• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBEDAAN KADAR GLUTATHION PEROXIDASESERUM (GPx) PADA ABORTUS IMINENS DANKEHAMILAN NORMAL. Prof. Dr. dr. I Gede Putu Surya, Sp.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERBEDAAN KADAR GLUTATHION PEROXIDASESERUM (GPx) PADA ABORTUS IMINENS DANKEHAMILAN NORMAL. Prof. Dr. dr. I Gede Putu Surya, Sp."

Copied!
69
0
0

Teks penuh

(1)

PERBEDAAN KADAR GLUTATHION

PEROXIDASESERUM (GPx) PADA ABORTUS

IMINENS DANKEHAMILAN NORMAL

Prof. Dr. dr. I Gede Putu Surya, Sp.OG(K)

BAGIAN/SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

FK UNUD/RSUP SANGLAH DENPASAR

(2)

Abortus merupakan komplikasi obstetrik yang sering dijumpai pada kehamilan muda,yang ditandai dengan perdarahan pervaginam. Ada beberapa teori yang diteliti tentang penyebab terjadinya abortus misalnya factor kromosom, nutrisi, infeksi, penyakit metabolic dan tumor kandungan.Akhir-akhir ini dikemukakan teori radikal bebas sebagai pemicu terjadinya abortus. Pada abortus sendiri terjadi gangguan keseimbangan antara oksidan dan antioksidan yang disebabkan oleh reactive oxygen spicies (ROS), suatu molekul yang mengandung oksigen muatan negative, termasuk didalamnya golongan superokside. Sel sendiri memproduksi antioksidan yaitu Gluthation peroxidase (GPx) untuk melawan ROS.Dalam hal ini GPx bertindak sebagai pertahanan antioksidan primer karena menghindarkan terbentuknya radikal- radikal bebas lainnya yang lebih berbahaya. Salah satu radikal bebas yang sangat berpengaruh adalah anion superoksid (02-).

Anion peroside ini akan merusak sinsitotrofoblas dan reaksi ini akan diredam dengan perlindungan enzim GPx sebagai perlindungan lini pertama.

Kerangka konsep penelitian ini adalah terjadinya kegagalan remodeling arteri spiralis sehingga menyebabkan terjadinya iskemik plasenta yang akan menghasilkan radikal bebas yang bersifat toksik terhadap sinsitotrifoblas. Anion perokside akan dinetralisir oleh GPx. Dari penelitian ini muncul hipotesa penelitian bahwa kadar GPx serum pada abortus iminens lebih rendah daripada hamil normal.

Penelitian ini merupakan desain cross sectional analitik, dilaksanakan di IRD dan Poliklinik Kebidanan dan Kandungan RSUP Sanglah Denpasar dari Januari 2011 sampai Desember 2011, diperoleh 42 sampel dimana 21 pasien dengan abortus iminens dan 21 pasien hamil normal pada umur kehamilan < 20 minggu yang diambil secara consecutive sampling. Dari data yang terkumpul dilakukan pengujian normalitas data Shapiro Wilk Test, kemudian dilakukan analisa data dengan t- independent sample test dengan tingkat kemaknaan α = 0,05

Dari hasil penelitian didapatkan hasil rerata kadar GPx pada abortus iminens 49,92 ± 14,17 U/g Hb lebih rendah dibandingkan dengan hamil muda normal sebesar 88,94 ± 30,11 U/g Hb dengan perbedaan rerata GPx pada abortus iminens dan hamil normal sebesar 39,01 U/g Hb.

Pada penelitian ini disimpulkan didapatkan perbedaan bermakna kadar GPx serum pada abortus iminens lebih rendah dibandingkan dengan kehamilan normal (p<0,05). Hal yang serupa juga didapatkan pada beberapa penelitian yang lain.

(3)

Tujuan Penelitian: Untuk mengetahui perbedaan kadar Serum GPx pada abortusiminens dan kehamilan normal.

Metode penelitian: Cross sectional. Jumlah sampel adalah sebesar 42 sampel,dimana 21 kasus abortus iminens dengan umur kehamilan < 20 minggu dan 21 kasus dengan kehamilan normal < 20 minggu. Pengambilan darah pada vena cubiti sebanyak 3cc kemudian dimasukkan kedalam tabung EDTA, lalu diperiksa kadar GPx pada Laboratorium Patologi Klinik RSUP Sanglah Denpasar. Dari data yang terkumpul dilakukan pengujian normalitas data dengan

Shapiro-Wilk Test, kemudian dilakukan analisa data dengan t-independent sample test

dengan tingkat kemaknaan p< 0,05

Hasil: Dari penelitian ini didapatkan kadar rerata GPx pada abortus iminens 49,92 ± 14,17 U/g Hb lebih rendah dari kehamilan normal dengan kadar rerata 88,94 ± 30,11 U/g Hb dengan perbedaan rerata GPx pada abortus iminens dan hamil normal sebesar 39,01 U/g Hb.

Simpulan: Perbedaan kadar GPx antara abortus iminens dan kehamilan normalberbeda bermakna secara statistik. Hal ini berarti bahwa kadar GPx pada abortus iminens lebih rendah dibandingkan kehamilan normal.

Kata kunci :abortus iminens, GPx, hamil normal

(4)

Objective: To determine the difference of Glutathion peroxidase (GPx) inthreatened miscarrages and normal pregnancy.

Method: This is an analytic cross sectional with 42 samples devided into twogroups. Twentyone cases of threatened miscarriages with < 20 gestational age and 21 normal pregnancies of <20 weeks gestational age. We took 3 cc of blood samples from the cubiti veins and is mixed with edta than its GPx quantities were than examined at the Pathology Lab at Sanglah General Hospital. Datas were then analysed using the Shapiro Wilk Test and the t independent test with p< 0,05. Result: From this research obtained the mean GPx levels on the threatenedmiscarrages 49,92 ± 14,17 U/g Hb lower than normal pregnancy levels with average 88,94 ± 30,11 U/g Hb with the mean difference in threatened and normal pregnancy is 39,01 U/g Hb.

Conclusion: The quantities of GPx between threatened miscarriages and normalpregnancies are statistically different meaning the quantity of GPx in threatened miscarriages is lower compared to normal pregnancy.

Keywords :threatened miscarriages, GPx, normal pregnancy

(5)

SAMPUL DALAM ... i

PERSYARATAN GELAR ... ii

LEMBAR PENGESAHAN... iii

KATA PENGANTAR... v

RINGKASAN ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR SINGKATAN... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan Penelitian... 4

1.4 Manfaat Penelitian... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Abortus Iminens ... 6

2.2 Insiden Abortus Iminens ... 6

2.3 Etiologi Abortus Iminens ... 7

2.4 Stres Oksidatif Pada Abortus Iminens ... 9

2.4.1 Stres oksidatif ... 9

2.4.2 Abortus iminens sebagai keadaan stres oksidatif ... 15

2.5 Mekanisme Pertahanan terhadap Stress Oksidatif ... 18

2.5.1 Suoeroksid Dismutase ... 20

2.5.2 Katalase ... 20

2.5.2 Glutathine Peroxidase (GPx) ... 21

(6)

2.8 Antioksidan Non Enzimatik……….. 28

BAB III KERANGKA PIKIR DAN HIPOTESIS PENELITIAN ... 30

3.1 Kerangka Pikir Penelitian... 30

3.2 Hipotesis Penelitian ... 32

BAB IV METODE PENELITIAN ... 33

4.1 Rancangan Penelitian ... 33

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 33

4.3 Populasi Penelitian ... 33

4.4 Sampel Penelitian ... 33

4.4.1 Kriteria inklusi... 34

4.4.2 Kriteria eksklusi ... 34

4.4.3 Penghitungan Besar Sampel ... 34

4.5 Variabel Penelitian ... 35

4.6 Definisi Operasional Variabel ... 35

4.7 Bahan Penelitian ... 37

4.8 Alat Pengumpul Data ... 38

4.9 Alur Penelitian... 38

4.10 Teknik Analisis Data ... 40

BAB V HASIL PENELITIAN ... 42

5.1 Karakteristik Sampel ... 42

5.2 Perbedaan Kadar GPx pada Abortus Iminens Dan Kehamilan Normal Normal ... 38

BAB VI PEMBAHASAN ... 44

6.1 Karakteristik Sampel ... 44

6.2 Kadar GPx Pada Abortus Iminens ... 45

6.3 Kelemahan Penelitian ... 47

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ... 48

7.1 Simpulan... 48

7.2 Saran ... 48

(7)

DAFTAR PUSTAKA ... 49 LAMPIRAN ... 53

(8)

DAFTAR TABEL

5.1 Karakteristik Sampel ... 37 5.2 Perbedaan Kadar GPx pada Abortus Iminens

dan Kehamilan Normal ... 38

(9)

DAFTAR GAMBAR

2.1 Gangguan Keseimbangan Oksidan dan Antioksidan Dapat

Menyebabkan Kerusakan Jaringan... 11

2.2 Permukaan Uteroplasenta Awal dan Akhir Trimester ... 17

2.3 Klasifikasi Mekanisme Pertahanan Antioksidan Seluler ... 18

2.4 Jalur Pembentukan ROS, Proses Peroxidasi Lipid dan Peran Glutathine (GSH) dan Antioksidan Lain ( Vitamin E, C, asam Lipoat) Dalam Mengatasi Stress Oksidatif... 19

2.5 Penangkapan Endogen Peroksida Seluler ... 21

2.6 Struktur Kristal Glutathione Peroxidase……… 22

3.1 Kerangka Pikir……… 31

4.1 Alur Penelitian……… 40

(10)

DAFTAR SINGKATAN ATP : Adenotriposphate

DNA : Dioxyribonuclease acid EDHX : Epoxide Hydrolase

ELISA : Enzyme Linked Imonosorbant Assay GPx : Glutathion Peroxidase

GSSG : Glutathion Disulfida GST : Glutathion S – Transferase HPHT : Hari Pertama Haid Terakhir mRNA : Massanger Ribonuclase acid OFRs : Oxygen Free Reactive Spicies ROS : Species Oxygen Reactive SOD : Superoxide Dismutase TNFα : Tumoe Necrosis Factor-a UGT : Glocoronosite Treansferase USG : Ultasonografi

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Informed Consent ... 53

2 Pernyataan Persetujuan Mengikuti Penelitian ... 56

3 Kuisoner Penelitian ... 57

4 Rancangan Biaya Penelitian ... 59

5 Data Penelitian ... 60

6 Hasil Penelitian ... 62

(12)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Abortus merupakan komplikasi kehamilan yang paling sering terjadi.Diperkirakan abortus spontan (miscarriages) terjadi pada 75% wanita sejak saat konsepsi namun sebagian besar kejadian tersebut tanpa disadari karena terjadi sebelum atau bersamaan dengan saat haid berikutnya.Dari sejumlah kasus yang disadari, 15-20% berakhir dengan abortus spontan atau kehamilan ektopik (Petrozza dan Berlin, 2010). Kemungkinan untuk mengalami abortus spontan berulang akan meningkat sejalan frekuensi seseorang mengalami abortus. Bahkan setelah mengalami abortus spontan tiga kali dan empat kali, kemungkinan untuk terjadi abortus berikutnya berturut-turut sebesar 45% dan 54,3% (Turrentine, 2008). Lebih dari 80% abortus terjadi pada trimester pertama (Bernirschke dan Kaufmann, 2000), yaitu hingga umur kehamilan 14 minggu (Cunningham dkk, 2010).

Abortus adalah berakhirnya kehamilan baik secara spontan maupun disengaja, sebelum janin viabel.Pada umumnya abortus didefinisikan sebagai berakhirnya kehamilan sebelum umur kehamilan 20 minggu atau kurang dari 500 gram (Cunningham dkk, 2010).Secara teori kejadian abortus dapat disebabkan oleh karena faktor embrio, seperti kelainan kromosom, faktor ibu seperti penyakit ginjal, diabetes mellitus, infeksi akut, trauma, kelainan sistem produksi dan faktor dari plasenta. Disamping itu abortus juga dapat disebabkan oleh

(13)

ketidakseimbangan oksidan dan anti oksidan pada jaringan uteroplasenta yang memegang peranan penting dalam berbagai penyakit termasuk abortus. Walaupun stress oksidatif memberikan insiden kecil pada etiologi abortus iminens namun danpak dari stress oksidatif tersebut, yaitu kadarGlutathion peroxidase serum (GPx) dapat diukur dan dengan mengetahui perbedaan kadarnya dengan kehamilan normal, maka nantinya akan dapat diberikan dari luar sehingga dapat menekan kejadian dari abortus iminens.

Glutathione peroxidase adalah suatu enzim yang berfungsi

untukmengkatalisis hidrogen peroksida (H2O2) dan hidroperoksida organik

sehingga mencegah terjadinya peroksidasi lipid pada membran sel dan bekerja sebagai pengikat radikal bebas (Kohen dan Nyska, 2002).Dengan adanya Gpx,

glutathione tereduksi (GSH) bereaksi dengan H2O2atau hidroperoksida

organik(ROOH), membentuk glutathione disulfida (GSSG) dan H2O.Glutathioneperoxidase dapat ditemukan di dalam mitokondria, sitosol

maupun ekstraseluler.Pada manusia, saat ini telah ditemukan 8 macam Gpx (Toppo dkk, 2009).Namun, fungsi dari masing-masing enzim ini belum dapat dijelaskan sepenuhnya.

Glutathion peroxidase serum berperanan sangat penting dalam kehamilan.Pada awal kehamilan peran GPx pada endometrium untuk keberhasilan implantasi dengan melindungi blastokist dari radikal bebas.Pada desidua, GPx serum melindungi kerusakan sel terhadap aktivasi TNFα. Tumor Necrosis

Factoralfa menimbulkan kerusakan sel melalui anion superoksid. Jadi tingginya

kadarGPx serum pada kehamilan normal akan melindungi konsepsi dari TNFα. Pada plasenta, GPx serum berperan melindunginya dari lipid peroksidase. Lipid

(14)

peroksidase mengakibatkan kerusakan sel melalui reaksi enzimatik, mengubah

unsaturated fatty acid menjadi lipid peroksida, yang akan mengganggu

stabilitasmembran sel sehingga menginduksi kerusakan sel. Pada kehamilan normal lipid peroksidase akan menurun sedangkan GPx serum meningkat sesuai dengan bertambahnya umur kehamilan (Wibowo, 2001)

Antioksidan merupakan senyawa yang dapat menghambat oksidasi molekul target mencapai radikal bebas. Glutathion peroxidase serum merupakan enzim antioksidan penting dalam mengatasi stress oksidatif karena berperan dalam mengkatalisa reduksi hidroperoksida organik atau hidrogen peroksida menjadi alkohol atau H₂0 melalui oksidasi glutathion. Glutathion

peroxidaseserum ini hanya reaktif terhadap hidrogen peroksida

organik.Glutathion peroxidase serum hampir selalu ditemukan diplasenta dan jaringan desidua namunpaling banyak ditemukan di eritrosit, ginjal, dan hati. Dua enzim yang lain memainkan peranan utama dalam pertahanan terhadap adanya anion superoksid, yaitu: Superoksid dismutase (SOD) mengubah anion superoksid menjadi H₂O₂ dan oksigen. Karena H₂O₂ sangat reaktif dan dapat melalui membran sel dengan mudah maka SOD bekerja secara paralel dengan GPx sebagai enzim yang menghilangkan H₂O₂ dan katalase, keduanya dapat secara cepat mengubah H₂O₂ menjadi H₂0 dan oksigen.Kedua enzim terekspresi pada lokasi yang berbeda, GPx terutama ditemukan dalam sitosol sementara SOD ditemukan dalam matriks peroksisom. Karenanya, kedua enzim memiliki fungsi yang spesifik dan saling melengkapi antara yang satu dengan yang lainnya (Chen, 2003; Raijmakers, 2004)

(15)

Dari penelitian sebelumnya, beberapa peneliti menemukan penurunan kadar Gpx serum (Zachara dkk, 2001; Mishra dan Chaudhurl, 2003) pada abortus spontan. Sedangkan kadar Gpx eritrosit pada abortus spontan masih kontroversi, beberapa peneliti menemukan peningkatan (Zachara dkk, 2001; Mishra dan Chaudhurl, 2003), sedangkan Ozkaya dkk (2008) menemukan bahwa kadarnya tidak berbeda dibandingkan dengan kehamilan normal.

Atas pertimbangan bahwa pada trimester pertama, plasenta memfiltrasi darah maternal, hanya memperbolehkan rembesan plasma, bukan aliran darah murni ke dalam ruang intervillus (Burton dkk, 2002), kadar Gpx plasma pada abortus lebih rendah dari kehamilan normal (Zachara dkk, 2001; Mishra dan Chaudhurl, 2003) dan penelitian mengenai perbedaan kadar Gpx serum pada abortus iminens dan kehamilan normal belum pernah dilakukan di Rumah Sakit Sanglah Denpasar, maka peneliti ingin melakukan penelitian mengenai hal ini.

1.2 Rumusan Masalah

Apakah terdapat perbedaan kadar GPx antara abortus iminens dan kehamilan normal ?

1.3.Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui perbedaan kadar GPx pada abortus iminens dan kehamilan normal.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui rerata kadar GPx pada abortus iminens. 2. Untuk mengetahui rerata kadar GPx pada kehamilan normal.

(16)

3. Untuk mengetahui perbedaan rerata kadar GPx abortus iminens dan kehamilan normal.

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Manfaat Bagi Pengetahuan

1. Untuk memberikan sumbangan terhadap ilmu pengetahuan mengenai pengaruh Glutathion peroxidase serum terhadap abortus iminens. 2. Sebagai bahan perbandingan mengenai peranan antioksidan dan

radikal bebas terhadap kejadian abortus.

1.4.2. Manfaat Bagi Pelayanan

Sebagai bagian dari suatu rangkaian penelitian mengenai pengaruh

Glutathione peroxidase serum terhadap abortus iminens, sehingga pada akhirnya

(17)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Abortus Iminens

Abortus iminens yang juga dikenal sebagai threatened abortion didefinisikan sebagai perdarahan yang berasal dari uterus pada umur kehamilan dibawah 20 minggu disertai sakit perut atau tidak sama sekali, uterus membesar sesuai umur kehamilan, tanpa adanya pembukaan serviks dengan tes kehamilan masih positif, dimana hasil konsepsi masih di dalam uterus yang dibuktikan dengan USG. Perdarahan bisa terlihat dari ostium uteri dan tidak terdapat nyeri goyang portio atau nyeri adneksa.Mula-mula perdarahan berasal dari desidua basalis kemudian diikuti oleh nekrosis jaringan sekitar.Hal tersebut menyebabkan hasil konsepsi terlepas sebagian atau seluruhnya sehingga merupakan benda asing dalam uterus.Keadaan ini menyebabkan uterus berkontraksi untuk mengeluarkan isinya (Berek, dkk., 1998).

2.2. Insiden Abortus Iminens

Perdarahan pervaginam berupa perdarahan bercak sangat umum terjadi pada wanita hamil muda kurang dari 20 minggu yaitu sekitar 25%. Perdarahan yang banyak dan nyeri perut yang menyertai abortus iminens sangatlah jarang terjadi.Sering perdarahan itu berupa flek dan berhenti sendiri dan mungkin pengaruh implantasi tropoblas pada desidua endometrium. Sekitar setengah dari wanita yang mengalami abortus iminens mengalami abortus spontan dan sisanya terus

(18)

bertahan sampai viabel. Abortus iminens sering terjadi pada 8 minggu pertama kehamilan yaitu sekitar 75%, sekitar 2-3 kali lebih tinggi dan setelah itu kejadiannya mulai menurun.Hampir 15% dari seluruh kehamilan mengalami abortus iminens, dan 16-18% berkembang menjadi keguguran tergantung dari jumlah perdarahan yang terjadi (Milli, 2008).

2.3. Etiologi Abortus Iminens

Perdarahan pada trimester pertama dengan atau tanpa hematom subkorionik berhubungan dengan reaksi inflamasi kronik pada desidua yang menyebabkan uterus berkontraksi. Untuk diketahui dua pertiga abortus terjadi akibat kelainan pada plasenta terutama akibat kegagalan invasi sitotropoblas pada lumen arteri spiralis. Adanya perdarahan subkorionik pada abortus iminens berhubungan dengan insiden abortus spontan (Jemmo, dkk., 2003). Abortus iminens dipertimbangkan sebagai bagian yang terpisah dari abortus lainnya karena berasal dari pendarahan lokal pada bagian perifer dari plasenta yang sedang terbentuk. Pendarahan ini terjadi pada saat pembentukan membran dan dapat menyebabkan abortus komplit bila hematom meluas ke bagian plasenta yang definitif (Jaunioux, dkk., 2006).

Abortus iminens mengalami perbaikan dan menjadi kehamilan normal sampai trimester tiga atau berlanjut menjadi abortus insipien, abortus inkomplit dan abortus komplit. Perdarahan pervaginam yang berat sangatlah jarang terjadi tetapi perdarahan berupa spoting akan sembuh dengan sendirinya.

(19)

Sebagai penyebab abortus iminens adalah sebagai berikut:

1. Faktor embrio, biasanya akibat kelainan kromosom hampir 75% terjadi abortus selama trimester pertama.

2. Faktor ibu seperti penyakit ginjal, diabetes mellitus, penyakit infeksi akut, trauma dan kelainan sistem reproduksi: mioma uteri dan kelainan uterus. 3. Kelainan plasentasi. Peran reaksi oksidatif pada plasenta akan mengalami

kelainan dari plasenta itu sendiri. Sekarang terdapat bukti yang jelas bahwa abortus merupakan kelainan plasentasi. Pada dua pertiga kasus abortus, terdapat bukti anatomis adanya defek pada plasentasi yang memiliki karakteristik lapisan pelindung trofoblas yang lebih tipis maupun berfragmentasi, invasi endometrium oleh trofoblas yang menurun dan sumbatan ujung arteri spiralis yang tidak sempurna. Hal ini berhubungan dengan tidak adanya perubahan fisiologis pada sebagian besar arteri spiralis dan menyebabkan onset prematus dari sirkulasi maternal pada seluruh

plasenta (Jauniaux, dkk., 2006).

Oksigen dalam plasenta janin stadium awal sangat rendah dan meningkat ketika mendapatkan aliran darah dari ibu. Metabolisme aerobik sangat berhubungan dengan pembentukan spesies oksigen reaktif dan kecepatan pembentukannya sebanding dengan kadar oksigen. Reaksi oksidatif memiliki potensial yang sangat berbahaya sehingga sistem pertahanan tubuh yang kompleks telah dibentuk untuk mengatasi ini. Untuk mendapatkan bukti mengenai kadar oksigen ditingkat seluler dengan mencari konsentrasi mRNA dan aktivitas enzim

(20)

tembaga/aluminium, dan Superoksida dismutase (SOD) dalam jaringan plasenta pada berbagai umur kehamilan. Bila konsentrasi oksigen berfluktuasi terlalu cepat atau meningkat terlalu tinggi maka akan melampaui pertahanan antioksidan seluler sehingga menimbutkan stres oksidatif. Pada kondisi seperti ini, kerusakan pada protein, lemak dan DNA mengganggu fungsi seluler, bahkan mengakibatkan kematian sel (Jauniaux, dkk., 2000).

2.4. Stres Oksidatif Pada Abortus Iminens 2.4.1. Stres Oksidatif

Definisi stres oksidatif jarang dapat diterima secara umum. Salah satu definisi yang dapat diterima adalah yang disampaikan oleh Sies pada tahun 1991, yaitu gangguan keseimbangan oksidan dan antioksidan dimana oksidan melebihi kadar antioksidan, menyebabkan kerusakan yang serius.

Gangguan keseimbangan tersebut dapat disebabkan oleh satu atau kedua kejadian berikut (Raijmakers, 2004):

1. Berkurangnya antioksidan.

2. Meningkatnya oksidan atau senyawa oksigen reaktif.

Berkurangnya antioksidan dapat disebabkan oleh tiga mekanisme utama (Raijmakers, 2004) :

1. Malnutrisi yang menyebabkan intake yang tidak adekuat nutrien antioksidan yang esensial.

(21)

2. Beberapa obat yang dikonjugasi dengan glutathion pada waktu pembuatannya dengan tujuan ekskresi dari tubuh menyebabkan penurunan kadar glutathion dalam tubuh.

3. Mutasi gen menyebabkan efek yang buruk pada sistem antioksidan, menyebabkan penurunan aktivitas antioksidan tersebut.

Meningkatnya oksidan dan senyawa oksigen reaktif sering menyebabkan stres oksidatif dalam tubuh, meliputi (Raijmakers, 2004):

1. Meningkatnya konsentrasi 02 dapat menyebabkan peningkatan pembentukan senyawa oksigen reaktif seperti H2O2 dan OH

-2. Meningkatnya enzim sitokrom p450 mempunyai peran penting dalam detoksifikasi toksin di dalam tubuh. Kadang produk sampingan enzim sitokrom p450 adalah radikal bebas yang mana bisa menimbulkan kerusakan melebihi toksin aslinya dan menyebabkan stres oksidatif.

3. Aktivitas fagositosis sel merupakan penyebab penting terjadinya stres oksidatif. Aktivitas fagositosis menghasilkan banyak senyawa reaktif yang berbeda yang memperberat stres oksidatif dalam jaringan. Proses ini terjadi pada berbagai penyakit kronis arthritis rheumatik.

4. Paparan secara langsung toksin dari lingkungan sekitar kita juga berperan dalam terjadinya stres oksidatif. Sebagai contoh merokok dalam paparan paru - paru terhadap radikal bebas.

Senyawa oksigen reaktif termasuk radikal bebas, pada keadaan normal dibentuk secara kontinyu sebagai hasil sampingan proses metabolisme selular. Senyawa oksigen reaktif sesuai dengan namanya berasal dari oksigen (O2) yang

(22)

diperlukan oleh semua organisme termasuk manusia. Melalui proses oksidasi fosforilasi yang terjadi di mitokondria oksigen diperlukan dalam pembentukan ATP yang merupakan sumber energi dari sebagian besar mahluk hidup. Pada proses pembentukan ATP tersebut sebenarnya terjadi reduksi oksigen menjadi air (H20). Pengalihan 4 elektron menjadi air dan energi ini terjadi pada rantai

respirasi, yaitu suatu rangkaian dari reaksi yang memungkinkan transfer dari suatu substrat ke substrat lainnya dan akhirnya bereaksi dengan oksigen untuk menghasilkan air dan ATP. Da1am keadaan tertentu pengalihan tersebut kurang sempurna, sehingga terjadi senyawa - senyawa oksigen yang sangat berbahaya seperti radikal hidroksil (OH-),radikal peroksil (OOH-),dan anion superoksid(02-).

Sebagian lain dalam bentuk bukan radikal seperti singlet oksigen (02-), hydrogen

peroksida (H20) dan ion hipoklorit (CIO) (Bagiada, 1995).

Gambar 2.1.Gangguan keseimbangan oksidan dan antioksidan dapatmenyebabkan kerusakan jaringan (Raijmakers, 2004)

(23)

Stres oksidatif dapat menyebabkan kerusakan jaringan dan kerusakan jaringan dapat menyebabkan stres oksidatif.Sangat diyakini bahwa stres oksidatif menyebabkan berbagai kelainan dalam tubuh.Permulaan dari penyakit yang multifaktorial telah diketahui sebagai akibat kelemahan fenomena keseimbangan hemostasis dalam tubuh. Kebanyakan penyakit seperti atherosklerosis, hipertensi, penyakit iskemik, penyakit Alzheimer's, Parkinson, kanker, dan reaksi inflamasi dianggap suatu keadaan yang pertamanya karena ketidakseimbangan antara oksidan dan antioksidan. Kerusakan jaringan dikatakan sebagai sumber penting dari keadaan stres oksidatif melalui berbagai mekanisme seperti aktivasi fagositosis, pelepasan ion metal, dan peningkatan kebocoran elektron dari ikatan transfort elektron. Luasnya peranan stres oksidatif dalam patogenesis suatu penyakit berbeda antara penyakit satu dengan yang lainnya.Karena perannya tersebut, stres oksidatif merupakan target potensial dalam menangani suatu penyakit (Raijmakers, 2004).

Radikal bebas adalah setiap unsur yang mempunyai satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan di orbit paling luarnya.Radikal bebas ini dapat bermuatan positif, negatif, atau netral.Unsur radikal dapat merupakan bagian dari struktur yang lebih besar dan imobil, namun dapat juga merupakan unsur berukuran kecil yang dapat berdifusi dikenal sebagai radikal bebas. Radikal bebas mempunyai 2 sifat penting, yang pertama yaitu bersifat sangat reaktif dan cenderung untuk bereaksi dengan molekul lain untuk mencari pasangan elektronnya sehingga menjadi bentuk yang lebih stabil, dan yang kedua yaitu dapat mengubah molekul menjadi radikal. Radikal bebas mirip dengan oksidan yang sifatnya sebagai

(24)

penerima elektron (menarik elektron). Radikal bebas lebih berbahaya daripada oksidan karena reaktivitas yang tinggi dan kecendrungannya membentuk radikal bebas yang baru. Pada gilirannya apabila radikal bebas bertemu dengan molekul lain akan membentuk radikal bebas yang baru lagi, dan demikian seterusnya sehingga terjadi reaksi rantai (Bagiada, 1995).

Molekul oksigen reaktif termasuk radikal bebas, pada keadaan normal dibentuk secara kontinyu sebagai hasil sampingan proses metabolisme selular. Proses metabolisme yang merupakan sumber radikal bebas (Wibowo, 2002): 1. Reaksi fosforilase oksidatif pada pembentukan ATP di mitokondria. Secara

normal dalam reaksi ini 1 - 5 % oksigen keluar dari jalur reaksi ini dan mengalami reduksi univalen. Reduksi satu elektron dari molekul oksigen ini akan menbentuk radikal superoksida, yang harus didetoksifikasi oleh mekanisma proteksi biokimia endogen untuk mencegah kerusakan sel.

2. Beberapa jenis enzim oksidase, misalnya xantin oksidase dan aldehid oksidase dapat membentuk zat oksidan yang reaktif, seperti superoksida.

3. Metabolisme asam arakhidonat oleh enzim siklooksigenase untuk membentuk prostaglandin dan oleh enzim lipooksigenase untuk membentuk leukotrien menyebabkan pembentukan zat - zat antara berbentuk peroksi maupun radikal hidroksi.

4. Sistem oksidase NADPH dependen di permukaan membran neutrofil adalah sumber pembentukan radikal superoksida yang sangat efisien. Enzim ini lebih bersifat dominan,namun jika teraktivasi misalnya oleh bakteri,mitogen atau

(25)

sitokin, enzim ini akan mengkatalis reaksi reduksi mendadak dari oksigen menjadi hidrogen peroksida dan 02

-5. Sel yang mengandung peroksisim, organela yang mengoksidasi asam lemak akan memproduksi H202.

Radikal bebas dihasilkan selama proses fisiologi normal, namun

pelepasannya meningkat pada keadaan iskemia, keadaan hiperfusi, dan saat terjadinya reaksi imun. Selain sumber endogen, sumber eksogen pembentukan radikal bebas adalah radiasi ionisasi, merokok, dan polusi udara.Radikal bebas dapat merusak semua komponen biokimia sel, protein, dan asam nukleat adalah target utama yang paling penting.Karena sangat reaktif, radikal bebas pada umumnya bereaksi dengan struktur pertama yang dijumpai, yang paling sering adatah komponen lipid membran sel atau organel (Bagiada, 1995).

2.4.2. Abortus Iminens Sebagai Keadaan Stres Oksidatif

Plasenta janin tidak memfasilitasi suplai oksigen kepada fetus selama periode organogenesis, melainkan membatasinya.Sehingga fase awal dari perkembangan fetus terjadi dalam lingkungan rendah oksigen. Sebagian besar oksigen yang digunakan dalarn oksidasi molekul organik dalam diet akan diubah menjadi air melalui kerja enzim dalam proses respirasi. Sekitar 1-5% dari oksigen yang digunakan tidak melalui proses ini dan diubah menjadi radikal bebas oksigen yang sangat reaktif (OFRs) dan spesies oksigen reaktif lainnya (ROS) dengan kecepatan yang dipengaruhi kadar oksigen yang tersedia. Ketika produksi OFRs

(26)

melebihi perlindungan seluler yang alami, kerusakan terhadap protein, lipid, dan DNA dapat terjadi (Jauniaux, dkk., 2006).

Salah satu kunci sukses kehamilan adalah terjadinya pertukaran feto-maternal yang adekuat. Perbandingan antara gambaran morfologi dengan data fisiologis menunjukkan bahwa struktur kantong gestasi pada trimester pertama di desain untuk membatasi pemaparan fetus terhadap oksigen yang sangat vital bagi pertumbuhan fetus (Adrian, dkk., 2000).

Plasentasi terjadi akibat infiltrasi difus pada endometrium dan sepertiga miometrium oleh sel trofoblas ekstravilli.Plasenta manusia digolongkan sebagai tipe hemokorial dengan trofoblas fetus direndam oleh darah ibu.Sebelumnya diperkirakan sirkulasi plasenta intervillous dibentuk setelah 1 minggu implantasi. Namun teori ini di bantah oleh Hustin dan Schaaps, yang menunjukkan bahwa sirkulasi intraplasenta ibu terbatas sebelum usia kehamilan 12 minggu. Data tersebut menunjukkan bahwa selama trimester pertama, rongga intervilli plasenta yang sedang berkembang dipisahkan dari sirkulasi uterus oleh sel-sel trofoblas yang menutupi arteri uteroplasental (arteri spiralis).Pada akhir trimester pertama sel-se1 trofoblas ini hilang dan mengakibatkan darah ibu mengalir secara bebas ke ruang intervilli. Sel-sel embrio dan plasenta sangat sensitif terhadap stres oksidatif karena berada dalam tahap pembelahan sel yang cepat sehingga meningkatkan risiko pemaparan OFRs pada DNA sel. Sel-sel sinsitiotrofoblas pada plasenta terutama sangat sensitif tidak hanya karena merupakan lapisan sel terluar dari hasil konseptus sehingga terpapar lingkungan dengan konsentrasi oksigen yang sangat tinggi, namun karena temyata sel-sel tersebut memiliki kadar enzim anti-

(27)

oksidan yang sangat rendah pada awal kehamilan. Sehingga dapat dihubungkan antara kehamilan dengan gangguan metabolisme maternal seperti diabetes mellitus yang diasosiasikan dengan peningkatan produksi OFRs, dengan peningkatan insiden abortus, vaskulopati, dan kelainan struktural pada fetus, yang menunjukkan bahwa hasil konseptus mamalia dapat mengalami kerusakan yang irreversibel akibat stres oksidatif. Jadi suplai makan untuk embrio selama trimester satu melalui kelenjar endometrium yang langsung sekresi pada ruang intervili plasenta.Pada akhir trimester pertama, sumbatan trofoblastik pada arteri spiralis dibuka secara bertahap, sehingga meningkatkan aliran darah maternal kedalam ruang intervillier secara bertahap pula. Selama fase transisi pada umur kehamilan 10-14 minggu, dua pertiga dari plasenta primitif yang sudah terbentuk akan menghilang, kavitas eksokoelomik hilang akibat pertumbuhan kantong amnion dan aliran darah maternal meningkat secara bertahap pada seluruh bagian plasenta. Perubahan tersebut memungkinkan darah maternal untuk mendekati jaringan fetus sehingga terjadi pertukaran nutrien dan gas antara sirkulasi maternal dan fetus (Juniaux, dkk., 2000).

(28)

Gambar 2.2.Permukaan uteroplasenta awal dan akhir trisemester(Jauniaux, dkk.., 2006)

Berdasarkan evaluasi sirkulasi plasenta pada berbagai masa kehamilan dengan menggunakan Doppler, tidak ditemukan sinyal nonpulsatile yang menunjukkan aliran darah maternal intraplasenta dalam rongga intervilli hingga umur kehamilan 10 minggu. Salah satu implikasi dari teori baru tersebut adalah bahwa kadar oksigen dalam piasenta janin stadium awal sangat rendah dan meningkat ketika mendapatkan aliran darah dari ibu. Sebaliknya, pada kehamilan muda dengan komplikasi, terlihat hipervaskularisasi pada plasenta jauh sebelum akhir trimester pertama dengan pemetaan color flow.Pada kehamilan dengan komplikasi, invasi endometrium oleh trofoblas ekstravilli sangat tebatas dibandingkan data keadaan normal.Pembatasan (plugging) dengan arteri spiralis tidak sempurna dan dapat menjadi faktor predisposisi pada onset awal sirkulasi maternal.Jaringan plasenta memiliki enzim antioksidan dalam konsentrasi rendah dan aktifitas rendah setama trimester pertama sehingga menjadi sangat rentan terhadap kerusakan yang dimediasi oksidatif. Ditemukan peningkatan tajam dari ekspresi marker stres oksidatif pada trofoblas pada umur kehamilan 8 hingga 9

(29)

minggu yang berhubungan dengan onset sirkulasi pada kehamilan normal dan berspekulasi bahwa stres oksidatif yang berlebih pada plasenta dalam umur kehamilan muda mungkin merupakan faktor yang berperan dalam patogenesis aborsi.

2.5 Mekanisme Pertahanan terhadap Stress Oksidatif

Sel yang terpapar stress oksidatif secara terus menerus, juga memiliki berbagai mekanisme pertahanan agar dapat bertahan hidup (Gambar 2.3)

Gambar 2.3 Klasifikasi Mekanisme Pertahanan Antioksidan Seluler Sumber : Kohen dan Nyska (2002)

(30)

Gambar 2.4 Jalur Pembentukan ROS, Proses Peroxidasi Lipid dan Peran Glutathione (GSH) dan Antioksidan Lain (Vitamin E, C, asam lipoat) Dalam Mengatasi Stress Oksidatif

Sumber : Valko (2007)

Mekanisme pertahanan terpenting adalah dari antioksidan enzimatik dan low

molecular weight antioxidant (LMWA). Antioksidan enzimatik ada yang bekerja

secara langsung, misalnya superoksid dismutase (SOD), glutathione peroxidase (Gpx) dan Katalase (CAT) dan ada yang berupa enzim tambahan, seperti Glucose-

(31)

termasuk kelompok LMWA misalnya glutathione, asam urat, α-tokoferol, asam askorbat, karotenoid dan masih banyak lagi bahan-bahan lainnya (Biri dkk, 2006). Beberapa jalur pembentukan ROS dan peran antioksidan digambarkan dalam Gambar 2.4 (Kohen dan Nyska, 2002)

2.5.1 Superoksid dismutase

Superoksid dismutase (SOD) (E.C.1.15.1.1) merupakan enzim

yangmengkatalisis radikal superoksid menjadi hidrogen peroksida dan oksigen. Terdapat beberapa jenis SOD, seperti Copper-Zinc-SOD (Cu-Zn-SOD) yang terdapat di dalam sitosol terutama di lisosom dan nukleus, manganese-SOD (Mn-SOD) yang terdapat di dalam mitokondria, ekstraseluler SOD (EC-(Mn-SOD) dan besi-SOD (Fe-besi-SOD) yang hanya ditemukan pada tumbuhan (Cemelli dkk, 2009). Radikal superoksid dapat mengalami dismutasi secara spontan maupun dengan bantuan SOD membentuk H2O2. Dengan adanya SOD, kecepatan dismutasi

meningkat lebih dari 1000 kali lipat dibandingkan dismutasi spontan (Miwa dkk, 2008)

2.5.2 Katalase

Katalase (E.C.1.11.1.6) ditemukan pada hampir seluruh organ tubuh, namun terutama terkonsentrasi di hati.Di dalam sel, katalase ditemukan di dalam peroksisom.Fungsinya untuk mengkatalisis H2O2 menjadi H2O dan O2.Kapasitas

reduksi katalase tinggi pada suasana H2O2 konsentrasi tinggi, sedangkan pada

konsentrasi rendah kapasitasnya menurun (Cemeli dkk, 2009; Miwa dkk, 2008). Hal ini disebabkan karena katalase memerlukan reaksi dua

(32)

molekul H2O2 dalam proses reduksinya, sehingga hal ini lebih jarang ditemukan

pada konsentrasi substrat rendah (Cemeli dkk, 2009). Pada konsentrasi H2O2

rendah seperti yang dihasilkan dari proses metabolisme normal, peroxiredoksin (PRX) (E.C.1.11.1.15) yang berfungsi untuk mengikat H2O2 dan mengubahnya

menjadi oksigen dan air (Miwa dkk, 2008). Reaksi pemecahan hidrogen peroksida dan hidroperoksida organik secara enzimatik digambarkan dalam Gambar 1.5.(Day, 2009).

Gambar 2.5. Penangkapan Endogen Peroksida Seluler Sumber : Day (2009)

2.5.3 Glutathione peroxidase (GPx)

Glutathione peroxidase merupakan seleno-enzim yang pertama kaliditemukan

pada mamalia (Toppo dkk, 2009).Kadarnya tinggi pada ginjal, liver, dan darah, sedang pada lensa dan eritrosit, dan rendah pada alveoli dan plasma darah (Cemeli dkk, 2009). Enzim ini memerlukan glutathione sebagai donor substrat untuk mengikat H2O2 maupun hidroperoksida organik (ROOH) untuk menghasilkan

(33)

organik tersebut (ROH) (Gambar 2.5.). Namun, kini ditemukan bahwa, substrat lain, seperti thioredoxin, glutaredoxin dan protein lain dengan motif CXXC juga dapat dipergunakan oleh Gpx untuk mengikat hidrogen peroksida (Toppo dkk, 2009). Pada manusia, saat ini telah dikenal 8 macam Gpx, mulai dari Gpx1 hingga Gpx8. Sebagian besar merupakan selenoprotein (Gpx1, Gpx2, Gpx3, Gpx4, dan Gpx6), sedangkan pada Gpx5, Gpx7 dan Gpx8, tempat aktif residu selenocysteine diganti dengan cysteine. Fungsi dari masing-masing Gpx ini belum sepenuhnya diketahui.(Toppo dkk, 2009). Gambar Struktur kristal Gpx disajikan pada Gambar 2.6.

Gpx 3 Gpx 5

Gpx 8 Gpx 7

Gambar 2.6 Struktur Kristal Glutathione

(34)

Glutathione peroxidase 1 (E.C.1.11.1.9) yang pada mulanya dikenal

sebagaienzim eritrosit yang secara spesifik mereduksi H2O2 oleh glutathione

(Mills, 1957), belakangan diketahui bahwa enzim ini dapat mereduksi berbagai macam hidroperoksida organik termasuk hidroperoksida lipid. Namun, sebelum bereaksi dengan gpx1, hidroperoksida lipid harus terlarut terlebih dahulu, dengan cara bereaksi dengan phospholipase A2. Kompleks hidroperoksida lipid yang lain, seperti phosphatidylcholine hydroperoxida (PC-OOH) yang cenderung membentuk vesikel dalam larutan, bukan merupakan substrat gpx1. Thioredoxin secara terpisah, juga dilaporkan sebagai substrat donor gpx1 (Toppo dkk, 2009).Enzim ini terdiri dari 201 asam amino, strukturnya berupa homotetramer, dan terdapat dalam sitoplasma.Kromosom yang mengatur ekspresinya adalah kromosom 3 (3p.21.3) (Muzny dkk, 2006).

Glutathione peroxidase 2 (E.C.1.11.1.9), dikenal sebagai glutathione peroxidase gastrointestinal, diekspresikan pada seluruh saluran pencernaan,termasuk pada epitel squamous esofagus, juga terdeteksi di hati (Flohe dan Kipp, 2009), tidak ditemukan di jantung dan ginjal (Chu dkk, 1993). Ekspresinya tinggi pada pada dasar kripta usus kecil dan kolon dimana terdapat proliferasi stem sel, semakin ke permukaan villi konsentrasinya menurun. Perbedaan konsentrasi ini diperkirakan untuk mengatur apoptosis fisiologis yang dipicu oleh H2O2 (Toppo dkk, 2009).Strukturnya berupa homotetramer, terdiri

dari 190 asam amino.Kromosom 14 (14q24.1) terlibat dalam pengaturan ekspresi Gpx2 (Heilig dkk, 2003).

(35)

Glutathione peroxidase 3 (E.C.1.11.1.9), merupakan enzim ekstraseluler

yangterutama disintesa oleh tubulus proksimal ginjal (Avissar, 1994).Enzim ini dapat ditemukan pada cairan ekstraseluler, seperti plasma darah, cairan bola mata, lumen koloid tiroid, maupun cairan amnion.Dalam bentuk transkripsi, juga terdeteksi pada sel epitel tuba fallopii (Flohe dan Kipp, 2009).Glutathioneperoxidase 3 mampu mereduksi phosphatidylcholine hydroperoxida (PC-OOH)dengan kecepatan konstan, namun dua kali lebih lambat

daripada kemampuan gpx4.Sebagai substrat donor, gpx3 terutama mengunakan

glutathione, namun glutaredoxine dan thioredoxine juga dapat bereaksi dengan

gpx3, namun dengankecepatan yang rendah (Toppo dkk, 2009). Strukturnya berupa homotetramer dan terdiri dari 226 asam amino (Esworthy dkk,1991). Pengaturan ekspresinya oleh kromosom 5 (5q32) (Yoshimura, 1994). Hubungan antara penurunan aktivitas gpx3 dengan trombosis arteri, gambaran klinis stroke iskemik, dan penyakit arteri koroner membuktikan bahwa enzim ini penting untuk menjaga homeostasis vaskuler (Bierl dkk, 2004). Kadar gpx plasma berhubungan dengan kadar selenium plasma (Jacobson dkk, 2006).

Glutathione peroxidase 4 (E.C.1.11.1.12) merupakan satu-satunya enzimantioksidan yang secara langsung mereduksi fosfolipid hidroperoksida diantara membran dan lipoprotein. Jika glutathione peroxidase 1, 2, 3 berupa homotetramer, gpx4 ini berupa monomer, sehingga mempermudah reaksinya dengan lipid (Flohe dan Kipp, 2009). Pada tikus, inaktivasi gen yang mengekspresikan gpx4 menyebabkan kematian (Imai dkk, 2003; Toppo dkk, 2009). Glutathione peroxidase 4 dapat ditemukan pada sitosol, nukleus dan

(36)

mitokondria. Messanger RNA dari ketiga bentuk ini ditranskripsikan dari gen yang sama (Flohe dan Kipp, 2009), yang terletak pada kromosom 19 (19p13.3) (Kelner dkk, 1998). Dengan analisis RT-PCR semikuantitatif pada tikus, Schneider (2006) menemukan bentuk sitosolik pada jaringan embrionik dan somatik, sedangkan bentuk mitokondria dan nukleus hanya terdeteksi pada jaringan testis.Glutathione peroxidase 4 kurang terlibat dalam metabolisme H2O2

(Toppo dkk, 2009).

Glutathione peroxidase 5 (E.C.1.11.1.9) dikenal dengan nama epididimal secretory glutathione peroxidase, ditemukan pada jaringan epididimis.

Fungsinyauntuk melindungi sel dan enzim dari kerusakan oksidatif pada membran lipid sperma.Enzim ini terdiri dari 221 asam amino dan kromosom pengaturannya pada kromosom 6 (6p22.1) (Mungall dkk, 2003).

Fungsi dari gpx6, gpx7, gpx8 (E.C.1.11.1.9) masih belum diketahui.Ekspresi gpx6 atau yang dikenal dengan olfactory glutathione peroxidase dapat ditemukan pada epitel olfaktorius dewasa dan jaringan embrio.Glutathione peroxidase 7 (non-selenocysteine containing phospolipid glutahione peroxidase) dapat ditemukan pada beberapa jaringan (Pappas dkk, 2008). .

2.6 Glutathione Peroxidase (Gpx) pada Abortus

Mekanisme pengaruhglutahione peroxidase terhadap terjadinya abortus secara spesifik belum dapat diterangkan dengan pasti. Namun penelitian terhadap tikus, inaktivasi gen yang mengekspresikan GPx 4 menyebabkan kematian (Imai dkk, 2003 dan Toppo, 2009).

(37)

Beberapa penelitian mengenai kadarglutathione peroxidase pada abortus dan kehamilan normal menemukan penurunan kadar Glutathione peroxidase eritrosit dan plasma pada abortus spontan Zachara (2001) dan Mishra (2003). Sedangkan Ozkaya (2008) menemukan bahwa kadar GPx eritrosit pada abortus dengan perdarahan tidak berbeda dibandingkan dengan kehamilan normal. Pada abortus habitualis, Simsek (1998) menemukan bahwa kadar GPx plasma tidak berbeda bermakna dengan hamil normal. Pada kehamilan normal, Jauniaux (2000) menemukan kadarglutathione peroxidase jaringan plasenta pada trimester I berkorelasi positif terhadap umur kehamilan, sedangkan, Hung (2010) menemukan penurunan kadar GPx eritrosit pada umur kehamilan 15-20 minggu dibandingkan 6-8 minggu, kemudian meningkat secara signifikan pada 26-30 minggu dan mencapai puncak pada saat aterm.

2.7 Peranan GPx Serum pada Kehamilan Normal

Fase awal dari perkembangan fetus terjadi dalam lingkungan rendah oksigen. Sekitar 1-5 % dari oksigen yang tidak digunakan dalam oksidasi, akan diubah menjadi radikal bebas oksigen yang sangat reaktif (OFRs) dan spesies oksigen reaktif lainnya (ROS). Ketika produksi OFRs melebihi perlindungan seluler yang alami, kerusakan terhadap protein, lipid dan DNA dapat terjadi.Sel-sel embrio dan plasenta sangat sensitif terhadap stres oksidatif karena berada dalam tahap pembelahan sel yang cepat sehingga meningkatkan risiko pemaparan OFRs pada DNA sel.

(38)

Antioksidan enzimatik dan non enzimatik telah ditemukan dalam jumlah yang cukup pada spermatozoa, cairan seminal dan cairan folikel ovarium, menunjukkan bahwa molekul ini memiliki peran sejak masa konsepsi. Telah diketahui bahwa kapasitas keseluruhan antioksidan pada organ dan darah janin lebih rendah daripada jaringan orang dewasa, tetapi masih sedikit yang diketahui mengenai transport molekul dengan aktivitas antioksidan pada plasenta trimester pertama (Erick Jauniaux, dkk., 2004).

Glutathione peroxidase serum merupakan enzim selenium dependen,

dimanaenzim ini menurunkan hidrogen peroksidase dan peroksidase organik dan berperan penting dalam oksidasi glutathione (GSH). Seperti enzim antioksidan yang lain, GPx serum melindungi sel dan jaringan dari kerusakan yang disebabkan oleh spesies oksigen reaktif dengan cara membantu mempertahankan keseimbangan antara prooksidan dan antioksidan (Gitto, dkk., 2002).

Kehamilan normal akan disertai dengan meningkatnya metabolisme dan meningkatnya kebutuhan oksigen di jaringan. Hal ini dapat mencetuskan peningkatan stress oksidatif dan perlawanan antioksidan (Knappen, dkk., 1999). Aktivitas GPx serum akan meningkat secara signifikan pada trimester III kehamilan. Banyak penelitian sebelumnya menemukan, bahwa lipid peroksidase seperti thiobarbituricacid reactive substances, dan berbagai macam lowmolecular

weight antioxidants (seperti vitamin E, kadar eritrosit thiol, dan iron binding capacity) meningkat secara signfikan dalam sirkulasi maternal. Meskipunaktivitas

GPx serum meningkat sebagai respon kompensasi terhadap tingginya kadar lipid peroksidase pada kehamilan, akan tetapi informasi tentang seberapa

(39)

besar perubahan kadar GPx serum masih menjadi perdebatan. Penelitian yang lebih mendalam diperlukan untuk mengatasi perdebatan ini.Chen, dkk. (2003), menyatakan bahwa pada kehamilan normal peningkatan aktivitas GPx serum merupakan suatu respon pertahanan antioksidan akibat terinduksinya stress oksidatif pada kehamilan.

Pada kehamilan normal akan terjadi keseimbangan antara stres oksidatif yang terbentuk dengan kadar antioksidan, seperti Glutathion peroksidase serum. Keseimbangan ini diperlukan untuk melindungi embrio dari pemaparan radikal bebas yang dapat mengganggu kelangsungan hidupnya.

2.8. Antioksidan Non Enzimatik

Sejumlah besar komponen dapat mencegah reaksi radikal peroksidasi lipid atau katalisasi logam dan karenanya berfungsi sebagai kapasitas antioksidan.Secara umum, anti oksidan non enzimatik dapat dikelompokkan menjadi anti oksidan yang larut lemak dan yang larut air. Pada umumnya anti oksidan larut lemak merupakan famili tokoferol, diantaranya a-tokoferol, atau vitamin E. Seluruh tokoferol merupakan inhibitor yang efektif dalam tahap peroksidasi lemak dengan melakukan reaksi dengan satu atau dua radikal peroksil. Karotenoid, suatu prekursor dari vitamin A, menunjukkan kapasitas antioksidan yang serupa dengan tokoferol, dan mengatasi paling tidak dua radikal peroksil, dengan melakukan sistem konjugasi ikatan ganda. Fungsi utama dari ubikuinon, salah satu dari kuinon, adalah untuk mengurangi radikal a-tokoferol.Namun, ubikuinon juga dapat bekerja langsung pada radikal peroksil atau alkoksill. Meskipun bilirubin

(40)

sebenamya merupakan produksi dari metabolisme heme, bilirubin sebenarnya merupakan antioksidan larut lemak yang sangat penting, yang memiliki kerja seperti atokoferol (Chen, 2003; Raijmakers, 2004).

Antioksidan larut air utama adalah asam askorbat (vitamin C), asam urat, protein terikat logam dan protein terikat heme.Asam askorbat bekerja secara sinergis dengan tokoferol, dimana asam askorbat dapat menggerakkan a-tokoferol dengan cepat untuk melakukan reduksi radikal a-a-tokoferol.Meskipun asam urat sebenarnya merupakan hasil sisa seperti juga bilirubin, pada konsentrasi yang fisiologis asam urat menunjukkan kapasitas anti oksidan yang tinggi sebagai anti oksidan larut air (Chen, 2003; Raijmakers, 2004).

(41)

BAB III

KERANGKA PIKIR DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1. Kerangka Pikir

Pada kehamilan normal terjadi invasi tropoblas ke dalam arteri spiralis sehingga menghasilkan perubahan fisiologis pada arteri spiralis. Aliran darah dalam uterus wanita hamil dengan pemeriksaan dopler mengalami perubahan low volume

highresistensi menjadi high volume low resistensi, untuk mempersiapkan perfusi

yangadekuat di ruang intervili. Perubahan ini akibat invasi sel tropoblas ke dalam arteri spiralis sehingga menjadi muskuloelastik, melebar seperti kantong-kantong, dan bebas dari kontrol neovaskuler.

Pada abortus iminens terjadi kondisi yang patologis dimana terjadinya kegagalan remodeling arteri spiralis sehingga menyebabkan terjadinya iskemik plasenta yang akan menghasilkan radikal bebas. Embrio tumbuh dan berkembang dalam keadaan rendah oksigen terutama masa implantasi, karena dengan peningkatan O2 dapat memicu terbentuknya radikal bebas yang bersifat toksik

terhadap embrio terutama sinsitiotropoblas.Normalnya sel tubuh dalam keadaan aerob menghasilkan radikal bebas sebanyak 1-5%.Radikal bebas yang penting adalah anion superoksid (02), yang dapat dinetralisir oleh enzim GPx. Kadar GPx

pada abortus iminens juga dipengaruhi faktor endogen dan eksogen. Pada dua pertiga kasus abortus, terdapat bukti anatomis adanya defek pada plasentasi yang memiliki karakteristik lapisan pelindung trofoblas yang lebih tipis maupun berfragmentasi, invasi endometrium oleh trofoblas yang menurun dan sumbatan

(42)

ujung arteri spiralis yang tidak sempurna. Hal ini berhubungan dengan tidak adanya perubahan fisioiogis pada sebagian besar arteri spiralis dan menyebabkan onset prematur dari sirkulasi maternal pada seluruh plasenta.

Kegagalan Invasi Tropoblasekstra Vili ke Endometrium

Tidak tersumbatnya arteri spiralis oleh vili sehingga sirkulasi darah meningkat

Tekanan oksigen

intraplasenta meningkat Kelainan Metabolik Obat – obatan Diet ibu

Radikal Bebas(O2- , OH-,H2O2)

Antioksidan Endogen GPx

Kehamilan Normal Stres Oksidatif

Degenerasi Sintitiotrofoblas

Abortus Iminens

(43)

3.2 Hipotesis Penelitian

Terdapat perbedaan kadar (GPx) pada kelompok abortus iminens dan kehamilan normal.

(44)

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1. Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah studi

crosssectional analitik.

4.2. Tempat dan Waktu Penelitian 4.2.1. Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Ruang Bersalin IRD dan Poliklinik Kebidanan dan Penyakit Kandungan RSUP Sanglah Denpasar.

4.2.2. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Juli 2011 sampai bulan Desember 2011.

4.3. Populasi PeneIitian

Populasi penelitian adalah semua ibu hamil yang datang ke Ruang Bersalin IRD dan Poliklinik Kebidanan dan Penyakit Kandungan RSUP Sanglah Denpasar dengan diagnosis abortus iminens dan hamil muda normal dengan umur kehamilan < 20 minggu.

4.4. Sampel Penelitian

Sampel penelitian adalah semua ibu hamil yang datang ke Ruang Bersalin IRD dan Poliklinik Kebidanan dan Penyakit Kandungan RSUP Sanglah Denpasar

(45)

dengan diagnosis abortus iminens dan hamil muda normal dengan umur kehamilan < 20 minggu yang memenuhi kriteria inklusi.

4.4.1. Kriteria Inklusi :

1. Ibu hamil dengan usia kehamilan < 20 minggu mengalami abortus iminens yang datang ke IRD dan Poliklinik Obstetri dan Ginekologi RSUP Sanglah Denpasar.

2. Bersedia ikut penelitian. 4.4.2. Kriteria Eksklusi : 1. Molahidatidosa.

2. Hamil muda dengan kelainan uterus. 3. Hamil muda dengan mioma uterus. 4.4.3. Penghitungan besar sampel

Jumlah sampel minimal ditentukan berdasarkan asumsi : Tingkat kesalahan tipe I (α) sebesar 0,05 (Zα = 1,960)

Power penelitian 90% dengan tingkat kesalahan tipe II (β) 10% (Zβ=1,282) Simpang baku (σ) dari penelitian Zachara (2001) sebesar 30

Selisih rerata 2 kelompok yang bermakna (μ₁-μ₂) sebesar 30Sampel dihitung dengan Rumus Pocock (1983) :

2 σ²

n₁ = n₂ = ________ x f (α,β)² (μ₁-μ₂)²

Berdasarkan perhitungan rumus sampel diatas, didapatkan jumlah sampel minimal sebesar 21 untuk masing-masing kelompok.

(46)

4.5. Variabel Penelitian

4.5.1. Variabel bebas: kadar Glutathione peroxidase serum (GPx) 4.5.2. Variabel tergantung: abortus iminens

4.5.3. Variabel terkontrol: umur ibu, umur kehamilan, paritas

4.6. Definisi Operasional Variabel

1. Kadar serum Glutathion peroxidase plasma adalah kadar Glutathioneperoxidase dari bahan plasma sampel penelitian yang diambil dari vena cubitidan dicampur dengan antikoagulan heparin sebanyak 3 cc. Pemeriksaan dilakukan berdasarkan metode ELISA dengan BioVision

GlutathionPeroxidase Assay Kit yang diperiksa oleh Spesialis Pathologi

Klinik RSUPSanglah Denpasar.

2. Abortus iminens adalah kehamilan kurang dari 20 minggu, mengalami perdarahan pervaginam yang berasal dari uterus, disertai sakit perut atau tidak sama sekali, uterus membesar sesuai umur kehamilan, tanpa adanya pembukaan serviks dengan tes kehamilan masih positif, dimana hasil konsepsi masih di dalam uterus yang dibuktikan dengan USG oleh supervisor.

3. Umur ibu merupakan umur ibu hamil yang dihitung dari tanggal lahir atau yang tercantum dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP).

4. Umur kehamilan merupakan umur kehamilan yang dihitung dari hari pertama haid terakhir (HPHT) atau berdasarkan hasil pemeriksaaan USG yang dilakukan sebelum umur kehamilan 20 minggu.

(47)

5. Paritas adalah jumlah anak lahir hidup yang diaiami oleh ibu hamil sebelum kehamilan yang sekarang.

6. Kehamilan normal adalah kehamilan kurang dari 20 minggu dimana dijumpai adanya kantong gestasi pada umur kehamilan lima minggu dengan fetal pole setelah kehamilan 6 minggu, fetal movement dan fetal heart beat setelah umur kehamilan 7 minggu dengan USG oleh supervisor.

7. Ibu hamil muda kurang dari 20 minggu dengan mioma uteri adalah ibu hamil muda < 20 minggu ditandai dengan tinggi fundus uteri lebih besar dari umur kehamilan dan dibuktikan dengan adanya kantong gestasi pada umur kehamilan 5 minggu, fetal heart beat setelah umur kehamilan 7 minggu dan disertai whorl like appearance pada pemeriksaan USG oleh supervisor. 8. Kehamilan molahidatidosa adalah kehamilan yang tropoblas-nya

mengakibatkan kehamilan anggur oleh karena kegagalan plasentasi dan mengakibatkan vili menggelembung menyerupai buah anggur yang ditandai dengan adanya gejala klinis umur kehamilan < 20 minggu berupa: riwayat amenore, perdarahan pervaginam atau tidak, disertai keluarnya gelembung mola atau tidak, dengan besar uterus lebih besar dari umur kehamilan, tidak ditemukan ballotement dan detak jantung, dengan pemeriksaan USG oleh supervisor ditemukan adanya adanya vesikel di dalam rongga uterus.

9. Kehamilan muda < 20 minggu dengan kelainan uterus adalah kehamilan muda kurang dari 20 minggu disertai dengan kelainan bawaan pada uterus berupa uterus didelphys, yaitu dua buah uterus terpisah sama sekali disertai dua serviks uteri dengan sebuah septum vertikal pada bagian atas vagina, yang

(48)

ditemukan pada pemeriksaan inspekulo dan dibuktikan dengan USG oleh supervisor dimana tampak 2 buah uterus yang terpisah.

10. Tekanan darah adalah tekanan darah yang diukur pada posisi duduk atau berbaring, pada 1/3 bagian tengah lengan atas, dengan stetoskop Riester dan Sfigmomanometer Reister. Tekanan dinaikkan hingga tidak terdengar denyut nadi, kemudian diturunkan secara perlahan hingga terdengar bunyi Korotkof I, hasil bacaan diangap sebagai tekanan sistolik. Kemudian tekanan terus diturunkan perlahan-lahan hingga tidak terdengar lagi (bunyi Korotkof V), dan hasil yang terbaca dianggap sebagai tekanan diastolic.

11. Tinggi badan adalah ukuran dari ujung kepala hingga tumit yang diukur pada posisi berdiri dan dinyatakan dalam satuan sentimeter.

12. Berat badan adalah berat badan ibu hamil yang diukur dengan timbangan berat badan yang tersedia di Poliklinik Kebidanan dan Kandungan dan IRD Kandungan RSUP Sanglah Denpasar yang telah dikalibrasi.

4.7 Bahan Penelitian

Penelitian kadar GPx dilakukan dengan Assay Kit BioVision untuk 100 reaksi. Bahan tersebut akan dipesan dari Distributor BioVision di Surabaya setelah sampel terkumpul 50% hal ini karena masa expired Kit tersebut hanya 6 bulan dari jangka waktu produksi. Kit disimpan pada suhu -20°C dan tidak boleh terkena cahaya langsung.Sebelum digunakan, buffer penelitian harus dihangatkan hingga suhu kamar. Larutan campuran GPx dan kontrol GPx positif harus

(49)

disimpan dalam es selama pemeriksaan. Setelah bahan dicampurkan, larutan stabil pada suhu selama minimal 1 minggu pada 4°C dan 1 bulan pada suhu -20°C.

4.8. Alat Pengumpul Data

Alai-alat pengumpul data meliputi : 1. Lembar status pasien

2. Timbangan berat badan 3. Alat pengukur tinggi badan 4. Tenzimeter

5. Spuit disposibel 3 cc 6. Tabung reagen EDTA 7. Lembar pengumpul data

4.9. Alur Penelitian

Ibu-ibu hamil yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi seperti yang disebutkan di atas dimasukkan dalam sampel abortus imminens dan sampel kehamilan normal kemudian diminta untuk menandatangani formulir yang telah disediakan.Selanjutnya semua sampel penelitian dikelola sesuai dengan Pedoman Terapi Lab/SMF Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar.

(50)

Langkah-langkah yang dilakukan pada sampel adalah:

1. Anamnesis meliputi nama, umur, paritas, hari pertama haid terakhir, berat badan sebelum hamil, penambahan berat badan selama kehamilan dan riwayat sebelumnya.

2. Pemeriksaan fisik meliputi kesadaran, berat badan dan tinggi badan, tekanan darah dan pemeriksaan tes kehamilan, gula darah, BUN, dan serum kreatinin, USG sesuai prosedur tetap.

3. Ibu hamil yang memenuhi kriteria sebagai abortus iminens dan hamil normal diambil darah sebanyak 6 cc untuk pemeriksaan darah lengkap dan kadarGlutathione peroxidase. Sampel darah kemudian diberi label identitas sesuainomor urut kelompok sampel, tanpa menulis diagnose pasien. Selanjutnya sampel pemeriksaan darah lengkap akan langsung dikerjakan di Laboratorium Rumah Sakit Sanglah Denpasar, sedangkan sampel darah untuk pemeriksaan kadar Glutathione peroxidase akan dipisahkan plasma dari komponen darah yang lain, kemudian disimpan pada suhu -80°C hingga terkumpul seluruh sampel penelitian. Pengerjaan seluruh sampel akan dikerjakan bersamaan setelah jumlah sampel terpenuhi.

(51)

Ibu hamil Yang Datang Ke Poliklinik Dan VK IRD RSUP

Sanglah Denpasar

Populasi Terjangkau

Kriteria Eksklusi Kriteria Inklusi

Sampel

Abortus iminens Hamil Normal ≤ 20 mgg

UK ≤ 20 mgg

Kadar GPx

Analisis Data

Gambar 4.1.Alur Penelitian

4.10. Teknik Analisis Data

Data dalam penelitian ini diolah dengan menggunakan program

StatisticalPackage for The Social Sciences (SPSS) for windows 16,0.

1. Data akan dianalisis secara deskriptif yang hasilnya akan disajikan dalam bentuk tabel.

(52)

3. Komparabilitas karakteristik abortus iminens dengan hamil muda normal diuji dengan t-independent untuk variabel umur dan umur kehamilan. Sedangkan untuk variabel paritas dengan menggunakan uji Mann-Whitney. 4. Perbedaan rerata kadar GPx diuji dengan uji t-independent.

(53)

BAB V

HASIL PENELITIAN

Selama periode penelitian, telah dikumpulkan 42 sampel darah terdiri atas 21 orang sampel abortus iminens dan 21 orang sampel hamil muda normal.

5.1 Karakteristik Sampel

Pada studi cross sectional ini dilakukan uji beda rerata dengan menggunakan uji t-independent untuk variabel umur, umur kehamilan, dan kadar GPx. Sedangkan untuk paritas menggunakan uji Mann-Whitney. Hasil analisis disajikan pada tabel 5.1 berikut.

Tabel 5.1

Rerata umur, Paritas, Umur kehamilan pada kelompok abortus iminens dan kehamilan normal

Karakteristik Abortus Iminens Kehamilan Normal p

( n=21 ) ( n=21 )

Umur ibu (tahun) 26,19 ± 4,54 28,81 ± 6,94 0,156

Paritas 1,19 ± 1,07 1,47 ± 1,28 0,523

Umur Kehamilan 9,80 ± 3,57 9,28 ± 2,83 0,601

(minggu)

Pada tabel 5.1 ditunjukkan bahwa antara kelompok umur abortus iminens dengan kelompok hamil muda normal tidak berbeda bermakan (p > 0,05).

Demikian juga untuk kelompok paritas dan umur kehamilan adalah tidak berbeda bermakna (p>0,05). Sehingga dari data di atas didapatkan pengaruh variabel pengganggu dapat dikurangi pada abortus iminens dan hamil muda normal.

(54)

5.2. Perbedaan Kadar GPx pada kelompok Abortus Iminens dan kehamilan normal

Untuk mengetahui perbedaan rerata kadar GPx pada penelitian ini dilakukan ujit-independent. Hasil analisis disajikan pada tabel 5.2.

Tabel 5.2

Perbedaan rerata kadar GPx serum pada kelompok abortus iminens dan kehamilan normal

Kelompok Kadar GPx Serum p Rerata SD Abortus Iminens 49,92 14,17 0,001 Kehamilan Normal 88,94 30,11

Pada tabel 5.2 ditunjukkan bahwa rerata kadar GPx kelompok abortus iminens sebesar 49,92 dengan SD sebesar 14,47. Sedangkan rerata kadar GPx kehamilan normal sebesar 88,94 dengan SD sebesar 30,11. Di mana hasil kedua kelompok ini berbeda secara bermakna (p<0,05). Jadi didapatkan rerata kadar GPx abortus iminens lebih rendah dibandingkan rerata kadar GPx kelompok hamil muda normal.

(55)

BAB VI PEMBAHASAN

Perdarahan pervaginam sebelum umur kehamilan 20 minggu merupakan komplikasi paling umum sekitar 15-20% pada wanita hamil muda.Komplikasi ini lebih dikenal dengan abortus.Faktor kromosom menyumbang sekitar 75% dari penyebab abortus. Namun pemeriksaan tersebut membutuhkan biaya yang begitu besar (Johns, dkk., 2004). Peran oksigen reaktif sebagai patogenesis abortus sudah mulai diteliti (1-5%) dalam bentuk O2 ˉ (anion superokside), OH ˉ (hidroksil) dan

H2O2 (hidroperoksil) yang akan menyerang sinsitiotropoblas. Oleh karena produksi radikal bebas dalam keadaan tidak stabil sebagai hasil metabolisme aerob dari sel, maka untuk melawan efek tersebut diperlukan antioksidan sebagai pertahanan tubuh, baik dalam bentuk enzimatik maupun non enzimatik.Pertahanan yang bersifat enzimatik berupa Gluthation peroxidase, katalase, dan SOD. Sedangkan yang bersifat nonenzimatik berupa vitamin C, vitamin E, dan vitamin B (Gupta dkk., 2007).

6.1 Karakteristik Sampel

Rerata umur pada abortus iminens adalah 26,19 tahun dan 28,81tahun pada kehamilan normal (p>0,05) secara statistik tidak bermakna. Pada penelitian Gupta, dkk. (2007) didapatkan rata-rata abortus iminens 15-20% dan meningkat sesuai dengan meningkatnya usia seorang ibu. Bahkan ditemukan 35% pada usia di atas 38 tahun.

(56)

Rerata paritas pada penelitian ini adalah 1,19 ± 1,07 untuk kelompok abortus iminens dan 1,47± 1,28 untuk kehamilan normal. Di mana secara statistik tidak berbeda secara bermakna (p>0,05).

Rerata umur kehamilan pada penelitian ini adalah 9,80 ± 3,57 minggu untuk kelompok abortus iminens dan 9,28 ± 2,83 untuk kehamilan normal. Secara statistik tidak berbeda bermakna (p>0,05). Pada penelitian oleh Okan, dkk.

(2006), rerata usia kehamilan sebesar 5,7 ± 2,0 minggu. Pada kehamilan < 10 minggu, tidak ada aliran darah ke embrio. Bila terjadi aliran darah lebih awal, akan merusak sinsitiotrofoblas pengaruh tekanan oksigen tinggi, menyebabkan terjadinya keguguran (Okan, dkk., 2007). Menurut Jauniaux, dkk. (2007), aliran darah yang lebih awal akan meningkatkan produksi radikal bebas berupa O2ˉ yang akan merusak sinsitiotrofoblas dan meningkatnya apoptosis, sebagai akibatnya terjadi kerusukan plasenta dan lepasnya plasenta dari dinding uterus sehingga terjadi perdarahan pada kehamilan muda.

6.2 Kadar GPx pada Abortus Iminens

Pada penelitian ini diperoleh rerata kadar GPx pada kelompok abortus iminens sebesar 49,92 ± 14,47, lebih rendah dibandingkan kehamilan normal sebesar 88,94 ± 30,11. Pada kedua kelompok didapatkan perbedaan bermakna secara statistik p<0,005.

Pada abortus iminens terjadi kondisi yang patologis dimana terjadinya kegagalan remodeling arteri spiralis sehingga menyebabkan terjadinya iskemik plasenta yang akan menghasilkan radikal bebas. Embrio tumbuh dan berkembang

(57)

dalam keadaan rendah oksigen terutama masa implantasi, karena dengan peningkatan O2 dapat memicu terbentuknya radikal bebas yang bersifat toksik

terhadap embrio terutama sinsitiotropoblas. Normalnya sel tubuh dalam keadaan aerob menghasilkan radikal bebas sebanyak 1-5%.Radikal bebas yang penting adalah anion superoksid (02), yang dapat dinetralisir oleh enzim GPx. Kadar GPx

pada Abortus iminens juga dipengaruhi faktor endogen dan eksogen.Pada dua pertiga kasus abortus, terdapat bukti anatomis adanya defek pada plasentasi yang memiliki karakteristik lapisan pelindung trofoblas yang lebih tipis maupun berfragmentasi, invasi endometrium oleh trofoblas yang menurun dan sumbatan ujung arteri spiralis yang tidak sempurna.Hal ini berhubungan dengan tidak adanya perubahan fisiologis pada sebagian besar arteri spiralis dan menyebabkan onset prematus dari sirkulasi maternal pada seluruh plasenta.

Glutathione peroxidase merupakan seleno-enzim yang pertama kaliditemukan

pada mamalia (Toppo dkk, 2009).Kadarnya tinggi pada ginjal, liver, dan darah, sedang pada lensa dan eritrosit, dan rendah pada alveoli dan plasma darah (Cemeli dkk, 2009).Enzim ini memerlukan glutathione sebagai donor substrat untuk mengikat H2O2 maupun hidroperoksida organik (ROOH) untuk menghasilkan

glutathione disulphide (GSSG), air dan bentuk hidroksi dari bahan organik

tersebut (ROH) (Gambar 2.5.). Namun, kini ditemukan bahwa, substrat lain, seperti thioredoxin, glutaredoxin dan protein lain dengan motif CXXC juga dapat dipergunakan oleh Gpx untuk mengikat hidrogen peroksida (Toppo dkk, 2009). Pada manusia, saat ini telah dikenal 8 macam Gpx, mulai dari Gpx1 hingga Gpx8. Sebagian besar merupakan selenoprotein (Gpx1, Gpx2, Gpx3, Gpx4, dan

Gambar

Gambar 2.1.Gangguan keseimbangan oksidan dan antioksidan  dapatmenyebabkan kerusakan jaringan (Raijmakers, 2004)
Gambar 2.2.Permukaan uteroplasenta awal dan akhir  trisemester(Jauniaux, dkk.., 2006)
Gambar 2.3 Klasifikasi Mekanisme Pertahanan Antioksidan Seluler  Sumber : Kohen dan Nyska (2002)
Gambar  2.4  Jalur  Pembentukan  ROS,  Proses  Peroxidasi  Lipid  dan  Peran  Glutathione  (GSH)  dan  Antioksidan  Lain  (Vitamin  E,  C,  asam  lipoat) Dalam Mengatasi Stress Oksidatif
+5

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Guna menghindari kesalahan penafsiran dan meluasnya pembahasan mengenai karya tugas akhir yang bertema “Busana Karakter Pocahontas” maka di sini akan dibahas mengenai

Adanya ancaman peringatan ataupun pemberian hukuman merupakan salah satu bentuk kekerasan simbolik yang dilakukan oleh guru secara terus-menerus dan mengulang sehingga

jalar adalah hama Penggerak ubijalar; hama Boleng atau Lanas; Tikus; Penyakit Kudis atau Scab; Layu Fusarium; virus; dan penyakit..

Perjanjian internasional merupakan salah satu sumber hukum internasional. Perjanjian internasional memegang peranan penting dalam mengatur pergaulan internasional antara

• Apabila kondisi pasien tidak membaik setelah 5 hari perawatan, cairan sendi harus di aspirasi dan diperiksa, sebagian besar septic arthritis terjadi peningkatan sel darah

Akumulasi etiologi dan factor resiko (infeksi, mikroorganisme, penggunaan steroid dlm  jangka panjang,usia lanjut,anomaly saluran kemih,cidera Makanan terkontaminasi

Namun pembagian kelompok khalayak yang memahami film asing itu sudah dapat kita perkirakan atas dasar logika bahwa jumlah yang menguasai bahasa asing lebih terbatas