP ... v
KATA PENGANTAR ... vi
UCAPAN TERMA KASIH ... vii
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR TABEL ... xi
DAFTAR GAMBAR ... xii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiii
I. PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 5
1.3 Tujuan Penelitian ... 7
1.4 Manfaat Penelitian ... 7
1.5 Ruang Lingkup Penelitian ... 7
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 9
2.1 Sampah ... 9
2.1.1 Macam-macam Sampah ... 10
2.1.2 Pengelolaan Sampah ... 11
2.1.3 Dampak yang Ditimbulkan oleh Sampah ... 15
2.1.4 Konsep Ideal Tempat Pembuangan Akhir Sampah 18 2.2 Harga Lahan ... 20
2.3 Hedonic Price Method ... 22
2.3.1 Keunggulan dan Keterbatasan Hedonic Price Method ... 25
2.3.2 Masalah dalam Hedonic Price Method ... 26
2.4 Skala Perbedaan Semantik (Semantic Differential) ... 27
2.5 Metode Dose-Respon (Dose-Response Method) ... 28
2.6 Penelitian Terdahulu ... 28
III. KERANGKA PEMIKIRAN ... 33
3.1 Kerangka Pemikiran Operasional ... 33
3.2 Hipotesa ... 34
IV. METODE PENELITIAN ... 35
ix
4.2 Jenis dan Sumber Data ... 35
4.3 Metode Pengambilan Contoh ... 35
4.4 Metode dan Prosedur Analisis ... 36
4.4.1 Penilaian Masyarakat terhadap Kondisi Lingkungan Pemukiman di Sekitar Tempat Pembuangan Akhir Sampah Cipayung ... 36
4.4.2 Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Harga Lahan di Sekitar Tempat Pembuangan Akhir Sampah Cipayung ... 38
4.4.3 Estimasi Besarnya Nilai Ekonomi Dari Penurunan Kualitas Lingkungan Akibat Keberadaan Tempat Pembuangan Akhir Sampah Cipayung ... 39
V. GAMBARAN UMUM PENELITIAN ... 41
5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 41
5.1.1 Tempat Pembuangan Akhir Sampah Cipayung ... 43
5.1.2 Gambaran Kondisi Lahan di Sekitar Tempat Pembuangan Akhir Sampah Cipayung ... 45
5.2 Karakteristik Responden ... 46 5.2.1 Jenis kelamin ... 46 5.2.2 Usia ... 46 5.2.3 Jumlah Tanggungan ... 47 5.2.4 Pendidikan Formal ... 47 5.2.5 Jenis Pekerjaan ... 48 5.2.6 Sumber Pendapatan ... 49 5.2.7 Tingkat Pendapatan ... 49 5.2.8 Kategori Penduduk ... 50 5.2.9 Lama Tinggal ... 50 5.2.10 Waktu Tinggal ... 50 5.2.11 Status Lahan ... 50
VI. DESKRIPSI LINGKUNGAN PEMUKIMAN SEKITAR TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR SAMPAH CIPAYUNG DAN PENILAIAN LINGKUNGAN OLEH RESPONDEN ... 51
6.1 Harga Lahan ... 51
6.2 Penilaian Responden terhadap Kebersihan Kelurahan Cipayung ... 52
6.3 Penilaian Responden terhadap Kondisi Air ... 54
6.4 Penilaian Responden terhadap Pengelolaan Sampah di Tempat Pembuangan Akhir Sampah Cipayung ... 55
6.5 Tingkat Gangguan yang Dialami Responden ... 58
VII. ANALISIS FUNGSI HEDONIS DAN NILAI EKONOMI LINGKUNGAN PEMUKIMAN SEKITAR TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR SAMPAH CIPAYUNG ... 60
7.1 Analisis Harga Lahan ... 60
x 7.3 Nilai Ekonomi Penurunan Kualitas Lingkungan di Sekitar
Tempat Pembuangan Akhir Sampah Cipayung ... 67
7.4 Upaya Meminimalisir Dampak Negatif Keberadaan Tempat Pembuangan Akhir Sampah Cipayung ... 68
VIII. KESIMPULAN DAN SARAN ... 72
8.1 Kesimpulan ... 72
8.2 Saran ... 72
DAFTAR PUSTAKA ... 74
xi
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1` Volume Sampah yang Masuk Tempat Pembuangan Akhir
Sampah Cipayung Bulan Juli-September Tahun 2004 ... 3 2 Matriks Keterkaitan Tujuan, Sumber Data dan Metode Analisis
Data ... 36 3 Jumlah Penduduk Menurut Umur dan Jenis Kelamin di
Kelurahan Cipayung Tahun 2008 ... 42
4 Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan di Kelurahan
Cipayung Tahun 2008 ... 42
5 Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencahariannya di Kelurahan
Cipayung Tahun 2008 ... 43 6 Penilaian Dampak Negatif Tempat Pembuangan Akhir
Sampah Cipayung yang Dirasakan Responden Tahun 2009 ... 57 7 Hasil Estimasi Fungsi Hedonis Harga Lahan di Kelurahan
Cipayung Tahun 2009 ... 61 8 Sepuluh jenis penyakit terbesar di Kelurahan Cipayung Kota
Depok Tahun 2003 ... 66 9 Statistik Deskriptif Biaya Kesehatan Responden Setiap Bulan .. 66
xii
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1 Kurva Harga Implisit Lingkungan ... 25 2 Diagram Alur Berpikir ... 34 3 Peta TPAS Cipayung di Kota Depok Tahun 2008... 44
4 Karateristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan di
Kelurahan Cipayung Tahun 2009 ... 48 5 Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan di
Kelurahan Cipayung Tahun 2009 ... 48 6 Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendapatan di
Kelurahan Cipayung Tahun 2009 ... 49 7 Distribusi Harga Lahan Responden di Kelurahan Cipayung
Tahun 2009 ... 52 8 Persepsi Responden Berdasarkan Penilaian Responden terhadap
Kebersihan Lingkungan di Kelurahan Cipayung Jaya Tahun
2009... 53 9 Persepsi Responden terhadap Kondisi Air di Kelurahan
Cipayung Tahun 2009 ... 54
10 Persepsi Responden terhadap Pengelolaan Sampah di Tempat
Pembuangan Akhir Sampah Cipayung Tahun 2009 ... 56
11 Persepsi Responden Berdasarkan Penilaian terhadap Tingkat Gangguan yang Dialami Responden di Kelurahan Cipayung
Jaya Tahun 2009 ... 58 12 Kurva Demand Harga Lahan Berdasarkan Jarak Tempat Tinggal
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1 Hasil Pendugaan Variabel Harga Lahan ... 78
2 Tabulasi Karakteristik Responden Masyarakat di Sekitar TPAS Cipayung Kota Depok Tahun 2009... 80
3 Tabulasi Informasi Faktor Harga Lahan di Sekitar TPAS Cipayung Kota Depok Tahun 2009 ... 83
4 Tabulasi Persepsi Responden Masyarakat Cipayung terhadap Kondisi Lingkungan di Sekitar TPAS Cipayung Kota Depok Tahun 2009 ... 84
5 Peta Kelurahan Cipayung Tahun 2008 ... 86
6 Kuesioner Penelitian ... 87
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Sampah merupakan salah satu masalah utama yang dihadapi oleh
masyarakat karena dapat menyebabkan kotornya lingkungan yang pada akhirnya
akan menurunkan kualitas lingkungan hidup. Baik kuantitas maupun kualitasnya,
sampah sangat dipengaruhi oleh berbagai kegiatan masyarakat (Wahyuningsih,
2004). Kegiatan ini berupa konsumsi dan aktivitas lainnya yang akan
menghasilkan sisa/buangan.
Sampah dan pengelolaannya di negara-negara berkembang termasuk
Indonesia (Suprihatin et al. 1999) dalam Utari (2006), menunjukkan ciri-ciri
sebagai berikut: 1) kandungan persentase bahan organik dalam sampah tergolong
tinggi (50 persen–75 persen). 2) pengumpulan ulang, daur ulang, serta
pengelolaan sampah lainnya tidak efisien dan tidak terorganisasi secara aman. 3)
kondisi sarana pelayanan umum yang rendah. 4) industri besar dan kecil tidak
memberikan perhatian yang cukup dalam pengelolaan sampah, sedangkan
pemerintah sulit untuk membiayai pengelolaan sampah. 5) belum diterapkannya
prinsip bahwa produsen barang harus mengelola sampahnya sendiri.
Penelitian Pramono (2009) menunjukkan bahwa timbulan sampah sebesar
80.235,87 ton/hari dari 384 kota di Indonesia hanya 4,2 persen yang tertangani
(dibuang dan diangkut) di Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Selebihnya adalah
37,6 persen dibakar, 4,9 persen dibuang ke sungai dan tidak tertangani sebesar
53,3 persen.
Persoalan sampah terjadi di beberapa kota besar di Indonesia. Jakarta
2 tersebut tidak dapat terangkut semuanya yang menyebabkan pencemaran
lingkungan. Persoalan sampah juga terjadi di Bandung dengan penolakan dari
masyarakat terhadap pabrik sampah yang menggunakan teknologi incenerator di
Kecamatan Gedebage. Beberapa kasus persoalan sampah juga telah menyebabkan
pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), baik yang terkait dengan hak
atas lingkungan sebagai bagian dari hak ekonomi, sosial dan budaya, maupun sipil
dan politik. Hal ini ditunjukkan dengan terjadinya intimidasi dan penembakan
terhadap masyarakat, juga ancaman dalam kurun waktu yang panjang di Tempat
Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Bojong. Bencana ekologis juga dapat
ditimbulkan akibat buruknya manajemen pengelolaan sampah, longsor sampah
dan banjir menjadi permasalahan di kota-kota besar yang memproduksi banyak
sampah, seperti yang terjadi di Leuwigajah dan Bantar Gebang.
Kota Depok sebagai kota besar di Indonesia mengalami permasalahan
mengenai pengelolaan sampah. Berdasarkan data Dinas Kebersihan dan
Pertamanan (DKP) Kota Depok setiap hari timbulan sampah yang dihasilkan di
Kota Depok mencapai 3.445 m3. Sampah ini dibuang ke Tempat Pembuangan
akhir sampah Cipayung (TPAS) yang merupakan satu-satunya TPA di kota ini.
Setiap harinya sampah yang mampu diangkut berjumlah 1.200 m3 dimana sampah
tersebut diangkut dengan menggunakan 54 truk sebanyak dua putaran setiap
harinya. Sedangkan sisanya tidak bisa dilayani karena kurangnya sarana dan
prasana pembuangan sampah di TPAS Cipayung. Sampah yang tidak terangkut
biasanya dimusnahkan dengan cara dibakar atau dijadikan kompos oleh
masyarakat atau pihak swasta. TPAS seluas 10,1 ha ini melayani enam
3 adalah Kecamatan Sukmajaya. Lebih lanjut data wilayah pelayanan TPAS
Cipayung dan volume sampah yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Volume Sampah yang Masuk Tempat Pembuangan Akhir Sampah Cipayung Bulan Juli-September Tahun 2004
No Kecamatan Volume Sampah Bulan Juli 2004 (m3) Volume Sampah Bulan Agustus 2004 (m3) Volume Sampah Bulan September 2004 (m3) Korcam TPAS Korcam TPAS Korcam TPAS
1 Cimanggis 1.877 4.264 2.916 3.630 3.300 2.028 2 Sukmajaya 4.812 8.008 4.703 6.076 4.812 6.326 3 Pancoran Mas 2.328 2.808 2.089 2.448 2.313 2.584 4 Beji 1.740 2.184 1.717 2.038 1.882 2.082 5 Sawangan 350 1.040 420 542 422 600 6 Limo 472 1.040 416 286 832 460 7 Pasar - 3.762 - 3.716 - - Jumlah 11.579 23.106 12.261 18.736 13.561 14.080 Sumber: Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Depok (2004)
Pengelolaan sampah di Kota Depok masih berpegang pada paradigma
lama, yaitu mengumpulkan, mengangkut dan membuang sampah. Sehingga TPAS
Cipayung yang telah berfungsi selama 21 tahun tidak mampu menangani sampah
di Kota Depok. Hal ini ditunjukkan dengan terdapatnya gunungan sampah
setinggi 15-35 m yang bercampur antara sampah organik dan non-organik.
Gunungan sampah ini telah menimbulkan kerugian sosial bagi warga sekitar
TPAS Cipayung. Dampak yang dirasakan oleh warga meliputi bau tak sedap dari
sampah, banyaknya lalat-lalat di setiap rumah, serta berjangkitnya berbagai
penyakit (penyakit kulit, pencernaan dan infeksi saluran pernapasan akut).
Bersamaan dengan peningkatan volume sampah akibat meningkatnya
jumlah penduduk, maka pertumbuhan penduduk tersebut juga membawa
4 ketersediaan lahan bersifat tetap namun kebutuhan lahan semakin meningkat. Hal
ini akan mengakibatkan adanya kompetisi dalam penguasaan suatu unit lahan.
Terlebih dengan kepadatan penduduk Indonesia yang semakin lama semakin
meningkat, data menunjukkan kepadatan penduduk pada tahun 1990 adalah 105
jiwa/km2, 108 jiwa/km2 pada tahun 2000, dan menjadi 113 jiwa/km2 pada tahun
20051.
Faktor keterbatasan lahan untuk pemukiman menyebabkan timbulnya
masalah pemukiman dimana terdapat kecenderungan semakin diabaikannya
persyaratan lingkungan pemukiman. Hal ini mengakibatkan timbulnya lingkungan
pemukiman yang kurang memperhatikan persyaratan keamanan dan kesehatan
bagi penduduknya. Kondisi ini banyak terjadi di sekitar TPAS Cipayung.
Walaupun terjadi penurunan kualitas lingkungan sebagai akibat adanya TPAS
Cipayung, kepadatan penduduk semakin meningkat. Hal ini selain diakibatkan
meningkatnya jumlah penduduk asli juga diduga diakibatkan meningkatnya
jumlah pendatang.
Keberadaan TPAS Cipayung memberikan dampak positif dan negatif bagi
masyarakat sekitar. Dampak positif tersebut diantaranya menghasilkan lapangan
pekerjaan dan menjadi sumber pendapatan masyarakat. Dampak negatifnya yaitu
terjadinya penurunan kualitas lingkungan. Bila dilihat lebih jauh, saat ini
eksternalitas negatif yang tercipta jauh lebih tinggi dibandingkan eksternalitas
positif. Ekternalitas negatif tersebut tentunya berimplikasi terhadap harga lahan di
sekitar TPAS Cipayung. Sejauh ini penelitian mengenai implikasi penurunan
1
5 kualitas lingkungan akibat keberadaan TPAS Cipayung terhadap harga lahan
belum dilakukan. Oleh karena itu penelitian tersebut perlu untuk dilakukan.
Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji penurunan kualitas lingkungan di
sekitar TPAS Cipayung dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi harga
lahan di sekitar TPAS Cipayung. Penelitian ini akan menunjukkan apakah
penurunan kualitas lingkungan yang diakibatkan adanya TPAS Cipayung
berpengaruh terhadap harga lahan untuk pemukiman di sekitar TPAS Cipayung.
1.2 Perumusan Masalah
Keberadaan pemukiman yang memiliki karateristik yang berbeda-beda
menyebabkan adanya pilihan seseorang didalam memilih tempat tinggal. Sebuah
tempat tinggal akan dipilih berdasarkan kriteria tertentu. Kriteria tersebut
disesuaikan dengan kondisi individu yang tinggal di tempat tersebut. Beberapa
kriteria yang menjadi pertimbangan untuk memilih tempat tinggal adalah harga,
fasilitas yang disediakan, aksesibilitas dan kesesuaian tata ruangnya. Harga
menjadi persoalan utama, namun ditentukan juga oleh faktor lainnya. Semakin
lengkap fasilitas yang ditawarkan, maka seseorang cenderung untuk memilihnya,
demikian halnya dengan aksesibilitas dan kesesuaian tata ruang.
Faktor lain yang turut menentukan seseorang untuk memilih tempat
tinggal adalah faktor lingkungan, berupa kebersihan dan kenyamanan tempat
tinggal. Kebersihan ditunjukkan dengan tempat tinggal yang bersih dari polusi,
karena tempat tinggal yang tidak bersih akan rentan terhadap timbulnya penyakit.
Kebersihan lingkungan akan sangat menentukan kenyamanan seseorang untuk
6 Kelurahan Cipayung merupakan salah satu kelurahan di Kota Depok yang
3,5 persen luas daerahnya digunakan sebagai TPAS. Dampak negatif yang
ditimbulkan dengan adanya TPAS Cipayung adalah bau tak sedap dan timbulnya
penyakit akibat pencemaran lingkungan dari gunungan sampah. Semakin
banyaknya sampah yang diangkut ke TPAS Cipayung mengakibatkan semakin
tingginya tingkat pencemaran lingkungan. Akan tetapi tingginya tingkat
pencemaran tersebut tidak menghalangi masyarakat untuk tetap bermukim di
daerah tersebut.
Masyarakat yang berada di sekitar TPAS Cipayung terganggu dengan
adanya pencemaran yang terjadi. Namun bagaimana penilaian masyarakat
terhadap pencemaran tersebut belum dilakukan. Pengaruh keberadaan TPAS
Cipayung terhadap harga lahan juga belum dikaji lebih lanjut. Hal ini dapat
terlihat dari faktor-faktor apa yang mempengaruhi harga lahan di sekitar TPAS
Cipayung. Selain itu seberapa besar pencemaran yang terjadi akibat keberadaan
TPAS Cipayung juga belum dikaji. Hal ini dapat dikaji dengan menghitung nilai
ekonomi dari penurunan kualitas lingkungan akibat keberadaan TPAS Cipayung.
Berdasarkan uraian di atas, maka perumusan masalah dari penelitian ini
adalah:
1. Bagaimana penilaian responden mengenai kondisi lingkungan pemukiman di
sekitar TPAS Cipayung?
2. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi harga lahan di sekitar TPAS
Cipayung?
3. Berapa besarnya nilai ekonomi dari penurunan kualitas lingkungan akibat
7
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah tersebut, maka tujuan
umum penelitian ini adalah ingin menunjukkan adanya dampak negatif
pencemaran lingkungan terhadap harga lahan dan menghitung nilai ekonomi dari
penurunan kualitas lingkungan di sekitar TPAS Cipayung. Sementara itu tujuan
khususnya yaitu:
1. Mendeskripsikan kondisi lingkungan pemukiman di sekitar TPAS Cipayung
berdasarkan penilaian responden.
2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi harga lahan di sekitar TPAS
Cipayung.
3. Mengestimasi besarnya nilai ekonomi dari penurunan kualitas lingkungan
akibat keberadaan TPAS Cipayung.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Bagi peneliti diharapkan penelitian ini dapat berguna di dalam pengembangan
metode hedonic price yang terkait dengan lingkungan.
2. Bagi Pemerintah Kota Depok diharapkan agar menjadi masukan bahwa
kebersihan lingkungan mempunyai nilai ekonomi.
3. Bagi para pelaku usaha agar dapat menjadi motivasi untuk membuat usaha
dengan memanfaatkan sampah sehingga dapat mengurangi sampah dan
menjaga kualitas lingkungan.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini hanya menganalisis dampak negatif keberadaan TPAS
8 yaitu di Kelurahan Cipayung. Studi ini dilakukan untuk menunjukkan adanya
dampak negatif yang berupa estimasi besarnya nilai ekonomi dari penurunan
kualitas lingkungan akibat keberadaan TPAS Cipayung dilakukan dengan metode
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sampah
Sampah adalah sisa-sisa bahan yang telah mengalami perlakuan, baik
karena telah diambil bagian utamanya, telah mengalami pengolahan, atau karena
sudah tidak bermanfaat. Ditinjau dari segi sosial ekonomis sampah sudah tidak
memiliki harga serta dari segi lingkungan dapat menyebabkan pencemaran atau
gangguan pelestarian alam (Hadiwiyoto, 1983). Sampah juga didefinisikan
sebagai semua jenis buangan dan/atau limbah padat domestik yang berasal dari
proses alam, kegiatan manusia dan makhluk hidup lain (Keputusan Gubernur DKI
Jakarta No.15 Tahun 2002). Sementara Apriadji (2002) memberikan definisi
mengenai sampah sebagai zat-zat atau benda-benda yang sudah tidak terpakai
lagi, baik berupa bahan buangan yang berasal dari rumah tangga maupun pabrik
sebagai sisa proses industri. Dapat disimpulkan bahwa sampah adalah sesuatu
yang dihasilkan oleh proses alam atau kegiatan makhluk hidup yang sudah tidak
terpakai lagi dan dapat dibuang.
Peningkatan jumlah penduduk merupakan faktor penting yang
menyebabkan meningkatnya volume sampah perkotaan dari waktu ke waktu.
Meskipun terdapat perbedaan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi volume
sampah perkotaan, banyak peneliti sepakat bahwa jumlah penduduk merupakan
faktor dominan dan menentukan. Hal tersebut sangatlah logis mengingat bahwa
semakin banyak jumlah penduduk dari waktu ke waktu maka kecenderungan
terjadi peningkatan volume sampah dari waktu ke waktu.
Selain jumlah penduduk, penelitian Slamet (1996) juga menunjukkan
10 teknologi merupakan faktor yang berpengaruh terhadap peningkatan volume
sampah. Sementara itu Budiman (2002) memandang bahwa selain jumlah
penduduk, kondisi fisik dalam arti penggunaan lahan merupakan faktor lain yang
juga mempengaruhi peningkatan volume sampah.
2.1.1 Macam-macam Sampah
Sampah dapat dikategorisasikan berdasarkan aspek-aspek tertentu, seperti
sifat fisik, kimia, maupun mikrobiologinya. Slamet (1996) menyatakan bahwa
berdasarkan sifat fisik dan kimianya, sampah terdiri dari sampah yang mudah
membusuk (garbage), tidak mudah membusuk (refuse), berupa debu, dan
berbahaya bagi kesehatan.
Menurut Hadiwiyoto (1983) sampah digolongkan menjadi tujuh kelompok
berdasarkan kriteria masing-masing, yaitu:
a. Berdasarkan asalnya digolongkan menjadi sampah dari hasil kegiatan rumah
tangga, pertanian, perdagangan, pembangunan dan jalan raya.
b. Berdasarkan komposisinya dibedakan menjadi sampah seragam dan campuran.
c. Berdasarkan bentuknya dibedakan menjadi sampah padat, cair dan gas.
d. Berdasarkan lokasinya dibedakan menjadi sampah kota dan daerah.
e. Berdasarkan proses terjadinya dibedakan menjadi sampah alami dan
non-alami.
f. Berdasarkan sifatnya dibedakan menjadi sampah organik dan non organik.
g. Berdasarkan jenisnya dibedakan menjadi sampah makanan, kebun, kertas,
plastik, karet, kulit, kain, kayu, logam, gelas dan keramik, abu dan debu.
Penggolongan sampah lainnya adalah menurut Apriadji (2002)
11 Penggolongan tersebut antara lain meliputi: (1) human excreta, merupakan bahan
buangan yang dikeluarkan dari tubuh manusia, meliputi tinja (feces) dan air
kencing (urine), (2) sewage, merupakan air limbah yang dibuang oleh pabrik
maupun rumah tangga, (3) refuse, merupakan bahan sisa proses produksi atau
hasil sampingan kegiatan rumah tangga, dan (4) industrial waste, merupakan
bahan-bahan buangan dari sisa proses industri.
Berbagai penggolongan sampah tersebut pada kenyataannya masih kurang
diketahui oleh masyarakat awam sehingga penggolongan sampah yang kemudian
umum digunakan adalah penyederhanaan dari penggolongan sampah tersebut.
Secara sederhana, sampah dapat dikelompokkan menjadi sampah yang mudah
lapuk (organik), sampah yang tidak mudah lapuk (anorganik), dan sampah yang
tergolong bahan berbahaya dan beracun. Lebih sempit lagi, pada umumnya
masyarakat hanya mengetahui penggolongan sampah menjadi sampah organik
dan anorganik saja.
2.1.2 Pengelolaan Sampah
Hadiwiyoto (1983) mendefinisikan pengelolaan dengan penanganan,
dimana yang dimaksud “penanganan” adalah perlakuan terhadap sampah untuk memperkecil atau menghilangkan masalah-masalah yang muncul berkaitan
dengan lingkungan. Penanganan ini dilakukan oleh manusia secara sengaja.
Djuwendah (1998) menyatakan bahwa pengelolaan sampah meliputi tiga kegiatan
yaitu pengumpulan atau penyimpanan, pengangkutan dan
pemusnahan/pembuangan. Sistem pengumpulan yang baik harus meliputi tepat
waktu, tepat tempat dan tepat cara, maksudnya sampah dibuang pada tempat yang
12 Menurut Apriadji (2002), dalam menangani sampah, banyak cara yang
dapat dilakukan, seperti berikut:
1. Penimbunan tanah (land fill), sampah yang terkumpul dari rumah tangga dan
pasar dimanfaatkan untuk menimbun tanah rendah, kemudian diratakan dan
dipadatkan hingga ketinggian yang diinginkan. Cara ini masih banyak
dilakukan di kota-kota Indonesia.
2. Penimbunan tanah secara sehat (sanitary land fill), sampah diperlakukan
seperti cara land fill, namun setelah mencapai ketinggian yang diinginkan,
permukaan atasnya segera ditimbun tanah minimal setebal 60 cm. Teknik ini
dapat mengurangi dampak dari timbunan sampah seperti bau tak sedap, lebih
baik jika dibandingkan dengan cara land fill.
3. Pembakaran sampah (incineration), teknik ini memerlukan pengawasan lebih,
agar sampah yang dibakar tidak tersisa dan tidak menimbulkan banyak asap.
4. Penghancuran (pulverization), sampah dihancurleburkan menjadi potongan
kecil sehingga lebih ringkas dan dapat dimanfaatkan untuk menimbun tanah
rendah serta dibuang ke laut tanpa menimbulkan pencemaran.
5. Pengomposan (composting), sampah kelompok rubbish disisihkan dan garbage
dihancurleburkan sampai lumat agar proses pembusukan sampah
(decomposition) oleh mikroorganisme berlangsung baik, ditimbun secara
teratur dalam hamparan hingga membusuk sempurna, dikeringkan, kemudian
digiling dan siap digunakan.
6. Makanan ternak (hogfeeding), dengan memanfaatkan garbage.
7. Pemanfaatan ulang (recycling), untuk jenis sampah rubbish.
13 Terdapat tiga teknologi pengolahan sampah yang dikenal di Indonesia.
Tiga tekonologi tersebut adalah:
1. Pengomposan (Composting)
Pengomposan merupakan salah satu contoh proses pengolahan sampah secara
aerobik dan anaerobik yang saling menunjang untuk menghasilkan kompos.
Sampah yang dapat digunakan dengan baik sebagai bahan baku kompos adalah
sampah organik karena sampah jenis ini mudah mengalami proses dekomposisi
oleh mikroba-mikroba. Kompos merupakan bahan yang menyerupai humus
hasil penguraian bahan organik oleh mikroorganisme dalam kondisi udara dan
kelembaban yang cukup (Widyatmoko dan Sintorini, 2002).
2. Pembakaran (Incinerator)
Pembakaran sampah dengan menggunakan incinerator adalah salah satu cara
pengolahan sampah, baik padat maupun cair. Tujuan utama pembakaran
sampah adalah mereduksi volume buangan padat (Widyatmoko dan Sintorini,
2002). Proses yang terdapat pada incinerator terdiri atas enam tahap, yaitu
pembakaran, pengolahan abu, pendinginan gas, pengolahan gas, pengolahan air
kotor dan pemanfaatan panas. Proses-proses tersebut menunjukan bahwa
pengolahan sampah dengan incinerator dilakukan dengan memperhatikan
aspek keamanan terhadap lingkungan.
3. Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPAS)
Menurut Suryanto (1988) dalam Yudiyanto (2007), pembuangan akhir sampah
adalah suatu upaya untuk memusnahkan sampah di tempat tertentu yang
disebut TPA. Beberapa metode pengolahan sampah dalam pembuangan akhir
14
1. Open Dumping
Metode ini merupakan cara pembuangan akhir yang sederhana karena
sampah hanya ditumpuk di lokasi tertentu tanpa perlakuan khusus.
2. Controlled Landfill
Metode ini merupakan peralihan antara teknik open dumping dan sanitary
landfill. Pada metode ini sampah ditimbun dan diratakan. Pipa-pipa ditanam
pada dasar lahan untuk mengalirkan air lindi dan ditanam secara vertikal
untuk mengeluarkan metan ke udara. Setelah timbunan sampah penuh
dilakukan penutupan terhadap hamparan sampah tersebut dengan tanah dan
dipadatkan.
3. Sanitary Landfill
Teknik sanitary landfill adalah cara penimbunan sampah padat pada suatu
hamparan lahan dengan memperhatikan keamanan lingkungan karena telah
ada perlakuan terhadap sampah. Pada teknik ini, sampah dihamparkan
hingga mencapai ketebalan tertentu lalu dipadatkan, kemudian dilapisi tanah
dan dipadatkan kembali, di atas lapisan tanah penutup tadi dapat
dihamparkan lagi sampah yang kemudian ditimbun lagi dengan tanah.
Demikian seterusnya berselang-seling antara lapisan tanah dan sampah.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa pengelolaan sampah adalah kegiatan
yang dilakukan untuk menangani masalah lingkungan yang diakibatkan oleh
sampah. Kegiatan pengelolaan tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor yang
terkait, waktu, tempat dan cara. Terdapat beberapa teknik yang dapat digunakan
untuk melakukan pengelolaan sampah, namun yang sering digunakan di kota-kota
15
2.1.3 Dampak yang Ditimbulkan oleh Sampah
Sampah memberikan banyak sekali dampak bagi lingkungan sekitarnya.
Dampak tersebut dapat berupa dampak yang ditimbulkan terhadap manusia
(khususnya kesehatan) maupun lingkungan (Suprihatin et al. 1999) dalam Utari
(2006).
1. Dampak terhadap kesehatan
Lokasi dan pengelolaan sampah yang kurang memadai (pembuangan sampah
yang tidak terkontrol) merupakan tempat yang cocok bagi beberapa organisme
dan menarik bagi berbagai binatang seperti lalat dan anjing yang dapat
menjangkitkan penyakit. Potensi bahaya kesehatan yang ditimbulkan yaitu
diare, kolera, tifus, demam berdarah, jamur dan keracunan.
2. Dampak terhadap lingkungan
Cairan rembasan sampah yang masuk ke dalam drainase atau sungai akan
mencemari air. Berbagai organisme termasuk ikan dapat mati sehingga
beberapa spesies akan lenyap dan mengakibatkan berubahnya ekosistem
perairan biologis. Penguraian sampah yang dibuang ke dalam air akan
menghasilkan asam organik dan gas cair organik seperti metana. Gas cair
organik memiliki bau yang tidak sedap dan dapat meledak dalam konsentrasi
tinggi.
3. Dampak terhadap keadaan sosial ekonomi
a. Pengelolaan sampah yang kurang baik akan membentuk lingkungan yang
kurang menyenangkan bagi masyarakat, antara lain dalam bentuk bau yang
tidak sedap dan pamandangan yang buruk karena sampah berantakan.
16 c. Pengelolaan sampah yang tidak memadai menyebabkan rendahnya tingkat
kesehatan masyarakat dan menimbulkaan pembiayaan secara langsung
(untuk membiayai orang sakit) dan pembiayaan secara tidak langsung
(tidak masuk kerja, rendahnya produktivitas).
d. Pembuangan sampah padat ke badan air dapat menyebabkan banjir dan
akan memberikan dampak bagi fasilitas pelayanan umum seperti jalan,
jembatan, drainase dan lain-lain.
Hadiwiyoto (1983) mengungkapkan bahwa sampah memiliki dampak
positif dan negatif dalam kehidupan manusia, terutama yang tinggal di sekitar
TPA. Dampak-dampak tersebut adalah sebagai berikut:
1. Dampak Negatif
a. Tumpukan sampah dapat menimbulkan kondisi fisik dan kimia yang tidak
sesuai dengan lingkungan yang normal. Biasanya dapat menyebabkan
kenaikan suhu dan perubahan pH tanah. Keadaan ini akan mengganggu
kehidupan di sekitarnya.
b. Tumpukan sampah dapat menjadi media berkembangbiak dan tempat
mencari makan bagi lalat atau tikus, dan pada akhirnya tempat berkembang
bibit penyakit.
c. Dapat menimbulkan pencemaran udara karena selama proses pembusukan
dihasilkan gas-gas beracun, bau yang tidak sedap.
d. Terjadi kekurangan oksigen. Keadaan ini disebabkan karena selama proses
perombakan sampah menjadi senyawa sederhana, diperlukan oksigen yang
diambil dari udara sekitarnya sehingga mengganggu kehidupan flora dan
17 e. Kontak langsung dengan sampah yang mengandung kuman penyakit,
misalnya sampah yang berasal dari rumah sakit.
f. Pasokan air minum yang mengalami kontaminasi dengan bahan kimia
beracun dari sampah yang dibuang ke dalam air.
g. Keadaan fisik sampah, seperti kaleng bekas, paku, pecahan kaca dan
sebagainya mengakibatkan kecelakaan pada manusia.
h. Dapat mencemari tanah.
i. Sampah yang dibuang ke badan air menyebabkan hambatan aliran air
sehingga pada musim penghujan akan menyebabkan banjir.
j. Dapat menjadi sumber kebakaran.
k. Secara estetika, sampah dapat digolongkan sebagai bahan yang dapat
mengganggu pemandangan dan keindahan.
l. Mencerminkan sosial dan budaya serta martabat bangsa.
m. Mengurangi minat wisatawan baik domestik maupun mancanegara.
2. Dampak Positif
a. Dapat dipakai untuk menimbun tanah.
b. Dapat digunakan untuk pupuk sebagai penyubur tanah dan mempercepat
pertumbuhan tanaman
c. Dapat digunakan sebagai pakan ternak.
d. Dapat dimanfaatkan kembali setelah didaur ulang.
e. Gas yang dihasilkan mempunyai nilai ekonomi karena dapat dikonversi
menjadi tenaga listrik.
18 Dapat disimpulkan bahwa keberadaan sampah dapat menimbulkan
dampak positif maupun negatif terhadap manusia dan lingkungannya. Dampak
tersebut dapat berakibat pada kesehatan, kesejahteraan, keadaan sosial dan
berpengaruh juga terhadap harga lahan. Sampah dapat menimbulkan dampak
positif jika dilakukan pengolahan sampah yang baik.
2.1.4 Konsep Ideal Tempat Pembuangan Akhir Sampah
Penentuan lokasi TPA sampah berdasarkan SNI 03-3241-1994 tentang tata
cara pemilihan lokasi tpa sampah dengan beberapa pertimbangan-pertimbangan
(Dardak, 2006), antara lain yaitu TPA sampah tidak boleh berlokasi di danau,
sungai dan laut. Disusun berdasarkan tiga tahapan yaitu: pertama, tahap regional
yang merupakan tahapan untuk menghasilkan peta yang berisi daerah atau tempat
dalam wilayah tersebut yang terbagi menjadi beberapa zona kelayakan. Kedua,
tahap penyisih yang merupakan tahapan untuk menghasilkan satu atau dua lokasi
terbaik diantara beberapa lokasi yang dipilih dari zona-zona kelayakan pada tahap
regional. Ketiga, tahap penetapan yangm erupakan tahap penentuan lokasi terpilih
oleh Instansi yang berwenang.
Selain itu pemilihan lokasi perlu mempertimbangkan aspek-aspek
penataan ruang sebagai berikut:
1. Lokasi TPA sampah diharapkan berlawanan arah dengan arah perkembangan
daerah perkotaan (Urbanized Area).
2. Lokasi TPA sampah harus berada di luar dari daerah perkotaan yang didorong
pengembangannya (Urban Promotion Area).
3. Diupayakan transportasi menuju TPA sampah tidak melalui jalan utama
19 Berdasarkan PP 16 tahun 2005 tentang pengembangan sistem penyediaan
air minum yang di dalamnya mengatur masalah persampahan (bagian ketiga pasal
19-22), bahwa penanganan sampah yang memadai perlu dilakukan untuk
perlindungan air baku air minum dan secara tegas dinyatakan bahwa TPA sampah
wajib dilengkapi dengan zona penyangga dan metoda pembuangan akhirnya
dilakukan secara sanitary landfill untuk kota besar dan metropolitan dan
controlled landfill untuk kota kecil dan sedang. Selain itu perlu pula dilakukan
pemantauan kualitas hasil pengolahan leachate secara berkala.
Menurut Soedradjat (2005) kawasan sekitar TPA dibagi menjadi dua, yaitu
1. Zona Penyangga
Zona penyangga diukur mulai dari batas terluar tapak TPA sampai pada jarak
tertentu sesuai dengan pedoman pengoperasian dan pemeliharaan tempat
pembuangan akhir (TPA) Sistem Controlled Landfill dan Sanitary Landfill,
yakni 500 meter, dengan pemanfaatan sebagai berikut:
a. 0 – 100 meter diharuskan berupa sabuk hijau.
b. 101 – 500 meter pertanian non pangan, hutan.
2. Zona Budi Daya Terbatas
Zona budi daya terbatas ditentukan mulai dari batas terluar zona penyangga
sampai pada jarak yang telah aman dari pengaruh dampak TPA yang berupa:
a. Bahaya meresapnya lindi ke dalam mata air dan badan air lainnya yang
dipakai penduduk untuk kehidupan sehari-hari.
b. Bahaya ledakan gas metan.
20 Zona budi daya terbatas ditentukan pada jarak 501 – 800 meter dari batas
terluar tapak TPA. Pemanfaatan ruang adalah sebagai berikut:
a. Rekreasi dan RTH.
b. Industri terkait sampah.
c. Pertanian non pangan.
d. Permukiman di arah hilir bersyarat.
e. Permukiman yang telah ada sebelumnya harus memperhatikan
persyaratan-persyaratan teknis dalam penggunaan air tanah. Khusus untuk air minum
disarankan untuk tidak menggunakan air tanah.
2.2 Harga Lahan
Harga lahan (land price) menurut Hartwick dan Olewiller (1986)
merupakan ekspektasi seseorang terhadap manfaat yang dapat dihasilkan oleh
lahan sepanjang masa. Rent yang diperoleh dari lahan akan menentukan besarnya
harga lahan tersebut.
Nilai ekonomi lahan menurut Barlowe (1978) dapat dibedakan menjadi
dua, yaitu:
1. Sewa lahan (contract rent) sebagai pembayaran aktual dari penyewa kepada
pemilik dimana pemilik melakukan kontrak sewa dalam jangka waktu tertentu.
2. Keuntungan usaha (economic rent atau land rent) merupakan surplus
pendapatan di atas biaya produksi atau harga input lahan yang memungkinkan
faktor produksi lahan dapat dimanfaatkan dalam proses produksi.
Harga lahan yang digunakan pada penelitian mendekati istilah yang pertama
21 Teori sewa lahan menurut model klasik yang banyak digunakan adalah
konsep dari David Ricardian dan Von Thunen (Barlowe, 1978). David Ricardo
memberikan konsep tentang sewa lahan atas dasar perbedaan alam kesuburan
tanah terutama pada masalah sewa lahan di sektor pertanian, tetapi dalam
analisisnya David Ricardo tidak terlepas dari asumsi yaitu pada daerah
pemukiman baru terdapat sumberdaya lahan yang subur dan melimpah. Ricardo
berpendapat hanya lahan yang subur yang digunakan untuk budidaya pertanian
dan tidak ada pembayaran sewa lahan sehubungan dengan penggunaan lahan
tersebut, karena penduduk masih jarang atau sedikit jumlahnya. Sewa lahan akan
muncul apabila jumlah penduduk bertambah sehingga meningkat permintaan akan
lahan yang mengakibatkan digunakannya lahan kurang subur oleh masyarakat.
Teori sewa lahan model Ricardo ditentukan berdasarkan perbedaan dalam
kualitas lahan yang hanya melihat faktor kemampuan lahan untuk membayar sewa
tanpa memperhatikan faktor lokasi lahan. Faktor lokasi lahan dalam menentukan
nilai sewa lahan (land rent) dibahas dalam model Von Thunen. Model ini
menunjukkan berbagai tanaman yang dihasilkan oleh daerah-daerah subur dekat
pusat pasar dan menemukan bahwa sewa lahan di dekat pusat pasar lebih tinggi
dari daerah-daerah yang lebih jauh dari pusat pasar. Menurut Von Thunen sewa
lahan berkaitan dengan biaya transport dari daerah produksi ke pusat pasar.
Semakin jauh jarak lokasi lahan dari pasar akan menyebabkan semakin tingginya
biaya transportasi. Lahan yang lokasinya dekat ke pasar oleh masyarakat
digunakan untuk daerah pusat kegiatan ekonomi yang akan memberikan
22 Oleh karena itu harga lahan tidak terlepas dari faktor lingkungan,
perbedaan lokasi lahan dengan atribut lingkungan yang bervariasi mempunyai
pengaruh dalam harga lahan yang bersangkutan atau secara konkrit harga lahan
akan semakin meningkat jika kualitas lingkungan bertambah baik. Kualitas
lingkungan yang lebih baik akan meningkatkan kepuasan (utility) dan tentunya
kepuasan ini akan menambah kesediaan seseorang untuk membayar.
2.3 Hedonic Price Method
Hedonic Price Method (HPM) digunakan untuk menentukan nilai suatu
ekosistem atau lingkungan. Nilai dari ekosistem atau lingkungan tersebut biasanya
mempengaruhi harga dari suatu barang yang dapat dipasarkan. HPM digunakan
untuk menentukan keterkaitan yang muncul antara atribut lingkungan dengan
harga suatu barang yang mempunyai nllai pasar. Salah satu penggunaan HPM
yang sering digunakan adalah menentukan harga lingkungan yang dicerminkan
oleh harga rumah atau lahan. Metode ini dapat digunakan untuk mengukur
keuntungan dan biaya ekonomi yang terkait dengan kualitas lingkungan, meliputi
polusi udara, polusi air dan parameter kualitas lingkungan lainnya. Keputusan
individu untuk membeli rumah merupakan suatu fungsi yang tergantung pada
tingkat polusi dan kebersihan pada lingkungan. Individu akan membayar lebih
untuk mendapatkan rumah yang kualitas udara dan kebersihannya lebih baik.
Menurut Rosen (1974) dalam Hufsmidtz et al. (1987), harga hedonik
didefinisikan sebagai harga tersirat karakteristik suatu milik (misalnya luas,
lokasi, kualitas dan karakteristik unit perumahan) yang dinyatakan dengan melihat
berbagai karakteristik lingkungan yang berhubungan dengan hal tersebut. Turner,
23 tidak bisa langsung terlihat datanya di pasar, misalnya harga kualitas lingkungan,
harga keindahan taman, juga harga lokasi/jarak ke pusat kota. Sementara
Malpezzi (2002) mengungkapkan pendapatnya bahwa alasan dasar menggunakan
HPM karena harga merupakan faktor yang berhubungan baik dengan karakteristik
atau jasa yang disediakan.
Fungsi hedonic price menjelaskan tentang faktor-faktor yang
mempengaruhi harga sebuah rumah/lahan. Menurut Hanley dan spash (1993)
harga lahan dipengaruhi oleh karakteristik lahan itu sendiri, karakteristik
lingkungan sekitar dan kualitas lingkungan. Pada penelitian ini dilakukan
pembatasan variabel, harga lahan diasumsikan hanya dipengaruhi oleh
karakteristik lahan itu sendiri (X) dan kualitas lingkungan (Z). Karakteristik lahan
dapat meliputi luas lahan, luas bangunan, dan status lahan. Sedangkan, kualitas
lingkungan ditunjukkan dengan kualitas udara atau kebersihan lingkungan.
Pembatasan variabel dilakukan karena ditakutkan terjadi data yang bias dan juga
dikarenakan keterbatasan waktu dan dana untuk memperoleh data yang lebih
lengkap. Pembatasan variabel ini juga pernah dilakukan oleh Morancho (2003)
yang melakukan penelitian untuk mengetahui hubungan antara harga rumah
dengan area hijau di perkotaan dengan menggunakan HPM.
Fungsi hedonic price dapat ditentukan dengan persamaan regresi. Secara
ekonomi dapat ditulis, yaitu:
Ph = P (X1, X2, ...., Xn, Z) ... (2.1)
atau secara matematis dapat dituliskan sebagai bentuk:
Ph = β0 + β1X1 + β2X2 + ... + βnXn + βzZ + ε, ... (2.2)
24 Ph = harga lahan
β = koefisien/intersep
X1, X2, ...., Xn = karakteristik lahan itu sendiri
Z = kualitas lingkungan
ε = error term yang menunjukkan adanya faktor lain yang turut menentukan harga lahan.
Setelah model yang menunjukkan fungsi hedonic price dibentuk, maka
dapat ditentukan nilai implisit dari karakteristik lingkungan. Nilai implisit tersebut
dapat digunakan untuk menunjukkan besarnya pengaruh faktor lingkungan
terhadap harga lahan. Besar pengaruh faktor lingkungan disebut nilai implisit
dikarenakan faktor lingkungan diperhitungkan nilainya secara implisit di dalam
penentuan harga lahan. Sebagai contoh adalah kebersihan lingkungan sekitar
lahan. Seseorang akan menghargai lahan yang mempunyai lingkungan yang
bersih dengan nilai yang lebih tinggi. Sebaliknya seseorang akan menghargai
dengan nilai yang lebih rendah terhadap lahan yang mempunyai lingkungan yang
kotor. Hal ini menunjukan bahwa kebersihan lingkungan secara implisit
mempengaruhi harga lahan tersebut.
Nilai implisit lingkungan ditunjukan dengan nilai dari perubahan marjinal
di dalam variabel kualitas lingkungan. Nilai implisit diperoleh dengan cara
membuat deferensiasi parsial dari persamaan fungsi hedonic price yang telah
diperoleh, sehingga dapat dibentuk:
δPh/δZ = δ (β0 + β1X1 + β2X2 + ... + βnXn + βzZ) / δQk ... (2.3) δPh/δQk disebut dengan rent differential (r). Harga implisit lingkungan atau bisa disebut juga kurva permintaan terbalik dapat ditunjukkan dalam Gambar 1. Kurva
25 ini menghubungkan antara harga dari lahan dan kualitas lingkungannya.
Sumber: Hanley dan Spash (1993)
Gambar 1. Kurva Harga Implisit Lingkungan
2.3.1 Keunggulan dan Keterbatasan Hedonic Price Method
Beberapa studi mengenai valuasi ekonomi yang menggunakam HPM
menunjukkan bahwa penggunaan metode ini masih terdapat beberapa keuntungan
dan keterbatasan yang perlu diperhatikan dalam penggunaannya. Keuntungan
penggunaan HPM adalah sebagai berikut:
1. Dapat digunakan untuk mengestimasi nilai berdasarkan pilihan yang ada.
2. Pasar properti tempat tinggal atau lahan relatif efisien di dalam pengumpulan
informasinya.
3. Data yang terkait dengan tempat tinggal atau lahan dan karakteristiknya dapat
diperoleh dari berbagai sumber dan dapat dikaitkan dengan sumber data
sekunder lainnya untuk menentukan variabel di dalam analisis.
4. Dapat disesuaikan dengan keterkaitan yang ada antara market goods dengan
kondisi lingkungannya. 0
P (harga)
Ph = P(Qk) = harga implisit lingkungan
Qk = kualitas lingkungan tertentu 30 20 15 3 2 1
26 Keterbatasan penggunaan HPM adalah sebagai berikut:
1. Cakupan keuntungan meliputi kondisi lingkungan yang dapat diukur.
2. Metode tersebut hanya terkait dengan willingness to pay/willingness to accept
seseorang terhadap kondisi lingkungan yang ada. Hal ini dapat menyebabkan
nilai yang ada tidak mencerminkan harga rumah/lahan yang sebenarnya bagi
seseorang yang tidak peduli terhadap kaitan antara kualitas lingkungan dengan
keuntungan yang diperolehnya.
3. Asumsi yang digunakan di dalam metode tersebut adalah seseorang
mempunyai kesempatan untuk memilih kombinasi yang diinginkannya dengan
tingkat pendapatan tertentu. Padahal, suatu pasar rumah/lahan mungkin
dipengaruhi oleh faktor lain, misalnya pajak dan tingkat bunga.
4. Hasil yang diperoleh akan sangat ditentukan dengan model yang dibuat.
5. Jumlah data yang dikumpulkan relatif banyak.
6. Aplikasi sangat ditentukan dengan ketersediaan data.
2.3.2 Masalah dalam Hedonic Price Method
Menurut Hanley dan Spash (1993), terdapat beberapa permasalahan dalam
metode harga hedonik, yaitu:
1. Penghilangan variabel bias
Di dalam pembuatan fungsi hedonik harus dapat diputuskan faktor-faktor yang
disertakan sebagai variabel independen di dalam model persamaan tersebut.
2. Multikolinearitas
Beberapa variabel yang digunakan dalam fungsi hedonik dapat saling
27 3. Pemilihan model/bentuk fungsi
Pemilihan model/bentuk yang tepat dapat mempengaruhi estimasi.
4. Segmentasi pasar
Dalam housing market selalu ditemukan segmentasi. Oleh karena itu, di dalam
analisis perlu dibedakan berdasarkan segmentasi yang ada.
5. Tingkat karakteristik aktual dan harapan
Dalam penggunaan pendekatan HPM, kualitas lingkungan yang ada
diasumsikan berpengaruh nyata terhadap harga rumah/lahan. Tetapi adanya
harapan terhadap perubahan kualitas lingkungan dapat rnempengaruhi harga
rumah/lahan tersebut.
6. Keberadaan asumsi yang menghambat (restriksi)
HPM hanya memberikan estimasi yang akurat tentang kualitas lingkungan jika
semua pembeli di pasar mendapatkan informasi yang lengkap dan dapat
merubah tingkat kepuasannya serta housing market yang terjadi selalu berada
pada kondisi keseimbangan. Padahal kondisi tersebut tidak selalu terjadi,
sehingga hanya kualitas lingkungan yang berpengaruh di dalam housing
market saja yang akan diukur.
2.4 Skala Perbedaan Semantik (Semantic Differential)
Menurut Nazir (1999) dalam skala perbedaan semantik responden diminta
untuk menilai suatu konsep atau objek dalam suatu skala bipolar. Skala bipolar
adalah skala yang berlawanan seperti baik buruk, cepat lambat, dan sebagainya.
Skala perbedaan semantik ini dapat digunakan untuk melihat bagaimana
pandangan seseorang terhadap suatu konsep atau objek. Prinsip sifat positif diberi
28 dalam penetapan skala perbedaan semantik. Skala perbedaan semantik digunakan
oleh Widodo (2008) dalam penelitian sikap konsumen terhadap jeruk dan pisang
lokal segar, skala perbedaan semantik digunakan untuk menilai kualitas buah
tersebut dengan skor satu untuk menilai buah yang sangat buruk sampai dengan
skor lima untuk menilai buah yang sangat bagus.
2.5 Metode Dose-Respon (Dose-Response Method/DRM)
Metode ini menurut Hanley dan Spash (1993) merupakan suatu metode
untuk mencari hubungan antara variabel kualitas lingkungan, misalnya dampak
kualitas air terhadap kesehatan manusia. metode ini dapat mengkuantifikasi secara
moneter dampak kerusakan yang terjadi. Perhitungan dampak ekonominya
memerlukan estimasi yang menyangkut nilai kehidupan manusia seperti
pengurangan resiko sakit atau meninggal.
Langkah-langkah untuk menghitung biaya kesehatan (Golub et al. 2003):
1. Menentukan suatu hubungan antara kualitas lingkungan dengan tingkat
kesehatan manusia atau kerusakan materi. Diperlukan studi mengenai penilaian
resiko yang mempengaruhi kesehatan.
2. Menghitung besarnya pengaruh terhadap kesehatan sesuai dengan langkah
pertama.
3. Evaluasi biaya moneter untuk harga pasar dari biaya pengobatan dan
pengurangan resiko sakit.
2.6 Penelitian Terdahulu
Astuti (2005) melakukan penelitian mengenai strategi pemberdayaan
masyarakat sekitar TPAS Cipayung melalui penguatan kemampuan masyarakat
29 masalah diketahui bahwa masyarakat membutuhkan penguatan kemampuan untuk
mengetahui masalah yang mereka hadapi dan cara mengatasinya. Program jangka
panjang yang dibutuhkan adalah pendidikan masyarakat dalam memperlakukan
sampah dan penetapan Peraturan Daerah tentang pengelolaan sampah serta
penelitian tentang teknik pengelolaan sampah yang efektif dan efisien.
Kurniawan (2006) melakukan penelitian mengenai analisis kualitas air
sumur di sekitar wilayah TPAS dengan melihat Indeks Kualitas Air (IKA) sumur
sebagai pengaruh pengelolaan TPA (studi kasus di TPA Galuga Cibungbulang
Bogor). Hasil pengukuran fisik, kimia dan mikrobiologi air sumur di wilayah
sekitar TPA Galuga menunjukan ada 11 parameter yang telah melampaui ambang
batas maksimum yang diperbolehkan menurut persyaratan Baku Mutu air Kelas I,
yaitu bau, rasa, PH, DO, BOD5, COD, amonia, nitrit, seng, bakteri coliform dan
fecal coli (E.coli). IKA sumur pada jarak 400 m, 600 m dan 700 m tergolong
buruk dengan kisaran indeks 41,03 – 48,36. Nilai IKA rata-rata untuk seluruh
lokasi pengamatan adalah 48,65 yang tergolong buruk. Hasil penelitian
memberikan gambaran bahwa secara umum kualitas air sumur wilayah sekitar
TPA tergolong buruk dan tidak layak dikonsumsi untuk air minum namun masih
bisa digunakan untuk keperluan perikanan dan pertanian.
Utari (2006) melakukan penelitian untuk mengkaji nilai retribusi
(Willingness to Pay/WTP) dan nilai dana kompensasi yang bersedia diterima
masyarakat (Willingness to Accept/WTA) serta mengidentifikasi faktor-faktor
yang mempengaruhi nilai tersebut di TPAS Pondok Rajeg Kabupaten Bogor.
Nilai dugaan rataan WTP responden adalah Rp 5.600,00 per KK per bulan, nilai
30 bulan. Nilai dugaan total WTP masyarakat adalah sebesar Rp 38.840.250,00 per
bulan dan besar surplus konsumen responden adalah Rp 5.000,00 per bulan. Nilai
WTP responden Kecamatan Cibinong dipengaruhi oleh faktor tingkat pendapatan,
jumlah tanggungan, kepuasan responden terhadap pelayanan pengelolaan sampah,
dan biaya yang dikeluarkan responden selain biaya retribusi kebersihan.
Nilai dugaan rataan WTA responden adalah Rp 37.300,00 per KK per
bulan, nilai tengah WTA Rp 35.300,00 per KK per bulan. Nilai dugaan total WTA
masyarakat adalah sebesar Rp 59.700.000,00 per KK per bulan dan besar surplus
produsen adalah Rp 2.300,00 per bulan. Nilai WTA responden Kelurahan Pondok
Rajeg dipengaruhi oleh faktor tingkatan pendapatan, jarak tempat tinggal dengan
lokasi TPA, dan tingkat gangguan yang dialami responden akibat keberadaan
TPA. Hasil penelitian menunjukkan besarnya nilai dugaan total WTA masyarakat
Kelurahan Pondok Rajeg yang lebih besar dari nilai dugaan total WTP masyarakat
Kecamatan Cibinong. Penetapan kebijakan oleh pemerintah sebaiknya
disesuaikan dengan keinginan masyarakat agar tidak menimbulkan konflik.
Silalahi (2008) melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi harga lahan pemukiman di Kecamatan Cibinong, Kabupaten
Bogor. Faktor yang berpengaruh nyata dengan variabel tak bebasnya harga lahan
pada model linier dan model double-log adalah luas lahan, jarak lahan ke jalan
yang sering dilaui kendaraan roda empat, kepadatan penduduk, fasilitas air dan
Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).
Avianto (2005) melakukan penelitian untuk menganalisis fungsi hedonik
dari lingkungan tempat tinggal dan menganalisis nilai ekonomi lingkungan tempat
31 dapat diketahui bahwa faktor yang mempengaruhi tingkat harga sewa adalah
fasilitas, luas tempat tinggal dan tingkat keamanan yang berkorelasi positif serta
kondisi air dan kondisi udara yang berkorelasi negatif. Sedangkan nilai implisit
lingkungan terhadap tingkat harga sewa adalah -0,297 untuk kondisi air, 0,256
untuk kondisi keamanan dan -0,299 untuk kondisi udara. Nilai ekonomi
lingkungan pemukiman adalah Rp 10.065.016.310,00, diperoleh berdasarkan
perkalian antara harga sewa rata-rata dengan jumlah kamar yang terdapat di
tempat penelitian tersebut.
Jailani (2007) melakukan penelitian untuk mengidentifikasi faktor-faktor
penentu harga rumah di Kota Bogor dengan penerapan metode harga hedonik.
Hasil penelitian menunjukan bahwa faktor yang paling berpengaruh terhadap
harga rumah adalah lokasi (diukur dengan jarak ke pusat kota) dan luas bangunan.
Faktor-faktor lain seperti jumlah kamar tidur, jumlah kamar mandi, kapasitas
garasi dan luas ruang keluarga diduga juga berpengaruh namun secara statistik
tidak nyata begitu dua faktor pertama tersebut di atas dimasukan ke dalam model.
Hanum (2007) melakukan penelitian mengenai kebisingan pemukiman
pinggiran rel kereta api, dengan melakukan analisis preferensi, persepsi dan WTA
(kasus Desa Cilebut Timur Kabupaten Bogor Jawa Barat). Penelitiannya bertujuan
untuk mengkaji kesediaan masyarakat Cilebut Timur dalam menerima
kompensasi dan besar nilainya dengan menggunakan HPM. Variabel yang secara
nyata mempengaruhi nilai WTA responden adalah jumlah tanggungan, harga
tanah, pendidikan, jenis pekerjaan, luas tanah, jarak ke sumber kebisingan dan
sumber pendapatan. Berdasarkan pendekatan HPM, dibentuk fungsi hedonik.
32 meter2, sehingga bid curve yang terbentuk adalah supply curve antara nilai WTA
(Rp/m2) yang diperoleh dengan luas tanah (m2) responden.
Morancho (2003) melakukan penelitian untuk mengetahui hubungan
antara harga rumah dengan area hijau di perkotaan dengan menggunakan HPM.
Beberapa variabel konvensional dan tiga variabel lingkungan yang digunakan
yaitu keberadaan taman, jarak rumah dengan area hijau, dan ukuran area hijau.
Hasil penelitian menunjukan salah satu variabel lingkungan berpengaruh nyata
terhadap harga rumah yaitu variabel jarak rumah dengan area hijau. Variabel ini
berkorelasi negatif sehingga semakin dekat dengan area hijau maka harga rumah
akan semakin mahal.
Snyder et al. (2006) melakukan penelitian untuk mengetahui faktor yang
mempengaruhi pasar lahan hutan yang belum berkembang di Minnesota bagian
utara. Hasil penelitian menunjukan bahwa karakteristik fisik lahan, kenyamanan,
volume kayu yang laku, tipe pembangunan, pembiayaan, dan agen berpengaruh
terhadap harga lahan hutan. Tiga faktor utama yang mempengaruhi harga lahan
hutan yaitu pembangunan lahan, jarak ke sumber air, dan kontrak pembiayaan.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di atas ada beberapa faktor
yang mempengaruhi harga lahan atau rumah, selain karakteristik lahan atau
rumah, faktor lingkungan juga berpengaruh terhadap harga lahan atau rumah.
Selain itu beberapa penelitian menunjukan bahwa terjadi pencemaran lingkungan
di sekitar TPA, semakin dekat ke TPA maka degradasi lingkungan itu semakin
besar, untuk itu perlu perhatian dari pemerintah setempat untuk mengatasi
masalah tersebut. Masalah tersebut dapat diatasi dengan cara memberikan
III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Operasional
Kota Depok merupakan salah satu kota besar di Indonesia yang setiap
harinya menghasilkan sampah yang berasal dari sumber yang berbeda. Produksi
sampah berasal dari sampah perumahan atau pemukiman, fasilitas umum (sapuan
jalan, terminal, rumah sakit, pasar, dan lain-lainnya) dan industri.
Pengolahan sampah Kota Depok dilaksanakan di TPAS Cipayung.
Ketersediaan lahan untuk TPA sangat terbatas, sementara volume sampah
semakin besar seiring meningkatnya pertumbuhan penduduk. Terjadi
ketimpangan yang menyebabkan munculnya timbunan sampah di TPAS
Cipayung.
Terjadi juga peningkatan pemanfaatan lahan pemukiman seiring
meningkatnya jumlah penduduk. Hal ini akan menimbulkan kecenderungan
diabaikannya persyaratan lingkungan pemukiman, sehingga terdapat lingkungan
pemukiman yang kurang memperhatikan persyaratan kenyamanan bagi
penduduknya. Hal ini terlihat dari banyaknya penduduk yang tinggal di sekitar
TPAS Cipayung walaupun timbul dampak negatif berupa pencemaran lingkungan
di sekitar TPAS Cipayung.
Penelitian ini mendeskripsikan kondisi lingkungan pemukiman di sekitar
TPAS Cipayung berdasarkan penilaian responden dengan menggunakan analisis
deskriptif, serta menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi harga lahan di
sekitar TPAS Cipayung dengan menggunakan Hedonic Price Method (HPM).
Selanjutnya untuk menghitung besarnya nilai ekonomi dari penurunan kualitas
34 Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai pengaruh
penurunan kualitas lingkungan terhadap harga lahan di sekitar TPAS Cipayung
sehingga dapat memberikan rekomendasi upaya yang dapat diambil oleh
Pemerintah Kota Depok. Diagram alur berpikir dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Diagram Alur Berpikir 3.2 Hipotesa
1. Semakin jauh jarak tempat tinggal dari TPAS Cipayung maka kualitas
lingkungan semakin baik.
2. Semakin jauh lokasi lahan dengan TPAS Cipayung maka semakin tinggi harga
lahan tersebut.
TPAS Cipayung over limit
Meningkatnya kebutuhan lahan sebagai pemukiman
Penurunan kualitas lingkungan Pencemaran lingkungan Deskripsi kondisi lingkungan pemukiman sekitar TPAS Cipayung
Analisis faktor yang berpengaruh terhadap
harga lahan
Estimasi nilai penurunan kualitas
lingkungan
Rekomendasi upaya meminimalisir dampak negatif TPAS Pemerintah