• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1. ubahnya pasar malam. Sebuah panggung beratapkan terpal plastik menjadi arena

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 1. ubahnya pasar malam. Sebuah panggung beratapkan terpal plastik menjadi arena"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 1

A. Latar Belakang

Idul Fitri hari kedua. Suasana di lapangan balai desa Kumejing tak ubahnya pasar malam. Sebuah panggung beratapkan terpal plastik menjadi arena bagi pertunjukan imbligan1. Empat orang penari laki-laki mengolah tubuh mereka, menirukan gaya bertempur dengan mengangkangi anyaman kuda lumping sambil mengayunkan pedang tiruan. Para penonton antusias menanti aksi-aksi liar penari yang kesurupan. Sementara itu di depan saya dua orang perempuan muda dengan kerudung merah dan jingga saling menunjukkan ponsel-pintar mereka, tertawa ringan sembari ngobrol di tengah-tengah kerumunan. “Ini gue beli waktu ke mall di Jakarta… bagus ya”, samar-samar saya mencuri dengar percakapan mereka. Kata “gue” seketika membuka ruang tanya di benak saya. Menjelang sore saya pergi ke lapangan sepak bola dusun Kiringan. Di sana tengah berlangsung pertandingan langka—karena dilaksanakan sekali setahun—antara pemuda perantau dan pemuda yang tinggal di desa. Pertandingan berlangsung diiringi celotehan berbahasa Jawa dialek Banyumasan yang keluar dari mulut komentator lewat pengeras suara, membuat jalan pertandingan bertabur tawa penonton dengan candaan khasnya.

Pada hari yang penuh suka cita itu, Muhkamil, kaum2 dusun Kiringan yang rumahnya menjadi tempat tinggal saya, bercerita bahwa sudah menjadi kebiasaan                                                                                                                

1  Pertunjukan  populer  rakyat  desa;  di  daerah  lain  dikenal  dengan  nama  kuda  lumping  

(Sunda,  Betawi)  atau  jathilan  (Yogyakarta).  

(2)

di Kumejing jika pada hari kedua Lebaran diadakan acara desa. Lebaran menjadi momen bagi berkumpulnya warga, antara mereka yang tinggal di desa dan mereka yang merantau ke berbagai daerah. Keramaian di hari raya ini tidak hanya terjadi di Kumejing. Hampir di semua desa di kecamatan Wadaslintang yang saya telusuri saat hari raya menggelar panggung atau acara terbuka. Suasana ramai sudah terlihat sejak hari pasaran terakhir sebelum hari raya. Di tengah keramaian orang belanja di pasar kecamatan, satu hal yang menarik perhatian saya adalah banyaknya kendaraan, baik sepeda motor atau mobil, dengan beragam kode plat nomor kendaraan: D (Bandung), B (Jakarta), R (Banjarnegara), bahkan BM (Riau), BH (Jambi), lalu-lalang. Tidak hanya kendaraan pribadi, bahkan angkutan umum pun (dari Jakarta). Di desa Plunjaran misalnya, tetangga desa Kumejing, Lebaran tahun 2015 terasa spesial karena untuk pertama kalinya diadakan silaturahmi dan musyawarah antara pemuda desa Plunjaran yang menetap dan merantau dari desa. Selain ajang silaturahmi mereka juga membahas soal kontribusi apa yang bisa dilakukan pemuda, baik yang merantau dan menetap, dalam kegiatan dan program yang dibuat desa. Tidak heran jika beberapa hari sebelum Lebaran tiba, tepat di atas jalan masuk desa itu sudah dibentangkan spanduk menyambut kedatangan para perantau, bertuliskan “Selamat Datang di Kampung Halaman, Selamat Idul Fitri 1436 H”.

                                                                                                                                                                                                                                                                                                               

mengemban  status  ini  dipandang  terhormat.  Di  Kumejing,  status  kaum  cenderung   diwariskan  dari  generasi  tua  kepada  anaknya.  Muhkamil  menjadi  kaum,  selain  karena   bapaknya,  mbah  Ikhwan  adalah  kaum  dusun  Kiringan,  ia  juga  pernah  mondok  di  pesantren  

(3)

Pengalaman pada bulan pertama penelitian lapangan ini menunjukkan pada saya bahwa fenomena migrasi sirkuler3, atau secara umum disebut merantau oleh orang desa, sudah menjadi bagian wajar dari kehidupan penduduk kecamatan Wadaslintang, termasuk desa Kumejing. Barangkali ada diantara perantau itu yang memang sudah pergi secara permanen dari desa untuk tinggal di tempat lain. Tapi juga ada lebih banyak perantau yang merupakan anggota-anggota rumah-tangga pedesaan yang pergi bekerja ke luar desa untuk senantiasa pulang dalam periode waktu tertentu. Dalam survey sosial-ekonomi yang diadakan kemudian, diketahui hampir separuh jumlah rumah-tangga petani di Kumejing memiliki satu atau lebih anggota yang pergi bekerja ke luar desa setiap tahunnya. Mereka melakoni beragam pekerjaan diantaranya buruh bangunan, buruh perkebunan, pembantu rumah tangga, supir, dan pedagang kecil-kecilan.

Dari perspektif penghidupan rumah-tangga, merantau merupakan satu diantara berbagai pilihan untuk mencari sumber pendapatan. White (1981) menilai bahwa rumah-tangga pedesaan Jawa telah lama hidup dalam situasi “extreme occupational multiplicity” dengan suatu pembagian kerja yang sangat lentur diantara anggota-anggota rumah-tangga. Pendapatan berasal dari sumber yang selalu berubah-ubah sesuai kesempatan terhadap musim, pasar tenaga-kerja, dan waktu luang anggota rumah-tangga setiap harinya (dalam Wiradi, 2009: 76). Pakar lain menyematkan istilah pluriactivity (Rigg, 2005) atau diversifikasi mata

                                                                                                               

3  Menurut  Zelinsky  (1971,  225-­‐6)  migrasi  sirkuler  merupakan  aneka  ragam  variasi  

pergerakan  yang  biasanya  berjangka  waktu  pendek,  repetitif,  atau  siklikal,  namun  semuanya   memiliki  ciri  umum  yakni  kurangnya  intensi  untuk  menetap  atau  berganti  tempat  tinggal  

(4)

pencaharian (Ellis 1998 dalam Bernstein, 2015: 126) dalam menangkap fenomena ini.

Habibi (2014) melihat bahwa di Indonesia sejak paruh kedua dekade 1980 terjadi kecenderungan masifnya fenomena migrasi sirkuler terkait dengan kecenderungan membesarnya jumlah pekerja informal serta pertumbuhan sektor informal itu sendiri. Orang-orang yang masuk dalam pola migrasi sirkuler ini adalah tenaga-kerja pedesaan yang kehilangan sarana produksi atau masih memiliki sepetak sempit lahan yang tak cukup untuk memenuhi penghidupan dan karenanya mesti masuk ke saluran kerja-upahan. Habibi melihat kebijakan liberalisasi ekonomi di Indonesia sejak awal dekade 1980an (lihat juga Thee, 2002: 203) telah memutus kesinambungan pembangunan sektor pertanian dan industri sehingga tenaga-kerja pedesaan yang kehilangan lahan pada gilirannya tak mampu terserap ke sektor industri dan berbondong-bondong masuk ke sektor informal.

Salah satu akar persoalan dari besarnya jumlah pekerja informal yang juga kaum migran desa ini adalah ketimpangan dalam struktur agraria. Kajian Bachriadi dan Wiradi (2011) atas hasil sensus pertanian sejak 1963 sampai 2003 menunjukkan terjadinya pembesaran jumlah petani gurem (yang menguasai lahan di bawah 0,5 ha) dari dekade ke dekade. Hasil sensus pertanian tahun 2013 pun melanjutkan kecenderungan yang sama: sekitar 55% dari 26,14 juta populasi rumah-tangga petani Indonesia adalah petani gurem (Laporan Hasil Sensus Pertanian 2013 dalam Ambarwati & Harahap, 2015: 14). Petani gurem ini adalah apa yang Bernstein (2015, 158-9) sebut sebagai petani marjinal atau mereka yang

(5)

tidak mampu memenuhi kebutuhan reproduksi dari usaha tani mereka sendiri dan karenanya mesti memasuki saluran kerja-upahan. Petani marjinal tak lain adalah kaum semi-proletariat. Persis seperti dikemukakan Habibi, mereka adalah bagian dari kelas-kelas pekerja meski tidak sepenuhnya kehilangan alat produksi. Dalam rangka itu, bekerja ke luar desa (migrasi) menempati kedudukan penting.

Apa yang perlu diperhatikan ketika bagian dari populasi rumah-tangga petani ini pergi ke luar desa adalah kesempatan kerja dan perkembangan sektor ekonomi lain yang tidak berbasis di perdesaan tempat asal para perantau. Rigg (2005) berargumen bahwa kesempatan kerja di luar desa besar dipengaruhi oleh pertumbuhan industri yang berbasis di kota. Saya sepakat dengan pandangan Rigg akan pentingnya peran sektor industri tetapi faktanya tidak hanya berkenaan dengan industri yang berbasis di kota, namun juga industri yang berbasis di wilayah bukan-kota. Dalam kasus Indonesia, industri yang berbasis di wilayah administratif desa atau kawasan hutan, misalnya, berperan penting dalam memberi kesempatan kerja kaum migran sirkuler. Contohnya, industri ekstraktif perkebunan seperti kelapa sawit yang mengalami bonanza sejak paruh awal dekade 2000. Industri ini berbasis di wilayah hutan dan administratif perdesaan, paling luas di Sumatera dan Kalimantan dan telah menyerap tenaga-kerja dari berbagai lokasi perdesaan di Indonesia. Perkebunan menjadi situs mencari nafkah yang dihuni oleh beragam etnis dari berbagai daerah: orang Jawa, Sunda, Lombok, dan Flores. Banyak diantara mereka bukan berstatus sebagai pekerja tetap (dalam artian berstatus formal) tapi pekerja informal seperti termuat dalam status pekerja borongan dan pekerja harian lepas (Bissonnete, 2012: Bab 5).

(6)

Satu hal menarik lain yang saya dengar dari lalu-lintas percakapan di Kumejing yakni bahwa orang Kumejing yang merantau ke Sumatera atau Kalimantan tidak hanya mereka yang berkepentingan mencari kerja tapi juga mereka yang berkepentingan untuk berinvestasi dengan membeli kebun kelapa sawit. Informasi ini menggiring pemahaman saya bahwa keterlibatan penduduk desa Kumejing dalam ekonomi eksternal desa ternyata tidak berkenaan dengan peran mereka sebagai tenaga-kerja semata atas kepentingan mencari upah, tapi juga bisa berlangsung untuk kepentingan lain seperti berinvestasi. Dalam konteks inilah penelitian saya diarahkan.

(7)

B. Tinjauan Pustaka

Bagian ini akan memaparkan pembacaan saya atas kajian-kajian yang telah dilakukan sebelumnya berkaitan dengan topik 1) daerah dataran tinggi/pedalaman (uplands) dan desa hutan, 2) migrasi sirkuler pada konteks komunitas petani dataran tinggi/pedalaman, 3) inkorporasi komunitas tani ke dalam ekonomi kapitalistik, dan 4) diferensiasi sosial.

Dua diantara penelitian di wilayah pedalaman/dataran tinggi (uplands) yang telah menjadi rujukan klasik untuk konteks Indonesia adalah kajian Hefner (1999) dan Peluso (2006). Tema umum yang diangkat Hefner adalah perubahan ekonomi dan moral masyarakat sedangkan topik khususnya mendiskusikan masalah kelas dan identitas sosial dalam konteks perubahan ekonomi. Lewat pendekatan yang ia sebut sebagai “pendekatan non-ekonomi terhadap gejala ekonomi” (1999, 3; 32-3), ia mengajukan tesis bahwa identitas kelas selalu dimediasikan kelompok status/identitas sosial dan tidak pernah muncul secara langsung dan lugas sebagaimana kondisi objektif kelas tersebut. Satu pelajaran penting dari studi Hefner lewat telaahnya atas perubahan sosial-ekonomi di wilayah dataran tinggi Tengger dari masa pra-kolonial sampai, terutama pada era Revolusi Hijau, yakni bahwa pembangunan di wilayah dataran tinggi tidak bisa dilepaskan dalam hubungannya dengan pembangunan wilayah dataran rendah. Pengertian ini kemudian dirumuskan kembali oleh Li (2004) dalam mengupas keterpinggiran daerah dataran tinggi/pedalaman.

Dalam artikel berjudul “Keterpinggiran, Kekuasaan, dan Produksi”, Li (2004) berupaya merumuskan pendekatan yang diangkat dari studi-studi empirik

(8)

dalam mengkaji wilayah dataran tinggi/pedalaman (uplands) di Indonesia. Isu umum yang diangkat Li yakni soal pembangunan dan peminggiran (marginalization). Apa yang dimaksud peminggiran di sini adalah peminggiran dalam berbagai aspek yang terjadi dalam pembangunan, terhadap wilayah dataran tinggi/pedalaman. Kata kuncinya ada pada transformasi dan keterpinggiran. Li merumuskan bahwa transformasi daerah pedalaman selalu berjalan dengan masalah keterpinggiran atas daerah pedalaman itu sendiri. Ia mencoba menelisik berbagai alasan ekonomi-politik dari citra keterpinggiran yang melekat pada kawasan pedalaman yang celakanya berdasarkan asumsi inilah praktik pembangunan atas daerah pedalaman dilakukan, baik yang bentuknya direalisasikan oleh (agen) negara lewat proyek pembangunan atau oleh (agen) lembaga swadaya masyarakat yang pada gilirannya membentuk karakter wilayah dataran tinggi/pedalaman. Apa yang saya lihat penting dari uraian Li adalah keperluan untuk 1) menganalisis situasi di pedalaman dalam hubungannya dengan wilayah dataran rendah—dan melihat hal ini dalam satu kerangka tunggal; serta 2) memandang bentuk-bentuk keterpinggiran (secara ekonomi, sosial, politik, kultural) yang melekat pada wilayah pedalaman sebagai sesuatu yang—jelas— merupakan konstruksi sosial.

Meski tidak termuat dalam bunga rampai tulisan tentang transformasi daerah pedalaman, kajian Peluso (2006) tentang penguasaan dan perlawanan dalam konteks kawasan hutan di Jawa menunjukkan bagaimana komunitas pedalaman terpinggirkan dari kekayaan sumber daya alam di ruang hidupnya sendiri (judul karya tulis itu sendiri sudah mencerminkan paradoksnya: hutan

(9)

kaya, rakyat melarat). Kajian Peluso tercakup dalam isu umum tentang hubungan antara negara dan masyarakat. Bentuknya mengambil tempat pada penguasaan sumber daya hutan oleh negara (dengan pengelolaan oleh perusahaan hutan negara, tepatnya) dan bagaimana penguasaan tersebut memunculkan respon perlawanan dari komunitas tani yang tinggal di dalam kawasan hutan negara. Persoalan ini ditelaah dari kasus di Singget, sebuah dusun di tengah wilayah hutan jati Blora. Pertentangan tersebut memunculkan segi penting tentang pengambilan manfaat dari sumber daya, yakni persoalan akses: kemampuan untuk mengambil manfaat dari sesuatu (lihat Peluso, 2003). Selain segi penting lain yakni soal teritorialisasi (Ribot & Peluso, 1995: 387 dalam Li, 2004: 21), atau perkara soal bagaimana negara mengatur ruang fisik dan penduduknya dalam zona-zona ekonomi dan politik terkait dengan cara apa dan siapa yang bisa mengambil manfaat atas wilayah tersebut. Dari kerangka pikir ini, Peluso menyimpulkan bahwa perlawanan petani timbul sebagai tanggapan atas bentuk penguasaan sumber daya alam oleh negara. Bentuk perlawanan petani dikondisikan oleh bentuk penguasaan dan pengaturan akses atas sumber daya oleh negara.

Untuk konteks kajian hutan di Wonosobo, Lounela (2009) juga mengamati isu umum seperti dikaji Peluso tapi dengan mengambil fokus pada soal pluralisme hukum terkait kontestasi kekuasaan. Dalam sengketa atas sumber daya hutan yang mencuat di gerbang rezim politik desentralisasi, Lounela mencoba melihat posisi kuasa (power positionsi) dari berbagai pihak (komunitas tani, serikat tani, lembaga swadaya masyarakat, Perhutani dan pemerintah) yang terlibat dalam sengketa. Berkenaan dengan isu hubungan antara negara dan masyarakat, tidak

(10)

seperti Peluso yang melihat hubungan diantara keduanya bersifat tegang dan mencuat dalam bentuk resistensi petani, Lounela melihat bahwa apa yang mengemuka dalam kontestasi terkait sengketa hutan itu adalah kompromi.

Bertolak dari kajian Hefner dan Peluso, saya melihat ada dua topik penting berkenaan dengan kajian atas wilayah pedalaman/dataran tinggi. Pertama terkait dengan dinamika ekonomi masyarakat petani dan kedua, soal penguasaan sumber daya. Keduanya punya benang merah, sama-sama memberi perhatian pada peran negara dan pasar dalam membentuk keadaan di pedalaman/dataran tinggi. Topik pertama menyoroti perubahan pola usaha tani, produktivitas, dan secara umum struktur agraria yang dipicu oleh Revolusi Hijau (sekalipun fokus utama Hefner adalah diskusi tentang identitas kelas). Sedangkan topik kedua berkaitan dengan pertarungan atas sumber daya hutan.

Saya mencoba untuk membawa pemahaman ini dalam konteks penelitian saya berkenaan isu daerah dataran tinggi/pedalaman dengan fenomena migrasi. Sudah disinggung dalam latar belakang bahwa ketertarikan atas topik migrasi ini berangkat dari besarnya gejala petani gurem dan semi-proletariat di pedesaan Jawa. Bekerja ke luar desa (migrasi) merupakan sarana yang ditempuh dalam mengatasi problem internal ketimpangan struktur agraria (yang memunculkan besarnya petani gurem). Hal yang saya pikir penting dari fenomena migrasi ini bukanlah soal mobilitas semata, tapi lebih pada keterlibatan penduduk pedesaan, berkenaan dengan posisi dan kontribusinya, dalam ekonomi eksternal desa, baik itu sektor formal, informal, industri atau non-industri.

(11)

Berkaitan dengan fenomena migrasi dalam konteks komunitas tani pedalaman (desa hutan), kajian yang dilakukan Peluso dkk. (2012) memberi wawasan menarik. Kajian ini merupakan studi kunjungan kembali pada dusun Singget di tengah hutan jati Blora yang dikaji Peluso pada pertengahan 1980an (dalam Hutan Kaya, Rakyat Melarat). Jika dalam studi sebelumnya Peluso mencoba melihat hubungan antara negara dan masyarakat dalam bentuk penguasaan hutan dan respon perlawanan komunitas, dalam studi kunjungan-ulang bertahun-tahun kemudian fenomena migrasi sirkuler memperoleh perhatian. Pada periode 1980an sebagian besar tenaga-kerja dan penghidupan berkarakter agraris, setempatan, dan bergantung pada sumber daya hutan dalam skala yang relatif tinggi. Aneka perubahan dalam konjungtur pembangunan nasional kemudian membawa pengaruh pada meningkatnya mobilitas tenaga-kerja dengan meningkatnya intensitas betenaga-kerja ke luar desa.

Secara khusus mereka melihat bahwa dalam situasi terkini, posisi hutan jati di Jawa telah mengalami “urbanisasi” akibat gejala pertumbuhan kota yang besar-besaran di pulau Jawa. Ringkasnya, jika kita lihat dari sudut pandang mata burung maka Jawa telah padat dengan kota dan wilayah hutan jati jadi nampak seperti “hutan kota”. Dalam situasi inilah terjadi perubahan strategi penghidupan rumah-tangga petani Singget dengan meningkatnya tren migrasi sirkuler. Konsekuensinya, perubahan itu kemudian mengubah pula hubungan antara petani dengan rimbawan dan hutan jati. Situasi eksternal yakni gejala pengkotaan di Jawa berpengaruh terhadap situasi internal dalam hal penghidupan penduduk lokal. Kecenderungan migrasi sirkuler juga dimungkinkan oleh situasi di dalam

(12)

dusun itu sendiri ketika berbagai perubahan struktural atas pengelolaan hutan oleh negara membawa dampak pada pengurangan kualitas dan konten hutan dan berkurangnya kesempatan bekerja pada pekerjaan-pekerjaan berbasis hutan. Tepat di titik inilah aktivitas bermigrasi mengambil peran penting. Penduduk masuk ke dalam barisan pekerja di sektor konstruksi bangunan, tenaga-kerja kontrak di wilayah hutan berbagai daerah, dan sektor industri baik di Indonesia maupun luar negeri (Malaysia). Strategi penghidupan penduduk mengalami re-spasialisasi dan kebergantungan relatif atas hutan berkurang. Perubahan dalam perjalanan pembangunan nasional yang mengambil tempat dalam rupa pengkotaan dan pengorganisiran hutan oleh negara berdampak pada hubungan antara penduduk desa, rimbawan, dan sumber daya hutan itu sendiri.

Dalam kasus dimana komunitas desa hutan sebelumnya memiliki tingkat kebergantungan yang tinggi pada sumber daya hutan, fokus atas dampak dari meningkatnya migrasi sirkuler pada hubungan antara petani, rimbawan, dan hutan itu sendiri jelas menjadi penting. Persoalan yang berkenaan dengan dampak pada struktur sosial-ekonomi desa seperti soal diferensiasi tidak begitu mendapat sorotan.

Sudah disinggung bahwa perhatian saya atas fenomena migrasi tidak berkenaan dengan mobilitas semata tapi pada keterlibatan penduduk desa itu dalam ekonomi eksternal desa. Kajian Fortin (2011) di wilayah pedalaman Kalimantan Barat (Sanggau) memberikan saya pengertian tentang cara bagaimana petani terinkorporasi ke dalam eknomi kapitalistik, yang mengambil bentuk pada produksi komoditas kelapa sawit (industri ekstraktif).

(13)

Fortin melihat bagaimana inkorporasi petani ke dalam moda produksi kapitalistik berperan dalam membentuk diferensiasi sosial komunitas tani dan menciptakan kemiskinan kronis bagi sebagian orang (2011, 234-46). Bergabungnya petani lokal dalam industri sawit terjadi melalui inkorporasi mereka dalam sistem pertanian kontrak atau skema plasma-inti, juga lewat kesempatan kerja upahan yang dibuka perusahaan. Inkorporasi lewat skema plasma-inti dilakukan dengan jalan petani melepas lahan untuk memperoleh kapling disertai beban kredit. Dalam perjalanan, tidak semua petani bisa memperoleh keadaan yang mendukung baiknya produktivitas tanaman mereka. Banyak diantaranya yang berakhir dengan melepas petak lahan plasma dan merugi hingga kemudian hanya menyisakan tenaga-kerja tanpa lahan untuk jadi pekerja-upahan di perkebunan, baik di kebun petani atau perusahaan. Sementara di sisi lain terdapat petani sukses atau pekerja administrasi perkebunan yang dapat memperluas kapling mereka dari lahan yang dilepas orang-orang tersebut. Hal penting yang ditunjukkan kasus ini yakni bahwa komunitas lokal (petani) kemudian tersubordinasi dan bergantung pada pasar. Konsekuensinya jelas, usaha tani saradiri yang mereka jalankan sebelumnya digantikan dengan produksi komoditas global. Meskipun kasus Fortin tidak terkait soal hubungan antara petani dengan ekonomi eksternal desa, tapi pelajaran yang saya petik berkenaan dengan bagaimana inkorporasi itu berperan dalam membentuk diferensiasi sosial komunitas petani.

Satu pelajaran lain berkenaan dengan bagaimana dinamika komunitas atau diferensiasi sosial dipengaruhi oleh kekuatan eksternal desa (dalam hal ini negara

(14)

dan pasar) terdapat dalam kajian Wicaksono (2011) tentang perubahan sosial di dusun Simego (Petungkriyono). Ia melihat bahwa negara dan pasar tidak hanya berperan dalam menajamkan diferensiasi tapi juga dalam situasi tertentu bisa mencairkan diferensiasi. Ia mengajukan tesis ekualisasi sebagai suatu kecenderungan mencairnya diferensiasi pada komunitas tani dataran tinggi Pekalongan (Jawa). Ekualisasi bisa terjadi akibat pengaruh negara yakni dalam hal terbukanya kesempatan untuk meningkatkan kesuburan lewat program Revolusi Hijau. Petani dataran tinggi memperoleh kesempatan untuk mengakses input pertanian terutama pupuk dan benih baru yang bisa meningkatkan produktivitas. Sementara itu dibukanya industri rokok kretek berbasis pabrik dekat Pekalongan berimbas pada terganggunya perdagangan tembakau asap yang menjadi komoditas andalan petani Simego. Dalam perdagangan tembakau asap, petani Simego sangat tergantung pada bakul dan juragan yang juga menjadi tempat berhutang mereka sebelum masa panen tiba akibat rendahnya produktivitas tanaman pangan. Dua momen dalam konjungtur pembangunan itu berimbas pada hancurnya dominasi juragan dan meningkatnya produktivitas pangan petani Simego sehingga mereka bisa lepas dari ikatan patron-klien yang merugikan petani. Akan tetapi di bawah semua itu, satu kondisi penting yang memungkinkan terjadinya ekualisasi adalah kondisi internal komunitas Simego itu sendiri yakni relatif meratanya kepemilikan tanah.

Pelajaran dari kajian Wicaksono yakni bahwa dinamika internal komunitas tani—dalam hal diferensiasi sosial mereka—dipengaruhi oleh konjungtur ekonomi politik dimana negara dan pasar berperan di dalamnya. Namun

(15)

bagaimana jalannya arah perubahan itu sendiri juga dipengaruhi oleh kondisi internal komunitas. Di Simego, peristiwanya terkait dengan peningkatan produktivitas tanaman pangan—dalam cakupan aktivitas produksi ekonomi internal desa, dan penghancuran dominasi pedagang—dalam cakupan ekonomi eksternal desa (industri rokok). Apa yang disasar dari perubahan yang ditimbulkan konjungtur ekonomi-politik itu adalah aktivitas produksi pokok dalam ekonomi internal desa (usaha tani) dan ekualisasi hanya mungkin terjadi dalam situasi dimana penguasaan lahan relatif merata.

Dari berbagai bacaan ini saya menarik kesimpulan bahwa perubahan agraria yang mungkin terjadi pada suatu komunitas tani mesti mempertimbangkan 1) kondisi internal komunitas (struktur sosial-ekonomi); 2) peran dan pengaruh dari kondisi makro-struktural dan eksternal komunitas serta bagaimana keduanya berhubungan (situasi internal dan eksternal), yang pada gilirannya akan kembali mempengaruhi dan mengambil peran dalam membentuk ulang struktur sosial-ekonomi komunitas petani.

(16)

C. Pertanyaan Penelitian

Fenomena migrasi sirkuler orang Kumejing ke berbagai daerah tujuan sekedar sarana yang menjadi jembatan mereka untuk masuk ke dalam ekonomi eksternal desa. Akan tetapi, seperti sudah disinggung di latar belakang, keterlibatan mereka dalam ekonomi eksternal desa itu tidak hanya mengambil posisi sebagai tenaga-kerja, tapi juga untuk berinvestasi. Di sini saya coba merumuskan pertanyaan pokok penelitian yakni:

Bagaimana petani Kumejing terinkorporasi dengan ekonomi eksternal desa dan mengapa diferensiasi sosial di Kumejing semakin tajam?

Pertanyaan pokok di atas saya bagi menjadi tiga pertanyaan turunan yang akan dijawab di tiap bab: 1) seperti apa kondisi ruang fisik dan keadaan sosial-ekonomi penduduk Kumejing?; 2) bagaimana sejarah Kumejing dalam arah pembangunan regional, nasional, dan global yang melingkupinya?; 3) apa yang dihasilkan dari inkorporasi petani Kumejing dengan ekonomi eksternal desa?

(17)

D. Kerangka Pemikiran

Ada dua orientasi kerangka pemikiran yang digunakan dalam tesis ini. Pertama adalah kerangka berpikir yang berorientasi historis dan kedua yang berorientasi struktural. Hal pertama berkenaan dengan proses transformasi daerah pedalaman yang dianalisis melalui konsep inkorporasi. Analisis ini ditujukan untuk membaca proses historis yang mengkondisikan situasi terkini keadaan fisik dan sosial desa Kumejing. Mengikuti apa yang dipaparkan Li (2004), status pedalaman tidak hanya terkait secara geografis tapi juga secara sosial-ekonomi. Dalam pembangunan ekonomi di Indonesia, daerah pedalaman tidak pernah bisa dilihat tanpa memerhatikan hubungannya dengan dataran rendah (lihat juga Hefner, 1999). Apa yang ditunjukkan dalam sejarah pembangunan tersebut yakni proses yang dialami daerah pedalaman yang membentuk keterpinggiran mereka. Dengan kata lain, keterpinggiran daerah pedalaman merupakan hasil dari trajektori pembangunan alih-alih kondisi asalinya.

Dalam kerangka ini saya akan memerhatikan soal 1) bagaimana keterpinggiran mereka dibentuk, dan 2) bagaimana hubungan antara daerah pedalaman ini dengan daerah lain, dataran rendah misalnya, dan terutama dengan aktivitas ekonomi eksternal desa yang lebih bersifat makro (nasional dan global). Perhatian atas dua hal ini saya pikir berguna untuk melihat bagaimana komunitas itu terbentuk secara historis serta apa yang dihasilkan dari perjalanan keterlibatan mereka dalam pembangunan ekonomi secara luas.

Untuk menjelaskan keterhubungan komunitas pedalaman dengan dinamika sosial-ekonomi di konteks yang lebih luas (termasuk dengan ekonomi eksternal

(18)

desa) saya menggunakan konsep inkorporasi. Pengertian pokok tentang inkorporasi saya peroleh dari konsep adverse incorporation (AI) yang disandingkan dengan konsep social exclusion (SE) oleh Hickey dan du Toit ke dalam satu pendekatan (selainjutnya disebut AISE). Pendekatan ini digunakan untuk membedah proses-proses kausal yang menyebabkan segolongan orang terjebak dalam kemiskinan kronis4 (Hickey & du Toit, 2007).

Mengapa pendekatan atas fenomena kemiskinan kronis itu melibatkan dua konsep sekaligus? AI yang secara harfiah berarti “penggabungan-yang-merugikan” merujuk pada proses bagaimana sekelompok orang tergabung ke dalam ekonomi kapitalistik namun pada posisi yang “merugikan” mereka. Penekanan konsep ini sendiri terletak pada “cara bagaimana strategi penghidupan di tingkat lokal dibentuk dan dibatasi oleh hubungan-hubungan ekonomi, sosial, dan politik di berbagai tingkat ruang dalam rentang waktu tertentu.” Hubungan-hubungan ini ditempatkan dalam konteks sejarah dan spasial dengan perhatian utama pada persoalan ketimpangan kekuasaan (Hickey & du Toit, 2007: 4).

Jadi, dasar dari posisi merugikan pertama-tama terletak pada konteks aktivitas ekonomi. Penempatan “strategi penghidupan di tingkat lokal” yang tak lepas (dibentuk dan dibatasi) dari konteks ekonomi-sosial-politik makro memperoleh arti lain bahwa strategi penghidupan tersebut mesti ditempatkan pada konteks pembentukan ekonomi kapitalis atau kerap dikapsulkan dalam istilah pembangunan. Berkenaan dengan kemiskinan kronis, maka mereka yang                                                                                                                

4  Apa  yang  dimaksud  kemiskinan  kronis  adalah  kondisi  kemiskinan  yang  dialami  segolongan  orang  

secara   terus-­‐menerus   dalam   waktu   panjang   yang   terjadi   beriringan   dengan   jalannya   agenda   pembangunan   sementara   di   sisi   lain   terus   menghasilkan   kemajuan   dan   peningkatan   kemakmuran.  

(19)

mengalami kemiskinan kronis secara ekonomi aktivitasnya mesti ada dalam konteks tersebut. Ketika pembangunan itu di satu sisi menghasilkan kemakmuran besar bagi segolongan orang, sekelompok orang yang terlibat dalam penciptaan kemakmuran itu malah tidak menikmati bagian besar dari kemakmuran. Di titik ini pengertian “merugikan” (adverse) jadi relevan. Di sini pula terjadi proses marjinalisasi bagi sekelompok orang “dirugikan” tersebut sehingga situasi “penggabungan-yang-merugikan” akan menghasilkan eksklusi sosial.

Konsep inkorporasi yang digunakan dalam tesis ini mengambil gagasan pokok Hickey dan du Toit atas penekanannya soal bagaimana strategi penghidupan di tingkat lokal dibentuk dan dibatasi dalam konteks ekonomi-sosial-politik makro di masyarakat petani. Strategi penghidupan dalam konteks perdesaan berkenaan dengan interaksi antara aktivitas pertanian dan non-pertanian yang membentuk diversifikasi mata pencaharian rumah-tangga petani. Perwujudan dari bentuk aktivitas pertanian dan non-pertanian akan selalu dibentuk dan dibatasi dalam konteks ekonomi-sosial-politik makro. Secara harfiah, inkorporasi berarti penggabungan5. Inkorporasi dalam konteks ini berkenaan dengan diversifikasi mata pencaharian terutama lewat aktivitas pertanian dan non-pertanian yang berlangsung di luar wilayah desa, dengan kata lain dalam lingkup ekonomi eksternal desa. Migrasi sirkuler memperoleh pengertian tidak hanya atas soal mobilitas, tapi tujuan dari mobilitas itu, dalam hal ini adalah bergabung (inkorporasi) dengan ekonomi eksternal desa.

                                                                                                               

5  Menurut  Kamus  Besar  Bahasa  Indonesia,  inkorporasi  adalah  peleburan,  percampuran,  

penggabungan.  Dalam  bahasa  Inggris,  artinya  adalah  menempatkan  atau  mengambil  (sesuatu)   sebagai  bagian  dari  keseluruhan;  memasukkan.  Ringkasnya,  pengertian  inkorporasi  menekankan  

(20)

Kedua, dengan asumsi bahwa masyarakat petani Jawa bukanlah masyarakat petani yang homogen melainkan terdiferensiasi (Bachriadi dan Wiradi, 2011) maka pengertian atas konteks lokal, misalnya yang mengambil kasus di tingkat desa, mesti mempertimbangkan diferensiasi sosial masyarakatnya. Berkenaan dengan diversifikasi mata pencaharian yang memuat aktivitas pertanian dan non-pertanian, identifikasi atas hal ini mesti ditempatkan dalam konteks masyarakat yang terdiferensiasi. Dalam kasus inkorporasi dengan ekonomi eksternal desa, maka bagaimana inkorporasi itu berlangsung dan hasil yang diperoleh petani mesti mempertimbangkan latar belakang diferensiasi sosialnya.

Untuk membaca transformasi daerah pedalaman, saya mencoba melihat bagaimana komunitas pedesaan dataran tinggi/pedalaman (uplands) terinkorporasi dengan sistem ekonomi-politik-sosial di tingkat makro dan bagaimana hal tersebut berperan dalam membentuk komunitas desa. Di sini saya menempatkan desa sebagai unit analisis. Ada tiga momen historis yang saya kemukakan yakni bermukimnya penduduk di perbukitan, pengalaman penggusuran akibat pembangunan waduk, dan dampak kebijakan liberalisasi ekonomi yang diberlakukan sejak jaman Orde Baru. Satu hal yang juga ingin ditunjukkan dalam uraian historis ini bahwa inkorporasi tersebut selalu disertai dengan proses eksklusi. Eksklusi dimengerti sebagai proses-proses yang melaluinya kelompok atau individu sebagian atau seluruhnya dikeluarkan dari masyarakat tempat

(21)

mereka hidup6. Bentuk dari penyingkiran tersebut bisa terwujud secara sosial, spasial, maupun kultural. Dengan demikian, uraian historis tentang transformasi komunitas di dataran tinggi/pedalaman selalu berkenaan dengan proses kembar inkorporasi dan eksklusi dalam trajektori pembangunan yang didorong negara dan digerakkan oleh pasar (bab 3).

Kedua, orientasi struktural berkenaan dengan bagaimana inkorporasi dengan ekonomi eksternal desa pada gilirannya membentuk komunitas desa itu sendiri (bab 4). Proses inkorporasi terkini mengambil bentuk dalam keterlibatan penduduk desa dengan ekonomi eksternal desa (melalui migrasi) dan berlangsung dalam setting komunitas yang terdiferensiasi sehingga membuahkan hasil yang berbeda pula seturut posisi kelas petani yang terlibat di dalamnya (White, 1991). Dengan kata lain, ketika anggota rumah-tangga petani keluar dari usaha tani keluarga dan secara luas ekonomi desa, ia mesti terinkorporasi dengan ekonomi eksternal desa. Bernstein (2015, 126) berpendapat jika prospek petani semakin dibentuk oleh aktivitas mereka di luar usaha tani dan bahwa pendapatan yang dihasilkan oleh aktivitas di luar usaha tani bisa digunakan untuk dana konsumsi (reproduksi sebagai tenaga kerja) dan dana investasi (reproduksi sebagai kapital). Intinya, diversifikasi mata pencaharian akan terkait dengan kecenderungan terjadinya diferensiasi kelas yang bisa diperkuat atau dihambat oleh diversifikasi mata pencaharian, tergantung situasinya.

Bagaimana kedudukan seseorang dalam inkorporasi dengan ekonomi eksternal desa itu dipengaruhi oleh posisi kelasnya (Bernstein, 2015) atau dari                                                                                                                

(22)

diferensiasi yang sudah ada (White, 1991). Diferensiasi sosial menentukan cara bagaimana mereka terlibat, kedudukannya seperti apa, dan hasil yang diperoleh dari keterlibatan mereka dalam aktivitas non-pertanian. Petani gurem terinkorporasi dengan kapasitas tenaga-kerjanya semata dan keterlibatannya dalam ekonomi eksternal desa berposisi sebagai tenaga-kerja. Bagi petani menengah dan kaya dengan kapasitas modalnya, mereka bisa terinkoporasi dengan ekonomi eksternal desa untuk bertanam modal. Jadi, ada dua arus yakni arus tenaga-kerja dan modal yang datang dari Kumejing ke luar untuk masuk ke ekonomi eksternal desa. Dalam rumusan White, kecenderungan hasilnya bagi petani marjinal dan tunakisma adalah “survival” (bertahan hidup). Bagi petani menengah hasilnya “konsolidasi”. Bagi petani luas dan tuan-tanah hasilnya “akumulasi”. Kerangka pikir yang saya gunakan dapat dijelaskan melalui model seperti berikut.

Gambar 1. Model inkorporasi yang dikondisikan sekaligus mempengaruhi kembali diferensiasi komunitas desa.

(23)

Tesis saya hendak menunjukkan bagaimana hal tersebut berlangsung di Kumejing. Apa yang juga perlu ditunjukkan adalah perubahan kesempatan dan jenis pekerjaan/usaha dari aktivitas non-pertanian dimana penduduk desa terlibat berubah sepanjang waktu dan perubahan itu dikondisikan oleh struktur ekonomi makro yang terkait dengan arah-perjalanan pembangunan ekonomi nasional dan global. Dalam konteks Kumejing, perubahan ekonomi di tingkat makro itu berperan dalam mengubah pola keterlibatan penduduk desa pada aktivitas non-pertanian terutama yang berlangsung di luar desa. Perubahan ini pada gilirannya berpengaruh terhadap proses diferensiasi sosial. Pada kasus Kumejing, hasilnya adalah pemantapan dari struktur sosial-ekonomi yang lama. Golongan petani menengah dan elit desa memperoleh tempat untuk berakumulasi, sementara golongan petani gurem tertahan dalam pola bertahan hidup atau himpitan reproduksi sederhana. Hasilnya, meski struktur kelas itu tampak stagnan, tapi diferensiasi sosial makin tajam.

Tesis ini akan disajikan menurut alur sebagai berikut. Bab 2 menyajikan gambaran umum kondisi desa Kumejing saat ini dengan fokus pada tema teritorialisasi, akses, dan struktur agraris. Saya berasumsi bahwa ruang fisik dan sosial Kumejing saat ini merupakan hasil dari proses historisnya. Lansekap Kumejing yang berapit perairan waduk dan hutan negara menunjukkan terjadinya proses teritorialisasi di masa lampau yang membentuk ruang fisik Kumejing saat ini, termasuk sumber daya yang tersedia di sana. Dalam ruang fisik yang dihasilkan dari proses historis itu penduduk Kumejing, baik antar penduduk sendiri maupun dengan dan pihak-pihak lain (seperti perusahaan hutan negara)

(24)

saling-berhubungan dalam upaya mengambil manfaat dari sumber daya yang ada. Oleh karena itu persoalan akses perlu dibahas. Persoalan bagaimana sumber daya alam itu diambil manfaatnya oleh penduduk akan selalu terkait dengan struktur sosial-ekonomi penduduk itu sendiri. Uraian tentang struktur agraris berkenaan dengan penguasaan dan distribusi pendapatan serta struktur ketenagakerjaan akan membantu kita untuk melihat bentuk dari komunitas petani Kumejing.

Agar diperoleh pemahaman soal bagaimana ruang fisik dan kondisi sosial penduduk Kumejing terbentuk kita perlu menelusuri sejarah atas ruang dan penduduknya. Bab 3 akan memaparkan sejarah desa dan penduduk Kumejing yang dibaca melalui kerangka konsep inkorporasi dan eksklusi. Tujuannya yakni untuk memberi pemahaman bahwa keterpinggiran Kumejing sebagai daerah dataran tinggi merupakan hasil dari konstruksi ekonomi, sosial, dan politik di masa lampau. Saya coba untuk mengetengahkan paradoks yang dialami Kumejing ketika di satu sisi ia dianggap sebagai desa yang relatif terisolir, terbelakang, dan pelosok sebetulnya desa dan penduduknya itu tidak pernah lepas kaitannya dengan dinamika dan trajektori pembangunan regional, nasional, bahkan global.

Setelah melihat riwayat inkorporasi dan eksklusi yang dialami Kumejing dari masa ke masa pada bab 4 kita akan melihat bentuk dari proses inkorporasi dan eksklusi terkini. Saya melihat bahwa inkorporasi penduduk Kumejing dengan ekonomi eksternal desa semakin mendalam ketika melihat fakta bahwa separuh dari populasi rumah-tangga petani memiliki tingkat kebergantungan cukup tinggi terhadap pendapatan dari bekerja di luar desa. Migrasi memperoleh arti di sini sebagai sarana yang menghubungkan penduduk dengan ekonomi eksternal desa.

(25)

Tetapi persoalan bagaimana ia terhubung dengan ekonomi eksternal desa pun tak lepas dari pengalaman di masa lampaunya. Kesempatan yang terbukakan di tanah sebrang (Sumatera dan Kalimantan), rupanya merupakan konsekuensi tak terduga dari pengalaman perpecahan komunitas desa di masa lalu (lihat bab 3 bagian 2 & 3). Pada akhirnya, inkorporasi yang berlangsung melalui sarana migrasi itu (dalam hal tenaga-kerja dan modal) membawa kembali konsekuensi pada komunitas desa dengan semakin menajamnya diferensiasi.

(26)

E. Metode Penelitian

Penelitian ini mencoba untuk menggunakan pendekatan ekonomi-politik dalam kerangka pikirnya. Sebagai penelitian empirik pada kasus yang partikular dalam konteks ekonomi-politik dan sosial-budaya tertentu, penelitian ini mencoba menggunakan pendekatan etnografi dalam tradisi ilmu antropologi. Pendekatan etnografi yang dimaksud yakni penelitian dilakukan melalui penelitian lapangan (pengumpulan data tangan-pertama) untuk menghasilkan laporan penelitian bercorak etnografi. Semua informasi di lapangan saya pilah dan rangkai ke dalam suatu alur dengan kerangka pikir tertentu. Di dalamnya, data yang diperoleh baik dari penelitian lapangan (data primer) maupun literatur (data sekunder) disajikan sebagai bukti untuk mendukung rangkaian argumen yang dikemukakan.

Lapangan penelitian bertempat di desa Kumejing, kecamatan Wadaslintang, kabupaten Wonosobo, kabupaten Jawa Tengah. Secara geografis desa ini berada di wilayah dataran tinggi dengan topografi perbukitan/pegunungan pada ketinggian 187,5-450 m dpl tepat di utara dataran rendah Kebumen.

Penelitian lapangan dilakukan sejak 7 Juli sampai 5 November 2015. Saya tiba di lapangan dalam suasana bulan Ramadhan dan berikutnya saya ikut menghabiskan hari raya, Idul Fitri termasuk kemudian Idul Adha di desa. Periode itu juga bertepatan dengan masa panen dan masa bera (masa menunggu datangnya musim hujan, lahan dibiarkan) dan di sepanjang masa itu adalah musim kemarau. Dalam kalender kultural orang Jawa, bulan Sawal (setelah hari raya Idul Fitri) juga merupakan periode ramai orang melaksanakan hajat pernikahan. Saya kembali lagi ke lapangan di bulan Maret 2016 dan menghabiskan waktu menetap

(27)

satu bulan. Kedatangan kedua ini berlangsung di musim hujan meski sudah melewati masa puncaknya (Januari-Februari) dan ketika saya datang sebagian orang baru saja menyelesaikan masa panen padi baik di sawah tadah hujan maupun surudan. Dengan demikian, pemahaman yang saya peroleh tentang keadaan di Kumejing mestilah dibatasi oleh jangka waktu dan keadaan dalam kondisi-kondisi tersebut. Di luar berbagai aktivitas orang Kumejing yang bisa ikut saya lakoni, saya memperoleh informasi dari tuturan semata yang sebisa mungkin informasi itu saya konfirmasi dengan pengamatan atau informasi lisan antar satu pihak dengan pihak lain.

Selama di lapangan, pada tahap pertama saya melaksanakan survey sosial-ekonomi. Survey ini dilaksanakan berbarengan dengan program pemetaan partisipatif yang dilakukan lembaga swadaya masyarakat Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP). Dalam rancangan awal, survey sosial-ekonomi ditempatkan untuk mendampingi pemetaan spasial sehingga bisa diproduksi data ruang fisik dan keadaan sosial-ekonomi penduduk yang akan digunakan oleh desa untuk merancang program pembangunannya. Selain untuk kepentingan tersebut data survey ini juga digunakan untuk kepentingan pengerjaan tesis. Rancangan dan seluruh rangkaian survey saya kerjakan bersama teman satu lapangan saya, Azhar Riyadi, yang juga melakukan penelitian tesis dengan topik berbeda. Dalam prosesnya, survey melibatkan partisipasi warga desa terutama sebagai pengumpul data. Survey ini sebetulnya dilakukan di 3 desa (Kumejing, Plunjaran, dan Lancar) namun hanya data dari desa Kumejing yang digunakan dalam tesis ini.

(28)

Survey dilakukan dengan teknik proportionate stratified random sampling7 pada 93 sample rumah-tangga petani Kumejing.

Selain survey saya melakukan pengamatan terlibat yang dilakoni dalam berbagai kesempatan. Pertama dalam aktivitas kerja, misalnya dalam kerja pertanian seperti pergi ke talun, mencari pakan ternak, kerja menyadap getah pinus di hutan, panen padi, serta ikut dalam panen dan pengolahan singkong. Kemudian kerja dalam lingkup rumah seperti mempersiapkan bahan berjualan makanan, proses membuat keripik pisang, dan proses membuat tempe. Saya juga ikut dalam aktivitas perdagangan seperti perdagangan buah kelapa. Aktivitas kultural warga desa juga dilakoni seperti kegiatan yasinan, hajatan, berbagai jenis selametan dan hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha). Keterlibatan dalam berbagai aktivitas penduduk ini dilakoni untuk memperoleh pengertian tentang apa yang mereka biasa lakukan, mengetahui berbagai wawasan dan pengetahuan tentang dunia dan cara pandang mereka, serta di bawah semua itu adalah sebagai sarana mengakrabkan diri dan saling-mengenal.

Wawancara dilakukan mencakup wawancara yang bersifat sambil lalu maupun semi-terstruktur yang dalam praktiknya lebih berupa mengobrol. Saya tidak pernah melakukan wawancara terstruktur dengan panduan pertanyaan yang                                                                                                                

7  Teknik  penentuan  sample  ini  digunakan  untuk  mendapatkan  representasi  umum  dari  suatu   populasi.  Meskipun  dalam  penelitian  sosial  dianjurkan  menetapkan  marjin  kesalahan  5%  namun   besarnya  populasi  dan  minimnya  tenaga-­‐kerja  survey  membuat  kami  menetapkan  marjin   kesalahan  10%.  Dengan  pertimbangan  kekurangan  ini  bisa  diatas  lewat  teknik  lain  seperti   wawancara  dan  pengamatan-­‐terlibat.  Populasi  938  KK,  sehingga  diperoleh  sample  93  rumah-­‐ tangga.  Populasi  938  KK  diperoleh  dari  penghitungan  ulang  surat  keterangan  KK  untuk  catatan   sipil.  Sementara  dalam  survey  kami  menggunakan  satuan  rumah-­‐tangga  yang  terdiri  bisa  lebih   dari  1  KK.  Karena  itu  ketika  survey  kami  memastikan  bahwa  responden  yang  dituju  merupakan   rumah-­‐tangga,  sehingga  jika  ditemui  1  KK  kami  konfirmasi  dulu  keberadaannya  dalam  satuan   rumah-­‐tangga.  Kami  tidak  bisa  menetapkan  jumlah  rumah-­‐tangga  untuk  satu  desa  sebab  data  

(29)

baku dan ketat. Jikapun ada satu momen yang agak berkesan wawancara maka itu adalah wawancara berkenaan sejarah hidup informan (life-history). Dalam penggalian sejarah hidup saya menggunakan panduan yang bersifat semi-terstruktur sembari membuka peluang adanya topik baru yang ada di luar jangkauan perkiraan saya. Penggalian sejarah hidup saya lakukan terhadap petani golongan gurem, kecil, menengah, elit desa, serta para perantau yang kebetulan sedang tinggal di desa juga mantan perantau yang punya pengalaman bertahun-tahun bermigrasi sirkuler dan kini menetap di desa. Gambaran akan riwayat merantau orang Kumejing dari masa ke masa saya peroleh dari penelusuran sejarah hidup mereka.

Gambar

Gambar 1. Model inkorporasi yang dikondisikan sekaligus mempengaruhi  kembali diferensiasi komunitas desa.

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tipologi berdasarkan usia, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan/profesi, dan tempat tinggal, dan motivasi dalam

Selanjutnya NAS (1977) menyatakan bahwa daun lamtoro memiliki nilai gizi yang tinggi, dengan asam amino yang terdapat dalam proporsi yang seimbang dan dapat menjadi

Butir Kuesioner 1, ―Saya dapat melihat produk headphone muncul dalam salah satu scene MV Friends‖. Sementara 190 responden atau sebanyak 44% dari responden merasa

pada tahun 2015 dilaksanakan sesuai dengan Renstra Biro Umum 2015-2019 yang merupakan penjabaran dari renstra BATAN 2015-2019. Adapun Program dan Kegiatan Biro Umum

Sistem informasi akuntansi sebagai alat yang digunakan untuk merangkum semua data transaksi sehingga menghasilkan informasi yang berdaya guna bagi manajemen dan

Pemerintah lewat BNPB ikut andil membantu dengan aplikasi yang diluncurkan yaitu inaRISK yang dapat mendeteksi tingkat resiko apa yang didapat oleh suatu keluarga dengan

Lanjut, bagian kedua berkaitan dengan kenyataan bahwa di satu sisi Buddha tidak memiliki kesalahan dan telah mencapai semua kualitas bajik dan di sisi lain

Banyak tanda tanya dan juga kata cinta G. Otak kata jangan hati pula kata ya