• Tidak ada hasil yang ditemukan

BUKU KONSTITUSI.pdf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BUKU KONSTITUSI.pdf"

Copied!
118
0
0

Teks penuh

(1)

Pengantar Studi

Konstitusi

(2)

_HANDBOOK

_

Pengantar Studi

Konstitusi

Jilid I

A.H. As’ari Taufiqurrohman, S.H., M.H.

Hak Cipta Dilindungi Oleh Undang-Undang

Penerbit Pustaka Renaissance Editor : Tri Susilowati, S.Pd.

Desain Sampul: 57 comp. Pekalongan & Acadia 2 Yogyakarta Dicetak oleh Percetakan Acadia 2

Jl. Kaliurang, km 4.5, Yogyakarta Cetakan Kedua: Mei 2012

Dilarang memperbanyak, mengcopy baik sebagian atau seluruh isi buku ini

(3)

Penulis

Handbook yang telah tersusun ini, merupakan

upaya pelengkap dari buku-buku konstitusi yang

ada. Sebagai pengantar studi, tentu saja isi buku

ini memuat hal-hal yang bersifat mendasar dan

prinsipil mengenai Konstitusi. Ada beberapa hal

yang secara sengaja penulis masukkan sebagai

bahan kajian buku ini, misalnya pembahasan

mengenai negara dan Hak Asasi Manusia. Hal ini

penting mengingat sebelum memahami sebuah

Konstitusi sebagai dokumen dasar yang memiliki

kedudukan tertinggi sebuah negara, akan lebih

baik jika memahami terlebih dahulu apa itu

negara, kaitan antara Konstitusi dan Negara, serta

bagaimana pula selayaknya Konstitusi tersebut

mengatur Hak Asasi Manusia.

Meskipun buku Jilid Pertama ini hanya

sebagai pengantar, akan tetapi secara substansial

telah diusahakan sedapat mungkin memenuhi

pemahaman awal para para pembaca untuk

memulai

memperluas

khasanah

pemikiran

cakrawala Konstitusi Sebagai bagian dari kajian

ketatanegaraan.

Handbook ini sangat bermanfaat untuk

membantu para pembelajar hukum yang memiliki

minat untuk mendalami Konstitusi, terutama

(4)

berpikir secara sistematis.

Mudah-mudahan buku yang masih sangat

sederhana ini dapat memberikan manfaat

sebagai wahana transfer pengetahuan bagi

mahasiswa

maupun

masyarakat

umum.

Akhirnya, penulis amat menyadari adanya

kekurangan dalam penyusunan buku ini, baik itu

dari sisi kompleksitas materi maupun pada

redaksional penyusunannya. Oleh sebab itu,

saran dan masukan sangatlah penulis harapkan

demi pembaharuan, perubahan dan perbaikan di

masa yang akan datang.

Semarang, 26 Maret, 2012

(5)

ISI

Pengantar Penulis ... iv

BAB I Negara dan Konstitusi ... 1

Manusia, Negara dan Bangsa ... 1

Teoretisasi Negara dan Bangsa ... 2

Definisi Negara ... 4

Konsep Negara Hukum ... 5

BAB II Konstitusi dan Konstitusionalisme ... 9

Teori dan pengertian Konstitusi ... 13

a. Definisi Konstitusi ... 11

b. Konstitusi Tertulis dan Tidak Tertulis ... 16

c. Isi Konstitusi ... 18

d. Konstitusionalisme ... 19

BAB III Konstitusi dan HAM ……….….. 21

Pelembagaan HAM dalam Sejarah dan Konstitusi ………..21

Konstitusionalisme dan HAM dalam Islam ……….…… 26

Konstitusi Madinah ……….…… 31

a. Unsur HAM dalam Piagam Madinah ... 36

b. HAM Pada Masa Peradaban Islam Pasca Rasulullah .... 45

(6)

d. Islam dan HAM

Dalam Perkembangan Kebangsaan Indonesia ... 49

Islam dan HAM dalam Konstitusi Indonesia ... 51

a. Pembahasan Ide Islam Dalam UUD 1945 ... 51

b. Unsur HAM dalam Konstitusi Indonesia ………. 56

1. HAM dalam UUD 1945 ... 56

2. HAM dalam Konstitusi RIS 1949 ... 60

3. HAM dalam UUDS 1950 ... 72

4. HAM dalam Amandemen I ... 86

5. HAM dalam Amandemen II ... 87

6. HAM dalam AMandemen III ... 97

7. HAM dalam Amandemen IV. ... 98

(7)

1

BAB I

Negara dan Konstitusi

Manusia, Negara dan Bangsa

Manusia adalah makhluk sosial (homo homini lopus), manusia itu sendiri berada dalam roda kehidupan yang kompleks dan multidimensional secara sosial, politik, ekonomi, budaya (culture) dan hukum yang turut serta menyelimuti peradaban dan eksistensi manusia. Dalam dimensi inilah seringkali manusia bersentuhan dengan nilai – nilai asasinya baik secara individu maupun kolektif.

Nilai asasi yang kemudian disebut Hak Asasi Manusia (HAM) pada dasarnya merupakan hak utama (primary rights), hak dasar (fundamental rights) yang tidak dapat dihapuskan serta tidak bisa dibantah keberadaannya seiring dengan eksistensi manusia. Nilai substansi seperti inilah yang lantas menempatkan hak asasi sebagai salah satu instrumen penting dalam menggambarkan “ciri khas” setiap manusia. Dengan demikian maka HAM itu sendiri pada hakekatnya merupakan refleksi dari eksistensi manusia sebagai pencipta maupun sebagai pelaku peradaban. HAM adalah formasi keutuhan manusia menuju kehidupan yang beradab.1

Hak Asasi Manusia yang satu dan lainnya akan saling berbenturan manakala bersentuhan dengan kepentingan social. Disamping itu, adalah naluri alamiah manusia sebagai makhuk social yang tidak pernah terlepas dari keinginan untuk membentuk

1.

Hafid Abbas. Pengantar dalam Majda El-Muhtaj, 2005, Hak-Hak Asasi Manusia dalam

(8)

2

suatu komunitas__yang kemudian dikenal dalam bentuk bangsa__yang selanjutnya meleburkan diri ke dalam sebuah wadah politis dan territorial yang bernama Negara. Dengan demikian, terdapat sebuah garis historis antara manusia, Negara dan bangsa. Tentu saja hal ini tidak hanya terjadi pada konstelasi masyarakat modern, tetapi jauh sebelum itu, dalam kurun waktu yang sangat lama, manusia telah mulai mengembangkan cikal bakal pola pemerintahan dalam suatu komunitas kebangsaan melalui bentuknya yang amat sederhana, kala itu.

Teoretisasi Negara dan Bangsa

Membicarakan tentang Negara tak lepas dari memperbincangkan manusia, masyarakat atau bangsa. Negara bangsa dibangun melalui sekumpulan manusia-manusia yang sepakat menyatukan visi dan keinginan untuk hidup dalam sebuah sistem bersama secara politik. Sedangkan di sisi lain, mereka pun bersepakat untuk mengikis hak-hak individual mereka agar tidak berbenturan dengan hak-hak individu lainnya. Oleh sebab itulah manusia sebagai individu selalu dapat secara luwes menempatkan dirinya dalam kelompok. Manusia sendiri disebut sebagai makhluk social (homo homini lupus) atau bahkan sebagai insan politik (zoon politicon).

Akan tetapi, problematika kemudian muncul manakala kelompok masyarakat tersebut berjalan mewujudkan visi dan tujuannya. Dalam proses perjalanannya secara organisasional maupun politik, seringkali terjadi perbedaan, baik itu dikarenakan perbedaan pandangan maupun ketidaksetujuan dikarenakan adanya pengikisan hak-hak individual yang terjadi secara tidak adil. Hal yang wajar memang, karena bukankah komunitas masyarakat berisi banyak individu? Bukan satu atau dua orang saja. Komunitas bangsa juga demikian, terdiri dari beberapa kelompok dan elemen

(9)

3

yang saling menunjang dan melebur ke dalam satu panutan system yang secara politik akan dijalankan bersama-sama, disepakati bersama dalam rangka mencapai tujuan baik itu kesejahteraan, ekonomi maupun budaya. Oleh sebab itu, menuangkan satu kesepakatan bersama ke dalam suatu ikatan perjanjian__baik itu tertulis maupun tidak tertulis (yang diakui telah menjadi satu kebiasaan atau konvensi)__merupakan hal yang niscaya untuk dilakukan. Kesepakatan inilah yang kemudian dinamakan “Konstitusi”.

Konstitusi dan Negara memiliki hubungan yang sangat erat, Konstitusi adalah penunjang berdirinya sebuah Negara, bahkan identitas sebuah Negara. Dengan demikian, pastilah Konstitusi akan memiliki corak warna yang khas sesuai dengan nilai luhur bangsa yang dianut.

Negara telah berkembang demikian pesat seiring dengan dinamisasi kebutuhan manusia. Negara yang pada awal kemunculannya hanya berupa Negara kota (polis) telah berkembang dari masa-ke masa hingga sampai pada konsep Negara kesejahteraan (welfare state) saat ini. Pengembanan konsep Negara telah dimulai bahkan sejak masa kerajaan kuno babylonia, sampai pada masa Yunani, Romawi yang kemudian meluas ke daratan eropa hingga saat ini. Hanya saja, konsep Negara pada masa lampau, yang lebih dikenal dalam konsep kerajaan, kekaisaran (dinasti) meletakkan garis kekuasaan pada absolutisme raja. Hal ini pernah juga berlaku di beberapa wilayah eropa continental semisal Perancis.

Meskipun pada perjalanan kenegaraan selanjutnya, absolutisme raja secara perlahan-lahan mulai terkikis melalui pembatasan-pembatasan kekuasaan dalam Negara, hal ini tidak secara langsung menghilangkan figur seorang “raja” (personifikasi

(10)

4

individu absolut) dalam sebuah Negara. Pada kenyataannya, masih ada Negara di dunia yang menggunakan figur seorang pemimpin selayaknya “raja” dalam negaranya__semisal Thailand, Inggris, Jerman__meskipun konsep maupun penamaannya telah dimodifikasi sedemikian rupa agar sesuai dengan perkembangan kebutuhan Negara modern dewasa ini.

Demikian halnya dengan Konstitusi yang juga mengalami perkembangan pesat dari masa ke masa. Konsep hukum kuno yang diawali dari kebiasaan masyarakat, pada tahap selanjutnya menuntut adanya kewajiban_(kepastian atas penegakan)_ menciptakan ketaatan atas kebiasaan-kebiasaan tersebut. Untuk itu diperlukan figur pemimpin yang memiliki kekuasaan menjalankan hukum. Konstitusi menjadi suatu dokumen yang amat penting dalam rangka memenuhi kebutuhan tersebut, karena disamping emengatur aturan dasar, di dalamnya juga diatur bagaimana cara menjalankannya. Pada dasarnya, menurut pemikiran penulis, cikal bakal sebuah konstitusi telah ada sejak masyarakat memiliki keinginan untuk membentuk satu komunitas dalam lingkup satu wilayah politis yang memiliki aturan hukum mengikat (dalam bentuk negara, kerajaan, atau komunitas bangsa lainnya yang belum menamakan dirinya negara, tetapi memiliki seorang pemimpin atau figur yang dianggap sebagai penguasa). Hanya saja, kondisi pada masa itu masih menggunakan konsep konstitusi secara sederhana dan yang terpenting mengatur bagaimana kekuasaan akan dijalankan.

Definisi Negara

Menurut istilah asing, Negara dikenal dengan beberapa penyebutan: “state” (bahasa inggris), “staat” (bahasa belanda), “d’etat” (bahasa Perancis), “estado” (bahasa Spanyol) yang berasal dari induk kata bahasa latin “status” atau “statum” yang berarti

(11)

5

menaruh dalam keadaan berdiri ,membuat berdiri, menempatkan berdiri2.

Sedangkan menurut istilah Indonesia, Negara berasal dari bahasa sanskerta, yakni “nagari” atau “nagara” yang berarti kota. Apapun penyebutannya, negara memiliki pengertian sebagai organisasi kekuasaan yang bersifat mengatur masyarakat melalui sebuah aturan-aturan tertentu untuk mewujudkan tujuan-tujuan yang telah disepakati bersama dalam rangka menciptakan kemandirian, kemakmuran dan kesejahteraan. Oleh sebab itu, unsur utama yang harus dimiliki oleh negara adalah: Rakyat, wilayah, pemerintahan yang berdaulat, serta adanya pengakuan dari bangsa lain (bilamana diperlukan).

Konsep Negara Hukum

• Konsep Negara Hukum Rechtsstaat: berkembang di wilayah Eropa Kontinental yang dipelopori diantaranya oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl. Ciri khas konsep Negara Hukum Rechtsstaat adalah;3

1. Pengakuan hak-hak asasi manusia (grondrechten); 2. Adanya pemisahan kekuasaan (Scheiding van machten); 3. Pemerintahan yang berdasarkan atas undang-undang

(wetmatigheid van bestuur); dan

4. Peradilan administrasi (administratieve rechtspraak).

2. Disadur dari Soetomo, Ilmu Negara, Surabaya, usaha nasional, 1993,

hlm. 20.

3. Padmo Wahyono, 1989, “Pembangunan Hukum di Indonesia”, Ind-Hill

(12)

6

• Konsep Negara Hukum The Rule of law: berkembang diwilayah anglo saxon maupun anglo-amerika dan dipelopori oleh A.V. Dicey. Konsep The Rule of Law memiliki ciri sebagai berikut4:

1). Supremasi Hukum (Supremacy of Law);

2). Persamaan di hadapan hukum (Equality before the Law) 3). Asas Legalitas (Due Proses Law)

• Menurut Sri Soemantri,5 Ada empat unsur yang harus dipenuhi dalam konsep Negara Hukum yaitu:

1. Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar atas hukum atau peraturan perundang-undangan;

2. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara);

3. Adanya pembagian kekuasaan dalam negara; 4. Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan. • Menurut Jimly Asshiddiqie, ada dua belas prinsip Negara

Hukum:6

1. Supermasi hukum (supermacy of law),

2. Persamaan dalam hukum (equality before the law), 3. Asas legalitas (due process of law),

4. Pembatasan kekuasaan,

5. Organ-organ eksekutif independen,

4

. Jimly Asshiddiqie, 2006, Konstitusi dan Konstitusionalisme. op.cit, hal.152.

5. Sri Soemantri, 1992, “Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia”,

Alumni, Bandung, hal. 29-30.

6. Jimly Asshiddiqie, 2006, “Konstitusi dan Konstitusionalisme

(13)

7

6. Peradilan bebas dan tidak memihak, 7. Peradilan tata usaha negara,

8. Peradilan tata negara (constitusional court), 9. Peradilan hak asasi manusia,

10. Bersifat demokratis (democratische rechtsstaat), 11. Berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan negara

(welfarestaat), dan

12. Transparansi dan kontrol sosial. • Menurut Bagir Manan:7

1. Pengakuan, penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia yang berakar dalam penghormatan atas martabat manusia (Human Dignify).

2. Asas kepastian hukum. Negara hukum bertujuan untuk menjamin bahwa kepastian hukum terwujud dalam masyarakat.

3. Asas Similia Similibus (asas persamaan). Dalam negara hukum, pemerintah tidak boleh mengistimewakan orang tertentu (harus non-diskriminatif).

4. Asas demokrasi. Asas demokrasi memberikan suatu cara atau metode pengambilan keputusan. Asas ini menuntut bahwa setiap orang harus mempunyai kesempatan yang sama untuk mempengaruhi tindakan pemerintahan.

7

. Disadur dari tulisan B Arief Sidharta, “Kajian Kefilsafatan tentang

Negara Hukum”, lentera, Edisi 3 Tahun II, November 2004,

(14)

8

5. Pemerintah dan pejabat pemerintah mengemban fungsi pelayanan masyarakat.

Landasan konsep Negara Hukum Indonesia

Pasal 1 ayat (3) Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Konstitusi Indonesia):

“ Negara Indonesia adalah negara hukum”

Pasal 28 I ayat (5) Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ( menjelaskan tentang perwujudan Konsep Negara Hukum Demokratis Indonesia):

“Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan”.

Konsep Negara Hukum Indonesia ini merupakan perpaduan kedua konsep antara rechtstaat dan the rule of law. Sebelumnya, konsep negara Hukum di Indonesia lebih mengarah kepada Rechtstaat, selanjutnya dengan pemberian nama Negara Hukum Pancasila, yaitu tepatnya pada masa orde baru dan sebelum amandemen UUD NRI Tahun 1945, dan menjadi Negara hukum demokratis pada masa reformasi hingga saat ini.

Dengan demikian, maka jelaslah sudah bahwa Konstitusi memiliki kedudukan yang amat penting bagi sebuah negara. Konstitusi pula yang akan menjadi dasar aturan bagaimana negara akan dijalankan. Melalui Konstitusi, dapat dilihat gambaran mengenai sistem hukum apa yang dianut, perkembangan demokrasi, sampai kpada konsep penyelenggaraan pemerintahan maupun pembagian kekuasaan dalam negara.

(15)

9

BAB II

Konstitusi dan Konstitusionalisme

Sejarah dan pemikiran awal tentang Konstitusi

Pemikiran dan ide awal tentang Konstitusi pada dasarnya telah muncul sejak masa lampau, yaitu masa dimana mulai berkembangnya poses unifikasi masyarakat menjadi sebuah komunitas rakyat dalam satu bentuk pengakuan kedaulatan di bawah satu system pemerintahan. Pada masa ini, secara sederhana konsitusi melalui pengertian maknanya muncul dalam satu lingkup sistem pemerintahan yang sangat sederhana pula. Adalah Yunani kuno, sebuah wilayah yang melahirkan ide gagasan tentang konstitusi yang didahului dengan munculnya bentuk Negara kota (polis) yang kemudian memunculkan pula ide-ide tentang konsep dan sistematika pemerintahan kala itu. Ide-ide yang berkaitan dengan politik, pemerintahan, negara dan sosial.

Gagasan mengenai konstitusi secara maknawi diperkenalkan oleh Plato melalui tulisan-tulisan dalam “Nomoi”, demikian halnya dengan Socrates yang menelurkan konsep kekuasaan (power), rakyat dan pemerintahan melalui karyanya “Panatheenaicus” maupun “aeropagiticus”. Pada masa klasik ini, perkembangan konstitusionalisme masih pada taraf yang amat primitif dan diberlakukan pada negara kota (polis) yunani kuno. Selaras dengan itu, Aristoteles yang mewarisi pemikiran Plato dan hidup dalam rentang waktu selanjutnya, melalui “Politics” membahas lebih lengkap mengenai Konstitusi termasuk di dalamnya konsep kedaulatan (sovereignity), kekuasaan Negara

(16)

10

(power), dan pemerintahan. Meskipun kondisi Negara pada waktu itu masih berbentuk polis (Negara kota) kecil, akan tetapi pemikiran filsuf yunani saat itu telah sampai pada cita Negara dan pemerintahan yang diidealkan. Secara tidak langsung, makna tentang Konstitusi secara sedikit demi sedikit telah muncul dan berkembang dalam rangkaian pemikiran yunani kuno.

Selanjutnya, gagasan tentang Konstitusi mulai berkembang pesat pada masa Romawi dimana gagasan tersebut telah sampai pada tahap pengertiannya sebagai “superiority law” atau hukum tertinggi. Pada tahapan masa ini, Konstitusi dimaknai sebagai suatu aturan hukum yang terpisah dari Negara dan kedudukannya pun jauh lebih tinggi. Senada dengan itu, Cicero mengartikan suatu Negara sebagai a bond of law (vinculum yuris)8. Dengan demikian, maka Konstitusi pun mulai dipahami sebagai aturan tertinggi yang menentukan bagaimana bangunan kenegaraan harus dikembangkan sesuai dengan prinsip the higher law9. Hal ini lantas berimplikasi pada diperkenalkannya hierarki peraturan (hukum) di bawah konstitusi dan penyelenggaraan pemerintahan dengan berpegang pada konstitusionalisme.

Baik itu pemikiran konstitusi pada masa Yunani maupun Romawi, keduanya sama-sama membuktikan keniscayaan akan dibutuhkannya Konstitusi dalam lingkup kehidupan dan susunan sebuah Negara. Sejalan dengan itu, Konstitusi pada masa modern mengalami perkembangan yang luar biasa signifikan seiring dengan peradaban bernegara. Konstitusi yang pada awal kemunculannya masih berupa gagasan ide, secara pasti mulai menemukan bentuk tubuhnya. Bisa dikatakan, berkembangnya sebuah Kostitusi dibangun dari dalam ide Konstitusi itu sendiri, atau dengan kata lain, Konstitusi itu sendirilah yang menjamin

8. Jimly Asshiddiqie, op.cit, hal.13 9. Ibid, hal. 14

(17)

11

bagaimana dirinya akan dijalankan dalam kehidupan bernegara (Konstitusionalisme).

Negara dalam berbagai cara kelahirannya membutuhkan sebuah Konstitusi untuk menjamin keberadaan dan eksistensi dirinya. Dengan demikian maka Konstitusi antara satu Negara dengan Negara lain tentu saja berbeda dalam hal spirit of nation-nya. Hal demikian terjadi karena perbedaan sosio-kultural, pergerakan politik, maupun perbedaan dalam hal latar belakang proses kelahiran dan terbentuknya sebuah Negara.

Kondisi sosio kultural yang ada pada abad pertengahan di Eropa kontinental menjadikan konstitusi sebagai sebuah legalitas formal atas absolutisme raja dimana ia sendiri menjadikan Konstitusi sebagai alat kekuasaan dan hukum. Pada masa ini pula Negara dan konstitusi berada pada satu garis lurus kekuasaan absolutisme raja. Konstitusi berfungsi sebagai sarana kekuasaan dan kedaulatan Raja, sedangkan kekuasaan dan wewenang Negara (kerajaan) terwakilkan melalui ucapan maupun titah Raja;“L’etat ces moi”.

Runtuhnya romantisme dan absolutisme raja yang terjadi sedemikian rupa diiringi dengan munculnya Revolusi dan industrialisasi di segala bidang, pada tahap selanjutnya telah melahirkan gagasan pembentukan sekaligus lahirnya Konstitusi yang di dalamnya memperhatikan hak-hak individu melalui proses suksesi kala itu. Konstitusi dan konstitusionalisme pada masa ini sangat kental dengan konsep individualisme dan liberalisme sebagai efek dari berakhinya periodisasi absolutisme raja. Konstitusionalisme pada masa ini lebih mengarah pada perwujudan konsep Laizes Faire, sedangkan posisi Negara hanya sebagai penjamin atau “penjaga malam” saja. Dikatakan demikian karena Negara bersifat pasif terhadap kesejahteeraan rakyat dan menyerahkan urusan perekonomian sesuai kehendak para pemilik modal maupun mekanisme pasar. Dalam sejarah

(18)

12

perkembangannya kemudian, teknologi dan industri yang demikian pesat serta individualisme yang dominan menyebabkan tidak meratanya strata sosial dan kesejahteraan masyarakat. Dalam kondisi seperti itulah Negara dirasa perlu untuk mengambil langkah guna mewujudkan Negara yang dapat mewujudkan pemerataan kesejahteraan rakyatnya. Peranan Negara secara perlahan tidak lagi berada pada posisi naachtwactherstaat, melainkan menuju pada konsep welfaarstaat

Konstitusi mengalami perluasan substansi justru pada masa era Negara hukum modern. Konsep Negara hukum yang muncul dalam dua konsep rechtsstaat dan rule of law merupakan era dimana konstitusionalisme benar-benar terimplementasikan secara proposional dalam penyelenggaraan Negara. Baik antara rechhtstaat yang muncul di eropa kontinental maupun rule of law yang berkembang di wilayah anglo saxon dan anglo-amerika, keduanya senada menempatkan Konstitusi sebagai tolak utama penyelenggaraan Negara dan pemerintahan. Keduanya bahkan menempatkan HAM didalamnya. Rechtstaat dan rule of law merupakan metamorfosa dari konsep Negara hukum liberalis- individualis yang tidak lagi mampu mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Hal ini pula lah yang kemudian secara filosofis memunculkan ide akan Negara kesejahteraan (welfare state) yang sampai saat ini menjadi amat mutakhir dalam proses pengembanan pemerintahan Negara. Konsep ini mendasari pembentukan Konstitusi-Konstitusi Negara yang muncul dikemudian hari.

(19)

13 Teori dan Pengertian Konstitusi a) Definisi Konstitusi

- Konstitusi berasal dari bahasa Perancis (constituer) yang berarti membentuk. Pemakaian istilah konstitusi ialah pembentukan suatu Negara atau menyusun dan menyatakan suatu Negara.10

- Konstitusi dalam bahasa latin terdiri dari dua kata :

1. Cume : (sebuah makna preposisi) yang berarti bersama dengan

2. Stature : berasal dari kata “sta” yang berarti berdiri, berarti pula “membuat sesuatu berdiri / mendirikan dan menetapkan”.

Secara keseluruhan berarti menetapkan sesuatu secara bersama-sama (constituo).11

- Menurut Jimliy Asshiddiqie :

Konstitusi adalah hukum dasar yang dapat berupa tertulis (berupa UUD) dan tidak tertulis.12

- Menurut Brian Thompson :

“a constitution is a document which containts the rules for the aperation of an organization”13, artinya : konstitusi adalah sekumpulan dokumen yang berisi aturan, tata cara dijalankannya sebuah organisasi.

- Menurut C. F. Strong :

“A collection of principles according to which the powers of government, the rights of government, and the relations

10. Wirjono Projodikoro, 1989, “Asas-Asas Hukum Tata Negara di

Indonesia”, Dian Rakyat, Jakarta, hal. 10

11.Koerniatmanto Soetoprawiro, “Konstitusi: pengertian dan

Perkembangannya”,pro justicia, no. 2 tahun V Mei 1987, hl. 3, dalam

Dahlan Thaib, Ni’matul Huda dan Jazim Hamidi, op cit, hal.3

12

. Jimly Asshiddiqie, op.cit, Hal.35

13. Brian Thompson, “Textbook sirconstitusional and administrative law”,

(20)

14

between the two are adjusted14, artinya : “Sekumpulan aturan yang berkaitan dengan kekuasaan pemerintah, hak-hak yang diperintah, dan hubungan yang mengatur diantara keduanya.”

- Menurut Lord Bryce :

“A Frame of political society, organized through and by law, that is to say, on in which law has established permanent institutions with recognized functions and definite rights.15 Artinya : Sebuah bingkai kehidupan politik, yang terorganisir oleh aturan hukum, yang dalam hal ini berisikan pula ketentuan lembaga-lembaga negara yang didalamnya diatur pula ketentuan-ketentuan tentang HAM.

- Menurut John Alder:

Constitutions means a foundations or basisi, and the constitutions of a country embodies the basic framework of rules about the government of that country and about its fundamental values.16

- Menurut Henc van Masrseveen:

menyatakan bahwa konstitusi adalah: (1) a national document, di mana konstitusi ini berfungsi untuk menunjukkan kepada dunia (having constitution to show to the outside world) dan menegaskan identitas negara (to emphasize the state’s own identity); (2) a politic-legal document, di mana konstitusi berfungsi sebagai dokumen

14. C.F. Strong, 1960, “Modern Politicl Constitution, An Introduction To

The Comparative Study of their History and Existing Form”,

Sidgwick & Jackson Limited, London, hal 9, Dalam Budiman Sinaga, 2005, “Hukum Konstitus”, Kusuma Kalam Semesta, Yogyakarta, hal 15 – 16.

15

. Ibid, hal. 16

16. John Adler, 1989, “Constitutional and administrative Law”, MacMillan

(21)

15

politik dan hukum suatu negara (as a means of forming the state’s own political and legal system; dan (3) a bitrh of certificate, di mana konstitusi berfungsi sebagai piagam kelahiran suatu bangsa (as a sign of adulthood and independence).17

- Menurut Ferejohn;

konstitusionalisme adalah suatu proses interpretasi yang dalam satu masyarakat yang para anggotanya berpartisipasi dalam kekuasaan politik dan secara bersama berusaha untuk menetapkan apa yang konstitusi diijinkan atau dipersyaratkan dalam kaitannya dengan persoalan-persolan spesifik.18

- Menurut A. Mukthie Fadjar :

“Pengertian konstitusi yang ada di Indonesia lazim disebut Undang-Undang dasar adalah sekumpulan kaidah yang mengatur organisasi negara, yang merupakan pedoman pokok berfungsinya suatu negara.”19

- Menurut Usep Ranawijaya20

Ciri Umum UUD sebagai Konstitusi adalah :

1. Konstitusi sebagai kumpulan kaidah hukum diberi kedudukan yang lebih tinggi daripada kaidah hukum lainnya, karena dimaksudkan sebagai alat untuk membatasi wewenang penguasaan sehingga tidak

17. Dikutip dalam Sri Soemantri, 2002, Undang Undang Dasar 1945,

Kedudukan dan Aspek Perubahannya”, Unpad Press, Bandung, hal.17.

18

. John ferejohn, Jack N Rakove and Jonathan Rhile, 2001, “Constitutional Culture and Democration Rule”, Cambridge University Press, United Kingdom, hal. 8-9.

19. A. Mukthie Fadjar, 2004, “Tipe Negara Hukum”, Banyumedia

Publishing, Malang, hal. 80

20. Usep Ranawijaya, 1983, “Hukum Tata Negara Indonesia,

(22)

16

boleh dengan mudah diubah oleh golongan yang kebetulan berkuasa.

2. Konstitusi memuat prinsip-prinsip dan ketentuan-ketentuan yang dianggap paling pokok mengenai kehidupan bersama.

3. Konstitusi lahir dari moment sejarah terpenting bagi masyarakat yang bersangkutan.

b). Konstitusi Tertulis dan Tidak Tertulis

Konstitusi memuat suatu aturan pokok (fundamental) mengenai sendi-sendi pertama untuk menegakkan suatu bangunan besar yang disebut negara. Sendi-sendi itu tentunya harus kokoh, kuat dan tidak mudah runtuh agar bangunan negara tetap tegak berdiri. Ada dua macam konstitusi di dunia, yaitu “Konstitusi Tertulis” (Written Constitution) dan “Konstitusi Tidak Tertulis” (Unwritten Constitution), ini diartikan seperti halnya “Hukum Tertulis” (geschreven Recht) yang trmuat dalam undang-undang dan “Hukum Tidak Tertulis” (ongeschreven recht) yang berdasar adat kebiasaan. Dalam karangan “Constitution of Nations”, Amos J. Peaslee menyatakan hampir semua negara di dunia mempunyai konstitusi tertulis, kecuali Inggris dan Kanada. 21

Di beberapa negara ada dokumen tetapi tidak disebut konstitusi walaupun sebenarnya materi muatannya tidak berbeda dengan apa yang di negara lain disebut konstitusi. Ivor Jenning dalam buku (The Law and The Constitution) menyatakan di negara-negara dengan konstitusi tertulis ada dokumen tertentu yang menentukan:

21.

(23)

17

a. Adanya wewenang dan tata cara bekerja lembaga kenegaraan

b. Aadanya ketentuan berbagai hak asasi dari warga negara yang diakui dan dilindungi

Di inggris baik lembaga-lembaga negara termaksud dalam huruf a maupun pada huruf b yang dilindungi, tetapi tidak termuat dalam suatu dokumen tertentu. Dokumen-dokumen tertulis hanya memuat beberapa lembaga-lembaga negara dan beberapa hak asasi yang dilindungi, satu dokumen dengan yang lain tidak sama. Karenanya dilakukan pilihan-pilihan di antara dokumen itu untuk dimuat dalam konstitusi. Pilihan di Inggris tidak ada. Penulis Inggris yang akhirnya memilih lembaga-lembaga mana dan hak asasi mana oleh mereka yang dianggap “constitutional.” 22

Ada konstitusi yang materi muatannya sangat panjang dan sangat pendek. Konstitusi yang terpanjang adalah India dengan 394 pasal. Kemudian Amerika Latin seperti uruguay 332 pasal, Nicaragua 328 pasal, Cuba 286 pasal, Panama 271 pasal, Peru 236 pasal, Brazil dan Columbia 218 pasal, selanjutnya di Asia, Burma 234 pasal, di Eropa, belanda 210 pasal.23

Konstitusi terpendek adalah Spanyol dengan 36 pasal, Laos 44 pasal, Guatemala 45 pasal, Nepal 46 pasal, Ethiopia 55 pasal, Ceylon 91 pasal dan Finlandia 95 pasal.

Di indonesia sendiri, lebih menganut Konstitusi tertulis yang terwujud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Disamping itu ada juga Konstitusi tidak tertulis dalam bentuk Konvensi yang diakui keberadaannya dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.

22 . ibid 23 . ibid.

(24)

18 c). Isi Konstitusi

- Menurut Steenbeek

Secara umum, UUD sebagai Konstitusi tertulis berisi tiga hal pokok :

Pertama, adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warga negara ; Kedua, ditetapkannya susunan ketatanegaraan yang bersifat fundamental ; Ketiga, adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat fundamental.24

- Menurut Bagir Manan dan Kuntana Magnar, UUD berisikan :

a. Dasar-dasar mengenai jaminan terhadap hak-hak dan kewajiban penduduk atau warga negara

b. Dasar-dasar susunan atau organisasi negara.

c. Dasar-dasar pembagian dan pembatasan kekuasaan lembaga-lembaga negara ; dan

d. Hal-hal yang menyangkut identitas negara, seperti bendera dan bahasa nasional.25

- Menurut I Gede Pantja Astawa

Konstitusi juga dapat berisi pengaturan tentang sistem ketatanegaraan. Sistem ketatanegaraan dapat diartikan sebagai susunan ketatanegaraan, yaitu segala sesuatu yang berkenaan dengan organisasi negara, baik yang menyangkut tentang susunan dan kedudukan lembaga

24. Dikutip dari Sri Soemantri, dalam Budiman Sinaga, “Hukum

Konstitusi”, op.cit, hal. 20

25. Dikutip dari Pendapat Bagir Manan & Kuntana Magnar, dalam Budiman

(25)

19

lembaga negara, tugas dan wewenangnya maupun mengenai hubungannya satu sama lain.26.

d). Konstitusionalisme Menurut C.J Friedrich:

“an institusionalised system of effective, regularized

restraints upon governmental action”: suatu sistem yang terlembagakan, menyangkut pembatasan yang efektif dan teratur terhadap tindakan-tindakan pemerintahan.27 Menurut Ferejohn;

konstitusionalisme adalah suatu proses interpretasi yang dalam satu masyarakat yang para anggotanya berpartisipasi dalam kekuasaan politik dan secara bersama berusaha untuk menetapkan apa yang konstitusi diijinkan atau dipersyaratkan dalam kaitannya dengan persoalan-persolan spesifik.28

Menurut Walton H. Hamilton:

“Constitusionalism is the name given to the trust which men repose in the power of word engrossed on parchment to keep a government in order”29:

Menurut Robert N. Wilkin:

“Konstitusionalisme merupakan teori atau prinsip pemerintahan konstitusional, atau menganut teori tersebut (konstitusi)”30

26. I Gede Pantja Astawa, 2000, “Hak Angket Dalam Sistem

Ketatanegaraan Indonesia Menurut UUD 1945”, Disertasi, Pasca

Sarjana UNPAD, Bandung , hal. 3, dalam Budiman Sinaga, Ibid

27. Friedrich, C.J, 1963, “Man and his government”, McGraw-Hill, New

York, hlm.217, dalam Jimliy Asshiddiqie, opcit, hal. 21.

28. John Ferejohn, Jack N Rakove and Jonathan Rile, op.cit, hal. 8-9. 29. Jimly Assiddiqie, op.cit, hal. 23

(26)

20

“ Konstitusionalisme adalah suatu pemerintahan oleh hukum (government by law), bukan pemerintahan oleh orang-orang (government by men).31

30. G.A. Forrest, 1967, “Constitution and Constitutional law”, dalam

Encyclopedia Britanica, Vol VI, hal. 398, dalam Irfan Idris, 2009, “Islam dan Konstitusionalisme”,antonylib, Jogjakarta, hal.5.

(27)

21

BAB III

KONSTITUSI dan HAM

Pelembagaan HAM dalam Sejarah dan Konstitusi

Pada prinsipnya, pengembanan HAM sebagai unsur intrinsik yang ada pada diri manusia telah ada sejak lama. Kesadaran akan adanya hak asasi manusia, harga diri, harkat dan martabat kemanusiaan sesungguhnya telah diawali sejak manusia ada di muka bumi. Hal itu disebabkan oleh hak – hak kemanusiaan secara kodrati sudah ada sejak manusia itu dilahirkan dan merupakan hak yang melekat dan tidak terpisahkan pada diri manusia.Hak Asasi sendiri dalam perwujudannya yang paling sederhana muncul dengan sendirinya bersamaan dengan kelahiran umat manusia. Ia muncul hampir bersamaan dengan “kewajiban” yang membebani manusia sebagai individu maupun kelompok. Manakala manusia mulai berinteraksi dengan manusia lainnya, maka hak asasi akan berbenturan satu sama lain, dengan demikian muncullah kesepakatan awal untuk saling tidak menghilangkan hak asasi diantara mereka. Kesepakatan ini kemudian menjadi hukum yang mengatur kehidupan antar umat manusia, termasuk itu di dalamnya berisi kewajiban untuk saling menjaga hak, kepentingan dan kebutuhan manusia. Dengan demikian, Kemunculan Hak Asasi ini sama lampaunya dengan konsepsi kemunculan hukum dalam sejarah umat manusia. Dalam pada itu, Pengakuan atas Hak asasi manusia pada masa lampau masih bersandar pada bingkai sosio-kultural yng saat itu berlaku sebagai kebiasaan

(28)

22

(costumary law). Sedangkan pengakuan Hak Asasi dalam bentuk dokumen tertulis baru muncul pada waktu yang lama sesudahnya saat manusia mulai mengenal aksara.

Upaya yang dilakukan dalam rangka pengakuan dan penegakan HAM telah ada sejak dahulu kala. Pada masa kenabian, Hak Asasi Manusia tergambar melalui pelawanan Musa terhadap Fir’aun yang memerintahkan pembantaian terhadap bayi perempuan. Musa juga menyelamatkan kaum yahudi dari kekejaman Fir’aun serta menyatukan ajaran dan komunitas umat yahudi dalam satu ajaran Taurat, Ibrahim yang mencoba meninggikan harkat kemanusiaan hingga akhirnya selamat meskipun dibakar, serta Muhammad yang melalui ajaran Islamnya menyerukan persatuan, peninggian derajat umat manusia serta beberapa langkah penghapusan perbudakan yang menjadi kebudayaan arab.

Ide dan upaya penegakan Hak Asasi Manusia juga terjadi pada masa kekaisaran Hammurabi (babylonia) salah satunya dengan membuat kodifikasi Hammurabi dalam sebuah prasasti yang didalamya menyatakan kewajiban dan hak rakyat dalam hal kepatuhan dan penyembahan terhadap dewa matahari. Di Yunani, Socrates yang terkenal dalam pemikirannya juga termasuk ke dalam individu pelaku sejarah yang telah meletakkan dasar perlindungan dan jaminan diakuinya HAM dengan konsepsinya yang menganjurkan masyarakat untuk melakukan kontrol terhadap kekuasaan pemerintah, yang kemudian diteruskan oleh ahli filsafat kenegaraan Aristoteles dengan ajaran demokrasinya.32 Selain itu, di Athena, Solon sudah mencanangkan perlindungan atas HAM sebagai ekspresi penegakan keadilan dengan

32. Bambang Soegiono, 2010, artikel- diunduh pada 24 september 2010

(29)

23

pembentukan lembaga peradilan (heliaea) dan majelis rakyat (eccelesia). Dilanjutkan oleh Pericles yang menghimbau rakyat untuk menggunakan hak-haknya sebagai warga Negara untuk berperan serta dalam majelis rakyat tersebut.33

Pergolakan mengenai perkembangan HAM dan pelembagaannya telah ada dan berkembang dalam beberapa periode sejarah yang diakui keabsahannya secara modern, diantaranya :

- “Perjanjian Agung” Magna Charta di Inggris pada 15 Juni 121534, yang kemudian diakui sebagai konstitusi pemberontakan baron terhadap raja John yang berisi : hendaknya raja tak melakukan pelanggaran terhadap hak milik dan kebebasan pribadi seorang pun dari rakyat. Magna Charta sendiri merupakan sebuah dokumen pembatasan kekuasaan Raja. Secara explisit, Magna Charta memberikan kebebasan kepada rakyat, para Baron dan pihak Gereja termasuk didalamnya memberikan jaminan hukum. Perjanjian ini menandakan bahwa Raja harus tunduk pada Hukum/Undang-Undang. Magna Charta memuat 2 (dua) prinsip utama berkaitan dengan pengakuan dan penegakan HAM, yaitu: (i) pembatasan terhadap kekuasaan raja, dan (ii) pengakuan bahwa HAM lebih penting daripada kedaulatan raja, sehingga pertimbangan untuk mengurangi HAM haruslah melalui prosedur hukum yang ada lebih dahulu, prinsip tersebut dalam perjalanan sejarah hukum modern dikenal dengan prinsip legalitas.35

33. Ibid,

34. Majda el Muhtaj, 2005, “Hak – Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi

Indonesia”, Kencana, Jakarta, hal. 52.

(30)

24

- Petition of Rights, muncul selanjutnya di Inggris pada Tahun 1628 dan secara garis besar berisi penegasan jaminan Hak Asasi dalam hal persetujuan pungutan pajak dan Hak warga Negara untuk medapatkan jaminan persetujuan dari intervensi militer.

- Hobeas Corpus Act, dibuat pada tahun 1628, merupakan pakta yang dibuat guna melindungi Hak Asasi Manusia dalam kaitannya dengan penangkapan dan penahanan.

- Bill of Right pada 1689, muncul setelah adanya revolusi tak berdarah (Glorious Revolution) sebagai perlawanan terhadap Raja James pada tahun 1668. Bill of Rights berisi pembatasan kekuasaan raja dan dihilangkannya hak raja untuk melaksanakan kekuasaan terhadap siapapun atau untuk memenjarakan, menyiksa dan mengirimkan tentara kepada siapapun tanpa dasar hukum.36 Disamping itu merupakan sebuah dokumen yang di dalamnya menegaskan HAM secara spesifik seperti kebebasan memilih parlemen, kebebasan beragama dan kebebasan berbicara dan mengeluarkan pendapat.

- Deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat yang sekaligus memunculkan Declaration of Independence, pada 6 Juli 177637 memuat penegasan bahwa setiap orang dilahirkan dalam persamaan dan kebebasan dengan hak untuk hidup dan mengejar kebahagiaan serta mengganti pemerintah yang tidak mengindahkan ketentuan - ketentuan dasar tersebut. Selanjutnya;

36. Ibid, hal. 52

37. Marsiyem, “Sari Kuliah Hukum dan HAM”, disampaikan pada saat

mata kuliah hukum dan HAM fakultas Hukum Unissula, Selasa, 12 September 2006.

(31)

25

- The Four Freedom, dicetuskan oleh Franklin D. roosevelt pada Kongres Amerika Serikat tanggal 6 Januari 1941 dan berisi tentang Kebebasan untuk berbicara dan mengeluarkan pendapat (freedom of speech), Kebebasan untuk memeluk agama (freedom of religion), Kebebasan dari ketakutan, (freedom from fear) dan Kebebasan dari kemelaratan (freedom from want).

- Declaration de Droits de’I home et du citoyen Prancis pada 14Agustus 1789, diantaranya berisi Hak asasi pemilikan harta, kekerasan, persamaan, keamanan, perlawanan terhadap penindasan.38

- Declaration of Human Rights 1948.39

Sebelum munculnya Declaration of Human Rights, terlebih dahulu PBB membentuk dan mengesahkan Piagam dan Statuta Mahkamah Internasional menyangkut perlindungan HAM pada tanggal 26 Juni 1945 di San Fransisco. Selanjutnya, setelah Perang Dunia II tahun 1946 Badan PBB (UN) yang disebut ECOSOC merancang piagam HAM yang hasilnya disahkan dalam Sidang Umum PBB (General Assembly United Nations) pada tanggal 10 Desember 1948 di Paris, dikenal dengan sebutan Piagam Sedunia tentang Hak-hak Manusia (Universal Declaration of Human Rights). Sebagai sebuah "pernyataan" atas piagam tersebut baru mengikat secara moral dan bukan yuridis, sebab mengikat secara yuridis harus dituangkan dalam bentuk Perjanjian Universal. Pada tanggal 16 Desember 1966 lahir Covenant dari Sidang Umum PBB yang mengikat secara yuridis bagi semua negara yang

38. Http://www.wikisource.org

(32)

26

meratifikasi perjanjian (covenant) tersebut. Covenant tersebut memuat: (i) perjanjian tentang hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (covenant on economic, social dan cultural rights), dan (ii) perjanjian tentang Hak-hak Sipil dan Politik (covenant on civil and political rights).40

Konstitusionalisme dan HAM dalam Islam

Hak Asasi Manusia secara lebih awal telah diakui kedudukannya dalam Islam melalui Al-Quran, sebuah Kitab suci keempat yang diturunkan dalam sejarah peradaban manusia setelah Taurat, Zabur dan Injil. Kitab yang diturunkan melalui kerasulan Muhammad ini tidak hanya membahas tentang ibadah, tetapi juga manusia dan kemanusiaan. Perintah wahyu pertama di gua hira yang diturunkan melalui Jibril kepada Muhammad berupa iqra'_sebuah surat yang didalamnya berisikan perintah untuk membaca_ pada dasarnya menggambarkan kewajiban dan pengakuan untuk mempertinggi harkat, derajat dan martabat manusia sebagai khalifah dalam memahami alam semesta melalui ilmu pengetahuan. Secara maknawi, perintah mempertinggi derajat kemanusiaan ini pada dasarnya merupakan pengakuan atas hak asasi manusia sebagai makhluk yang paling sempurna.

Al Quran tidak pernah menyebutkan secara eksplisit baik itu definisi mengenai HAM ataupun mengenai Konstitusi. Tidak adanya definisi khusus mengenai bentuk sebuah Konstitusi menyebabkan polarisasi dan fleksibilitas dalam penafsiran melalui Al-Quran. Akan tetapi disebutkannya perintah untuk berlaku adil bagi pemimipin serta dianjurkannya penghormatan terhadap Hak-Hak kemanusiaan

(33)

27

dalam sebuah kepemimpinan justru memberikan nilai lebih dan batasan positif dalam penafsirannya. Hal ini kemudian menjadi dasar pemikiran pembentukan berbagai bentuk negara dan pemerintahan oleh masyarakat Islam. Lebih lanjut disebutkan:

“Bahwasanya Allah menyuruh bersifat adil dan berbuat baik” (Q.S, 16: 90)..41

“Apabila kamu ingin hendak memberi hukum diantara manusia maka haruslah kamu memberi hukum dengan adil” (Q.S, 4: 5).42

“Dan ajaklah mereka itu bermusyawarah tentang perkara mereka” (Q.S, 3: 159).43

“dan adapun urusan mereka rakyat hendaklah dimusyawaratkan antara mereka sendiri” (Q.S, 26: 38).44

Selanjutnya Al-Quran dalam beberapa ayatnya memerintahkan untuk menegakkan HAM sekaligus mengecam keras berbagai upaya kedzaliman. Secara lebih tegas kewajiban dan pengakuan atas HAM disebutkan diantaranya sebagai beriut;

“Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh” (Q.S, 81; 8– 9)45 “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama / itulah orang yang menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin” (Q.S, 107: 1 – 3)46

“Dan tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu ?

41. Al-Quran, surat An-Nahl, ayat 90. 42. ibid, An-Nisaa, ayat 5.

43. ibid, Ali Imron, ayat 159. 44

. ibid, As Syura, ayat 38.

45. ibid, surah At-Takwir, ayat 8-9. 46. ibid, Al-Maun, ayat 1-3.

(34)

28

(Yaitu) melepaskan budak dari perbudakan” (Q.S, 90: 12 13)47 “Bagimu agamamu dan bagiku agamaku”

“Tidak boleh ada paksaan tentang agama;karena sudahlah jelas perbedaan antara benar dan sesat” (Q.S, 2: 256).48

“dan sungguh telah kami muliakan keturunan adam dan kami angkut mereka di daratan dan lautan dan Kami beri, mereka dari rezeki yang baik-baik, dan kami lebihkan mereka dari kebanyakan makhluk yang telah kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna”. (Q.S, 17: 70).49

Redaksional ayat yang terakhir ini merupakan salah satu dasar menyangkut pandangan Islam tentang Hak-Hak Asasi Manusia. Manusia siapa pun harus dihormati hak-haknya tanpa perbedaan. Semua memiliki hak hidup, hak berbicara, dan mengeluarkan pendapat, hak beragama, hak memperoleh pekerjaan dan berserikat, dan lain-lain yang dicakup oleh Deklarasi Hak-Hak Asasi Manusia. Akan tetapi, hak-hak tersebut tidak boleh bertentangan dengan hak-hak Allah dan harus selalu berada dalam koridor tuntutan agama-Nya. Dalam konteks ayat ini manusia dianugerahi Allah keistimewaan yang tidak dianugerahkan-Nya kepada yang lain dan itu pulalah yang menjadikan manusia mulia serta harus dihormati dalam kedudukannya sebagai manusia. Anugerah tersebut berlaku untuk semua manusia dan lahir bersama kelahirannya sebagai manusia, tanpa membedakan seseorang dengan yang lain. Prinsip inilah yang menjadikan Nabi Muhammad saw.berdiri menghormati jenazah seorang Yahudi, yang ketika itu sahabat-sahabat Rasul saw. menanyakan sikap beliau itu, Nabi saw. menjawab: “Bukankah yang mati itu juga manusia?” Begitu tinggi dan mulia kedudukan manusia maka Allah

47

. ibid, Al-Balad, ayat 12-13

48. ibid, Al Baqarah, ayat 256. 49. ibid, Al-Israa, ayat 70.

(35)

29

mendeklarasikan ketundukan alam semesta terhadap manusia.50

Dalam pada itu, Qur'an yang bersifat universal memiliki ciri yang berbeda mengenai HAM, yaitu lebih bersifat teokratis tetapi memiliki sisi humanistis. Hal ini tentu amat berbeda dengan HAM versi pemikiran barat yang cenderung berawal dari konsepsi pemikiran rasional. Meskipun begitu, konsep HAM dalam Quran memiliki banyak ruang untuk dirasionalkan dan dimanifestasikan. Penegakan HAM pada awal mula keislaman ini bertumpu pada entitas kewahyuan dan spiritual dengan pemberian sanksi moral spiritual oleh Muhammad sebagai Rasul pada saat itu.

Islam melalui Al-Quran mengajarkan keseimbangan antara hak dan kewajiban asasi manusia. Lebih dari itu, Islam memasukkan unsur pengakuan HAM, harkat dan martabat kemanusiaan sebagai bagian dari aspek “muamalah” yang kesemuanya itu bisa dimasukkan dalam kategori ibadah. Melalui Muhammad, pola penegakan dan pengakuan mengenai Hak Asasi Manusia sedikit demi sedikit mampu terwujud dalam konstelasi masyarakat Makkah yang masih jahiliyyah.

Dalam beberapa periode sejarah kejahiliyyahan masyarakat Makkah, Islam muncul sebagai agama yang universal dan toleran. Perbudakan yang sudah menjadi kebiasaan masyarakat tidak secara langsung dihapuskan, tetapi perlahan-lahan melalui pendekatan yang dilakukan oleh Muhammad. Islam sangat memahami betapa perbudakan merupakan salah satu perlakuan yang memasung kebebasan HAM. Oleh karena itu, perbudakan dihapus melalui pemasukan ajaran Islam kedalam masyarakat itu sendiri. Hal ini dilakukan

50. Quraish Shihab, dalam Shaharudin daming, Eskafasi mutiara HAM

(36)

30

melalui perintah untuk memerdekakakan budak sebagai pengganti atas dilanggarnya aspek ibadah maupun diabaikannya ketentuan syariat.51 Dengan demikian, diakuinya perbudakan dalam Islam bukan serta merta untuk dilestarikan melainkan dihapuskan.

Adapun dalam rangkaian pemikiran rasionalis barat yang beranggapan Islam bukanlah agama yang mengakui HAM dikarenakan adanya pencantuman penulisan dan pengakuan “budak” di dalam Al-Quran, nyatanya adalah sebuah hal yang keliru. Perbudakan yang tersirat dalam ayat Al-Quran bukanlah sebagai unsur pengabadian (underogable) atas perbudakan itu sendiri, melainkan sebuah petunjuk awal untuk upaya mewujudkan kesetaraan umat manusia termasuk diantaranya menghilangkan perbudakan. Nilai universalisme Islam yang mengakui kesetaraan manusia telah menjadi acuan bagi upaya penghapusan perbudakan masyarakat kuno melalui aspek keta'atan kepada Tuhan (ketakwaan), spiritualitas dan aspek ibadah muamalah.

Sejarah pengakuan Hak Asasi Manusia yang dilakukan oleh Muhammad mengalami masa keemasan pada saat dilakukannya hijrah dari Makkah menuju Madinah. Pada saat itulah dimulai penggabungan masyarakat dan kemajuan heterogenitas masyarakat. Islam terwujud sebagai agama yang mampu mempersatukan perbedaan kepentingan dan kesukuan masyarakat madinah. Diangkatnya nabi sebagai kepala negara

51. Penghapusan budak dilakukan melalui aspek ibadah dan penghukuman

atas dilanggarnya sebuah ketentuan agama. Pada saat itu, hal terberat yang dilakukan masyarakat adalah memerdekakan budak. Tidak hanya itu, kemerdekaan secara langsung diberikan oleh Muhammad kepada budak kaum kafir yang secara terang-terangan menyatakan diri memeluk Islam. Hal ini pun menjadi tradisi pada masanya,, sehingga memerdekakan budak turut pula dilakukan oleh para sahabat nabi.dan para penerus ajaran beliau.

(37)

31

dan pemerintahan menyebakan pemahaman akan Islam menjadi demikian kompleks dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Peran Muhammad dengan misi Islamnya mengalami lompatan besar dalam hal pengakuan HAM dan kehidupan bernegara pada saat disetujuinya Piagam Madinah sebagai sebuah aturan konstitutif atas kehidupan politik masyarakat Madinah.

Konstitusi Madinah

Terbentuknya Piagam Madinah sebagai dasar penyelenggaraan kehidupan dan pemerintahan di Madinah semakin membuktikan bahwa Sejarah Konstitusionalisme dan HAM dalam Islam pada dasarnya telah dimulai sejak masa kerasulan Muhammad SAW sebagai kepala Negara saat itu (622 M). Dalam posisinya sebagai pemimpin spiritual maupun pemerintahan di Madinah, beliau telah menerapkan konsep persamaan hak dan kebebasan beragama serta prinsip-prinsip pemerintahan yang demokratis meskipun konsep pemerintahan yang ia pimpin secara mayoritas bersifat teokratis. Piagam kesepakatan yang kemudian juga dikenal dengan sebutan shahifah52 tersebut menjadi dasar kehidupan politis dan sosial kemasyarakatan dalam sebuah Negara Madinah yang Majemuk. Hal ini menjadi demikian fenomenal dalam catatan sejarah mengingat kota Madinah adalah satu wilayah yang menjadi tempat hijrah Rasul yang bersamaan

52. Shahifah adalah nama yang disebut dalam naskah asli Piagam Madinah.

Menurut Ahmad Sukardja, kata shahifat lebih tepat dikarenakan menunjuk pada makna piagam atau charter, karena lebih menunjuk kepada surat resmi yang bersifat pernyataan tentang suatu hal, dalam Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945, hal.2.

(38)

32

dengan itu pula menerima kehadirannya sebagai pemimpin umat sekaligus pembawa agama baru (islam).

Sebagai kepala Negara, Rasul memandang perlunya unsur persatuan, kesatuan dan musyawarah dalam konsep bernegara. Konsep Rahmatan lil’alamin, Ukhuwwah ummah dan Mashlahah ‘aammah (kepentingan dan kesejahteraan umum) benar-benar termanifestasikan dalam pola kepemimpinannya.

Konstitusi Madinah yang kemudian diakui keberadaannya sebagai sebuah Konstitusi pertama dan otentik pada dasarnya memiliki beberapa kharakteristik Konstitusi Modern. Berdasarkan masa sejarah pada saat Konstitusi tersebut dibentuk, secara jelas terlihat pengaruh yang amat besar yang diberikan oleh Islam melalui Al-Quran dan As-sunnah yang dideskripsikan melalui perilaku dan seni kepemipinan Muhammad.

Keberhasilan pembentukan dan penerapan Piagam Madinah tidak lepas dari pola keteladanan Muhammad (uswah) dalam mendeskripsikan Islam sebagai rahmat bagi semesta (rahmatan lil ‘alamiin) termasuk di dalamnya toleransi bagi umat beragama lain. Disamping itu, adanya cita-cita besar pembentukan Negara yang damai, sejahtera dan madani menjadi salah satu latar belakang disusunnya Piagam ini. Integralisasi aturan kehidupan yang dilakukan oleh Muhammad bukan hanya ditujukan bagi masyarakat Muslim, tetapi lebih dari itu Ia menjamin kebutuhan dan Hak-hak warga Negara yang dipimpinnya dalam kemajemukan budaya dan agama.

Secara tekstual, Piagam Madinah ini secara lengkap diriwayatkan oleh Ibn Ishaq (w. 151 H) dan Ibn Hisyam (w. 213

(39)

33

H),53 Meskipun kharakteristik yang terkandung didalamnya masih kuno, tetapi kebenaran dan keotentikan piagam tersebut dapat dipertanggungjawabkan mengingat gaya bahasa dan penyusunan redaksi yang digunakan dalam Piagam Madinah ini setaraf dan sejajar dengan gaya bahasa yang dipergunakan pada masanya. Demikian pula kandungan dan semangat piagam tersebut sesuai dengan kondisi sosiologis dan historis zaman itu54. Keotentikan Piagam Madinah ini diakui pula oleh William Montgomery Watt, yang menyatakan bahwa dokumen piagam tersebut, yang secara umum diakui keotentikannya, tidak mungkin dipalsukan dan ditulis pada masa Umayyah dan Abbassiyah yang dalam kandungannya memasukkan orang non muslim ke dalam kesatuan ummah.55

Sebagai sebuah Konstitusi, Piagam Madinah memuat secara explisit megenai persatuan ummat dan dasar penerapan pembentukan kenegaraan. Kharakteristik tersebut diantaranya;56

1. Masyarakat pendukung Piagam Madinah merupakan masyarakat yang majemuk terdiri dari beberapa ikatan kesukuan dan agama. Unsur kesukuan memegang peranan penting bagi pembentukan awal sebuah kelompok dalam komunitas, dengan demikian maka menjadi awal cikal bakal pembentukan negara. Pada saat itu, Muhammad menghilangkan primordialisme kesukuan dan menggantinya dengan nasionalisme (dilihat dari unsur kegotongroyongan serta musyawarah

53. Disadur dari artikel dalam www.google.com//sejarah Hak Asasi

Manusia/Piagam Madinah, diunduh pada 24 September 2010, hal.2-3

54. ibid,. 55

. ibid,.

56. Sebagaimana diantaranya dirangkum dan disadur dari Irfan Idris, op.cit,

(40)

34

dalam kabilah yang dimaksudkan untuk membangun satu persatuan Negara Madinah dengan tanpa menghilangkan ciri-khas masing-masing kabilah, tetapi menggabungkannya dalam sebuah aturan Piagam yang kemudian disepakati bersama menjadi sebuah dokumen pengikat kehidupan majemuk secara politik).

2. Persamaan kedudukan dalam masyarakat yang ditandai dengan kewajiban untuk saling menghormati, bekerjasama serta memberikan perlakuan yang adil dan wajar sesuai dengan kemanusiaan. Termasuk pula di dalamnya perlindungan politik dan hukum terhadap kaum minoritas.

3. Pengakuan terhadap agama dan kebebasan menjalankan ibadah bagi Muslim dan Yahudi serta bagi umat lainnya, persamaan kedudukan di hadapan hukum bagi seluruh warga negara, pengakuan atas perjanjian perdata warga negara, Hak dan kewajiban pembelaan negara terkait penyerangan dan pertahanan, serta pengakuan atas perdamaian.

4. Adanya sentralisasi dan desentralisasi pemerintahan yang ditandai dengan Yatsrib sebagai pusat pemerintahan serta pembagian wewenang terhadap penyelesaian permasalahan dalam suku/kabilah yang diserahkan urusannya kepada masing-masing suku tersebut, dan menyerahkan urusan kepada Muhammad (pemimpin pusat) apabila menyangkut permasalahan antar suku di Madinah. Pada masa ini telah diperkenalkan asas pembagian kekuasaan (distribution of power) secara dini dan jauh lebih awal sebelum para pemikir dan negarawan barat mengkonsepsikannya ke dalam negara modern.

(41)

35

Konstitusionalisme yang dianut oleh Negara Madinah, telah merangkum semua sifat yang dibutuhkan oleh organisasi kenegaraan, baik sifat proklamasi (proclamation of independence), deklarasi (declaration of birth of state), perjanjian atau pernyataan-pernyataan yang lain (seperti halnya konsep declaration of Human Rights maupun le droit de l'home et du citoyen) termuat pula konsepnya dalam Piagam ini. Oleh karena kualitasnya yang serba mencakup ini, maka Piagam Madinah diakui sebagai “Konstitusi tertulis yang pertama di dunia”.57 Bahkan, Konstitusi Madinah diakui pula sebagai Konstitusi termodern pada zamannya.58 Modernitas ini dapat dilihat melalui adanya komitmen yang tinggi, partisipasi masyarakat dalam pembuatan piagam dan dalam pemerintahan, serta keterbukaan posisi kepemimpinan berdasarkan tingkat kecakapan.59

Sayangnya, Demokratisasi dan egalitarianisme dalam bernegara seringkali tidak menjadikan contoh bagi para penguasa Islam selanjutnya. Pada masa sesudah Muhammad wafat, politik pemerintahan dan kenegaraan yang ada semakin mengarah kepada monarkhi absolut bahkan cenderung ekstrimisme golongan. Hal ini terbukti melalui beberapa gejolak politik pada masa pemerintahan Khulafa'urrasyidin, Dinasti Ummayah hingga masa keemasan dinasti Abbasiyyah. Pada rentetan masa tersebut, ada garis absolutisme dalam sistem pemerintahan. Khalifah dalam sebuah khilafah seringkali bertindak absolut layaknya seorang raja. Disamping itu, perpecahan ummat dan golongan serta

57. Djazim Hamidi, Malik, 2009, “Hukum Perbandingan Konstitusi”,

Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, hal.45.

58

. Robert N. Bellah, 1976, Beyond Belief, Harper & Row, New York, hal. 150-151.

(42)

36

banyaknya pemberontakan politik dalam pemerintahan seolah menciderai tinta emas penorehan kejayaan peradaban Islam. Meskipun demikian, harus diakui pula pada masa inilah peradaban, ijtihad di bidang agama dan ilmu pengetahuan serta penegakan kesetaraan HAM bagi warga negara mengalami kemajuan pesat.

a). Unsur HAM dalam Piagam Madinah

1. Hak atas persamaan kedudukan warga negara, terdapat dalam Preambule: Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Ini adalah piagam dari Muhammad, Rasulullah SAW, di kalangan mukminin dan muslimin (yang berasal) dari Quraisy dan Yatsrib (Madinah), dan yang mengikuti mereka, menggabungkan diri dan berjuang bersama mereka.

2. Hak atas pengakuan sebagai komunitas kabilah (warga negara) termaktub dalam:

Pasal 1: Sesungguhnya mereka satu umat, lain dari (komunitas) manusia lain;

Pasal 12: Seorang mukmin tidak dibolehkan membuat persekutuan dengan sekutu mukmin lainnya, tanpa persetujuan dari padanya.

3. Pengakuan atas hak untuk hidup, melangsungkan kehidupan,dan hak atas jaminan kehidupan;

Pasal 14: Seorang mukmin tidak boleh membunuh orang beriman lainnya lantaran (membunuh) orang kafir. Tidak boleh pula orang mukmin membantu orang kafir untuk (membunuh) orang beriman;

(43)

37

Pasal 15: Jaminan Allah satu. Jaminan (perlindungan) diberikan oleh mereka yang dekat. Sesungguhnya mukminin itu saling membantu, tidak tergantung pada golongan lain.

4. Hak mendapatkan kedudukan yang sama dan perlakuan yang adil di depan hukum.

Pasal 16: Sesungguhnya orang Yahudi yang mengikuti kita berhak atas pertolongan dan santunan, sepanjang (mukminin) tidak terzalimi dan ditentang (olehnya); Pasal 21: Barang siapa yang membunuh orang beriman dan cukup bukti atas perbuatannya, harus dihukum bunuh, kecuali wali si terbunuh rela (menerima diat). Segenap orang beriman harus bersatu dalam menghukumnya;

Pasal 23: Apabila kamu berselisih tentang sesuatu, penyelesaiannya menurut (ketentuan) Allah ‘azza wa jalla dan (keputusan) Muhammad SAW;

Pasal 26: Kaum Yahudi Banu Najjar diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf. ; Pasal 27: Kaum Yahudi Banu Hars diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf, ; Pasal 28: Kaum Yahudi Banu Sa’idah diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf ;

Pasal 29: Kaum Yahudi Banu Jusyam diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf ;

Pasal 30: Kaum Yahudi Banu al-’Aws diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf ;

Pasal 31: Kaum Yahudi Banu Sa’labah diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf, kecuali orang zalim atau khianat. Hukumannya hanya menimpa diri dan keluarganya;

(44)

38

Pasal 32: Suku Jafnah dari Sa’labah (diperlakukan) sama seperti mereka (Banu Sa’labah) ;

Pasal 33: Banu Syutaybah (diperlakukan) sama seperti Yahudi Banu ‘Awf. Sesungguhnya kebaikan (kesetiaan) itu lain dari kejahatan (khianat) ;

Pasal 34: Sekutu-sekutu Sa’labah (diperlakukan) sama seperti mereka (Banu Sa’labah) ;

Pasal 35: Kerabat Yahudi (di luar kota Madinah) sama seperti mereka (Yahudi);

Pasal 40: Orang yang mendapat jaminan (diperlakukan) seperti diri penjamin, sepanjang tidak bertindak merugikan dan tidak khianat;

Pasal 46: Kaum yahudi al-’Aws, sekutu dan diri mereka memiliki hak dan kewajiban seperti kelompok lain pendukung Piagam ini, dengan perlakuan yang baik dan penuh dari semua pendukung Piagam ini. Sesungguhnya kebaikan (kesetiaan) itu berbeda dari kejahatan (pengkhianatan). Setiap orang bertanggungjawab atas perbuatannya. Sesungguhnya Allah paling membenarkan dan memandang baik isi Piagam ini;

Pasal 47: Sesungguhnya Piagam ini tidak membela orang zalim dan khianat. Orang yang keluar (bepergian) aman, dan orang berada di Madinah aman, kecuali orang yang zalim dan khianat. Allah adalah penjamin orang yang berbuat baik dan takwa. Dan Muhammad Rasulullah SAW.

5. Hak atas kebebasan beragama dan mendapatkan perlakuan yang sama dalam masing-masing agama, tersirat dalam;

Pasal 25: Kaum Yahudi dari Bani ‘Awf adalah satu umat dengan mukminin. Bagi kaum Yahudi agama mereka, dan

(45)

39

bagi kaum muslimin agama mereka. Juga (kebebasan ini berlaku) bagi sekutu-sekutu dan diri mereka sendiri, kecuali bagi yang zalim dan jahat. Hal demikian akan merusak diri dan keluarganya ;

6. Pengakuan atas hak dan kewajiban bela negara;

Pasal 18: Setiap pasukan yang berperang bersama kita harus bahu-membahu satu sama lain;

Pasal 19: Orang-orang mukmin itu membalas pembunuh mukmin lainnya dalam peperangan di jalan Allah. Orang-orang beriman dan bertakwa berada pada petunjuk yang terbaik dan lurus.; Pasal 24: Kaum Yahudi memikul biaya bersama mukminin selama dalam peperangan ;

Pasal 36: Tidak seorang pun dibenarkan (untuk perang), kecuali seizin Muhammad SAW. Ia tidak boleh dihalangi (menuntut pembalasan) luka (yang dibuat orang lain). Siapa berbuat jahat (membunuh), maka balasan kejahatan itu akan menimpa diri dan keluarganya, kecuali ia teraniaya. Sesungguhnya Allah sangat membenarkan (ketentuan) ini;

Pasal 37: Bagi kaum Yahudi ada kewajiban biaya, dan bagi kaum muslimin ada kewajiban biaya. Mereka (Yahudi dan muslimin) bantu-membantu dalam menghadapi musuh Piagam ini. Mereka saling memberi saran dan nasihat. Memenuhi janji lawan dari khianat. Seseorang tidak menanggung hukuman akibat (kesalahan) sekutunya. Pembelaan diberikan kepada pihak yang teraniaya;

Pasal 38: Kamu Yahudi memikul biaya bersama mukminin selama dalam peperangan;

Pasal 44: Mereka (pendukung Piagam) bahu-membahu dalam menghadapi penyerang kota Yatsrib;

(46)

40

Pasal 45: Apabila mereka (pendukung piagam) diajak berdamai dan mereka (pihak lawan) memenuhi perdamaian serta melaksanakan perdamaian itu, maka perdamaian itu harus dipatuhi. Jika mereka diajak berdamai seperti itu, kaum mukminin wajib memenuhi ajakan dan melaksanakan perdamaian itu, kecuali terhadap orang yang menyerang agama. Setiap orang wajib melaksanakan (kewajiban) masing-masing sesuai tugasnya.

7. Hak atas kemanusiaan dan jaminan perlakuan yang adil dan wajar bagi masyarakat dan tawanan perang;

Pasal 2: Kaum Muhajirin (pendatang) dari Quraisy sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diat di antara mereka dan mereka membayar tebusan tawanan dengan cara yang baik dan adil di antara mukminin;

Pasal 3: Banu ‘Awf, sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diat di antara mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil di antara mukminin;

Pasal 4: Banu Sa’idah, sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diat di antara mereka (seperti) semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan cara yang baik dan adil di antara mukminin,

Pasal 5: Banu al-Hars, sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diat di antara mereka (seperti) semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan cara yang baik dan adil di antara mukminin;

Referensi

Dokumen terkait

Perusahaan ini telah memiliki pengendalian internal dalam setiap sistem yang ada, namun pada sistem personalia, produksi dan pengelolaan bahan baku masih terdapat

Nasabah dengan ini setuju dan menyatakan bahwa apabila ia memberikan instruksi kepada CIMB untuk melaksanakan transaksi pembelian/penjualan efek (selanjutnya disebut

Dalam rangka persiapan penyelenggaraan Ujian sekolah Berstandar Nasional (USBN) dan Ujian Nasional (UN) SMP{MTs Tahun Pelajaran 20 16{20 17, maka Dinas Pendidikan dan

Seberapa jauh citra satelit ALOS/AVNIR-2 dan SPOT-4 dapat digunakan untuk mengidentifikasi perubahan tutupan lahan, perubahan garis pantai, serta perubahan tingkat

a. Jika pidana karena kejahatan yang diterangkan dalam Pasal 104 dapat dijatuhi pidana pencabutan hak-hak tersebut pada Pasal 35, ke-1 sampai dengan ke-5;.. Pada waktu

Keterbatasann yang dimiliki oleh internet banking tersebut membuat pihak penyedia jasa layanan harus mempu untuk terus mengevaluasi kualitas layanan yang

Peserta adalah siswa/i SMP/MTs/sederajat dan SMA/MA/sederajat dengan status pelajar pada sekolah yang sama.. Peserta lomba

Terlambat kurang dari 10 menit