• Tidak ada hasil yang ditemukan

Caruban Sebagai Asal Nama Cirebon Eksplorasi Spirit Arsitektur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Caruban Sebagai Asal Nama Cirebon Eksplorasi Spirit Arsitektur"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | C 069

Caruban Sebagai Asal Nama “ Cirebon” Eksplorasi Spirit

Arsitektur

Sudarmawan Juwono(1), Dwi Aryanti(2), Kiki Maria(3)

sudarmaw any uw ono@gmail.com, kimarch99@gmail.com

(1)Lab. A rsitektur Kota/Perancangan Kota, Program Studi Teknik A rsitektur, F akultas Teknik, U niv ersitas Bung Karno Jakarta . (2)Lab. Teori A rsitektur /A rsitektur Lanskap, Program Studi Teknik A rsitektur, F akultas Teknik, U niv ersitas Bung Karno Jakarta. (3)Lab. Sejarah A rsitektur/Teori Perancangan, Program Studi Teknik A rsitektur, F akultas Teknik, U niv ersitas Bung Karno Jakarta . Abstrak

Pelestarian spirit arsitektur kota sebagai bagian identitas kota menjadi kebutuhan utama dalam dinamika kota. Arsitektur sebagai artifak maupun konsep ruang menyimpan serangkaian jejak kebudayaan manusia karena keberadaannya sebagai wadah fungsi aktivitas berkembang menjadi bagian identitas manusia yang di dalamnya. Oleh sebab itu terdapat kaitan erat antara nama dan konsep arsitektur karena toponimi merupakan proses budaya yang medak nandai keberadaan manusia menempati lingkungannya. Dalam perancangan arsitektur kota, keberadaan spirit arsitektur menjadi sangat strategis untuk melestarikan nilai budaya di tengah tengah dinamika warganya. Kertas kerja ini mengemukakan pendapat bahwa Cirebon berasal dari kata Caruban yang berarti campuran yang memiliki makna mendalam mengenai suatu proses interaksi kebudayaan pada suatu masa. Makna toponimi Caruban yang berarti alkulturasi budaya sangat tepat untuk diangkat sebagai spirit arsitektur kota Cirebon sebagai kota budaya relijius.

Kata-kunci : toponimi, spirit arsitektur

Pendahuluan

Di Indonesia, nama suatu kota memiliki latar belakang sejarah. Tidak jarang kemudian nama tersebut menjadi suatu spirit dan identitas bagi warganya untuk bertindak dan berperilaku, sehingga nama menjadi sesuatu yang paling tidak bermakna kalau tidak dianggap sebagai sesuatu yang bernilai strategis. Dalam proses perkembangan kota atau wilayah, nama itu dapat dimaknai sebagai sesuatu kesepakatan antar warga dalam mempersepsikan bagaimana mereka berperilaku dan berkarakter dalam berbagai aktivitas di dalamnya. Suatu hal yang lebih strategis adalah penting untuk menempatkan “ genius loci “ sebagai prinsip lokalitas ber-arsitektur, identitas dan membangun spirit of place dalam arsitektur kota maupun pembangunan wilayah.

Pada kasus kota Cirebon, ada penjelasan mengenai asal usul kata Cirebon salah satu dijelaskan berasal dari kata “ Caruban “ yang berasal dari kata “ caruban ” berarti campuran (Sulendraningrat, 1985). Nama inipun digunakan untuk menamai tulisan sejarah Cirebon “ Babad Purwaka Caruban Nagari “ ( Tim Yayasan Mitra Budaya, 1982). Sejalan dengan spirit of place, bahwa identitas bukan hanya menunjukkan komunikasi diri melainkan pada suatu sikap atau perilaku (Liliweri, 2003). Oleh sebab itu perlu dilakukan pembahasan toponimi Cirebon dari kata Caruban dalam upaya menggali identitas dan makna yang ada dikaitkan dengan kepentingan pelestarian arsitektur kota 1.

Permasalahan

Bertitik tolak dari pembahasan tersebut maka dapat diangkat permasalahan dalam pembahasan kertas kerja ini adalah : (1) Bagaimana nama kota terbentuk dalam perspektif arsitektur kota

(2)

C 070 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017

berkaitan dengan identitas dalam sejarah pembentukan wilayah tersebut ?; (2) Apa makna penyebutan tersebut dalam konteks kebudayaan arsitektur kota yang dapat digunakan sebagai spirit kota dalam membangun, melestarikan serta bertransformasi ?

Toponomi dan Genius Loci

Topomimi adalah ilmu mengenai asal usul nama tempat, berasal dari bahasa Inggris toponym. Kata toponym dari kata “ topos “ yang berarti tempat dan “ onyma ” yang berarti nama (Rais, 2008). Melalui penelusuran toponimi dapat diketahui mengenai sejarah tempat tersebut sehingga dinamakan demikian. Ruspandi, dkk (2014) telah melakukan penelitian mengenai fenomena geografis di balik makna toponimi di kota Cirebon. Arsitektur kota memiliki kepentingan terhadap place sebagai pemaknaan terhadap ruang yang antara lain sangat erat dengan sejarah kota atau bagian dari kota. Perancangan kota selalu mendasarkan pada pemahamanan mengenai bagaimana suatu kota dikembangkan sebagai bagian pemaknaan yang berkelanjutan. Prinsip ini dari aspek sejarah berarti adanya kebutuhan untuk melanjutkan kont inuitas sejarah yang bersifat dinamis bukan sebaliknya justru menimbulkan “ fenomena putus “ yang membuat artefak ruang tercerabut dari akar sosialnya. Dipandang dari perspektif arsitektur kota, penelusuran sejarah nama kota dapat melahirkan berbagai pandangan yang memberikan kontribusi mengenai makna kota.

Pada kebudayaan Nusantara, kedudukan nama menjadi penting karena dianggap merepresentasikan keinginan, harapan, sejarah, karakter, dan identitas (di mana orang kemudian menjadikan dirinya dari identitas ruang tersebut). Studi spirit arsitektur biasa merujuk pada konsep genius loci (Shultz, 1984) yang menunjukkan relasi antara ruang dan maknanya. Secara singkat dapat dikatakan bahwa konsep genius loci adalah suatu pemahaman adanya pelajaran mengenai kearifan ruang yang memiliki makna bagi manusia sebagai penggunanya untuk melakukan sesuatu yang bersifat positif. Dihubungkan dengan nama suatu ruang, maka konsep genius loci dapat dielaborasi dan diangkat menjadi kekuatan dalam ber-arsitektur. Semangat dan tindakan ber-arsitektur ini dalam konteks pembangunan kota menjadi modal budaya (culture-capital) yang sangat strategis pada masa sekarang ini. Kegagalan memelihara semangat dan tindakan ber-arsitektur ini berakibat kerusakan budaya ruang kota seperti terjadi pada beberapa kota di Indonesia.

Latar Budaya Asal Nama Cirebon

Sejarah terbentuknya kota Cirebon dimulai saat Syarif Hidayatullah penyebar agama Islam yang dikenal sebagai Sunan Gunung Jati salah satu dari Walisongo mengembangkan keraton Pakungwati pada tahun 1479 sebagai cikal bakal keraton-keraton di Cirebon (Sulendraningrat, 1985). Upaya pemisahan wilayah Cirebon yang menganut ajaran Islam dengan kerajaan Pajajaran Hindu dilukiskan berlangsung dengan damai mengingat Rara Santang ibu Syarif Hidayatullah adalah putri raja Pajajaran. Pada masa itu Cirebon menjadi bandar yang terkemuka di Nusantara yang mengakibatkan adanya interaksi dengan armada dagang Nusantara maupun manca negara antara lain Arab, Cina dan Portugis. Sunan Gunung Jati seperti halnya W alisongo lain membumikan ajaran Islam dengan memanfaatkan berbagai idiom budaya lokal maupun asing yang berpengaruh. Oleh sebab itu kebudayaan Cirebon sendiri kemudian tumbuh berkembang menjadi budaya yang sangat khas terbentuk dari berbagai budaya Jawa-Demak-Majapahit, Islam, Cina maupun Portugis 3. Penjelasan nama Cirebon berasal dari kata Cai dan Rebon sebagaimana dijelaskan oleh Pangeran Sulendraningrat saat ini lebih popular dibandingkan yang berasal dari kata “ Caruban “. Hanya kata Cirebon jika dianggap berasal dari kata “ Cai “ dan “ Rebon “ tersebut ditilik dari sejarah dan latar belakang budaya kurang memiliki makna yang strategis. Penamaan Cirebon dari Cai-Rebon

(3)

Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | C 071 menempatkan sebutan tersebut terbatas pada budaya makanan atau tempat masyarakat yang membuat terasi. Adapun sebutan Cirebon dari kata Caruban juga bukan sesuatu yang asing sebagaimana disebut dalam Carita Purwaka Caruban Nagari yang ditulis oleh Pangeran Aria Cirebon pada tahun 1720. Asal kata Sarumban kemudian menjadi Caruban kemudian menjadi Cerbon dan Cheribon. Kata sarumban berarti “ campuran “ atau dalam bahasa Jawa dikenal juga “ Carub “ yang berarti campur. Di antara Jawa Timur menuju Jawa Tengah terdapat sebuah kota kecil bernama Caruban. Kata ini menandakan ada tempat untuk bercampur atau berinteraksi. Artinya penyebutan Caruban juga bukan sesuatu yang asing atau dibuat-buat (dalam bahasa Jawa disebut jarwa dosok) melainkan memiliki falsafah yang mewakili kebudayaan Cirebon.

Eksplorasi Budaya Caruban

Peninggalan arsitektur tradisional Cirebon seperti keraton, taman, masjid dan makam sebagaimana yang ada sekarang ini dibangun secara bertahap. Ada beberapa ciri mendasar yang meruapakan hasil alkulturasi antara budaya lokal dan mancanegara sehingga tepat dikatakan sebagai “ campuran “ atau Caruban. Dalam upaya mengeksplorasi budaya Caruban maka diambil 3 (tiga) obyek yaitu : (1) Masjid Panjunan sebagai bangunan ibadah yang berada di lingkungan masyarakat, (2) Keraton Kanoman sebagai bangunan timpat tinggal atau pusat politik pemerintahan yang sangat kaya kreativitas arsitektur, (3) Bangunan Taman Sunyaragi sebagai karya lansekap dengan fungsi tempat peristirahatan. Ketiga bangunan ini sangat dipengaruhi oleh berbagai unsur lokal maupun mancanegara. Berikut pembahasan 3 (tiga) karya arsitektur tersebut yang merepresentasikan alkulturasi budaya arsitektur tersebut.

(1) Masjid Panjunan

Masjid Panjunan merupakan salah satu masjid tua di kota Cirebon yang dibangun pada tahun 1480 oleh Pangeran Panjunan salah satu penyebar Islam terkemuka se lain Sunan Gunung Jati.

Menurut Sulendraningrat (1985) dulu tempat ini merupakan perkampungan para pembuat gerabah dari tanah liat, dalam bahasa setempat disebut “ Jun “. Orang menyebut sebagai tempat pembuat

Gambar 1. Masjid Panjunan Bentuk

Bangunan beratap Tajuk menunjukkan keramahan ajaran Islam terhadap budaya lama yang dianggap relevan. Konsep Tajuk sendiri yang merupakan model atap Jawa untuk atap bangunan masjid. Pola ini memperlihatkan bahwa antar sub budaya yang berkembang di Nusantara mengalami proses saling mempengaruhi. Adanya gapura “ Candi Bentar “ dan penggunaan batu bata sepertidi Keraton. Sebagaimana pada keraton maka “ hiasan piring Keramik “ juga dipakai sebagai ornamen dinding. Masjid ini dapat dikatakan dapat merepresentasikan masjid awal di pulau Jawa.

Makna

(a) Bangunan suci yang menyatu dengan kehidupan masyarakat, (b) Kreatifitas memadukan nilai tradisi lama yang masih relevan, serta kemauan menerima unsur baru, (c) Tradisi melestarikan kondisi bangunan sehingga tidak banyak mengalami perubahan sebagaimana terjadi pada bangunan lain.

(4)

C 072 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017

Jun sehingga lambat laun dikenal sebagai Panjunan. Masjid ini salah satu dari masjid tertua selain Masjid Ciptarasa di keraton Kasepuhan.

(2) Keraton Kanoman

Keraton Kanoman dibangun pada tahun 1677 ketika terjadi pembagian kekuasaan antara tiga putra panembahan Girilaya. Bangunan ini merupakan salah satu wujud peninggalan budaya Cirebon yang cukup lengkap menggambarkan keragaman bentuk dari proses “ alkulturasi “. Pada keraton ini terlihat ada beberapa elemen yang menggambarkan perpaduan budaya yang sangat beragam. Penggunaan piring keramik sebagai ragam hias merupakan kekhasan arsitektur Cirebon.

Gambar 2. Keraton Kanoman Bentuk

Bangunan keraton Kanoman mengambil bentuk arsitektur Jawa disesuaikan dengan konsep candi yang telah disesuaikan dengan kebutuhan seperti penggunan elemen gapura “ Candi Bentar “ dan material batu bata. Di samping ornamen keramik, adapula bangunan yang menyerupai bangunan penempatan “ lonceng” sekilas menjadi mirip gereja.

Makna

(a) Ruang yang memiliki jiwa (spirit of place), ditandai tata ruang yang menunjukkan hubungan antara penguasa (manusia) dengan Sang Khalik maupun rakyat, (b) Kreatifitas membuka diri pada khasanah tradisi lama maupun baru secara selektif sehingga kemudian membentuk konsep ruang keraton Islam, (c) Pengkayaan perancangan dengan memanfaatkan berbagai elemen arsitektur atap, gapura dan bangunan asing.

Adakah kemiripan antara bangunan penyimpan menara di keraton Kanoman dengan gereja ST Yoseph yang dibangun 1878 ? Gambar 3. Kemiripan Bangunan Menunjukkan fenomena pengaruh Eropa pada bangunan Keraton.

(5)

Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | C 073

(3) Arsitektur Taman Sunyaragi

Taman Sunyaragi dibangun pada tahun 1703 oleh Pangeran Kararangan. Nama Sunyaragi berasal dari kata “ sunya dan ragi “, adapun kata sunya berarti kosong dan ragi berarti raga atau badan (Tim, 2008). Artinya mengosongkan badan yang fana agar dapat meraih kebakaan (akhirat). Selain itu taman ini memiliki konsep arsitektur yang menggambarkan kesatuan dualistis spirit maskulin dan feminin ayang berasal dari konsep Sunda (bandingkan dengan Sumardjo, 2006). Taman ini dapat dianggap sebagai inspirasi dari taman Keraton di Yogyakarta dan Surakarta. Keberadaan Taman Sunyaragi bukan sebagai tempat rekreasi semata melainkan sebagai ruang sakral yang memiliki makna terhadap keberadaan para penguasa Cirebon (Juwono, 2013). Perpaduan antara budaya Sunda, Jawa, Hindu, Cina dan Islam direfleksikan dengan berbagai bentuk artefak.

Pemaknaan Prinsip Caruban dalam Transformasi Arsitektur

Deskripsi mengenai kebudayaan arsitektur Cirebon yang unik dan alkulturat if telah banyak dikemukakan sehingga tidak perlu disampaikan ulang. Sejalan dengan pandangan tersebut relasi nama dan makna memiliki relevansi yang sangat kuat (Ayatroehadi, dalam Rais, 2008). Penelusuran makna dari karya arsitektur menunjukkan istilah “ Caruban “ bukan penamaan geografis wilayah budaya saja melainkan mengarahkan pada pemahaman konsep arsitektural. Namun dari temuan tersebut terkandung adanya suatu konsep mengenai “ transformasi desain “ dalam domain ilmu arsitektur. Ada suatu proses baik yang bersifat melestarikan, mengganti, menghilangkan, menggabungkan dan menambahkan. Dari temuan temuan dalam 2 (dua) artefak tersebut maka

Gambar 4. Taman Sunyaragi Bentuk

Bentuk taman Sunyaragi menyerupai suatu pulau di tengah samudera. Dalam khasanah pewayangan jenis taman ini dikenal dengan nama ih Balekambang yang menjadi peraduan Sri Batara Kresna. Tokoh ini merupakan simbol kekuasaan dan kebijaksanaan pada cerita pewayangan. Konsep Taman Balekambang adalah bangunan yang berada di tengah tengah air yang seakan akan mengapung. Penyebutan Balekambang ini juga ditemukan pada ruang pada salah satu tempat di taman ini. Pemilihan bentuk seperti gugusan karang dan konsep samudera ini menunjukkan pemahaman strategis mengenai laut dibandingkan dengan gunung. Gunung yang diberikan makna tempat mulia dalam konsep Hindu digantikan dengan konsep samudera.

Makna

Makna dari keberadaan taman ini : (a) Taman ini menunjukkan konsep taman Islam yang digunakan sebagai tempat perenungan maupun rekreasi spiritual. (b) Kreatifitas memadukan konsep taman Hindu juga memanfaatkan konsep budaya mancanegara seperti Cina, (c) Arsitektur taman juga bersifat produktif dengan memanfaatkan potensi alam seperti elemen laut (karang dan air), maupun potensi buatan lain seperti gunung dan gua.

(6)

C 074 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017

dapat dikemukakan bahwa kata “ Caruban “ terkandung dengan baik pada arsitektur Cirebon. Caruban memiliki makna alkulturasi budaya. Dalam alkulturasi ini mengandung tema-tema sebagai berikut :

 Makna Relijius Ruang yaitu bahwa setiap ruang memiliki semangat yang dibangun oleh manusia yang mengembangkannya. Semangat ini mengacu pada konsep ajaran Islam yaitu upaya mendekatkan pada Allah Tuhan Yang Maha Esa, hubungan yang harmonis dengan sesama dan alam semesta.

 Makna Ruang Kreatif yaitu bahwa nilai-nilai ajaran agama memberikan ruang kreatifitas terkendali yaitu prinsip membuka diri terhadap pengaruh kebudayaan baru namun tidak meninggalkan substansi asli budaya sebelumnya. Pada budaya ini terlihat ada semangat produktif memanfaatkan berbagai potensi budaya, manusia dan lingkungan.

 Makna Ruang Lestari yaitu kemampuan melestarian dengan melakukan seleksi - mempertahankan unsur budaya lama yang dianggap relevan serta tidak bertentangan dengan nilai-nilai relijius. Adapun unsur yang dipertahankan adalah berbagai rupa dan bentuk arsitektur yang menjadi ciri identitas arsitektur Cirebon.

Prinsip di atas dalam seni arsitektur menjadi sangat strategis karena memberikan ruang gerak pada penciptaan karya yang berjiwa, dinamis dan berkarakter. Ketiga tersebut dalam kerangka pemikiran arsitektur dapat dirumuskan sebagai konsep “ Caruban “ yaitu kreatifitas dengan menempatkan landasan arsitektur yang memiliki ruh dan berkarakter serta produktif mengolah potensi budaya, manusia dan lingkungan. Melalui prinsip “ Caruban “ ini diketahui bahwa kearifan lokal Nusantara dalam melakukan penyaringan serta menemukan bentuk khas sebagaimana dikenal dalam metod ie transformasi desain arsitektur. Konsep regionalism juga dihayati dengan baik di mana spirit arsitektur tetap dapat dipertahankan sehingga “ identitas dan karakter “ rupa ruang tetap terpelihara sebagai suatu kepribadian budaya atau local genius (Ayatroehadi, 1996).

Adapun dari spirit of place, konsep Caruban menunjukkan adanya keragaman budaya dalam kesatuan semangat relijius sebagai ciri utama arsitektur Nusantara. Ketiga karya menunjukkan adanya prinsip arsitektur yang memiliki nilai pengabdian manusiaa kepada Tuhan Yang Maha Esa, penghormatan dan kasih sayang pada sesama dan lingkungan. Prinsip pertama, adalah nilai Ketuhanan merujuk pemahaman Uberta (2003), Al-Faruqi (1999), dan Gazalba (1977) bahwa prinsip utama dalam arsitektur Islam, adalah “ dzikir “ yaitu mengingat Allah Tuhan Yang Maha Esa ditunjukkan pada 3 (tiga) bangunan tersebut. Kedua, semangat kreatif arsitektur Islam Nusantara sesuai kaidah fiqih yang berprinsip pada melestarikan nilai-nilai lama yang masih relevan dan mengembangkan nilai-nilai baru yang lebih baik (Juwono, 2013). Ketiga, penghargaan pada lingkungan, dalam hal ini adalah pemahaman terhadap kondisi setempat dengan menyatukan berbagai elemen budaya berbagai kelompok masyarakat. Hal ini juga menunjukkan kekayaan arsitektur Islam sekalipun mengacu pada esensi yang sama sekalipun berbeda ekspresi.

Dihubungkan dengan makna Indonesia yang disebut pula sebagai Nusantara, dikatakan Lombard (2000) sebagai suatu lokasi yang mendapat anugerah proses silang budaya. Kemampuan beradaptasi baik berkompromi dan mempertahankan diri tersebut tidak sekedar membentuk budaya yang khas namun juga menjadi identitas. Oleh sebab itu bahwa asal kata Caruban akan lebih bermakna dan dapat direpresentasikan sebagai identitas atau karakter budaya. Dari spirit of place atau genius loci menjadi suatu kekuatan ruang untuk mempengaruhi manusia yang menghuni di dalamnya untuk bertindak sesuai dengan nilai-nilai ideal yang ada. Sebagaimana dikatakan Unwin (2003), “ architecture is operated by nad for people, who have needs and desires, beliefs and aspirations, …. “ Artinya adalah suatu nama tidak hanya merupakan sebutan saja melainkan suatu

(7)

Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | C 075 konsep bagaimana manusia memandang hubungan dirinya dengan ruang yang ditempatinya maupun hubungan dengan sesama, lingkungan serta Sang Pencipta.

Dalam konteks pengembangan ekonomi, melalui branding tempat (Yananda dan Ummi Salamah, 2014), saat ini ke 3 konsep identitas tersebut dapat dihubungkan dengan konsep pengembangan ekonomi wilayah yang berbasis identitas. Ada 8 (delapan) kerangka acuan, satu di antaranya menyangkut arsitektur yaitu ruang kota dan gerbang kota (cityscape and getways). Artinya secara ekonomi memperlihatkan bahwa masalah identitas bukan sekedar slogan belaka tetapi telah menjadi bagian elemen strategis pembangunan wilayah yang terukur.

Kesimpulan

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa Caruban sebagai proses alkulturasi dapat ditunjukkan dalam pemikiran transformasi desain arsitektur yang mengacu pada makna Ruang Relijius, Kreatif dan Lestari. Melalui penelusuran makna tersebut maka akar sejarah penamaan Cirebon dari istilah “ Caruban “ dapat lebih dianggap sebagai representasi kebudayaan ber-arsitektur yang bermartabat. Asal usul Cirebon dari kata Caruban lebih bermakna dibandingkan dengan kata lain seperti Cai dan Rebon. Temuan ini memberikan pemahaman mengenai bagaimana merancang dengan memadukan akar budaya setempat sebagai kekayaan lokal dengan pengaruh budaya asing secara proporsional tanpa mengurangi jati dirinya. Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap pendapat lainnya, maka tulisan ini diharapkan memberikan sumbangan pemikiran kritis mengenai nama kota Cirebon dari perspektif keilmuan arsitektur. Direkomendasikan bagi pemrakarsa atau pengambil keputusan pembangunan kota Cirebon untuk memperhatikan spirit budaya “ Caruban “ yang menghargai pluralitas, toleransi, khasanah budaya lokal dan akar budaya relijius khususnya dalam perancangan arsitektur. Selanjutnya dengan mempertimbangkan potensi kajian serupa ini khusus untuk Cirebon dipandang perlu untuk menggali lebih pemaknaan pada obyek lain.

Daftar Pustaka

Al Faruqi, I.R. (1999). Seni Tauhid. Esensi dan Ekspresi Estetika Islam. Yogyakarta, Penerbit Bentang. Ayatroehadi. (1986). Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius). Jakarta : Pustaka Jaya.

Juwono, S. dkk. (2013). Falsafah Tasawuf Islam dalam Arsitektur Taman Sunyaragi. Prosiding Seminar Nasional Arsitektur Islam III, Jurusan Teknik Arsitektur. Fakultas Teknik dan Teknologi Universitas Islam Negeri Malang. Leushuis, E. (2014). Panduan Jelajah Kota-kota Pusaka di Indonesia. Yogyakarta. Penerbit Ombak.

Liliweri, A. (2003). Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta : Penerbit LKiS.

Norberg-Schulz, C. (1984). Genius Loci. Towards A Phenpmenology Of Architecture. New York, Rizzoli International Publication.

Rais, Y. et al. (2008). Toponimi : Sejarah Budaya yang Panjang dari Permukiman Manusia dan Tertib Administrasi. Jakarta : Pradnya Paramita.

Soekirno, A. (1993). Cerita Rakyat Jawa Barat. Cai Rebon. Berdirinya Kesultanan Cirebon. Jakarta, Penerbit Grasindo.

Sulendraningrat, P.S. (1985). Sejarah Cirebon. Jakarta : Penerbit Balai Pustaka. Sumardjo, J. (2006). Completio Oppositorum. Bandung, Sunan Ambu Press.

Tim Penulis Potensi Budaya Kota Cirebon. (2008). Kesejarahan dan Nilai Arsitektur Gua Sunyaragi. Cirebon : Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Cirebon.

Tim Yayasan Mitra Budaya Indonesia, 1982. Cerbon. Jakarta, Penerbit Yayasan Mitra Budaya Indone sia dan Sinar Harapan.

Uberta, N. (2003). Makna dan Arti Keindahan dalam Arsitektur Islam. Pusat Kajian Alam Bina Dunia Melayu, Fakulti Alam Bina, Universiti Teknologi Malasyia.

Unwin, S. (2003). Analysing Architecture. London : Routledge.

Yananda. Rahmat, & M. Salamah, U. (2014). Branding Tempat. Membangun Kota, Kabupaten, dan Provinsi Berbasis Identitas. Jakarta, Penerbit Makna Informasi.

(8)

C 076 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017

Ruspandi, J. & Asep, M. (2014) Fenomena Geografis Di Balik Nama Toponimi Di Kota Cirebon, dalam Jurnal Gea Volume 14 Nomor 23, Oktober 2014. Bandung : Departemen Pendidikan Geografi Universitas Pendidikan Indonesia.

Pujianto, F. (2012). Desain Lansekap Taman Sari. Obyek Studi : Taman Sunyaragi. Laporan Penelitian. Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Katolik Parahyangan Bandung..

Catatan

1 Kota Cirebon sering disebut sebagai Kota Petis, Kota Udang atau Kota Wali, terkandung maksud untuk menjelaskan ciri khas atau semangat nilai nilai relijius. Sedangkan pemerintah menggunakan semboyan Rame ing Gawe Suci ing Pamrih, untuk menggambarkan semangat bekerja dengan harapan yang suci.

2 Sebagaimana contoh, penyebutan Jakarta konon berasal dari “ Jaya-Karta “ yang berarti kemenangan sempurna. Kata ini kemudian kembali digunakan untuk menggantikan sebutan “ Batavia “ yang beraroma kolonial.

3 Kebudayaan yang terbentuk memadukan berbagai unsur budaya besar saat itu. Konsep Paksi Naga Liman sebagai lambang kereta keraton yang dinaiki Sultan kurang lebih menjelaskan fenomena tersebut. Paksi adalah burung bisa dianalogikan dengan Buraq kendaraan yang membawa Nabi Muhammad SAW melakukan Isra Mi’raj. Naga adalah lambang binatang Cina yang memiliki hubungan sejarah dan budaya dengan Cirebon karena istri Sunan Gunung Jati yang bernama Ong Tien berasal dari Cina. Adapun Liman atau gajah adalah lambang Hindu analogi dari budaya sebelumnya yaitu Sunda dan Jawa.

Gambar

Gambar 1. Masjid Panjunan   Bentuk
Gambar 2. Keraton Kanoman   Bentuk
Gambar 4. Taman Sunyaragi   Bentuk

Referensi

Dokumen terkait

Tuliskan ayat beserta isi ayat tentang saat ketika Tokoh Alkitab bisa mendapatkan sesuatu yang dilakukan karena hubungan Tokoh Alkitab miliki dengan orang lain?. Kis.10;1

APLIKASI SIMU RKP 2017 Aplikasi SIMU RKP Proyek PN-K/L Proyek PN-Daerah Proyek PN-NON K/L APLIKASI SIMU RKP 2017 Aplikasi Renja K/L APBN APLIKASI SIMU RKP 2017 Aplikasi DAK

Tahap ketiga, pembicaraan di depan Jemaat (18:17a) dan tahap keempat adalah memandang seorang yang telah melakukan dosa sebagai orang yang tidak mengenal Allah (18:17b).8

Sesuai dengan hasil penelitian dari efek tanaman beracun terhadap hewan mencit (Yuningsih et al., 2003), bahwa pemberian dengan dosis 1 ml minyak kroton (MK) terhadap 10 ekor

Penelitian mengenai “Pengaruh Capital Adequacy ratio (CAR), Return On Asset (ROA), Return On Equity (ROE) Dan Earning Per Share (EPS) Terhadap Nilai Perusahaan Pada

Ketika bekerja di dalam laboratorium, diharapkan menggunakan pelindung hidung atau pernafasan.Kontaminasi bahan kimia yang paling sering masuk ke dalam tubuh manusia adalah

Kilangan, Pauh dan Kuranji, Kota Padang ... Tabel 4.1 1 Klasifikasi Tanah Daerah Penelitian ... Tabel 4.12 Distribusi Macam Tanah Berdasarkan Daerah Penelitian ... Tabel 4.13

The UP and UP-UN-Ov strategies recorded the same results, suggesting that at every round of rule refinement, UP features exist and therefore, only rules without negation are