• Tidak ada hasil yang ditemukan

INDUSTRIALISASI VERSUS PERKEMBANGAN PARIWISATA DAN PERIKANAN DI PROVINSI BANTEN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "INDUSTRIALISASI VERSUS PERKEMBANGAN PARIWISATA DAN PERIKANAN DI PROVINSI BANTEN"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

ARTIKEL ANALISIS KUALITAS UDARA DI KAMPUS IPB BARANANGSIANG ANALISIS KEBUTUHAN LUASAN AREA HIJAU DI KOTA PALEMBANG INDUSTRIALISASI VERSUS PERKEMBANGAN PARIWISATA DAN PERIKANAN DI PROVINSI BANTEN KUALITAS TANAH AGROEKOSISTEM APEL KOTA BATU JAWA TIMUR BERDASARKAN BIOINDIKATOR STRUKTUR KOMUNITAS COLLEMBOLA PENGEMBANGAN KOMPOSTER DAN BIOSTRATER SEBAGAI UPAYA PENANGANAN MASALAH SAMPAH DI DESA MLUWEH POTENSI EKOSISTEM PADANG LAMUN SEBAGAI BLUE CARBON DI PERAIRAN DESA KAHYAPU PULAU ENGGANO PROVINSI BENGKULU STUDI PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN KOLONG DI KABUPATEN BANGKA TENGAH VALUASI EKONOMI EKOSISTEM MANGROVE DI TELUK BINTAN KABUPATEN BINTAN

(2)

JURNAL

PUSAT STUDI LINGKUNGAN

PERGURUAN TINGGI SELURUH INDONESIA

ENVIRONMENT & DEVELOPMENT

ISSN 0216 - 2717 VOLUME 01, NOMOR 2; 2015

Lingkungan

& Pembangunan

(3)
(4)

JURNAL LINGKUNGAN DAN PEMBANGUNAN JOURNAL OF ENVIRONMENT AND DEVELOPMENT

Penanggung Jawab

Ketua Badan Kerjasama Pusat Studi Lingkungan (BKPSL) Dewan Editor

Fisika dan Pendidikan

Prof. Dr. Lambang Subagiyo, MSc. Kesehatan dan Lingkungan Prof. dr. Haryoto Kusnoputranto, SKM. Dr. PH

Teknik Kimia

Prof. Dr. Ir. Tjandra Setiadi, M.Eng. Arsitektur

Prof. Ir. Agus Budi Purnomo, MS. PhD.

Biologi

Prof. Dr. Ir. Agoes Soegianto, DEA Pertanian

Prof. Dr. Ir. Laode Asrul, MP Sosial Ekonomi

Prof. Dr. Fachrurrozie Sjarkowi, M.Sc.

Lingkungan Dr. Dwi P. Sasongko

Teknik Lingkungan Prof. Dr. Ir. Nasfryzal Carlo, MSc

Editor Pelaksana

Dr. Ir. Hefni Effendi, MPhil. dan Dr. Melati Ferianita Fachrul, MS. Asisten Editor

Sri Muslimah, S.Si.

Andreas Pramudianto, SH., MHum. Alamat Redaksi

Jurnal Lingkungan dan Pembangunan

Sekreatariat Eksekutif Badan Kerjasama Pusat Studi Lingkungan (BKPSL) Pusat Penelitian Sumberdaya Manusia dan Lingkungan

Gedung C Lantai V, Jl. Salemba Raya No. 4, Jakarta 10430 Telp. 021-31930318, 021-31930309, Fax. 021-31930266

Homepage: www.bkpsl.org/jurnal / email: jurnal-bkpsl@bkpsl.org

Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) Kampus IPB, Dramaga 16680

(5)

LINGKUNGAN DAN PEMBANGUNAN VOLUME 1, NOMOR 2, 2015

DAFTAR ISI

Daftar Isi iv Dari Redaksi v ARTIKEL

Analisis Kualitas Udara di Kampus IPB Baranangsiang

Sri Muslimah, Ana Turyanti, Hefni Effendi

107

Analisis Kebutuhan Luasan Area Hijau di Kota Palembang

Yustin Patria Primordia, Hilda Zulkifli, Dinar Putranto, Ishkaq Iskandar

116

Industrialisasi Versus Perkembangan Pariwisata dan Perikanan di Provinsi Banten

Supriharyono

127

Kualitas Tanah Agroekosistem Apel Kota Batu Jawa Timur Berdasarkan Bioindikator Struktur Komunitas Collembola

Husamah

141

Pengembangan Komposter dan Biostarter Sebagai Upaya Penanganan Masalah Sampah di Desa Mluweh

Indra Riadi, Imam Noor Said, Bella Anggita Pratiwi, Yunita Fahni, Agus Hadiyanto

156

Potensi Ekosistem Padang Lamun Sebagai Blue Carbon di Perairan Desa Kahyapu Pulau Enggano, Provinsi Bengkulu

Rauf Achmad SuE, Endro Nurdianto, Ratna Suharti

169

Studi Pengelolaan dan Pemanfaatan “Kolong” di Kabupaten Bangka Tengah

Wahyudi Himawan, Indra Yustian, Ardiyan Saptawan, Fachrurrojie Sjarkowie

185

Valuasi Ekonomi Ekosistem Mangrove di Teluk Bintan Kabupaten Bintan

Sigit Winarno, Hefni Effendi, Ario Damar

(6)

DARI REDAKSI

Terbitan Jurnal Lingkungan dan Pembangunan Volume 1 No. 2 tahun 2015 ini memuat beberapa tulisan hasil penelitian dan tinjauan masalah lingkungan dari berbagai wilayah di negara kita.

Artikel pertama menjelaskan tentang analisis kualitas udara di Kampus IPB Baranangsiang, artikel kedua berjudul analisis kebutuhan luasan area hijau di Kota Palembang, selanjutnya artikel ketiga berjudul industrialisasi versus perkembangan pariwisata dan perikanan di Provinsi Banten. Artikel keempat membahas tentang kualitas tanah agroekosistem apel Kota Batu Jawa Timur berdasarkan bioindikator struktur komunitas Collembola. Artikel kelima tentang Pengembangan komposter dan biostarter sebagai upaya penanganan masalah sampah di Desa Mluweh. Artikel keenam membahas Potensi ekosistem padang lamun sebagai blue carbon di perairan Desa Kahyapu Pulau Enggano, Provinsi Bengkulu. Artikel ketujuh berjudul Studi pengelolaan dan pemanfaatan kolong di Kabupaten Bangka. Artikel kedelapan berjudul Valuasi ekonomi ekosistem mangrove di Teluk Bintan Kabupaten Bintan.

Harapan redaksi, terbitan kali ini dapat memberikan informasi dan menambah wawasan yang berkaitan dengan perkembangan lingkungan hidup. Akhirul kata, redaksi senantiasa menerima kritik, masukan, dan saran yang membangun demi keberlanjutan penerbitan Jurnal Lingkungan dan Pembangunan.

(7)

Jurnal Lingkungan dan Pembangunan Volume 1, Nomor 2, 2015

141

Lingkungan dan Pembangunan

KUALITAS TANAH AGROEKOSISTEM APEL KOTA BATU

JAWA TIMUR BERDASARKAN BIOINDIKATOR STRUKTUR

KOMUNITAS COLLEMBOLA

Husamah

Pendidikan Biologi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Malang, Pusat Studi Lingkungan dan

Kependudukan, Universitas Muhammadiyah Malang Email: usya_bio@yahoo.com

Abstrak

Penelitian bertujuan menganalisis jenis, keanekaragaman, dan kemerataan Collembola, pada agroekosistem apel semiorganik dan nonorganik. Penelitian dilaksanakan di kawasan agroekosistem apel Bumiaji Kota Batu pada Desember 2013 sampai Februari 2014. Pengambilan sampel menggunakan standar Tropical Soil

Biology and Fertility dan Hand Book Method. Teknik Simple Randome Sampling

digunakan untuk menentukan 9 titik plot pada setiap agroekosistem. Pengambilan sampel Collembola menggunakan pitfall trap dan pengambilan tanah untuk perlakuan Barlese-Tullgren. Data dianalisis menggunakan Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener dan Indeks Kemerataan Evennes. Terdapat 3 jenis Collembola di tiap plot pada agroekosistem apel semiorganik dan nonorganik. Jenis Collembola pada agroekosistem apel semiorganik dan nonorganik adalah sama, yaitu Homidia cingula Börner,

Isotomurus palustris Muller, dan Pseudachorutes javanicus Handschin. Indeks

Keanekaragaman Jenis Collembola pada agroekosistem apel semiorganik sebesar 0,89 dan nonorganik sebesar 0,78, termasuk dalam kategori keanekaragaman rendah. Indeks kemerataan Collembola pada agroekosistem apel semiorganik sebesar 0,81 dan nonorganik sebesar 0,71, sehingga termasuk kategori kemerataan tinggi. Kualitas tanah di kedua agroekosistem apel relatif sama yaitu berkualitas rendah (kurang sehat) dan menghambat kehidupan Collembola.

(8)

Husamah/Kualitas Tanah Agroekosistem Apel Kota Batu Jawa Timur Berdasarkan Bioindikator Struktur Komunitas Collembola/2015

142

SOIL QUALITY OF APPLE AGROECOSYTEM AT BATU CITY

EAST JAVA BASED ON BIOINDICATOR OF COLLEMBOLA

STRUCTURE COMMUNITY

Abstract

The purpose of this study was to determine the type, diversity, and evenness of Collembola in semiorganic and nonorganic apple agroecosystem. The research was conducted in the area of apple agroecosystem at Bumiaji, Batu City in December 2013 to February 2014. Step work sampling using Tropical Soil Biology and Fertility Standard and Hand Book Method. Simple random sampling was used to determine 9 plot points in each agroecosystem. Collembola were collected using pitfall traps and taking land for Barlese-Tullgren technic. Data were analysed descriptively using the Shannon-Wiener Diversity Index and Evenness Index. There are 3 types of Collembola found in semiorganic and nonorganic apple agroecosystem. Type Collembola found in the semiorganic and nonorganic was the same, namely Homidia cingula, Isotomurus palustris, and Pseudachorutes javanicus. Diversity Index of Collembola in semiorganic is 0.89 and nonorganic was 0.78 (low category). Evenness index of Collembola in semiorganic was 0.81 and nonorganic is 0.71 (high category). Soil quality in both of agroecosystem was relatively same, low quality (less healthy) and inhibit the Collembola life.

Key words: agroecosystem, bioindicator, Collembola, soil quality

1. PENDAHULUAN

Kota Batu Jawa Timur merupakan sentra penghasil apel di Indonesia dan apel Batu telah lama dikenal secara luas. Menurut Indahwati et al. (2012) lahan apel di Kota Batu seluas 2.993,89 hektar terpusat di Kecamatan Bumiaji yang tersebar di Desa Tulungrejo, Sumbergondo, Sumberbrantas, Punten, Bulukerto, Bumiaji, Giripurno, dan Gunungsari. Desa yang memiliki lahan apel terluas adalah Desa Tulungrejo, yaitu 400 hektar dengan jumlah 24.000 pohon. Rerata produksi apel 11.000 ton per musim panen dengan produktivitas 27,5 ton/ha/tahun. Menurut Pramono dan Siswanto (2007) kegiatan budidaya apel berlangsung sepanjang tahun dengan dua kali musim panen. Petani melakukan sistem pertanian sangat intensif dengan input pupuk dan pestisida sintesis yang tinggi.

Sistem pertanian intensif yang dilakukan petani dalam budidaya apel selama puluhan tahun berdampak pada lingkungan. Dampak pada lingkungan yang ditimbulkan antara lain degradasi lahan, pencemaran (udara, tanah, dan air), dan penurunan keanekaragaman hayati.

(9)

Husamah/Kualitas Tanah Agroekosistem Apel Kota Batu Jawa Timur Berdasarkan Bioindikator Struktur Komunitas Collembola/2015

143 Degradasi lahan adalah penurunan fungsi dan potensi lahan untuk mendukung kehidupan di sekitarnya yang disebabkan oleh penurunan kualitas tanah (Djauhari et al., 2009; Pribadi, 2009). Penurunan kualitas sumberdaya alam dan penerapan praktek pertanian buruk menurunkan kualitas dan kuantitas hasil agroekosistem apel.

Kondisi ini menumbuhkan kesadaran sebagian petani untuk menerapkan sistem pertanian yang ramah lingkungan berupa sistem pertanian organik. Para petani mulai mempertimbangkan perbaikan kualitas tanah, tanaman, dan penerapan cara budidaya yang baik dengan mengutamakan penggunaan bahan organik, agen hayati, dan pelestarian musuh alami (Pramono dan Siswanto, 2007). Sistem pertanian alternatif yang menggunakan teknologi low input energy diyakini mampu memelihara kesuburan tanah dan kelestarian lingkungan. Sistem pertanian organik mengutamakan penggunaan bahan organik (Utami dan Handayani, 2003). Pemakaian kembali sistem pertanian organik oleh petani menjadi sangat penting agar diperoleh peningkatan produktivitas lahan yang berkelanjutan (Agus et al., 2014). Namun demikian, agroekosistem apel di Kota Batu belum sepenuhnya beralih pada pertanian organik, tetapi masih bersifat semiorganik. Hal ini karena petani harus beradaptasi terlebih dahulu. Menurut Rahmawati (2005) sistem pertanian semiorganik dilakukan dengan mengurangi atau menekan penggunaan input pupuk dan pestisida sintesis. Petani memadukan penggunaan bahan kimia sintesis dengan penggunaan biofertilizer dan biopestisida.

Keberadaan dua tipe agroekosistem apel di Kota Batu sangat perlu untuk dikaji. Oleh karena itu, diperlukan mekanisme deteksi dini yang dengan cepat, mudah, dan murah mengetahui kondisi agroekosistem. Deteksi dini ini dapat dilakukan menggunakan suatu organisme yang ada di suatu lingkungan yang memberi respons terhadap perubahan (Pribadi, 2009). Suatu organisme yang dapat memberikan respons, indikasi, dan informasi kondisi atau perubahan suatu ekosistem disebut bioindikator (McGeoch et al., 2002; Weissman et al., 2006). Suatu organisme akan berkembang secara optimal pada kondisi lingkungan ideal. Komponen ekosistem yang tidak ideal berdampak pada perubahan mekanisme kerja organisme (Pribadi, 2009).

Mesofauna merupakan salah satu kelompok hewan yang dapat digunakan sebagai bioindikator karena hidup di permukaan dan di

(10)

Husamah/Kualitas Tanah Agroekosistem Apel Kota Batu Jawa Timur Berdasarkan Bioindikator Struktur Komunitas Collembola/2015

144

dalam tanah dan mempunyai peran penting dalam ekosistem. Mesofauna berfungsi sebagai subsistem konsumen dan subsistem dekomposisi. Kelompok ini juga merupakan kelompok terbesar dari kelompok fauna tanah lainnya (Trimurti, 2010). Mesofauna cukup baik sebagai bioindikator karena sensitif terhadap perubahan lingkungan dan memiliki waktu regenerasi lebih panjang sehingga stabil dan tidak mudah berfluktuasi akibat perubahan hara yang sesaat (Darwati, 2007). Salah satu kelompok yang tergolong dalam mesofauna adalah Collembola (ekor pegas atau springtail). Collembola secara umum berukuran kecil, ada yang mudah dilihat tetapi ada juga yang mikroskopis. Akibat ukuran yang kecil, kelompok ini jarang dikenal padahal memiliki peran cukup besar di dalam ekosistem dan terbesar dibandingkan jenis lain dalam kelompok mesofauna tanah. Belum banyak orang mengetahui bahwa Collembola memiliki keanekaragaman jenis yang sangat tinggi (Suhardjono et al., 2012). Hal ini sejalan dengan pendapat Lisnawati et al. (2014) bahwa keragaman fauna tanah serta fungsi ekosistem menunjukkan hubungan yang sangat komplek, namun belum banyak diketahui dengan pasti karena penelitian terkait masih jarang. Fauna tanah (termasuk Collembola) memiliki respon yang sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan, maka kita dapat melihat perubahan dan perbedaan struktur komunitas Collembola pada dua kondisi agroekosistem apel tersebut.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis Collembola tanah yang ditemukan pada agroekosistem apel semiorganik dan agroekosistem apel nonorganik Kota Batu, menganalisis perbedaan keanekaragaman Collembola tanah yang ditemukan pada agroekosistem apel semiorganik dan agroekosistem apel nonorganik Kota Batu, dan menganalisis perbedaan kemerataan Collembola tanah yang ditemukan pada agroekosistem apel semiorganik dan agroekosistem apel nonorganik Kota Batu. Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai referensi ilmiah bagi peneliti lain atau menjadi dasar pijakan bagi penelitian yang lebih mendalam berkenaan dengan Collembola di berbagai agroekosistem atau habitat. Penelitian ini juga diharapkan sejalan dengan pandangan Widiyatno et al. (2014) bahwa evaluasi kualitas tanah menjadi hal yang sangat krusial dalam menjaga kelestarian hayati dan produksi berkelanjutan. Oleh karena ini hasil penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan pemikiran bagi Pemerintah Kota Batu untuk menerapkan strategi pengelolaan dan pemanfaatan lahan agroekosistem apel yang lebih mementingkan keseimbangan ekosistem,

(11)

Husamah/Kualitas Tanah Agroekosistem Apel Kota Batu Jawa Timur Berdasarkan Bioindikator Struktur Komunitas Collembola/2015

145 pertanian berkelanjutan, dan konservasi keanekaragaman hayati.

2. METODOLOGI 2.1. Waktu dan Lokasi

Penelitian ini dilaksanakan di kawasan agroekosistem apel Desa Tulungrejo, Kecamatan Bumiaji Kota Batu pada bulan Desember 2013 sampai Februari 2014. Agroekosistem apel di Desa Tulungrejo memiliki luas mencapai 400 ha, sehingga desa ini menjadi produsen buah apel terbesar di Kota Batu bahkan di Indonesia. Varietas apel yang ditanam adalah Rome Beauty, Anna, Manalagi, dan Grany Smith. Penentuan stasiun penelitian didasarkan pada kondisi penggunaan/pengelolaan lahan egroekosistem apel selama ini yaitu agroekosistem apel semiorganik dan agroekosistem apel nonorganik. Lahan yang digunakan untuk agroekosistem apel rata-rata memiliki kelerengan lahan antara 5-30%. Jenis tanah di agroekosistem apel Desa Tulungrejo adalah asosiasi andosol kelabu dan regosol kelabu (warna coklat muda).

2.2. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan terdiri atas air detergen, formalin 4%, kain blacu, tali raffia, kertas label, sampel tanah, dan bahan-bahan kimia untuk proses pembuatan preparat. Alat yang digunakan adalah Corong Barlese-Tullgren untuk perlakuan, pitfall trap, cangkul, GPS, kamera SLR, mikroskop, meteran, dan alat tulis.

2.3. Cara Kerja

Pengambilan sampel menggunakan metode standar Tropical Soil Biology and Fertility dan Hand Book Method dengan langkah-langkah, yaitu penetapan titik-titik pengambilan contoh menggunakan metode kuadrat (persegi), pengambilan contoh tanah, pemisahan fauna tanah dan pengelompokan atau koleksi (Anwar, 2007). Penentuan plot dilakukan pada masing-masing agroekosistem, yaitu dengan menentukan terlebih dahulu luas area penelitian seluas 1 hektar yang dibagi menjadi 25 titik dengan jarak antar titik sebesar 20 meter. Selanjutnya dengan teknik Simple Randome Sampling ditentukan 9 titik sebagai plot penelitian. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara pada masing-masing plot

(12)

Husamah/Kualitas Tanah Agroekosistem Apel Kota Batu Jawa Timur Berdasarkan Bioindikator Struktur Komunitas Collembola/2015

146

akan diberi 1 pitfall trap dan 1 kali pengambilan tanah (lebar 25x25 cm dan dalam 30 cm). Pengambilan sampel Collembola untuk pitfall trap dilakukan 1x24 jam setelah pemasangan. Sampel tanah dimasukkan ke dalam kain blacu dan kemudian dibawa ke laboratorium untuk diberi perlakuan corong Barlese-Tullgren, dibiarkan selama 3 hari dengan tetap menjaga kelembaban, lalu diidentifikasi.

Sampel Collembola diidentifikasi sampai tingkat spesies dengan mengacu pada literatur (Borror et al., 1996; Hopkin, 1997; Janssens, 2010; Suhardjono et al., 2012). Identifikasi juga mengacu pada panduan Collembola yang terpublikasi di www.collembola.org. Sampel Collembola diverifikasi di Laboratorium Entomologi Dasar Universitas Gadjah Mada. Data dianalisis secara deskriptif menggunakan Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener (H’) dan Indeks Kemerataan Evennes (E).

Rumus Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener:

H ∑ i n i (persamaan (1))

Rumus Indeks Kemerataan Evennes:

E n H (persamaan (2))

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Jenis Collembola yang Ditemukan

Jenis Collembola yang ditemukan di tiap plot pada tipe agroekosistem apel semiorganik dan agroekosistem apel nonorganik disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 menunjukkan hanya ada 3 jenis Collembola yang ditemukan pada tipe agroekosistem apel semiorganik dan agroekosistem apel nonorganik. Jenis Collembola yang ditemukan pada kedua agroekosistem apel adalah sama, yaitu Homidia cingula Börner, Isotomurus palustris Muller, dan Pseudachorutes javanicus Handschin. Homidia cingula Börner termasuk dalam suku Entomobryidae, Isotomurus palustris Muller termasuk dalam suku Isotomidae, dan Pseudachorutes javanicus termasuk dalam suku Neanuridae.

(13)

Husamah/Kualitas Tanah Agroekosistem Apel Kota Batu Jawa Timur Berdasarkan Bioindikator Struktur Komunitas Collembola/2015

147

Jenis Collembola Semiorganik Agroekosistem apel Nonorganik

Homidia cingula Börner Ada Ada

Isotomurus palustris Muller Ada Ada

Pseudachorutes javanicus Handschin Ada Ada

Suku Isotomidae seringkali terdapat dalam jumlah banyak, di hutan basah baik di tanah maupun di serasah dan di rawa-rawa dan suku Entomobryidae merupakan suku yang dominan ditemukan (Noerdjito, 2010). Kondisi lingkungan yang cocok dan didukung oleh kemampuan beradaptasi dengan baik menyebabkan suku Entomobryidae mampu beradaptasi, sehingga mampu mempertahankan kehidupan (Ganjari, 2012; Elisa et al., 2013). Entomobryidae memiliki perilaku sebagai pemakan jamur, lichenes, bakteri, pollen, kotoran binatang, dan serasah (Indriyati dan Wibowo, 2008). Entomobryidae sering ditemukan dalam populasi tinggi, sebagai dekomposer efektif, dan membantu siklus nutrien tanah (Meyer, 2009).

Distribusi Collembola di suatu tempat juga dipengaruhi oleh ketersediaan makanan, pemangsaan, dan kompetisi. Tekanan dan perubahan lingkungan dapat mempengaruhi jumlah jenis dan perbedaan pada struktur (Suwondo, 2002). Faktor biotik juga berpengaruh terhadap keberadaan Collembola. Vegetasi penutup merupakan faktor yang tidak dapat diabaikan karena dapat mempengaruhi sifat dan keadaan tanah. Keanekaragaman vegetasi mempengaruhi keanekaragaman Collembola (Rahmadi et al., 2004). Berdasarkan jumlah jenis Collembola yang ditemukan maka dapat dikatakan bahwa agroekosistem apel semiorganik relatif tidak memberikan kondisi yang cocok bagi kehadiran Collembola. Hal ini berarti bahwa agroekosistem apel semiorganik masih tidak ramah lingkungan dan menghambat kehadiran Collembola sebagai dekomposer, sama seperti agroekosistem apel nonorganik. Menurut Suwantoro (2008) pertanian semiorganik masih menggunakan pupuk dan pestisida sintesis selain menggunakan pupuk dan pestisida organik. Pertanian semiorganik tidak sepenuhnya ramah lingkungan, meskipun sedikit mengurangi input negatif terhadap tanah.

(14)

Husamah/Kualitas Tanah Agroekosistem Apel Kota Batu Jawa Timur Berdasarkan Bioindikator Struktur Komunitas Collembola/2015

148

3.2. Keanekaragaman Collembola

Nilai Indeks Keanekaragaman Jenis Collembola pada agroekosistem apel semiorganik sebesar 0,89 dan agroekosistem apel nonorganik sebesar 0,78. Hal ini berarti tidak ada perbedaan secara deskriptif keanekaragaman Collembola pada agroekosistem apel semiorganik dan nonorganik. Keanekaragaman jenis Collembola pada kedua agroekosistem apel tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Diagram Batang Indeks Keanekaragaman Collembola Meskipun Gambar 1 menunjukkan bahwa keanekaragaman jenis Collembola pada agroekosistem apel semiorganik dan agroekosistem apel nonorganik berbeda, namun apabila merujuk pada Odum (1998) dan Maharadatunkamsi (2011), maka keanekaragaman jenis pada kedua agroekosistem apel termasuk dalam kategori rendah. Dengan demikian tidak ada perbedaan secara deskriptif keanekaragaman jenis Collembola tanah pada kedua tipe agroekosistem tersebut. Dharmawan et al. (2005) menjelaskan bahwa keanekaragaman cenderung akan rendah pada ekosistem yang secara fisik terkendali atau mendapatkan tekanan lingkungan. Variasi vegetasi dan penetrasi cahaya matahari juga dapat menyebabkan keanekaragaman berbeda, artinya semakin seragam vegetasi maka keanekaragamannya rendah.

Habitat pertanian bisa jadi akan cocok bagi kehidupan Collembola asalkan berbagai faktor yang mendukung kehidupan Collembola tetap diperhatikan dalam sistem pengelolaan habitat pertanian. Menurut Ponce et al. (2011) bahan organik berkontribusi terhadap keanekaragaman yang dapat meminimalisir pengaruh negatif dari intensifikasi pertanian, juga untuk meningkatkan kualitas habitat

0,89 0,78 0.0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1.0 Semiorganik Nonorganik N ilai In d e ks K e an e kar ag am an

(15)

Husamah/Kualitas Tanah Agroekosistem Apel Kota Batu Jawa Timur Berdasarkan Bioindikator Struktur Komunitas Collembola/2015

149 orthropoda tanah. Selain itu, menurut Bardgett dan Cook (1998) dengan keanekaragaman yang tinggi menunjukkan ketersediaan sumber makanan baik hewan tanah. Samudra et al. (2013) mengungkapkan hal tersebut melalui penelitian terkait kelimpahan dan keanekaragaman arthropoda tanah di lahan sayuran organik urban farming. Keanekaragaman dipengaruhi oleh spesies tanaman, keanekaragaman atau komposisi tanaman, dimana pada urban farming dalam satu green house terdapat 4-5 jenis tanaman. Modifikasi lahan menjadi pertanian organik akan mendukung terjadinya peningkatan keanekaragaman dan kestabilan ekosistem sebagai manfaat dari fungsi ekosistem.

Pendapat ini didukung oleh hasil penelitian Indahwati et al. (2012) di mana indeks keanekaragaman dari lahan pertanian apel yang tidak diberi pupuk organik dan yang diberi pupuk organik berkisar antara 1,56-2,04 yang termasuk kriteria rendah-sedang. Nilai tersebut menunjukan kondisi lahan apel dalam keadaan baik. Hal ini disebabkan oleh bahan organik yang tersedia sebagai substrat hidup dan sumber nutrisi bagi hewan tanah termasuk arthropoda tanah. Arthropoda tanah akan melimpah jika kondisi lingkungan mendukung, seperti suplai makanan, kandungan oksigen, faktor fisika kimia mendukung, dan terdapat tempat berlindung dari gangguan maupun predator.

Keanekaragaman juga dipergunakan untuk mengetahui pengaruhi faktor lingkungan abiotik terhadap komunitas (Fachrul, 2012). Oleh karena itu, tidak ada perbedaan indeks keanekaragaman antara agroekosistem apel semiorganik dan agroekosistem apel nonorganik sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan (fisika-kimia) di kedua tempat itu. Dapat dikatakan bahwa kondisi fisika-kimia pada agroekosistem apel semiorganik relatif sama dengan agroeksositem apel nonorganik sehingga menghambat keanekaragaman jenis Collembola. 3.3. Kemerataan Collembola Tanah

Nilai indeks kemerataan Collembola tanah pada agroekosistem apel semiorganik sebesar 0,81 dan agroekosistem apel non organik sebesar 0,71. Hal ini berarti, tidak ada perbedaan secara deskriptif kemerataan Collembola pada kedua tipe agroekosistem apel. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 2.

(16)

Husamah/Kualitas Tanah Agroekosistem Apel Kota Batu Jawa Timur Berdasarkan Bioindikator Struktur Komunitas Collembola/2015

150

Gambar 2. Diagram Batang Indeks Kemerataan Collembola

Gambar 2 menunjukkan tidak ada perbedaan secara deskriptif kemerataan Collembola pada kedua tipe agroekosistem apel. Meskipun kemerataan Collembola pada tipe agroekosistem apel semiorganik sedikit lebih tinggi dibandingkan kemerataan Collembola pada agroekosistem apel nonorganik, namun apabila merujuk pada kategori Krebs (1989) kedua agroekosistem apel memiliki kemerataan tinggi. Berdasarkan kategori tersebut, berarti semua habitat memiliki distribusi jenis yang merata dan tidak ada dominasi jenis tertentu. Kemerataan menggambarkan tingkat sebaran individu antara jenis-jenis (Leksono, 2011). Indeks kemerataan yang tinggi mengindikasikan kelimpahan jenis yang hampir sama atau merata, sementara indeks kemerataan yang rendah menunjukkan adanya kecenderungan dominasi jenis tertentu di suatu habitat (Priyono dan Abdullah, 2013). Apabila jumlah populasi suatu suku tidak mendominasi populasi suku lainnya maka nilai kemerataan akan cenderung tinggi (Khasanah, 2004). Menurut Fachrul (2012), komponen lingkungan akan mempengaruhi kemerataan biota pada suatu tempat, sehingga kemerataan jenis yang tinggi dapat dipakai untuk menilai kualitas suatu habitat.

Indeks kemerataan Collembola yang tinggi disebabkan hewan ini memiliki kemampuan hampir sama dalam memanfaatkan berbagai kondisi lingkungan untuk mempertahankan kehidupan. Menurut McNaughton dan Wolf (1998) bisa jadi ada 2 jenis atau lebih yang dapat hidup bersama di alam karena memiliki kebutuhan sumber makanan yang berbeda ataupun karena memiliki sumber makanan identik tetapi dibatasi beberapa faktor sehingga kompetisi tak terjadi. Habitat sesuai juga memungkinkan Collembola untuk hadir dengan kemerataan tinggi.

0,81 0,71 0.0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1.0 Semiorganik Nonorganik N ilai Inde ks Ke me rat aa n

(17)

Husamah/Kualitas Tanah Agroekosistem Apel Kota Batu Jawa Timur Berdasarkan Bioindikator Struktur Komunitas Collembola/2015

151 Penelitian ini menunjukkan indeks kemerataan jenis pada kedua agroekosistem apel tidak memiliki perbedaan berarti. Menurut Kamal et al. (2011) hal ini dapat dipengaruhi oleh rantai makanan. Kemerataan jenis cenderung meningkat sejalan dengan peningkatan keragaman struktur habitat. Perbedaan struktur habitat yang penyusun masing-masing tipe habitat juga turut mempengaruhi kemerataan jenis. Apabila kita membandingkan nilai indeks kemerataan maka dapat dikatakan bahwa kondisi serta pola rantai makanan dan struktur habitat pada kedua agroekosistem tersebut sama atau seragam. Hal ini sejalan dengan penelitian Fountain et al. (2007) yang menunjukkan bahwa aplikasi pestisida sintesis dan berbagai aktivitas manusia akan mempengaruhi kemerataan jenis Collembola yang dijumpai.

4. KESIMPULAN

Jenis Collembola yang ditemukan pada pada tipe agroekosistem apel semiorganik dan agroekosistem apel nonorganik adalah sama dan hanya berjumlah 3, yaitu Homidia cingula Börner, Isotomurus palustris Muller, dan Pseudachorutes javanicus Handschin. Keanekaragaman jenis pada agroekosistem apel semiorganik dan nonorganik adalah sama dan termasuk kategori rendah. Kemerataan Collembola pada tipe agroekosistem apel semiorganik dan nonorganik adalah sama dan termasuk memiliki kemerataan tinggi. Berdasarkan itu maka kualitas tanah di kedua agroekosistem apel relatif sama yaitu berkualitas rendah (kurang sehat) dan cenderung menghambat kehidupan Collembola. 5. UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Tim Pelaksana Hibah Penelitian DIA-BERMUTU DIKTI Batch III tahun anggaran 2013-2014 Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Malang yang telah mendanai penelitian ini. Terima kasih kepada Tim Kerja Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan UMM yang telah mereview artikel ini dan meminjamkan referensi terkait. Terima kasih pula kepada Bapak Dr. Suputa dari Laboratorium Entomologi Dasar Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada yang telah membantu identifikasi dan verifikasi sampel Collembola yang ditemukan.

(18)

Husamah/Kualitas Tanah Agroekosistem Apel Kota Batu Jawa Timur Berdasarkan Bioindikator Struktur Komunitas Collembola/2015

152

6. DAFTAR PUSTAKA

Agus, C. Wulandari, D. dan Purwanto, B.H. 2014. Peran mikroba starter dalam dekomposisi kotoran ternak dan perbaikan kualitas pupuk kandang. Jurnal Manusia dan Lingkungan 21(2): 179-187.

Anwar, E.K. 2007. Pengambilan contoh untuk penelitian fauna tanah. Dalam R. Saraswati, E. Husen, dan R. D. M. Simanungkalit (Eds). Metode Analisis Biologi Tanah. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembanga Petanian, Departemen Pertanian, Jakarta.

Bardgett, R.D. dan Cook, R. 1998. Functional aspect of soil animal diversity in agricultural grassland. Applied Soil Ecology 10: 263-276.

Borror, D.J. Tiplehorn, C.A. and Johnson, N.F. 1996. Pengenalan pelajaran serangga. Terjemahan oleh Soetiyono Partosoedjono. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Darwati. 2007. Keragaman dan kelimpahan mesofauna tanah pada beberapa tipe penggunaan lahan di daerah gunung bawang. Tesis. Tidak Dipublikasikan. Pascasarjana UGM. Yogyakarta.

Dharmawan, A. Ibrohim, T.H. Suwono, H. dan Susanto, P. 2005. Ekologi hewan. UM Press, Malang.

Djauhari, S. Mudjiono, G. Himawan, T. dan Sudarto. 2009. Pengujian kualitas tanah untuk lahan pertanian/perkebunan di Kota Batu. Laporan Penelitian. FP UB, Malang.

Elisa, F. Jasmi dan Abizar. 2013. Komposisi serangga tanah pada kebun karet di Nagari Padang XI Punggasan Kecamatan Linggo Saribaganti Kabupaten Pesisir Selatan. Laporan Penelitian. STKIP PGRI Sumatera Barat, Padang.

Fachrul, M.F. 2012. Metode Sampling bioekologi. Edisi 1 Cetakan III. Bumi Aksara, Jakarta.

Fountain, M.T. Brown, V. K. Gange, A.C. Symondson, W.O.C. and Murray, P.J. 2007. The effects of the insecticide chlorpyrifos on spider and collembola communities. Pedobiologia, 51(2): 147-158.

Ganjari, L.E. 2012. Kemelimpahan jenis collembola pada habitat vermikomposting. Widya Warta, 36(1): 131-144.

Hopkin, S.P. 1997. Biology of the springtails (insecta: Collembola). Oxford University Press, Oxford.

(19)

Husamah/Kualitas Tanah Agroekosistem Apel Kota Batu Jawa Timur Berdasarkan Bioindikator Struktur Komunitas Collembola/2015

153 Indahwati, R. Hendrarto, B. dan Izzati, M. 2012. Keanekaragaman arthropoda tanah di lahan apel Desa Tulungrejo Kecamatan Bumiaji Kota Batu. Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Semarang, 11 September. Indriyati dan Wibowo, L. 2008. Keragaman dan kemelimpahan

Collembola serta arthropoda tanah di lahan sawah organik dan konvensional pada masa bera. J. HPT Tropika 8 (2): 110 – 116. Janssens, F. 2010. Checklist of Collembola of the world. Diakses dari :

http://www.collembola.org. (10 November 2013).

Leksono, A. S. 2011. Keanekaragaman Hayati. UB Press, Malang.

Lisnawati, Y. Suprijo, H. Poedjirahajoe, E. dan Musyafa. 2014. Hubungan Kedekatan ekologis antara fauna tanah dengan karakteristik tanah gambut yang di drainase untuk HTI Acacia crassicarpa. Jurnal Manusia dan Lingkungan 21(2):170-178.

Kamal, M. Yustian, I. dan Rahayu, S. 2011. Keanekaragaman jenis arthropoda di Gua Putri dan Gua Selabe Kawasan Karst Padang Bindu, OKU Sumatera Selatan. J. Penelitian Sains 14(1):33-37. Khasanah, N. 2004. Struktur komunitas artropoda pada ekosistem

bawang merah tanpa perlakuan insektisida. Jurnal Agroland 11(4):358-364.

Krebs, C.J. 1989. Ecological methodology. Columbia: Harper collins publishers- University of British Columbia.

Meyer, J.R. 2009. Collembola: Springtails. Diakses dari: http://www.cals. ncsu.edu/course/ent425/library/compendium/collembola.html. (3 April 2014).

Maharadatunkamsi. 2011. Profil mamalia kecil Gunung Slamet Jawa Tengah. Jurnal Biologi Indonesia 7(1):171-185.

McGeoch, M.A. van Rensburg, B.J. and Botes, A. 2002. The verification and application of bioindicators: a case study of dung beetles in savanna ecosystem. J Appl Ecol 39: 661-672.

McNaughton, S.J. and Wolf, L.L. 1998. Ekologi umum. Edisi Kedua Cetakan Ketiga. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Noerdjito, W.A. 2010. Dampak kegiatan manusia terhadap keanekaragaman dan pola distribusi serangga di Gunung Salak. Laporan Akhir Program Insentif Peneliti dan Perekayasa LIPI.

(20)

Husamah/Kualitas Tanah Agroekosistem Apel Kota Batu Jawa Timur Berdasarkan Bioindikator Struktur Komunitas Collembola/2015

154

Pusat Penelitian Biologi LIPI, Bogor.

Odum, E.P. 1998. Dasar-Dasar ekologi. GMU Press, Yogyakarta.

Ponce, C. Carolina, B. de Leon, D.G. Magana, M. and Alonso, J.C. 2011. Effect on organic farming on plant and arthropod communities: a case study in Mediterranean Dryland Cereal. Agricultural, Ecosystems and Environment 141: 193-201.

Pramono dan Siswanto, E. 2007. Budidaya apel organik. Makalah Temu Pakar Pertanian Organik Buah-Buahan, Sumatera Barat.

Pribadi, T. 2009. Keanekaragaman komunitas rayap pada tipe penggunaan lahan yang berbeda sebagai bioindikator kualitas lingkungan. Tesis. Pascasarjana IPB. Bogor.

Priyono, B. dan Abdullah, M. 2013. Keanekaragaman jenis kupu-kupu di Taman Kehati UNNES. Biosaintifika 5(2): 76-81.

Rahmadi, C. Suhardjono, Y.R. dan Andayani, I. 2004. Collembola lantai hutan di kawasan hulu Sungai Tabalong Kalimantan Selatan. Biota, IX:179-185.

Rahmawati, N. 2005. Pemanfaatan Biofertilizer pada pertanian organik. Laporan Penelitian. FP USU, Medan.

Samudra, F.B. Izzati, M. dan Purnaweni, H. 2013. Kelimpahan dan keanekaragaman arthropoda tanah di lahan sayuran organik “urban farming”. Maka ah disajikan ada eminar Nasiona Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan tahun 2013. Suhardjono, Y.R. Deharveng, L. dan Bedos, A. 2012. Collembola

(Ekorpegas). Vegamedia, Bogor.

Suwantoro, A.A. 2008. Analisis pengembangan pertanian organik di Kabupaten Magelang (studi kasus di Kecamatan Sawangan). Tesis. Pascasarjana UNDIP, Semarang.

Suwondo. 2002. Komposisi dan keanekaragaman mikroorthropoda tanah sebagai bioindikator karakteristik biologi pada tanah gambut. FKIP Universitas Riau, Pekanbaru.

Trimurti, S. 2010. Beberapa Kelompok fauna tanah yang tertangkap pada seresah dan dalam tanah di zona koleksi hutan alam kebun raya Unmul Samarinda. Scientifie 9(1): 107-110.

Utami, S.N.H. dan Handayani, S. 2003. Sifat kimia entisol pada pertanian organik. Jurnal Ilmu Pertanian 10: 63-69.

(21)

Husamah/Kualitas Tanah Agroekosistem Apel Kota Batu Jawa Timur Berdasarkan Bioindikator Struktur Komunitas Collembola/2015

155 Weissman, L. Fraiber, M. Shine, L. Garty, J. and Hochman, A. 2006. Responses of antioxidants in the lichen ramalina lacera may serve as a warning nearly bioindication systems for detection of water pollution stress. Fems Microbiol Ecol 58: 41-53.

Widiyatno, Soekotjo, Suryatmojo, H. Supriyo, H. Purnomo, S. dan Jatmoko. 2014. Dampak penerapan sistem silvikultur tebang pilih tanam jalur terhadap kelestarian kesuburan tanah dalam menunjang kelestarian pengelolaan hutan alam. Jurnal Manusia dan Lingkungan 21(1): 50-59.

Gambar

Gambar 1. Diagram Batang Indeks Keanekaragaman Collembola
Gambar 2. Diagram Batang Indeks Kemerataan Collembola

Referensi

Dokumen terkait

Atribut kunci pimer Field atau kolom data yang butuh disimpan dalam suatu entitas dan digunakan sebagai kunci akses record yang diinginkan; biasanya berupa id;

Bentuk & Kriteria Indikator Penilaian Bobot (%) (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) gambaran umum rencana usaha, Metode pelaksanaan, Biaya dan

Penelitian penggunaan kompleks fermentasi onggok-urea-zeolit dengan membandingkan hasil fermentasi yang menggunakan kapang Aspergillus niger, Aspergillus oryzae

PENGUMUMAN DOSEN PEMBIMBING LAPANGAN PROGRAM MAGANG 3 2016

Mengingat skala prioritas teknologi pengolahan sampah yang terpilih relatif tidak sensitif terhadap perubahan preferensi aspek lingkungan, sosial, teknis, dan ekonomi, maka

pada bagian ini hanya terdiri dari beberapa elemen multimedia yang digabungkan menjadi suatu aplikasi multimedia yang sudah diolah menggunakan software Macromedia Director MX, Adobe

Pengujian dilakukan melalui pemindahan biakan positif dari hasil uji pendugaan positif dengan menggunakan jarum inokulasi dari setiap tabung LSTB ke dalam tabung

Berdasarkan uji keteknikan, pembuatan batako, dan uji kuat tekan bebas yang telah dilakukan terhadap tuf pasiran, mengindikasikan bahwa endapan ini dapat dipakai