• Tidak ada hasil yang ditemukan

APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) UNTUK ANALISIS POLA SEBARAN DAN PERKEMBANGAN PERMUKIMAN (Studi Kasus Kabupaten Bogor, Jawa Barat)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) UNTUK ANALISIS POLA SEBARAN DAN PERKEMBANGAN PERMUKIMAN (Studi Kasus Kabupaten Bogor, Jawa Barat)"

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)

APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG)

UNTUK ANALISIS POLA SEBARAN DAN

PERKEMBANGAN PERMUKIMAN

(Studi Kasus Kabupaten Bogor, Jawa Barat)

RIZMA HUDAYYA

A14053831

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

RINGKASAN

RIZMA HUDAYYA. Aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk Analisis Pola Sebaran dan Perkembangan Permukiman (Studi Kasus Kabupaten Bogor, Jawa Barat). Dibawah bimbingan KOMARSA GANDASASMITA dan BOEDI TJAHJONO.

Semakin meningkatnya jumlah penduduk, maka semakin dibutuhkan lahan untuk tempat tinggal manusia. Hal tersebut mendorong terjadinya perubahan penggunaan lahan non permukiman menjadi permukiman. Pola sebaran dan perkembangan permukiman tersebut banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor fisik lahan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor-faktor fisik seperti kemiringan lereng, elevasi, dan aksesibilitas terhadap pola sebaran dan perkembangan permukiman di Kabupaten Bogor dalam kurun waktu tahun 1990 hingga tahun 2008 dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG).

Data yang digunakan dalam penelitian ini antara lain adalah data citra satelit Landsat multi temporal, yaitu tahun 1990, 2001, 2004, dan 2008. Data ini digunakan untuk klasifikasi penggunaan lahan khususnya kawasan permukiman yang selanjutnya teknik Sistem Informasi Geografis (SIG) digunakan untuk melakukan analisis terhadap pola sebaran dan perkembangan permukiman di daerah penelitian.

Dari penelitian ini diperoleh hasil bahwa di Kabupaten Bogor pola sebaran permukiman terbanyak pada empat titik tahun, yaitu 1990, 2001, 2004, dan 2008 terdapat pada elevasi <250 m dpl, pada kemiringan lereng ≤15%, dan mempunyai jarak terhadap aksesibilitas <250 m. Berdasarkan wilayah administrasinya wilayah tersebut terdapat di Kecamatan Ciomas pada tahun 1990, Kecamatan Cibinong pada tahun 2001 dan 2008, serta Kecamatan Citeureup pada tahun 2004. Hal tersebut sesuai dengan perkembangan jumlah penduduk dan adanya kebijakan pemerintah (RTRW) yang menetapkan bahwa fungsi dari kecamatan tersebut sebagai kawasan permukiman dan industri. Kecamatan Ciomas memiliki jumlah penduduk terbanyak pada tahun 1990, Kecamatan Cibinong memiliki jumlah penduduk terbanyak kedua pada tahun 2001, Kecamatan Citeureup memiliki jumlah penduduk terbanyak ketujuh pada tahun 2004, dan tahun 2008 jumlah penduduk terbanyak terdapat di Kecamatan Cibinong. Selain itu menurut RTRW Kabupaten Bogor, kecamatan-kecamatan tersebut berfungsi sebagai kawasan permukiman.

Pola perkembangan permukiman pada periode tahun 1990-2001, 2001-2004, dan 2004-2008 terbanyak terdapat pada elevasi <250 m dpl, pada kemiringan lereng ≤15%, dan mempunyai jarak terhadap aksesibilitas <250 m. Berdasarkan analisis Regresi Logistik dengan metode Binomial Logit didapat faktor fisik yang paling mempengaruhi perkembangan permukiman yaitu kemiringan lereng ≤15% dan aksesibilitas <250 m.

(3)

SUMMARY

RIZMA HUDAYYA. Aplication of Geographic Information System (GIS) for Distribution and Development Pattern of Residential Analysis (Cases of Bogor District, West Java). Supervised by KOMARSA GANDASASMITA dan BOEDI TJAHJONO.

The more increasing number of population, the more land is needed for human habitation. This led to the change in non-residential land use to residential. Distribution and development pattern of residence mostly influenced by physical factors of land and infrastructure. The aim of study is to analize the physical factors such as slope, elevation, and accessibility in a relation to the distribution and development of settlement areas in Bogor District in the period of 1990-2008 using Geographic Information System (GIS).

This research is using several datas such as Landsat satellite image multi-time of 1990, 2001, 2004, and 2008. These data are used to classified the land use especially the settlement area. Furthermore, the Geographic Information System is used to analize the distribution and development pattern of residential in research area.

From this research, the most widespread residential distribution pattern in Bogor District in four period of 1990, 2001, 2004, and 2008 is on elevation <250 m above sea level, slope ≤ 15%, and accessibility of <250 m. Based on administrative areas, that areas are in Ciomas Sub-District in 1990, Cibinong Sub- District in 2001 and 2008, and Citeureup Sub-District in 2004. It is in accordance with population growth and government’s regulation which determine that the function of these Sub-Districts as a residential and industrial area. Ciomas sub district has a population most in 1990, Cibinong sub District has the second largest population in 2001, Citeureup sub District has the seventh largest population in 2004, and in 2008 the highest population is in sub District Cibinong. Beside that, according to RTRW of Bogor District, those sub districts is used to settlement areas.

Most of development pattern of residential in period 1990-2001, 2001-2004, and 2004-2008 are at an elevation <250 m above sea level, slope ≤ 15%, and the accessibility of <250 m. Based on Logistic Regression analysis with Binomial Logit method found that physical factors such as the slope ≤ 15% and the accessibility of <250 m are the most influence for development of residential.

(4)

APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG)

UNTUK ANALISIS POLA SEBARAN DAN

PERKEMBANGAN PERMUKIMAN

(Studi Kasus Kabupaten Bogor, Jawa Barat)

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian

pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

RIZMA HUDAYYA A14053831

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

Judul Skripsi : Aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk Analisis Pola Sebaran dan Perkembangan Permukiman (Studi Kasus Kabupaten Bogor, Jawa Barat)

Nama : Rizma Hudayya

NIM : A14053831

Menyetujui:

Pembimbing I, Pembimbing II,

(Dr. Ir. Komarsa Gandasasmita, M.Sc.) (Dr. Boedi Tjahjono) NIP. 19550111 197603 1 001 NIP. 19600103 198903 1 002

Mengetahui: Ketua Departemen,

(Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc.) NIP. 19621113 198703 1 003

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 12 April 1988 dan merupakan anak tunggal dari Ayahanda Sapto Hoesodo dan Ibunda Helnawati.

Jenjang pendidikan penulis dimulai dari SDN Pancoran 03 Pagi Jakarta pada tahun 1993 hingga tahun 1999. Penulis melanjutkan jenjang pendidikannya ke SLTPN 115 Jakarta dan lulus pada tahun 2002. Tahun 2005 penulis menyelesaikan pendidikannya dari SMA 26 Jakarta dan pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru). Melalui program Mayor-Minor penulis diterima di Mayor Manajemen Sumberdaya Lahan, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan pada tahun 2006.

Selama menjadi mahasiswa di Institut Pertanian Bogor penulis aktif di organisasi kemahasiswaan yaitu Badan Eksekutif Mahasiswa, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor selama dua periode, yaitu pada tahun 2007 sebagai staf Departemen Kominfo dan pada tahun 2008 sebagai Sekretaris Departemen Kominfo. Penulis juga aktif mengikuti seminar dan menjadi panitia berbagai kegiatan. Selama menjadi mahasiswa penulis mendapatkan beasiswa PPA (Peningkatan Prestasi Akademik) pada tahun 2007-2008 dan beasiswa BBM (Bantuan Belajar Mahasiswa) pada tahun 2009. Penulis juga menjadi asisten praktikum untuk mata kuliah Geomorfologi dan Analisis Lanskap, Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra pada tahun 2009, serta mata kuliah Sistem Informasi Geografis pada tahun 2009 dan 2010.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk Analisis Pola Sebaran dan Perkembangan Permukiman (Studi Kasus Kabupaten Bogor, Jawa Barat)”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian di Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Atas selesainya skripsi ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Ir. Komarsa Gandasasmita, M.Sc. dan Dr. Boedi Tjahjono selaku pembimbing skripsi yang telah memberikan arahan, bimbingan, motivasi, saran, dan kritik sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

2. Dr. Khursatul Munibah selaku dosen penguji atas masukan, kritik, dan sarannya hingga terselesaikannya skripsi ini.

3. Kedua orang tua dan seluruh keluarga yang telah memberikan motivasi, doa, dukungan, dan kasih sayang yang tiada hentinya.

4. Mbak Reni, Mbak Agi, Mbak Nisa, Nurul dan semua staf Bagian Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial atas segala bantuan selama penulis melakukan penelitian hingga selesainya skripsi ini.

5. Linda dan Rani atas kerja keras dan semangatnya, serta semua teman seperjuangan Penginderaan Jauh: Tety, Ai, Rinjani, Nadia, Ikhsan, Anter, Aufa, Tyo, Benk2, dan Yudi atas kebersamaan dan bantuannya selama ini.

6. Shanty, Reni, Nana, Dena, Xenia, Vicka, dan semua soilers atas persahabatan, support, bantuan dan kebersamaannya.

7. Dewi, Sri, Teti, Wening, Pita, Ayu, Tiwi, Ateph, Gustin, Atrie, Winda, Devi, Linda, Fitri ‘n All Sabrinerz atas keceriaan dan persahabatan yang tak terlupakan.

8. Butunerzz: Mery, Dhini, Sari, Una, Inka, Niqu dan Teman-teman kkp: Rya, Febri, Furqon, Deddy, Boep atas segala kegilaan, persahabatan dan supportnya.

(8)

9. Ibu Tini, Pak Ratman, Mbak Hesti, serta semua dosen dan staf Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan atas segala bantuan yang telah diberikan selama ini kepada penulis.

10. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah memberikan bantuan dan semangat kepada penulis.

Akhir kata, semoga skripsi ini berguna untuk kemajuan ilmu pengetahuan dan bermanfaat untuk penulis secara pribadi dan semua pihak yang membacanya. Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, selanjutnya saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan guna perbaikan di waktu mendatang.

Bogor, Februari 2010

(9)

ix

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xiii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1. Lahan dan Penggunaan Lahan ... 3

2.2. Perubahan Penggunaan Lahan ... 4

2.3. Permukiman ... 4

2.4. Sistem Informasi Geografis (SIG) ... 5

2.5. Penginderaan Jauh ... 6

2.6. Pendekatan pada Interpretasi Citra dengan Bantuan Komputer ... 6

2.7. Landsat ... 7

2.7.1. Sifat Khas Satelit Landsat ... 7

2.7.2. Penerimaan Data Landsat, Pengolahan, dan Distribusinya ... 8

2.7.3. Interpretasi Citra Landsat ... 8

2.8. Metode Regresi Logistik ... 10

III. BAHAN DAN METODE ... 12

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ... 12

3.2. Bahan dan Alat ... 12

3.3. Metode Penelitian ... 12

3.3.1. Tahap Persiapan dan Pengumpulan Data ... 14

3.3.2. Tahap Pengolahan Data ... 14

3.3.2.1. Citra Satelit Landsat ... 14

3.3.2.2. Peta Lereng ... 15

3.3.2.3. Peta Elevasi ... 15

3.3.2.4. Peta Jaringan Jalan ... 16

3.3.3. Tahap Analisis Data ... 17

(10)

x 3.3.3.2. Analisis Perubahan Penggunaan Lahan dan

Perkembangan Permukiman ... 17

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ... 18

4.1. Letak dan Lokasi Kabupaten Bogor ... 18

4.2. Kondisi Fisik Lingkungan ... 19

4.2.1. Iklim ... 19

4.2.2. Topografi ... 20

4.2.3. Bentuk Lahan, Bahan Induk, dan Tanah ... 23

4.3. Sosial dan Ekonomi ... 24

4.3.1. Jumlah Penduduk ... 24

4.3.2. Mata Pencaharian dan Penggunaan Lahan ... 25

4.3.3. Penduduk di Kabupaten Bogor ... 26

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 27

5.1. Pola Sebaran Permukiman Tahun 1990, 2001, 2004, dan 2008 ... 27

5.2. Pola Perkembangan Permukiman ... 32

5.2.1. Pola Pertambahan Permukiman pada Setiap Periode ... 33

5.2.2. Pertambahan Permukiman dari Periode Awal Hingga Akhir ... 36

5.2.2.1. Pola Pertambahan Luas Permukiman Menurut Elevasi ... 36

5.2.2.2. Pola Pertambahan Luas Permukiman Menurut Kemiringan Lereng ... 37

5.2.2.3. Pola Pertambahan Luas Permukiman Menurut Aksesibilitas ... 38

5.2.3. Analisis Regresi Logistik ... 39

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 40

6.1. Kesimpulan ... 40

6.2. Saran ... 40

VII. DAFTAR PUSTAKA ... 41

(11)

xi

DAFTAR TABEL

 

Nomor Halaman Teks

1. Kriteria kelas kemiringan lereng ... 15

2. Kriteria kelas elevasi ... 16

3. Kriteria aksesibilitas ... 16

4. Kecamatan di Kabupaten Bogor dan luasannya ... 19

5. Nilai elevasi wilayah Kabupaten Bogor dan luasannya ... 21

6. Kemiringan lereng wilayah Kabupaten Bogor dan luasannya ... 22

7. Jenis tanah wilayah Kabupaten Bogor dan luasannya ... 24

8. Jumlah penduduk dan laju pertumbuhan penduduk tahun 2002 hingga tahun 2005 ... 25

9. Mata pencaharian penduduk Kabupaten Bogor ... 25

10. Komposisi pemanfaatan lahan Kabupaten Bogor ... 26

11. Pola sebaran luasan permukiman berdasarkan elevasi ... 27

12. Pola sebaran luasan permukiman berdasarkan kemiringan lereng ... 27

13. Pola sebaran luasan permukiman berdasarkan aksesibilitas ... 28

14. Perubahan penggunaan lahan tahun 1990-2001 ... 33

15. Perubahan penggunaan lahan tahun 2001-2004 ... 33

16. Perubahan penggunaan lahan tahun 2004-2008 ... 34

17. Pola pertambahan permukiman berdasarkan elevasi ... 37

18. Pola pertambahan permukiman berdasarkan kemiringan lereng ... 38

19. Pola pertambahan permukiman berdasarkan aksesibilitas ... 39

20. Hasil analisis regresi logistik ... 39

Lampiran 1. Jumlah penduduk Kabupaten Bogor tahun 1990 ... 45

2. Jumlah penduduk Kabupaten Bogor tahun 2001 ... 46

3. Jumlah penduduk Kabupaten Bogor tahun 2004 ... 47

(12)

xii 5. Kriteria kelas lereng menurut Food and Agricurtural Organization

(13)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman Teks

1. Diagram alir tahapan penelitian ... 13

2. Peta administrasi Kabupaten Bogor ... 20

3. Peta elevasi wilayah Kabupaten Bogor ... 21

4. Peta kemiringan lereng wilayah Kabupaten Bogor ... 22

5. Peta sebaran jenis tanah wilayah Kabupaten Bogor ... 23

6. Permukiman di Desa Girimulya, Kecamatan Cibungbulang ... 28

7. Peta landuse Kabupaten Bogor tahun 1990 ... 29

8. Peta landuse Kabupaten Bogor tahun 2001 ... 29

9. Peta landuse Kabupaten Bogor tahun 2004 ... 30

10. Peta landuse Kabupaten Bogor tahun 2008 ... 30

11. Permukiman dan kawasan induatri di Kecamatan Citeureup ... 31

12. Permukiman di kawasan Cisarua ... 32

13. Pola pertambahan permukiman tahun 1990-2008 berdasarkan elevasi ... 36

14. Pola pertambahan permukiman tahun 1990-2008 berdasarkan kemiringan lereng ... 37

15. Pola pertambahan permukiman tahun 1990-2008 berdasarkan aksesibilitas ... 38

Lampiran 1. Peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bogor ... 48

(14)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, maka kebutuhan untuk tempat tinggal juga semakin meningkat. Hal tersebut mendorong terjadinya perubahan penggunaan lahan non permukiman menjadi permukiman. Penggunaan lahan adalah pencerminan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu (Lillesand and Kiefer, 1997). Dengan berjalannya waktu penggunaan lahan dapat terkonversi dan yang sering terjadi adalah sawah, tegalan, atau bahkan hutan. Sehingga meningkatnya luas lahan untuk permukiman seringkali mencerminkan penurunan jumlah lahan sawah, tegalan, dan hutan. Perubahan penggunaan lahan dari non permukiman menjadi permukiman banyak terjadi di berbagai wilayah Indonesia terutama yang memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi permukiman, namun penelitian ini hanya dipusatkan pada Kabupaten Bogor.

Menurut Undang-Undang RI No. 24 tahun 1992 tentang penataan ruang, permukiman didefinisikan sebagai bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik berupa kawasan perkotaan maupun pedesaan yang berfungsi sebagai tempat tinggal dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Dalam Keppres No. 5 tahun 1989 tentang pedoman penyusunan tata ruang di daerah, kawasan permukiman adalah kawasan yang diperuntukkan bagi permukiman dengan kriteria ketersediaan air terjamin, kesesuaian lahan dengan masukan teknologi dan lokasi berkaitan dengan kawasan hunian yang telah ada dan berkembang.

Semakin bertambahnya jumlah permukiman di Indonesia seperti tersebut di atas, mendorong untuk dilakukannya studi mengenai pola sebaran dan perkembangan permukiman yang terjadi di Kabupaten Bogor. Perubahan suatu penggunaan lahan adalah bertambahnya suatu penggunaan lahan yang diikuti dengan berkurangnya suatu penggunaan lahan lainnya pada kurun waktu tertentu, sehingga untuk mengetahui perubahan lahan di suatu daerah diperlukan minimum dua data pada daerah yang sama dengan kurun waktu yang berbeda.

Pola sebaran penggunaan lahan permukiman dan pola perkembangannya banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor fisik dan non fisik lahan, seperti yang

(15)

dikatakan oleh Barlowe (1986) bahwa pola penggunaan lahan banyak dipengaruhi oleh tiga faktor penting, yaitu faktor fisik lahan, faktor ekonomi, dan faktor kelembagaan.

1.2. Tujuan

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk:

1. Menganalisis pola sebaran permukiman antara tahun 1990 sampai dengan tahun 2008 di Kabupaten Bogor.

2. Menganalisis pola perkembangan atau pola perubahan penggunaan lahan non

permukiman menjadi permukiman dalam kurun waktu tersebut, berdasarkan pada faktor-faktor fisik lahan yaitu elevasi dan kemiringan lereng, serta prasarana wilayah yaitu aksesibilitas. 

(16)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Lahan dan Penggunaan Lahan

Lahan merupakan bagian dari bentang alam (landscape) yang mencakup pengertian lingkungan fisik termasuk iklim, topografi atau relief, hidrologi dan bahkan keadaan vegetasi alami yang secara potensial akan berpengaruh terhadap penggunaan lahan. Lahan mempunyai sifat keruangan, unsur estetis dan merupakan lokasi aktivitas ekonomi manusia. Keberadaannya sangat terbatas, oleh karena itu diperlukan pertimbangan dalam pemanfaatannya agar memberikan hasil yang optimal bagi perikehidupan. Lahan yang berkualitas dapat dimanfaatkan untuk banyak kegiatan dan banyak jenis tanaman (Mather, 1986 dalam Ishak, 2008).

Menurut Lillesand dan Kiefer (1997), penggunaan lahan merupakan perwujudan fisik objek-objek yang menutupi lahan dan berhubungan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tersebut, sedangkan menurut R.P. Sitorus (1992) penggunaan lahan (land use) adalah penggunaan utama atau penggunaan utama dan kedua (apabila merupakan penggunaan berganda) dari sebidang lahan seperti lahan pertanian, lahan hutan, padang rumput, dan sebagainya. Jadi lebih merupakan tingkat pemanfaatan oleh masyarakat. Penggunaan lahan dapat dikelompokkan dalam dua golongan besar yaitu penggunaan lahan pertanian dan bukan pertanian. Penggunaan lahan pertanian dibedakan atas tegalan, sawah, kebun, padang rumput, hutan produksi, hutan lindung dan sebagainya, sedangkan penggunaan lahan bukan pertanian dibedakan kedalam penggunaan kota atau desa (permukiman), industri, rekreasi, pertambangan dan sebagainya (Arsyad, 2000). Faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan lahan adalah faktor fisik lahan, ekonomi, dan kelembagaan (Barlowe, 1986). Menurut Mather (1986) dalam Ishak (2008), terdapat dua pendekatan dalam penentuan tata guna lahan. Pendekatan pertama adalah berdasarkan asumsi bahwa tata guna lahan ditentukan oleh kondisi fisik lahan, sedangkan pendekatan kedua berdasarkan asumsi bahwa tata guna lahan ditentukan oleh kekuatan ekonomi. Tidak dapat dipungkiri, bahwa keduanya mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam pemanfaatan lahan, namun akhirnya semua kembali kepada pengguna lahan. Selain itu pemanfaatan

(17)

lahan juga dipengaruhi oleh lokasi, ketersediaan modal dan distribusinya, ketersediaan dan biaya tenaga kerja, ketersediaan sarana transportasi serta iklim sosial dan politik di lokasi tersebut.

2.2. Perubahan Penggunaan Lahan

Perubahan penggunaan lahan adalah perubahan penggunaan atau aktivitas terhadap suatu lahan yang berbeda dari aktivitas sebelumnya, baik untuk tujuan komersial maupun untuk industry (Kazaz, 2001 dalam Arifiyanto, 2005). Perubahan penggunaan lahan dari lahan non pertanian (permukiman) bersifat tidak dapat balik, karena untuk mengembalikannya membutuhkan modal yang sangat besar.

Perubahan penggunaan lahan umumnya dapat diamati dengan menggunakan data-data spasial dari peta penggunaan lahan dari titik tahun yang berbeda. Data-data penginderaan jauh (remote sensing data) seperti citra satelit, radar dan foto udara sangat berguna dalam pengamatan perubahan penutupan atau penggunaan lahan (Arifiyanto, 2005).

2.3. Permukiman

Permukiman merupakan kawasan permukiman baik perkotaan, pedesaan, pelabuhan, bandara, industri, dan lain-lain yang memperlihatkan pola alur jalan yang rapat (Anonim, 2006). Menurut Syartinilia (2001), permukiman merupakan suatu sumber informasi tentang manusia dan aktivitasnya dalam suatu habitat. Permukiman memiliki dua arti yaitu suatu proses dimana manusia menetap pada suatu area dan hasil dari proses tersebut. Permukiman tidak hanya sebagai tempat tinggal dan tempat bekerja manusia melainkan juga untuk memenuhi fasilitas jasa, komunikasi, pendidikan dan rekreasi. Permukiman idealnya harus memuat dua syarat utama yaitu: (1) fisik lingkungan harus mencerminkan pola kehidupan dan pola budaya setempat, (2) lingkungan pemukiman harus didukung oleh fasilitas pelayanan dan utilitas umum yang sebanding dengan ukuran atau luasnya lingkungan dan banyaknya penduduk.

Luasan dan perkembangan areal permukiman dipengaruhi oleh jumlah penduduk dan luas fasilitas yang dikembangkan, jarak dari jalan utama, akses

(18)

5

jalan, seperti jalan arteri dan ketersediaan sarana dan prasarana yaitu pasar dan terminal (Patria, 1997). menurut Suhadak (1995), perkembangan juga dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti jarak terhadap jalan utama, jarak dari pusat aktivitas, kenaikan harga lahan dan jumlah penduduk.

2.4. Sistem Informasi Geografis (SIG)

Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah suatu sistem berdasar komputer yang mempunyai kemampuan untuk menangani data yang bereferensi geografis yang mencakup pemasukan, manajemen data (peyimpanan data dan pemanggilan data), manipulasi dan analisis dan pengembangan produk serta pencetakan (Aronoff, 1989). Dengan kata lain, suatu SIG adalah suatu sistem database dengan kemampuan khusus untuk data yang bereferensi spasial bersamaan dengan seperangkat operasi kerja.

Sistem Informasi Geografis berdasarkan operasinya, dapat dibagi kedalam (1) cara manual, yang beroperasi memanfaatkan peta cetak (kertas/transparan), bersifat data analog, dan (2) cara terkomputer atau lebih sering disebut cara otomatis, yang prinsip kerjanya sudah dengan menggunakan komputer sehingga datanya merupakan data digital. SIG manual biasanya terdiri dari beberapa unsur data termasuk peta-peta, lembar material transparansi untuk tumpang tindih, foto udara dan foto lapangan, laporan-laporan statistik dan laporan-laporan survai lapangan. Saat ini prosedur analisis manual masih banyak dilakukan, akan tetapi dengan berjalannya waktu mungkin akan berangsur-angsur hilang. Pada kondisi di negara kita saat ini beberapa aplikasinya SIG secara manual masih sesuai, bahkan dari segi efisiensi lebih sesuai disebabkan masih banyaknya kendala pada sumberdaya manusia, peralatan, terutama biaya menggunakan sistem terkomputerkan. Disamping itu, SIG otomatis selain membutuhkan peralatan-peralatan khusus, membutuhkan keterampilan yang khusus pula, biayanya cukup mahal, terutama pada tahap awal pembentukannya. Keuntungan SIG otomatis akan terasakan pada tahap analisis dan penggunaan data yang berulang-ulang, terutama bila melakukan analisis yang kompleks dan menggunakan data yang sangat besar jumlahnya. Untuk memahami SIG otomatis, sebaiknya dilakukan

(19)

bertahap melalui pemahaman SIG manual, karena sebagian besar prosedur kerjanya masih relevan (Barus dan Wiradisastra, 1996).

2.5. Penginderaan Jauh

Penginderaan jauh merupakan suatu teknik untuk mengumpulkan informasi mengenai objek dan lingkungannya dari jarak jauh tanpa sentuhan fisik. Biasanya teknik ini menghasilkan beberapa bentuk citra yang selanjutnya diproses dan diinterpretasi guna membuahkan data yang bermanfaat untuk aplikasi di bidang pertanian, arkeologi, kehutanan, geografis, geologi, perencanaan dan bidang-bidang lainnya. Tujuan utama penginderaan jauh ialah mengumpulkan data sumberdaya alam dan lingkungan. Informasi tentang objek disampaikan ke pengamat melalui energi elektromagnetik, yang merupakan pembawa informasi dan sebagai penghubung komunikasi. Oleh karena itu kita dapat menganggap bahwa data penginderaan jauh pada dasarnya merupakan informasi intensitas panjang gelombang yang perlu diberikan kodenya sebelum informasi tersebut dapat dipahami secara penuh. Proses pengkodean ini setara dengan interpretasi citra penginderaan jauh yang sangat sesuai dengan pengetahuan kita mengenai sifat-sifat radiasi elektromagnetik (Lo, 1996).

2.6. Pendekatan pada Interpretasi Citra dengan Bantuan Komputer

Pendekatan manual dalam interpretasi citra kurang baik dalam hal ketidakmampuannya untuk menangani dengan cepat jumlah data citra yang besar. Kelemahan ini jelas terlihat, khususnya bila menganalisis citra penyiam multisperktral atau foto multisaluran. Rujukan silang nilai rona daerah demi daerah atau kenampakan demi kenampakan sangat sulit untuk menanganinya secara manual. Instrument analog seperti pengamat aditif atau metode penajaman citra seperti perincian rona (density slicing) dapat membantu memudahkan interpretasi pada tingkat tertentu, namun kecepatannya masih belum cukup cepat untuk mengimbangi tingkat masukan data penginderaan jauh setiap harinya dari wahana ruang angkasa luar. Komputer elektronik merupakan satu-satunya pemecahan masalah itu. Karena interpretasi citra pada dasarnya merupakan proses

(20)

7

klasifikasi, maka identifikasi dan pengenalan dapat dilakukan secara matematik, apabila tersedia data citra dalam bentuk digital.

Pendekatan dengan bantuan komputer meliputi sejumlah langkah. Pertama data citra analog harus dikonversikan dulu ke dalam bentuk digital. Hal ini dilakukan dengan cara penyiam TV untuk digitasi atau mikrodensitometer. Untuk data citra yang dikirim dari satelit yang dulu, tingkat sinyal pantulan atau emisi energi telah diterima dalam bentuk digital. Langkah kedua adalah pemrosesan data, yang merupakan suatu kelompok prosedur untuk “merapikan” data masukan mentah, seperti koreksi geometrik dan distorsi radiometrik. Kemudian dilanjutkan dengan penyadapan kenampakan. Tipe-tipe kenampakan atau pengukuran yang penting untuk mengklasifikasi data citra, diseleksi pada tingkat ini. Kenampakan yang mungkin digunakan ialah kenampakan spasial, spektral, dan temporal. Bagi klasifikasi tersedia (supervised classification), dipilih daerah contoh dari data citra guna pengujian yang lebih rinci. Kelompok data contoh kemudian dikompilasi. Kelompok data ini merupakan subsampel dari citra yang identifikasinya sudah dikenal dengan baik. Kelompok contoh ini lalu diperlakukan sebagai stereotipe kelas khusus data, yang dapat digunakan sebagai perbandingan bagi daerah yang belum dikenal. Parameter statistik seperti rata-rata dan deviasi standar untuk kelompok contoh dihitung dengan komputer, yang dikerjakann untuk mengklasifikasi daerah lain yang belum diketahui. Metode statistik pada umumnya dilakukan bagi klasifikasi tersedia yang merupakan analisis diskriminan yang menentukan suatu rangkaian fungsi diskriminan untuk membagi ruang kenampakan atau pengukuran ke dalam wilayah-wilayah yang tepat. Tiap wilayah secara idealnya harus mengandung titik-titik hanya dari satu kelas.

2.7. Landsat

2.7.1. Sifat Khas Satelit Landsat

Setelah keberhasilan misi satelit berawak, NASA dan Departemen Dalam Negeri Amerika Serikat mengembangkan seri satelit sumberdaya bumi. Seri satelit ini adalah satelit Landsat-1, Landsat-2, dan Landsat-3. Satelit ini merupakan hasil modifikasi satelit cuaca Nimbus. Sensornya ada dua jenis, yaitu sistem penyiaman multispektral dengan empat saluran dan tiga kamera ‘Return Beam Vidicon’ (Sutanto, 1987).

(21)

2.7.2. Penerimaan Data Landsat, Pengolahan, dan Distribusinya

Ketika sebuah satelit Landsat berada di dalam jangkauan suatu stasiun penerima data di bumi, data MSS (Multispectral Scanner) dan RBV (Return Beam Vidicon) secara langsung dikirimkan dan direkan pada saat itu juga (real time) pada pita magnetik yang terletak di stasiun bumi tersebut. Pada saat satelit diorbitkan jauh dari jangkauan stasiun bumi, perekam pita pada wahana digunakan untuk menyimpan data, masing-masing 30 menit. Data yang terekam dikirimkan ke bumi bila satelit lewat lagi diatas suatu stasiun bumi. Data RBV dikirimkan ke bumi dalam bentuk data analog. Data MSS diubah menjadi bentuk angka dengan suatu pengubah sinyal A ke D di dalam satelit dan dikirimkan dalam bentuk data digital (Lillesand dan Kiefer, 1997).

2.7.3. Interpretasi Citra Landsat

Terapan interpretasi citra Landsat telah dilakukan di dalam berbagai disiplin ilmu seperti pertanian, botani, kartografi, teknik sipil, pantauan lingkungan, kehutanan, geografi, geologi, geofisika, analisis sumberdaya lahan, perencanaan tataguna lahan, oseanografi, dan analisis sumberdaya air. Skala citra dan luas daerah liputan per kerangka citra sangat berbeda antara citra Landsat dan foto udara konvensional. Sebagai contoh, untuk meliput suatu citra Landsat diperlukan lebih dari 1600 foto udara berskala 1:20.000 dengan tanpa adanya tampalan. Oleh karena adanya perbedaan skala dan resolusi, citra Landsat harus dianggap sebagai alat interpretasi pelengkap dan bukan sebagai pengganti foto udara berskala besar (Lillesand dan Kiefer, 1997).

Analisis Digital Data MSS Landsat

Analisis data Landsat dengan komputer dapat dikelompokkan atas: 1. Pemulihan Citra (Image restoration)

Pengandaran ini bertindak untuk “memulihkan” data citra yang mengalami distorsi kearah gambaran yang lebih sesuai dengan scene aslinya. Langkahnya meliputi koreksi berbagai distorsi radiometrik dan geometrik yang mungkin ada pada data citra asli.

(22)

9

Sebelum menayangkan data citra untuk analisis visual teknik penajaman dapat diterapkan untuk menguatkan tampak kontras di antara kenampakan di dalam scene. Pada berbagai terapan, langkah ini banyak meningkatkan jumlah informasi yang dapat diinterpretasi secara visual dari data citra. Baik pemulihan maupun penajaman citra keduanya termasuk di dalam tahap pengandaran pengolahan awal (preprocessing operation). Artinya langkah tersebut dilakukan sebelum interpretasi data secara aktual. Pengandaran ini mengalih ragam nilai citra ke dalam bentuk yang lebih sesuai untuk interpretasi, tetapi tidak secara langsung meliputi interpretasi data.

3. Klasifikasi Citra (Image classification)

Teknik kuantitatif dapat diterapkan untuk interpretasi secara otomatik data citra digital. Pada proses ini maka tiap pengamatan pixel dievaluasi dan ditetapkan pada satu kelompok informasi, jadi mengganti arsip data citra dengan suatu matrik jenis kategori (Lillesand dan Kiefer, 1997).

Keunggulan dan Keterbatasan Citra Landsat

Sabins Jr. (1978) dalam Sutanto (1987) mengutarakan Sembilan keunggulan citra Landsat, yaitu:

1. Liputannya luas, menyeluruh, dengan penyinaran seragam sehingga memudahkan pengenalan obyeknya. Sifat demikian juga menguntungkan di dalam pembuatan mosaik yang baik.

2. Di samping citra Landsat tersedia pula data digital yang sangat menguntungkan karena pemrosesannya dapat dilakukan dengan menggunakan komputer. 3. Distorsi citranya kecil.

4. Frekuensi perekaman ulangnya memungkinkan penyediaan citra Landsat di dalam berbagai musim dan berbagai kondisi.

5. Penyinaran matahari yang bersudut kecil mempertajam wujud geologi yang kurang jelas karena ukurannya yang kecil.

6. Ketersediaan citra bebas awan meliputi sebagian besar permukaan bumi tanpa ada pembatasan oleh masalah politik dan keamanan.

7. Ketersediaan citra berwarna semu cukup banyak. 8. Harganya murah.

(23)

9. Meskipun tidak luas, ada tampalan samping yang memungkinkan untuk pengamatan secara stereoskopik.

Keterbatasan citra Landsat terletak pada resolusi spasialnya yang kasar, yaitu 79m untuk citra MSS dan sekitar 30m pada citra RBV Landsat 3, karena resolusinya kasar maka citra landsat cocok untuk perolehan data secara umum bagi daerah luas. Perolehan data rinci sulit diharapkan daripadanya. Hal ini harus diperhatikan benar oleh para penggunanya.

2.8. Metode Regresi Logistik

Model Logit adalah model non-linear, baik dalam parameter maupun dalam variabel (Nachrowi dan Usman, 2002 dalam Andriyani, 2007). Pada prinsipnya variabel respon pada regresi logistik bersifat kategorikal, sedangkan variabel bebas dapat berupa variabel kategorik maupun variabel interval (bersifat kuantitatif maupun kualitatif). Metode regresi logistik (logistic regression) baik binomial logit maupun multinomial logit adalah suatu metode analisis statistika yang mendeskripsikan hubungan ketergantungan suatu variabel respon atau tujuan (dependent variable) dengan satu atau lebih variabel bebas atau penjelas (explanatory variable). Secara umum fungsi hubungan tersebut dituliskan dalam rumus matematika sederhana yaitu:

Yi = f (X1,……..., Xp)

dimana : Yi = variabel respon

X1- Xp = variabel-variabel bebas

Fungsi hubungan tersebut sama dengan regresi linear yang mendasari model regresi logistik. Persamaan umum regresi linear ditulis sebagai berikut: Yi = α + β Xi + εi

Dimana : Yi = variabel respon α dan β = parameter regresi Xi = variabel bebas

εi = galat (error)

perbedaan utama antara model regresi linear dan regresi logistik adalah bahwa variabel respon pada regresi logistik adalah variabel binary, sedangkan

(24)

11

variabel bebas dapat berupa variabel kategorik maupun variabel interval (bersifat kuantitatif maupun kualitatif). Apabila data hasil pengamatan mempunyai variabel bebas yang ditunjukkan oleh X dan variabel respon Y, dimana Y mempunyai dua kemungkinan nilai yaitu nilai 0 dan 1. Nilai Y = 1 menyatakan bahwa respon memiliki criteria yang ditentukan (present) dan sebaliknya jika Y = 0 respon tidak memiliki kriteria (absent). Adapun persamaan umum logit model adalah sebagai berikut (Hashimoto, et al., 2005 dalam Andriyani, 2007):

Pi/r =

X

Keterangan

Pi/r = peluang lahan ke-i berubah menjadi penggunaan lahan jenis ke-r Β0r = parameter intersept untuk perubahan menjadi penggunaan jenis ke-r Βjr = parameter koefisien variabel ke-j untuk perubahan menjadi penggunaan

jenis ke-r r = 1, 2, 3, …… R-1 j = 1, 2, 3, …… q Xnj = variabel bebas

(25)

III. BAHAN DAN METODE

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Waktu penelitian dilakukan kurang lebih selama sebelas bulan yaitu sejak Februari 2009 hingga Januari 2010, sedangkan tempat penelitian dilakukan di Bagian Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, dan pengecekan lapang dlakukan di kawasan permukiman di Kabupaten Bogor.

3.2. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: (1) Peta Rupa Bumi digital Kabupaten Bogor skala 1:25.000 tahun 1999 produksi Bakosurtanal, (2) Peta Administrasi Kabupaten Bogor skala 1:250.000 tahun 2005 produksi Bakosurtanal, (3) Citra Satelit Landsat lembar Bogor tahun 1990, 2001, 2004, dan 2008, serta (4) Data jumlah penduduk Kabupaten Bogor tahun 1990, 2001, 2004, dan 2007 yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bogor.

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: (1) perangkat keras berupa seperangkat komputer, (2) perangkat lunak berupa ArcView ver. 3.3, Erdas Imagine 8.6, Statistica 8, Microsoft Excel, Microsoft Word, Microsoft Access, Microsoft Visio, (3) GPS (Global Positioning System) Garmin Map 76CSx, (4) USB (Universal Serial Bus), (5) Alat tulis, (6) Scanner, dan (7) Printer.

3.3. Metode Penelitian

Penelitian ini terdiri dari tiga tahap, yaitu: (1) tahap persiapan dan pengumpulan data, (2) tahap pengolahan data, dan (3) tahap analisis data. Langkah-langkah untuk pengolahan dan analisis digambarkan secara diagramatis pada Gambar 1.

(26)

13 Gam bar 1 . D ia gra m al ir ta ha pan pen elitian

(27)

3.3.1. Tahap Persiapan dan Pengumpulan Data

Tahap ini dimulai dengan studi literatur yang berhubungan dengan topik penelitian. Studi literatur dilakukan untuk mempelajari sumber-sumber yang mendukung pelaksanaan penelitian. Setelah itu dilakukan pengumpulan data yang meliputi Peta Rupa Bumi digital, dan Citra Satelit Landsat TM. Peta Rupa Bumi digital yang didapat telah mencakup peta kontur, peta administrasi, serta peta jaringan jalan dan sungai.

3.3.2. Tahap Pengolahan Data 3.3.2.1. Citra Satelit Landsat

Pengolahan citra satelit Landsat bertujuan untuk mendapatkan peta penggunaan lahan pada tahun 1990, 2001, 2004, dan 2008. Kegiatan utama yang dilakukan pada pengolahan citra satelit Landsat yaitu: (a) Koreksi Geometrik, (b) Digitasi, dan (c) Pengecekan Lapang.

Koreksi Geometrik

Koreksi Geometrik dilakukan dengan menggunakan proyeksi UTM dengan datum WGS 84 South. Koreksi Geometrik ini dilakukan untuk memperbaiki distorsi geometrik yang ada pada citra sehingga diperoleh citra yang mirip dengan keadaan geometrik sebenarnya di bumi.

Digitasi

Citra landsat yang telah di koreksi geometrik kemudian di interpretasi secara visual berdasarkan ciri-ciri kenampakan permukaan penggunaan lahan dan digitasi untuk mendapatkan peta penggunaan lahan.

Pengecekan Lapang

Pengecekan lapang bertujuan untuk mengetahui kebenaran objek atau penggunaan lahan dari hasil interpretasi terhadap kenyataan di lapangan. Pengecekan lapang dilakukan terhadap citra tahun 2008 dengan asumsi penggunaan lahan dari tahun 2008 hingga sekarang belum banyak berubah. Tahap ini dilakukan dengan mengambil titik-titik sample di peta dan selanjutnya

(28)

15

dilakukan pengecekan di lapangan dengan GPS (Global Positioning System). Setelah melakukan pengecekan lapang, kemudian dilakukan reinterpretasi dan perbaikan peta terhadap penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan.

3.3.2.2. Peta Lereng

Peta lereng Kabupaten Bogor diperoleh melalui pembuatan Digital Elevation Model (DEM) terlebih dahulu. DEM adalah model kuantitatif dari elevasi permukaan bumi dalam bentuk digital. DEM yang diperoleh selanjutnya digunakan untuk menghitung kemiringan lereng dalam persen. Kemudian dilakukan pengkelasan sesuai dengan kelas lereng yang diinginkan. Setelah peta lereng terbentuk, kemudian dilakukan digitasi menurut kelas lereng yang telah dibuat. Adapun kelas lereng yang dibuat yaitu kelas lereng menurut kriteria Food and Agricultural Organization (FAO) dengan modifikasi. Kriteria kelas kemiringan lereng tersebut dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel lampiran 11.

Tabel 1. Kriteria Kelas Kemiringan Lereng

Kemiringan Lereng (%) Kelas Lereng Kategori

≤ 15 1 Landai

15-30 2 Agak Curam

30-50 3 Curam

>50 4 Sangat Curam

Sumber: FAO dengan modifikasi

3.3.2.3. Peta Elevasi

Peta kelas elevasi diperoleh dengan mendigitasi peta kontur yang telah dibuat DEM terlebih dahulu. Kemudian dilakukan pengkelasan elevasi dengan selang ketinggian 250 meter dpl. Besarnya selang ketinggian ini didasarkan pada suatu kenyataan bahwa di daerah penelitian wilayah yang banyak digunakan untuk permukiman sebagian besar berada pada elevasi <250 meter dpl. Kriteria kelas elevasi dapat dilihat pada Tabel 2.

(29)

Tabel 2. Kriteria Kelas Elevasi

Kelas Elevasi Nilai Elevasi (meter dpl)

1 <250 2 250-500 3 500-750 4 750-1.000 5 1.000-1.250 6 1.250-1.500 7 >1.500

3.3.2.4. Peta Jaringan Jalan

Peta jaringan jalan digunakan untuk menilai pengaruh aksesibilitas terhadap sebaran permukiman dan perkembangannya. Sebelum dilakukan analisis, terlebih dahulu pada peta tersebut dibuat zona buffer pada masing-masing kelas jalan. Zona buffer dibuat setiap 250 m hingga jarak 1.000 m dari jalan utama (Tabel 3). Besarnya zona buffer 250 meter ini didasarkan pada suatu kenyataan di lapangan bahwa pada jarak tersebut terdapat permukiman secara dominan dan berkurang sejalan dengan bertambahnya jarak. Jalan utama yang dipakai terdiri dari jalan arteri, jalan kolekor, jalan lokal, dan jalan lain. Zona buffer ini dibuat dengan mengasumsikan bahwa pemusatan permukiman berada pada jalan-jalan tersebut dan besar-kecilnya pengaruh jenis jalan terhadap permukiman dianggap sama.

Tabel 3. Kriteria aksesibilitas

Kriteria Aksesiblitas Nilai (meter)

Dekat <250 Sedang 250-500 Agak Jauh 500-750

(30)

17

3.3.3. Tahap Analisis Data

3.3.3.1. Analisis Pola dan Sebaran Permukiman

Pada tahap ini dilakukan analisis tumpang tindih (overlay) antara peta permukiman tahun 1990, 2001, 2004, dan 2008 dengan peta zonasi jalan, peta lereng, peta elevasi, dan peta administrasi. Overlay antara peta permukiman dengan peta lereng akan menghasilkan peta persebaran permukiman berdasarkan lereng, overlay peta permukiman dengan peta elevasi akan menghasilkan peta persebaran permukiman berdasarkan elevasi, overlay peta permukiman dengan peta zonasi jalan akan menghasilkan peta persebaran permukiman berdasarkan aksesibilitasnya, dan overlay peta permukiman dengan peta administrasi menghasilkan persebaran permukiman berdasarkan wilayah administrasinya.

3.3.3.2. Analisis Perubahan Penggunaan Lahan dan Perkembangan Permukiman

Pada tahap ini dilakukan proses analisis tumpang tindih (overlay) untuk tiga periode, yaitu antar peta penggunaan lahan tahun 1990 dengan 2001, kemudian antara tahun 2001 dengan 2004, dan antara tahun 2004 dengan 2008. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan peta perubahan penggunaan lahan dan peta perkembangan permukiman secara khusus dalam tiga periode, yaitu dari tahun 1990 sampai tahun 2008. Overlay antara peta permukiman multi tahun terhadap peta zonasi jalan, peta elevasi, dan peta kemiringan lereng dilakukan untuk mengetahui pola perkembangan permukiman multi tahun tersebut berdasarkan elevasi, kemiringan lereng, dan aksesibilitas. Setelah itu digunakan analisis regresi binomial logit untuk mengetahui faktor fisik mana yang paling berpengaruh terhadap perkembangan permukiman.

(31)

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1. Letak dan Lokasi Kabupaten Bogor

Kabupaten Bogor merupakan salah satu wilayah yang berbatasan langsung dengan ibukota Republik Indonesia dan secara geografis mempunyai luas sekitar 298.470 Ha, terletak antara 6o18’0” – 6o47’10” Lintang Selatan dan 106o23’45” – 107o13’30” Bujur Timur. Wilayah ini berbatasan dengan :

Sebelah Utara : Kabupaten Bekasi, Kota Depok Sebelah Barat : Kabupaten Lebak (Propinsi Banten) Sebelah Barat Daya : Kabupaten Tangerang

Sebelah Timur : Kabupaten Karawang Sebelah Timur Laut : Kabupaten Purwakarta Sebelah Selatan : Kabupaten Sukabumi Sebelah Tenggara : Kabupaten Cianjur Sebelah Tengah : Kotamadya Bogor

Secara administratif, Kabupaten Bogor terdiri dari 411 desa dan 17 kelurahan (428 desa/ kelurahan), 3.639 RW dan 14.403 RT yang tercakup dalam 40 kecamatan (Gambar 2). Berdasarkan Soemirat 2005, Jumlah kecamatan sebanyak 40 tersebut merupakan jumlah kumulatif setelah adanya hasil pemekaran 5 (lima) Kecamatan di tahun 2005, yaitu Kecamatan Leuwisadeng (pemekaran dari Kecamatan Leuwliang), Kecamatan Tanjungsari (pemekaran dari Kecamatan Cariu), Kecamatan Cigombong (pemekaran dari Kecamatan Cijeruk), Kecamatan Tajurhalang (pemekaran dari Kecamatan Bojonggede) dan Kecamatan Tenjolaya (pemekaran dari Kecamatan Ciampea). Selain itu, pada akhir tahun 2006 telah dibentuk pula sebuah desa baru, yaitu Desa Wirajaya, sebagai hasil pemekaran dari Desa Curug Kecamatan Jasinga. Luasan dan proporsi masing-masing kecamatan dapat dilihat pada Tabel 4.

(32)

19

Tabel 4. Kecamatan di Kabupaten Bogor dan luasannya

No Kecamatan

Luas

No Kecamatan

Luas

(Ha) (%) (Ha) (%)

1 Cigudeg 17.770 6 22 Gunung Sindur 4.910 1,6 2 Sukamakmur 17.000 5,7 23 Cigombong 4.810 1,6 3 Tanjungsari 16.060 5,4 24 Ciawi 4.760 1,6 4 Nanggung 15.950 5,3 25 Cijeruk 4.680 1,6 5 Sukajaya 15.670 5,2 26 Cibinong 4.560 1,5 6 Jasinga 14.540 4,9 27 Tenjolaya 4.140 1,4 7 Rumpin 13.530 4,5 28 Sukaraja 3.890 1,3 8 Jonggol 13.520 4,5 29 Ciseeng 3.880 1,3 9 Pamijahan 12.460 4,2 30 Cibungbulang 3.820 1,3 10 Kelapa Nunggal 9.630 3,2 31 Leuwisadeng 3.530 1,2 11 Babakan Madang 9.230 3,1 32 Tamansari 3.420 1,1 12 Leuwiliang 9.040 3,0 33 Ciampea 3.310 1,1 13 Cariu 8.680 2,9 34 Kemang 3.130 1,0 14 Tenjo 8.020 2,7 35 Tajurhalang 3.130 1,0 15 Caringin 7.790 2,6 36 Parung 2.830 0,9 16 Parung Panjang 7.130 2,4 37 Bojong Gede 2.720 0,9 17 Cisarua 7.120 2,4 38 Dramaga 2.660 0,9 18 Cileungsi 6.970 2,3 39 Rancabungur 2.250 0,8 19 Citeureup 6.870 2,3 40 Ciomas 1.930 0,6 20 Megamendung 6.230 2,1 (blank) 830 0,3 21 Gunung Putri 6.070 2,0 Total 298.470 100,0

Sumber: Peta administrasi Kabupaten Bogor tahun 2005

4.2. Kondisi Fisik Lingkungan 4.2.1. Iklim

Iklim wilayah Kabupaten Bogor termasuk iklim tropis sangat basah di bagian selatan dan iklim tropis basah di bagian utara, dengan rata-rata curah hujan tahunan 2.500 – 5.000 mm/ tahun, kecuali di wilayah bagian utara dan sebagian kecil wilayah timur curah hujan kurang dari 2.500 mm/ tahun. Suhu rata-rata di wilayah Kabupaten Bogor adalah 20o – 30o C, dengan rata-rata tahunan sebesar 25o C. kelembaban udara 70 %. Kecepatan angin cukup rendah, dengan rata-rata 1,2 m/ detik dengan evaporasi di daerah terbuka rata-rata sebesar 146,2 mm/ bulan (Soemirat, 2005).

(33)

Gambar 2. Peta administrasi Kabupaten Bogor

4.2.2. Topografi

Kabupaten Bogor merupakan wilayah daratan dengan tipe morfologi wilayah yang bervariasi, dari dataran yang relatif rendah di bagian Utara hingga daerah pegunungan di bagian Selatan, sehingga membentuk bentangan lereng yang menghadap ke Utara. Persebaran, klasifikasi, dan proporsi elevasi disajikan pada Gambar 3 dan Tabel 5, sedangkan untuk kemiringan lereng wilayah Kabupaten Bogor disajikan pada Gambar 4 dan Tabel 6.

(34)

21

Gambar 3. Peta elevasi wilayah Kabupaten Bogor Tabel 5. Nilai elevasi wilayah Kabupaten Bogor dan luasannya

Sumber: Hasil analisis peta RBI 1999 skala 1:25.000, penerbit Bakosurtanal

Nilai elevasi <250 m dpl adalah elevasi yang paling luas yaitu 158.040 ha (53,0%), elevasi terluas kedua adalah elevasi 250-500 m dpl yaitu seluas 61.100 ha (20,5%). Kemudian berturut-turut adalah elevasi 500-750 m dpl seluas 37.250 ha (12,5%), 750-1.000 m dpl seluas 20.070 ha (6,7%), 1.000-1.250 m dpl seluas 12.390 ha (4,2%), 1.250-1.500 m dpl seluas 6.680 ha (2,2%), dan elevasi dengan luasan paling kecil adalah >1.500 m dpl yaitu seluas 2.940 ha (1,0%).

No Nilai Elevasi (m dpl) Luas

(Ha) (%) 1 <250 158.040 53,0 2 250-500 61.100 20,5 3 500-750 37.250 12,5 4 750-1.000 20.070 6,7 5 1.000-1.250 12.390 4,2 6 1.250-1.500 6.680 2,2 7 >1.500 2.940 1,0 Total 298.470 100,0

(35)

Gambar 4. Peta kemiringan lereng wilayah Kabupaten Bogor

Tabel 6. Kemiringan lereng wilayah Kabupaten Bogor dan luasannya

No Kemiringan Lereng (%) Kategori Luas

(Ha) (%) 1 ≤ 15 Landai 173.930 58,3 2 15-30 Agak Curam 66.850 22,4 3 30-50 Curam 30.810 10,3 4 > 50 Sangat Curam 26.880 9,0 Total 298.470 100,0

Sumber: Hasil analisis peta RBI 1999 skala 1:25.000, penerbit Bakosurtanal

Kemiringan lereng yang memiliki luasan terbesar di Kabupaten Bogor adalah kemiringan lereng ≤15% dengan kategori lereng landai yaitu seluas 173.930 ha (58,3%), kategori lereng agak curam dengan kemiringan lereng 15%-30% menempati urutan kedua dengan luasan 66.850 ha (22,4%), urutan ketiga adalah lereng curam dengan kemiringan 30%-50% dengan luasan 30.810 ha (10,3%), dan luasan paling sedikit di wilayah Kabupaten Bogor yaitu lereng sangat curam dengan kemiringan lereng >50% seluas 26.880 ha (9,0%).

(36)

23

4.2.3. Bentuklahan, bahan induk, dan tanah

Secara umum wilayah Bogor terbentuk oleh batuan vulkanik yang bersifat piroklastik, yang berasal dari endapan (batuan sedimen) dua gunung berapi, yaitu Gunung Pangrango (berupa batuan breksi tufaan/kbpp) dan Gunung Salak (berupa alluvium/ kal dan kipas alluvium/kpal). Endapan permukaan umumnya berupa alluvial yang tersusun oleh tanah, pasir, dan kerikil hasil dari pelapukan endapan. Bahan induk geologi tersebut menghasilkan tanah-tanah yang relatif subur.

Wilayah Kabupaten Bogor memiliki jenis tanah yang cukup subur untuk kegiatan pertanian, perkebunan, dan kehutanan. Persebarannya jenis tanah pada Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Gambar 5, sedangkan luasan dan proporsi disajikan pada Tabel 7.

(37)

Tabel 7. Jenis tanah wilayah Kabupaten Bogor dan luasannya

No Jenis Tanah Luas

(Ha) (%)

1 Latosol 174.840 58,6

2 Podsolik Merah Kuning 47.970 16,1

3 Aluvial 39.570 13,3 4 Grumusol 16.250 5,4 5 Andosol 11.020 3,7 6 Regosol 6.210 2,1 7 Rensina 2.610 0,9 Total 298.470 100,0

Sumber: Peta tanah tinjau Kabupaten Bogor 1966 skala 1:250.000, penerbit Lembaga Penelitian Tanah

Secara umum terdapat tujuh jenis tanah yang menyebar di wilayah Kabupaten Bogor, yaitu Latosol, Podsolik Merah Kuning, Aluvial, Grumusol, Andosol, Regosol, dan Rensina. Jenis tanah yang paling luas adalah Latosol dengan luasan 174.840 ha (58,6%) yang menyebar di sebagian besar wilayah Kabupaten Bogor. Podsolik Merah Kuning seluas 4.970 ha (16,1%), Aluvial seluas 39.570 ha (13,3%), Grumusol seluas 16.250 ha (5,4%), Andosol seluas 11.020 ha (3,7%), Regosol seluas 6.210 ha (2,1%), dan jenis tanah yang luasannya paling kecil adalah Rensina yaitu seluas 2.610 ha (0,9%) (Soemirat, 2005).

4.3. Sosial dan Ekonomi 4.3.1. Jumlah penduduk

Jumlah penduduk Kabupaten Bogor pada tahun 2006 menurut hasil SUSDA (Sensus Daerah) sebanyak 4.215.585 jiwa dan pada tahun 2007 telah mencapai 4.237.962 jiwa atau 10,32% dari jumlah penduduk Propinsi Jawa Barat (40.737.594 jiwa). Berarti dalam lingkup Provinsi Jawa Barat, jumlah penduduk tersebut menempati urutan kedua setelah Kabupaten Bandung (4.399.128 jiwa). LPP (Laju Pertumbuhan Penduduk) Kabupaten Bogor tahun 2006-2007 adalah 0,53%, lebih rendah dibandingkan dengan LPP tahun 2005-2006 yang mencapai 2,79%. Sementara LPP selama periode 2000-2007, rata-rata mencapai 4% atau masih berada diatas 2% per tahun. Kondisi ini disebabkan oleh tingginya laju pertumbuhan alami dan migrasi masuk ke Kabupaten Bogor (Soemirat, 2005).

(38)

25

Menurut data Susenas 2005, jumlah penduduk Kabupaten Bogor sebesar 3,80 juta jiwa. Jumlah tersebut mendiami wilayah seluas 2.389 km2 sehingga secara rata-rata kepadatan penduduk di Kabupaten Bogor adalah 1.549 jiwa per Km2. Jumlah penduduk yang besar seringkali menjadi beban dalam proses pembangunan jika berkualitas rendah. Oleh sebab itu, untuk menunjang keberhasilan pembangunan, Pemerintah Kabupaten Bogor harus secara terus-menerus melakukan upaya pengendalian jumlah penduduk, dengan menciptakan tatanan keluarga kecil sehat dan berkualitas sebagai upaya meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) ke depan (Pemkab Bogor, 2007).

Tabel 8. Jumlah penduduk dan laju pertumbuhan penduduk tahun 2002 hingga 2005 Indikator Tahun 2002 2003 2004 2005 (1) (2) (3) (4) (5) 1. Jumlah Penduduk 3.599.462 3.791.781 3.789.212 3.801.948 2. Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP) r (2002-2003) = 5,34r (2003-2004) = 0,17 r (2004-2005) = 0,10

Sumber : IPM (Indeks Pembangunan Manusia) Kab. Bogor Tahun 2006

4.3.2. Mata pencaharian dan penggunaan lahan

Jumlah penduduk yang bekerja berdasarkan mata pencaharian atau profesi dapat dilihat pada Tabel 9. Dapat dilihat dari tabel tersebut bahwa profesi terbanyak adalah wiraswasta/pengusaha dan profesi yang paling sedikit adalah peternak.

Tabel 9. Mata pencaharian penduduk Kabupaten Bogor

No Profesi Jumlah Penduduk (jiwa) Jumlah Penduduk (%)

1 PNS 52.923 4,36 2 TNI/Polri 11.328 0,93 3 Karyawan/Pegawai Swasta 327.350 26,95 4 Wiraswasta/Pengusaha 361.463 29,75 5 Petani 71.010 5,85 6 Peternak 1.211 0,10 7 Jasa 56.354 4,64 8 Buruh 325.718 26,81 9 Lainnya 7.489 0,62 Sumber: Soemirat, 2005

(39)

Pola penggunaan lahan di Kabupaten Bogor dikelompokkan menjadi hutan/vegetasi lebat, tegalan, semak belukar, kawasan terbangun/permukiman, dan sawah, sedangkan komposisi pemanfaatan lahan di Kabupaten Bogor pada tahun 2006 dapat dilihat pada Tabel 10 (Soemirat, 2005).

Tabel 10. Komposisi pemanfaatan lahan Kabupaten Bogor

No Pemanfaatan Lahan Luas (Ha) Luas (%) 1 Kawasan Hutan Lindung 42.180 13,3 2 Kawasan Lahan Basah 56.890 17,9 3 Kawasan Lahan Kering 47.760 15,1 4 Kawasan Tanaman Tahunan 24.800 7,8 5 Kawasan Hutan Produksi 51.530 16,3 6 Kawasan Pariwisata 1.680 0,5 7 Kawasan Permukiman Pedesaan 20.330 6,4 8 Kawasan Permukiman Perkotaan 52.040 16,4 9 Kawasan Pengembangan Perkotaan 14.530 4,6 10 Kawasan Peruntukan Industri 5.330 1,7

4.3.3. Permukiman di Kabupaten Bogor

Jumlah rumah di Kabupaten Bogor sampai tahun 2005 sebanyak 661.098 unit rumah dari jumlah kepala keluarga (KK) sebanyak 712.004 KK, dengan kondisi rumah yang tidak layak huni sebanyak 175.047 unit (26,48 %) dan rumah layak huni sebanyak 486.051 unit (73,52 %). Kecamatan dengan persentase rumah layak huni tertinggi terdapat di Gunung Putri sebesar 99,04 % sedangkan untuk persentase terendah terdapat di Kecamatan Sukajaya sebesar 2,11 %. Untuk rumah tidak layak huni persentase tertinggi terdapat di Kecamatan Sukajaya (97,89 %) dan persentase terendah terdapat di Kecamatan Cisarua (0,47 %) (Pemkab Bogor, 2007).

- Jumlah Rumah S/D Tahun 2005 : 661.098 Unit - Jumlah Kepala Keluarga : 712.004 Kk

- Tidak Layak Dihuni : 175.047 Unit (26,48 %)

(40)

V.

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Pola Sebaran Permukiman Tahun 1990, 2001, 2004, dan 2008.

Pola sebaran luasan permukiman dapat dilihat pada Tabel 11, Tabel 12, dan Tabel 13. Dari tabel tersebut terlihat bahwa proporsi luasan permukiman tertinggi dari tahun 1990 hingga tahun 2008 terdapat pada nilai elevasi <250 m dpl, kemiringan lereng ≤15% dan aksesibilitas dekat (<250 m), dengan luasan yang cenderung terus bertambah. Hal ini berarti bahwa pada elevasi <250 m dpl, kemiringan lereng ≤15%, dan aksesibilitas dekat sangat disukai orang atau sangat cocok untuk permukiman. Hingga tahun 2008 luasan lahan yang cocok ini masih mencukupi untuk dikembangkan lagi untuk permukiman. Contoh lokasi permukiman dengan elevasi <250 m dpl, kemiringan lereng ≤15% dan aksesibilitas <250 m dapat dilihat pada Gambar 6. Pola sebaran spasial permukiman serta penggunaan lahan lainnya dapat dilihat pada Gambar 7, Gambar 8, Gambar 9, dan Gambar 10.

Tabel 11. Pola sebaran luasan permukiman berdasarkan elevasi

Nilai Elevasi (m dpl) Total Luas (ha) Permukiman

1990 Permukiman 2001 Permukiman 2004 Permukiman 2008 Luas (Ha) Proporsi (%) Luas (Ha) Proporsi (%) Luas (Ha) Proporsi (%) Luas (Ha) Proporsi (%) <250 158.044 2.080 1,3 5.280 3,3 10.420 6,6 19.700 12,5 250-500 61.096 800 1,3 1.300 2,1 2.810 4,6 3.270 5,3 500-750 37.244 310 0,8 520 1,4 780 2,1 1.740 4,7 750-1000 20.074 400 2,0 790 4,0 1.330 6,6 1000-1250 12.394 220 1,8 410 3,3 1250-1500 6.679 >1500 2.935

Tabel 12. Pola sebaran luasan permukiman berdasarkan kemiringan lereng

Kemiringan Lereng (%) Total Luas (ha) Permukiman 1990 Permukiman 2001 Permukiman 2004 Permukiman 2008 Luas

(Ha) Proporsi (%) Luas (Ha) Proporsi (%) Luas (Ha) Proporsi (%) Luas (Ha) Proporsi (%) ≤ 15 173.923 3.060 1,8 7.360 4,2 14.620 8,4 25.890 14,9

15-30 66.854 130 0,2 140 0,2 400 0,6 560 0,8 30-50 30.808

(41)

Tabel 13. Pola sebaran luasan permukiman berdasarkan aksesibilitas Aksesibilitas (meter) Total Luas (ha) Permukiman

1990 Permukiman 2001 Permukiman 2004 Permukiman 2008 Luas

(Ha) Proporsi (%) Luas (Ha) Proporsi (%) Luas (Ha) Proporsi (%) Luas (Ha) Proporsi (%) <250 86.942 2.520 2,9 5.910 6,8 12.640 14,5 21.400 24,6

250-500 54.474 670 1,2 1.240 2,3 1.910 3,5 4.100 7,5 500-750 37.186 340 0,9 450 1,2 860 2,3 750-1000 27.518 10 0,0 20 0,1 90 0,3

Sumber: Dokumen pribadi

Gambar 6. Permukiman di Desa Girimulya, Kecamatan Cibungbulang

Dari tabel tersebut terlihat pula bahwa proporsi luasan permukiman terbanyak kedua dari tahun 1990 hingga tahun 2004 terdapat pada elevasi 250-500 m dpl, sedangkan pada tahun 2008 terdapat pada elevasi 750-1.000 m dpl, atau pada kemiringan lereng 15-30%, atau aksesibilitas 250-500 m. Perkembangan permukiman pada elevasi 750-1.000 m berkaitan dengan banyaknya pembangunan rumah peristirahatan pada periode tahun 2004 hingga tahun 2008 di wilayah puncak (Kecamatan Cisarua).

(42)

29

Gambar 7. Peta land use Kabupaten Bogor tahun 1990

(43)

Gambar 9. Peta land use Kabupaten Bogor tahun 2004

(44)

31

Berdasarkan wilayah administrasinya, daerah yang memiliki proporsi elevasi <250 m dpl, kemiringan lereng ≤15%, dan aksesibilitas <250 m tertinggi adalah Kecamatan Ciomas, Kecamatan Cibinong dan Kecamatan Citeureup. Kecamatan-kecamatan ini memiliki angka proporsi permukiman terbanyak yaitu pada tahun 1990 (Kecamatan Ciomas), tahun 2001 dan 2008 (Kecamatan Cibinong), serta pada tahun 2004 (Kecamatan Citeureup). Pola-pola tersebut nampaknya sesuai dengan perkembangan jumlah penduduk atau kebijakan pemerintah berkaitan dengan pola penataan ruang di Kabupaten Bogor. Pada tahun 1990 Kecamatan Ciomas memiliki jumlah penduduk terbanyak, sedangkan tahun 2001 Kecamatan Cibinong hanya memiliki jumlah penduduk terbanyak kedua, adapun pada tahun 2004 Kecamatan Citeureup hanya menduduki jumlah penduduk terbanyak ketujuh. Untuk Kecamatan Cibinong dan Citeureup jumlah penduduk memang bukan pada ranking terbanyak, namun berdasarkan Peta Pola Ruang RTRW (Gambar Lampiran 1) alokasi untuk ruang terbangun (permukiman, zona industri dan sebagainya) cukup besar, sehingga perkembangan permukiman (dalam hal ini sama dengan ruang terbangun) menjadi meningkat. Adapun untuk tahun 2008 diperkirakan jumlah penduduk terbanyak terdapat di Kecamatan Cibinong. Permukiman dan kawasan industri pada Kecamatan Citeureup dapat dilihat pada Gambar 11.

Sumber: Google image, 2010

(45)

Kecamatan dengan jumlah permukiman terbanyak pada elevasi 250-500 m, kemiringan lereng 15-30%, dan aksesibilitas 250-500 m adalah Cisarua pada tahun 2001, 2004, dan 2008 (Gambar 12). Gambaran ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Saefulhakim (1996) yaitu faktor-faktor seperti sarana dan prasarana, aksesibilitas dan jarak terhadap jalan mempengaruhi perkembangan dan perluasan permukiman, seperti halnya yang terjadi di Kecamatan Cisarua.

Sumber: Google image, 2010

Gambar 12. Permukiman di kawasan Cisarua 5.2. Pola Perkembangan Permukiman

Gambar 7, Gambar 8, Gambar 9, dan Gambar 10 memperlihatkan pola perkembangan permukiman dari tahun 1990 hingga tahun 2008. Gambar tersebut memperlihatkan bahwa permukiman berkembang pada daerah yang telah memiliki permukiman sebelumnya, sedangkan pembukaan lahan permukiman baru jarang terjadi. Seperti halnya pola persebaran permukiman, analisis pola perkembangan permukiman dilakukan juga terhadap elevasi, kemiringan lereng, dan aksesibilitas. Sedangkan faktor jenis tanah tidak dimasukkan, karena menurut Arifiyanto (2005) perubahan permukiman terhadap jenis tanah tidak mempunyai pola yang teratur.

(46)

33

5.2.1. Pola Pertambahan Permukiman Pada Setiap Periode

Pola perubahan luas permukiman dari tiga periode, yaitu antara tahun 1990-2001, 2001-2004, dan 2004-2008 secara keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 14, Tabel 15, dan Tabel 16. Dari Tabel 14 terlihat bahwa penggunaan lahan permukiman pada periode 1990 sampai 2001 mengalami peningkatan yang cukup tinggi yaitu sebanyak 4.310 ha, yang merupakan konversi dari beberapa penggunaan lahan lain, yaitu dari hutan sebesar 70 ha, dari sawah sebesar 2.770 ha, dari tegalan sebesar 1.050 ha, dan dari semak belukar sebesar 420 ha. Dari angka-angka tersebut terlihat bahwa konversi dari penggunaan lahan sawah menjadi permukiman mempunyai luasan yang paling besar dibandingkan dengan penggunaan lahan yang lain.

Tabel 14. Perubahan penggunaan lahan tahun 1990-2001

Tahun 2001

Penggunaan Lahan (ha) Hutan Permukiman Sawah Tegalan belukar Semak Total (ha) Total (%)

Tahun 1990 Hutan 102.890 70 5.690 8.150 1.200 118.000 39,5 Permukiman 3.190 3.190 1,1 Sawah 2.770 85.240 29.370 3.880 121.260 40,6 Tegalan 1.050 9.460 14.180 2.120 26.810 9,0 Semak belukar 420 12.350 9.450 6.990 29.210 9,8 Total (ha) 102.890 7.500 112.740 61.150 14.190 298.470 Total (%) 34,5 2,5 37,8 20,5 4,8

Tabel 15. Perubahan penggunaan lahan tahun 2001-2004

Tahun 2004

Penggunaan Lahan (ha) Hutan Permukiman Sawah Tegalan belukar Semak Total (ha) Total (%)

Tahun 2001 Hutan 93.900 190 2.880 4.440 1.480 102.890 34,5 Permukiman 7.500 7.500 2,5 Sawah 1.370 82.850 24.340 4.180 112.740 37,8 Tegalan 4.490 16.600 36.520 3.540 61.150 20,5 Semak belukar 1.490 960 5.510 6.230 14.190 4,8 Total (ha) 93.900 15.040 103.290 70.810 16.430 298.470 Total (%) 31,5 5,0 34,6 23,7 5,2

(47)

Dari Tabel 15 diatas terlihat bahwa perkembangan penggunaan lahan permukiman dari tahun 2001 hingga 2004 mencapai luasan sebesar 7.540 ha, sehingga perubahan tersebut terhitung lebih tinggi jika dibandingkan dengan perubahan permukiman pada periode sebelumnya, yaitu antara tahun 1990 dan 2001. Dari tabel tersebut dapat dilihat pula bahwa perubahan permukiman pada periode 2001-2004 merupakan hasil konversi dari beberapa penggunaan lahan lain, yaitu dari sawah sebesar 1.370 ha, dari tegalan sebesar 4.490 ha, dari semak belukar sebesar 1.490 ha, dan dari hutan sebesar 190 ha. Dari angka-angka tersebut terlihat bahwa penggunaan lahan tegalan merupakan bagian yang paling banyak terkonversi menjadi permukiman. Hal ini berbeda dengan periode sebelumnya, dimana lahan sawah merupakan penggunaan lahan yang paling banyak terkonversi.

Tabel 16. Perubahan penggunaan lahan tahun 2004-2008

Tahun 2008

Penggunaan Lahan (ha) Hutan Permukiman Sawah Tegalan belukar Semak Total (ha) Total (%)

Tahun 2004 Hutan 75.380 50 6.490 3.190 8.790 93.900 31,5 Permukiman 15.040 15.040 5,0 Sawah 2.620 72.470 14.160 14.040 103.290 34,6 Tegalan 5.830 20.290 28.720 15.970 70.810 23,7 Semak belukar 2.910 680 920 10.920 15.430 5,2 Total (ha) 75.380 26.450 99.930 46.990 49.720 298.470 Total (%) 25,3 8,9 33,5 15,7 16,7

Dari Tabel 16 diatas terlihat bahwa perkembangan penggunaan lahan permukiman pada periode 2004-2008 mencapai luasan sebesar 11.410 ha, sehingga perubahan tersebut mempunyai angka yang lebih tinggi lagi jika dibandingkan dengan perubahan permukiman pada periode 1990-2001 dan periode 2001-2004. Perkembangan permukiman pada periode 2004-2008 ini merupakan hasil konversi dari beberapa penggunaan lahan lain, yaitu dari hutan sebesar 50 ha, dari sawah sebesar 2.620 ha, dari tegalan sebesar 5.830 ha, dan dari semak belukar sebesar 2.910 ha. Sama halnya dengan periode sebelumnya (2001-2004), penggunaan lahan tegalan pada periode ini merupakan penggunaan lahan yang paling banyak terkonversi menjadi permukiman.

(48)

35

Jika dibandingkan antara tiga periode tersebut diatas, maka sangat jelas bahwa pola perubahan penggunaan lahan dari non permukiman ke permukiman mempunyai kecenderungan yang berbeda, dimana pada periode 1990-2001 ada kecenderungan lahan sawah terkonversi menjadi permukiman, sedangkan pada dua periode sesudahnya lahan tegalan yang paling banyak terkonversi menjadi permukiman. Perbedaan kecenderungan ini pada dasarnya berkaitan dengan adanya Keppres No 53 tahun 1990 yang melarang terjadinya konversi lahan dari lahan sawah (pertanian lahan basah) menjadi lahan permukiman. Oleh sebab itu kecenderungan konversi lahan pada periode berikutnya (pasca peraturan tersebut dijalankan) adalah dari lahan tegalan (pertanian lahan kering) menjadi lahan permukiman. Untuk mengubah lahan sawah menjadi lahan permukiman, pada periode tersebut ada kecenderungan masyarakat menyiasatinya dengan mengonversi sawah terlebih dahulu menjadi tegalan sebelum dikonversi menjadi permukiman. Kecenderungan ini diperkirakan akan sama untuk periode-periode mendatang sesuai dengan kebutuhan permukiman. Menurut penelitian Marstaningsih (2008) kebutuhan akan permukiman akan semakin meningkat seiring meningkatnya jumlah penduduk, dan mendorong masyarakat mengubah penggunaan lahan tegalan menjadi permukiman.

Berdasarkan pertambahan permukiman pada tiga periode tersebut, terlihat bahwa kenaikan permukiman paling sedikit terjadi pada kurun waktu sebelas tahun, yaitu pada periode 1990-2001 dibandingkan dengan periode 2001-2004 ataupun periode 2004-2008. Hal tersebut dikarenakan pada tahun 1990 hingga 2001 peningkatan jumlah penduduk masih relatif rendah jika dibandingkan dengan pertambahan penduduk pada periode 2001-2004 dan periode 2004-2008 (Lampiran 1, Lampiran 2, Lampiran 3, dan Lampiran 4), dan diperkirakan jumlah penduduk tahun 2008 hampir sama atau hanya meningkat sedikit dari jumlah penduduk tahun 2007.

(49)

5 d ( c l p 5 p 5 t t e p p a b 5 d G 5.2.2. Perta Jika dapat dikata (728%). Per cara melaku lahan 2008 permukiman 5.300 ha (22 paling kecil 5.2.2.1. Pol Dari terlihat bah terdapat pad elevasi terse permukiman permukiman adalah 17.6 berturut-turu 500 m dpl s dan yang ter

Gambar 13. 1 1 Pr opor si ( % ) ambahan Pe dilihat dari akan bahwa rtambahan pe ukan overlay , dan dida n adalah saw 2,8%), ketiga adalah hutan la Pertamba hasil analis hwa pola p da elevasi < ebut hingga n ke permuk n terbesar d 20 ha (11,1 ut oleh eleva eluas 2.470 rkecil adalah Pola pertam 0.0 2.0 4.0 6.0 8.0 10.0 12.0 ermukiman tahun 1990 telah terjad ermukiman d y peta peng apatkan bah wah seluas 1 a adalah sem n seluas 670 ahan Luas P sis tentang perkembanga <250 m dpl tahun 2008 kiman. Pada dari tahun 1 1%) pada e asi 750-1.00 ha (4,0%), e h elevasi 1.00 mbahan perm Elevasi (m dari Period hingga tahu di penambah dari tahun 1 ggunaan laha hwa landus 14.420 ha (6 mak belukar 0 ha (2,9%). Permukima perkembang an permukim (Tabel 17), konversi la Gambar 13 1990 hingga levasi <250 00 m dpl sel elevasi 500-00-1.250 m mukiman tah m dpl) de Awal hin un 2008, ma han permuki 990 hingga an 1990 den e yang pa 62%), kedua seluas 2.870 an Menurut gan permuk man denga , hal ini me ahan banyak dapat dilih a tahun 200 0 m dpl, ke luas 1.330 h 750 m dpl s dpl seluas 4 hun 1990-200 ngga Akhir aka secara k iman seluas 2008 diketah ngan peta p aling banyak a adalah tega 0 ha (12,3%) Elevasi kiman terhad an proporsi enunjukan b terjadi dari at bahwa pe 08 secara k emudian diik ha (6,6%), el seluas 1.430 10 ha (3,3% 08 berdasark Permukiman keseluruhan 23.260 ha hui dengan penggunaan k menjadi alan seluas ), dan yang dap elevasi terbanyak ahwa pada lahan non ertambahan keseluruhan kuti secara levasi 250-ha (3,8%), ). kan elevasi n 

(50)

T 5 k b t t 2 h l Tabel 17. Po Nilai Elevasi (m dpl) <250 250-500 500-750 750-1000 1000-1250 1250-1500 >1500 5.2.2.2. Pol Pola kemiringan bahwa pada terbanyak ad tahun 1990 22.830 ha (1 ha (0,6%) ( lereng 15-30 Gam 0 5 10 15 Pr op or si (% ) ola pertamba Luas Total (ha) 158.044 61.096 37.244 20.074 12.394 6.679 2.935 la Pertamba perkemban lereng terda a kemiringa dalah dari n hingga 2008 13,1%) dan (Gambar 14) 0% tersebut mbar 14. Pola kem 0 5 0 5 ≤15  Ke ahan permuk 1990-2001 Luas (ha) 3.200 500 210 400 ahan Luas P gan permuk apat pada el an lereng t non permukim 8 perubahan urutan kedu ). Berdasark adalah daera a pertambah miringan lere 15‐30  30‐ emiringan Lere kiman berdas 2001-2004 Luas (ha) 5.140 1.510 260 390 220 Permukima kiman denga levasi ≤15% tersebut hin man ke perm n terbesar pa ua pada kem kan adminis ah puncak, y han permukim eng ‐50  > 50  eng (%) sarkan eleva 2004-2008 Luas (ha) 9.280 460 960 540 190 an Menurut an proporsi % (Tabel 18) ngga tahun mukiman. S ada kemiring miringan lere trasi, wilaya yaitu Kecama man tahun 1 asi 1990-2 Luas (ha) 17.620 2.470 1.430 1.330 410 Kemiringa terbanyak b ). Hal ini m 2008 konv ecara keselu gan lereng ≤1 eng 15-30% ah dengan k atan Cisarua 990-2008 be Permukim 37 2008 Luas (%) 11,1 4,0 3,8 6,6 3,3 n Lereng berdasarkan menunjukan versi lahan uruhan dari 15% seluas seluas 430 kemiringan a. erdasarkan man

Gambar

Gambar 1. Diagram alir tahapan penelitian
Tabel 4. Kecamatan di Kabupaten Bogor dan luasannya
Gambar 2. Peta administrasi Kabupaten Bogor
Gambar 3. Peta elevasi wilayah Kabupaten Bogor  Tabel 5. Nilai elevasi wilayah Kabupaten Bogor dan luasannya
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pembuluh tapis atau floem ( phloem , daribahasa Yunani φλόος / Lat. phloos , berarti &#34;pepagan&#34;.) adalah jaringan pengangkut padatumbuhan berpembuluh

Dengan adanya aplikasi festival budaya berbasis Android dapat membantu masyarakat serta Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Selatan dalam

Setelah t-butil eugenol dapat disintesis dari eugenol dengan t-butil klorida menggunakan katalis Aluminium klorida, serta diketahui suhu pemanasan paling optimal dalam reaksi

Pada hari ini Jumat , tanggal Satu bulan April tahun dua ribu enam belas , yang bertanda tangan di bawah ini, Kelompok Kerja Unit Layanan Pengadaaan Provinsi Kepulauan Riau

Dalam penulisan ilmiah ini Penulis mencoba melakukan pembuatan Program Aplikasi yang dapat menjalankan data kompresi file musik dengan menggunakan program Microsoft Visual Basic

Penelitian ini dilakukan di wilayah transaksi seksual Distrik Bintuni dan Pasar Kembang. Setiap wilayah transaksi seksual, diambil sampel 30 pekerja seks dengan menggunakan

According to statistics from CCSFC, every severe flood and storm that has occurred has resulted in many collapsed and damaged houses and public buildings, such as schools and

PENGARUH KINERJA MENGAJAR GURU TERHADAP PRESTASI BELAJAR SISWA PADA MATA PELAJARAN AKUNTANSI KELAS XII IPS SMA NEGERI 13 BANDUNG. Universitas Pendidikan Indonesia |