• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kepemimpinan Nasional Berbasis Kearifan Lokal Menuju Masyarakat Yang Tatatentrem Kertaraharja

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kepemimpinan Nasional Berbasis Kearifan Lokal Menuju Masyarakat Yang Tatatentrem Kertaraharja"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

0

KEPEMIMPINAN NASIONAL

BERBASIS KEARIFAN LOKAL

MENUJU MASYARAKAT

TATA TENTREM KERTARAHARJA

Makalah ini disampaikan pada Orasi Ilmiah Wisuda Sarjana

Perguruan Tinggi Puangrimaggalatung Wajo Sulawesi Selatan

Oleh:

Dr. H. Anton Charliyan, Drs. MPKN.

JAKARTA

2013

(2)

1

KEPEMIMPINAN NASIONAL

BERBASIS KEARIFAN LOKAL MENUJU MASYARAKAT

TATA TENTREM KERTARAHARJA

ABSTRAK

Tulisan ini sekadar mengungkap sebagian kearifan lokal kepemimpinan yang dikenal dengan istilah “parigeuing” (mengingatkan/menyadarkan/eling), sebagaimana tertuang dalam naskah Sunda buhun abad 16 Masehi, yakni Naskah Sanghyang Hayu (SH), Sanghyang Siksakandang Karesian (SSK), Fragment Carita Parahiyangan (FCP), dan Amanat Galunggung(AG), serta kepemimpinan Ala Gadjah Mada, khususnya yang menyangkut masalah tuntunan moral atau pedoman bagi seorang pemimpin dalam melaksanakan tugas dan kepemimpinannya, agar berhasil dan dicintai baik oleh rakyat maupun oleh komunitasnya. Berbicara istilah arti harafiah parigeuing yang berarti mengingatkan, menyadarkan/eling, selaras dengan salah satu filosofi masyarakat Bugis yaitu Sipaka Inga, Sipaka Tahu, Sipaka Lebi (saling memngingatkan, saling memberi tahu, dan saling menghargai).

Seorang pemimpin menurut naskah SSK, adalah bahwa seorang pemimpin harus menjiwai konsep „tiga rahasia‟ sebagai peneguh alam buana agar berhasil mencapai kejayaan atau yang lebih dikenal sebagai konsep Tri Tangtu dibuana yaitu yang dikemas dalam konsep“trigeuing” (3 peringatan) yakni : sebagai Prabu, Hulun, Palanka(Pemimpin, Abdi,

Negara) atau yang lebih spesifik yaitu; parigeuing, geuing, upageuing

(Pemimpin, Sandang, Pangan). Adapun yang tertulis dalam naskah Sanghyang Hayu, ketiga rahasia tadi dibagi menjadi lima bagian, sehingga jumlahnya menjadi lima belas karakter yang harus mendarah daging dalam diri pemimpin, yaitu

1. Budi(bijak)-Guna (arif)-Pradana (saleh/utama/mulya) 2. Kaya (sehat)-Wak(bersabda)-Cita (hati)

3. Pratiwi(membumi)-Akasa (angkasa)-Antara (madya)

4. Mata (penglihatan)-Tutuk (ucapan)-Talinga(pendengaran)

5. Bayu(ucapan/angin)-Sabda(itikad/perbuatan)Hedap(kalbu/pikiran).

Disamping itu seorang pemimpin dalam naskah ini harus juga berpegang teguh kepada prinsip astaguna (delapan kearifan), yakni: Animan (lemah lembut, santun),Ahiman (tegas), Mahiman (cerdas,

berwawasan luas), Lagiman (terampil & cekatan), Prapti (tepat sasaran),

Prakamya (ulet & tekun), Isitwa (jujur, benar), dan Wasitwa (terbuka). Salah satu prasyarat untuk menjadi pemimpin yang sempurna, sebelum seseorang menjadi pimpinan ia harus bisa menjadi seorang abdi yang setia dulu (Satya dikahulunan) yakni harus mempunyai sifat-sifat : tidak pernah

(3)

2

mengeluh, tidak mudah kecewa, tidak sulit diperintah, tidak pernah iri dengki, tidak pernah goyah kesetiaanya, tidak pernah melanggar pantangan, tidak mencelakakan sesama (Mulah luhya, Mulah kuciwa,

Mulah ngontong dipiwarang, Mulah nyetnyot tineung urang, deungdeungeun sakahulunan). Disamping itu sebagai seorang abdi harus juga memiliki pribadi sebagai berikut yang lebih dikenal sebagai empat larangan (opat larangan) yakni : Tidak mudah tersinggung, tidak

mudah merajuk, tidak mudah menggerutu, dan tidak mudah menyerah (mulah babarian, mulah pundungan, nulah kukulutus, mulah

humandeur

Pemimpin yang legendaris atau yang namanya harum mewangi

menurut SSK adalah pemimpin yang memiliki sifat Dasa prasanta, yaitu sepuluh cara memberi perintah yang baik yang mampu menenangkan

hati, yakni: Guna (bermanfaat), Ramah (santun), Hook (kharismatik),

Pésok (panutan & dapat dipercaya), Asih (berjiwa sosial), Karunya

(berhati nurani), Mupreruk (melindungi), Ngulas (teliti & menerangkan dengan jelas), Nyecep (menyejukkan), Ngala angen (mengambil hati).

Berdasar SSK, seorang pemimpin digelari sebagai tokoh, jika dalam pribadinya sudah melekat karakter kepemimpinan yang disebut

pangimbuhning twah atau pelengkap untuk mempunyai

tuah/kharisma/pamor, yakni Emét (Tidak serakah), Imeut (teliti), Rajeun (rajin), Leukeun (tekun), Paka Pradana (tulus jiwa sosial), Morogol-rogol (semangat), Purusa ning Sa (berani, jujur, tanggung jawab),Widagda (adil,bijak), Gapitan (yakin & rela berkorban), Karawaléya (berjiwa sosial),Cangcingan (cekatan),dan Langsitan(cerdas).

Seorang pemimpin yang baik disamping harus memiliki sikap positif, harus mampu pula berpantang/menjauhi kesalahan–kesalahan yang negatif agar kepemimpinannya berkharisma sehingga pada akhirnya akan mampu mewujudkan pemimpin sebagai “Master” yang melegenda maka dari itu harus menjauhi .Kemudian agara pemimpin sebagai „master‟, harus menjauhi watak manusia yang membuat kerusakan di dunia,yang disebut

Catur Buta, yaitu Burangkak, Mariris, Maréndé, Wirang (kasar,

menjijikan, sadis, dan licik

Konsep kepemimpinan Sunda menurut SSK, FCP, SH, dan AG, setidaknya harus mampu berperan sebagai leader, manajer, entertainer, entrepreneur, commander, designer, father, servicer, dan teacher.

Kesembilan kriteria tersebut selayaknya harus mampu diejawantahkan dan

dicerminkan dalam diri dan sikap seorang pemimpin dan kepemimpinannya, menuju pemimpin ideal, sehingga apabila seseorang sudah mampu memiliki kesembilan kriteria tersebut maka ia akan menjelma sebagai Master Leadership atau sebagai “tokoh” yang

legendaris, yang harum mewangi namanya, sebagaimana gelar raja-raja

(4)

3

Siliwangi” yaitu seorang raja yang dicintai, dikagumi, dan disegani

masyarakatnya karena mengedepankan prinsip pakeun hebeul jaya dibuana pake gawe kreta bener, pake gawe kreta raharja, ulah botoh bisi kokoro, sebagaimana yang tertuang dalam prasasti kawali Astana gede Ciamis yang artinya kalau kita ingin jaya didunia pegang teguh kebenaran karena itulah yang akan membawa kepada kesejahteraan dan keadilan, bangun kekuatan dengan kedamaian, bangun kekuatan dengan kerendahan hati, saling mengasihi antar sesama, dan jangan serakah karena akan membuat diri jadi sengsara serta yang paling utama adalah mampu memberdayakan dan mensejahterakan orang banyak (Ngertakeun Jalma rea) dengan konsep

(5)

4

I. Pendahuluan

Seandainya di era globalisasi dan canggih saat ini masih terbersit hasrat untuk melirik sejarah dan kearifan lokal budaya masa lampau, hal itu merupakan sikap yang cukup bijaksana, karena jika kita cermati secara seksama, tanpa kita sadari banyak manfaat serta informasi budaya hasil kreativitas dan warisan karuhun (warisan leluhur) terdahulu yang bisa kita gali dan kita ungkapkan dimasa kini. Salah satu sumber informasi budaya masa lampau yang sangat penting adalah naskah, yang dapat dipandang sebagai dokumen budaya, karena berisi berbagai data dan informasi ide, pikiran, perasaan, dan pengetahuan sejarah, serta budaya dari sebuah bangsa atau kelompok-kelompok sosial budaya masyarakat tertentu.Sebagai sumber informasi, dapat dipastikan bahwa naskah-naskah buhun(kuno) termasuk salah satu unsur budaya yang erat kaitannya dengan kehidupan sosial budaya masyarakat yang melahirkan dan mendukungnya, yang ditulis pada kertas, daun lontar, kulit kayu, bilahan bambu, atau rotan, dan lain-lain.

Naskah-naskah tersebut secara umum isinya mengungkapkan peristiwa masa lampau yang menyiratkan aspek kehidupan masyarakat, terutama tentang keadaan sosial dan budaya, yang meliputi: sistem religi/keagamaan, teknologi dan benda materiil, mata pencaharian hidup/ekonomi, kemasyarakatan, ilmu pengetahuan/pendidikan, bahasa, dan seni (Koentjaraningrat, 1987; Suryani NS., 2010: 48)..

Memang benar pengaruh globalisasi tidak bisa kita hindari, namun sebagai generasi muda kita dituntut agar pandai memilih dan memilah serta mencerna budaya asing yang masuk, mana yang baik dan mana yang tidak baik untuk diterima. Di era globalisasi saat ini ada kecenderungan bahwa masyarakat lebih menghargai budaya asing dibandingkan budaya

“pituin”(asli)kita sendiri, meskipun „unsur luar‟ itu berasal dari

(6)

5

terhadap kebudayaan bangsa kita sendiri. Untuk itu, sungguh arif andaikan kita mau mencerna kearifan lokal yang terpendam dalam khazanah budaya peninggalan nenek moyang, khususnya yang tercermin dalam naskah, yangberhubungan dengan masalah kepemimpinan.

Karya tulis ini mengacu kepada beberapa teori yang berkaitan dengan masalah kepemimpinan, sebagaimana dikemukakan Glenn (1992) Stogdill (1974) Locke (1997), Gardner (1986 & 1988), Ekadjati (2006), Charliyan (2009 & 2012), (Suryalaga, 2009), Thoha (2009), dan Suryani NS (2009 & 2012).

Tulisan ini sekadar mengungkap konsep kepemimpinan global berbasis kearifan lokal, yang dikenal dengan istilah “parigeuing”(mengingatkan, menyadarkan, eling), sebagaimana tertuang dalam naskah Sunda buhun(kuno) abad 16 Masehi (1518 M), khususnya yang menyangkut masalah tuntunan moral atau pedoman bagi seorang pemimpin dalam melaksanakan tugas dan kepemimpinannya agar berhasil dan dicintai, baik oleh rakyat maupun oleh bawahannya, yang di dalamnya tentu saja berkaitan dengan segala aspek kehidupan antara pemimpin dengan yang dipimpinnya serta aspek „real‟ yang terjadi di masyarakat masa kini.

Masalah kepemimpinan terungkap dalam naskah Sunda abad ke-16 Masehi inisebagaimana terungkap dalam naskah Sanghyang Siksakandang

Karesian (SSK), Fragment Carita Parahiyangan (FCP), Amanat Galunggung (AG), dan Sanghyang Hayu (AG).Naskah-naskah tersebut

berupa daunlontar, beraksara serta berbahasa Sunda buhun (kuno), yang mungkin saja sudah tidak dikenali dan dipahami lagi oleh sebagian masyarakat dimasa kini.

(7)

6

2. Kepemimpinan

2.1 Definisi

Definisi kepemimpinan sangatlah beragam. Glenn (1992) menyebutkan bahwa sedikitnya ada kurang lebih 350 definisi mengenai kepemimpinan. Dari sekian banyak definisi dimaksud, Stogdill (dalam

Handbook of Leadership, 1974) menegaskan, bahwa hanya ada tiga

golongan kepemimpinan, yakni :

a. golongan pertama adalah kepemimpinan sebagai pusat proses gerakan kelompok;

b. kedua kepemimpinan sebagai seni memengaruhi; dan

c. ketiga kepemimpinan sebagai pembedaan kekuasaan, deferensiasi peranan, dan inisiasi struktur.

Tidak ada sebuah definisi kepemimpinan yang dapat dirumuskan secara lengkap untuk mengabstraksikan perilaku sosial atau perilaku interaktif manusia di dalam organisasi yang memiliki regulasi dan struktur tertentu, serta misi yang menyeluruh.Meskipun demikian, ada satu definisi yang mampu mewakili dan dapat dijadikan rujukan berkenaan dengan kepemimpinan. Locke (1997) menjelaskan bahwa:“kepemimpinanadalah merupakan suatu proses menggerakkan (inducing) orang lain menuju sasaran bersama”.

Definisi sebagaimana dikemukan Locke dimaksud merupakansuatu

Relational conceptyakni:“Kepemimpinan itu hanya ada dalam proses

relasi dengan orang lain (para pengikut). Apabila tidak ada pengikut, maka tidak ada yang disebut pemimpin”.Tersirat dalam definisi ini sebuah premis, bahwa para pemimpin yang efektif harus mengetahui bagaimana membangkitkan inspirasi dan berelasi dengan para pengikut mereka.

Kepemimpinan merupakan suatu proses. Agar mampu memimpin, seorang pemimpin harus melakukan sesuatu.Gardner (1986 & 1988) melalui observasinya menegaskan bahwa kepemimpinan tidak lebih

(8)

7

darisekedar menduduki suatu otoritas. Kendati posisi otoritas yang diformalkan, yang mungkin akan sangat mendukung proses kepemimpinan, namun jika hanya sekedar menduduki posisi tersebut itu tidak otomatis menjadikan seseorang layak disebut sebagai seorang pemimpin. Secara singkat bisa dirumuskan bahwa leader by action but leader not by position yang artinya bahwa kepemimpinan itu tidak harus terikat pada suatu posisi, jabatan atau kedudukan belaka tapi yang paling penting sikap dan perbuatan mampu menunjukan bahwa ia seorang pemimpin sesuai dengan profesi dan keahliannya masing-masing yang mampu membawa anggota atau masyarakatnya untuk mencapai tujuan bersama.

2.2 Definisi Menurut Naskah Sunda

Kemudian apabila kita gali dari SSK III bahwa pemimpin di istilahkan sebagai parigeuing yang berarti mengingatkan, secara lebih jauh mengandung pengertian bahwa seorang pemimpin itu harus selalu eling mengingatkan para anggotanya untuk mencapai tujuan melalui jalan yang benar. Hal ini sejalan dengan intisari surat : Wall asri : Marilah kita saling mengingatkan tentang kebenaran dengan penuh kesabaran (Wattawwa saubillhaq wattawwa saubilsobr). Kepemimpinan juga harus mengacu pada konsep Tri Tangtu Dibuana (Tiga Ketentuan untuk Keseimbangan Dunia) yakni sebagai Prabu yang melambangkan jagat keamanan, Rama sebagai jagat kemakmuran, Resi sebagai jagat kesejahteraan dan keadilan. Konsep selanjutnya adalah pemipin sebagai Hulun (abdi), Ratu (Pemimpin) dan Palanka (Negarawan) yang artinya bahwa sifat utama sebagai pemimpin itu harus mampu sebagai abdi dulu, sebagai pelayan dari masyarakatnya jangan sekali-kali bermimpi menjadi pemimpin kalau belum mampu menjadi seorang abdi/ pelayan dari masyarakatnya (satya Ha Prabu.) setelah itu baru sesorang berhak sebagi pemimpin yang harus mempunyai sifat utama yakni bawalaksana (konsekuen, konsisten, komitmen) sacidu

(9)

8

metu seucap nyata, satu pikiran, satu perkataan dan satu perbuatan dimana kesemuanya itu semata-mata hanya untuk Palanka sebagai pemimpin yang negarawan yang senantiasa mengutamakan kepentingan orang banyak daripada kepentingan pribadinya serta yang mampu ngalambakeun jalma rea (mensejahterakan masyarakat banyak) disertai dengan sifat yang rendah hati dan tidak serakah sebagaimana yang tertuang dalam prasasti kawali pakeun heubeul jaya dibuana pake gawe kreta bener pake gawe kreta raharja, ulah botoh bisi kokoro. Dan yang terakhir dalam membawa masyarakatnya untuk mencapai tujuan dilakukan dengan sangat halus sehingga masyarakat tersebut tidak terasa dibawa ke arah tujuan tersebut seperti air sungai yang mengalir (Ilmu wujud patan jala), bahkan siapapun yang dititahkan mendapat tugas untuk mencapai tujuan tersebut merasa senang dan bangga karena sebagai tugas bangsa dan negara.

Oleh sebab itu Kepemimpinan harus mampu mengajak atau membujuk orang lain untuk mengambil tindakan. Pemimpin harus mampu membujuk pengikutnya melalui berbagai cara, seperti menggunakan otoritas yang terlegitimasi, menciptakan model (menjadi teladan), penetapan sasaran bersama, mampu memberi penghargaan (reward) dan hukuman (punishment), restrukturisasi organisasi, dan mengkomunikasikan visi.

Seseorang disebut pemimpin, jika sudah mampu memiliki dan menyelaraskan konsep (idea, pemikiran), norma (aturan), dan mewujudkan aktualisasi kepemimpinanya (perilaku) kepemimpinannya. Intisari kepemimpinan adalah kualitas tingkah laku dan kemampuan individu dalam berinteraksi sosial untuk mencapai suatu tujuan yang disepakati bersama. Gaya kepemimpinan dapat berorientasi kepada hubungan yang harus dibina dengan kelompoknya (concern for people) dan berorientasi kepada hasil yang ingin dicapainya (concern for production). Semua ini perlu dikaji secara menyeluruh, yang mencakup tataran IQ (Intelectual

(10)

9

Quotient), EQ (Emotional Quotient), SQ (Spiritual Quotient), dan AQ (Actional Quotient) sebagai sinergi pragmatiknya (Suryalaga, 2009:

129-130).

2.3 Gaya Kepemimpinan

Gaya atau style kepemimpinan sangat mempengaruhi keberhasilan seorang pemimpin dalam mempengaruhi perilaku para pengikut atau bawahannya. Istilahgaya secara mendasar sama dengan „cara‟ yang digunakan oleh seorang pemimpin dalam mempengaruhi para pengikut atau bawahannya. Gaya kepemimpinan merupakan normaperilaku yang digunakan seseorang pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi perilaku orang lain seperti yang Ia lihat (Thoha, 2009: 49).

Ada sebuah pertanyaan yang secara refleks mungkin bisa dan tidak bisa dijawab oleh hadirin di sini.Apa pentingnya sebuah „naskah kuno‟ bagi peradaban dan perkembangan budaya masa kini, dan mengapa naskah sangat penting bagi kehidupan masyarakat masa kini? Naskah sebagai dokumen budaya sudah tidak dikenal lagi. Meskipun sebenarnyamasih sangat menarik kita gali, ungkap, bahkan dapat kita jadikan sekadar tuntunan moral dalam kehidupan kita saat ini. Penggalian teks naskah-naskah baik Sunda, Jawa, Bugis, Makasar, Batak dan lain-laintersebutdapat membantu kita mengungkap kearifan lokal budaya Bangsa kitadimasa silam yang berkaitan dengan masalah “konsep dan pola kepemimpinan”, justru dengan mengacu pada kearifan bangsa kita sendiri pasti akan lebih membumi, karena sudah jadi filosofi, tradisi, dan budaya yang mengakar dan teruji ratusan bahkan ribuan tahun sesuai dengan geografis, situasi dan karakter masyarakat itu sendiri.Yang mana saat ini kita terlalu sering berorientasi pada konsep kepemimpinan model Eropa/Barat yang tentu saja belum tentu sesuai dengan tradisi akar budaya ketimuran yang akhirnya menjadikan kita sebagai : Tuan asing dirumah sendiri sehingga bisa jadi

(11)

10

“salah asuh” dari awal, karena terbius oleh konsep-konsep yang belum tentu sesuai dengan budaya kita. Dalam hal ini bukanya Penulis anti dengan konsep Barat, konsep-konsep Barat yang baik tetap akan kita jadikan referensi, namun kita harus lebih mengutamakan dan menggali konsep-konsep kearifan lokal kita yang sudah teruji, adapun konsep Barat bisa berperan sebagai pendukung dari konsep kearifan lokal kita sendiri, sehingga dengan demikian konsep-konsep, ilmu-ilmu, dan filosofi lokal, bisa menjadiTuan dirumah kita sendiri.

2.3 Kepemimpinan Berbasis Kearifan Lokal

2.3.1 Naskah Sanghyang Hayu

Istilah “Parigeuing”atau kepemimpinan ala Sunda yang terungkap dalam naskah SSK,yang ditulis pada abad ke-16 Masehi, merupakan naskah kuno yang terbuat dari kulit nipah. Secara umum isinya mengisahkan tuntunan atau tatacara dalam upaya mencapai kebaikan hidup. Kemudian konsep kepemimpinan berdasarkan naskah Sanghyang Hayu pun mendasari konsep tiga rahasia, atau yang lebih dikenaldengan konseptri tangtu di buanadalam SSKK yang dikenal sebagai Tri geuing yaitu : geuing (sandang), upa geuing (pangan), dan parigeuing (memimpin), dimana dalam Naskah Sanghyang Hayu konsep Tri Tangtu tersebut dibagi dalam 5 bagian yakni:

1. Budi (bijak) – guna (arif) – pradana (saleh)

2. Kaya (sehat/kuat) – wak (wadah/badan) – cita (punya tujuan) 3. Pratiwi (bumi) – akasa (angkasa) – antara (antara)

4. Mata (penglihatan) – tutuk (ucapan) – talinga (pendengaran) 5. Bayu (angin) – sabda (amanah) – hedap (tekad).

Konsep Tri Tangtu di buana ini merupakan sebuah konsep Kesisteman dalam pola berperilaku suku bangsa Sunda/Nusantara pada

(12)

11

umumnya baik perilaku dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang mengisyaratkan tiga ketentuan sebagai satu kesatuan, berbeda-beda tetapi tetap satu atau yang sekarang kita kenal sebagai Bhineka Tunggal

Ika.

Kelima belas karakter seperti tersurat dalam naskah Sanghyang Hayu harus mendarah daging dalam diri seorang pemimpin, dan untuk bisa menjadifigur seorang pemimpin ideal harus berpegang teguh kepada prinsip astaguna „delapan kearifan‟, sehingga kepemimpinannya berjalan selaras, baik, dan harmonis. Kedelapan kearifan tersebut sebagaimana dikemukakan Darsa (1998) adalah sebagai berikut:

a. Animan (lemah lembut), seorang pemimpin harus memiliki sifat yang lemah lembut, dalam arti tidak berperilaku kasar, agar orang yang dipimpinnya merasa diperhatikan.

b. Ahiman (tegas), seorang pemimpin harus bersikap tegas, dalam pengertian tidak plin plan (panceg hate)

c. Mahiman (berwawasan luas), seorang pemimpin tentu saja harus memiliki berbagai macam pengetahuan dan berwawasan tinggi agar tidak kalah dari bawahannya.

d. Lagiman (gesit/cekatan/trampil), seorang pemimpin pun dituntut agar Dia trampil dan gesit serta cekatan dalam bertindak atau melakukan suatu pekerjaan

e. Prapti (tepat sasaran), seorang pemimpin harus memiliki ketajaman berpikir serta tepat sasaran, karena jika keliru atau berspekulasi hal itu akan menghambat suatu pekerjaan.

f. Prakamya (ulet/tekun), seorang pemimpin juga tentu saja harus memiliki keuletan dan ketekunan yang sangat tinggi. Pemimpin tidak boleh putus asa agar semua pekerjaan bisa diselesaikan dengan baik dan berhasil guna.

(13)

12

g. Isitwa (jujur), seorang pemimpin dituntut memiliki kejujuran, baik dalam perkataan, pemikiran, maupun perbuatan agar dipercaya oleh orang lain (rekan kerja/bisnis/perusahaan/negara lain) maupun bawahannya, sehingga terjalin kesepahaman yang harmonis.

h. Wasitwa (terbuka untuk dikritik), seorang pemimpin harus memiliki sikap „legowo‟ dan bijaksana sehingga mau menerima saran dan terbuka untuk dikritik jika pemimpin itu berbuat salah atau menyimpang dari aturan yang ditetapkan.

Kepemimpinan Astaguna ini sejalan dengan teori “kepemimpinan

berdasarkan sifat” sebagaimana dikemukakan LL. Barnard (1426),

Kilbourne (1927) page (1935) dan Locke & Patrick (1991) yang menitik beratkan bahwa sebagai seorang pimpinan harus memiliki sifat – sifat yang unggul sebagai sebuah ciri khas yang membedakan ia sebagai pemimpin dengan manusia-manusia lainya, atau sejalan dengan teori “Role

Leadership" dari Homan (1950), Kahn (1970), Hunt (1976), Mintzberg

(1978) yang menitik beratkan pada karakter pemimpin yang harus punya peran khusus dalam kelompoknya yang sesuai dengan situasi dan kondisi yang diperlukan pada saat tersebut.

2.3.2 Sanghyang Siksakandang Karesian

Sanghyang Siksakandang Karesian (SSK) mengulas dan mengungkap “parigeuing” yang meliputi sepuluh pedoman atau tuntutan yang harus dimiliki serta dilaksanakan oleh seorang pemimpin dalam rangka membina serta memimpin bawahannya, yang dikenal dengan sebutan Dasa Prasanta. Sepuluh pedoman cara kepemimpinan yang

(14)

13

a. Guna „bijaksana/ kebajikan, perintah yang diberikan oleh seorang

pemimpin dipahami manfaat dan kegunaannya oleh bawahannya, sehingga tidak terjadi kesalahpahaman.

b. Ramah „bertindak seperti orang tua yang bijak dan ramah/bestari‟,

keramahan seorang pemimpin akan menumbuhkan rasa nyaman dalam bekerja dan beraktifitas. Iklim yang kondusif dan mengesankan adanya keramah tamahan akan menjadi „habitat‟ yang sangat baik dan menyenangkan.

c. Hook„sayang atau kagum‟, perintah seorang pemimpin dianggap

sebagai representasi kekaguman atas prestasi dari orang yang diperintahnya.

d. Pésok„memikat hati atau reueus/bangga‟,seorang pemimpin harus

mampu memikat hati bawahannya serta merupakan „kareueus‟ kebanggaan juga bagi bawahannya. Perintah yang disampaikan oleh seorang pemimpin disampaikan dengan cara yang menimbulkan kebanggaan bagi yang diperintah. Hal demikian akan mampu mendorong kepercayaan bawahan yang diperintah.

e. Asih „kasih, sayang, cinta kasih, iba‟, perintah pemimpin harus

dilandasi dengan perasaan kemanusiaan yang penuh getaran kasih.

f. Karunya„ iba/sayang/belas kasih‟, sebenarnya hampir sama dengan asih, namun dalam karunya perintah pemimpin harus terasa sebagai

suatu kepercayaan dari pemimpin kepada yang dipimpinnya

g. Mupreruk„membujuk dan menentramkan hati‟, seorang pemimpin

seyogyanya mampu membujuk dan menentramkan hati yang dipimpinnya dengan cara menumbuhkan semangat kerjanya.

h. Ngulas„memuji di samping mengulas, mengoreksi‟. Seorang

pemimpin tidak ada salahnya memuji pekerjaan atau keberhasilan yang dipimpinnya sebagai penghargaan dan pendorong ke arah yang lebih baik.

(15)

14

i. Nyecep„membesarkan hati dan memberikan kata-kata pendingin

yang menyejukkan hati‟, bisa juga diartikan memberi perhatian baik berupa moril maupun materiil, walau hanya berupa ucapa terima kasih atau pemberian ala kadarnya sebagai penyejuk hati. Demikian juga dikala bawahanya mendapat musibah atau tidak berhasil dalam suatu pekerjaan. Jangan dicela atau dijatuhkan tapi tetap diberi dorongan moril agar lebih semangat lagi.

j. Ngala angen„mengambil hati‟, mampu menarik hati dan simpati

bawahannya atau yang dipimpinnya, sehingga tersambung ikatan silaturahim yang kental dan harmonis.

Dasa Prasanta tersebut, apabila kita cermati secara saksama, kaidahnya berpijak kepada kuantitas dan kualitas hubungan antarmanusia, tetapi tidak dalam kondisi yang kaku dan otoriter. Dalam proses komunikasinya tetap menggunakan asas silih asih, silih asah, dan silih asuh

Karena Dasa Prasanta, kaidahnya berpijak kepada kuantitas dan kualitas hubungan antar manusia (human relationship) namun tidak dalam kondisi hubungan majikan-buruh yang kaku dan otoriter. Dimana dalam proses komunikasinya menggunakan silih asih, silih asah, dan silih asuh. Berdasarkan SSK seseorang dapat dikatakan memiliki keahlian Dasa Prasanta apabila kualitas dirinya telah “mumpuni”. Dalam arti, seorang pemimpin harus “kharismatik”, mempunyai “pamor” atau “tuah”yang terbersit dari kualitas batiniahnya, sehingga akan tampak dalam ciri kepemimpinannya. Konsep dasa prasanta merupakan intisari dari„ilmu

human relation dalam manajemen‟, meskipun secara tersirat dikatakan

bahwa seseorang baru bisa menjadi pemimpin apabila dalam pribadinya melekat karakter kepemimpinan yang disebut pangimbuhning twah atau pelengkap untuk mempunyai tuah/kharisma/pamor).

(16)

15

Dasa Prasanta ini bila kita analisis berdasarkan konsep-konsep kepemimpinan yang ada termasuk dalam kategori teori “Kepemimpinan Humanistik” sebagaimana yang dikemukakan Mc. Gregor (1966), Blake & Mourton (1964), atau Likert (1967) yang menitik beratkan pada “pengembangan motivasi”, atau juga bisa sejalan dengan teori “Kepemimpinan Managerial Strategis” sebagaimana dikemukakan Buckingham & Coffmant (1999), Drucker (1999), atau Kotter (1998) yang juga menitik beratkan pada penyelarasan visi, memberikan inspirasi serta memotivasi dan memberi semangat para pengikutnya. Dasa prasanta inipun juga sejalan dengan teori “Transformasional nilai” sebagaimana dikemukakan Bass Bennis (1993), Burns (1978) atau De Pree (1995) yang menitik beratkan pada penyelarasan, penciptaan, dan pemberdayaan sehingga pemimpin dan para pengikut saling menghargai, saling mengangkat satu sama lain ke tingkat moralitas & motivasi yang lebih tinggi.

Ada dua belas unsure pangimbuhning twah yang harus menjadi ciri-ciri karakter seorang pemimpin. Kedua belas pelengkap ini menitik beratkan kepada aspek-aspek karakter yang harus dimiliki seorang pemimpin berupa karakter positif yang harus dipertahankan dan dikembangkan sebagaimana tertuang dalam naskah SSK (bandingkan Suryalaga 2009:141), yang meliputi :

a. Emét artinya „tidak konsumtif‟. Seorang pemimpin yang terbiasa untuk tidak konsumtif, akan mampu mengendalikan keserakahannya. Pemimpin demikian akan terhindar dari perilaku korup yang tentu saja harus dihindari oleh seorang pemimpin.

b. Imeut„teliti, cermat‟. Jika seorang pemimpin ceroboh dan kurang teliti terhadap pekerjaannya, maka banyak waktu yang terbuang untuk memperbaiki kekeliruannya karena ketidakcermatan yang telah diperbuatnya.

(17)

16

c. Rajeun„rajin‟. Selama hidupnya tetap berkarya, pemimpin yang demikian mampu memanfaatkan durasi usianya dengan pekerjaan yang ditekuninya, bagi pemimpin seperti ini tidak ada hari yang terbuang secara percuma.

d. Leukeun„tekun‟.Ketekunan dalam mencapai tujuan yang dicita-citakan. Ketekunan selalu berkaitan erat dengan kesabaran.

e. Paka Pradana „berani tampil/berbusana sopan, beretika‟. Seorang pemimpin yang tanpa berbekal etika dalam pergaulan, perasaan simpati dan empati pun akan menghilang secara perlahan.

f. Morogol-rogol„bersemangat, beretos kerja tinggi‟. Keinginannya untuk berkarya dengan kualitas unggul dan terbaik, akan mendorong kemampuan ruhaniah yang memompa talenta positif seorang pemimpin untuk diwujudkan dalam kehidupan nyata.

g. Purusa ning sa„ berjiwa pahlawan, jujur, berani‟. Kreasi dan inovasi serta pembaharuan yang berkualitas prima hanya terlahir dari pemimpin yang berjiwa pahlawan. Para pembaharu yang berani menantang kemandegan pemikiran manusia. Kejujuran diibaratkan jarum kompas penunjuk arah yang benar.

h. Widagda„bijaksana, rasional dan memiliki keseimbangan rasa‟. Kesombongan rasio yang kadang-kadang sangat mendominasi pemikiran manusia perlu diimbangi dengan rasa sejati kemanusiaan. i. Gapitan„berani berkorban untuk keyakinan dirinya‟. Keyakinan

merupakan satu-satunya cara untuk mencapai visi hidup seorang pemimpin.

j. Karawaléya„dermawan‟.Hidup adalah kebersamaan dengan orang lain. Kepedulian sosial sangat diperlukan dari seorang pemimpin. k. Cangcingan„terampil, cekatan‟. Hanya pemimpin yang cekatan yang

mampu memanfaatkan kesempatan yang ada karena kesempatan tidak datang dua kali.

(18)

17

l. Langsitan„rapekan‟, segala bisa, multi talenta dan pro aktif. Pemimpin yang pro aktif lah yang berkesempatan meraih sukses.

Konsep, pola, figur, dan gaya kepemimpinan berdasarkan naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian sesuai tugasnya, bahwa seorang Prabu sebagai pemimpin roda pemerintahan (eksekutif) harus ngagurat batu 'berwatak teguh' serta harus mampu ngretakeun bumi lamba, dalam arti bahwa seorang prabu atau pemimpin harus mampu menyejahterakan dan memberdayakan semesta dunia kehidupan. Kita paham benar bahwa dunia kehidupan tersebut meliputi semesta alam dan mencakup kesejahteraan lahir batin. Dengan demikian, tugas pemimpin adalah mewujudkan lingkungan hidup dan kehidupan yang sejahtera, bermatabat dan penuh dengan rahmat dan ridha Sang Pencipta, Allah SWT yang Maha Pengasih serta Maha Penyayang. Itulah yang dimaksud dengan tujuan akhir berbangsa dan bernegara untuk mewujudkan masyarakat yang Tata Tentrem Kertaraharja membangun kekuatan dalam damai untuk mewujudkan kesejahteraan bangsa.

Pangimbuhan Twah inipun bila kita kaji sejalan dengan teori “Kepemimpinan Kharismatik” sebagaimana dikemukakan Maxwell (1999), Arthur (1993), atau Weber yang meneliti sejak tahun 1947 yang menitik beratkan pada kekuatan pengaruh, tradisi atau kualitas unggul yang dimiliki seseorang, atau juga sejalan dengan teori “kepemimpinan yang Aspiratif & Visioner” sebagaimana dikemukakan Burn, Kouzes & Posner (1998), Peter Walkman (1990), atau Richard Engle (1986), yang menitik beratkan pada segi untuk menggerakkan sehingga pimpinan berperan sebagai kompas, pemandu, sehingga orang lain bersedia berjuang untuk tujuan bersama, kemudian pangimbuhan Twah inipun juga sejalan dengan teori “Kepemimpinan Spiritual” model Green Lest (1996), Spears & Frick (1992), Fairhom (1993) atau Maxwell (1993) yang menitik beratkan pada

(19)

18

besarnya pengaruh dari seorang pimpinan yang punya komitmen terhadap spiritual , adat, budaya, nilai, dan tradisi masyarakat/lingkungan/tradisi organisasi.

2.3.3 Fragment Carita Parahiyangan (FCP)

Masalah kepemimpinan juga terungkap dalam naskah Fragmént

Carita Parahiyangan (FCP). Pola kepemimpinan yang tersirat dalam FCP,

adalah bahwa Tarusbawa sebagai prebu (pemimpin roda pemerintahan pusat) membawahi beberapa penguasa wilayah yang diangkat atas kesepakatan bersama dengan pihak rama 'tokoh masyarakat wakil rakyat' dan pihak‟ resi 'penentu kebijakan hukum'. Sistem pembagian kekuasaan seperti itu dikenal dengan sebutan Tri Tangtu di buana 'tiga unsur penentu kehidupan di dunia', terdiri atas prebu, rama dan resi. sebagai:

a. Prebu adalah pemimpin roda pemerintahan (eksekutif yang saat ini dipegang oleh pemerintah) yang harus ngagurat batu 'berwatak teguh'.

b. Rama adalah golongan yang dituakan sebagai wakil rakyat (legislatif atau Dewan Perwakilan Rakyat) yang harus ngagurat lemah “berwatak menentukan hal yang mesti dipijak”.

c. Resi adalah golongan yang bertugas memberdayakan hukum agama dan darigama ”negara” (yudikatif atau saat ini dipegang oleh Mahkamah Agung) yang harus ngagurat cai 'berwatak menyejukkan serperti air, sesuai takaranya dan selalu mengalir kebawah membela yang lemah dan teraniaya dalam peradilan'. Andai kita simak lebih saksama, sistem politik Sunda masa silam sebagaimana terungkap dalam naskah Fragment Carita Parahiyangan yang dikenal dengan tri tangtu di buana, selama ini dikenal seolah-olah berasal dari “trias politica”nya Montesque yang mulai membumi pada abad XVIII Masehi. Bagi orang yang tidak terlalu mengenal naskah Sunda buhun,

(20)

19

mungkin hal itu dianggapnya benar, namun bagi filolog yang menguasai naskah, akan merasa aneh. Justru pembagian sistem pemerintahan dan politik tersebut sebenarnya sudah diejawantahkan dalam pemerintah Sunda sejak abad ke-VIII M).hal ini membuktikan bahwa leluhur kita masa lampau itu merupakan orang-orang yang bijak dan cerdas yang ternyata sudah mampu melaksanakan teori trias politica dari Perancis. Sepuluh abad sebelum teori itu sendiri lahir, sehingga disini peran Prabu sebagai raja tidak bisa berkuasa mutlak/otoriter dengan kekuasaan tanpa batas. Tapi ada penyeimbang kekuasaan yaitu Rama dan Resi. bahkan seorang raja tidak akan bisa bertahta sebagai raja tanpa adanya restu dari Rama dan Resi, sehingga ada sebuah filosofi yang dikenal dengan : Galunggung ngadeg tumenggung, sukapura ngadaun ngora yang artinya seorang tumenggung atau raja baru bisa dikatakan resmi sebagai raja bila sudah ada restu dari Galunggung sebagai pusat Rama dan Resi. hal ini dibuktikan dari beberapa kejadian literatur sejarah kerajaan Sunda, Galuh dan Pajajaran antara lain : naiknya Prabu Permana Dikusuma sebagai raja Galuh (abad ke VIII) atau di angkatnya Jaya Dewata/Sri Baduga Maharaja sebagai raja di Pajajaran (abad XV) sebagai akibat dileburnya dua kerajaan Sunda dan Galuh.

2.3.4 Pantangan-Pantangan dalam Kepemimpinan

Naskah Amanat Galunggung (AG) menjelaskan ada empat larangan bagi seorang pemimpin dalam cara memerintash, yakni :

a. mulah kwanta (jangan berteriak)

b. mulah majar laksana (jangan menyindir)

c. mulah madahkeun pada janma;(jangan menjelekkan orang lain) d. mulah sabda ngapus (jangan berbohong).

(21)

20

AG Verso VI mengungkap pantangan-pantangan sebagai pimpinan dalam ilmu wujud air “patanjala”, bahwa seorang pemimpin:

a. jangan mudah terpengaruh b. jangan peduli terhadap godaan

c. jangan dengarkan ucapan yang buruk

d. Pemimpin harus visioner berpusat kepada tujuan dan cita-cita, sebagaimana dikemukakan Seth Kahan (2002).

Kepemimpinan ini bisa dikategorikan sebagai pemimpin yang

visioner sejalan dengan teori “Kepemimpinan model jalur dan tujuan”

sebagaimana dikemukakan M.G Evans (1970) House dan Dessler (1974) yang menitik beratkan pada perbuatan kinerja anggota yang harus sesuai dengan norma, aturan, atau protap dan standar kerja. Kemudian juga sejalan dengan model “kepemimpinan berdasarkan output” sebagaimana dikemukakan Clitton dan Ulrich (2001) bahwa titik berat kepemimpinan adalah keberhasilan dalam mencapai tujuan dengan melalui proses yang benar pula.

2.3.5 Pemimpin Sebagai Abdi

SSK VI mengungkap “sikap pemimpin sebagai abdi”, yakni

memberikan sebuah pesan bahwa prasyarat sebelum jadi pimpinan harus mampu dulu bersikap sebagai abdi artinya jangan bermimpi bisa menjadi pemimpin yang baik sebelum mampu lulus dan berperan sebagai abdi, sehingga konsep kepemimpinan tersebut terbagi dalam 3 konsepsi yakni :

a. sebagai Hulun (abdi)

b. sebagai Palanka (wadah/pemerintah) c. sebagai Prebu (pimpinan)

karena pada hakekatnya seorang pemimpin itu hanyalah seorang abdi utama, sebagai pelayan; bahkan dalam “8 habbits” dikatakan pemimpin tertinggi tk. 5 (lima) adalah;“seorang pemimpin yang mampu

(22)

21

disertai sikap kerendahan hati serta konsisten untuk tetap mengingatkan tentang kebenaran tak terhingga”. Adapun sifat-sifat

pemimpin sebagai abdi antara lain: a. Mulah luhya („jangan mengeluh‟) b. Mulah kuciwa („jangan kecewa‟)

c. Mulah ngontong dipiwarang („jangan sulit diperintah)

d. Mulah hiri „jangan iri‟, dan mulah dengki („jangan dengki‟). e. Mulah Nyey Nyot Tineung urang (tidak pernah goyah)

f. Mulah Kukulutus (tidak pernah menggerutu)

g. Haywa Pamali (tidak pernah melanggar pantangan)

h. Deung deungan sakahulunan (tidak mencelakakan sesama)

Hal inipun sejalan dengan teori “Kepemimpinan sebagai Pelayan” dari Farhom (1994), Benge (1950), atau Schein (1992) menyiratkan bahwa pada hakekatnya pemimpin itu adalah melayani orang lain, melayani masyarakat dan melayani kepentingan organisasi sehingga seorang pimpinan harus bersikap empati, tanggung jawab, persuasif, pendengar yang baik, komitmen, konsisten dan konsekuen.

Sikap-sikap pemimpin sebagai abdi yang lain yang tercatat dalam naskah SSK adalah sebagai 4 pantangan yang harus dihindari antara lain:

a. Mulah Babarian (jangan mudah tersinggung) b. Mulah pundungan (jangan mudah merajuk)

c. Mulah humandeuar (jangan mudah berkeluh kesah) d. Mulah kukulutus (jangan menggerutu).

Adapun sikap seorang pemimpin sebagai abdi yang terakhir sesuai dengan SSK-IV bahwa, pengabdian itu pada hakekatnya adalah

ibadah, bekerja menanam budi (ini karma ning hulun, saka jalan urang hulun, karmo ma) maka sebagai seorang pimpinan

(23)

22

b. Hendaknya segan (malah jarot) c. Hendaknya hormati (maka atong)

d. Hendaknya sungguh-sungguh (maka teuing).

Berkaitan dengan larangan, SSK mengungkap bahwa pemimpin harus mampu menjaga dasa kreta sebagai perwujudan dasa indra, yakni harus menjaga mata, telinga, kulit, lidah, hidung, mulut, tangan, kaki, badan, dan aurat sejalan dengan dengan QS Al Araaf 179.

Naskah SSK selain mengupas sifat baik dan buruk seorang pemimpin, juga tertuang watak manusia yang membuat kerusakan di dunia yang disebut Catur Buta, yaitu empat watak manusia yang berkarakter raksara perusak kehidupan, yakni:

a. Burangkak (mengerikan), dikenal sebagai mahluk maha gila yang sangat mengerikan, tidak ramah, sering membentak. Burangkak berkelakuan kasar, berhati panas, tidak tahu tatakrama dan sering melanggar aturan. Merasa derajatnya lebih tinggi dari orang lain. b. Mariris (tega/menjijikan), orang yang menjijikan lebih dari bangkai

binatang yang membusuk; manusia yang suka mengambil hak orang lain, korup, menipu, berdusta.

c. Maréndé (menakutkan), dalamSSK adalah sebangsa raksasa bermuka api. Pada awalnya rakyat menduga bahwa pemimpin tersebut berwatak dingin menyejukkan, mampu membawa masyarakat hidup damai dan tentram, namun setelah menjadi pemimpin ternyata malah membawa panas dan menimbulkan bencana di masyarakat.

d. Wirang (memalukan, licik), dalam SSK ditampilkan sebagai binatang yang menakutkan, yaitu orang yang tidak mau jujur, tidak mau mengakui kesalahan dirinya, tidak mau berterus terang, `serta selalu menyalahkan orang lain.

(24)

23

Salah satu prasyarat utama sebagai seorang abdi adalah: kesetiaan (Satya dikahulunan) yang diwujudkan dalam bentuk bakti, kemudian kepada siapa saja wujud bakti dan kesetiaan itu harus diberikan, yakni:

a. Bakti dan kesetiaan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa

b. Bakti dan kesetiaan kepada Orang tua c. Bakti dan kesetiaan kepada Negara

d. Bakti dan kesetiaan kepada Tujuan mulia e. Bakti dan kesetiaan kepada masyarakat f. Bakti dan kesetiaan kepadaPemimpin g. Bakti dan kesetiaan kepada Diri sendiri

Adapunmenurut naskah SSK-Idikenal dengan istilah Dasa perbakti yakni:

a. Anak berbakti kepada Orang tua : (Anak bakti dibapak) b. Istri berbakti kepada Suami :(Ewe dibakti dilaki)

c. Hamba berbakti kepada majikan : (Hulun bakti dipacandaan) d. Siswa berbakti kepada guru : (Siswa bakti diguru)

e. Petani berbakti kepada Mandor : (Wang tani bakti diwado) f. Mandor berbakti kepada Mantri : (Wado bakti dimantri)

g. Mantri berbakti kepada Mangkubumi :(Mantribakti dimangkubumi) h. Mangkubumi berbakti kepada Raja :(Mangkubumi bakti diRatu) i. Raja berbakti kepada Dewa :(Ratu bakti diDewata)

j. Dewa berbakti kepada Tuhan : (Dewata bakti diHyang)

Jika kita lihat konsep bakti dalam naskah SSK ini berawal dari:

a. Konsep bakti dilingkungan keluarga (anak, bapak, suami, istri) b. Konsep bakti dilingkungan pendidikan (siswa dan guru)

c. Konsep bakti dilingkungan masyarakat (hamba, majikan, petani, mandor)

(25)

24

d. Konsep bakti dilingkungan pemerintahan (mantri, mangkubumi, raja)

e. Konsep bakti dilingkungan moral spiritual ketuhanan (dewa dan hyang)

Konsep kesetiaan sebagai abdi inipun tersurat dalam Filosofi dan pengertian dari huruf Jawa kuno yaitu : Hanacaraka, Datasawala, padajayanya, Magabatanga yang artinya ada prajurit sebagai duta/utusan yang membawa berita namun karena kesetiaanya terhadap perintah raja akhirnya membawa kesetiaanya sampai mati. Dalam hal ini tersurat bahwa kesetiaan itu harus dipertahankan sampai titik darah penghabisan.

Kemudian apabila kita tinjau konsep pengabdian ini dari sisi agama sebagaimana tersirat dalam Al Quran (Al Dzariat 51:56) dikatakan : “tidak aku jadikan jin dan manusia kecuali untuk mengabdi kepadaku” dan lebih jauh dikatakan dalam surat Al Fatihah yang berbunyi : “ iyyaa kana‟

budu wa‟iyaa kanas ta‟in” (hanya kepadamu kami mengabdi dan

hanya kepadamu kami memohon pertolongan) jadi artinya tugas manusia didunia ini sesungguhnya hanya semata-mata untuk mengabdidan diingatkan kepada manusia jangan meminta pertolongan dulu sebelum bisa mengabdi dengan sempurna, karena kebiasaan yang terjadi manusia selalu meminta pertolongan tapi tidak ingat bahkan tidak pernah mengabdi baik kepada sesama apalagi kepada yang maha kuasa.

2.3.6 Kepemimpinan Sebagai Negarawan (Prabu ing Palanka)

Sebuah bangsa bisa banyak melahirkan para pemimpin yang qualified, tetapi belum tentu mampu melahirkan sosok-sosok Negarawan yang unggul. Karena seorang pemimpin baru bisa dikatakan sebagai pemimpin yang hebat, mumpuni, bila ia sudah mampu bersikap sebagai seorang Negarawan dalam arti kata, seorang Negarawan pasti seorang

(26)

25

pemimpin, tetapi seorang pemimpin belum tentu mampu bersikap sebagai seorang Negarawan. Adapun sikap-sikap yang harus dipunyai oleh seorang Negarawan seperti yang tersurat dalam Amanat Galuggung Rekto 1:

a. Jangan bentrok : Mulah Pabuang

b. Jangan berselisih paham : Mulah Pasalahan paksa

c. Jangan saling bersikeras : Mulah Pakeudeu-keudeu

d. Jangan mempertentangkan : Mungku urang miprangkeun

Tentang kebenaran dibener

e. Jangan saling curiga : Mulah nenget sama hulun

f. Jangan berebut kedudukan : Haywa pa ala-ala palungguhan

g. Jangan berebut pekerjaan : Haywa pa ala-ala pamonang

h. Jangan berebut jasa : Haywa pa ala-ala demakan

i. Jangan merampas milik orang : Mulah ngarampas tanpa dwasa

lain

j. Jangan menyakiti orang lain : Mulah midukaan tanpa dwasa k. Hendaknya hidup rukun : Masing Rampes

l. Jangan sampai tanah leluhur : Jaga dapetna pretapa, dapetna Dikuasai orang lain pegengeun sakti Beunangna

(Cinta tanah air) ku asing

Itulah sikap-sikap yang harus dimiliki oleh seorang pimpinan sebagai Negarawan, bahkan ada amanat khusus yang menitik beratkan pada arti penting Cinta tanah air, arti penting agar para ksatria para generasi muda kader-kader penerus bangsa mampu mempertahankan tanah leluhurnya (kabuyutan), mampu mempertahankan tanah airnya jangan sampai terkuasai oleh orang asing atau oleh para kapitalis. Bahkan karena dianggap sangat penting sikap untuk mempertahankan tanah air ini sampai-sampai ada sumpah atau amanat khusus dari seorang raja Galuh Prabu Darma Siksa (abad XII) bagi para penerusnya bila tidak mampu

(27)

26

mempertahankanya. Maka ia diakatakan lebih hina dari sampah yang paling busuk yang ada di jarian yakni:

- Jaga direbutnya /dikuasainya tanah laluhur oleh orang lain(Jaga beunangna kabuyutan ku sakalih).

- Akan banyak para pedagang yang ingin merebut tanah leluhur (Banyaga nu dek ngarebut kabuyutan).

- Yakni orang-orang Asing yang ingin memrebut tanah leluhur (Asing iya nu meunangkeun kabuyutan).

- Lebih berharga kulit musang ditempat sampah daripada

Rajaputra tidak mampu mempertahankan tanah leluhur yang direbut orang lain (Mulyana kulit lasun di jaryan, modalna

rajaputra antukna beunang ku sakalih).

Kemudian lebih lanjut dijelaskan dalam SSK-Rekto III sikap

pemimpin sebagai Negarawan “hendaknya berbuat kemulyaan yang

menitik beratkan pada satunya pikiran, perkataan, dan perbuatan” (maka pada mulya, ku ambeg, ku sabda, ku hidep) atau sikap “Bawalaksana”(Komitmen, konsisten, konsekuen, dan bertanggung jawab) sebagaimana diungkapkan dalam buku Sabda Pandhita Ratu, sebagai sikap utama yang harus dimiliki oleh seorang pimpinan. Sehingga pimpinan sebagai Negarawan (Pandhita Ratu). Berbuat tidak untuk mengejar kedudukan (kalungguhan), tidak mengejar jabatan /pekerjaan (pamonangan) atau mengejar jasa dan rejeki (demakan), mengajar sebuah posisi (position) atau status. Tapi lebih menitik beratkan pada role (peranan) atau perbuatan (action). Yakni sebagai : “Leader by action is

not leader by position” atau “leadership by role but not leadership by status”. Untuk mengejar kemulyaan Bangsa dan Negara yang dilaksanakan

dengan sikap “Bawalaksana” tadi, dengan sepenuh tanggung jawab berikut segala resikonya. Hal ini sejalan pula dengan hadist dan Al-Quran “tidak aku jadikan engkau khalifah dimuka bumi melainkan nanti akan aku

(28)

27

minta pertanggung jawabanya”, sehingga sebagai seorang pemimpin harus mampu bertanggung jawab baik lahir maupun bathin, baik dunia maupun akhirat. Makanya golongan pertama manusia yang akan masuk Surga

adalah : “seorang pemimpin yang adil”.

2.3.7 Delapan Karakter Kepemimpinan Sunda

Kita sering mendengar istilah cageur (sehat), bageur (baik

perilakunya), bener (benar), pinter (berwawasan luas), tur singer (terampil), yang dianggap sebagai sifat dan karakter yang harus dimiliki

orang Sunda. Kelima istilah tersebut sebenarnya berkaitan erat dengan karakter „pemimpin‟ sebagaimana diungkapkan naskah Sanghyang

Siksakandang Karesian (SKK), Fragment Carita Parahiyangan (FCP), Amanat Galunggung (AG), dan Sanghyang Hayu (SH).

Naskah Sunda mengisyaratkan delapan sikep „karakter‟ yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Di samping cageur (sehat), bageur (baik

perilakunya), bener (benar), pinter (berwawasan luas), singer (terampil),

dikenal pula istilah teger (ulet), tajeur (tangguh), dan wanter (berani), yang bisa dibandingkan dengan 6 (enam) Prinsip Leadership Modern Model FBI 2012, tanpa tajeur dan wanter.

Beragam kamus bahasa Sunda yang disusun R. Satjadibrata, R. A. Danadibrata, atau LBSS hanya menjelaskan arti secara leksikal.

a. Cageur diartikan tidak sedang terkena penyakit, sehat atau sudah/baru sembuh. Pemimpin Sunda harus memiliki badan kaya (sehat/kuat)–wak (bersabda/enerjik)–cita (senantiasa memelihara hati). Seorang pemimpin harus sehat, kuat, enerjik, dan senantiasa bertindak dengan hati, yang berkaitan dengan AQdan PQ (Phisical Ability).

b. Bageur adalahorang yang suka memberi, baik perilakunya, dan tidak nakal. Seorang pemimpin harus memiliki sikap animan (lemah lembut), dalam arti tidak berperilaku kasar. Bageur lebih mengarah

(29)

28

kepada perilaku budi (bijak)–guna (arif)–pradana (saleh), dan ramah (bestari). Pemimpin harus berperilaku arif bijaksana dan saleh, di samping bijak dalam memandang segala hal serta ramah, karawaléya„dermawan‟. Kesalehan sosial sangat diperlukan dari seorang pemimpin, berhubungan dengan Emotionaility Ability/EQ. c. Bener„benar‟, tidak salah, sungguh-sungguh. Seorang pemimpin harus

lurus dan menjunjung tinggi kebenaran, memiliki sifat jujur atau isitwa, baik dalam perkataan, pemikiran, maupun perbuatan agar dipercaya oleh orang lain, sehingga terjalin kesepahaman yang harmonis. Adanya kesepahaman antara pikiran, perasaan, dan tindakan (saciduh metu saucap nyata). Dalam Sanghyang Hayu dikatakan adanya keselarasan antara mata (penglihatan) – tutuk (ucapan) – talinga (pendengaran), apa yang dilihat, dan didengar harus sesuai dengan apa yang diucapkan, selaras dengan Moral Ability atau SQ.

d. Pinter„pintar‟/pandai, berpengetahuan, mampu bekerja, mudah mengerti. Pemimpin harus mahiman (berwawasan luas dan cerdas), memiliki berbagai macam pengetahuan dan berwawasan tinggi. Seorang pemimpin selain pinter„cerdas‟ juga harus memiliki keseimbangan rasa dalam bertindak, selaras dengan Intelectual Ability (IQ).

e. Singer „trampil, gesit, cekatan‟, yang disebut dengan lagiman atau cangcingan. Langsitan „rapekan‟ , segala bisa, multi talenta dan pro aktif Rajeun „rajin‟. Selama hidupnya tetap berkarya. Morogol-rogol „bersemangat, beretos kerja tinggi‟. Keinginannya untuk berkarya dengan kualitas unggul dan terbaik, berkenaan dengan Personal Abality (PQ).

f. Wanter “berani tampil dalam kondisi apapun namun luwes”. Wanter harus purusa ning sa “berjiwa pahlawan, jujur, berani”. Kreatif dan inovatif. Para pembaharu yang berani menantang kemandegan

(30)

29

pemikiran manusia. Widagda “bijaksana, rasional dan memiliki keseimbangan rasa”. Paka Pradana „berani tampil sopan, beretika‟. Gapitan “berani berkorban untuk keyakinan dirinya”, ini selaras dengan Sosoial Ability (SCQ)

g. Teger „tidak takut dan tidak khawatir sedikit pun‟. Panceg hatḗ „tidak plin plan‟, kalem dan berpendirian. Seorang pemimpin harus ahiman „tegas‟, prakamya dan leukeun „ulet/tekun‟. Ketekunan dalam mencapai tujuan yang dicita-citakan dengan penuh kesabaran. Pemimpin tidak boleh putus asa dalam menghadapi segala kondisi.Teger berkaitan dengan wasitwa „terbuka untuk dikritik‟,

„legowo‟ dan bijaksana serta terbuka untuk dikritik, selaras dengan

Reliciance Ability (RQ).

h. Tajeur/tanjeur „mampu berdiri kokoh di atas kaki sendiri‟. Pemimpin harus prapti „tepat sasaran‟; memiliki ketajaman berpikir, karena jika keliru atau berspekulasi hal itu akan menghambat suatu pekerjaan, selaras dengan Exelent Ability (ExQ).

Kedelapan karakter orang Sunda dimaksud melekat pada seorang pimpinan maka akan melahirkan manusia unggul (maung) yang ulet

dan tangguh, sehingga melahirkan konsepsi ketahanan pribadi/nasional. 8 (delapan) kemampuan sebagai pemimpin ini sejalan dengan New Leadership dari FBI USA tahun 2012, sebagaimana disampaikan Prof. Dr. Hermawan Kertajaya pada saat rapim TNI dan Polri tahun 2013 di Auditorium PTIK Jakarta.

Dalam amanat Galunggung (AG) Verso III dirumuskan sosok pemimpin yang „mulya‟, yang antara lain harus mempunyai sifat-sifat: a. siniti„bijak‟

b. sinityagata„benar‟ c. siaum„adil dan takwa d. sihooh „serius‟

(31)

30

e. sikarungrungan „simpatik‟ f. semuguyu „ramah‟

g. téjah ambek „rendah hati/sabar h. guru basa „mantap bicara‟.

Hal ini sejalan dengan Filder (1997), yakni kepemimpinan pada dasarnya merupakan pola hubungan antarindividu yang menggunakan wewenang dan pengaruh terhadap kelompok agar bekerja sama untuk mencapai tujuan.

Pemimpin yang berkarakter menurut AG adalah adanya keberhasilan kaderisasi sebagaimana tersurat sebagai berikut:hana nguni hana mangké tanhana nguni tanhana mangké(tidak ada dahulu kalau tidak ada sekarang, dan tidak ada diri kita hari ini jika tidak ada para leluhur kita terdahulu) sehingga dengan demikian yang lebih tua harus menjadi guru dan tauladan bagi yang lebih muda, sebaliknya yang muda wajib menghormati dan mau belajar dari yang lebih tua. Dengan demikian terjadi siklus pengkaderan secara sistimatik dari para pendahulu kepada generasi penerusnyamaka dari itu, leadership Sunda harus diaktualisasikan secara komitmen, konsisten, konsekuen, conection(adanya pola hubungan yang berkelanjutan), dan adanya komunikasi yang selaras serta harmonis antara pemimpin dengan yang dipimpin antara para pendahulu dan penerusnya. Karena salah satu kriteria seorang pemimpin yang baik adalah yang

mampu menyiapkan kader-kader penggantinya.

Konsep atau pola kepemimpinan yang tersirat dalam naskah

Sanghyang Siksakandang Karesian, Fragmen Carita Parahiyangan, Carita Parahiyangan, juga Sanghyang Hayu, maupun naskah lainnya seperti Amanat Galunggung, dan Carita Ratu Pakuan bila ditarik benang

(32)

31

a. Leader (adanya kesepahaman dalam satu pikiran, satu perkataan, dan satu perbuatan dengan benar, menhgajarkan tentang kebenaran dengan pola ketauladanan)

b. Manajer (memiliki kemampuan dalam hal manajerialdan yang mengajarkan tentang sesuatu yang baik, misal aturan yang baik, perencanaan yang baik, dan lain-lain).

c. Entertainer (ada kaitannya dengan masalah human relations. Seorang pemimpin harus dapat membina hubungan baik dengan sesama manusia secara horizontal dengan pimpinan manapun, di samping dapat membina hubungan baik dengan bawahannya serta dengan lingkungan sekitarnya)

d. Entrepreneur (memiliki jiwa kewirausahaan. Seorang pemimpin memerlukan jiwa marketing, kejuangan yang tinggi serta keuletan yang tahan banting agar kepemimpinannya bisa berjalan dengan baik tak tersisihkan)

e. Commander (mampu memberi perintah sekaligus menjadi pendorong (maker) atau pemberi motivasi bagi bawahannya, mampu memutuskan masalah dengan cepat dan tepat, mampu menegur dan sebagai penanggung jawab utama dalam organisasi).

f. Designer (mampu berperan sebagai perancang di berbagai bidang bagi kemajuan yang dipimpinnya)

g. Father (bertindak kebapakan, layaknya seorang ayah terhadap anak-anaknya dengan penuh kasih)

h. Servicer (harus mampu menjadi pelayan yang baik, karena pada dasarnya seorang pemimpin adalah seorang „pelayan‟ yang bertanggung jawab kepada masyarakatnya)

i. Teacher (mampu menjadi guru, pendidik, dan pengajar yang baik serta menjadi „tauladan‟ bagi masyarakat/bawahannya).

(33)

32

Sehingga apabila ke-9 (sembilan) karakter tersebut sudah melekat sebagai sikap pada diri seorang pemimpin, ia akan menjadi seorang

“Tokoh”atau “Master” yang dicintai, dikagumi, disegani dan melegenda,

harum mewangi namanyadimata masyarakat, serta mampu mensejahterakan masyarakatnya. Maka pemimpin/raja yang demikianlah yang berhak mendapat gelar sebagai Master Leadership(bandingkan, Charliyan, 2009). Pada zaman bihari(dahulu) sebagaimana terungkap dalam naskah-naskah buhunlewat fakta filologis, fakta arkeologis, fakta

sosial, maupunfakta mental dan fakta sastra, seorang figur pemimpin

idealyang namanyatetap melegenda dihati masyarakat maka digelari sebagai Prabu Silihwangi(raja yang harum namanya). Sebagai Master yang telah mumpuni, makanya raja-raja besar diwaktu itu dibelakang namanya sering digelari :Maharaja, Raja Resi, Ratu haji dan lain-lain.

2.3.8 Konsepsi Tata Tentrem Kerta Raharja

Arti harafiah dari konsep Tata Tentrem Kerta Raharja ini adalah sebuah konsep untuk membangun bangsa dan negara yang diawali dengan : a. Menata dulu aturan-aturan, tujuan, visi, misi yang jelas, situasi dan

kondisi suatu wilayah termasuk sumber dayanya (tata = mengatur). b. Bila sudah tertata sesuai dengan aturan yang disepakati bersama dan

dijiwai dengan semangat kebersamaan, maka akan tercipta situasi dan kondisi yang aman (tentram = aman tertib).

c. Kemudian bila sudah tercipta suasana yang tata tentrem maka suasana dan gairah kerjapun akan terbangun dengan sendirinya (kerta=kerja).

d. Pada akhirnya apabila gairah kerja sudah terbangun dengan maksimal, maka secara otomatis kesejahteraan pun akan segera terwujud dengan pasti.

(34)

33

Konsepsi Tata Tentrem Kerta Raharja ini bila kita telusuri lebih jauh berawal dari konsep Prabu Wastu Kencanasebagai raja sunda-Galuh (1382) atau juga dikenal sebagai Prabu Siliwangi ke-2, dalam prasastinya yang ditemukan di Astana Gede kawali Ciamis-Jabar yang intinya berisi:

“bila ingin jaya dalam bernegara, harus mampu membangun kekuatan dalam kedamaian, membangun kekuatan dengan kerendahan hati dan siapapun yang tinggal diwilayah ini jangan serakah karena hanya akan mengakibatkan celaka” (pakeun heubeul

jaya dibuana, pake gawe kreta bener, pake gawe kreta raharja, nutinggal dibumi atis ulah botoh bisi koboro)

Pengertian secara umum dari prasati Kawali tersebut menyiratkan bahwa prasyarat untuk mencapai kejayaan itu, yang pertama-tama adalah harus mampu menciptakan kondisi yang damai, karena dalam kedamaian itu akan tumbuh sebuah kekuatan, baik kekuatan lahir maupun bathin. Makanya para orang tua kita dulu yang ingin menyempurnakan hidupnya mencari tempat yang sepi, hening, dan damai untuk bertapa. Para Nabi pun ketika mendapatkan wahyu sebagai Firman Tuhan didapat didalam suasana yang hening dan damai, dan dalam situasi damailah kita akan mampu membangun suasana kerja yang benar, membangun kebenaran yang sebenar-benarnya(kreta bener), maka selanjutnya akan menjadi jembatan emas kearah terwujudnya masyarakat yang adil makmur kerta raharja

(kreta raharja),dimana didalam fragmen carita parahyangan kerta raharja

ini lebih dikenal dengan istilah: Ngertakeun jalmarea(kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat) atau Ngertakeunbumi lamba(tanah air yang subur makmur) yang selanjutnya lebih dikenal dengan konsep “Tata Tentrem Kerta Raharja”. Sebuah konsepsi ideal sesuai Pancasila Sila ke-5 yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia atau juga dalam konsep Islam dikenal sebagai Negara yang Baldathun Thoyibatun Warabun Ghaffur.

(35)

34

Kemudian apabila kita telaah arti dari membangun kekuatan

dengan kerendahan hati menyiratkan bahwa sebagai seorang pemimpin

yang mumpuni dalam menggerakkan masyarakatnya harus bersifat rendah hati tidak mengedepankan arogansi, kesombongan, dan kekuasaanya, karena seseorang dipercaya sebagai pemimpin pada hakekatnya merupakan sebuah amanah yang diberikan oleh masyarakat/bawahan kepada kita sehingga apabila kita lupa diri dan bersifat sombong dengan kekuasaan yang kita miliki maka akan hilang dan musnah (ulah batengah bisi kateker) sebagaimana filosofi kampung Naga atau juga sebagaimana tersurat dalam naskah Amanat Galunggung yang dikenal sebagai ilmu Pare (ilmu padi) yang selengkapnya adalah sebagai berikut: Diri kita akan

sempurna bila sudah mengamalkan “Ilmu Padi” dimana pada saat bertunas sebesar jarum, keluar tiga daun, saat disiangi, kemudian tumbuh dewasa, keluar kuncup seperti bulu hidung mekar berbuah dan menunjuk kelangit “Kasep Nangwa” gagah menengadah namanya, setelah tiba saatnya berisi mulai merunduk, makin masak menguning ya makin merunduk karena merasa diri telah berisi. Bila diri kita telah berbuat demikian, maka diharapkan kehidupan semua orang bisa seperti perilaku padi, karena bila saatnya berisi tetap tengadah, saat menguning tetap tengadah, saat masak pun tetap tengadah, itu adalah tandanya “padi yang hapa”, padi yang kosong dan hampa namanya.(Elmu Pare (AG Rekto V)) :

( Na twah rampes dina urang agamaning pare, mangsana jumarum, telu daun, mangsana di oywas, gede pare, mangsana bulu irung, beukah, tak karah nunjuk kalangit, tanggah tak karah kasep nangwa tu iya ngaranya, umeusi tak karah lagu tungkul, harayhay asak, tak karah can dukur, ngarasah maneh ka eusi, aya si nu hayang, daek tu make hurip nu urang reya, agamaning pare pun, lamun umeusi tanggah, harayhay tanggah, pare hapa ngarana).

(36)

35

hal inipun sejalan dengan konsepsi agama Islam yang mengajarkan agar setiap manusia bersikap “Tawadhu”sebagaimana dikatakan dalam Hadist dan Al Quran “Dan rendah hatilah engkau terhadap orang-orang yang mengikutimu....” (Al Syu‟ara 26:215), “wahai manusia jangan lah engkau sekali-kali berjalan dimuka bumi ini dengan sombong (Al Lukman

31:18/Al Israj 17:37), maka siapapun yang berjalan dimuka bumi dengan sombong akan terputus dari Rahmatku, dan barang siapa yang didalam

hatinya terbesit rasa sombong walau sebesar debu, maka dia tidak akan mencium bau surga”(HR. Buchari Muslim ).Disamping itu jangan pula sekali-kali bersifat serakahyang hanya mementingkan kepentingan duniawi baik dalam mencari kedudukan maupun dalam mencari rejeki karena barang siapa yang serakah maka dia akan celaka (ulah botoh bisi kokoro), sebagaimana dikatakan juga dalam surat Ali Imron 3:185 “Kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan”.Sebagai penutup kita akan kita kutip prasasti Tembaga dari Bekasi (417 M) yang cukup berkaitan dengan pembahasan di atas yaitu :

- Orang nista itu ialah orang yang serakah (wong papa ma nu bobotoh)

- Orang yang berdosa ialah orang yang tidak beriman (Wong kalesa ma na dosa)

- Bersama-sama wajib bekerja keras (Simanareng ma calagra)

- Berbagi jangan sampai ada yang kurang (Simanareka ma na ka urang) sehingga semua sejahtera.

2.4 Kepemimpinan Berbasis Kearifan Lokal Budaya Jawa

Kepemimpinan berbasis kearifan budaya Jawa mungkin dapat diwakili oleh panglima perang ternama Gajah Mada, sebagaimana diungkapkan Purwadi (2007: 205), yang meliputi:

(37)

36

Abikamika: pemimpin harus tampil simpatik, berorientasi kebawah dan mengutamakan kepentingan rakyat banyak daripada kepentingan pribadi atau golongan.

Prajna : pemimpin harus bersikap arif dan bijaksana serta menguasai ilmu pengetahuan teknologi, agama, juga dapat dijadikan panutan bagi rakyatnya.

Usaha : Pemimpin harus proaktif, berinisiatif, kreatif dan inovatif (pelopor pembaharuan) serta rela mengabdi tanpa pamrih untuk kesejahteraan rakyat.

Atma Sampad : pemimpin mempunyai kepribadian: berintegritas tinggi, moral yang luhur serta objektif dan memiliki wawasan yang jauh ke masa depan demi kemajuan bangsanya.

Sakya Samanta :pemimpin sebagai fungsi kontrol mampu mengawasi bawahan (efektif, efisien, dan ekonomis) serta berani menindak secara adil bagi yang bersalah tanpa pilih kasih dan tegas.

Aksudra Pari Sakta :Pemimpin harus akomodatif, mampu memadukan perbedaan dengan permusyawaratan serta pandai berdiplomasi, menyerap aspirasi bawahan serta rakyatnya.

Agar lebih luas pandangan kita berkaitan dengan soal kepemimpinan, dalam tulisan ini pun disertakan prinsip catur darmaning

nerpati yang merupakan empat sifat utama bagi seorang pemimpin

sebagaimana dikemukakan Gajah Mada sebagai panglima militer (Purwadi, 2007: 206), yakni:

a. Jana Wisesa Suda, yakni seorang panglima/pemimpin hendaknya menguasai segala macam ilmu pengetahuan, baik teknologi, kemiliteran maupun ilmu pengetahuan agama spiritual secara teori maupun praktek.

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mengetahui proses sedimentasi yang terjadi di muara Sungai Semat, dilakukan penelitian tentang sedimentasi di muara Sungai Semat dengan cara menghitung

The design of instructional activities in this study has been able to answer the research question, how the students could develop the understanding that

Berdasarkan hasil penelitian maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: Jenis-jenis tanaman berkhasiat obat yang dimanfaatkan oleh masyarakat Desa Tinading ditemukan sebanyak

dengan 5, karena bil masih <= 5, maka bisa kita tuliskan while (true).  Berarti perulangan masih

Catur Karya Sentosa dari beberapa perusahaan yang tentunya karena memiliki masalah di tahun 2009 dan 2010 saja karyawan mereka yang dikembalikan oleh

Berdasarkan data persen pertambahan bobot ikan, maka diperoleh kandungan lisin optimum dalam pakan untuk pertumbuhan benih kerapu sunu adalah 2,84% (Gambar 1) atau setara dengan

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat dalam Menempuh Ujian Sarjana Ekonomi Program Studi Manajemen pada Fakultas Bisnis dan Manajemen.

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pola pewarisan karakter kualitatif yang berhubungan dengan pemendekan ruas, perilaku buah, dan antosianin pada warna bunga sebagai