• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONJUNGTUR EKONOMI INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KONJUNGTUR EKONOMI INDONESIA"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

KONJUNGTUR EKONOMI INDONESIA

1. PENDAHULUAN

Sistem ekonomi suatu negara, akan selalu mengalami gelombang pasang surut pertumbuhan ekonomi beserta indikator-indikatornya seperti kesempatan kerja, investasi, tabungan, tingkat suku bunga, besarnya anggaran negara. Ekonomi tidak bisa tumbuh terus tanpa batas. Kehidupannya selalu ditandai oleh fluktuasi dengan periode meningkatnya kegiatan ekonomi, disusul dengan titik puncak yang sekaligus merupakan titik balik (the upper turning point). Terjadi krisis, yang disusul dengan periode menurunnya kegiatan ekonomi, atau baisse, sampai tingkat pertumbuhan dan besaran-besaran makro ekonomi lainnya mencapai titik paling rendah. Terjadilah titik balik terendah (the lower turning point), disusul dengan periode kenaikan perkembangan dan pertumbuhan ekonomi, atau economic boom, atau hausse lagi. Gejala pasang surutnya kegiatan ekonomi secara periodik di dalam teori ekonomi disebut business cycle atau conjunctuur.

Jadi kalau ekonomi suatu negara pada saat tertentu tiba pada titik tertinggi, kemudian menurun dan terjadi krisis, yang disusul dengan memasuki resesi, hal itu sangat wajar. Ekonomi akan merosot terus, dan pada waktunya nanti akan dicapai titik terendah. Bertolak dari sini, gelombangnya meningkat lagi.

Karena itu, pasang surutnya pertumbuhan ekonomi dapat digambarkan dalam sebuah kurva yang dikenal dengan kurva konjungtur ekonomi. Kurva tersebut terdiri dari beberapa bagian, antara lain: masa pertumbuhan, masa puncak kemakmuran (peak of wealth), masa kemunduran, masa keterpurukan (peak of crises). Setelah krisis dapat teratasi, maka akan disambung dengan masa pemulihan (recovery), pertumbuhan, dan seterusnya hingga membentuk seperti gelombang sinus. Pada tulisan ini, akan diuraikan mengenai teori konjungtur dan situasi perekonomian Indonesia pada masa krisis moneter 1997 dan krisis keuangan global 2008 dimana perekonomian Indonesia pada saat itu berada pada masa keterpurukan (peak of crises).

2. TEORI KONJUNGTUR 2.1. Pengertian

Gelombang konjungtur (economic cycle) adalah naik turunnya kegiatan ekonomi dari waktu ke waktu (Business Cycle). Naik turunnya kegiatan ekonomi membentuk satu gelombang. Kegiatan ekonomi:

a. Menaik (recovery)

b. Sampai pada puncak paling atas (prosperity) c. Menurun (recession)

(2)

d. Sampai puncak paling bawah (depression)

2.2. Teori Penyebab Gelombang Konjungtur

Ada beberapa teori penyebab gelombang konjungtur, yaitu: a. Jevons dan Moore (1923)

Fluktuasi kegiatan ekonomi terjadi karena adanya perubahan alam. b. Pigou (1927)

Fluktuasi kegiatan ekonomi terjadi karena adanya faktor psikologis para pelaku bisnis (harapan pesimistis atau optimistis).

c. Malthus (1936)

Penyebab munculnya krisis ekonomi karena adanya kekurangan konsumsi (under consumption). Alasannya adalah sektor industri manufaktur makin berkembang dan masyarakat lebih banyak melakukan kegiatan ekonomi pada sektor tersebut.

d. Mitchell (1951)

Fluktuasi kegiatan ekonomi tidak dapat dilepaskan dari sistem ekonomi kapitalis-liberalis.

e. Hawtrey (1928) dan Friedman (1957)

Fluktuasi ekonomi disebabkan oleh sistem moneter dan sistem kredit. f. Shcumpeter (1934)

Menyebut penyebab utama tidak stabilnya inovasi teknologi. g. Lucas dan Barro (1976), Fisher (1979), dan Phelps (1997)

Ekspektasi masyarakat yang rasional sebagai penyebab fluktuasi ekonomi. h. Keynes

Sistem moneter dan kredit bukan penyebab, tetapi merupakan akibat. Penyebab utama adalah tidak stabilnya investasi.

Beberapa siklus konjungtur kegiatan ekonomi yang menurut Ellis (1991) dapat berbeda-beda, sebagai berikut:

a. Kondratif: setiap 50 tahun sekali b. Juglar: 10 tahun sekali

c. Kitchin: 4 tahun sekali

d. Batra (1990): 60 tahun sekali

(3)

2.3. Tipe Krisis dan Resesi

Semua teori sepakat mengenai gambaran dari periode meningkatnya kegiatan ekonomi, hausse, atau gelombang pasang, dan menurunnya kegiatan ekonomi, baisse atau gelombang surut. Dalam periode gelombang pasang, investasi selalu lebih besar daripada tabungan yang dapat dibentuk oleh pendapatan nasional. Kekurangannya selalu dibiayai oleh penciptaan uang, antara lain melalui kredit bank. Dalam periode gelombang surut, tabungan yang terbentuk dari pendapatan nasional selalu lebih besar daripada investasi. Dalam periode ini terjadi pemusnahan uang, antara lain dengan membayar kembali kredit bank. Selisih antara investasi dan tabungan justru merupakan saluran bagi mengembang dan menciutnya arus uang, yang dalam hal ini sama dengan mengembang dan menciutnya permintaan akan barang dan jasa.

Dalam menjelaskan mengenai mengapa krisis terjadi yang merupakan titik balik dari gelombang pasang menjadi gelombang surut, teori-teori business cycle dapat dibagi ke dalam dua kelompok besar, yang masing-masing dapat disebut sebagai kelompok dari teori-teori overinvestment dan kelompok dari teori-teori underconsumption.

a. Kelompok Teori Underconsumption

Menurut kelompok teori-teori ini, cikal bakal dari krisis adalah kenaikan dari permintaan untuk barang-barang konsumsi yang tidak setimpal dengan kenaikan kapasitas produksi dari barang-barang konsumsi tersebut. Permintaan masih meningkat, tetapi naiknya tidak setimpal dengan membesarnya kapasitas produksinya. Karena permintaan tidak dapat menyerap volume produksi, tidak ada gunanya memperluas kapasitas lebih lanjut. Gairah untuk investasi berkurang. Di sini awal krisis, karena dengan berkurangnya gairah investasi, investasi menurun, yang mengakibatkan pendapatan menurun, dengan akibat konsumsi menurun.

Konsumsi menurun berarti permintaan terhadap barang-barang konsumsi menurun, sehingga gairah terhadap investasi tambah menurun lagi dan seterusnya. Terjadilah spiral ke arah menurunnya seluruh kegiatan ekonomi dan menurunnya indikator-indikator makro ekonomi. Menurut teori ini, sebab utama adalah konsumsi yang tidak bisa membengkak terus sesuai dengan pembengkakan kapasitas produksinya. Maka menurut kelompok teori ini, obatnya adalah bahwa pada waktu krisis terjadi, kita harus meningkatkan konsumsi dengan cara memompa atau menambah daya beli kepada masyarakat, kalau perlu dengan deficit spending. Sasarannya biasanya adalah pembangunan proyek-proyek prasarana oleh pemerintah.

Para pencetus atau penganut teori ini dengan nuansa dan variasinya masing-masing adalah Samuelson melalui teori akselerasi dan multiplier. Aftalion dengan memasukkan unsur gestation period. Hicks, Harrod dan Haberler yang melihat terbatasnya unsur manusia sebagai faktor produksi, Kaldor dan Kalecki yang melihatnya dari segi

(4)

psikologis, yaitu faktor kejenuhan manusia, dan Schumpeter yang menjelaskannya dari segi kurangnya inovasi untuk berinvestasi.

b. Kelompok Teori Overinvestment

Inti dari teori-teori overinvestment adalah bahwa investasi yang selama gelombang pasang selalu memang lebih besar daripada tabungan, dilakukan dengan menggunakan kredit dari bank yang semakin lama semakin besar. Artinya, selama gelombang pasang, pembentukan modal sendiri atau equity capital tertinggal dibandingkan dengan kesempatan dan gairah investasi. Maka investasi dilakukan dengan kadar kredit dari bank yang semakin lama semakin membengkak. Kesediaan dan kemampuan bank tidak akan berkelanjutan tanpa batas. Pada suatu saat, kredit bank akan berkurang. Dengan demikian investasi akan berkurang, dan krisis dimulai. Pemikiran ini tampak jelas pada Machlup.

Antara lain Witteveen mengatakan bahwa selama kesempatan bisnis atau kesempatan untuk investasi masih ada, walaupun investasi dibiayai oleh kredit bank pada mulanya, peningkatan investasinya sendiri akan mengakibatkan kenaikan pendapatan yang berganda lewat multiplier. Pendapatan yang meningkat akan membentuk pula tabungan yang meningkat, dan tabungan ini akan cukup untuk menutup investasi yang pada mulanya dibiayai dengan kredit bank. Maka selama kita masih belum mentok pada salah satu faktor produksi, investasi bisa dilakukan terus.

Namun kelompok teori overinvestment menekankan bahwa walaupun kredit bank bisa dipakai sebagai pembiayaan investasi, yang nantinya akan ditutup dengan tabungan yang akan dibentuk, pasti akan ada faktor produksi yang menjadi kendala di dalam gelombang pasang. Faktor produksi ini menjadi rebutan dan harganya akan naik. Maka untuk mempertahankan volume investasi, dibutuhkan lebih banyak lagi modal, karena adanya peningkatan harga pada faktor-faktor produksi yang sudah menjadi langka. Dengan demikian, kebutuhan akan pembiayaan oleh bank akan menjadi membengkak, sehingga akhirnya banknya sendiri akan tersendat dalam kemampuannya. Bilamana sumber pembiayaan bagi investasi ini tersendat, investasinya tentunya akan tersendat pula, dan dengan menurunnya investasi, krisis dimulai.

Menurut Kwik Kian Gie, rentabilitas dari seluruh investasi tidak selalu lebih tinggi dari tingkat suku bunga bank. Bilamana rentabilitas investasi atau Return On Investment (ROI) lebih kecil dari tingkat suku bunga, perusahaan-perusahaan yang memakai banyak kredit akan berguguran dengan kebangkrutan, atau dipaksa menciutkan skala usahanya.

c. Perbedaan antara Dua Kelompok Teori Konjungtur

Teori overinvestment melihat bahwa cikal bakal krisis muncul selama gelombang pasang sedang berlangsung, karena kuatnya keinginan untuk investasi, sehingga akhirnya pertumbuhan investasi terkendala pada pembiayaannya, yang selalu ditutup oleh kredit bank. Kredit bank ini ada batasnya, sehingga pada saat pembiayaan oleh bank tersendat,

(5)

krisis terjadi. Oleh karena itu, kelompok teori ini berpendapat bahwa usaha menghindarkan diri dari krisis harus dilakukan selama gelombang pasang sedang berjalan. Tidak boleh ditunggu sampai krisis sudah terjadi. Bahkan banyak penganut teori ini mengatakan bahwa apabila krisis sudah terjadi, kita tidak dapat berbuat lain kecuali menyerahkan penyembuhannya pada proses alamiah yang sangat menyakitkan. Artinya, kita tidak dapat berbuat lain kecuali membiarkan resesi ekonomi sampai mencapai titik balik yang terendah, dan proses gelombang pasang dimulai lagi berdasarkan titik keseimbangan baru yang terletak pada tingkat “the lower turning point”.

Pada kelompok teori underconsumption, cikal bakal krisis adalah pertumbuhan konsumsi yang kurang sepadan dengan pertumbuhan kapasitas produksi dari barang-barang konsumsi ini. Oleh karena itu, penanganan krisis adalah dengan meningkatkan konsumsi setelah krisis terjadi.

Jadi pada teori underconsumption, krisis harus diatasi dengan meningkatkan konsumsi. Pada teori overinvestment, krisis hendaknya diperlunak dengan cara mengurangi konsumsi dan investasi, agar bisa memperbesar tabungan. Tindakannya pun harus cukup dini selama gelombang pasang masih berlangsung. Kalau sudah terlambat, tidak banyak yang bisa dilakukan kecuali menjalani proses yang sangat menyakitkan.

Sebagai contoh mega proyek dalam bidang properti yang mencapai jumlah puluhan milyar US$. Banyak yang sudah dibangun setengah jalan, kalau diteruskan tidak ada uangnya, kalau dihentikan akan menjadi besi tua.

Terapi yang disajikan oleh teori underconsumption bertolak belakang dengan terapi yang disajikan oleh teori overinvestment. Baik instrumen yang dipakai maupun timing penanganannya. Teori mana yang berlaku di Indonesia harus dilihat dari struktur ekonomi makro Indonesia. Karena teori yang berlaku bagi sesuatu negara dalam suatu kurun waktu tertentu, sangat banyak ditentukan oleh struktur ekonomi makronya yang berlaku dalam kurun waktu yang bersangkutan.

2.4. Struktur dan Konjungtur

Yang dimaksud dengan struktur adalah perbandingan antara modal dan tenaga kerja. Kegiatan ekonomi atau investasi dan produksi tidak lain adalah mengkombinasikan faktor produksi tenaga manusia dan modal untuk mengolah alam menjadi barang-barang konsumsi dan alat-alat produksi. Jarang sekali terjadi bahwa untuk jangka waktu yang cukup lama, jumlah tenaga kerja yang tersedia tepat cukup untuk dikombinasikan dengan jumlah modal yang ada.

Untuk periode yang cukup lama, modal lebih banyak daripada tenaga kerja yang tersedia. Struktur yang demikian dinamakan struktur langka tenaga kerja. Keadaan yang sebaliknya adalah bahwa Indonesia selalu kekurangan modal untuk dapat menciptakan lapangan kerja bagi seluruh angkatan kerja. Struktur ini dinamakan struktur langka modal.

(6)

Witteveen berpendapat bahwa dengan struktur langka modal, yang berlaku adalah teori-teori overinvestment. Dalam kurun waktu yang ditandai oleh struktur langka tenaga kerja, yang berlaku adalah teori underconsumption.

Dapat dilihat bahwa pada teori underconsumption, struktur yang melandasi penyebab krisis adalah tiadanya kesempatan untuk menginvestasikan tabungan, karena faktor tenaga kerja sudah terpakai habis. Dalam struktur yang ditandai oleh langka modal, Indonesia dihadapkan pada kecenderungan yang kuat dan terus menerus untuk melakukan investasi agar bisa memberikan lapangan kerja kepada penduduknya. Kecenderungan yang kuat ini lalu dipaksakan dengan pembiayaan-pembiayaan melalui kredit bank. Seperti telah diuraikan diatas, pembiayaan semacam ini tidak bisa berkelanjutan tanpa batas. Kredit bank akan tersendat, dan biaya-biaya investasi akan meningkat.

3. Perekonomian Indonesia pada Masa Krisis Moneter 1997 dan Krisis Keuangan Global 2008

3.1.a. Kondisi Krisis Moneter 1997

Pada tahun 1997 Indonesia mengalami krisis moneter yang penyebab utamanya sebagai berikut:

a. Anwar Nasution:

o Neraca berjalan (current account) selalu defisit o Utang luar negeri (pemerintah dan swasta) o Lemahnya sistem perbankan nasional b. Bank Dunia

o Akumulasi utang luar negeri swasta berjangka pendek (jatuh tempo 18 bulan) o Sistem perbankan nasional lemah

o Kemampuan pemerintah mengatasi masalah keuangan o Ketidakpastian politik

Adapun kondisi fundamental ekonomi Indonesia pada krisis moneter 1997 adalah: a. Perkembangan perbankan terlalu cepat (Perekomian Indonesia overheated) b. Pemerintah melakukan tight money policy

c. Swasta yang perlu modal mencari dana di luar negeri. Pertimbangannya:  Mudah (Indonesian Tiger)

Ada jaminan pemerintah dengan kebijakan kurs (intervension band)

d. Kenaikan utang luar negeri (1992-1997): 85% kenaikan merupakan utang LN swasta e. Karakteristik utang LN swasta:

(7)

Currency mismatch

 Utang jangka pendek untuk membiayai proyek jangka panjang

f. Tahun 1997: utang jatuh tempo (kurang 1 tahun) US$ 20,8 milyar. Padahal cadangan devisa yang dimiliki BI hanya sekitar US$ 27 milyar.

g. Kebijakan makro ekonomi yang tidak seimbang: didominasi oleh kebijakan moneter h. Tidak/belum ada good governance: banyak terjadi KKN

i. Kondisi politik yang tidak kondusif j. Rendahnya Law Inforcement

Sementara itu krisis moneter yang juga terjadi di kawasan regional, antara lain devaluasi Bath Thailand (2 Juli 1997) dan Peso Philipina (11 Juli 1997), diikuti krisis keuangan di beberapa negara Asia lainnya, seperti Korea Selatan dan Malaysia. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan merambat ke Indonesia (aspek psikologis)

Kenaikan permintaan dolar (kenaikan kurs dolar) memaksa Bank Indonesia melakukan kebijakan intervensi (Kebijakan nilai tukar mengambang terkendali/intervension band ):

o Rentang kendali (intervension band): batas atas dan batas bawah kurs antarbank. Bank umum dapat menjual dan membeli US$ di Bank Indonesia.

o September 1996, rentang kendali dinaikkan dari 5% menjadi 8%. o Juli 1997, intervension band dinaikkan lagi menjadi 12%

o Agustus1997, nilai rupiah di pasar valas antarbank menembus batas atas kisaran BI (terendah Rp.2.374 per dolar dan tertinggi Rp.2.678 per dolar). Hal ini memaksa BI melepas kebijakan rentang kendali (mengambang terkendali/managed float) menjadi mengambang bebas (Free Float). Kurs rupiah ditentukan melalui mekanisme pasar. o Rupiah terus melemah karena permintaan US$ semakin tinggi. Penyebabnya:

 Spekulasi  Capital Flight

 Pelunasan hutang swasta

o Tahun 1997 banyak hutang swasta yang jatuh tempo. Kreditur luar negeri menolak roll over.

o Akhir tahun 1997 nilai tukar Rp17.000 per US$.

o Usaha menurunkan nilai tukar oleh BI menyedot banyak cadangan devisa (dari US$26,6 milyar menjadi US$13,2 milyar pada tahun 1997).

Adapun krisis perbankan yang terjadi pada saat itu disebabkan oleh: a. Bank mengalami kesulitan likuiditas sebagai akibat:

(8)

 Gejolak nilai tukar.

 Menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap bank.  Tingginya NFL (kredit macet).

b. Nopember 1997 terjadi rush, kerana pencabutan ijin 16 bank swasta nasional oleh pemerintah. Suku bunga antarbank mencapai 300%.

c. Fungsi bank sebagai intermediasi dalam perekonomian terganggu

Sementara itu dari sisi ekonomi, kondisi di Indonesia pada saat krisis sebagai berikut:

a. Kesulitan mengimpor bahan baku untuk produksi dalam negeri karena harga impor makin mahal dan cadangan devisa makin sedikit (catatan: kandungan impor industri dalam negeri tinggi).

b. LC bank di Indonesia dijamin oleh bank di Singapura.

c. Produksi dalam negeri menurun, terjadi kontraksi ekonomi, kesulitan mendapatkan barang kebutuhan pokok.

d. Terjadi krisis multidimensi.

e. Mei 1998, pergantian presiden Soeharto

Secara umum, kondisi Makro Ekonomi Indonesia tahun 1997/1998 adalah: a. Nilai rupiah merosot (tinggal 85% dari semula)

b. Inflasi meningkat tajam (Desember 1998 mencapai 77,6%). c. Kontraksi ekonomi (sebesar -13,2%).

d. Investasi dalam negeri turun, kecuali investasi asing. e. Suku bunga meningkat (SBI 1 bulan = 70%).

f. Ekspor dan impor turun (kecuali ekspor sektor pertanian). g. Transaksi berjalan surplus.

h. Terjadi pemindahan modal dalam negeri ke luar (capital flight) sebesar 10%-15% dari PDB (lebih dari US$25 milyar).

i. Cadangan devisa turun (Maret 1997 sebesar US$26,6 milyar; Maret 1998 sebesar US$13,2 milyar; Maret 1999 sebesar US$15,8 milyar).

j. Uang primer meningkat (tahun 1996 sebesar 8,1% terhadap JUB; tahun 1997 sebesar 26,4% dan tahun 1998 sebesar 41,4%).

3.1.b. Upaya Pemulihan Krisis 1997

Upaya pemulihan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia pada saat krisis 1997 antara lain:

(9)

1. Penyehatan kerangka makro ekonomi: o Pengendalian inflasi kisaran 20%.

o Transaksi berjalan diupayakan surplus untuk membantu membayar hutang. 2. Revisi APBN dengan parameter baru:

o Defisit diusahakan berkisar 1% dari PDB.

o Pengurangan subsidi di bidang enerji (terutama BBM), namun tetap memberi perlindungan rakyat miskin.

3. Transparansi kebijakan fiscal:

o Dana reboisasi dimasukkan dalam APBN. 4. Proyek swasta:

o Penjadwalan kembali 12 proyek infrastruktur.

o Dana negara untuk IPTN dihentikan, proyek N-2130 didanai asing dan perbankan.

o Pencabutan perlakuan khusus dan fasilitas kredit bagi proyek Mobnas. 5. Penegasan kebijakan moneter:

o BI diberi otonomi penuh dalam menentukan kebijakan moneter dan suku bunga. o Pemerintah memberi dukungan penuh pada bank swasta dan pemerintah untuk

merger.

6. Restrukturisasi sektor perbankan dan sektor swasta:

o Bulog hanya memonopoli beras (terigu dan gula dihapus).

o Perdagangan domestik produk pertanian sepenuhnya dideregulasi. o BPPC dihapus.

o Pendanaan ADB dipusatkan hanya pada usaha kecil, menengah, dan eksportir. o Hambatan investasi pada kelapa sawit dihapus.

o Penghapusan aturan investasi pada penjualan grosir dan retail.

Pada saat krisis moneter 1997, lembaga moneter internasional (IMF) menawarkan bantuan kepada negara-negara yang sedang mengalami krisis. Banyak kontroversial mengenai bantuan yang diberikan oleh IMF. Berikut ini apa yang dikatakan Krugman tentang peran IMF di Indonesia dalam krisis tahun 1997. Krugman berkomentar tentang kebijakan IMF di Indonesia sebagai berikut:

“Banyak orang mengatakan bahwa IMF dan Departemen Keuangan AS yang de facto mendikte IMF yang menyebabkan terjadinya krisis di Indonesia, atau mereka sangat salah (mishandled) menanganinya, sehingga krisisnya menjadi semakin parah.

(10)

Beberapa pengamat ekonomi mengatakan bahwa sebenarnya IMF justru membuat situasi krisis menjadi semakin rumit. Ada dua hal dimana IMF jelas melakukan blunder, yaitu:

Pertama, ketika IMF diundang membantu Thailand, Indonesia dan Korea, mereka segera saja menuntut pengencangan ikat pinggang, bahwa negara-negara ini harus menaikkan pajak, mengurangi pengeluaran untuk menghindarkan diri dari defisit anggaran yang besar. Sangat sulit dimengerti mengapa kebijakan seperti ini yang menjadi programnya IMF di tiga negara tersebut, karena tidak ada seorangpun kecuali IMF (dan para kroninya di Indonesia) yang menganggap defisit anggaran sebagai masalah. Dan ternyata kebijakan IMF itu mempunyai dua dampak negatif. Yang pertama, resesi diperparah karena permintaan merosot. Kedua, segala sesuatunya menjadi lepas kendali sehingga terjadi kepanikan. Kedua, IMF menuntut reformasi struktural (structural reform) yang melampaui batas-batas bidang moneter dan fiskal sebagai persyaratan memperoleh pinjaman dari IMF. Penutupan bank-bank tidak relevan untuk menanggulangi krisis. Yang lainnya, seperti menuntut pemerintah Indonesia menghapus pemberian monopoli oleh Presiden Soeharto kepada para kroninya tidak ada hubungannya dengan mandat dan wewenang IMF. Memberikan monopoli cengkeh kepada dua pengusaha saja memang hal yang buruk.

Penanggulangan krisis tahun 1998 biayanya besar sekali. Sifat krisis semula adalah krisis perbankan akan tetapi karena pemerintah menyelamatkan (bailout) sistim perbankan maka dana sebesar ekuivalen US$ 50 milyar dikucurkan dan menjadi beban utang baru yang membuat lemah anggaran belanja pemerintah untuk sepuluh tahun mendatang. Maka, sekian tahun setelah krisis itu, di satu fihak pemerintah, Bank Indonesia dan sektor perbankan telah belajar banyak, dan menerapkan prudential regulations yang lebih ketat sehingga krisis kedua kiranya tidak mudah bisa terjadi lagi.

Di lain fihak, kemampuan (anggaran belanja) pemerintah sangat melemah dan kalau ada shock baru maka resistensinya, atau kekebalan badannya, telah melemah. Prof. Ross McLeod dari Australian National University di Canberra, dan seorang pengamat ekonomi-moneter Indonesia, memberi peringatan pada tahun 2005, bahwa undang-undang baru yang mengatur sektor perbankan tidak menghapuskan resiko besar bagi pemerintah kalau terjadi krisis perbankan baru, karena dalam praktek pemerintah akan menyelamatkan semua perbankan, karena bank-bank besar yang bisa disebut systemic banks, tidak diizinkan untuk ditutup. Semua depositor akan memindahkan dananya ke bank-bank besar demikian kalau mereka menjadi takut. Ross McLeod tidak meramalkan bahwa akan ada krisis kedua, akan tetapi hanya mengingatkan bahwa kalau suatu rush besar terjadi, pemerintah akan kewalahan lagi.

Akibatnya, utang pemerintah akan bertambah lagi. Jumlah total utang pemerintah sekarang sudah jauh melampaui utang sektor swasta (angka untuk yang akhir ini sekitar

(11)

ekuivalen US$ 57 milyar). Maka kalau mau mengadakan crisiswatch, yang harus diprioritaskan adalah rumah tangga pemerintah, baru sesudah itu sektor swasta. Tetapi, di sektor swasta ada dua hal yang juga sangat mempengaruhi kesehatan ekonomi, yakni investasi (termasuk penanaman modal asing) dan kinerja (pertumbuhan) ekspor non-migas. Disamping faktor-faktor dalam negeri maka ekonomi luar negeri juga bisa sangat berpengaruh kepada keseimbangan ekonomi dalam negeri. Kalau konjungtur ekonomi internasional sedang menurun dan laju pertumbuhan ekonomi dunia melemah maka daya serap bagi ekspor Indonesia juga kurang. Pada umumnya ekonomi dunia dewasa ini tidak terlalu mengancam kesehatan ekonomi Indonesia, akan tetapi harga minyak bumi yang meroket telah sedikit melemahkan pertumbuhan ekonomi dunia.

3.2. Kondisi Krisis 2008 dan Upaya Pemulihannya

Pada saat krisis keuangan global terjadi yang dipicu oleh kasus supreme morgate di Amerika Serikat (AS), ekonomi Indonesia memasuki resesi. Hal ini menyebabkan ekspor ke AS, Eropa dan Jepang tersendat. Modal yang tertanam dalam saham-saham di Indonesia dijual karena sedang sangat diperlukan untuk negerinya sendiri. Dampaknya IHSG anjlok. Hasil rupiahnya dibelikan dollar, nilai tukar rupiah anjlok. Dampak psikologisnya semuanya mengerem pembelian, permintaan menurun, produksi dikurangi, PHK meningkat, daya beli menurun, permintaan menurun, omset menurun, investasi dikurangi lagi dan seterusnya terjadi spiral ke bawah atau downward spiraling yang sangat dikenal dalam resesi-resesi, apalagi depresi yang lalu.

Pemerintah sebagai pengelola ekonomi negara dapat mengeluarkan kebijaksanaan yang “antisiklis”. Tetapi tipologi dari krisisnya itu sendiri yang merupakan the upper turning point sangat bervariasi. Tipe titik balik tertinggi atau krisis mewarnai resesi yang dimasukinya.

Secara rasional, sebenarnya dampak krisis keuangan AS terhadap Indonesia sangat kecil, karena hubungan ekonomi Indonesia dengan AS tidak ada artinya. Praktis tidak ada uang Indonesia yang ditanam ke dalam saham-saham AS yang sekarang nilainya merosot atau musnah. Hanya milik orang-orang Indonesia kaya dan super kaya yang tertanam dalam saham-saham perusahaan-perusahaan AS. Uang inipun jauh sebelum krisis sudah tidak pernah ada di Indonesia.

Dampak yang riil dan sekarang terasa ialah dijualnya saham-saham di Bursa Efek Indonesia oleh para investor asing karena mereka membutuhkan uangnya di negaranya masing-masing. Maka IHSG anjlok. Uang rupiah hasil penjualannya dibelikan dollar, yang mengakibatkan nilai rupiah semakin turun. Namun sayang bahwa kenyataan yang kasat mata ini tidak mau diakui oleh pemerintah, sehingga pemerintah memilih membatasi Bursa

(12)

Efek dalam ruang geraknya dengan cara mengekang Bursa Efek demikian rupa, sehingga praktis fungsi Bursa Efek ditiadakan.

Kebijakan lain ialah mengumumkan memberikan jaminan keamanan dan keutuhan uang yang disimpan dalam bank-bank di Indonesia sampai batas Rp 2 milyar. Ini sama saja mengatakan kepada publik di seluruh dunia supaya jangan menyimpan uangnya di bank-bank di Indonesia yang melebihi Rp 2 milyar.

Karena pengaruh teknologi informasi yang demikian canggihnya, semua berita-berita tentang krisis yang melanda negara-negara maju dapat diikuti. Pengaruh psikologisnya ialah kehati-hatian dalam membelanjakan uangnya yang berarti konsumsi akan menyusut dengan segala akibatnya.

Setelah Bank Indonesia menjadi independen ada kecenderungan terjadinya ego sektoral. Karena tugas pimpinan BI terfokus pada menjaga stabilitas nilai rupiah dan menjaga tingkat inflasi, semuanya dipertahankan at any cost. Maka di banyak negara maju yang menjadi cikal bakal pikiran independennya bank sentral menurunkan tingkat suku bunga, di Indonesia dinaikkan sangat tinggi yang lebih memperpuruk sektor riil yang sudah terpuruk karena menurunnya drastis permintaan dari negara-negara tujuan ekspor.

Hal yang kurang dipahami adalah faktor-faktor, kekuatan-kekuatan serta mekanisme yang bekerja setelah meletusnya gelembung angin (bubble) keuangan menyeret perekonomian global ke dalam spiral yang menurun.

Sejak lama sudah dikenal adanya gejala gelombang pasang surutnya ekonomi atau business cycle (conjunctuur) yang selalu melekat pada sistem kapitalisme dan mekanisme pasar. Cikal bakal tercapainya titik balik teratas menuju pada kemerosotan, dan sebaliknya, cikal bakal tercapainya titik balik terendah menuju pada kegairahan dan peningkatan ekonomi bisa macam-macam. Tetapi pola kemerosotan dan pola peningkatannya selalu sama. Seberapa besar pemerintah mempunyai kemampuan mempengaruhinya tergantung pada struktur ekonomi dalam aspek perbandingannya antara ketersediaan modal dan ketersediaan tenaga kerja.

Yang menjadi tantangan buat para pemimpin dunia pada saat ini adalah apakah depresi hebat dapat dihindarkan. Para pemimpin negara-negara maju dan kaya nampaknya sudah sepakat akan memompakan uang seperlunya untuk tujuan itu, berapapun jumlahnya. Mereka tidak lagi berbicara dalam hitungan ratusan milyar dollar AS, tetapi trilyunan. Proses menuju pada kesepakatan secara all out menghindarkan diri dari depresi hebat sudah tampak yang akan melibatkan jumlah pemompaan daya beli senilai 4 sampai 5 trilyun dollar AS, yang terutama akan dipompakan oleh pemerintah-pemerintah Amerika Serikat, Eropa dan China.

Bahwa gelombang pasang surutnya ekonomi atau business cycle (conjunctuur) melekat pada sistem mekanisme pasar rasanya tidak terbantahkan. Tetapi hal baru yang

(13)

sangat menarik adalah keterkaitan antara satu negara dengan negara lainnya, serta sudah sangat banyaknya uang yang terakumulasi dari kemajuan teknologi dan ekonomi yang menciptakan nilai tambah dalam jumlah yang sangat besar.

Tidak terbayangkan bahwa China mempunyai uang dalam bentuk valuta asing sekitar 2 trilyun dollar AS tanpa Taiwan dan Macau, dan mungkin juga tanpa Hong Kong. Sekitar 1 trilyun dollar sudah tertanam dalam US treasury bonds. Pemerintah China sedang memikirkan strategi apa yang akan mereka tempuh. Membantu AS atau mengembangkan ekonominya dengan cara memompakan daya beli kepada rakyatnya. Mereka mempertimbangkan memompakan daya beli kepada AS karena kemakmuran China bagian terbesarnya diperoleh dari ekspor ke AS dan UE yang sekarang drastis berkurang dan entah sampai kapan akan menyusut terus.

Melihat ini semua, tidak perlu terlampau pesimistik menghadapi resesi ekonomi dunia. Dalam angka-angka memang lebih dahsyat dibandingkan dengan the great depression tahun 1930, tetapi kemampuan negara-negara dan bangsa-bangsa maju juga sudah luar biasa. Mereka juga sudah mengakumulasi daya beli yang luar biasa besarnya untuk melakukan yang dinamakan prime pumping guna mewujudkan jump start perekonomian negara-negara maju, betapapun hebatnya depresi moral dan psikologi yang memegang peran demikian besarnya dalam resesi yang sedang dialami.

Itulah sebabnya dalam waktu yang begitu singkat orang sudah tidak terkejut lagi dan sudah terbiasa berbicara tentang trilyunan dollar AS yang dibutuhkan, sedangkan baru sekitar dua bulan yang lalu semua orang dikejutkan oleh permintaan dana sebesar 700 milyar dollar AS oleh Menteri Keuangan Henry Paulson.

Maka rasanya sudah terlihat a light at the end of the tunnel, karena negara-negara paling kaya sudah sepakat bertindak bersama-sama dengan kekuatan keuangannya yang luar biasa. Kecuali itu, pemerintah AS masih mempunyai kekuatan mencetak uang dollar AS yang akan diserap oleh seluruh dunia, karena kurang lebihnya sudah mentradisi menjadi standard dari mata uang seluruh dunia.

Pemerintah Indonesia mendatang harus memanfaatkan utang luar negeri dengan sebaik-baiknya untuk mendorong bangkitnya sektor ekonomi kecil dan menengah, yang mampu menyerap lapangan kerja dalam jumlah yang besar. Hal ini diungkapkan pengamat ekonomi dari Indef, Fadhil Hasan, terkait pinjaman pemerintah yang disetujui oleh Bank Pembangunan Asia (ADB) sebesar US$1 miliar pada awal Juni 2009.

Pinjaman itu digunakan Indonesia guna mempertahankan pengeluaran anggaran yang diperlukan untuk pengurangan kemiskinan, jaminan sosial, dan pemeliharaan infrastruktur di tengah krisis ekonomi global. Karena itu, penggunaan pinjaman ini harus tepat sasaran dan dapat dipertanggungjawabkan.

(14)

Direktur Sektor Keuangan ADB, Jaseem Ahmed menjelaskan, krisis keuangan global menyebabkan biaya yang harus dikeluarkan Indonesia untuk mengakses pasar utang internasional dan biaya perdagangan menjadi mahal. Hal ini bisa menghambat belanja pemerintah untuk program pelayanan sosial dan pengurangan kemiskinan.

Sebelumnya, Institut Keadilan Global (Institute for Global Justice/IGJ) memaparkan utang Indonesia hingga kuartal IV-2008 sebesar US$149,14 miliar. Secara struktural, mayoritas utang berasal dari Jepang 72,82 persen, berikutnya Amerika Serikat, dan Uni Eropa. Sedangkan lembaga-lembaga keuangan multilateral, seperti Bank Pembangunan Asia (ADB) menguasai 53,41 persen dan Bank Dunia (WB) 35,80 persen.

Perekonomian mengenal konjungtur atau perputaran bisnis. Perekonomian terkadang tumbuh pesat, terkadang melambat atau terperosok, seperti yang dialami hampir semua negara kaya dan miskin saat ini. Di sinilah letak perlunya pemerintah berutang, ujar Faisal, tatkala penerimaan merosot tajam, karena siklus bisnis sedang berada di zona resesi, sementara pengeluaran pemerintah tidak bisa dipangkas.

Dalam kasus ini berutang merupakan perangkat yang menyatu di dalam kerangka kebijakan fiskal. Surat utang perlu diterbitkan secara berkala, sekalipun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) surplus. Apabila APBN surplus, surat utang yang diterbitkan bisa digunakan untuk mengubah profil utang negara agar beban utang semakin ringan. Misalnya, pemerintah menawarkan surat utang baru dengan bunga lebih rendah untuk membayar utang lama, yang bunganya lebih tinggi.

Stimulus dan Stagflasi

Tiga isu besar yang mestinya menjadi kesepakatan bersama negara-negara yang tergabung dalam G-20 dapat dideskripsikan sebagai berikut. Pertama, negara G-20 saat ini sekurangnya mengontrol 80% kegiatan ekonomi dunia. Artinya, jika kebijakan yang diproduksi negara-negara anggota itu bisa terpadu, prospek keberhasilan pemulihan ekonomi menjadi lebih cerah. Isu kebijakan yang harus ditekankan adalah soal pembukaan akses pasar dan harmonisasi kebijakan fiskal/moneter.

Saat ini hampir semua negara, termasuk negara maju, lebih protektif terhadap pasar domestiknya sehingga penetrasi perdagangan internasional menjadi lemah. Implikasinya, pergerakan kegiatan ekonomi sulit tumbuh sehingga bisa mengganggu pemulihan ekonomi global. Sementara itu, kebijakan fiskal sudah berada di jalur yang benar, yakni ekspansi pengeluaran negara diperbesar. Namun, dalam hal kebijakan moneter belum berlaku kebijakan yang seragam.

Kedua, stimulus fiskal yang luar biasa besar berpotensi menjadi sumbu ledakan dalam jangka menengah/panjang. Penyebabnya, megastimulus itu dibiayai utang (domestik/asing) yang menimbulkan beban pada masa depan.

(15)

Beban itu akan berwujud dalam dua hal: (i) anggaran negara masing-masing negara akan terbebani dengan pembayaran utang sehingga dana bagi kepentingan pembangunan ekonomi/sosial bakal terpangkas akibat ruang fiskal yang sempit; (ii) eskalasi program yang didanai uang yang sedemikian besar tanpa diiringi penambahan barang/jasa dalam jumlah yang proporsional pasti berdampak inflatoir.

Jika problem inflasi berbarengan dengan pertumbuhan ekonomi yang tidak kunjung pulih, ini berpotensi terjadi stagflasi (stagnasi plus inflasi). Penyakit tersebut bakal sulit disembuhkan lagi jika tidak ditangani secara hati-hati. Karena itu, besaran stimulus ekonomi mesti dirasionalisasi secara cermat.

Ketiga, problem yang lebih fundamental saat ini sebetulnya bukan sekadar mengumpulkan dana global dan setelah itu dibagi-bagikan ke negara yang membutuhkan. Hampir semua ekonom percaya, seberapa pun sulitnya krisis sekarang pada saatnya konjungtur ekonomi kembali akan bergerak.

Masalahnya, pemulihan ekonomi itu bakal berlangsung lama bila pilar-pilar terpenting penyebab krisis ekonomi tidak dipagari secara ketat. Dalam hal ini, forum G-20 harus mengambil prakarsa yang lebih berani untuk memagari sektor keuangan dengan regulasi yang ketat sehingga tidak memiliki ruang gerak menjadi komoditas yang diperdagangkan sendiri.

Sektor keuangan harus dikembalikan ke khitahnya sebagai instrumen transaksi dan bukan sebagai komoditas transaksi. Lebih dari itu, sektor keuangan hadir untuk melayani pergerakan kegiatan ekonomi di sektor riil yang memberi nilai tambah atas setiap produksi barang/jasa.

Patologi Birokrasi

Indonesia perlu memanfaatkan forum G-20 sebagai panggung yang tepat untuk menyuarakan kepentingan negara berkembang. Kepentingan negara berkembang sendiri adalah mengurangi ketergantungan dan intervensi negara maju. Ketergantungan terjadi sebagian karena kelemahan negara berkembang sendiri dalam mendesain kebijakan ekonomi yang rasional.

Namun, dalam banyak hal, ketergantungan berlangsung akibat dominasi kebijakan ekonomi yang disodorkan negara-negara maju. Dalam soal ini, kesepakatan yang diratifikasi dalam perjanjian-perjanjian di bawah payung WTO (Wolrd Trade Organization) sarat dengan manipulasi yang menggilas perekonomian negara berkembang.

Sementara itu, intervensi negara maju dapat dilihat dari pengaruhnya terhadap pembuatan kebijakan di negara berkembang, misalnya dalam privatisasi, penanamam modal asing, dan sumber daya alam. Secara subtil, proses regulasi di bidang itu kerap diwarnai aroma suap dari negara maju.

(16)

4. KESIMPULAN

Sejak krisis ekonomi, tingkat pertumbuhan ekonomi belum dapat mencapai perkembangan yang diharapkan sebagaimana dicapai dalam pembangunan ekonomi Orde Baru. Meskipun laju pertumbuhan ekonomi sejak tahun 1999 masih positif, tetapi belum dapat menjawab persoalan yang dihadapi oleh perekonomian kita setelah dalam tahun 1998 kita berada pada lembah konjungtur ekonomi yang terdalam karena pertumbuhan ekonomi mencapai minus hingga dua digit.

Pencapaian tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi seolah menjadi kunci dalam upaya menjawab persoalan kemiskinan, pengangguran dan daya beli. Kemiskinan dan pengangguran, meski secara relatif menurun, tetapi masih jauh dari memadai. Misalnya dalam persoalan kesempatan kerja, yang dihadapi adalah rendahnya elastisitas kesempatan kerja, dimana tingkat pertumbuhan ekonomi tidak dapat mengatasi laju pertumbuhan angkatan kerja.

Jika berpatokan pada organisasi buruh internasional (ILO), setiap terjadi pertumbuhan ekonomi sebesar 1 persen hanya mampu menyerap tenaga kerja sebesar 400.000. Maka jika pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 3,5-4 persen, hal itu masih jauh dari memadai untuk memecahkan problem ketenagakerjaan. Sekarang ini terdapat sekitar 35 juta penganggur. Untuk mengatasi masalah pengangguran ini minimal dibutuhkan pertumbuhan ekonomi sebesar 6-7 persen per tahun.

Selain pertumbuhan ekonomi yang masih rendah, krisis ekonomi juga menyebabkan daya saing pertumbuhan ekonomi ikut merosot. Indeks daya saing pertumbuhan ekonomi Indonesia masih sangat rendah. Di lima negara anggota ASEAN, indeks daya saing pertumbuhan ekonomi Indonesia merupakan yang terendah. Indeks daya saing pertumbuhan ekonomi (growth competitive index/GCI) itu diukur dengan tiga pilar indikator, yaitu lingkungan ekonomi makro, kualitas institusi publik, dan teknologi.

Salah satu variabel dalam indikator lingkungan ekonomi makro yang dilihat adalah peringkat kredit. Peringkat kredit di Indonesia juga masih buruk dibandingkan dengan negara lain, seperti Tiongkok, India, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam. Dilihat dari indikator institusi publik, salah satu indikator yang dilihat adalah masalah korupsi.

Dampak dari rendahnya daya saing pertumbuhan akan berdampak terhadap rendahnya minat investasi di Indonesia. Meskipun masalah penempatan investasi sangat bergantung pada investor itu sendiri, tetapi berbagai ganjalan yang dapat mengganggu minat investasi harus segera dieliminasi. Terutama menyangkut ekonomi biaya tinggi karena KKN, lemahnya kepastian hukum, stabilitas dan keamanan.

Sementara itu, untuk indeks daya saing bisnis Indonesia (business competitive index/BCI) juga masih sangat rendah dibandingkan dengan empat negara ASEAN lainnya.

(17)

Dalam menentukan indeks daya saing bisnis, Forum Ekonomi Dunia melihat dua indikator, yaitu kegiatan dan strategi perusahaan serta kualitas lingkungan bisnis.

Bagaimana memacu pertumbuhan ekonomi yang tinggi, sementara itu, kondisi domestik dan faktor eksternal juga masih lesu. Kondisi eksternal yang masih lesu jelas berpengaruh terhadap kinerja perekonomian. IMF memperkirakan ekonomi dunia akan bertumbuh sekitar 2,2% sepanjang 2009. Sementara itu, Komisi Eropa memproyeksikan pertumbuhan ekonomi dunia akan turun dari 3,75% pada 2008 menjadi 2,25% pada 2009. Adapun, Fitch Ratings memproyeksikan pertumbuhan ekonomi dunia tahun 2009 hanya akan mencapai 0,9%, pertumbuhan terendah sejak awal tahun 1990-an, dan jauh di bawah angka 3,5% yang menjadi angka pertumbuhan rata-rata dunia selama lima tahun terakhir. Kondisi eksternal yang buruk jelas memerangi kondisi ekspor dan investasi Indonesia.

Mengharapkan dari sisi konsumsi domestik dan belanja pemerintah juga tidak bisa optimal. Jika kita lihat dari sisi penyebaran pertumbuhan, faktor konsumsi masih sangat dominan, terutama dukungan dari kalangan menengah atas, yang mempunyai tabungan berlebih. Tetapi, pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh permintaan domestik ini, memiliki sejumlah keterbatasan karena sifatnya sangat bergantung pada daya beli. Sementara itu, peran dunia usaha, seperti investasi juga mengalami penurunan. Mengenai struktur pertumbuhan ini bisa dilihat dari produksi antarsektor. Sektor industri boleh dikatakan masih sulit berkembang. Khusus industri manufaktur untuk ekspor tidak akan mengalami lonjakan besar.

Ekonomi Indonesia pada umumnya cukup sehat, antara lain bisa melaju dengan kecepatan sekitar 6% setahun (pertumbuhan PDB), akan tetapi ada beberapa resiko sistemik dan non-sistemik yang harus diwaspadai. Kalau beberapa resiko atau kelemahan itu tidak ditanggapi secara serius maka ekonomi Indonesia bisa digoncangkan lagi oleh suatu krisis.

Berdasarkan teori konjungtur yang telah disebutkan sebelumnya, yang berlaku di Indonesia pada umumnya adalah teori overinvestment. Sehingga tidak akan banyak manfaatnya untuk meningkatkan investasi terus dengan memompa atau memperbesar daya beli masyarakat, karena krisis terjadi justru disebabkan oleh overinvestment. Yang perlu dilakukan oleh pemerintah adalah sekedar supaya resesi tidak menjadi terlampau parah. Secara mental, Indonesia harus sudah siap dengan proses alamiah untuk mencapai keseimbangan baru. Upaya yang dapat dilakukan antara lain tight money policy, penjadwalan kembali proyek-proyek besar tanpa pandang bulu milik siapa proyek itu, dan pengendalian kredit komersial dari luar negeri. Hal tersebut untuk mengerem investasi, dimana Indonesia memasuki resesi yang akan merupakan proses yang menyakitkan, tetapi tidak bisa dihindarkan. Ini adalah biaya yang dari waktu ke waktu harus dibayar karena ingin memiliki ekonomi yang tidak sentralistik dan tidak otoriter. Maka Indonesia harus menghadapi resesi sekarang ini dengan tenang dan wajar, karena gelombang ekonominya

(18)

sedang surut. Yang jelas, boom pasti akan datang setelah mencapai the lower turning point.

Selain itu, yang perlu ditegakkan adalah konsistensi dalam pelaksanaan dan disiplin baja tanpa pilih kasih. Perlu adanya pemantauan dan antisipasi terhadap perubahan kondisi psikologi massa yang setiap saat mendadak bisa mencapai momentumnya, agar theory of the rational expectation yang negatif tidak terjadi. Pemerintah perlu siap dengan gebrakan-gebrakan psikologis bilamana sewaktu-waktu nanti diperlukan.

(19)

Daftar Pustaka

1. Kwik Kian Gie, Kondisi Ekonomi Indonesia dan Gelombang Pasang Surutnya, 2009. 2. Kwik Kian Gie, Krisis Keuangan Global, 2009.

3. Kelik Prakosa, Utang Dorong Ekonomi Kerakyatan, Tetap Berutang, beritabaru.com, 2009.

4. Fahruddin Salim, Mengevaluasi Target Ekonomi Capres, Kandidat Doktor Manajemen Bisnis Unpad, Tim Ahli di DPR-RI, Suara Pembaruan Online, 2009.

5. Ahmad Erani Yustika, Weak Bureaucracy Sulit Jangkau G-20, Ketua Program Studi Magister Ilmu Ekonomi Universitas Brawijaya, direktur eksekutif Indef di Jakarta, 2009. 6. M. Sadli, Apakah Ekonomi Indonesia Bisa Diterpa Krisis Lagi?, Koran Tempo, 2005

Referensi

Dokumen terkait

Berbagai indikator ekonomi makro moneter sepanjang tahun 2005 menunjukkan bahwa perekonomian Indonesia masih belum stabil, ini berarti ekonomi Indonesia masih rawan terhadap

Metode tersebut digunakan untuk melihat bagaimana hubungan antara kebijakan ekonomi yang dilakukan pemerintah (kebijakan fiskal dan moneter) dan pertumbuhan ekonomi baik dalam

Metode tersebut digunakan untuk melihat bagaimana hubungan antara kebijakan ekonomi yang dilakukan pemerintah (kebijakan fiskal dan moneter) dan pertumbuhan ekonomi baik dalam

Akmaluddin Hasibuan: Prospek Perkebunan Indonesia Dalam Pembangunan Ekonomi Nasional, 2005... Akmaluddin Hasibuan: Prospek Perkebunan Indonesia Dalam Pembangunan Ekonomi

Manajemen Lembaga Keuangan, Kebijakan Moneter dan Perbankan, Edisi Kelima, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.. Dendawijaya, Lukman, 2005, Manajemen Perbankan,

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1966 Tentang Penarikan Diri Republik Indonesia dari Keanggotaan Dana Moneter Internasional (International Monetary

Penelitian ini mencoba mengetahui variabel ekonomi moneter yakni nilai tukar dan jumlah uang beredar berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi yang diukur melalui

Setelah dilakukan analisis interaksi kebijakan fiskal dan moneter terhadap stabilitas ekonomi makro diatas, maka penulis menyimpulkan bahwa kebijakan moneter lebih efektif